DISUSUN OLEH :
2008016114
KATA PENGANTAR
Hak Kekayaan Intelektual (HaKI)
Saat ini banyak perusahaan “start up” yang baru berdiri dengan
berbagai rencana inovasi produk atau jasa yang ditujukan untuk
memajukan perkembangan Indonesia. Dengan menjamurnya tren start up
tersebut, maka ada baiknya para pelaku usaha harus mulai mengetahui
tentang aturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia.
Dengan mengetahui aturan tentang HaKI, diharapkan para pelaku
usaha dapat tetap memproduksi karya cipta di bidang jasa atau produk
tanpa harus merugikan atau dirugikan oleh pihak lain. Indonesia telah
menganggap isu ini menjadi masalah yang penting dan telah memiliki satu
direktorat khusus tentang HaKI, yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual (DJKI).
Hak Kekayaan Intelektual atau yang biasa disebut dengan HAKI adalah
hak yang didapatkan dari hasil olah pikir manusia untuk dapat
menghasilkan suatu produk, jasa, atau proses yang berguna untuk
masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa HAKI adalah hak untuk
menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek
yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya yang dihasilkan oleh
kemampuan intelektual manusia.Istilah HAKI di dapat dari Intellectual
Property Right (IPR) yang telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1994
mengenai pengesahan WTO.
Hak yang dimiliki oleh penghasil karya intelektual tidak hanya berupa
hak ekonomi, tetapi juga hak moral yang mengabadikan integritasnya atas
karya intelektual yang telah dihasilkannya. Selain itu, ada manfaat sosial
dalam bentuk-bentuk penyebarluasan, pengkayaan, dan dukungan yang
diberikan oleh Negara terhadap pengembangan sistem HKI. Sistem HKI
diharapkan dapat berperan dalam membentuk suatu budaya yang mampu
merubah masyarakat pengguna menjadi masyarakat yang mengembangkan
potensi dirinya, sehingga akan terlahir pencipta, inventor, dan pendesain
baru.
Siapapun berhak mengajukan permohonan atau mendaftarkan HAKI.
Hak eksklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HAKI
(inventor, pencipta, pendesain, dan sebagainya) tidak lain dimaksud sebagai
penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang lain
terangsang untuk lebih lanjut mengembangkan lagi, sehingga dengan
sistem HAKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui
mekanisme pasar.
Di samping itu, sistem HAKI menunjang diadakannya sistem
dokumentasi yang baik atas bentuk kreativitas manusia sehingga
kemungkinan dihasilkan teknologi atau hasil karya lain yang sama dapat
dihindarkan/dicegah.
Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan
masyarakat dapat memanfaatkan dengan maksimal untuk keperluan hidup
atau mengembangkan lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang
lebih tinggi lagi.
Adapun fungsi dan tujuan dan tujuan utama dari diciptakan nya HAKI,
antara lain :
1. Sebagai perlindungan hukum terhadap pencipta yang dipunyai
perorangan ataupun kelompok atas jerih payahnya dalam pembuatan
hasil cipta karya dengan nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya..
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada hakekatnya sama halnya dengan hak
kekayaan kebendaan lainnya yaitu memberikan hak kepada para pencipta
atau pemiliknya untuk mendapatkan keuntungan dari investasi dari karya
intelektualnya di bidang kekayaan industri dan karya cipta yang disebut
Hak Cipta. Kasus pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia
tidak bisa dipandang sebelah mata. Akibat pelanggaran HKI tersebut,
bukan hanya negara dirugikan dan mengancam arus investasi, tetapi
Indonesia bisa juga terancam terkena embargo atas produk ekspornya.
Perkembangan teknologi, terutama perkembangan teknologi digital,
dianggap mendukung tumbuh suburnya pelanggaran Hak Kekayaan
Intelektual (HKI).
Penegakkan Hukum.
a. Kronologi
Awal tahun 2018, perfilman Indonesia diwarnai oleh kisruh masalah
hak cipta film Benyamin Biang Kerok versi terbaru yang tayang pada 1 Maret
2018 lalu. Beberapa hari setelah itu, Syamsul Fuad, penulis naskah asli film
Benyamin Biang Kerok (1972), menuding dua rumah produksi dan dua
produser film Benyamin versi baru telah melanggar hak cipta. Syamsul juga
menuntut royalti. Persoalan itu kemudian bergulir hingga muncul skenario
gugatan balik Max Pictures, salah satu rumah produksi yang membuat
Benyamin Biang Kerok (2018), terhadap Syamsul. Sejak kapan masalah hak
cipta itu bermula dan bagaimana duduk persoalannya? Berikut kronologi
kasus tersebut yang dirangkum.
Kesimpulan
penulis naskah asli film Benyamin Biang Kerok (1972), menuding dua
rumah produksi dan dua produser film Benyamin versi baru telah
melanggar hak cipta. Syamsul Fuad melalui tim kuasa hukumnya
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Falcon
Pictures dan Max Pictures. Tak hanya itu, bos Falcon Pictures, HB Naveen,
dan produser film tersebut Ody Mulya Hidayat juga ikut menjadi pihak
tergugat. Dalam gugatannya, Syamsul menuding empat tergugat itu telah
melakukan pelanggaran hak cipta atas cerita Benyamin Biang Kerok dan
Biang Kerok Beruntung yang ia tulis pada 1972. Penulis berusia 81 tahun
ini juga menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp 1 miliar untuk harga
penjualan hak cipta film Benyamin Biang Kerok yang tayang 1 Maret 2018
lalu. Selain itu, Syamsul meminta royalti penjualan tiket film tersebut
senilai Rp 1.000 per tiket. ia pun menggugat para tergugat untuk
membayar ganti rugi immateril sebesar Rp 10 miliar yang mencakup
kerugigan akan hak moralnya sebagai pencipta atau pemegang hak cipta
cerita Benyamin Biang Kerok. Terakhir, Syamsul meminta para tergugat
melakukan permohonan maaf kepadanya dan klarifikasi melalui media
massa terhadap masyarakat atas pelanggaran hak cipta tersebut.
Disebutkan ada perjanjian pengalihan hak cipta atau jual beli hak
cipta film Benyamin Biang Kerok pada 2010 dengan PT Layar Cipta Karya
Mas Film. Falcon Pictures, rumah produksi yang membuat film Benyamin
Biang Kerok versi baru, akhirnya buka suara tentang kisruh hak cipta film
tersebut. Melalui konsultan hukumnya, Lydia Wongso, Falcon Pictures
mengaku sudah membeli hak cipta Benyamin Biang Kerok. Bahkan, telah
mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
Namun, Falcon Pictures belum mau membuka secara rinci pada siapa
mereka membeli hak cipta film Benyamin Biang Kerok. Pada intinya, lanjut
Lydia, pihaknya bersama Max Pictures telah melakukan pembelian itu sejak
21 Oktober 2010 lalu. Falcon Pictures menyebut Syamsul Fuad, salah
alamat menggugat mereka soal hak cipta. Pada 20 April 2018, Falcon
Pictures siap berdamai dengan Syamsul Fuad untuk menyelesaikan
masalah hak cipta film Benyamin Biang Kerok versi baru. Namun,
konsultan hukum Falcon Pictures, Lydia Wongso, mengatakan bahwa hal
itu bisa terjadi apabila Syamsul juga punya niat yang sama untuk
menempuh jalan damai. Lydia menambahkan kliennya menghormati
Syamsul Fuad sebagai sineas senior dan penulis cerita asli Benyamin Biang
Kerok. Karena itu, apabila dari pihak Syamsul berniat damai, mereka akan
menyambut baik.