Anda di halaman 1dari 15

ASAS HUKUM ACARA PADA UMUMNYA

GANDA PUTRA
gandaputra@gmail.com
1910003600201
UNIVERSITAS EKA SAKTI (UNES) PADANG

A. PENDAHULUAN

Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Allah untuk hidup sesama dengan manusia

lainnya, dan membentuk masyarakat. Sebagai makhluk yang berakal manusia ditinggikan

derajatnya diantara makhluk lainnya. Hal ini disebabkan manusia punya akal, nafsu, hati dan rasa

yang akan melahirkan kesadaran dalam jianya sehingga dapat mengatur pola perilaku hidupnya.

Dalam hidup bermasyarakat ini manusia saling berinteraksi, yang apabila diteliti jumlah dan

sifatnya tidak terhingga banyaknya.

Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan oleh Tuhan yang maha pengasih untuk

dengan manusia lainnya atau bermasyarakat, yang artinya manusia adalah makhluk sosial yang

tidak bisa hidup sendiri tanpa memerlukan bantuan orang lain. Singkatnya manusia memerlukan

orang lain untuk mempertahankan kehidupannya. Tidaklah mungkin ada orang yang dapat hidup

sendiri tanpa interaksi dengan orang lain.

Didalam kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap individu atau orang mempunyai kepentingan

yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, ada kalanya kepentingan mereka itu

saling bertentangan, hal ini dapat menimbulkan sebuah konflik antara kepentingan yang satu

dengan kepentingan yang lainnya, karna setiap orang mempunyai keinginan, keperluan sendiri-

sendiri. Sehingga akan terjadilah perselisihan dalam kehidupa bersama. Untuk menghindarkan

gejala tersebut maka mereka tersebut mencari tata tertib untuk mencapai perdamaian dan
kesejahteraan masyarakat dengan membuat beberapa peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah

yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat agar dapat mempertahankan hidupnya dalam

bermasyarakat. Jadi setiap orang diharuskan untuk bertingkah laku sedemikan rupa, sehingga

kepentingan anggota masyarakat lainnya akan terjaga dan dilindungi dan apabila peraturan

tersebut dilanggar maka kepada yang bersangkutan akan dikenakan sanksi atau dihukum.

Asas hukum merupakan aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada

umumnya melatar belakangi peraturan konkret dan pelaksanaan hukum. Apabila dalam sistem

hukum terjadi pertentangan, maka asas hukum akan tampil untuk mengatasi pertentangan

tersebut. Misalnya, terjadi pertentangan antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang

lainnya, maka harus kembali melihat asas hukum sebagai dasar yang mendasari suatu peraturan

hukum berlaku secara universal.

Berbicara mengenai praktek peradilan perdata di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan

dari aturan-aturan normatif yang mengaturnya. Hal ini diperlukan agar semua pihak yang terlibat

di dalam suatu sistem peradilan dapat memperoleh panduan untuk menjalankan proses

persidangan yang dihadapi. Di Indonesia, mekanisme tentang praktek peradilan perdata terdapat

pada hukum acara perdata yang berfungsi untuk menegakkan aturan hukum material. Karena itu

kita harus mengerti betul tentang hukum acara perdata yang didalamnya terkandung esensi

praktek peradilan perdata. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan membahas tentang

asas-asas yang berlaku pada hukum acara perdata di Indonesia.

B. PEMBAHASAN

Hukum material di negara kita, baik yang termuat dalam suatu bentuk perundang-

undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan pedoman atau pegangan ataupun penuntun
bagi seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup. Semua

ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah cukup hanya untuk dibaca, dilihat, atau diketahui saja,

melainkan untuk ditaati dan dilaksanakan,

Oleh karena itulah maka dalam hal ini diperlukan sekali suatu bentuk perundang-

undangan yang akan mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimanakah melaksanakan

hukum materiil ini. Sebab tanpa adanya aturan tersebut, maka hukum materiil ini hanya

merupakan rangkaian kata-kata saja, tapi tidak dapat dinikmati oleh warga masyarakat. Hukum

yang mengatur tentang cara merpertahankan dan menerapkan hukum materiil ini, dalam istilah

hukum sehari-hari dikenal dengan sebutan Hukum Formal atau Hukum Acara.

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., “Hukum Acara Perdata adalah peraturan

hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan

perantaran hakim”.[1]

Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro,S. H., “Hukum Acara Perdata merupakan

rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan

di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk

melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata”[2].

Menurut Prof. Dr. Supomo, S.H., “Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah

mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijke rechtsorde), menetapkan apa yang ditentukan

oleh hukum dalam suatu perkara”[3].

Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata meliputi ketentuan-ketentuan tentang

cara bagaimana orang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan dari hakim

apabila kepentingan atau haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya bagaimana cara

mempertahankan kebenarannya apabila ia dituntut oleh orang lain.


Untuk mengetahui hakikat hukum acara perdata, kiranya perlu diketahui asas-asasnya seperti

berikut:

1. Hakim Bersifat Menunggu

Diselenggarakannya proses acara perdata (peradilan perdata) tergantung pada mereka

yang berkepentingan. Inisiatif datang dari masyarakat, khususnya yang berkepentingan. Dengan

demikian, proses peradilan perdata terjadi bila ada permintaandari seseorang atau sekelompok

orang yang menuntut haknya. Jadi hakim menunggu datangnya permintaan atau tuntutan atau

gugatan dari masyarakat.

Hakim bersifat menunggu memiliki makna bahwa inisiatif untuk mengajukan tuntutan

hak diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim hanya

bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya (judex ne procedat ex

officio). Sikap menunggu dari hakim ini tidaklah dapat diartikan bahwa hakim berhak menolak

perkara yang diajukan kepadanya. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman berbunyi bahwa “Pengadilan tidak boleh menolak untuk menerima dan

mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”[4].Ketentuan tersebut dapat dimaknai

bahwa terdapat kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum

yang terdapat dalam masyarakat, sebagaimana diatur pada Pasal 28 UU Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas ini bertitik tolak pada anggapan bahwa hakim mengetahui

akan hukumnya (ius curia novit). Pengaturan asas ini juga terdapat pada Pasal 118 HIR dan Pasal

142 RBg.

2. Hakim Bersifat Pasif


Hakim, dalam memeriksa perkara perdata, bersifat pasif. Artinya bahwa luas pokok

sengketa yang diajukan kepada hakim pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara,

bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan (Pasal 5 UU No. 14/1970). Bila yang

bersengketa mencabut gugatannya karena telah tercapai penyelesaian melalui perdamaian, hakim

tidak akan menghalangi (Pasal 130 HIR, 154Rbg). Hakim hanya dibenarkan untuk memutuskan

apa yang diminta oleh para pihak (Pasal 178 ayat(2) dan 3 HIR, 189 ayat(2) dan (3) Rbg)[5].

Menurut Soeroso, pengertian hakim bersifat pasif dapat ditinjau dari dua segi[6], yaitu:

a. Dari segi inisiatif datangnya perkara maka ada atau tidaknya gugatan tergantung kepada para

pihak yang berkepentingan yang merasa dan dirasa bahwa haknya atau kepentingannya telah

dilanggar orang lain. Apabila gugatan tersebut tidak diajukan para pihak maka hakim tidak akan

mengadili perkara yang bersangkutan (nemo judex sine actore).

b. Dari segi luas pokok sengketa, ruang lingkup gugatan serta kelanjutan pokok perkara maka

hanya pihak yang berhak untuk menentukansehingga untuk itu hakim hanya bertitik tolak kepada

peristiwa yang diajukan para pihak.

Asas hakim bersifat pasif juga memberikan batasan kepada hakim untuk tidak dapat

mencegah apabila gugatan tersebut dicabut atau para pihak akan melakukan perdamaian (Pasal

130 ayat (1) HIR), atau hakim hanya mengadili luas pokok sengketa yang diajukan para pihak

dan dilarang mengabulkan atau menjatuhkan putusan melebihi dari apa yang dimintakan oleh

penggugat.

3. Persidangan Bersifat Terbuka

Pada asanya, proses peradilan dalam persidangan terbuka untuk umum, setiap orang

boleh menghadiri persidangan asal tidak mengganggu jalannya persidangan dan selalu menjaga
ketertiban. Asas ini bertujuan untuk agar persidangan berjalan secara fair, objektif, dan hak-hak

asasi manusia pun terlindungi. Persidangan dimungkinkan untuk dilaksanakan dalam keadaan

tertutup apabila ada alasan-alasan yang penting atau karena ketentuan undang-undang bahwa

sidang dapat dilaksanakan tertutup.

Sifat hukum acara perdata ini merupakan aspek fundamental. Sebelum perkara mulai

disidangkan maka Ketua Majelis Hakim harus menyatakan bahwa sidang harus dinyatakan

“dibuka” dan “terbuka untuk umum”, selama undang-undang tidak menentukan lain dan apabila

hal itu tidak terpenuhi maka mengakibatkan putusan hakim batalnya demi hukum (Pasal 19 ayat

(1) dan (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Sifat peradilan terbuka untuk umum adalah harus dinyatakan persidangan “dibuka”

terlebih dahulu. Hal itu merupakan aspek formal yang harus ditaati oleh tertib hukum acara

perdata. Konkretnya, meskipun persidangan telah mulai pembacaan surat gugatan, jawaban surat

gugatan, replik, dan duplik bahkan telah tahap pembuktian, tetapi persidangan belum dinyatakan

“dibuka dan terbuka untuk umum” maka sidang belum sah[7].

4. Mendengar Kedua Belah Pihak

Dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak yang bersengketa harus didengar,

diperhatikan, dan diperlakukan sama (Pasal 5 (1) UU No. 14/1970). Proses peradilan dalam acara

perdata wajib memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak yang bersaengketa. Hakim

tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai keterangan yang benar, sebelum

pihak lain memberikan pendapatnya.

Di dalam pemeriksaan perkara perdata di persidangan, hakim harus memperlakukan sama

kedua belah pihak yang bersengketa, tidak memihak, dan sama-sama didengar. Asas bahwa

kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas audi et alteram partem, hakim tidak
boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai yang benar. Berkaitan dengan

pengajuan alat bukti yang dilakukan di muka sidang harus dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal

132 huruf a, Pasal 121 ayat (2) HIR, Pasal 145 ayat (2), Pasal 157 RBg)[8].

5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk

mengadili. Alasan-alasan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim atas

putusannya terhadap masyarakat, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai-nilai objektif.

Karena adanya alasan-alasan itulah putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim

tertentu yang menjatuhkan.

Dalam hal pemberian putusan, semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan

putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 UU Nomor 4 Tahun 2004, Pasal 184

ayat (1), Pasal 319 HIR, Pasal 195, Pasal 618 RBg). Alasan-alasan atau argumentasi itu

dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim daripada putusannya terhadap masyarakat,

para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai

nilai obyektif[9].

6. Beracara Dikenakan Biaya

Berperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 4 (2), UU No. 14/1970). Biaya perkara

meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan untuk para pihak serta

biaya materai. Mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara

secara cuma-cuma (prodeo)[10].

Asas ini diatur dalam Pasal 121 ayat (4), Pasal 182, Pasal 183 HIR, Pasal 145 ayat (4),

Pasal 192-194 RBg. Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, pemanggilan para pihak serta
biaya meterai. Bagi pihak yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan

perkara secara cuma-cuma[11].

7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan diri pada orang lain, sehingga

pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan.

Dengan memeriksa secara langsung terhadap para pihak hakim dapat mengetahui lebih jelas

pokok persoalannya. Tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya bila

dikehendakinya (Pasal 123 HIR, Pasal 147 Rbg).

Ketentuan dalam RIB tidak mewajibkan kedua belah pihak yang berperkara untuk

meminta bantuan dari seorang ahli hukum. Akan tetapi apabila dari kedua belah pihak

memerlukan bantuan hukum hal itu mungkin karena di dalam suatu proses yang memerlukan

pengetahuan tentang hukum dan kecakapan teknis, perlu kedua belah pihak yang berselisih

dibantu oleh seorang ahli, agar supaya segala sesuatu dapat berjalan dengan selayaknya.

Sedangkan menurut Riduan Syahrani, asas-asas hukum acara perdata yang diterapkan di

Pengadilan Agama adalah sebagai berikut[12] :

1. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa

Sebagaimana dimuat dalam Pasal 57 Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 juncto Pasal

3 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Pada Pasal 57 Ayat (1) dan (2) dijelaskan: Ayat (1);

Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA

ESA. Ayat (2); Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan

kalimat BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA.

2. Asas Kebebasan
Asas ini termaktub dalam Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 juncto Pasal 1 Undang-

undang Nomor 48 tahun 2009; “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

3. Asas Menunggu

4. Asas Pasif

5. Asas Sidang Terbuka Untuk Umum

6. Asas Equality

Ada beberapa penjelasan tentang Asas Equality: Equality before the law: Persamaan hak

dan derajat dalam proses pemeriksaan di persidangan. Equality protection on law: Hak

perlindungan yang sama oleh hukum. Equal justice under the law: Perlakuan sama oleh hukum.

7. Asas Ratio Decidendi atau Basic Reason

Asas ini menuntut setiap putusan yang dikeluarkan Pengadilan harus disertai

alasan. Dalam Pasal 184 ayat (1) HIR juncto Pasal 195 ayat () R.Bg juncto Pasal 50 ayat (1)

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 dijelaskan bahwa setiap putusan harus memiliki elemen-

elemen sebagai berikut:

a. Rasional

b. Aktual

c. Mengandung nilai-nilai kemanusian, peradaban, dan kepatutan.

8. Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan

Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 dapat kita temukan kata-

kata Sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sederhana: Beracara jelas, mudah dipahami, dan tidak
berbelit-belit Cepat: Pemeriksaan cerdas

Biaya Ringan: Diperhitungkan secara logis.

9. Asas Legalitas

Asas ini dapat kita telusuri dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman.

10. Asas Perdamaian

Jika kedua belah pihak (Penggugat dan Tergugat) hadir di persidangan, maka Majelis

Hakim dalam setiap kesempatan selalu mengupayakan agar terjadi perdamaian antara para pihak

yang berperkara. Hal ini merupakan kandungan pasal 130 HIR / 154 RBg.

11. Asas Memberi Bantuan

12. Asas Inter Partes

Asas Inter Partes dapat diartikan bahwa suatu putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan

hanya mengikat dan berlaku pada yang diputus saja. Asas ini berlawanan dengan asas Erge

Omnes yang dianut oleh negara-negara Anglo Saxon dimana Putusan mengikat dan berlaku pada

perkara berikutnya yang memiliki kesamaan.

13. Asas Nemo Judex Indoneus in Propria Causa

Asas ini bermakna "Tidak ada seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam

perkaranya sendiri.

14. Asas Audi at Alteram Partem

Asas ini pada mulanya berarti hendaknya didengar juga pihak yang lain, tetapi dalam

perkembangannya dimaknai sebagai; Seorang Hakim harus mendengarkan kedua belah pihak.

15. Asas Unus Testis Nullus Testis


Asas ini secara harfiah berarti satu orang saksi bukanlah saksi, dengan kata lain kesaksian

yang diberikan satu orang saksi tidak dapat diterima.

16. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori

Asas ini sangat populer di kalangan mahasiswa hukum. Asas ini berarti suatu aturan

hukum yang lebih tinggi jika bertentangan dengan aturan hukum yang lebih rendah, maka

didahulukan yang lebih tinggi hirarkinya.

17. Asas Ultra Petitum Partium

Ultra petitum partium dapat diartikan dengan "Dilarang mengabulkan sesuatu yang tidak

diajukan dalam petitum". Aplikasi dari asas ini dapat kita temukan dalam 178 ayat (2) dan (3)

HIR, pasal 189 ayat (2) dan (3) R.Bg, dan Rv pasal 50. Hal ini juga ditegaskan dalam putusan

Mahkamah Agung RI Nomor 882K/Sip/1974 tanggal 24 April 1976. Asas Ultra Petitum Partium

juga dapat diartikan hakim dilarang mempertimbangkan sesuatu yang menyimpang dari dasar

gugatan. Misalnya seperti yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor

372K/Sip/1970 tangal 1 September 1971.

18. Asas Legitima Persona Standi in Judicio

Asas ini menegaskan bahwa hanya orang-orang yang memiliki hak atau kewenangan lah

yang dapat bertindak selaku pihak dalam suatu perkara di Pengadilan.

19. Asas Nemo Judex Sine Actor

Asas ini bermakna jika tidak ada tuntutan hak, maka tidak ada Hakim.

20. Asas Speedy Administration of Justice

Asas ini diartikan dengan penyelenggaraan hukum acara yang baik menjadi bagian dari

tegaknya hukum dan keadilan.

21. Asas Actor Squitur Forum Rei


Asas ini berarti suatu gugatan diajukan di wilayah dimana Tergugat menetap atau

bertempat tinggal.

22. Asas Actor Squitur Forum Rei Sitai

Asas ini berarti suatu gugatan diajukan di tempat dimana benda bergerak terletak.

C. PENUTUP

1. Hukum acara perdata meliputi ketentuan-ketentuan tentang cara bagaimana orang harus

menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan dari hakim apabila kepentingan atau haknya

dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya bagaimana cara mempertahankan kebenarannya apabila

ia dituntut oleh orang lain.

2. Asas-asas hukum acara perdata meliputi :

a. Hakim Bersifat Menunggu; Hakim hanya bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang

diajukan kepadanya (judex ne procedat ex officio).

b. Hakim Bersifat Pasif; Artinya bahwa luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim pada

asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara, bukan oleh hakim.

c. Persidangan Bersifat Terbuka; Proses peradilan dalam persidangan terbuka untuk umum, setiap

orang boleh menghadiri persidangan asal tidak mengganggu jalannya persidangan dan selalu

menjaga ketertiban.

d. Mendengar Kedua Belah Pihak; Kedua belah pihak yang bersengketa harus didengar,

diperhatikan, dan diperlakukan sama.

e. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan; Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan

yang menjadi dasar untuk mengadili.


f. Beracara Dikenakan Biaya; Biaya perkara meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk

panggilan, pemberitahuan untuk para pihak serta biaya materai.

g. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan; HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan diri

pada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak

yang berkepentingan.

DAFTAR PUSTAKA

Darmini Roza dan Laurensius Arliman S Peran Pemerintah Daerah Di Dalam Melindungi Hak
Anak Di Indonesia, Masalah-Masalah Hukum, Volume 47, Nomor 1, 2018.

Laurensius Arliman S, Komnas HAM dan Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana,
Deepublish, Yogyakarta, 2015.

Laurensius Arliman S, Penguatan Perlindungan Anak Dari Tindakan Human Trafficking Di


Daerah Perbatasan Indonesia, Jurnal Selat, Volume 4, Nomor 1, 2016.

Laurensius Arliman S, Problematika Dan Solusi Pemenuhan Perlindungan Hak Anak Sebagai
Tersangka Tindak Pidana Di Satlantas Polresta Pariaman, Justicia Islamica, Volume 13,
Nomor 2, 2016.

Laurensius Arliman S, Pelaksanaan Perlindungan Anak Yang Tereksploitasi Secara Ekonomi


Oleh Pemerintah Kota Padang, Veritas et Justitia, Volume 2, Nomor 1, 2016.

Laurensius Arliman S, Kedudukan Ketetapan MPR Dalam Hierarki Peraturan Perundang-


Undangan Di Indonesia, Lex Jurnalica, Volume 13, Nomor 3, 2016.

Laurensius Arliman S, Komnas Perempuan Sebagai State Auxialiary Bodies Dalam Penegakan
Ham Perempuan Indonesia, Justicia Islamica, Volume 14, Nomor 2, 2017.

Laurensius Arliman S, Peranan Pers Untuk Mewujudkan Perlindungan Anak Berkelanjutan Di


Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai, Volume 2, Nomor 2, 2017.

Laurensius Arliman S, Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Baik Untuk Mewujudkan Indonesia
Sebagai Negara Hukum, Jurnal Hukum Doctrinal, Volume 2, Nomor 2, 2017.

Laurensius Arliman S, Participation Non-Governmental Organization In Protecting Child Rights


In The Area Of Social Conflict, The 1st Ushuluddin and Islamic Thought International
Conference (Usicon), Volume 1, 2017.
Laurensius Arliman S, Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-Undangan
Untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan Indonesia, Jurnal Politik Pemerintahan
Dharma Praja, Volume 10, Nomor 1, 2017, https://doi.org/10.33701/jppdp.v10i1.379.

Laurensius Arliman S, Peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia Untuk Mewujudkan


Perlindungan Anak, Jurnal Respublica Volume 17, Nomor 2, 2018.

Laurensius Arliman S, Menjerat Pelaku Penyuruh Pengrusakan Barang Milik Orang Lain
Dengan Mempertimbangkan Asas Fungsi Sosial, Jurnal Gagasan Hukum, Volume 1,
Nomor 1, 2019.

Laurensius Arliman S, Ilmu Perundang-Undangan Yang Baik Untuk Negara Indonesia,


Deepublish, Yogyakarta, 2019.

Laurensius Arliman S, Isdal Veri, Gustiwarni, Elfitrayenti, Ade Sakurawati, Yasri, Pengaruh
Karakteristik Individu, Perlindungan Hak Perempuan Terhadap Kualitas Pelayanan
Komnas Perempuan Dengan Kompetensi Sumber Daya Manusia Sebagai Variabel
Mediasi, Jurnal Menara Ekonomi: Penelitian dan Kajian Ilmiah Bidang Ekonomi,
Volume 6, Nomor 2, 2020.

Laurensius Arliman S, Pendidikan Kewarganegaraan, Deepublish, Yogyakarta, 2020.

Laurensius Arliman S, Makna Keuangan Negara Dalam Pasal Pasal 23 E Undang-Undang


Dasar 1945, Jurnal Lex Librum, Volume 6, Nomor 2 Juni 2020,
http://dx.doi.org/10.46839/lljih.v6i2.151.

Laurensius Arliman S, Kedudukan Lembaga Negara Independen Di Indonesia Untuk Mencapai


Tujuan Negara Hukum, Kertha Semaya Journal Ilmu Hukum, Volume 8, Nomor 7, 2020.

Laurensius Arliman S, Pelaksanaan Assesment Oleh Polres Kepulauan Mentawai Sebagai


Bentuk Pelaksanaan Rehabilitasi Bagi Pecandu Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika,
Jurnal Muhakkamah, Volume 5, Nomor 1, 2020.

Laurensius Arliman S, Aswandi Aswandi, Firgi Nurdiansyah, Laxmy Defilah, Nova Sari
Yudistia, Ni Putu Eka, Viona Putri, Zakia Zakia, Ernita Arief, Prinsip, Mekanisme Dan
Bentuk Pelayanan Informasi Kepada Publik Oleh Direktorat Jenderal Pajak, Volume 17,
No Nomor, 2020.

Larensius Arliman S, Koordinasi PT. Pegadaian (Persero) Dengan Direktorat Reserse Narkoba
Polda Sumbar Dalam Penimbangan Barang Bukti Penyalahgunaan Narkotika, UIR Law
Review, Volume 4, Nomor 2, 2020, https://doi.org/10.25299/uirlrev.2020.vol4(1).3779.

Laurensius Arliman S, Tantangan Pendidikan Kewarganegaraan Pada Revolusi 4.0,


Ensiklopedia Sosial Review, Volume 2, Nomor 3, 2020.
Muhammad Afif dan Laurensius Arliman S, Protection Of Children's Rights Of The Islamic And
Constitutional Law Perspective Of The Republic Of Indonesia, Proceeding: Internasional
Conference On Humanity, Law And Sharia (Ichlash), Volume 1, Nomor 2, 2020.

Otong Rosadi danLaurensius Arliman S, Urgensi Pengaturan Badan Pembinaan Idelogi


Pancasila Berdasarkan Undang-Undang Sebagai State Auxiliary Bodies yang Merawat
Pancasila dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Prosiding Konferensi Nasional Hak
Asasi Manusia, Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia pada
Masa Pandemi Covid-19: Tantangan untuk Keilmuan Hukum dan Sosial Volume 1,
Universitas Pancasila, Jakarta, 2020.

Anda mungkin juga menyukai