Anda di halaman 1dari 7

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

BUKAN BUDAYA INDONESIA


KASUS PENCIPTA INDONESIA YANG SELALU MISKIN

Kelompok 8 (delapan) :
Esterina D. Ruru, NIM: 2102190033
Hesekiel Kevin Octovian, NIM: 2102190031
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intellectual Property Rights (IPRs) merupakan hak
ekonomis yang diberikan oleh hukum kepada seorang pencipta atau penemu atas suatau hasil karya
dari kemampuan intelektual manusia. Pengertian Intellectual Property Rights (IPR) adalah yang
mengatur segala karya-karya yang lahir karena adanya kemampuan intelektual manusia.

Peraturan Perundang-undangan
1. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014, tentang Hak Cipta (UUHC)
2. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021, tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu
dan/atau Musik

Realita atas Peraturan yang ada


Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia terbilang cukup tinggi. Pemerintah
mencatat telah melakukan penanganan 1.184 perkara pelanggaran HKI dalam 5 tahun terkhir ini.
Sebanyak 658 perkara terkait dengan merek, 243 kasus hak cipta, 27 kasus desain industry, delapan
kasus perlindungan varietas tanaman. Dari berbagai macam bidang HKI tersebut, sengketa terkait hak
cipta merupakan dua teratas dari semua kasus yang ada.
Sampai saat ini, masih banyak para seniman yang belum juga mendaftarkan hasil karyanya,
sehingga tidak mendapatkan hak ekonomi atas karyanya tersebut. Padahal sesungguhnya hasil seni
karya para seniman akan menjadi nilai ekonomi, jika didaftarkan sesuai dengan prosedur dan ketentuan
yang ada.

Tentang Hak Ekonomi tersebut, juga telah ditegaskan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), yang merupakan Hak Eklusif pencipta atau pemegang hak
cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya.
 
Keikutsertaan Indonesia menjadi anggota WTO yang mengakibatkan Indonesia menjadi terikat
dengan ketentuan dalam TRIPs adalah Indonesia harus menyesuaikan dan menyeleraskan ketentuan
UU Hak Cipta yang berlaku saat itu dengan ketentuan TRIPs. Hal ini ditentukan dalam Pasal 9 TRIPs .

Yang menjadi pokok perhatian dan permasalahan adalah disatu sisi substansi yang terkandung
dalam undang-undang Hak Cipta adalah yang sangat penting, namun disisi lain Undang-undang Hak
Cipta merupakan bentuk implementasi dari konvensi internasional yang subtansinya belum tentu
sejalan dengan sistem hukum nasional yang bersumber dari Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Dikarenakan merupakan sebuah hasil adopsi dari suatu konvensi internasional yang sarat dengan
Tarik menarik kepentingan antara negara maju dengan negara berkembang, maka besar kemungkinan
Undang-undang Hak Cipta yang ada saat ini tidak sepenuhnya mengabdi pada kepentingan nasional
sekalipun dalam konsiderans undang-undang dinyatakan bahwa perlindungan Hak Cipta diperlukan
guna memberikan perlindungan atas kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman bangsa dan
budaya Indonesia.

Hingga kini belum terdapat satu kesatuan pandangan mengenai pengertian politik hukum, akan
tetapi seluruh ahli hukum sependapat bahwa tiada satu negarapun di dunia yang tidak memiliki politik
hukum. Huntington berpendapat bahwa politik hukum (kebijakan hukum) adalah usaha penyelenggara
negara dalam invention law dan discovery law untuk mewujudkan ketertiban, keamanan, dan
kesejahteraan rakyatnya.

Politik hukum yang diterapkan oleh pemerintah di Indonesia, dengan era persaingan global
dengan negara-negara yang ada di dunia, sudah sepantasnya dikaji dan diterapkan untuk kepentingan
bangsa nasional Indonesia yang dikaitkan dengan Undang-Undang Hak Cipta atau Hak Kekayaan
Intelektual yang gaungnya sudah secara internasional.
Hak cipta telah memberikan kewenangan yang besar bagi para pencipta. Sesuai dengan
pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HKI), hak cipta dapat diartikan sebagai hak milik yang melekat
pada karya-karya cipta di bidang kesusasteraan, seni, dan ilmu pengetahuan seperti karya tulis, karya
musik, lukisan, patung dan sebagainya. Pada hakikatnya, hak cipta adalah hak yang dimiliki pencipta
untuk mengekploitasi dengan berbagai cara karya cipta yang dihasilkan .

Fungsi kontrol pemangku kekuasaan dan/atau pemerintah, akan dipastikan yang utama adalah
soal “tanggal, bulan dan tahun” pendaftaran karya cipta seseorang atau kelompok. Namun harus
diakui pula, lemahnya para penegak hukum dalam melakukan “rutinisan kontrol”, seperti ke tempat-
tempat hiburan atau acara-acara tertentu secara acak (random), dimana karya-karya cipta para
seniman diperagakan atau ditampilkan secara langsung.

Sangat dimungkinkan, adanya pengetahuan yang terbatas bagi para “aparat pengontrol/pengawas”
dalam menganalisa dan mendefinisikan atas unsur-unsur awal pelanggaran Hak Cipta. Apalagi jika
terjadi hal-hal yang merupakan kebiasaan bagi para aparat pengontrol, yang cukup menguasai unsur-
unsur pelanggaran Hak Cipta, namun menyelesaikannya dengan cara dan kepentingannya sendiri,
yaitu “damai di tempat”, dengan menerima imbalan dan/atau bayaran tertentu dari para pelanggar
pengguna Hak Cipta tersebut.
Apalagi saat ini, karya cipta yang dihasilkan oleh anak bangsa di Republik Indonesia, khususnya
soal lagu ciptaan, sangatlah miris. Hal ini disebabkam juga oleh adanya kelemahan sistem pengawasan
dari pemerintah Indonesia. Era digital, bisa saja merekam dan menjual yang bukan hasil dan/atau
karya cipta yang mempubikasikannya melalui fasilitas elektronik.

Karya cipta dalam bentuk digital memang sangat mudah untuk diduplikasi dan hasil perbuatan
tersebut juga nyaris tidak dapat dibedakan dengan aslinya. Tidak hanya itu, orang pun kemuadian
dapat melakukan modifikasi terhadap hasil pengandaan dan mendistribusikannya ke seluruh dunia
dengan nyaris tanpa biaya. Di satu sisi, hal ini tentu membuat sangat mudah bagi hamper semua orang
untuk melanggar hak cipta orang lain dalam skala yang sangat besar, tetapi di sisi lain sangat sulit bagi
pemilik hak cipta untuk mengetahui terjadinya pelanggaran, mengenali, atau pun kemudian
melakukan upaya hukum.
Para pencipta atas hasil karyanya adalah merupakan pemegang hak cipta, kiranya
dapat fokus mendalami berbagai karyanya di Indonesia, terlebih para pencipta
yang berada di beberapa daerah di pelosok tanah air Indonesia. Pemerintah daerah
wajib melakukan upaya-upaya hukum yang berkenaan dengan hasil karya para
pencipta yang merupakan pemegang hak cipta, seperti melakukan kunjungan
terhadap sanggar-sanggar seni, atau mengunjungi para pencipta, dengan memberi
informasi yang seturut peraturan dan perundang-undangan yang ada dan masih
berlaku.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai