Anda di halaman 1dari 17

PERKEMBANGAN HAK CIPTA DAN PERAN

LEMBAGA MANAJEMEN KOLEKTIF DI INDONESIA

Dosen Mata Kuliah :


Agnes Manuhutu, SH., MH

Disusun Oleh :
Erni Mulya Ningsih ( 2020330050050 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAYABAYA
2022

Jl. Pulomas Selatan Kav. No.23, RT.4/RW.9, Kayu Putih, Kec. Pulo Gadung,
Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13210
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang Perkembangan Hak Cipta dan Peran Lembaga Manajemen
Kolektif (LMK) di Indonesia ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu Agnes
Manuhutu, SH., MH pada mata kuliah Hak Kekayaan Intelektual. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang sejarah perkembangan HAKI dan bagaimana peran LMK
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Agnes Manuhutu, SH., MH, selaku dosen
HAKI yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi maupun mata kuliah yang saya tekuni.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
setiap kritik dan saran yang membangun akan saya terima demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 21 Oktober 2022

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
Jakarta, 21 Oktober 2022........................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................................3
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………………...3
BAB II......................................................................................................................................4
2.1 Pengertian Hak Cipta dan Perkembangannya di Indonesia...........................................................4
2.2 Peranan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dalam perkembangan Hak Cipta di Indonesia......7
2.3 Contoh Kasus Hak Cipta di Indonesia dan peranan LMK dalam kasus tersebut..........................10
BAB III...................................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................................12
3.2 Saran...........................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................13

II
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hak atas Kekayaan Intelektual atau HaKI mempunyai fungsi utama untuk memajukan
kreatifitas dan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat secara luas. Istilah HaKI atau Hak
atas Kekayaan Intelektual merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR),
sebagaimana diatur dalam undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan WTO
(Agreement Establishing The World Trade Organization). Pengertian Intellectual Property
Right sendiri adalah pemahaman mengenai hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan
intelektual manusia, yang mempunyai hubungan dengan hak seseorang secara pribadi yaitu
hak asasi manusia (human right).

HaKI atau Hak atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu
hukum atau peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Pada
intinya HaKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas
intelektual. Objek yang diatur dalam HaKI adalah karya-karya yang timbul atau lahir karena
kemampuan intelektual manusia. Setiap hak yang digolongkan ke dalam HaKI harus
mendapat kekuatan hukum atas karya atau ciptannya. Untuk itu diperlukan tujuan penerapan
HaKI. Tujuan dari penerapan HaKI yang Pertama, antisipasi kemungkinan melanggar HaKI
milik pihak lain, Kedua meningkatkan daya kompetisi dan pangsa pasar dalam komersialisasi
kekayaan intelektual, Ketiga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan
strategi penelitian, usaha dan industri di Indonesia.

Lalu bagaimana apabila karya kita atau milik orang lain tidak dilindungi? Sudah pasti
dipastikan akan terkena pembajakan. Sebegai contoh untuk di dunia pendidikan saat ini
marak adanya pembajakan buku. Pembajakan buku ini makin marak terjadi di masyarakat,
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pembajakan buku, salah satunya adalah
kurangnya penegakan hukum, ketidaktahuan masyarakat terhadap perlindungan hak cipta

1
buku, dan kondisi ekonomi masyarakat. Sudah banyak pelaku terjaring oleh aparat, dan
masih banyak pula yang masih berkeliaran dan tumbuh, seiring tingginya permintaan oleh
masyarakat. Untuk itu butuh kesadaran dari masyarakat untuk mengetahui HaKI agar
karyanya tidak diambil oleh orang lain. Berikut ini terdapat macam-macam HaKI yaitu Hak
Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, Indikasi Geografis, Rahasia Dagang, dan Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu.

Kali ini kita akan membahas mengenai Hak Cipta itu sendiri yang merupakan bagian dari
HaKI. Hak cipta mencakup ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang di dalamnya mencakup
juga program komputer. Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif. Hak cipta terdiri dari dua hak, yaitu hak moral dan hak
ekonomi. Hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta dan tidak
dapat dialihkan selama ia masih hidup. Sementara hak ekonomi adalah hak eksklusif
pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaannya. Hak
ekonomi berupa lisensi dan royalti. Jika lisensi adalah izin tertulis yang diberikan pemegang
hak cipta atau pemilik hak terkait kepada pihak lain atas ciptaannya maka royalti adalah
imbalan atas penggunaan ciptaan atau produk hak terkait tersebut.

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Hak Cipta itu sendiri dan bagaimana perkembangannya di Indonesia?
2. Apa peranan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dalam Hak Cipta di Indonesia?
3. Apa saja contoh kasus dari Hak Cipta yang ada di Indonesia serta peranan LMK dalam
Hak Cipta itu?

1.3 Tujuan
1. Untuk Mengetahui apa itu Hak Cipta serta perkembangannya dari tahun ke tahun.
2. Untuk memahami apa peranan LMK dalam perkembangan Hak Cipta di Indonesia.
3. Untuk mengetahui apa saja contoh kasus Hak Cipta yang pernah terjadi di Indonesia serta
peranan LMK.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hak Cipta dan Perkembangannya di Indonesia

Hak Cipta merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa
mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah
hak yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang
dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau
konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap. Lantas perkembangan Hak Cipta
memiliki kesinambungan dengan HaKI. Secara historis, peraturan perundang-undangan
di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Pemerintah Kolonial Belanda
memperkenalkan undang-undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844.
Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek (1885), UU Paten (1910),
dan UU Hak Cipta (1912). Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands
East-Indies telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial
Property sejak tahun 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary
and Aristic Works sejak tahun 1914. Pada jaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942
s.d. 1945, semua peraturan perundang-undangandibidangHKItersebuttetapberlaku.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan


kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh
peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku selama tidak
bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU peningggalan Belanda tetap
berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap bertentangan
dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan
Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang berada di Batavia

4
( sekarang Jakarta ), namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan
di Octrooiraad yang berada di Belanda. Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah
mengesahkan UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta ( UU Hak Cipta 1982) untuk
menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982
dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil
kebudayaan di bidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan
kecerdasan kehidupan bangsa.
Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem HKI di tanah air. Pada tanggal
23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui
Keputusan No. 34/1986 (Tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tugas
utama Tim Keppres 34 adalah mencangkup penyusunan kebijakan nasional di bidang
HKI, perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem
HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
Tim Keppres 34 selanjutnya membuat sejumlah terobosan, antara lain dengan mengambil
inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem paten di
tanah air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali RUU Paten yang telah diselesaikan
pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 Pemerintah mengesahkan UU Paten.
Pada tanggal 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 7 tahun 1987
sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam penjelasan UU
No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas UU No. 12 tahun 1982
dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang dapat
membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat.
Menyusuli pengesahan UU No. 7 tahun 1987 Pemerintah Indonesia
menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta sebagai pelaksanaan
dari UU tersebut.
Pada tahun 1988 berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 di tetapkan pembentukan
Direktorat Jendral Hak Cipta, Paten dan Merek (DJ HCPM) untuk mengambil alih fungsi
dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta yang merupakan salah satu unit eselon II di
lingkungan Direktorat Jendral Hukum dan Perundang-undangan, Departemen
Kehakiman.

5
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari
Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan
karya bangsa asing tanpa harus membayar royalti. Kemudin pada tahun 1982, Pemerintah
Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912
Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun
1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di
Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, Undang-undang Nomor 19 Tahun
2002, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 yang kini
berlaku.

Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam
pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights – TRIPs
("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi
tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun
1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden
Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization
Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor
19 Tahun 1997.
Masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku
saat ini, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014. Dalam undang-undang tersebut,
pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku" (pasal 1 butir 1). Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi"
dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas
ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku
(seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun
hak cipta atau hak terkait telah dialihkan.

6
7
2.2 Peranan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dalam perkembangan
Hak Cipta di Indonesia

Sebelum ingin mengetahui peran dari LMK dalam Hak Cipta di Indonesia, terlebih dahulu kita
harus mengetahui apa itu LMK. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) merupakan Lembaga
bantu pemerintah non APBN yang mendapatkan kewenangan atribusi dari Undang-Undang Hak
Cipta untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti serta mengelola kepentingan
hak ekonomi Pencipta dan Pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/ atau musik. Lembaga
Manajemen Kolektif telah diatur dalam sistem hukum hak cipta yang ada di Indoensia. LMK
merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap pencipta, dan memastikan bahwa pemilik
hak menerima pembayaran atas pengguna karya mereka. LMK berwenang dalam hal
pengumpulan royalti lagu atau musik yang mana pencipta atau pemegang hak ciptanya sudah
melakukan perjanjian dengan LMK, dimana pencipta atau pemegang hak cipta memberikan
kewenangan serta tanggung jawab dalam hal pengumpulan dan pendistribusian royalti lagu atau
musik. Kehadiran LMK dimaksudkan untuk menjembatani kepentingan pencipta, pemegang hak
cipta dan pemegang hak terkait di satu pihak agar hak-hak ekonominya dapat terpenuhi dan
kepentingan pengguna lagu atau musik yang bersifat komersial di pihak lain agar dapat
mengeksploitasi karya cipta secara lebih mudah dan memenuhi ketentuan perundang- undangan
hak cipta. Tujuan pembentukan LMK adalah untuk mewujudkan kesejahteraan pencipta dan
pemegang hak terkait untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional.
Keberadaan LMK sangat membantu pencipta atau pemegang hak cipta dan
pemilik hak terkait, dimana dengan adanya LMK para pencipta atau pemegang hak cipta
dan pemilik hak terkait tidak perlu repot untuk menjaga karyanya karena akan ada
lembaga yang membantu mengumpulkan royalti dari penggunaan secara komersial karya
cipta para pencipta atau pemegang hak cipta dan pemilik hak terkait, LMK yang bertugas
dan berwenang mengumpulkan dan mendistribusikan serta kegiatan lain yang
berhubungan dengan royalti melakukan suatu perjanjian dengan pencipta atau pemegang
hak cipta dan/atau pemegang hak terkait. Perjanjian antara LMK dan pencipta atau
pemegang hak cipta dan/atau pemegang hak terkait akan menjelaskan bagaimana hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Aturan mengenai hak dan kewajiban juga akan

8
menjelaskan bagaimana kedudukan masing- masing pihak. Setelah munculnya hak dan
kewajiban para pihak, maka akan timbulah kewenangan dari LMK.
UU Hak Cipta yang mendasari LMK sendiri telah memberikan pengaturan atas hak ekonomi
pemilik hak terkait. Pertama, bagi pelaku pertunjukan. UU Hak Cipta mengatur pelaku
pertunjukan memiliki hak moral dan hak ekonomi. Hak moral pelaku pertunjukan merupakan
hak yang melekat pada pelaku pertunjukan yang tidak dapat dihilangkan atau tidak dapat dihapus
dengan alasan apapun walaupun hak terkait telah dialihkan. Pelindungan yang diberikan UU Hak
Cipta kepada pemilik hak terkait salah satunya yaitu, pengaturan mengenai pencatatan produk
hak terkait yang merupakan “pencatatan” dalam UU Hak Cipta ini adalah “pendaftaran” dalam
UU No. 19 Tahun 2002”. Adapun UU No. 19 Tahun 2002 tidak mengatur pendaftaran produk
hak terkait. Undang-undang ini hanya mengatur pendaftaran ciptaan dalam Pasal 35 UU No. 19
Tahun 2002, Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual menyelenggarakan pendaftaran
ciptaan dan dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan.
UU Hak Cipta dalam Pasal 64 ayat (1) menyatakan Menteri menyelenggarakan
pencatatan dan penghapusan ciptaan dan produk hak terkait. Dalam hal ini Menteri yang
dimaksud adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun pencatatan ciptaan
dan produk hak terkait bukan merupakan syarat untuk mendapatkan hak cipta dan hak
terkait (Pasal 64 ayat 2 UU Hak Cipta). Pencatatan ciptaan maupun produk hak terkait
bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak
terkait. Pelindungan suatu ciptaan dimulai ejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan
karena pencatatan. Hal ini berarti suatu ciptaan baik yang tercatat maupun tidak tercatat
tetap dilindungi (Penjelasan Pasal 64 ayat (2) UU Hak Cipta). Adapun pencatatan ciptaan
tidak dapat dilakukan terhadap seni lukis yang berupa logo atau tanda pembeda yang
digunakan sebagai merek dalam perdagangan barang/jasa atau digunakan sebagai
lambang organisasi, badan usaha, atau badan hukum (Pasal 65 UU Hak Cipta).
Ciptaan atau produk hak terkait yang bernilai komersial atau penting sebaiknya
dicatatkan. Bagi pencipta, pemegang hak cipta, maupun pemilik hak terkait yang telah
mencatatkan ciptaan atau produk hak terkaitnya, dapat menjadikan surat pencatatan
sebagai alat bukti awal di pengadilan bila di kemudian hari timbul sengketa mengenai
ciptaan atau produk hak terkait tersebut. Simbol hak cipta (©) biasanya digunakan untuk
mengidentifikasi pemegang hak cipta dan mengingatkan masyarakat bahwa karya

9
tersebut memperoleh pelindungan hak cipta. Pemegang hak cipta dan hak terkait dapat
mencantumkan tanda ini pada karya cipta mereka walaupun sama sekali tidak ada
kewajiban mengenai hal ini. Keuntungan yang diperoleh dari pencatatan hak cipta atau
hak terkait dimaksudkan untuk membantu membuktikan kepemilikan karena seringkali
muncul kesulitan untuk membuktikan kepemilikan di pengadilan. Kemampuan untuk
membuktikan kepemilikan secara meyakinkan sangat menentukan dalam kasus hak cipta
di Indonesia.
Selain itu, berdasarkan dengan perkembangan teknologi yang membuat
pemanfaatan sekaligus komersialisasi ciptaan lagu atau musik menjadi sangat luas,
sehingga peranan LMK menjadi sangat dibutuhkan dan bisa dikatakan mutlak, sebab
tanpa adanya peranan LMK, para pencipta dan juga Negara akan kehilangan pendapatan
ekonomi yang besar.
Adapun fungsi LMK di secara umum ialah sebagai lembaga yang posisinya adalah mewakili
para pencipta atau pemegang hak cipta dalam melakukan bargaining atau mengikat kerja sama
dengan para pengguna lagu atau musik (user) dan juga kontribusinya ialah untuk membantu
pencipta lagu, musik, serta berbagai hasil karya cipta lainnya untuk mewujudkan hak-hak
ekonominya dan memastikan supaya setiap pengeksploitasian karya ciptanya oleh pihak lain
senantiasa dilandari lisensi. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta memberikan kedudukan hukum yang jelas bagi LMK.
Dimana di Indonesia LMK memliki posisi atau kedudukan sebagai sebuah badan yang berperan
sebagai pelindung atau Lembaga yang memperjuangkan hak-hak para pencipta atas hasil
ciptaannya dengan cara mejalankan tuganya untuk melakukan pengelolaan royalti hak cipta
bidang lagu dan/atau musik yang masing-masing mempresentasikan dari keterwakilan
kepentingan pencipta dan kepentingan pemilik hak terkait. Tugas-tugas inilah maka LMK
memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari pengguna
yang bersifat komersial. Adapun pengelolaan Lembaga Manajemen Kolektif Berdasarkan
Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia. Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) merupakan
Lembaga bantu pemerintah non APBN yang mendapatkan kewenangan atribusi dari Undang-
Undang Hak Cipta untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan Royalti serta mengelola
kepentingan hak ekonomi Pencipta dan Pemilik Hak Terkait di bidang lagu dan/ atau musik.
Dalam suatu karya musik/lagu terdapat Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan Hak Terkait.

10
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendirisendiri atau bersama-sama
menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Pemegang Hak Cipta adalah pencipta
sebagai pemilik hak cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak
lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah. Hak
terkait adalah hak yang berkaitan dengan hak cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku
pertunjukan, produser fonogram, atau Lembaga penyiaran.
Pada tahun 1980-an dunia industri musik rekaman di Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup pesat, sehingga dunia industri ini dapat menghasilkan suatu
usaha bisnis yang sangat menguntungkan yang membuat banyak sekali pengusaha yang
tertarik untuk memiliki usaha di dunia industri musik tersebut. Di dalam industri musik
rekaman tersebut membutuhkan adanya pengelolaan royalti atas ciptaan-ciptaan lagu.
Sehingga didirikan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk mengelola dan
mengadministrasi royalti atas pemakaian lagu-lagu.

2.3 Contoh Kasus Hak Cipta di Indonesia dan peranan LMK dalam kasus
tersebut

Kasus yang terjadi kemarin pada Tahun 2021 yaitu kasus tagihan ganda royalty
lagu. Kasus tagihan ganda pembayaran royalti lagu dan musik mencuat setelah adanya
keluhan dari para pengusaha perhotelan. Atas keluhan ini, Lembaga Manajemen Kolektif
Nasional (LMKN) meminta pengusaha untuk tidak usah melayani pihak-pihak yang
bukan penerima delegasi dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Komisioner Bidang Hukum dan Ligitasi LMKN Marulam J. Hutauruk mengatakan
bahwa semua pihak bisa saja mengaku-ngaku berwenang untuk menagih royalti dan
Marulam juga mengatakan semua petugas yang menagih royalti lagu telah disertai
dengan identitas barcode resmi dari LMKN yang akan langsung terhubung pada official
website www.lmkn.go.id.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu
dan/atau Musik pada 30 Maret 2021. Setelah PP ini terbit, Sekretaris Jenderal
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI Maulana Yusran menyampaikan

11
sejumlah masalah terkait pungutan royalti selama ini. Sejak 2016, pengusaha hotel
sebenarnya sudah membayar royalti karena ada kesepakatan dengan LMKN. Tapi di
lapangan, para pengusaha juga mendapatkan tagihan dari LMK. LMK ini adalah
organisasi yang mendapat delegasi dari LMKN untuk membuat perjanjian royalti dengan
pengusaha. Berdasarkan PP 56, LMK adalah institusi yang berbentuk badan hukum
nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak
Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan
mendistribusikan Royalti. Tapi dalam prakteknya, kata Maulana, banyak LMK-LMK
yang merasa tidak diwakilkan oleh LMKN. Sehingga, beberapa LMK ini tetap
melakukan penagihan royalti ke pengusaha hotel. Marulam kemudian menjelaskan bahwa
LMK memang bisa membuat perjanjian dengan pengusaha karena mendapatkan delegasi
dari LMKN. Tapi, hanya rekening bank milik LMKN saja yang berwenang menerima
royati tersebut. Demi mematuhi aturan yang berlaku, Marulam pun meminta LMK tak
mendatangai para pembayar royalti ini sendiri-sendiri. Tapi sejauh ini, Marulam
menyebut belum ada yang melaporkan kasus tagihan ganda royalti lagu ini ke LMKN
secara resmi berikut barang bukti, dan bila ada, silahkan laporkan dengan disertai bukti-
buktinya.

12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, saya menyimpulkan bahwa sejak perkembangan
Hak Cipta diIndonesia berjalan beriringan dengan awal mulanya muncul HaKI. Menurut
saya Hak Cipta ini berfungsi menghargai suatu karya dan mendorong pencipta karya
tersebut untuk menghasilkan karya baru. Selain itu Hak Cipta ini juga bertujuan dari
pelaksanaan hukum hak cipta adalah melindungi hak eksklusif, hak moral, dan ekonomi
bagi pencipta karya, sehingga pencipta karya tersebut masih bisa mendapatkan royalti
dari hasil karya mereka itu. Dan untuk mendapatkan royalti itu tidak luput dari peran
LMK yang sangat penting dengan perkembangan Hak Cipta. Menurut saya LMK
menjadi tempat bagi para pencipta untuk mempercayakan pekerjaan mereka dan untuk
mempertahankan hak ekonomi mereka sehingga masa depan pencipta karya ini bisa
terjamin dengan karya-karya yang telah dia ciptakan dan daftarkan melalui LMK ini.

3.2 Saran
Saran saya sebagai penulis untuk setiap pencipta karya yaitu harus mendaftarkan karya-
karyanya kepada LMK sehingga bisa memanfaatkan peran LMK kedepannya dan membantu
kesejahteraan pencipta itu sendiri kedepannya. LMK juga harus berperan sungguh-sungguh demi
kemajuan dan kesejahteraan setiap Hak Cipta dan pencipta karya itu agar tidak terjadi kasus-
kasus pelanggaran Hak Cipta itu dan royalti bisa dimanfaatkan oleh pencipta demi masa
depannya.

13
DAFTAR PUSTAKA
https://fh.unram.ac.id/wp-content/uploads/2021/08/SWARDHIKA-
SWARNAGITA_D1A015257.pdf
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/03/01300071/jenis-jenis-hak-kekayaan-intelektual-
dan-contohnya
https://lp2m.uma.ac.id/2021/11/25/hak-atas-kekayaan-intelektual-haki-pengertian-dan-jenisnya/
https://bisnis.tempo.co/read/1451469/kasus-tagihan-ganda-royalti-lagu-lmkn-semua-pihak-bisa-
mengaku-ngaku?page_num=2

14

Anda mungkin juga menyukai