Anda di halaman 1dari 48

POLITIK HUKUM PERLINDUNGAN KEKAYAAN

INTELEKTUAL KARYA LUKISAN

Logo

Oleh :
Nama
NIM

…………………………………….
……………………
UNIVERSITAS ……………….
2022
KATA PENGANTAR

Politik Hukum adalah kebijakan pemerintah mengenai hukum mana yang


akan dipertahankan, hukum mana yang akan diganti, hukum mana yang akan
direvisi dan hukum mana yang akan dihilangkan. Dengan demikian melalui
politik hukum negara membuat suatu rancangan dan rencana pembangunan
hukum nasional di Indonesia. Salah satu aspek politik hukum yang masih belum-
belum selesai adalah perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual (HAKI).
HAKI merupakan Kekayaan intelektual, lebih lengkapnya adalah hak atas
kekayaan intelektual adalah jenis kekayaan yang memuat kreasi tak mewujud dari
intelektualitas. HaKI memiliki banyak jenis, dan banyak negara mengakui
keberadaannya. Contoh yang paling dikenal adalah hak cipta, paten, merek
dagang, dan rahasia dagang. Salah satunya adalah hak cipta dalam bidang seni,
dimana lukisan termasuk didalamnya.

Lukisan atau bisa juga disebut sebagai seni lukis adalah salah satu cabang
dari seni rupa yang berfokus pada kegiatan melukis. Dengan dasar pengertian
yang sama, seni lukis adalah sebuah pengembangan yang lebih utuh dari
menggambar. Melukis adalah kegiatan mengolah medium dua dimensi atau
permukaan dari objek tiga dimensi untuk mendapat kesan tertentu. Perlindungan
terhadap seni lukis masih dibilang sangat kurang, terutama dalam perlindungan
untuk pembajakan dan penjiplakan. Undang-undang No 28 Tahun 2014 belum
sepenuhnya berperan sebagai pertahanan terhadap penjiplakan atau pembajakan
karya cipta. Sedangkan KUHP sendiri tidak dapat maksimal untuk memberika
efek jera kepada pelaku pembajakan dan penjiplakan.

Tulisan ini bermaksu untuk melihat bagaimana perlindungan terhadap karya cipta
khususnya seni lukis dalam politik hukum dan bagaimana perlindungan yang
dapat diperoleh pelukis yang tidak/ belum mendaftarkan karya lukis sebagai karya
cipta.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
1. PENDAHULUAN............................................................................................1
2. Rumusan Masalah...........................................................................................10
3. Landasan Teori................................................................................................10
a. Teori Tinjauan Keadilan Hukum................................................................10
b. Teori Tujuan Hukum...................................................................................14
c. Keadilan Hukum......................................................................................15
c. Kemanfaatan Hukum...............................................................................16
d. Teori Perlindungan Hukum.........................................................................17
e. Hak Kekayaan Intelektual...........................................................................20
g. Hak Cipta....................................................................................................20
h. Lukisan........................................................................................................30
4. Pembahasan.....................................................................................................32
5. Kesimpulan.....................................................................................................39
6. Saran...............................................................................................................40
POLITIK HUKUM PERLINDUNGAN KEKAYAAN
INTELEKTUAL KARYA LUKISAN
(Studi Kasus Karya Lukisan Pelukis Bali Yang Tidak Terdaftar)

1. PENDAHULUAN

Evolusi dan kemajuan ekonomi sangat mempengaruhi keberhasilan

rencana tata kelola nasional pemerintah. Hal ini ditandai dengan terciptanya

iklim persaingan yang sehat dan menuju pada persaingan yang

membangkitkan semangat dan pelaku untuk menciptakan sesuatu yang baru

dalam bisnis teknologi, industri, teknologi, seni operasi dan operasi lainnya

yang sangat berguna untuk mendukung kehidupan.1 Tidak bisa dipungkiri

bahwa seni merupakan salah satu bidang yang menarik perhatian dan simpati

masyarakat Indonesia, tidak sedikit dari masyarakat kita yang berjiwa seni

dan hidup dari seni.2 Salah satu bidang seni yang banyak dijumpai di

masyarakat dan tidak asing lagi adalah seni lukisan.

Setiap hasil cipta ataupun ide-ide yang telah diberikan dalam suatu

bentuk karya seni misalnya lukisan membutuhkan jaminan perlindungan

hukum dari pelanggaran-pelanggaran hukum yang akan merugikan

pembuatnya seperti misal pemalsuan, peniruan hasil cipta dengan tujuan

untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya secara finansial. 3

Latar belakang inilah yang mendorong pemerintah mengundangkan Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak hasil cipta. Dijelaskan pada pasal
1
Anne Barron, “Copyright Law and the Claims of Art,” SSRN Electronic Journal, 2005,
https://doi.org/10.2139/ssrn.346361.
2
Dharsono, Seni Rupa Modern (Bandung: Rekayasa Sains, 2018).
3
Gatot Supramono, Hak Cipta Dan Aspek-Aspek Hukumnya (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta,
2009).

1
1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 bahwa hak hasil cipta merupakan

hak eksklusif bagi pembuatnya atau penerima hak untuk mengumumkan dan

memperbanyak ciptaanya atau memberi izin untuk itu, dengan tidak

mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Hak hasil cipta merupakan hak khusus ini, hanya diberikan kepada

pembuat atau pemegang hak hasil cipta tersebut, orang lain dilarang

menggunakan kecuali atas izin pembuat atau pemegang hak hasil cipta. 4

Suatu hasil cipta sangat dianjurkan untuk didaftarkan kepada Direktorat

Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk mendapatkan hak hasil cipta, sesuai

dengan perundang-undangan yang berlaku, karena pendaftaran ini akan

sangat membantu pembuat apabila terjadi suatu tindakan-tindakan yang

merugikan bagi pembuat, terutama hasil cipta yang berbentuk lukisan.

Di kalangan pelukis pentiruan dengan maksud melukis ulang sebuah

lukisan milik orang lain merupakan sesuatu yang tidak melanggar hukum

selama dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu selama masa

berlaku hak hasil cipta lukisan yang dilukis ulang telah habis dan adanya

pengakuan secara moral kepada pelukis aslinya, misalnya lukisan ‘Monalisa’

banyak dijumpai di berbagai tempat, dimana lukisan tersebut bukan karya asli

pelukisnya.5 Hal ini dianggap tidak melanggar hukum karena masa berlaku

hak hasil cipta lukisan tersebut telah habis dan secara tidak langsung
4
Gusti Bagus Gilang Prawira. and Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, “Perlindungan Hukum Hak
Cipta Atas Tindakan Modifikasi Permainan Video Yang Dilakukan Tanpa Izin,” Kertha
Negara: Journal Ilmu Hukum 7, no. 10 (2019): 1–16.
5
Aditya Yuli Sulistyawan, “The Copyright Protection System Through the Art Community
Paradigm in Indonesia,” International Journal of Recent Technology and Engineering 8, no. 4
(2019): 5526–29, https://doi.org/10.35940/ijrte.d8095.118419.
masyarakat telah mengakui pelukis aslinya walaupun tanpa penulisan nama

pelukis aslinya. Pelukisan ulang akan menjadi sesuatu yang melanggar

hukum apabila pelukisan ulang tersebut berubah menjadi pentiruan lukisan

tanpa ada pengakuan secara moral kepada pelukis aslinya, ijin dari pelukis

aslinya serta dilakukan pada saat masa berlaku hak hasil cipta lukisan tersebut

belum habis.

Apalagi pentiruan tersebut sudah bertujuan kepada sesuatu yang bersifat

komersial. Terjadinya pelanggaran hak hasil cipta lukisan dan tidak

terungkapnya pelanggaran tersebut, bahkan sampai tidak terselesaikannya

masalah-masalah pelanggaran tersebut dilatarbelakangi oleh pemahaman

masyarakat khususnya pelukis yang masih kurang memahami kepada arti

penting pendaftaran hak hasil cipta lukisan.6 Para pelukis cenderung

menganggap bahwa hasil hasil ciptaanya tidak bernilai sehingga masih

banyak pelukis yang enggan untuk mendaftarkan hasil ciptanya. Mereka baru

menyadari arti penting pendaftaran hak hasil cipta setelah terjadinya

pelanggaran hak hasil cipta karyanya. Sebenarnya pendaftaran hak hasil cipta

sangat membantu dalam pencegahan kepada terjadinya pelanggaran hak hasil

cipta, bahkan nantinya juga mempermudah terselesaikannya sebuah sengketa

pelanggaran hak hasil cipta apabila hal tersebut berubah menjadi sengketa.

Lukisan yang ditiru akan kehilangan “ruh”, pelaku pentiruan hanya

berorientasi kepada hasil akhir yang dibuat semirip mungkin. Selain

berdampak kepada pemilik asli karya lukisan tersebut, lukisan tiruan juga

6
Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual; Pengaturan Dan Perlindungan Hukum
(Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2009).
merugikan kolektor lukisan merupakan konsumen.7 Konsumen tidak

mendapatkan produk sesuai dengan nilai yang mereka bayarkan, tidak ada

prestige dan hak-hak mereka merupakan konsumen tidak terlindungi, lebih

jauh konsumen yang membeli produk tiruan dapat mengajukan tuntutan

hukum kepada penjual, pengedar dan pembuat lukisan palsu tersebut

merupakanmana yang tercantum pada Undang-undang No. 8 Tahun 1999

mengenai perlindungan konsumen. Dan ini merugikan secara bisnis kepada

pihak-pihak yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru di

Indonesia. Sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah

mempunyai undang-undang tentang Hak Kekayaan Intelektual yang

sebenarnya merupakan pemberlakuan peraturan perundang-undangan

pemerintah Hindia Belanda yang berlaku di Negeri Belanda, diberlakukan di

Indonesia merupakan negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip

konkordansi.

Undang-Undang Hak hasil cipta pertama di Belanda diundangkan pada

tahun 1803, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Hak hasil

cipta tahun 1817 dan diperbarui lagi sesuai dengan Konvensi Bern 1886

menjadi Auterswet 1912, Indonesia (Hindia Belanda saat itu) merupakan

negara jajahan Belanda terikat dalam Konvensi Bern tersebut,

merupakanmana diumumkan dalam S.1914-797. Peraturan Hak Milik

Industrial Kolonial 1912 merupakan Undang-Undang merek tertua di

7
Budi Hermono, Muh Ali Masnun, and Indri Fogar Susilowati, “Copyright Protection of
Authors on Indexed Journal,” no. November (2020), https://doi.org/10.2991/icss-18.2018.19.
Indonesia, yang ditetapkan oleh pemerintah Kerajaan Belanda berlaku sejak

tanggal 1 Maret 1913 kepada wilayah-wilayah jajahannya Indonesia,

Suriname, dan Curacao. Undang-Undang Paten 1910 tersebut mulai berlaku

sejak tanggal 1 Juli 1912 .8

Reformasi hukum dalam bidang HAKI di Indonesia disebabkan dengan

adanya kewajiban Internasional negara Indonesia berkaitan dengan Konvensi

Pembentukan WTO (World Trade Organization). Konvensi tersebut

mewajibkan seluruh anggotanya untuk menyesuaikan peraturan perundang-

undangan nasionalnya dengan ketentuanketentuan yang diatur dalam

konvensi tersebut, khususnya Annex 1b Konvensi tersebut, yaitu Perjanjian

TRIPS (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights).

Konvensi tersebut telah memberikan batas waktu bagi negara-negara

anggotanya untuk melakukan penyesuaian hukum nasionalnya di bidang

HAKI dengan ketentuan-ketentuan dalam TRIP yaitu 1 (satu) tahun bagi

negara maju dan 4 (empat) tahun bagi negara berkembang. 9

Merupakan salah satu negara berkembang maka Indonesia harus

menyesuaikan hukum nasionalnya di bidang HAKI paling lambat pada bulan

Januari 2000. Atas Kebijakan tersebut Indonesia mengeluarkan Undang-

undang pelindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang meliputi UU No

29 Tahun 2000 Tentang Pelindungan Varietas Tanaman, UU No 30 Tahun

2000 Tentang Rahasia Dagang, UU No 31 Tentang Desain Industri, UU No

8
Iswi Hariyani, “Penjaminan Hak Cipta Melalui Skema Gadai Dan Fidusia,” Jurnal Hukum
IUS QUIA IUSTUM 23, no. 2 (2016): 294–319,
https://doi.org/10.20885/iustum.vol23.iss2.art7.
9
Roisah Kholis, Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Malang: Setara Press, 2015).
32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, UU No 14 Tahun

2001 Tentang Paten, UU No 15 Tentang Merk dan UU No 19 Tahun 2002

Tentang Hak hasil cipta. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan

Pemerintah yang menyangkut dengan perlindunga Hak Atas Kekayaan

Intelektual, seperti PP No 1 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan UU No 31

Tahun 2000 dan PP Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis.10

Adanya pengaturan hukum yang baru kepada kekayaan intelektual

merupakan kebijakan politik hukum kepada pelindungan HKI di Indonesia

dengan di ratifikasinya TRIPS. Pada saat ini Indonesia telah memiliki

peraturan hukum baru kepada pelindungan Hak Kekayaan Intelektual yang

merupakan revisi dari beberapa peraturan terdahulu seperti Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak hasil cipta dan Hak Terkait,

Undangundang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis,

dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.11 Berubahnya

kebijakan politik hukum kepada pelindungan HKI yang diikuti dengan di

ratifikasinya TRIPS di Indonesia membuat politik hukum kepada pelindungan

atas Hak Kekayaan Intelektual ikut berubah. Perubahan kebijakan tersebut

merupakan suatu pernyataan kemauan negara mengenai hukum yang berlaku

di wilayah dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun melalui

badan-badan negara dalam menetapkan peraturan-peraturan khususnya upaya

10
Selvie Sinaga, “Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penggunaan Hak Kekayaan Intelektual Di
Kalangan Usaha Kecil Menengah Batik,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 21, no. 1 (2014): 61–
80, https://doi.org/10.20885/iustum.vol21.iss1.art4.
11
Afifah Kusumadara, “Pemeliharaan Dan Pelestarian Pengetahuan Tradisional Dan Ekspresi
Budaya Tradisional Indonesia: Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dan Non-Hak
Kekayaan Intelektual’,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum 18, no. 1 (2011): 20–41,
https://doi.org/10.20885/iustum.vol18.iss1.art2.
pelindungan kepada Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Kebijakan

perubahan tersebut merupakan justifikasi bahwa HKI adalah upaya seseorang

yang mengeluarkan usaha kedalam pembuatan, memiliki sebuah hak alami

untuk memiliki dan mengontrol apa yang telah mereka ciptakan.12 Pada masa

itu bidang hak kekayaan intelektual mendapat pengakuan baru 3 (tiga) bidang

Hak Kekayaan Intelektual, yaitu Hak hasil cipta, Merek Dagang, dan Industri

serta Paten.

Hak hasil cipta lukisan merupakanmana yang menjadi pokok bahasa

dalam penelitian ini memiliki perlindungan hukum selama 70 tahun setelah

pembuatnya meninggal merupakanmana yang dikemukakan dalam UU Hak

hasil cipta Pasal 58 ayat (1) huruf f yang berbunyi “Pelindungan hak hasil

cipta atas karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar,

ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase sendiri berlaku selama hidup

pembuat dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pembuat meninggal

dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya”

Berdasarkan UU Hak hasil cipta No. 28 Tahun 2014 Pasal 1 ayat (1),

Pasal 40 40 ayat (1), dan Pasal 58 ayat (1) huruf f telah jelas bahwa ada atau

tidak ada pendaftaran kepada hasil cipta lukisan atau sejenisnya dan

dinyatakan juga bahwa hak hasil cipta melekat seumur hidup dan 70 tahun

setelah kematiannya pembuatnya, maka pendaftaran suatu hasil cipta yang

dilakukan oleh orang lain baik perseorangan maupun kelompok bertentangan

12
Luh Inggita Dharmapatni, “Hak Cipta Merupakan Suatu Objek Jaminan Fidusia,” Lex
Journal: Kajian Hukum & Keadilan 2, no. 2 (2018), https://doi.org/10.25139/lex.v2i2.1412.
dengan pasal-pasal tersebut artinya tidak memiliki kekuatan hukum dan batal

demi hukum.

Fenomena lukisan yang ditiru/ atau dipalsukan adalah dengan tetap

mencantumkan tanda tangan atau nama dari pelukis asli, sehingga hal tersebut

lebih sering disbut merupakan kasus penipuan. Penipuan yang dilakukan ini

sesuai isi Pasal 380 Ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP). Apa yang dilakukan ini memenuhi unsur penipuan. Lebih tepat

merupakan pelanggaran yang dapat dikenakan pasal-pasal KUHP dan

ketentuan pidana dalam Undang-Undang Hak hasil cipta. Kedua undang-

undang ini merupakan lex spesialis derogate lex generali. Hukum yang

bersifat khusus akan meruntuhkan hukum yang umum. Sebaliknya, kalau

tidak diatur dalam hukum yang khusus, akan digunakan hukum yang umum.

Ini merupakan kejahatan pidana. Tentang hal ini diatur dalam KUHP dan

tidak dalam undang-undangan hak hasil cipta. Meniru lukisan orang lain

sekaligus mencantumkan nama pelukis yang ditiru merupakan sebuah

pemalsuan dan penipuan

Seiring berubahnya zaman dan waktu semua hal dapat dilakukan dengan

mudah dan praktis, terlebih lagi dengan adanya kemajuan teknologi yang

semakin canggih. Namun ada suatu hal yang menarik untuk dikaji, yaitu

terkait perkembangan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam mengikuti

perkembangan zaman yang ada. Semakin canggih dan modern teknologi

maka semakin banyak munculnya inovasi-inovasi dalam berbagai bidang


khususnya dalam bidang hak kekayaan intelektual. 13 Berbicara mengenai hak

hasil cipta pemikiran seseorang pasti tertuju kepada sebuah karya atau

ciptaan, baik itu lagu, lukisan, buku, dan merupakannya. 14

Dalam penelitian ini lebih fokus kepada suatu karya berupa lukisan atau

gambar yang dihasilkan baik melalui asli goresan tangan pelukis atau oleh

media digital atau biasa disebut digital painting. Digital painting itu sendiri

berkembang pada saat adanya kemajuan teknologi yang semakin canggih,

banyak orang yang menghasilkan karya dari media digital, tetapi mereka

tidak tahu bahwasannya karya yang dihasilkan tersebut dapat memiliki hak

hasil cipta, dan si pembuat pun memiliki hak eksklusif yang mana pembuat

dapat memanfaatkannya lewat hak ekonomi dan hak moral yang telah

dimiliki.

Pada kenyataan yang ada banyak sekali orang yang belum mengetahui

hal tersebut sehingga banyak hasil karya nya diambil lalu dimanfaatkan oleh

pihak yang tidak bertanggungjawab, dimana pada akhirnya dapat merugikan

si pembuat itu sendiri. Ada para pembuat yang memperbolehkan hasil karya

nya di gunakan oleh orang lain tetapi dalam dua faktor, yang pertama adalah

dikarenakan orang tersebut belum mengetahui akan hak-hak yang dimilikinya

lalu membiarkan orang lain untuk mengambil karya yang ia hasilkan, dan

yang kedua adalah orang tersebut tahu akan hak-hak yang dimilikinya namun

13
Prawira. and Griadhi, “Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Tindakan Modifikasi Permainan
Video Yang Dilakukan Tanpa Izin.”
14
Anak Agung Sinta Paramisuari. and Sagung Putri M E Purwani, “Perlindungan Hukum
Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Bingkai Rezim Hak Cipta,” Kertha Semaya. Journal Ilmu
Hukum 7, no. 1 (2019): 1–16.
ia dengan sukarela membiarkan orang menikmati hasil dari karyanya

tersebut.15 Karya-karya yang dimaksud adalah seperti lukisan/gambar digital,

vektor, dan semacamnya yang dihasilkan melalui media digital.

Minimnya pengetahuan masyarakat terkait hak hasil cipta mengakibatkan

banyak sekali permasalahan yang timbul, mulai dari pencurian atas karya-

karya khususnya gambar digital hingga penjualan terkait karya yang

dihasilkan tanpa diketahui langsung oleh si pembuat.16.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana hakikat perlindungan kepada karya lukis yang tidak didaftar

oleh pelukis karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki?

2. Bagaimana upaya pemegang hak hasil cipta yang sesungguhnya kepada

pembajakan hasil karya lukis untuk mewujudkan kesamarataan?

3. Landasan Teori

a. Teori Tinjauan Kesamarataan Hukum

Thomas Aquinas mengungkapkan kesamarataan dengan

membedakan kesamarataan menjadi 2 kelompok, yaitu kesamarataan

umum (justitia generalis) dan kesamarataan khusus.17 Kesamarataan

15
Erika Ramadhani. and Wahluf Abidian, “Analisis Dan Perancangan Aplikasi Perlindungan
Hak Cipta Dan Otentikasi Dokumen Menggunakan Teknik Analisis Kriptografi,” Journal of
Appropriate Technology for Community Services 1, no. 2 (2020): 55–62.
16
I.Gede Ari Krisnanta Permana Ratna Artha Windari. and Dewa Gede Sudika Mangku,
“Implementasi Undang-Undang Nomor. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Terhadap
Perlindungan Hasil cipta Program Komputer (Software) Di Pertokoan Rimo Denpasar,” Jurnal
Komunitas Yustisia 1, no. 1 (2020): 55–65.
17
Siti Hatikasari, “Esensi Perlindungan Hukum Dalam Sistem First To Announce Atas Hasil
cipta,” Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum 27, no. 2 (2019): 118–32,
https://doi.org/10.33369/jsh.27.2.118-132.
umum adalah kesamarataan menurut kemauan undang-undang, yang

harus ditunaikan demi kepentingan umum, sedangkan kesamarataan

khusus adalah kesamarataan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas.

Kesamarataan khusus dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:18

a. Kesamarataan distributif (justitia distributiva) yaitu kesamarataan

yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik

secara umum. Merupakan contoh, negara hanya akan mengangkat

seseorang menjadi hakim, apabila orang itu memiliki kecakapan

untuk menjadi hakim;

b. Kesamarataan komutatif adalah kesamarataan yang mempersamakan

antara prestasi dan kontraprestasi;

c. Kesamarataan vindikatif adalah kesamarataan dalam hal

menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana.

Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai

dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana

yang dilakukannya.

Notohamidjojo mengungkapkan jenis kesamarataan antara lain yaitu,

kesamarataan kreatif (justitia creativa) dan kesamarataan protektif

(justitia protectiva). Kesamarataan kreatif adalah kesamarataan yang

memberikan kepada setiap orang untuk bebas menciptakan sesuatu sesuai

dengan daya kreatifitasnya, sedangkan kesamarataan protektif adalah

18
Dardji Darmodihardjo and Siddharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Apa Dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2018).
kesamarataan yang memberikan pengayoman kepada setiap orang, yaitu

perlindungan yang diperlukan dalam masyarakat.

Teori kesamarataan bermartabat adalah suatu ilmu, dalam hal ini

ilmu hukum. Merupakan suatu ilmu hukum, cakupan atau scope dari

teori kesamarataan bermartabat dapat dilihat dari susunan atau lapisan

dalam ilmu hukum yang meliputi filsafat hukum (philosophy of law)

ditempat pertama, lapisan kedua terdapat teori hukum (legal theory),

lapisan ketiga terdapat dogmatika hukum (jurisprudence), sedangkan

susunan atau lapisan yang keempat terdapat hukum dan praktik hukum

(law and legal practice).19

Teori kesamarataan bermartabat berasal-usul dari tarik menarik

antara lex eterna (arus atas) dan volksgeist (arus bawah), dalam

memahami hukum merupakan usaha untuk mendekati pikiran Tuhan

menurut sistem hukum berdasarkan Pancasila. Teori kesamarataan

bermartabat menggunakan pendekatan hukum merupakan filsafat hukum,

teori hukum, dogmatik hukum maupun hukum dan praktik hukum,

berdialektika secara sistematik. Tujuan dari kesamarataan bermartabat

yaitu menjelaskan apa itu hukum. Tujuan hukum dalam teori

kesamarataan bermartabat menekankan pada kesamarataan, yang

dimaknai merupakan tercapainya hukum yang memanusiakan manusia.20

Kesamarataan dalam pengertian membangun kesadaran bahwa manusia

19
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat (Bandung: Nusa Media, 2015).
20
Khwarizmi Maulana Simatupang, “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak Cipta Dalam Ranah
Digital,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 15, no. 1 (2021): 67,
https://doi.org/10.30641/kebijakan.2021.v15.67-80.
itu adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mulia, tidak sama dengan

pandangan Barat, misalnya yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes,

bahwa manusia itu adalah hewan, hewan politik, serigala, yang siap

memangsa sesama serigala dalam kehidupan, termasuk kehidupan

berpolitik, ekonomi, sosial, budaya dan lain merupakannya.21

Kesamarataan bermartabat merupakan suatu grand theory hukum

memandang Pancasila merupakan postulat dasar tertinggi, yaitu

merupakan sumber dari segala sumber inspirasi yuridis untuk menjadikan

etika politik (demokrasi), khususnya etika kelembagaan Penyelenggaraan

Pemilu merupakan manifestasi paling konkret dari demokrasi yang dapat

menciptakan masyarakat bermartabat. Dengan begitu hukum mampu

memanusiakan manusia; bahwa hukum (termasuk kaidah dan asas-asas

yang mengatur etika penyelenggaraan Pemilu, berikut penegakannya)

seluruhnya merupakan suatu sistem memperlakukan dan menjunjung

tinggi nilai-nilai kemanusiaan menurut hakikat dan tujuan hidupnya.

Dikemukakan, bahwa: hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk

yang mulia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa merupakanmana

tercantum dalam sila ke-2 Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan

beradab. Dalam sila itu terkandung nilai pengakuan kepada harkat dan

martabat manusia dengan segala hak dan kewajibannya serta manusia

juga mendapatkan perlakuan yang adil dari manusia lainnya, dan

21
Prasetyo, Keadilan Bermartabat.
mendapatkan hal yang sama kepada diri sendiri, alam sekitar dan kepada

Tuhan.22

b. Teori Tujuan Hukum

Dalam mewujudkan tujuan hukum Gustav Radbruch menyatakan

perlu digunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan

hukum. Hal ini disebabkan karena dalam realitasnya, kesamarataan

hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum

dan begitupun sebaliknya. Diantara tiga nilai dasar tujuan hukum

tersebut, pada saat terjadi benturan, maka mesti ada yang dikorbankan.

Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch harus

dilaksanakan dengan urutan merupakan berikut23:

a. Kesamarataan Hukum;

b. Kemanfaatan Hukum;

c. Kepastian Hukum.

Dengan urutan prioritas merupakanmana dikemukakan tersebut

diatas, maka sistem hukum dapat terhindar dari konflik internal. Secara

historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian

menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain.

Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut

Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang

tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan

22
Prasetyo.
23
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum (Jakarta: Raja Grafindo, 2012).
membuat hukum yang mengesahkan praktek-praktek kekejaman perang

pada masa itu, Radbruch akhirnya meralat teorinya tersebut diatas dengn

menempatkan tujuan kesamarataan diatas tujuan hukum yang lain.24

Bagi Radbruch ketiga aspek ini sifatnya relatif, bisa berubah-ubah.

Satu waktu bisa menonjolkan kesamarataan dan mendesak kegunaan dan

kepastian hukum ke wilayah tepi. Diwaktu lain bisa ditonjolkan

kepastian atau kemanfaatan. Hubungan yang sifatnya relatif dan

berubah-ubah ini tidak memuaskan. Meuwissen memilih kebebasan

merupakan landasan dan cita hukum. Kebebasan yang dimaksud bukan

kesewenangan, karena kebebasan tidak berkaitan dengan apa yang kita

inginkan. Tetapi berkenaan dengan hal menginginkan apa yang kita

ingini. Dengan kebebasan kita dapat menghubungkan kepastian,

kesamarataan, persamaan dan merupakannya ketimbang mengikuti

Radbruch.25

c. Kesamarataan Hukum.

Kesamarataan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang

beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota

masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tindakan yang

diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan

bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat

merusak tatanan kesamarataan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak

24
Ahmad Zaenal Fanani, “Berpikir Falsafati Dalam Putusan Hakim,” Varia Peradilan, no. 304
(2011).
25
Sidharta Arief, “Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum,” in Ilmu Hukum. Teori Hukum
Dan Filsafat Hukum. PT Refika Aditama (Bandung, 2007).
dilakukan atau suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu

karena terciderainya kesamarataan. Untuk mengembalikan tertib

kehidupan bermasyarakat, kesamarataan harus ditegakkan. Setiap

pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat

pelanggaran itu sendiri.26

Hukum merupakan pengemban nilai kesamarataan menurut

Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak

hanya itu, nilai kesamarataan juga menjadi dasar dari hukum merupakan

hukum. Dengan demikian, kesamarataan memiliki sifat normatif

sekaligus konstitutif bagi hukum. Kesamarataan menjadi dasar bagi tiap

hukum positif yang bermartabat.27

c. Kemanfaatan Hukum

Menurut Mill kesamarataan bersumber pada naluri manusia untuk

menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri

maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari kita. Perasaan

kesamarataan akan memberontak kepada kerusakan, penderitaan, tidak

hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu

sampai kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri,

sehingga hakikat kesamarataan mencakup semua persyaratan moral yang

sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.28

26
Moh Mahfud MD, “Penegakan Hukum Dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik,” in Bahan
Pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” Yang Diselenggarakan Oleh
DPP Partai HANURA. Mahkamah Konstitusi (Jakarta, 2009).
27
Yovita A Mangesti and Bernard L Tanya, Moralitas Hukum (Yogyakarta: Genta Publishing,
2014).
28
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Editor Awaludin Marwan (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2012).
d. Teori Perlindungan Hukum

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, “Hukum adalah peraturan

yang dibuat oleh penguasa (pemerintah) atau adat yang berlaku bagi

semua orang di suatu masyarakat (negara)”.29 Menurut PhiliPasal S.

James adalah “Sekumpulan aturan untuk membimbing perilaku

manusia yang diterapkan dan ditegakkan di antara anggota suatu

negara”.30

Sedangkan menurut Utrechts, “Hukum itu adalah himpunan

peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan) yang mengurus

tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh

masyarakat itu”.31

Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum

merupakan seperangkat peraturan yang telah dibuat oleh pihak yang

berwenang atau pemerintah, berupa perintah dan larangan yang

harus ditaati oleh masyarakat pada suatu negara dan dapat diancam

pelaku pelanggarnya dengan pemberian sanksi.

b. Teori Perlindungan Hukum

Dalam fungsinya merupakan perlindungan kepentingan

manusia hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran

yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah

29
Poerwadarminta W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 2015).
30
Ade Maman Suherman, Teori Dasar Dan Perkembangan Hukum Indonesia (Surabaya.
Grafika Press, 2008).
31
Suherman.
menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban

dan keseimbangan.

Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan

kepentingan manusia akan terlindungi.32 Dengan demikian maka,

dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari suatu negara

membentuk dan menetapkan hukum adalah untuk menciptakan

tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan

keseimbangan, sehingga dengan demikian akan memberikan

perlindungan hukum bagi masyarakat kepada perbuatan-perbuatan

ataupun tindakan-tindakan dari pihak lain yang berusaha merebut

hak yang dimiliki masyarakat tersebut.

Menurut Philipus M. Hadjon, dibedakan dua macam

perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu: perlindungan hukum yang

preventif dan perlindungan hukum yang represif. Pada perlindungan

hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk

mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum surat

keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Dengan

demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk

mencegah terjadinya sengketa sedangkan sebaliknya perlindungan

hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

32
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Di Indonesia (Liberty. Jogjakarta, 2003).
Dengan pengertian yang demikian, penanganan perlindungan

hukum bagi rakyat oleh Peradilan Umum di Indonesia termasuk

kategori perlindungan hukum yang represif.33

33
Philipus M Hadjon, Hukum. Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Bina
Cipta, 1987).
e. Hak Kekayaan Intelektual

Hak Kekayaan Intelektual dibagi menjadi dua bagian, yaitu Hak

hasil cipta dan Hak Milik industri. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka

1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak hasil cipta

memberikan definisi merupakan berikut: “Hak hasil cipta adalah hak

eksklusif pembuat yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip

deklaratif setelah ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa

mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-

Undangan”. Pembuat suatu ciptaan berhak secara penuh kepada ciptaan

maupun salinannya, hak untuk membuat produk turunan atas ciptaannya

dan hak untuk mengalihkan hak-hak tersebut kepada pihak lain.

g. Hak hasil cipta

Istilah Hak hasil cipta berasal dari dari bahasa inggris Copyright.

Kata Copy memiliki arti memperbanyak atau menggandakan. Sedangkan

Right memiliki arti hak. Oleh karena itu secara bahasa, Copyright adalah

hak untuk menggandakan atau menyebarluaskan suatu hasil karya.

Copyright dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Hak hasil

cipta. Setiap ciptaan dilindungi oleh UndangUndang, karena pada ciptaan

tersebut melekat Hak hasil cipta. Setiap pembuat atau pemegang Hak

hasil cipta bebas untuk menggunakan ciptaanya, namun UndangUndang

memberikan pembatasan pada penggunaannya sehingga tidak boleh

melanggarnya.34

34
Tjokorda Udiana Nindhia Pemayun, I Made Suwitra, and I Made Sepud, “Plagiasi Hak Cipta
Karya Seni Rupa Di Bali,” Jurnal Lingkungan & Pembangunan 1, no. 1 (2017): 40–52.
Hukum Hak hasil cipta bertujuan melindungi ciptaan-ciptaan

para pembuat yang dapat terdiri dari pengarang, artis, musisi,

dramawan, pemahat, programer komputer dan merupakannya. Hak-

hak para pembuat ini perlu dilindungi dari perbuatan orang lain yang

tanpa izin mengumumkan atau memperbanyak hasil cipta pembuat.35

Istilah Hak hasil cipta diusulkan pertama kali oleh Sutan Mohammad

Syah pada kongres kebudayaan di bandung pada tahun 1951 (yang

kemudian diterima oleh kongres tersebut) merupakan pengganti

istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan

pengertiannya, karena istilah hak pengarang itu memberikan kesan

penyempitan arti, seolah-olah yang dicakup oleh pengarang itu

hanyalah hak dari pengarang saja, atau yang ada sangkut pautnya

dengan karang mengarang saja, padahal tidak demikian. Istilah hak

pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa

Belanda Auteurs Rechts 36. Mengenai hal ini istilah Hak hasil cipta

merupakan istilah yang lebih tepat untuk menggantikan Hak

Kepengarangan yang mana cakupannya kurang luas. Istilah Hak

hasil cipta tidak hanya mencakup pengarang saja, melainkan artis,

musisi, dramawan pemahat, programmer komputer dan

merupakannya.37

35
Ajip Rosidi, Undang-Undang Hak Cipta: Pandangan Seorang Awam (Jakarta: PT.
Djambatan, 1984).
36
Prawira. and Griadhi, “Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Tindakan Modifikasi Permainan
Video Yang Dilakukan Tanpa Izin.”
37
Perjanjian Lisensi and Hesty D Lestari, “Kepemilikan Hak Cipta Dalam,” no. 104 (2013):
173–88.
Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang

Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak hasil cipta, disebutkan bahwa

yang dimaksud dengan Hak hasil cipta adalah Hak hasil cipta adalah

hak eksklusif pembuat yang timbul secara otomatis berdasarkan

prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk

nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan

peraturan Perundang-Undangan.

Kepada semua bentuk ciptaan di atas perlindungannya termasuk

jua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah

merupakan bentuk kesatuan yang nyata, yang memunkinkan

perbanyakan hasil karya tersebut.38 Terkait dalam hal ini

merupakanmana telah disebutkan bahwa HKI termasuk dalam Hak

hasil cipta, yang di dalamnya merupakan suatu Hak Milik. Karena

itu, HKI bersifat khusus karena hak tersebut hanya diberikan kepada

pembuat atau pemilik atau pemegang hak yang bersangkutan untuk

dalam waktu tertentu memperoleh perlindungan hukum guna

mengumumkan, memperbanyak, mengedarkan, dan lain-lain hasil

hasil ciptaannya atau memberikan izin kepada orang lain untuk

melaksanakan hal-hal tersebut. Hak hasil cipta sering pula dikatakan

eksklusif karena dengan Hak hasil cipta, pemegang hak hasil cipta

dapat melarang orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut tanpa

seizin dari pembuat.

38
Supramono, Hak Cipta Dan Aspek-Aspek Hukumnya.
d. Fungsi Hak hasil cipta

Fungsi Hak hasil cipta Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak hasil cipta dapat secara implisit

diketahui dalam beberapa pasal yaitu:

1. Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak hasil cipta Hak hasil cipta

adalah hak eksklusif pembuat yang timbul secara otomatis

berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan

dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai

dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

2. Berdasarkan Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2014 tentang Hak hasil cipta Pembuat atau pemegang

Hak hasil cipta mempunyai hak atas karya untuk memberikan

izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya

mengeksploitasi ciptaan tersebut untuk kepentingan yang

bersifat komersial.

Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak hasil cipta mengandung dua

aspek dasar, yaitu tentang hak eksklusif dan bahwa hak tersebut

“timbul secara otomatis”. Hal ini berbeda dengan Hak Kekayaan

Intelektual yang lain, Hak hasil cipta lahir bukan karena pendaftaran,

yang berarti bahwa Hak hasil cipta telah dimiliki oleh pembuatnya

pada saat lahirnya hasil cipta tersebut. hal ini yang menjadi prinsip
pokok yang mendasari Hak hasil cipta. Namun demikian prinsip

dasar ini tidak menghalangi pembuat untuk mendaftarkan

ciptaannya. Pembatasan merupakanmana dimaksud dalam Pasal 1

Angka 1 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak hasil

cipta di atas, sudah tentu bertujuan agar dalam setiap penggunaan

Hak hasil cipta harus sesuai dengan tujuannya, agar tidak terjadi

kesewenang-wenangan. Setiap perbuatan hukum yang menimbulkan

akibat hukum selalu diletakkan syarat-syarat tertentu.

Ajib Rosidi menyebutkan lebih dari hak milik yang manapun

juga, suatu ciptaan menjalankan fungsi sosialnya melalui

penyebarannya dalam masyarakat dan selama masyarakat masih

memerlukannya, selama itu pula hak hasil cipta berfungsi sosial.

Mengenai hal ini sebenarnya apa yang diartikan diatas adalah fungsi

sosial dalam arti sempit, dalam arti luas seorang pembuat harus

sanggup mengorbankan hak ciptanya bila kepentingan umum

menghendakinya.39 Pada dasarnya Hak hasil cipta tidak berbeda

dengan Hak Milik lainnya, Hak hasil cipta merupakan Hak Milik

immaterial di samping ia mempunyai fungsi tertentu, ia juga

mempunyai sifat atau suatu ciri-ciri tertentu.

Berikut ini adalah beberapa sifat dari Hak hasil cipta, antara lain:

1) Hak hasil cipta adalah Hak Khusus

39
Vollmar I.S. Adiwimarta, Pengantar Studi Hukum Perdata I Edisi Revisi (Jakarta: Rajawali
Pers, 1998).
Hak hasil cipta merupakan hak yang bersifat khusus,

istimewa, atau eksklusif (Exclusive Rights) yang diberikan

kepada pembuat atau pemegang Hak hasil cipta. Ini berarti,

orang lain tidak boleh menggunakan hak tersebut, kecuali

dengan izin Pembuat atau Pemegang Hak hasil cipta yang

bersangkutan 40. Terkait dalam hal ini pembuat atau pemegang

Hak hasil cipta berhak untuk mengizinkan atau tidak

mengizinkan pihak lain untuk memperbanyak suatu ciptaan.

2) Hak hasil cipta Berkaitan dengan Kepentingan Umum

Merupakanmana telah disebutkan bahwa Hak hasil cipta

merupakan hak khusus yang istimewa. Tetapi, ada batasan-

batasan tertentu bahwa Hak hasil cipta juga harus

memperhatikan kepentingan masyarakat yang juga turut

memanfaatkan ciptaan seseorang. Secara umum, Hak hasil cipta

atas suatu ciptaan tertentu yang dinilai penting demi

kepentingan umum dibatasi penggunaannya sehingga terdapat

keseimbangan yang serasi antara kepentingan individu dan

kepentingan masyarakat.

3) Hak hasil cipta dapat beralih maupun dialihkan

Seperti halnya bentuk-bentuk benda bergerak lainnya, Hak

hasil cipta juga dapat beralih dan dialihkan, baik sebagian

maupun seluruhnya merupakanmana disebutkan dalam


40
Paramisuari. and Purwani, “Perlindungan Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Bingkai
Rezim Hak Cipta.”
ketentuan Pasal 16 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2014 tentang Hak hasil cipta. Suatu hak hasil cipta yang dimiliki

pada dasarnya dapat dialihkan berdasarkan kewenangan yang

melekat pada diri sang pembuat nya. Pengalihan dalam Hak

hasil cipta ini dikenal dengan dua macam cara, yaitu :

a) Transfer/Assignment merupakan pengalihan Hak hasil cipta

yang berupa pelepasan hak kepada pihak atau orang lain

misalnya karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian jual-

beli dan lain merupakannya.

b) License merupakan pengalihan Hak hasil cipta dari satu

pihak kepada pihak yang lain berupa pemberian izin atau

persetujuan untuk pemanfaatan hak hasil cipta dalam jangka

waktu tertentu, misalnya perjanjian lisensi.

4) Hak hasil cipta dapat dibagi atau diperinci (divisibility)

Berdasarkan praktik-praktik pelaksanaan Hak hasil cipta dan

juga norma principle of specification dalam Hak hasil cipta,

maka Hak hasil cipta dibatasi oleh beberapa hal berikut 41:

a. Waktu, misalnya lama produksi suatu barang sekian tahun

b. Jumlah, misalnya jumlah produksi barang sekian unit dalam

satu tahun, dan merupakannya

41
Sudargo Gautama, Konvensi-Konvensi Hak Milik Intelektual Baru Untuk Indonesia (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2005).
c. Geografis, menunjukkan tempat produksinya suatu hak hasil

cipta.

Adanya hak moral yang bersifat melekat dan tidak dapat

dipisahkan dengan diri si pembuat membuat Hak hasil cipta itu

berbeda dengan Hak Milik lainnya. Cara perolehan dan

pelepasannya serta jangka waktu pemiliknya berbeda dengan Hak

Milik atas benda lainnya. Hak hasil cipta hanya ada dan dimiliki oleh

orang-orang tertentu yang memang mempunyai bakat (kreativitas)

atau kemampuan untuk itu, dan dengan demikian ia menjadi pemilik

Hak hasil cipta tersebut. Tujuan secara umum dari Hak Kekayaan

Intelektual (HKI), khususnya pada perlindungan atas Hak hasil cipta,

yaitu untuk memberikan dorongan bagi para pembuat dan juga

memberikan motivasi kepada masyarakat supaya masyarakat dapat

untuk terus membuat hasil karya tanpa rasa khawatir akan

perlindungan kepada hasil ciptanya yang telah dia buat dan ciptakan

dan serta mendapat imbalan berupa materi dari pemanfaatan akan

hasil karya yang telah ia ciptakan. tujuan utama dari Undang-

Undang Hak hasil cipta adalah untuk mempromosikan, dan

menyebarkan budaya serta ilmu pengetahuan.

e. Pencatatan Ciptaan dan Produk Hak Terkait

Jangka waktu perlindungan Hak hasil cipta secara umum adalah

berlaku seumur hidup pembuat dan terus berlangsung selama hidup

pembuat dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah


pembuat meninggal dunia, terhitung sejak tanggal 1 Januari tahun

berikutnya. Terkait dalam hal ini perlindungan Hak hasil cipta atas

ciptaan berupa karya seni terapan berlaku selama 25 (dua puluh

lima) tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman.

Menurut Kollewijn, ada 2 (dua) jenis pendaftaran atau stelsel

pendaftaran, yaitu stelsel konstitutif dan stelsel deklaratif. Stelsel

konstitutif berarti bahwa hak atas ciptaan baru terbit karena

pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan hukum. Stelsel

deklaratif bahwa pendaftaran itu, bukanlah menerbitkan hak,

melainkan hanya memberikan dugaan atau prasangka saja bahwa

menurut Undang-Undang orang yang ciptaannya terdaftar itu adalah

orang yang berhak atas ciptaannya.42 Terkait dalam hal ini,

pendaftaran Hak hasil cipta di Indonesia menggunakan Stelsel

Deklaratif yang mana pendaftar tidak serta merta diterbitkan hak atas

ciptaannya melainkan hanya sebatas dugaan atau prasangka saja

bahwa pendaftar merupakan pemilik dari ciptaan tersebut.

Pendaftaran akan suatu ciptaan tidaklah menjadi suatu

keharusan bagi pembuat atau pemegang Hak hasil cipta karena

timbulnya perlindungan kepada suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan

itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Namun

demikian, bukti pendaftaran suatu ciptaan akan berguna merupakan

bukti yang kuat di persidangan apabila timbul sengketa di kemudian

hari kepada ciptaan tersebut. sesuai dengan ketentuan yang terdapat


42
Gautama.
pada Bab X UndangUndang Nomor 28 Tahun 204 tentang Hak hasil

cipta, pencatatan ciptaan diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal

Kekayaan Intelektual (Ditjen KI) yang berada dibawah

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pembuat atau

pemegang Hak hasil cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya

dengan dikenakan sejumlah biaya.

Perlindungan kepada ciptaan diperlukan untuk mencegah

terjadinya peniruan atau penyebarluasan tanpa hak oleh pihak-pihak

lain. Selain itu Hak Cipta juga memberikan pengakuan kepada status

kepengarangan (authorship) yang mampu mengangkat nilai suatu

karya yang dapat meningkatkan daya kompetisi atau daya saing atas

suatu karya. Berdasarkan ketentuan Undang Undang, Hak hasil cipta

memberikan perlindungan yang luas akan hak-hak pembuat, yaitu

hak ekonomi yang mencakup hak untuk memproduksi suatu

karyanya, hak untuk mendistribusikannya, hak untuk menampilkan

karyanya di depan publik, hak membuat karya turunan dari karya

asli. dan hak moral yang mencakup hak untuk diakui merupakan

pembuat, dan hak untuk menggugat yang tanpa persetujuannya telah

meniadakan nama pembuat, mencantumkan nama pembuat, ataupun

mengubah isi ciptaan.

Selain melindungi hak-hak dari pembuat, Hak hasil cipta

melindungi pula hak hak pihak lain yang memiliki kaitan dengan

ciptaan atau hasil karya tersebut. hak ini dikenal dengan istilah hak
terkait atau dalam Bahasa Inggris disebut Neighbouring right. Hak

terkait pada prinsipnya yaitu hak yang dimiliki oleh pihak lain

karena keterlibatannya berkontribusi kepada tujuan dari suatu hasil

karya atau ciptaan.

Menurut Sophar Maru Hutagalung, keuntungan dan kerugian

apabila tidak mendaftarkan Hak hasil cipta itu tidaklah ada, kecuali

untuk mempermudah proses pembuktiannya dalam hal terjadi suatu

sengketa tentang siapakah pembuat suatu karya yang sebenarnya.

Disamping itu, tanpa pendaftaran pun hak hasil cipta tetap

mendapatkan perlindungan 43. Terkait dalam hal ini, pada dasarnya

pendaftaran Hak hasil cipta tidaklah terlalu penting untuk dicatatkan

pada direktorat jenderal Kekayaan Intelektual, akan tetapi dengan

Hak hasil cipta tersebut didaftarkan maka dalam hal pembuktian

apabila terjadi suatu sengketa di kemudian hari akan lebih mudah,

serta hasil ciptaan tersebut akan lebih terjamin oleh Undang-Undang,

dalam hal ini suatu hasil ciptaan tersebut menjadi kewenangan penuh

dari sang pembuat.

h. Lukisan

Seni lukisan adalah salah satu cabang seni rupa dari seni terapan

yang dilindungi oleh Hak hasil cipta. Sedangkan melukis adalah kegiatan

mengolah medium dua dimensi atau permukaan dari objek tiga dimensi

untuk mendapat kesan tertentu. Medium lukisan bisa berbentuk apa saja.

43
Prawira. and Griadhi, “Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Tindakan Modifikasi Permainan
Video Yang Dilakukan Tanpa Izin.”
Seperti kanvas, kertas, atau papan, alat yang digunakan dapat bermacam

macam, dengan syarat bisa memberikan imaji tertentu kepada media

yang digunakan. Mengenai dalam hal ini pada dasarnya seni lukisan

merupakan suatu kegiatan olah medium untuk mendapat kesan tertentu

yang bersifat estetis.

Seni lukisan merupakan cabang dari seni rupa yang cara

pengungkapannya diwujudkan melalui karya dua dimensional dimana

unsur-unsur pokok dalam karya dua dimensional adalah garis dan

warna.44 Terkait dalam hal ini garis dan warna merupakan elemen pokok

dari seni lukisan. Seni lukisan dapat dikatakan merupakan suatu

ungkapan pengalaman estetik seseorang yang diberikan dalam bidang

dua dimensi (dua matra), dengan menggunakan medium rupa, yaitu garis,

warna, tekstur, shape, dan merupakannya. Medium rupa dapat dijangkau

melalui berbagai macam jenis material seperti tinta, cat/pigmen, tanah

liat, semen, dan berbagai aplikasi yang memberi kemungkinan untuk

mewujudkan medium rupa 45


. Pada dasarnya seni lukisan merupakan

merupakan suatu ekspresi dari pengalaman estetik menggunakan medium

rupa yang juga tertuang didalam suatu bidang yang berbentuk dua

dimensi.46

4. Pembahasan

Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan hak eksklusif yang

diberikan negara kepada seseorang, sekelompok orang, maupun lembaga


44
Dharsono, Seni Rupa Modern.
45
Soedarso, Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni.
46
Dharsono, Seni Rupa Modern.
untuk memegang kuasa dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat dari

kekayaan intelektual yang dimiliki atau diciptakan. Istilah HAKI merupakan

terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR), merupakanmana diatur

dalam undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang pengesahan WTO

(Agreement Establishing The World Trade Organization). HAKI tergolong

benda bergerak tidak berujud. Benda diartikan merupakan gejala sesuatu yang

dapat dijadikan objek hak milik. Merupakan benda, sifat-sifat hak kebendaan

melekat juga pada HAKI, salah satunya adalah dapat dialihkan pada pihak

lain”.

Pengertian Intellectual Property Right sendiri adalah pemahaman

mengenai hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektual

manusia, yang mempunyai hubungan dengan hak seseorang secara pribadi

yaitu hak asasi manusia (human right). HAKI adalah kekayaan pribadi yang

dapat dimiliki dan diperlakukan sama dengan bentuk-bentuk kekayaan

lainnya. Kekayaan yang dimiliki seseorang tersebut tidak muncul begitu saja,

akan tetapi perlu campur tangan negara. Dalam arti negara memberikan

pengakuan atas hasil karya seseorang. Dengan diakuinya hak atas karyanya,

maka yang bersangkutan berhak memperbanyak atau memberi izin kepada

orang lain. Dalam banyak kasus, izin itu tidak dilakukan oleh orang yang

menggunakan hak hasil cipta karya orang lain. Seseorang dengan seenaknya

mengambil karya orang lain dengan caracara yang dilarang oleh undang-

undang. Padahal undang-undang sudah jelas akan memberikan sanksi kepada

siapa saja mengambil karya orang lain dengan ancaman pidana penjara.
Dengan demikian begitu banyak orang lain memanfaatkan begitu saja karya

orang lain tanpa meminta izin terlebih dahulu padahal jelas-jelas hal tersebut

bertentangan dengan Undang-Undang atau hukum yang ada”.

Jika seseorang dibiarkan memanfaatkan suatu karya orang lain secara

gratis, sudah pasti manfaat dari karya itu hanya akan dinikmati oleh orang

lain yang bukan menjadi pemilik asli. Pembuat dari karya itu sendiri hanya

mendapatkan letih, karena tidak memperoleh keuntungan. Pada akhirnya, si

pembuat atau orang yang ingin berkarya akan berfikir buat apa susah-susah

berkarya, jika tidak ada perlindungan hak hasil cipta dari suatu negara orang

hanya mau memanfaatkan sesuatu secara cuma-cuma dengan memanfaatkan

karya orang lain.

Adapun beberapa faktor penyebab keengganan seorang pelukis untuk

memanfaatkan sistem HAKI. Berkaitan dengan prosedur pendaftaran yang

panjang dan kompleks, meskipun beberapa regulasi di bidang Kekayaan

Intelektual saat ini telah memangkas jangka waktu, seperti halnya dalam

pendaftaran Hak hasil cipta dapat ditelusuri dalam Naskah Akademik RUU

Hak hasil cipta bahwa salah satu alasan perlunya penyederhanaan waktu

dikarenakan Proses permohonan Hak hasil cipta dianggap masih kurang

efektif dan memakan waktu cukup lama, sehingga diperlukan

penyederhanaan waktu proses pendaftaran. Namun dalam praktiknya proses

pendaftaran hingga penerbitan sertifikat relative lebih lama daripada waktu

yang ditentukan. Lamanya jangka waktu yang ditentukan tersebut juga tidak

menjamin permohonan tersebut dikabulkan. Lebih lanjut apabila terdapat


keberatan kepada permohonan merek yang diumumkan, maka sekaligus

materi keberatan dimaksud dijadikan bahan untuk melakukan pemeriksaan

substantif, sehingga proses pemeriksaan permohonan pendaftaran hak hasil

cipta akan menjadi lebih singkat. Untuk pendaftaran hak hasil cipta, selain ke

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kantor Wilayah Kementerian

Hukum dan HAM yang terdapat di setiap Provinsi dan Konsultan HAKI

masyarakat dapat mendaftarkan melalui Kementerian/Lembaga, Pemerintah

Daerah, Lembaga Pendidikan, Lembaga Penelitian dan Pengembangan,

Sentra HAKI, UMKM, institusi lain, badan hukum dan Perorangan yang telah

memiliki akun resmi yang diberikan Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual,

Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM yang terdapat di setiap

Provinsi dan Konsultan HAKI. Sehingga, tidak semua UMKM yang tersebar

di berbagai wilayah dapat dengan mudah untuk mengakses pendaftaran

tersebut. Pelaksanaan perlindungan hak merek kepada produk UMKM

memiliki manfaat yang besar bagi pembuatnya. Walaupun memang tidak ada

suatu kewajiban untuk mendaftarkan merek produk mereka namun alangkah

baiknya jika dilakukan suatu pendaftaran hak merek atas produk mereka agar

memperoleh perlindungan hukum yang pasti. Seperti kita contohkan jika

terjadi suatu sengketa, apabila telah didaftarkan maka pembuktian akan lebih

mudah karena pemiliki merek dapat memberikan bukti otentik berupa tanda

hak merek itu sendiri. Namun pemahaman pada masyarakat, membuat

pendaftaran hak merek untuk mendapatkan perlindungan masihlah di abaikan.


Berdasarkan data yang ada, dapat diidentifikasi beberapa hal mengenai

pemahaman Hak Merek oleh pelaku pelukis antara lain:

a. Pemahaman sebagian besar dari pelaku pelukis kepada Hak Merek masih

rendah/dangkal, dimana mereka hanya tahu bahwa pendaftaran merek

harus dilakukan di Jakarta dan biaya yang mahal.

b. Pelukis pun masih lebih berorientasi kepada pendapatan dikarenakan

pemahaman terkait kegunaan dan manfaat dari merek inilah yang masih

sangat sedikit.

c. Pemahaman terkait adanya bantuan untuk mendaftarkan merek dengan

biaya ringan atau bahkan tanpa biaya belumlah secara menyeluruh dapat

dipahami karena informasipun belum merata didapatkan oleh pelukis.

d. Pemahaman pelukis yang merasa bahwa produknya bukanlah produk

ekspor sehingga tidak diperlukan adanya pendaftaran merek

e. Prosedur yang belum dipahamu secara jelas serta prosesnya yang

panjangpun menjadi alasan terkait tipisnya niat pelaku pelukis untuk

melanjutkan niatnya untuk mendaftarkan mereknya

f. Terdapat pemahaman terkait semakin banyak penir semakin banyak pula

peminatnya

g. Pemahaman dimana pelaku usaha merasa jika rasa dari produk miliknya

tetap lebih enak dari yang lain sehingga tidak masalah jika ditiru dan

berbagai macam pemahaman lain yang mendorng untuk tidak

didaftarkannya merek dagang oleh pelaku pelukis


Penegakan hukum kepada pelanggaran hak atas kekayaan intelektual

khususnya hak hasil cipta hanya mampu menyelesaikan masalahan yang

timbul dipermukaan saja, tetapi lebih dari pada itu dibutuhkan upaya-

upaya untuk menyelesaikan akar permasalahan yang timbul dibawah

permukaan yang melalui tindakan preventif merupakan sebuah

perlindungan hak atas kekayaan intelektual secara komperhensif dengan

melibatkan samua instansi pemerintah yang bertanggung jawab. Karena

itu penegakan hukum hanya merupakan upaya penyelesaian sementara

dari masalah yang timbul dipermukaan. Sementara itu harus dipahami

bahwa terdapat berbagai masalah yang lebih mendasar dibawah

permukaan yang harus mampu diselesaikan dengan cerdas dan penuh

kebijakan.

Penegakan hukum bukan satu-satunya upaya yang ampuh dalam

memberikan perlindungan hak hasil cipta di Indonesia, karena penegakan

hukum hanya bagian dari sebuah proses perlindungan hak hasil cipta.

Ada beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh bagi pembuat lagu

yang karyanya dibajak pihak lain tanpa ijin, diantaranya dengan

melakkan gugatan perdata. Gugatan perdata ini mengandung dua cara

yang dapat dilakukan pembuat, yaitu:

a. pembuat berhak melakukan pembatalan pencatatan ciptaan (Pasal

97). Hal ini mengandung arti bahwa pihak yang mencatatka tidak

berhak dan tindakan itu telah dilakukannya secara bertentangan

dengan Pasal 31 Undang-Undang Hak hasil cipta. Pembuat yang sah


secara hukum (Pasal 1 ayat [2] Undang-Undang Hak hasil cipta)

adalah subjek yang berhak menuntut pembatalan pencatatan kepada

Pengadilan Niaga. Hal ini karena pembuat yang sah menuntut

kesamarataan meskipun yang telah tercatat adalah pihak yang tidak

berhak. Melalui ketentuan ini hukum membuka kemungkinan

pembatalannya, sehingga terpenuhilah unsur 77 kesamarataan.

b. Pembuat dengan melalui ahli warisnya berhak menuntut ganti rugi

(Pasal 96). Ganti rugi yang dimaksud berupa pembayaran sejumlah

uang yang dibebankan kepada pelaku pelanggaran hak ekonomi

pembuat, pemegang hak hasil cipta, dan/atau pemilik hak terkait

berdasarkan putusan pengadilan perkara perdata atau pidana yang

berkekuatan hukum tetap atas kerugian yang diderita pembuat,

pemegang hak hasil cipta dan/atau pemilik hak terkait. Pembayaran

ganti rugi kepada pembuat, pemegang hak hasil cipta dan/atau

pemilik hak terkait dibayarkan paling lama enam bulan setelah

putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (Inkracht van

gewijsde).

Di samping itu juga, ahli waris berhak menggugat setiap orang yang

telah dengan sengaja dan tanpa hak dan tanpa persetujuan pembuat yang

melanggar hak moral (Pasal 98). Hal moral ilanggar dengan cara tidak

mencantumkan nama pribadi pembuat yang telah meninggal dunia,

sehingga pihak yang beritikad buruk itu telah terbukti melanggar Pasal 5

Undang-Undang Hak hasil cipta.


Pada saat perlangsung proses gugatan perdata, pemegang hak hasil cipta

dapat meminta penetapan sementara. Inti utama dari lembaga penetapan

sementara itu adalah dalam rangka mencegah berlarut-larutnya penderitaan

dan bertambah ruginya pembuat merupakan akibat dari tindak perbuatan

pihak lain yang telah melanggar hak- hak pembuat (hak moral, hak ekonomi,

hak terkait dan hak royalti). Di samping itu penetapan sementara juga

dilatarbelakangi proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang tidak dapat

dilakukan dalam waktu yang cepat dan proses pengambilan putusan yang

pendek. Juga, ada upaya hingga ke Mahkamah Agung, sementara pembuat

telah jelas-jelas dirugikan.

Oleh karena itu, harus ada tindakan yang dapat menghambat kerugian

pembuat dengan memohon penetapan sementara ke Pengadilan Niaga dengan

tujuan utama mencegah masuknya barang yang diduga hasil pelanggaran hak

hasil cipta atau hak terkait ke jalur perdagangan, menarik dari peredaran dan

menyita serta menyimpan merupakan alat bukti yang berkaitan dengan

pelanggaran hak hasil cipta atau hak terkait tersebut dan juga mengamankan

barang bukti dan mencegah penghilangannya oleh pelanggar dan/atau

menghentikan pelanggaran guna mencegah kerugian yang lebih besar (Pasal

106). Melalui penetapan sementara pembuat setidak-tidaknya dapat

merasakan kesamarataan, meski tahap sementara, sementara kasus yang

dihadapi dan ditangani Pengadilan Niaga tetap berjalan dan menunggu hingga

selesainya kasus pelanggaran tersebut selesai.


5. Kesimpulan

a. Dalam rangka menumbuh kembangkan iklim usaha, juga perlu

diupayakan peningkatan kemampuan dan peran serta kelembagaan secara

integratif, dengan memberikan kesempatan yang sama bagi pelukis dan

bahkan harus diberikan keistimewaan khususnya di bidang kekayaan

intelektual melalui kebijakan-kebijakan affirmatif. kebijakan affirmatif

yang harus segera diwujudkan guna mendukung pemajuan usaha/ pelaku

sei adalah penghapusan biaya pendaftaran permohonan HKI bagi pelaku

seni dan pemberian keringanan bagi pelaku seni serta memberikan

penegasan bahwa seluruh bidang HAKI harus dapat dijadikan jaminan

fidusia mengingat mayoritas modal yang ada sangat minim.

b. Upaya hukum yang dapat ditempuh apabila karyanya di bajak pihak lain

adalah dengan melakukan perlindungan dan upaya hukum kepada hak

hasil cipta atas pelanggaran pembajakan yang dilakukan.. Meskipun

tegas dinyatakan di dalam Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014

Tentang Hak hasil cipta, namun penegakan dari Undang-Undang tersebut

belum berjalan efektif. Karena masih terbukti dengan banyaknya

pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Hal ini disebabkan karena

masyarakat masih kurang mengetahui akan Undang-Undang Hak hasil

cipta yang melindungi hasil cipta serta perbuatan-perbuatan apa saja yang

dilarang oleh Undang-Undang tersebut, dilakukan dengan tanpa hak dan

untuk mencari keuntungan atau bertujuan komersial.


6. Saran

a. Diperlukan terobosan hukum dengan melakukan percepatan omnibus law

yang terkait dengan HAKI, diantaranya UU Nomor 20 Tahun 2016

tentang Merek dan Indikasi Geografis, UU No. 30 Tahun 2000 tentang

Rahasia Dagang, UU Nomor 31 Tahun 2001 tentang Desain Industri, UU

Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu serta

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 Perubahan Kedua atas

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya yang terkait dengan

penetapan keputusan presiden.

b. Rendahnya kesadaran hukum para pelukis untuk mendaftarkan hasil

karyanya dikarenakan tidak ada keharusan untuk mendaftarkan hasil

hasil ciptaannya. Sistem pendaftaran yang tertulis dalam Undang-Undang

hak hasil cipta masih tergolong deklaratif sehingga tidak ada keharusan

bagi pelukis mendaftarkan hasil ciptaannya. Seharusnya pelukis

mempunyai inisiatif dan dorongan untuk selalu mendaftarkan hasil

ciptanya, karena penting dalam mendaftarkan hasil karyanya untuk

melindungi pembuat dari kegiatan pembajakan yang dilakukan pihak

lain. Selain itu perlu juga dilakukan evaluasi secara menyeluruh kepada

keberadaan peraturan perundang-undangan hak hasil cipta, khususnya

yang berkaitan dengan hak hasil cipta lukisan dan karya seni, evaluasi

dilakukan untuk memberikan kesadaran dan pemahaman kepada


masyarakat melalui penelitian sosiologis yang berguna untuk mengetahui

keberadaan dan pemahaman anggota masyarakat dalam hal ini tentunya

memahami secara menyeluruh tentang pentingnya perlindungan hak hasil

cipta.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Akbar Rakhmat Irhamulloh. “Tinjauan Yuridis Kewajiban Penggunaan


Bahasa Indonesia Bagi Tenaga Kerja Asing Di Indonesia”.” Jurnal Novum 2,
no. 2 (2017).
Adisumarto, Harsono. Hak Milik Intelektual Khususnya Hak Cipta. Jakarta:
Akademika Pressindo, 1999.
Arief, Sidharta. “Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum.” In Ilmu Hukum.
Teori Hukum Dan Filsafat Hukum. PT Refika Aditama. Bandung, 2007.
Atmadja, Hendra Tanu. “Perlindungan Hak Cipta Musik Atau Lagu Di
Indonesia.” Jurnal Hukum & Pembangunan 33, no. 2 (2017): 282.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol33.no2.1379.
Barron, Anne. “Copyright Law and the Claims of Art.” SSRN Electronic Journal,
2005. https://doi.org/10.2139/ssrn.346361.
Darmodihardjo, Dardji, and Siddharta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Apa Dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2018.
Dharmapatni, Luh Inggita. “Hak Cipta Sebagai Suatu Objek Jaminan Fidusia.”
Lex Journal: Kajian Hukum & Keadilan 2, no. 2 (2018).
https://doi.org/10.25139/lex.v2i2.1412.
Dharsono. Seni Rupa Modern. Bandung: Rekayasa Sains, 2018.
Erwin, Muhammad. Filsafat Hukum. Jakarta: Raja Grafindo, 2012.
Fanani, Ahmad Zaenal. “Berpikir Falsafati Dalam Putusan Hakim.” Varia
Peradilan, no. 304 (2011).
Gautama, Sudargo. Konvensi-Konvensi Hak Milik Intelektual Baru Untuk
Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Hadjon, Philipus M. Hukum. Masyarakat Dan Pembinaan Hukum Nasional.
Bandung: Bina Cipta, 1987.
Hariyani, Iswi. “Penjaminan Hak Cipta Melalui Skema Gadai Dan Fidusia.”
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 23, no. 2 (2016): 294–319.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol23.iss2.art7.
Hatikasari, Siti. “Esensi Perlindungan Hukum Dalam Sistem First To Announce
Atas Karya Cipta.” Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum 27, no. 2
(2019): 118–32. https://doi.org/10.33369/jsh.27.2.118-132.
Hermono, Budi, Muh Ali Masnun, and Indri Fogar Susilowati. “Copyright
Protection of Authors on Indexed Journal,” no. November (2020).
https://doi.org/10.2991/icss-18.2018.19.
Hutauruk, M. Pengaturan Hak Cipta Nasional. Jakarta: Erlangga, 1997.
I.S. Adiwimarta, Vollmar. Pengantar Studi Hukum Perdata I Edisi Revisi.
Jakarta: Rajawali Pers, 1998.
Kholis, Roisah. Konsep Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Malang: Setara Press,
2015.
Kusumadara, Afifah. “Pemeliharaan Dan Pelestarian Pengetahuan Tradisional
Dan Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia: Perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual Dan Non-Hak Kekayaan Intelektual’.” Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum 18, no. 1 (2011): 20–41.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol18.iss1.art2.
Lisensi, Perjanjian, and Hesty D Lestari. “Kepemilikan Hak Cipta Dalam,” no.
104 (2013): 173–88.
Mangesti, Yovita A, and Bernard L Tanya. Moralitas Hukum. Yogyakarta: Genta
Publishing, 2014.
Mashdurohatun, Anis, Adhi Budi Susilo, and Bambang Tri Bawono. “Copyright
Protection towards the Society 5.0.” Journal of Southwest Jiaotong
University 56, no. 2 (2021): 394–404. https://doi.org/10.35741/issn.0258-
2724.56.2.32.
MD, Moh Mahfud. “Penegakan Hukum Dan Tata Kelola Pemerintahan Yang
Baik.” In Bahan Pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani
Bicara” Yang Diselenggarakan Oleh DPP Partai HANURA. Mahkamah
Konstitusi. Jakarta, 2009.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Liberty. Jogjakarta,
2003.
Paramisuari., Anak Agung Sinta, and Sagung Putri M E Purwani. “Perlindungan
Hukum Ekspresi Budaya Tradisional Dalam Bingkai Rezim Hak Cipta.”
Kertha Semaya. Journal Ilmu Hukum 7, no. 1 (2019): 1–16.
Pemayun, T U N. “Plagiarism on Art Works Copyright in Bali.” Jurnal Hukum
Prasada 5, no. 1 (2018): 1–10. https://doi.org/10.22225/jhp.5.1.148.1-10.
Pemayun, Tjokorda Udiana Nindhia, I Made Suwitra, and I Made Sepud.
“Plagiasi Hak Cipta Karya Seni Rupa Di Bali.” Jurnal Lingkungan &
Pembangunan 1, no. 1 (2017): 40–52.
Prasetyo, Teguh. Keadilan Bermartabat. Bandung: Nusa Media, 2015.
Prawira., Gusti Bagus Gilang, and Ni Made Ari Yuliartini Griadhi. “Perlindungan
Hukum Hak Cipta Atas Tindakan Modifikasi Permainan Video Yang
Dilakukan Tanpa Izin.” Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum 7, no. 10
(2019): 1–16.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Editor Awaludin Marwan. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2012.
Ramadhani., Erika, and Wahluf Abidian. “Analisis Dan Perancangan Aplikasi
Perlindungan Hak Cipta Dan Otentikasi Dokumen Menggunakan Teknik
Analisis Kriptografi.” Journal of Appropriate Technology for Community
Services 1, no. 2 (2020): 55–62.
Rosidi, Ajip. Undang-Undang Hak Cipta: Pandangan Seorang Awam. Jakarta:
PT. Djambatan, 1984.
Saidin. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2018.
Sari, Indah. “Kedudukan Hak Cipta Dalam Mewujudkan Hak Ekonomi Sebagai
Upaya Perlindungan Terhadap Intellectual Property Rights.” Jurnal M-
Progress 6, no. 2 (2013): 90–93.
Simatupang, Khwarizmi Maulana. “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hak Cipta
Dalam Ranah Digital.” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 15, no. 1 (2021): 67.
https://doi.org/10.30641/kebijakan.2021.v15.67-80.
Sinaga, Selvie. “Faktor-Faktor Penyebab Rendahnya Penggunaan Hak Kekayaan
Intelektual Di Kalangan Usaha Kecil Menengah Batik.” Jurnal Hukum Ius
Quia Iustum 21, no. 1 (2014): 61–80.
https://doi.org/10.20885/iustum.vol21.iss1.art4.
Soedarso. Tinjauan Seni: Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi Seni. Yogyakarta:
Saku Dayar Sana, 2018.
Soekanto, Soerjono, and Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Rhineka. Soerojo, 2013.
Suherman, Ade Maman. Teori Dasar Dan Perkembangan Hukum Indonesia.
Surabaya. Grafika Press, 2008.
Sulistyawan, Aditya Yuli. “The Copyright Protection System Through the Art
Community Paradigm in Indonesia.” International Journal of Recent
Technology and Engineering 8, no. 4 (2019): 5526–29.
https://doi.org/10.35940/ijrte.d8095.118419.
Supramono, Gatot. Hak Cipta Dan Aspek-Aspek Hukumnya. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta, 2009.
Sutedi, Adrian. Hak Atas Kekayaan Intelektual; Pengaturan Dan Perlindungan
Hukum. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2009.
W.J.S, Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai
Pustaka, 2015.
Windari., I.Gede Ari Krisnanta Permana Ratna Artha, and Dewa Gede Sudika
Mangku. “Implementasi Undang-Undang Nomor. 28 Tahun 2014 Tentang
Hak Cipta Terhadap Perlindungan Karya Cipta Program Komputer
(Software) Di Pertokoan Rimo Denpasar.” Jurnal Komunitas Yustisia 1, no.
1 (2020): 55–65.

Anda mungkin juga menyukai