Anda di halaman 1dari 2

Kontradiksi Dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Pasal 5 ayat (1) huruI a dan b serta ayat (2) UUHHC 2002 meiliki potensi konIlik atau
dapat menimbulkan persoalan hukum dalam prakteknya. Adapun bunyi pasal ini adalah :
Pasal 5
(1) Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai Pencipta adalah:
a. orang yang namanya terdaItar dalam DaItar Umum Ciptaan pada Direktorat
Jenderal;atau
b. orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan sebagai Pencipta
pada suatu Ciptaan.
(2) Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak menggunakan bahan tertulis
dan tidak ada pemberitahuan siapa Penciptanya, orang yang berceramah dianggap
sebagai Pencipta ceramah tersebut.
Persoalan yang muncul dari rumusan pasal ini adalah dalam Pasal 5 ayat (1) huruI a tidak
memberikan kepastian hukum. Siapapaun dapat berbuat curang dengan mengaku sebagai
pencipta suatu ciptaan dan mendaItarkannya pada Direktorat Jenderal asal dapat
membuktikan bahwa dialah yang menciptakan ciptaan tersebut, meskipun ciptaan itu
diciptakan orang lain. Dengan demikian pihak yang berbuat curang tersebut dapat
memperoleh keuntungan dari hak ekonomi suatu ciptaan tersebut, Sedangkan pencipta asli
ciptaan tersebut mungkin tidak tahu-menahu bahwa ciptaannya tersebut telah dipergunakan
untuk memperoleh keuntungan tanpa seijinnya.
Kebanyakan para Pencipta tidak mendaItarkan Ciptaannya pada Direktorat jenderal
HaKi karena Proses PendaItaran hak ciptanya tersebut dirasa terlalu berbelit-belit dan biaya
administrasinya mahal. Sehingga kebanyakan Ciptaan milik para pencipta kebanyakan tidak
didaItarkan.
Selain itu Indonesia juga menganut Perolehan hak cipta yang bersiIat otomatis. Yakni
Hak Cipta didapatkan oleh pencipta secara otomatis sejak karya cipta itu diwujudkan dalam
bentuk yang konkret dan tidak memerlukan Iormalitas apapun. Hal ini akan menimbulkan
konIlik ketika Pencipta asli suatu ciptaan tersebut tidak mendaItarkan ciptaannya karena
merasa sudah mendapatkan Hak cipta terhadap ciptaan tersebut secara otomatis, sedangkan
ada pihak lain yang mendaItarkan ciptaan tersebut untuk kepentingan tertentu, misalnya
untuk mencari keuntungan. Maka apabila terjadi sengketa peradilan maka yang
berpeluangkan memenangkan sengketa adalah pihak yang memalsukan hak cipta itu, karena
ia memiliki alat bukti yang kuat yakni Surat bukti PendaItaran Ciptaan itu.
Menurut hemat Saya, Solusi untuk permasalahan ini adalah mengubah prinsip perolehan
Hak Cipta. Sebaiknya suatu ciptaan baru dapat diperoleh hak ciptanya saat didaItarkan, bukan
ketika diwujudkan dalam bentuk konkret. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai Kepastian
hukum mengenai Perolehan Hak Cipta. Sehingga mau tak mau para pencipta akan
mendaItarkan ciptaannya agar ia bisa mendapatkan pengakuan, maupun untuk memperoleh
keuntungan dari Ciptaannya.
Permasalah lain dalam Pasal ini adalah kurang jelasnya ayat (1) huruI b dimana
dinyatakan Pencipta adalah orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan
sebagai Pencipta pada suatu Ciptaan. Klausula ini mungkin dapat diterapkan dalam ciptaan
yang berwujud seperti lukisan atau buku, namun pencantuman nama tersebut mustahil
diterapkan dalam karya berbentuk lagu, drama, atau database komputer, sebab ciptaan ini
tidak berbentuk dan tidaak berwujud. Misalnya bagaimana mungkin kta dapat mencantumkan
nama pada suatu lagu, sebab lagu itu hanya bisa didengar, tidak dapat dilihat. Mungkin
pencatuman nama pencipta dapat dilakukan pada bungkus kaset atau CD lagu tersebut. Tetapi
ini bukanlah pencatuman pada ciptaan seperti yang dimaksud dalam pasal tersebut. Inilah
mengapa Saya menganggap Pasal 5 ayat 1 huruI b masih belum jelas, sehingga dapat
menimbulkan multi penaIsiran dalam proses persidangan. Seharusmya Pemerintah
memberika penjelasan dala penjelasan Undang-undang UUHC 2002 mengenai tehnik-tehnik
pencatuman nama Pencipta yang dianggap sah.

Oleh:
I. G.N. Aditya Wiraraja,SH
(105201437)

Anda mungkin juga menyukai