Anda di halaman 1dari 6

Sejarah HKI di Indonesia 1

Aninda Sekar Parindrastiti [110110160283]

Hukum Kekayaan Intelektual

6 November 2019

Sejarah dan Perkembagan HKI di Indonesia

Keberadaan dan peraturan perundangan yang berkaitan dengan HKI di Indone-

sia sebetulnya sudah mulai berakar pada zaman sebelum Indonesia merdeka, tepatnya

saat Indonesia masih merupakan wilayah jajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka,

undang-undang tersebut tetap digunakan dan seiring waktu pun berkembang menjadi

HKI yang berlaku di Indonesia sekarang ini.

Berikut adalah penjabaran secara ringkas mengenai sejarah munculnya dan

berkembangnya HKI di Indonesia.

1.1 HKI Pada Masa Pra-Kemerdekaan Indonesia

HKI lahir dan tumbuh di Eropa pada masa abad ke-15, yang kemudian masuk ke

sistem hukum Belanda melalui ekstensi dari hukum Perancis ketika Belanda berada di

bawah kekuasaannya. Walaupun kemudian hukum paten Perancis tersebut tidak

berlaku lagi seiring dengan mundurnya kekuasaan Perancis di Belanda, namun Belanda

memutuskan untuk membentuk peraturan perundangannya sendiri yang berkaitan den-

gan hak paten pada 1817, yaitu “Act on the Granting of Exclusive Rights to Inventions,

Introductions and Improvements of Objects of Art and of the People’s Diligence”.1

Peraturan tersebut kemudian diberlakukan bagi Hindia-Belanda berdasarkan

prinsip konkordansi pada tahun 1844, yaitu melalui Staatsblad van Nederlandsch-Indië

1844 No. 28, walaupun kemudian perundangan tersebut, baik yang berlaku di Belanda

1Paul Goldstein and Joseph Straus. Intellectual Property in Asia : Law, Economics, History and
Politics. Berlin, Springer, 2010, p. 87.
Sejarah HKI di Indonesia 2

maupun di Hindia-Belanda, ditarik kembali pada tahun 1869 di Belanda dan 1870 di

Indonesia melalui Staatsblad van Nederlandsch-Indië 1870 No. 114. 2

Setelah itu Belanja juga memberlakukan perundangan mengenai merek (Staats-

blad van Nederlandsch-Indië 1885 No. 109 yang kemudian digantikan dengan Regle-

ment Industrieele Eigendom pada tahun 1912), paten (Octrooiwet/Staatsblad van Ned-

erlandsch-Indië 1911 No. 136) dan hak cipta (Austerwet/Staatsblad van Nederlandsch-

Indië 1912 No. 600) yang semuanya merupakan pemberlakuan hukum Belanda atas

dasar asas konkordansi.

Hindia-Belanda juga ikut mengaksesi beberapa konvensi dan perjanjian interna-

sional mengenai HKI sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Belanda, seperti Konvensi

Paris (diumumkan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indië 1888 No. 187/188), Per-

janjian Madrid (diumumkan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indië 1893 No.

99/140), dan Konvensi Bern (diumumkan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indië

1914 No. 797).

Walau terdapat peraturan perundangan yang mengatur mengenai HKI pada

masa tersebut, namun penerapannya bersifat pluralis karena adanya pemisahan hukum

yang berlaku antara golongan Eropa, Timur Asing dan Bumiputera. Peraturan-peraturan

tersebut lebih ditujukan dan berlaku bagi golongan Eropa, karena bagi golongan Timur

Asing dan Bumiputera berlaku hukum sesuai adatnya masing-masing.3

Pada masa penjajahan Jepang, peraturan-peraturan perundangan tersebut tetap

berlaku.

2 Ibid.
3Raditya Adi Nugraha. 2010. Tarik Menarik antara Aktor Negara dan Non Negara dalam Penera -
pan Rezim Internasional tentang Lisensi Software (Studi Kasus MoU Microsoft – RI). Skripsi.
Tidak Diterbitkan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia. hal. 67.
Sejarah HKI di Indonesia 3

1.2 HKI Pada Masa Pasca-Kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia tetap member-

lakukan peraturan perundangan yang ditetapkan oleh pemerintahan Belanda selama

peraturan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945, atas dasar ketentuan Pasal 2

Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan, yang menyatakan bahwa “segala

badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru

menurut Undang-Undang Dasar ini”. Peraturan mengenai HKI yang tidak diberlakukan

kembali hanyalah Octrooiwet/UU Paten yang dinilai sebagai bertentangan dengan UUD

1945 dan pemerintahan Indonesia karena pemeriksaan terhadap permohonan paten

yang diajukan harus dilakukan di Octrooirad yang lokasinya berada di Belanda.4

Pada Agustus 1953, Indonesia menetapkan peraturan HKI nasionalnya yang per-

tama, yaitu adalah Pengumuman Menteri Kehakiman RI No. J.S. 5/41/4 tentang Penga-

juan Sementara Paten Dalam Negeri dan Pengumuman Menteri Kehakiman RI No. J.G.

1/2/17 tentang Pengajuan Sementara Paten Luar Negeri. Sementara itu, undang-un-

dang pertama buatan Indonesia yang berkaitan dengan HKI adalah UU No. 21 Tahun

1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan, yang dibentuk untuk meng-

gantikan Staatsblad van Nederlandsch-Indië 1885 No. 109 yang kemudian digantikan

dengan Reglement Industrieele Eigendom pada tahun 1912 yang mengatur mengenai

merek di masa pendudukan Belanda. Sementara itu, Austerwet atau Staatsblad van

Nederlandsch-Indië 1912 No. 600 yang mengatur mengenai hak cipta kemudian digan-

tikan oleh UU No. 6 Tahun 1982.

Kemudian pada Mei 1979, Presiden Soeharto menyatakan bahwa Indonesia

meratifikasi Konvensi Paris dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 24 Tahun

4 Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
“Sejarah Perkembangan Perlindungan Kekayaan Intelektual (KI) - Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual.” Dgip.Go.Id, 2011, dgip.go.id/sejarah-perkembangan-perlindungan-kekayaan-in-
telektual-ki. Accessed 1 Nov. 2019.
Sejarah HKI di Indonesia 4

1979, walaupun dengan beberapa reservasi yaitu atas Pasal 1 hingga 12 dan Pasal 28

ayat (1) dari Konvensi tersebut.5 Sebelum adanya Keppres tersebut, terdapat ketidak -

pastian mengenai partisipasi Indonesia dalam konvensi dan perjanjian yang tadinya

berlaku karena Indonesia merupakan wilayah kekuasaan Belanda pada masa kolonial.

Bahkan sebelum adanya Keppres tersebut, Pengadilan-pengadilan Negeri Indonesia

terkadang menolak argumentasi yang didasarkan oleh keanggotaan Indonesia dalam

Konvensi Paris. Dengan adanya pernyataan resmi mengenai ratifikasi tersebut, maka

Indonesia secara pasti menjadi anggota dari Konvensi Paris dengan reservasi.6

Setelah sekian lama urusan paten hanya diatur dengan Pengumuman Menteri

Kehakiman saja, akhirnya Presiden Soeharto pada tahun 1986 menerbitkan Keputusan

Presiden No. 34/1986 yang berisi mengenai pembentukan suatu tim khusus di bidang

HKI, yang salah satu tugasnya adalah menyusun kebijakan dan perancangan undang-

undang yang berkaitan dengan HKI, termasuk mengenai paten. UU No. 6 Tahun 1989

tentagn Paten pun akhirnya disahkan setelah revisi RUU Paten diselesaikan oleh tim

tersebut, dan berlaku efektif mulai dari tahun 1991. 7

Pada tahun 1992, UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek yang menggantikan UU

No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan, disahkan dan

mulai diberlakukan pada April 1993.

1.3 HKI Indonesia Pasca Ratifikasi TRIPS

Pada tahun 1994, Indonesia ikut serta sebagai anggota dari World Trade Organi-

zation (WTO), yang disahkan dengan UU No. 7 tahun 1994. Salah satu aspek penting

5 Ibid.
6 Op. Cit. Paul Goldstein and Joseph Straus. p. 89.
7Op. Cit. Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik In -
donesia.
Sejarah HKI di Indonesia 5

yang tidak terpisahkan dari WTO adalah the Agreement on Trade Related Aspects of

Intellectual Property Rights, atau disebut juga perjanjian TRIPS.

WTO dan TRIPS mewajibkan negara-negara anggotanya untuk membuat dan

menyesuaikan ketentuan-ketentuan hukum HKI yang selaras dengan ketentuan-keten-

tuan dalam WTO dan TRIPS. Proses penyesuaian Indonesia pun dimulai dengan pe-

rubahan terhadap UU Paten, Merek dan Hak Cipta pada tahun 1997, yaitu dengan

diterbitkannya UU No. 12 tahu 1997 tentanf Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1982 se-

bagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987 untuk hak cipta, UU No. 13

Tahun 1997 tentang Perubahan aras UU No. 6 tahun 1989 tentang paten, dan UU No.

14 tahur 1997 tentang Oerubahan atas UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek.

Selain merubah undang-undang yang sudah ada, pada tahun 2000 pemerintah

juga mengesahkan tiga UU baru terkait dengan cabang-cabang bagian dari HKI yang

dianut oleh TRIPS yang belum ada peraturannya, yaitu UU No. 30 tahun 2000 tentang

Rahasia Dagang, UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, UU No. 32 tahun 2000

tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan UU No. 29 tahun 2000 tentang Perlin-

dungan Varietas Tanaman (yang kemudian berlaku efektif pada tahun 2004).8

Kemudian pada tahun 2001, pemerintah menimbang bahwa diperlukan revisi

dan penyempurnaan kembali mengenai UU tentang paten, hak cipta dan merek yang

telah dirubah pada tahun 1997, yang kemudian menghasilkan diundangkannya UU No.

14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dan UU No. 19

tahun 2002 tentang Hak Cipta.

1.3 HKI Pasca Amandemen UU Cipta, Merek, dan Indikasi Geografis 2014

8 Ibid,
Sejarah HKI di Indonesia 6

Pada tahun 2014 terjadi perubahan fase perkembangan HKI di Indonesia yang

ditandai dengan perubahan dasar pada hukum-hukum kekayaan intelektual. Perubahan

tersebut diusung oleh Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual pada masa tersebut,

yaitu Prof. Dr. Ahmad M. Ramli.

Perubahan terhadap UU Cipta, Merek dan Indikasi Geografis dianggap perlu

karena seiring dengan perkembangan teknologi, komunikasi, arus informasi dan global-

isasi, batasan-batasan kekayaan intelektual harus diperluas untuk melindungi hak-hak

yang tidak tercakup dalam ruang lingkup HKI sebelumnya, terutama dalam konten-kon-

ten digital yang tidak memiliki bentuk fisik yang konkret.

Maka dari itu, dibentuklah undang-undang baru untuk menyempurnakan keku-

rangan dalam undang-undang sebelumnya, yaitu dengan disahkannya UU No. 28

Tahun 2014 tentang Hak Cipta, UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, dan UU No. 20

Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.

Daftar Pustaka

Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik

Indonesia. “Sejarah Perkembangan Perlindungan Kekayaan Intelektual (KI) - Direktorat

Jenderal Kekayaan Intelektual.” Dgip.Go.Id, 2011, dgip.go.id/sejarah-perkembangan-

perlindungan-kekayaan-intelektual-ki. Accessed 1 Nov. 2019.

Goldstein, Paul, and Joseph Straus. Intellectual Property in Asia : Law, Eco-

nomics, History and Politics. Berlin, Springer, 2010, p. 87.

Raditya Adi Nugraha. 2010. Tarik Menarik antara Aktor Negara dan Non Negara

dalam Penerapan Rezim Internasional tentang Lisensi Software (Studi Kasus MoU Mi-

crosoft – RI). Skripsi. Tidak Diterbitkan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas

Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai