Juli 2012
Pandecta
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta
Abstract
Human rights is rights inherent by nature in every being is born with a biological
human figure. One of the civil and political rights is the right to profess and practice
their religion from the religion. In Indonesia, freedom of religion under Article 28 E
numbers 1 and 2 of Act of 1945. This research is intended to analyze the policy of
criminalization of blasphemy offense in the Criminal Code and Law No. 1/PNPS/1965?
2) . The result of this study reveals that the offense of blasphemy under Article 156a
of the Penal Code and Article 1 of Law no. 1/PNPS/1965. Article 156a of the Criminal
Code in principle regulate crime of blasphemy in order so that people do not adhere
to any religion, who jointed Belief in God Almighty, while the provisions of Article 1
of Law no. 1/PNPS/1965 governs the interpretation of religion / religious activities that
deviate from the main points of religious doctrine. In addition to Indonesia’s Criminal
Code. Article 156a of the Criminal Code Indonesia which protect each other’s
feelings citizens / residents who embrace a particular religion or belief. The difference
lies in the formulation. The concept of the Criminal Code has been perfecting the
formulation of Article 156a of the Criminal Code to formulate crime-crime offenses
classified in penodaaan religion and religious life. But considering Article 1 of Law no.
1/PNPS/1965 which governs the interpretation of religion / religious activities that
deviate from the main points of religious doctrine, the Court’s decision is maintained
by the constitution, this section should also integrable in criminal penodaaan religion
and religious life were formulated in the concept of the Criminal Code.
upaya-upaya yang mencegah agar tidak hukum tidak dilakukan maka akan terjadi
terjadi penghinaan/penistaan/penodaan social lag, yaitu sutu keadaan dimana terjadi
terhadap salah satu suku bangsa, ras dan ketidakseimbangan dalam perkembangan
agama yang dapat memicu konflik yang tidak lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
hanya berdampak pada rapuhnya sendi-sendi mengakibatkan terjadinya kepincangan-
kehidupan beragama masyarakat, melainkan kepincangan (Soekanto, 2004: 115). Akibat
juga dapat memecah belah persatuan dan kenyataan tersebut, membawa keadaan
kesatuan negara. Perumusan Masalah, 1) hukum pada tuntutan pembaharuannya.
Bagaimanakah kebijakan kriminalisasi delik Hukum memerlukan penijauan kembali
penodaan agama dalam KUHP dan UU No. secara terus menerus sesuai dengan kemajuan
1/PNPS/1965? 2) Bagaimanakah seharusnya pengetahuan (Dirdjosisworo: 1984: 40).
kebijakan kriminalisasi delik penodaan agama Dalam melakukan pembaharuan
dalam peraturan perundang-undangan di hukum pidana digunakan 2 (dua)
masa mendatang?. pendekatan, yaitu pendekatan kebijakan
dan pendekatan nilai. Dari segi kebijakan,
2. Metode Penelitian terutama kebijakan kriminal, fokus utamanya
adalah masalah penentuan: (1). Perbuatan
Metode penelitian yang dipergunakan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana,
dalam penelitian ini adalah menggunakan dan (2). sanksi apa yang sebaiknya digunakan
pendekatan yuridis normatif (Soemitro: atau dikenakan kepada pelanggar (Arief,
1987). Sumber data yang dipergunakan dalam 2002: 29).
penelitian ini adalah data sekunder yaitu data Masalah-masalah tersebut di atas
yang dihimpun melalui studi dokumen dan sering disebut masalah kriminalisasi dan
data kepustakaan. Data sekunder yang sudah dekriminalisasi. Kriminalisasi adalah suatu
ada dihimpun kemudian di analisis secara proses penetapan suatu perbuatan orang
kualitatif melalui laporan penelitian yang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses
tersusun secara sistematis dengan metode ini diakhiri dengan terbentuknya undang-
berfikir secara induktif, yaitu pola berfikir undang dimana perbuatan itu diancam
yang didasarkan suatu fakta yang sifatnya dengan suatu sanksi yang berupa pidana.
khusus kemudian ditarik kesimpulan yang Sebaliknya dekriminalisasi mengandung arti
sifatnya umum, untuk memperoleh kejelasan suatu proses dimana dihilangkan sama sekali
dari permasalahan dalam penelitian ini. sifat dapat dipidananya sesuatu perbuatan.
Dekriminalisasi harus dibedakan dengan
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan depenalisasi, dimana perbuatan yang semula
diancam pidana, ancaman pidana ini
dihilangkan akan tetapi masih dimungkinkan
a. Kriminalisasi Penodaan Agama
adanya penuntutan dengan cara lain, ialah
Otje Salman dan Anthon F. Susanto
dengan melalui hukum perdata atau hukum
(2004:11) dalam Beberapa Aspek Sosiologi
administrasi (Soedarto: 1983: 40).
Hukum menegaskan bahwa adalah suatu
Menurut Soedarto, Kedudukan KUHP
kenyataan bahwa suatu masyarakat selama
menjadi sentral sebagai induk peraturan
hidupnya akan mengalami perubahan-
hukum pidana karena keberadaan Bab I
perubahan dalam berbagai aspek kehi-
yang secara umum berlaku juga terhadap
dupannya. Perubahan-perubahan terse-
tindak pidana-tindak pidanadi luar KUHP.
but merupakan gejala normal, meskipun
Kedudukan undang-undang pidana khusus
perubahan tersebut memiliki pengaruh yang
adalah sebagai pelengkap dari hukum pidana
menjalar dengan cepat karena perkembangan
yang dikodifikasikan dalam KUHP (Position
komunikasi yang moderen dalam era
Paper Advokasi RUU KUHP: 2005: 6)
globalisasi dunia. Perubahan-perubahan
Mengingat perasaan religius
sosial ini harus diikuti oleh perubahan-
(ketuhanan, keagamaan) di kalangan rakyat
perubahan hukum, karena jika perubahan
Indonesia serta Pasal 29 UUD 1945, maka
149
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
151
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
153
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
KUHP) secara khusus mengatur tentang Konstitusi tersebut, maka sebaiknya rumusan
tindak pidana agama dan kehidupan Pasal 1 dan 2 No 1/PNPS/1965 juga diadopsi
beragama. Pasal 341-344 Konsep KUHP, dalam Konsep KUHP, karena tindak pidana
secara rinci mengancam pidana terhadap tersebut juga termasuk dalam tindak pidana
tindakan penodaan terhadap agama, Tuhan penodaaan terhadap agama.
dan firmanNya, nabi/rasul, kitab suci, ajaran
atau ibadah agama. Pasal 345 Konsep KUHP, 4. Simpulan
mengancam pidana terhadap hasutan untuk
tidak beragama, Pasal 346-347 mengancam Berdasarkan uraian yang telah
pidana terhadap gangguan peribadatan, dijelaskan pada bab sebelumnya, maka
sedangkan Pasal 348 mengancam pidana dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut
terhadap tindakan perusakan terhadap : Pertama, Delik penodaan agama diatur
sarana ibadah. dalam Pasal 156a KUHP dan Pasal 1 UU
Hal yang merupakan masalah adalah No. 1/PNPS/1965. Pasal 156a KUHP pada
ketentuan Pasal 1 UU No. 1/ pokoknya mengatur tentang tindak pidana
PNPS/1965. Bagi tim advokasi kebebasan penodaan agama yang dengan maksud
beragama, ketentuan tersebut ambigu, agar supaya orang tidak menganut agama
karena terdapat kesulitan menentukan mana apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan
yang disebut pokok ajaran suatu agama. Yang Maha Esa, sedangkan ketentuan Pasal
Mungkin satu pihak menganggap suatu ajaran 1 UU No. 1/PNPS/1965 mengatur mengenai
sebagai pokok ajaran, sementara pihak lain penafsiran agama/kegiatan keagamaan
tidak. Dengan demikian, sulit pula untuk yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
menentukan apakah suatu aliran tersebut agama itu. Kedua, Selain KUHP Indonesia,
menyimpang atau tidak. Berdasarkan hal Pasal 148 KUHP Rusia serta Paragraf 10
tersebut, tim advokasi kebebasan beragama dan 11 Bab 17 KUHP Finlandia juga
menyatakan juga pasal tersebut khususnya memberikan pembatasan atas tindakan-
bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 tindakan penodaan agama yang merupakan
yang menjamin kebebasan beragama, dan tindakan yang mengganggu pelaksanaan
selanjutnya meminta kepada Mahkamah kebebasan beragama dan beribadat menurut
Konstitusi, agar membatalkan Pasal 1 dan 2 agama dan kepercayaannya. Pada intinya,
No 1/PNPS/1965 (M. Shiddiq Al-Jawi: http:// rumusan kedua KUHP asing tersebut di atas,
www.khilafah1924.org). Bagi kalangan sejalan dengan tujuan dibentuknya Pasal
lain, ketentuan pasal ini diminta untuk 156a KUHP Indonesia yaitu melindungi
dipertahankan, mengingat akhir-akhir ini perasaan masing-masing warga negara /
kasus aliran-aliran menyimpang dari ajaran penduduk yang memeluk suatu agama
agama bermunculan. Contohnya, Kelompok atau keyakinan tertentu. Perbedaannya
sesat Salamullah dengan pimpinannya Lia terletak pada perumusannya. Ketentuan
Eden yang mengaku sebagai Jibril, Yusman Roy pada KUHP Rusia dan Finlandia secara
yang shalat dwi bahasa, shalat sambil bersiul tegas melarang pencegahan/perintangan
oleh Sumardin Tappaya (Sulawesi Barat) serta terhadap peribadatan atau prosesi ritual
kelompok jamaah Ahmadiyah. Jika pasal ini keagamaan. Khusus ketentuan pada KUHP
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum Finlandia, secara gamblang menyebutkan
mengikat, maka dapat dipastikan aliran- bahwa tindakan yang dilarang adalah
lairan lain yang sesat akan bermunculan menodai/menghina Tuhan, serta sesuatu
dan mengganggu ketenteraman kehidupan yang disucikan atau disakralkan dalam
beragama di Indonesia. agama. Dengan demikian, hal tersebut
Mahkamah Konstitusi kemudian dalam dapat ditafsirkan bahwa penodaaan agama
putusannya menolak permohonan uji materiil tidak hanya menghina agama, tetapi juga
Pasal 1 dan 2 No 1/PNPS/1965 sehingga misalnya nabi-nabi dan kitab suci dari
ketentuan ini secara hukum posistif tetap agama tersebut. Ketiga, Konsep KUHP telah
berlaku. Bertolak dari putusan Mahkamah menyempurnakan rumusan Pasal 156a
154
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
155