Kekayaan Intelektual (KI) merupakan kekayaan yang memuat kreasi tak berwujud
yang timbul / lahir dari kemampuan intelektual manusia. Kekayaan tersebut biasanya dapat
berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, sastra, dan sebagainya. Karya-karya
tersebut dilahirkan atas kemampuan intelektual manusia melalui curahan waktu, tenaga,
pikiran, daya cipta, rasa, dan karsa nya. Hal tersebutlah yang membedakan kekayaan
intelektual dengan jenis kekayaan lainnya yang juga dapat dimiliki oleh manusia tetapi tidak
dihasilkan oleh intelektual manusia (sebagai contoh tanah dan tumbuhan merupakan kekayaan
alam dari sang pencipta yang dapat dimiliki oleh manusia, akan tetapi hal tersebut bukanlah
hasil karya intelektual manusia).
Kekayaan atau aset berupa karya-karya yang dihasilkan dari pemikiran atau kecerdasan
manusia mempunyai nilai atau manfaat ekonomi bagi kehidupan manusia sehingga dapat
dianggap juga sebagai aset komersial. Dikarenakan karya tersebut dibuat dengan intelektual
manusia melalui curahan waktu, tenaga, pikiran, daya cipta, rasa, dan karsa, maka kekayaan
tersebut haruslah diamankan dengan mengembangkan sistem perlindungan hukum atas
Kekayaan Intelektual yang dikenal sebagai sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hak privat (private rights) bagi seseorang
yang menghasilkan suatu karya intelektual. Terdapat ciri khas HKI (hak eksklusif) yakni
setiap orang (subjek hukum) diberikan kebebasan oleh negara untuk dapat mengajukan
permohonan atau mendaftarkan kekayaan karya intelektual nya. Hak eksklusif yang
diberikan oleh negara tersebut dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya nya serta
agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkan karya yang telah
ada tersebut. Dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui
mekanisme pasar. Di samping itu, sistem HKI juga menunjang diadakannya sistem
dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia dengan tujuan untuk
menghindari/mencegah dihasilkannya teknologi atau hasil karya lain yang serupa.
HKI merupakan hal penting bagi suatu negara untuk menjaga keunggulan industri dan
perdagangan nya. Beberapa peran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) saat ini diantaranya
adalah sebagai berikut:
Alat persaingan dagang, terutama bagi negara maju agar tetap dapat menjaga posisinya
menguasai pasar internasional dengan produk (karya) barangnya
Alat pendorong kemajuan IPTEK dengan inovasi-inovasi baru yang dapat diindustrikan
Alat peningkatan kesejahteraan perekonomian masyarakat, khususnya para peneliti
yang mempunyai temuan yang diindustrikan dengan mendapatkan imbalan berupa royalti
Karya Intelektual oleh seorang manusia memberi banyak manfaat guna menjalani kehidupan
dengan cara yang lebih baik (beberapa hal seperti tempat tinggal, peralatan rumah, pakaian,
barang elektronik, komunikasi, transportasi, peralatan kantor dan lain sebagainya). Oleh karena
itu, untuk mendorong kreasi yang berguna lebih lanjut, merupakan hal yang penting untuk
memberikan suatu insentif kepada pihak-pihak yang menciptakan atau menanamkan modal
dalam pembuatan karya intelektual. Disamping itu, adanya perlindungan kekayaan
intelektual bagi mereka yang menciptakan atau menanamkan modal pada penciptaan karya-
karya intelektual dapat mendorong peningkatan kualitas kekayaan intelektual, alih
teknologi, serta pengetahuan.
Beberapa negara maju tidak lagi menilai HKI sebatas alat untuk melindungi hasil
karya intelektual seseorang, mereka menggunakannya sebagai alat strategi usaha untuk
mengkomersialkan suatu penemuan. Oleh karena itu, beberapa negara maju memberikan
penghargaan berupa pemberian hak monopoli kepada penghasil karya intelektual guna
memungkinkan penghasil karya intelektual untuk mengeksploitasi penemuannya secara
ekonomi. Insentif yang diberikan kepada pemegang HKI dalam bentuk monopoli dilakukan
agar penghasil karya intelektual dapat menggunakan atau memperoleh manfaat dari
kekayaan intelektual mereka dalam jangka waktu tertentu. Monopoli untuk menggunakan
dan memperoleh manfaat dari kekayaan intelektual memungkinkan pemilik hak untuk
menerima penghasilan dan keuntungan (hak ekonomi) atas waktu, uang, dan usaha yang telah
mereka habiskan dalam penciptaan kekayaan intelektual. Dengan penghasilannya tersebut,
pemilik hak dapat terus menciptakan kekayaan intelektual
Hak yang dimiliki oleh penghasil karya intelektual tidak hanya berupa hak ekonomi, tetapi
juga hak moral berupa pengabadian integritas (contohnya berupa penyebarluasan, pengkayaan,
serta pemberian dukungan oleh negara terhadap pengembangan sistem HKI) atas karya
intelektual yang telah dihasilkannya. Dengan adanya pengembangan sistem HKI tersebut
diharapkan dapat membentuk suatu budaya yang mampu merubah masyarakat
pengguna menjadi masyarakat yang mengembangkan potensi dirinya dan melahirkan
pencipta, inventor, ataupun pendesain baru.
Terkait sistem HKI tersebut, sejak 1 Januari 1995 WTO (World Trade Organization) telah
memperkenalkan perjanjian TRIPs (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights)
dan mewajibkan seluruh anggota WTO untuk menerapkan persyaratan minimal perlindungan
HKI sebagaimana telah ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Guna dapat berkompetisi dalam
pasar global, industriawan dituntut untuk mengikuti peraturan perdagangan yang berkembang &
diterapkan di negara tujuan pasar (termasuk peraturan terkait HKI). Kepabeanan beberapa
negara juga meminta persyaratan agar dokumen HKI (di Indonesia salah satu contoh
dokumen tersebut adalah surat pencatatan ciptaan) dapat dilampirkan pada dokumen wajib
& tambahan. Adapun beberapa manfaat utama yang diberikan oleh sistem HKI bagi
peneliti dan industri diantaranya yakni:
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada penemu atau
investor untuk mendapat manfaat/imbalan keuangan yang cukup atas upaya/investasi dalam
menciptakan karya intelektual tersebut
Memberikan peluang bagi industri untuk dapat melakukan monopoli pasar terhadap
suatu produk tertentu & untuk membangun entry barrier bagi kompetitor nya
Menjadi income generating bagi suatu industri melalui lisensi, penjualan atau
komersialisasi HKI yang mana akan meningkatkan nilai suatu industri di mata
investor dan lembaga keuangan.
C. Peraturan Perundang-Undangan di Bidang HAKI
Peraturan perundang-undangan terkait HKI pertama kali ada di Italia, Venice pada tahun
1470 dimana peraturan tersebut menyakangkut permasalahan terkait Paten. Kemudian pada
tahun 1500-an, hukum terkait paten mulai diadopsi oleh Kerajaan Inggris yang kemudian lahir
hukum pertama terkait Paten di Inggris dengan diundangkan nya Statue of Monopolies
pada tahun 1623. Kemudian di Amerika Serika undang-undang Paten baru muncul pada tahun
1791.
Apabila membahas terkait HKI dalam lingkup Internasional, tidak akan terlepas dari peran 2
organisasi internasional yang memfokuskan tujuan nya pada perlindungan HKI yakni
WIPO dan GATT-WTO. Adapun latar belakang atas kedua organisasi tersebut dalam
memberikan perlindungan di bidang HKI yakni sebagai berikut:
Sebelum membahas terkait terbentuknya WIPO, akan lebih mudah untuk membahas
terkait 2 konvensi dan 1 organisasi yang melatarbelakangi pendirian Organisasi tersebut,
yakni Konvensi Paris tentang Perlindungan Hak atas Kekayaan Industri (Paris
Convention For The Protection Of Industrial Property) dan Konvensi Bern tentang
Perlindungan Karya Seni & Sastra (Berne Convention For The Protection Of Literary
And Artistic Works) serta Biro Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan
Intelektual / BIRPI (Bureaux Internationaux Réunis pour la Protection de la Propriété
Intellectuelle). Adapun penjelasan atas konvensi dan organisasi tersebut yakni sebagai
berikut:
Ketika berlangsung nya pameran invensi internasional di Vienna pada tahun 1873,
diketahui bahwa pelaksanaan pameran tersebut terhambat dikarenakan banyaknya
pengunjung asing yang tida bersedia memarekan penemuannya di pameran tersebut
dikarenakan minimnya perlindungan hukum yang diberikan atas penemuan yang
dipamerkan. Dengan kondisi demikian, diadakanlah konferensi di Paris pada tahun
1883 dimana tujuan utama diberlangsungkannya konferensi tersebut adalah untuk
mendirikan serikat pekerja yang akan melindungi kekayaan industri. Selain itu,
pada 20 Maret 1883, dibuat pula Konvensi Paris (Paris Convention) yang akan
digunakan oleh serikat pekerja tersebut untuk melangsungkan perlindungan properti
industri
Konvensi Paris menguraikan beberapa aturan umum yang harus diikuti oleh
negara-negara anggotanya yang antara lain yakni sebagai berikut:
Terkait perlindungan hak cipta dalam Konvensi Bern, disebutkan bahwa semua
karya (kecuali berupa fotografi dan sinematografi) akan dilindungi sekurang-
kurangnya selama 50 tahun setelah si pembuatnya meninggal dunia. Tetapi, masing-
masing negara anggota bebas untuk memberikan perlindungan untuk jangka
waktu yang lebih lama. Untuk fotografi, Konvensi Bern menetapkan batas mininum
perlindungan selama 25 tahun sejak tahun foto itu dibuat, dan untuk sinematografi
batas minimumnya adalah 50 tahun setelah pertunjukan pertamanya, atau 50 tahun
setelah pembuatannya apabila film itu tidak pernah dipertunjukan dalam waktu 50
tahun sejak pembuatannya.
Konvensi Bern memuat tiga prinsip dasar yang wajib diterapkan oleh negara
anggota nya dalam perundang-undangan nasional nya, dimana ketiga prinsip tersebut
yakni:
C.) United International Bureaux for the Protection of Intellectual Property / BIRPI
(Biro Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual
Perlu diketahui sebelumnya bahwa untuk mengawasi dapat diterapkannya
Konvensi Paris & Konvensi Bern secara optimal, pembuatan 2 konvensi tersebut
disertai juga dengan dibentuknya masing-masing badan untuk mengurus tugas
administrasi. Pada tahun 1893, kedua badan yang dibentuk berdasarkan amanat
dari Konvensi Paris dan Konvensi Bern tersebut bersatu menjadi Biro
Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual (BIRPI) di Bern.
Pada tahun 1960, BIRPI berpindah dari Bern ke Jenewa agar lebih dekat ke PBB dan
organisasi-organisasi internasional lain di kota tersebut. Kemudian, pada tahun 1967
dengan dikeluarkannya WIPO Convention pada 14 Juli 1967, BIRPI berganti
nama menjadi WIPO
WIPO merupakan salah satu badan khusus PBB yang secara resmi dibentuk pada tahun
1967 dengan dikeluarkannya Konvensi WIPO. Berdasarkan pasal 3 konvensi ini,
disebutkan bahwa WIPO dibentuk dengan tujuan untuk melakukan promosi atas
perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HKI) ke seluruh dunia. Sebelumnya,
WIPO bernama Biro Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual
(BIRPI) yang didirikan pada tahun 1893 untuk mengawasi Konvensi Bern dan Konvensi
Paris. WIPO dibentuk untuk mewadahi dua konvensi klasik HKI yaitu Konvensi Paris
1883 tentang Perlindungan Hak atas Kekayaan Industri dan konvensi Bern tahun 1886
tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra
GATT dibuat agar negara-negara di dunia dapat membahas permasalahan yang terjadi
dalam perdagangan Internasional serta memberikan solusi atas permasalahan tersebut
GATT dibuat agar negara-negara di dunia dapat saling bekerja sama untuk mengatasi
krisis dalam negeri serta untuk dapat melakukan negosiasi terhadap perdagangan
bebas Internasional. Hal ini menjadi latar belakang lantaran setelah Perang Dunia II
berakhir, keadaan sosial, politik, dan ekonomi menjadi kacau
GATT menerapkan beberapa prinsip utama untuk mencapai tujuannya yang antara lain
yakni sebagai berikut:
A.) Digantikan nya peran & fungsi GATT oleh World Trade Organization (WTO) yang
dibentuk pada 1 Januari 1995
(1) Annex 1 yang terdiri atas tiga annex lainnya yakni sebagai berikut:
1
GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan (1996)
perundang-undangan di negara masing-masing dengan berbagai
konvensi Internasional di bidang HKI.
Prinsip National Treatment, tertuang dalam pasal 3 perjanjian yang
mengharuskan para anggotanya untuk memberikan perlindungan
HKI yang sama antar warga negara nya sendiri dengan warga negara
anggota lain. Terdapat beberapa pengecualian dalam penerapan prinsip
ini, dimana pengecualian-pengecualian tersebut diatur dalam Konvensi
Paris, Konvensi Bern, Konvensi Roma, dan IPIC Treaty Washington
1989
Prinsip Most Favour Nation, tertuang dalam pasal 4 perjanjian yang
mengharuskan para anggotanya untuk memberi perlindungan HKI
yang sama terhadap seluruh anggotanya.
Prinsip Exhaustion, yakni mengatur terkait penyelesaian sengketa HKI
berdasarkan Perjanjian TRIPs-WTO
Apabila ditinjau dari keorganisasian, WIPO dan WTO tidak memiliki hubungan hukum
sama sekali. Pengaturan HKI yang diatur dalam Perjanjian TRIPs (Trade Related of Intellectual
Property Rights) dibawah payung hukum WTO lebih lengkap dibandingkan dengan yang
diatur WIPO. Hal ini dikarenakan WTO selain meliputi Konvensi Bern & Konvensi Paris, juga
mengadaptasi Konvensi Roma (International Convention for the Protection of Performers
of Phonograms and Broadcasting Organization) & Traktat WIPO tentang Sirkuit Terpadu
(Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuit / IPIC Treaty).
Perjanjian TRIPs selain mewajibkan kepada seluruh negara anggota untuk mengakui 3
konvensi dasar HKI yang telah ada sebelumnya (Paris Convention, Bernen Convention, &
Washington Treaty), juga memberlakukan 3 prinsip dasar bagi perlindungan semua jenis
HKI dimana ketiga prinsip dasar tersebut yakni sebagai berikut:
TRIPs juga menentukan standar minimum masa perlindungan bagi tujuh bidang HKI,
dimana standar-standar tersebut antara lain yakni sebagai berikut:
hak cipta : masa perlindungannya adalah 50 tahun setelah diterbitkan atau sepanjang hidup
pencipta ditambah 50 tahun
fotografi 25 tahun
sinematografi 50 tahun sejak diumumkan
merek dagang : selama 7 tahun
indikasi geografis : selama ciri barang masih ada dalam barang yang bersangkutan
desain produk industri : minimum 10 tahun
paten : 20 tahun sejak filing date
desain rangkaian listrik terpadu : 10 tahun sejak filing date
informasi tertutup/Rahasia dagang : selama informasi tersebut dianggap/bersifat tertutup
Disamping itu, TRIPs juga menawarkan sistem penyelesaian sengketa HKI apabila terjadi
persoalan diantara negara anggota dengan menyediakan Lembaga Penyelesaian Sengketa /
DSB (Dispute Settlement Body). Adapun DSB adalah lembaga yang diberikan kewenangan
oleh WTO untuk melakukan penyelesaian sengketa dan mempunyai fungsi untuk menjaga agar
tiap anggota selalu menghormati hak & kewajiban masing-masing sesuai dengan perjanjian.
Bagi negara anggota yang ingin menjadi pihak dalam sistem penyelesaian sengketa HKI harus
memenuhi beberapa syarat yang antara lain yakni sebagai berikut:
Kedua belah pihak wajib mematuhi prosedur penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh
WTO
Kedua belah pihak dilarang menentukan cara penyelesaian pelanggaran kecuali
berdasarkan prosedur yang ditentukan WTO
Kedua belah pihak dilarang melakukan tindakan balasan sepihak kecuali atas dasar putusan
DSB
Pada Konferensi ke-4 (DDA) tersebut, dihasilkan suatu deklarasi bernama Declaration
on the TRIPs Agreement and Public Health. Deklarasi tersebut merupakan bentuk
interpretasi dan implementasi perjanjian TRIPs dalam mendukung kesehatan masyarakat di
berbagai negara. Bentuk dukungan tersebut yakni dengan mendukung akses kepada
berbagai jenis obat yang diperlukan untuk kesehatan masyarakat, serta terhadap penemuan
berbagai macam obat baru.
Terhadap deklarasi tersebut, keputusan yang diambil yakni negara anggota sepakat
untuk melakukan perubahan pada Article 31 TRIPs Agreement serta mengeluarkan
Protocol Amending the TRIPs Agreement, disamping itu, negara anggota juga diwajibkan
untuk menyampaikan notification of acceptance atas protocol tersebut. Sebagai bentuk
implementasi deklarasi tersebut, Indonesia telah menggunakan fleksibilitas Compulsory
License (lisensi wajib) melalui Keppres Nomor 83 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan
Paten oleh Pemerintah terhadap obat-obat antiretroviral (ARV)
Isu kedua dalam DDA yakni terkait dengan GI Register & GI Extension. Isu ini dibahas
dalam DDA dikarenakan negara Uni Eropa ingin meningkatkan proteksi untuk wines and
spirits (minuman beralkohol) melalui GI Register, serta ingin mendorong perluasan GI
tidak terbatas pada wines and spirits melalui GI Extension.
Isu biopiracy menjadi salah satu isu kekayaan intelektual dikarenakan dua pandangan.
Pandangan pertama menilai bahwa sumber daya genetik merupakan warisan
bersama umat manusia, oleh karena nya sumber daya genetik dapat diakses negara mana
pun tanpa harus memberi pembagian keuntungan (sharing benefit). Pandangan kedua
menilai bahwa setiap negara berdaulat atas sumber daya genetik dan hak-hak sui
generis dari negara sumber penghasilnya atas kekayaan intelektual atas tanaman,
gen, dan bioteknologi. Negara pengguna sumber daya genetika tersebut wajib memastikan
pembagian keuntungan (benefit sharing) serta memastikan tradisi, akar budaya, dan
lingkungan sumber daya genetika tersebut terpelihara dengan baik.
Salah satu kasus dimana negara maju menerapkan pembagian keuntungan (Sharing
Benefit) terhadap pemanfaatan keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh negara
berkembang adalah kasus pematenan ramuan tradisional Indonesia oleh Perusahaan
Shiseido di Jepang melalui Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair
and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on
Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan
Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas
Konvensi Keanekaragaman Hayati). Adapun contoh beberapa kasus biopiracy diantaraya
yakni:
Insiden pengambilan sampel virus flu burung oleh Shwan Smallman di Indonesia
Tindakan paten yang dilakukan oleh USDA & MNC WR Grace terhadap tanaman
neem (Azadirachta Indica) milik masyarakat India
Tindakan paten yang dilakukan oleh US Patent and Trademark Office (USPTO)
terhadap beras bulir Basmati milik masyarakat India
Pencurian ribuan varietas padi India oleh perusahaan biotek Syngenta
Pencurian kandungan beri yang terdapat dalam pohon brazzein milik masyarakat
Afrika oleh AS
Dengan mengacu kepada TRIPs Agreement (Pasal 9 sampai 40) yang dibuat oleh WTO,
secara umum pokok perlindungan HKI dibagi menjadi sebagai berikut:
Terdapat 7 konvensi Internasional dalam lingkup HKI yang telah mendapat pengesahan dari
pemerintah RI. Ketujuh konvensi tersebut diantaranya yakni sebagai berikut:
Terkait urutan Instrumen Hukum Internasional dalam ranah HKI tersebut dapat dilihat dalam
tabel sebagai berikut:
1883 Paris
Convention
1886 Berne
Convention
1891 Madrid Treaty
Hague
1934 Treaty
(Design)
Universal
1952 Copyright
Convention
1957 Trademark
Classification
1958 Lisbon Treaty
1961 Rome
Convention
WIPO
1967 Establishment
Convention
Paten
Cooperation
1970 Treaty
(PTC)
Trademark
Treaty
1994 WTO Treaty /
TRIPs
WIPO
1996 Performances &
Phonograms
Treaty
1997 WIPO
Copyright
Treaty
I. Penegakkan HKI
Yang dimaksud dengan Penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah segala
aktivitas yang berkaitan dengan pelaksanaan/pemanfaatan HKI itu sendiri (seperti
membuat, menggunakan, menjual, memasarkan, mengimpor, menyewakan, menyerahkan,
menyediakan untuk dijual, disewakan, ataupun diserahkannya produk yang telah diberikan
HKI). Apabila dilihat berdasarkan kegiatan yang dapat dilakukan terhadap barang yang telah
diberikan HKI, dapat dikatakan bahwa HKI sesungguhnya merupakan instrumen
perdagangan. Hal ini dikarenakan pemberian Hak Monopoli terhadap barang yang telah
dikenakan HKI hanya diberikan terbatas kepada pemilik/pemegang hak yang
bersangkutan, sehingga hak monopoli tersebut hanya memberikan keuntungan kepada
pemilik/pemegang nya. Kebebasan untuk melakukan hak monopoli tersebut berlaku untuk
pelaku baik di dalam ataupun luar negeri. Dengan kegiatan yang dapat dilakukan atas hak
monopoli terhadap barang yang telah dikenakan HKI tersebut, dapat diketahui juga bahwa HKI
juga bertujuan untuk meningkatkan perlindungan & penegakan hukum di bidang HKI
dalam kaitannya dengan perdagangan barang & jasa, serta memperketat aturan terkait
barang-barang palsu.
Ketentuan terkait HKI yang tercantum dalam Perjanjian TRIPs mewajibkan terhadap seluruh
negara anggota (telah menandatangani & meratifikasi konvensi tersebut) untuk mematuhi
Persetujuan TRIPs. Meskipun demikian, dalam hal ini WTO selaku organisasi yang
mengundangkan TRIPs memberikan kebebasan terhadap negara anggota untuk menentukan
cara-cara penerapan HKI sesuai dengan praktek dan sistem hukum di negara masing-masing.
Dalam hal ini, perjanjian TRIPs memberikan pilihan hukum (legislative choice) yang dapat
menjadi peluang bagi negara berkembang maupun negara kurang maju untuk mewujudkan
perundang-undangan di bidang HKI yang sesuai dengan kebutuhannya. Dikarenakan adanya
Legislative Chocie tersebut, pelanggaran HKI dapat pula ditangani secara berbeda-beda di
masing-masing negara berdasarkan regulasi yang berlaku di negara tersebut. Adapun contoh
penyelesaian pelanggaran HKI di beberapa negara yakni sebagai berikut:
Dalam jalur perdata, ruang lingkup sengketa HKI yang dapat diselesaikan antara lain
yakni sebagai berikut:
a.) Sengketa HKI yang berkaitan dengan pembatalan suatu paten, dimana penyelesaian
atas sengketa ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni batal demi hukum & dapat
dibatalkan. Adapun penjelasan atas cara untuk menyelesaikan sengketa paten tersebut
yakni sebagai berikut:
Batal Demi Hukum, terjadi karena pemegang HKI tidak membayar biaya
tahunan HKI Paten. Apabila suatu sengketa HKI dinyatakan Batal Demi
Hukum, maka tidak perlu adanya pengajuan gugatan. Dalam hal ini Putusan
langsung dilakukan oleh Direktorat Jendral (Dirjen) HKI.
b.) Sengketa terkait pemberian HKI terhadap seseorang yang tidak berhak & seseorang
yang telah melanggar hak & kewajiban yang telah ditentukan bagi pemegang HKI
Dalam jalur pidana, ruang lingkup sengketa HKI yang dapat diselesaikan antara lain
yakni sebagai berikut:
a.) sengaja melanggar hak pemegang HKI (membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,
menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan) suatu
barang tanpa seijin pemegang HKI
b.) sengaja tidak memenuhi hak dan kewajibannya (menjaga kerahasiaan termasuk pegawai
Ditjen HKI).
4.) Penyelesaian Sengketa HKI melalui jalur Non Litigasi (Arbitrase & APS)
Selain itu diatur pula bahwa untuk gugatan, penyelesaian sengketa bisa menggunakan
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Beberapa bentuk pelanggaran HKI di dalam negeri yang masih marak terjadi diantaranya
yakni penggandaan tanpa izin software komputer ataupun pembajakan & pemalsuan produk
musik & film dalam kepingan VCD ataupun film dalam kepingan DVD. Salah satu faktor
maraknya pelanggara HKI tersebut dikarenakan belum adanya persamaan persamaan persepsi
tentang HKI di kalangan penegak hukum. Polisi, jaksa, dan hakim sering memiliki persepsi
yang berbeda untuk menangani sengketa HKI.
Sebagai salah satu aparat penegak hukum, Polisi (penyidik) memiliki kendala tersendiri
dalam menyelesaikan sengketa HKI. Kendala-kendala tersebut diantaranya yakni:
1.) Dari aspek barang bukti, kendala yang sering dihadapi yakni:
Tidak adanya tanda identitas pemegang hak yang spesifik pada fisik barang yang
dilindungi HKI (VCD, misalnya)
Tidak adanya tanda identifikasi mesin/pabrik yang melekat pada fisik barang yang
dilindungi HKI (VCD, misalnya)
Masalah surat Lisensi yang berasal dari luar negeri sebagian tidak memenuhi syarat
yuridis
Masalah paralel impor (mengimpor barang yang telah dilindungi HKI-nya di
Indonesia dari luar negeri)
Barang bukti asli sebagai pembanding terkadang sulit diperoleh penyidik, terutama
apabila pemegang hak jauh dari lokasi penyidik
.
2.) Dari aspek korban / pemegang HKI kendala yang sering dihadapi yakni:
Penyidik masih lemah dalam membedakan produk yang asli (dilindungi HKI) dengan
bajakan
Penyidik masih merasa kesulitan untuk menghadirkan saksi yang memberikan
“keterangan ahli”, terutama dari Ditjen HKI yang hanya berdomisili di
Jakarta/Tangerang, serta saksi pemegang hak yang sebagian besar berdomisili di kota
besar.
2. Hak Cipta (Copyright)
Basis Data Tabel yang menampilkan isi dari basis data tersebut, dan
dihimpun dalam 1 berkas PDF
Kompilasi Ciptaan/Data Isi dari kompilasi ciptaan/data tersebut dalam 1 berkas
PDF
Permainan Video Buku panduan yang menjelaskan cara penggunaan
permainan video/program komputer, lengkap dengan kode
Program Komputer sumber, dihimpun dalam 1 berkas PDF
Alat Peraga
Arsitektur
Baliho / Spanduk
Banner
Brosur
Diorama
Flyer
Kaligrafi
Karya Seni Batik
Karya Seni Rupa
Karya Seni Motif Lain
Kolase
Leaflet
Pamflet
Peta
Poset
Seni Gambar / Ilustrasi
Seni Lukis
Seni Pahat / Ukiran
Seni Patung
Seni Terapan
Seni Umum
Sketsa
Film/Film Cerita/Film
Dokumenter/Film
Iklan/Film Kartun/
Sinematografi/ Reportase Isi siaran dalam format MP4 atau beberapa screenshot
Karya Siaran Video/ Karya adegan siaran dalam 1 berkas PDF
Siaran Media Televisi dan
Film
Karya Rekaman Video
Isi kegiatan kuliah antara pengajar dan peserta dalam
format MP4 atau beberapa screenshot adegan kuliah
Kuliah dalam 1 berkas PDF.
Fotografi
Potret
E. Ds
F. Ds
G. Ds
H. ds
3. Paten (Patent)
ds
4. Merek (Trademark) / Indikasi Geografis
ds
5. Desain Industri (Industrial Design)
ds
6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated Circuit)
ds
7. Rahasia Dagang (Trade Secret)
ds
8. Perlindungan Varietas Tanaman (PVT)
ds
9. Ds
10. Ds
11. Ds
12. ds