Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di seluruh dunia,
maka secara ketatanegaraan terputuslah hubungan seluruh tata tertib hukum Indonesia
dengan tata tertib hukum Hindia Belanda. Namun secara historis hubungan tersebut
telah membawa dampak yang luas dalam sistem Perundang-undangandan sistem
peradilan di Indonesia.
Secara substantiI materi Peraturan Perundang-undangan peninggalan Kolonial
Belanda tidak dengan mudah begitu saja dapat digantikan dengan Peraturan
Perundang-undangan produk Indonesia merdeka, sejalan dengan lahirnya Negara
Republik indonesia yang bebas dari penjajahan. Demikian juga dengan ata tertib
hukum yang dicita-citakan, yakni yang dilandasi dengan Pancasila dan Undang-udang
Dasar 1945, tidaklah mudah untuk dirumuskan dalam waktu yang singkat. Sebab
menyususn materi Perundang-undangan memerlukan kecermatan dan didasarkan pada
hasil penelitian dengan segala macam persyaratan ilmiah akademis.Semua itu
menghendaki waktu yang panjang, meskipun pada akhirnya tuntutan kebutuhan
hukum masyarakat mengalahkan waktu proses pembuatan materi hukum itu sendiri.
Artinya materi hukum itu boleh jadi tertinggal pada saat Ia diberlakukan.
Tantangan untuk mengagantikan Hukum Kolonial dengan Hukum Indonesia
menimbulkan permasalahan baru, yakni Undang-undang Produk Indonesia Merdeka
yang semula dimaksudkan untuk menggantikan hukum kolonial ternyata belum siap
untuk menjawab problema hukum dalam masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah

Hukum mengenai Hak Cipta. Dimana setelah enggantikan Auterswet yang
sebelumnya berlaku pada jam kolonial, Undang Hak Cipta telah drevisi sebanyak
empat kali. Yakni mulai dari Undang-undang Hak Cipta (Selanjutnya ditulis UUHC)
Nomor 6 tahun 1982 yang direvisi dengan UUHC Nomor 7 tahun 2987 yang direvisi
lagi dengan UUHC nomor 12 tahun 1997 dan terakhir direvisi dengan UUHC nomor
19 tahun 2002.
Menarik untuk dikaji proses pembentukan dan perubahan Undang-undang
mengenai Hak Cipta ini, mulai dari jaman klonial Belanda hingga sekarang.

I.2 Permasalahan
Bagaimana Sejarah proses pembentukan Undang-undang tentang Hak Cipta,
dan apakah Undang-undang yang sekarang yakni UUHC 2002 dapat memenuhi
kebutuhan masayarakat yang berkembang pesat?









BAB II
PEMBAHASAN
Dari segi sejarahnya konsepsi perlindungan di bidang hak cipta mulai tumbuh
semenjak ditemukannya mesin cetak di abad pertengahan di Eropa.Kebutuhan di
bidang hak cipta timbul karena dengan adanya mesin cetak, karya,karya cipta dengan
mudah diperbanyak secara mekanikal. Inilah pada awalnya yang menimbulkan istilah
Copyright. Namun dalam perkembangan selanjutnya, isi dan lingkup perlindungan
hukum tersebut memperoleh kritik yang keras, sebab yang dianggap menikmati
perlindungan hanyalah pengusaha percetakan dan penerbitan, sedangkan pencipta
karya cipta itu sendiri (authors) praktis tidak mendapatkan perlindungan yang
semestinya.
Dalam perkembangan selanjutnya titik berat perlindungan diletakkan kepada
Pencipta dan para penerima hak dari pencipta. Perlindungan yang diberikan kepada
hasil ciptaan dan penciptanya, bukan hanya sebagai penghormatan dan penghargaan
terhadap hasil karya cipta seseorang saja, tetapi juga diharapkan dapat memberikan
dorongan semangat dan minat yang lebih besar untuk menciptakan karya ciptaan baru
dibidang ilmu, pengetahuan, seni dan sastra. Karya-karya ini tidak sekedar memiliki
arti sebagai hasil akhir, melainkan sekaligus merupakan kebutuhan yang bersiIat
lahiriah dan batiniah baik bagi pencipta maupun bagi orang lain yang
memerlukannya. Karena itu dinutuhkan hukum yang memadai terhadap hasil ciptaan
dan penciptanya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Perlindungan HaKI secara Internasional dimulai dengan disetujuinya Paris
Convention pada tahun 1883 di Brussels, yang mengalami beberapa perubahan dan
terakhir di Stockholm pada tahun 1979. Paris Convention ini mengatur mengenai

perlindungan hak milik perindustrian yang meliputi inventions, trademarks, service
marks, industrial design, utility model (small patent), trade names (designations
under which an industrial or commercial activity is carried on), geographical
indications (indications of source and appellations of origin) dan the repressions of
unfair compettition. Adapun tujuan dari pembentukan Paris Convention ini adalah
suatu uniIorm untuk melindungi hak-hak penemu atas karya-karya cipta dibidang
milik perindustrian.
Selang beberapa tahun kemudian pada tahun 1886 disahkan pula Berne
Convention, yang mengatur mengenai perlindungan terhadap karya-karya dibidang
ilmu pengetahuan, seni dan kesusastraan, yang meliputi semua ciptaan di bidang
sastra (literary works), musik (musical works), drama tari (choreographic works),
Artistik (artistic works), Iotograpi (photograpic works), audiovisual (audiovisual
works), program komputer (computer programs), rekaman suara (sound recording),
karya siaran (broadcast) dan perwajahan tipograIi penerbitan (tipographical
arrangements of publication). Adapun tujuan pembentukan Berne Conbention
tersebut seperti yang dicantumkan dalam bagian pembukaaan Berne Convention yakni
untuk melindungi secara eIektiI dan seseragam mungkin hak-hak cipta para pnecipta
atas karya-karyanya dalam bidang kesusastraan dan seni.
Secara Yuridis Formal Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta
pada tahun 1912 yaitu sejak diundangkanya Auterswet (Wet van 23 September 191,
Staatsblad 1912 Nomor 600) yang berlaku pada 23 September 1912. Namun dalam
kenyataannya penataan dan penegakan hukum yang terdapat dalam Auterswet ini
belum diaktualisasikan sebaaimana mestinya. Hal ini tampak dari adanya buku-buku
terbtan penerbit Balai Pustaka berupa terjemahan buku-buku yang para pengarangnya
beberapa negara Eropa, tanpa meminta izin menerjemahkan terlebih dahulu kepada

pengarang aslinya. Padahal jelas dalam Auterswet 1912, menerjemahkan tanpa izin
dari pencipta merupakan pelanggaran.
Setelah Indonesia Merdeka, ketentuan dalam Auterswet 1912 ini kemudia
masih dianggap berlaku sesuai dengan ketentuan peralihan yang terdapat dalam Pasal
II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, Pasal 192 Konstitusi sementara
Republik Indonesia Serikat dan Pasal 142 Undang-undang Dasar Sementara 1950.
Pemberlakuan Auterswet ini sudah barang tentubersiIat sementarasambil menunggu
ketentuan yang baru mengenai hak cipta yang sesuai dengan kebutuhan dan cita-cita
hukum nasional.
Ketentuan dalam Auterswet dianggap sangat ketinggalan jaman sehingga
dalam prakteknya mengalami kejanggalan-kejanggalan, yang dirasa merugikan
kepentingan pihak-pihak yang hidupnya bergantung di bidang Hak Cipta. Pengaturan
dalam Auterswet 1912 dirasakan kurang mendorong penciptaan dan penyebarluasan
dari karya intelektual, sehingga akan menghambat kemajuan ilmu dan seni yang yang
berguna untuk mempercepat pertumbuhan kecerdasan hidup bangsa.
Sehubungan dengan itu maka Diundangkanlah Undang-undang Hak Cipta
yang baru yakni Undang-undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang mulai
berlaku tanggal 12 April 1982.
Adapun hal-hal yang diatur dalam UUHC 1982 ini meliputi :
1. Selain dimasukkan unsur baru mengingat perkembangan teknologi,
diletakkan juga unsur kepribadian Indonesia yang mengayomi baik
kepentingan individu maupun masyarakat. Sehingga terdapat
keseimbangan yang serasi antara kedua kepentingan termaksud.

2. Untuk memudahkan pembuktian dalam hal sengketa mengenai hak cipta,
diadakan ketentuan-ketentuan mengenai PendaItaran ciptaan.PendaItaran
ini tidak mutlak diharuskan, karena tanpa pendaItaran pun hak cipta tetap
mendapat perlindungan. Hanya saja dalam hal pembuktian di pengadilan,
Ciptaan yang tidak didaItarkan akan membutuhkan waktu lebih lama
untuk dibutuhkan ketimbang cptaan yang telah didaItarkan.
3. Diatur pula tentang Dewan hak cipta yang mempunyai tujuan penyuluhan
serta bimbingan kepada pencipa mengenai hak cipta.
4. Pemberian perlindungan kepada semua ciptaan warga negara Indonesia
dengan tidak memandang tempat dimana ciptaan diumumkan pertama
kali.
Setelah 5 tahun diterapkan, ternyata UUHC 1982 tidak mampu mengatasi
perkembangan yang banyak terjadi dalam masyarakat. Khususnya mengenai status
delik (pidana) yang dalam UUHC 1982 ditempatkan sebagai delik (pidana) aduan.
Namun alasan utama perlunya Perubahan segera dalam UUHC 1982 adalah jumlah
pelanggaran hak cipta yang mencemaskan dan makin meningkatnya Irekuensi serta
kerugian/kerusakan yang disebabkannya terhadap ketertiban sosial pada umumnya
dan menurunnya hasrat untuk mencipta pada khususnya.
Disamping itu berkembang pemikiran masyarakat bahwa seyogyanya
Indonesia turut dalam perlindungan hak cipta secara internasional.Pemikiran yang
demikian ternyata sejalan pula oleh desakan-desakan dari negara-negara luar terutama
Amerika Serikat, agar Indonesia segera menghormati atau menghargai Hak cipta
asing.
Amerika Serikat yang mendapatkan kerugian besar dengan kegiatan
pembajakan dan pemalsuan besar-besaran di Indonesia menggunakan kebijakan

perdagannya sebagai alat untuk menekan pejabat Indonesia agar mengambil tindakan
perbaikan. Pada tahun 1986 Pemerintah AS mengumumkan niatnya untuk
mempertimbangkan kembali status preIerensi Indonesia berdasarkan enerali:e
System of Preference (GSP). Indonesia diberikan kesempatan sampai dengan tanggal
1 Maret 1987 untuk mengubah UUHC 1982 atau menetapkan Undang-undang yang
sepenuhnya baru.
Tekanan Internasional yang demikian besar, telah mengakibatkan
dikeluarkannya Keputuan Presiden Soeharto pada tanggal 30 Juli 1986 untuk
membentuk suatu 'Tim Kerja Khusus untuk mencari pemecahan persoalan dalam
pelaksanaan Undang-undang mengenai Hak cipta, nama dan merek dagangserta
pembuatan suatu Undang-undang paten. Tim ini akhirnya berhasil menuntaskan
misinya dengan lahirnya Undang-undang Nomor 7 tahun 1987 yang mulai berlaku
pada tanggal 19 September 1987.
Langkah Penyempurnaan yang diambil memang baru menyangkut
beberapa ketentuan di dalam UUHC 1982. Secara umum bidang dan arah
penyempurnaan itu meliputi :
1. Menyesuaikan atau memperberat ancaman pidana penjara dengan
ketentuan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP.
2. Perubahan klasiIikasi Tindak Pidana hak cipta dari tindak pidana aduan
menjadi tindak pidana biasa.
3. Penambahan ketentuan perampasan ciptaan atau barang yang terbukti
merupakan hasi pelanggaran hak cipta oleh negara guna dimusnahkan.
4. Penambahan ketentuan tentang adanya hak pada pemegang hak cipta yang
dirugikan karena pelanggaran untuk mengajukan gugatan perdata tanpa
mengurangi negara untuk melakukan tuntutan pidana.
8
5. Penambahan ketentuan tentang kewenangan hakim memerintahkan
penghentian kegiatan pembuatan, perbanyakan, pengedaran, peyiaran dan
penjualan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta
sebelum putusan pengadilan.
6. Mengadakan ketentuan baru mengenai penyidik khusus yang berasal dari
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen
Kehakiman.
7. Perpanjangan jangka waktu perlindungan terhadap hak cipta menjadi
selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga lima puluh tahun
setelah pencipta yang bersangkutan meninggal dunia. Sedangkan untuk hak
cipta IotograIi diperpanjang menjadi 25 tahun setelah pembuatan karya
cipta tersebut.
8. Diadakan penambahan atau penegasan ciptaan yang dilindungi yang
merupakan lingkup hak cipta yakni karya lagu atau musik, rekaman video,
karya rekaman suara atau bunyi, karya seni batik, dan karya program
komputer atau komputer program.
9. Perubahan terhadap ketentuan karya cipta asing. Karya cipta asing akan
dilindungi pula di Indonesia dengan ketentuan diumumkan pertamakali di
Indonesia atau negaradari pencipta karya cipta asing yang bersamgkutan
ikut seta dalam perjanjian internasional yang sama di bidang hak cipta,
yang diikuti pula oleh Indonesia.
10. Penghapusan pengambilalihan hak cipta oleh negara.
Seiring dengan keikutsertaan Negara Indonesia dalam WTO inklusiI Persetujuan
TRIPs, berlanjut dengan melaksanakan kewajiban kita menyesuaikan Peraturan
Perundang-undangan nasional di bidang HaKI termasuk hak cipta terhadap
9
persetujuan internaional tersebut. Perubahan dan penambahan Undang-undang Hak
Cipta dituangkan dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1997.
Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi latar belakang dan dasar pertimbangan
perubahan dan penambahan terhadap Undang-undang Nomor 7 tahun 1987 tentang
Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 1997.
Alasan-alasan ini dapat ditemukan dalam penjelasan atas Undang-undang Nomor 12
tahun 1997, yaitu :
1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1993 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara, menegaskan bahwa perkembangan
kehidupan yang berlangsung cepat , terutama di di bidang perekonomian baik
di tingkat nasional maupun internasional, pemberian perlindungan yang
semakin eIektiI terhadap HaKI, khususnya dibidang hak cipta perlu lebih
ditingkatkan dalam rangka mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh
dan berkembangnya semangat mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan
sastra yang sangatdiperlukan dalam pembangunan nasional.
2. Dengan penerimaan dan keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan TRIPs
yang merupakan persetujuan dari pembentukan WTO, sebagaimana telah
disahkan dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1994. Berlanjut dengan
melaksanakan kewajiban untuk menyesuaikan peraturan Perundang-undangan
nasional dibidang HaKI termasuk hak cipta terhadap persetujuan internasional
tersebut.
3. Berdasarkan pertimbangan diatas serta memperhatikan penilaian terhadap
segala pengalaman, terutama kekurangan selama pelaksanaan UUHC
sebelumnya.


Berdasarkan latar belakang dan dasar pertimbangan yang disebutkan di atas,
dan dengan ikut sertanya Indonesia dalam persetujuan tentang TRIPs (%rade Related
Intellectual Property Rights) yang merupakan bagian dari GATT (eneral Agreement
on %ariff and %rade) dan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO
(World %rade Organi:ation) yang ratiIikasinya dilakukan oleh Pemerintah RI melalui
Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing %he
World %rade Organi:ation (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia).
Secara umum bidang dan arah penyempurnaan yang dilakukan dalam
UUHC 1997 ini meliputi ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan terhadap
ciptaan yang tidak diketahui penciptanya, pengecualian pelanggaran terhadap hak
cipta, jangka waktu perlindungan ciptaan, hak dan wewenang menggugat, dan
ketentuan mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Beberapa penambahan yang bersiIat perubahan meliputi ketentuan mengenai
penyewaan ciptaan (rental right)bagi pemegang hak cipta atas rekaman video, Iilm
dan program komputer; hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighboring right) yang
meliputi perlindungan bagi pelaku, proseIur rekaman suara dan lembaga penyiaran;
dan yang megatur mengenai lisensi hak cipta.
UUHC 1997 memuat 60 pasal yang tersebar dalam 10 bab. Bila dikaji
secara seksama kandungan materi UUHC 1997 mengatur pokok persoalan sebagai
berikut :
1. memberikan perumusan dari 11 istilah yang terdapat atau digunakan dalam
UUHC 1997, agar terdapat keseragaman pengertian istilah yang merupakan
konsep-konsep dasar yang nantinya akan dikembangkan dalam pengaturan
hak cipta di Indonesia (Pasal 1);

2. Meletakkan kerangka dan prinsip dasar pengaturan (sistem) hak cipta, yang
meliputi Iungsi dan siIat hak cipta, subyek hak cipta, obyek hak cipta, dan
pembatasan hak cipta (pasal 2 sampai dengan pasal 25);
3. Jangka waktu perlindungan atau berlakunya hak cipta, baik untuk ciptaan asli
maupun derivatiInya (pasal 26 sampai pasal 28B);
4. Sistem, mekanisme, dan prosedur pendaItaran ciptaan (Pasal 29 sampai
dengan pasal 38 C);
5. Kedudukan, Iungsi, susunan organisasi, dan tata kerja Dewan Hak Cipta
(Pasal 39 sampai dengan pasal 40).
6. Hak dan wewenang pencipta atau pemegang hak cipta untuk menggugat atau
menuntut secara perdata terhadap seseorang yang melanggar hak ciptanya
(pasal 41 sampai dengan pasal 43B);
7. Mengatur hak-hak lainnya yang berkaitan dengan hak cipta (Pasal 43C
sampai dengan pasal 43E);
8. Ancaman dan sanksi pidana terhadap pelanggaran hak cipta atau tindak
pidana hak cipta (pasal 44 sampai dengan pasal 46);
9. Ketentuan tentang kewenangan menyidik dari penyidik tindak pidana hak
cipta (pasal 47);
10. Ketentuan yang berhubungan dengan ruang lingkup berlakunya UUHC 1997
tersebut (Pasal 48).
Disamping itu, UUHC 1997 dilengkapi pula oleh Penjelasan umum dan
penjelasan pasal demi pasal, yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari
pasal-paal atau batang tubuh UUHC 1997.
Pokok persoalan tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal
UUHC 1997, baik pengaturan secara rinci maupun hanya memuat prinsip pokok

dalam garis besarnya saja, yang pelaksanaannya akan ditindak lanjuti dan diatur
dalam berbagai peraturan pelaksanaan lainnya yang berupa :
1. Peraturan Pemerintah
a. Peraturan pemerintah yang mengatur mengenai hak cipta yang dipegang
oleh negara (Pasal 10 ayat (3))
b. Peraturan Pemerintah yang mengaur mengenai penerjemahan dan/atau
perbanyakan ciptaan untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan,
dan kegiatan penelitian dan pengembangan (pasal 15 ayat (3))
c. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai perjanjian lisensi dibidang
hak cipta, termasuk tata cara pencatatannya (pasal 38 c(3))
d. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Tugas, Iungsi, susunan,
tata kerja, pembiayaan dan tata cara pengantian lowongan dalam dewan
hak cipta (Pasal 40 ayat (2))
2. Ketentuan Pemerintah (Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri
Kehakiman)
a. Ketentuan Pemerintah yang mengatur mengenai pemberian imbalan dan
besarnya penerjemahan dan/atau perbanyakan ciptaan untuk kepentingan
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kegiatan penelitian serta
pengembangan (Pasal 15 ayat (2));
b. Ketentuan Pemerintah yang mengatur penetapan anggota ahli atau wakil
proIesi dalam bidang hak cipta dan tambahan keanggotaan bersama-sama
dengan anggota yang mewakili organisasinya (Pasal 39 ayat (4));
c. Keputusan Menteri Kehakiman yang mengatur mengenai (Surat
Permohonan) pendaItaran ciptaan hak cipta (Pasal 31 ayat (3))

d. Ketentuan tentang peratiIikasian perjanjian internasional di bidang hak
cipta, baik merupakan perjanjian bilateral, multilateral maupun regional.
Sebagai Tindak lanjut dari UUHC 1997, Pemerintah telah mengesahkan
antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 1986 tentang Dewan Hak
Cipta,yang kemudia disempurnakan dengan Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 7
tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1989 tentang penerjemahan
dan/atau perbanyakan iptaan untuk kepentingan Pendidikan, ilmu pengetahuan,
penelitian dan pengembangan. Disamping itu Menteri Kehakiman juga mengeluarkan
beberapa peraturan pelaksanaan UUHC yang baru, diantaranya :
1. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.01-HC.03.01 Tahun 1987 tentang
PendaItaran Ciptaan;
2. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.04.-PW.07.03 Tahun
1988btentang Penyidik Hak Cipta;
3. Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor M.01-PW07.03 Tahun 1990
tentang kewenagan Menyidik Tindak Pidana Hak Cipta;
4. Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor M.02-HC.03.01 Tahun 1991
tentang Kewenangan Melampirkan NPWP dalam Permohonan PendaItaran
Ciptaan dan Pencatatan Pemindahan Hak Cipta TerdaItar.
Walau Perubahan Penaturan Hak Cipta melalui UUHC 1997 telah memuat
beberapa penyesuaian pasal yang sesuai dengan Perjanjian TRIPs, masih terdapat
beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberi perlindungan bagi karya-
karya intelektual di bidang Hak Cipta, termasuk upaya untuk memajukan
perkembangan karya intelektual yang berasal dari keaneka ragaman seni uan buuaya

bangsa Inuonesia. Baii bebeiapa konvensi ui biuang BaKI, masih teiuapat
bebeiapa ketentuan yang sepatutnya uimanfaatkan. Selain itu kita peilu
menegaskan uan memilah keuuuukan Bak Cipta ui satu pihak uan hak teikait ui
lain pihak ualam iangka membeii peilinuungan bagi kaiya intelektual yang
beisangkutan secaia lebih jelas.
Keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan pembentukan organisasi
perdagangan dunia (Agreement Establishing the World %rade Organi:ation) yang
didalamnya mencakup persetujuan TRIPs, mengharuskan pula Indonesia turut
meratiIikasi Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden RI No. 18 Tahun 1997
tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic
Works dan WIPO Copyright %reaty melalui Keputusan Presiden RI No. 19 Tahun
1997 tentang Pengesahan WIPO Copyright %reaty. Oleh karena itu, Indonesia
memiliki kewajiban untuk melakukan penyesuaian terhadap Undang-Undang
Nasional di bidang HKI termasuk Hak Cipta yang berkaitan dengan persetujuan
internasional tersebut.
Dengan memperhatikan hal tersebut diatas dan pengalaman dalam
melaksanakan UUHC 1997, dipandang perlu untuk mengganti UUHC dengan yang
baru, yakni Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hal itu
disadari karena kekayaan seni dan budaya, serta pengembangan kemampuan
intelektual masyarakat indonesia memerlukan perlindungan hukum yang memadai
agar terdapat iklim persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan
pembangunan nasional.
Dari konsideran menimbang UUHC 2002, dapat diketahui hal-hal yang
mendorong Pemerintah untuk mengganti UUHC 1997 yakni :

a. Melndungi hak cipta terhadap kekayaan intelektual yang lain dari
keanekaragaman etnik/suku dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan
sastra dengan pengembangan-pengembangannya;
b. Pengejawantahan lebih lanjut berbagai konvensi atau perjanjian
internasional di bidang HaKI pada umumnya dan Hak Cipta pada
khususnya dalam sistem hukum nasional Indonesia;
c. Peningkatan perlindungan bagi pencipta dan pemilik hak terkait seiring
dengan perkembangan dibidang perdagangan, industri dan investasi
sedemikian pesat dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat
luas;
d. Berdasarkan pertimbangan diatas serta dengan memperhatikan pengalaman
dalam melaksanakan UUHC 1997, dipandang perlu untuk menetapkan
UUHC yang baru.
Selain melakukan penyempurnaan, UUHC 2002 mengadakan penambahan
ketentuan-ketentuan baru, antara lain mengenai :
1. database merupakan suatu ciptaan yang dilindungi;
2. penggunaan alat apapun baik melalui kabel maupun tanpa kabel, termasuk
media internet, untuk pemuatan produk-produk cakram optik (optical disc)
melalui media audio, media audio visual, dan/atau sarana komunikasi;
3. Penyelesaian sengketa oleh pengadilan niaga, arbitrase atau alternatiI
penyelesaian sengketa.

4. Penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi
pemegang hak;
5. Batas waktu proses perkara perdata di bidang hak cipta dan hak terkait,
baik di Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung;
6. Pencatuman hak inIormasi manajemen elektronik dan sarana kontrol
teknologi;
7. Pencantuman mekanisme pengawasan dan perlindungan produk-produk
yang mempergunakan sarana produksi berteknologi tinggi;
8. Ancaman Pidana atas pelanggaran hak terkait dan adanya denda minimal;
9. ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan program komputer
untuk kepentingan komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
UUHC 2002 memuat 78 Pasal yang tersebar dalam 15 BAB dan 8 bagian.
Berarti terdapat penambahan jumlah pasal dan BAB yang sebelumnya terdapat dalam
UUHC 1997, yang hanya terdiri dari 60 pasal, 10 BAB dan 6 bagian.
Bilamana dikaji secara seksama, kandungan materi UUHC 2002, mengatur
pokok persoalan sebagai berikut :
1. Memberikan preumusan dari 17 istilah yang terdapat atau digunakan dalam
UUHC 2002, agar terdapat keseragaman pengertian istilah yang
merupakan konsep-konsep dasar yang nantinya akan dikembangkan
dalam pengaturan hak cipta di Indoneisa. Perumusan ini terdapat dalam
Pasal 1;

. Neletakkan keiangka uan piinsip uasai pengatuian (sistem) hak cipta,
yang meliputi fungsi uan sifat hak cipta, subyek hak cipta, obyek hak
cipta, pembatasan hak cipta, hak modal dan sarana kontrol teknologi.
Terdapat pada pasal 2 sampai dengan pasal 28;
3. Jangka waktu perlindungan atau berlakunya hak cipta, baik untuk ciptaan
asli maupun derivativnya (Pasal 28 sampai dengan pasal 34);
4. Sistem, mekanisme dan prosedur pendaItaran penciptaan (Pasal 35 sampai
dengan pasal 34);
5. Pemberian lisensi hak cipta kepada pidak lain (Pasal 45 sampai dengan
Pasal 47);
6. Kedudukan, Iungsi dan keanggotaan dewan hak cipta (Pasal 48);
7. Mengatur hak-hak lainnya yng terkait dengan Hak Cipta ((Pasal 49 sampai
dengan pasal 51);
8. Penyelenggaraan pengelolaan hak cipta (Pasal 52 dan pasal 53);
9. Biaya pendaItaran penciptaan (Pasal 54);
10. Hak dan wewenang pencipta atau pemegang hak cipta untuk menggugat
atau menuntut secara perdata terhadap seseorang yang melanggar hak
ciptanya (Pasal 55 sampai dengan pasal 55)
11. Mengatur penetapan sementara pengadilan (Pasal 67 samapi dengan pasal
70);
12. Ketentuan tentang penyidik dan kewenangan menyidik pelanggaran hak
cipta atau Tindak pidana di bidang hak cipta (Pasal 71);
8
13. Ancama dan sanksi pidana terhadap pelanggaran hak cipta atau tindak
pidana di bidang hak cipta (Pasal 72 dan 73);
14. Ketentuan yang berkaitan dengan peralihan berlakunya UUHC 2002 (Pasal
74 dan 75)
15. Ketentuan yang berhubungan dengan ruang lingkup berlakunya UUHC
2002 (Pasal 76 sampai dengan pasal 78).
Selain itu UUHC 2002 dilengakapi pula degan Penjelasan umum dan
penjelasan pasal demi pasal, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dari Pasal-pasal UUHC 2002.
Hal-hal yang bersiIat teknis akan dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai
peraturan pelaksanaannya, yaitu berupa :
1. Peraturan Pemerintah
a. Perauran Pemerintah yang mengatur mengenai Hak Cipta yang dipegang
oleh negara (Pasal 10 ayat (4))
b. Peraturan pemerintah yang mengatur inIormasi elektronik hak pencipta
(pasal 25 ayat (2));
c. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai sarana produksi
berteknologi tinggi yang memproduksi cakram optik atau optical disc
(Pasal 28 ayat (2))
d. Peraturan pemerintah yang mengatur mengenai syarat-syarat dan tata cara
pegangkatan dan pendaItaran konsultan HaKI (Pasal 37 ayat (5))
9
e. Peraturan Pemerintah yang mengatur tugas, Iungsi, susunan, tata kerja,
pembiayaan, dan masa bakti Dewan Hak Cipta ( Pasal 48 ayat (3))
2. Keputusan Presiden
a.Keputusan Presiden yang mengatur mengenai kewajiban menerjemahkan
dan/atau perbanyakan ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra
untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kegiatan penelitian
dan pengembangan serta besarnya imbalan yang akan diberikan (Pasal 16
ayat (5)(6))
c. Keputusan Presiden yang mengatur mengenai syarat dan tata cara
permohonan pendaItaran ciptaan (Pasal 37 ayat (6))
d. Keputusan Presiden yang mengatur mengenai pencatatan perjanjian lisensi
(Pasal 47 ayat (4))
e. Keputusan Presiden yang mengatur mengenai persyaratan, jangka waktu,
dan tata cara pembayaran biaya permohonan, permintaan petikan DaItar
Umum Ciptaan, pencatatan pengalihan hak cipta, pencatatan perubahan
nama dan/atau alamat, pencatatan perjanjian lisensi, pencatatan lisensi
wajib, serta ketentuan lain-lain yang dikenai biaya dalam UUHC 2002
(Pasal 54 ayat (2))
Dalam rangka memberikan perlindungan hukum hak cipta dan hak-hak lain
yang berkaitan dengan hak cipta secara timbal balik, kita pun mengadakan perjanjian
dengan negara lain yang umumnya diratiIikasi dengan Keputusan Presiden yang
diataranya :

1. Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 1988 tentang pengesahan persetujuan
mengnai perlindungan hak cipta atas rekaman suara antara Republik
Indonesia dan masyarakat Eropa;
2. Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 1989 tentang pengesahan persetujuan
mengenai perlindungan hak cipta antara Republik Indonesia dan Amerika
Serikat;
3. Keputusan Presiden Nomor 38 tahun 1993 tentang pengesahan Agreement
Between the overnment of the Republic Indonesia and the overnment of
Australia Concerning the Protection and Enforcement Copyright;
4. Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 21994 tentang pengesahan Agreement
Between the overnment of the republic of Indonesia and the overmet of
the United Kingdom of reat Britain and North Ireland on Copyright
Protection.
Undang-undang Hak Cipta, Pasal 2 UUHC 2002 secara tegas menyatakan
dalam mengumumkan atau memperbanyak ciptaan itu harus memperhatikan
pembatasan-pemabatasan menrut Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembatasan ini bertujuan agar dalam setiap menggunakan atau memIungsikan hak
cipta hars sesuai dengan tujuannya. Yang dikehendaki dalam pembatasan terhadap
hak cipta ini adalah agar setiap orang badan hukum tidak mempergunakan haknya
secara sewenang-wenang.
Setiap Penggunaan hak cipta harus diperhatikan terlebih dahulu apakah hal itu
tidak bertentangan atau tidak merugikan kepentingan umum. Ini menimbulkan kesan
sesungguhnya hak individu itu dihormati. Namun dengan adanya pembatasan,

sesungguhnya pula dalam penggunaannya tetap didasarkan atas kepentingan umum.
Oleh karena itu Indonesia tidak menganut paham individualistis dalam arti
sebenarnya. Hak Individu dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan umum. Untuk itulah, Undang-undang hak Cipta ini inipun bertolak dari
perpaduan antara sistem individu dengan sistem kolektiI.
Dalam implementasi hukum bidang hak cipta, seungguhnya keberadaan hak
cipta ke depansangatlah prospektiI. Kini berbagai kalangan mendalami aspek hukum
dalam bidang Hak Cipta. Pemahaman ini berdasarkan pada beberapa alasan yakni :
1. Dari hari ke hari kesadaran hukum dari individu atau pelaku usaha untuk
melindungi hak cipta mereka kian meningkat.
2. Tingkat pelanggaran hak cipta di Indonesia masih sangat tinggi. Beberapa
indikasi terhadap kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai laporan yang
dikeluarkan oleh masyarakat internasional atau organisasi internasional
yang mengkhususkan diri dalam bidang ini. Selain itu juga dapat
dicermati pada banyaknya peringatan-peringatan yang dikeluarkan oleh
pemegang hak cipta di berbagai media akhir-akhir ini.
3. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang
pesat.Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini berhubungan
erat dengan permasalahan hak cipta. Oleh karenanya perkembangan kedua
bidang ini dapat diambil kesimpulan akan menjadi laan baru dalam bidang
hak cipta dan secara otomatis hal ini akan memeberikan tawaran baru
dalam bidang hak cipta yang menjadikan hak cipta berkembang dengan
dinamis.
4. Sumber daya manusia dalam bidang Hak cipta sendiri di Indonesia masih
sangat banyakdibutuhkan. Tidak saja dibutuhkan untuk pengadaan sumber

daya manusia di sektor pemerintahan, namun juga di sektor privat.
Sumber daya manusia ini tidak hanya dari disiplin hukum namun juga dari
disiplin ilmu pengetahuan lainnya.
5. Dengan memahami hak cipta maka diharapkan juga akan memunculkan
kreatiIitas-kreatiIitas baru, sehingga akan memajukan tingkat
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Dari penjelasan tersebut prospek Hak cipta ini, pada akhirnya akan menjadi
tantangan tersendiri bagi kalangan pelaku hak cipta. Baik dari kalangan kreator atau
pencipta, maupun yang pu ya hubungan langsung dengan masalah hak cipta, seperti
Pemerintah yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal HaKI. Perguruan tinggi
sebagai pihak yang berIungsi sebagai kreator dan sekaligus sebagai pihak yang
menjadi mediator, dan pihak-pihak lainnya
Dalam menghadapi tantangan ini, maka sudah menjadi suatu kebutuhan
adanya suatu gerakan yang serempak antara pelaku-pelaku hak cipta dalam
mengoptimalisasikan upaya perlindungan dan pemanIaatan dari hak cipta. Sebagai
tujuan akhir, diharapkan melalui mekanisme perlindungan hak cipta dan pemanIaatan
hak cipta ini, tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia dapat diwujudkan. Hal ini
bukanlah menjadi suatu keniscayaan mengingat besarnya potensi bangsa yang
dimiliki saat ini.





BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Pengaturan tentang hak kekayaan intelektual khususnya hak cipta mempunyai
dasar konstitusional dan landasan kebijakan serta pelaksanaan kebijakan dalam
bentuk Undan-undang dan berbagai Peraturan pemerintah di bawah Undang-undang
yang terus diperbaharui oleh Pemerintah guna menyeimbangi perkembangan dibidang
perdagangan, industri dan investasi sedemikian pesat dengan tetap memperhatikan
kepentingan masyarakat luas. Sehingga diharapkan Undag-undang Hak Cipta
Indonesia dapat menjadi Ius Constitutum yang tepat guna untuk melindungi Hak
Cipta yang dimiliki oleh para encipta di Indonesia.
III.2 Saran
Dengan semakin berkembangnya jenis dan modus operandi tindak pidana
pelanggaran hak cipta yang setiap harinya berubah semakin rumit dan canggih, perlu
kiranya Pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan-peraturan Pemerintah di
bawah UUHC 2002 yang engatur hal-hal yang lebih mendetail, sehingga dapat
menunjang UUHC 2002 dalam melaksanakan perlindungan terhadap hak cipta.






DAFTAR PUSTAKA
O Abdul Bari Azed, 2006, Kompilasi Konvensi Internasional HKI yang
DiratiIikasi Indonesia, Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual dan
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
O Damian, Eddy, 2005, Hukum Hak Cipta, cet. III, Alumni, Bandung
O Djumhana, Muhamad dan R.Djubaedillah, 2003, Hak Milik Intelektual,
Sejarah Teori dan Praktek, Edisi Revisi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
O Djumhana, Muhamad, 2006, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan
Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung
O Endang Purwaningsih, 2006, Perkembangan ukum Intellectual Property
Rights, Gahlia Indonesia, Jakarta
O Hozumi, Tamotzu, 2006, Asian Copyright andbook, Asia Pasific Cultural
Centre for UNESCO dan Ikatan Penerbit Indonesia, Jakarta.
O Margono, Suyud, 2003, Hukum & Perlindungan Hak Cipta Disesuaikan
dengan undang-undang Hak Cipta Tahun 2002 dilengkapi Undang-undang RI
no. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta
O Muhamad Djumaha.R.Djubaedillah, 1993, Hak Milik Intelektual (Sejarah
Teori dan Prakteknya di Indonesia), Citra Aditya Bakti, Bandung
O Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan
dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Alumni, Bandung

Anda mungkin juga menyukai