Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS YURIDIS UU NO.

28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA : JAMINAN


DAN PROTEKSI LEGAL TERHADAP HAK EKSLUSIF PENCIPTA

Laksmi Narasita1, Galuh Santoso2, Sri Bintang Pamungkas3, Annissa Nurmaningrum4

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Ahmad Dahlan

laksmi1900024304@webmail.uad.ac.id

Abstrak

Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya mendapatkan perlindungan hukum dengan cara
mendaftarkannya ke pihak yang berwenang. Perlindungan mengenai Hak Eksklusif yang dimiliki
oleh pencipta merupakan suatu hal yang sangat krusial untuk dilindungi. Hak Eksklusif sendiri
terdiri atas Hak Moral dan Hak Ekonomi yang masing-masing memberikan manfaat bagi
pencipta suatu karya. Hak eksklusif sendiri memiliki rentang waktu tertentu untuk dapat
dimanfaatkan oleh pemegang hak guna menggunakan haknya serta meminimalisir pelanggaran
hak cipta oleh pihak lain. Terjadinya pelanggaran terhadap hak cipta di kalangan masyarakat
kemudian menimbulkan pertanyaan bagaimana hukum di Indonesia memberikan perlindungan
hukum terhadap pencipta dan apa sanksi yang dapat diterapkan terhadap pelanggar tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris dengan pengumpulan data penelitian berupa
literatur terkait dan peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan pokok
permasalahan.

Kata Kunci : Hak Eksklusif, Perlindungan Hukum, Hak Cipta

I. LATAR BELAKANG
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, Hak Kekayaan Intelektual maupun Intellectual
Property Right (IPR) dinyatakan selaku salah satu key factor dalam pengembangan dan
perlindungan hasil ciptaan. Kekayaan intelektual merupakan suatu objek yang tidak mempunyai
bentuk serta merupakan hasil pemikiran manusia yang diutarakan atau diekspresikan melalui
karya ciptaan. Dalam proses pembuatan karya intelektual ini diperlukan suatu keterampilan dan
ilmu untuk menyokong terealisasikannya hasil pemikiran tersebut. Hasil pemikiran yang telah
dituangkan dalam bentuk hasil ciptaan kekayaan intelektual tentu saja memerlukan perlindungan
hukum untuk melindungi pencipta dari berbagai pelanggaran.
Permasalahan mengenai Hak Kekayaan Intelektual telah menjadi persoalan yang serius
untuk disoroti oleh negara-negara berkembang pada khususnya serta negara-negara maju pada
umumnya. Hak atas kekayaan intelektual pada dasarnya mempunyai suatu proteksi terhadap
penafsiran atas apresiasi yang ditujukan kepada karya intelektual seseorang. Adapun apresiasi
terhadap karya tersebut yang kemudian akan memunculkan hak kekayaan intelektual yang baru
lahir jika kapabilitas intelektual seseorang sudah menciptakan suatu hal yang dapat dilihat,
didengar, dibaca, dan digunakan secara praktis.1
Hak Kekayaan Intelektual boleh dikatakan sebagai satu di antara aspek yang memengaruhi
kemajuan ekonomi suatu bangsa. Hak atas kekayaan intelektual dalam kenyataannya ialah hak
yang dialokasikan negara terhadap orang yang menciptakannya dan memiliki karakteristik
khusus dan istimewa.2 Hak cipta adalah satu di antara kekayaan intelektual yang memiliki
cakupan objek yang dilindungi yang terbanyak.3 Adapun yang menjadi cakupan objek yang
dilindungi dalam hak cipta di antaranya ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Konsep proteksi
terhadap kekayaan intelektual termasuk di dalamnya dengan adanya hak cipta diadakan dalam
rangka menjamin hasil pemikiran, akal, serta cetusan atau ekspresi individu yang tertuang pada
sebuah karya.4
Tak sedikit pelanggaran terkait hak eksklusif tentu saja menimbulkan berbagai kerugian
bagi pencipta. Pelanggaran terhadap karya intelektual tersebut tak cuma membuat rugi pencipta

1
Aldo Salmona Willis, ‘Akibat Hukum Dari Pemakaian Merek Yang Memiliki Persamaan Pada Pokoknya Dalam
Putusan Nomor 160K/Pdt.Sus-HKI/2019 Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan
Indikasi Geografis’ (Universitas Pelita Harapan, 2019) <http://repository.uph.edu/id/eprint/7062>.
2
Lovelly Dwina Dahen and Afnan Rasyidi, ‘Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Lisensi Hak Cipta Game Online
Terhadap Pihak Ketiga Sebagai Pembuat Program Modifikasi’, Eksekusi : Journal of Law, 1.2 (2019), 156–80.
3
DJKI, ‘Pengenalan Hak Cipta’ <https://www.dgip.go.id/menu-utama/hak-cipta/pengenalan>.
4
Indriasari Setyaningrum, ‘Perlindungan Hak Eksklusif Pencipta Terkait Hak Moral Dan Hak Ekonomi Dalam
Perjanjian Royalti Dengan Penerbit Buku’ (Universitas Brawijaya, 2014).
selaku pemiliknya saja, tetapi memiliki kaitan pula dengan hak eksklusif berbentuk hak moral
serta hak ekonomi atas karya cipta tersebut. Adapun contoh pelanggaran terhadap karya
intelektual dan hak cipta yang pernah terjadi di Indonesia di antaranya adalah polemik antara
Warkopi yang menggunakan nama sekaligus konten yang identik untuk keperluan komersial
dengan Warkop DKI tanpa seizin Lembaga Warung Kopi Dono Kasino Indri. Pada
kenyataannya, banyak ciptaan atau karya intelektual yang dilindungi oleh peraturan perundang-
undangan. Namun, pada kenyataannya tak jarang terjadi tindak plagiasi atau peniruan yang
dilakukan atas karya intelektual tersebut.

II. PERMASALAHAN

1. Apa saja sumber-sumber hukum yang mengontrol mengenai hak kekayaan intelektual?
2. Bagaimana perlindungan hukum di Indonesia terkait hak eksklusif pencipta dan upaya apa
yang bisa diusahakan apabila terdapat pelanggaran hak cipta?

III. PEMBAHASAN

1. Sumber-Sumber Hukum yang Mengontrol mengenai Hak Kekayaan Intelektual


a. Sumber Hukum Internasional yang Terkait Proteksi akan Kekayaan Intelektual
Makna bahwa manusia sebagai subyek hukum memiliki pengertian bahwa dalam
setiap bidang kehidupan manusia saat ini memiliki ikatan yang erat dengan hukum,
termasuk di dalamnya aspek ciptaan yang membuat manusia memiliki nilai dan manfaat.
Berkaitan dengan perkembangan zaman, tidak dapat kita elak pula bahwa aspek kehidupan
manusia juga ikut berkembang sehingga untuk mengimbanginya maka manusia dituntut
untuk memanfaatkan akal dan pikirannya dalam menciptakan sesuatu.
Seiring dengan semakin berkembangnya ciptaan manusia, maka tak dapat diputus
dari permasalahan yang terikat dengan hak cipta. Hak cipta sendiri memiliki nilai
ekonomis sehingga ketika seseorang meniru karya ciptaan orang lain, maka akan
menimbulkan konflik hukum. Dilatarbelakangi hal tersebut, maka dalam dunia hukum
dikenal hukum terkait hak cipta atau hak kekayaan intelektual. Adapun aturan-aturan
mengenai hak kekayaan intelektual pada ketentuan hukum internasional dapat ditemukan
dalam:
1. Konvensi Berne, perlindungan hak cipta dimulai pada pertengahan abad kesembilan belas
atas dasar perjanjian bilateral, banyak negara di seluruh dunia menyetujui dan mengakui
perjanjian tentang hak kekayaan intelektual, salah satunya adalah Konvensi Berne tahun
1886, Indonesia ikut meratifikasi Perjanjian Berne sebagai negara ke-126. Konvensi ini
dibuat dengan maksud untuk melindungi produk di bidang ilmu pengetahuan, karya seni
dan sastra, dan pada prinsipnya yang paling dilindungi dalam konvensi ini adalah subjek
hukumnya, yaitu pencipta atau pemilik ciptaan. Perlindungan ini mencakup hak
komersial atas pekerjaan, seperti sejumlah uang sebagai kompensasi uang dari pekerjaan
yang dilakukan.
2. Selain Konvensi Berne, yang memuat hak kekayaan intelektual dari banyak perjanjian,
Konvensi Paris dan Konvensi Wina juga mengatur ketentuan yang berkaitan dengan hak
kekayaan intelektual.Konvensi Paris adalah perjanjian yang disetujui di Roma pada tahun
1883 dan banyak amandemennya ketentuan di dalamnya sejak dari tahun 1890 sampai
1979. Konvensi ini lahir dari keprihatinan akan banyaknya penemuan-penemuan baru
yang muncul, namun belum ada peraturan yang mengatur tentang perlindungan terhadap
produk tersebut, imbasnya tertinggal oleh hukum perubahan zaman telah menimbulkan
permasalahan baru yaitu adanya persaingan tidak sehat antar inventor dalam bentuk
plagiarisme dan permasalahan lain yang diperlukan kesimpulan dari kesepakatan
tersebut, Paris Convention sendiri mengatur tentang hak kekayaan intelektual di bidang
persaingan tidak sehat merek, paten, indikasi geografis, rahasia dagang dan desain
industri, ketentuan pokok dari konvensi ini adalah:
1. adanya perlakuan nasional
hak prioritas ke-2
3. dan ketentuan umum HKI
Konvensi wina atau kongres wina merupakan perjanjian awal HKI internasional Bersama
konvensi paris keduanya lahir dari latar belakang dan permaalahan sama yaitu belum
adanya kententuan tentang HKI di seluruh dunia dalam kongres wina inilah terbentuknya
usulan berupa rancangan untuk dibuat sebuah serikat “internasional’’ perlindungan aset
industry

Selain konvensi-konvensi yang dijadikan sebagai sumber hukum internasional, terdapat pula
organisasi internasional yang menangani hak atas kekayaan intelektual yang juga merupakan
sumber hukum internasional, yaitu:

World Intellectual Property Organization (WIPO) merupakan wadah hak kekayaan


intelektual di bidang perdagangan, masyarakat internasional percaya bahwa karya-karya
yang memiliki nilai ekonomi diperdagangkan secara luas melintasi batas-batas
negara,perlu perlindungan hukum dan system perdagangan yang baik dan sangat penting
bahwa organisasi ini dibuat sebagai tempat untuk menyediakan perlindungan itu. Wipo
sendiri adalah badan administrasi khusus di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang di setujui di Stockholm pada tahun 1967, yang mulai berlaku pada tahun
1970 dengan tiga perjanjian besar, yaitu:
1. Melakukan standardisasi perdagangan internasional
2. Kesepakatan tentang pemberian fasilitas untuk menjamin kelancaran hak kekayaan
intelektual di kancah internasional dalam bentuk bantuan pendaftaran, pembinaan dan
perolehan hak
3. Penetapan klasifikasi dalam pengelolaan hak atas kekayaan intelektual.Setelah
berpartisipasi di negara World Trade Organization (WTO) dan sebagai negara peserta
dalam Agreement on Trade Intellectual Property Rights - TRIPs juga mewajibkan
Indonesia untuk meratifikasi WIPO dan Konvensi Berne sebagai bentuk tanggung
jawab Negara Indonesia agar tercipta kesejajaran antara hak kekayaan intelektual
Indonesia dan hak kekayaan intelektual internasional.

Related Intellectual Property Rights-TRIPs Agreement yang pada dasarnya tercipta


akibat negara-negara maju di akhir abad ke-20 merasa perlu adanya perlindungan terhadap
kekayaan Trade intelektual. Secara garis besar, pokok-pokok masalah yang disetujui dalam
TRIPs5 adalah sebagai berikut :
1. Persetujuan ini mempersoalkan tentang kaidah dan etika;
5
Bambang Kesowo, ‘Implementasi Persetujuan TRIPs Dalam Hukum Hak Kekayaan Nasional’ (Bandung, 1996), p.
23.
2. Ketetapan TRIPs menentukan kepatuhan penuh (full compliance) akan kesepakatan
pada aspek hak kekayaan intelektual;
3. Ketetapan TRIPs menempatkan aturan tentang pemeliharaan ketaatan dengan tanpa cela
serta tata cara menyelesaikan permasalahan.

b. Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Terkait Proteksi akan Hak Kekayaan


Intelektual
Pasca berasosiasi sebagai bagian dari World Trade Organization (WTO) di 1994
silam, Indonesia kemudian melakukan penyesuaian sera ratifikasi terhadap berbagai
macam peraturan yang sesuai dengan ketetapan WTO, salah satunya dengan melakukan
perubahan undang-undang yang memiliki kaitan akan hak kekayaan intelektual sehingga
selaras dengan ketentuan TRIPs. Proses penyesuaian dan penerapan ketentuan TRIPs
dimulai pada tahun 1997 di mana pemerintah Indonesia di era kepemimpinan saat itu
melakukan perubahan aturan yang memiliki kaitan dengan hak kekayaan intelektual, yaitu
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1997 tentang Paten, serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek.6
Selain beberapa ketentuan perundang-undangan yang dicantumkan tersebut, terdapat
pula Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di mana regulasi yang ada
mengontrol permasalahan hak cipta. Pada aturan ini pula diatur mengenai proteksi atas
hak cipta dengan tujuan agar masyarakat memiliki dorongan untuk mengembangkan
kreativitas sebanyak-banyaknya. Selaras dengan aturan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 bisa disimpulkan bahwasanya hak cipta ialah kekuasaan khusus dan
dikantongi oleh pereka dan dilimpahkan oleh negara pada aspek ilmu pengetahuan, seni,
dan sastra sekaligus memiliki peran krusial untuk mendorong perkembangan bangsa dan
negara.7

6
Raditya Adi Nugraha, ‘Tarik Menarik Antara Aktor Negara Dan Non Negara Dalam Penerapan Rezim Internasional
Tentang Lisensi Software (Studi Kasus MoU Microsoft-RI)’, 2010.
7
Maya Jannah, ‘Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Dalam Hak Cipta Di Indonesia’, Jurnal Ilmiah
‘Advokasi’, 6.2 (2018), 55–72.
2. Perlindungan Hukum di Indonesia Terkait Hak Eksklusif Pencipta dan Upaya yang
Dapat Diusahakan Apabila Terdapat Pelanggaran Hak Cipta
a. Hak Eksklusif Pencipta dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Pengelola negara Indonesia berusaha agar memberikan proteksi legal bagi pencipta
dengan meregulasikan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta selaku
usaha menciptakan pertanggungan akan hak eksklusif, maka seorang pencipta mampu
untuk mempunyai data-data mengenai pengelolaan hak cipta yang di dalamnya termasuk
pula prosedur untuk mengidentifikasi keaslian karya cipta beserta kode informasi dan kode
akses.8 Persepsi atas timbulnya hak cipta hendaknya menciptakan proteksi hukum atas
ciptaan yang mempunyai format spesifik dan orisinal selaku hasil pemikiran manusia
berdasarkan potensi diri dan kompetensinya. Selaras dengan ketetapan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, hak cipta bisa dikelompokkan hingga dua macam,
yakni Hak Cipta serta Hak Terkait yang berwujud kuasa khusus untuk pelaku pertunjukan,
produser fonogram, serta lembaga penyiaran.
Pada hak cipta pula terdapat ketentuan mengenai hak moral serta hak ekonomi dan
diperuntukkan bagi pencipta beserta ahli warisnya. Konsep hak moral sendiri merupakan
hak seorang pencipta dan bertujuan untuk meminimalisir pelanggaran-pelanggaran akan
karya ciptaannya serta agar memperoleh penghargaan akan karya itu. Sedangkan hak
ekonomi ialah hak pencipta agar memperoleh manfaat ekonomi dari ciptaanya. 9
Berdasarkan konsep hak cipta yang melindungi hasil pemikiran manusia, maka seorang
pencipta yang sekaligus berperan selaku pemilik hak cipta mempunyai kehendak penuh
dalam hal menentukan apakah karya ciptaannya dapat diperbanyak atau tidak. Lebih lanjut,
menurut aturan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta bisa
disimpulkan bahwasanya hak eksklusif ialah kuasa khusus pencipta, maka dari itu tiada
orang selain pencipta yang bisa memanfaatkannya tanpa izin dari pencipta.10
b. Analisis Kasus Pelanggaran Hak Cipta Plagiasi oleh Warkopi

8
Fajar Alamsyah Akbar, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Di Indonesia, JOM Fakultas Hukum, 2014, III.
9
Hendra Tanu Wijaya, ‘Konsep Hak Ekonomi Dan Hak Moral Pencipta Menurut Sistem Civil Law Dan Common Law’,
Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 10.23 (2003), 153–68.
10
Dina Amini and Cahya Putri Arieza, ‘Copyright 101 : Mengenali Hak Cipta Di Indonesia Melalui Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014’, in Pusat Kajian Kekayaan Intelektual FH UNAIR, 2021.
Belakangan ini, nama Warkopi sedang mencuat di kalangan masyarakat Indonesia.
Trio grup ini digawangi oleh tiga pemuda yang bernama Sepriadi, Alfred, dan Alfin yang
memiliki kemiripan fisik dengan tiga lakon Warkop DKI, yaitu Dono, Kasino, dan Indro.
Kemunculan tiga pemuda ini dalam satu grup yang dinamakan Warkopi ini disambut
hangat oleh masyarakat Indonesia sebab dianggap bisa menggantikan kerinduan terhadap
trio grup lawak Warkop DKI. Namun, sayangnya sebagian orang juga mengkritik
kemunculan Warkopi karena dinilai melakukan plagiarisme sekaligus pelanggaran hak
cipta dengan menyalin cara berbusana serta pembawaan karakter Dono, Kasino, dan Indro.
Perlu digarisbawahi bahwasanya Warkop DKI telah mencatatkan mereknya kepada
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) memakai sebutan Warung Kopi Dono
Kasino Indro pada tahun 2004 lalu. Sehingga, pada dasarnya Warkop DKI memiliki hak
eksklusif atas jasa hiburan serta memiliki hak ekonomi atasnya. Tindakan dari Warkopi
yang menyalin trademark Warkop DKI serta membonceng identitas dari Dono, Kasino,
dan Indro pada aktivitas-aktivitas yang komersial dinilai merupakan pelanggaran atas
merek. Hal ini dikarenakan Warkopi memakai merek terdaftar serta mengantongi
kesamaan pada pokoknya atau keseluruhannya.
Selain itu, menurut Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis, maka Warkopi dapat diancam pidana penjara
maksimal 4 tahun bahkan pidana denda sebanyak Rp 2 miliar karena melakukan
pelanggaran hak ekonomi serta melakukan kegiatannya tanpa hak dan/atau tanpa seizin
pencipta atau pemegang hak cipta. Apabila suatu merek terlah terdaftar dan kemudian
terjadi pelanggaran hak cipta, maka dapat digugat untuk mengambil tindakan hukum.
IV. SIMPULAN

Pelaksanaan proteksi legal akan hak cipta dapat timbul terhadap dasar prinsip deklaratif
pasca karya ciptaan diadakan ke bentuk riil sebagaimana ketentuan yang ada. Sehingga, sesuai
ketetapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, hingga demikian proteksi
legal akan karya cipta dapat dilakukan melalui cara mendaftarkannya kepada Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual (DJKI) atau melakukan tuntutan melalui pengadilan bilamana terjadi
kealpaan akan hak cipta tersebut.
Perlindungan hukum terhadap pencipta diwujudkan dengan adanya hak eksklusif di mana
termasuk juga hak moral serta hak ekonomi. Proteksi terhadap pemilik hak cipta ini bermaksud
agar mewujudkan suasana yang sehat agar warga negara dapat mengembangkan potensi dan
kreativitasnya dalam aspek ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Sehingga, jika hak eksklusif
pencipta dilanggar maka pencipta tersebut kemudian dapat mengajukan gugatan untuk
memenuhi dan mengembalikan hak-haknya.
V. REFERENSI

Amini, Dina, and Cahya Putri Arieza, ‘Copyright 101 : Mengenali Hak Cipta Di Indonesia
Melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014’, in Pusat Kajian Kekayaan Intelektual FH
UNAIR, 2021

Bambang Kesowo, ‘Implementasi Persetujuan TRIPs Dalam Hukum Hak Kekayaan Nasional’
(Bandung, 1996), p. 23

Dahen, Lovelly Dwina, and Afnan Rasyidi, ‘Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Lisensi Hak
Cipta Game Online Terhadap Pihak Ketiga Sebagai Pembuat Program Modifikasi’,
Eksekusi : Journal of Law, 1.2 (2019), 156–80

DJKI, ‘Pengenalan Hak Cipta’ <https://www.dgip.go.id/menu-utama/hak-cipta/pengenalan>

Fajar Alamsyah Akbar, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Menurut Pasal 12 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Di Indonesia, JOM Fakultas Hukum,
2014, III

Jannah, Maya, ‘Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Dalam Hak Cipta Di
Indonesia’, Jurnal Ilmiah ‘Advokasi’, 6.2 (2018), 55–72
Kumalasari, Nuzulia, ‘Pentingnya Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Dalam Era
Globalisasi’, Qistie Jurnal Ilmu Hukum, 3.3 (2009), 15

Nugraha, Raditya Adi, ‘Tarik Menarik Antara Aktor Negara Dan Non Negara Dalam Penerapan
Rezim Internasional Tentang Lisensi Software (Studi Kasus MoU Microsoft-RI)’, 2010

Setyaningrum, Indriasari, ‘Perlindungan Hak Eksklusif Pencipta Terkait Hak Moral Dan Hak
Ekonomi Dalam Perjanjian Royalti Dengan Penerbit Buku’ (Universitas Brawijaya, 2014)

Wijaya, Hendra Tanu, ‘Konsep Hak Ekonomi Dan Hak Moral Pencipta Menurut Sistem Civil
Law Dan Common Law’, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 10.23 (2003), 153–68

Willis, Aldo Salmona, ‘Akibat Hukum Dari Pemakaian Merek Yang Memiliki Persamaan Pada
Pokoknya Dalam Putusan Nomor 160K/Pdt.Sus-HKI/2019 Ditinjau Dari Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek Dan Indikasi Geografis’ (Universitas Pelita Harapan,
2019) <http://repository.uph.edu/id/eprint/7062>

Anda mungkin juga menyukai