Anda di halaman 1dari 5

A.

LATAR BELAKANG

Di era yang serba modern ini, semua hal telah menjadi mudah dan praktis berkat
adanya kemajuan berbagai sarana dan teknologi khususnya informasi, sehingga hal
tersebut menunjang berbagai aktivitas manusia menjadi lebih mudah dalam melakukan
banyak hal termasuk salah satunya mendapatkan berbagai informasi yang terjadi dari
segala penjuru daerah serta berbagai hiburan. Berbagai kemudahan tersebut dapat
dirasakan di sekitar kita contohnya saja ketika ingin mendapatkan sarana hiburan
berupa pemutaran film, untuk mengaksesnya tidak lagi perlu datang langsung ke
bioskop dan membayar tiket yang mahal ataupun repot untuk memutar CD dengan cara
kuno melalui VCD player, sekarang dengan kemajuan teknologi hanya cukup dengan
memanfaatkan internet untuk mengaksesnya, membuka website pemutar film melalui
gadget dimana film tersebut bisa ditonton secara streaming maupun di download agar
bisa ditonton secara offline.1 Namun sayangnya, di tengah berbagai kemudahan yang
ditawarkan dampak kemajuan teknologi tersebut, tidak sedikit orang yang
menyalahgunakan hal tersebut untuk keuntungan mereka sendiri. Hal tersebut
dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki tanggung jawab sehingga hal tersebut
mengarah ke hal yang negative dan illegal. Hal tersebut terlihat pada bidang perfilman
yang secara sederhananya adalah dengan melakukan pembajakan film melalui berbagai
media seperti telegram. Hal tersebut tentunya merugikan berbagai pihak yang terlibat
seperti pencipta, pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait.

Dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 bahwa perkembangan teknologi tentunya harus


disesuaikan dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum sesuai dengan
pengaturan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang
memiliki hak untuk mengembangkan diri dengan memenuhi kebutuhan dasarnya guna
menaikan tingkat kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia. Sehingga dalam
pemenuhan perlindungan dan jaminan kepastian hukum pada karya sinematografi
tentunya harus didukung dengan peran Kementerian Teknologi dan Informatika

1
Dewi, O. S., Hukum, P. S., Hukum, F., & Surakarta, U. M. (2022). Sinematografi Dengan Adanya
Pembajakan Pada.
(KOMINFO) dalam mengawasi kegiatan penyiaran sinematografi film dan
menindaklanjuti pelanggaran yang terjadi sebagaimana termaktub pada Pasal 56 ayat
(1) UU Hak Cipta.2
Secara definitif, film merupakan karya seni dan budaya, pranata sosial dan
media komunikasi massa, yang diproduksi dan dapat diputar menurut kaidah film,
dengan atau tanpa suara. Film sebagai suatu karya ciptaan sebagai seni dan budaya
masuk ke dalam kekayaan intelektual dan hak pencipta dimana hak tersebut biasanya
lebih dikenal dengan hak cipta yang merupakan hak khusus milik pencipta yang lahir
karena adanya suatu karya yang wajib dilindungi secara hukum. Hak yang melekat ini
adalah hak ekonomi dan moral. hak ekonomi merupakan hak yang dimiliki oleh
pencipta suatu karya untuk memperoleh keuntungan finansial dari karya yang
diciptakan, sedangkan hak moral merupakan hak yang dimiliki untuk memperoleh
perlindungan atas kepentingan pencipta, hak moral dengan pencipta akan terus melekat
karena memiliki sifat yang abadi, sebagaimana hak tersebut artinya akan terus berada di
atas kewenangan pencipta meskipun pencipta sudah meninggal dunia.3
Dalam membuat film terdapat produser yang harus mengeluarkan dana untuk
mendukung produksi dalam proses menyusun cerita film ke dalam bentuk film aslinya.
Dimana pendanaan tersebut adalah untuk sumber daya alam, manusia, pengetahuan,
teknologi, dan lain-lain. Oleh sebab itu, negara harus melindungi secara hukum sebagai
bentuk penghargaan terhadap suatu kreasi.
Ketika sebuah film ditayangkan dan mendapat ulasan bagus dari penonton, itu
adalah celah bagi mereka yang tidak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan dari
popularitas film untuk melanggar hak cipta. Cara yang dilakukan tidak lagi dalam
bentuk bajakan ke dalam bentuk film VCD/DVD, melainkan dengan menggunakan
internet untuk mengimpor film ke situs web penyedia layanan streaming film gratis dan
aplikasi lainnya seperti aplikasi telegram. Dimana aplikasi telegram merupakan aplikasi
bertukar pesan dan bertukar berbagai file, termasuk file film-film yang bisa dengan
mudah disebarluaskan. Penggunanya hanya perlu men-download film-film tersebut
secara gratis.4

2
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
3
Budi Santoso, HKI Hak Kekayaan Intelektual, (Semarang: Penerbit Pustaka Magister, 2011), hal. 98-
100
4
Hendrianto. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Cipta Film Dari Kegiatan Streaming
dan Download Pada Website Illegal. JOM Fakultas Hukum Universitas Riau, VI(1), 1–15.
Sebagaimana diketahui bahwa sebelumnya terdapat kasus pembajakan pada
berbagai situs yang diantaranya adalah Indo XXI, Indostreaming, dan berbagai situs illegal
lainnya yang sudah diblokir oleh KOMINFO, kemudian ditemukan lagi adanya pembajakan
film di aplikasi Telegram dengan tujuan dapat terhindar dari aparat penegak hukum yang
mengatasi permasalahan hak cipta.5 Telegram adalah aplikasi berbagi pesan
berbasis cloud yang fokus pada kecepatan dan keamanan. Telegram
dirancang untuk memudahkan pengguna saling berkirim pesan
teks, audio, video, gambar dan sticker dengan aman. Tak hanya
aman, telegram juga merupakan aplikasi berbagi pesan yang instan
atau cepat.

Di Indonesia, pelanggaran hak cipta seperti mengunduh film bajakan bukanlah


masalah yang serius. Hal seperti itu dapat menyebabkan menurunnya kesadaran hukum
tentang keberadaan hak cipta dengan sangat buruk, serta gagalnya dalam melindungi
dan menegakkan, dan hal tersebut menimbulkan kerugian triliunan rupiah kepada
pemerintah saat film beredar di Internet maupun di aplikasi Telegram karena tidak
adanya pungutan biaya dan hal itu tentu tidak dikenakan pajak. Sehingga,
meningkatnya pembajakan film telah menyebabkan kerugian ekonomi dan moral bagi
pemilik hak cipta.6
Pada realitanya seharusnya film yang sudah terdapat hak cipta harus mendapat
perlindungan khusus di bawah Undang-Undang Hak Cipta (UU HC). Dalam Pasal (1)
butir 1 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta atau UUHC
mengatur bahwa hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata
tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan perundangundangan. Salah satu
objek yang dilindungi dibidang hak cipta adalah sinematografi yang diatur dalam Pasal
40 ayat (1) huruf c UUHC. Karya sinematografi dalam penjelasan Pasal 40 ayat (1)
huruf m UUHC menyebutkan bahwa yang termasuk karya sinematografi adalah ciptaan
yang berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film dokumenter, film iklan,
reportase, atau film cerita yang dibuat dengan scenario dan film kartun. Karya
sinematografi dapat dibuat dalam seluloid, pita video, piringan video, cakram optic
dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukan di bioskop, layar lebar,

5
Kompas. (nd.). https://www.kompas.com/ diakses pada tanggal 25 Februari 2022
6
Dewi, Gusti Agung Putri Krisya, I. W. (1967). Pelaksanaan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak
Cipta di Bidang Pembajakan Sinematografi. Gastronomía Ecuatoriana y Turismo Local., 1(69), 5–24.
televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk
audiovisual. 10 Dalam penjelasan pasal 40 ayat (1) huruf m diatas sudah jelas
menyebutkan bahwa karya sinematografi memungkinkan ditayangkan 10 Penjelasan
Pasal 40 huruf m UUHC. 6 dimedia manapun. Namun, hal tersebut hanya dapat
ditayangkan dan di pertunjukan dengan wewenang dari Pemegang hak cipta yang
disebutkan dalam pasal 1 ayat (4) UUHC. Maka dalam hal hak cipta sudah jelas tidak
diperbolehkan adanya pembajakan film. Terlebih lagi banyak yang mengedarkan film
bajakan melaui situs streaming online dan merambat hingga penyebaran melalui grup
chat dalam aplikasi messanger Telegram. Dan hal tersebut juga termasuk kedalam
pelanggaran Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta
penegakan hukum terhadap kejahatan elektronik. Tapi untuk saat ini dalam persoalan
film bajakan yang sudah terdapat hak cipta seringkali bisa dirasakan banyak orang
tanpa harus peduli dengan hak cipta. Dengan ini dapat terlihat bahwa kurangnya
optimalisasi dalam hal pengawasan penyiaran sinematografi film baik pada perangkat
keras maupun perangkat lunaknya.7 Dimana apabila melihat pada Pasal 56 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bahwa dalam pengawasan
penyiaran sinematografi film itu dilakukan oleh KOMINFO. Meskipun Kominfo sudah
menutup akses situs streaming film bajakan, akan tetapi sampai saat ini masih banyak
ditemui situs ilegal yang menyebarkan konten film bajakan secara streaming sebagai
pengganti dari situs yang sudah ditutup tersebut. Para pelaku pembuat situs film
bajakan juga melakukan penggantian nama atau domain situs untuk mengelabui para
penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya. Permasalahan lainnya yaitu justru pada
tingkat keinginan masyarakat untuk mengakses situs film bajakan tersebut. Masyarakat
yang sudah "menikmati" keberadaan situs film bajakan selalu mencari celah untuk
mencari dan menikmati situs film bajakan. Permasalahan ini memberikan dampak pada
penegakan hukum yang dilakukan.

Berdasarkan dengan paparan latar belakang di atas dapat ditarik permasalah


mengenai ketentuan hukum mengenai pengawasan penyiaran sinematografi film pada
aplikasi telegram oleh KOMINFO berdasarkan peraturan perundang-undangan di
7
Khelvin Risandi, T. (2022). Kajian Hukum Pembajakan Film di Platform Telegram di Indonesia.
Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 10(8.5.2017), 2003–2005.
Indonesia dan strategi optimasi peran KOMINFO dalam mengawasi penyiaran
sinematografi pada aplikasi telegram guna melindungi hak moral dan hak ekonomi
pencipta.

Anda mungkin juga menyukai