PENDAHULUAN
1
Penjelasan Umum UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
2
Ibid.
3
Marni Emmy Mustafa, Prinsip-prinsip Beracara Dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia Dikaitkan
Dengan TRIPs WTO, (Bandung : Alumni, 2007), hal 1.
Page | 1
terhadap teknologi merupakan suatu pengakuan hukum dan penghormatan yang
layak kepada mereka yang telah bekerja keras memanfaatkan secara maksimum
segenap kemampuan akal budinya, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat bagi masyarakat dan bernilai ekonomis.
Kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat telah
mendorong adanya globalisasi Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Barang atau jasa
yang dipakai hari ini diproduksi oleh suatu negara, di saat berikutnya dapat
dihadirkan oleh negara lain. Kehadiran barang dan jasa yang selama prosesnya
menggunakan HKI, maka memerlukan perlindungan HKI atas barang yang
bersangkutan. Perlindungan HKI merupakan bentuk perlindungan yang diberikan
oleh negara atas ide atau hasil karya warga negaranya, karena itu HKI pada
pokoknya bersifat teritorial kenegaraan. 4
Arti penting perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menjadi lebih dari
sekedar keharusan setelah dicapainya kesepakatan GATT (General Agreement on
Tariff and Trade) dan setelah Konferensi Marakesh pada bulan April 1994 disepakati
pula kerangka GATT akan diganti dengan sistem perdagangan dunia yang dikenal
dengan WTO (World Trade Organization). Kebutuhan Indonesia terhadap
paerlindungan Hak Kekayaan Intelektual akhirnya mengharuskan Indonesia untuk
mengadopsi peraturan-pertauran terkait. Peraturan terkait dengan HKI digunakan
secara resmi oleh Indonesia sejak meratifikasi melalui UU No. 17 Tahun 1994
tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), diundangkan dalam
LNRI 1994 Nomor 57 tanggal 2 November 1994. 5
Intellectual Property Rights seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia sebagai hak milik intelektual atau hak atas kekayaan inetelektual disingkat
HaKI. Diantara kedua istilah tersebut, istilah hak atas kekayaan intelektual lah
yang digunakan dalam perundang-undangan. Mengutip definisi yang dibuat oleh
Rachmadi Usman, HaKI adalah hak atas kepemilikian terhadap karya-karya yang
timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektualitas manusia dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya-karya tersebut merupakan kebendaan tidak
berwujud sebagai hasil dari kemampuan intelektualitas seseorang atau manusia
4
Gunawan Wijaya, Lisensi (Seri Hukum Bisnis), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal 11.
5
Oka Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta : Rajawali Pers,
2013), hal 5.
Page | 2
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa, dan
karyanya. 6
Oleh karena titik tolak nilai yang dilindungi oleh HaKI adalah proses berpikir
penciptanya atau inventornya maka hak kebendaan yang melekat pada proses
intelektual tersebut termasuk benda yang tidak berwujud. Hak tersebut berupa hak
untuk mempertahankan karangan miliknya dan hak untuk memanfaatkan atau
menggunakan karangan tersebut, misalnya untuk mendapatkan penghargaan secara
ekonomis. 7
Pengelompokan Hak atas Kekayaan Intelektual dikategorikan atas Hak Cipta
(Copy Rights) dan Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Rights). Selanjutnya
pengelompokkan atas Hak atas Kekayaan Industrial berdasarkan pada Convention
Establishing The World Intellectual Property Organization dapat diklasifikasikan
menjadi :
1. Patent (Paten);
2. Utility Models (Model dan Rancang Bangun) atau dalam hukum Indonesia
dikenal dengan istilah paten sederhana (simple patent);
3. Industrial Design (Desain Industri);
4. Trade Mark (Merek Dagang);
5. Trade Names (Nama Niaga atau Nama Dagang);
6. Indication of source or Appelation of Origin (sumber tanda atau sebutan asal).
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam HKI adalah sebagai berikut :
1. Prinsip Keadilan (The Principle of Natural Justice)
Berdasarkan prinsip ini, hukum memberikan perlindungan kepada
pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingan
yang disebut hak. Pencipta yang menghasilkan suatu karya berdasarkan
kemampuan intelektualnya wajar jika diakui hasil karyanya.
2. Prinsip Ekonomi (The Economic Argument)
Berdasarkan prinsip ini, HKI memiliki manfaat dan nilai ekonomis serta
berguna bagi kehidupan manusia. Nilai ekonomi pada HKI merupakan suatu
bentuk kekayaan bagi pemiliknya, pencipta mendapatkan keuntungan dari
6
Rachmadi Usman dalam Adami Chazawi, Tindak Pidana Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI),
Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Kepemilikan dan Penggunaan Hak atas Kekayaan Intelektual,
(Malang : Bayumedia Publishing, 2007), hal 2.
7
Ibid, hal 3.
Page | 3
kepemilikan terhadap karyanya seperti dalam bentuk pembayaran royalti
terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptanya.
3. Prinsip Kebudayaan (The Cultural Argument)
Berdasarkan prinsip ini, pengakuan atas kreasi karya sastra dari hasil
ciptaan manusia diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minat untuk
mendorong melahirkan ciptaan baru. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan
dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra sangat berguna bagi
peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu HKI
juga akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa, maupun
negara.
4. Prinsip Sosial (The Social Argument)
Berdasarkan prinsip ini, sistem HKI memberikan perlindungan kepada
pencipta tidak hanya untuk memenuhi kepentingan individu, persekutuan, atau
kesatuan saja melainkan berdasarkan keseimbangan individu dan masyarakat.
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) muncul karena adanya kemampuan berpikir.
Hasil dari daya cipta tersebut dimiliki secara khusus (eksklusif) yang dijelmakan
dalam bentuk ciptaan atau invensi. Selanjutnya, HKI tersebut memiliki nilai
ekonomis apabila ciptaan atau invensi tersebut dipergunakan atau dimanfaatkan.
Nilai ekonomis adalah hak bagi pemiliki HKI. Hak ekonomi (economic right) adalah
hak untuk memperoleh keuntungan ekonomis atas kekayaan intelektual. Jadi, dari
hak ekonomi tersebut akan diperoleh keuntungan sejumlah uang dari penggunaan
sendiri atau karena penggunaan melalui lisensi oleh orang lain. Di samping hak
ekonomi ada pula hak moral (moral right). Hak moral adalah hak yang melindungi
kepentingan pribadi pencipta atau investor. Hak moral ini tidak dapat dipisahkan dari
pencipta atau investornya meskipun HKI-nya dialihkan pada orang lain.
Melihat adanya hak ekonomi dan hak moral yang melekat pada kekayaan
intelektual menjadikan perlindungan atas kekayaan intelektual menjadi sangat
penting. Perlindungan ini berlangsung selama jangka waktu yang ditentukan dalam
sertifkat pendaftaran sesuai dengan HKI yang bersangkutan. Banyak manfaat yang
akan diperoleh dari perlindungan HKI ini, diantaranya karena jika orang lain yang
menginginkan manfaat ekonoim dari HKI seorang pemilik, maka harus mendapatkan
izin dari pemilik. Demikian pula ketika ada orang lain menggunakan tanpa izin,
memalsukan, meniru, atau mengambil HKI, maka hal tersebut dikategorikan sebagai
Page | 4
pelanggaran hukum. Hal ini menjadi latar belakang pentingnya HKI perlu untuk
didaftarkan.
Pada dasarnya, pengukuhan terhadap keberadaan HKI dapat dilakukan melalui
dua cara, yaitu Pengakuan Hak dan Pendaftaran Hak. Pengakuan Hak diberlakukan
bagi HKI yang pengakuan dan perlindungannya berlangsung secara otomatis
semenjak ciptaan itu selesai diwujudkan. Yang termasuk di dalam jalur ini adalah
perlindungan hak cipta dan rahasia dagang. Sedangkan, pengukuhan melalui
pendaftaran hak diperoleh dengan melakukan pendaftaran ataupun pengajuan
permintaan yang tentu saja dilengkapi dengan berbagai teknis dan administratif.
Yang termasuk dalam hal ini contohnya adalah hak paten dan merek.
Pendaftaran adalah kegiatan pemeriksaan dan pencatatan setiap HKI oleh
pejabat pendaftaran dalam buku daftar berdasarkan permohonan pemilik untuk
tujuan memperoleh kepastian status kepemilikian dan perlindungan hukum. Bukti
dari pendaftaran adalah diberikannya sertifikat HKI. Melalui proses pendaftaran HKI
akan mendapatkan pengakuan. HKI pada dasarnya harus didaftarkan dan masing-
masing HKI memiliki syarat dan tata cara yang berbeda.
Saat ini pengaturan tentang masing-masing bidang HKI terdapat dalam
beberapa Undang-undang sesuai dengan kategori HKI-nya. Untuk paten diatur dalam
UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (UU Paten). Berdasarkan UU Paten, yang
dimaksud dengan Paten adalah hak ekslusif yang diberikan oleh Negara kepada
Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi yang untuk selama waktu tertentu
melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada
pihak lain untuk melaksanakannya.
Paten merupakan bagian dari hak atas kekayaan intelektual yang dalam
kerangka di atas termasuk dalam kategori hak kekayaan perindustrian (industrial
property right). Sebagai salah satu hak khusus di bidang HKI yang diberikan oleh
negara kepada yang berhak atas invensi, hanya dapat diberikan apabila inventor
mengajukan permohonan patennya secara resmi kepada negara (Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual). Permintaan paten tersebut harus dilengkapi dengan
persyaratan-persyaratan yang telah diatur dalam undang-undang, peraturan
pemerintah, dan keputusan menteri.
UU Paten telah menentukan bahwa penemuan yang dapat diberikan hak paten
hanyalah penemuan baru. Hal ini dapat dimengerti, sebab apabila yang diajukan
Page | 5
penemu untuk dimintakan hak paten bukan penemuan baru, ini berarti bahwa orang
yang bersangkutan telah mengambil atau meniru suatu produk atau proses yang
sebenarnya telah diketahui masyarakat. Tetapi sebaliknya, hak-hak penemu atau
pencipta suatu gagasan (ide) yang dapat diberikan perlindungan paten tidak mungkin
dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya suatu proteksi dan penegakan hukum,
karena di sisi lain terdapat pula hak alamiah dari orang lain untuk meniru apa yang
dilihatnya. Hak ekslusif yang diberikan paten adalah bersifat teknis, tetapi dampak
dari hak tersebut merupakan permasalahan hukum. 8
8
Chairul Anwar, Hukum Paten dan Perundang-undangan Paten di Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992),
hal 1.
Page | 6
BAB IV Penutup
Yang akan diuraikan pada bagian ini adalah kesimpulan dari analisa yang
dilakukan serta saran dan kebijakan yang dapat diambil oleh Pemerintah
Indonesia terkait pendaftaran serta perlindungan hak paten di Indonesia.
Page | 7
BAB II
PELAKSANAAN PEROLEHAN HAK PATEN DI INDONESIA
9
Oka Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta : Rajawali Pers,
2013), hal 226 227.
10
Oka Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta : Rajawali Pers,
2013), hal 227.
Page | 8
3. Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara
bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang
menghasilkan invensi (Pasal 1 angka 3).
Yang dimaksudkan dalam UU Paten adalah haknya yaitu berupa ide yang lahir
dari penemuan tersebut. Jadi bukan hasil dalam bentuk produk materiil, bukan
bendanya. Oleh karena itu, jika yang dimaksudkan adalah idenya, maka pelaksanaan
dari ide itu yang kemudian membuahkan hasil dalam bentuk benda materiil. Ide itu
sendiri adalah benda immateriil yang lahir dari proses intelektuaitas manusia. Oleh
karenanya dapat disimpulkan bahwa paten diberikan bagi invensi dalam bidang
teknologi dan teknologi pada dasarnya adalah berupa ide (immateriil) yang dapat
diterapkan dalam proses industri. 11
Teknologi pada dasarnya lahir dari karsa intelektual, sebagai karya intelektual
manusia. Karena kelahirannya telah melibatkan tenaga, waktu, dan biaya, maka
teknologi memiliki nilai atau sesuatu yang bernilai ekonomi, yang dapat menjadi
objek harta kekayaan (property). Dalam ilmu hukum, yang secara luas dianut oleh
bangsa-bangsa lain, hak atas daya pikir intelektual dalam bidang teknologi tersebut
diakui sebagai hak kekayaan yang sifatnya tidak berwujud yang dikenal sebagai
Paten. 12
11
Oka Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta : Rajawali Pers,
2013), hal 228.
12
Oka Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta : Rajawali Pers,
2013), hal 228.
Page | 9
Mengenai hak dan kewajiban pemegang paten diatur dalam Bagian Keempat
UU Paten. Dalam Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa pemegang paten memiliki hak
eksklusif untuk melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang
tanpa persetujuannya melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Dalam hal Paten-Produk : membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,
menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan
atau diserahkan produk yang diberi Paten;
2. Dalam hal Paten-Proses : menggunakan proses produksi yang diberi Paten
untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana dimaksud dalam
butir 1 di atas.
Selanjutnya ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal Paten-Proses, larangan terhaap
pihak lain yang tanpa persetujuannya melakukan impor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari
penggunaan Paten-proses yang dimilikinya. Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) dan
(2) apabila pemakaian Paten tersebut untuk kepentingan penyidikan, penelitian,
percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
Pemegang Paten.
Berdasarkan penjelasan Pasal 16 ayat (1) hak eksklusif artinya hak yang hanya
diberikan kepada Pemegang Paten untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan
sendiri secara komersial atau memberikan hal lebih lanjut untuk itu kepada orang
lain. Dengan demikian, orang lain dilarang melaksanakan Paten tersebut tanpa
persetujuan Pemegang Paten. Disini terlihat sifat hak kebendaan yang melekat pada
paten adalah droit de suite.
Dalam UU Paten juga dikenal sistem Pemakai Terdahulu yaitu seseorang yang
melaksanakan suatu penemuan pada saat atas penemuan yang serupa dimintakan
paten bahkan kemudian diberikan paten. Hal ini diatur dalam Pasal 13 dimana
disebutkan bahwa pihak yang melaksanakan suatu invensi pada saat invensi yang
sama dimohonkan Paten tetap berhak melaksanakan invensi tersebut sebagai
pemakai terdahulu sekalipun terhadap invensi yang sama tersebut kemudian diberi
Paten. Ketentuan ini berlaku pula terhadap permohonan yang diajukan dengan Hak
Prioritas.
Sebagai pemakai terdahulu, berdasarkan Pasal 15, ia harus mengajukan
permintaan untuk itu kepada Direktorat Jenderal yang disertai dengan bukti bahwa
Page | 10
pelaksanaan invensi tidak dilakukan dengan menggunakan uraian, gambar, contoh,
atau keterangan lainnya dari invensi yang dimohonkan paten. Pengakuan sebagai
pemakai terdahulu diberikan oleh Direktorat Jenderal dalam bentuk surat keterangan
pemakai terdahulu dengan membayar biaya.
Dalam hal invensi dihasilkan dalam suatu hubungan kerja, maka berdasarkan
Pasal 12, pihak yang berhak memperoleh paten adalah pihak yang memberikan
pekerjaan tersebut kecuali diperjanjikan lain. Ketentuan ini juga berlaku terhadap
invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja yang menggunakan data
dan/atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya sekalipun perjanjian tersebut tidak
mengharuskannya untuk menghasilkan invensi. Karyawan atau pekerja yang
menghasilkan penemuan berhak mendapatkan imbalan yang layak yang dapat
dibayarkan dengan besaran yang ditetapkan oleh pihak-pihak bersangkutan sebagai
berikut :
1. Dalam jumlah tertentu dan sekaligus;
2. Persentase;
3. Gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus;
4. Gabungan antara persentase dan hadiah atau bonus; atau
5. Bentuk lain yang disepakati para pihak.
Apabila pihak-pihak yang bersangkutan tidak mencapai persetujuan mengenai
besaran imbalan yang dibayarkan, maka keputusan untuk itu diberikan oleh
Pengadilan Niaga.
Page | 11
3. Seksi C : Kimia dan perlogaman (chemistry and metallurgy)
4. Seksi D : Pertekstilan dan perkertasan (textiles and paper)
5. Seksi E : Konstruksi tetap (fixed construction)
6. Seksi F : Permesinan (mechanicak engineering)
7. Seksi G : Fisika (phisics)
8. Seksi H : Perlistrikan (electricity)
Nampak jelas bahwa objek paten sangatlah luas cakupannya. Tidak tertutup
kemungkinan objek paten akan berkembang sejalan dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kemampuan intelektual manusia.
Menurut Pasal 2 UU Paten, invensi yang dapat memperoleh paten adalah
invensi yang memiliki sifat kebaruan , mengandung langkah inventif, serta dapat
diterapkan dalam dunia industri. Memiliki sifat baru artinya paten tersebut belum
pernah diungkap atau diumumkan sebelumnya, dan atas hal ini masyarakat
luas/publik belum mengetahui keberadaan paten tersebut. Mengandung langkah
inventif artinya invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di
bidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumya.
Penilaian bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak dapat diduga
sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan keahlian yang ada pada saat
Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan permohonan pertama
dalam hal Permohonan pertama diajukan dengan Hak Prioritas. Selain itu, penemuan
tersebut mengandung langkah-langkah pemecahan masalah secara logis dan spesifik
dan pihak lain yang memiliki kemampuan di bidang teknik tidak menduga langkah-
langkah penemuan tersebut. 13
Unsur ketiga invensi adalah dapat diterapkan dalam dunia industri. Alasannya
adalah karena usaha inventor dalam melakukan penemuan pada prinsipnya untuk
memudahkan kehidupan manusia. Penemuan tersebut akan berguna jika dapat
diwujudkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dengen menerapkan paten yang
bermuatan invensi dalam suatu industri akan terwujud penyerapan investasi,
penyediaan lapangan pekerjaanm dan alih teknologi. 14
Selain hal-hal tersebut di atas, UU Paten mengatur mengenai invensi yang
tidak diberikan Paten (Pasal 7), yaitu :
13
Yusran Isnaini, Buku Pintar HAKI, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hal 77.
14
Yusran Isnaini, Buku Pintar HAKI, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hal 77
Page | 12
1. Proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas
agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;
2. Metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang
diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
3. Teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau
4. Semua makhluk hidup kecuali jasad renik;
5. Proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan kecuali
proses non-biologis atau prose mikrobiologis.
15
Oka Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta : Rajawali Pers,
2013), hal 239.
Page | 13
1. Invensi harus memenuhi syarat-syarat untuk diberi hak atas paten menurut UU
Paten;
2. Invensi harus mengandung sifat kebaruan;
3. Invensi harus mengandung unsur menemukan sesuatu yang bersifat kemajuan
(inventon step) dari apa yang telah diketahui. 16
Sistem yang digunakan dalam pendaftaran paten di Indonesia adalah sistem
first to file, yaitu sistem pemberian paten yang menganut mekanisme bahwa
seseorang yang pertama kali mengajukan permohonan dianggap sebagai pemegang
paten apabila seluruh syaratnya dipenuhi. Dalam Pasal 34 UU Paten disebutkan
bahwa apabila untuk satu invensi yang sama ternyata diajukan lebih dari satu
permohonan paten oleh pemohon yang berbeda, maka hanya permohonan yang
diajukan pertama atau terlebih dahulu yang dapat diterima
16
Oka Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta : Rajawali Pers,
2013), hal 240.
Page | 14
2. Surat pengalihan hak, apabila permohonan diajukan oleh pihak lain yang
bukan inventor;
3. Deksprisi, klaim, abstrak.
Secara umum terdapat 2 (dua) jenis persyaratan yang harus dipenuhi oleh
suatu permintaan paten, yaitu persyaratan formal dan persyaratan substantif.
Persyaratan formal mencakup pemeriksaan atas perlengkapan administratif dan
fisik yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum menjalani pemeriksaan
substantif. Sedangkan persyaratan substantif mencakup pemeriksaan atas
kebaruan suatu penemuan ada/tidaknya langkah inventif dan dapat/tidaknya
penemuan tersebut diterapkan dalam industri. 17
Tujuan pemeriksaan formal adalah untuk memeriksa kebenaran dan
kelengkapan administratif dan fisik dari pemohon paten yang diajukan sebelum
dilakukannya pengumuman permohonan paten. Jika seluruh kelengkapan atau
syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 30 telah terpenuhi maka akan
diberikan tanggal penerimaan permohonan paten (filling date). Namun apabila
kelengkapan dari pemohon paten yang diajukan belum terpenuhi, maka
permohonan yang bersangkutan harus memenuhi dalam batas waktu yang
ditetapkan oleh DJHKI, yaitu 3 (tiga) ulan terhitung sejak tanggal pengiriman
permintaan pemenuhan seluruh persyaratan tersebut oleh DJHKI. Jika
ketidaklengkapan tidak dipenuhi hingga batas waktu yang ditetapkan maka
permohonan paten yang diajukan dianggap ditarik kembali.
UU Paten juga mengatur mengenai permohonan yang diajukan dengan
menggunakan Hak Prioritas sebagaimana yang diatur dalam Paris Convention
for The Protection of Industrial Property. Dalam Pasal 27 disebutkan bahwa
permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas diajukan paling lama 12 (dua
belas) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan Paten yang
pertama kali diterima di negara mana pun yang ikut serta dalam Konvensi Paris
tersebut atau yang menjadi anggota Agreement Establishing the World Trade
Organization. Permohonan dengan Hak Prioritas wajib dilengkapi dokumen
prioritas yang disahkan oleh pejabat yang berwenang di negara yang
bersangkutan paling lama 16 (enam belas) bulan terhitung sejak tanggal
17
Amir Pamuncak, Sistem Paten : Pedoman Praktik dan Alih Teknologi, (Jakarta : Djambatan, 1994), hal 75-
76.
Page | 15
prioritas. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka permohonan tidak
dapat diajukan dengan menggunakan Hak Prioritas.
Page | 16
sedangkan untungnya adalah dapat mencegah kesalahan untuk menilai
penemuan yang bersangkutan dengan state of art. Di samping itu,
pengungkapan penemuan akan lebih cepat dan hal ini akan mempercepat
pengembangan ilmu dan teknologi. 18
Setelah tahap pengumuman, maka tahap selanjutnya yaitu pemeriksaan
substantif. Pemeriksaan substantif dilaksanakan oleh pemeriksa pada DJHKI
yang berkedudukan sebagai pejabat fungsional. UU Paten menganut sistem
pemberian paten atas pemeriksaan yang ditunda (deffered examination) yaitu
penemu harus mengajukan permintaan secara tertulis agar Kantor Paten
melakukan pemeriksaan paten.
Permohonan pemeriksaan susbtantif diajukan secara tertulis ke DJHKI
dengan dikenakan biaya dan dalam jangka waktu paling lama 36 (tiga puluh
enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan (Pasal 49 ayat (1)). Apabila
permohonan pemeriksaaan substantif tidak diajukan dalam batas waktu
tersebut atau biaya tidak dibayar, maka permohonan dianggap ditarik kembali.
Untuk keperluan pemeriksaan substantif, DJHKI dapat meminta bantuan
ahli dan/atau menggunakan fasilitas yang diperlukan dari instansi pemerintah
terkait atau pemeriksa paten dari Kantor Paten negara lain. Dalam pemeriksaan
substantif, mungkin terjadi bidang keahlian yang diperlukan bagi pelaksanaan
pemeriksaan substantif suatu invensi yang dimintakan Paten ternyata tidak atau
kurang dikuasai oleh Pemeriksa Paten atau fasilitas yang diperlukan untuk
mengadakan pemeriksaan secara baik ternyata tidak dimiliki oleh DJHKI. Oleh
karenanya, DJHKI melalui program kerja sama antar negara dapat meminta
bantuan ahli dalam wujud penggunaan fasilitas dari instansi atau lembaga lain,
seperti European Patent Office (Kantor Paten Eropa), Japanese Patent Office
(Kantor Paten Jepang), dan United States Patent and Trademark Office (Kantor
Paten Amerika Serikat).
Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (3), yang dimaksud pemeriksaan
substantif adalah pemeriksaan terhadap invensi yang dinyatakan dalam
permohonan dalam rangka menilai pemenuhan atas syarat-syarat sebagai
berikut :
18
Adisumarmo Harsono dalam Oka Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights), (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hal 248.
Page | 17
1. Baru;
2. Langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri;
3. Memenuhi ketentuan kesatuan invensi;
4. Diungkapkan secara jelas;
5. Tidak termasuk dalam kategori invensi yang tidak dapat diberi paten.
Secara garis besar, pemeriksaan substantif ditujukan pada hal yang
berkaitan secara substantif dengan penemuan, yaitu apakah penemuan benar-
benar baru, mengandung langkah-langkah inventif, serta mungkin atau
tidaknya diterapkan dalam proses industri. Dalam menentukan apakah suatu
invensi dapat dikatakan baru atau tidak, UU Paten merumuskan secara negatif,
artinya secara limitatif diukur dari segi kapan suatu invensi tidak dianggap
baru. Ketentuan Pasal 3 menyebutkan bahwa suatu invensi dianggap baru jika
pada tanggal penerimaan, invensi tersebut tidak sama dengan teknologi yang
diungkapkan sebelumnya.
Mengenai syarat mengandung langkah inventif dijelaskan dalam Pasal 2
ayat (2), yaitu invensi mengandung langkah inventif jika invensi tersebut bagi
seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan hal
yang tidak dapat diduga sebelumya. Penilaian bahwa suatu invensi merupakan
hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan
memperhatikan keahlian yang ada pada saat Permohonan diajukan atau yang
telah ada pada saat diajukan permohonan pertama dalam hal Permohonan
pertama diajukan dengan Hak Prioritas
Penilaian ada tidaknya langkah inventif merupakan hal yang sangat sulit
untuk dilaksanakan dalam praktik. Dalam hal ini terdapat teori mengenai dua
macam tes dari unsur inventif tersebut, yaitu pendekatan secara subjektif dan
secara objektif. Pendekatan secara subjektif menerangkan hal-hal yang
menurut pengertian sehari-hari dari seseorang mekanik biasa atau seorang ahli
dalam bidang bersangkutan tentang apa yang dicapai oleh penemuan tersebut
harus lebih maju dari apa yang dibuat dalam bidang bersangkutan. Suatu
penemuan baru harus menunjukkan suatu yang genius dan harus melebihi apa
yang akan dihasilkan secara biasa atau secara normal. Tetapi karena
pendekatan subjektif ini banyak dikelilingi oleh hal-hal yang seolah-olah
kelihatannya benar, maka di samping tes subjektif biasanya diterapkan pula tes
Page | 18
objektif atau suatu konsep yang mencari dasar pentingnya penemuan tersebut,
dengan jalan meneliti apakah penemuan itu telah lama diinginkan, apakah
orang lain menemui kegagalan dalam usaha yang sama. 19
Mengenai syarat dapat diterapkan dalam industri, diatur dalam Pasal 5
bahwa invensi harus dapat dilaksanakan dlam industri yang diuraikan dalam
permohonan. Jika invensi dimaksudkan sebagai produk, maka produk tersebut
harus mampu dibuat secara berulang-ulang (secara massal) dengan kualitas
yang sama, sedangkan jika invensi berupa proses, maka proses harus mampu
dijalankan atau digunakan dalam praktik.
19
Chairul Anwar, Hukum Paten dan Perundang-undangan Paten di Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1992),
hal 2-3.
Page | 19
permohonan tersebut dan memberitahukan penolakan itu secara tertulis kepada
pemohon atau kuasanya. Terhadap penolakan permohonan paten, pemohon
atau kuasanya dapat mengajukan permohonan banding yang diajukan secara
tertulis kepada Komisi Banding Paten dengan tembusan kepada DJHKI.
Sertifikat Paten merupakan bukti hak atas paten dan paten mulai berlaku
pada tanggal diberikan Sertifikat Paten dan berlaku surut sejak tanggal
penerimaan. Paten diberikan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun
terhitung sejak tanggal penerimaan dan tidak dapat diperpanjang, sedangkan
paten sederhana diberikan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung
sejak tanggal penerimaan dan tidak dapat diperpanjang.
Page | 20
tertentu. Berbeda dari pengalihan paten yang kepemilikan haknya juga beralih, pada
lisensi melalui suatu perjanjian pada dasarnya hanya bersifat pemberian hak untuk
menikmati manfaat ekonomi dari Paten dalam jangka waktu tertentu dan syarat-
syarat tertentu pula.
Pemegang paten berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan
perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana layaknya pemegang
paten. Kecuali diperjanjikan lain, lingkup lisensi meliputi semua perbuatan dalam
Pasal 16 dan berlangsung selama jangka waktu lisensi diberikan dan berlaku untuk
seluruh wilayah Indonesia. Pemegang paten masih dapat melaksanakan haknya
walaupun pihak lain telah memiliki lisensi atas paten tersebut. Hal ini tidak berlaku
apabila dalam perjanjian lisensi disebutkan dengan jelas larangan bagi pemegang
paten untuk melaksanakan sendiri atau memberikan lisensi kepada pihak ketiga
untuk melakukan perbuatan layakya pemegang paten.
Page | 21
BAB III
BENTUK DAN MEKANISME PERLINDUNGAN HAK PATEN
Page | 22
hak eksklusif bagi pemegangnya untuk melaksanakan paten yang dimilikinya dan
melarang pihak lain melakukan sesuatu terkait patennya tanpa persetujuannya.
Sebagai bentuk perlindungan atas penggunaan paten yang sudah dimiliki,
mekanisme yang dapat digunakan apabila terdapat pihak yang ingin menggunakan
paten milik orang lain adalah melalui pemberian lisensi. Dalam perjanjian lisensi
tersebut, pemegang paten selaku pemberi lisensi memberikan izin kepada pihak
pemegang lisensi untuk melaksanakan invensinya dengan imbalan royalti yang
besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian lisensi
harus dicatat dan diumumkan serta dikenai biaya. Dalam hal perjanjian lisensi tidak
dicatat di DJHKI, maka perjanjian lisensi tidak memiliki akibat hukum terhadap
pihak ketiga.
Bentuk lainnya dari perlindungan terhadap paten adalah adanya ketentuan
Pasal 117 dimana dimungkinkannya pihak yang berhak atas paten mengajukan
gugatan apabila paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak
berdasarkan Pasal 10, 11, dan 12. Hak menggungat berlaku surut sejak tanggal
penerimaan. Selain itu, pemegang paten atau penerima lisensi berhak mengajukan
gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga terhadap siapa pun yang dengan sengaja
dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16. Gugatan
ganti rugi yang diajukan hanya dapat diterima apabila produk atau proses itu terbukti
dibuat dengan menggunakan invensi yang telah diberikan Paten.
Tujuan putusan ganti kerugian adalah memberi kompensasi kepada pemegang
paten atas kehilangan atau kerugian akibat pelanggaran ini. Besarnya kompensasi
yang diberikan dimaksudkan untuk menempatkan pemegang paten pada posisi yang
sama bahwa pemegang paten (perorangan atau badan hukum) berada apabila
pelanggaran tidak terjadi. 20
20
Marni Emmy Mustafa, Prinsip-prinsip Beracara Dalam Penegakan Hukum Paten di Indonesia Dikaitkan
Dengan TRIPs WTO, (Bandung : Alumni, 2007), hal 121.
Page | 23
dirumuskan dalam Pasal 130 s/d 135. Di antara enam Pasal yang memuat hukum
pidana materiil, tiga Pasal diantaranya yaitu Pasal 130, 131, dan 132 merumuskan
tentang tindak pidana.
Page | 24
BAB IV
PENUTUP
IV.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian permasalahan dan pembahasan terhadap pelaksanaan
perolehan dan perlindungan hak paten di Indonesia, maka didapat kesimpulan
sebagai berikut :
A. Bla bla bla
B. Terdapat beberapa bentuk dan mekanisme perlindungan yang diberikan oleh
Negara apabila suatu paten dan paten sedrhana dilanggar oleh orang yang tidak
berhak menggunakan paten.
IV.2. Saran
Berdasarkan uraian kesimpulan terhadap pelaksanaan perolehan dan
perlindungan hak paten di Indonesia, maka didapat saran sebagai berikut :
A. Bla bla bla
B. Bla bla bla
Page | 25