Anda di halaman 1dari 26

Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

1. Pengantar Atas Hak Kekayaan Intelektual

A. Pengertian Kekayaan Intelektual (KI) dan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)

Kekayaan Intelektual (KI) merupakan kekayaan yang memuat kreasi tak berwujud
yang timbul / lahir dari kemampuan intelektual manusia. Kekayaan tersebut biasanya dapat
berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, sastra, dan sebagainya. Karya-karya
tersebut dilahirkan atas kemampuan intelektual manusia melalui curahan waktu, tenaga,
pikiran, daya cipta, rasa, dan karsa nya. Hal tersebutlah yang membedakan kekayaan
intelektual dengan jenis kekayaan lainnya yang juga dapat dimiliki oleh manusia tetapi tidak
dihasilkan oleh intelektual manusia (sebagai contoh tanah dan tumbuhan merupakan kekayaan
alam dari sang pencipta yang dapat dimiliki oleh manusia, akan tetapi hal tersebut bukanlah
hasil karya intelektual manusia).

Kekayaan atau aset berupa karya-karya yang dihasilkan dari pemikiran atau kecerdasan
manusia mempunyai nilai atau manfaat ekonomi bagi kehidupan manusia sehingga dapat
dianggap juga sebagai aset komersial. Dikarenakan karya tersebut dibuat dengan intelektual
manusia melalui curahan waktu, tenaga, pikiran, daya cipta, rasa, dan karsa, maka kekayaan
tersebut haruslah diamankan dengan mengembangkan sistem perlindungan hukum atas
Kekayaan Intelektual yang dikenal sebagai sistem Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hak privat (private rights) bagi seseorang
yang menghasilkan suatu karya intelektual. Terdapat ciri khas HKI (hak eksklusif) yakni
setiap orang (subjek hukum) diberikan kebebasan oleh negara untuk dapat mengajukan
permohonan atau mendaftarkan kekayaan karya intelektual nya. Hak eksklusif yang
diberikan oleh negara tersebut dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil karya nya serta
agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkan karya yang telah
ada tersebut. Dengan sistem HKI tersebut kepentingan masyarakat ditentukan melalui
mekanisme pasar. Di samping itu, sistem HKI juga menunjang diadakannya sistem
dokumentasi yang baik atas segala bentuk kreativitas manusia dengan tujuan untuk
menghindari/mencegah dihasilkannya teknologi atau hasil karya lain yang serupa.

Adapun tujuan perlindungan Kekayaan Intelektual melalui Hak Kekayaan Intelektual


secara umum antara lain yakni sebagai berikut:

 Memberi kejelasan hukum mengenai hubungan antara kekayaan intelektual dengan


inventor, pencipta, desainer, pemilik, pemakai, perantara yang menggunakannya, wilayah
kerja pemanfaatannya dan yang menerima akibat pemanfaatan HKI untuk jangka waktu
tertentu
 Memberikan penghargaan kepada pelaku HKI atas usaha ataupun keberhasilannya
untuk menciptakan suatu karya intelektual
 Mempromosikan publikasi invensi atau ciptaan dalam bentuk dokumen HKI yang
terbuka bagi masyarakat
 Merangsang terciptanya upaya alih informasi melalui kekayaan intelektual serta alih
teknologi melalui paten
 Memberikan perlindungan terhadap kemungkinan ditiru nya suatu Kekayaan
Intelektual dikarenakan adanya jaminan dari negara bahwa pelaksanaan karya intelektual
hanya diberikan kepada yang berhak.

B. Peran dan Fungsi Hak Kekayaan Intelektual

HKI merupakan hal penting bagi suatu negara untuk menjaga keunggulan industri dan
perdagangan nya. Beberapa peran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) saat ini diantaranya
adalah sebagai berikut:

 Alat persaingan dagang, terutama bagi negara maju agar tetap dapat menjaga posisinya
menguasai pasar internasional dengan produk (karya) barangnya
 Alat pendorong kemajuan IPTEK dengan inovasi-inovasi baru yang dapat diindustrikan
 Alat peningkatan kesejahteraan perekonomian masyarakat, khususnya para peneliti
yang mempunyai temuan yang diindustrikan dengan mendapatkan imbalan berupa royalti

Karya Intelektual oleh seorang manusia memberi banyak manfaat guna menjalani kehidupan
dengan cara yang lebih baik (beberapa hal seperti tempat tinggal, peralatan rumah, pakaian,
barang elektronik, komunikasi, transportasi, peralatan kantor dan lain sebagainya). Oleh karena
itu, untuk mendorong kreasi yang berguna lebih lanjut, merupakan hal yang penting untuk
memberikan suatu insentif kepada pihak-pihak yang menciptakan atau menanamkan modal
dalam pembuatan karya intelektual. Disamping itu, adanya perlindungan kekayaan
intelektual bagi mereka yang menciptakan atau menanamkan modal pada penciptaan karya-
karya intelektual dapat mendorong peningkatan kualitas kekayaan intelektual, alih
teknologi, serta pengetahuan.

Beberapa negara maju tidak lagi menilai HKI sebatas alat untuk melindungi hasil
karya intelektual seseorang, mereka menggunakannya sebagai alat strategi usaha untuk
mengkomersialkan suatu penemuan. Oleh karena itu, beberapa negara maju memberikan
penghargaan berupa pemberian hak monopoli kepada penghasil karya intelektual guna
memungkinkan penghasil karya intelektual untuk mengeksploitasi penemuannya secara
ekonomi. Insentif yang diberikan kepada pemegang HKI dalam bentuk monopoli dilakukan
agar penghasil karya intelektual dapat menggunakan atau memperoleh manfaat dari
kekayaan intelektual mereka dalam jangka waktu tertentu. Monopoli untuk menggunakan
dan memperoleh manfaat dari kekayaan intelektual memungkinkan pemilik hak untuk
menerima penghasilan dan keuntungan (hak ekonomi) atas waktu, uang, dan usaha yang telah
mereka habiskan dalam penciptaan kekayaan intelektual. Dengan penghasilannya tersebut,
pemilik hak dapat terus menciptakan kekayaan intelektual
Hak yang dimiliki oleh penghasil karya intelektual tidak hanya berupa hak ekonomi, tetapi
juga hak moral berupa pengabadian integritas (contohnya berupa penyebarluasan, pengkayaan,
serta pemberian dukungan oleh negara terhadap pengembangan sistem HKI) atas karya
intelektual yang telah dihasilkannya. Dengan adanya pengembangan sistem HKI tersebut
diharapkan dapat membentuk suatu budaya yang mampu merubah masyarakat
pengguna menjadi masyarakat yang mengembangkan potensi dirinya dan melahirkan
pencipta, inventor, ataupun pendesain baru.

Terkait sistem HKI tersebut, sejak 1 Januari 1995 WTO (World Trade Organization) telah
memperkenalkan perjanjian TRIPs (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights)
dan mewajibkan seluruh anggota WTO untuk menerapkan persyaratan minimal perlindungan
HKI sebagaimana telah ditetapkan dalam perjanjian tersebut. Guna dapat berkompetisi dalam
pasar global, industriawan dituntut untuk mengikuti peraturan perdagangan yang berkembang &
diterapkan di negara tujuan pasar (termasuk peraturan terkait HKI). Kepabeanan beberapa
negara juga meminta persyaratan agar dokumen HKI (di Indonesia salah satu contoh
dokumen tersebut adalah surat pencatatan ciptaan) dapat dilampirkan pada dokumen wajib
& tambahan. Adapun beberapa manfaat utama yang diberikan oleh sistem HKI bagi
peneliti dan industri diantaranya yakni:

 Memberikan informasi memperlihatkan perkembangan sebagian besar pengetahuan


dan teknologi terbaru

Ketersediaan informasi tersebut memungkinkan peneliti dan industri di Indonesia untuk


melaksanakan suatu pengamatan teknologi dan melihat kecenderungan perkembangan
teknologi paling mutakhir. Disamping itu, masyarakat juga diberikan kebebasan untuk
menggunakan informasi dari Paten kadaluwarsa & bebas menggunakan informasi Paten
yang tidak terdaftar di negara mereka sepanjang informasi penggunaan tersebut tidak
diperluas ke negara-negara tempat Paten tersebut dimintakan. Syarat kebaruan yang
diterapkan dalam sistem Paten adalah kebaruan universal (absolut), yang berarti
penemuan yang dimintakan Paten-nya tersebut harus baru tidak hanya di negara
tempat permohonan Paten didaftarkan tetapi juga harus baru di seluruh dunia.

 Memberikan perlindungan terhadap karya intelektual seseorang atas penggunaan


secara tidak sah oleh pihak ketiga

Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada penemu atau
investor untuk mendapat manfaat/imbalan keuangan yang cukup atas upaya/investasi dalam
menciptakan karya intelektual tersebut
 Memberikan peluang bagi industri untuk dapat melakukan monopoli pasar terhadap
suatu produk tertentu & untuk membangun entry barrier bagi kompetitor nya

 Menjadi income generating bagi suatu industri melalui lisensi, penjualan atau
komersialisasi HKI yang mana akan meningkatkan nilai suatu industri di mata
investor dan lembaga keuangan.
C. Peraturan Perundang-Undangan di Bidang HAKI

Peraturan perundang-undangan terkait HKI pertama kali ada di Italia, Venice pada tahun
1470 dimana peraturan tersebut menyakangkut permasalahan terkait Paten. Kemudian pada
tahun 1500-an, hukum terkait paten mulai diadopsi oleh Kerajaan Inggris yang kemudian lahir
hukum pertama terkait Paten di Inggris dengan diundangkan nya Statue of Monopolies
pada tahun 1623. Kemudian di Amerika Serika undang-undang Paten baru muncul pada tahun
1791.

Apabila membahas terkait HKI dalam lingkup Internasional, tidak akan terlepas dari peran 2
organisasi internasional yang memfokuskan tujuan nya pada perlindungan HKI yakni
WIPO dan GATT-WTO. Adapun latar belakang atas kedua organisasi tersebut dalam
memberikan perlindungan di bidang HKI yakni sebagai berikut:

1.) World Intellectual Property Organization (WIPO)

Sebelum membahas terkait terbentuknya WIPO, akan lebih mudah untuk membahas
terkait 2 konvensi dan 1 organisasi yang melatarbelakangi pendirian Organisasi tersebut,
yakni Konvensi Paris tentang Perlindungan Hak atas Kekayaan Industri (Paris
Convention For The Protection Of Industrial Property) dan Konvensi Bern tentang
Perlindungan Karya Seni & Sastra (Berne Convention For The Protection Of Literary
And Artistic Works) serta Biro Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan
Intelektual / BIRPI (Bureaux Internationaux Réunis pour la Protection de la Propriété
Intellectuelle). Adapun penjelasan atas konvensi dan organisasi tersebut yakni sebagai
berikut:

A.) Konvensi Paris (Paris Convention)

Latar belakang dibentuknya Konvensi Paris bermula ketika diadakannya pameran


besar (The Great Exhibition of the Works of Industry of All Nations / Crystal Palace
Exhibition) pada tahun 1851 di London, Paris. Pameran tersebut merupakan
kesempatan bagi para perancang ataupun penemu untuk memamerkan karya mereka,
ataupun kesempatan bagi publik untuk dapat belajar atas karya tersebut. Akan tetapi,
ketika pameran tersebut berlangsung, telah terjadinya akses tak terkendali
terhadap produk asing eksklusif. Sebelum produk tersebut sampai di pasar negara
tuan rumah, banyak yang melakukan pembajakan atas produk tersebut. Atas kondisi
demikian, pada tahun yang sama dibuatlah undang-undang perlindungan
penemuan (Protection of Inventions Act) dengan menerapkan prinsip tanpa
diskriminasi atas dasar kewarganegaraan.

Undang-undang tersebut memungkin penemuan yang tidak dipatenkan untuk dapat


di pamerkan di Inggris. Akan tetapi, perlindungan yang diberikan atas undang-undang
tersebut hanya bertahan selama 1 tahun. Sifat dari “perlindungan sementara” tersebut
kemudian diadopsi oleh negara-negara lain dalam undang-undang nya dengan tujuan
untuk memberikan perlindungan atas karya yang akan dipamerkan di pameran
internasional ataupun pameran dagang negara masing-masing. Sebagai contoh yakni
Hukum Paten inggris (British Patent Law) pada tahun 1852, Paris (tahun 1855 dan
1857), London (tahun 1862), dan Vienna (Tahun 1873)

Ketika berlangsung nya pameran invensi internasional di Vienna pada tahun 1873,
diketahui bahwa pelaksanaan pameran tersebut terhambat dikarenakan banyaknya
pengunjung asing yang tida bersedia memarekan penemuannya di pameran tersebut
dikarenakan minimnya perlindungan hukum yang diberikan atas penemuan yang
dipamerkan. Dengan kondisi demikian, diadakanlah konferensi di Paris pada tahun
1883 dimana tujuan utama diberlangsungkannya konferensi tersebut adalah untuk
mendirikan serikat pekerja yang akan melindungi kekayaan industri. Selain itu,
pada 20 Maret 1883, dibuat pula Konvensi Paris (Paris Convention) yang akan
digunakan oleh serikat pekerja tersebut untuk melangsungkan perlindungan properti
industri

Konvensi Paris secara luas mencakup perlindungan kekayaan intelektual terhadap


Paten, Merek Dagang, Desain Industri, Model Utilitas, Merek Layanan, Nama
Dagang, dan Indikasi Geografis. Konvensi Paris memberlakukan 3 ketentuan
dasar terhadap negara-negara anggota nya yakni Perlakuan Nasional (National
Treatment), Hak Prioritas (Right to Priority), dan Aturan Umum (Common Rules).
Adapun penjelasan pemberlakuan Konvensi Paris atas ketentuan dasar tersebut yakni
sebagai berikut:

(1.) Perlakuan Nasional

Pasal 2 dan 3 konvensi paris menerapkan prinsip bahwa setiap negara


anggota harus memperlakukan semua warga negara dari negara anggota
Konvensi secara setara ketika memberikan perlindungan kekayaan
intelektual. Selain itu, warga negara non-anggota (negara nya tidak merupakan
anggota bagian dari konvensi paris) juga berhak atas perlindungan di bawah
Konvensi Paris asalkan mereka memiliki perusahaan industri atau
komersial yang ada di negara yang melakukan kontrak.

(2.) Hak Prioritas

Konvensi Paris (pasal 4 ) menerapkan prinsip first come first served


(siapa cepat dia dapat) terhadap Paten, Merek Dagang, dan Desain Industri.
Klaim kekayaan intelektual pertama yang diajukan di negara anggota lebih
diutamakan daripada pengajuan di masa mendatang yang dibuat di negara
anggota lainnya. Dengan demikian, pemohon dapat mengajukan permohonan
perlindungan kekayaan intelektual di negara anggota lainnya dengan
menggunakan tanggal pengajuan pertama. Akan tetapi, ketentuan pengajuan
tersebut hanya berlaku dalam jangka waktu tertentu (12 bulan sejak pengajuan
pertama untuk paten dan model utilitas, serta 6 bulan untuk desain industri dan
merek dagang).

Pada saat itu, ketentuan ini sangat membantu dikarenakan perlindungan


kekayaan intelektual masih bersifat teritorial secara luas. Perlindungan kekayaan
intelektual hanya memiliki yurisdiksi di beberapa negara, di dalam serikat
pekerja, ataupun didalam perjanjian regional lainnya. Oleh karena itu untuk
memudahkan negara anggota, pemohon dapat menggunakan ketentuan ini untuk
memanfaatkan waktu untuk mengajukan perlindungan di beberapa yurisdiksi
tanpa tekanan membuat beberapa aplikasi secara bersamaan.

(3.) Aturan Umum

Konvensi Paris menguraikan beberapa aturan umum yang harus diikuti oleh
negara-negara anggotanya yang antara lain yakni sebagai berikut:

 Terhadap ciptaan yang diberikan Paten, meskipun penemuan nya sama,


paten diberikan untuk masing-masing negara anggota. Pemberian paten
di satu negara peserta tidak mewajibkan negara peserta lainnya untuk
memberikan paten atas ciptaan tersebut.

 Apabila terhadap suatu ciptaan negara anggota diberikan, dibatalkan,


ataupun di tolak Paten nya, hal tersebut tidak mempengaruhi status paten
tersebut di negara lain. Disamping itu, penemu juga memiliki hak untuk
disebutkan namanya dalam paten yang diberikan.

 Terhadap ciptaan yang diberikan Merek Dagang, persyaratan


pendaftaran merek dagang tersebut tidak diatur dalam Konvensi Paris.
Setiap negara anggota harus menentukan pedomannya sendiri
berdasarkan undang-undang setempat. Merek yang telah terdaftar harus
beroperasi secara independen tanpa pengaruh yang tidak semestinya dari
negara anggota lainnya. Selain itu, negara anggota tidak dapat menolak
untuk mendaftarkan merek karena merek tersebut tidak terdaftar di
negara asalnya. Akan tetapi, pendaftaran merek dapat ditolak dalam
kondisi-kondisi tertentu, misalnya di mana aplikasi merek didahului oleh
klaim yang ada secara lokal atau melanggar hak pihak ketiga.

B.) Konvensi Berne (Bern Convention)

Dibentuk untuk mengikuti langkah Konvensi Paris yang menetapkan perlindungan


internasional atas kekayaan intelektual berupa Paten, Merek, dan Desain Industri pada
tahun 1883, Konvensi Berne (Berne Convention) tentang Perlindungan Karya
Seni dan Sastra merupakan persetujuan internasional mengenai hak cipta yang
dibentuk di Bern, Swiss, pada tahun 1886

Sebelum diterapkannya Konvensi Bern, undang-undang hak cipta biasanya


hanya berlaku bagi karya yang diciptakan di dalam negara bersangkutan.
Ketentuan tersebut mengakibatkan suatu ciptaan yang diterbitkan di suatu negara oleh
warga negara yang bersangkutan, dapat disalin dan dijual oleh siapapun di negara lain.
Sebagai contoh misalnya ciptaan yang diterbitkan di London oleh seorang warga
negara Inggris dilindungi hak ciptanya di Britania Raya, dapat disalin dan dijual oleh
siapapun di Swiss, demikian pula sebaliknya.

Konvensi Bern mewajibkan negara-negara anggota untuk melindungi hak


cipta dari karya-karya para pencipta dari negara-negara lain yang ikut
menandatanganinya, dimana seolah-olah mereka adalah warga negaranya sendiri.
Artinya, undang-undang hak cipta Prancis berlaku untuk segala sesuatu yang
diterbitkan atau dipertunjukkan di Prancis, tak peduli di mana benda atau barang itu
pertama kali diciptakan

Terkait perlindungan hak cipta dalam Konvensi Bern, disebutkan bahwa semua
karya (kecuali berupa fotografi dan sinematografi) akan dilindungi sekurang-
kurangnya selama 50 tahun setelah si pembuatnya meninggal dunia. Tetapi, masing-
masing negara anggota bebas untuk memberikan perlindungan untuk jangka
waktu yang lebih lama. Untuk fotografi, Konvensi Bern menetapkan batas mininum
perlindungan selama 25 tahun sejak tahun foto itu dibuat, dan untuk sinematografi
batas minimumnya adalah 50 tahun setelah pertunjukan pertamanya, atau 50 tahun
setelah pembuatannya apabila film itu tidak pernah dipertunjukan dalam waktu 50
tahun sejak pembuatannya.

Konvensi Bern memuat tiga prinsip dasar yang wajib diterapkan oleh negara
anggota nya dalam perundang-undangan nasional nya, dimana ketiga prinsip tersebut
yakni:

 Prinsip National Treatment mewajibkan kepada setiap negara anggota untuk


memberikan perlindungan hukum terhadap ciptaan yang dibuat oleh negara
anggota lainya
 Prinsip Automatic Protection mewajibkan kepada setiap negara anggota untuk
memberikan perlindungan hukum atas ciptaan tersebut secara langsung tanpa
harus memenuhi syarat apapun
 Prinsip Independence of Protection mewajibkan kepada setiap negara anggota
untuk memberikan perlindungan hukum atas ciptaan tersebut tanpa harus
bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta

C.) United International Bureaux for the Protection of Intellectual Property / BIRPI
(Biro Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual
Perlu diketahui sebelumnya bahwa untuk mengawasi dapat diterapkannya
Konvensi Paris & Konvensi Bern secara optimal, pembuatan 2 konvensi tersebut
disertai juga dengan dibentuknya masing-masing badan untuk mengurus tugas
administrasi. Pada tahun 1893, kedua badan yang dibentuk berdasarkan amanat
dari Konvensi Paris dan Konvensi Bern tersebut bersatu menjadi Biro
Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual (BIRPI) di Bern.
Pada tahun 1960, BIRPI berpindah dari Bern ke Jenewa agar lebih dekat ke PBB dan
organisasi-organisasi internasional lain di kota tersebut. Kemudian, pada tahun 1967
dengan dikeluarkannya WIPO Convention pada 14 Juli 1967, BIRPI berganti
nama menjadi WIPO

WIPO merupakan salah satu badan khusus PBB yang secara resmi dibentuk pada tahun
1967 dengan dikeluarkannya Konvensi WIPO. Berdasarkan pasal 3 konvensi ini,
disebutkan bahwa WIPO dibentuk dengan tujuan untuk melakukan promosi atas
perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HKI) ke seluruh dunia. Sebelumnya,
WIPO bernama Biro Internasional Bersatu untuk Perlindungan Kekayaan Intelektual
(BIRPI) yang didirikan pada tahun 1893 untuk mengawasi Konvensi Bern dan Konvensi
Paris. WIPO dibentuk untuk mewadahi dua konvensi klasik HKI yaitu Konvensi Paris
1883 tentang Perlindungan Hak atas Kekayaan Industri dan konvensi Bern tahun 1886
tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra

2.) GATT  World Trade Organization (WTO)

Selain kedua konvensi tersebut dan dibentuknya organisasi Internasional WIPO,


terdapat peraturan lain di bidang HKI dalam lingkup Internasional yakni Perjanjian Tarif
& Perdagangan Dunia (General Agreement of Tariffs and Trade / GATT). Secara singkat,
GATT merupakan sebuah perjanjian multilateral yang menentukan aturan-aturan
bagi pelaksanaan perdagangan Internasional. GATT secara resmi dibentuk melalui
kesepakatan 23 negara pada 30 Oktober 1947 di Jenewa, Swiss. Terdapat beberapa latar
belakang dibentuknya GATT yang antara lain yakni sebagai berikut:

 GATT dibuat agar negara-negara di dunia dapat membahas permasalahan yang terjadi
dalam perdagangan Internasional serta memberikan solusi atas permasalahan tersebut
 GATT dibuat agar negara-negara di dunia dapat saling bekerja sama untuk mengatasi
krisis dalam negeri serta untuk dapat melakukan negosiasi terhadap perdagangan
bebas Internasional. Hal ini menjadi latar belakang lantaran setelah Perang Dunia II
berakhir, keadaan sosial, politik, dan ekonomi menjadi kacau

GATT menerapkan beberapa prinsip utama untuk mencapai tujuannya yang antara lain
yakni sebagai berikut:

 Prinsip Most Favoured Nations (MFN), yaitu prinsip non-deskriminatif dalam


menjalankan perdagangan internasional
 Prinsip National Treatment, yaitu prinsip yang mengatur produk hasil impor harus
diperlakukan sama dengan produk dalam negeri
 Prinsip Transparansi, yaitu prinsip keterbukaan antar negara anggota GATT
 Prinsip Non Tariff Measures, yaitu negara anggota GATT hanya diperbolehkan
untuk melindungi produk dalam negeri dengan meningkatkan bea masuk produk
impor
 Prinsip Quantitative Restriction, yaitu negara anggota GATT tidak diperbolehkan
melakukan pembatasan quota terhadap perdagangan internasional. 1

Pada tahun 1994, GATT mengalami perubahan besar-besaran dengan diadakannya


Putaran Uruguay (Uruguay Round). Uruguay Round merupakan perundingan yang
dilakukan di Uruguay pada tahun 1986-1994, dimana perundingan tersebut membahas
terkait perjanjian tarif dan perdagangan dunia (General Agreement of Tariffs and
Trade / GATT). Terdapat beberapa perubahan besar setelah diadakannya Putaran Uruguay,
dimana perubahan tersebut diantaranya yakni:

A.) Digantikan nya peran & fungsi GATT oleh World Trade Organization (WTO) yang
dibentuk pada 1 Januari 1995

B.) Dihasilkannya beberapan perjanjian perdagangan yang tercakup di dalam perjanjian


pembentukan WTO yakni sebagai berikut:

(1) Annex 1 yang terdiri atas tiga annex lainnya yakni sebagai berikut:

 Annex 1A tentang General Agreement on Tariff and Trade (GATT)


 Annex 1B tentang General Agreement on Trade in Service (GATS)
 Annex 1C tentang Trade Related of Intellectual Property Rights (TRIPs)

Perjanjian TRIPs ini mulai berlaku di Indonesia sejak diratifikasi


melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Adapun prinsip-prinsip
HKI dalam perjanjian TRIPs yang dikeluarkan oleh WTO tersebut diantaranya
yakni sebagai berikut:

 Prinsip Free to Determine, yakni ketentuan yang memberikan


kebebasan kepada para anggotanya untuk menentukan cara yang
dianggap paling sesuai dalam menerapkan ketentuan yang tercantum
di dalam Perjanjian TRIPs-WTO kedalam sistem hukum mereka
 Prinsip Intellectual Property Convention, yakni ketentuan yang
mengharuskan para anggotanya untuk menyesuaikan peraturan

1
GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan (1996)
perundang-undangan di negara masing-masing dengan berbagai
konvensi Internasional di bidang HKI.
 Prinsip National Treatment, tertuang dalam pasal 3 perjanjian yang
mengharuskan para anggotanya untuk memberikan perlindungan
HKI yang sama antar warga negara nya sendiri dengan warga negara
anggota lain. Terdapat beberapa pengecualian dalam penerapan prinsip
ini, dimana pengecualian-pengecualian tersebut diatur dalam Konvensi
Paris, Konvensi Bern, Konvensi Roma, dan IPIC Treaty Washington
1989
 Prinsip Most Favour Nation, tertuang dalam pasal 4 perjanjian yang
mengharuskan para anggotanya untuk memberi perlindungan HKI
yang sama terhadap seluruh anggotanya.
 Prinsip Exhaustion, yakni mengatur terkait penyelesaian sengketa HKI
berdasarkan Perjanjian TRIPs-WTO

(2) Annex 2 tentang Integrated Disputed Settlement Understanding (DSU)


(3) Annex 3 tentang Trade Policy Review Mechanism (TPRM)
(4) Annex 4 yang terdiri dari hal-hal lainnya yakni sebagai berikut:
 Civil Aircraft Agreement
 The Government Procurement Code
 The Dairy Arrangement
 The Bovine Meat Arrangement

D. Hubungan WIPO, WTO, dan Perjanjian TRIPs

Apabila ditinjau dari keorganisasian, WIPO dan WTO tidak memiliki hubungan hukum
sama sekali. Pengaturan HKI yang diatur dalam Perjanjian TRIPs (Trade Related of Intellectual
Property Rights) dibawah payung hukum WTO lebih lengkap dibandingkan dengan yang
diatur WIPO. Hal ini dikarenakan WTO selain meliputi Konvensi Bern & Konvensi Paris, juga
mengadaptasi Konvensi Roma (International Convention for the Protection of Performers
of Phonograms and Broadcasting Organization) & Traktat WIPO tentang Sirkuit Terpadu
(Treaty on Intellectual Property in Respect of Integrated Circuit / IPIC Treaty).

Perjanjian TRIPs selain mewajibkan kepada seluruh negara anggota untuk mengakui 3
konvensi dasar HKI yang telah ada sebelumnya (Paris Convention, Bernen Convention, &
Washington Treaty), juga memberlakukan 3 prinsip dasar bagi perlindungan semua jenis
HKI dimana ketiga prinsip dasar tersebut yakni sebagai berikut:

 Prinsip National Treatment, yakni seluruh negara anggota diharuskan untuk


memberikan perlindungan HKI dan perlakuan yang sama baik kepada warga negara
sendiri ataupun warga negara asing (Pasal 3 TRIPs)
 Prinsip Most Favoured Nationi, yakni dalam perlindungan HKI yang memberlakukan
setiap keringanan, keistimewaan, dan hak untuk didahulukan atau pengecualian yang
diberikan oleh satu negara anggota juga akan diberikan langsung dan tanpa syarat kepada
negara anggota yang lainnya (Pasal 4 TRIPs)
 Prinsip Minimal Standart, yakni perjanjian TRIPs telah menetapkan standard
minimal yang harus dipatuhi dalam pengaturan HKI pada hukum nasional masing-
masing negara anggota (seperti ruang lingkup perlindungan, jangka waktu perlindungan,
prosedur perolehan hak dan pemanfaatan HKI)

TRIPs juga menentukan standar minimum masa perlindungan bagi tujuh bidang HKI,
dimana standar-standar tersebut antara lain yakni sebagai berikut:

 hak cipta : masa perlindungannya adalah 50 tahun setelah diterbitkan atau sepanjang hidup
pencipta ditambah 50 tahun
 fotografi 25 tahun
 sinematografi 50 tahun sejak diumumkan
 merek dagang : selama 7 tahun
 indikasi geografis : selama ciri barang masih ada dalam barang yang bersangkutan
 desain produk industri : minimum 10 tahun
 paten : 20 tahun sejak filing date
 desain rangkaian listrik terpadu : 10 tahun sejak filing date
 informasi tertutup/Rahasia dagang : selama informasi tersebut dianggap/bersifat tertutup

Disamping itu, TRIPs juga menawarkan sistem penyelesaian sengketa HKI apabila terjadi
persoalan diantara negara anggota dengan menyediakan Lembaga Penyelesaian Sengketa /
DSB (Dispute Settlement Body). Adapun DSB adalah lembaga yang diberikan kewenangan
oleh WTO untuk melakukan penyelesaian sengketa dan mempunyai fungsi untuk menjaga agar
tiap anggota selalu menghormati hak & kewajiban masing-masing sesuai dengan perjanjian.
Bagi negara anggota yang ingin menjadi pihak dalam sistem penyelesaian sengketa HKI harus
memenuhi beberapa syarat yang antara lain yakni sebagai berikut:
 Kedua belah pihak wajib mematuhi prosedur penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh
WTO
 Kedua belah pihak dilarang menentukan cara penyelesaian pelanggaran kecuali
berdasarkan prosedur yang ditentukan WTO
 Kedua belah pihak dilarang melakukan tindakan balasan sepihak kecuali atas dasar putusan
DSB

E. Indonesia & Perkembangan TRIPs Melalui DDA (Doha Development Agenda)

Agar Perjanjian TRIPs selalu berkembang mengikuti kebutuhan-kebutuhan negara anggota,


WTO mengadakan pertemuan rutin untuk para menteri negara anggota, dimana
pertemuan rutin tersebut dinamanakn Konferensi Tingkat Menteri (KTM). Pada
pertemuan ke-4 KTM atau yang lebih dikenal dengan Doha Development Agenda (DDA), telah
dihasilkannya suatu deklarasi bernama Deklarasi Doha. Pokok permasalahan yang dibahas
pada DDA tersebut yakni isu pembangunan kepentingan negara berkembang (developing
countries) dan negara terbelakang (least developed countries). Sedangkan isu didalam DDA
yang terkait dengan perjanjian TRIPs diantaranya yakni TRIPs and Public Health,
Geographical Indications (GI), serta TRIPs and Convention on Biological Diversity (TRIPs
and CBD). Adapun penjelasan atas ketiga isu tersebut yakni sebagai berikut:

1.) TRIPs and Public Health

Pada Konferensi ke-4 (DDA) tersebut, dihasilkan suatu deklarasi bernama Declaration
on the TRIPs Agreement and Public Health. Deklarasi tersebut merupakan bentuk
interpretasi dan implementasi perjanjian TRIPs dalam mendukung kesehatan masyarakat di
berbagai negara. Bentuk dukungan tersebut yakni dengan mendukung akses kepada
berbagai jenis obat yang diperlukan untuk kesehatan masyarakat, serta terhadap penemuan
berbagai macam obat baru.

Terhadap deklarasi tersebut, keputusan yang diambil yakni negara anggota sepakat
untuk melakukan perubahan pada Article 31 TRIPs Agreement serta mengeluarkan
Protocol Amending the TRIPs Agreement, disamping itu, negara anggota juga diwajibkan
untuk menyampaikan notification of acceptance atas protocol tersebut. Sebagai bentuk
implementasi deklarasi tersebut, Indonesia telah menggunakan fleksibilitas Compulsory
License (lisensi wajib) melalui Keppres Nomor 83 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan
Paten oleh Pemerintah terhadap obat-obat antiretroviral (ARV)

2.) Geographical Indications (GI)

Isu kedua dalam DDA yakni terkait dengan GI Register & GI Extension. Isu ini dibahas
dalam DDA dikarenakan negara Uni Eropa ingin meningkatkan proteksi untuk wines and
spirits (minuman beralkohol) melalui GI Register, serta ingin mendorong perluasan GI
tidak terbatas pada wines and spirits melalui GI Extension.

3.) TRIPs and Convention on Biological Diversity (TRIPs and CBD)

Convention on Biological Diversity (Konvensi Keanekaragaman Hayati) merupakan


perjanjian internasional yang dibuat dengan tujuan untuk melakukan konservasi terhadap
keanekaragaman hayati serta dilakukannya pemanfaatan terhadap komponen
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Salah satu hubungan antara perjanjian
TRIPs yang membahas seputar kekayaan intelektual dengan keanekaragaman hayati
adalah Biopiracy (Pembajakan hayati).

Biopiracy adalah perampasan dan monopoli pengetahuan pengobatan dan


pertanian yang telah lama tentang alam dan sumber daya fisik terkait. Istilah ini
menggambarkan cara perusahaan multinasional dari negara industri mengklaim
kepemilikan, tumpangan gratis, atau mengambil keuntungan yang tidak adil dari
pengetahuan tradisional dan sumber daya keanekaragamana hayati terkait. Biopiracy
dapat juga didefinisikan sebagai “penggunaan komersial tanaman dan PT tanpa
kompensasi, atau pengakuan akan masukan intelektual sebelumnya atas peningkatan
tanaman atau kreasi PT atas penggunaan tanaman, atau tanpa persetujuan berdasarkan
informasi dari pemilik tanaman atau praktisi PT atas tanaman itu”.

Isu biopiracy menjadi salah satu isu kekayaan intelektual dikarenakan dua pandangan.
Pandangan pertama menilai bahwa sumber daya genetik merupakan warisan
bersama umat manusia, oleh karena nya sumber daya genetik dapat diakses negara mana
pun tanpa harus memberi pembagian keuntungan (sharing benefit). Pandangan kedua
menilai bahwa setiap negara berdaulat atas sumber daya genetik dan hak-hak sui
generis dari negara sumber penghasilnya atas kekayaan intelektual atas tanaman,
gen, dan bioteknologi. Negara pengguna sumber daya genetika tersebut wajib memastikan
pembagian keuntungan (benefit sharing) serta memastikan tradisi, akar budaya, dan
lingkungan sumber daya genetika tersebut terpelihara dengan baik.

Salah satu kasus dimana negara maju menerapkan pembagian keuntungan (Sharing
Benefit) terhadap pemanfaatan keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh negara
berkembang adalah kasus pematenan ramuan tradisional Indonesia oleh Perusahaan
Shiseido di Jepang melalui Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair
and Equitable Sharing of Benefits Arising from Their Utilization to the Convention on
Biological Diversity (Protokol Nagoya tentang Akses pada Sumber Daya Genetik dan
Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya atas
Konvensi Keanekaragaman Hayati). Adapun contoh beberapa kasus biopiracy diantaraya
yakni:

 Insiden pengambilan sampel virus flu burung oleh Shwan Smallman di Indonesia
 Tindakan paten yang dilakukan oleh USDA & MNC WR Grace terhadap tanaman
neem (Azadirachta Indica) milik masyarakat India
 Tindakan paten yang dilakukan oleh US Patent and Trademark Office (USPTO)
terhadap beras bulir Basmati milik masyarakat India
 Pencurian ribuan varietas padi India oleh perusahaan biotek Syngenta
 Pencurian kandungan beri yang terdapat dalam pohon brazzein milik masyarakat
Afrika oleh AS

F. HKI Sebagai Hak Kebendaan


Dddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddd
ddddddddd

G. Cabang / Ruang Lingkup HKI

Dengan mengacu kepada TRIPs Agreement (Pasal 9 sampai 40) yang dibuat oleh WTO,
secara umum pokok perlindungan HKI dibagi menjadi sebagai berikut:

 Hak Cipta (Copyrights & Related Rights)


 Merek Dagang (Trademarks)
 Indikasi Geografis (Geographical Indications)
 Desain Industri (Industrial Design)
 Paten (Patent)
 Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Design of Integrated Circuits)
 Informasi yang Dirahasiakan / Rahasia Dagang (Undisclosed Information / Trade
Secret)
 Pengendalian Praktik-praktik Persaingan Curang dalam Perjanjian Lisensi

Di indonesia sendiri, pengelompokkan perlindungan HKI tersebut hanya dikelompokkan


kedalam 2 kategori, yakni Hak Cipta & Hak Kekayaan Industri (meliputi Paten, Merek, Desain
Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, dan Varietas Tanaman). Berikut
ini merupakan ringkasan perkembangan peraturan perundang-undangan nasional di
bidang Hak Kekayaan Intelektual:

No. Jenis Hak Kekayaan Peraturan Perundang-Undangan


Intelektual

 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 1912


 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982
1. Hak Cipta  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987
 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997
 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

 Undang-Undang Paten Tahun 1910


 Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.S. 5/41/4
tentang Pengajuan Sementara Permintaan Paten Dalam
Negeri
2. Paten  Pengumuman Menteri Kehakiman No. J.G.1/2/17
tentang Pengajuan Sementara Permintaan Paten Luar
Negeri
 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989
 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997
 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001

 Undang-Undang Merek Tahun 1884


 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961
3. Merek  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992
 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997
 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
4. Desain Industri Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000
5. Desain Tata Letak Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000
Sirkuit Terpadu
6. Rahasia Dagang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000
7. Perlindungan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000
Varietas Tanaman

H. Konvensi Internasional di Bidang HKI yang Sudah di Ratifikasi

Terdapat 7 konvensi Internasional dalam lingkup HKI yang telah mendapat pengesahan dari
pemerintah RI. Ketujuh konvensi tersebut diantaranya yakni sebagai berikut:

 WTO dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994


 Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention
of Establishing the World Intellectual Property Organization) dengan Keppres Nomor 15
Tahun 1997
 Patent Cooperation Treaty (PCT) atau traktat kerja sama paten dengan Keppres Nomor 16
Tahun 1997
 Trademark Law Treaty atau perjanjian hukum merek dagang dengan Keppres Nomor 17
Tahun 1997
 Konvensi Bern (Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Works) dengan
Keppres Nomor 18 Tahun 1997
 WIPO Copyright Treaty dengan Keppres Nomor 19 Tahun 1997
 WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPPT) dengan Keppres Nomor 74 Tahun
2004

Terkait urutan Instrumen Hukum Internasional dalam ranah HKI tersebut dapat dilihat dalam
tabel sebagai berikut:

Perjanjian Internasional dalam bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual

Tahu HKI Umum Hak Cipta Merek Dagang Paten Desain


n Industri

1883 Paris
Convention
1886 Berne
Convention
1891 Madrid Treaty
Hague
1934 Treaty
(Design)
Universal
1952 Copyright
Convention
1957 Trademark
Classification
1958 Lisbon Treaty
1961 Rome
Convention
WIPO
1967 Establishment
Convention
Paten
Cooperation
1970 Treaty
(PTC)
Trademark
Treaty
1994 WTO Treaty /
TRIPs
WIPO
1996 Performances &
Phonograms
Treaty
1997 WIPO
Copyright
Treaty

I. Penegakkan HKI

Yang dimaksud dengan Penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah segala
aktivitas yang berkaitan dengan pelaksanaan/pemanfaatan HKI itu sendiri (seperti
membuat, menggunakan, menjual, memasarkan, mengimpor, menyewakan, menyerahkan,
menyediakan untuk dijual, disewakan, ataupun diserahkannya produk yang telah diberikan
HKI). Apabila dilihat berdasarkan kegiatan yang dapat dilakukan terhadap barang yang telah
diberikan HKI, dapat dikatakan bahwa HKI sesungguhnya merupakan instrumen
perdagangan. Hal ini dikarenakan pemberian Hak Monopoli terhadap barang yang telah
dikenakan HKI hanya diberikan terbatas kepada pemilik/pemegang hak yang
bersangkutan, sehingga hak monopoli tersebut hanya memberikan keuntungan kepada
pemilik/pemegang nya. Kebebasan untuk melakukan hak monopoli tersebut berlaku untuk
pelaku baik di dalam ataupun luar negeri. Dengan kegiatan yang dapat dilakukan atas hak
monopoli terhadap barang yang telah dikenakan HKI tersebut, dapat diketahui juga bahwa HKI
juga bertujuan untuk meningkatkan perlindungan & penegakan hukum di bidang HKI
dalam kaitannya dengan perdagangan barang & jasa, serta memperketat aturan terkait
barang-barang palsu.

Ketentuan terkait HKI yang tercantum dalam Perjanjian TRIPs mewajibkan terhadap seluruh
negara anggota (telah menandatangani & meratifikasi konvensi tersebut) untuk mematuhi
Persetujuan TRIPs. Meskipun demikian, dalam hal ini WTO selaku organisasi yang
mengundangkan TRIPs memberikan kebebasan terhadap negara anggota untuk menentukan
cara-cara penerapan HKI sesuai dengan praktek dan sistem hukum di negara masing-masing.
Dalam hal ini, perjanjian TRIPs memberikan pilihan hukum (legislative choice) yang dapat
menjadi peluang bagi negara berkembang maupun negara kurang maju untuk mewujudkan
perundang-undangan di bidang HKI yang sesuai dengan kebutuhannya. Dikarenakan adanya
Legislative Chocie tersebut, pelanggaran HKI dapat pula ditangani secara berbeda-beda di
masing-masing negara berdasarkan regulasi yang berlaku di negara tersebut. Adapun contoh
penyelesaian pelanggaran HKI di beberapa negara yakni sebagai berikut:

Negara Jenis Tindakan


Perdata : ganti rugi
Penetapan Sementara Pengadilan : Penghentian produksi untuk
Indonesia sementara waktu
Pidana : Pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau dengan
maksimal 500 Juta
USA Perdata : ganti rugi
Australia Perdata : ganti rugi
Singapore Perdata : ganti rugi
Malaysia Perdata : ganti rugi

Di Indonesia, sengketa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat diselesaikan melalui 4


jalur, yakni melalui jalur Litigasi (Perdata, Pidana, dan Penetapan Sementara
Pengadilan) serta penyelesaian melalui jalur Non Litigasi (Arbitrase & APS). Adapun
penjelasan atas penyelesaian sengketa HKI tersebut yakni sebagai berikut:

1.) Penyelesaian Sengketa HKI melalui Jalur Perdata

Dalam jalur perdata, ruang lingkup sengketa HKI yang dapat diselesaikan antara lain
yakni sebagai berikut:

a.) Sengketa HKI yang berkaitan dengan pembatalan suatu paten, dimana penyelesaian
atas sengketa ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yakni batal demi hukum & dapat
dibatalkan. Adapun penjelasan atas cara untuk menyelesaikan sengketa paten tersebut
yakni sebagai berikut:
 Batal Demi Hukum, terjadi karena pemegang HKI tidak membayar biaya
tahunan HKI Paten. Apabila suatu sengketa HKI dinyatakan Batal Demi
Hukum, maka tidak perlu adanya pengajuan gugatan. Dalam hal ini Putusan
langsung dilakukan oleh Direktorat Jendral (Dirjen) HKI.

 Dapat Dibatalkan, terjadi karena adanya pembatalan atas dasar permohonan


yang diajukan oleh pemegang HKI ataupun pihak lain. Dalam hal ini pihak-
pihak yang terlibat membuat gugatan yang kemudian akan diajukan kepada
Pengadilan Niaga. Substansi atas gugatan tersebut didasarkan dengan alasan-
alasan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan (ex: tidak
dipenuhinya persyaratan substantif yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan untuk dapat diberikannya HKI tertentu, telah diberikannya HKI yang
serupa kepada pihak lain, lisensi wajib tidak efektif mencegah kerugian
kepentingan masyarakat, dan sebagainya).

b.) Sengketa terkait pemberian HKI terhadap seseorang yang tidak berhak & seseorang
yang telah melanggar hak & kewajiban yang telah ditentukan bagi pemegang HKI

Terhadap sengketa ini, Pengadilan Niaga diwajibkan untuk mengambil keputusan


dalam jangka waktu 180 hari sejak tanggal gugatan. Terhadap putusan
Pengadilan Niaga hanya dapat dilakukan upaya hukum kasasi. Putusan kasasi
harus pula diucapkan paling lama 180 hari setelah tanggal berkas perkara kasasi
diterima oleh Mahkamah Agung

2.) Penyelesaian Sengketa HKI melalui Jalur Pidana

Dalam jalur pidana, ruang lingkup sengketa HKI yang dapat diselesaikan antara lain
yakni sebagai berikut:
a.) sengaja melanggar hak pemegang HKI (membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,
menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau disewakan) suatu
barang tanpa seijin pemegang HKI
b.) sengaja tidak memenuhi hak dan kewajibannya (menjaga kerahasiaan termasuk pegawai
Ditjen HKI).

3.) Penyelesaian Sengketa HKI melalui Penetapan Sementara Pengadilan Niaga

Penetapan Sementara merupakan Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga


untuk menghentikan sementara segala kegiatan seseorang yang diduga telah
melanggar hak-hak pemegang HKI. Dasar hukum penjatuhan Penetapan Sementara
oleh Pengadilan Niaga diatur dalam Perma Nomor 5 Tahun 2012. Permohononan
Penetapan Sementara dilakukan dengan tujuan untuk mencegah berlanjutnya
pelanggaran serta mencegah terjadinya penghilangan barang bukti. Untuk dapat
dikabulkannya permohonan Penetapan Sementara, pemohon harus dapat mengajukan
bukti bahwa pemohon adalah pihak yang berhak atas HKI tersebut. Dalam jangka waktu
30 hari Pengadilan harus telah menetapkan sikap atas permohonan itu (mengubah,
membatalkan atau menguatkan permohonan).

4.) Penyelesaian Sengketa HKI melalui jalur Non Litigasi (Arbitrase & APS)

Selain itu diatur pula bahwa untuk gugatan, penyelesaian sengketa bisa menggunakan
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Meskipun telah adanya regulasi yang memberikan perlindungan terhadap Kekayaan


Intelektual, adanya penegak hukum yang memadai, serta regulasi yang mengatur terkait
mekanisme penyelesaian sengketa HKI, persoalan pelanggaran HKI di Indonesia masih menjadi
perhatian banyak kalangan, baik di dalam maupun luar negeri. Sebagai contoh Indonesia telah
menjadi langganan tetap dari USTR 301 Priority Watch List USA, yakni suatu indikator
yang disusun oleh Departemen Perdagangan USA atas pelanggaran-pelanggaran HKI USA di
negara-negara dunia. Meskipun Indonesia telah membentuk 7 Undang-Undang di bidang HKI,
namun dalam penegakan hukum masih tidak konsisten. Beberapa razia dan tindakan hukum
yang dilakukan masih bersifat sporadis dan tidak ada tindak lanjutnya. USTR 301 tidak hanya
sekedar daftar yang bersifat pesan moral belaka, kebijakan ini dapat menyebabkan USA
menjatuhkan embargo perdagangan (pelarangan perniagaan dan perdagangan dengan sebuah
negara) apabila negara tertentu yang masuk dalam daftar Priority Watch dianggap telah
melampaui ambang batas toleransi yang mereka tetapkan

Beberapa bentuk pelanggaran HKI di dalam negeri yang masih marak terjadi diantaranya
yakni penggandaan tanpa izin software komputer ataupun pembajakan & pemalsuan produk
musik & film dalam kepingan VCD ataupun film dalam kepingan DVD. Salah satu faktor
maraknya pelanggara HKI tersebut dikarenakan belum adanya persamaan persamaan persepsi
tentang HKI di kalangan penegak hukum. Polisi, jaksa, dan hakim sering memiliki persepsi
yang berbeda untuk menangani sengketa HKI.

Sebagai salah satu aparat penegak hukum, Polisi (penyidik) memiliki kendala tersendiri
dalam menyelesaikan sengketa HKI. Kendala-kendala tersebut diantaranya yakni:

1.) Dari aspek barang bukti, kendala yang sering dihadapi yakni:

 Tidak adanya tanda identitas pemegang hak yang spesifik pada fisik barang yang
dilindungi HKI (VCD, misalnya)
 Tidak adanya tanda identifikasi mesin/pabrik yang melekat pada fisik barang yang
dilindungi HKI (VCD, misalnya)
 Masalah surat Lisensi yang berasal dari luar negeri sebagian tidak memenuhi syarat
yuridis
 Masalah paralel impor (mengimpor barang yang telah dilindungi HKI-nya di
Indonesia dari luar negeri)
 Barang bukti asli sebagai pembanding terkadang sulit diperoleh penyidik, terutama
apabila pemegang hak jauh dari lokasi penyidik
.
2.) Dari aspek korban / pemegang HKI kendala yang sering dihadapi yakni:

 Korban berdomisili di kota besar, penyidik tersebar di seluruh Indonesia


 Pelapor/korban pada umumnya hanya melihat kasus dari aspek kerugian finansial
sehingga kadang menghambat penyidikan

3.) Dari aspek tersangka kendala yang sering dihadapi yakni:

 Pemasaran produk bajakan oleh produsen/distributor biasanya dilakukan dengan


memanfaatkan pedagang kaki lima sehingga menimbulkan kerawanan sosial
 Tersangka sebagai pengusaha/pedagang pada umumnya memiliki kemampuan
finansial yang kuat, dan selalu berusaha memanfaatkan kemampuannya untuk
menggalang petugas/penyidik
 Tersangka pada umumnya mempunyai kemampuan mobilitas tinggi

4.) Dari aspek penyidik kendala yang sering dihadapi yakni:

 Penyidik masih lemah dalam membedakan produk yang asli (dilindungi HKI) dengan
bajakan
 Penyidik masih merasa kesulitan untuk menghadirkan saksi yang memberikan
“keterangan ahli”, terutama dari Ditjen HKI yang hanya berdomisili di
Jakarta/Tangerang, serta saksi pemegang hak yang sebagian besar berdomisili di kota
besar.
2. Hak Cipta (Copyright)

A. Pengertian, Dasar Hukum, Lingkup Hak Cipta, dan Konsep Perlindungannya


B. ds
C. ds
D. Jenis-Jenis Ciptaan yang Dilindungi
Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014, aplikasi e-hakcipta telah mengelompokkan beberapa jenis karya yang dapat
diberikan perlindungan KI berupa hak cipta dimana karya tersebut antara lain yakni:

1.) Jenis Ciptaan Karya Tulis, yang meliputi:

Sub Jenis Ciptaan Lampiran

Tafsir Sampul dan isi karya lengkap, tertera nama penulis


Terjemahan dalam 1 berkas PDF
Atlas
Biografi
Booklet
Buku
Buku Mewarnai
Buku Panduan/Petunjuk Sampul dan isi karya lengkap dalam 1 berkas PDF
Buku Pelajaran
Buku Saku Pada sampul depan tertera jelas:
Bunga Rampai  Judul karya
Cerita Bergambar  Nama Penulis
Diktat  Penerbit
Dongeng  Edisi
E-Book
Ensiklopedia Isi karya tulis lengkap:
Jurnal  Hak cipta
Kamus  Kata pengantar
Laporan Penelitian  Daftar isi
Majalah  Isi karya tulis
Makalah  Daftar pustaka
Modul  Indeks
Naskah Drama/Pertunjukan
Naskah Film
Naskah Karya Siaran
Naskah Karya Sinematografi
Novel
Karya Ilmiah
Karya Tulis
Karya Tulis (Artikel)
Karya Tulis (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi)
Karya Tulis Lainnya
Komik
Perwajahan Karya Tulis Isi karya lengkap, yang menjelaskan tata letak,
pemilihan jenis huruf, dan komposisi warna pada
karya tulis
Proposal Penelitian Sampul dan isi karya lengkap, tertera nama penulis
dalam 1 berkas PDF
Puisi Satu puisi tertera nama penulis, dalam 1 berkas PDF
Resensi Isi karya tulis lengkap, tertera nama penulis dalam 1
Resume/Ringkasan berkas PDF
Saduran
Sinopsis

2.) Jenis Ciptaan Karya Lainnya, yang meliputi:

Sub Jenis Ciptaan Lampiran

Basis Data Tabel yang menampilkan isi dari basis data tersebut, dan
dihimpun dalam 1 berkas PDF
Kompilasi Ciptaan/Data Isi dari kompilasi ciptaan/data tersebut dalam 1 berkas
PDF
Permainan Video Buku panduan yang menjelaskan cara penggunaan
permainan video/program komputer, lengkap dengan kode
Program Komputer sumber, dihimpun dalam 1 berkas PDF

3.) Jenis Ciptaan Karya Seni, yang meliputi:

Sub Jenis Ciptaan Lampiran

Alat Peraga
Arsitektur
Baliho / Spanduk
Banner
Brosur
Diorama
Flyer
Kaligrafi
Karya Seni Batik
Karya Seni Rupa
Karya Seni Motif Lain
Kolase
Leaflet
Pamflet
Peta
Poset
Seni Gambar / Ilustrasi
Seni Lukis
Seni Pahat / Ukiran
Seni Patung
Seni Terapan
Seni Umum
Sketsa

4.) Jenis Ciptaan Audiovisual, yang meliputi:

Sub Jenis Ciptaan Lampiran

Film/Film Cerita/Film
Dokumenter/Film
Iklan/Film Kartun/
Sinematografi/ Reportase Isi siaran dalam format MP4 atau beberapa screenshot
Karya Siaran Video/ Karya adegan siaran dalam 1 berkas PDF
Siaran Media Televisi dan
Film
Karya Rekaman Video
Isi kegiatan kuliah antara pengajar dan peserta dalam
format MP4 atau beberapa screenshot adegan kuliah
Kuliah dalam 1 berkas PDF.

Apabila hanya berupa audio, agar mendaftarkan


Ciptaan di Sub Jenis Ciptaan Ceramah.

5.) Jenis Ciptaan Karya Drama & Koreografi, yang meliputi:

Sub Jenis Ciptaan Lampiran

Drama Pertunjukan/ Drama Musikal/


Ketoprak/Komedi/ Lawak/Lenong/ Isi rekaman video kegiatan dalam format
Ludruk/Opera/ Pantomim / MP4 atau beberapa screenshot adegan
Sirkus/Sulap/Seni Pertunjukan/Seni kegiatan dalam 1 berkas PDF
Akrobat/ Pewayangan
Koreografi
Pentas Musik Isi pentas musik dalam format MP4 atau
beberapa screenshot adegan pentas musik
dalam 1 berkas PDF
Tari (Sendra Tari) Rekaman video tari dalam format MP4 atau
beberapa screenshot adegan tari dalam 1
berkas PDF atau pola lantai tari dalam 1
berkas PDF

6.) Jenis Ciptaan Karya Fotografi, yang meliputi:

Sub Jenis Ciptaan Lampiran

Fotografi
Potret

7.) Jenis Ciptaan Komposisi Musik, yang meliputi:


Sub Jenis Ciptaan Lampiran

Musik Rekaman musik dalam format MP3 atau not


balok/partitur dalam 1 berkas PDF.
Lagu / Musik dengan teks Rekaman lagu dalam format MP3 atau lirik dengan not
balok/partitur dalam 1 berkas PDF.
Rekaman aransemen dalam format MP3 atau lirik
Aransemen (atau tanpa lirik) dengan not balok/partitur dalam 1
berkas PDF.

8.) Jenis Ciptaan Karya Rekaman , yang meliputi:

Sub Jenis Definisi Lampiran


Ciptaan

Ceramah pidato oleh seseorang di hadapan


banyak pendengar, mengenai suatu
hal, pengetahuan, dan sebagainya
Khutbah pidato (terutama yang menguraikan
ajaran agama) Rekaman suara dalam
Pidato pengungkapan pikiran dalam bentuk format MP3
kata-kata yang ditujukan kepada
orang banyak
Karya Rekaman pengungkapan pikiran dalam bentuk
Suara atau kata-kata
Bunyi

E. Ds
F. Ds
G. Ds
H. ds

3. Paten (Patent)
ds
4. Merek (Trademark) / Indikasi Geografis
ds
5. Desain Industri (Industrial Design)
ds
6. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated Circuit)
ds
7. Rahasia Dagang (Trade Secret)
ds
8. Perlindungan Varietas Tanaman (PVT)
ds
9. Ds
10. Ds
11. Ds
12. ds

Anda mungkin juga menyukai