Anda di halaman 1dari 25

PERLINDUNGAN HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL MELALUI

MEKANISME “CROSS BORDER MEASURE”

DI SUSUN OLEH
NAMA : SITI NABILA RUSLAN
NPM : 02042111104
KELAS: III C (MANAJEMEN)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


PROGRAM STUDI MANAJEMEN
UNIVERSITAS
KHAIRUN
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Pelaksanaan sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia dapat dikatakan masih kurang
berjalan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dapat terjadi karena masih kurangnya pemahaman
masyarakat tentang sistem HKI yang memang masih relatif baru berkembang di Indonesia. Oleh
karenanya, sosialisasi HKI harus terus dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat
terhadap manfaat sistem HKI dan memberikan informasi perkembangan sistem HKI baik di
Indonesia maupun di dunia.
Makalah ini memaparkan antara lain tentang pengertian kekayaan intelektual dan Hak Kekayaan
Intelektual, perkembangan sistem HKI, cakupan atau rezim HKI yang berkembang di Indonesia,
manajemen HKI di Perguruan Tinggi dan pemanfaatan HKI secara komersial. Selain itu, pada
buku ini diberikan contoh implementasi dan kebijakan HKI yang berlaku dibeberapa perguruan
tinggi baik di dalam negeri mapun luar negeri.
Melalui Makalah ini diharapkan para pembaca mampu memahami sistem HKI baik yang
berkembang di Indonesia maupun internasional. Kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, penulis menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas
bantuan, dukungan, saran, dan masukan yang telah diberikan selama proses pembuatan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan, sehingga kritik dan saran untuk
perbaikan sangat diharapkan. Selamat membaca, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.

Ternate,7 Oktober 2022

Penulis
PENDAHULUAN
Perdagangan internasional melalui impor dan ekspor semakin lama menjadi semakin pesat
perkembangannya seiring dengan bertambahnya penduduk dunia dan semakin beragamnya
kebutuhan manusia. Kemajuan teknologi informasi dan transportasi turut mendorong peningkatan
volume perdagangan dan pemasaran suatu produk yang tidak hanya bersifat lokal akan tetapi
melewati batas-batas negara. Saat ini, perdagangan internasional tidak hanya terbatas pada
perdagangan barang, tetapi juga mencakup perdagangan jasa dan kekayaan intelektual (intellectual
property). Pertukaran informasi, ide, modal, dan teknologi baru telah menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari masyarakat dunia. Dampak globalisasi ekonomi yang ditandai dengan
adanya gerakan perdagangan dan pesaingan bebas, peningkatan skala investasi dan pemasaran
produk, mengakibatkan semakin terasanya kebutuhan perlindungan terhadap hak kekayaan
intelektual yang sifatnya tidak lagi timbal balik, tetapi sudah bersifat antarnegara secara global.1
Sebagaimana proses timbulnya pelanggaran pada umumnya yang tumbuh dan berkembang di
tengah masyarakat, terjadinya peredaran barang palsu (counterfeiting) dan hasil bajakan (piracy)
dipengaruhi oleh beberapa aspek :

1. Aspek Ekonomi, pada umumnya harga produk-produk ilegal yang beredar di pasaran lebih
murah dibandingkan dengan produk yang legal atau asli, sehingga konsumen glongan menengah
ke bawah cenderung memilih produk yang lebih murah apabila kualitas tidak jauh berbeda.

2. Aspek Sosial, pengaruh globalisasi secara umum telah mendorong pengusaha untuk memacu
hasil industrinya yang sekaligus memicu persaingan curang. Tingginya angka pengangguran juga
mendorong sebagian masyarakat untuk melakukan pekerjaan apa saja, termasuk yang berkaitan
dengan pelanggaran HKI, misalnya pedagang kaki limavideo compact disc(VCD) bajakan.

3. Aspek Budaya, adanya budaya kebersamaan masyarakat Indonesia yang bercirikan


patembayan dapat menimbulkan perbedaan persepsi tentang makna HKI yang cenderung
individual sehingga menghambat sosialisasi pelaksanaan HKI. Selain itu, adanya kecenderungan
‘Brand Minded’ bagi sebagian masyarakat yang berpengaruh pada ‘prestise’ seseorang, dapat
mendorong adanya penggunaan merek palsu.
PEMBAHASAN

1.ARTI PENTING PERLINDUNGAN HUKUM HKI

Hak kekayaan intelektualatau yang biasa disingkat dengan "HKI" atau akronim "HaKI", adalah
padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang
timbul bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna untuk
manusia yang pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu
kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir
karena kemampuan intelektual manusia.8 Menurut Budi Santoso, Hak Kekayaan Intelektual
diartikan sebagai suatu hak yang timbul sebagai hasil kemampuan intelektual manusia dalam
berbagai bidang yang menghasilkan suatu proses atau produk bermanfaat bagi manusia. Hak
kekayaan intelektual memiliki dua aspek utama, pertama yaitu proses dan produk meliputi
berbagai bidang secara luas, mulai dari bidang seni dan sastra hingga invensi dan inovasi di bidang
teknologi serta segala bentuk lainnya yang merupakan hasil dari proses kreativitas manusia lewat
cipta, rasa, dan karsanya. Kedua, karya cipta atau invensi tersebut menimbulkan hak milik bagi
pencipta dan penemunya. Sifatnya sebagai hak milik, maka karenanya hak seorang pencipta atau
penemu atas karya ciptanya haruslah dilindungi. 9 Perlindungan terhadap HKI pada dasarnya
berintikan pengakuan atas kekayaan tersebut dan hak untuk jangka waktu tertentu menikamti atau
mengeksploitasi sendiri kekayaan tadi. Selama kurun waktu tertentu itu orang lain tidak dapat
menikmati ataupun menggunakan, atau mengeksploitasi hak tersebut tanpa ijinnya.10HKI bersifat
eksklusif dan mutlak, artinya bahwa HKI dapat dipertahankan terhadap siapapun dan yang
mempunyai hak dapat menuntut terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun. Pemegang
HKI juga mempunyai hak monopoli, yaitu hak yang dapat dipergunakan dengan melarang
siapapun tanpa persetujuannya membuat ciptaan/penemuannya ataupun menggunakannya.
Konsep kepemilikan HKI lahir dari pemikiran John Locke, filsuf Inggris abad ke-16 tentang
pemikiran hak milik. Menurut Locke, hak milik adalah satu dari tiga hal yang tidak dapat
dipisahkan dari manusia. Manusia lahir ‘tabula rasa’ artinya dalam keadaan bebas dan setara di
bawah hokum kodrat. Hukum kodrat melarang siapapun merusak, menghilangkan kehidupan,
kebebasan, serta hak milik.Ketiga hal tersebut menurut Locke tidak dapat dilepaskan dari diri
manusia karena datangnya dari Yang Maha Kuasa. Setiap manusia memiliki dirinya sendiri
sebagai miliknya dan tidak ada seorangpun memiliki hak atas pribadi orang lain kecuali
pemiliknya sendiri, termasuk hasil kerja tubuhnya dan karya tangannya serta panca inderanya.
Artinya setiap orang secara alamiah mempunyai hak untuk memiliki segala potensi yang melekat
pada diri pribadinya dan seluruh kerja yang dihasilkannya. Perlindungan hukum terhadap pemilik
HKI diperlukan agar pemilik hak dapat menggunakan atau mengeksploitasi kekayaannya dengan
rasa aman. Pada gilirannya rasa aman itulah kemudian menciptakan iklim atau suasana yang
memungkinkan orang dapat berkarya guna menghasilkan karya atau temuantemuan berikutnya.
Sebaliknya dengan perlindungan hukum itu pula pemilik hak dapat diminta untuk mengungkapkan
bentuk, jenis dan cara kerja serta manfaat daripada kekayaannya dengan cara aman karena ada
jaminan hukum dan bagi masyarakat dapat menikmati atau menggunakan atas dasar ijin, atau
bahkan untuk mengembangkannya. Perlindungan terhadap HKI terkandung hak individu dan hak
masyarakat. Hak individu yang tercermin sebagai hak eksklusif sang pemegang HKI dan hak
masyarakat untuk memperoleh dan mengakses kekayaan intelektual, sehingga diperlukan suatu
prinsip yang bertujuan menyeimbangkan antara kepentingan sang individu pemilik hak dan
kepentingan masyarakat. Dalam rangka menyeimbangkan kepentingan individu pemegang HKI
dengan kepentingan masyarakat, maka suatu sistem perlindungan HKI harus berdasarkan prinsip
prinsip yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Prinsip-prinsip Dasar Perlindungan Kekayaan Intelektual

ASAS PERLINDUNGAN KEKAYAAN INTELEKTUAL

Prinsip Keadilan Prinsip Ekonomi

Pencipta sebuah karya yang membuahkan HKI merupakan satu bentuk kekayaan bagi
hasil dari kemampuan intelektualnya,wajar pemiliknya.Dari pemilikinya tersebut
memperoleh imbalan.imbalam tersebut dapat seseorang akan memdapatkan kuntungan
berupa materi maupun bukan materi seperti
karena ada rasanya amam karena di lindungi
dan di akui hasil karyanya
Prinsip Kebudayaan Prinsip Sosial

Pengakuan atas karya,karsa,cipta manusia Hak apapun yang diberikan oleh hukum yang
sebagai perwujudan suasana yang mampu diberikan kepada perseorangan atau
membangkitkan semangat dan minat untuk persekutuan atau kesatuan lainnya juga untuk
mendorong ciptaan atau penemuan baru yang kepentingan seluruh masyarakat terpenuhi
berguna bagi peningkatan taraf kehidupan
manusia,peradaban dan martabat manusia

Selainprinsip-prinsip dasar mengapa perlu adanya perlindungan terhadap HKI, terdapat pula
teori perlindungan HKI sebagaimana diungkapkan oleh Robert M. Sherwood, sebagai berikut:

a. Teori reward (Reward Theory)


Teori reward mengatakan bahwa pencipta atau penemu yang akan diberikan perlindungan
perlu dierika penghargaan atas usaha atau upaya tersebut. Ada terkandung semacam
pengertian perihal penghargaan masyarakat atas usaha seseorang, suatu pengakuan atas
keberhasilannya.
b. TeoriRecover (Recovery Theory)
Teori Recovery mengatakan, mungkin tanpa suatu penilaian yang mendalam, bahwa
penemu atau pencipta atau pendesain yang telah membuang waktu, biaya serta tenaga
untuk menghasilkan karya intelektualnya perlu diberikan semacam kesempatan untuk
meraih kembali apa yang telah dikeluarkannya.
c. Teori Insentif(Incentive Theory)
Teori Incentive mengatakan bahwa insentif bermanfaat untuk menarik upaya dan dana bagi
pelaksanaan dan pengembangan kreativitas penemuan dan semangat untuk menghasilkan
penemuan baru.
d. Public Benefit Theory
Public Benefit Theory, menyatakan dasar pemberian perlindungan hak atas kekayaan
intelektual, yaitu untuk pengembangan ekonomi.
e. Risk Theory
Risk Theory menyatakan bahwa kekayaan intelektual merupakan hasil dari suatu penelitian
yang mengandung resiko yang dapat memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu
menemukan cara tersebut atau memperbaikinya, sehingga wajar untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung resiko tersebut.
f. Economic Growth Stimulus Theory
Teori ini mengakui perlindungan atas HKI merupakan alat pembangunan ekonomi.
Pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya sistem perlindungan atau
HKI yang efektif.
Perlindungan HKI pada penerapannya di setiap negara yang satu dengan negara yang
lainnya berbeda, karena dipengaruhi oleh sistem hukum, politik, budaya dan landasan
filosofisnya yang berbeda-beda di masing-masing negara. Sistem perlindungan hukum
HKI harus menjamin keseimbangan kepentingan pemegang hak dan kepentingan
masyarakat umum. Kedua kepentingan tersebut merupakan dua sisi mata uang yang harus
sama dipertimbangkan dalam konteks perlindungan HKI.

2. PERLINDUNGAN HUKUM HKI MELALUI MEKANISME CROSS BORDER


MEASURE
Perlindungan hukum terhadap HKI mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam tatanan
internasional dan bahkan menjadi salah satu isu pada era globalisasi dan liberalisasi sekarang ini.
Khususnya sejak menjadi salah satu agenda di dalam perundingan Putaran Uruguay atau Uruguay
Round yang berlangsung dari tahun 1986 sampai 1994. Perundingan yang melahirkan World Trade
Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia dan juga disepakatinya perjanjian
internasional tentang Aspek-aspek Hak kekayaan Intelektual Terkait Perdagangan (Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights-TRIPs Agreement). Penegakan hak kekayaan intelektual
terutama dalam lingkup ekspor dan impor (border enforcement) muncul sebagai salah satu isu
penting selama proses negosiasi dan penyusunan TRIPs Agreement. Isu yang timbul selama
perundingan tersebut yaitu berkaitan dengan pengaturan untuk menyeimbangkan antara
kepentingan pemegang hak dan pihak importir.15 Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1995 tentangKepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
17Tahun 2006, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberikan kewenanganuntuk melakukan
pengawasan dugaan pelanggaran Hak Atas KekayaanIntelektual terhadap lalu lintas barang impor
maupun ekspor.Kewenangan ini sebenarnya merupakan pengejawantahan amanat dariWorld
Trade Organization (WTO) Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS)
terutama bagian yang berkaitan denganpengawasan di perbatasan (border measures). Jika
diperhatikan denganbaik, maka sebenarnya kewenangan yang diberikan kepada
DirektoratJenderal Bea dan Cukai tersebut adalah sesuai dengan yang disarankan oleh TRIPs.
Namun demikian patut untuk dicatat bahwa dalam beberapahal tertentu kewenangan yang
diberikan kepada Direktorat Jenderal Beadan Cukai bahkan lebih progresif dibandingkan dengan
rekomendasiTRIPs, misalnya dalam hal pengawasan terhadap ekspor

Kewenangan penegakan hukum HKI di perbatasan sebagaimana tertuang dalam TRIPs Agreement
Section 4 Special Requirements Related To Border Measures Article 51 Suspension of Release by
Customs Authorities, yang menyatakan:
Members shall, in conformity with the provisions set out below, adopt procedures to enable a
right holder, who has valid grounds for suspecting that the importation of counterfeit trademark
or pirated copyright goods may take place, to lodge an application in writing with competent
authorities, administrative or judicial, for the suspension by the customs authorities of the
release into free circulation of such goods. Members may enable such an application to be made
in respect of goods which involve other infringements of intellectual property rights, provided
that the requirements of this Section are met. Members may also provide for corresponding
procedures concerning the suspension by the customs authorities of the release of infringing
goods destined for exportation from their territories.
Berdasarkan Article 51, pada prinsipnya memerintahkan setiap negara anggota untuk menerapkan
prosedur yang memungkinkan pemegang hak/pemilik hak, yang memiliki bukti yang cukup atau
alasan yang sah atas dugaan impor barang palsu (merek palsu)16atau hak cipta bajakan17,
mengajukan permohonan secara tertulis kepada otoritas yang berwenang, baik secara administratif
atau yudisial, untuk melakukan penangguhan/pelepasan barang ke peredaran bebas melalui
otoritas kepabeanan. Setiap negara anggota juga dapat mengizinkan permohonan yang sama
sehubungan dengan pelanggaran HKI lainnya (selain merek dan hak cipta), sesuai dengan syarat-
syarat yang diperlukan. Negara anggota juga dapat memberikan prosedur penangguhan pelepasan
barang ekspor yang diduga melanggar HKI oleh pihak otoritas kepabeanan.
Dalam rangka mengatur secara teknis penegakan ketentuan TRIPs Agreementdan UU Kepabeanan
terkait cross border measure, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 2017 tentang Pengendalian Impor Atau Ekspor Barang Yang Diduga Merupakan Atau
Berasal Dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (PP HKI). Pada dasarnya, Peraturan
Pemerintah ini berisi penjabaran atasacuan dasar mekanisme pengawasan Hak Atas Kekayaan
Intelektual olehDJBC sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan. Disamping itu,
Peraturan Pemerintah ini juga mengenalkan hal baru yaitumekanisme perekaman HKI
(recordation) kepada Direktorat Jenderal Beadan Cukai (DJBC). Penting untuk digarisbawahi
bahwa mekanisme perekaman ini sama sekali tidak menggantikan mekanisme pendaftaran HKI
kepadaDirektorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HakAsasi Manusia.
Mekanisme perekaman ini hanya bertujuan untukmembantu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
agar memiliki data yangcukup mengenai HKI yang ada, sehingga Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai dapat melakukan profiling dan targeting yang lebih efektif. Beberapa negara telah lama
menerapkan mekanisme perekaman ini dandalam prakteknya ternyata sangat membantu institusi
kepabeanan untukmenjalankan fungsi pengawasannya dengan lebih baik, diantaranya China,
Thailand, Malaysia, Singapura dan Vietnam. Pengendalian impor atau ekspor barang yang diduga
merupakan hasil pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia merupakan salah satuupaya
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dengan mendorongkegiatan impor atau
ekspor berjalan sesuai praktik perdagangan yangberkeadilan (fair trade) dengan menjamin
kepastian hukum atas barang-barangyang telah dilindungi oleh Hak Kekayaan Intelektual serta
dilaksanakan denganberlandaskan semangat partisipasi aktif masyarakat (public awareness) dan
kewajiban negara untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual.
Adapun mekanisme perlindungan HKI berdasarkan PP HKI melalui mekanisme cross border
measure, dilakukan melalui 2 cara, yaitu melalui penegahan berdasarkan kewenangan jabatan
Pejabat Bea dan Cukai (ex-officio). atau melaluipenangguhan berdasarkan perintah dari
KetuaPengadilan Niaga (yudisial). Adapun jenis HKI yang dilindungi berdasarkan PP HKI adalah
Merek, Hak Cipta dan Hak terkait, Paten dan Paten Sederhana, Desain Industri, Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu, Varietas Tanaman dan Indikasi Geografis
Mekanisme perlindungan HKI di Kawasan Pabean dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Mekanisme Penangguhan melalui Skema Ex-Officio Untuk memperoleh perlindungan HKI
secara Ex-Officio, maka Pemilik Hak/Pemegang Hak terlebih dahulu melakukan permohonan
perekaman kepada Pejabat Bea dan Cukai, dengan disertai:
a. a.Bukti kepemilikan hak
b. Data mengenai ciri-ciri keaslian produk seperti merek, barang, nama dagang, tampilan
produk, kemasan, rute distribusi, dan pemesaran, serta jumlah produk yang dipasarkan
dalam suatu wilayah dalam halHak Kekayaan Intelektual berupa merek;
c. Data mengenai ciri-ciri atau spesifikasi karya cipta dibidang ilmu pengetahuan, seni,
sastra, atau hak terkait yang diciptakan dalam halHak Kekayaan Intelektual berupa hak
cipta; dan
d. Surat pernyataan pertanggungjawaban dari pemilik atau pemeganghak atas segala
akibat yang timbul dari perekaman.
Dalam jangka waktu paling lama 30 hari sejak permohonan diterimapejabat bea cukai
memberikan keputusan disetujui atau diterima, persetujuan pendataan pada sistem perekaman
Direktorat Jendral Bea dan Cukai berlakuuntuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung
sejak tanggalpersetujuan dapat diperpanjang, dan dapat mencabut persetujuan berdasarkanhasil
monitoring evaluasi dengan Menteri Keuangan. Dalam rangkapendataan pada sistem perekaman,
Pejabat Bea dan Cukai melakukan validasidata mengenai HKI. Validasi data dapat dilakukan
melaluikoordinasi dengan instansi atau pihak lain yang terkaitdalam rangka validasidata misalnya
asosiasi pemegang atau pemilik HKI danorganisasi internasional yang terkait dengan perlindungan
HKI. Pejabat Bea dan Cukai pada saat pemeriksaan pabean atau analisisintelijen berdasarkan pada
informasi perekaman HKIpada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang menemukan adanya
barangimpor atau ekspor yang diduga merupakan atau berasal dari pelanggaran HakKekayaan
Intelektual berupa merek atau hak cipta, harus memberitahukankepada pemilik atau pemegang hak
berdasarkan bukti yang cukup. Terhadappemberitahuan tersebut pemilik atau pemegang hak harus
memberikankonfirmasi untuk mengajukan permintaan perintah penangguhan dalam jangkawaktu
paling lama 2 (dua) hari setelah tanggal pemberitahuan dengan syarat:
a. mempersiapkan persyaratan administrasi pengajuan permintaanperintah penangguhan
kepada Ketua Pengad
b. menyerahkan jaminan biaya operasional kepada Pejabat Bea dan Cukai sebesar
Rp.100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dalam bentukjaminan bank atau jaminan dari
perusahaan asuransi; dan
c. . mengajukan permintaan penangguhan melalui permohonan kepada Ketua Pengadilan,
dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) harikerja sejak konfirmasi dari pemilik atau
pemegang hak;
Pejabat Bea dan Cukai dapat memberikan ringkasan mengenai barangimpor atau ekspor yang
diduga merupakan atau berasal dari hasil pelanggaranHak Kekayaan Intelektual berupa merek atau
hak cipta untuk pemenuhanpersyaratan permintaan penangguhan melalui permohonan kepada
KetuaPengadilan.Sebagai catatan, jaminan biaya operasional yang diserahkan kepada Pejabat Bea
dan Cukai bukan merupakan jaminan yang terkait dengan nilai barang, akan tetapi jaminan yang
akan digu
2. Mekanisme Penangguhan melalui Skema Yudisial Pemilik atau pemegang hak atau kuasanya
dapat mengajukan permintaan penangguhan atas barang impor atau ekspor yang diduga
merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual, kepada KetuaPengadilan
Niaga disertai: nakan dalam rangka handling cost di pelabuhan, seperti biaya pemeriksaan, biaya
pembongkaran, biaya penimbunan dan biaya pengangkutan
a. bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran Hak KekayaanIntelektual yang
bersangkutan;
b. bukti kepemilikan Hak Kekayaan Intelektual yang bersangkutan;
c. perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atauekspor yang dimintakan
penengguhannya, agar dengan cepat dapat dikenali oleh Pejabat Bea dan Cukai; dan
d. Jaminan biaya operasional sebesar Rp.100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dalam bentuk
jaminan bank atau jaminan dari perusahaanasuransi kepada Pejabat Bea dan Cukai dalam
jangka waktu palinglambat 2 (dua) hari kerja

sejak tanggal penetapan perintahPenangguhan diterima Pejabat Bea dan Cukai diajukan kepada
KetuaPengadilan yang wilayah hukumnya meliputi Kawasan Pabeantempat kegiatan impor atau
ekspor yang terdapat barang yang didugamerupakan atau berasal dari hasil pelanggaran Hak
KekayaanIntelektual. Pengadilan mengabulkan atau menolak permohonantersebut dengan
penetapan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)hari kerja setelah tanggal pendaftaran
permohonan.
Pengadilan menyampaikan penetapan perintah Penangguhan kepada Pejabat Bea dan Cukai di
tempat kegiatan impor atau ekspor yang didugamerupakan atau berasal dari hasil pelanggaran Hak
Kekayaan Intelektual dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah ditetapkan
sesuaidengan Peraturan Mahkamah Agung No.4 Tahun 2012 tentang PenangguhanSementara.
Berdasarkan penetapan perintah penangguhan dengan penetapan pengadilan tersebut, Pejabat
bea dan cukai harus;
a. memberitahukan secara tertulis kepada:
1) importir, eksportir, atau pemilik barang;
2) pemilik atau pemegang hak; dan
3) Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual,mengenai penetapan perintah
Penangguhan dari Pengadilan; dan
b. melaksanakan Penangguhan sejak tanggal penetapan perintahPenangguhan diterima.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemilik atau Pemegang Hak mengajukan permohonan jadwal pemeriksaan fisik barang
impor atau ekspor kepada Pejabat Bea dan Cukaidalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari
kerja sejak tanggal penetapanperintah Penangguhan diterima Pejabat Bea dan Cukai.Pemeriksaan
fisik barang impor atau ekspor dilaksanakan berdasarkan jadwal yang telah ditentukan oleh Pejabat
Bea dan Cukai. Pemeriksaan barangimpor atau ekspor dilakukan Pemilik atau Pemegang Hak
secara bersama-samadengan:
a. Pejabat Bea dan Cukai
b. perwakilan dari Pengadilan;
c. perwakilan dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual; dan
d. importir/eksportir/pemilik barang atau kuasanya.
Apabila hal importir/eksportir/pemilik barang atau kuasanya tidak hadir,pemeriksaan tetap
dilakukan. Pejabat Bea dan Cukai melaksanakanPenangguhan dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja terhitungsejak surat perintah atau penetapan Penangguhan diterima dan
pemilik atauPemegang Hak dapat mengajukan permohonan perpanjangan Penangguhansebanyak
1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerjakepada Ketua Pengadilan,
Perpanjangan Penangguhan disertai denganperpanjangan jaminan.
4. Pengakhiran Penangguhan Pengakhiran penangguhan dapat dilakukan oleh Pejabat Bea dan
Cukaidalam hal:
a. berakhirnya masa Penangguhan;
b. berakhirnya masa perpanjangan Penangguhan;
c. terdapat perintah penetapan mengakhiri Penangguhan dariPengadilan untuk mengakhiri
Penangguhan; atau
d. terdapat tindakan hukum atau tindakan lain atas adanya dugaan pelanggaran Hak Kekayaan
Intelektual.
Dalam keadaan tertentu importir, eksportir atau pemilik barang dapat mengajukan
permintaan kepada Ketua Pengadilan untuk memerintahkansecara tertulis kepada Pejabat Bea
dan Cukai agar mengakhiri Penangguhan.Permintaan pengakhiran penangguhan disertai
dengan menyerahkan jaminanRp.100.000.000.00 (seratus juta rupiah).Dalam hal Penangguhan
berakhir terhadap barang yang ditangguhkandapat dilakukan antara lain:
a. diselesaikan sesuai dengan prosedur impor atau ekspor berdasarkanketentuan peraturan
perundang-undangan dibidang kepabeanan;
b. diserahkan kepada penyidik dalam hal dilakukan tindakan hukum berdasarkan ketentuan
pidana;
c. diserah terimakan kepada juru sita Pengadilan dalam hal Pemilik atau Pemegang Hak
mengajukan gugatan dan/atau permohonan sita jaminan atas barang yang ditangguhkan;
atau
d. penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan perundang-undangan.
Jaminan biaya operasional dicairkan untuk menanggung segala biayayang timbul
akibat adanya Penegahan dan/atau Penangguhan, terhadapkekurangannya ditagihkan kepada
Pemilik atau Pemegang Hak dan apabilajaminan biaya operasional melebihi biaya yang timbul
akibat adanyaPenegahan dan/atau Penangguhan, terhadap kelebihannya dikembalikankepada
pemilik atau pemegang hak. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata carapencairan, penagihan,
dan pengembalian jaminan biaya operasional diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Pengecualian Penangguhan
Ketentuan Penangguhan tidak diberlakukan terhadap barang bawaanpenumpang, awak
sarana pengangkut, pelintas batas atau barang kirimanmelalui pos atau jasa titipan yang tidak
dimaksudkan untuk tujuan komersial. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria tujuan komersial
diatur denganPeraturan Menteri Keuangan.
Ketentuan Penangguhan tidak diberlakukan terhadap barang imporangkut lanjut atau
angkut terus dengan tujuan luar Daerah Pabean yang didugamerupakan atau berasal dari
pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual. Pengendalian barang impor angkut lanjut atau angkut
terus yang diduga hasilpelanggaran Hak Kekayaan Intelektual dilakukan oleh Pejabat Bea dan
Cukaidengan mengirimkan surat pemberitahuan kepada pejabat pabean di Negaratujuan
pengangkutan selanjutnya.

3.PERAN PEMERINTAH DALAM DALAM PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN


INTELEKTUAL

A. Mukaddimah

Dalam dasawarsa terakhir ini, telah semakin nyata bahwa pembangunan harus bersandarkan
pada industri yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Kesepakatan Indonesia untuk
merealisasikan gagasan mengenai ASEAN Free Trade Area (AFTA) serta keikutsertaan Indonesia
sebagai anggota World Trade Organization (WTO) dan Asia Pacific Economic Cooperation
(APEC), telah menunjukan keseriusan Pemerintah dalam mendukung sistem perekonomian yang
bebas/ terbuka, dan secara tidak langsung memacu perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk
lebih meningkatkan daya saingnya1.
Semakin derasnya arus perdagangan bebas, yang menuntut makin tingginya kualitas produk yang
dihasilkan terbukti semakin memacu perkembangan teknologi yang mendukung kebutuhan
tersebut. Seiring dengan hal tersebut, pentingnya peranan hak kekayaan intelektual dalam
mendukung perkembangan teknologi kiranya telah semakin disadari. Hal ini tercermin dari
tingginya jumlah permohonan hak cipta, paten, dan merek, serta cukup banyaknya permohonan
desain industri yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Pemerintah sangat menyadari bahwa implementasi sistem hak kekayaan intelektual
merupakan suatu tugas besar. Terlebih lagi dengan keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO
dengan konsekuensi melaksanakan ketentuan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights (Persetujuan TRIPS), sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia). Berdasarkan pengalaman selama ini, peran serta berbagai instansi
dan lembaga, baik dari bidang pemerintahan maupun dari bidang swasta, serta koordinasi yang
baik di antara semua pihak merupakan hal yang mutlak diperlukan guna mencapai hasil
pelaksanaan sistem hak kekayaan intelektual yang efektif3.
Pertanyaan yang timbul adakah Indonesia telah memiliki aturan-aturan kekayaan intelektual
yang baik atau memadai untuk mengakomodir kepentingan dari para kreator pada satu sisi, dan
kepentingan negara Indonesia pada sisi lainnya?

B. Ketentuan-ketentuan Hukum

Indonesia saat ini boleh berbesar hati karena telah memiliki seperangkat ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur soal hak kekayaan intelektual, yaitu menyandingkannya dengan
ketentuan- ketentuan yang bersifat internasional. Adapun aturan-aturan dimaksud adalah sebagai
berikut.
1. Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;
2. Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
3. Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
4. Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
5. Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
6. Undang-undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten; dan
7. Undang-undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek Dan Indikasi Geografis.

. Sistem perlindungan merek pertama sekali di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1961, hak cipta
dimulai sejak tahun 1982, paten baru dimulai sejak tahun 1991. Sebelum di sempurnakan melalui
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pada tahun 2016, beberapa waktu yang lalu (tahun
1997, dan tahun 2001) terhadap ketiga peraturan perundang-undangan tersebut telah dilakukan
perubahan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan Persetujuan TRIPS. Sebagaimana
dimaklumi, Persetujuan TRIPS merupakan kesepakatan internasional yang paling lengkap
(komprehensif), dan merupakan suatu perpaduan yang unik dari prinsip-prinsip dasar GATT-
General Agreement on Tariff and Trade (khususnya tentang national treatment dan most-favoured
nation) dengan ketentuan-ketentuan substantif dari kesepakatan-kesepakatan internasional bidang
hak kekayaan intelektual, antara lain Paris Convention for the protection of industrial Property
dan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works.

Sejalan dengan perubahan berbagai undang-undang tersebut di atas, Indonesia juga telah
meratifikasi 5 konvensi internasional di bidang hak kekayaan intelektual, yaitu sebagai berikut.

i. Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing
the World Intellectual Property Organization (Keputusan Presiden No. 15 tahun 1997
tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1979);

ii. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT

iii. (Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1997);

iv. Trademark Law Treaty (Keputusan Preiden No. 17 Tahun 1997);

v. Berne Convention for the Protection of Literary and Artisctic Works

vi. (Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1997);

vii. WIPO Copyright Treaty (Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1997);

C. ADMINISTRASI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Secara institusional, pada saat ini telah ada Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual yang tugas
dan fungsi utamanya adalah menyelenggarakan administrasi hak cipta paten, merek, desain
industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu. Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (semula
disebut Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek) dibentuk pada thaun 1998. Direktorat
Jendral Kekayaan Intelektual yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat, baik yang
berasal dari dunia industri dan perdagangan, maupun dari institusi yang bergerak di bidang
penelitian dan pengembangan.

Sehubungan dengan hal ini Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia
Dagang menegaskan4:

Membangun strategi Kekayaan Intelektual yang sejalan dengan strategi bisnis/Litbang:

(i) Menentukan apakah akan mengajukan permohonan hak paten atau menyimpannya sebagai
rahasia dagang;
(ii) Beralih dari manajemen ‘berorientasi terhadap kuantitas’ ke ‘berorientasi terhadap kualitas’
dengan memilih dan memfokuskan pada hak-hak paten yang ingin didapatkan;
(iii) Melakukan pencarian invensi terdahulu sembari mengerjakan aktifitas litbang, mendaftarkan
permohonan paten, dan mengajukan permohonan pemeriksaan;
(iv) Mensurvei ‘pergerakan’ perusahaan lainnya dengan menciptakan peta paten;
(v) Menggunakan KI secara efektif (kepemilikan hak eksklusif, lisensi, penanggulangan
terhadap barang-barang bajakan.

Perlu pula kiranya dikemukakan bahwa dalam rangka lebih meningkatkan pelayanan dan
kemudahan bagi masyarakat, sejak januari 2000, pengajuan permohonan hak kekayaan intelektual
dapat dilakukan di Kantor-kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Selanjutnya, Kantor-kantor Wilayah akan menyampaikan permohonan tersebut kepada Direktorat
Jenderal HaKI untuk diproses lebih lanjut. Di samping itu, pada saat ini, dengan bantuan World
Bank sedang dilaksanakan penyempurnaan sistem otomasi di Direktorat Jenderal HaKI yang
diharapkan dapat lebih menunjang proses administrasi dimaksud. Kemudian dari itu, untuk saat
ini Ditjen KI telah maju selangkah lagi bahwa pendaftaran secara on line telah pula diterapkan
terhadap hasil-hasil KI5-6.

Berkaitan dengan hal di atas Direktorat Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia
Dagang mengemukakan sebagai berikut7.

(i) Jumlah permohonan paten dalam negeri hanya lebih kurang 7%.

(ii) Statistik di atas mengindikasikan bahwa pasar domestik Indonesia saat ini, khususnya terkait
produk-produk teknologi, telah “dijajah” pihak asing.

(iii) Padahal Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke-4 di dunia (255 juta jiwa) namun
hanya mampu menghasilkan sedikit sekali paten.

Tidak sebagaimana bidang kekayaan intelektual lain yang administrasinya dikelola oleh Direktorat
Jenderal KI, bidang varietas tanaman ditangani oleh Departemen Pertanian.

D. Penegakan Hukum Hak Kekayaan IntelektuaL


Sebagaimana telah dikemukakan di atas, keterlibatan berbagai pihak secara terkoordinasi dan
intensif sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya sistem hak kekayaan intelektual yang
diharapkan. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 189 Tahun 1998, Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual telah ditugasi
melakukan koordinasi dengan semua instansi Pemerintah yang berkompeten mengenai segala
kegiatan dan permasalahan di bidang hak kekayaan intelektual.

E. Peningkatan Kesadaran Masyarakat

Secara bertahap dan berkesinambungan telah diupayakan sosialisasi mengenai peran hak
kekayaan intelektual di berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari seperti: kegiatan perindustrian
dan perdagangan, investasi, kegiatan penelitian dan pengembangan, dan sebagainya. Berbagai
lapisan masyarakat pun telah dilibatkan dalam kegiatan ini.

Tumbuhnya berbagai sentra hak kekayaan intelektual, klinik hak kekayaan intelektual, dan pusat
hak kekayaan intelektual lain, baik yang dimotori oleh Kementerian Perindustrian dan
Perdagangan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kantor Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi, Perguruan-perguruan Tinggi dan cukup banyaknya permintaan dari
masyarakat yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual menunjukan relatif
telah tumbuhnya kesadaran masyarakat di bidang hak kekayaan intelektual. Di samping itu,
apresiasi yang positif dari anggota masyarakat juga terlihat dalam wujud pendaftran karya-karya
intelektual mereka, seperti terekam dalam jumlah pendaftaran yang sudah disinggung di atas.

F. Kebijaksanaan Pemerintah dalam Melaksanakan Beberapa Ketentuan dalam


Persetujuan TRIPS

Pada intinya semua peraturan perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual telah
disusun dengan memerhatikan kepentingan masyarakat dan selaras dengan ketentuan minimum
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Persetujuan TRIPS. Walaupun demikian, berikut ini
dikemukakan beberapa di antara ketentuan dalam Persetujuan TRIPS yang kiranya memerlukan
penelahaan lebih lanjut. Hal itu pada saatnya akan disampaikan oleh pejabat yang akan kami tugasi
untuk itu.
G. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Bidang Bioteknologi

Kita maklumi bersama bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir peranan bidang ilmu yang
baru ini (bioteknologi) dalam kehidupan sehari-hari sangatlah besar. Sebagai penerapan proses
biologi untuk membuat produk yang berguna bagi masyarakat (seperti: makanan dan minuman,
obat-obatan dan komposisi/bahan kimia), pemanfaatan bioteknologi secara tepat terbukti dapat
meningkatkan: kesehatan masyarakat, mencegah penyebarluasan penyakit dan hama, efisiensi dan
kualitas produk hasil pertanian, mutu hasil industri, dan kualitas lingkungan hidup melalui
produksi gas dan limbah industri yang diinginkan.

Walaupun demikian, tidak sedikit pula pendapat dan hasil pengamatan yang menyangsikan atau
bakan kurang mendukung upaya pengembangan lebih lanjut dari teknologi baru tersebut yang di
banyak negara justru berkembang secara pesat. Topik Utama yang selalu dan masih terus
dipertanyakan (dipertentangkan) di antaranya adalah

(i) Jaminan keamanan produk hasil rekayasa genetik (penerapan bioteknologi) terhadap

linkungan dan terhadap mereka yang mengkonsumsi/menggunakannya.

(ii) Kepatutannya terhadap moralitas agama, etika, dan kesusilaan; dan

(iii) Manfaat dan risiko penggunaannya.

Berbagai forum baik di tingkat nasional maupun internasional telah menelaah mengenai hal-hal
tersebut. Dalam kaitan dengan hak kekayaan intelektual, dengan pertimbangan tidak sedikitnya
invensi yang dapat dihasilkan oleh bidang ilmu baru ini, sewajarnya bila sistem hak kekayaan
intelektual memberi perlindungan yang memadai. Article

27.3. Persetujuan TRIPS menyatakan bahwa:

Members may also exlude from patentability:

(a) Diagnostic, therapeutic and surgical methods for treatment of human or animal;

(b) Plants and animal other than micro organism, and essentially biological processes for
the production of plants or animal other than non-biological and microbiological
processes. However, Members shall provide for the protection of plant varieties either
by patents or by an effective sui generis system or by any combination thereof. The
provisions of this paragraph shall be reviewed four years after the date of entry into
force of the WTO Agreement.

Sementara itu, Pasal 4 huruf f UU Nomor 13 tahun 2016 tentang invensi tidak mencakup: f.
Temuan (discovery) berupa:

(1). Penggunaan baru untuk produk yang sudah ada dan/atau dikenal dan/atau

(2). Bentuk baru dan senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat
bermakna dan terdapat perbedaan struktur kimia terkait yang sudah diketahui dari senyawa.

Di samping itu, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2000
Indonesia juga melindungi invensi mengenai varietas (baru) tanaman. Berdasarkan hal-hal tersebut
di atas jelaslah bahwa bentuk perlindungan hak kekayaan intelektual sebagaimana yang
dipersyaratkan dalam Persetujuan TRIPS telah tersedia di Indonesia. Walaupun demikian, dapat
dikemukakan mengenai adanya masukan dari sebagian negara anggota WTO agar ketentuan
tersebut dapat lebih disempurnakan guna mendukung Ketentuan yang ditetapkan dalam
Convention on Biological Diversity (CBD), yang oleh Indonesia telah diratifikasi melalui Undang-
undang No. 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaregaman Hayati. Usulan yang
diajukan adalah agar mencakup juga beberapa aspek penting sehubungan dengan akses sumber
daya genetika (acces to genetic resources) dalam ketentuan pemberian paten misalnya: dengan
menyebutkan asal-usul bahan/ materi yang digunakan (source of origin), melampirkan bukti
bahwa para peneliti sebelumnya telah memberitahukan secara memadai kepada pihak/otoritas
yang berkompeten di tempat yang bersangkutan (prior informed consent), serta melengkapinya
dengan kesepakatan pembagian hasil yang sepadan (benefit sharing agreement).

Pendapat lain yang juga telah dimunculkan adalah untuk mengupayakan sistem perlindungan bagi
traditional knowledge yang lebih memadai di luar sistem Hak kekayaan intelektual yang telah ada
sekarang ini. World Intellectual Property Organization (WIPO) telah membentuk suatu Inter
Governmental Committee on Intelectual Property and Genetic resources, Traditional Knowledge
anf Folklore dengan tugas pokok berupaya untuk memperoleh solusi yang bijaksana mengenai
permasalahan tersebut.
Dalam hal ini Pemerintah berpandangan untuk mendukung upaya yang telah dirintis oleh
WIPO. Sebagai salah satu realisasi dukungan Pemerintah dalam hal ini, perlu kiranya disampaikan
bahwa pada tanggal 17-19 Oktober 2001 dengan bekerja sama dengan WIPO, Pemerintah telah
menyelenggarakan WIPO-Asia Pacific Symposium on the Protection of Intellectual Property
Rights, Traditional Kowledge and Related Issues, di Yogyakarta. Kegiatan tersebut diikuti oleh
wakil-wakil dari 26 negara di kawasan Asia Pasifik dan mengikutsertakan semua pihak yang
berkompeten di dalam negeri. Diharapkan dalam forum ini dapat disiapkan/disusun posisi negara-
negara Asia Pasifik dalam menangani permasalahan tersebut. Di samping itu mengingat bidang
ilmu (bioteknologi) yang relatif baru ini erat kaitannya dengan kemungkinan dihasilkannya jasad
renik (micro-organisme) yang baru, perlu pula kiranya dikemukakan adanya isu yang berkembang
pada akhir-akhir ini di dalam negeri yang pada intinya menolak pematenan atas segala bentuk
mahluk hidup.

Sehubungan hal itu Pasal 9 Undang-undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten menegaskan:

Invensi yang tidak dapat diberi Paten meliputi:

a. proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan


dengan peraturan perundang- undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan;

b. metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/ atau pembedahan yang diterapkan


terhadap manusia dan/atau hewan;

c. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika;

d. makhluk hidup, kecuali jasad renik; atau

e. proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses
nonbiologis atau proses mikrobiologis.

Padahal, sebagaimana dimaklumi, UU paten sebelumnya (UU No. 14 Tahun 2001 (pada Pasal 7
huruf d) telah mengakomodasi usulan tersebut kecuali untuk invensi mengenai jasad renik.
Sehubungan dengan hal ini beberapa pertimbangan yang telah dikaji dan diuraikan berikut ini
dapat ditelaah lebih lanjut.

a) Sistem paten bertujuan untuk merangsang perkembangan teknologi dan munculnya ide dan
gagasan baru, yang sudah tentu hanya dapat terjadi karena adanya ridha dan perkenan Tuhan
Yang Maha Kuasa. Kurang bijaksanalah bila hal yang berguna bagi kesejahteraan manusia,
justru dihambat kemungkinan pemberian penghargaan terhadapnya.

b) Mahluk hidup, pada dasarnya memang merupakan ciptaan-Nya. Walaupun demikian, atas
kreativitas seseorang, maka khusus bagi jasad renik yang memenuhi kriteria paton (terutama
persyaratan mengenai kebaruan, lankah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri)
selayaknya dapat diberi paten. Perlu kiranya diinformasikan bahwa ketiga persyaratan utama
tersebut tidak mudah dipenuhi, dan bahwa pemberian paten tersebut merupakan
penghargaan yang diberikan oleh negara atas kreativitas inventor yang bersangkutan.
Kreativitas tersebut tidak sekadar memilah (screen) jasad renik tertentu dari sekumpulan
jasad renik, melainkan memanipulasi dan menintervensi karakteristik tertentu yang
diperoleh melalui proses/kegiatan pemilahan dianggap merupakan suatu discovery dan
karena itu bukan merupakan invensi yang dapat diberi paten. Beberapa manfaat yang sangat
dirasakan oleh masyarakat luas dengan pendayagunaan jasad renik atau dengan berhasil
dibentuknya jasad renik baru diantaranya adalah

- Jasad renik yang dapat mengkonsumsi minyak, yang bisa digunakan untuk mengatasi
masalah tumpahan minyak di laut;

- Jasad renik yang dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai vaksin baru;

- Ragi yang digunakan untuk menghasilkan tempe pada temperatur rendah; dan
sebagainya.

Sejak diberlakukannya UU Paten lama (UU No. 6 tahun 1989 tentang Paten) pada tahun 1991,
permohonan paten dari masyarakat Indonesia mengenai jasad renik memang masih rendah.
Namun, beberapa institusi seperti Departemen Pertanian cq. Badan Litbang, Institut Pertanian
Bogor, Fakultas Pertanian–Universitas Pajajaran, dan Institut Teknologi bandung memandang
tetap perlu adanya perlindungan paten bagi invensi mengenai (atau yang berkaitan dengan) jasad
renik. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi dihasilkannya invensi mengenai (atau yang
berkaitan dengan) jasad renik mengingat bahwa kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang
tersebut telah gencar dilakukan.

c) Adanya kekhawatiran bahwa sistem paten dapat menyebabkan harga produk menjadi mahal.
Yang jelas, melalui mekanisme pasar (termasuk kemungkinan memboikot pembeliannya,
bila perlu), pengendalian mengenai masalah ini kiranya akan dapat dilakukan dengan efektif.
Di samping itu, dalam UU Paten di samping adanya ketentuan tentang lisensi wajib, telah
pula dicakup ketentuan mengenai dimungkinkannya ketentuan entang lisensi wajib, telah
pula dicakup ketentuan mengenai dimungkinkannya pararel impor, serta
diakomodasikannya ketentuan Bolar. Melalui ketentuan- ketentuan itu, kekhawatiran
tersebut akan dapat diatasi.

d) Demikian pula, adanya kekhawatiran bahwa sistem paten dapat menyebabkan beredarnya
produk yang membahayakan ingkungan merupakan argumentasi yang tidak benar. Tanpa
adanya sistem paten pun, harus diakui cukup banyak peredaran produk yang membahayakan
lingkungan. Oleh karena itu, menurut hormat kami, pengaturan mengenai masalah
lingkungan perlu diatur secara tersendiri. Kurang tepat jika hal ini harus dimuat sekaligus
dalam Undang-undang Paten. Disamping itu, UU Paten telah pula mengatur ketentuan yang
memungkinkan diajukannya gugatan pembatalan terhadap paten yang dipandang tidak
memenuhi persyaratan tertentu.

e) Sifat monopolistik sistem paten Sebagai bagian dari sistem hak kekayaan intelektual, dengan
paten dimungkinkan adanya monopoli atas invensi yang merupakan miliknya. Walaupun
demikian, Undang-undang Paten telah mengatur bahwa sifat ini tidak bersifat tak terbatas.
Hal ini ercermin dengan adanya pengaturan mengenai jangka waktu perlindungan paten
(selama 20 tahun dan tidak dapat diperpajang), lisensi wajib, pelaksanaan paten oleh
Pemerintah, atau pembatalannya karena tidak dipenuhinya kewajiban tertentu.

f) Adanya pandangan bahwa sistem paten tidak propublik dan anti petani Melalui sistem paten,
kreativitas seseorang diakui dan dihargai, dan karena itu, sepantasnya apabila kepada
inventor yang bersangkutan diberikan imbalan (berupa royalti) yang sepadan atas segala
jerih payah, waktu, dan biaya yang telah dikeluarkannya untuk menghasilkan suatu invensi.
Demikian pula, siapa pun yang akan memanfaatkan/menggunakan invensi itu sewajarnya
untuk membayar sedikit lebih mahal dibandingkan dengan produk yang telah ada
sebelumnya mengingat adanya kelebihan- kelebihan tertentu pada invensi tersebut. Tidak
ada ketentuan yang mengharuskan pihak ketiga atau siapa pun untuk menggunakan atau
memanfaatkan invensi itu. Bagi pihak lain, tetap terbuka kemungkinan untuk menggunakan
produk sejenis yang telah ada (sehingga perlu membayar lebih mahal). Justru sebaliknya,
sistem paten membuka kemungkinan bagi siapa pun untuk meningkatkan lebih lanjut invensi
tersebut, sehingga invensi yang semula perlu diproduksi dengan biaya yang cukup mahal
dapat dibuat dengan cara lain yang menekan ongkos produksinya. Lebih dari itu,adanya
kemungkinan diajukannya lisensi wajib atau pelaksanaan paten oleh Pemerintah dalam
sistem paten, menyebabkan argumentasi itu tidak tepat, bersifat tendensius, dan menyiratkan
kurang dipahaminya sistem paten secara menyeluruh.

g) Akses terhadap sumber daya genetika dan pembagian keuntungan yang adil. Ketentuan
mengenai akses terhadap sumber daya genetika dan kemungkinan pembagian keuntungan
yang adil bagi masyarakat yang berlokasi di sekitar sumber itu, sebagaimana digariskan
dalam CBD memang tidak diatur dalam Undang-undang Paten. Pertimbangan utamanya
adalah karena ketentuan mengenai hal tesebut seyogyanya tidak hanya mengatur invensi
terhadap sumber daya genetika yang dipatenkan, melainkan juga mengenai akses terhadap
sumber daya genetika itu sendiri, penelitian dan pengembangan, serta eksplorasinya, yang
dapat saja tidak terkait dengan masalah paten.Pengaturan mengenai hal ini, sapat dan perlu
segera diwujudkan sebagai ketentuan lebih lanjut dari Undang-undang No. 5 Tahun1994
tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati seperti telah disinggung di atas.

D. Penutup

Berdasarkan uraian yang telah mekanisme perlindungan HKI melalui cross border measure di
atas, penulis memiliki kesimpulan antara lain:

1. Perlindungan terhadap HKI sebagai karya intelektual manusia memiliki arti penting dalam
masyarakat nasional maupun internasional. Negara memiliki peran dalam menyeimbangkan antara
kepentingan pemilik hak/pemegang hak dengan kepentingan masyarakat. Dampak perlindungan
terhadap HKI tidak hanya dalam rangka perlindungan ekonomi saja, akan tetapi juga meliputi
faktor kesehatan dan keselamatan bagi masyarakat untuk memperoleh jaminan barang-barang
yang aman dikonsumsi/digunakan seperti obat-obatan dan sparepart.

2. Perlindungan HKI melalui mekanisme cross border measure dapat dilakukan melalui skema
penegahan berdasarkan kewenangan jabatan Pejabat Bea dan Cukai (ex-officio) atau melalui
penangguhan berdasarkan perintah dari KetuaPengadilan Niaga (yudisial). Skema ex-
officiotentunya akan lebih efektif, mengingat adanya peran aktif dari pihak Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai dalam pengawasan barang impor atau ekspor yang terkait dengan pelanggaran HKI.

Daftar pustaka

Mahardhita, Y., & Sukro, A. Y. (2018). Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Melalui
Mekanisme “Cross Border Measure”. Qistie, 11(1).

Thalib, A., & Muchlisin, M. (2018). Hak Kekayaan Intelektual Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai