Anda di halaman 1dari 4

Perkara tembakau Bremen merupakan perkara antara Indonesia dan Belanda di mana

Indonesia mengakuisisi/mengambil alih perusahaan milik Belanda terutama perkebunan


Belanda yang merupakan sebuah prima facie yaitu tindakan yang melanggar ketentuan
hukum internasional mengenai pemberian perlindungan terhadap orang asing dan
miliknya yang kemudian disusul oleh tindakan nasionalisasi dari Indonesia. Perkara
Tembakau Bremen yang terjadi pada tahun 1958 ini pihak pemerintah Indonesia
bersama Maskapai Tembakau Jerman – Indonesia berhasil menyakinkan pengadilan
Bremen bahwa tindakan itu merupakan tindakan negara berdaulat dalam rangka
mengubah struktur ekonomi bangsa Indonesia tetapi, kemudian terjadinya banding oleh
keputusan Pengadilan Tinggi Bremen dan dari sinilah muncul kaitan antara hubungan
hukum nasional dan hukum internasional karena yang dipermasalahkan adalah
keabsahan (legality) tindakan pemerintah Indonesia dalam mengambil alih karena
pihak Belanda mendalilkan tindakan pemerintah Indonesia itu tidak sah karena tidak
disertai ganti rugi sebagaimana dalil hukum internasional bahwa ganti rugi harus
prompt, effective dan adequate namun, dalil ini dibantah oleh pihak perusahaan
Tembakau Jerman – Indonesia yang mana nasionalisasi yang dilakukan adalah untuk
mengubah struktur ekonomi Indonesia dari colonial menjadi ekonomi nasional
secara radikal dan seandainya dalil itu diterima maka, tidak mungkin bagi negara
muda yang berkembang dimanapun mengubah struktur ekonominya. Perlu diketahui
bahwa pemerintah Indonesia tidak melanggar prinsip ganti kerugian dalam
ketentuan hukum internasional (tindakan pengambilan hak milik expropriation)
dan bukannya tidak ingin mengganti rugi tetapi, ganti rugi yang disediakan
berbeda sifat dan bentuknya (expropriation nasional) yaitu sesuai dengan PP
No.9/1959 hasil penjualan hasil perkebunan tembakau dan perkebunan lainnya
akan disisihkan suatu presentasi tertentu untuk disediakan pembayaran ganti
rugi (disesuaikan dengan kemampuan negara merdeka yang baru berkembang)
sehingga keputusan Pengadilan Bremen yang diperkuat dengan keputusan Pengadilan
Tinggi Bremen bahwa tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia atas perkebunan
Belanda adalah sah.
Hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional dapat dilihat dari UU RI (PP
No.9/1959) tentang nasionalisasi perusahaan Belanda beserta peraturan

This study source was downloaded by 100000857280088 from CourseHero.com on 11-16-2022 05:42:08 GMT -06:00

https://www.coursehero.com/file/71167441/Tugas-HI-4docx/
pelaksanaannya dan hukum internasional mengenai perlindungan hak milik orang asing
disuatu negara yaitu berlakunya primat hukum internasional atas hukum nasional
dalam teori monisme dimana hukum nasional Indonesia tetap menjamin
kepentingannya melalui perundangan – undangan nasional namun, tetap
memperhatikan prinsip dari hukum internasional, sehingga dipisahkanlah mengenai
kedua hal tersebut yaitu:
o Nasionalisasi demi kepentingan umum sebagai tindakan suatu negara
yang berdaulat
o Persoalan ganti kerugian dan perlindungan hak milik warga negara asing
sebagai masalah perlindungan hak warga negara asing

Anglo – Norwegian Fisheries Case yang tejadi pada tahun 1951 adalah kasus dimana
pihak penggugat yaitu Inggris menggugat Norwegia (tergugat) dikarenakan cara
penarikan garis pangkal laut Norwegia sejauh 4 mil yang menghubungkan titik terluar
pada pantai Norwegia yang mana menurut Inggris (Inggris menganut garis pangkal laut
3 mil) cara penarikan garis pangkal tidak sesuai dengan hukum internasional karena
Norwegia menarik dari skaejgaard (wilayah laut yang memisahkan pulau – pulau kecil)
bukan dari daratan kering sehingga Inggris merasa dirugikan karena merasa eksploitasi
Norwegia akan perikanan terlalu luas (4 mil) sehingga dibawalah kasus ini ke ICJ.
Menurut asas territorial Norwegia penarikan garis pangkal laut tersebut tidak melanggar
hukum internasional karena berdasarkan bentuk negara Norwegia sebagian besar
wilayahnya adalah pulau – pulau kecil, karang dsb (negara pantai) sehingga untuk
melindungi wilayah – wilayahnya tersebut dianggap sebagai daratan oleh hukum
internasional dan juga sesuai dengan Firman Raja tahun 1935 (dekrit) sehingga ICJ
dalam memutus perkara ini menyatakan bahwa penetapan batas laut territorial sebagai
suatu tindakan sepihak, sepenuhnya menjadi wewenang suatu negara namun, perlu
diperhatikan 3 pertimbangan pokok yaitu:
o Eratnya hubungan laut territorial dengan wilayah darat

This study source was downloaded by 100000857280088 from CourseHero.com on 11-16-2022 05:42:08 GMT -06:00

https://www.coursehero.com/file/71167441/Tugas-HI-4docx/
o Bagian – bagian laut yang terletak pada sisi dalam garis pangkal cukup
erat hubungannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada ketentuan
mengenai perairan pedalaman
o Kepentingan ekonomi setempat yang khas didasarkan atas adanya
kebiasaan yang cukup lama
Serta menurut Mahkamah Internasional, penarikan garis pangkal laut oleh
Norwegia tidak ditentang oleh negara - negara lain dibuktikan dengan tidak
adanya protes dari negara lain dan prakteknya telah lama dilaksanakan maka
ICJ berpendapat bahwa sistem garis pangkal Norwegia sesuai dengan hukum
internasional, selanjutnya dikarenakan bentuk geografis Norwegia yang berliku –
liku dan terdapat deretan skjaergaard yang juga wilayah Norwegia. Maka, ICJ
memutuskan dengan menggunakan salah satu sumber hukum internasional
yaitu kebiasaan internasional (Pasal 38 ayat 1) dimana dalam praktek terbukti
bahwa Norwegia sudah melakukannya cukup lama dan terus menerus dan juga
tidak ada yang memprotes terkait hal ini begitupun dengan prinsip efektivitas
yang diterapkan Mahkamah dalam perkara ini karena Norwegia secara sungguh
– sungguh menerapkan dekrit raja 1935 (kebiasaan) mengenai penarikan garis
pangkal lurus yang secara geografis lebih bermanfaat dan efektiv karena
menyatukan deretan pulau – pulau yang berada di sepanjang pantai Norwegia
menjadi kesatuan wilayah perairan. Hasil dari putusan ICJ terkait hak perikanan
Norwegia menjadi preseden baru dalam hukum laut yang kemudian dipakai oleh
negara – negara pantai lainnya sehingga melahirkan Konvensi Jenewa tahu
1958.
Hukum Nasional yang dipakai Norwegia pada kasus ini yaitu Dekrit Raja 1935
yang menetapkan lebar laut territorial Norwegia sejauh 4 mil dengan
menggabungkan titik – titik terluar dari pantainya, terbitnya dekrit Raja 1935
dikarenakan Norwegia berpatokan pada gagasan seorang ahli hukum
internasional asal Austria yaitu Aubert pada sidang IDI (institute de Droit
International) tahun 1928 di Den Haag mengenai pulau – pulau harus
diberlakukan sebagai suatu kesatuan kepulauan, sedangkan hukum
internasional yang dipakai yaitu dilihat dari kebiasaan internasional serta prinsip

This study source was downloaded by 100000857280088 from CourseHero.com on 11-16-2022 05:42:08 GMT -06:00

https://www.coursehero.com/file/71167441/Tugas-HI-4docx/
efektivitas jadi, teori yang dipakai pada kasus ini yaitu teori monisme dengan
primat hukum internasional karena Norwegia dengan hukum nasionalnya tetap
dapat menjamin hak – hak dari negaranya tetapi, juga tetap memperhatikan
ketentuan yang diatur dalam hukum internasional dan hal itu terlihat dari putusan
yang telah ditetapkan oleh ICJ yang telah dijelaskan sebelumnya.

This study source was downloaded by 100000857280088 from CourseHero.com on 11-16-2022 05:42:08 GMT -06:00

https://www.coursehero.com/file/71167441/Tugas-HI-4docx/
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Anda mungkin juga menyukai