Anda di halaman 1dari 13

Kasus Dugaan Pelanggaran Hak Cipta Film

Benyamin Biang Kerok

DISUSUN OLEH :

Dhafa Rizki Fadillah

2008016114
KATA PENGANTAR

Alhamdullilah, Puji syukur senantiasa penulisan panjatkan kehadiran Allah


SWT yang telah memberikan rahmat serta karunianya sehingga penulisan
tentang Pelanggaran Hukum Kekayaan intelektual, alhamdullilah tepat
pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini jauh dari sempurna


dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua
pembaca, penulis harapkan demi kebaikan dan penyempurnaan
penyusunan makalah ini. Namun penulis selalu berharap agar makalah ini
mempunyai manfaat bagi penulis maupun orang lain.

 
 
Hak Kekayaan Intelektual (HaKI)

Saat ini banyak perusahaan “start up” yang baru berdiri dengan
berbagai rencana inovasi produk atau jasa yang ditujukan untuk
memajukan perkembangan Indonesia. Dengan menjamurnya tren start up
tersebut, maka ada baiknya para pelaku usaha harus mulai mengetahui
tentang aturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. 
Dengan mengetahui aturan tentang HaKI, diharapkan para pelaku
usaha dapat tetap memproduksi karya cipta di bidang jasa atau produk
tanpa harus merugikan atau dirugikan oleh pihak lain. Indonesia telah
menganggap isu ini menjadi masalah yang penting dan telah memiliki satu
direktorat khusus tentang HaKI, yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual (DJKI). 
Hak Kekayaan Intelektual atau yang biasa disebut dengan HAKI adalah
hak yang didapatkan dari hasil olah pikir manusia untuk dapat
menghasilkan suatu produk, jasa, atau proses yang berguna untuk
masyarakat. Jadi dapat disimpulkan bahwa HAKI adalah hak untuk
menikmati secara ekonomis hasil dari  suatu kreativitas intelektual. Objek
yang diatur dalam kekayaan intelektual berupa karya yang dihasilkan oleh
kemampuan intelektual manusia.Istilah HAKI di dapat dari Intellectual
Property Right (IPR) yang telah diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1994
mengenai pengesahan WTO.
Hak yang dimiliki oleh penghasil karya intelektual tidak hanya berupa
hak ekonomi, tetapi juga hak moral yang mengabadikan integritasnya atas
karya intelektual yang telah dihasilkannya. Selain itu, ada manfaat sosial
dalam bentuk-bentuk penyebarluasan, pengkayaan, dan dukungan yang
diberikan oleh Negara terhadap pengembangan sistem HKI. Sistem HKI
diharapkan dapat berperan dalam membentuk suatu budaya yang mampu
merubah masyarakat pengguna menjadi masyarakat yang mengembangkan
potensi dirinya, sehingga akan terlahir pencipta, inventor, dan pendesain
baru.
Siapapun berhak mengajukan permohonan atau mendaftarkan HAKI.
Hak eksklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HAKI
(inventor, pencipta, pendesain, dan sebagainya) tidak lain dimaksud sebagai
penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang lain
terangsang untuk lebih lanjut mengembangkan lagi, sehingga dengan
sistem HAKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui
mekanisme pasar.
Di samping itu, sistem HAKI menunjang diadakannya sistem
dokumentasi yang baik atas bentuk kreativitas manusia sehingga
kemungkinan dihasilkan teknologi atau hasil karya lain yang sama dapat
dihindarkan/dicegah.
Dengan dukungan dokumentasi yang baik tersebut, diharapkan
masyarakat dapat memanfaatkan dengan maksimal untuk keperluan hidup
atau mengembangkan lebih lanjut untuk memberikan nilai tambah yang
lebih tinggi lagi.
Adapun fungsi dan tujuan dan tujuan utama dari diciptakan nya HAKI,
antara lain :
1. Sebagai perlindungan hukum terhadap pencipta yang dipunyai
perorangan ataupun kelompok atas jerih payahnya dalam pembuatan
hasil cipta karya dengan nilai ekonomis yang terkandung di dalamnya..

2. Mengantisipasi dan juga mencegah terjadinya pelanggaran atas HAKI


milik orang lain.

3. Meningkatkan kompetisi, khususnya dalam hal komersialisasi


kekayaan intelektual. Karena dengan adanya HAKI akan mendorong para
pencipta untuk terus berkarya dan berinovasi, dan bisa mendapatkan
apresiasi dari masyarakat.

4. Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi


penelitian, industri yang ada di Indonesia

Perlindungan terhadap hak cipta mempunyai dua ruang lingkup yang


berbeda, berikut adalah penjelasan lengkapnya :
• Hak Ekonomi
Hak yang memiliki hubungan dan dampak langsung terhadap ekonomi
perusahaan, seperti hak pengadaan, hak distribusi, hak penyiaran, hak
pertunjukan, dan juga hak pinjam masyarakat.
• Hak atas Ciptaan

Hak yang merujuk langsung terhadap subjek ciptaanya, seperti program


komputer, buku, fotografi, database, dan lainya.

Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia

Pada masa sekarang, bentuk kejahatan sudah berubah, di samping


bentuk kejahatan konvensional, kejahatan terhadap ekonomi memiliki
modus operasi yang sulit dalam pengungkapannya dan dilakukan oleh
orang berpendidikan tinggi. Kejahatan dilakukan tidak lagi oleh orang
miskin, para pejabat maupun pengusaha yang tidak miskin melakukan
perbuatan yang merugikan masyarakat. Kejahatan yang dilakukan oleh
orang-orang yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi tersebut menurut
Sutherland merupakan suatu bentuk kejahatan yang dikenal dengan White
Collar Crime yaitu orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan
pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya.
Karena itu, sudah menjadi kenyataan bahwa semakin maju suatu negara
akan semakin banyak pula muncul bentuk kejahatan di negara tersebut.
Modus operandinya pun semakin canggih melalui tehnik-tehnik yang tidak
mudah dilacak, melakukan pemalsuan dokumen yang sangat rapi dengan
penyalahgunaan komputer, termasuk di dalamnya kasus pelanggaran Hak
Kekayaan Intelektual (HKI).

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) pada hakekatnya sama halnya dengan hak
kekayaan kebendaan lainnya yaitu memberikan hak kepada para pencipta
atau pemiliknya untuk mendapatkan keuntungan dari investasi dari karya
intelektualnya di bidang kekayaan industri dan karya cipta yang disebut
Hak Cipta. Kasus pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia
tidak bisa dipandang sebelah mata. Akibat pelanggaran HKI tersebut,
bukan hanya negara dirugikan dan mengancam arus investasi, tetapi
Indonesia bisa juga terancam terkena embargo atas produk ekspornya.
Perkembangan teknologi, terutama perkembangan teknologi digital,
dianggap mendukung tumbuh suburnya pelanggaran Hak Kekayaan
Intelektual (HKI).
Penegakkan Hukum.

Kemajuan teknologi digital selain memberikan dampak positif berupa


tersedianya media untuk karya cipta yang pada akhirnya menghasilkan
kualitas tampilan karya cipta yang baik dan modern. Namun, dampak
negatifnya terjadi penyalahgunaan teknologi digital itu oleh pihak-pihak
tertentu dengan melakukan praktek-praktek yang bertentangan dengan
hukum. Pelanggaran HKI menjadi mudah karena kemajuan teknologi
digital, walaupun akibatnya HKI di sektor teknologi pun menjadi korban
pertama pelanggaran tersebut. Dengan menggunakan komputer,
pelanggaran-pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual semakin mudah.
Tidak ada jalan lain untuk mengatasi hal itu selain dengan menegakkan
fungsi hukum. Sanksi terhadap pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) selama ini belum menimbulkan efek jera bagi pelakunya sehingga
tingkat pelanggarannya terus meningkat, meskipun pemerintah sudah
memiliki perangkat undang-undangnya. Kendala lainnya yaitu terbatasnya
aparat penegak hukum yang menangani masalah Hak Kekayaan
Intelektual, ringannya putusan yang dijatuhkan oleh proses peradilan
kepada pelanggar, sehingga tidak menimbulkan efek jera tadi. Selain itu,
kurangnya kesadaran masyarakat untuk menghargai dan mentaati hukum
di bidang HKI dan terbatasnya daya beli masyarakat.

a. Kronologi
Awal tahun 2018, perfilman Indonesia diwarnai oleh kisruh masalah
hak cipta film Benyamin Biang Kerok versi terbaru yang tayang pada 1 Maret
2018 lalu. Beberapa hari setelah itu, Syamsul Fuad, penulis naskah asli film
Benyamin Biang Kerok (1972), menuding dua rumah produksi dan dua
produser film Benyamin versi baru telah melanggar hak cipta. Syamsul juga
menuntut royalti. Persoalan itu kemudian bergulir hingga muncul skenario
gugatan balik Max Pictures, salah satu rumah produksi yang membuat
Benyamin Biang Kerok (2018), terhadap Syamsul. Sejak kapan masalah hak
cipta itu bermula dan bagaimana duduk persoalannya? Berikut kronologi
kasus tersebut yang dirangkum.

5 Maret 2018, Hak Cipta Benyamin Biang Kerok Digugat


Syamsul Fuad melalui tim kuasa hukumnya mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Falcon Pictures dan Max Pictures.
Tak hanya itu, bos Falcon Pictures, HB Naveen, dan produser film tersebut
Ody Mulya Hidayat juga ikut menjadi pihak tergugat. Dalam gugatannya,
Syamsul menuding empat tergugat itu telah melakukan pelanggaran hak cipta
atas cerita Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung yang ia tulis
pada 1972. Penulis berusia 81 tahun ini juga menuntut ganti rugi materiil
sebesar Rp 1 miliar untuk harga penjualan hak cipta film Benyamin Biang
Kerok yang tayang 1 Maret 2018 lalu. Selain itu, Syamsul meminta royalti
penjualan tiket film tersebut senilai Rp 1.000 per tiket. ia pun menggugat
para tergugat untuk membayar ganti rugi immateril sebesar Rp 10 miliar yang
mencakup kerugigan akan hak moralnya sebagai pencipta atau pemegang hak
cipta cerita Benyamin Biang Kerok. Terakhir, Syamsul meminta para tergugat
melakukan permohonan maaf kepadanya dan klarifikasi melalui media massa
terhadap masyarakat atas pelanggaran hak cipta tersebut.

22 Maret 2018, Sidang Perdana Kasus Dugaan Pelanggaran Hak Cipta


Benyamin Biang Kerok
Sidang gugatan hak cipta yang diajukan penulis Syamsul Fuad
terhadap rumah produksi dan produser film Benyamin Biang Kerok ke PN
Jakarta Pusat digelar perdana pada 22 Maret. Namun, sidang ditunda
hingga dua pekan ke depan tepatnya pada 5 April 2018, lantaran para
tergugat tak hadir. Ketika itu, Kepala Humas Pengadilan Negeri, Niaga,
Tipikor, HAM Jakarta Pusat Jamaludin Samosir mengatakan bahwa tak ada
informasi yang jelas dari pihak tergugat mengenai alasan mangkirnya.

7 poin Gugatan Penulis Naskah Asli Film Benyamin Biang Kerok


Penulis naskah asli film Benyamin Biang Kerok, Syamsul Fuad (81),
mengajukan tujuh poin gugatan hak cipta terhadap Falcon Pictures dan
Max Pictures. Dua rumah produksi tersebut menaungi film Benyamin Biang
Kerok arahan sutradara Hanung Bramantyo yang tayang 1 Maret 2018 lalu.
Film tersebut merupakam adaptasi dari film berjudul sama pada 1972 yang
disutradarai oleh Nawi Ismail. Dikutip dari laman sipp.pn-
jakartapusat.go.id, gugatan bernomor perkara
9/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst itu didaftarkan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada Senin (5/3/2018) lalu. Sidang perdananya baru
digelar hari ini, Kamis (21/3/2018) pagi. Selain dua rumah produksi
tersebut, bos Falcon Picture, HB Naveen dan produser Benyamin Biang
Kerok (2018) Ody Mulya Hidayat juga berposisi sebagai tergugat.
Berikut tujuh poin gugatan Syamsul yang dirangkum oleb Kompas.com dari
situs resmi PN Jakarta Pusat:
1. Syamsul menuntut diakui haknya sebagai pencipta dan/atau
pemegang hak cipta atas cerita film Benyamin Biang Kerok dan Biang
Kerok Beruntung;
2. Meminta pengadilan menyatakan para tergugat telah melakukan
pelanggaran hak cipta atas cerita film Benyamin Biang Kerok dan
Biang Kerok Beruntung;
3. Meminta pengadilan menghukum para tergugat membayar ganti rugi
materil secara tanggung renteng sebesar Rp 1 miliar untuk harga
penjualan hak cipta atas cerita film Benyamin Biang Kerok;
4. Menggugat hak royalti penjualan tiket film Benyamin Biang Kerok yang
diproduksi oleh para tergugat sebesar Rp 1.000 per tiket;
5. Meminta pengadilan menghukum para tergugat membayar ganti rugi
immateril secara tanggung renteng sebesar Rp 10 miliar, yang
mencakup kerugian akan hak moral sebagai pencipta atau pemegang
hak cipta yang seharusnya dihargai hasil ciptaannya oleh para
tergugat;
6. Meminta pengadilan memerintahkan para tergugat untuk memberikan
laporan pemasukan tiket atas penayangan film Benyamin Biang Kerok
kepada Syamsul. Terhitung sejak hari pertama penayangan sampai
dengan hari terakhir di jaringan bioskop;
7. Meminta pengadilan menghukum para tergugat untuk menerbitkan
pengumuman permohonan maaf kepada penggugat melalui dua media
massa berperedaran nasional atas pelanggaran hak cipta terhadap
penggugat, serta memberikan klarifikasi kepada masyarakat umum
atas pelanggaran hak cipta terhadap penggugat.

23 Maret 2018, Max Pictures Menggugat Balik


Diam-diam, sehari setelah sidang pertama dari gugatan Syamsul,
pihak Max Pictures lewat kuasa hukumnya RM Bagiono melayangkan
gugatan balik ke PN Jakarta Pusat. Dari laman resmi PN Jakarta Pusat,
perkara bernomor 175/Pdt.G/2018/PN Jkt.Pst itu diketahui didaftarkan
pada 23 Maret 2018. Salah satu rumah produksi yang membuat film
Benyamin Biang Kerok versi baru itu menggugat balik Syamsul dan
menuntut ganti rugi senilai Rp 50 miliar, dengan rincian kerugian materiil
sebesar Rp 35 miliar dan immaterial Rp 15 miliar. Dalam materi
gugatannya tercantum bahwa Max Pictures mengaku sudah memiliki izin
dari Yayasan Benyamin Suaeb tertanggal 29 September 2016 untuk
memproduksi film Benyamin Biang Kerok dengan cerita baru. Karena itu,
pihak Max Pictures merasa memiliki hak yang sah secara hukum atas film
tersebut.

5 April 2018, Sidang Lanjutan Ditunda karena Masalah Surat Kuasa


Sidang kedua kasus dugaan pelanggaran hak cipta film Benyamin
Biang Kerok yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis
(5/4/2018), ditunda lagi. Kuasa hukum pihak tergugat, Atep Koswara,
menjelaskan bahwa pihaknya meminta waktu kepada majelis hakim untuk
membenahi dokumen surat kuasa mereka. Sidang yang ditunda hingga dua
kali itu membuat Syamsul Fuad merasa diremehkan oleh rumah produksi
dan produser yang membuat versi baru dari film tersebut. Ia menilai
gugatannya disepelekan.

17 April 2018, Syamsul Fuad Dituduh Pengaruhi Jumlah Penonton


Benyamin Biang Kerok Syamsul Fuad mengatakan bahwa ia dituduh
sebagai penyebab film Benyamin Biang Kerok (2018) tidak mencapai target
enam juta penonton. Kompas.com juga menerima copy berkas gugatan
yang dilayangkan penggugat Max Pictures kepada Syamsul sebagai
tergugat. Pada poin 10 berkas gugatan itu tertulis: Bahwa dikarenakan
perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat tersebut. Penggugat mengalami
kerugian dengan asumsi dan perhitungan sebagai berikut; Penggugat
seharusnya mendapat penonton 6 (enam) juta penonton, tetapi
kenyataannya hanya 600.000 (enam ratus ribu) penonton sehingga
kerugian materiil yang timbul sebesar kurang lebih Rp 35.000.000.000 dan
kerugian immaterial sebesar Rp 15.000.000.000

19 April 2018, Jawaban dari Tergugat


Tim kuasa hukum rumah produksi film Benyamin Biang Kerok
(2018), Falcon Pictures dan Max Pictures, menyampaikan dua bukti sebagai
tanggapan atas gugatan Syamsul Fuad. Atep Koswara, kuasa hukum dua
rumah produksi itu, menyerahkan dokumen bukti tersebut kepada majelis
hakim di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (19/4/2018)
siang. Ditemui terpisah, kuasa hukum Syamsul, Bakhtiar Yusuf,
mengungkap tanggapan dari tim kuasa hukum para tergugat itu berupa
bukti surat perjanjian pengalihan atau jual beli hak cipta film tersebut.
Disebutkan ada perjanjian pengalihan hak cipta atau jual beli hak cipta film
Benyamin Biang Kerok pada 2010 dengan PT Layar Cipta Karya Mas Film.
Mengenai jawaban tergugat atas gugatan kliennya, Bakhtiar akan
menyampaikan tanggapan sebagai penggugat di sidang berikutnya yang
digelar pada Kamis (26/4/2018) mendatang.

20 April 2018, Falcon Pictures Angkat Bicara


Falcon Pictures, rumah produksi yang membuat film Benyamin Biang
Kerok versi baru, akhirnya buka suara tentang kisruh hak cipta film
tersebut. Melalui konsultan hukumnya, Lydia Wongso, Falcon Pictures
mengaku sudah membeli hak cipta Benyamin Biang Kerok. Bahkan, telah
mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
Namun, Falcon Pictures belum mau membuka secara rinci pada siapa
mereka membeli hak cipta film Benyamin Biang Kerok. Pada intinya, lanjut
Lydia, pihaknya bersama Max Pictures telah melakukan pembelian itu sejak
21 Oktober 2010 lalu. Falcon Pictures menyebut Syamsul Fuad, salah
alamat menggugat mereka soal hak cipta. Dalam konferensi pers di Kantor
Falcon Pictures, Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (20/4/2018)
sore, Lydia mengatakan, Syamsul bukanlah pemegang hak cipta cerita
Benyamin Biang Kerok yang diproduksi ulang ke versi masa kini oleh
sutradara Hanung Bramantyo. Menurut Lydia, ketika Syamsul menulis
naskah untuk film Benyamin yang diproduksi pada 1972 itu, maka hak
cipta cerita tersebut otomatis dipegang oleh produser atau rumah produksi
film itu, atau siapa pun pihak yang mempekerjakan Syamsul Fuad sebagai
penulis naskah ketika itu. Karena merasa perlu meluruskan hal tersebut,
Lydia mengatakan bahwa Falcon Pictures akan menggugat balik Syamsul
Fuad. Namun, ia menjelaskan Falcon Pictures tak akan menuntut ganti
rugi materiil dengan nilai besar maupun menuding Syamsul telah
mencemarkan nama baik. Lydia menambahkan niat Falcon Pictures
menggugat balik Syamsul hanya untuk meluruskan persoalan dan memberi
pelajaran, tanpa menuntut ganti rugi materiil.
.
20 April 2018, Falcon Pictures Siap Berdamai dengan Syamsul Fuad
Falcon Pictures siap berdamai dengan Syamsul Fuad untuk
menyelesaikan masalah hak cipta film Benyamin Biang Kerok versi baru.
Namun, konsultan hukum Falcon Pictures, Lydia Wongso, mengatakan
bahwa hal itu bisa terjadi apabila Syamsul juga punya niat yang sama
untuk menempuh jalan damai. Lydia menambahkan kliennya menghormati
Syamsul Fuad sebagai sineas senior dan penulis cerita asli Benyamin Biang
Kerok. Karena itu, apabila dari pihak Syamsul berniat damai, mereka akan
menyambut baik.

Kesimpulan
penulis naskah asli film Benyamin Biang Kerok (1972), menuding dua
rumah produksi dan dua produser film Benyamin versi baru telah
melanggar hak cipta. Syamsul Fuad melalui tim kuasa hukumnya
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Falcon
Pictures dan Max Pictures. Tak hanya itu, bos Falcon Pictures, HB Naveen,
dan produser film tersebut Ody Mulya Hidayat juga ikut menjadi pihak
tergugat. Dalam gugatannya, Syamsul menuding empat tergugat itu telah
melakukan pelanggaran hak cipta atas cerita Benyamin Biang Kerok dan
Biang Kerok Beruntung yang ia tulis pada 1972. Penulis berusia 81 tahun
ini juga menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp 1 miliar untuk harga
penjualan hak cipta film Benyamin Biang Kerok yang tayang 1 Maret 2018
lalu. Selain itu, Syamsul meminta royalti penjualan tiket film tersebut
senilai Rp 1.000 per tiket. ia pun menggugat para tergugat untuk
membayar ganti rugi immateril sebesar Rp 10 miliar yang mencakup
kerugigan akan hak moralnya sebagai pencipta atau pemegang hak cipta
cerita Benyamin Biang Kerok. Terakhir, Syamsul meminta para tergugat
melakukan permohonan maaf kepadanya dan klarifikasi melalui media
massa terhadap masyarakat atas pelanggaran hak cipta tersebut.
Disebutkan ada perjanjian pengalihan hak cipta atau jual beli hak
cipta film Benyamin Biang Kerok pada 2010 dengan PT Layar Cipta Karya
Mas Film. Falcon Pictures, rumah produksi yang membuat film Benyamin
Biang Kerok versi baru, akhirnya buka suara tentang kisruh hak cipta film
tersebut. Melalui konsultan hukumnya, Lydia Wongso, Falcon Pictures
mengaku sudah membeli hak cipta Benyamin Biang Kerok. Bahkan, telah
mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI).
Namun, Falcon Pictures belum mau membuka secara rinci pada siapa
mereka membeli hak cipta film Benyamin Biang Kerok. Pada intinya, lanjut
Lydia, pihaknya bersama Max Pictures telah melakukan pembelian itu sejak
21 Oktober 2010 lalu. Falcon Pictures menyebut Syamsul Fuad, salah
alamat menggugat mereka soal hak cipta. Pada 20 April 2018, Falcon
Pictures siap berdamai dengan Syamsul Fuad untuk menyelesaikan
masalah hak cipta film Benyamin Biang Kerok versi baru. Namun,
konsultan hukum Falcon Pictures, Lydia Wongso, mengatakan bahwa hal
itu bisa terjadi apabila Syamsul juga punya niat yang sama untuk
menempuh jalan damai. Lydia menambahkan kliennya menghormati
Syamsul Fuad sebagai sineas senior dan penulis cerita asli Benyamin Biang
Kerok. Karena itu, apabila dari pihak Syamsul berniat damai, mereka akan
menyambut baik.

Anda mungkin juga menyukai