Puji syukur kepada Allah SWT atas karunia, hidayah, dan nikmatNya penulis
dapatmenyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi
salah satutugas yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah Hukum Adat.Makalah ini
ditulis oleh penulis yang bersumber dari Buku dan Jurnal sebagairefrensi. Tak lupa
kami ucapkan terima kasih kepada rekan rekan mahasiswa yang tealahmendukung
sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.Penulis berharap, dengan membaca makalah ini
dapat memberi manfaat bagi kita semua.Makalah ini secara fisik dan substansinya
diusahakan relevan denganpengangkatan judul makalah yang ada, Keterbatasan waktu
dan kesempatan sehinggamakalah ini masih memiliki banyak kekurangan yang tentunya
masih perlu perbaikan danpenyempurnaan maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikanmenuju ke arah yang lebih baik.Demikian makalah ini, semoga dapat
bermanfaat bagi penulis dan yang membacanya,sehingga menambah wawasan dan pengetahuan
tentang bab ini. Amin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..ii
BAB 1
A.latar Belakang………………………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………….2
BAB II
TINJAUN PUSTAKA
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
LATAR BELAKANG
A.LATAR BELAKANG
Dalam era globalisasi setiap negara melakukan pembangunan di segala bidang dalam upaya
untuk memberi kesejahteraan bagi masyarakatnya, hal tersebut tertuang dalam Alenia 4 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi sebagai berikut “Untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam Undang-Undang Dasar Negara tersebut harus
mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat
yang luhur.
Seperti kita ketahui bahwa pembangunan ekonomi, merupakan bagian dari pembangunan
nasional yang diharapkan akan memberi dan menjadikan masyarakat Indonesia adil serta
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang berbunyi, Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Hal tersebut terlihat pada dasawarsa terakhir yang terlihat semakin nyata dalam
pembangunan yang berbasis industri serta ekonomi kreatif yang akan menghasilkan nilai tambah
bagi masyarakat Indonesia. Kesepakatan Indonesia untuk merealisasi gagasan ASEAN Free
Trade Area (AFTA) serta keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organisation
(WTO) dan Asia-Pasific Economic Coorporation (APEC), hal tersebut menunjukan keseriusan
pemerintah dalam mendukung sistem perekonomian yang terbuka, sehingga secara tidak
langsung akan memacu masyarakat untuk lebih kreatif dan mempunyai daya saing yang tinggi di
bidang karya cipta.
Kekayaan Intelektual merupakan hak atas suatu ciptaan dibidang ilmu pengetahuan, seni,
dan sastra yang mempunyai peranan strategis dalam mendukung pembangunan bangsa dan
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk memberi perlindungan dan jaminan kepastian hukum
dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sastra bagi pencipta, pemegang hak
cipta, dan pemilik hak terkait.
Hak Cipta merupakan salah satu bagian dari kekayaan intelektual yang memiliki ruang
lingkup objek dilindungi paling luas, karena mencakup ilmu pengetahuan, seni dan sastra (art
and literary). Perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan Indonesia dan
berbagai negara dan berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi mengharuskan
adanya pembaruan Undang-Undang Hak Cipta, mengingat Hak Cipta menjadi basis terpenting
dari ekonomi kreatif dan pembangunan yang berbasis industri nasional. Dengan Undang-Undang
Hak Cipta yang memenuhi unsur pelindungan dan pengembangan ekonomi kreatif ini maka
diharapkan kontribusi sektor Hak Cipta dan Hak Terkait bagi perekonomian negara dapat lebih
optimal.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi salah satu variabel
dalam Undang-Undang tentang Hak Cipta ini, mengingat teknologi informasi dan komunikasi di
satu sisi memiliki peran strategis dalam pengembangan Hak Cipta, tetapi di sisi lain juga menjadi
alat untuk pelanggaran hukum di bidang ini. Pengaturan yang proporsional sangat diperlukan,
agar fungsi positif dapat dioptimalkan dan dampak negatifnya dapat diminimalkan.
Hak eksklusif yang diberikan kepada seseorang (pencipta, pendesain, dan sebagainya)
sebagai penghargaan terhadap karya ciptanya serta orang lain akan berusaha untuk dapat
mengembangkan lagi karya cipta tersebut. Sehingga tujuan diaturnya kekayaan intelektual dalam
hukum adalah memberi pengakuan dan perlindungan hukum bagi pemegang hak yang berupa
hak eksklusif kepemilikan hasil ciptaannya serta mengatur penggunaan hasil ciptaannya dalam
jangka waktu tertentu.
Disamping itu juga karena penerimaan dan keikutsertaan Indonesia dalam persetujuan mengenai
Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual (Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods/TRIP’s) yang merupakan
bagian dari persetujuan pembentukan organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing
The World Trade Organization), kemudian dengan Keputusan Presiden RI No. 15 Tahun 1997
tentang pengesahan organisasi WIPO (WIPO Copyright Treaty) serta dengan Keputusan
Presiden RI No. 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Bern (Bern Covention of The
Protection of Literary and Artistic Works).1
Kondisi-kondisi inilah yang telah mengubah hukum domestik Indonesia, karena pengaruh
hukum (perjanjian-perjanjian) Internasional. Hal seperti ini bila dihubungkan dengan nilai-nilai
budaya yang tumbuh, sikap sosial dunia hukum berproses dan berlaku akan menimbulkan
masalah tersendiri. Mengingat satu sisi ketentuan hak cipta merupakan adopsi dari hukum asing
yang sangat diperlukan sebagai upaya untuk mengantisipasi diri dalam menghadapi globalisasi,
tapi dalam sisi lain kondisi sosial, budaya masyarakat Indonesia khususnya di Surakarta yang
masyarakatnya masih tradisional berproses menuju pada masyarakat modern (Transisi).
Karena dalam masyarakat Surakarta terlihat sifat-sifat kekerabatan yang masih
mengedepankan nilai dan sifat ketimuran yang lebih mengemukakan kebersamaan (sifat
individualisnya tidak nampak). Jadi sikap dan sifat masyarakat Surakarta lebih mementingkan
kepentingan bersama dari pada kepentingan individu atau perorangan serta tidak semua
masyarakat mengerti dan memahami Undang-undang Hak Cipta (hukum hak cipta).
Suatu kondisi nyata yang terdapat dalam budaya masyarakat Indonesia adalah bahwa
sebagian masyarakatnya masih sederhana terhadap sesuatu hal yang bersifat menjiplak atau
meniru suatu karya cipta atau karya seni batik, hal tersebut adalah hal yang sudah biasa atau
lumrah. Si penciptanya tidak merasa dirugikan apabila ciptaannya atau motif batiknya ditiru atau
dijiplak oleh orang lain, bahkan mereka (pencipta) merasa bangga karena bisa membagi rezeki
(segi ekonomi) kepada sesama pengrajin atau pencipta batik.
Keadaan semacam inilah yang perlu disadarkan dan diberi pemecahannya, karena itu
dengan diterapkannya Undang-undang Hak Cipta diupayakan dapat memberikan perlindungan
hukum terhadap karya cipta yang dihasilkan, sehingga akan menumbuhkan inovasi dan kreasi di
kalangan para pencipta khususnya para pengrajin batik. Dengan adanya perlindungan terhadap
karya ciptanya tersebut diharapkan para pencipta batik dapat memproduksi hasil dari karya
ciptanya tersebut serta dapat menikmati hasil dari karya ciptanya tersebut dari segi kebutuhan
ekonomi, jadi si pencipta tidak saja menikmati hanya untuk kepuasan batin saja tetapi juga dalam
arti ekonomi. Karena itu perlindungan Hak Milik Intelektual di Indonesia (termasuk hak cipta)
tetap harus dititik beratkan pada kepentingan Nasional.
Seperti diketahui bahwa sebagian besar pengusaha batik atau pencipta batik kebanyakan
adalah pengusaha kecil, dalam melakukan usahanya atau memproduksi batiknya masih bersifat
sederhana atau tradisional karena tidak menggunakan alat-alat modern. Mereka juga berangapan
bahwa seni batik tersebut adalah seni atau produk yang sudah ada serta bersifat turun-temurun
dari para leluhur mereka sehingga dengan demikian karya seni dalam hal ini karya cipta batik
dianggap sebagai milik masyarakat. Oleh karena itu perilaku masyarakat dalam hal ini adalah
pengusaha atau pengrajin batik yang meniru suatu corak atau motif batik yang sudah diproduksi
oleh penciptanya dan produk tersebut sangat diminati oleh masyarakat sehingga laku, diangap
sesuatu yang lumrah atau sudah biasa, bahkan para pencipta batik atau pengusaha menganggap
bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang melanggar Undang-undang Hak Cipta, bahkan ada
juga seorang pencipta batik yang merasa bangga apabila corak atau motif dari batik yang ia
ciptakan ditiru oleh sesama pengrajin batik.
Pada awalnya seni batik lebih dipandang sebagai karya seni yang dibuat untuk kebutuhan
sendiri, batik memegang peranan penting dalam hal untuk menentukan tata busana adat keraton,
dan hanya dipergunakan oleh para bangsawan.2 Pada waktu itu batik masih dianggap sebagai
barang mewah, yang hanya dipakai oeh masyarakat kelas atas sebab hanya merekalah yang dapat
membelinya.3
Namun dalam perkembangannya batik tidak diangap atau bukan merupakan barang
mewah dan seni yang merupakan suatu kebanggaan bagi penciptanya. Kemudian karya batik
tersebut diproduksi oleh penciptanya serta diperdagangkan sehingga dapat dinikmati hasilnya
1
oleh si penciptanya. Dengan diproduksinya karya seni batik tersebut berarti produk tersebut
mempunyai nilai ekonomis dan bersifat komersil serta dapat meningkatkan penghasilan dan
memberi kesejahteraan bagi pencipta. Apalagi batik Surakarta lebih berkembang dan menjadi
produk yang diunggulkan untuk menopang penghasilan daerah pada umumnya dan penghasilan
para pencipta atau pengrajin batik pada khususnya.
1
B.RUMUSAN MASALAH
2. Proses Terbentuknya Hukum Adat Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup
bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia memulai hidupnya
berkeluarga, bermasyarakat, dan kemudian bernegara. Sejak manusia itu berkeluarga mereka telah
mengatur hidupnya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka. Maka dilihat dari perkembangan
hidup manusia, terjadinya hukum itu mulai dari pribadi manusia yang terus berkembang menjadi
kebiasaan dan kebiasaan menjadi adat dari suatu masyarakat. Lambat laun masyarakat atau kelompok-
kelompok masyarakat menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota
masyarakat, sehingga menjadi “hukum adat” . Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus
dilaksanakan dalam masyarakat bersangkutan.5 Proses terbentuknya hukum adat menurut Soerjono
Soekanto dibagi menjadi dua aspek, yaitu:
a. Aspek Sosiologi Pada prinsipnya manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan manusia
lainnya karena manusia adalah makluk sosial dan memiliki naluri. Karena hidup manusia membutuhkan
manusia lainnya maka setiap manusia akan berinteraksi dengan manusia lainnya, dan dari interaksi
tersebut melahirkan pengalaman. Dari pengalaman ini akan didapatkan sistem nilai yang dapat dianggap
sebagai hal yang baik dan hal yang buruk.
b. Aspek Yuridis Aspek ini dilihat dari tingkat sanksinya, dari cara tersebut akan tercipta suatu
kebiasaan, dan sanksi atas penyimpangan agak kuat dibanding sanksi cara/usage. Kebiasaan yang
berulang-ulang dalam masyarakat akan melahirkan standar kelakuan atau mores di mana sanksi atas
penyimpangan sudah menjadi kuat. Dalam perkembangan standar kelakuan atau mores akan melahirkan
custom yang terdiri dari adat istiadat dan hukum adat, dan sanksinya pun sudah kuat sekali.6
a. Landasan Sosiologis
Hukum adat merupakan hukum asli masyarakat Indonesia, berakar pada adat istiadat atau merupakan
pancaran nilai-nilai dasar budaya masyarakat Indonesia, yang berarti pula mengikat dan menemukan
segala pikiran dan perasaan hukum orang-orang dalam masyarakat Indonesia. Pemikiran tersebut diakui
oleh Kontitusi Indonesia, UUD 1945 yang berarti pula menunjukkan adanya perumusan hukum adat
sebagai bagian dari hukum-hukum dasar negara Indonesia.
b. Landasan Filosofis
Dasar berlakunya hukum adat ditinjau dari segi filosofi dari hukum adat yang hidup, tumbuh dan
berkembang di Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman yang bersifat luwes, fleksibel sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945. UUD 1945 hanya
menciptakan pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan dari UUD RI. Pokok-pokok pikiran
tersebut menjiwai cita-cita hukum meliputi hukum negara baik yang tertulis maupun yang tidak tetrtulis.
Penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum sangat berarti bagi hukum adat karena hukum
adat berakar pada kebudayaan rakyat sehingga dapat menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup
di kalangan rakyat dan mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan demikian
hukum adat secara filosofis merupakan hukum yang berlaku sesuai Pancasila sebagai pandangan hidup
atau falsafah hidup bangsa Indonesia.7
c. Landasan Yuridis
Landasan yuridis berlakunya hukum adat adalah ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 Lampiran A
Paragraf 402, ditetapkannya hukum adat sebagai asas-asas pembinaan hukum nasional. Yang merupakan
garis-garis besar politik di bidang hukum adat sebagai berikut :
1) Asas-asas pembinaan hukum Nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan berlandaskan pada
hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
2) Di dalam usaha kearah homogenitas dalam bidang hukum supaya diperhatikan kenyataan-kenyataan
yang hidup di Indonesia
3) Dalam penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor
agama, adat dan lain-lain.8
Dan untuk saat ini belum ada satu ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai peranan dan
kedudukan hukum adat, maka aturan-aturan yang mengatur tentang hukum adat sesuai Bab IV Pasal 18 B
(2) dan penjelasan Pasal 18 (2) UUD 1945 masih bisa dipakai.
Asas yang mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri. Asas komun merupakan
segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat yang masih hidup sangat terpencil atau dalam hidupnya
sehari-hari masih sangat tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat semacam
itu selalu terdapat sifat yang lebih mementingkan keseluruhan; lebih diutamakan kepentingan umum dari
pada kepentingan individual.
Kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh.
Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia
selalu hidup bermasyarakat, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan perseorangan.9
Pembulatan atau perpaduan kata yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir
seperti prelogika, animisme, pantangan, ilmu gaib dan sebagainya.10 Tidak ada pembatasan antara dunia
lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti
kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainya. Adanya
pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah nenek moyang sebagai pelindung adat istiadat
yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat seperti, membuka lahan, membangun rumah dan
peristiwaperistiwa penting lainnya.11
Bahwa dengan suatu perbuatan nyata, suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan
hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu juga, dengan serentak bersamaan waktunya tatkala
berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat. Dengan demikian dalam hukum adat segala
sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara contan itu adalah diluar akibat-akibat
hukum dan memang tidak tersangkut patu atau tidak bersebab akibat menurut hukum.12 Pemindahan atau
peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan
penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam
pergaulan bermasyarakat.13
Perbuatan hukum yang dilakukan secara nyata, misalnya dalam perjanjian jual beli, si pembeli
menyerahkan uang muka/uang panjar. Di dalam alam berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan
diusahakan supaya hal-hal yang dimaksudkan, diinginkan, dikehendaki atau akan dikerjakan
ditransformasikan atau diberi ujud suatu benda, diberi tanda yang kelihatan, baik langsung maupun hanya
menyerupai objek yang dikehendaki (simbol, benda yang magis). Adanya tanda yang kelihatan dalam
perbuatan atau keinginan dalam setiap hubngan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan
benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan
nyata tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainya.
a. Pendekatan Pengetahuan
1) Filsafat Hukum Mempelajari hukum adat dari segi filsafat hukum, berarti bukan mempelajari untuk
menguji kebenaran ilmiah,melainkan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan tentang hukum adat
yang bersifat spekulatif-fundamental. Antara lain untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan sebagai
berikut :
e) Bagaimanakah hak-hak asasi manusia yang tekandung dalam hukum adat, dan sebagainya.
Pertanyaan pertanyaan demikian itu dapat saja menemukan jawabannya, tetapi bukan jawaban yang
bersifat ilmiah, yang sifatnya objektif, metodik dan sistematik, melainkan hanya berdasarkan anggapan,
perkiraan yang spekulatif.
2) Politik Hukum
Mempelajari dari segi politik hukum,berarti berusaha untuk melihat hukum adat itu jauh kedepan, pada
kedudukan dan peran-peranannya di masa-masa yang akan datang. bagaimana kedudukan dan peranan
hukum adat itu dalam tatahukum Indonesia di kemudian hari. Hukum adat manakah yang perlu di
tuangkan kedalam perundangan nasional, yang sesuai dengan kepribadian seluruh rakyat Indonesia dan
yang dapat menjadi landasan untuk tetap mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa.
1. Ilmu Pengetahuan Hukum Mempelajari hukum adat dari segi ilmu pengetahuan hukum dapat di
bedakan antara ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum yang positif. Dari segi ilmu hukum pada
umumnya, maka yang menjadi objek penelitian adalah misalnya, sebagai berikut:
Dari segi ilmu hukum positif, maka yang menjadi objek penelitian adalah misalnya untuk mendapatkan
jawaban terhadap pertanyaan antara lain sebagai berikut:
a) Bagaimana kedudukan hukum adat dalam tata hukum Indonesia yang berlaku ?
b) Apakah yang menjadi dasar hukum perundangan berlakunya hukum adat di Indonesia ?
c) Mengapakah hukum adat itu sebagian besar tidak berlaku secara nasional ?
2. Sosiologi Hukum
Segi sosiologi hukum yang menjadi objek permasalahan adalah tentang hukum adat sebagai gejalah
masyarakat, misalnya untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan antara lain sebagai berikut:
a) Apakah hukum adat itu sesuai dengan pandangan hidup dan kesadaran hukum masyarakat dewasa ini ?
b) Sejauh mana terjadi pergeseran hukum adat bagi masyarakat adat di perantauan?
Dengan demikian yang menjadi objek perhatian ialah berlakunya hukum adat dalam kenyataannya pada
masyarakat di masa sekarang.
3. Antropologi Hukum Antropologi hukum adalah tentang hukum adat dalam hubungannya dengan
perilaku manusia dan budaya hukumnya.
a) Bagaimana perilaku orang Batak dalam kaitannya dengan larangan perkawinan dalam satu kesatuan
marga ?
b) Sampai sejauh mana tanggung jawab “urang sumando” di Minangkabau terhadap anak kandungnya ?
Dalam hal ini yang menjadi titik perhatian adalah kenyataan manusia berperilaku dalam masyarakat,
bukan kelompok-kelompok masyarakat sebagai kesatuan, tetapi pribadi orang-orannya.
4. Sejarah Hukum Mempelajari hukum adat dengan pendekatan sejarah hukum, berarti melihat ke
belakang, berusaha mencari jawaban atas kejadian-kejadian peristiwa dan kaidah-kaidah hukum di masa
lampau.
a) Bagaimana pertumbuhan, perkembangan dan hilangnya hukum adat dari masa ke masa ?
b) Apakah pandangan hidup Pancasila memang benar berasal dari kepribadian hukum adat bangsa
Indonesia sejak dahulu kala ?
5. Perbandingan Hukum Perbandingan hukum yaitu dengan cara membandingkan antara hukum adat
yang satu dengan yang lain, untuk dapat mengetahui persamaan dan perbedaan antara keduanya.
b) Sejauh mana pengaruh hukum Islam hukum Hindu di dalam hukum adat Lampung ?
BAB III
PEMBAHASAN
A.Pengertian hukum adat
hukum adat adalah hukum tidak tertulis karena aturan ini tidak adalam dalam hukum
tercatatat.adakebiasaan sebagai penggunaan tertentu, di antaranya masyarakat beranggapan
bahwa itu haruslegal dari sudut pandang huku, yang berlangsung selama waktu tertentu. contoh
hukum adat adalah misalnya peraturan mentri ia tidak lagi memiliki kepercayaan mayoritas di
DPR harus mengundurkan diri. aturan seperti itu tidak terdapat dalam hukum mana pun tapi
sudah bisa. tidak ada kewajibabn hukum untuk mentri ini untuk menawarkan pengunduran
dirinya,tetapi tugas ini karena tidak ada berdasarkan kebiasaan dalam politik nasional.
hukum umum atau hukum adat adalah hukum berdasarkan adat. karakteristik penting dari
common law adalah bahwa ia di turunkan secara lisan dari genarasi ke generasi
hukum umum dapat mencakup berbagai bidang seperti hak kewajiban
perkawinan,warisan,suksesi, hubungan antara orang pada umumnya, kepemilikan dan
penggunaan real estat,bobot dan ukuran, hak perkawinan, hak dan hak istimewa dalam masalh
perdata dan pidana, pengangkatan dan hukum prosiding. contoh hukum adat yang di terapkan di
Negara-negara rendah adalah hak bertentangga dan devolusi
secara hukum,hukum adat (coutme atau regle coutumiere) adalah aturan yang merupakan hasil
dari praktek dan adat istiadat tradisional dari waktu ke waktu dan dengan demikian menjadi
sumber hukum. ini di akui oleh pengadilan dan dapat melengkapi atau melengkapi hukum,
asalkan tidak bertentangan dengan teks hukum lainnya.
standar khusus yang (sebagai tambahan) mengatur atau dapat mengatur hubungan hukum
timbale balik antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak. hukum umum adalah seperangkat
aturan hukum tidak tetulis.
hukum umum dapat diterapkan sebagai Negara hukum jika dua syarat terpenuhi
1. auran tersebut telah di gunakan untuk jangka waktu yang lebih lama karena kebiasaan
khusus dalam industry ( mislnya, pasar konstruksi atau industry tertentu dalam
perdagangan).
2. penggunaan jangkapanjang dari aturan (hukum) secara umum di terim. penggunaan
berlangsung atas secara umum di terima. penggunaan berulang atas aturan tersebut telah
mengangkat aturan tersebut menjadi standar hukumdan dapat di terapkan pada
penerapannya pada hubungan hukum antara para pihak. dalam kasus tersebut,standar
hukum dapat di berlakukan di pengadilan. common law pada prinsipnya adalah hukum
tidak tertulis, tetapi dengan demikian dapat memiliki efek mengikat pada kontrak.
contoh hukum umum dapat di temukan dalamseni 6:2BW, yang mengatur bahwa kreditur dan
debitur wajib bersikap terhadap satu sama lain sesui dengan persyaratan kewajaran dan
kewajaran. sebuah aturan yang berlaku di antra mereka berdasarkan (antara lain) kebiasaan tidak
berlaku sejauh ini tidak berlaku sejauh ini tidak dapat di terima dalam keaadaan tertentu dari
standar kewajaraan dan keadilan.
Apa yang dimaksud dengan adat ? Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat atau kebiasaan telah meresap
kedalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah menganal
dan menggunakan istilah tersebut. Adat atau kebiasaan dapat diartikan sebagai berikut :
“Tingkah laku seseoarang yang terus-menerus dilakukan dengan cara tertentu dan diikuti oleh
masyarakat luar dalam waktu yang lama”. Dengan demikian unsure-unsur terciptanya adat
adalah :
1. Adanya tingkah laku seseorang
2. Dilakukan terus-menerus
3. Adanya dimensi waktu.
4. Diikuti oleh orang lain/ masyarakat.
Pengertian adat-istiadat menyangkut sikap dan kelakuan seseorang yang diikuti oleh orang lain
dalam suatu proses waktu yang cukup lama, ini menunjukkan begitu luasnya pengertian adat-
iatiadat tersebut. Tiap-tiap masyarakat atau Bangsa dan Negara memiliki adat-istiadat sendiri-
sendiri, yang satu satu dengan yang lainnya pasti tidak sama.
2 Adat-istiadat dapat mencerminkan jiwa suatu masyarakat atau bangsa dan merupakan suatu
kepribadian dari suatu masyarakat atau bangsa. Tingkat peradaban, cara hidup yang modern
sesorang tidak dapat menghilangkan tingkah laku atau adat-istiadat yang hidup dan berakar
dalam masyarakat.
Adat selalu menyesuaikan diri dengan keadaan dan kemajuan zaman, sehingga adat itu tetap
kekal, karena adat selalu menyesuaikan diri dengan kemjuan masyarakat dan kehendak zaman.
Adat-istiadat yang hidup didalam masyarakat erat sekali kaitannya dengan tradisi-tradisi rakyat
dan ini merupakan sumber pokok dari pada hukum adat. Menurut Prof. Kusumadi Pudjosewojo,
mengatakan bahwa adat adalah tingkah laku yang oleh masyarakat diadatkan. Adat ini ada yang
tebal dan ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan-aturan tingkah laku
didalam masyarakat ini adalah aturan adat dan bukan merupakan aturan hukum.
2. Istilah Hukum Adat
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck Hurgronye
dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti oleh
Prof.Mr.Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat Recht van
Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir
tahun 1929 meulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundangundangan Belanda. 3
Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat hanya
mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum Adat
dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan. Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum
kebiasaan sebagai terjemahan dari adat recht untuk menggantikan hukum adata dengan alasan : “
Tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum
adat, karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang
timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah laku
menurut suatu cara tertentu sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga
diinginkan oleh masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana
peraturan itu berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan
masyarakat tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. Hukum adat pada
dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep yang
luas. Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus dibedakan antara adat-istiadat
(non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena
keduanya erat sekali kaitannya.
3. Pengertian Hukum Adat
Apa hukum adat itu ? Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat,
maka perlu kita telaah beberapa pendapat sebagai berikut : 4
1. Prof. Mr. B. Terhaar Bzn
Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari
kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teori
“Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan
hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar
peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar
maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
2. Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven
Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai
sanksi dan belum dikodifikasikan.
3. Dr. Sukanto, S.H.
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak
dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum.
4. Mr. J.H.P. Bellefroit
Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan oleh
penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-
peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.
5. Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.
5 Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturanperaturan.
6. Prof. Dr. Hazairin
Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidahkaidah kesusialaan yang
kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.
7. Soeroyo Wignyodipuro, S.H. Hukum adat adalah suatu ompleks norma-norma yang
bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi
peraturanperaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat,
sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat karena mempunyai
akibat hukum ( sanksi ).
8. Prof. Dr. Soepomo, S.H. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam peraturan tidak
tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib
tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-
peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat unsure-unsur dari pada hukum
adat sebagai berikut :
1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh masyaraka.
2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sacral 6
4. Adanya keputusan kepala adat
5. Adanya sanksi/ akibat hukum
6. Tidak tertulis
7. Ditaati dalam masyarakat
4. Teori Reception In Complexu
Teori ini dikemukakan oleh Mr. LCW Van Der Berg. Menurut teori Reception in Coplexu :
Kalau suatu masyarakat itu memeluk adama tertentu maka hukum adat masyarakat yang
bersangkutan adlah hukum agama yang dipeluknya. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari
pada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian.
Terhadap teori ini hampir semua sarjana memberikan tanggapan dan kritikan
antara lain :
Snouck Hurrunye :
Ia menentang dengan keras terhadap teori ini, dengan mengatakan bahwa tidak semua Hukum
Agama diterima dalam hukum adat. Hukum agama hanya memberikan pengaruh pada kehidupan
manusia yang sifatnya sangat pribadi yang erat kaitannya dengan kepercayaan dan hidup batin,
bagian-bagian itu adalah hukum keluarga, hukum perkawinana, dan hukum waris.
Terhaar berpendapat :
Membantah pendapat Snouck Hurgrunye, menurut Terhaar hukum waris bukan berasal dari
hukum agama, tapi merupakan hukum adat yang asli tidak 7 dipengaruhi oleh hukum Islam,
sedangkan hukum waris disesuaikan dengan struktur dan susunan masyarakat. Teori Reception
in Comlexu ini sebenarnya bertentangan dengan kenyataan dalam masyarakat, karena hukum
adat terdiri atas hukum asli (Melayu Polenesia) dengan ditambah dari ketentuan-ketentuan dari
hukum Agama demikian dikatakan oleh Van Vollen Hoven. Memang diakui sulit
mengdiskripsikan bidang-bidang hukum adat yang dipengaruhi oleh hukum agama hal ini
disebabkan :
1. Bidang-bidang yang dipengaruhi oleh hukum agama sangat bervariasi dan tidak sama
terhadap suatu masyarakat.
2. Tebal dan tipisnya bidang yang dipengaruhi hukum agama juga bervariasi.
3. Hukum adat ini bersifat lokal.
4. Dalam suatu masyarakat terdiri atas warga-warga masyarakat yang agamanya berlainan.
5. Perbandingan Antara Adat Dengan Hukum Adat
Perbedaan antara adat dengan hukum adat yaitu :
1. Dari Terhaar ;
Suatu adat akan menjadi hukum adat, apabila ada keputusan dari kepala adat dan apabila tidak
ada keputusan maka itu tetap merupakan tingkah laku/ adat.
2. Van Vollen Hoven :
Suatu kebiasaan/ adat akan menjadi hukum adat, apabila kebiasaan itu diberi sanksi. 8
3. Van Dijk :
Perbedaan antara hukum adat dengan adat terletak pada sumber dan bentuknya. Hukum Adat
bersumber dari alat-alat perlengkapan masyarakat dan tidak tertulis dan ada juga yang tertulis,
sedangkan adat bersumber dari masyarakat sendiri dan tidak tertulis.
2
4. Pendapat L. Pospisil :
Untuk membedakan antara adat dengan hukm adat maka harus dilihat dari atribut-atribut
hukumnya yaitu :
a. Atribut authority, yaitu adanya keputusan dari penguasa masyarakat dan mereka yang
berpengaruh dalam masyarakat
b. . b. Intention of Universal Application : Bahwa putusan-putusan kepala adat mempunyai
jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga dikemudian hari terhadap suatu
peristiwa yang sama.
c. c. Obligation (rumusan hak dan kewajiban) : Yaitu dan rumusan hak-hak dan kewajiban dari
kedua belah pihak yang masih hidup. Dan apabila salah satu pihak sudah meninggal dunia
missal nenek moyangnya, maka hanyalah putusan yang merumuskan mengeani kewajiban
saja yang bersifat keagamaan.
d. d. Adanya sanksi/ imbalan : 9 Putusan dari pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan
sanksi/ imbalan yang berupa sanksi jasmani maupun sanksi rohani berupa rasa takut, rasa
malu, rasa benci dn sebagainya.
2
5. Adat/ kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum adat hanyalah sebagian
kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum adat.
6. Hukum adat mempunyai nilai-nilai yang dianggap sakral/suci sedangkann adat tidak
mempunyai nilai/ biasa.
B. Sejarah penemuan hukum adat
Hukum adat tidak ditemukan oleh orang Indonesia sendiri, ibarat seorang yang hilang, tidak
mungkin menemukan dirinya sendiri, atau orang baru tentu saja tidak menemukan dirinya
sendiri. Ia memperkenalkan dirinya sendiri bukan menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu,
hukum adat tentu ditemukan oleh orang asing, sebab sebagaimana dikatakan oleh Von Savigny
hukum itu ‘ist und mit dem volke’ yang disebut ‘volkgeeist’ (jiwa bangsa/masyarakat).
1. Sejarah hukum adat sejak sebelum dikenal oleh orang asing hingga dikenal oleh orang
asing khususnya bangsa Eropa.
Sejak tahun 1595 Belanda masuk ke Indonesia melalui sebuah organisasi dagang yang disebut
VOC, orang-orang asing itu belum pernah tertarik untuk menulis tentang hukum adat
masyarakat-masyarakat yang ada di Indonesia. Padahal di Indonesia kaya dengan hukum
adatnya. Misalnya pada tahun 1000 ses. M, masa pemerintahan raja dharmawangsa di Jawa
Timur telah disusun kitab hukum yang merupakan kitab hukum tertua. Pada pemerintahan
Hayam Wuruk (1331-1364) Patihnya Gajahmada membuat kitab hukum Gajahmada, Kanaka
(1413-1430) membuat kitab hukum Adigama. Di Bali juga ditemukan kitab hukum
Kutaramanawa.
Dengan melihat kitab-kitab hukum diatas, sebenarnya jauh sebelum kedatangan bangsa barat
mereka telah mengenal aturan-aturan sebagai pedoman berpeilaku yang kita sebut hukum. Jadi,
di negeri ini bukannya negeri yang tanpa hukum. Pada komunitas-komunitas local, seperti di
Flores, Sumba, Bali, dan Nusa Tenggara Juga telah mengenal aturan hidup yang kita sebut
hukum.
Disamping itu ada beberapa kitab kuno pada beberapa masyarakat hukum adat, a.l:
Sebelum tahun 1602 tidak ditemukan banyak catatan tentang Hukum Adat dari kalangan orrang
Asing. Memang ada sedikit orang seperti Aernoudt Litgensz (tahun 1597) yang menulis tentang
Bali, (tahun 1546-1605) menulis tentang Ambon (Ambonmissie).
d. John Crawfurd
Tahun 1820 menerbitkan buku berjudul “History of the East Indian Archipelago” di
Edinburg;
Pandangan Crawfurd bahwa Hukum Adat itu adalah campuran dari Adat Istiadat pribumi dan
ilmu hukum Hindu dan Islam, campuran undang-undang pribumi Hindu dan Arab,
sedangkan pengaruh Hindu dan Arab terhadap adat Pribumi sedikit sekali. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa “adakah kemungkinan bahwa hukum suatu bangsa dengan bermacam-
macam kasta seperti Hindu Muka (Hindu Awal/Asli ) atau Hukum sesuatu tanah
penggembala yang tandus seperti Negeri Arab dapat berlaku sebagai Hukum Yang Hidup Di
Indonesia?”;
Crawfurd juga menulis tentang hukum tanah, desa, dan hukum waris.
Pandangannya tentang hukum tertulis dan hukum adat yang hidup dalam masyarakat
bahwa’mengenai hubungan antara hukum rakyat yang tertulis dan yang tidak tertulis.
e. Dirk van Hegendorp
Pandangannya yang penting adalah bahwa’orang Jawa (khususnya masyarakat Jawa Tengah)
hidup dengan peraturan pinjam tanah, artinya Raja/Sultan meminjamkan tanah kepada
pemegang apanage dan pemegang apanage meminjamkannya lagi dengan tanggungan
memberi sebagian dari hasil tanah itu kepada penduduk desa.
f. Jean chretien Baud
3Membentuk “Koninklijke Instituut” (Institut Ilmu Pengetahuan) pada tahun 1851;
Menulis tentang hak otonomi mandiri desa (1840).
3
C. cirri-ciri hukum adat
Timbal balik antara kelompok-kelompok, mengakui tingginya biaya penolakan untuk
menerima penilaian yang baik, mengambil orang-orang yang menolak penilaian seperti itu di
luar kelompok pendukung mereka dan mereka menjadi orang buangan atau “penjahat.”
Solusi yang diputuskan cenderung diterima karena takut akan sanksi boikot yang berat
ini. Asal, pembentukan, dan proses akhir semua lembaga sosial (termasuk hukum) pada
dasarnya sama dengan pesanan spontan yang dijelaskan Adam Smith untuk pasar. Pasar
mengkoordinasikan interaksi, seperti halnya hukum adat. Keduanya berkembang seperti yang
mereka lakukan karena tindakan yang dimaksudkan untuk dikoordinasikan dilakukan lebih
efektif di bawah satu sistem atau proses daripada yang lain. Pengaturan kelembagaan yang
lebih efektif menggantikan yang kurang efektif.
4. Penghormatan Spesifik
Bagaimana hak-hak muncul kembali dan mulai dihormati? Bagaimana ‘hukum’ muncul yang
membawa penghormatan umum bagi ‘legitimasi’ mereka? ”Dia berpendapat bahwa tindakan
kolektif akan diperlukan untuk merancang“ kontrak sosial ”atau“ konstitusi ”
4
D.Sumber-sumber hukum adat
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum (pasal 1 ayat 3 UUD 1945), oleh
karena itu segala aktifitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara wajib diatur
dengan hukum. Dalam ranah pidana sering dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) kemudian dalam perkembangan kehidupan masyarakat muncul tindak pidana yang tidak
lagi sesuai dengan ketentuan dalam KUHP sehingga dibuatlah Undang-Undang tentang tindak
pidana yang berlaku khusus mengatur tentang tindak pidana tertentu, dimana dibuat dalam
bentuk tertulis, diundangkan dalam lembaran negara dan berlaku secara nasional.
Sedangkan hukum adat yang bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang
tumbuh, mengatur dan tetap dipertahankan dalam kehidupan bermasyarakat secara turun
temurun, tidak diundangkan dalam lembaran negara dan berlaku hanya dalam kelompok
masyarakat tertentu, oleh karena itu pada umumnya terdapat pendapat bahwa hukum adat
keberlakuannya tidak mengikat dalam proses peradilan perkara pidana, hal tersebut menurut
penulis kurang tepat, berikut Sumber-Sumber hukum keberlakuan hukum adat di Indonesia
(terkhusus hukum adat tolaki):
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang darurat Republik Indonesia
nomor 1 tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan
susunan kekuasaan dan acara Pengadilan-Pengadilan sipil :
“Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil pidana sipil yang sampai
kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh
Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian : bahwa
suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi
tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman
yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman
pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan
penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang
terhukum.
Bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya
dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa
dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa
hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti
diganti seperti tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup
harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling
mirip kepada perbuatan pidana itu”.
Bahwa keberlakuan hukum adat dalam perkara pidana, selain disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3)
huruf b UU darurat RI No. 1 tahun 1951, juga disebutkan dalam konstitusi sebagaimana Pasal 18
B ayat (2), Pasal 28 I ayat (3) dan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
Bahwa dalam kehidupan masyarakat suku tolaki, dalam penyelesaian masalah pidana sering
didengar hal yang disebut peohala yaitu penghukuman kepada pihak yang dinyatakan bersalah
oleh kepala adat dengan sanksi diantaranya berupa denda. Berkait hal tersebut jika kemudian
dihubungkan dengan praktek peradilan dalam perkara pidana, salah satu contoh yang dapat
dijadikan rujukan yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 1644 K/Pid/1988, putusan tersebut
kemudian menjadi Yurisprudensi dan telah menjadi acuan dalam beberapa diskusi mengenai
eksistensi hukum adat.
Sekilas tentang putusan Mahkamah Agung No. 1644 K/Pid/1988, yaitu : bermula dari sebuah
kasus pidana di Kecamatan Unaaha Kodya Kendari (saat ini Kabupaten Konawe) Provinsi
Sulawesi Tenggara yang ditangani oleh Kepala Adat Tolaki dan dijatuhkan hukuman kepada
pelaku berupa sanksi adat “peohala”, pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain
kaci lalu pelaku mematuhi sanksi itu.
Walaupun secara adat telah selesai, kasus tersebut tetap ditangani oleh kepolisian dan berujung
ke Pengadilan Negeri. Di Pengadilan Negeri Kendari Majelis Hakim menegaskan Terdakwa
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana adat dan Majelis Hakim menolak
pembelaan Terdakwa bahwa Pengadilan Negeri seharusnya tak mengadili kasus tersebut karena
sudah selesai di Lembaga Adat, argument nebis in idem juga ditolak oleh Pengadilan Negeri.
Di Pengadilan Tinggi, majelis hakim menguatkan putusan Pengadilan Negeri, namun ditingkat
kasasi, Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan putusan
Pengadilan Tinggi tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdakwa telah menjalani
sanksi adat berupa membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci, karenanya Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi seharusnya tak berwenang lagi menjatuhi hukuman kepada
terdakwa.
Bahwa dalam putusan MA juga menyatakan hukuman adat tersebut adalah sepadan dengan
kesalahan terdakwa sehingga menurut ketentuan pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang
Darurat No. 1 tahun 1951, Terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana lagi oleh Pengadilan.
Sumber hukum lainnya yaitu : Pasal 5 ayat (1) dan 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman juga menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan selain
harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili,
sejalan dengan hal tersebut apabila memedomani asas restorative justice sebagaimana pokok
pertimbangan Putusan Mahkamah Agung No. 1600 K/Pid/2009.
Dalam putusan Mahkamah Agung menimbang salah satu tujuan hukum pidana adalah
memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana, walaupun pencabutan
telah lewat waktu tiga bulan sesuai syarat Pasal 75 KUHP, Mahkamah Agung menilai
pencabutan perkara bisa memulihkan ketidakseimbangan yang terganggu. Mahkamah Agung
mengatakan perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang
tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada
dilanjutkan.
Sumber hukum lainnya yaitu : dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 07 tahun
2012, tanggal 12 September 2012, tentang rumusan hukum hasil rapat pleno kamar Mahkamah
Agung sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi Pengadilan, huruf B. Tindak Pidana Umum,
angka 4 halaman 9 sampai halaman 10, pada pokoknya menerangkan bahwa dalam praktek
terdapat beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung yang telah menggunakan alasan pembenar
dan alasan pemaaf diluar KUHP, seperti misalnya berlakunya hukum adat setempat.
Oleh karena berdasarkan pada Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28 I ayat (3) dan Pasal 24 ayat (3) UUD
1945, Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang Darurat Republik Indonesia nomor 1 tahun 1951,
Yurisprudensi Mahkamah Agung, SEMA No. 07 tahun 2012 dan pasal 5 ayat (1) UU No. 48
tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, maka menurut penulis kurang tepat apabila ada
pendapat tentang keberlakuan hukum adat tidak mengikat dalam proses peradilan perkara pidana,
karena sekalipun hukum adat tidak tertulis, tidak diundangkan dalam lembaran negara dan tidak
berlaku secara nasional, akan tetapi hukum adat diakui eksistensinya dalam konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan sumber-sumber hukum lainnya serta telah pula beberapa kali
diterapkan dan dijadikan rujukan hakim dalam proses peradilan di indonesia.
Demikian tulisan ini saya buat berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan sumber yang saya
miliki, semoga dapat memberi manfaat dan masukan dalam bidang hukum, tak lupa pula saya
persilahkan apabila ada masukan atau koreksi terkait tulisan ini, karena sesungguhnya
kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Melihat dalam perspektif keberadaan kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya
merupakan bentuk keaslian dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong royong
(partisipasi) karena didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai gotong royong dan semangat
kebersamaan ini sesungguhnya merupakan padanan dari cita-cita masyarakat desa yaitu
demokrasi, partisipasi, transparansi, beradat dan saling menghormati perbedaan (keberagaman).
Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma,
hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki
sanksi riil yang sangat kuat.
5. Pepatah adat
6. Yurisprudensi adat
7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuanketentuan hukum
yang hidup.
10. Hasil-hasil penelitian tentang hukum adatNilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam
masyarakat
5
E.Asas-asas hukum adat
asas-asas hukum adat yang di gunakan dalam hukum tanah nasional anatara lain adalah asas
religiusitas ( pasal 1 UUPA ), asas kebangsaan (pasal 1,2, dan 9 UUPA), asas semokrasi (pasal 9
UUPA) asas kemasyarakatan, pemeratan dan keadilan sosial ( pasal 6,7, 10, 11 dan 13 UUPA)
asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (pasal 14 dan 15 UUPA), serta asas
pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada di atasnya.
1. Tidak membedakan Hukum Publik dan Hukum Privat Berbeda dengan Hukum Eropa yang
membedakan antara hukum yang bersifat Publik dan hukum yang bersifat Privat. Di mana
Hukum Publik yang menyangkut kepentingan umum dan Hukum Privat yang mengatur
kepentingan perorangan atau mengatur hubungan antara masyarakat satu dengan yang lainnya.
Di dalam Hukum Adat tidak mengenal pembedaan seperti itu.
2. Tidak membedakan hak kebendaan (zakelijke rechten) dan hak perseorangan (personlijke
rechten) menurut Hukum Barat (Eropa) setiap orang yang mempunyai hak atas suatu benda ia
berkuasa atau bebas untuk berbuat terhadap benda miliknya itu karena mempunyai hak
perseorangan atas hak miliknya tersebut, tetapi menurut Hukum Adat, hak kebendaan dan hak
perseorangan itu tidak bersifat mutlak sebagai hak pribadi oleh karena berkaitan dengan
hubungan kekeluargaan dan kekerabatannya.
3. Tidak membedakan pelanggaran perdata dan pidana. Di dalam Hukum Adat apabila terjadi
pelanggaran hukum perdata dan pelanggaran hukum pidana diputuskan sekaligus oleh
fungsionaris hukum (ketua adat atau kepala desa). Hal ini berbeda dengan hukum barat di mana
pelanggaran perdata diperiksa dan diputuskan oleh hakim perdata sementara pelanggaran yang
bersifat pidana diperiksa dan diputuskan oleh hakim pidana.
Perbedaan kedua sistem hukum tersebut disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:
1. Corak serta sifat yang berlainan antara Hukum Adat dengan Hukum Barat (Eropa);
2. Pandangan hidup yang mendukung kedua macam hukum itu pun berbeda (Tolib Setiady,
Intisari Hukum Adat Indonesia, 2008: 42-44).
Djojodinegoro (dalam Soerjono Soekanto, 2012: 127-128) menulis bahwa Hukum Adat
memandang masyarakat sebagai paguyuban, artinya sebagai satu kesatuan hidup bersama, di
mana manusia memandang sesamanya sebagai tujuan, interaksi manusia dengan sesamanya
dengan segala perasaannya, sebagai cinta, benci, simpati, antipati, dan sebagainya yang baik dan
yang kurang baik. Sebagai manusia yang sangat menghargai hubungan damai dengan sesama
manusia, oleh karenanya berusaha menyelesaikan secara damai setiap perbedaan pendapat yang
terjadi, secara kompromi, tidak hanya melihat benar salah, tetapi lebih pada keberlanjutan
hubungan baik di masa datang.
Pada dasarnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menginginkan hidup yang
damai/tenang dengan susunan yang harmonis, sebagaimana yang ada dalam alam pikiran
tradisional yang bersifat kosmis, yang beranggapan bahwa manusia merupakan bagian dari alam,
yang dalam kehidupannya tidak mengalami proses pemisahan antara berbagai bidang kehidupan
(politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya). Alam pikiran tersebut tergambar dalam hukum
adat, sehingga unsur-unsur pokok alam pikiran tradisional tersebut menjadi bagian dalam sistem
hukum adat.
1. kepercayaan,
2. perasaan,
3. tujuan,
4. kaidah,
7. sanksi,
8. kekuasaan, dan
Sistem Hukum suatu negara merupakan cerminan dari kebudayaan suatu bangsa, budaya
yang berbeda, sistem hukum yang berlaku berbeda pula. Menurut Sunaryati Hartono (Dari
Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar Adat, 1991:15) bahwa pendekatan dalam sistem
hukum Inggris yang bersifat konkrit, empiris pragmatis, dan tidak membeda-bedakan secara
tajam antara lapangan hukum perdata dan lapangan hukum publik, seperti pendekatan yang
terdapat dalam hukum adat. Sistem common law tak lain dari sistem hukum adat, hanya berbeda
sumbernya. Sistem hukum adat bahan atau sumbernya berasal dari hukum Indonesia asli, sistem
common law sumbernya banyak unsur-unsur hukum Romawi kuno, yang telah mengalami
reception in complexu. Common law di Inggris berkembang sejak permulaan Abad ke XI, di
mana Raja (William The Qonqueror) memberlakukan peradilan yang menyelesaikan kasus-kasus
perselisihan dengan cara damai, menggunakan Justice of the peace (juru damai). Jika
dibandingkan dengan kondisi di Indonesia, hampir sama dengan yang dilakukan oleh sistem
hukum adat, di mana penyelesaian persoalan dilakukan oleh „peradilan adat‟ atau peradilan
desa‟ yang dipimpin oleh ketua adat atau kepala desa. Jika di bandingkan dengan Civil law di
Eropa Barat dan wilayah-wilayah yang pernah dikuasai bangsa Eropa, sistem hukum pada
dasarnya berinduk pada Hukum Romawi. Sementara sistem Common Law(Anglo Saxon) dan
wilayah yang pernah menjadi jajahan Inggris, bersumber dari peradilan yang pada umumnya
berasal dari keputusan-keputusan hakim. Istilah Common Law merupakan hukum yang disebut
sebagai Judge Made law, yang berbeda dengan Civil law yang merupakan statury law.
Indonesia adalah pewaris hukum yang berasal dari Belanda yang menganut sistem Eropa
Kontinental. Karena itu di Indonesia perundangundangan menjadi sendi utama dalam
pembentukan hukum (merupakan hasil rumusan dalam Pembinaan Hukum Nasional).
Pada umumnya negara-negara sedang berkembang, sistem hukum yang berlaku adalah
hukum tradisional dan hukum modern. Negara berkembang pada umumnya sistem hukum yang
berlaku bersifat pluralistis, di mana sistem hukum tradisional modern berjalan berdampingan
7
dengan sistem hukum modern. Para pakar mengartikan pluralistis adalah paham yang
menegaskan bahwa hanya ada satu fakta kemanusiaan, yaitu keragaman, heterogenitas, dan
kemajemukan. Jika dibandingkan dengan Sistem Hukum Adat, sifat-sifat umum Hukum Modern
adalah, sebagai berikut:
1. Hukum modern terdiri dari peraturan-peraturan yang penerapannya berlaku umum terhadap
siapa saja, tidak membedakan agama, suku bangsa, kasta dan jenis kelamin;
2. Bersifat transaksional;
3. Bersifat universalitas;
4. Bersifat hierarkis;
6. Bersifat rasional, bahwa hukum dinilai dari kualitas fungsionalnya bukan dari segi formalnya;
7. Bersifat profesional, artinya dijalankan oleh individu yang memiliki keahlian dan kompetensi
di bidangnya;
8. Fleksibel, memuat tata cara untuk melakukan peninjauan sesuai kebutuhan masyarakat;
9. Tugas menemukan hukum dan menerapkan hukum dipisahkan antara tugas eksekutif,
legislatif dan yudikatif.
7
G. Corak dan sifat hukum adat
Hukum Adat di Indonesia memiliki ciri-ciri khas yang berbeda dari hukum lainnya. F.D.
Hollemann dalam pidato inaugurasinya De Commune Trek in het Indonesische Rechtsleven,
mengemukakan ada empat corak atau sifat umum Hukum Adat yang merupakan satu kesatuan,
sebagai berikut:
Sifat ini diartikan sebagai pola pikir yang didasarkan pada religiusitas, yakni keyakinan
masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat adat mengenal
agama, sifat religius ini diwujudkan dalam cara berpikir yang tidak logis, animisme dan
kepercayaan pada hal-hal yang bersifat gaib. Menurut kepercayaan masyarakat pada masa itu
bahwa di alam semesta ini benda-benda itu serba berjiwa (animisme), benda-benda itu punya
daya gerak (dinamisme), di sekitar kehidupan manusia ada roh-roh halus yang mengawasi
kehidupan manusia, dan alam itu ada karena ada yang menciptakan, yaitu Yang Maha Pencipta.
Oleh karenanya, setiap manusia akan memutuskan, mengatur, menyelesaikan suatu karya
memohon restu Yang Maha Pencipta dengan harapan bahwa karya tersebut berjalan sesuai
dengan yang dikehendaki, dan apabila melanggar pantangan dapat mengakibatkan hukuman
(kutukan dari Tuhan Yang Maha Esa). Sifat Magis religius ini merupakan kepercayaan
masyarakat yang tidak mengenal pemisahan dunia lahir (fakta) dengan dunia gaib. Sifat ini
mengharuskan masyarakat untuk selalu menjaga keseimbangan antara dunia lahir (dunia nyata)
dengan dunia batin (dunia gaib). Setelah masyarakat adat mengenal agama, maka sifat religius
tersebut diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Masyarakat
mulai mempercayai bahwa setiap perilaku akan ada imbalan dan hukuman dari Tuhan.
Kepercayaan itu terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat modern. Sebagai gambaran
dapat dilihat pada setiap keputusan badan peradilan yang selalu mencantumkan klausul “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Walaupun klausul tersebut karena peraturan
mengharuskannya.
2. Komunal (Kebersamaan)
Menurut pandangan Hukum Adat setiap individu, anggota masyarakat merupakan bagian
integral dari masyarakat secara keseluruhan. Hubungan antara anggota masyarakat yang satu dan
yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong, dan gotong
royong. Masyarakat Hukum Adat meyakini bahwa setiap kepentingan individu sewajarnya
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat karena tidak ada individu yang terlepas dari
masyarakatnya.
3. Konkret (Visual) Sifat yang Konkret artinya jelas, nyata, berwujud, dan visual, artinya dapat
terlihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Hal ini mengartikan bahwa setiap hubungan hukum
yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam. Contoh jual beli, selalu
memperlihatkan adanya perbuatan nyata yakni dengan pemindahan benda objek perjanjian.
Berbeda dengan halnya Hukum Barat yang mengenal perbedaan antara benda bergerak dengan
benda tidak bergerak, di mana di dalam perjanjian jual beli, tanggung jawab atas suatu barang
telah beralih kepada pembeli, walaupun barang tersebut masih ada di tangan penjual.
4. Kontan (Tunai) Sifat ini mempunyai makna bahwa suatu perbuatan selalu diliputi oleh suasana
yang serba konkret, terutama dalam hal pemenuhan prestasi. Bahwa setiap pemenuhan prestasi
selalu diiringi dengan kontra prestasi yang diberikan secara serta merta. Prestasi dan kontra
prestasi dilakukan secara bersama-sama pada waktu itu juga. Dalam Hukum Adat segala sesuatu
yang terjadi sebelum dan sesudah timbang terima secara kontan adalah di luar akibat hukum,
perbuatan hukum telah selesai seketika itu juga.
Di samping 4 (empat) corak hukum Adat yang dikemukakan Holleman di atas, ada sifat
khas lainnya dari hukum adat, sebagai berikut:
a. Tradisional Sifat ini menunjukkan bahwa masyarakat adat bersifat turun temurun, dari zaman
nenek moyang sampai ke anak cucu sekarang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan
oleh masyarakat yang bersangkutan. Peraturan yang turun temurun ini mempunyai keistimewaan
yang luhur sebagai pusaka yang dihormati, karena itu harus dijaga terus-menerus.Pelanggaran
terhadap sesuatu yang diterima dari nenek moyang diyakini dapat mendatangkan malapetaka
terhadap masyarakat. Corak tradisional yang sampai sekarang masih dipertahankan dapat dilihat
pada masyarakat Batak di mana tidak diperkenankan kawin dalam satu marga.
b. Dinamis Hukum Adat dapat berubah menurut keadaan waktu dan tempat. Setiap
perkembangan masyarakat hukum akan selalu menyesuaikan diri sesuai dengan perkembangan
yang terjadi.
c. Terbuka Hukum Adat memiliki sifat terbuka. Artinya, Hukum Adat dapat menerima sistem
hukum lain sepanjang masyarakat yang bersangkutan menganggap bahwa sistem hukum lain
tersebut patut atau berkesesuaian.
d. Sederhana Artinya, bahwa masyarakat hukum adat itu bersahaja, tidak rumit, tidak
8
beradministrasi, tidak tertulis, mudah dimengerti, dan dilaksanakan berdasar saling percaya
mempercayai. Hal ini dapat dilihat pada transaksi yang dilakukan secara lisan saja, termasuk
dalam hal pembagian warisan, jarang dilakukan secara tertulis.
e. Musyawarah dan Mufakat Artinya, masyarakat hukum adat mengutamakan musyawarah dan
mufakat. Dalam menyelesaikan perselisihan selalu diutamakan penyelesaian secara rukun dan
damai dengan musyawarah dan mufakat.
8
H. Lingkungan dan masyarakat dalam hukum adat
C. Van Vollehhoven mengadakan analisa terhadap cirri-ciri khusus yang berlaku di setiap
lingkungan hukum adat. Ciri-ciri tersebut kemudian diujikan terhadap sistem-sistem hukum adat
yang terdapat pada masyarakat-masyarakat di daerah-daerah yang semula diidentifikasikan
sebagi tempat-tempat yang secara hipotesis diberi nama lingkungan hukum adat, sehingga
menhasilkan lingkungan-lingkungan sebagai berikut :
b. Tanah Als
1. Tapanuli Utara
b. Karo-Batak
c. Simelungun-Batak
2. Tapanuli Selatan
b. Angkola
c. Mandaiiling (Sayurmatinggi)
3. Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Daerah Kampar,
Kerinci)
4. Sumatera Selatan
a. Bengkulu (Rejang)
4a. Enggano
5. Daerah Melayu (Lingga Riau, Indragiri, Pantai Timur Sumatera, orangorang Banjar)
7. Kalimantan (Daya, Bagian Barat Kalimantan, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam
Hulu, Pasir, Daya Kenya, Daya Klematan, Daya Landan dan Tayan, Daya-Lawangan, Lepo-
Alim, Lepo-Timei, Long glatt, Daya-maanyan-Patai, Daya Maanyan- Siung, Daya-Ngaju, Daya-
Ot0- Danum, Daya-Penyabung Punan).
8. Minahasa (Menado)
10. Daerah/Tanah Toraja (Sulawesi bagian tengah, Toraja, orang Toraja berbahasa Baree, Toraja
Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai).
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar,
Selayar,Muna).
13. Maluku-ambon (Ambon, Banda, orang Uliaser,Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Kei,
Kepulauan Aru, Kisar)
14. Irian
15. Kepulauan Timor (Kelompok Timor-Timur, bagian tengah Timor, Mollo, Sumba, bagian
tengah Sumba, Sumba Timur, Kodi Flores, Ngada, Roti. Savu Bima)
17. Bagian Tengah Jawa dan Jawa Timur termasuk Madura ( Jawa bagian tengah, Kedu,
Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
19. Jawa Barat (Parahianagan, Tanah Sunda, Jakarta, Banten. Terhadap masing-masing
lingkungan hukum adat tersebut C. Van Vollenhoven melakukan analisa deskriptif, dengan
sistematika yng etrsusun, sebagai berikut :
4. Tentang pribadi
g. Sistem sanksi
Ciri-ciri khas dari masing-masing lingkungan hukum adat tampak dari penjelasan secara analistis
terhadap bidang-bidang tersebut di atas. Didalam tulisan yang berjudul “Daftar Sementara Suku
Bangsa di Indonesia berdasarkan Klasifikasi letak pulau atau Kepulauan” yang diterbitkan dalam
majalah Sodiografi Indonesia nomor 1 tahun 1959, M.A. Jaspan mencoba untuk mengadakan
klasifikasi suku bangsa di Indonesia. Jaspan telah mengumpulkan data tersebut semenjak tahun
1959, dengan mengambil patokan criteria bahasa, daerah kebudayaan serta susunan masyarakat.
Jumlah suku bangsa yang ada terinci, sebgai berikut :
1. Sumatera = 49
2. Jawa = 7
3. Kalimantan = 73
4. Sulawesi = 117 9
5. Nusa Tenggara = 30
6. Maluku-Ambon = 41
7. Irian Jaya = 49
Hukum adat tersebut berkembang mengikuti perkembangan masyarakat dan tradisi rakyat yang
ada. Hukum adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya
mendapatkan pengakuan dalam masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya, praktek yang
terjadi dalam masyarakat hukum adat keberadaan hukum adat sering menimbulkan pertanyaan-
pertanyaan apakah aturan hukum adat ini tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari-
hari masyarakat dan menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan yang timbul di
masyarakat hukum adat. Sementara itu negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat
oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Antara hukum adat dengan hukum negara mempunyai daya pengikat yang berbeda secara
konstitusional bersifat sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.
Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang
berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan. Menurut Terhaar, hukum adat adalah
keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan adat dan berlaku secara
spontan. Dapat disimpulkan hukum adat adalah suatu norma atau peraturan tidak tertulis yang
dibuat untuk mengatur tingkah laku masyarakat dan memiliki sanksi.
Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi
penggunaannyapun terbatas. Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana
menyebutkan”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang” yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional
haknya dalam system hukum Indonesia. Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA
“Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Polemik yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat atau kepemilikan hak atas
tanah. Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan diakui oleh negara dimana dalam teorinya hak ulayat dapat
mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama juga halnya dengan hak-hak
perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada
hukum adat, “semakin kuat kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin
mengempis tetapi apabila semakin kuat hak milik itu maka keberadaan hak ulayat itu akan
berakhir”. Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat tetapi mengapa
masih banyak permasalahan itu terjadi di daerah-daerah Indonesia. Banyak penggunaan tanah
ulayat yang berakhir sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya. Hal itu timbul karena para
investor seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat
untuk melaksanakan suatu perjanjian. Tetapi kenyataannya malah investor tersebut mendapatkan
tanahnya melalui pemerintah yang mengakibatkan masyarakat adat selaku pemilik protes karena
mengapa melakukan kegiatan investor ditanah mereka. Timbul juga sebuah kerugian sebagai
efek samping dari terjadinya sengketa karena tanah tersebut dalam status quo sehingga tidak
dapat digunakan secara optimal dan terjadilah penurunan kualitas sda yang bisa merugikan
banyak pihak.
Negara dimana sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum adat terhadap masyarakat
hukum adat dengan di berlakukannya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria (UUPA) diharapkan dapat mengurangi terjadinya sengketa dan memberikan keadilan
untuk masyarakat adat. Karena dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hukum tanah nasional
bersumber pada hukum adat seharusnya secara otomatis hak-hak ulayat tersebut diakui tetapi
dalam prakteknya tidak. Jangan sampai terjadinya tumpang tindih aturan yang berakibat
kaburnya kepemilikan serta penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam tatanan
hukum Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan tersebut.
Untuk konsep kedepannya diharapkan untuk adanya jaminan kepastian hukum tentang
pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Dimana haruslah dibuat secara lebih mendalam
atau rinci peraturan perundang-undangannya baik itu bisa dalam Peraturan Presiden atau
Peraturan Pemerintah dimana yang jelas dibawah undang-undang, apakah bisa dibuat dalam
bentuk tertulis dalam hal hak atas tanah atau untuk pelaksanaannya. Supaya ada kejelasan hak
milik dari pada m10asyarakat hukum adat itu kedepannya karena selama ini hukum adat memang
dikenal dalam UUPA dan juga diatur dalam UUD 1945 tapi sejauh mana keberadaan hukum adat
itu bisa menganulir hukum positif tidak ada kejelasannya.
10
1. Corak-Corak Hukum Adat Indonesia Hukum adat kita mempunyai corak-corak tertentu
adapun corak-corak yang terpenting adalah :
1. Bercorak Relegiues- Magis : Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap masyarakat
diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tentram bahagia
dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan
antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah
nenek moyang dan kehidupan makluk-makluk lainnya. Adanya pemujaan-pemujaan khususnya
terhadap arwah-arwah darp pada nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan
bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama seperti
membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting lainnya selalu
diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud dan tujuan mendapat berkah
serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.
3. Bercorak Demokrasi Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan,
kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan
asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan. Adanya musyawarah di
Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.
4. Bercorak Kontan : Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat
yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini
dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.
5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap
hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud.
Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada
saling mencurigai satu dengan yang lainnya.
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh
karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II, yang berbunyi : “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Aturan Peralihan Pasal
II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104
disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara
hukuman menyebut aturanaturan Undang-Undang dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman
itu. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUd
1945. Dalam Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia
asli dan Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka
membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka :
1. Hukum Eropa
2. Hukum Eropa yang telah diubah
3. Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
4. Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum
Eropa.
Pasal 131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan
sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan
sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila
berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun
1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat
dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu jug aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden
yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14
tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah
hukum adat. Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang
hidup di masyarakat. Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi
dasar berlakunya hukum adat di Indonesia adalah :
1. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
2. Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
3. Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
4. Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
1. Hukum keluarga
2. Hukum perkawinan
3. Hukum waris
4. Hukum tanah
5. Hukum hutang piutang
6. Hukum pelanggaran
Ter Harr didalam bukunya “ Beginselen en stelsel van het Adat-recht”, mengemukakan
pembidangnya sebagai berikut :
1. Tata Masyarakat
2. Hak-hak atas tanah
3. Transaksi-transaksi tanah
4. Transaksi-transaksi dimana tanah tersangkut
5. Hukum Hutang piutang
6. Lembaga/ Yayasan
7. Hukum pribadi
8. Hukum Keluarga
9. Hukum perkawinan.
10. Hukum Delik
11. Pengaruh lampau waktu
Pembidangan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas,
cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini. Surojo Wignjodipuro,
misalnya, menyajikan pembidangan, sebagai berikut :
1. Tata susunan rakyat Indonesia
2. Hukum perseorangan
3. Hukum kekeluargaan
4. Hukum perkawinan
5. Hukum harta perkawinan
6. Hukum (adat) waris
7. Hukum tanah
8. Hukum hutang piutang
9. Hukum (adat) delik
Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman Sudiyat didalam
bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978), yang mengajukan pembidangan,
sebagai berikut :
1. Hukum Tanah
2. Transaksi tanah
3. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4. Hukum perutangan
5. Status badan pribadi
6. Hukum kekerabatan
7. Hukum perkawinan
8. Hukum waris
9. Hukum delik adat
- Pengurus sendiri yaitu yang diketuai oleh Penghulu Andiko, sedangkan Jurai dikepalai oleh
seorang Tungganai atau Mamak kepala waris.
- Harta pusaka sendiri Terbentuknya Persekutuan Hukum ada tiga asas atau macam, yaitu :
a. Pertalian darah menurut garis Bapak (Patrilineal) seperti Batak, Nias, Sumba.
b. Pertalian darah menrut garis Ibu (Matrilineal) seperti Minangkabau.
c. Pertalian darah menurut garis Bapak dan Ibu (Unilateral) seperti di Pulau Jawa, Aceh, Dayak.
Yaitu berdasarkan pada daerah tertentu atau wilayah. Ada tiga macam persekutuan territorial
yaitu :
c. Perserikatan
Yaitu apabila beberapa persekutuan hukum yang berdekatan mengadakan kesepakatan untuk
memelihara kepentingan bersama, seperti saluran air, pengairan, membentuk pengurus bersama.
Misalnya : Perserikatan huta-huta di Batak.
Yaitu gabungan antara persekutuan geneologis dan territorial, misalnya di Sumba, Seram. Buru,
Minangkabau dan Renjang. Setiap persekutuan hukum dipmpin oleh kepala persektuan, oleh
karena itu kepala persekutuan mempunyai tugas antara lain :
7. dan lain-lain
Pada dasarnya orang luar tidak diperkenankan masuk dalam persekutuan. Masuknya orang luar
dalam persekutuan ada beberapa macam, yaitu :
- Nagari (Minangkabau) dikepalai oleh seorang yang disebut “Penghulu Andiko” laki-laki tertua,
bagian dari Nagari disebut Jurai yang diketuai oleh mamak kepala adat atau Tungganai.
- Urusan Pamongpraja disebut Manti
Di Sumatera Selatan :
- Persekutuan daerah disebut Marga, yang dikepalai oleh “Pasirah” dengan gelar depati/
Pangeran.
- Marga terdiri dari dusun-dusun yang dikepalai oleh Proati, Kria, Mangku dan dibantu
“Panggawa”.
Daerah Banten :
Persektuan terdiri atas beberapa ampian. Kepala Kampung disebut Kokolot/ Tua-tua. Desa
dikepali oleh kepala desa yang disebut Jaro. Suasana masyarakat desa yang damai, tentram dan
penuh rasa kebersamaan mengalami perubahan yang mengganggu ketentraman, kedamaian
antara lain :
1. Zaman Kerajaan :
C. Van Vollehhoven mengadakan analisa terhadap cirri-ciri khusus yang berlaku di setiap
lingkungan hukum adat. Ciri-ciri tersebut kemudian diujikan terhadap sistem-sistem hukum adat
yang terdapat pada masyarakat-masyarakat di daerah-daerah yang semula diidentifikasikan
sebagi tempat-tempat yang secara hipotesis diberi nama lingkungan hukum adat, sehingga
menhasilkan lingkungan-lingkungan sebagai berikut :
b. Tanah Als
1. Tapanuli Utara
b. Karo-Batak
c. Simelungun-Batak
2. Tapanuli Selatan
b. Angkola
c. Mandaiiling (Sayurmatinggi)
3. Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Daerah Kampar,
Kerinci)
3a. Mentawai (Orang Pagai)
4. Sumatera Selatan
a. Bengkulu (Rejang)
4a. Enggano
5. Daerah Melayu (Lingga Riau, Indragiri, Pantai Timur Sumatera, orangorang Banjar)
7. Kalimantan (Daya, Bagian Barat Kalimantan, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam
Hulu, Pasir, Daya Kenya, Daya Klematan, Daya Landan dan Tayan, Daya-Lawangan, Lepo-
Alim, Lepo-Timei, Long glatt, Daya-maanyan-Patai, Daya Maanyan- Siung, Daya-Ngaju, Daya-
Ot0- Danum, Daya-Penyabung Punan).
8. Minahasa (Menado)
10. Daerah/Tanah Toraja (Sulawesi bagian tengah, Toraja, orang Toraja berbahasa Baree, Toraja
Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai).
11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar,
Selayar,Muna).
13. Maluku-ambon (Ambon, Banda, orang Uliaser,Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Kei,
Kepulauan Aru, Kisar)
14. Irian
15. Kepulauan Timor (Kelompok Timor-Timur, bagian tengah Timor, Mollo, Sumba, bagian
tengah Sumba, Sumba Timur, Kodi Flores, Ngada, Roti. Savu Bima)
17. Bagian Tengah Jawa dan Jawa Timur termasuk Madura ( Jawa bagian tengah, Kedu,
Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
4. Tentang pribadi
g. Sistem sanksi
11
DAFTAR PUSTAKA
2 Mari S. Condronegoro, Busana Adat Keraton Yogyakarta Makna dan Fungsi Dalam Berbagai
Upacara, (Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusantara, 1995), hal. 17 3 Anesia Aryunda Dofa,
Batik Indonesia, (Jakarta : PT. Golden Terayon Press,1996), hal. 8
https://www.google.com/search?q=tinjaun+pustaka+hukum+adat&oq
https://www.google.com/search?
q=pengertian+hukum+adat&oq=pengertian+hukum+adat&aqs=chrome.0.69i59j0i512j69i59j0i5
12l4j69i60.39785j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8
https://www.google.com/search?q=sejarah+penemuan+hukum+adat&ei=
https://www.google.com/search?q=ciri-ciri+hukum+adat&ei=
https://www.google.com/search?q=sumber-sumber+hukum+adat&ei
https://www.google.com/search?q=asas-asas+hukum+adat&ei
https://www.google.com/search?q=sistem+hukum+adat&ei
https://www.google.com/search?q=corak+dan+sifat+hukum+adat&ei
https://www.google.com/search?q=lingkungan+dan+masyarkat+hukum+adat&ei
https://www.google.com/search?lei=GtZeYZiIOJqvyAOW3KiYBg&q=kedudukan%20hukum
%20adat%20di%20indonesia&ved
https://www.google.com/search?q=sifat-+sifat+umum+hukum+adat+indonesia
https://www.google.com/search?q=PERSEKUTUAN+HUKUM+ADAT
https://www.google.com/search?q=kesimpulan+dari+hukum+adat&ei