Anda di halaman 1dari 15

Bab 1: Pendahuluan

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945


(amandemen), disebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Negara hukum adalah negara yang membatasi kekuasaan negara
terhadap rakyatnya dengan menggunakan hukum (rule of law). Hal ini
berarti bahwa setiap tindakan negara harus selalu didasari oleh
hukum, termasuk pembatasan terhadap hak-hak individu rakyatnya.
Tujuan yang hendak dicapai oleh negara Indonesia menurut
konsep yang termuat dalam UUD 1945 adalah keteraturan denfan
memelihara ketertiban umum dan kesejahteraan rakyat. Maka,
Indonesia merupakan negara kesejahteraan, atau negara hukum
dalam arti materiil, yang turut serta menyelenggarakan kesejahteraan
umum dengan aktif mengatur dan menangani setiap bidang kehidupan
rakyatnya demi tercapainya kesejahteraan.
Dalam konsep negara kesejahteraan, negara memiliki
kewajiban dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
rakyatnya. Salah satu cara untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut
adalah dengan pembanfunan nasional yang juga meliputi
pembangunan di bidang hukum. Pembangunan yang berkelanjutan
menghendaki adanya pengertian hukum yang selalu mampu
mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari
tujuan hukum, yang utama adalah tercapainya ketertiban dalam
masyarakat dan juga keadilan.1
Pembangunan hukum bertujuan untuk mewujudkan supremasi
hukum, yaitu suatu ciri dari negara hukum. Penting halnya bagi
pembangunan hukum untuk memiliki pemahaman hukum sebagai

1Otje Salman dan Eddy Damian. Konsep-konsep Hukum dalam


Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis Mochtar Kusumaatmadja). Bandung,
Alumni, 2002, hal. 3.
suatu sistem dimana tidak hanya perundang-undangan saja yang
dibenahi, tetapi juga sub-sistem hukum lainnya. Mochtar
Kusumaatmadja berpendapat bahwa hukum yang memadai
seharusnya tidak hanya berupa asas dan kaidah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus juga mencakup
lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan asas
dan kaidah tersebut dalam kenyataan hidup bermasyarakat.2
Dari pendapat Mochtar Kusumaatmadja tersebut, Prof. Efa
berpemahaman bahwa norma dan kaidah hukum menggambarkan
tatanan hukum materiil, sementara lembaga dan proses
menggambarkan tatanan hukum formil sebagai cara untuk
menegakkan dan/atau mempertahankan hukum materiil tersebut.
Maka dari itu, pembangunan hukum harus dilakukan terhadap
hukum materiil dan hukum formil (hukum acara perdata). Hal ini
dikarenakan untuk melaksanakan atau mempertahankan hukum
materiil perdata jika terjadi tuntutan hak, maka diperlukan rangkaian
oeraturan hukum lain yang bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum
materiil perdata.
Secara konvensional, penyelesaian sengketa perdata dilakukan
melalui proses pengadilan (litigasi), dan dalam hal tersebut hukum
acara perdata bersifat memaksa dan mengikat. Artinya, dalam proses
penyelesaian sengketa, semua pihak yang terlibat menjadi terikat pada
ketentuan hukum acara perdata yang berlalu, yang apabila tidak ditaati
dapat mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Karena sifatnya
tersebut, hukum acara perdata dapat dikatakan memiliki sifat publik.
Dan karena itu, untuk mencapai kepastian hukum maka hukum acara
perdata harus berbentuk kodifikasi yang sifatnya unifikasi agar dapat
berlaku umum dan mengikat bagi semua pihak. Pluralisme hukum

2 Idem, hal. 91.


acara perdata tersebut dapat mempengaruhi tercapainya kepastian
hukum.3
Yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah suatu
kepastian tentang bagaimana peraturan perundangan dapat
menyelesaikan masalah-masalah hukum dan bagaimana peranan dan
kegunaan lembaga-lembaga hukum bagi masyarakat. Dapat
disimpulkan bahwa kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum,
bukan kepastian tindakan terhadap atau yang sesuai dengan aturan
hukum. Untuk mewujudkan kepastian hukum tersebut, terdapat tiga
pilar yaitu kepastian hukum dan unsur peraturan perundangan,
lembaga dan pranata hukum, serta yang diwujudkan dalam putusan
hakim.
Syarat penting untuk terciptanya kepastian hukum adalah
adanya hukum atau peraturan perundangan yang jelas. Karena
peraturan perundangan saat ini terkadang multitasfir, maka badan-
badan peradilan harus melakukan tindakan-tindakan seperti penafsiran
dan konstruksi hukum dalam rangka menemukan hukum untuk
terciptanya kepastian hukum.4
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu
diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
5Kepastian hukum adalah perlindungan yustisiabel terhadap tindakan
sewenang-wenang. Kemanfaatan adalah bahwa pelaksanaan hukum
harus memberi manfaat bagi masyarakat. Keadilan berarti dalam
penegakan hukum harus adil. Dalam menegakkan hukum, tiga unsur
tersebut harus seimbang dan saling kompromi.

3Efa Laela Fakhriah. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata.


Jakarta, Alumni, 2011, hal. 195.
4Pamadi Sarkadi. Sistem Hukum Indonesia. Jakarta, Universitas Terbuka,
2007, hal. 11.
5Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum.
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 1.
Bab 2: Hukum Acara Perdata Indonesia

Hukum Acara Perdata adalah sekumpulan peraturan yang


mengatur tentang cara seseorang harus bertindak kepada orang lain,
atau bagaimana seseorang dapat bertindak terhadap negara / badan
hukum. Tujuan dari Hukum Acara Perdata sendiri adalah tercapainya
tertib hukum, karena jika seseorang mempertahankan hak dan
kepentingannya tidak melalui badan pengadilan maka akan terjadi
tindaka main hakim sendiri.
Subjek gugatan dalam Hukum Acara Perdata bisa perorangan
melawan seseorang atau lebih ataupun sebaliknya; bisa juga
perorangan atau lebih melawan badan hukum atau negara ataupun
sebaliknya. Gugatan bisa diajukan jika suatu pihak merasa hak dan /
atau kepentingan mereka terganggu oleh pihak lain.
Hukum Acara Perdata yang berlaku sampai saat ini adalah HIR
(Herzien Indonesisch Reglement) atau RIB (Reglemen Indonesia Baru)
untuk wilayah Jawa dan Madura, sedangkan untuk wilayah diluar Jawa
dan Madura berlaku RBg (Reglement tot Regeling van het
Rechtswezen in de Gewestern Buiten java en Madura) atau RDS
(Reglemen Daerah Seberang). Dua peraturan in imasih berlaku
didasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 setelah
amandemen ke IV yang menyatakan “segala badan negara dan
peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut UUD”. Selain HIR dan RBg ada juga BRv atau disingkat Rv
(Reglement Burgerlijke Rechtsvordering) yakni Hukum Acara Perdata
untuk golongan Eropa.
Sumber dari Hukum Acara Perdata di Indonesia sendiri diatur
dalam beberapa peraturan perundangan tentang cara berperkara ke
pengadilan. Rv sendiri juga merupakan sumber Hukum Acara Perdata.
Rv sendiri terpakai dalam praktik bagi seseorang yang tunduk pada
BW hendak mengajukan gugat cerai, penggabungan (voeging),
penjaminan (virjwaring), dan intervensi (internventie). Sumber lain dari
hukum acara perdata ialah BW buku ke IV, dan tersebar dalam WvK
6(Wetboek van Koophandel)
Sumber lainnya dari Hukum Acara Perdata adalah Yurisprudensi
(dalam artian putusan pengadilan), Perjanjian Internasonal, Doktrin
(ilmu pengetahuan). Selain itu juga ada Adat kebiasaan yang dianut
oleh hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata.
Tugas seorang hakim dalam penyelesaian sengketa perdata
adalah mencari dan menemukan kebenaran materiil untuk
mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban tersebut berlaku baik dalam
bidang pidana maupun perdata. Secara umum, tugas hakim
dikategorikan menjadi 2 bagian yaikni menemukan dan menegakkan
hukum. Hal ini terlihat dari kegiatan atau tindakan dalam hukum acara
perdata yang terbagi menjadi 3 tahap; persiapan, penentuan, dan
pelaksanaan.
Tahap penentuan meliputi tindakan-tindakan selama
persidangan termasuk pembuktian dan putusan. Hukum pembuktian
perdata termasuk hukum perdata formil yang terdiri dari unsur-unsur
materiil dan formil. Tujuan utama dari pembuktian yuridis sendiri adalah
mencari atau menemukan suatu kebenaran peristiwa sebagai dasar
putusan hakim.
Asas-asas hukum sendiri penting untuk hakim dalam melakukan
penemuan hukum karena asas-asas tersebut turut membantu dalam
melakukan penafsiran dogmatis dan penerapan suatu undang-undang
secara analogi terhadap suatu peristiwa yang nyata.
Asas hukum acara (termasuk hukum acara perdata) pada
umumnya adalah inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak yang
diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan sedangkan

6 Sudikno Mertokusumo, op.cit., Hukum Acara Perdata Indonesia, hal. 7.


hakim hanya bersikap menunggu tuntutan hak untuk diajukan
kepadanya.7 Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dengan
alasan hakim tidak tahu akan dasar hukumnya (ius curia novit)
Asas penting lainnya yang dilakukan hakim dalam memeriksa
sengketa perdata adalah hakim bersifat pasif, artinya ruang lingkup
atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim ditentukan
sendiri oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Dalam
hal ini hakim terikat hanya pada sengketa yang diajukan oleh para
pihak, sehingga dalam hal pembuktian para pihaklah yang wajib
membuktikan dan hakim tidak. Walau hakim bersifat pasif, hakim harus
aktif dalam memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan,
membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran dengan wajib
mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas
perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang
ditutut sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 178 HIR/Pasal 189 RBg.

Bab 3: Sejarah HIR dan RBg

Peraturan peralihan dalam UUD dari tiga masa (UUD 1945,


Konstitusi RIS, UUD 1950) menyatakan jika semua peraturan
perundang-undangan yang berasal dari waktu sebelum perang, masih
akan berlaku dan diakui sebagai peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia, sepanjang tidak bertentangan dengan UUD.
1 Mei 1848 menjadi tanggal yang sangat penting dalam sejarah
pertumbuhan hukum di Indonesia karena pada tanggal tersebut
berlaku perundang-undangan baru yang menggantikan hukum
Belanda kuno dan hukum Roma sebagai akibat dari perubahan di
Negeri Belanda pada tahun 1833 yang menghapus hukum Kerajaan

7 Ibid, hal. 4.
Perancis karena telah mendapatkan kembali kemerdekaannya.
Berdasarkan asas penyesuaian, maka dikehendaki peraturan
perundangan baru tersebut diberlakukan juga bagi Hindia Belanda.8
Maka dari itu, pada 15 Agustus 1839 oleh Firman Raja dibentuk
suatu komisi yang ditugaskan untuk menyusun rancangan peraturan
perndangan bagi Hinda Belanda yang didasarkan oleh peraturan
perundangan yang baru berlaku di Belanda. Setelah 6 tahun bekerja,
komisi tersebut dibubarkan dan digantikan oleh Firman Raja tanggal 15
Desember 1845 No. 67 dengan mengangkat Mr. Wichers selaku Ketua
Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara, dimana salah satu
tugasnya adalah untuk menyiapkan peraturan perundangan untuk
Hindia Belanda.9
Setelah beberapa revisi, hasil rancangan Mr. Wichers diterima
oleh Gubernur Jendral dan diumumkan pada tanggal 5 April 1848
dengan sebutan yang lazim dikenal sebagai Inlandsch Reglement (IR),
yang selanjutnya disahkan dengan FIrman Raja tanggal 29 September
1849 No. 93. Setelah pengumumannya, IR telah mengalami beberapa
perubahan berdasarkan S.1941 No. 31 jo No. 98 dan S. 1941 No. 32.
Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) UU Darurat No. 1 Tahun 1951
mengatur mengenai pemberlakuan het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbarui untuk
daerah jawa dan madura, serta Rechtsreglement Buitengewesten
(RBg) atau Reglemen Daerah Sebrang bagi rakyat luar Jawa dan
Madura,10 yang pembagianya selanjutnya diperkuat dengan Surat
Edaran MA No. 19 Tahun 1964 dan Surat Edaran MA No. 3 Tahun
1965.

8 R. Tresna, Komentar HIR. Jakarta, Pradnya Paramita, 1989, hal. 15.


9 Ibid, hal. viii.
10 Sudikno Mertokusumo. Op. cit., Hukum Acara Perdata Indonesia, hal, 18.
HIR lahir di jaman penjajahan, dimana tata hukum dan
administrasi bertujuan untuk mencapai kesejahteraan kaum penjajah.
Tata hukum di Indonesia seluruhnya disusun atas atas dasar dualisme
di segala bidang. Karena penyusunan HIR dahulu disesuaikan dengan
keadaan masyarakat Indonesia pada saat itu, menurut Soebekti HIR
memiliki karakteristik sebagai berikut:11
1. Pengajuan gugatan dilakukan dalam bentuk “surat
permohonan” dengan adanya kemungkinan untuk mengajukan
gugatan secara lisan.
2. Tidak ada kewajiban untuk menguasakan kepada kuasa hukum.
3. Adanya kewajiban bagi hakim sebelum memulai pemeriksaan
perkara untuk mengusahakan dicapainya suatu perdamaian.
4. Hakim mendengar langsung dari para pihak.
5. Keaktifan hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan di ruang
sidang.
Adapun menurut Sudikno Mertokusumo HIR dan RBg memiliki
asas-asas sebagai berikut:12
1. Hakim bersifat menunggu
Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan
sepenuhnya kepada yang berkepentingan, sehingga ada
pameo kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka
tidak ada hakim. Pengaturan ini dapat dilihat pada Pasal 118
HIR dan Pasal 142 RBg.
2. Hakim pasif
Ruang lingkup atau pokok sengketa yang yang diajukan
pada hakim untuk diperiksa, pada asasnya ditentukan oleh para
pihak yang bersengketa dan bukan oleh hakim. Para pihak juga
bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukan ke

11 Soebekti. Hukum Acara Perdata. Bandung, Binacipta, 1989, hal. 5.


12 Sudikno Mertokusumo. Op. cit., Hukum Acara Perdata Indonesia
muka pengadilan, sedangkan hakim tidak bisa menghalang-
halanginya. Namun, hakim sebagai pemimpin sidang harus
aktif memimpin pemeriksaan perkara.
3. Mendengar kedua belah pihak
Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu
pihak sebagai kebenaran, bila pihak lawan tidak didengar atau
tidak diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Hal
ini diatur dalam Pasal 132a, 121 ayat (2) HIR dan Pasal 145
ayat (2), 157 RBg.
4. Putusan harus disertai alasan
Semua putusan pegadilan harus memuat alasan-alasan
putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili, yang
dimaksudkan sebagai bentuk pertanggungjawaban hakim atas
putusan yang dibuatnya kepada masyarakat dan pada para
pihak. Hal ini diatur dalam Pasal 184 ayat (1), 319 HIR dan
Pasal 195, 618 RBg.
5. Beracara dikenakan biaya
Untuk berperkara di pengadilan dikenakan biaya diatur
dalam Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR, dan Pasal 145 ayat
(4), 192-194 RBg.Biaya ini meliputi biaya kepaniteraan, biaya
panggilan dan pemberitahuan para pihak, serta biaya materai,
dan biaya advokat jika menggunakan jasanya.
6. Tidak adanya keharusan mewakilkan
HIR dan RBg tidak mewajibkan para pihak untuk
mewakilkan pada orang lain, sehingga pemeriksaan di
persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang
berkepentingan.

Bab 4 hanya berisikan isi dari HIR dan Bab 5 hanya


berisikan isi dari RBg
Bab 6: Perbedaan HIR dan RBg

Perbedaan yang substansial antaran HIR dan RBg terletak pada


pengajuan gugatan bila objek gugatannya benda tetap seperti diatu
dalam Pasal 118 ayat (3) HIR dan Pasal 142 ayat (5) RBg, maka
pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili berbeda antara
HIR dan RBg.
Menurut HIR, bila objek gugatannya adalah benda tetap maka
pengajuan gugatan tetap berdasarkan pada tempat tinggal Tergugat,
bila tempat tinggal dan kediaman Tergugat tidak diketahui maka
barulah gugatan diajukan ke pengadilan di mana benda tetap itu
terletak. Sedangkan menurut RBg, apabila objek gugatannya benda
tetap, maka gugatan harus diajukan ke pengadilan dimana benda tetap
itu terletak tanpa memperhatikan lagi tempat tinggal Tergugat.

Perbedaan tersebut dapat diuraikan menjadi:

1. Perihal tata cara pengajuan gugatan

a. HIR (Pasal 118 ayat (3)) – Jika tempat kediaman tergugat


tidak diketahui / jika tergugat tidak dikenal, maka gugatan
diajukan kepada ketua Pengadilan Negeri tempat tinggal
penggugat atau jika yang digugat adalah barang tak
bergerak maka gugatan diajukan kepada ketua
pengadilan negeri dimana barang tak bergerak itu
berada.

b. RBg (Pasal 142 ayat (3) – Jika tempat kediaman maupun


tempat tinggal tergugat tidak diketahui ata jika tergugat
tidak dikenal maka gugatan diajukan kepada ketua
Pengadilan Negeri tempat tinggal penggugat.
2. Perihal gugatan secara lisan

a. HIR (Pasal 120) – Jika penggugat tidak dapat menulis,


maka gugatan dapat disampaikan secara lisan kepada
ketua pengadilan negeri yang kemudian ketuat mencatat
itu atau menyuruh mencatatnya.

b. RBg (Pasal 144 RBg) – Kewenangan gugatan secara


lisan tidak berlaku bagi seorang kuasa.

3. Perihal kuasa

a. HIR (Pasal 123 ayat (2)) – Pegawai negeri yang menurut


peraturan umum menjalankan perkara untuk pemerintah
sebagai wakil negara tidak perlu memkai surat kuasa
khusus itu.

b. RBg (Pasal 147 ayat (2)) – Kepala kejaksaan atau jaksa


yang bertindak untuk pemerintah Republik Indonesia
sebagai wakil negara tidak perlu memakai surat kuasa
khusus itu.

4. Perihal perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek

a. HIR (Pasal 129 ayat (2)) – Jika putusan itu diberitahukan


langsung kepada orang yang dikalahkan itu sendiri, maka
perlawanan itu dapat diterima dalam batas waktu 14 hari
setelah pemberitahuan tersebut. Jika putusan itu tidak
diberitahukan secara langsung kepada yang dikalahkan
sendiri, maka perlawanan itu dapat diterima sampai hari
ke 8 setelah peringatan yang tersebut Pasal 196 HIR
atau dalam hal tidak datang meskipun dipanggil secara
patut.
b. RBg (Pasal 154 ayat (3)) – Jika putusan itu diberitahukan
langsung kepada orang yang dikalahkan itu sendiri, maka
perlawanan itu dapat diterima dalam batas waktu 14 hari
setelah pemberitahuan itu. Jika putusan itu tidak
diberitahukan secara langsung kepada yang dikalahkan
sendiri, maka perlawanan itu dapat diterima sampai hari
ke 8 setelah peringatan yang tersebut pada Pasal 207
RBg atau dalam hal tidak datang meskipun dipanggil
secara patut.

5. Perihal penyumpahan saksi

a. HIR (Pasal 148) – Apabila di luar kejadian yang diatur


dalam Pasal 146, seorang saksi yang sudah menghadap
di muka sidang, menolak mengangkat sumpah atau
untuk memberikan keterangan, maka ketua pengadilan
atas permintaan pihak yang berkepentingan akan
memerintahkan supaya saksi tersebut atas biaya pihak
tersebut disanderakan sampai ia memenuhi kewajiban.

b. RBg (Pasal 176) – Apabila di luar hal-hal yang diatur


dalam Pasal 174 seorang saksi yang telah datang
menghadap di persidangan namun menlak bersumpah
atau memberikan kesaksiannya maka ketua, atas dasar
permohonan pihak yang berkepentingan dapat
memerintahkan agar saksi tersebut disandera atas biaya
atas pihak pemohon untuk jangka waktu selama-lamanya
3 bulan, terkecuali jika ia seketika memenuhi
kewajibannya atau Pengadilan Negeri telah mengambil
putusan dalam perkara yang bersangkutan.

6. Perihal pembuktian akta otentik


a. HIR (Pasal 165) – Suatu akta otentik, ialah suatu akta
yang telah dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat
umum yang berwenang untuk itu, memberikan di antara
para pihak dan sekalian ahli warisnya serta semua
oarang yang memperoleh hak dari mereka, suatu bukti
yang sempurna tentang apa yang diterangkan di
dalamnya, bahkan juga tentang apa yang termuat disitu
sebagai suatu penuturan belaka; namun mengenai yang
terakhir ini hanyalah sekedar yang dituturkan itu ada
hubungannya langsung dengan pokok isi akta.

b. RBg( (Pasal 285) – Akta otentik adalah akta yang


sedemikian rupa dibuat dalam bentuk yang ditetapkan
dalam perundang-undangan oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berwenang di tempat pembuatan surat itu,
menghasilkan pembuktian yang lengkap tentang segala
sesuatu yang tercantum di dalamnya dan bahkan
mengenai segala sesuatu yang secara gamblang
dipaparkan di dalamnya bagi pihak dana para ahli waris
serta mereka yang mendapat hak daripadanya,
sepanjang apa yang dipaparkan itu mempunyai
hubungan yang langsung dengan masalah pokok yang
diatur dalam akta tersebut.

7. Perihal biaya perkara

a. HIR – Dalam penghukuman membayar biaya itu meliputi


beberapa hal dan hanya mengenai:

i. (Pasal 182 ayat (1)) Biaya kantor panitera dan


biaya materai yang perlu dipakai dalam perkara itu
ii. (Pasal 183 ayat (1)) Banyak biaya perkara yang
menurut keputusan harus dibayar oleh salah satu
pihak dan harus disebutkan dalam putusan

b. RBg – Dalam penghukuman membayar biaya itu meliputi


beberapa hal dan hanya mengenai:

i. (Pasal 193 ayat (1)) Biaya materai yang diperlukan


dalam surat.

ii. (Pasal 193 ayat (2)) Biaya surat keterangan yang


disebabkan oleh perkara itu.

iii. (Pasal 194 ayat (1)) Besarnya biaya perkara yang


harus dibebankan kepada salah satu pihak yang
berperkara kecuali biaya perkara yang terjadi
setelah putusan dibacakan yang besarnya bila
perlu diperkirakan kemudian oleh ketua
pengadilan.

Bab 7: Penutup

Fungsi Hukum Acara Perdata adalah sebagai suatu kaidah


hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana
melaksanakan hak-hak dan kewajiban perdata sebagaimana yang
diatur dalam hukum perdata materiil. Dalam hukum acara perdata
diatur mengenai tata cara mengajukan tuntutan, hak, memeriksa serta
memutuskan perkara, serta pelaksanaan dari putusannya.
Diaturnya hak seseorang yang dirugikan oleh pihak lain
bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh
pengadilan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri. Hukum
Acara Perdata mengatur tata cara mempertahankan hak dan
kepentingan antara orang yang tujuan akhirnya adalah memberikan
keadilan dan tercapainya kepastian hukum serta tercapainya tertib
hukum.
Kepastian hukum sendiri adalah suatu kepastian tentang
bagaimana peraturan perundang-undangan menyelesaikan masalah
hukum, bagaimana peranan dan kegunaan lembaga hukum bagi
masyarakat. Kepastian hukum dapat terwujud dalam keputusan
pejabat yang berwenang yang menyangkut suatu peristiwa tertentu.
Kesimpulannya ialah kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum,
bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan
aturan hukum.

Anda mungkin juga menyukai