GANDA PUTRA
gandaputra@gmail.com
1910003600201
UNIVERSITAS EKA SAKTI (UNES) PADANG
A. PENDAHULUAN
Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Allah untuk hidup sesama dengan manusia
lainnya, dan membentuk masyarakat. Sebagai makhluk yang berakal manusia ditinggikan
derajatnya diantara makhluk lainnya. Hal ini disebabkan manusia punya akal, nafsu, hati dan rasa
yang akan melahirkan kesadaran dalam jianya sehingga dapat mengatur pola perilaku hidupnya.
Dalam hidup bermasyarakat ini manusia saling berinteraksi, yang apabila diteliti jumlah dan
Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan oleh Tuhan yang maha pengasih untuk
dengan manusia lainnya atau bermasyarakat, yang artinya manusia adalah makhluk sosial yang
tidak bisa hidup sendiri tanpa memerlukan bantuan orang lain. Singkatnya manusia memerlukan
orang lain untuk mempertahankan kehidupannya. Tidaklah mungkin ada orang yang dapat hidup
yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, ada kalanya kepentingan mereka itu
saling bertentangan, hal ini dapat menimbulkan sebuah konflik antara kepentingan yang satu
dengan kepentingan yang lainnya, karna setiap orang mempunyai keinginan, keperluan sendiri-
sendiri. Sehingga akan terjadilah perselisihan dalam kehidupa bersama. Untuk menghindarkan
gejala tersebut maka mereka tersebut mencari tata tertib untuk mencapai perdamaian dan
kesejahteraan masyarakat dengan membuat beberapa peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah
yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat agar dapat mempertahankan hidupnya dalam
bermasyarakat. Jadi setiap orang diharuskan untuk bertingkah laku sedemikan rupa, sehingga
kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi dan apabila peraturan
tersebut dilanggar maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau dihukum.
Asas hukum merupakan aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada
umumnya melatar belakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum. Apabila dalam sistem
hukum terjadi pertentangan, maka asas hukum akan tampil untuk mengatasi pertentangan
lainnya, maka harus kembali melihat asas hukum sebagai dasar yang mendasari suatu peraturan
Berbicara mengenai praktek peradilan perdata di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan
dari aturan-aturan normatif yang mengaturnya. Hal ini diperlukan agar semua pihak yang terlibat
di dalam suatu sistem peradilan dapat memperoleh panduan untuk menjalankan proses
persidangan yang dihadapi. Di Indonesia, mekanisme tentang praktek peradilan perdata terdapat
pada hukum acara perdata yang berfungsi untuk menegakkan aturan hukum material. Karena itu
kita harus mengerti betul tentang hukum acara perdata yang didalamnya terkandung esensi
praktek peradilan perdata. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang
B. PEMBAHASAN
Hukum material di negara kita, baik yang termuat dalam suatu bentuk perundang-
undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan pedoman atau pegangan ataupun penuntun
bagi seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup. Semua
ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah cukup hanya untuk dibaca, dilihat, atau diketahui saja,
Oleh karena itulah maka dalam hal ini diperlukan sekali suatu bentuk perundang-
undangan yang akan mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimanakah melaksanakan
hukum materiil ini. Sebab tanpa adanya aturan tersebut, maka hukum materiil ini hanya
merupakan rangkaian kata-kata saja, tapi tidak dapat dinikmati oleh warga masyarakat. Hukum
yang mengatur tentang cara merpertahankan dan menerapkan hukum materiil ini, dalam istilah
hukum sehari-hari dikenal dengan sebutan Hukum Formal atau Hukum Acara.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., “Hukum Acara Perdata adalah peraturan
hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan
perantaran hakim”.[1]
Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro,S. H., “Hukum Acara Perdata merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan
di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk
Menurut Prof. Dr. Supomo, S.H., “Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah
mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijke rechtsorde), menetapkan apa yang ditentukan
Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata meliputi ketentuan-ketentuan tentang
cara bagaimana orang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan dari hakim
apabila kepentingan atau haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya bagaimana cara
berikut:
yang berkepentingan. Inisiatif datang dari masyarakat, khususnya yang berkepentingan. Dengan
demikian, proses peradilan perdata terjadi bila ada permintaandari seseorang atau sekelompok
orang yang menuntut haknya. Jadi hakim menunggu datangnya permintaan atau tuntutan atau
Hakim bersifat menunggu memiliki makna bahwa inisiatif untuk mengajukan tuntutan
hak diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim hanya
bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya (judex ne procedat ex
officio). Sikap menunggu dari hakim ini tidaklah dapat diartikan bahwa hakim berhak menolak
perkara yang diajukan kepadanya. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman berbunyi bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk menerima dan
mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas
bahwa terdapat kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
yang terdapat dalam masyarakat, sebagaimana diatur pada Pasal 28 UU Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas ini bertitik tolak pada anggapan bahwa hakim mengetahui
akan hukumnya (ius curia novit). Pengaturan asas ini juga terdapat pada Pasal 118 HIR dan Pasal
142 RBg.
sengketa yang diajukan kepada hakim pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara,
bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan (Pasal 5 UU No. 14/1970). Bila yang
bersengketa mencabut gugatannya karena telah tercapai penyelesaian melalui perdamaian, hakim
tidak akan menghalangi (Pasal 130 HIR, 154Rbg). Hakim hanya dibenarkan untuk memutuskan
apa yang diminta oleh para pihak (Pasal 178 ayat(2) dan 3 HIR, 189 ayat(2) dan (3) Rbg)[5].
Menurut Soeroso, pengertian hakim bersifat pasif dapat ditinjau dari dua segi[6], yaitu:
a. Dari segi inisiatif datangnya perkara maka ada atau tidaknya gugatan tergantung kepada para
pihak yang berkepentingan yang merasa dan dirasa bahwa haknya atau kepentingannya telah
dilanggar orang lain. Apabila gugatan tersebut tidak diajukan para pihak maka hakim tidak akan
b. Dari segi luas pokok sengketa, ruang lingkup gugatan serta kelanjutan pokok perkara maka
hanya pihak yang berhak untuk menentukansehingga untuk itu hakim hanya bertitik tolak kepada
Asas hakim bersifat pasif juga memberikan batasan kepada hakim untuk tidak dapat
mencegah apabila gugatan tersebut dicabut atau para pihak akan melakukan perdamaian (Pasal
130 ayat (1) HIR), atau hakim hanya mengadili luas pokok sengketa yang diajukan para pihak
dan dilarang mengabulkan atau menjatuhkan putusan melebihi dari apa yang dimintakan oleh
penggugat.
Pada asanya, proses peradilan dalam persidangan terbuka untuk umum, setiap orang
boleh menghadiri persidangan asal tidak mengganggu jalannya persidangan dan selalu menjaga
ketertiban. Asas ini bertujuan untuk agar persidangan berjalan secara fair, objektif, dan hak-hak
asasi manusia pun terlindungi. Persidangan dimungkinkan untuk dilaksanakan dalam keadaan
tertutup apabila ada alasan-alasan yang penting atau karena ketentuan undang-undang bahwa
Sifat hukum acara perdata ini merupakan aspek fundamental. Sebelum perkara mulai
disidangkan maka Ketua Majelis Hakim harus menyatakan bahwa sidang harus dinyatakan
“dibuka” dan “terbuka untuk umum”, selama undang-undang tidak menentukan lain dan apabila
hal itu tidak terpenuhi maka mengakibatkan putusan hakim batalnya demi hukum (Pasal 19 ayat
Sifat peradilan terbuka untuk umum adalah harus dinyatakan persidangan “dibuka”
terlebih dahulu. Hal itu merupakan aspek formal yang harus ditaati oleh tertib hukum acara
perdata. Konkretnya, meskipun persidangan telah mulai pembacaan surat gugatan, jawaban surat
gugatan, replik, dan duplik bahkan telah tahap pembuktian, tetapi persidangan belum dinyatakan
Dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak yang bersengketa harus didengar,
diperhatikan, dan diperlakukan sama (Pasal 5 (1) UU No. 14/1970). Proses peradilan dalam acara
perdata wajib memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak yang bersaengketa. Hakim
tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai keterangan yang benar, sebelum
kedua belah pihak yang bersengketa, tidak memihak, dan sama-sama didengar. Asas bahwa
kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas audi et alteram partem, hakim tidak
boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai yang benar. Berkaitan dengan
pengajuan alat bukti yang dilakukan di muka sidang harus dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal
132 huruf a, Pasal 121 ayat (2) HIR, Pasal 145 ayat (2), Pasal 157 RBg)[8].
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk
Karena adanya alasan-alasan itulah putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim
Dalam hal pemberian putusan, semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan
putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 UU Nomor 4 Tahun 2004, Pasal 184
ayat (1), Pasal 319 HIR, Pasal 195, Pasal 618 RBg). Alasan-alasan atau argumentasi itu
para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai
nilai obyektif[9].
Berperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 4 (2), UU No. 14/1970). Biaya perkara
meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan untuk para pihak serta
biaya materai. Mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara
Asas ini diatur dalam Pasal 121 ayat (4), Pasal 182, Pasal 183 HIR, Pasal 145 ayat (4),
Pasal 192-194 RBg. Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, pemanggilan para pihak serta
biaya meterai. Bagi pihak yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan diri pada orang lain, sehingga
pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan.
Dengan memeriksa secara langsung terhadap para pihak hakim dapat mengetahui lebih jelas
pokok persoalannya. Tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya bila
Ketentuan dalam RIB tidak mewajibkan kedua belah pihak yang berperkara untuk
meminta bantuan dari seorang ahli hukum. Akan tetapi apabila dari kedua belah pihak
memerlukan bantuan hukum hal itu mungkin karena di dalam suatu proses yang memerlukan
pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua belah pihak yang berselisih
dibantu oleh seorang ahli, agar supaya segala sesuatu dapat berjalan dengan selayaknya.
Sedangkan menurut Riduan Syahrani, asas-asas hukum acara perdata yang diterapkan di
Sebagaimana dimuat dalam Pasal 57 Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 juncto Pasal
3 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Pada Pasal 57 Ayat (1) dan (2) dijelaskan: Ayat (1);
2. Asas Kebebasan
Asas ini termaktub dalam Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 juncto Pasal 1 Undang-
undang Nomor 48 tahun 2009; “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
3. Asas Menunggu
4. Asas Pasif
6. Asas Equality
Ada beberapa penjelasan tentang Asas Equality: Equality before the law: Persamaan hak
dan derajat dalam proses pemeriksaan di persidangan. Equality protection on law: Hak
perlindungan yang sama oleh hukum. Equal justice under the law: Perlakuan sama oleh hukum.
Asas ini menuntut setiap putusan yang dikeluarkan Pengadilan harus disertai
alasan. Dalam Pasal 184 ayat (1) HIR juncto Pasal 195 ayat () R.Bg juncto Pasal 50 ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 dijelaskan bahwa setiap putusan harus memiliki elemen-
a. Rasional
b. Aktual
Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 dapat kita temukan kata-
kata Sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sederhana: Beracara jelas, mudah dipahami, dan tidak
berbelit-belit Cepat: Pemeriksaan cerdas
9. Asas Legalitas
Asas ini dapat kita telusuri dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009
Jika kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat) hadir di persidangan, maka Majelis
Hakim dalam setiap kesempatan selalu mengupayakan agar terjadi perdamaian antara para pihak
yang berperkara. Hal ini merupakan kandungan pasal 130 HIR / 154 RBg.
Asas Inter Partes dapat diartikan bahwa suatu putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan
hanya mengikat dan berlaku pada yang diputus saja. Asas ini berlawanan dengan asas Erge
Omnes yang dianut oleh negara-negara Anglo Saxon dimana Putusan mengikat dan berlaku pada
Asas ini bermakna "Tidak ada seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam
perkaranya sendiri.
Asas ini pada mulanya berarti hendaknya didengar juga pihak yang lain, tetapi dalam
perkembangannya dimaknai sebagai; Seorang Hakim harus mendengarkan kedua belah pihak.
Asas ini sangat populer di kalangan mahasiswa hukum. Asas ini berarti suatu aturan
hukum yang lebih tinggi jika bertentangan dengan aturan hukum yang lebih rendah, maka
Ultra petitum partium dapat diartikan dengan "Dilarang mengabulkan sesuatu yang tidak
diajukan dalam petitum". Aplikasi dari asas ini dapat kita temukan dalam 178 ayat (2) dan (3)
HIR, pasal 189 ayat (2) dan (3) R.Bg, dan Rv pasal 50. Hal ini juga ditegaskan dalam putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 882K/Sip/1974 tanggal 24 April 1976. Asas Ultra Petitum Partium
juga dapat diartikan hakim dilarang mempertimbangkan sesuatu yang menyimpang dari dasar
gugatan. Misalnya seperti yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
Asas ini menegaskan bahwa hanya orang-orang yang memiliki hak atau kewenangan lah
Asas ini bermakna jika tidak ada tuntutan hak, maka tidak ada Hakim.
Asas ini diartikan dengan penyelenggaraan hukum acara yang baik menjadi bagian dari
bertempat tinggal.
Asas ini berarti suatu gugatan diajukan di tempat dimana benda bergerak terletak.
C. PENUTUP
1. Hukum acara perdata meliputi ketentuan-ketentuan tentang cara bagaimana orang harus
menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan dari hakim apabila kepentingan atau haknya
dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya bagaimana cara mempertahankan kebenarannya apabila
a. Hakim Bersifat Menunggu; Hakim hanya bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang
b. Hakim Bersifat Pasif; Artinya bahwa luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim pada
asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim.
c. Persidangan Bersifat Terbuka; Proses peradilan dalam persidangan terbuka untuk umum, setiap
orang boleh menghadiri persidangan asal tidak mengganggu jalannya persidangan dan selalu
menjaga ketertiban.
d. Mendengar Kedua Belah Pihak; Kedua belah pihak yang bersengketa harus didengar,
e. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan; Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan
g. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan; HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan diri
pada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak
yang berkepentingan.
DAFTAR PUSTAKA
Darmini Roza dan Laurensius Arliman S Peran Pemerintah Daerah Di Dalam Melindungi Hak
Anak Di Indonesia, Masalah-Masalah Hukum, Volume 47, Nomor 1, 2018.
Laurensius Arliman S, Komnas HAM dan Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana,
Deepublish, Yogyakarta, 2015.
Laurensius Arliman S, Problematika Dan Solusi Pemenuhan Perlindungan Hak Anak Sebagai
Tersangka Tindak Pidana Di Satlantas Polresta Pariaman, Justicia Islamica, Volume 13,
Nomor 2, 2016.
Laurensius Arliman S, Komnas Perempuan Sebagai State Auxialiary Bodies Dalam Penegakan
Ham Perempuan Indonesia, Justicia Islamica, Volume 14, Nomor 2, 2017.
Laurensius Arliman S, Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Baik Untuk Mewujudkan Indonesia
Sebagai Negara Hukum, Jurnal Hukum Doctrinal, Volume 2, Nomor 2, 2017.
Laurensius Arliman S, Menjerat Pelaku Penyuruh Pengrusakan Barang Milik Orang Lain
Dengan Mempertimbangkan Asas Fungsi Sosial, Jurnal Gagasan Hukum, Volume 1,
Nomor 1, 2019.
Laurensius Arliman S, Isdal Veri, Gustiwarni, Elfitrayenti, Ade Sakurawati, Yasri, Pengaruh
Karakteristik Individu, Perlindungan Hak Perempuan Terhadap Kualitas Pelayanan
Komnas Perempuan Dengan Kompetensi Sumber Daya Manusia Sebagai Variabel
Mediasi, Jurnal Menara Ekonomi: Penelitian dan Kajian Ilmiah Bidang Ekonomi,
Volume 6, Nomor 2, 2020.
Laurensius Arliman S, Aswandi Aswandi, Firgi Nurdiansyah, Laxmy Defilah, Nova Sari
Yudistia, Ni Putu Eka, Viona Putri, Zakia Zakia, Ernita Arief, Prinsip, Mekanisme Dan
Bentuk Pelayanan Informasi Kepada Publik Oleh Direktorat Jenderal Pajak, Volume 17,
No Nomor, 2020.
Larensius Arliman S, Koordinasi PT. Pegadaian (Persero) Dengan Direktorat Reserse Narkoba
Polda Sumbar Dalam Penimbangan Barang Bukti Penyalahgunaan Narkotika, UIR Law
Review, Volume 4, Nomor 2, 2020, https://doi.org/10.25299/uirlrev.2020.vol4(1).3779.