Anda di halaman 1dari 17

BAB I

1.1.

Latar Belakang
Setiap ide-ide yang cemerlang dan kreatif yang tercipta dari seseorang atau

sekelompok orang sebagai bentuk dari kemampuan intelektual manusia

yang

berguna dan memberi dampak baik dari berbagai aspek perlu di akui dan perlu
dilindungi, agar ide-ide cemerlang dan kratif yang telah diciptakan tidak diklaim atau
di bajak oleh pihak lain. Untuk itu diperlukan wadah yang dapat membantu dan
menaungi ide-ide cemerlang dan kreatif tersebut. Untuk Tingkat internasional
0rganisasi yang mewadahi bidang H.K.I

( Hak Kekayaan Intelektual ) adalah

WIPO ( World Intellectual Property Organization).


Di

Indonesia

sendiri

untuk

mendorong

dan

melindungi

penciptaan,

penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu pengetahuan, seni, dan


sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa, maka
dirasakan perlunya perlindungan hukum terhadap hak cipta. Perlindungan Hukum
tersebut dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik untuk
tumbuh dan berkembangnya gairah mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan
sastra di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Di Indonesia, Undang-undang yang melindungi karya cipta adalah Undangundang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, dan telah melalui beberapa
perubahan dan telah diundangkan Undang-Undang yang terbaru yaitu UndangUndang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mulai berlaku 12 (dua belas)
bulan sejak diundangkan. Tidak hanya karya cipta, invensi di bidang teknologi ( hak
paten ) dan kreasi tentang penggabungan antara unsure bentuk,warna, garis( desain
produk industry ) serta tanda yang digunakan untuk kegiatan perdagangan dan jasa
( merek ) juga perlu diakui dan dilindungi dibawah perlindungan hukum . Dengan
kata lain Hak atas kekayaan Intelektual ( HaKI) perlu didokumentasikan agar
kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya lainnya yang sama dapat dihindari
atau dicegah.
Selama ini berbagai usaha untuk menyosialisasikan penghargaan atas HAKI
telah dilakukan secara bersama-sama aparat pemerintah terkait beserta lembaga
pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat. Akan tetapi sejauh ini upaya
sosialisasi tampaknya belum cukup berhasil.

Ada beberapa alas an yang mendasarinya. Pertama, konsep dan perlunya


HAKI belum dipahami dimasyarakat. Kedua, kurang optimalnya upaya penegakan,
baik oleh pemilik HAKI itu sendiri maupun aparat penegak hukum. Ketiga, tidak ada
kesamaan pandangan dan pengertian mengenai pentingnya perlindungan dan
penegakan HAKI dikalangan pemilik HAKI dan aparat penegak hukum.
Globalisasi yang sangat identik dengan free market, free competition dan
transparasi, memberikan dampak yang cukup besar terhadap perlindungan HAKI di
Indonesia. Situasi seperti inipun memberikan tantangan kepada Indonesia, dimana
Indonesia diharuskan untuk dapat memberikan perlindungan yang memadai atas
HAKI sehingga terciptanya persaingan sehat yang tentu saja dapat memberikan
kepercayaan kapada investor untuk berinvestasi di Indonesia
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas,maka secara umum rumusan

masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :


1. Bagaimana Sejarah HaKI atau H.K.I
2. Apa yang dimaksud dengan HaKI atau H.K.I ?
3. Apa saja ruang Lingkup HaKI atau H.K.I?
4. Apa pengertian dan landasan hukum dari Hak cipta, Paten (Patent)Desain
Industri (IndustrialnDesign) Merek (Trademark) ?
5. Apa sifat hukum HaKI atau H.K.I ?
6. Mengapa HaKI atau H.K.I itu penting?
7. Bagaiman Sejarah perkembangan Perlindungan HaKI atau H. K .I di
Indonesia ?
1.3.

Tujuan
Tujuan dalam pembahasan makalah ini, yang berjudul PERLINDUNGAN

HaKI berdasarkan rumusan masalah di atas, adalah untuk membahas hal-hal yang
sesuai dengan permasalahan yang diajukan antara lain :
1. Untuk mengetahui sejarah HaKI atau H.K.I
2. Untuk mengetahui pengertian HaKI atau H.K.I
3. Untuk mengetahui ruang Lingkup HaKI atau H.K.I

4. Untuk mengetahui pengertian dan landasan hukum dari Hak cipta,


Paten (Patent)

Desain Industri

(Industrial Design) Merek (Trademark)

Untuk mengetahui sifat hukum HaKI atau H.K.I


5. Untuk mengetahui pentingnya HaKI atau H.K.I
6. Untuk mengetahui Sejarah perkembangan Perlindungan HaKI atau H. K .I
di Indonesia
1.4

Manfaat
Selain tujuan daripada penulisan makalah, perlu pula diketahui bersama

bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah
dapat menambah khazanah keilmuan terutama di bidang hukum terutama hukum
Bisnis dan semoga keberadaan hukum ini dapat memberi masukan bagi semua
pihak.
1.5

Metode penulisan
Dalam penulisan makala ini, penulis menggunakan metode studi pustaka

yang berorientasi pada buku-buku Hukum Bisnis

BAB II
PEMBAHASAN
1.1.

Sejarah Perkembangan Hak Atas Kekayaan Intelektual di Indonesia


Dilihat dari perkembangan hak kekayaan intelektual (HKI) di tanah air, sistem

hukum (IPR) pertama kali diterjemahkan menjadi hak milik intelektual, kemudian
menjadi hak milik ataskekayaan intelektual. Istilah yang umum dan lazim dipakai
sekarangadalah hak kekayaanintelektual yang disingkat HKI. Hal ini sejalan dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Hukum dan PerUndang-Undangan RI
Nomor

M.03.PR.07.10

Tahun

2000

dan

Persetujuan

Menteri

Negara

Pendayagunaan Aparatur Negara, dalam surat Nomor 24/M/PAN/1/2000 istilah


Hak Kekayaan Intelektual (tanpa Atas) dapat disingkat HKI atau akronim
HaKI telah resmi dipakai. Jadi bukan lagi Hak Atas Kekayaan Intelektual (dengan
Atas).

Surat Keputusan Menteri Hukum dan PerUndang-Undangan tersebut didasari


pula dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 1998
tanggal

15

September

Jenderal Hak Cipta,

1998,

Paten

Jenderal Hak Atas Kekayaan

dan

tentang

perubahan

Merek

berubah

Intelektual(Ditjen

HAKI)

nama

Direktorat

menjadi

Direktorat

kemudian

berdasar

Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 Ditjen HAKI berubah menjadi Ditjen
HKI (DJHKI).

Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu hak alamiah atau hak dasar yang
dimiliki

seseorang

berkaitan

dengan

intelektualitas

(akal

atau

rasio)

manusia. Hak Alamiah atau hakdasar yang dimiliki oleh manusia ini harus dihormati
dan dihargai oleh setiap manusia lain. Seseorang yang telah mencurahkan
usahanya

untuk

menciptakan

sesuatu

selanjutnya

mempunyai hak alamiah

atau hak dasar untuk memiliki dan mengontrol segala yang telah diciptakannya.
Pendekatan ini menyiratkan kewajaran dan keadilan , akan nampak tidak wajar dan
tidak adil mengambil usaha seseorang tanpa izin terlebih dahulu. Secara historis,
peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah ada sejak tahun
1840-an.

Pemerintah

kolonial

Belanda

memperkenalkan

Undang-Undang

(UU)

pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah


Belanda mengundangkan UU Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU Hak Cipta
(1912). Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands EastIndies Paris Covention for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1888,
anggota dari tahun 1893 s.d. 1936, dan anggota sejak tahun 1914. Pada jaman
pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 s.d.1945, semua peraturan perundangundangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.

Pada

17

Agustus

1945,

bangsa

Indonesia

memproklamirkan

kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945,


seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan colonial Belanda tetap berlaku
berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut Undang- Undang ini. Hal ini kemudian dipertegas lagi
dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 tanggal 10 Oktober1945 yang
menyatakan: Segala badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai
berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum
diadakan menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak
bertentangan dengan Undang- Undang Dasar tersebut. Undang-Undang Hak Cipta
dan UU Merek peninggalan Belanda tetap berlaku, namun tidak demikian halnya
dengan UU Paten yang dianggap bertentangan dengan Pemerintah Indonesia.
Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan paten
dapat diajukan di Kantor Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun
pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di yang berada di
Belanda.

Pada 1953, Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang


merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten,
yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.S. 5/41/4, yang mengatur tentang
pengajuan sementara permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri
Kehakiman Nomor J.G. 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara
permintaan paten luar negeri. Pada 11 Oktober 1961, Pemerintah Indonesia
mengundangkan UU No. 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek

Perniagaan (UU Merek 1961) untuk mengganti UU Merek kolonial Belanda. UndangUndang Merek 1961 yang merupakan UU Indonesia pertama di bidang HKI mulai
berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961 dimaksudkan untuk
melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan. Pada 10 Mei 1979,
Indonesia meratifikasi Konvensi Paris (1967) berdasarkan Keputusan Presiden No.
24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh
karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan,
yaitu Pasal 1 s.d. 12, dan Pasal 28 ayat (1).

Pada 12 April 1982, Pemerintah mengesahkan UU No. 6 tahun 1982 tentang


Hak Cipta (UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan
Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan
melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni
dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa. Tahun
1986 dapat disebut sebagai awal era modern system HKI di tanah air. Pada 23 Juli
1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui Keputusan
Presiden Nomor 34/1986 (tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34).
Tugas utama Tim Keppres 34 adalah penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI,
perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem
HKI di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat
luas. Tim Keppres 34 selanjutnya membuat terobosan, antara lain dengan
mengambil inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya
sistem paten di tanah air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali rancangan UU
Paten yang telah diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989
Pemerintah mengesahkan UU Paten.

Pada 19 September 1987 Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 7


tahun 1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta.
Dalam penjelasan UU No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan
atas UU No. 12 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran
hak cipta yang dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan
kreatifitas masyarakat. Menyusuli pengesahan UU No. 7 tahun 1987, Pemerintah
Indonesia menandatangani sejumlah kesepakatan bilateral di bidang hak cipta
sebagai pelaksanaan dari UU tersebut Pada 1988, berdasarkan Keputusan Presiden

Nomor 32 ditetapkan pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek
(DJHCPM) untuk mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat Paten dan Hak Cipta
yang merupakan salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum
dan perundang-undangan, Departemen Kehakiman.

Pada 13 Oktober 1989, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui rancangan UU


tentang Paten, yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 tahun 1989 (UU Paten
1989) oleh Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai
berlaku tanggal 1 Agustus 1991. Pengesahan UU Paten 1989 mengakhiri
perdebatan panjang tentang seberapa pentingnya sistem paten dan manfaatnya
bagi bangsa Indonesia. Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan UU Paten
1989, perangkat hukum di bidang paten diperlukan untuk memberikan perlindungan
hukum dan mewujudkan suatu iklim yang lebih baik bagi kegiatan penemuan
teknologi. Hal ini disebabkan karena dalam pembangunan nasional secara umum
dan khususnya di sektor industri, teknologi memiliki peranan yang sangat penting.
Pengesahan UU Paten 1989 juga dimaksudkan untuk menarik investasi asing dan
mempermudah masuknya teknologi ke dalam negeri. Namun demikian, ditegaskan
pula bahwa upaya untuk mengembangkan sistem HKI, termasuk paten, di Indonesia
tidaklah semata-mata karena tekanan dunia internasional, namun juga karena
kebutuhan nasional untuk menciptakan suatu sistem perlindungan HKI yang efektif.
Pada 28 Agustus 1992, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 19 tahun 1992
tentang Merek (UU Merek 1992), yang mulai berlaku tanggal 1 April 1993. UU Merek
1992 menggantikan UU Merek 1961.

1.2.

Pengertian HaKI atau H.K.I


Kekayaan

Intelektual atau Hak

Kekayaan

Intelektual

(HKI) (selanjutnya

disebut HaKI ) atau Hak Milik Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan
untuk Intellectual Property Rights (IPR) atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa
Jermannya. Istilah atau terminologi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) digunakan untuk
pertama kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan
tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak
milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya. HKI
terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan

merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Adapun
kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan
daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis,
karikatur, dan lain-lain yang berguna untuk manusia. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa HaKI atau HKI adalah hak yang berasal dari hasil kegiatan kretif
suatu kemampuan daya berpikir manusia yang mengepresikan kepada khalayak
umum dalam berbagai bentuk, yang memiliki manfaat serta berguna dalam
menunjang khidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomis yang melindungi
karya-karya intelektual manusia tersebut.
Sistem HKI merupakan hak privat (private rights). Seseorang bebas untuk
mengajukan permohonan atau mendaftarkan karya intelektualnya atau tidak. Hak
eklusif yang diberikan Negara kepada individu pelaku HKI (inventor, pencipta,
pendesain dan sebagainya) tiada lain dimaksudkan sebagai penghargaan atas hasil
karya (kreativitas) nya dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut
mengembangkannya lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut kepentingan
masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar. Disamping itu sistem HKI
menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas segala bentuk
kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkannya teknologi atau karya
lainnya yang sama dapat dihindari atau dicegah. Dengan dukungan dokumentasi
yang baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkannya dengan
maksimal untuk keperluan hidupnya atau mengembangkannya lebih lanjut untuk
memberikan nilai tambah yang lebih tinggi lagi
1.3.

Ruang Lingkup HaKI

Secara garis besar HKI dibagi menjadi dua bagian, yaitu :


1. Hak Cipta (Copyrights)
2. Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup :

Paten (Patent)

Desain Industri (Industrial Design)

Merek (Trademark)

Penanggulangan
competition)

praktik

persaingan

curang

(repression

of

unfair

2.4.

Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit)

Rahasia dagang (Trade secret)

Pengertian Dan Dasar Hukum Dari Hak Cipta, Paten (Patent) Desain
Industri (Industrial Design) Merek (Trademark)

1. Hak Cipta
Hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur penggunaan
hasil penaungan gagasan atau informasi tertentu. Dalam undang-undang hak
cipta adalah hak eksklusif pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan- pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku(
pasal 1 butir 1)
Dasar hukum Hak Cipta : Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta.
2. Hak Paten
Hak eksklusif yang diberikan oleh Negara atas hasil invensinya di bidang
teknologi,yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri untuk ivensinya
tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Dasar hukum Hak Paten : Undang-Undang No 14 tahun 2001 tentang hak paten.
3. Desain Industri
Suatu kreasi tentang bentuk,konfigurasi atau komposisi garis atau warna, atau
garis dan warna atau gabungan dari padanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua
dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu barang komoditas,atau
kerajinan tangan.
Dasar hukum : Undang-Undang No 13 tahun 2000 tentang desain industry
4. Hak merek
Hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek terdaftar dalam
daftar umum merek dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri
merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Dasar hukum hak merek : Undang-Undang No 15 tahun 2001 tentang merek


2.5.

Sifat Hukum HaKI atau HKI


Hukum yang mengatur HKI bersifat teritorial, pendaftaran ataupun penegakan

HKI harus dilakukan secara terpisah di masing-masing yurisdiksi bersangkutan. HKI


yang dilindungi di Indonesia adalah HKI yang sudah didaftarkan di Indonesia.
2.6

Pentingnya HaKI atau HKI


Memperbincangkan masalah HKI bukanlah masalah perlindungan hukum

semata. HKI juga erat dengan alih teknologi, pembangunan ekonomi, dan martabat
bangsa. Secara umum disepakati bahwa Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya
disebut HaKI) memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi saat
ini. Dalam hasil kajian World Intellectual Property Organization (WIPO) dinyatakan
pula bahwa HKI memperkaya kehidupan seseorang, masa depan suatu bangsa
secara material, budaya, dan sosial.
Secara umum ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari sistem HKI
yang baik, yaitu meningkatkan posisi perdagangan dan investasi, mengembangkan
teknologi, mendorong perusahaan untuk bersaing secara internasional, dapat
membantu komersialisasi dari suatu invensi (temuan), dapat mengembangkan
sosial budaya, dan dapat menjaga reputasi internasional untuk kepentingan ekspor.
Oleh karena itu, pengembangan sistem HKI nasional sebaiknya tidak hanya melalui
pendekatan hukum (legal approach) tetapi juga teknologi dan bisnis (business and
technological approach) dan Sistem perlindungan yang baik terhadap HKI dapat
menunjang pembangunan ekonomi masyarakat yang menerapkan sistem tersebut.
Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia
telah ada sejak tahun 1840. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undangundang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya,
Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek tahun 1885, Undang-undang Paten
tahun 1910, dan UU Hak Cipta tahun 1912. Indonesia yang pada waktu itu masih
bernama Netherlands East-Indies telah menjadi angota Paris Convention for the
Protection of Industrial Propertysejak tahun 1888, anggota Madrid Convention dari
tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne Convention for the Protection
of Literaty and Artistic Works sejak tahun 1914. Pada zaman pendudukan Jepang

yaitu tahun 1942 sampai dengan 1945, semua peraturan perundang-undangan di


bidang HKI tersebut tetap berlaku. Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan
peralihan UUD 1945, seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan Kolonial
Belanda tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta
dan UU Merek tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang
dianggap bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan
dalam UU Paten peninggalan Belanda, permohonan Paten dapat diajukan di Kantor
Paten yang berada di Batavia (sekarang Jakarta), namun pemeriksaan atas
permohonan Paten tersebut harus dilakukan di Octrooiraad yang berada di Belanda.
Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang
merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang Paten,
yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman no. J.S 5/41/4, yang mengatur tentang
pengajuan sementara permintaan Paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri
Kehakiman No. J.G 1/2/17 yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan
paten luar negeri.
Pada tanggal 11 Oktober 1961 Pemerintah RI mengundangkan UU No.21
tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan untuk mengganti UU
Merek Kolonial Belanda. UU No 21 Tahun 1961 mulai berlaku tanggal 11 November
1961. Penetapan UU Merek ini untuk melindungi masyarakat dari barang-barang
tiruan/bajakan.
10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris Paris Convention for the
Protection of Industrial Property (Stockholm Revision 1967) berdasarkan keputusan
Presiden No. 24 tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu
belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap
sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12 dan Pasal 28 ayat 1.
Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982
tentang Hak Cipta untuk menggantikan UU Hak Cipta peninggalan Belanda.
Pengesahan UU Hak Cipta tahun 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan
melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu, seni,
dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.

Tahun 1986 dapat disebut sebagai awal era moderen sistem HKI di tanah air.
Pada tanggal 23 Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI
melalui keputusan No.34/1986 (Tim ini dikenal dengan tim Keppres 34) Tugas utama
Tim Keppres adalah mencakup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI,
perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem
HKI di kalangan intansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat
luas.
19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No.7 Tahun 1987
sebagai perubahan atas UU No. 12 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
Tahun 1988 berdasarkan

Keputusan Presiden

RI No.32 ditetapkan

pembentukan Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek (DJHCPM) untuk
mengambil alih fungsi dan tugas Direktorat paten dan Hak Cipta yang merupakan
salah satu unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Hukum dan PerundangUndangan, Departemen Kehakiman.
Pada tanggal 13 Oktober 1989 Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui RUU
tentang Paten yang selanjutnya disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 1989 oleh
Presiden RI pada tanggal 1 November 1989. UU Paten 1989 mulai berlaku tanggal 1
Agustus 1991.
28 Agustus 1992 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 19 Tahun 1992
tentang Merek, yang mulai berlaku 1 April 1993. UU ini menggantikan UU Merek
tahun 1961.
Pada tanggal 15 April 1994 Pemerintah RI menandatangani Final Act
Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang
mencakup Agreement

on

Trade

Related

Aspects

of

Intellectual

Property

Rights (Persetujuan TRIPS).


Tahun 1997 Pemerintah RI merevisi perangkat peraturan perundangundangan di bidang HKI, yaitu UU Hak Cipta 1987 jo. UU No. 6 tahun 1982, UU
Paten 1989 dan UU Merek 1992.

Akhir tahun 2000, disahkan tiga UU baru dibidang HKI yaitu : (1) UU No. 30
tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain
Industri, dan UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Untuk menyelaraskan dengan Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights) pemerintah Indonesia mengesahkan
UU No 14 Tahun 2001 tentang Paten, UU No 15 tahun 2001 tentang Merek, Kedua
UU ini menggantikan UU yang lama di bidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002,
disahkan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menggantikan UU yang
lama dan berlaku efektif satu tahun sejak di undangkannya.Pada tahun 2000 pula
disahkan UU No 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman dan mulai
berlaku efektif sejak tahun 2004.
Dengan demikian, perangkat peraturan perundang-undangan di bidang HKI di
Indonesia sampai saat ini sudah lengkap. Namun, hal tersebut masih belum banyak
diketahui

oleh

masyarakat.

Hal

ini

dihadapkan

pula pada

masih

rendahnya tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang HaKI atau


HKI. Oleh karena itu, tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang
HaKI

atau

HKI perlu terus

menerus

ditingkatkan

melalui berbagai

kegiatan

sosialisasi kepada masyarakat. Adanya pemahaman maka terhadap HaKI atau HKI
maka para warga masyarakat akan menghargai karya-karya yang dilindungi oleh
hukum hak kekayaan intelektual. Selain itu, anggota masyarakat berkreasi untuk
menghasilkan karya yang dapat dilindungi oleh hak kekayaan intelektual.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Betapapun HaKI adalah konsep hukum yang netral. Namun, sebagai pranata,
HaKI juga memiliki misi. Di antaranya, menjamin perlindungan terhadap kepentingan
moral dan ekonomi pemiliknya. Bagi Indonesia, pengembangan sistem HaKI telah
diarahkan untuk menjadi pagar, penuntun dan sekaligus rambu bagi aktivitas industri
dan lalu lintas perdagangan. Dalam skala ekonomi makro, HaKI dirancang untuk
memberi energi dan motivasi kepada masyarakat untuk lebih mampu menggerakkan
seluruhpotensi ekonomi yang dimiliki. Ketika menghadapi badai krisis ekonomi, HaKI
terbukti dapat menjadi salah satu payung pelindung bagi para tenaga kerja yang
memang benar-benar kreatif dan inovatif. Lebih dari itu, HaKI sesungguhnya dapat
diberdayakan untuk mengurangi kadar ketergantungan ekonomi pada luar negeri.
Bagi Indonesia, menerima globalisasi dan mengakomodasi konsepsi perlindungan
HaKI tidak lantas menihilkan kepentingan nasional. Keberpihakan pada rakyat, tetap
menjadi justifikasi dalam prinsip-prinsip pengaturan dan rasionalitas perlindungan
berbagai bidang HaKI di tingkat nasional. Namun, semua itu harus tetap berada
pada koridor hukum dan norma-norma internasional.Dari segi hukum, sesungguhnya
landasan keberpihakan pada kepentingan nasional itu telah tertata dalam berbagai
pranata HaKI. Di bidang paten misalnya, monopoli penguasaan dibatasi hanya
seperlima abad. Selewatnya itu, paten menjadi public domain. Artinya, klaim
monopoli dihentikan dan masyarakat bebas memanfaatkan. Di bidang merek, HaKI
tegas menolak monopoli pemilikan dan penggunaan merek yang miskin reputasi.
Merek serupa itu bebas digunakan dan didaftarkan orang lain sepanjang untuk
komoditas dagang yang tidak sejenis. HaKI hanya memberi otoritas monopoli yang
lebih ketat pada merek yang sudah menjadi tanda dagang yang terkenal. Di luar itu,
masyarakat bebas menggunakan sepanjang sesuai dengan aturan. Yang pasti,
permintaan

pendaftaran

merek

ditolak

bila

didasari

itikad

tidak

baik.

Banyak pemikiran yang menawarkan tesis bahwa efektivitas UU ditentukan oleh tiga
hal utama. Yaitu, kualitas perangkat perundang-undangan, tingkat kesiapan aparat
penegak hukum dan derajat pemahaman masyarakat.

Pertama, dari segi kualitas perundang-undangan. Masalahnya adalah apakah


materi muatan UU telah tersusun secara lengkap dan memadai, serta terstruktur dan
mudah dipahami. Aturan perundang-undangan di bidang HaKI memiliki kendala dari
sudut parameter ini. Hal ini terbukti dari seringnya merevisi perangkat perundangan
yang telah dimiliki. UU Hak Cipta telah tiga kali direvisi. Demikian pula UU Paten dan
UU Merek yang telah disempurnakan lagi setelah sebelumnya bersama-sama
direvisi tahun 1997. Sebagai instrumen pengaturan yang relatif baru, bongkar
pasang UU bukan hal yang tabu. Setiap kali dilakukan revisi, setiap kali pula
tertambah kekurangan-kekurangan yang dahulu tidak terpikirkan. Dalam banyak hal,
revisi juga sekedar merupakan klarifikasi. Ini yang sering kali digunakan sebagai
solusi atas problema pengaturan yang tidak jelas atau melahirkan multiinterpretasi.
Kedua, tingkat kesiapan aparat penegak hukum. Faktor ini melibatkan banyak
pihak: polisi, jaksa, hakim, dan bahkan para pengacara. Seperti sudah sering kali
dikeluhkan, sebagian dari para aktor penegakan hukum tersebut dinilai belum
sepenuhnya mampu mengimplementasikan UU HaKI secara optimal. Dengan
menepis berbagai kemungkinan terjadinya 'penyimpangan', kendala yang dihadapi
memang tidak sepenuhnya berada di pundak mereka. Sistem pendidikan dan
kurikulum di bangku pendidikan tinggi tidak memberikan bekal substansi yang cukup
di bidang HaKI. Karenanya, dapat dipahami bila wajah penegakan hukum HaKI
masih tampak kusut dan acapkali diwarnai berbagai kontroversi.Ketiga, derajat
pemahaman masyarakat. Sesungguhnya memang kurang fair menuntut masyarakat
memahami sendiri aturan HaKI tanpa bimbingan yang memadai. Sebagai konsep
hukum baru yang padat dengan teori lintas ilmu, HaKI memiliki kendala klasik untuk
dapat dimengerti dan dipahami. Selain sistem edukasi yang kurang terakomodasi di
jenjang perguruan tinggi, HaKI hanya menjadi wacana yang sangat terbatas karena
kurangnya.
Dari paparan di atas tampak bahwa faktor pemahaman masyarakat dan
kesiapan aparat penegak hukum, memiliki korelasi yang kuat dengan kegiatan
sosialisasi yang dilaksanakan. Sosialisasi menjadi tingkat prakondisi bagi efektivitas
penegakan hukum. Efektivitas penegakan hukum sungguh sangat dipengaruhi oleh
tingkat pemahaman masyarakat dan kesiapan aparat. Semakin tinggi pemahaman
masyarakat semakin tinggi pula tingkat kesadaran hukumnya. Demikian pula kondisi
aparat. Semakin bulat pemahaman aparat, semakin mantap kinerja mereka di

lapangan. Keduanya merupakan faktor yang menentukan. Karenanya, sosialisasi


merupakan keharusan. Sosialisasi diperlukan utamanya untuk membangun
pemahaman dan menumbuhkan kesadaran masyarakat. Seiring dengan itu untuk
meningkatkan

pemahaman

dan

memantapkan

kemampuan

aparat

dalam

menangani masalah HaKI. Di antara bidang-bidang HaKI yang diobservasi, hak


cipta, dan merek merupakan korban paling parah akibat pelanggaran. Terdapat
empat kategori karya cipta yang banyak dibajak hak ekonominya. Data ini
direpresentasi oleh karya program komputer, musik, film dan buku dari AS yang
secara berturut-turut mencatat angka kerugian yang sangat signifikan. Kalkulasi
kerugian berbagai komoditas tersebut telah memaksa AS menghukum Indonesia
dengan menempatkannya ke dalam status priority watchlist dalam beberapa tahun
terakhir ini. Di bidang merek, pelanggaran tidak hanya menyangkut merek-merek
asing. Selain merek terkenal asing, termasuk yang telah diproduksi di dalam negeri,
merek-merek lokal juga tak luput dari sasaran peniruan dan pemalsuan. Di
antaranya, produk rokok, tas, sandal dan sepatu, busana, parfum, arloji, alat tulis
dan tinta printer, oli, dan bahkan onderdil mobil. Kasus pemalsuan yang terakhir ini
terungkap lewat operasi penggerebekan terhadap sebuah toko di Jakarta Barat yang
mendapatkan sejumlah besar onderdil Daihatsu palsu. Pelakunya telah ditindak dan
saat ini sedang menjalani persidangan di PN Jakarta Barat. Kasus Daihatsu
tampaknya belum akan menjadi kasus terakhir. Prediksi ini muncul karena fenomena
pelanggaran hukum yang masih belum dijerakan oleh sanksi pidana yang
dijatuhkan. Faktor deterrent hukum masih belum mampu unjuk kekuatan.
Pengadilan masih nampak setengah hati memberi sanksi. Padahal, pemalsuan
sparepart bukan saja merugikan konsumen secara ekonomi, tetapi juga dapat
mencelakakan dan mengancam jiwanya. Kesemuanya itu tidak disikapi dengan
penuh atensi. Sebaliknya, dianggap sekedar sebagai perbuatan yang dikategorikan
merugikan orang lain. Sekali lagi, tingkat kesadaran hukum masyarakat sangat
menentukan. Betapapun, datangnya kesadaran itu acapkali harus dipaksakan
melalui putusan pengadilan. Inilah harga yang harus dibayar untuk dapat
mewujudkan penegakan hukum HaKI yang tidak hanya diperlukan untuk
kepentingan pemegang HaKI, tetapi juga bagi jaminan kepastian, kenyamanan, dan
keselamatan masyarakat konsumen secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA
Sember Buku-Buku
1.
2.
3.

Adoe, kaleb. 2010. HUKUM BISNIS. Kupang: Politeknik Negeri Kupang


Simatupang, Richard. 1996. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: Rineka
Cipta.
Saidin. 1997. Aspek Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta: Raja
Grafindo

Sumber Lain
1. http://pujiirahayuu.blogspot.com/2012/01/pengertian-hak-kekayaanintelektual_01.html
2. http://rifkymiafauziah.wordpress.com/2012/11/12/sejarah-singkat-latarbelakang-dan-perkembangan-haki-di-indonesia/
3. http://kamilakhmad.blogspot.com/2012/11/pengertian-hak-merek-dan-hakpaten.html
4. http://patriciasimatupang.wordpress.com/2012/06/12/hak-cipta-paten-merkdesain-industri-dan-rahasia-dagang/

Anda mungkin juga menyukai