Anda di halaman 1dari 12

HUKUM HAK ATAS KEKAYAAN

INTELEKTUAL

DISUSUN OLEH:

KRISTANTO ELSOSMAN DAELI(180200017)

DOSEN PENGAMPU: Prof. Dr.Tan Kamello, SH, MS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Puji syukur Kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu syarat penilaian
untuk tugas semester ini dalam mata kuliah Hukum Hak Atas Kekayaan
Intelektual.

Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu,Saya memahami bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, sehingga saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

MEDAN,JANUARI 2021
PEMBAHASAN

Perbandingan antara UU No.19 Tahun 2002 dengan UU No.28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta

Hak cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil
penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin
suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi
penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu
yang terbatas. Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan
tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya- karya koreografis (tari, balet,
dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak
komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri. Hak cipta merupakan
salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan
intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak
cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang
lain yang melakukannya. Sebagaimana yang telah kita semua ketahui, bahwa pada tanggal 16 Oktober
2014, Pemerintah Indonesia telah resmi mengesahkan Undang-Undang Hak Cipta yang baru yaitu
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 (untuk selanjutnya disebut "UU Hak Cipta"), dimana Undang-
Undang Hak Cipta yang baru ini lahir untuk menggantikan Undang-Undang Hak Cipta yang lama.
Melalui Pasal 1 UU Hak Cipta ini, dapat kita lihat bahwa UU Hak Cipta ini memberikan definisi yang
sedikit berbeda untuk beberapa hal. Selain itu, dalam bagian definisi, dalam UU ini juga diatur lebih
banyak, seperti adanya definisi atas “fiksasi”, “fonogram”, “penggandaan”, “royalti”, “Lembaga
Manajemen Kolektif”, “pembajakan”, “penggunaan secara komersial”, “ganti rugi”, dan sebagainya.
Dalam UU ini juga diatur lebih mendalam lagi mengenai apa itu hak cipta, yang mana pengertian Hak
cipta berdasarkan UU ini adalah hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.

Selain beberapa perbedaan, terdapat juga pengaturan yang lebih menarik dari UU Hak Cipta yang lama,
diantaranya:

1. Perlindungan hak cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang;


2. Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase, atau pengadilan, serta
penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana;
3. Pengelola tempat perdagangan bertanggung jawab atas tempat penjualan dan/atau pelanggaran hak
cipta dan/atau hak terkait di pusat tempat perbelanjaan yang dikelolanya;
4. Hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek jaminan fidusia;
5. Menteri diberi kewenangan untuk menghapus ciptaan yang sudah dicatatkan, apabila ciptaan
tersebut melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan
negara, serta ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. Pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif
agar dapat menarik imbalan atau royalti;
7. Pencipta dan/atau pemilik hak terkait mendapat imbalan royalti untuk ciptaan atau produk hak
terkait yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan secara komersial;
8. Lembaga Manajemen Kolektif yang berfungsi menghimpun dan mengelola hak ekonomi pencipta
dan pemilik hak terkait wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri;
9. Penggunaan hak cipta dan hak terkait dalam sarana multimedia untuk merespon perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi.

Kelahiran UU ini pada dasarnya identik dengan terbitnya era baru dan spirit yang dinamis akan
perlindungan Hak Cipta bagi manusia kreatif Indonesia. Pemerintah dan DPR - RI telah menunjukan
kesungguhannya untuk tidak sekadar menghargai dan mengakui eksistensi para pencipta dan kreator, akan
tetapi juga melindungi hak-hak ekonomi mereka, serta melindungi hak-hak terkait yang meliputi Pelaku
Pertunjukan dengan Produser, disamping juga melindungi hak-hak terkait di bidang penyiaran.
Penghargaan atas karya kreatif dan perlindungan hak ekonomi akan mendorong lahirnya karya seni dan
kreativitas baru yang puncaknya menjadi kreativitas makro yang cerdas dan unggul. UU ini jadi
momentum sejarah bagi bangsa Indonesia untuk menghasilkan ciptaan-ciptaan dan kreasi baru di bidang
hak cipta, pelaku - pelaku seni yang kreatif akan lebih bersemangat lagi untuk menciptakan hasil karya
ciptaannya tanpa ada rasa takut akan pembajakan, dikarenakan sebelumnya UU lama belum sepenuhnya
melindungi orang-orang kreatif, tapi UU ini benar-benar melindungi orang-orang kreatif.
Rancangan Undang-Undang Hak Cipta telah ditetapkan menjadi undang-undang. UU Hak Cipta yang baru
ini (“UU Hak Cipta Baru”) akan mengganti Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UU
19/2002”).
Melalui Pasal 1 UU Hak Cipta Baru, dapat kita lihat bahwa UU Hak Cipta baru memberikan definisi yang
sedikit berbeda untuk beberapa hal. Selain itu, dalam bagian definisi, dalam UU Hak Cipta Baru juga
diatur lebih banyak, seperti adanya definisi atas “fiksasi”, “fonogram”, “penggandaan”, “royalti”,
“Lembaga Manajemen Kolektif”, “pembajakan”, “penggunaan secara komersial”, “ganti rugi”, dan
sebagainya. Dalam UU Hak Cipta Baru juga diatur lebih detail mengenai apa itu hak cipta. Hak cipta
merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Mengenai perbedaan antara UU 19/2002 dengan UU Hak Cipta Baru, dapat dilihat dalam Penjelasan
Umum UU Hak Cipta Baru yang mengatakan bahwa secara garis besar, UU Hak Cipta Baru mengatur
tentang:
1. Perlindungan hak cipta dilakukan dengan waktu lebih panjang;
2. Perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau pemilik hak terkait,
termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat);
3. Penyelesaian sengketa secara efektif melalui proses mediasi, arbitrase, atau pengadilan, serta
penerapan delik aduan untuk tuntutan pidana;
4. Pengelola tempat perdagangan bertanggung jawab atas tempat penjualan dan/atau pelanggaran hak
cipta dan/atau hak terkait di pusat tempat perbelanjaan yang dikelolanya;
5. Hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek jaminan fidusia;
6. Menteri diberi kewenangan untuk menghapus ciptaan yang sudah dicatatkan, apabila ciptaan
tersebut melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan
negara, serta ketentuan peraturan perundang-undangan;
7. Pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif
agar dapat menarik imbalan atau royalti;
8. Pencipta dan/atau pemilik hak terkait mendapat imbalan royalti untuk ciptaan atau produk hak
terkait yang dibuat dalam hubungan dinas dan digunakan secara komersial;
9. Lembaga Manajemen Kolektif yang berfungsi menghimpun dan mengelola hak ekonomi pencipta
dan pemilik hak terkait wajib mengajukan permohonan izin operasional kepada Menteri;
10. .Penggunaan hak cipta dan hak terkait dalam sarana multimedia untuk merespon perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi.

Sebagai benda bergerak, baik dalam UU 19/2002 dan UU Hak Cipta Baru diatur mengenai cara
mengalihkan hak cipta. Akan tetapi dalam Pasal 16 ayat (1) UU Hak Cipta Baru ditambahkan bahwa hak
cipta dapat dialihkan dengan wakaf. Masih terkait dengan hak cipta sebagai benda bergerak, dalam UU
19/2002 tidak diatur mengenai hak cipta sebagai jaminan. Akan tetapi, dalam Pasal 16 ayat (3) UU Hak
Cipta Baru dikatakan bahwa hak cipta adalah benda bergerak tidak berwujud yang dapat dijaminkan
dengan jaminan fidusia.
Mengenai jangka waktu perlindungan hak cipta yang lebih panjang, dalam Pasal 29 ayat (1) UU 19/2002
disebutkan bahwa jangka waktu perlindungan hak cipta adalah selama hidup pencipta dan berlangsung
hingga 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia, sedangkan dalam UU Hak Cipta Baru, masa berlaku
hak cipta dibagi menjadi 2 (dua) yaitu masa berlaku hak moral dan hak ekonomi.
Hak moral pencipta untuk (i) tetap mencantumkan atau tidak mencatumkan namanya pada salinan
sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; (ii) menggunakan nama aliasnya atau
samarannya; (iii) mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi
ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya, berlaku tanpa batas waktu
(Pasal 57 ayat (1) UU Hak Cipta Baru). Sedangkan hak moral untuk (i) mengubah ciptaannya sesuai
dengan kepatutan dalam masyarakat; dan (ii) mengubah judul dan anak judul ciptaan, berlaku selama
berlangsungnya jangka waktu hak cipta atas ciptaan yang bersangkutan (Pasal 57 ayat (2) UU Hak Cipta
Baru).
Kemudian untuk hak ekonomi atas ciptaan, perlindungan hak cipta berlaku selama hidup pencipta dan
terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari
tahun berikutnya (Pasal 58 ayat (1) UU Hak Cipta Baru). Sedangkan jika hak cipta tersebut dimiliki oleh
badan hukum, maka berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman.
Perlindungan sebagaimana diatur dalam Pasal 58 tersebut hanya berlaku bagi ciptaan berupa:
a) buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya
b) ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain
c) alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan
d) lagu atau musik dengan atau tanpa teks
e) drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim
f) karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung,
atau kolase
g) karya arsitektur
h) peta
i) karya seni batik atau seni motif lain.

Akan tetapi, bagi ciptaan berupa:


a) karya fotografi
b) potret
c) karya sinematografi
d) permainan video
e) program komputer
f) perwajahan karya tulis
g) terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi, dan karya
lain dari hasil transformasi
h) terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi atau modifikasi ekspresi budaya tradisional
berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. (Pasal 59 ayat (1) UU Hak Cipta
Baru).
Kemudian untuk ciptaan berupa karya seni terapan, perlindungan hak cipta berlaku selama 25 tahun sejak
pertama kali dilakukan pengumuman (Pasal 59 ayat (2) UU Hak Cipta Baru).
UU Hak Cipta Baru ini juga melindungi pencipta dalam hal terjadi jual putus (sold flat). Ciptaan buku,
dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam
perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak ciptanya beralih kembali kepada pencipta
pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 tahun (Pasal 18 UU Hak Cipta Baru). Hal tersebut
juga berlaku bagi karya pelaku pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak
ekonominya, hak ekonomi tersebut beralih kembali kepada pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25
tahun (Pasal 30 UU Hak Cipta Baru).
Hal lain yang menarik dari UU Hak Cipta Baru ini adalah adanya larangan bagi pengelola tempat
perdagangan untuk membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran hak cipta
dan/atau hak terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya (Pasal 10 UU Hak Cipta Baru). Dalam Pasal
114 UU Hak Cipta Baru diatur mengenai pidana bagi tempat perbelanjaan yang melanggar ketentuan
tersebut, yaitu pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Selain itu, dalam UU Hak Cipta Baru juga ada yang namanya Lembaga Manajemen Kolektif. Lembaga
Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh
pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk
menghimpun dan mendistribusikan royalti (Pasal 1 angka 22 UU Hak Cipta Baru).
Hal- Hal yang baru dalam UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 juga melahirkan norma-norma baru terkait Hak Cipta yang belum
diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.Perubahan-perubahan ini tentunya diharapkan dapat
membawa perbaikan bagi perlindungan Hak Cipta di Indonesia.
1) Pemahaman Hak Cipta
Ciptaan yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 telah mengalami
perluasan dari yang sebelumnya diatur dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 2002.
2) Perpanjangan Masa Perlindungan Hak Cipta
Hak Ekonomi dapat dialihkan untuk dimanfaatkan maupun dikelola oleh pihak lain dengan tetap
mempertimbangan manfaat atas hak ekonomi yang muncul bagi Pencipta dan atau pemegang Hak
Cipta.Undang-Undang nomor 19 Tahun 2002 menentukan bahwa jangka waktu perlindungan Hak Cipta
mayoritas suatu ciptaan adalah selama hidup pencipta dan berlangsung terus hingga 50 tahun setelah
pencipta meninggal dunia,kemudian mengalami perubahan dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2014.
Pasal 58 ayat (1)Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 menyatakan bahwa perlindungan mayoritas hak
cipta berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal
dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Sementara itu, jika hak cipta dimiliki oleh
badan hukum, maka berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman.Adanya
perubahan mengenai jangka waktu perlindungan Hak Cipta yang sebelumnya tidak memiliki perbedaan,
kini telah dilakukan perbedaan berdasarkan subjek pemilik Hak Cipta.
3) Perlindungan yang lebih baik terhadap hak ekonomi para pencipta dan/atau pemilik hak
terkait,termasuk membatasi pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus (sold flat)
Adanya ketentuan mengenai pembatasan jangka waktu pengalihan Hak Cipta dengan sistem jual putus
(sold flat) sebagaimana diatur dalam Pasal 18. Jual putus berarti saat Pencipta ingin mengalihkan Hak
Cipta atas ciptaan dengan sistem jual putus, maka pihak penerima Hak Cipta hanya perlu membayar
dengan nominal tertentu sesuai kesepakatan para pihak.Setelah nominal yang disepakati dilunasi, maka
Pencipta tidak berhak lagi menuntut hak ekonomi yang muncul dikemudian hari yang dihasilkan oleh
Ciptaan yang sudah dialihkan.Ketentuan ini berlaku bagi ciptaan berupa karya tulis maupun seni dan atau
musik.Perubahan ini sangat positif bagi Pencipta mengingat suatu ciptaan merupakan buah pikiran yang
khas yang dilahirkan oleh pencipta.Oleh karena itu, meskipun hak atas ekonomi sutu karya tulis maupun
karya seni di bidang musik telah dialihkan secara jual putus, pengalihan itu hendaknya dibatasi jangka
waktunya dan dikembalikan kepada pencipta setelah waktu tertentu. Hal ini dapat memberi manfaat bagi
pencipta dan memotivasi pencipta untuk terus berkarya karena sekalipun suatu Hak Cipta telah dialihkan
secara jual putus, hak itu akan kembali lagi kepada Pencipta.
4) Penyelesaian sengketa yang lebih efektif
Perubahan besar lainnya dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 adalah dimungkinkannya
penyelesaian sengketa Hak Cipta melalui saluran penyelesaian yang lebih luas yaitu melalui alternatif
penyelesaian sengketa, arbitrase, maupun pengadilan.Dalam pasal sebelumnya atas kerugian yang dialami
oleh pencipta, Pencipta hanya diperkanankan untuk memperjuangkan haknya melalui jalur pengadilan.
Ketentuan ini kemudian diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 yang memungkinkan
ditempuhnya penyelesaian suatu sengketa Hak Cipta melalui jalur alternatif penyelesaian sengketa,
arbitrase, maupun pengadilan di pengadilan niaga. Dengan dibukanya kemungkinan penyelesaian di luar
pengadilan maka penyelesaian sengketa berpotensi lebih efektif.Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
pada umumnya memakan waktu yang lebih lama. Apabila sengketa diselesaikan melalui alternatif
penyelesaian, seperti mediasi, konsiliasi, ataupun penilaian ahli, maka kasus akan dapat diselesaikan
dengan lebih efektif.
5) Hak Cipta dapat menjadi jaminan fidusia
Pasal 16 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa
Hak Cipta dapat menjadi jaminan Fidusiadisebutkan bahwa "hak cipta dapat dijadikan sebagai obyek
jaminan fidusia".Hal ini ditekankan pula dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 yang
menyatakan bahwa Hak Cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud dapat dijadikan objek fidusia.Dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 mengingat bahwa selama ini kemungkinan Hak Cipta menjadi
objek suatu jaminan baru sebatas perdebatan semata.Benda yang dijadikan jaminan fidusia pada umumnya
adalah benda yang berwujud.Hak Cipta merupakan benda yang tidak berwujud. Akan tetapi, di sisi lain
sebagai benda yang tidak bergerak, Hak Cipta dapat memenuhi karakteristik objek fidusia, yaitu benda
yang kepemilikannya dapat dialihkan namun penguasaannya tetap pada pemilik benda. Lagipula,
peraturan terkait fidusia tidak memberikan batasan bagi benda tidak bergerak untuk tidak dapat dijadikan
objek fidusia.Atas dasar itu, maka Hak Cipta dapat dijadikan sebagai objek fidusia.
6) Pengelola tempat perdagangan bertanggung jawab atas tempat penjualan dan/atau pelanggaran hak
cipta dan/atau hak terkait di pusat tempat perbelanjaan yang dikelolanya.
Materi mengenai pengelola tempat perdagangan bertanggung jawab atas tempat penjualan dan/atau
pelanggaran hak cipta dan/ atau hak terkait di pusat tempat perbelanjaan yang dikelolanya telah diatur di
dalam Pasal 10 UU Hak Cipta 2014.Ide ini muncul dikarenakan pusat perbelanjaan sering kali dianggap
memiliki reputasi yang buruk dengan beredarnya barang-barang hasil pelanggaran hak cipta di
masyarakat. Penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta dikelola sedemikian rupa dan terbuka untuk
umum sehingga terkadang masyarakat tidak menyadari bahwa barang yang dibelinya merupakan barang
hasil pelanggan Pengelola pusat perbelanjaan dapat dianggap mempunyai tanggung mutlak akan
terjadinya pelanggaran hak cipta dalam penjualan barang hasil pelanggaran hak cipta walaupun dia tidak
mengetahui apa yang dijual toko-toko di dalam pusat perbelanjaannya tersebut. Lebih lanjut UU Hak
Cipta 2014 juga menekankan sanksi ketentuan pidanayang memberikan pidana terhadap pengelola mall
yang telah membiarkan para penjual barang- barang hasil pelanggaran hak cipta antara lain seperti cd/ dvd
musik, film, video game dan sebagainya di pusat perbelanjaan. Tindakan tersebut dapat pula dikategorikan
sebagai kegiatan turut serta dalam terjadinya pelanggaran hak cipta, oleh karena itu sanksi pidana bagi
pengelola pusat perbelanjaan dipandang perlu untuk menekan angka pembajakan di Indonesia.
7) Lahirnya lembaga manajemen kolektif
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 juga melahirkan lembaga baru bernama Lembaga Manajemen
Kolektif yang diharapkan dapat memberi sumbangsih besar dalam kemajuan pengelolaan Hak
Cipta.Lembaga Manajemen Kolektif ini akan menjadi lembaga yang turut serta membantu Pencipta,
Pemegang Hak Cipta, dan atau/pemilik Hak Terkait dalam mengelola Hak Ekonominya. Hal ini tentunya
dapat membantu Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan atau/pemilik Hak Terkait dalam mengelola Hak
Ekonominya. Peran lain yang dimainkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif adalah sebagai perantara
Pencipta dalam berurusan dengan pihak lain yang ingin memakai hasil ciptaan milik Pencipta. Hal ini
dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 23 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014.Eksistensi
Lembaga Manajemen Kolektif di masa depan diharapkan dapat membantu pertumbuhan maupun
perkembangan Hak Cipta di Indonesia.
8) Ekspresi Budaya Tradisional
Diatur secara rinci di dalam UU Hak Cipta 2014.Ide ini dilakukan, karena upaya perlindungan atas
ekspresi budaya tradisional dan hak cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui dirasakan kurang
mendapat perhatian dari pihak Pemerintah. Meskipun telah diatur sebelumnya di dalam Pasal 10 UU Hak
Cipta 2002, akan tetapi pengaturan tersebut dirasakan belum maksimal, dikarenakan Pemerintah sampai
sekarang belum menerbitkan peraturan seperti yang diamanahkan Pasal 10 ayat (4) UU Hak cipta 2002.
Materi-materi baru yang tertuang di dalam UU Hak Cipta 2014 diharapkan dapat menjadi suatu langkah
baru untuk lebih memberikan jaminan kepastian perlindungan hokum bagi para pencipta dan juga pemilik
hak terkait.
Analisis Mengenai Plagiat Apakah Terdapat Di Dalam UU Yang Baru Beserta
Sanksinya
Dalam artikel Menghindari Pelanggaran Hak Cipta dalam Menulis ,mengatakan bahwa jika seseorang
menggunakan karya atau ciptaan orang lain sangat mungkin ia akan melakukan plagiarisme. Plagiarisme
adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, naskah, dan sebagainya dari orang lain secara
keseluruhan atau sebagian, tanpa menyebut sumber dan membuatnya seolah-olah tulisan dan pendapat
sendiri. Dalam hal demikian, untuk menghindar plagiarisme, seseorang perlu mendapatkan izin pencipta
atau pemegang hak cipta sebelum memutuskan untuk menggunakan karya pihak tersebut.
Hal serupa juga dikatakan pakar Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) Cita Citrawinda Priapantja dalam
artikel Sinetron Jiplakan Artis Bisa Batalkan Kontrak Sepihak sebagaimana kami sarikan, menyatakan
bahwa plagiarisme atau penjiplakan merupakan pelanggaran hak cipta yakni dengan jalan perbanyakan
hak cipta tanpa seijin penciptanya.
Dari definisi-definisi plagiarisme yang kami sebutkan di atas jelas bahwa plagiarisme adalah penjiplakan
yang melanggar hak cipta.
Hak Cipta itu sendiri adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 1 UUHC).
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUHC, hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan hak eksklusif, menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUHC, adalah hak yang
semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan
hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Sedangkan dalam pengertian “mengumumkan atau
memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan,
menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik,
menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.
Lagu atau musik dalam UUHC adalah salah satu ciptaan yang dilindungi, sebagaimana diatur dalam Pasal
12 ayat (1) huruf d UUHC. Lagu atau musik ini diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun
terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi. Yang dimaksud
dengan utuh adalah bahwa lagu atau musik tersebut merupakan satu kesatuan karya cipta sebagaimana
dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf d UUHC.
UUHC menyebutkan hal-hal yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta di dalam Pasal 15
UUHC. Pasal ini mengatakan bahwa dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan,
tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a) penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b) pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di
dalam atau di luar Pengadilan;
c) pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:

Atas pelanggaran hak cipta dalam Pasal 2 UUHC, pelaku plagiarisme dapat dijerat dengan ancaman
pidana menurut Pasal 72 ayat (1) UUHC dengan dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Adapun penyelesaian sengketa terhadap pelanggaran ini dapat dilakukan melalui Pengadilan Niaga,
arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa (penjelasan umum UUHC). Berdasarkan Pasal 56 ayat (1)
UUHC, pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas
pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil
Perbanyakan Ciptaan itu. Kemudian, selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan niaga, para pihak
juga dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa
(Pasal 65 UUHC).

Anda mungkin juga menyukai