Anda di halaman 1dari 18

PEMBAJAKAN HAK CIPTA DI

INDONESIA

KELOMPOK 2

Nada Fitria
Nurul Vadila Sovira
Qurratu Humaira
Rouzatul Sumita
Sheila Savira
Shintia Ikrima
LATAR BELAKANG

Hak Atas Kekayaan Intelektual atau sering disingkat


HAKI adalah hak yang diberikan kepada orang-orang atas
hasil dari buah pikiran mereka. Biasanya hak eksklusif
tersebut diberikan atas penggunaan dari hasil buah pikiran
pencipta dalam kurun waktu tertentu. Buah pikiran tersebut
dapat terwujud dalam tulisan, kreasi artistik, simbol-simbol,
penamaan, citra, dan desain yang digunakan dalam kegiatan
komersil. Salah satu produk HAKI yaitu Hak Cipta. Adapun
pengertian dari Hak Cipta, yaitu hak khusus bagi pencipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.
Pembajakan atau yang disebut Piracy,adalah penyalinan atau penyebara secara tidak
sah atas obyek ciptaan yang dilindungi undang-undang. Obyek ciptaan adalah hasil
setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu
pengetahuan, seni dan sastra.

Indonesia telah memiliki Undang-undang Hak Cipta, yaitu;


 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982, UU Nomor 7 Tahun 1987,
 UU Nomor 12 Tahun 1997, dan yang terakhir adalah UU Nomor 19 Tahun 2002.
Undang-undang Hak Cipta dibuat untuk melindungi kekayaan seni dan budaya, serta
pengembangan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia agar terdapat iklim
persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan
nasional. Akan tetapi, kasus plagiat dan pembajakan karya cipta semakin banyak
bermunculan.

Mungkin banyak diantara kita yang tidak sadar bahwa yang kita lakukan dalam
kegiatan sehari-hari telah melanggar hak cipta orang lain. Tidak lain dari pelanggaran
tersebut adalah kegiatan membajak. Kegiatan bajak – membajak telah diterima dan
menjadi suatu kegiatan yang dianggap halal oleh masyarakat kita. Praktek pembajakan
hak cipta di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat drastis dan sudah
sangat memprihatinkan. Salah satu fakta yang ada di lapangan misalnya terjadi pada
industri musik. Menurut catatan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI),
SEJARAH

Sejarah Perkembangan Perlindungan Hak Cipta di Indonesia


Hak pengarang atau pencipta di Indonesia disebut author right. Istilah ini
digunakan sejak diberlakukannya Auteurswet 1912 Staatsblad. 1912 No. 600,
yang kemudian dalam peraturan perundang-undangan selanjutnya menggunakan
istilah hak cipta.
Hak cipta merupakan subsistem dari Hak Kekayaan Intelektual yang secara
internasional disebut dengan intelectual property right.
Secara yuridis formal Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta
pada tahun 1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23
September 1912, Staatblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku 23 September
1912.21 Setelah Indonesia merdeka, ketentuan Auteurswet 1912 ini kemudian
masih dinyatakan berlaku sesuai dengan ketentuan peralihan yang terdapat dalam
Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 192 Konstitusi
Sementara Republik Indonesia Serikat dan Pasal 142 Undang-Undang Dasar
Sementara 1950. Pemberlakuan Auteurswet 1912 ini sudah barang tentu bersifat
sementara.
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar
dari Konvensi Bern dan menyatakan semua ketentuan hukum tentang hak cipta
tidak berlaku lagi, agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya,
cipta, dan karya asing tanpa harus membayar royalti. Dengan pertimbangan agar
tidak menyulitkan Indonesia dalam pergaulan masyarakat internasional, sikap itu
ditinjau kembali setelah Orde Baru berkuasa.
Setelah 37 tahun Indonesia merdeka, Indonesia sebagai negara berdaulat
mengundangkan suatu Undang-Undang nasional tentang Hak Cipta, tepatnya
tanggal 12 April 1982, pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencabut
Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 Tahun 1912 dan sekaligus
mengundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang
dimuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15. Undang-undang ini
pada prinsipnya peraturannya sama dengan Auteurswet 1912 namun disesuaikan
dengan keadaan Indonesia pada saat itu. Dalam pelaksanaannya Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1982 ini ternyata banyak dijumpai terjadinya pelanggaran
terutama dalam bentuk tindak pidana pembajakan terhadap hak cipta, yang telah
berlangsung dari waktu ke waktu dengan semakin meluas dan sudah mencapai
tingkat yang membahayakan dan merugikan kreatifitas untuk mencipta, yang
dalam pengertian yang lebih luas juga akan membahayakan sendi kehidupan
dalam arti seluas-luasnya.
Dalam memenuhi tuntutan penyempur naan atas Undang-
Undang Hak Cipta 1982 tersebut, maka pada tanggal 23 September
1987 Pemerintah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak
Cipta. Di dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1987 skala
perlindungan pun diperluas, diantara perubahan mendasar yang
terjadi di dalamnya adalah masa berlaku perlindungan karya cipta
diperpanjang menjadi 50 tahun setelah meninggalnya si pencipta.
Disadari karena kekayaan seni dan budaya, serta
pengembangan kemampuan intelektual masyarakat Indonesia
memerlukan perlindungan hukum yang memadai agar terdapat iklim
persaingan usaha yang sehat yang diperlukan dalam melaksanakan
pembangunan nasional, maka dibentuklah Undang-Undang Hak
Cipta yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta agar sesuai dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan masyarakat.
Pengertian Hak Cipta

Istilah hak cipta yang dikenal adalah hak pengarang sesuai


dengan terjemahan harfiah bahasa Belanda, Auteursrecht. Baru pada
Kongres Kebudayaan Indonesia ke-2, Oktober 1951 di Bandung,
penggunaan istilah hak pengarang dipersoalkan karena dipandang
menyempitkan pengertian hak cipta. Jika dikaitkan dengan hak cipta
dapat dikatakan bahwa hak cipta itu merupakan hak kebendaan, hal
ini sesuai dengan pengertian hak cipta yang menunjukkan bahwa hak
cipta ituhanya dapat dimiliki oleh si pencipta atau si penerima hak. Di
samping mempunyai sifat mutlak juga ada sifat droit de preference.
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima
hak untuk mengumumkan, memperbanyak, ciptaan atau memberikan
izin dengan tidak mengurangi batasan-batasan menurut perundang-
udangan yang berlaku. Hak cipta diberikan pada setiap hasil ciptaan
yang menunjukan keaslian atau kebaharuan dalam lapangan ilmu
pengetahuan, seni, atau sastra.
JENIS-JENIS PELANGGARAN HAK CIPTA

Ada beberapa bentuk kegiatan yang dianggap sebagai


pelanggaran hak cipta, antara lain mengutip sebagian atau
seluruh ciptaan orang lain yang kemudiaan dimasukkan ke
dalam ciptaannya sendiri (tanpa mencantumkan sumber)
sehingga membuat kesan seolah-olah karyaannya sendiri
(disebut dengan plagiarisme), mengambil ciptaan orang lain
untuk diperbanyak tanpa mengubah bentuk maupun isi untuk
kemudian diumumkan, dan memperbanyak ciptaan orang lain
dengan sengaja tanpa izin dan dipergunakan untuk
kepentingan komesial.
Adapun batasan-batasan penggunaan, pengambilan, penggandaan, atau
pengubahan suatu ciptaan baik sebagian maupun seluruhnya yang tidak
termasuk dalam perbuatan yang melanggar Hak Cipta bila sumbernya
disebutkan secara lengkap untuk kepentingan:
 pendidikan, penelitian, penulisan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta
atau Pemegang Hak Cipta;
 keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan
peradilan;
 ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
atau
 pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
 Untuk lebih jelasnya, batas-batas mengenai perbuatan yang tidak
dianggap sebagai perilaku pelanggaran Hak Cipta dapat ditinjau pada
pasal 43 sampai 53 tentang Pembatasan Hak Cipta di dalam Undang-
DAMPAK

DAMPAK PEMBAJAKAN HAK CIPTA

1. Risiko Hukum yang Jelas


Hukum mengenai tindakan plagiarisme telah diatur dalam pasal pelanggaran hak cipta
yang disahkan sejak tahun 2002. Pasal tersebut dengan jelas telah mencantumkan
ancaman hukuman penjara mulai dari satu bulan hingga lima tahun serta denda sebanyak
lima ratus juta hingga lima miliar rupiah. Karena masa hukumannya tidak main-main,
jangan sekali-sekali berani untuk melanggar hak cipta

2. Merugikan Pemilik Hak Cipta Secara Materiel dan Imateriel


Plagiarisme mampu menimbulkan kerugian pada si pemilik aslinya secara materiel dan
imateriel. Dari segi materiel, hal ini mampu berdampak pada kesejahteraan ekonomi si
pemilik apabila hak-hak yang dilanggar bersifat komersil seperti barang
jualan, software, atau film. Sebab minat konsumen pada produk akan menurun secara
drastis jika produk tersebut dibajak dan dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah.
Sementara dari segi imateriel hal ini dapat merusak citra produk atau pemilik secara
umum, dan berisiko meningkatan taraf penyalahgunaan produk.
3. Risiko Phising Data-Data Pengguna
Khusus untuk kekayaan intektual dalam bentuk digital seperti film, program antivirus komputer,
atau software, pelanggaran hak cipta secara langsung juga akan berdampak pada keamanan data-data
Anda.
Hal ini terjadi karena biasanya program digital yang sudah dibajak sangat mudah untuk disusupi oleh
berbagai jenis malware dan virus komputer yang berisiko mencuri data penting seperti nomor kartu
kredit, konten surat elektronik, serta file pribadi. Dalam beberapa kasus, virus-virus ini juga dikenal
mampu merusak dokumen-dokumen di dalam komputer.

4. Menghasilkan Data Forgery yang Menyesatkan


Istilah data forgery di sini mengacu pada fabrikasi data palsu untuk menutupi tindakan plagiat di
internet. Ini sangat berbahaya untuk para pengguna internet secara umum karena data forgery akan
memunculkan informasi menyesatkan yang tidak jelas asal-muasal datanya. Selain itu, tindakan
pelanggaran jenis ini juga sulit dideteksi karena pemakaian data yang tidak akurat seringkali dapat
membingungkan berbagai perangkat lunak pembasmi plagiarisme.

5. Merusak Kredibilitas Akademik


Dalam dunia akademik, tindakan pelanggaran hak cipta dalam bentuk plagiarisme karya tulis sangat
dilarang. Tindakan ini akan berdampak langsung pada kredibiltas Anda sebagai seorang civitas
akademica serta merugikan institusi atau kampus Anda secara umum. Angka plagiarisme bahkan bisa
menurunkan tingkat akreditasi lembaga pendidikan. Oleh karena itu jangan sekali-kali menganggap
remeh hal ini.
Saat ini undang-undang plagiarisme membatasi pencatutan karya orang lain sebanyak 10% dari total
tulisan yang Anda buat. Untuk mengecek persentasi ini, Anda dapat menggunakan perangkat plagiarism
SANKSI PELANGGARAN HAK CIPTA
Pelanggaran terhadap Hak Cipta dapat diproses sebagai
pidana sebagaimana yang tertuang dalam pasal 120 UU Hak
Cipta, “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini merupaan delik aduan.” Adapun sanksi
pelanggaran hak cipta yang diberikan dapat berupa pidana
penjara dan/atau denda seperti berikut.
PASAL 112
 Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan/atau pasal
52 untuk penggunaan secara komersial, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
PASAL 113
 Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
 Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
 Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
PASAL 114
 Setiap orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala
bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan
penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak
Cipta dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
PASAL 115
 Setiap orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau
ahli warisnya melakukan penggunaan secara komersial,
penggandaan, pengumuman, pendistribusian, atau komunikasi atas
potret sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 untuk kepentingan
reklame atau periklanan untuk penggunaan secara komersial baik
dalam media elektronik maupun nonelektronik, dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
CONTOH PELANGGARAN HAK CIPTA

PEMBAJAKAN SOFTWARE
 Pelanggaran hak cipta ini adalah contoh yang paling banyak dan
mudah ditemui, baik di Indonesia maupun luar negeri. Di
Indonesia sendiri, penyidik PPNS Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual sempat melakukan penindakan pelanggaran
hak cipta bersama Business Software Association (BSA) dan
Kepolisian di Mall Ambassador dan Ratu Plasa.
 Sebelumnya pada tanggal 10 Februari 2012, BSA melakukan
pelaporan ke DKJI mengenai adanya penjualan bebas
CD software bajakan di dua pusat perbelanjaan tersebut. Dari hasil
penindakan ini didapatkan 10.000 keping CD sebagai barang
bukti. Kerugian dari pelanggaran ini cukup besar. CD asli dijual
dengan harga mencapai Rp1.000.000,00, sedangkan oknum hanya
menjual per keping dengan kisaran harga Rp50.000,00 sampai
PLAGIARISME MUSIK
Sejumlah musisi besar dunia juga tidak luput dari dugaan pelanggaran hak
cipta. Ed Sheeran, seorang penyanyi, penulis lagu, dan produser asal Inggris
pernah digugat oleh musisi lainnya asal Amerika di tahun 2016.
Martin Harrington—penulis lagu dan produser musik—dan Thomas
Leonard—penulis lagu di bawah naungan perusahaan Harrington—menuntut Ed
Sheeran sebesar 20 juta dolar atas lagu berjudul Photograph. Menurut dua musisi
yang berbasis di California tersebut, ciptaan Ed Sheeran tersebut memiliki struktur
yang serupa dengan salah satu lagu mereka yang berjudul Amazing.
Gugatan dilayangkan di Pengadilan Federal Central District California.
Photograph diklaim memiliki 29 nada identik dengan lagu Amazing. Sebagai
catatan, lagu Photograph dirilis pada tahun 2015, sementara Amazing sudah lebih
dulu menyapa penikmat musik sejak tahun 2009.
Tren lagu-lagu cover di berbagai platform digital juga berpotensi
menimbulkan gugatan serupa. Kasus antara grup musik Payung Teduh dan
penyanyi muda Hanin Dhiya juga sempat meramaikan publik. Lagu Akad milik
Payung Teduh yang laris manis di pasaran dibuat versi cover oleh Hanin. Merasa
tidak ada izin sebelumnya, pihak Payung Teduh lantas membuat pernyataan
terbuka yang menyuarakan kekecewaannya meski tidak menempuh jalur hukum
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
KESIMPULAN
SARAN

Penghormatan mengenai hak cipta merupakan sesuatu


yang harus ditanamkan pada setiap individu. Sosialisasi
mengenai usaha perlindungan hak cipta harus terus dilakukan
untuk menyadarkan setiap orang bahwa dalam suatu karya
terdapat harapan dari pencipta untuk dihormati dan dihargai
karyanya, dengan menghargai orang lain sama dengan
menghargai diri sendiri.
Kebijakan hak cipta yang terjadi merupakan bukti aturan
tersebut perlu dipebarui, atau disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat sehingga tidak terdapat pihak yang merasa dirugikan.

Anda mungkin juga menyukai