Anda di halaman 1dari 27

BAB II

HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA


DALAM LINTASAN SEJARAH

A. Pendahuluan
Salah satu bidang yang dapat memberikan manfaat dalam pembangunan
ekonomi suatu negara adalah Hak Kekayaan Intelektual, oleh karena itu berbagai
usaha dapat dilakukan guna mengoptimalisasi fungsinya dalam pertumbuhan
ekonomi yaitu dengan memberi perlindungan terhadap HKI. Perlindungan tersebut
diperlukan untuk menjamin bahwa hak eksklusif kekayaan intelektual seseorang
tidak dirugikan oleh pihak lain, sehingga dengan adanya perlindungan dapat
menciptakan suasana persaingan yang sehat dan mendorong pemilik HKI untuk
menginvestasikan dan mengalihkan teknologi atau kekayaan intelektualnya.
Dalam pembentukan undang-undang, digunakan istilah HKI (Hak Kekayaan
Intelektual) sebagai istilah resmi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
sedangkan oleh penulis hukum ada yang menggunakan istilah HaKI (Hak atas
Kekayaan Intelektual) dan juga istilah Hak Milik Intelektual. Hak atas Kekayaan
Intelektual atau disebut HaKI dapat diseskripsikan sebagai hak yang timbul atau lahir
karena kemampuan intelektual manusia. Sehingga penggambaran penjelasan HaKI
adalah karya-karya yang timbul dari hasil pemikiran manusia. Adapun kemampuan
intelektual manusia bisa terdapat pada bidang ilmu pengetahuan, seni sastra atau
teknologi yang selanjutnya akan lahir melalui daya cipta, rasa, dan karsa. Dalam
praktisisnya terdapat berbagai jenis HKI di antaranya yang utama adalah Hak Cipta,
Paten, Merek Indikasi Geografis, Desain Industri, Rahasia Dagang dan Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu. Meskipun bentuknya tidak berwujud, tetapi HKI tetaplah
suatu bentuk atas kekayaan atau kepemilikan yang harus diberikan perlindungan. 1
Pada umumnya negara maju lebih menerapkan sistem perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual dengan baik. Hal ini dikarenakan HKI diyakini mampu
memberikan insentif kepada seseorang dalam menciptakan sesuatu yang baru dan
bermanfaat bagi masyarakat. Dengan demikian maka hal tersebut tidak dapat

1
Yulia, Modul Hak atas Kekayaan Intelektual, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2015), hlm. 2-3.
berkembang secara optimal di negara yang masih kurang memahami dan menghargai
perlindungan terhadap hasil karya intelektual seseorang. Indonesia patut berbangga
hati karena saat ini termasuk negara yang telah memiliki seperangkat ketentuan-
ketentuan hukum yang mengatur tentang hak kekayaan intelektual meliputi UU Hak
Cipta, UU Perlindungan Varietas Tanaman, UU Rahasia Dagang, UU Desain
Industri, UU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU Paten, UU Merek dan UU
Indikasi Geografis. Namun sebelum lahir dan terbentuknya peraturan-peraturan
tersebut, tentunya telah melalui berbagai proses yang panjang dari masa penjajahan
sampai diraihnya kemerdekaan Indonesia. 2
Apabila ditinjau secara historis, peraturan perundang-undangan HKI di
Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an sedari masa Pemerintahan Kolonial Belanda
yaitu tepatnya pada tahun 1844 Pemerintah Kolonial memperkenalkan undang-
undang pertama mengenai perliindungan HKI. Selanjutnya pada tahun 1885 UU
Merek mulai diberlakukan, lalu disusul UU Paten pada tahun 1910 dan UU Cipta
tahun 1912. Adapun pada masa pendudukan Jepang, kebijakan atas pemberlakuan
HKI Produk Kolonial masih tetap di pertahankan sampai Indonesia merdeka. Sampai
akhirnya setelah kemerdekaan pemerintah dapat mengundangkan UU Merek, UU
Hak Cipta, dan UU Paten. Sebagai pelengkap UU HKI, selanjutnya pemerintah
membuat 4 UU HKI lainnya yaitu UU Varietas Tanaman, UU Desain Industri, dan
UU Desain Tata Letak Terpadu.3
Derasnya arus perdagangan bebas dan globalisasi di Indonesia, dibuktikan
dengan tingginya jumlah permohonan hak cipta, paten, dan merek, serta permohonan
desain industri yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Peran serta berbagai instansi dan
lembaga baik dari pemerintahan maupun swasta, serta koordinasi yang baik diantara
semua pihak merupakan hal yang penting guna mencapai hasil pelaksanaan sistem
hak kekayaan intelektual yang efektif. Untuk itu, dengan menilik kembali sejarah

2
Abd Thalib dan Muchlisin, Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, (Depok: Rajawali Press, 2018),
hlm.5

3
Anis Mashdurohatun, Hak Kekayaan Intelektual (HKI), (Semarang: Madina Semarang, 2013),
hlm. 3

2
perkembangan HKI di Indonesia dari masa penjajahan, pra kemerdekaan, sampai
masa kemerdekaan diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang lebih serta
mendorong kesadaran pentingnya kehadiran dan peran dari lahir sampai
berkembangnya peraturan tentang hak kekayaan intelektual.

1. Sejarah Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia


Secara historis peraturan yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) di Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Kemudian pada tahun 1885,
UU Merek mulai di berlakukan oleh pemerintah colonial di Indonesia yang
kemudian disusul dengan berlakunya UU Paten pada tahun 1910. Berselang 2
tahun kemudian, UU Hak Cipta (Auteurswet 1912) juga diberlakukan di
Indonesia. Untuk melengkapi peraturan perundang-undangan tersebut, pemerintah
kolonial Belanda di Indonesia memutuskan untuk menjadi anggota Konvensi
Paris pada tahun 1888 dan disusul dengan menjadi anggota Konvensi Berne pada
tahun 1914.
Undang-undang HKI telah ada, saat pemerintahan Kolonial Belanda
mengeluarkan rintisan pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844,
dengan mengundangkan UU tentang merek tahun 1885. Pembaharuan HKI
ditetepkan sebagai UU oleh Belanda dengan dikeluarkannya OctrooiWet
Staatsblad No. 136 tentang hak paten (tahun 1910), Industrieel Eigendom
Kolonien No.313 tentang hak industri (tahun 1912) dan Auterswet Staatblad No.
600 tentang hak cipta (tahun 1912). Setelah Indonesia merdeka, menteri
kehakiman RI mengeluarkan pengumuman no. JS 5/41 tanggal 12 Agustus 1953
tentang permintaan paten dalam Negeri dan no. JS 1/2/17 tanggal 29 Agustus
1953 tentang pendaftaran sementara paten luar Negeri.
Perkembangan lain yang mewarnai sejarah hak milik intelektual pada
akhir abad ke-19, yaitu pada Konvensi Hak Milik Perindustrian dan Konvensi
Hak Cipta. Satu hal yang mendapat perhatian bersama adalah bahwa kedua
konvensi ini lahir karena satu kebutuhan akan pentingnya perlindungan hak milik
intelektual secara Internasional dan juga merupakan realisasi terhadap perlunya
suatu peraturan yang bersifat global dan menyeluruh di bidang hak milik

3
intelektual. Namun demikian, perlindungan hukum hak cipta pertama kali dalam
sejarah sebenarnya telah dimulai pada tahun 1709 oleh kerajaan Inggris. Di
Inggris, perlindungan hukum terhadap hak cipta menjadi isu menarik semenjak
1476, ketika usaha-usaha di bidang penulisan dan seni tidak berkembang, dan
karenanya memerlukan perlindungan hak cipta. Sementara itu, perlindungan
terhadap kekayaan intelektual di bidang industri malah dimulai sejak abad ke-16,
yaitu dengan adanya pemberian paten atau “oktroi”. Saat itu, paten diberikan
sebagai perlindungan oleh raja kepada orang asing yang membawa pengetahuan
dan kecakapan pembuatan barang dengan cara baru, bukan sebagai pengakuan
atas hak seperti sekarang ini.4
Pada tahun 1958, atas usul Presiden Soekarno melalui perdana menteri
Djuanda, Indonesia menyatakan keluar dari konvensi Bern (kantor pusat WIPO,
Jenewa) dengan maksud agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil
karya bangsa asing dan mengembangkan industri sendiri tanpa harus membayar
royalti. Alasannya, meniru Jepang yang tak terikat konvensi Bern sehingga bisa
menjipak seenaknya. Saat itu Jepang banyak meniru dan melakukan inovasi
terhadap karya bangsa lain, seperti mobil dan karya tulis lainnya.5 Karena tidak
terikat konvensi Internasional, ia tidak mendapatkan sanksi. Sayangnya, setelah
memeutuskan keluar, Indonesia tak meniru usaha Jepang. Bangsa Indonesia tak
memanfaatkan kondisi itu dan nyaris terus membajak. Tahun 1970-an, Indonesia
mendapat tekanan dari berbagai negara agar tetap bergabung dalam konvensi
Bern. Karena tekanan itu, Indonesia membuat UU Hak Cipta tahun 1982 yang
diperbarui pada tahun 1987, 1997 dan 2002. Pada tahun 1961, pemerintah RI
mengesahkan UU No.21 tahun 1961 tentang merek. kemudian pada tahun 1982,
pemerintah juga mengundangkan UU No. 6 tahun 1982 tetang hak cipta.
Dibidang paten, pemerintah mengundangkan UU No. 6 tahun 1989
tentang paten yang mulai efektif berlaku tahun 1991. Di tahun 1992, pemerintah

4
Arif Lutviansori, Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia, (Yogyakarta : Graha Ilmu,
2010), hlm. 28

5
Baskoro Suryo Banindro, Implementasi Hak Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Merek, Paten,
Desain Industri) Seni Rupa, Kriya dan Desin, (Yogyakarta: Quantum, 2015), hlm. 7

4
mengganti UU No. 21 tahun 1961 tentang merek dengan UU No. 19 tahun 1992
tentang merek. Setiap muncul UU terbaru, beberapa regulasi ditambahkan sebagai
salah satu bentuk adaptasi terhadap perkembangan dan antisipasi situasi terbaru di
lapangan. Namun demikian upaya positif ini kurang disadari oleh para pelaku
industri, baik demi perlindungan intelektual maupun perlindungan hukum merek.6
HKI telah dikenal di wilayah Asia tahun 1970-an dan disosialisasikan
melalui bacaan atau literatur populer. HKI di Indonesia baru diundangkan tahun
1980-an dalam bentuk lembaran negara dan taahun 2000-an ditetapkan sebagai
UU HKI. Sistem HKI merupakan hak privat (private rights). Disinilah ciri khas
HKI. Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya
intelektualnya atau tidak. Hak ekslusif yang diberikan negara kepada individu
pelaku HKI (Investor, Pencipta, Pendesain dan sebaginya) tidak lain dimaksudkan
sebagi penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang lain
terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi, sehingga dengan
sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar.
Disamping itu sistem HKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi baik atas
segala bentuk kreativias manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi
atau hasil karya lainnya yang sama dapat dihindarkan atau dicegah.
Dengan dukungan dokumentasi dan pengarsipan yang baik tersebut,
diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan maksimal untuk
keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk memberikan nilai
tambah yang lebih tinggi lagi. Memasuki milenium baru, hak kekayaan intelektual
menjadi isu yang sangat penting yang selalu mendapat perhatian baik dalam
forum Nasional maupun Internasional.
Dimasukkannya TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights) dalam paket persetujuan WTO (World Trade Organization) di tahun 1994
menandakan dimulainya era baru perkembangan HKI di seluruh dunia. Dengan
demikian pada saat ini permasalahan HKI tidak dapat dilepaskan dari dunia
perdagangan dan investasi. Pentingnya HKI dalam pembangunan ekonomi dan

6
Ibid., hlm. 8

5
perdagangan telah memacu dimulainya era baru pembangunan ekonomi yang
berdasarkan ilmu pengetahuan.7TRIPs memegang peranan besar dalam
perkembangan pengaturan dan praktik perlindungan HKI secara global. 8 TRIPs
telah memberikan panduan mengenai prinsip-prinsip ddalam aktivitas
perdagangan yang berkaitan dengan HKI. Selain itu, TRIPs juga menjadi alat
pengikat bagi para anggota untuk memberikan perindungan terhadap HKI serta
bagaimana penegakan dan penyelesaian permasalahan HKI. Isi dari kesepakatan-
kesepakatan tersebutlah yang juga menjadi salah satu pedoman perlindungan HKI
yang diberlakukan di Indonesia saat ini.
Secara sederhana, Kekayaan intelektual adalah kekayaan yang lahir
maupun timbul dari kemampuan intelektual manusia. Karya yang lahir maupun
timbul dari kemampuan intelektual manusia dapat berupa karya di berbagai
bidang seperti teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Karya tersebut
dihasilkan dari kemampuan intelektual manusia dengan mencurahkan waktu,
tenaga, pikiran, daya cipta, rasa dan karsanya.9
Karya yang dihasilkan dari proses pemikiran atau kecerdasan manusia
memiliki nilai dan manfaat ekonomi bagi kehidupan manusia, sehingga dapat
dikatakan sebagai asset atau kekayaan komersial. Hukum Kekayaan Intelektual
(HKI) merupakan hasil karya yang dihasilkan atas kemampuan pemikiran
intelektual manusia sudah sewajarnya untuk diamankan dengan
menumbuhkembangkan system dari perlindungan hukum atas kekayaan. Adanya
HKI adalah cara untuk melindungi kekayaan intelektual dengan menggunakan
instrument hukum yang ada, diantaranya yaitu Hak Cipta, Paten, Merek dan
Indikasi Geografis, Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu, dan Perlindungan Varietas Tanaman.10

7
Ibid., hlm. 10
8
Sujana Donandi, Hukum Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia. ( Yogyakarta : Deepublish,
2019) hlm 11.

9
Cita Citrawinda, “Mengenal Lebih Jauh Hak Kekayaan Intelektual”, (Surabaya : Jakad Media
Publishing, 2020), hlm. 3.

10
Ibid, hlm. 4

6
2. Hak Kekayaan Intelektual Masa Penjajahan
a. Masa Penjajahan Belanda
Venesia adalah Negara yang pertama kali menghadirkan Hak Atas
kekayaan Intelektual (1470). Hak Atas Kekayaan Intelektual pertama kali
muncul di Venesia (Italia) pada tahun 1470. Seiring dengan pentingnya Hak
Atas Kekayaan Intelektual perlu sangat dilakukan harmonisasi di seluruh
Negara. Hak kekayaan intelektual di Indonesia sudah dinela sejak tahun 1844,
ketika itu Indonesia masih di bawah penguasaan Pemerintah Kolonial Belanda,
yang artinya hukum yang mengaturnya pun berasal dari hukum yang berlaku di
belanda.11
Sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan catatan sejarah di
Indonesia sudah muncul sejak tahun 1840an. Ketika itu Indonesia masih di
bawah penguasaan Pemerintah Kolonial Belanda, yang artinya hukum yang
mengaturnya pun berasal dari hukum yang berlaku di Belanda. Pemerintah
kolonial Belanda berusaha mengenalkan undang-undang kepada masyarakat
Indonesia tentang perlindungan hak atas kekayaan intelektual pada tahun
1844.12 Dengan kata lain sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia
telah mempunyai undang-undang tentang Hak Kekayaan Intelektual. Undang-
undang tersebut sebenarnya merupakan pemberlakuan peraturan perundang-
undangan pemerintah Hindia Belanda yang berlaku di Negeri Belanda,
diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip
konkordansi. Pada masa itu bidang hak kekayaan intelektual yang mendapat
11
Mieke Yustia Ayu Ratna Sari, Pembangunan Kekayaan Intelektual (KI) Berbasis Teknologi
Informasi di Era Global, Prosding Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu & Call For Papers Unisbank
(Sendi_U) Ke-2 Tahun 2016, hlm. 493, diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/172839-
ID-pembangunan-kekayaan-intelektual-ki-berb.pdf pada 14 Desember 2021 pukul 14:19

12
Siwi Widi Asmoro, Produk Kreatif dan Kewirausahaan SMA/SMK Kelas IX, Program Keahlian
Teknik Komputer dan Informatika: Kompetensi Keahlian Multimedia, (Yogyakarta: Andi, 2021), hlm. 78-
79

7
pengakuan yaitu Hak Cipta, Merek Dagang, dan Industri serta Paten. Pada
tahun 1885 Undang-Undang merek versi Hindia Belanda mulai diberlakukan
oleh pemerintah kolonial di Indonesia dan disusul dengan pemberlakuan Octroi
Wet yang dimuat dalam Statblad No. 313 Tahun 1910 yang mengatur tentang
hak paten. Dua tahun kemudian yaitu tahun 1912 pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan pengaturan tentang Hak cipta yang dimuat dalam Statblad No.
600 Tahun 1912 tentang Auteurs Wet 1912 yang juga diberlakukan di
Indonesia.13 Indonesia yang meskipun saat itu masih di bawah pemerintahan
kolonial Belanda telah mengenal partisipasi pengakuan hak atas kekayaan
intelektual secara internasional. Indonesia pada waktu itu masih bernama
Netherlands East-Indies telah menjadi anggota Paris Convention for the
Protection of Industrial Property sejak tahun 1888 dan anggota Berne
Convention for the Protection of Literary and Aristic Works sejak tahun 1914.14
Pada tahun 1885 Undang-Undang merek versi Hindia Belanda mulai
diberlakukan oleh pemerintah kolonial di Indonesia, pertama kali pendaftaran
khusus merek atau gedeponeerd ditangani oleh Department Van Justitie
meliputi bidang milik perindustrian pada kantor Hulpbureua Voor den
Industrieelen Eigendom pada tanggal 10 Januari 1894 di Batavia.15
Undang-Undang Hak Cipta pertama di Belanda diundangkan pada
tahun 1803, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Hak Cipta
tahun 1817 dan diperbarui lagi sesuai dengan Konvensi Bern 1886 menjadi
Auterswet 1912, Indonesia sebagai negara jajahan Belanda terikat dalam
Konvensi Bern tersebut, sebagaimana diumumkan dalam S.1914-797.
Perlindungan Hak Cipta dahulu dikenal dengan istilah hak pengarang.
Mengenai Staatsbald 1912 Nomor 600 atau Auteurswet 1912 tersebut, pada
13
Yoyo Arifardhani, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana,
2020), hlm. 3

14
Arief Sulistiyono dan Irfan Fauzi, Tinjauan Yuridis Pasal 12 Undang-Undang RI No. 28 Tahun
2014 Tentang Hak Cipta Terhadap Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Karya Desain Komunikasi
Visual, Warnarupa: Journal of Visual Communication Design, Vol. 1 No. 1, 2020, hlm. 16

15
Baskoro Suryo Banindro, Implementasi Hak Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Merek, Paten,
Desain Industri): Seni Rupa, Kriya, Desain Grafis, Desain Produk, (Dwi-Quantum), hlm. 58

8
mulanya di undang kan di Belanda pada tahun 1912 dan juga diberlakukan di
daerah jajahannya yaitu Hindia Belanda atau Netherlands Indie dengan
beberapa pengecualian, selain itu Auteurswet 1912 ini juga memperbaharui
Undang-Undang Hak Cipta sebelumnya yang diundangkan pada tahun 1881,
hal ini dikarenakan Belanda hendak manjadi anggota konvensi hak cipta Berne
(Berne Copyrights Convention). Oleh karena Indonesia pada waktu itu menjadi
jajahan balanda dengan nama Hindia Belanda, maka jadilah Staatsblad 1912
Nomor 600 tersebut berlaku di Indonesia.16
Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912 merupakan Undang-
Undang merek tertua di Indonesia, yang ditetapkan oleh pemerintah Kerajaan
Belanda berlaku sejak tanggal 1 Maret 1913 terhadap wilayah-wilayah
jajahannya Indonesia, Suriname, dan Curacao. Undang-Undang Paten 1910
tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1912. Reformasi hukum dalam
bidang HAKI di Indonesia disebabkan dengan adanya kewajiban Internasional
negara Indonesia berkaitan dengan Konvensi Pembentukan WTO (World
Trade Organization). Konvensi tersebut mewajibkan seluruh anggotanya untuk
menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut yaitu Perjanjian TRIPS
(Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).
Konvensi tersebut telah memberikan batas waktu bagi negara-negara
anggotanya untuk melakukan penyesuaian hukum nasionalnya di bidang HAKI
dengan ketentuan-ketentuan dalam Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights yaitu 1 (satu) tahun bagi negara maju dan 4
(empat) tahun bagi negara berkembang.17

16
Prawitri Thalib, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Cipta Dan Pemilik Lisensi
Rekaman Berdasarkan Undang-Undang Tentang Hak Cipta, Yuridika: Vol. 28 No. 3, 2013, hlm. 354-
356

17
Imam Wicaksono, Politik Hukum Pelindungan Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia Pasca Di
Ratifikasinya Trips Agreement, Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum, Vol. 18, No.1,
2019, hlm. 38

9
b. Masa Penjajahan Jepang
Indonesia adalah salah satu wilayah yang menjadi target perluasan
negara Jepang. Akibatnya bangsa Indonesia diduduki oleh penguasa militer
Jepang. Selama 3,5 tahun Indonesia berada di bawah penjajahan Jepang.
Akibat penjajahan Jepang tersebut bangsa Indonesia mengalami tekanan politik
dan penderitaan ekonomi dan sosial. Perginya penjajah Belanda diganti oleh
Jepang justru membawa penderitaan yang lebih hebat bagi bangsa Indonesia.
Tetapi karena Perang Dunia II, bangsa Indonesia mendapat keuntungan dengan
kondisi kekalahan Jepang.
Secara politik terjadi pergantian pemerintahan di Indonesia. Belanda
yang kalah perang melawan Jepang akhirnya digantikan kedudukannya sebagai
penjajah di Indonesia. Setelah penyerahan 8 Maret 1942, secara resmi bangsa
Indonesia di bawah kekuasaan Jepang. Dalam menjalankan pemerintakan di
daerah pendudukan termasuk Indonesia, Jepang menggunakan sistem
pemerintahan berdikari. Berdikari dapat diartikan sebagai berdiri sendiri,
artinya pemerintah pusat tidak banyak peranannya dalam upaya pemenuhan
kebutuhan pasukan di daerah pendudukan. Dengan demikian, pemerintahan
militer Jepang di Indonesia mempunyai keleluasaan untuk menerapkan sistem
penjajahan termasuk mengenai peraturan hak kekayaan intelektual yang
berlaku di Indonesia.18
Pada masa pendudukan Jepang, peraturan di bidang Hak Kekayaan
Intelektual peninggalan kolonial Belanda tetap diberlakukan. Kebijakan
pemberlakuan peraturan Hak Atas Kekayaan Intelektual produk kolonial ini
tetap dipertahankan sampai saat Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun
1945. Akan tetapi khusus mengenai pengaturan tentang Paten yang dimuat
dalam Octrooi Wet Staatblad No. 313 Tahun 1910 dikecualikan
pemberlakuannya karena ada salah satu pasal yang bertentangan dengan
prinsip kedaulatan negara Republik Indonesia.19 Disamping itu, Indonesia

18
Dr. Aman M.Pd., “Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan”, Ombak, Yogyakarta, 2015, hlm. 2

19
Sujana Donandi S, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Yogyakarta:
Deepublish, 2019), hlm. 15-16

10
masih memerlukan teknologi untuk membangaun perekonomian yang masih
dalam taraf perkembangan.20

3. Hak Kekayaan Intelektual Masa Pra Kemerdekaan


Pada dasarnya, hukum adat yang ada di Indonesia tidak mengenal
terminologi hak kekayaan intelektual. Istilah intellectual property rights atau
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi hak kekayaan intelektual
berakar dan berkembang dalam tradisi hukum Eropa Kontinental dan commom
law yang diperkenalkan di Indonesia oleh Belanda pada masa kolonialisme
sebagai konsekuensi logis dari prinsip konkordinasi hukum.21
Jejak sejarah hukum kekayaan intelektual yang pertama sekali dikenal di
Indonesia adalah hak paten yang diatur dalam Staatsblad Nomor 33 Tahun 1910.
Selanjutnya, hak cipta diatur dalam Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912.
Sedangkan untuk merek diatur bersamaan waktunya dengan hak cipta dengan
Reglement Industrieele Eigendom Kolonien dalam Staatsblad Nomor 545 Tahun
1912.22
Semula hukum perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia hanya
berlaku dan khusus diperuntukkan bagi golongan Eropa atau golongan penduduk
yang dipersamakan dengan golongan Eropa. Meskipun Otroi Wet, Auteurswet
ataupun Reglement Industrieele tidak berlaku bagi golongan bumiputra, dalam
sejarah penerapan hukumnya, peraturan tersebut hidup berdampingan dengan
berbagai ragam hukum adat yang berlaku bagi golongan penduduk pribumi yang
disebut sebagi bumiputra.23
Era 1900- pra kemerdekaan (sebelum kemerdekaan) peraturan peraturan
lainnya yang terkait dengan HKI di Indonesia level Internasional mencakup hasil

20
Ditjen HKI dan ECAP II, 2006, hlm 9

21
Elyta Ras Ginting, “Hukum Hak Cipta Indonesia Analisis Teori dan Praktik”, (Bandung:PT
Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 12

22
Ibid.

23
Ibid.

11
perundingan Uruguay yang kemudian dikenal sebagai putaran Uruguay (Uruguay
Round). Putaran Uruguay yang berlangsung pada tahun 1986 - 1994 membahas
tentang tarif dan perdagangan dunia atau General Agreement On Traffis and
Trade (GATT). Hasil dari putaran ini adalah dengan membentuk organisasi
perdagangan dunia atau World Trade Organisation (WTO). Di samping
Pembentukan WTO, kesepakatan lain yang dihasilkan dalam putaran tersebut
adalah persetujuan tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan perdagangan
dan hak kekayaan intelektual atau Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Right (TRIPs). Pada tahun yang sama, yaitu tahun 1994
Indonesia telah meratifikasi persetujuan WTO tersebut melalui UU No. 7 tahun
1994. Di Indonesia, secara historis telah memiliki peraturan perundang-undangan
di bidang HKI sejak zaman pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial
Belanda mulai memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan
HKI pada tahun 1844. Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek (1885),
UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta (1912).24
Setelah mengalami beberapa kali perubahan sebagai konsekuensi
keikutsertaan Indonesia dengan berbagai konvensi internasional, diantaranya:
a. Sejarah Hak Cipta pada Pra Kemerdekaan Indonesia
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk
nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Hak cipta pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun
1912 yaitu pada masa Hindia Belanda. Di mana pada waktu itu, hukum yang
berlaku di negara Belanda juga diberlakukan di Indonesia berdasarkan Asas
konkordansi. (St.1912 No.600; undang undang 23 September 1912). Dengan
kondisi ini, hukum positif tentang hak cipta secara formal berlaku di Indonesia
pada zaman penjajahan kerajaan Belanda yaitu A.W. 1912 yang memiliki
berlaku sejak 23 September 1912.25
b. Sejarah Paten Pada Pra Kemerdekaan Indonesia
24
Novyta Uktilseja, Yosia Hetharie, Buku Ajar Hak Milik Intelektual, (Klaten: Lakeisha, 2021),
hlm. 17

12
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor
atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu
melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada
pihak lain untuk melaksanakannya. Akar sejarah paten sebenarnya sudah cukup
tua. Pada awalnya memang sekedar perlindungan yang bersifat monopolistik di
Eropa dan memperoleh wujud yag jelas pada abad ke-14. Perlindungan
tersebut pada awalnya diberikan sebagai hak istimewa kepada mereka yang
mendirikan usaha indistri baru dengan teknologi impor. Dengan perindungan
tersebut, pengusaha industri yang bersangkutan diberi hak untuk dalam jangka
waktu tertentu mengguakan teknologi yang diimpor. Hak tersebut diberikan
dalam bentuk surat paten.26
Hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil
penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain
untuk melaksanakannya (Pasal 1 Undang-undang Paten). Paten diberikan
dalam ruang lingkup bidang teknologi, yaitu ilmu pengetahuan yang diterapkan
dalam proses industri. Di samping paten, dikenal pula paten sederhana (utility
models) yang hampir sama dengan paten, tetapi memiliki syaratsyarat
perlindungan yang lebih sederhana. Paten dan paten sederhana di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Paten (UUP).27

c. Sejarah Hak atas Merek pada Pra Kemerdekaan Indonesia


Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada
pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri Meiek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain
25
Cita Citrawinda, Mengenal Lebih Jauh Hak Kekayaan Intelektual, (Surabaya: Jakad Media
Publishing), hlm. 18
26
Ibid, hlm. 57

27
Sadino, Julia Astuti, Penerapan Hak Paten Di Indonesia, Jurnal UI, Vol. III No. 2, Juli Tahun
2018, hlm. 42

13
untuk menggunakannya. Awal mula perundang-undangan Merek sangat
dipengaruhi zaman kolonialisme Belanda. Hukum terkait Merek yang pertama
berlaku di Indonesia adalah Reglement Industriele Eigendom (RIE) yang
dimuat dalam Stb. 1912 No 545 Jo. Stb.1913 No.214. Peraturan ini lama
digunakan dan bahkan terus diakui setelah kemerdekaan, sesuai Pasal II dari
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
menetapkan berlakunya Badan-Badan Negara dan Peraturan-Peraturan yang
ada sebelumnya diadakan peraturan baru.28
Peninggalan hukum Belanda tersebut akhirnya ditinggalkan setelah 16
tahun Indonesia merdeka, ketika Indonesia akhirnya punya undang-undang
sendiri terkait Merek, tepatnya UU No. 21 Tahun 1961 tentang Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan. UU ini diundangkan pada tanggal 11
Oktober 1961 dan dimuat dalam lembaran negara RI No. 290, dengan
penjelasan yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI No.2341. UU
Merek 61 mulai berlaku pada bulan tahun itu.

d. Sejarah Rahasia Dagang Pada Pra Kemerdekaan Indonesia


Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di
bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna
dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia
Dagang. Hak Rahasia Dagang adalah hak atas rahasia dagang yang timbul
berdasarkan undang undang. Ada 2 aspek yang mendasari latar belakang
lahirnya Undang- Undang Rahasia Dagang . Aspek pertama adalah telah
diratifikasinya Agreement Estabilishing the World Trade Organization
Persetujuan Pmbentukan Organisasi Perdagangan Dunia dimana didalamnya
tercakup Agreement Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights,
dengan Undang-Undang No.7 Tahun1994. Didalam TRIPs inilah ditulis
tentang perlunya dibuat dan diatur ketentuan mengenai Rahasia Dagang. Aspek
kedua adalah yang mendasari Undang-Undang No.30 tahun 2000 adalah
28
Cita Citrawinda, Mengenal Lebih Jauh Hak Kekayaan Intelektual, (Surabaya: Jakad Media
Publishing), hlm. 66

14
mengingat Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan persaingan tidak sehat lembaran negara Republik Indonesia
tahun 1999 No.33 Tambahan lembaran negara Republik Indonesia No.3817.29

e. Sejarah Hak Desain Industri Pada Pra Kemerdekaan Indonesia


Hak Desain Industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara
Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu
tertentu melaksanakan sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak
lain untuk melaksanakan hak tersebut. Dengan dikeluarkannya ketentuan
Undang-Undang 1839 yang mengatur desain industri yang lebih luas, baik
yang berbentu dua dimensi maupun tiga dimensi yang hasilnya dipakai dalam
proses produksi. Selain itu, juga diatur mengenai perlunya pendaftaran, tetapi
jangka waktu perlindungannya masih tetap singkat Barulah melalui Undang-
Undang yang keluar pada tahun 1842 pengaturan tentang desain industri lebih
konprehensif lagi.
Jangka waktu perlindungan atas desain industri selanjutnya
diperpanjang secara bertahap. Dengan diundangkannya Registered Design Act
1949 (RDA 1949), Perlindungan atas desain diberikan selama lima tahun dan
dapat diperpanjang dua kali sehingga total lama perlindungan berdasarkan
Undang-Undang ini adalah selama 15 tahun. Bersamaan dengan perkembangan
hak cipta artistik, timbullah masalah mengenai peniruan, selanjutnya
diundangkan Copyright Act 1911 yang kemudian diikuti oleh Copyright Act
1956 yang mencoba menghilangkan tumpang tindih antara desain industri yang
dapat didaftarkan dan hak cipta artistik. Undang-Undang ini kemudian
dimodifikasi oleh Design Copyright Act 1968 yang memungkinkan
perlindungan ganda terhadap sebuah design baik sebagai desain terdaftar
maupun sebagai hak cipta artistik, tetapi dengan mengurangi jangka waktu hak
cipta. Kemudian untuk mengurangi tumpang tindih antara perlindungan atas

29
Ibid., hlm. 56-57.

15
hak cipta dan hak desain ada di dalam peraturan Copyright, Design, and Patent
Act 1988 ( CDPA 1988).30
Kemudian pengaturan internasional di bidang desain industri diatur
dalam beberapa perjanjian internasional multilateral, baik berupa konvensi atau
persetujuan yang dapat diikuti oleh semua negara melalui mekanisme
pengesahan ataupun persyaratan. Konvensi dan persetujuan tersebut
merupakan dasar hukum pengaturan perlindungan desain industri di tingkat
internasional yang dijadikan pedoman oleh semua negara yang akan
menerapkan perlindungan terhadap desain industri.
Pengaturan internasional di bidang desain industri terdiri dari Konvensi
Paris untuk perlindungan hak kepemilikan industri , Konvensi Barne untuk
perlindungan karya-karya sastra dan seni, persetujuan Hague mengenai deposit
internasional atas desain industri, persetujuan Lacarno yang mengatur tentang
penetapan penggolongan internasional untuk desain industri serta persetujuan
TRIPs-gatt 1994.
Ikut sertanya Indonesia sebagai anggota World Trade Organization
(WTO) dan turut serta menandatangani perjanjian multilateral GATT putaran
Uruguay 1994, serta meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia),
mengakibatkan Indonesia harus membentuk dan menyempurnakan hukum
Nasional serta terikat dengan ketentuanketentuan tentang Hak Atas
Kepemilikan Intelektual yang di atur dalam General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT). Salah satu lampiran dari persetujuan GATT adalah Trade
Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia sebagai persetujuan tentang aspek-aspek dagang hak
atas kepemilikan intelektual. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menjadi dasar
pertumbuhan industri secara modern yang bersumber pada penemuan baru,
teknologi canggih, kualitas tinggi, dan standar mutu. Industri modern cepat

30
Ranti Fauza Mayana, Hukum Merek, (Bandung: Refika Aditama, 2001), hlm. 114

16
berkembang, mampu menembus segala jenis pasar,produk yang dihasilkan
bervariatif, dan dapat menghasilkan keuntungan yang besar.31

f. Sejarah Hak Perlindungan Varietas Tanaman di Indonesia


Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan
negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak Perlindungan Varietas
Tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau
memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk
menggunakannya selama waktu tertentu. Pemerintah Indonesia telah berupaya
untuk meningkatkan sektor pertanian ini, untuk mendapatkan benih yang baik
agar hasil panen lebih banyak tentunya dengan biaya yang lebih murah. Salah
satu cara yang dilakukan untuk mendapatkan benih yang demikian adalah
dengan penelitian dan penemuan yang dilakukan oleh para “pemulia” untuk
membuat varietas-varietas tanaman baru yang lebih unggul dari sebelumnya.
Sehingga, untuk lebih meningkatkan minat dan peran serta perorangan
maupun badan hukum untuk melakukan kegiatan pemuliaan tanaman dalam
rangka menghasilkan varietas unggul baru, kepada pemulia tanaman atau
pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman perlu diberikan hak tertentu
serta perlindungan hukum atas hak tersebut memadai. Perlindungan terhadap
varietas tanaman di dunia pertama kali dikenal pada tahun 1961, dimana pada
tahun tersebut beberapa negara di dunia telah menyepakati suatu konvensi
internasional tentang Perlindungan Varietas Tanaman yang dikenal dengan
Union International pour la protection des obtentions végétales (UPOV).
Sedangkan pengaturan mengenai perlindungan varietas tanaman di
Indonesia dimulai pada tahun 1989. Pada saat itu, Indonesia mulai mengatur
tentang Varietas Tanaman yaitu dalam Undang-Undang Paten Tahun 1989
yang dalam Pasal 7 huruf c disebutkan bahwa “perlindungan paten tidak dapat
diberikan terhadap makanan, minuman, dan varietas tanaman, khususnya bagi
komoditi tanaman padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar.” Dalam Undang-
Undang ini, varietas tanaman tidak diberikan perlindungan paten, juga tidak

31
Ibid., hlm. 114

17
ada undang-undang khusus yang mengatur perlindungan terhadap varietas
tanaman, sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa berlakunya Undang-
Undang Paten Tahun 1989 belum ada perlindungan paten bagi varietas
tanaman.
Kemudian, seiring dengan keikutsertaan Indonesia dalam ratifikasi
ketentuan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).
Dimana dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b TRIPs diatur bahwa: “However,
members shall provide for the protection of plant varieties either by patents or
by an effective sui generis system or by any combination thereof.” Sehingga
berdasarkan ketentuan TRIPs tersebut, seluruh negara-negara yang menjadi
anggotanya diwajibkan untuk memberikan perlindungan terhadap varietas
tanaman, baik melalui perlindungan paten, sistem sui generis yang efektif
(misalnya melalui pemberian hak pemulia), ataupun dengan kombinasi antara
sistem perlindungan paten dan sistem sui generis.32
Sehingga pada tahun 1997, Undang-Undang Paten 1989 mengalami
amandemen yaitu berupa pencabutan atau penghapusan terhadap Pasal 7 huruf
c. Sehingga pada Undang-Undang Paten 1997, makanan, minuman, dan
varietas tanaman dapat memperoleh perlindungan berupa hak paten. Meskipun
Undang-Undang Paten Tahun 1997 telah mengizinkan pemberian perlindungan
paten terhadap tanaman, namun Undang- Undang Paten 1997 tidak dapat
memberikan perlindungan menyeluruh terhadap aspek-aspek yang terdapat
pada varietas baru.33

g. Sejarah Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu di Indonesia


Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah hak eksklusif yang
diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada Pendesain atas hasil

32
Novyta Uktilseja, Yosia Hetharie, Buku Ajar Hak Milik Intelektual, (Klaten: Lakeisha, 2021),
hlm 50

33
Ibid., hlm 50

18
kreasinya, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri, atau
memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak
tersebut.34 Objek Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia yang sudah
dilindungi oleh hukum. Satu diantaranya adalah Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu (DTLST). Di dalam sistem hukum HKI, DTLST relatif masih baru.
Bahkan, saat ini pun masih banyak masyarakat Indonesia yang belum
mengetahui secara pasti apa yang dimaksud dengan DTLST. Undang-Undang
No. 32 tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Undang-
undang ini dilahirkan sebagai konsekuensi dari ditandatanganinya persetujuan
akhir (Final Act) Putaran Uruguay, yang salah satu hasil perundingannya
adalah dibentuknya lembaga perdagangan dunia yang dikenal dengan World
Trade Organization (WTO). Persetujuan pembentukan lembaga WTO itu
kemudian diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement Establising the World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Setiap anggota
WTO wajib meratifikasi seluruh keputusan lembaga ini termasuk Trade
Related Aspect of Intellectual Property Rights(TRIPs) Agreement, atau
persetujuan tentang aspek-aspek perdagangan Hak Kekayaan Intelektual yang
mengacu pada landasan perlindungan DTLST yaitu Treaty on Intellectual
Property in Respect of Integrated Circuits (Washington Treaty). Namun,
tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu setiap negara angota diberi
kebebasan untuk mengatur sendiri dan menyesuaikan dengan
keadaan lingkungan serta kemajuan teknologi dalam negeri yang
bersangkutan.

4. Hak Kekayaan Intelektual Masa Kemerdekaan


Sebelum kemerdekaan Pelindungan hukum hak cipta di Indonesia diawali
dengan diberlakukannya Auteurswet 1912 yaitu undang-undang hak cipta di
negeri Belanda yang juga berlaku pada daerah jajahannya di Timur Jauh.
34
Siti Jaenab, Kosim dan Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Objek Wakaf: Kajian
Komparatif Mazhab Syafi’i dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, Al-Mustashfa: Jurnal Penelitian
Hukum Ekonomi Islam, Vol. 4, No. 1, 2019, hlm.115-117

19
Ketentuan Auteurswet 1912 merupakan perubahan dari undang-undang
sebelumnya sebagai penyesuaian dari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada
Konvensi Bern. Setelah masa kemerdekaan berdasarkan asas konkordansi dan
berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD 1945 maka Auteursweet 1912 masih
tetap berlaku di Indonesia, begitu pula dengan keanggotaan sebagai anggota
konvensi Bern masih tetap berlaku. Tahun 1952 diselenggarakan Kongres
Kebudayaan di Bandung. Pada kongres tersebut istilah autersrecht diganti menjadi
Hak Cipta. Apabila dikaitkan dengan pengertian kata Copyright maka penggunaan
kata Hak Cipta sesungguhnya terdapat nuansa yang berbeda.35
Hak cipta menurut Konvensi Bern adalah hak yang melindungi pencipta
secara efektif atas hasil karyanya yang berupa karya sastra dan seni. Keikutsertaan
suatu Negara sebagai anggota Konvensi Bern memuat tiga prinsip dasar yang
menimbulkan kewajiban Negara peserta untuk menerapkan dalam perudang-
undangan nasionalnya di bidang hak cipta,yaitu:36
a. Prinsip National Treatment, yaitu ciptaan yang berasal dari salah satu Negara
peserta perjanjian (yaitu ciptaan seorang warga negara dari negara peserta
perjanjian, atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan di salah satu
Negara peserta perjanjian) harus mendapatkan perlindungan hukum hak cipta
yang sama seperti diperoleh ciptaan seorang pencipta warga Negara sendiri.
b. Prinsip automatic Protection, yaitu pemberian perlindungan hukum harus
diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun (no conditional
upon compliance with any formality).
c. Prinsip Independence of Protection, yaitu bentuk perlindungan hukum hak
cipta diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum
negara asal pencipta.
Konvensi Bern menetapkan beberapa pasal terhadap Negara-negara
berkembang, yang memberikan kemudahan-kemudahan tertentu. Kemudahan
tersebut adalah : hak melakukan penerjemahan (right of translation) dan hak
35
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual , Modul
Kekayaan Intelektual Tingkat Dasar Bidang Hak Cipta. (Jakarta; Kemenkumham) 2020

36
Anis Mashdurohatun, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Perspektif Sejarah Di Indonesia,
(Semarang: Madina Semarang, 2013), hlm.9-10

20
melakukan reproduksi (right of reproduction).
Keluarnya pengumuman menteri kehakiman RI No. JS 5/41 tanggal 12
Agustus 1953 dan No. JG 1/2/17 tanggal 29 Agustus 1953 tentang Pendaftaran
Sementara Paten menjadi tonggak munculnya produk hukum pertama hasil
legislasi pemerintah Indonesia terkait dengan pengelolaan hak intelektual. Setelah
16 tahun Indonesia merdeka, tepatnya tanggal 11 Oktober 1961 barulah Indonesia
mempunyai peraturan perundang-undangan hak kekayaan intelektual dalam
hukum positif pertama kalinya dengan keluarnya Undang-undang No. 21 Tahun
1961 tentang Merek. Dengan lahirnya undang-undang ini untuk menggantikan
UU merek masa colonial Belanda. Berdasarkan pasal 24, UU No. 21 Th. 1961,
yang berbunyi "Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Merek 1961
dan mulai berlaku satu bulan setelah undang-undang ini diundangkan". Undang-
undang tersebut mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek
1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang
tiruan/bajakan. Saat ini, setiap tanggal 11 November yang merupakan tanggal
berlakunya UU No. 21 tahun 1961 juga telah ditetapkan sebagai Hari KI
Nasional.37
Pada tanggal 10 Mei1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris [Paris
Convention for the Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967)]
berdasarkan Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam
Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian
(reservasi) terhadap sejumlah ketentuan,yaitu Pasal 1 s.d. 12, dan Pasal 28 ayat
(1). Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982
tentang Hak Cipta ( UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta
peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk
mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di
bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan
kehidupan bangsa.
Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem HKI di tanah
air. Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di

37
Op.cit,

21
bidang HKI melalui Keputusan No. 34/1986 (Tim ini lebih dikenal dengan
sebutan Tim Keppres 34). Tugas utama Tim Keppres 34 adalah mencangkup
penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI, perancangan peraturan perundang-
undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI di kalangan instansi
pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas. Tim Keppres 34
selanjutnya membuat sejumlah terobosan, antara lain dengan mengambil inisiatif
baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten di tanah
air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali RUU Paten yang telah diselesaikan
pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 Pemerintah mengesahkan UU Paten.38
Pada tanggal 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 7
tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta.
Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan
atas UU No. 12 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran
hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan
kreativitas masyarakat. Menyusuli pengesahan UU No. 7 tahun 1987 Pemerintah
Indonesia menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta
sebagai pelaksanaan dari UU tersebut. Pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan
Presiden No. 32 di tetapkan pembentukan Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan
Merek (DJ HCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan
Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat
Jendral Hukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman.
Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui
RUU tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun 1989
(UU Paten 1989) oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten
1989 mulai berlaku tanggal 1 Agustus 1991. Pengesahan UU Paten 1989
mengakhiri perdebatan panjang tentang seberapa pentingnya sistem paten dan
manfaatnya bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan
UU Paten 1989, perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberikan
perlindungan hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan

38
Krisnani Setyowati,dkk, Hak Kekayaan Intelektual Dan Tantangan Implementasinya Di
Perguruan Tinggi, (Bogor, Kantor HKI-IPB,2005), hlm. 10-12

22
penemuan teknologi. Hal ini disebabkan karena dalam pembangunan nasional
secara umum dan khususnya di sektor indusri, teknologi memiliki peranan sangat
penting. Pengesahan UU Paten 1989 juga dimaksudkan untuk menarik investasi
asing dan mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri.
Pada tanggal 28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19
tahun 1992 tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal 1 April
1993. UU Merek 1992 menggantikan UU Merek 1961. Pada tanggal 15 April
1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act Embodying the Result of the
Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Agreement
on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights(Persetujuan TRIPS).
Tiga tahun kemudian, pada tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat
peraturan perundang-undangan di bidang KI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU
No. 6 tahun 1982, UU Paten 1989, dan UU Merek 1992. Di penghujung tahun
2000, disahkan tiga UU baru di bidang KI, yaitu UU No. 30 tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri dan UU No 32
Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Dalam upaya untuk menyelaraskan semua peraturan perundang-undangan
di bidang KI dengan Persetujuan TRIPS, pada tahun 2001 Pemerintah Indonesia
mengesahkan UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten, dan UU No. 15 tahun 2001
tentang Merek. Kedua UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait.
Pada pertengahan tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang
lama dan berlaku efektif satu tahun sejak diundangkannya.
Undang-undang HKI pertama yang dibuat Indoensia adalah undang-
undang merek. Seiring dengan perkembangan zaman, peraturan yang ada tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat, maka terjadilah perubahan-perubahan
yang disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Belum lama
ini Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 diganti lagi dengan Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang hak merek. Undang-undang hak cipta pertama
Indonesia pasca kemerdekaan yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982.
Kemudian pada tahun 1987, disempurnakan dengan diundangkan dan
diberlakukannya Undang-undangNomor 7 Tahun 1987, lalu diganti dengan

23
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 kemudian diubah dan disempurnakan
serta diganti dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 dan sekarang berlaku
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014.39 Undang-undang hak cipta baru muncul
sebelas tahun setelah undang-undang hak merek diberlakukan, jadi sebelum
undang-undang hak cipta Indonesia dibuat maka peraturan mengenai hak cipta
milik penjajah Belanda masih diberlakukan.
Undang-undang Paten Indonesia pertama baru pada tahun 1989 dengan
diundangkan dan diberlakukannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989.
Kemudian pada tahun 1997, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tersebut
diperbarui dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997, dan terakhir pada
tahun 2001, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 Jo. Undang-undang Nomor 6
Tahun 1989 tersebut, diubah dan disempurnakan serta diganti dengan Undang-
undang Nomor 14 Tahun 2001.40
Dengan demikian, sejak tahun 1961 hingga tahun 1999, yang berarti
selama 54 tahun sejak Indonesia merdeka, bidang hak kekayaan intelektual yang
telah mendapat perlindungan dan pengaturan dalam tata hukum Indonesia baru 3
bidang, yaitu merek, hak cipta, dan paten.
Adapun empat bidang hak kekayaan intelektual lainnya yaitu tentang
varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, serta desain tata letak sirkuit
terpadu, baru mendapat pengaturan dalam hukum positif Indonesia pada tahun
2000, dengan diundangkannya undang-undang nomor 29 tahun 2000 tentang
varietas tanaman, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu, dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Industri.

39
Adrian Sutedi, Hukum atas Kekayaan Intelektual, (Bogor : Sinar Grafika, 2009) hlm. 5

40
Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) yang Benar,
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hlm. 08

24
DAFTAR PUSTAKA

Abd Thalib dan Muchlisin, Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, (Depok: Rajawali
Press, 2018).
Adrian Sutedi, Hukum atas Kekayaan Intelektual, (Bogor : Sinar Grafika, 2009).
Anis Mashdurohatun, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Perspektif Sejarah Di
Indonesia, (Semarang: Madina Semarang, 2013).
Arief Sulistiyono dan Irfan Fauzi, Tinjauan Yuridis Pasal 12 Undang-Undang RI No.
28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Terhadap Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual Karya Desain Komunikasi Visual, Warnarupa: Journal of Visual
Communication Design, Vol. 1 No. 1, 2020.
Arif Lutviansori, Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia, (Yogyakarta :
Graha Ilmu, 2010).
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003).
Baskoro Suryo Banindro, Implementasi Hak Kekayaan Intelektual (Hak Cipta, Merek,
Paten, Desain Industri): Seni Rupa, Kriya, Desain Grafis, Desain Produk, (Dwi-
Quantum).
Cita Citrawinda, “Mengenal Lebih Jauh Hak Kekayaan Intelektual”, (Surabaya : Jakad
Media Publishing, 2020).
Ditjen HKI dan ECAP II, 2006.
Dr. Aman M.Pd., “Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan”, Ombak, Yogyakarta, 2015.
Elyta Ras Ginting, “Hukum Hak Cipta Indonesia Analisis Teori dan Praktik”,
(Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 2012).
Imam Wicaksono, Politik Hukum Pelindungan Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia
Pasca Di Ratifikasinya Trips Agreement, Pena Justisia: Media Komunikasi dan
Kajian Hukum, Vol. 18, No.1, 2019.

25
Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) yang Benar,
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010).
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual ,
Modul Kekayaan Intelektual Tingkat Dasar Bidang Hak Cipta. (Jakarta;
Kemenkumham) 2020.
Krisnani Setyowati,dkk, Hak Kekayaan Intelektual Dan Tantangan Implementasinya Di
Perguruan Tinggi, (Bogor, Kantor HKI-IPB,2005).
Mieke Yustia Ayu Ratna Sari, Pembangunan Kekayaan Intelektual (KI) Berbasis
Teknologi Informasi di Era Global, Prosding Seminar Nasional Multi Disiplin
Ilmu & Call For Papers Unisbank (Sendi_U) Ke-2 Tahun 2016, hlm. 493, diakses
darihttps://media.neliti.com/media/publications/172839-ID-pembangunan-
kekayaan-intelektual-ki-berb.pdf pada 14 Desember 2021 pukul 14:19
Novyta Uktilseja, Yosia Hetharie, Buku Ajar Hak Milik Intelektual, (Klaten: Lakeisha,
2021).
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.6 (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005).
Prawitri Thalib, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Cipta Dan Pemilik
Lisensi Rekaman Berdasarkan Undang-Undang Tentang Hak Cipta, Yuridika:
Vol. 28 No. 3, 2013.
Ranti Fauza Mayana, Hukum Merek, (Bandung: Refika Aditama, 2001).
Sadino, Julia Astuti, Penerapan Hak Paten Di Indonesia, Jurnal UI, Vol. III No. 2, Juli
Tahun 2018.
Siti Jaenab, Kosim dan Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Objek Wakaf:
Kajian Komparatif Mazhab Syafi’i dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004,
Al-Mustashfa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Islam, Vol. 4, No. 1, 2019.
Siwi Widi Asmoro, Produk Kreatif dan Kewirausahaan SMA/SMK Kelas IX, Program
Keahlian Teknik Komputer dan Informatika: Kompetensi Keahlian Multimedia,
(Yogyakarta: Andi, 2021).
Sujana Donandi S, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual di Indonesia, (Yogyakarta:
Deepublish, 2019).

26
Yoyo Arifardhani, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar, (Jakarta:
Kencana, 2020).
Yulia, Modul Hak atas Kekayaan Intelektual, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2015).
Lampiran

27

Anda mungkin juga menyukai