Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan dan kemajuan sistem informasi teknologi pada kenyataanya memberikan


dampak yang signifikan kepada kemajuan teknologi diberbagai bidang kehidupan manusia.
Semakin berkembangnya sistem informasi dan teknologi maka semakin tinggi tingkat kerawanan
akan perdagangan barang palsu/bajakan. Salah satu contoh barang bajakan adalah VCD impor
bajakan. Dengan kemajuan teknologi maka seseorang dapat menggandakan suatu karya
intelektual dengan tanpa harus meminta ijin dari pemegang hak cipta.

Perkembangan dan kemajuan teknologi yang sangat pesat ini juga semakin
mempermudah proses pembuatan cakram optic sehingga berdampak pada penyalahgunaan
perkembangan dan kemajuan teknologi oleh pihak-pihak yang berorientasi sebatas pada profit
semata tanpa memperhitungkan hak-hak yang dimiliki oleh pihak-pihak yang memang berhak
atas royalti dari hasil karya/kreatifitas mereka, para pencipta.
Hak cipta merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia (intellectual property rights), di
mana pada dasarnya setiap orang memiliki peluang yang sama dalam hal memenuhi kebutuhan
hidup dasarnya selama tidak bertentangan dengan peraturan perundangan maupun norma-norma,
kaidah-kaidah yang hidup di tengah masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam setiap
bidang kehidupan masyarakat adalah mutlak menganut hukum baik disengaja maupun tidak.
(Ubi societas Ibi ius; Cicero ).

Hak asasi manusia merupakan hak fundamental yang dimiliki oleh setiap orang sejak ia
dilahirkan dan menjalani kehidupannya, hingga ia meninggal dunia. Dalam menjalani
kehidupannya, setiap orang memiliki kemampuan untuk berkreasi guna memenuhi kebutuhan
akan eksistensi dirinya, secara umum Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 mengatur mengenai
penguasaan negara terhadap perekonomian dan kesejahteraan sosial. Salah satu wujud dari
pemenuhan kebutuhan hidup dasarnya adalah dengan berkreasi sehingga menghasilkan suatu
karya cipta tersendiri yang unik dari masing-masing orang.
Mengenai jaminan akan pemenuhan hak setiap orang untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
dasarnya ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 28C ayat (1),
dan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Atas dasar pasal inilah, maka diterbitkan Undang-
undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, agar undang-undang ini dipatuhi dan ditaati oleh
masyarakat. Keberadaan undang-undang ini tentunya memberikan sebuah dimensi tugas baru
bagi Kepolisian sebagai salah satu bagian dari Criminal Justice System terutama dalam upayanya
melakukan penegakan hukum dibidang perlindungan Hak Cipta.

Sampai saat ini, yang sering dilakukan oleh para penegak hukum, khususnya Kepolisian,
atas keberadaan hak kekayaan intelektual (hak cipta) dalam upaya penegakan hukum untuk
menghentikan secara kilat kegiatan pembajakan masih berada pada sektor hilir dan pada sektor
menengah. Contohnya: operasi razia VCD/DVD bajakan yang dilakukan oleh Direktorat Reserse
Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Metro Jaya pada tahun 2005 di salah satu pusat
perdagangan di Glodok. Dalam kegiatan penegakan hukum tersebut, polisi diberitakan menyita

1
tidak kurang dari 72 ribu keping VCD/DVD bajakan.

Kenyataan di lapangan, pada sektor hulu, terdapat kesulitan mencapai atau menemukan
produsen atau aktor intelektual beserta kroni-kroninya yang berperan sebagai orang yang
memproduksi DVD/CD bajakan. Belum terungkapnya secara tuntas aktor produsen barang
bajakan atau belum dapat ditangkapnya aktivis pembajak pada sektor hulu (produsen atau aktor
intelektual beserta kroni-kroninya) mengesankan penegakan hukum atas kejahatan terhadap hak
cipta yang dilakukan seperti “mati satu, tumbuh seribu” dan masih merupakan tindakan parsial
yang menyebabkan today solution is to be problem tomorrow, sehingga diperlukan pendekatan
komprehensif-holistik dari sektor hulu sampai sektor hilir.

Pada sektor hulu telah dirasakan adanya dilema teknologi dan dilema hak cipta itu
sendiri, yaitu antara pembajakan atau peniruan (sebagai organized crime) dan kemajuan
teknologi. Dalam konteks ini, kemajuan teknologi di satu pihak perlu dihargai sebagai bagian
menghargai karya intelektual tetapi di lain pihak pelaksanaan teknologi juga dapat membuat
seseorang mudah melakukan pelanggaran hak. Namun demikian, penjualan VCD/DVD bajakan
dikalangan masyarakat adalah wujud perkembangan kejahatan yang terjadi ditengah-tengah
masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Berkaitan dengan maraknya pelanggaran hak cipta berupa penjualan VCD/DVD bajakan
tersebut, penulis mencoba mempersempit pokok permasalahan dalam makalah ini sebagai
berikut :
1. Bagaimana mekanisme penyidikan atas kejahatan terhadap hak kekayaan intelektual berupa
penjualan VCD/DVD bajakan ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyidikan kejahatan berupa penjualan VCD/DVD
bajakan oleh PPNS Ditjen HKI?

1.3 Tujuan

Agar tidak ada iagi yang menjiplk atau meniru karya orang lain, karena banyak aturan baik
dalam Undang-undang maupun peraturan yang lain yang menegaskan bahwa menjiplak atau
meniru dan meperjual belikan karya orang lain tanpa se-izin pemilik, itu melanggar hak cipta.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan kejahatan berupa penjualan VCD/DVD bajakan yang dirasakan semakin


meluas belakangan ini, menjadikan kejahatan ini mendapat perhatian cukup serius dikalangan
aparat penegak hukum. Pelanggaran atas hak kekayaan intelektual yang terjadi telah mencapai
taraf yang cukup memprihatinkan. Bisa dibayangkan betapa besar kerugian yang telah terjadi
baik secara materil maupun imateril.
Dalam bagian pembahasan kali ini, penulis akan lebih mengerucutkan pembahasan kepada dua
persoalan pokok yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan. Permasalahan pokok ini
sangat terkait dalam upaya penegakan hukum guna mengurangi dampak buruk dari
perkembangan kejahatan berupa penjualan VCD/DVD bajakan dikalangan masyarakat.

2.1 Mekanisme Penyidikan Atas Kejahatan Terhadap HAKI Berupa Penjualan VCD/DVD
Bajakan

Kejahatan terhadap Hak Kekayaan Intelektual berupa penjualan VCD/DVD bajakan


memberikan dampak pada dunia ekonomi khususnya dalam hal perdagangan. Hal ini tentu saja
berkaitan erat dengan keinginan investor asing untuk menginvestasikan modalnya kedalam
perdagangan VCD/DVD itu sendiri. Kondisi ini selaras dengan latar belakang yang menjadi
alasan diberlakukannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta. Dimana pada bagian konsideran dikatakan bahwa perkembangan di bidang perdagangan,
industri, dan investasi telah sedemikian pesat sehingga memerlukan peningkatan perlindungan
bagi Pencipta dan Pemilik Hak Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat
luas. Artinya, dampak yang diberikan dari kejahatan atas Hak Cipta ini telah secara nyata
menyerang perkembangan sektor ekonomi sebuah negara secara makro.

Pelaku tindak pidana pelanggaran Hak Cipta ini tidak terbatas pada subjek hukum orang
perorang (naturlijke person) tapi juga subjek hukum bukan orang (recht person) bahkan recht
person (badan hukum) tersebut sudah membentuk jaringan (sindikat) yang sangat luas dan
cermat. Karena itu, kejahatan terhadap Hak Cipta sering pula dikategorikan sebagai kejahatan
terorganisir (organized crime), hal ini mengingat subjek pelaku kejahatan terhadap Hak Cipta
khususnya dalam penjualan VCD/DVD bajakan ini dijalankan dengan ‘cara’ atau modus
operandi yang rapih dan mengikutsertakan entitas yang terputus (sel terputus). Pernyataan ini
sejalan dengan pemikiran Prof.Nitibaskara yang menyatakan bahwa pengertian kejahatan
terorganisir (organized crime) lebih mengarah kepada Cara melakukan kejahatan atau Modus
Operandi.

1. Penyidikan Polri

Perlindungan yang diberikan pada keberadaan Hak Kekayaan Intelektual ini tentu saja
berkaitan erat dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh lembaga penegakan hukum.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memiliki tugas pokok untuk menegakan hukum
sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas pokok ini tercantum jelas didalam pasal

3
13 undang-undang tersebut, dimana dikatakan bahwa : Tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah:

a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b) menegakkan hukum; dan c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan


kepada masyarakat.

Secara garis besar, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta mengatur masalah penyidikan pada Bab VII (Penyidikan). Di katakan dalam Pasal 71
bahwa;

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
pembinaan Hak Kekayaan Intelektual diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Hak Cipta.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :

a) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang Hak Cipta;
b) melakukan pemeriksaan terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak
pidana di bidang Hak Cipta;
c) meminta keterangan dari pihak atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di
bidang Hak Cipta;
d) melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang Hak Cipta;
e) melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti
pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain;
f) melakukan penyitaan bersama-sama dengan pihak Kepolisian terhadap bahan dan barang
hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Hak
Cipta; dan
g) Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang Hak Cipta.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.

Keberadaan Penyidik PPNS tersebut sejalan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa “Pengemban
fungsi kepolisian adalah Polri dibantu dengan Kepolisian Khusus (Polsus), Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS), dan bentuk-bentuk Pamswakarsa”. Dimana dalam mengemban fungsi

4
kepolisian, PPNS diberikan kewenangan berdasarkan isi pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) UU No.
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan juga berdasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).

Sebagaimana kita ketahui, penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam


hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tahapan penyidikan ini dapat
dikatakan bahwa tindak pidana telah terjadi. Keberadaan VCD/DVD bajakan sendiri merupakan
wujud kejahatan terhadap Hak Cipta, dimana kejahatan tersebut melibatkan serangkaian tindakan
melawan hukum melalui perbuatan menjual, memperbanyak, menyiarkan, ataupun mengedarkan.
Pada UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, kejahatan VCD/DVD bajakan ini bukan lagi
merupakan kejahatan delik aduan, melainkan dikategorikan sebagai delik biasa atau delik formil.
Selanjutnya juga perlu dipahami bahwa tipologi dari kejahatan Hak Cipta tersebut terdiri dari
unsur pelaku, motif, alat yang digunakan, waktu, tempat, korban/sasaran, pemasaran/pelimpahan,
sifat, dan ciri-cirnya, seperti: menyerupai sebagian atau seluruhnya sebagaimana yang telah
terdaftaar di Ditjen HKI), kualitasnya lebih rendah, dan harganya lebih murah (Supanto, 2000).
Dengan demikian, penyidikan tindak pidana pada kasus VCD/DVD bajakan ini tidak
memerlukan adanya laporan pengaduan terlebih dahulu, artinya penyidik Polri dapat melakukan
proses penyidikan berdasarkan temuan yang dilakukan.

1. Alur Penyidikan Polri

Kondisi ini memungkinkan aparat penegak hukum untuk langsung melakukan proses
penyidikan ketika menemukan VCD/DVD bajakan yang beredar dan diperjual belikan di
masyarakat. Tetapi pada kenyataanya, seringkali proses penegakan hukum tersebut hanya
menyentuh kalangan penjual semata, Polri masih dinilai belum maksimal dalam melakukan
penegakan hukum sampai ke hilir dari alur kejahatan VCD/DVD bajakan ini.
Belum maksimalnya penegakan hukum oleh Polri tersebut menunjukan bahwa kejahatan
VCD/DVD bajakan ini semakin meluas dimasyarakat. Polri seakan-akan kesulitan untuk
mengungkap peranan distributor dari para penjual yang sebagian besar merupakan lapak-lapak
pedagang kaki lima ini. Pada titik inilah peranan Penyidik PPNS diperlukan untuk ikut serta
membantu tugas Polri dalam memerangi kejahatan tersebut.

2. Penyidikan PPNS Ditjen HKI

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, khususnya pada pasal 71
mengamanatkan bahwa penyidikan tidak hanya dapat dilakukan oleh Kepolisian, melainkan juga
dapat dilakukan oleh Penyidik PPNS. Karena itulah, pembentuk Direktorat Penyidikan yang
dilakukan oleh Ditjen HKI dari Kementerian Hukum dan HAM dinilai sebagai sebuah langkah
yang positif.

Penyidikan oleh PPNS dilakukan setelah ada surat perintah tugas penyidikan, yaitu untuk
PPNS pada tingkat kantor wilayah, surat perintah diberikan oleh Kepala Departemen Kehakiman
setempat. Kewenangan tugas PPNS tingkat kantor wilayah hanya meliputi wilayah hukum kantor
bersangkutan. Sedangkan ditingkat Direktorat Hak Cipta (nasional), surat perintah diberikan
pihak Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Kewenangan tugas penyidik tingkat
5
ini meliputi seluruh wilayah Indonesia. Dalam melaksanakan tugasnya, PPNS mempunyai
kewajiban dalam empat hal, yaitu: (1) memberitahukan kepada Penuntut Umum dan Penyidik
Pejabat Polisi Negara tentang dimulainya penyidikan; (2) memberitahukan kepada Penyidik
Pejabat Polisi Negara tentang perkembangan penyidikan yang dilakukan; (3) meminta petunjuk
dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai dengan kebutuhan; dan (4)
memberitahukan kepada Penuntut Umum dan Penyidik Pejabat Polisi Negara apabila penyidikan
akan dihentikan karena alasan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.

PPNS tidak diberi kewajiban atau wewenang untuk melakukan penangkapan dan atau
penahanan berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 04. PW. 07. 03 Tahun
1988. Hal ini dapat dimaklumi, karena hukum acara di Indonesia mengatur hal tersebut. Artinya,
penyidikan dalam hal ini kejahatan VCD/DVD bajakan dapat dilakukan oleh Polri dan PPNS
(KUHAP), namun untuk kewenangan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
tetap merupakan wewenang Polri (Pasal 7 ayat 1 KUHAP). Untuk penyidik PPNS sendiri diatur
dalam pasal 7 ayat (2) KUHAP. Dalam pasal 71 ayat (2) UU No.19/2002 menyebutkan
mengenai kewenangan penyidik khususnya penyidik PPNS, yakni melakukan pemeriksaan,
pencatatan, dan meminta bantuan ahli. Sehingga dalam pelaksanaan upaya paksa oleh PPNS
Ditejen HKI tetap harus melakukan koordinasi dengan penyidik Polri selaku Korwas PPNS,
kecuali dalam situasi tertangkap tangan (caught in the act). Dalam hal ini, PPNS boleh
menangkap tersangka tanpa surat perintah selama 1 (satu) hari dan segera menyerahkannya
kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara yang lebih berwenang.

2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyidikan Kejahatan Berupa Penjualan


VCD/DVD Bajakan oleh PPNS Ditjen HKI

Kemajuan teknologi secara nyata telah memberikan dampak pada berkembangnya


kejahatan Hak Cipta khususnya dalam hal penjualan VCD/DVD bajakan ini. Alat pengganda di
bidang hak cipta misalnya ”Apparatus for high speed recording (alat perekam berkecepatan
tinggi)” dapat digunakan untuk memperbanyak suatu karya musik atau karya perangkat lunak
komputer dalam tempo satu menit dengan hasil VCD/DVD bajakan 300 (tiga ratus) keping.
Hal ini terjadi disebabkan hak cipta berdasarkan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta tidak menyebutkan bahwa hak cipta tidak wajib didaftarkan oleh pemegang hak cipta
namun hak cipta ini dilindungi oleh Undang-undang No. 19 Tahun 2002 sejak pemegang hak
cipta mengumumkan hasil ciptaannya pertama kali. Belum diaturnya kewajiban hak cipta untuk
didaftarkan di Ditjen Haki dan ancaman tindak pidana hak cipta hanya dikenakan pada pelaku
usaha (pengganda dan pedagang produk bajakan) dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002,
maka pelanggaran terhadap hak cipta dapat ditemui dalam setiap kegiatan masyarakat seperti
adanya penggandaan cakram optik bajak dan berbagai transaksi jual beli hak cipta bajakan antara
produsen dan konsumen dengan harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan produk yang
berlisensi.

Sehingga hal ini menjadikan hambatan dalam melakukan penegakan hukum tindak
pidana hak cipta dan instansi yang pertama kali bertanggung jawab terhadap terlaksananya
penerapan UU Hak Cipta adalah Ditjend Haki melalui PPNS Ditjend Haki. Dalam pelaksanaan
tugasnya, PPNS pada Ditjend Haki bekerjasama dan senantiasa berkoordinasi dengan Kepolisian

6
Negara Republik Indonesia (Polri).

Secara umum, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh pada proses penyidikan
khususnya yang dilakukan oleh PPNS Ditjen HKI. Faktor-faktor yang mempengaruhi
mempengaruhi penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS Hak Cipta yaitu
faktor internal dan eksternal sebagai berikut:

1. Faktor Undang-undang

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta belum mengatur kewajiban
pemegang hak cipta untuk mendaftarkan hasil ciptaannya kepada Ditjen Hak Cipta, hal tersebut
yang menjadi hambatan bagi PPNS dalam melakukan proses penyidikan tindak pidana hak cipta,
karena proses penyidikan pidana atas perkara hak cipta yang dilaporkan harus menunggu putusan
pengadilan niaga tentang kepemilikan hak atas ciptaan tersebut. Kemudian dalam undang-
undang tersebut juga belum mengatur sanksi pidana bagi konsumen (pengguna) produk hak cipta
bajakan, maka hal tersebut menjadikan hambatan bagi PPNS, sehingga Undang-undang tersebut
belum memberikan general detterent (efek jera) terhadap pelaku maupun calon pelaku baik
pelaku usaha maupun konsumen.

2. Faktor aparat penegak hukum

Penegak hukum disini tentu saja mengarah kepada penyidik Polri dan penyidik PPNS
Ditjen Hak Cipta. Dimana belum tercipta koordinasi secara intensif dengan Korwas PPNS,
sehingga proses penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS Hak Cipta atas
perkara hak cipta yang dilaporkan diselesaikan melalui pengadilan niaga dan akhirnya kasus di
SP3. Padahal, ketentuan dan kedudukan Polri sebagai korwas PPNS sangat jelas, dan keberadaan
tersebut sesungguhnya dapat memudahkan proses penegakan hukum dalam menangani kejahatan
VCD/DVD bajakan.

3. Faktor sarana dan prasarana

Sarana dan prasarana yang masih minim sehingga menghambat kelancaran proses
penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS, hal ini disebabkan belum adanya
anggaran untuk mengadakan sarana dan prasarana penyidikan. Sedangkan anggaran yang
diterima oleh para PPNS didasarkan pengajuan kasus tindak pidana hak cipta yang ditangani
oleh PPNS. Kondisi ini tentu saja sangat berpengaruh pada penyidikan yang dilakukan oleh
PPNS Ditjen HKI, tanpa dukungan tersebut tentu saja proses penyidikan yang dilakukan dan
akan dilakukan dapat terhambat.

4. Faktor masyarakat

Masyarakat sebagai konsumen dari produk hak cipta bajakan yang masih menggunakan
produk-produk bajakan disebabkan harga yang murah jika dibandingkan dengan membeli produk
yang berlisensi, maka hal ini telah menjadikan semakin maraknya pelanggaran hak cipta.
Disadari atau tidak, keberadaan masyarakat yang justru lebih memilih membeli barang bajakan
daripada barang yang asli (original) memberikan pengaruh besar dalam penyidikan, karena

7
semakin banyak permintaan konsumen maka alur perdagangan VCD/DVD bajakan akan
semakin meningkat.

5. Faktor budaya organisasi

Budaya organisasi seringkali juga menjadi salah satu faktor penghambat penegakan
hukum tindak pidana hak cipta sehingga masih masih terdapat arogansi dari masing-masing
institusi sehingga penggalangan koordinasi dalam upaya penegakan hukum tindak pidana hak
cipta menjadi tidak terwujud dengan baik.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang ada, sangat disadari bahwa


penyidikan terhadap tindak pidana hak cipta memerlukan sinergitas dari instansi terkait, terutama
dalam hal melakukan tindakan represif terhadap para pelaku tindak pidana hak cipta, baik pelaku
utama maupun orang yang turut serta melakukan tindak pidana hak cipta. Dalam melakukan
tindakan represif ini, instansi terkait juga perlu memperhatikan adanya faktor-faktor internal
maupun eksternal yang mempengaruhi proses penyidikan terhadap tindak pidana hak cipta,
adanya peluang dan ancaman dalam melakukan penyidikan tindak pidana hak cipta.

Disamping itu, rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap perlindungan hak cipta
sehingga masyarakat banyak yang melanggar UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta seperti
melakukan penggandaan hak cipta melalui cakram optik bajakan dan membeli produk hak cipta
bajakan, maka hal ini perlunya para PPNS Hak Cipta memberikan kesadaran hukum kepada
masyarakat melalui sosialisasi dan pemberian suritauladan yang nyata kepada masyarakat
melalui penggunaan berbagai jenis produk yang berlisensi resmi.

Di samping itu, terhadap para konsumen pengguna hak cipta bajakan perlu adanya
penindakan secara tegas melalui sanksi pidana, hal ini dilakukan dalam rangka memberikan
general detterent (efek jera) terhadap para konsumen pengguna hak cipta bajakan. Mengingat
belum diaturnya dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 mengenai kewajiban untuk
mendaftarkan hak cipta pada Ditjen Haki, maka perlunya merevisi Undang-undang No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta dengan menambahkan pasal tentang hasil ciptaan seseorang agar
didaftarkan pada Ditjen Haki yang berwenang, hal ini dilakukan agar tidak adanya tumpang
tindih para pemegang hak cipta karena hasil ciptaan seseorang telah terdokumentasi dengan baik
dan mempunyai legalitas secara hukum atas hasil ciptaannya.

Lebih lanjut, perlu ditambahkan pasal tentang sanksi pidana bagi para konsumen
(pengguna) produk atas hak cipta bajakan. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka memberikan
efek jera bagi para konsumen (pengguna) produk atas hak cipta bajakan yang saat ini masih
marak dan konsumen bebas membeli produk atas hak cipta bajakan karena produk atas hak cipta
bajakan sangat mudah ditemui seperti di mall-mall, terminal, pasar dan tempat publik lainnya.
Dalam proses penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan oleh PPNS Dit. Hak Cipta
pertanggung jawaban pidananya hanya diakukan terhadap orang per orang walaupun tindak
pidana hak cipta dilakukan oleh suatu perusahaan (PT) seperti melakukan penggandaan cakram
optik dalam bentuk pembajakan hak cipta berbagai jenis lagu, software dan lain-lain. Oleh
karena itu, perlu adanya rumusan tentang pertanggungjawaban korporasi dalam pelanggaran
ketentuan pidana Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta. Sehingga tidak hanya

8
pengurusnya saja yang dapat dijatuhi hukuman tetapi korporasipun ikut bertanggung jawab
dengan bentuk ancaman pidana tertentu seperti penghentian kegiatan perusahaan untuk
sementara waktu maupun bentuk hukuman lainnya.

Dalam hal penyidikan hak cipta yang dilakukan para PPNS Ditjen Haki perlu adanya
petunjuk teknis penyidikan terhadap pelanggaran hukum hak cipta disertai dengan pelaksanaan
berbagai bentuk peningkatan koordinasi dengan Korwas PPNS dan pelatihan karena didalam
proses pembuktiannya membutuhkan keterampilan khusus. Selama ini penegakan hukum hak
cipta yang dilakukan oleh PPNS Hak Cipta belum memiliki standar yang sama sehingga
menimbulkan keluhan dari masyarakat atas penyidikan yang dilakukan PPNS Ditjen HKI.
Di samping itu, perlu diadakan pembinaan secara intensif dan berkesinambungan dari Pimpinan
Ditjen HKI terhadap penyidikan tindak pidana hak cipta yang dilakukan PPNS Hak Cipta agar
penyidikan tindak pidana hak cipta dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan (efektif dan
efisien). Pelaksanaan penyidikan bukanlah sebuah perkara yang mudah dilakukan, hal ini
dirasakan sendiri oleh penulis yang pernah melakukan proses penyidikan ini. Koordinasi antara
penyidik PPNS dan Polri tidak sebatas pada penanganan perkara semata, namun juga lebih
dibutuhkan adanya pembinaan dan proses pembelajaran mengenai cara melakukan penyidikan
yang baik, profesional, efektif dan efisien sangat dibutuhkan. Pada akhirnya diharapkan
koordinasi yang tercipta dapat memaksimalkan penegakan hukum terhadap kejahatan
VCD/DVD bajakan tersebut.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Dari pembahasan yang dijabarkan diatas, penulis mencoba mengambil kesimpulan dari
dua pokok permasalahan yang telah penulis cantumkan. Kesimpulan ini merupakan pokok
jawaban dari persoalan tersebut.

A. Mekanisme penyidikan dalam menangani kejahatan VCD/DVD bajakan ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dimana dikatakan bahwa penyidikan
dapat dilaksanakan selain oleh penyidik Polri juga dilakukan oleh penyidik PPNS Ditjen HKI.
Proses penyidikan yang dilaksanakan tetap mengacu kepada hukum beracara yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Namun kewenangan dalam
hal upaya paksa tidak dimiliki oleh penyidik PPNS Ditjen HKI, melainkan tetap melekat sebagai
kewenangan dari penyidik Polri kecuali dalam hal tertangkap tangan. Proses penangkapan,
penahanan, penyidikan dan penyitaan oleh PPNS Ditjen HKI tetap harus melalui koordinasi
dengan penyidik Polri. Hal ini sesuai dan selaras dengan kedudukan penyidik Polri sebagai
KorwasPPNS.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyidikann yang dilakukan oleh PPNS Ditjen HKI secara
umum meliputi faktor internal dan eksternal. Terdapat lima point unsur utama yang
mempengaruhi hal tersebut, yakni : (1) Faktor Undang-undang; (2) Faktor Aparat Penegak
Hukum; (3) Faktor Sarana dan Prasarana; (4) Faktor Masyarakat; dan (5) Faktor Budaya
Organisasi. Kelima faktor ini, merupakan unsur pembentuk dalam sistem penyidikan kejahatan
Hak Cipta. Dimana faktor-faktor itu memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain.
Disamping itu, kemajuan teknologi juga memungkinkan berkembangnya kejahatan berupa
penjualan VCD/DVD bajakan, hal ini juga memberikan dampak yang signifikan terhadap
berkembangnya kejahatan ini yang tentu saja juga memberikan pengaruh terhadap penyidikan
kejahatan ini.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Nitibaskara, Ronny. Ketika Kejahatan Berdaulat 2004.


2. Sulaiman, Robintan. Otopsi Kejahatan Bisnis, Universitas Pelita Harapan 2001.
3. Supanto, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Di
Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Universitas Diponegoro 2000.
4. Yuliati,dkk. Efektifitas Penerapan UU No.19/2002 tentang Hak Cipta Terhadap Karya
Cipta Indilabel.
5. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7. Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta.

11

Anda mungkin juga menyukai