Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Komunikasi yang terjadi di kalangan elit politik hubungannya sangatlah erat
dengan perubahan hukum di Indonesia. Apabila menengok ke belakang sejarah
perjuangan Bangsa Indonesia, proses komunikasi elit politik terhadap dinamika
hukum di Indonesia sudah terjadi sejak Republik ini berdiri, atau bahkan sudah terjadi
sejak perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia saat itu. Dimana para elit politik
berupaya mengadakan perundingan-perundingan dengan pemerintah kolonial
Belanda. Pada waktu itu Bangsa Indonesia dalam rangka memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia.
Fenomena itu semakin menarik sejak terjadinya orde reIormasi di Indonesia
yakni pada tahun 1998 lalu. Pada waktu itu terjadi perubahan situasi politik yang
signiIikan dari masa pemerintahan otoriter ke masa pemerintahan demokratis. Terjadi
banyak perubahan tata hukum Indonesia yang mengarah pada penghargaan kepada
suasana demokratis dan hak asasi manusia. Hal ini tidak terlepas dari peran para elit
politik dalam mewarnai suasana hukum di Indonesia.
Hukum yang tercipta di Indonesia ini didasarkan atas banyak hal sehingga
hukum tersebut muncul. Proses pembentukan ini tidak akan terjadi apabila tidak
adanya komunikasi yang terjadi antara peran masing-masing elit politik yang
ada.Terdapat banyak hal yang dapat mempengaruhi dinamika hukum tersebut,dalam
proses pembentukan hukum baru atau perubahan hukum lama menjadi baru yang
muncul di tengah masyarakat. Akibat adanya komunikasi antar elit, sangat
dimungkinkan peran ego masing-masing bisa mempengaruhi kemunculan hukum atau
perubahan hukum di Indonesia saat ini.

I.2 Permasalahan
Bagaimana pengaruh komunikasi para elit politik dalam rangka menjalani
kewajiban dan wewenamgnya dalam mengatur suatu kondisi bangsa, terhadap
dinamika hukum yang terjadi di Indonesia?




BAB II
PEMBAHASAN
$emua komponen bangsa telah sepakat untuk membangun dan mewujudkan
cita-cita Bangsa Indonesia, yaitu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial. Hal ini tercantum dalamAlinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945.
Namun Iakta yang ada, tidak sedikit dari masyarakat termasuk para mahasiswa
hukum yang heran ketika melihat bahwa hukum ternyata tidak seperti yang dipahami
dan dibayangkan ketika di bangku kuliah. Mereka heran ketika melihat bahwa hukum
tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak
masyarakat, atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul,
tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan
dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam
menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan
banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan
politik pemegang kekuasaan dominan.
Ternyata hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik
kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga
muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistim mana antara hukum dan politik
yang dalam kenyataannya lebih suprematiI. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang
lebih spesiIik pun dapat mengemuka seperti bagaimanakah pengaruh politik terhadap
hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis sistem politik yang
bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter seperti apa.
Upaya untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan
upaya yang sudah memasuki wilayah politik hukum. Politik hukum secara sederhana
dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian tentang
bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konIigurasi kekuatan
yang di belakang pembuatan dan penegakkan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat
hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersiIat imperative atau keharusan-
keharusan yang bersiIat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem

yang dalam kenyataan atau das sein. Bukan dalam perumusan materi dan pasal-
pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
$ebagai contoh yang jelas, dapat ditemukan perubahan signiIikan di bidang
hukum yang telah terjadi antara masa- masa orde baru ke orde reIormasi. $elama 32
tahun pemerintah Orde Baru berkuasa di bawah kepemimpinan Presiden $oeharto,
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah berubah menjadi semacam kitab suci
sakral yang tidak boleh disentuh perubahan. Padahal sebagai karya manusia, UUD
1945 disusun oleh para pendiri bangsa dengan bentuk yang sangat sederhana dan
singkat karena hanya terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 49 ayat, 4 pasal Aturan Peralihan
dan 2 ayat Aturan Tambahan. $iIatnya yang sederhana menimbulkan banyak celah
yang dapat dimanIaatkan untuk berlakunya Negara kekuasaan.
UUD 1945 sendiri telah secara jelas menyatakan membuka diri untuk
dilakukan perubahan. Hal ini ditegaskan melalui pasal 37 UUD 1945 yang
menentukan persyaratan bahwa 2/3 dari anggota MPR harus hadir, dan 2/3 dari yang
hadir itu harus menyetujui perubahan tersebut. Namun pasal yang seharusnya menjadi
landasan berpijak untuk mewujudkan aspirasi rakyat dalam kenyataannya telah
diubah dengan adanya Ketetapan MPR No.IV/MPR/1983 tentang ReIerandum. Maka
kemungkinan untuk mengadakan perubahan terhadap UUD 1945 menjadi semakin
sulit dilakukan.
$ejarah menunjukkan bahwa dalam setiap Pemilu selama era Orde Baru,
Golkar selalu berhasil memenangkan pemilu dengan single mafority dan pada setiap
pemilihan presiden, $oeharto selalu terpilih kembali secara aklamasi. Namun selama
era Orde Baru, terjadi pembatasan hak-hak politik warganegara, khususnya dalam hal
berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan.
Pemerintah tidak segan-segan menutup atau membredel media yang dinilai tidak
kooperatiI atau menyerang kebijakan pemerintah. Hutang pemerintah dan swasta pada
saat itu terlalu besar serta korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang merajalela.
Itulah kondisi hukum saat itu dengan gaya pemerintahan yang otoriter-sentralistik.
Memasuki era reIormasi, dengan lengsernya Presiden $oeharto pada tanggal
21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh B.J. Habibie.Pemilihan Umum (Pemilu)
tahun 1999 yang dilaksanakan secara demokratis berhasil menyusun keanggotaan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang baru. MPR hasil Pemilu 1999
berupaya mengakomodir dan melaksanakan apa yang menjadi kehendak reIormasi
yaitu dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Namun muncul perdebatan

yang cukup panjang mengenai cara mengamandemen UUD 1945 itu. $etidaknya
timbul pertanyaan ketika itu mengenai bagaimana bentuk perubahan tersebut harus
dilakukan. $ebagian pihak menginginkan agar dibuat suatu konstitusi baru yang akan
menggantikan UUD1945 secara keseluruhan. Argumentasi utama kelompok ini
adalah karena UUD 1945 perlu dirombak secara total, sehingga perubahan haruslah
dalam bentuk penggantian UUD 1945 dengan konstitusi baru. $ebagian pihak
lainnya memandang bahwa UUD 1945 masih perlu dipertahankan mengingat adanya
pembukaan UUD 1945. Hal ini didasarkan pada pertimbangan pengalaman sejarah di
Konstituante maupun berdasarkan pertimbangan praktis, bahwa mengubah
Pembukaan UUD 1945 berarti juga mengubah konsensus politik tertinggi. Mengubah
Pembukaan UUD 1945 di tengah keadaan politik yang tidak menentu justru akan
memperburuk keadaan.
$eiring dengan peristiwa diatas, apabila kita teliti maka semua masyarakat
yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan bagaimanapun kita
mendeIinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi
masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk
menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Disini ingin
dikemukakan masalah-masalah yang kita hadapi dalam memperkembangkan hukum
sebagai alat pembaharuan masyarakat (a tool of social engineering).
Masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan. Akan tetapi
saat ini yang terjadi, perubahan-perubahan dilatarbelakangi oleh kepentingan-
kepentingan sektoral. Kepentingan kelompoknya. Kepentingan institusinya. $eperti
terbitnya Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang baru.
Undang-undang ini telah mengurangi kewenangan lembaga pemberantasan korupsi
atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini cukup berprestasi.
Undang-Undang tentang Rahasia Negara. Undang-Undang tentang Bank Indonesia,
yang disinyalir undang-undang dimaksud menguntungkan kelompok-kelompok
tertentu. $ehingga terkesan instrument hukum tersebut tidak responsiI terhadap
perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Contoh lain, pandangan yang ditumbuhkembangkan pada masa lalu bahwa
negaralah yang akan mengatur segala urusan warganya tanpa perlu ada
pertanggungjawaban dan keikutsertaan warga Negara. Akibatnya, banyak undang-
undang yang tidak mampu secara tepat membidik persoalan yang ada di masyarakat.
Padahal, untuk masyarakatlah para wakil rakyat itu bekerja dan untuk masyarakat

pula suatu undang-undang dibuat. Dalam kenyataannya, alih-alih menyelesaikan
masalah sosial yang ada di masyarakat, beberapa undang-undang tidak dapat
diterapkan secara eIektiI atau justru membuat masalah social yang baru. Misalnya
dapat dilihat pada Undang-Undang Lalu Lintas (UU No.14 tahun 1992) yang
akhirnya tidak dapat diterapkan secara eIektiI, atau Undang-Undang tentang Keadaan
Bahaya yang menimbulkan demonstrasi besar-besaran serta menimbulkan korban
jiwa pada tahun 1999 dan akhirnya disepakati untuk tidak diundangkan.




























BABIII
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Komunikasi politik adalah mempersambungkan semua bagian dari sistem
politik dan juga masa kini dengan masa lampau. Institusi yang berwenang melakukan
pembentukan dan perubahan hukum di Indonesia adalah Pemerintah, Dewan
Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. $edangkan Iaktor
untuk dapat melakukan perubahan adalah oleh kepentingan-kepentingan politik
pemegang kekuasaan dominan. Menenai pengaruh komunikasi para elit politik
terhadap perubahan hukum di Indonesia ternyata sangat signiIikan, sepanjang
konIigurasi kekuatan yang di belakang pembuatan dan penegakkan hukum itu cukup
dominan.

III.2 Saran
Para elit politik, yang dipilih atau dipercaya oleh rakyat agar bekerja sebaik-
baiknya sesuai perannya masing-masing. Komunikasi yang dilakukan oleh para elit
politik, semata-mata bertujuan untuk pembangunan, pengembangan, dan kemajuan
Bangsa Indonesia. Tanpa dibarengi peran ego masing-masing dari para elit dalam
melakukan tugasnya.
















DAFTAR PUSTAKA

O Moh MahIud, 2009, !olitik Hukum di Indonesia, GraIindo Persada, Jakarta.
O Artijo Alkostar, $H dan M. $holeh Amin$H., 1986, !embangunan Hukum dalam
!erspektif !olitik Hukum Nasional, Rajawali Persada, Jakarta.
O $T Harum Pudjiarto R$., 1996, emahami !olitik Hukum di Indonesia,
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.
O Anthon F $usanto $H. Mhum., 2004, afah !eradilan Kita, ReIlika Aditama,
Bandung.
O Fajrul Falaakh, M. Kemandirian dan Tanggungfawab Kekuasaan Kehakiman di
Indonesia. Artikel tanpa tanggal di situs Komisi Hukum Nasional RI
www.komisihukum.go.id
O Frans Hendra Winarta. imensi oral profesi Advokat dan !ekerfa Bantuan
Hukum. Artikel tanpa tanggal di situs Komisi Hukum Nasional RI
www.komisihukum.go.id

Anda mungkin juga menyukai