Anda di halaman 1dari 119

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara agraris dimana penduduknya sebagian
besar bermatapencaharian dibidang pertanian (agraris) baik sebagai petani pemilik
tanah, petani penggarap tanah maupun sebagai buruh tani. Oleh karena itu tanah
sebagai tempat berusaha merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan
hidup masyarakat. Setiap orang membutuhkan tanah karena tidak ada aktivitas
atau kegiatan orang yang tidak membutuhkan tanah. 1 Pentingnya arti tanah bagi
kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat
dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan
dengan cara mendayagunakan tanah.2
Arti penting tanah tersebut dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
1945 yang menyatakan Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Jelas, bahwa tanah sebagai tempat berusaha, yang
merupakan bagian dari permukaan bumi harus dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
Setelah kemerdekaan, pada tahun 1945 Indonesia menghadapi masalah
mendasar dibidang hukum pertanahan, yaitu terdapatnya masalah kepemilikan
1

Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan: Multi Grafik
Medan, 2005), hlm. 2.
2
G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, A. Setiady, Hukum Tanah
Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 1

tanah yang tidak proporsional, kebutuhan tanah pertanian yang meningkat terus
serta didorong oleh jumlah pertambahan penduduk. Dalam mengatasi masalah
tersebut sebagai negara merdeka yang berdaulat penuh berusaha untuk mengatur
kehidupan bernegara dengan mewujudkan hukum agraris nasional.
Pembaharuan struktur keagrariaan terutama pada tanah pertanian
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang semula tidak memiliki
lahan olahan atau garapan untuk memiliki atau mempunyai lahan. Berbagai upaya
telah dilakukan dan diawali pada tahun 1945 dengan penghapusan hak-hak
istimewa di desa Perdikan (desa-desa bebas).3 Selanjutnya pada Tahun 1958,
Pemerintah menghapuskan tanahtanah partikulir4 yang semula dijual kepada
warga negara Inggris, Arab dan Cina oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, selama
masa kesulitan ekonomi pada awal abad ke 19.5 Dan berdasarkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1958 tentang Tanah Partikulir, terhadap pemilik tanah diberikan
pilihan untuk menjual tanahnya baik secara langsung kepada petani atau
pemerintah untuk dibagi-bagikan. Dan pada saat yang bersamaan diusahakan
3

Desa Perdikan adalah desa yang mempunyai hak istimewa berupa pembebasan dari
pembayaran pajak tanah, karena jasajasa tertentu pendirinya kepada Raja atau Sultan yang
berkuasa. Para pendiri desa diangkat sebagai kepala desa dengan jabatan yang bersifat turun
temurun. Para kepala desa menganggap bahwa diri mereka adalah pemilik tanah-tanah luas yang
dikerjakan dan digarap oleh penduduk asli sebagai penyakap atau penggarap bagi hasil. (Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya, Jilid I. (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 1999), hlm. 90.
4
Tanah Partikulir adalah tanah eigendom di atas mana pemiliknya sebelum UU ini
berlaku mempunyai hak-hak pertuanan. (Lihat Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1958). Hak-hak pertuanan
yang ada pada tanah partikulir itu adalah: (1) Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan
serta memberhentikan kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum; (2) Hak untuk
menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk; (3) hak untuk
mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang atau hasil tanah dari penduduk; (4) hakhak yang menurut peraturan-peraturan lain dan atau adat setempat sederajat dengan hak pertuanan;
(5) Hak-hak untuk mendirikan pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan.
(Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, Medan:
USU, 2005, hlm. 32)
5
Erman Rajagukguk, Hukum Agraria Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup.
(Jakarta: Chandra Pratama, 1995), hlm. 2.

untuk menyusun ketentuan hukum agraria yang baru, ditandai dengan


dibentuknya berbagai kepanitiaan dengan maksud untuk merombak ketentuan
yang diatur dalam Agrarische Wet Tahun 1870. Dimulai dari Panitia Agraria
Yogya (1948)6, Panitia Agraria Jakarta (1951)7, Panitia Soewahjo (1956)8,
Rancangan Soenarjo (1958)9 dan Rancangan Sadjarwo (1960).10
Setelah melewati jalan panjang dan berliku, Bangsa Indonesia sepakat
untuk melakukan pembaharuan dibidang keagrarian pada periode tahun 1960-an
sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan dikeluarkannya
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria yang selanjutnya disebut dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
pada tanggal 24 September 1960. Salah satu aspek hukum penting dengan
diundangkannya UUPA adalah dicanangkannya program landreform di Indonesia.
Program dari landreform tersebut adalah :11
a.

Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;

b.

Larangan pemilikan tanah secara absentee (guntai);

c. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-

Panitia ini bertemu di Yogyakarta, dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Republik


Indonesia Nomor 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948 dan diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.
7
Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1951 tanggal 19
Maret 1951, Panitia Agraria Yogya dibubarkan dan dibentuk panitia baru agrarian, yang
berkedudukan di Jakarta dan diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo dengan wakil ketua Sadjarwo.
8
Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1956 tanggal 14
Januari 1956, Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan diganti dengan panitia baru, dan diketuai
oleh Soewahjo Soemodilogo.
9
Rancangan Undang-undang Agraria diselesaikan oleh Panitia Soewahjo pada tanggal 6
Pebruari 1958 namun kemudian diganti dengan rancangan yang baru. Dikenal dengan Rancangan
Soenarjo yang menjabat sebagai Menteri Agraria pada waktu itu. Rancangan ini diajukan ke
Parlemen pada tanggal 24 April 1958.
10
Berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 5 Juli 1959, Rancangan Undang-undang yang
telah dimajukan sekali lagi diubah. Rancangan yang baru dinamakan Rancangan Sadjarwo dan
dimajukan pada Parlemen tanggal 1 Agustus 1960.( Erman Rajagukguk, Ibid)
11
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 203.

tanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanahtanah negara;
d.

Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang


digadaikan;

e.

Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;

f.

Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan


untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan
pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau
kecil.
Sejak

itu

rakyat

petani

mempunyai

kekuatan

hukum

untuk

memperjuangkan haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan
mengolah tanahnya demi kemakmuran. Tetapi kenyataannya dalam hal
penguasaan dan pemilikan tanah masih banyak ketimpangan yang terjadi dalam
masyarakat, dimana ada sekelompok kecil masyarakat memiliki dan menguasai
tanah secara berlebihan dan melampaui batas dan di lain pihak kelompok terbesar
dari masyarakat mempunyai tanah dalam jumlah yang sangat terbatas, bahkan
banyak pula yang tidak mempunyai tanah sama sekali dan terpaksa hidup sebagai
buruh tani, yang berarti sangat bertentangan dari prinsip keadilan sosial.
Keadaan ini mengharuskan Pemerintah untuk mengatur pemilikan dan
penguasaan tanah yang ada sedemikian rupa agar benar-benar bermanfaat bagi
seluruh bangsa Indonesia. GBHN Tahun 1988 menyatakan sebagaimana yang
dikutip oleh M. Yamin: 12
12

Muhammad Yamin, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, (Medan: Pustaka


Bangsa Press, 2004), hlm. 94.

Pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha meningkatkan


kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Sehubungan
dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali
penggunaan dan penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak
atas tanah.
Pengaturan pemilikan dan penguasaan tanah yang menjadi program
landreform diatur dalam Pasal 7, 10, 17 UUPA. Pasal 7 UUPA berbunyi Untuk
tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan. Dalam pasal ini melarang apa yang
dinamakan dengan groot grondbezitter13 yaitu larangan pemilikan tanah yang
melampaui batas atau disebut juga dengan istilah latifundia. Larangan pemilikan
tanah secara latifundia dimaksudkan untuk mengakhiri dan mencegah
bertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan dan orang-orang tertentu saja.
Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan
umum, menciptakan tuan-tuan tanah dan banyak hal-hal negatif yang mungkin
terjadi seperti tidak naiknya produksi, petani penggarap selalu akan menyewa dan
uang sewa akan selalu meningkat sehingga pendapatan mereka akan terus
berkurang. Kesejahteraan sosial dari masyarakat akan terus merosot dan condong
tuan-tuan tanah memaksa para penyewanya untuk memberikan suara pada pemilu
bagi golongan yang akan mempertahankan posisinya. Rakyat yang memerlukan
tanah akan terus bertambah dan kemiskinan sudah tidak terelakkan lagi. 14 Hal ini
akan menyebabkan semakin sempitnya atau hilangnya sama sekali kemungkinan
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 354
A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Bagian I,
(Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm. 23-24.
13

14

bagi petani untuk memiliki tanah sendiri.


Menurut taksiran pada waktu itu 60% dari jumlah petani adalah petani
tidak bertanah.15 Sebagian dari mereka merupakan buruh tani dan sebagian
lainnya adalah mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap
dalam perjanjian bagi hasil. Jumlah petani yang tidak bertanah semakin lama akan
semakin bertambah. Ini berarti bahwa syarat untuk mendapatkan tanah garapan
akan semakin berat disebabkan bertambahnya petani yang memerlukan tanah
garapan. Dan biasanya orang-orang yang mempunyai tanah banyak makin lama
tanahnya akan semakin bertambah baik yang dimiliki maupun yang dikuasainya
dalam hubungan gadai atau jual tahunan. Dengan demikian maka pembagian hasil
pertanian menjadi tidak merata.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 7 UUPA tersebut secara substansi tidak
berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Masih ada tanah-tanah hak milik yang
luas dikuasai oleh satu orang atas nama beberapa pemilik dengan status hak milik,
padahal hal menurut PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian telah memberikan batasan atas tanah
pertanian.16 Seperti juga yang disinyalir oleh sebuah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang bergerak dibidang Pembaharuan Hukum Agraria
bahwa:17
Jika ditelusuri dari berbagai kebijakan pemerintah, penguasaan lahan dalam
jumlah besar agaknya bermula pada tahun 1980-an. Sebagian besar
15

Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 354


M. Yamin, Beberapa Dimensi Filosophis Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2003), hlm. 10.
17
Majalah Forum Keadilan Nomor 27 tanggal 20 Oktober 2002, seperti yang dikutip
dalam buku Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 204.
16

penguasaan tanah tidak hanya berada di tangan perusahaan HPH (Hak


Pengelolaan Hutan), tetapi juga perusahaan-perusahaan yang mendapat
konsesi pertambangan atau kontrak kerja pertambangan. Selain itu,
perusahaan-perusahaan besar yang berbisnis dibidang perkebunan atau
agrobisnis juga menguasai lahan yang tidak sedikit.
Selain para perusahaan pertambangan yang mendapat konsesi dari
pemerintah pusat berdasarkan kontrak kerja tersebut, banyak juga perusahaanperusahaan lain yang mendapatkan kemudahan dalam penguasaan atas tanah
tersebut. Banyak diantara perusahaan perkebunan yang juga dimiliki oleh para
pengusaha papan atas. Selain itu penumpukan penguasaan tanah yang melebihi
batas maksimum oleh segelintir orang pun terjadi di kota-kota besar. Seperti
adanya pembangunan perumahan mewah yang ekslusif di wilayah Jabotabek
(Jakarta, Bogor, Tanggerang, dan Bekasi), pemberian pembukaan lahan untuk
keperluan perkebunan, pertambangan, lapangan golf dan lain-lain.18
Dari hal tersebut jelas terlihat adanya ketimpangan pemilikan dan
penguasaan tanah yang terjadi antara petani dan pengusaha-pengusaha papan atas.
Untuk itu perlu adanya penetapan luas maksimum tanah pertanian agar tidak
terjadi penumpukan tanah pertanian pada segelintir orang. Karena jika terjadi
penumpukan pada segelintir orang, maka akan merugikan para petani yang
menjadikan sawah sebagai alat produksi dan sumber mata pencaharian.
Sebagai konsekwensi dari Pasal 7 UUPA yang tidak memperkenankan
penguasaan tanah yang melampaui batas maka dalam Pasal 17 UUPA diatur luas
maksimum dan atau minimum yang boleh dimiliki oleh satu keluarga baik dengan
18

Ibid.

hak milik atau dengan hak yang lain.


Sejalan dengan Pasal 17 UUPA, Boedi Harsono mengatakan:
Dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam
produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, dan demikian pembagian
hasilnya akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan merupakan
pula pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah
kegairahaan bekerja para petani penggarap tanah yang bersangkutan, yang
telah menjadi pemiliknya.19
Mengacu pada ketentuan Pasal 17 UUPA, Pemerintah mengeluarkan
peraturan pelaksanaannya berupa Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan undang-undang ini merupakan induk
pelaksanaan landreform di Indonesia.20 Undang-undang ini mengatur 3 masalah
yang pokok, yaitu mengenai:
1.

Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;

2.

Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk


melakukan

perbuatan-perbuatan

yang

mengakibatkan

pemecahan

pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil;


3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.21
Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur
dalam Pasal 1 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang menyatakan seorang atau
orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama
19

Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 355.


UU Prp 56 Tahun 1960 ini dikeluarkan Pemerintah pada tanggal 29 Desember 1960,
dan dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1961, tepat pada hari dilangsungkannya apa yang
disebut Upacara Pengayunan Cangkul Pertama Pembangunan Nasional Semesta Berencana
21
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 356.
20

hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau


kepunyaan orang lain atau dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar,
baik sawah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering dan dengan mengingat
keadaan daerah yang sangat khusus, Menteri Agraria dapat menambah luas
maksimum 20 hektar tersebut dengan paling banyak 5 hektar. Melalui Undangundang ini luas tanah maksimum yang bisa dikuasai seseorang diatur secara rinci
dengan mempertimbangkan tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi,
kepadatan penduduk dan kesuburan tanah pertanian.
Penetapan luas maksimum dan minimum kepemilikan tanah merupakan
langkah awal untuk melaksanakan program landreform dibidang tanah pertanian
yang kemudian menjadi acuan untuk menentukan apakah seseorang mempunyai
tanah pertanian yang melampaui batas atau kecil. Berdasarkan Undang-undang
Landreform ini juga setiap orang yang mempunyai tanah pertanian yang
melampaui batas maksimum diwajibkan untuk melaporkannya kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.22 Setiap orang yang mempunyai tanah lebih
tidak boleh mengalihkan tanah tersebut langsung kepada pihak lain tanpa
memperoleh izin dari Kepala Kantor Pertanahan. Kepada pihak yang menjual atau
tidak melaporkan kelebihan tanahnya diancam dengan pidana kurungan tiga bulan
atau denda Rp.10.000.23 Kelebihan tanah tersebut diambil oleh negara dengan
memberikan ganti rugi dan selanjutnya diredistribusikan kepada petani yang tidak
punya tanah dengan menetapkan skala prioritas penerima. 24
22

Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960, Pasal 3.


Ketentuan Pidana ini diatur dalam Pasal 11 UU No.56/Prp/1960 tentang Penetapan
Luas Pertanian.
24
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah
Dan Pemberian Ganti Kerugian, Pasal 8.
23

Pelaksanaan redistribusi tanah pertanian yang diambil oleh Pemerintah


diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Selain mengatur tentang
redistribusi tanah, dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur mengenai
kepemilikan tanah absentee dimana dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pemilik
tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat tanah itu terletak dalam
jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di
kecamatan tempat letak tanahnya itu atau pindah ke kecamatan tempat letak
tanahnya berada. Ketentuan ini selanjutnya dipertegas lagi dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan PP Nomor
224 Tahun 1961. Penambahannya terdapat dalam Pasal 3(a) yaitu tentang
kewajiban melapor bagi pemilik tanah yang meninggalkan tempat kediamannya
selama 2 tahun berturut-turut, apabila pemilik
Tanah kelebihan tersebut terlebih dahulu diberikan kepada: a. Petani yang
mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak lebih dari derajat kedua dengan bekas
pemiliknya dengan ketentuan sebanyakbanyaknya 5 orang; b. Petani yang
terdaftar sebagai veteran; c. Petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur; d.
Petani yang menjadi korban kekacauan.
Kemudian lagi dapat dibagikan kepada para petani menurut prioritas
sebagai berikut: a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan; b.
Buruh tani pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan; c.
Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan; d. Penggarap yang
belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan; e. Penggarap yang

mengerjakan tanah pemilik; f. Penggarap tanah-tanah yang oleh Pemerintah diberi


peruntukan lain berdasarkan Pasal 4 ayat (2 ) dan (3); g. Penggarap yang tanah
garapannya kurang dari 0,5 hektar; h. Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5
hektar; i. Petani atau buruh tani. (A.P.Parlindungan, Landreform di Indonesia,
Strategi dan Sasarannya, Bandung: Alumni, 1990, hlm. 48) tanah melaporkan
kepada pejabat yang berwenang, maka pemilik tanah mendapatkan perpanjangan
jangka waktu 1 (satu) tahun lagi untuk memindahkan hak milik atas tanahnya
pada orang lain dimana tanah itu berada dan apabila pemilik tanah tidak
melaporkannya, maka dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak ia meninggalkan
tempat kediamannya itu diwajibkan untuk memindahkan hak miliknya kepada
orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanah tersebut. Dalam Pasal
3(b) tentang Pegawai Negeri dan Angkatan Bersenjata yang telah berhenti
menjalankan tugas negara dalam jangka waktu 1 (satu) tahun harus mengakhiri
penguasaan

tanahnya

secara

absentee.

Selanjutnya

ketentuan

Peraturan

Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tersebutdipertegas lagi dengan Peraturan


Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikantanah pertanian secara guntai
(absentee) bagi para pensiunan pegawai negeri.Dalam Pasal 6 diatur bagi para
pegawai negeri, pensiunan pegawai negeri, janda pegawai negeri, dan janda
pensiun pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai
negeri

atau

pensiunan

pegawai

negeri

dibenarkan

mempunyai

tanah absentee. Bahkan dalam waktu 2 tahun menjelang masa pensiunnya


diperbolehkan memiliki tanah pertanian secara absentee (guntai) seluas 2/5 dari
batas maksimum penguasaan tanah untuk Daerah Tingkat II di daerah yang

bersangkutan. Pemilikan tanah secara absentee adalah pemilikan tanah pertanian


yang pemiliknya berada di luar kecamatan yang berbeda dengan lokasi tanah
pertanian dimaksud. Pemilikan tanah seperti ini dilarang oleh undang-undang,
karena dianggap tidak efektif sebab pemilik tanah berada di luar kecamatan letak
tanah tersebut sehingga tidak dapat mengerjakan tanahnya secara aktif. Ketentuan
tersebut merupakan gambaran situasi pada waktu ketentuan tersebut dibuat, yang
didasarkan pada keadaan teknologi yang belum maju seperti sekarang ini. Tetapi
larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di
kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang
bersangkutan, asal jarak tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut
pertimbangan dari Panitia Landreform Tingkat II (sekarang Kantor Pertanahan)
masih memungkinkan pemilik tanah untuk mengerjakan tanahnya tersebut secara
efisien. Tanah-tanah pertanian tersebut letaknya di desa sedang mereka yang
memiliki tanah absentee umumnya bertempat tinggal di kota. Tujuan melarang
pemilikan tanah absentee adalah agar hasil yang diperoleh dari penguasaan tanah
itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan di tempat letak tanah
yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah
penghasil. Dengan demikian larangan pemilikan tanah absentee merupakan
jawaban agar para petani mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif dan harus
bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah pertaniannya terletak.
Secara normatif, asas mengerjakan sendiri tanah pertanian tersebut
diwujudkan dalam Pasal 10 UUPA yang berbunyi: Setiap orang dan badan
hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah-tanah pertanian pada asasnya

diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri tanahnya secara aktif


dengan mencegah cara-cara pemerasan. Larangan absentee ini juga ditujukan
untuk mencegah terjadinya tanah terlantar. Tanah terlantar adalah tanah yang
dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan
keadaan, sifat dan tujuannya atau tidak dipelihara dengan baik. 25 Tanah terlantar
disebabkan karena:
a.

Pemilikan tanah yang terlampau luas atau pemilikan tanah secara


absentee yang mengakibatkan pemegang hak tidak mampu untuk
membangun dan memanfaatkan tanahnya;

a. Adanya resesi ekonomi yang menimbulkan perubahan struktur pemasaran


atau sebab-sebab lain, sehingga pemegang hak merasa tidak akan
memperoleh keuntungan untuk melanjutkan usahanya dan memutuskan
untuk tidak mengolah tanahnya;
b.

Pemegang hak sulit untuk mengusahakan tanahnya sesuai dengan sifat


dan tujuannya, karena adanya penggarapan liar;

c.

Spekulasi tanah yang mengharapkan keuntungan secara tidak wajar.26

Maka untuk mengantispasi agar tidak terjadi tanah-tanah terlantar karena kecil
kemungkinan tanah tersebut dapat dikerjakan sendiri oleh pemiliknya, maka
UUPA mengembangkan ketentuan bagi hasil yang telah diatur dengan UU
No.2/1960.
Walaupun pada asasnya tanah absentee wajib dikerjakan sendiri, ternyata
inilah yang melemahkan isi pasal itu sendiri karena banyak petani zaman sekarang
25

Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya,


(Medan: USU, 2005), hlm. 121.
26
Ibid, hlm. 119

adalah petani berdasi atau pejabat yang berspekulasi dan manipulasi tanah
sehingga terjadi petani yang tidak mampu mengerjakan pekerjaan bertani dan
tinggal pula di luar kecamatan tempat tanah tersebut. Dengan fakta realitas
demikian sebenarnya sudah boleh disebutkan bahwa pasal-pasal yang membela
rakyat ini atas penguasaan dan penggunaan tanah ini masih jauh dari harapan.27
Pada umumnya timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan
absentee banyak terjadi di daerah pedesaan yang tanahnya masih belum terdaftar
pada Kantor Pertanahan. Meskipun sudah ada ketentuan bahwa setiap tanah harus
dilaporkan atau didaftarkan namun banyak pemilik tanah yang belum
melaksanakan hal tersebut. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu
karena ketidaktahuan masyarakat atas kepemilikan tanah tersebut dan atau adanya
ketidakpatuhan tiap-tiap individu untuk melaporkan kelebihan tanah yang
dimilikinya.
Kantor pertanahan pun belum menjangkau semua desa-desa yang berada
di pelosok-pelosok daerah jadi apabila dilakukan jual beli atas sebidang tanah
biasanya hanya dilakukan melalui kepala desa. Otomatis kepemilikan atas tanah
tersebut hanya diketahui oleh aparat desa, pihak pembeli dan penjual. Hal-hal
seperti inilah yang bisa menjadi tanah latifundia dan absentee.
Yang banyak terjadi dalam praktek adalah adanya sebidang tanah
pertanian yang dimiliki oleh seseorang yang dalam kenyataannya sudah tidak
dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang
berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Hal ini dapat terjadi melalui
dua cara, yaitu cara pertama dengan memiliki KTP ganda yang memungkinkan
27

M. Yamin, Op. Cit., hlm. 11.

orang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee dan cara kedua yaitu
melalui upaya pemindahan hak yang terkenal dengan cara pemberian kuasa
mutlak.28
Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa
yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi
kewenangan untuk menguasai, menggunakan dan melakukan perbuatan hukum
pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa sehingga pada
hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas
merupakan penyelundupan hukum melanggar ketentuan peraturan perundangundangan. Memiliki KTP ganda tidak mudah untuk diketahui karena secara
yuridis kalau tanah sudah bersertipikat maka sertipikat atas nama pemilik semula
dan surat kuasa hanya diketahui oleh kedua belah pihak saja.
Fenomena yang terjadi sekarang ini, walaupun program landreform telah
dilaksanakan sejak tahun 1960 ternyata prinsip tanah pertanian untuk petani dan
pemiliknya wajib mengusahakan sendiri tanah pertaniannya belum dapat di
kerjakan dengan baik. Tanah pertanian masih dijadikan sebagai objek spekulasi
yang mengakibatkan luas tanah pertanian semakin berkurang karena dialih
fungsikan. Selain itu untuk larangan kepemilikan tanah secara absentee tidak
diatur dalam peraturan tersendiri. Hanya dijadikan salah satu materi muatan dari
peraturan redistribusi tanah. Dan dalam peraturan tersebut tidak secara tegas
disebut larangan tetapi disebut sebagai kewajiban untuk mengalihkan atau
kewajiban untuk pindah lokasi tanah. Untuk itu, aspirasi dalam menegakkan
28

Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi.


(Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 21.

supremasi hukum sudah dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan


nasional. Dalam hal inilah program landreform terhadap larangan kepemilikan
tanah secara latifundia dan absentee perlu direvitalisasi kembali dan dikaji ulang.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang permasalahan tersebut di
atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1.

Bagaimana latar belakang timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia


dan absentee (guntai)?

2.

Apakah pelaksanaan peraturan larangan kepemilikan tanah latifundia


dan absentee (guntai) masih efektif dioperasionalkan dalam pelaksanaan
restrukturisasi pemilikan tanah pertanian di Kabupaten Deli Serdang?

3. Bagaimana peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang terhadap


pelaksanaan larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee
(guntai) tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan
yang hendak dicapai adalah:
1.

Untuk mengetahui latar belakang timbulnya kepemilikan tanah secara


latifundia dan absentee (guntai);

2.

Untuk mengetahui pelaksanaan peraturan larangan kepemilikan tanah


secara latifundia dan absentee dalam pelaksanaan restrukturisasi
pemilikan tanah pertanian di Kabupaten Deli Serdang..

3. Untuk mengetahui peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

terhadap pelaksanaan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee


(guntai) tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara
teoritis maupun secara praktis, yaitu:
1.

Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan


pemikiran bagi perkembangan hukum pertanahan khususnya mengenai
larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee (guntai).

2.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi


para praktisi maupun bagi para pihak mengenai larangan kepemilikan
tanah secara latifundia dan absentee (guntai).

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, khususnya pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
menunjukkan

bahwa

penelitian

dengan

judul

Eksistensi

Larangan

Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai): Studi Pada


Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang belum ada yang membahasnya
sehingga tesis ini dapat dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara
akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,

teori, tesis, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui
yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan. 29
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis oleh
karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan
pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data. 30 Rianto Adi menyatakan:
Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran yang
sistematis mengenai masalah yang akan diteliti. Teori itu masih bersifat sementara
yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti dalam realitas.31
Secara teoritis penguasaan tanah secara latifundia dan absentee akan
membawa akibat negatif kepada produktivitas tanah pertanian. Karena pemilik
tanah yang bersangkutan tidak dapat mengusahakan sendiri tanah pertaniannya.
Selain itu juga memberikan kemungkinan bagi orang-orang kaya (uang dan
pengetahuan) untuk menguasai tanah pertanian yang sangat luas dan
menjadikannya sarana eksploitasi terhadap masyarakat petani yang dianggap
miskin dan bodoh. Kelanjutannya pun sudah pasti yakni terhimpunnya tanah
pertanian dalam kekuasaan tuan-tuan tanah (landlord). Hal inilah yang dapat
menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial dibidang penguasaan tanah pertanian.
Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan
segala kekayaan yang terkandung didalamnya adalah dikuasai oleh negara dan
diusahakan sebesar-besarnya guna meningkatkan kemakmuran masyarakat
banyak. Artinya penguasaan tanah pertanian oleh kalangan tertentu saja, apalagi
29

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm.122.
31
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 29.
30

bukan oleh petani tidak diperbolehkan. Jadi secara konstitusional penguasaan


tanah pertanian wajib diatur oleh pemerintahan negara agar tercipta keadilan
sosial.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa untuk dapat terlaksananya suatu
peraturan perundang-undangan secara efektif, dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu sebagai berikut :32
a. Faktor hukumnya sendiri;
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk hukum
menegakkan hukum;
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum;
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan;
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Abdurahman senada dengan Soerjono Soekanto yang mengemukakan
bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan berlakunya undangundang atau peraturan, yaitu:33
a. Faktor peraturan hukumnya sendiri baik yang menyangkut sistem
peraturannya dalam arti sinkronisasi antara peraturan yang satu dengan yang
lainnya, peraturan yang mendukung pelaksanaan peraturan yang
bersangkutan dan substansi atau isi dari peraturan tersebut.
32

Soerjono Soekanto, Faktor -faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 15.
33
Abdurahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan. (Jakarta: Akademika
Pressindo, 1985), hlm. 3.

b. Faktor pelaksana dan penegak hukum yang diserahi tugas untuk


melaksanakan peraturan tersebut.
c. Faktor sarana dan prasarana yang mencakup berbagai fasilitas yang
diperlukan untuk mendukung pelaksanaan peraturan tersebut.
d. Faktor masyarakat dan budaya setempat banyak mempengaruhi pelaksanaan
undang-undang atau peraturan yang bersangkutan.
Faktor-faktor tersebut di atas saling berkaitan erat satu sama lain, sebab
merupakan esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur dari
efektifitas berlakunya undang-undang atau peraturan.
Keempat faktor tersebut dapat dikaji berdasarkan teori sistem hukum dari
Lawrence Meir Friedman yang menyatakan: untuk menilai bekerjanya hukum
sebagai suatu proses ada 3 komponen yang harus diperhatikan, yaitu : (a) Legal
structure (struktur hukum); (b) Legal subtance (substansi hukum); dan (c) Legal
culture (budaya hukum). 34
Struktur hukum merupakan kerangka atau rangkanya hukum mencakup
pranata-pranata

penegakan

hukum,

prosedur-prosedur

hukum,

jurisdiksi

pengadilan dan orang-orang yang terlibat didalamnya (aparat hukum). Struktur


hukum adalah pola yang memperlihatkan bagaimana hukum itu dijalankan
menurut ketentuanketentuan formalnya oleh institusi-institusi hukum atau aparat
penegak hukum. Unsur substansi hukum adalah aturan, norma dan perilaku nyata
manusia yang berada di dalam sistem itu. Substansi ini merupakan keadaan
faktual yang dihasilkan oleh sistem hukum. Dan unsur kultur hukum adalah
34

Lawrence M. Friedman seperti yang dikutip dalam buku Ediwarman, Perlindungan


Hukum Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan.(Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 76.

suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan dihindari atau disalahgunakan. Komponen ini terdiri dari nilai-nilai dan
sikap warga masyarakat yang merupakan pengikat sistem hukum serta
menentukan tempat sistem hukum itu di tengah-tengah kultur bangsa sebagai
keseluruhan. Friedman mengemukakan cara lain untuk menggambarkan ketiga
unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan struktur hukum sebagai
mesin, substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin
itu, dan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan
bagaimana mesin itu digunakan.35
Dari

ketiga

komponen-komponen

dalam

sistem

yang

saling

mempengaruhi satu sama lainnya tersebut, maka dapat dikaji bagaimana


bekerjanya hukum dalam praktek sehari-hari. Hukum merupakan budaya
masyarakat oleh karena itu tidak mungkin mengkaji hukum secara satu atau dua
sistem hukum saja tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan sistem yang ada
dalam masyarakat.
Suatu Peraturan Pemerintah haruslah dijalankan oleh organ atau struktur
yang benar, akan tetapi itu semua akan berjalan dengan efektif apabila didukung
oleh budaya hukumnya. Dengan demikian teori sistem hukum ini menganalisa
masalahmasalah terhadap penerapan substansi hukum, struktur hukum dan budaya
hukum. Ketiga komponen-komponen inilah yang harus dapat dilaksanakan di
dalam eksistensi larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee.
Sehingga dapat diketahui bahwa timbulnya larangan kepemilikan tanah secara
35

Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. (Jakarta:
Republika, 2008), hlm. 80.

latifundia dan absentee (guntai) secara filosofis merupakan suatu perlindungan


hukum terhadap kepentingan para petani yang relatif lemah jika berhadapan
dengan para pemilik modal yang melihat tanah sebagai faktor produksi semata.
Perlindungan ini diimplementasikan dalam UUPA dan dijadikan salah satu asas
dalam rangka mengadakan strukturisasi pemilikan tanah pertanian.
Sebagai patokan untuk melakukan perombakan pemilikan tanah telah
dikeluarkan UU Landreform yang menetapkan luas maksimum tanah pertanian
yang bisa dimiliki seseorang. Patokan ini juga berlaku sebagai parameter untuk
menentukan luas tanah pertanian yang dapat dimiliki secara absentee. Untuk
mengendalikan restrukturisasi pemilikan tanah pertanian kepada orang yang
memiliki kelebihan tanah pertanian dilarang mengalihkannya secara langsung
kepada pihak lain dengan ancaman pidana36
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah telah mengeluarkan
peraturan yang berhubungan dengan larangan pemilikan tanah secara latifundia
dan absentee (guntai), yaitu :
1.

Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah


Pertanian;

1. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan


Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi yang juga dikenal dengan
Peraturan Redistribusi (selanjutnya disebut dengan Undang-undang
Redistribusi);
3.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan


36

Undang-undang Nomor 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Pasal 10
jo Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Pasal 19.

Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian


Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian;
4.

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah


Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiun Pegawai Negeri.
Walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 membahas

tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian namun


salah satu materi muatan yang diatur adalah larangan kepemilikan tanah secara
absentee. Mengenai tanah absentee dikatakan bahwa pemilik tanah pertanian
yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letaknya tanah wajib
mengalihkan tanahnya kepada pihak lain, atau pemilik tanah pindah ke tempat
dimana tanah berada.
Dalam larangan pemilikan tanah secara absentee, masih dimungkinkan
adanya dua macam pengecualian, yaitu:37
1.

Pemilikan tanah secara absentee masih diperbolehkan apabila tanah pertanian


dan pemiliknya berada dalam kecamatan yang berbatasan karena hal itu
masih memungkinkan pemiliknya mengerjakan tanahnya secara aktif;

2.

Kalangan tertentu masih diperbolehkan memiliki tanah secara absentee


karena mereka berada di tempat lain untuk melaksanakan kewajiban negara
dan agama.

Dalam peraturan pelaksanaannya, daerah yang menjadi ukuran pemilikan secara


absentee adalah wilayah kecamatan.38
37

38

Ibid

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah
dan Pemberian Ganti Kerugian, Pasal 3.

2. Konsepsi
Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau
pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. 39 Konsepsi
diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang
konkrit. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan
pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 40
Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbedaan tentang konsep
yang dipakai dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan mengenai
pengertian konsep yang dipakai tersebut sebagaimana dikemukakan sebagai
berikut:
a.

Eksistensi adalah adanya, keberadaan.41

b.

Efektif adalah ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya); mulai


berlaku (tentang undang-undang atau peraturan); dapat membawa hasil
atau berhasil guna.42

c.

Kepemilikan adalah proses, perbuatan, cara memiliki .43

d.

Landreform adalah perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan


tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan
penguasaan tanah agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara
khususnya taraf hidup petani. 44
39

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan
Singkat. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 7.
40
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara , Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hlm. 35.
41
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm.253.
42
Ibid, hlm. 250.
43
Ibid, hlm. 655.
44
Boedi Harsono, Op.Cit, hlm 35

e.

Larangan latifundia adalah larangan penguasaan tanah yang luas sekali


sehingga ada batas maksimum seseorang boleh mempunyai tanah
terutama tanah pertanian (ceiling atas kepemilikan tanah).45

f.

Ceiling adalah batas maksimun dan minimum pemilikan tanah pertanian


yang boleh dimiliki sehingga setiap kelebihan harus diserahkan kepada
Pemerintah untuk dibagikan kepada petani tanpa tanah atau petani gurem.

g.

Tanah absentee adalah tanah pertanian dimana pemiliknya berdomisili di


luar kecamatan letak tanahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
(satu) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961.46

h.

Tanah garapan adalah sebidang tanah yang sudah ada atau belum dilekati
dengan sesuatu hak yang dikerjakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain
baik dengan persetujuan yang berhak dengan atau tanpa jangka waktu
tertentu.47

i. Redistribusi adalah pembagian tanah yang melebihi batas maksimum, tanah


yang dikuasai secara absentee, tanah swapraja, atau bekas swapraja dan
tanah negara lainnya kepada para petani yang belum mempunyai tanah
pertanian yang diambil oleh Pemerintah.
j. Petani adalah orang, yang mata pencaharian pokoknya adalah bertani, baik
yang mempunyai maupun tidak mempunyai sawah/ tanah sendiri.48
k. Penggarap adalah petani yang secara sah mengerjakan atau mengusahakan
45

A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria., (Bandung: Mandar


Maju, 1998), hlm. 72
46
Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003.
47
Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme
Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah Dibidang PertanahanYang Dilaksanakan Oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota.
48
Hermat Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan
Tanah Pemda, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 185

sendiri secara aktif tanah yang bukan miliknya dengan memikul seluruh
atau sebagian dari resiko produksinya. 49
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif analitis,
maksudnya penelitian ini merupakan penelitian yang menggambarkan, menelaah,
menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek
pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan,50 dalam hal ini pelaksanaan larangan
kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee (guntai) di Kabupaten Deli
Serdang.
Dalam melakukan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis
normatif dan empiris,

51

dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan

dengan mengkaji berbagai aspek hukum baik dari segi ketentuan-ketentuan


peraturanperaturan yang berlaku mengenai larangan kepemilikan tanah secara
latifundia dan absentee serta meneliti atau menelaahnya dari segi pelaksanaannya.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa:
a.

Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari nara sumber, yaitu
Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang;

b.

Data sekunder, yang terdiri dari:


1) Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:
49

Ibid, hlm. 186.


Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum., Op. Cit., hlm. 63.
51
Ibid, hlm. 44.
50

a.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok


Agraria;

b.

Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan


Luas Maksimum Tanah Pertanian;

c.

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang


Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian;

d.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan


dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah


Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Pensiunan Pegawai Negeri.
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer berupa hasil-hasil penelitian, hasilhasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah.
pendapat para pakar hukum yang berkaitan dengan permasalahan;
3) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
yaitu

kamus hukum, kamus Indonesia, majalah, surat kabar, jurnal ilmiah,


internet, dan sebagainya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan:
1) Studi kepustakaan (library research), yaitu menghimpun data dengan
melakukan penelahaan bahan kepustakaan atau data sekunder yang
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier;
1) Studi lapangan (field research), yaitu dilakukan untuk menghimpun data
primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada
narasumber dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman
wawancara dan dilakukan secara bebas dan terarah agar mendapatkan
informasi yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti.
4. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan
cara:
1) Studi dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder, dengan
membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data
sekunder yang berkaitan dengan penelitian;
2) Wawancara yang dilakukan secara langsung dengan menggunakan
pedoman wawancara, berupa wawancara terarah dan sistematis yang
ditujukan kepada

narasumber,52 yang terlebih dahulu dibuat daftar pertanyaan. Penelitian


dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang. Wawancara
dilakukan kepada 2 (dua) orang nara sumber, yaitu:
a.

Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah;

b.

Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan.

5. Analisis Data
Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah
diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan, dan
dievaluasi sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis secara kualitatif dan
kemudian diolah dengan penggunaan metode deduktif dan terakhir dilakukan
pembahasan untuk menjawab permasalahan yang ada.

52

Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 21.

BAB II
LANDREFORM DAN KEPEMILIKAN TANAH
SECARA LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI)

A. Landreform
1. Pengertian Landreform
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia tanah mempunyai arti dan
kedudukan yang amat penting di mana setiap kegiatan pembangunan selalu
memerlukan tanah. Berbagai upaya telah ditempuh selama ini untuk
mengendalikan penggunaan, penguasaan, pemilikan serta pengalihan hak atas
tanah untuk menunjang berbagai kegiatan pembangunan dan memberikan
kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.
Dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Undang-undang
Pokok Agraria sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945

53

, maka

terciptalah unifikasi dalam bidang hukum agraria di Indonesia dan menghapuskan


dualisme hukum pada masa kolonial dimana peraturan yang berlaku didasarkan
pada hukum adat dan hukum barat. UUPA selain merupakan politik hukum
pertanahan yang baru bagi bangsa Indonesia juga merupakan suatu titik tolak
perombakan struktur pertanahan yang disebut landreform di Indonesia. 54
Upaya pengaturan landreform telah dimulai pada tahun 1948 yang ditandai
dengan terbentuknya beberapa panitia, yaitu :

53
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
54
Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform di
Indonesia., (Bandung,: Mandar Maju, 1990), hlm. 28.

1. Panitia Agraria Yogyakarta yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Oleh


panitia ini diusulkan beberapa asas yang merupakan dasar hukum agraria yang
baru yaitu perlu diadakan penetapan luas minimum dan maksimum tanah
diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut
sekalipun sederhana. Untuk itu diusulkan minimum 2 hektar dan maksimum
10 hektar untuk petani yang berada di Pulau Jawa. Buat daerah-daerah luar
Jawa dipandang perlu untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut serta perlu
diadakan registrasi (pendaftaran) tanah.
1.

Panitia Agraria Jakarta yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.


Beberapa hal penting dari hasil panitia ini adalah mengadakan batas minimum
dan maksimum tanah pertanian. Oleh panitia ini ditentukan minimum 2 hektar
dan maksimum 25 hektar untuk setiap keluarga.

2.

Panitia Soewahjo yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo.


Adapun pokok-pokok pikiran yang penting dalam rancangan UUPA yang
diusulkan antara lain adalah perlunya diadakan penetapan batas maksimum
dan minimum luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan
hukum dan tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan
secara sendiri oleh pemiliknya.

3.

Rancangan Soenarjo.
Hasil panitia Soenarjo ini pada dasarnya tidak berbeda dengan panitia
Soewahjo dan pada masa Menteri Soenarjo inilah Rancangan Undang-undang
Agraria pada tanggal 1 April 1958 resmi diajukan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat. Menurut

panitia ini asas-asas landreform merupakan suatu hal yang penting diatur
dalam hukum agraria yang baru.
5. Rancangan Sadjarwo.
Sebagaimana diketahui bahwa rancangan Sadjarwo ini kemudian disahkan
sebagai UUPA yang jika dipelajari banyak memuat asas-asas landreform bahkan
ada sebagian ahli hukum menyatakan sebagai Undang Undang Landreform. 55
Dari uraian di atas, jelas bahwa program landreform tersebut penting bagi
bangsa yang corak perekonomiannya bersifat agraris seperti Indonesia. Oleh
sebab itu jika konsisten dengan konsep landreform dan dalam hubungannya
dengan UUPA maka UUPA selain merupakan politik hukum pertanahan yang baru
bagi bangsa Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur
pertanahan baik menyangkut penguasaan ataupun pemilikan tanah serta dalam
kerangka memperbaiki hubungan hukum mengenai penguasaan tanah yang
disebut landreform di Indonesia. 56
UUPA merupakan induk dari landreform Indonesia, hal mana terbukti dari
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konsiderans hingga Pasal 19 UUPA. 57
Hal ini berarti bahwa berbagai undang-undang atau peraturan lain yang berkaitan
dengan pelaksanaan landreform tidak boleh keluar dari sitematika yang telah
dikembangkan oleh UUPA.58
Dalam kepustakaan agraria sering dijumpai istilah agrarian reform dan
landreform. Agrarian reform (pembaharuan agraria) atau adakalanya disebut
55

Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 125-130.


Hustiati, Op. Cit., hlm. 28
57
A.P Parlindungan, Op. Cit., hlm. 7.
58
Hustiati, Op. Cit., hlm. 28.
56

reforma agraria (istilah resmi sebagaimana tercantum dalam TAP MPR Nomor IX
Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam),
Pasal 2 menyebutkan bahwa:
Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumber daya agrarian dilaksanakan dalam rangka tercapainya
kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Dalam pasal 2 tersebut, ada empat poin penting yang dinyatakan secara
tegas yaitu penguasaan, pemilikan, pengunaan, dan pemanfaatan. Penguasaan
dan Pemilikan adalah bagaimana hubungan hukum antara seseorang (badan)
dengan sebidang tanah. Sedangkan penggunaan dan pemanfaatan berkenaan
dengan bagaimana sebidang tanah dimanfaatkan, apakah akan ditanami padi,
singkong, karet ataukah dibangun rumah atau mungkin dibiarkan saja menjadi
hutan. Dengan demikian pembaruan agraria dapat dipilah dalam dua sisi yaitu (1)
sisi penguasaan dan pemilikan yang biasa disebut dengan landreform dalam arti
sempit, yaitu penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah; (2) sisi
penggunaan dan pemanfaatan, yang biasa disebut dengan non-landreform, yaitu
bagaimana menciptakan nilai ekonomi dari sebidang tanah yaitu dengan
mengolahnya, mengintroduksikan teknologi baru, menyediakan infra struktur,
memberi bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian dan lain-lain. 59

59
Makalah Permasalahan Konseptual dan Implementasi Dalam Pembaruan Agraria di
Indonesia oleh Sahyuti, Peneliti pada Pusat Penelitian Pengembangan Sosek Pertanian, Bogor. Di
akses terakhir tanggal 13 April 2009.

Yang perlu dipahami sebelum sampai kepada apa yang dimaksud dengan
agrarian reform dan landreform adalah tentang batasan agraria. Dalam Pasal 1
ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan agraria adalah
Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya.... Pengertian ini sejalan dengan yang tercantum pada TAP MPR
Nomor IX Tahun 2001 pada bagian Menimbang butir (a) yaitu: Bahwa sumber
daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Meskipun tanah hanyalah salah satu objek
agraria namun tanah merupakan objek pokok yang dicakup dalam pengertian
agraria. Selanjutnya dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 pada bagian Berpendapat
butir (d) disebutkan: ... mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan
memimpin penggunaannya hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan
bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat . Begitu besarnya
esensi permasalahan tanah juga ditemui dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001
Pasal 6 butir (b) yaitu Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan
memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat .... 60
Pentingnya posisi tanah dalam pengertian agraria tersebut secara tidak
langsung memberi makna bahwa kegiatan pertanian merupakan bentuk aktifitas
masyarakat yang paling erat kaitannya dengan apa yang dibicarakan dalam
agraria, termasuk ketika membicarakan reforma agraria. Hal ini karena pertanian
merupakan sektor yang paling banyak bersentuhan dengan pengolahan tanah.
60

Makalah Land Reform di Indonesia oleh ALSA KLI UGM, Di akses terakhir tanggal
13 April 2009.

Secara faktual terlihat bahwa landreform merupakan langkah yang tak terpisahkan
dalam pembangunan pertanian.
A.P Parlindungan menyatakan, kalaulah mau konsekuen dengan bunyi
ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA seharusnya digunakan istilah agrarian
reform, dimana di dalamnya terdapat landreform, water reform, dan air reform.61
Dengan demikian yang diadakan perombakan tidak hanya hubungan manusia
dengan tanah saja tetapi juga penataan dengan air dan ruang angkasa. Karena itu
jika melihat ruang lingkup Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA lebih tepat digunakan istilah
agrarian reform.62
Agrarian Reform meliputi 5 program (Panca Program) yaitu :
1.

Perombakan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi


nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum;

2.

Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;

3.

Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;

4.

Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubunganhubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam
mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.

5. Perencanaan, persediaan, dan penggunaan bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya serta penggunaannya secara terencana sesuai dengan
daya dan kesanggupan serta kemampuannya. 63
Program yang keempat lazim disebut program landreform. Bahkan
61

A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung, Mandar


Maju, 1998), hlm. 79.
62
Boedy Harsono, Op.Cit., hlm 3-4.
63
Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria , (Jogjakarta: Liberty, 1997), hlm. 66.

keseluruhan program agrarian reform tersebut seringkali disebut program


landreform. Maka dikenal sebutan landreform dalam arti luas dan landreform
dalam arti sempit.64 Berkaitan dengan hal tersebut, Boedy Harsono secara tegas
membedakan antara landreform dalam arti sempit dan landreform dalam arti luas.
Landreform dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam rangka
agrarian reform Indonesia yang meliputi perombakan mengenai pemilikan dan
penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan
penguasaan tanah. Sedangkan landreform dalam arti luas disebut sebagai
agrarian reform 65
Secara harafiah perkataan landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa
Inggris yang terdiri dari kata land dan reform. Land artinya tanah dan reform
artinya perubahan atau perombakan. Jadi landreform berarti perombakan terhadap
struktur pertanahan akan tetapi yang dimaksud bukan hanya perombakan terhadap
struktur penguasaan pertanahan saja melainkan perombakan terhadap hubungan
manusia dengan tanah, hubungan manusia dengan manusia berkenaan dengan
tanah guna meningkatkan penghasilan petani.66 Para ahli pun memiliki pandangan
yang berbeda-beda mengenai konsep landreform.
Lipton dalam salah satu tulisannya mendefinisikan konsep landreform
sebagai berikut:
Pengambilalihan luas tanah secara paksa yang biasanya dilakukan oleh negara
dari pemilik-pemilik tanah yang dengan ganti rugi sebagian. Dan penguasaan
tanah sedemikian rupa sehingga manfaat dari hubungan antara manusia
64

Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 3-4.


Boedi Harsono, Ibid
66
Hustiati, Op.Cit., hlm. 32.
65

dengan tanah dapat tersebar lebih merata daripada sebelum pengambilalihan.67


Dalam definisi tersebut landreform mengandung dua makna yaitu pada
satu sisi negara dapat mengambil tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan
kemudian membagi-bagikan tanah tersebut kepada perorangan dan keluarga
dalam unit yang kecil dan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Pada sisi
yang lain tanahtanah yang telah diambil alih tersebut diusahakan bersama secara
kolektif dalam bentuk usaha bersama seperti koperasi atau usaha tani lainnya.
Dari segi lain, pengertian landreform adalah mengubah dan menyusun
kembali tatanan dan prosedur-prosedur yang berlaku sebagai usaha untuk
membuat sistem penguasaan tanah itu lebih konsisten dengan persyaratanpersyaratan secara keseluruhan dari pembangunan ekonomi. 68 Pandangan seperti
ini bertitik tolak dari suatu pemikiran bahwa tatanan yang berlaku dalam sistem
penguasaan tanah pada suatu kondisi tertentu ditinjau dari perspektif
pembangunan ekonomi sudah tidak memadai lagi. Oleh karena itu perlu diadakan
perubahan (reformasi). Pandangan ini melihat landreform berorientasi pada aspek
ekonomi. 69
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengartikan landreform dan agrarian
reform sebagai berikut:
Landreform refers to integral reform of the tenure, production and supporting
67

Michael Lipton, Towards A Theory Of Landreform, dalam David Lehmann,ed,


Agrarian Reform and Agrarian Reformism, London, Feber and Faber, 1974, P. 269-281,
sebagaimana dikutip oleh Soediono MP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad
Penguasaan Tanah di Jawa dan Madura dari Masa ke Masa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1984), hlm. 314-315.
68
Peter Doner, Land Reform and Economic Development, Penguin Books Australia, Ltd.
1972, hlm. 17-17, sebagaimana dikutip oleh Gunawan Wiradi dalam Soediono MP. Tjondronegoro
dan Gunawan Wiradi, Ibid
69
Pendastaren Tarigan, Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi Pemerintah
Dengan Delegasi Pengaturan dan Pengawasan Tindakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanahan,
(Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 287.

services structure to eliminate obstacles to economic and social development


a rising out defects in the agrarian structure by redistribution of wealth,
opportunity and power, as menifest in the ownership and control of land,
water and other resources. 70
Sedangkan agrarian reform diartikan sebagai berikut:
Agrarian reform is mean to cover all aspects institutional development
including land reform. Tenure production and supporting services structure
and relate institutions, such as local government, public administration in
rural areas, rural education and rural social welfare intitution and so forth71
Dari uraian tersebut di atas, PBB membedakan pengertian antara
landreform dan agrarian reform. Landreform dimaksudkan untuk menghilangkan
penghalangpenghalang terhadap perkembangan pembangunan ekonomi sosial
dengan jalan redistribusi di bidang kekayaan kesempatan dan kekuasaan sebagai
manifestasi dari pemilikan dan pengawasan terhadap tanah, air dan sumber daya
lainnya. Sedangkan agrarian reform dimaksudkan untuk mengatasi semua aspek
yang berkaitan dengan pembangunan termasuk landreform. Penghasilan produksi
dan

pelayanan

termasuk

hubungan

lembaganya. 72 Pendapat

berikutnya

dikemukakan oleh Gunawan Wiradi yang menyatakan bahwa landreform


mengacu kepada penataan kembali susunan penguasaan tanah demi kepentingan
petani kecil, penyakap (tenants), buruh tani tak bertanah. 73

70

Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Land Reform Di Indonesia Dan


Permasalahannya, (Medan: USU, 2005), hlm. 40.
71
Ibid
72
Ibid
73
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Dalam Perspektif Transisi Agraris, Makalah,
Bandung, 1998, hlm. 14-15.

Istilah landreform dan agraria reform selalu dipergunakan secara


bergantian dalam diskusi-diskusi yang menyangkut perbaikan-perbaikan dan
perubahanperubahan dalam kebijakan pemerintah mengenai tanah pertanian.
Sehubungan dengan hal tersebut Gunawan Wiradi menyatakan bahwa, Di dalam
suatu masyarakat non-industri, tanah mencerminkan bentuk dasar dari
kemakmuran dan sumber dasar dari perekonomian dan politik. Disisi lain sistem
penguasaan tanah mencerminkan pula hubungan-hubungan dan susunan-susunan
pengelompokan sosial. Kenyataan ini dan keadaan politik ekonomi dan sosial
budaya pada umumnya dari suatu negara serta kemauan politik pemerintahnya
menentukan pula corak reform yang dilakukan. Artinya program agraria dapat
dilancarkan dengan titik berat yang berbeda-beda. Ada yang titik beratnya pada
pembangunan ekonomi (dalam hal ini soal redistribusi tanah tidak begitu
difokuskan) dan ada yang menitik beratkan pada perombakan struktur sosial dan
asas pemerataan, maka soal redistribusi tanah merupakan sasaran utama.74
Selain

itu

landreform

juga

diartikan

sebagai

perubahan

dasar

(perombakan) struktur pertanahan yang berarti bukan sekedar tambal sulam,


landreform meliputi program untuk melakukan tindakan-tindakan yang saling
berhubungan satu sama lain yang bertujuan untuk menghilangkan penghalangpenghalang dibidang sosial ekonomi yang timbul dari kekurangan-kekurangan
yang terdapat dalam struktur pertanahan. 75
Pandangan yang berbeda itulah yang membedakan kedua istilah tersebut
74

Gunawan Wiradi, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria, Dalam Dua Abad
Penguasaan Tanah di Jawa Dan Madura Dari Masa Ke Masa, Soediono MP Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984), hlm. 314.
75
Chadidjah Dalimunthe, Op. Cit., hlm, 39

di atas dipakai secara terpisah. Istilah landreform dipakai dalam rangka


redistribusi tanah sedangkan agraria reform digunakan untuk tujuan yang lebih
komprehensif sebab tidak hanya menyangkut masalah redistribusi saja tetapi juga
menyangkut tindak lanjut dari redistribusi tersebut. 76 Kegiatan redistribusi tidak
terhenti hanya sampai tanah dibagikan. Jika hanya sampai di tanah dibagikan para
petani penerima tanah cenderung menjual tanah yang telah diterima masingmasing. Oleh karena itu dibutuhkan tindak lanjut berupa landreform by leverage
yang menyempatkan petani memperoleh bantuan seperti kredit bersyarat ringan,
pemasaran, pelatihan, pembibitan, manajemen, dan teknologi.77 Para petani kecil
harus mempunyai akses terhadap kredit dengan bunga rendah dan mudah
dijangkau, penyediaan infrastruktur pendukung, memiliki akses pasar dan
memperoleh harga yang adil, serta mendapat dukungan teknis untuk
mengembangkan sistem produksi pertanian-pangan yang berkelanjutan.
Landreform by leverage atau pembaharuan agraria yang didasarkan pada
kekuataan rakyat merupakan jawaban terhadap ketidakadilan agraria yang
dibangun dalam kerangka pembangunan nasional yang selama ini memarjinalkan
dan mencerabut hak-hak rakyat atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya.
Penguatan organisasi rakyat merupakan prioritas utama dalam perjuangan
pembaharuan agraria di Indonesia. Agar Pembaharuan Agraria dapat berjalan
dengan baik maka harus ada inisistif bersama antara masyarakat dengan
pemerintah.

76

Pendastaren, Op.Cit., hlm. 288-289.


DisampaikanolehKepala BPN,LuthfiINasoetionpada acarapenyerahan 500 sertifikat
tanah pola ajudikasi secara swadaya untuk petani di Kota Gajah, Lampung Tengah, tanggal 27 Juni
2003iakses dari http://www.mediaindo.co.id tanggal 6 Agustus 2009.
77

Program landreform atau lebih populer dengan redistribusi tanah pertanian


negara secara singkat dapat didefinisikan78 sebagai kebijakan dan kegiatan
pemerintah meredistribusikan tanah-tanah pertanian negara kepada para petani
berlahan sempit (petani gurem) dan terutama petani penggarap yang tidak
memiliki tanah. 79
Selanjutnya A.P Parlindungan berpendapat bahwa landreform di Indonesia
bukan sekedar membagi-bagikan ataupun bersifat politis akan tetapi adalah suatu
usaha untuk reformasi hubungan antara manusia dengan tanah yang lebih
manusiawi. Di dunia internasional landreform itu mempunyai makna sebagai :80
a.

Perubahan hubungan antara manusia dengan tanah;

b.

Perubahan dan perlindungan petani penggarap dari tuan-tuan tanah atau


penghapusan pertuanan tanah;

c.

Larangan pemilikan tanah yang luas disebut juga dengan larangan latifundia;

d.

Larangan absentee atau guntai;

e. Penerapan suatu ceiling bagi pemilikan tanah.


Pengertian lain landreform adalah menata kembali sistem pertanahan baik
peruntukkan, persediaan, penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah serta
peralihan haknya.81 Dalam pengertian tersebut penataan mengenai peruntukkan
adalah apakah telah sesuai dengan peruntukkannya, misalnya tanah tersebut
78

Landreform secara universal/internasional dipahami sebagai bagian dari agrarian


reform dan bukan kegiatan parsial apalagi bersifat proyek bagi-bagi tanah, melainkan menuju ke
arah perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menghilangkan
hambatanhambatan yang mengganjal para petani menuju kesejahteraan sosial dan ekonominya.
(Herman Hermit, Program Landreform dan Relevansinya dalam Pembangunan di Indonesia,
(Jatinangor: Fakultas Teknik UNWIM, 2001), hlm. 13.
79
Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan
Tanah Pemda, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 183.
80
A.P Parlindungan , Aneka Hukum Agraria, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 8.
81
Affan Mukti, Pokok -pokok Bahasan Hukum Agraria, (Medan, USU Press, 2006), hlm.
25.

digunakan untuk pertanian. Mengenai persediaan yaitu apakah juga dibenarkan


tanah-tanah tersebut disediakan terlebih dahulu sebelum adanya pembangunan.
Hal ini jika mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1998 tentang
Tanah Terlantar tentu bertentangan. Demikian juga tentang penggunaan tanah
banyak tanah yang dipergunakan tidak sesuai lagi dengan pengunaan tanah
tersebut seperti tanah pertanian dipergunakan untuk pemukiman. Penataan tentang
kepemilikan juga apakah hanya warga negara Indonesia saja yang boleh memiliki
hak milik atas tanah, bagaimana ketentuan badan hukum atau apakah warga
negara asing boleh memiliki hak milik atas tanah. Demikian juga halnya dengan
masalah peralihan hak atas tanah yang memerlukan alat yang mutakhir dari sistem
pendaftaran tanah yang baik sehingga tidak mungkin terjadi adanya peralihan hak
atas tanah yang berdampak kepada sistem pendaftaran yang dapat menimbulkan
atau adanya sertipikat asli tapi palsu dan juga ada sertipikat tetapi tidak ada
tanah/lahan. Hal-hal inilah yang perlu ditata sehingga masyarakat yang akan
berhubungan

dengan

kantor

pertanahan

dalam

hal

ini

seksi

pendaftaran/pengukuran tanah dapat lebih cepat untuk mengetahui perkembangan


sistem pertanahan di Indonesia.
Inti dari agrarian reform adalah landreform dalam pengertian redistribusi
pemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan
berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan,
perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran dan sebagainya. 82 Seperti yang
diungkapkan oleh Cohen, agrarian reform adalah sebagai upaya yang luas dari
pemerintah yang mencakup berbagai kebijakan pembangunan melalui redistribusi

tanah berupa peningkatan produksi, kredit kelembagaan, pajak pertanahan,


kebijakan penyakapan dan upah, pemindahan dan pembukaan tanah baru.82
Jadi reforma agraria selain merupakan bagian dari program pembangunan
ekonomi juga bermakna sebagai suatu program politik untuk merubah struktur
kekuasaan dalam lapangan agraria. Dimana redistribusi tanah dan sumber-sumber
agraria lainnya yang telah dikuasai dalam skala besar atau melebihi batas
maksimum yang ditentukan dan pengembalian tanah-tanah dan sumber-sumber
agraria lainya
Dokumen Kelompok Studi Pembaruan Agraria, Ketetapan MPR RI
tentang Pembaruan Agraria sebagai Komitmen Negara Menggerakkan
Perubahan Menuju Indonesia yang Lebih Baik disampaikan kepada Badan
Pekerja MPR RI pada tanggal 21 Mei 2001. yang diambil dari penguasaan rakyat
sebelumnya menjadi suatu program penting dalam rangka merombak struktur
penguasaan tanah.
Mengenai istilah landreform secara tegas tidak terdapat di dalam UUPA.
Akan tetapi bila UUPA dipelajari secara mendalam maka dijumpai asas-asas atau
prinsip-prinsip tentang landreform, hal ini dapat dipelajari baik dari pasalpasalnya maupun penjelasan dari UUPA itu sendiri.
Gouw Giok Siong83 menyatakan bahwa di dalam UUPA terdapat prinsipprinsip landreform.84 Boedi Harsono menyatakan asas-asas dan ketentuanketentuan pokok landreform itu dijumpai dalam UUPA.85 Sedangkan A.P

82

Suardi, Hukum Agraria, (Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005), hlm. 105.
Gouw Giok Siong, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (Jakarta: 1960), hlm. 22.
84
Ibid
85
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 350
83

Parlindungan menyatakan bahwa UUPA tersebut sebagai induk landreform


Indonesia.

86

Pandangan yang demikian didasarkan pada kenyataan bahwa UUPA

mengandung ketentuan pokok mengenai landreform. Yang lebih tegas lagi


Abdurrahman menyatakan bahwa UUPA sebagai Undang Undang Landreform
Indonesia. 87
Dari uraian di atas, meskipun dirumuskan dengan kalimat yang berbedabeda tetapi dapat disepakati bahwa pada dasarnya landreform dan/atau agrarian
reform adalah suatu penataan proses perubahan alokasi dan realokasi, distribusi
dan redistribusi pemilikan atau penguasaan sumber daya pertanahan terutama bagi
petani gurem atau petani kecil yang kurang memiliki lahan pertanian.88
Di Indonesia pelaksanaan landreform berlandaskan kepada Pancasila dan
UUD 1945 yang terwujud di dalam suatu rangkaian kegiatan dalam bidang
pertanahan yang bersifat menyeluruh, terarah, terpadu dan berkesinambungan di
dalam penataan, pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan peralihannya sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi
rakyat secara adil dan merata.
2. Tujuan Landreform
Secara umum landreform mempunyai tujuan memperbaiki situasi di mana
banyak sekali petani di bawah suatu ikatan tertentu terhadap pemilik tanah, hal ini
disebabkan karena distribusi tanah yang tidak merata. Pada satu sisi terdapat
orang yang menguasai tanah yang sangat luas sementara pada sisi yang lain
86
A.P Parlindungan, Landreform Indonesia, Suatu Studi Perbandingan, (Bandung:
Alumni, 1991), hlm. 10.
87
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah Di
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 47.
88
Pendastaren Tarigan, Op. Cit. , hlm. 291

banyak orang (petani) menguasai tanah yang sangat sempit bahkan tidak
mempunyai tanah sama sekali (tuna kisma), yang terakhir ini kehidupannya sangat
tergantung kepada pemilik tanah dan hidup sebagai penyakap.
Di Indonesia, tujuan land reform dapat dipahami dengan menelusuri latar
belakang terbentuknya UUPA serta beberapa pendapat yang akan diuraikan
berikut ini. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) salah satu lembaga yang ikut
mengusulkan tentang perombakan hak atas tanah dan penggunaan tanah
menyatakan bahwa tujuan landreform Indonesia adalah: Pertama, untuk
menyelenggarakan masyarakat adil dan makmur khususnya meningkatkan taraf
hidup para petani. Kedua, adalah untuk memperkuat dan memperluas pemilikan
tanah bagi seluruh rakyat Indonesia terutama kaum petani.89
Selanjutnya Sadjarwo dalam kedudukannya sebagai Menteri Agraria pada
pidatonya yang mengantarkan Rencana Undang Undang Pokok Agraria dihadapan
sidang Pleno DPR-GR tanggal 12 September 1960 antara lain menyatakan bahwa:
Perjuangan perombakan hukum agraria kolonial dan penyusunan hukum agraria
nasional terjalin erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk
melepaskan diri dari cengkeraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan, khususnya
perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan
feodalisme90 atas tanah dan pemerasan kaum modal asing.91 Itulah sebabnya maka
landreform di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan revolusi nasional
Indonesia. Oleh karenanya landreform Indonesia mempunyai tujuan:
89

Boedi Harsono, ibid, hlm. 350


Feodalisme adalah sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh
kekuasaan yang besar ditangan tuan tanah.
91
Ibid, hlm. 351
90

1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat


tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang_
adil, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara
revolusioner 92 guna merealisir keadilan sosial;
1.

Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, agar tidak terjadi lagi
tanah sebagai objek spekulasi dan alat pemerasan;

2. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap
warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan yang berfungsi
sosial. Suatu pengakuan dan perlindungan bagi privat bezit, yaitu hak
milik sebagai hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun temurun,
tetapi berfungsi sosial;
2.

Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan


penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan
menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap
keluarga. Sebagai kepala keluarga (dalam hubungannya dengan tanah)
dapat seorang laki-laki atau seorang perempuan. Dengan demikian
mengikis pula sistem liberalisme93 dan kapitalisme94 atas tanah dan
memberikan perlindungan terhadap golongan yang ekonomis lemah;

5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya


pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan
bentuk gotong royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata
92

Revolusioner adalah perubahan secara menyeluruh dan mendasar.


Liberalisme adalah aliran ekonomi yang menghendaki kebebasan pribadi untuk
berusaha dan berniaga (pemerintah tidak boleh ikut campur).
94
Kapitalisme adalah sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya
(penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal-modal
perusahaan swasta dengan ciri persaingan di pasar bebas.
93

dan adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan


kepada golongan petani. 95
Selanjutnya Presiden Soekarno pada pidatonya tanggal 17 Agustus 1960
yang terkenal dengan Pidato JAREK (Jalannya Revolusi Kita) menyatakan
bahwa Melaksanakan landreform berarti melaksanakan suatu bagian mutlak dari
revolusi Indonesia. Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan
gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang atau pun sama saja
dengan omong besar tanpa isi. Kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa betapa
pentingnya landreform tersebut bagi Indonesia. Program landreform adalah
program yang sifatnya mendasar dalam rangka memperbaiki struktur penguasaan
tanah di Indonesia. Menyitir pernyataan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
Soekarno menyatakan:
Defects in agrarian structure, and in particular system of land tenure,
prevent a rise in the standard of living of small farmers and agricultural
labourers and
impede economic development (Keburukan-keburukan dalam struktur
pertanahan, terutama sekali keburukan-keburukan dalam cara pengelolaannya,
menghalangi tingkat hidup si petani kecil dan buruh pertanian, dan
menghambat kemajuan ekonomi).96
Boedi Harsono menyatakan bahwa penyelenggaraan landreform di
Indonesia mempunyai tujuan:
Untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani
95
96

Boedi Harsono, Ibid., hlm. 351


Affan Mukti, Op.Cit., hlm. 29.

kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. 97
A.P Parlindungan menyatakan bahwa tujuan landreform Indonesia
haruslah disesuaikan dengan UUPA itu sendiri, karena UUPA adalah sebagai
induk dari landreform. Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan UUPA juga
merupakan tujuan landreform, yaitu:
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan
bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam kerangka masyarakat yang
adil dan makmur;
1.

Meletakkan dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam

hukum; 3. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kepastian hukum


mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Mengenai tujuan diadakannya program landreform di Indonesia dapat
diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagian yaitu:
Secara umum:
Tujuan landreform adalah mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani
penggarap sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.98
Secara khusus:
Dengan berlandaskan pada tujuan secara umum di atas maka landreform di
97
98

Boedy Harsono, Op.Cit., hlm. 352.


Ibid, hlm.353.

Indonesia diarahkan agar dapat mencapai 3 (tifa) aspek sekaligus sebagaimana


yang dinyatakan oleh Hustiati,99I Nyoman Budi Jaya 100 dan Chadidjah
Dalimunthe,101 yaitu:
1. Tujuan Sosial Ekonomis:
a)

Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat, dengan memperkuat hak


milik serta memberi isi dan fungsi sosial pada hak milik;

b) Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna


mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
2. Tujuan Sosial Politis:
a)

Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang

luas;
b) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan
rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil
pula. 3. Tujuan Mental Psikologis:
a)

Meningkatkan kegairahaan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan


memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah;

b) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.


Atas dasar itu maka sasaran yang akan dicapai adalah memberikan
pengayoman kepada para petani penggarap dalam usaha memberikan kepastian
hukum dan kepastian hak dengan cara memberikan hak milik atas tanah yang
telah digarapnya. Sebagai pengakuan adanya hak milik perseorangan atas tanah
99

Hustiati, Op. Cit., hlm. 36.


I Nyoman Budi Jaya, Tinjauan Yuridis Tentang Redistribusi Tanah Pertanian Dalam
Rangka Pelaksanaan landreform, ( Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 11.
101
Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm. 43-44. Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten
Deli Serdang, 2010.
100

maka kepada pemilik yang tanah-tanahnya diambil oleh pemerintah diberikan


ganti kerugian menurut ketentuan yang berlaku.
Tujuan landreform sebagaimana tersebut di atas apabila dikaitkan dengan
tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945 yaitu untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila, jelas sangat mendukung. Kaitan itu nampak pula dari ketentuan Pasal
33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber pengaturan soal
keagrariaan (sumber UUPA), dimana dalam UUPA sendiri dimuat asas-asas dan
ketentuan-ketentuan pokok landreform.
Asas-asas landreform yang dimaksud adalah sebagai berikut: 102
1. Asas penghapusan tuan-tuan tanah besar. Asas ini dimuat dalam Pasal 7
UUPA;
2. Asas pembatasan luas maksimum dan/atau minimum tanah. Setiap orang
atau badan hukum dilarang memiliki, menguasai tanah pertanian yang
menyebabkan terjadinya monopoli pemilikan tanah pertanian. ( Pasal 17
UUPA);
1. Asas pemerasan orang oleh orang lain. Perlu diadakan perlindungan bagi
golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga-warga yang kuat
kedudukan ekonominya. Asas ini dimuat dalam Pasal 11 UUPA;
2. Asas kewajiban mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah
miliknya. Agar tidak terjadinya tanah-tanah terlantar dan penggunaan tanah
yang tidak efisien. Asas ini dimuat dalam Pasal 10 UUPA.
102

Y.W Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharan Hukum Agraria (Beberapa


Pemikiran), (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm.127-129.

Selanjutnya tujuan diadakannya program landreform di daerah pertanian


adalah:
1. Untuk memberikan tanah bagi para petani yang selama ini telah nyata-nyata
menggarap secara sah di lokasi yang telah memenuhi persyaratan untuk
ditetapkan sebagai objek landreform;
2. Pembagian tanah pertanian tersebut dimaksudkan untuk memberikan
kepastian hukum terhadap hak atas tanah bagi para petani penggarap yang
sah;
3. Kepastian hukum tersebut akan memberikan dampak ketentraman kerja dan
kepastian berusaha bagi para petani karena tanah merupakan faktor produksi
utama bagi mereka dalam mengembangkan basis perekonomian;
4. Adanya ikatan yang lebih kuat antara para petani dengan tanah yang akan
memberikan

motivasi

yang

lebih

mendasar

bagi

mereka

untuk

melaksanakan kegiatan menyuburkan dan mengolah tanahnya dengan


baik.103
3. Program Landreform
Pembangunan pertanian harus merupakan usaha yang terpadu dengan
pembangunan daerah dan pedesaan. Dalam hubungan ini diperlukan langkahlangkah mengendalikan secara efektif masalah penggunaan, penguasaan dan
pemilikan tanah sehingga bumi, air dan ruang angkasa sesuai dengan asas adil dan
merata.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, M Yamin menyatakan bagi negara-negara
yang sedang berkembang program landreform sangat diperlukan sebab pada
103

Bumi Bhakti Adiguna III, 1996, Media Komunikasi Pertanahan , Edisi xii, Nomor 12.

umumnya di negara-negara berkembang tanah merupakan sumber daya yang


utama bagi peningkatan perekonomian.104
Sesuai dengan tujuan tersebut di atas dan mengingat situasi dan kondisi
agraria di Indonesia pada waktu itu maka program landreform meliputi :
1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;
2. Larangan pemilikan tanah secara absentee, atau guntai;
3.

Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanahtanah yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan
tanah-tanah negara;

4.

Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang


digadaikan;

5.

Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;

3. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan


untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan
pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau
kecil. Pelaksanaan landreform bertujuan melakukan penertiban dan
pengaturan serta penataan penguasaan tanah pertanian yan melebihi batas
maksimum pemilikan tanah secara absentee, tanah-tanah bekas swapraja,
eks tanah partikelir, tanah-tanah bekas perkebunan dan tanah-tanah negara
yang digarap rakyat.105
Untuk mencegah semakin banyaknya petani yang mempunyai tanah yang
sangat kecil dan penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian dilarang
104

M. Yamin dalam Jawaban Singkat Pertanyaan -pertanyaan Dalam Komentar Atas


Undang Undang Pokok Agraria, A.P Parlindungan, (Medan: Pustaka Bangsa, 2004), hlm. 13.
105
Chadidjah Dalimunthe, Op. Cit., hlm. 45.

mengalihkan tanah pertanian tanpa izin.106


B. Kepemilikan Tanah Secara Latifundia
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa adalah dimiliki oleh masyarakat Indonesia dan
dipergunakan sebesar-besarnya demi kesejahteraan Bangsa Indonesia menuju
masyarakat adil dan makmur dan juga seluruhnya adalah merupakan kekayan
alam sesuai dengan fungsi sosial hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 6 UUPA
dan juga dalam Pasal (3) UUD 1945 serta Pasal 2 dan Pasal 3 UUPA kepada
setiap keluarga diberi batasan tentang luas tanah yang boleh dikuasai. Maka dalam
rangka membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, Undangundang Pokok Agraria (UUPA) menetapkan dalam Pasal 7 bahwa supaya tidak
merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan.107 Latar belakang timbulnya ketentuan ini
didasarkan pada kondisi objektif pada saat berlakunya UUPA, bahwa kenyataan
menunjukkan 80% rakyat Indonesia pada waktu itu menggantungkan hidupnya
dari usaha pertanian. Pada waktu itu kurang lebih 60 % dari seluruh petani adalah
petani tak bertanah (tuna kisma) dan petani bertanah rata-rata hanya memiliki 0,6
hektar sawah atau 0,5 hektar tanah kering setiap keluarga yang nyata-nyata tidak
cukup untuk hidup layak pada saat itu. Tetapi di Jawa, Madura, Sulawesi Selatan,
Bali dan Lombok pada saat itu (1960) tercatat 5.400 orang yang mempunyai
sawah lebih dari 10 hektar, (1.000 orang diantaranya lebih dari 20 hektar) dan
106
107

Ibid.
Lihat Penjelasan Umum angka 1 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960.

11.000 orang mempunyai tanah kering lebih dari 10 hektar (2.700 orang
diantaranya lebih dari 20 hektar).

108

Hal itu menggambarkan suatu keadaan yang

akan berdampak negatif, karena tidak ada pemerataan dan ketidakadilan


pemilikan dan penguasaan atas tanah pertanian dimaksud.
Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas khususnya di
daerahdaerah yang tingkat kepadatan penduduknya cukup tinggi berarti dapat
mengurangi akses petani dalam memiliki dan menguasai tanah sendiri akibatnya
bukan saja terjadi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah tetapi juga
menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan diantara pemilik tanah itu
sendiri. Ketimpangan terhadap luas tanah yang dimiliki dan diusahakan
mengakibatkan sebagian orang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan sedang
yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya, hal ini
jelas bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia yang menghendaki
pembagian yang merata atas sumber daya penghidupan rakyat tani yang berupa
tanah itu.
Maka sesuai dengan tujuan landreform, salah satu upaya untuk
mewujudkan landreform adalah dengan melarang pemilikan tanah yang
melampaui batas (latifundia). Pengertian larangan pemilikan tanah pertanian
secara latifundia adalah larangan penguasaan tanah yang luas sekali sehingga ada
batasan maksimum seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian. 109
Untuk membatasi pemilikan tanah yang melampaui batas maka ditetapkanlah
batas maksimum dan batas minimum pemilikan tanah. Batas maksimum ini
108

Ibid
A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Op. Cit., hlm. 72.

109

disebut juga dengan ceiling. Tanah kelebihan yang juga disebut surplus akan
diambil oleh pemerintah dan dibagikan kepada para petani yang tidak mempunyai
tanah (tuna kisma) juga disebut landless farmers ataupun kepada petani gurem110
juga disebut near landless farmers.
Pemilikan tanah yang sangat luas bertentangan dengan prinsip sosialisme
Indonesia111 yang menghendaki pembagian yang merata atas sumber penghidupan
rakyat tani yang berupa tanah sehingga akan tercapai rasa keadilan. Seperti tanah
partikulir dengan hak pertuanan di atasnya yang hanya menguntungkan tuan-tuan
tanah. Hak-hak pertuanan yang ada pada tanah partikulir itu adalah:
1.

Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta


memberhentikan kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum;

2.

Hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja
paksa dari penduduk;

3.

Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang atau


hasil tanah dari penduduk;

4.

Hak-hak yang menurut peraturan-peraturan lain dan atau adat setempat,


sederajat.112
Hak-hak inilah yang hanya menguntungkan tuan tanah dan merupakan

demonstrasi perbudakan di Indonesia sehingga dengan Undang-undang Nomor 1


Tahun 1958 tanah partikulir ini telah dihapuskan. Dan terhadap tanah partikulir
tersebut sesuai dengan Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1958 dilaksanakan dengan
110

Petani gurem adalah petani yang mempunyai tanah pertanian tetapi dalam jumlah yang sedikit.
111
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, (Bandung: Alumni, 1981),
hlm. 270.
112
A.P. Parlindungan, Land reform di Indonesia, Suatu Studi Perbandingan, (Bandung:
Maju, 1991), hlm. 65.

pemberian ganti rugi kepada pemiliknya dan hanya diberikan kepada tanah-tanah
yang memang diusahakan.
Dalam GBHN, Ekonomi, I, Pertanian, dikatakan bahwa:
Pembangunan pertanian perlu didukung oleh tata ruang dan tata guna tanah
sehingga penggunaan, penguasaan, pemilikan dan pengalihan hak atas tanah
dapat menjamin kemudahan dan kelancaran usaha-usaha pertanian serta
benar-benar sesuai dengan asas adil dan merata. Sehubungan dengan itu, perlu
dicegah pemilikan tanah oleh perseorangan secara berlebihan, serta pembagian
tanah menjadi sangat kecil, sehingga tidak menjadi sumber kehidupan yang
layak.
Jelas bahwa GBHN kembali mempertegas larangan latifundia ini.113
Pemilikan dan penguasaan tanah yang luas oleh segelintir petani membuka
peluang terjadinya pemerasan oleh petani bertanah luas terhadap petani bertanah
sempit atau bahkan tidak memiliki tanah. Pemerasan dapat dikemas dalam bentuk
gadai dan bagi hasil pertanian. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk
memberi tanah pertanian yang cukup luas dengan jalan membuka tanah secara
besarbesaran. Upaya ini juga harus dibarengi dengan adanya batas maksimum
tanah pertanian yang boleh dikuasai satu keluarga, baik dengan hak milik maupun
dengan hak yang lain. 114
Selanjutnya yang dilarang dalam Pasal 7 UUPA tersebut bukan saja pada
pemilikan tanah yang melampaui batas tetapi juga pada penguasaannya.
Pengertian istilah pemilikan mempunyai arti yang berbeda dengan istilah
113
114

Hustiati, Op. Cit., hlm. 71


Lihat Penjelasan Umum Angka 3 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960.

penguasaan tanah pertanian. Pengertian penguasaan tanah pertanian secara yuridis


dapat dilihat pada Pasal 1 UU Nomor 56 Tahun 1960 yang berbunyi seseorang
atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersamasama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian baik miliknya sendiri atau
kepunyaan orang lain atau dikuasainya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik
sawah, tanah kering maupun sawah dan tanah kering. Seandainya seseorang yang
mempunyai tanah atas hak milik atau gadai, menyewakan atau dibagi hasilkan
kepada orang lain termasuk dalam pengertian orang yang menguasai tanah
tersebut. Jadi pengertian menguasai itu harus diartikan baik menguasai secara
langsung atau tidak langsung. Begitu pula yang menyewakan tanah termasuk
dalam pengertian menguasai.115
Selanjutnya dalam Pasal 17 UUPA dipertegas tentang luas maksimum
dan/atau minimum tanah dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang
singkat (Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUPA). Tanah-tanah yang merupakan kelebihan
dari luas maksimum itu diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian untuk
selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuanketentuan dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 17 ayat 3 UUPA). Dengan demikian
maka pemilikan tanah pertanian selanjutnya dapat lebih merata dan adil. Selain
memenuhi syarat keadilan maka tindakan tersebut akan berakibat pula
bertambahnya produksi karena para penggarap tanah-tanah itu yang telah menjadi
pemiliknya akan lebih giat dalam mengerjakan usaha pertaniannya. Selain luas
maksimum perlu juga diadakan penetapan luas minimum dengan tujuan supaya
115

Pertanian

Lihat Penjelasan UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah

tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai
taraf penghidupan yang layak. Tercapainya batas minimum yang akan ditetapkan
dengan peraturan perundangan akan dilaksanakan secara berangsur-angsur (Pasal
17 ayat 4 UUPA) artinya akan diselenggarakan taraf demi taraf. Dan untuk
pertama kali akan dicegah pemecahan lahan-lahan karena hal itu akan
menjauhkan dari usaha untuk mempertinggi taraf hidup petani.
Penentuan batas maksimum pemilikan tanah pertanian, pengambilan
kelebihan tanah oleh pemerintah dengan ganti rugi dan pendistribusiannya
kembali kepada petani harus diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian maka pemilikan tanah akan menjadi lebih adil dan merata, yang
kemudian akan mendorong bertambahnya produksi.
Untuk merealisasikan kebijakan nasional dibidang pertanahan yang
ditetapkan dalam UUPA, khusus untuk melaksanakan program landreform yang
membatasi menumpuknya tanah ditangan golongan orang tertentu maka
pemerintah pertama kali mengundangkan Undang-undang Nomor 56/Prp/ 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang lebih dikenal dengan Undangundang Landreform Indonesia. UU Landrefom ini mengatur tiga masalah pokok
yaitu: a) Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; b)
Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan tanah yang terlampau
kecil; dan c) Pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan.
Luas maksimum tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh keluarga petani
ditetapkan untuk tiap-tiap kabupaten/ kota dengan memperhatikan keadaan daerah

masing-masing dan faktor-faktor seperti: ketersediaan tanah; kepadatan penduduk;


jenis dan kesuburan tanah; besarnya usaha tanah yang baik serta kemajuan
teknologi pertanian.116 Untuk itu diadakan perbedaan antara daerah yang padat
(sangat padat, cukup padat, dan kurang padat) dengan daerah yang tidak padat
serta dibedakan pula jenis tanahnya, antara tanah sawah dengan tanah kering.
Lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel 1 berikut ini:

Selanjutnya yang menentukan apakah luas maksimum itu dilampaui


atau tidak bukanlah terbatas pada tanah-tanah miliknya sendiri melainkan
keseluruhan tanah pertanian yang dikuasainya, jadi termasuk juga tanah-tanah
kepunyaan orang lain yang dikuasainya dalam hubungan gadai, sewa (jual
tahunan) dan sebagainya. Tetapi tanah-tanah yang dikuasai dengan hak guna
usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang
diperoleh dari pemerintah (misalnya tanah hak pakai, tanah bengkok/jabatan)
serta tanah-tanah pertanian yang dikuasai oleh badan hukum tidak terkena
116

Pendastaren Tarigan, Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi


Pemerintah Dengan delegasi Legislasi Namun Terkendali, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008),
hlm. 307.

ketentuan mengenai luas maksimum tersebut.117


Dalam UUPA juga diatur tentang perlunya ditetapkan batas minimum agar
tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai
taraf penghidupan yang layak. Luas minimum tanah pertanian yang dimiliki
keluarga petani oleh UU Nomor 56 Tahun 1960 ditetapkan seluas 2 hektar baik
untuk tanah sawah maupun tanah kering. Konsepsi luas minimum ini akan
diupayakan pencapaiannya secara bertahap, yang juga dilengkapi dengan upayaupaya lain seperti pembukaaan tanah pertanian baru (ekstensifikasi), transmigrasi,
industrialisasi,

meningkatkan

produktivitas

tanah

pertanian

yang

ada

(intensifikasi) dan pemberian kredit pertanian. 118


Dengan memperhatikan kepadatan penduduk, luas daerah dan faktor
lainnya, maka luas maksimum yang dimaksud dalam UU Nomor 56 Tahun 1960
ditetapkan sebagai berikut:

118

117
118

Ibid, hlm. 308

Lihat Penjelasan Pasal 8 U Nomor 56 Tahun 1960

Yang dimaksud dengan daerah ialah Daerah Tingkat II.

119

Jika tanah

yang dimiliki atau dikuasai itu berada di berbagai daerah maka ketentuan yang
diberlakukan atasnya adalah larangan pemilikan tanah pertanian secara
absentee.120 Semua kotapraja ditetapkan sebagai daerah yang sangat padat karena
pada umumnya keadaannya memang demikian. Perekonomian kota harus
diarahkan kepada berkembangnya industri dan bukan kepada usaha pertanian.
Apabila seseorang memiliki tanah yang melampaui batas maksimum,
maka tanah kelebihannya akan diambil oleh pemerintah dengan memberi ganti
kerugian kepada bekas pemilik tanah. Para pemilik lama dilarang menguasai
ataupun memindahkan tanah kelebihan kepada pihak lain dari maksimum yang
diperbolehkan. Hanya negara yang berhak menguasai dan memindahkan tanah
kelebihan tersebut kepada orang lain. Pemilik asal tidak berhak untuk menentukan
kepada siapa tanah itu harus diberikan. Ia hanya dapat memilih dari tanah yang
dimilikinya mana yang ingin tetap dikuasainya dan mana yang akan diserahkan
kepada negara.121 Tanah kelebihan tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada para
petani, terutama yang tidak mempunyai lahan pertanian ataupun yang mempunyai
lahan yang sempit.
Orang-orang

dan

kepala-kepala

keluarga

yang

anggota-anggota

keluarganya yang menguasai tanah-tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi


luas maksimum wajib melaporkan kepada Kantor Pertanahan atas kelebihan tanah
yang dimilikinya. Kewajiban lapor itu disertai sanksi, berupa kurungan selamalamanya 3 bulan dan
119

Boedy Harsono,Op.Cit., hlm. 357


Lihat PP Nomor 224 Tahun 1961.
121
Lihat Pasal 4 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960
120

atau denda sebanyak-banyaknya Rp10.000,- apabila kelebihan tersebut tidak


dilaporkan. Selain sanksi pidana ditentukan pula, bahwa jika terjadi tindak pidana
yang berupa pelanggaran Pasal 3 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut maka
tanah yang selebihnya dari batas maksimum jatuh kepada negara tanpa ganti rugi
berupa apapun, yaitu jika tanah yang bersangkutan semuanya milik terhukum
dan/atau anggota-anggota keluarganya.
Selain itu pemilik tanah diberi kesempatan untuk mengemukakan
keinginannya mengenai bagian tanah yang mana yang akan diambil oleh negara.
Jatuhnya tanah tersebut kepada negara berlaku karena hukum, artinya tidak
memerlukan putusan hakim yaitu setelah ada keputusan pengadilan yang
mempunyai kekuasaan untuk dijalankan, yang menyatakan bahwa benar telah
terjadi tindak pidana yang merupakan pelanggaran Pasal 3 tersebut.
Selanjutnya dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun
1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform menyebutkan
antara lain, bahwa kewajiban melapor kelebihan maksimum tersebut menjadi 6
bulan sejak berlakunya PMDN ini122 dan selambat-lambatnya dalam waktu 1
tahun sejak berlakunya peraturan ini harus mengakhiri penguasaan tanah
kelebihan maksimum tersebut dengan cara:
1. Memindahkan baik penguasaan ataupun hak atas tanah kelebihan tersebut
kepada pihak yang memenuhi syarat;
2. Pengajuan permohonan hak baru yang dibenarkan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan peruntukkan dan

122

PMDN Nomor 15 Tahun 1974 berlaku sejak tanggal 8 Oktober 1974.

penggunaannya.123
Untuk mencegah jangan sampai orang menghindarkan diri dari akibat
penetapan luas maksimum tersebut maka dilarang untuk memindahkan hak
miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut kecuali dengan izin Kepala
Kantor Pertanahan yang bersangkutan.
Peralihan karena pewarisan tanpa wasiat tidak termasuk dalam pengertian
memindahkan hak milik, karena pengertian memindahkan memerlukan
perbuatan yang sengaja ditujukan untuk beralihnya hak milik yang bersangkutan.
Larangan tersebut hanya berlaku selama belum ada penegasan tanah mana yang
akan diambil oleh pemerintah dan mana yang akan tetap dikuasai oleh yang
bersangkutan. Sementara itu perlu diadakan peraturan izin pemindahan hak untuk
mencegah jangan sampai yang dipindahkan bagian-bagian tanah yang sebenarnya
akan diambil oleh pemerintah.
C. Kepemilikan Tanah Secara Absentee (Guntai)
Dalam melakukan reforma hubungan manusia dengan tanah telah
diupayakan agar setiap orang mempunyai tanah atau lahan pertanian dengan
melarang adanya pemilikan tanah yang melampaui batas. Maka hal pertama yang
dilakukan adalah bagi pemilik tanah pertanian agar mengerjakan atau
mengusahakannya sendiri tanahnya secara aktif.124 Diadakannya ketentuan ini
untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian secara apa yang disebut
absentee atau dalam bahasa Sunda disebut dengan guntai , yaitu pemilikan
tanah yang letak tanahnya berada di luar daerah tempat tinggal yang mempunyai
123

Chadidjah Dlimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas


Tanah, (Medan: Yayasan Pencerahan Mandailing, 2008), hlm. 76.
124
Lihat pembahasan Pasal 10 UUPA.

tanah. (Absent artinya tidak hadir, tidak ada di tempat)

125

atau tanah absentee

(guntai) adalah tanah pertanian yang dimiliki oleh orang perorangan dan keluarga,
di mana letak pertanian itu di luar wilayah kecamatan tempat kedudukan
(domisili) pemilik tanah.126
Pemilikan tanah secara absentee dilarang oleh undang-undang karena letak
tanah tersebut berada di luar kecamatan yang berbeda dengan tempat tinggal
pemilik tanah sehingga tidak dapat mengerjakan tanahnya secara aktif. Tetapi
larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di
kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang
bersangkutan asal jarak tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut
pertimbangan pada waktu itu masih memungkinkannya untuk mengerjakan tanah
tersebut secara efisien.127 Ketentuanketentuan tersebut merupakan gambaran
situasi pada waktu itu yang didasarkan pada keadaan teknologi yang belum maju
seperti sekarang.
Selain itu tujuan melarang pemilikan tanah secara absentee adalah untuk
menghilangkan sistem pemerasan dan penumpukan tanah di tangan segelintir
tuantuan tanah agar hasil yang diperoleh dari penguasaan tanah itu sebagian besar
dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan,
karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil. Jika pemilik
tanah berada di perkotaan sementara tanahnya berada di pedesaan kemungkinan
besar pemilik tanah tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif,
125

Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 371.


Lihat Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961 dan Pasal 1 PP Nomor 41 Tahun 1964
(tambahan Pasal 3a sampai dengan Pasal 3e).
127
Lihat Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 224 Tahun 1961.
126

akibatnya terpaksa dibagi hasilkan kepada petani penggarap di tempat letaknya


tanah. Jika penggarap hanya mempunyai hubungan bagi hasil dengan tanahnya
apa yang menjadi tujuan landreform dalam bidang mental psikologis tidak akan
tercapai.128
Larangan absentee lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
224 Tahun 1961 tentang pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. Dalam
Pasal 3 peraturan ini antara lain ditentukan bahwa bagi pemilik tanah pertanian
yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya diberikan dua
pilihan, yaitu: pertama, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas
tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan
atau kedua kepada pemilik tanah tersebut diwajibkan untuk pindah dalam satu
kecamatan dengan tanah tersebut.129 Untuk mencegah usaha-usaha yang bertujuan
menghindarkan diri dari ketentuan tersebut di atas dijelaskan pindah ke
kecamatan letak tanah yang bersangkutan diartikan bahwa mereka benar-benar
berumah tangga dan menjalankan kegiatan-kegiatan hidup bermasyarakat dalam
kehidupan sehari-hari di tempat yang baru sehingga memungkinkan penggarapan
tanah miliknya secara efisien.130 Dengan demikian belumlah cukup jika seseorang
telah mempunyai kartu penduduk di tempat yang baru padahal menurut
kenyataannya sehari-hari ia masih tetap berada di tempat tinggalnya yang lain.
Dalam pasal tersebut juga disebutkan bahwa jika pemilik tanah pertanian
absentee berpindah tempat atau meninggalkan kediamannya keluar kecamatan
128

Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm. 42.


Lihat Pasal 3 UU Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian ganti Kerugian.
130
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 371.
129

tempat letak tanah itu selama 2 (dua) tahun berturut-turut sedang ia melaporkan
kepada pejabat setempat yang berwenang, maka dalam waktu 1 (satu) tahun
kemudian setelah berakhirnya jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut maka kepada
pemiliknya diwajibkan untuk mengalihkan hak milik atas tanahnya kepada orang
lain yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut atau kembali pindah ke
kecamatan tempat letak tanah tersebut.131 Sedangkan pemilik tanah pertanian
absentee yang telah pindah tempat atau meninggalkan kediamannya keluar
kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 (dua) tahun berturut-turut maka wajib
memindahkan hak atas tanahnnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di
kecamatan tersebut atau kembali pindah ke kecamatan tempat letak tanah
tersebut.132 Selanjutnya pemilik tanah pertanian absentee yang diperoleh dari
warisan dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak si pewaris meninggal
diwajibkan untuk memindahkannya kepada orang lain yang bertempat tinggal di
kecamatan dimana tanah itu terletak atau dia pindah ke kecamatan letak tanah itu.
Dalam hal tertentu dengan alasan yang wajar dapat diperpanjang waktunya oleh
Badan Pertanahan Nasional.133
Apabila kewajiban-kewajiban sebagaimana yang disebutkan di atas tidak
dipenuhi maka tanah yang bersangkutan dikuasai oleh pemerintah dan kepada
pemilik tanah diberikan ganti kerugian. Untuk selanjutnya tanah tersebut
dijadikan sebagai tanah objek landreform yang akan diredistribusikan menurut
hukum yang berlaku.
Terhadap larangan absentee ini tidak berlaku bagi pemilik tanah pertanian
131

Lihat Pasal 3a ayat 1 PP Nomor 41 Tahun 1964.


Lihat Pasal 3a ayat 2 PP Nomor 41 Tahun 1964.
133
Lihat Pasal 3c PP Nomor 41 Tahun 1964
132

yang sedang menjalankan tugas negara seperti pegawai negeri, pejabat militer atau
yang dipersamakan dengan mereka. Artinya kepada mereka dimungkinkan adanya
pemilikan tanah pertanian meskipun tidak bertempat tinggal di kecamatan tempat
letak tanah di maksud dengan ketentuan bahwa luas tanah yang dimiliki tersebut
tidak boleh melebihi 2/5 dari ketentuan luas maksimum pemilikan tanah pertanian
yang ditentukan untuk daerah yang bersangkutan. Adanya ketentuan ini
merupakan pengecualian dari larangan pemilikan tanah secara absentee.
Tetapi sewaktu-waktu seorang pegawai negeri atau yang dipersamakan
dengan mereka berhenti dalam menjalankan tugas negara (misalnya: pensiun) dan
mempunyai hak milik atas tanah pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya
dalam waktu satu (1) tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya tersebut
diwajibkan pindah ke kecamatan letak tanah itu atau memindahkan hak milik atas
tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah itu
terletak. Dan dalam hal-hal tertentu jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh
Menteri Agraria jika ada alasan yang wajar. Pertimbangan tersebut didasarkan
kepada perlunya dilaksanakan prinsip bahwa pemilik tanah pertanian wajib
mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara
pemerasan.134 Dalam usaha dibidang pertanian tidak boleh ada pemerasan tidak
boleh terjadi apa yang disebut exploitation de lhomme par lhomme, yaitu
penindasan manusia terhadap manusia lain.
134

135

Dalam penjelasan umum UUPA

Lihat Konsiderans PP Nomor 41 Tahun 1964


Pasal 11 ayat (1) UUPA, menyebutkan hubungan hukum antara orang termasuk badan
hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta wewenang yang bersumber dari hubungan
hukum itu akan diatur, harus memperhatikan kepentingan orang lain dan dicegah penguasaan atas
kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. Selanjutnya pada ayat (2), bahwa
perbedaan hukum golongan atau masyarakat bila perlu harus diperhatikan dengan menjamin
perlindungan terhadap ekonomi lemah.
135

(II.7) antara lain disebutkan dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) adalah suatu asas
yang pelaksanaannya masih memerlukan pengaturan lebih lanjut. Dalam peraturan
pelaksanaan itu nanti kiranya masih perlu membuka adanya pengecualian
(dispensasi).136 Hubungan-hubungan yang seperti itu harus dilakukan menurut
ketentuan yang berlaku sehingga tidak terjadi penindasan terhadap golongan
ekonomi lemah. Perjanjian tidak dibenarkan dilakukan oleh pihak-pihak atas
syarat-syarat yang ditentukan sendiri tetapi harus ditetapkan oleh pihak yang
berwenang jadi tidak dibenarkan adanya exploitation de lhomme par lhomme.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan
Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri
dinyatakan bahwa pengecualian yang diberikan kepada pegawai negeri sipil
tersebut diberlakukan juga kepada:
a.

Pensiunan pegawai negeri;

b.

Janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak
menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan
pegawai negeri;

c.

Karyawan dan pensiunan karyawan yang sebelum berlakunya UU Nomor


8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sudah memiliki tanah
pertanian secara guntai

d.

Janda dari yang disebut pada huruf (c) selama ia tidak menikah lagi

136

Dalam penjelasan tersebut dicontohkan seorang pegawai negeri yang untuk persediaan
hari tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin
dapat mengusahakannya sendiri, kiranya harus dimungkinkan untuk memiliki tanah tersebut.
Selama itu tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian
sewa, bagi hasil dan lain sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi sebagai pegawai negeri
(misalnya pensiun) tanah itu harus dikerjakannya sendiri secara aktif.

dengan seseorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai


negeri.137
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur tentang
seorang pegawai negeri dalam waktu 2 tahun menjelang masa pensiun,
diperbolehkan membeli tanah pertanian secara guntai (absentee) seluas sampai 2/5
dari batas maksimum penguasaan tanah untuk Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.138 Dasar pertimbangan dari ketentuan tersebut adalah bahwa dewasa
ini umumnya sukar bagi para pensiunan tersebut untuk berpindah ke tempat letak
tanah itu meskipun pemilikan tanah itu dimaksudkan untuk jaminan di hari tua
setelah pensiun.139
Dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini dan juga di masa yang akan
datang adanya ketentuan tentang pengecualian ini, kiranya sudah saatnya untuk
dipikirkan lagi relevansinya. Sebab bukan saja jumlah pegawai negeri dan
keluarganya semakin lama semakin bertambah. Apalagi dengan adanya ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Guntai Bagi
Para Pensiunan Pegawai Negeri diartikan juga janda pegawai negeri dan janda
pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan
pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri yang tentunya akan menambah
jumlah orang yang dikecualikan dalam memiliki tanah absentee, sementara tanah
pertanian dapat dipastikan tidak akan bertambah. Kalau demikian akan bertambah
banyak pula jumlah orang yang mempunyai tanah absentee baik yang dilarang
maupun yang dibolehkan. Sementara bagi orang-orang yang pada saat ini
137

Lihat PP Nomor 4 Tahun 1977


Lihat Pasal 6 PP Nomor 4 Tahun 1977
139
Lihat Konsideran PP Nomor 4 Tahun 1977
138

menggantungkan hidupnya semata-mata dari pertanian (petani) saja kondisi tanah


pertaniannya sudah sangat sempit.
Jadi sesuai dengan tujuan landreform di Indonesia maka pemusatan
penguasaan tanah oleh sekelompok orang yang dapat merugikan rakyat tidak
dibenarkan, hal ini telah diatur dalam penetapan batas maksimum penguasaan
tanah pertanian dan kepemilikan tanah absentee. Namun, didalam praktek masih
dijumpai berbagai masalah terutama dalam penguasaan tanahnya. Banyak tanahtanah yang masih tidak jelas kepemilikan dan penggunaanya. Ketidakjelasan
tentang penguasaan tanah (present land tenure) dan penggunaan tanah (present
land use) mengakibatkan usaha pemerintah untuk melaksanakan pembagian yang
adil atas tanah dan hasil yang adil pula tidak berhasil dengan baik. 140 Banyak
masyarakat yang mempunyai tanah yang cukup luas dan yang tidak mempunyai
tanah sama sekali, banyak tanah yang statusnya absentee namun pemilik yang
bersangkutan tidak mengetahui bahwa pemilikan tersebut dilarang atau
pemiliknya tidak tahu dengan peraturan yang ada. Hal itu disebabkan karena
tanah-tanah tersebut tidak terdaftar di Kantor Pertanahan sehingga dapat dengan
mudah terjadi peralihan hak secara terus menerus tanpa melalui instansi yang
berwenang. Hal inilah yang dapat menimbulkan kepemilikan tanah yang melebihi
batas maksimum.
Disamping itu, yang menimbulkan kepemilikan tanah secara latifundia
dan absentee adalah kemudahan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Yang banyak terjadi dalam praktek adalah adanya sebidang tanah pertanian yang
dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena
140

Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm.168.

telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar
kecamatan letak tanah tersebut. Tanah-tanah pertanian tersebut letaknya di desa
sedangkan mereka yang memiliki tanah absentee umumnya bertempat tinggal di
kota. Hal ini dapat terjadi dengan memiliki KTP ganda yang memungkinkan
orang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee dan faktor yang lain
melalui upaya pemindahan hak yang terkenal dengan cara pemberian kuasa
mutlak.141
Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa
yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi
kewenangan untuk menguasai, menggunakan dan melakukan perbuatan hukum
pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa sehingga pada
hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas
merupakan penyelundupan hukum melanggar ketentuan peraturan perundangundangan. Memiliki KTP ganda tidak mudah untuk diketahui karena secara
yuridis kalau tanah sudah bersertipikat, maka sertipikat atas nama pemilik semula
dan surat kuasa hanya diketahui oleh kedua belah pihak saja.

BAB III
141

Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi.


(Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 21.

LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH LATIFUNDIA


DAN ABSENTEE (GUNTAI) DI KABUPATEN DELI SERDANG

A. Pelaksanaan Peraturan Kepemilikan Tanah Latifundia Dan Absentee


(Guntai)
Pengaturan landreform yang terdapat dalam UUPA merupakan induk
landreform Indonesia. Ketentuan-ketentuan dalam Konsiderans hingga Pasal 19
UUPA membuktikan hal ini. Beberapa pasal UUPA yang memuat objektif
landreform antara lain: 142
1. Pasal 6 UUPA : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah
dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan/ tidak dipergunakan
sematamata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaannya dan sifat daripada haknya hingga bermanfaat baik bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi
masyarakat dan negara. Berhubung dengan fungsi sosialnya maka adalah
suatu hal yang wajar bahwa tanah itu harus dipelihara dengan baik agar
bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara
tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya
melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan-hukum atau instansi
yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu (Pasal 15). Dalam
142

Hustiati, Op.Cit., hlm. 37.

melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan pihak yang


ekonomis lemah.
2.

Pasal 7 UUPA :
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampau batas tidak diperkenankan. Dalam masalah land
reform dikenal dengan istilah groot grondbezitter atau latifundio.143

3.

Pasal 10 UUPA :
(1)

Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

(2)

Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat (1) ini akan diatur lebih
lanjut dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam
peraturan perundangan.
Dalam landreform dikenal dengan istilah absenteeisme (guntai) atau sering
dikembangkan dengan slogan tanah untuk petani (land to the tiller).144
4. Pasal 11 UUPA :
(1) Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi,
air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada
hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam
pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan
orang lain yang melampaui batas.
143
144

.P. Parlindungan, Aneka Hukum Agraria, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 8.


Ibid.

(2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan


rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan
golongan yang ekonomi lemah.
5. Pasal 13 UUPA :
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria
diatur sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran
rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin
bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan
martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(1)

Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari


organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.

6. Pasal 17 UUPA :
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam
Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(1)

Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini


dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat.

(2) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud


dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian,
untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

(2)

Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang
akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara
berangsurangsur.
Ketentuan-ketentuan dalam UUPA ini hanyalah merupakan ketentuan

pokok yang mengatur secara garis besarnya saja dan untuk melaksanakannya
diperlukan peraturan pelaksanaan baik berupa undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan menteri ataupun peraturan pelaksanaan lainnya dengan
ketentuan bahwa peraturan yang dibentuk ini tidak boleh bertentangan dengan
sistematika yang telah ditetapkan oleh UUPA. Peraturan-peraturan pelaksanaan
landreform ini antara lain:
1. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Adapun yang dimaksud dengan pembaharuan agraria mencakup suatu proses
yang berkesinambungan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam
rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat.
2. UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 7 dan 17
UUPA. Berdasarkan penjelasan umum undang-undang tersebut, dinyatakan
bahwa perlunya penetapan luas tanah pertanian tersebut didasarkan pada
kenyataan: pertama, pada saat ini lebih kurang dari 60 % petani di Indonesia
adalah petani tak bertanah, sebagian dari mereka adalah buruh tani dan

sebagian lagi mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap
dalam hubungan bagi hasil. Sedangkan petani yang mempunyai tanah hanya
menguasai tanah rata-rata 0,6 hektar sawah atau 0,5 hektar tanah kering.
Disamping petani-petani yang tidak mempunyai tanah pada sisi yang
kontradiktif terdapat sebagian kecil petani menguasai tanah yang luasnya
berpuluh-puluh hektar atau sampai ribuan hektar. Perlu diketahui tanah-tanah
itu tidak semuanya dipunyai mereka dengan hak milik, tetapi kebanyakan
dikuasainya dengan hak gadai atau sewa.
Kedua, bahwa ada orang-orang yang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan
sedang yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup
tanahnya adalah terang bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia yang
menghendaki pembagian yang merata atas sumber penghidupan rakyat tani
yang berupa tanah
itu, agar ada pembagian yang adil pula atas hasil tanah-tanah tersebut. Oleh
karena itu perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah pertanian.
Ketiga, banyak gadai yang telah berlangsung bertahun-tahun, berpuluh-puluh
tahun bahkan sampai pada ahli warisnya karena penggadai tidak mampu untuk
menebus tanahnya.
4. PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian.145
Pasal 1 PP Nomor 224 Tahun 1961 antara lain mengatur tentang tanah-tanah

145
Pasal 3 Peraturan ini telah diubah dan ditambah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
41 Tahun 1964, yaitu tentang pengecualian Pasal 3 bagi Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, dan PP
Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Secara Guntai bagi Para Pensiunan Pegawai
Negeri.

yang menjadi objek landreform yang meliputi, tanah-tanah yang melebihi


batas maksimum sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 56 Prp Tahun
1960, tanah-tanah guntai yang diambil oleh pemerintah, tanah-tanah swapraja
dan bekas swapraja yang telah beralih kepada negara, dan tanah-tanah lain
yang dikuasai langsung oleh negara 146 untuk selanjutnya tanah-tanah tersebut
akan dibagikan kepada petani. Selain itu mengatur tentang lembaga-lembaga
pendukung landreform seperti koperasi pertanian. Keberadaan koperasi ini
ditujukan

untuk

mengatur

tentang

penguasaan

tanahnya,

membantu

penggarapannya, mengusahakan kredit, dan memberikan pembinaan dalam


mengelola tanah pertanian. Dari ketentuan tersebut di atas adanya pengaturan
lembaga-lembaga

pendukung

(instituional

supporting)

landreform

membuktikan bahwa program landreform Indonesia bukan hanya redistribusi


tanah semata-mata kepada petani, melainkan juga mengatur tentang tindak
lanjut dari pembagian tanah tersebut, sehingga tujuannya tidak hanya
pemerataan tetapi yang paling penting adalah peningkatan kesejahteraan para
petani.
5.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan


Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961 beserta penjelasannya.

6.

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah


Pertanian secara Guntai (Absentee) bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.
146

Tanah-tanah lain yang dikuasai lagsung oleh negara menurut ketentuan pasal 1 huruf d
tersebut antara lain tanah-tanah bekas partikelir, tanah-tanah dengan hak guna usaha yang telah
berakhir jangka waktunya, dihentikan atau dibatalkan, tanah-tanah kehutanan yang diserahkan
kembali penguasaannya oleh jawatan yang bersangkutan kepada negara dan lain-lain. Dari
penjelasan tersebut terlihat bahwa ketentuan pasal 1 huruf d tersebut bersifat unlimitatif, artinya
terbuka kemungkinan kepada pemerintah untuk menentukan tanah sebagai objek landreform.

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman


Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform.
Dalam ketentuan Pasal 2 peraturan tersebut antara lain disebutkan bahwa
penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum dan belum dikuasai oleh
pemerintah wajib dilaporkan oleh pihak yang menguasainya dalam waktu 6
(enam) bulan terhitung sejak berlakunya peraturan ini kepada Bupati/Walikota
cq Kepala Sub Direktorat Agraria (sekarang pada Kantor Pertanahan
setempat). Selanjutnya kepada pihak yang menguasai tanah yang melebihi
batas maksimum tersebut di atas selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu)
tahun sejak berlakunya peraturan ini diharuskan mengakhiri penguasaan tanah
kelebihan tersebut. Ketentuan ini berlaku juga terhadap tanah-tanah yang
dimiliki secara guntai.
Seiring dengan perkembangan zaman sekarang ini dan kebutuhan atas tanah
yang semakin meningkat perlu di pertimbangkan kembali apakah ketentuan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kepemilikan tanah secara latifundia
dan absentee tersebut masih eksis berlangsung atau perlu dikaji kembali. Banyak
peraturan-peraturan tersebut yang keberadaannya sudah tidak relevan lagi untuk
digunakan. Dengan melihat kondisi tanah yang tersedia dan perkembangan zaman
kiranya sudah saatnya peraturan-peraturan tersebut ditinjau kembali.
Berkaitan dengan peraturan larangan pemilikan tanah absentee, belum
adanya peraturan yang khusus mengatur tentang tanah tanah absentee. Dasar
penetapannya masih berpedoman kepada petunjuk Pasal 1 dan Pasal 3 PP Nomor
224 Tahun 1961. Selanjutnya, pasal yang menetapkan perbedaan kecamatan

antara pemilik dengan letak tanah miliknya menjadikan tanah pertanian tersebut
masuk kategori tanah absentee. Batas daerah kecamatan dijadikan sebagai
patokan karena jarak antara tempat dalam satu kecamatan dipandang masih
memungkinkan pengolahan lahan secara efektif.147 Didalam kenyataannya selalu
ditemukan keadaan jarak antara tempat tinggal pemilik dengan tanah pertaniannya
yang berada di luar kecamatan dan tidak berbatasan dengan kecamatan tempat
tinggalnya, lebih dekat daripada tanah pertaniannya di dalam kecamatan yang
sama atau tanah pertaniannya di kecamatan lain yang berbatasan. Hal ini
diperkirakan akan semakin meluas di masa datang karena pemekaran kecamatan
akan berlangsung terus.
Kepemilikam tanah absentee yang membedakan antara seseorang dengan
Badan Hukum, dimana seseorang dilarang memiliki tanah absentee sementara
banyak Badan Hukum memiliki tanah absentee. Padahal dengan penataan struktur
penguasaan tanah sajapun akan dapat memberikan kesempatan bagi penduduk
yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan pertanian untuk meningkatkan
taraf hidupnya pada kegiataan pertanian untuk meningkatkan taraf hidup sehingga
dapat memperkokoh pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat.148
Pengecualian terhadap pegawai negeri, pensiunan, janda pensiunan dan
yang dipersamakan dengan mereka perlu direvisi ulang, karena fasilitas untuk
dapat memiliki lahan pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya sebesar 2/5
dari batas maksimum di Daerah Tingkat II setempat pada saat sekarang ini sudah

147

Lihat, Penjelasan Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961.


M. Yamin, Revitalisasi Penggunaan Tanah , Makalah, Disampaikan pada Seminar
Masalah Pertanahan di Sumatera Utara yang diadakan oleh DPRD Prop. Sumatera Utara di Garuda
Plaza Hotel Medan, tanggal 17 Oktober 2005)
148

terlampau besar. Penempatan pegawai negeri pada posisi istimewa semacam itu
pada tingkat kesejahteraan pegawai negeri sekarang ini akan menumbuhkan
antipati dan kecemburuan sosial dikalangan masyarakat tani. Berkaitan dengan
larangan kepemilikan tanah secara latifundia, dalam Pasal 2 UU Nomor 56 Prp
Tahun 1960 menentukan luas maksimum tanah pertanian yang dimiliki didasarkan
pada jumlah anggota keluarga sebanyak 7 (tujuh) orang yang disertai dengan
kemungkinan terjadinya kelebihan anggota keluarga serta luas tanah yang dimiliki
kiranya juga perlu diadakan peninjauan kembali. Hendaknya disesuaikan dengan
perhitungan ekonomis agar dapat menunjang kehidupan yang layak bagi petani
beserta keluarganya yang bervariasi sesuai dengan kondisi daerahnya saat ini serta
perkiraan di masa yang akan datang.
Selanjutnya dalam ketentuan tersebut di atas luas penguasaan tanah yang
dijadikan dasar adalah hanya terbatas pada tanah-tanah pertanian yang
mempunyai dasar pemilikan dan atau penguasaan dengan hak milik, baik hak
milik yang dapat dibuktikan dengan sertipikat yang sudah didaftarkan pada
Kantor Pertanahan ataupun belum didaftarkan (tanah adat). Padahal dalam
perkembangan penguasaan tanah saat ini yang menjadi dasar penguasaan tanah
tidak hanya terbatas pada hak milik tetapi juga terjadi dalam hubungan sewa
menyewa ataupun gadai, meskipun hal tersebut sudah dilarang tetapi
kenyataannnya didalam masyarakat hal tersebut masih dilakukan, terutama di
daerah-daerah pedesaaan. Demikian juga subjeknya hanya terbatas pada
perorangan. Padahal yang menguasai tanah yang sangat luas sesungguhnya bukan
terletak pada petani perorangan sebagaimana yang diatur dalam peraturan ini,

melainkan kebanyakan dikuasai oleh badan-badan usaha baik swasta maupun


badan usaha yang dimiliki oleh pemerintah.
Selanjutnya dalam Pasal 3 UU tersebut bagi pemilik yang mempunyai
tanah kelebihan harus melaporkan tanah lebihnya tersebut dalam jangka waktu 3
bulan. Dalam pelaksanaannya peraturan tersebut tidak dijalankan, banyak
masyarakat yang tidak melapor akan kelebihan tanahnya tersebut. Menurut Arie
Sukanti Hutagalung Ketentuan pemberian tenggang waktu 3 bulan untuk melapor
kelebihan tanah dimanfaatkan untuk mengalihkan tanah kepemilikan mereka
kepada anak, menantu atau saudaranya dan tidak menyerahkan kepada
pemerintah. Pelaksanaan reformasi agraria yang dimaksud oleh penetapan luas
tanah maksimum oleh perorangan itu, pada akhirnya tidak dapat terlaksana karena
bergantung pada kepatuhan individu untuk melaporkan kelebihan tanah yang
dimilikinya.149
Selain itu mengenai batas minimum kepemilikan tanah 150 juga dianggap
tidak efektif lagi dalam penegakannya, karena jumlah petani sudah semakin besar
sementara areal tanah pertanian yang tersedia semakin sempit. Dan juga
kenyataan menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi pertanian yang maju,
hasil pertanian pun sudah jauh lebih meningkat dibanding pada saat berlakunya
UU No. 56 Prp Tahun 1960.
Mencermati dengan seksama eksistensi dari peraturan-peraturan tersebut
apabila dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuannya tidak akan
149

Sumber: Http://www.antara.co.id, Penetapan Luas Tanah Pertanian Dianggap Tidak


Efektif, tanggal 30 Juli 2007. Diakses tanggal 04 Mei 2009.
150
Pasal 8 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 menyebutkan Pemerintah mengadakan usahausaha agar setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar.

ditemukan lagi masyarakat yang tidak memiliki tanah, khususnya para petani yang
tidak mempunyai tanah. Hal ini disebabkan karena Pemerintah masih setengah
hati dalam menerapkan peraturan tersebut, hal ini dapat dilihat dari kebanyakan
pemilik tanah yang melampaui batas maksimum dan tanah absentee (guntai)
adalah para pengusaha (birokrasi) itu sendiri sehingga secara psikologis para
aparat Kantor Pertanahan tidak mampu untuk melakukannya, selain itu data
administrasi di Kantor Pertanahan mengenai jumlah masyarakat yang memiliki
tanah yang melampaui batas dan tanah absentee tidak terdaftar.
B. Efektifitas Larangan Kepemilikan Tanah Pertanian Secara Latifundia Dan
Absentee (Guntai) di Kabupaten Deli Serdang
Suatu peraturan dikatakan dapat berlaku efektif dalam masyarakat apabila
peraturan tersebut memenuhi tiga syarat yaitu: peraturan itu dibuat sesuai dengan
filosofi bangsa yang bersangkutan; peraturan itu dibentuk sesuai dengan norma
hukum yang berlaku untuk itu; serta sesuai dengan nilai dan kesadaran hukum
yang hidup dalam masyarakat. Ketiga syarat tersebut tidak bersifat statis tetapi
dinamis, karena dapat saja berubah sewaktu-waktu sesuai dengan perubahan
kehidupan di masyarakat yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan
teknologi.151
Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa landreform dicanangkan
pada tahun 1960 pada saat itu corak ekonomi dari bangsa Indonesia masih agraris
dengan struktur pemilikan tanah yang tidak seimbang dan dilatarbelakangi oleh
dualisme hukum tanah. Sebagai bangsa agraris, maka para petani memandang
151

Ady Kusnadi Cs, Penelitian tentang Efektifitas Peraturan Perundang-undangan


Larangan Tanah Absentee, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia RI, 2001), hlm. 69.

tanah sebagai sumber kehidupan. Memiliki tanah pertanian merupakan lambang


eksistensi kemanusiaan yang utama, maka secara filosofis tanah pertanian
mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan demikian, pembentukan UUPA pada
tahun 1960 sudah memenuhi syarat. Hal ini terlihat jelas dalam program land
reform Indonesia yang berkeinginan untuk merombak struktur pemilikan atas
tanah pertanian yang tidak proporsional dan sekaligus menghilangkan dualisme
hukum, membentuk lembaga hukum pertanahan yang didasarkan pada hukum
adat (hukum yang hidup dalam masyarakat).
Sebagai negara agraris diinginkan agar konsep tanah pertanian untuk
petani dilaksanakan dengan pemikiran bahwa untuk meningkatkan produktivitas
tanah pertanian itu maka yang mengolahnya pun haruslah orang yang memahami
seluk beluk pertanian. Manakala tanah pertanian dikuasai oleh para tuan tanah
(landlord), tanah itu akan dijadikan sebagai sarana eksploitasi terhadap penggarap
tanah. Kalau tidak demikian maka tanah pertanian akan ditelantarkan (hanya
sebagai sarana investasi saja) yang berakibat tidak baik terhadap pertumbuhan
ekonomi bangsa. Hal seperti itu adalah bertentangan dengan filosofi negara
agraris yang memandang tanah sebagai sumber kehidupan. Karena itulah, hal
tersebut akan diakhiri melalui restrukturisasi pemilikan tanah pertanian yang tidak
proporsional dengan menetapkan batas maksimum dan minimum serta melarang
pemilikan tanah secara absente.
Berkenaan dengan larangan pemilikan tanah secara latifundia dan
absentee (guntai) dalam UUPA tidak secara khusus ditemukan istilah absentee.
Akan tetapi dalam Pasal 10 UUPA, dikatakan bahwa setiap orang dan badan

hukum yang memiliki suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah caracara pemerasan. Dalam penjelasan umumnya dikatakan, bahwa asas ini telah
dijadikan dasar perubahan struktur pertanahan hampir diseluruh dunia. Dan untuk
melaksanakan asas ini perlu diwujudkan batas maksimum dan minimum luas
tanah pertanian yang boleh dimiliki oleh seorang petani agar dapat hidup layak.
Kondisi atau struktur masyarakat tahun 1960, sudah tentu mengalami
perubahan dibandingkan dengan struktur masyarakat desa dewasa ini. Namun
demikian perubahan tersebut belum bisa membawa masyarakat Indonesia ke
tingkat yang disebut masyarakat industri. Hilangnya areal pertanian yang subur
telah membawa bangsa Indonesia ke dalam krisis pangan. Bangsa Indonesia harus
kembali mengimpor beras karena areal pertanian sudah berubah menjadi
perumahan mewah dan bangunan pabrik. Artinya masyarakat Indonesia masih
tetap merupakan negara agraris tetapi negara agraris yang tidak mempunyai tanah
pertanian yang cukup untuk para petani. Akibatnya para petani masuk ke kotakota besar untuk mencari sesuap nasi tanpa sebuah harapan di masa depan dan
menjadi beban berat bagi pemerintah kota. Pada dekade tahun 60-an melalui
UUPA dengan program landreform telah diberikan janji kepada para petani yang
mempunyai lahan kecil dan petani penggarap, bahwa mereka akan mempunyai
tanah pertanian sendiri yang diperoleh melalui redistribusi tanah pertanian. Tanahtanah yang akan dibagikan itu berasal dari tuantuan tanah yang melebihi batas
maksimum, tanah absentee yang diambil oleh pemerintah, ditambah lagi dengan
tanah swapraja dan bekas swapraja yang diserahkan kepada pemerintah serta

tanah negara yang dikuasai oleh pemerintah.


Terlepas dari janji pemerintah tersebut khusus mengenai larangan
pemilikan tanah secara latifundia dan absentee, apakah hal ini sudah sesuai
dengan nilai yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Seorang petani yang
memandang tanah pertanian sebagai sumber kehidupan pribadi dan keluarganya
tentunya tidak berpikir untuk meninggalkannya. Kenyataannya di lapangan bahwa
pemilikan tanah tersebut bukan dilakukan oleh para petani yang betul-betul petani,
tetapi yang banyak memiliki tanah sampai ratusan hektar tersebut adalah orangorang kota yang mempunyai uang, untuk dijual kembali dengan harga yang
mahal.152
Tanah itu dibeli bukan untuk diolah sebagaimana peruntukkan tanahnya,
tetapi dibeli sebagai sarana investasi dan dijual kembali setelah harganya tinggi.
Sifat hedonis153 yang kental pada orang kota mengakibatkan tanah digunakan
sebagai sarana spekulasi dan eksploitasi hanya untuk meraih keuntungan semata.
Dengan pandangan yang demikian tentunya orang kota khususnya secara
ekonomis

mampu

dan

mempunyai

kekuasaan

potensial

menghambat

terlaksananya kepemilikan tanah secara absentee.


Dengan demikian dilihat dari nilai yang hidup di dalam masyarakat, para
petani hampir semua mengatakan konsep tanah pertanian untuk petani dan wajib
diolah sendiri harus ditegakkan. Tanah pertanian banyak yang terlantar dan tidak
diolah dengan semestinya karena pemiliknya bukan keluarga petani dan tinggal di
152

Wawancara dengan Bapak Aman Tarigan, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan
Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 11 Juni 2009.
153
Hedonis adalah pengikut aliran hedonisme, yaitu mempunyai suatu pandangan hidup
yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama dalam hidup.
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1999,
hlm. 345)

daerah lain yang umumnya di perkotaan dan telah mempunyai sumber


penghidupan yang lain.
Berdasarkan penelitian di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang,
sewaktu UU Nomor 224 Tahun 1961 dikeluarkan masyarakat petani banyak yang
melaporkan kelebihan batas maksimum atas tanah pertaniannya karena mereka
mengharapkan adanya ganti rugi dari pemerintah. Tetapi sesuai dengan
perkembangan zaman sekarang ini masyarakat tidak mau untuk melaporkan
kelebihan tanahnya karena menganggap bahwa ganti rugi yang di berikan oleh
pemerintah lebih kecil dibandingkan apabila mereka menjualnya sendiri. Hal
inilah yang menyebabkan Kantor Pertanahan sulit untuk mengontrol kepemilikan
hak atas tanah tersebut.154
Operandi pembelian tanah oleh orang kota dilakukan dengan berbagai
cara. Ada yang menggunakan Kartu Tanda Penduduk Asli Tetapi Palsu (KTP
Aspal). Asli, karena KTP itu benar-benar asli dan dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang. Palsu, karena sebenarnya orang tersebut tidak tinggal di kecamatan
letaknya tanah. Berdasarkan KTP Aspal tersebutlah dilakukan jual beli tanah
pertanian. Selain itu ada juga yang menggunakan jasa calo yang mampu mengurus
jual beli tanah itu sampai memperoleh Akta Jual Beli yang dilakukan dihadapan
Notaris atau Camat.
Terdapat berbagai ragam aspek dalam mengimplementasikan ketentuan
larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee (guntai), diantaranya
adalah perubahan kebijakan pertanahan oleh penguasa. Dalam kaitan ini dikutip
154

Wawancara dengan Drs. Aman Tarigan, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan pada
Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 11 Juni 2009

pengakuan Menteri Kehakiman pada era Kabinet Reformasi, yaitu Prof. Muladi,
S.H155 mengatakan semenjak tahun 1970-an dengan jargon pertumbuhan ekonomi
yang diharapkan akan tercapai pemerataan, maka arah kebijakan pertanahan yang
digariskan oleh UUPA itu telah bergeser dari cirinya yang populis ke arah
pemberian konsesi yang berpihak terhadap kepentingan sebagian kecil kelompok
masyarakat yang secara ekonomi dan politik mempunyai kedudukan dan posisi
tawar yang kuat. Pergeseran kebijakan ini juga berdampak pada pemilikan dan
penguasaan tanah secara absentee, dimana secara jelas terlihat sebagian kecil
masyarakat menguasai begitu luas tanah dan sebagian besar (petani) hanya
menguasai sebagian kecil tanah pertanian.
Berkenaan dengan pelaksanaan larangan pemilikan tanah secara latifundia
dan absentee selalu berhubungan dengan redistribusi tanah pertanian yang
dilakukan oleh pemerintah. Sebelum melaksanakan redistribusi tanah, pemerintah
terlebih dahulu harus mengambil tanah-tanah yang kelebihan melebihi batas
maksimum dan tanah yang dimiliki secara absentee dengan memberikan ganti
rugi yang ditetapkan oleh Panitia Landreform Tingkat II (sekarang Pemerintah
Daerah dan Kota).
Sekalipun dengan mewujudkan landreform masih akan menimbulkan
masalah

sebagaimana

kelompok

pemerhati

sering

menyebutkan

bahwa

mewujudkan landreform selama ini hampir sama dengan membangunkan singa


tidur. Bila salah membangunkan akan menambah persoalan baru, namun bila tepat
membangunkannya akan dapat meningkatkan penghasilan dengan baik. Ini terjadi
155

Muladi, Seminar Reformasi Kebijakan di Bidang Pertanahan, Jakarta, 2000 (di akses
melalui internet, pada bulan Maret 2009)

karena pandangan mewujudkan landreform belum komprehensif dan tuntas,


sehingga masih banyak penyelewengan penggunaan program pertanahan tersebut
yang akhirnya memunculkan:
1.

Penguasaan pemilikan tanah yang melampaui batas (ceiling);

2.

Pemberdayaan hak-hak tanah rakyat yang tidak proporsional dan


menyimpangi asas tanah untuk petani (land to the tillers);

3.

Keberpihakkan pemerintah kepada dunia usaha yangmembutuhkan tanah,


tanpa memperhatikan dan menghormati hak-hak rakyat yang telah ada;

4.

Penyerobotan tanah yang melanggar peraturan yang ada;

5. Tidak transparannya pengambil kebijakan serta pelaksana kebijakan


pertanahan, sehigga tanah menjadi menarik digunakan sebagai ajang
spekulasi dan manipulasi, yang berakibat bahwa yang punya uang adalah
pemenang mutlak sekalipun berhadapan dengan hukum.156
Berhubungan dengan hal tersebut, sebagai contoh di daerah Jawa Barat
pemilikan tanah secara absentee semakin menjadi-jadi yang menjadikan semakin
memperburuk ketimpangan penguasaan tanah. Jika pada tahun 1960-an dikenal
tuantuan tanah yang menguasai ribuan hektar tanah dalam wilayah-wilayah
tertentu sekarang akumulasinya semakin bertambah puluhan ribu hektar dan
dikuasai oleh satu kelompok bahkan terkadang oleh satu orang.157
Berdasarkan wawancara pada kantor pertanahan Kabupaten Deli Serdang,
penerapan peraturan mengenai larangan pemilikan tanah secara latifundia dan

156
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum
Agraria,( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm.110
157
Faryadi, Land reform, Jawaban Bagi Ketimpangan Penguasaan Tanah di Jawa Barat,
(Jakarta: 2000), hlm. 507

absentee sudah tidak efektif untuk dilaksanakan. Untuk tanah absentee, batasan
yang dibuat oleh undang-undang itu adalah dengan memakai ruang lingkup
wilayah kecamatan, sementara dengan zaman yang sudah berkembang ini sarana
transportasi dan infra struktur yang tersedia memungkinkan mobilitas penduduk
meningkat, sehingga batasan itu seharusnya antar kabupaten, bukan antar lingkup
kecamatan lagi. Terlebih-lebih lagi dengan adanya pemekaran pada daerah-daerah.
Sehingga dengan adanya pemekaran terhadap daerah-daerah, wilayah yang
sebelumnya sangat luas jadi dipersempit menjadi antar kecamatan sehingga
semakin sempitlah ruang gerak dari wilayah kecamatan tersebut. Tetapi khusus
untuk kriteria luas maksimum bidang tanah pertanian dianggap masih tetap
relevan dan dapat dipertahankan. Karena dengan pembatasan ruang lingkup
tersebut dapat diharapkan tercipta keadilan dan pemerataan dalam pemilikan dan
penguasaan tanah pertanian dan mencegah orangorang yang akan menguasai
tanah melebihi luas maksimum tersebut. 158
Selain itu pelaksanaan pembatasan luas maksimum pemilikan tanah
pertanian tidak berjalan seperti yang diharapkan, masih banyak masyarakat yang
tidak melaporkan kepemilikan tanahnya dikarenakan karena ketidaktauan mereka
tentang masalah tersebut dan adanya ketidakmampuan (masalah dana) mereka
untuk mendaftarkan hak atas tanah yang dikuasainya, terutama terhadap tanahtanah pertanian;

159

selain itu juga kurangnya sosialisasi dari kantor pertanahan

terhadap kepemilikan atas tanah tersebut disebabkan karena tidak adanya program

158
Wawancara dengan Bapak Abdul Rahman Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah
dan Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 05 Juni 2009.
159
Wawancara dengan Bapak Abdul Rahman Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah
dan Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 05 Juni 2009.

dari Pemerintah. Dari pihak Kantor Pertanahan sendiri tidak ada keinginan untuk
menjalankan program itu sendiri dengan alasan untuk menjalankan program
tersebut membutuhkan sebuah kelembagaan, dana dan sarana/prasarana yang
sangat besar, disamping itu peraturannya sudah tidak sesuai lagi dengan kesadaran
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Ketentuan-ketentuan landreform dalam UUPA (Pasal 7,10,17) masih
bersifat lips servive atau dilaksanakan dengan parsial-parsial dan sekedar
formalitas yang belum menyentuh tujuan sebenarnya dalam mensejahterahkan
rakyat tani. Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang pun telah melakukan
program-pogram landreform di masyarakat seperti redistribusi tanah, prona dan
konsolidasi tanah. Namun secara keseluruhan belum merupakan peningkatan
yang berarti atas akses tanah masyarakat. Sebaliknya yang dapat dilihat contoh
objektif landreform yang mendesak segera diatur adalah batas ceiling yang
tentunya dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 sudah tidak sesuai lagi dengan
kondisi ceiling saat ini.

BAB IV
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB KANTOR PERTANAHAN
TERHADAP TANAH LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI)
DI KABUPATEN DELI SERDANG

A. Kebijakan Pertanahan Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun


2006 tentang Badan Pertanahan Nasional
Eksistensi Badan Pertanahan Nasional yang memiliki tugas dan kewajiban
dibidang pertanahan dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam salah satu pertimbangan terbitnya
Peraturan Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan
Republik Indonesia sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk
menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.160
Berdasarkan pertimbangan itu, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006
menempatkan BPN sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sebelumnya lembaga ini berada
di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya Badan Pertanahan
Nasional melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional,
regional dan sektoral.161 Sedangkan fungsinya mencakup 21 fungsi, beberapa di
antaranya adalah: perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; koordinasi
kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; pengaturan dan
160

Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang


Pertanahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 88.
161
Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional,
Pasal 2.

penetapan hak-hak atas tanah; reformasi agraria; pengawasan dan pengendalian


penguasaan pemilikan tanah; pemberdayaan masyarakat dibidang pertanahan; dan
pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik dibidang
pertanahan.
Dengan penetapan tugas pokok dan fungsi BPN sebagaimana tersebut di
atas, maka Perpres Nomor 10 Tahun 2006 ini memiliki beberapa signifikasi yang
mendasar dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia. Pertama,
Perpres No. 10 ini mengangkat dan menekankan kembali acuan nilai yang telah
ditegaskan dalam UUPA No. 5/1960 mengenai kesatuan hubungan abadi antara
bangsa dan tanah air Indonesia. Kedua, Perpres ini juga menegaskan lagi
kedudukan tanah sebagai perekat kesatuan bangsa dan fungsi sosialnya sebagai
landasan untuk memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, dalam Perpres ini juga
dinyatakan bahwa kebijakan pertanahan harus bersifat nasional dan tidak boleh
terkotak-kotak oleh sekat-sekat sektoral dan regional. Keempat, Perpres ini
merevitalisasi kelembagaan BPN untuk menjalankan fungsi-fungsi yang telah
diperluas di antaranya adalah untuk melaksanakan reforma agraria dan menangani
sengketa, konflik dan perkara agraria. Kelima, dalam fungsi dan struktur BPN RI
yang baru juga ada penekanan mengenai fungsi pemberdayaan masyarakat di
bidang pertanahan yang membuka ruang bagi dilaksanakannya program dukungan
pasca redistribusi tanah sebagai kesatuan paket reforma agraria.162
Selanjutnya dalam hal kebijakan pertanahan nasional, perlu juga ditambah
sepanjang itu menyangkut hukum, pedoman dan kebijakan nasional yang secara
162

Yusup Napiri , Moh. Sohibuddin, Iwan Nurdin, Syahyuti, Reforma Agraria,


Kepastian Yang Harus Dijaga , (Bogor: Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan/KRKP, 2006),
hlm. 33-34.

rinci dapat diusulkan sebagai berikut:163


1.

Pengaturan penyelenggaraan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan tanah:

1. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang


dengan tanah diantaranya tentang pengaturan penguasaan, pengawasan,
pengendalian, penetapan pedoman untuk melaksanakan objek landreform
dalam pemilikan tanah; Perumusan kebijakan teknis serta pelaksanaan
penataan penguasaan tanah partikelir, tanah kelebihan maksimum, tanah
absentee, tanah-tanah bekas swapraja, tanah-tanah bekas swapraja serta tanahtanah negara lainnya; Perumusan kebijaksanaan teknis dan penetapan ganti
rugi tanah partikelir, tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee serta
penyelesaian

masalah

tanah

objek

pengaturan

penguasaan

tanah;

Penghimpunan, pengolahan, dan penyajian data serta melakukan dokumentasi


dan pelaporan data penguasaan tanah; penegasan tanah objek landreform;
Ganti rugi tanah kelebihan maksimum/absentee dan tanah partikelir serta
penetapan kebijakan konsolidasi;
2.

Pengurusan hak atas tanah;

3.

Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang


dan perbuatan hukum dengan tanah.
Hal-hal di atas harus menjadi acuan atau mekanisme kontrol atas pengelolaan
pertanahan di tanah air.
Peppres Nomor 10 juga menyebutkan salah satu tugas dari pada BPN yaitu
163

Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah,


(Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hlm. 74-76

pengelolaan data dan informasi dibidang pertanahan yaitu membangun sistem


informasi dan manajemen pertanahan yang mencakup berbagai kegiatan yang
salah satunya adalah penyusunan basis data. Penyusunan basis data ini sebagai
bahan perencanaan untuk meningkatkan pola penyusunan dan pemilikan yang
lebih adil serta penggunaan dan pemanfaatan tanah yang optimal dan serasi.
Pelayanan pertanahan pada Kantor Pertanahan pada prinsipnya adalah
pelayanan data dan informasi pertanahan. Data yang tersimpan di Kantor
Pertanahan merupakan data yang diperoleh dan diolah melalui proses yang rumit
dan panjang mengikuti aturan yang tertuang pada Peraturan Kepala BPN nomor 1
tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasional Pelayanan Pertanahan (SPOPP).
Pembaruan data selalu dilakukan apabila terjadi perubahan pada subyek atau
obyek hak atas tanah. Karena yang sifatnya yang sangat dinamis, maka data
pertanahan mempunyai tingkat pengambilan (retrievel) dan pembaruan (up dated)
yang cukup tinggi. Di satu sisi membutuhkan kecepatan dengan standar yang
sudah ditetapkan dalam menarik/mengambil data dan di sisi lain membutuhkan
persyaratan dalam penyimpanan data (storage) yang dapat mendukung proses
pengambilan data tersebut. Proses pengambilan, penyimpanan, pengolahan dan
penyajian data merupakan proses yang dengan sangat mudah dilakukan teknologi
informasi dengan mudah dan cepat.
Dengan demikian dapat dibayangkan apabila data pertanahan disimpan
dalam suatu database sedangkan pengolahan dilakukan dengan kecanggihan
komputerisasi maka semua proses pelayanan data pertanahan disetiap kantor
pertanahan dapat dilakukan secara cepat dan tepat.

Pengelolaan data dan informasi dibidang pertanahan ditindaklanjuti dengan


dibentuknya Pusat Data dan Informasi Pertanahan (Pusdatin) yang tugasnya
melaksanakan

pengumpulan,

pengolahan,

penyajian

data

dan

informasi

pertanahan serta membangun dan mengembangkan sistem informasi pertanahan


nasional (Simtanas).
B. Peran dan Tanggung Jawab Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang
Terhadap Kepemilikan Tanah Secara Latifundia dan Absentee (Guntai).
Secara geografis Kabupaten Deli Serdang (setelah dimekarkan, pada tahun
2003) terletak pada posisi 020 57 sampai dengan 30 16 Lintang Utara dan 980 33
s/d 990 27 Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Deli Serdang terletak di wilayah
pantai timur Propinsi Sumatera Utara dan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Luas wilayah Kabupaten Deli Serdang pada saat awal terbentuknya yakni
pada awal kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 adalah sekitar 6.589,65
km2. Selanjutnya, pada tahun 2003 Kabupaten Deli Serdang mengalami
pemekaran menjadi 2 (dua) wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Deli Serdang dan
Kabupaten Serdang Bedagai, sehingga luas Kabupaten Deli Serdang saat ini
tinggal 2.497,72 km2 atau 249.772 hektar.
Kondisi geomorfologi (evolusi tanah) pada wilayah kabupaten Deli
Serdang, yakni meliputi perubahan penggunaan lahan (land use), kondisi
topografi wilayah, distribusi struktur dan jenis tanah. Komposisi penggunaan
lahan di wilayah Kabupaten Deli Serdang memperlihatkan bahwa luas perkebunan
(perkebunan besar dan perkebunan rakyat) dan luas permukiman terus
berkembang dari waktu-kewaktu sedangkan luas sawah (tadah hujan dan irigasi)
dan

tegalan/kebun

indikasi/kecenderungan

campuran
menurun.

hampir

tidak

Sementara

bertambah

penggunaan

dan
lahan

ada
untuk

permukiman meningkat dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1995 tercatat
seluas 12.135 ha dan pada tahun 2005 menjadi 26.252 ha atau meningkat sebesar
4.186 ha dalam 9 tahun atau bertambah rata-rata 465 ha per tahun.
Kabupaten Deli Serdang termasuk dalam golongan daerah yang padat
sehingga luas tanah pertanian yang dapat diberikan pada seseorang seluas 6 hektar
untuk tanah kering dan 5 hektar untuk tanah sawah dengan jumlah kepadatan
penduduknya rata-rata 652 tiap kilometer persegi. Dan pemberian batas luas
maksimum tanah pertanian untuk setiap daerah adalah disesuaikan dengan

perkembangan zaman sekarang dan memperhatikan jumlah penduduk yang kian


bertambah.
Pelaksanaan pemilikan tanah secara latifundia dan absentee telah
dilaksanakan oleh Kantor pertanahan Deli Serdang sejak tahun 1960-an, sejak
peraturan UU Nomor 56 Tahun 1960 dan PP Nomor 224 Tahun 1961 diberlakukan
dibuktikan dengan adanya pemberian hak atas tanah negara maupun yang berasal
dari tanah objek landreform dan diberikan sesuai dengan luas yang telah
ditetapkan berdasarkan pada peraturan yang berlaku dan subjek penerimanya tetap
disyaratkan harus bertempat tinggal di kecamatan letak tanah yang dimohonkan.
Apabila ada persyaratan yang tidak memenuhi pemberian hak tersebut maka akan
ditolak atau tidak akan diproses dan berkasnya akan dikembalikan kepada
pemohon.164
Dari data sekunder yang didapat pada kantor pertanahan Deli Serdang
dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan larangan pemilikan tanah secara
latifundia dan absentee (guntai) tersebut di atas tidak berlaku efektif. Hal ini
dapat dilihat dari data laporan pelaksanaan landreform yang masuk pada kantor
pertanahan dalam setiap tahun maupun dari hasil berbagai penelitian bahwa
tanah kelebihan maksimum (latifundia) tidak terdata dan untuk tanah absentee
tidak efektif lagi pelaksanaannya. Alasannya adalah dalam praktek di lapangan
banyak terlihat tanah-tanah baik secara langsung maupun tidak langsung
dinyatakan sebagai tanah yang dimiliki oleh penduduk yang berasal dari luar
kecamatan letak tanah tersebut. Akibatnya pendataan di kantor Pertanahan
164

Wawancara dengan Bapak Abdul Rahim Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertahanan Kabupaten Deli Serdang.

Kabupaten Deli Serdang terhadap kepemilikan tanah absentee dan latifundia


yang dimiliki oleh masyarakat setempat tidak ada. Banyak masyarakat yang tidak
melaporkan atas kepemilikan tanahnya dengan alasan bahwa kewajiban untuk
mendaftarkan tanah tersebut sesuai dengan Pasal 19 UUPA adalah kewajiban
pemerintah tetapi karena ketidakmampuan atau keterbatasan pemerintah untuk
saat ini belum bisa melakukan pendaftaran terhadap sebidang tanah di seluruh
Indonesia. Otomatis dengan kondisi masyarakat baik karena ketidakmampuan
atau ketidaktauannya banyak masyarakat yang belum mendaftarkan hak atas
tanah yang dikuasainya terutama terhadap tanah-tanah pertanian. Secara hukum
sulit dinyatakan bahwa suatu bidang tanah dikategorikan tanah latifundia dan
tanah absentee.. Hal ini pula yang menyebabkan hasil sensus pertanian tidak
dapat mengungkapkan bahwa secara faktual tanah itu absentee akan tetapi
secara yuridis tidak.165
Hal ini disebabkan juga karena sangat mudah untuk mendapatkan KTP di
Indonesia. Seseorang yang tinggal di Jakarta mudah sekali untuk mendapat
identitas KTP di Lubuk Pakam. Kantor Pertanahan tidak mempunyai hak uji
material. Sehingga dalam memproses sertipikat tanah itu kalau sudah sesuai
dengan prosedur maka sertipikatnya dikeluarkan. KTP tidak bisa diuji benar atau
palsu oleh BPN. Sehingga banyak masyarakat kota yang memiliki tanah di
daerah. Maka terjadilah ketimpangan dalam pemilikan tanah.166
Selanjutnya Berdasarkan data yang di dapat dari kantor wilayah
pertanahan Kota Medan dalam pelaksanaan kegiatan inventarisasi Data
165

Ibid
Wawancara dengan Drs. Aman Tarigan, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan
Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 11 Juni 2009.
166

Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan tanah (P4T) yang


dilakukan pada wilayah desa Sukamandi Hulu, Kecamatan Pagar Merbau,
Kabupaten Deli Serdang terdapat beberapa pemilikan tanah secara absentee.
Kepemilikan tanah absentee tersebut didata berdasarkan alamat atau tempat
tinggal pemilik tanah di desa Sukamandi Hulu, yaitu pemilik tanah yang
bertempat tinggal di luar kecamatan Pagar Merbau (kecamatan tempat letak
tanah). Tempat tinggal para pemilik tanah tersebut tersebar dibeberapa kecamatan
seperti Lubuk Pakam, kecamatan Perbaungan, Kecamatan Galang, serta kota
Medan.. Luas pemilikan tanah absentee ini tercatat seluas 169.132,80 M2 dengan
jenis penggunaan tanah sawah sebanyak 47 bidang, rumah dan pekarangan 1
bidang, serta rumah dan sawah 1 bidang.
Administrasi pertanahan di desa Sukamandi Hulu belum menggambarkan
adanya tertib administrasi pertanahan yang baik sesuai ketentuan yang berlaku.
Hal ini dapat dilihat dari data pertanahan yang ada, dimana bukti kepemilikan atas
tanah masih berupa surat jual beli dibawah tangan dan peralihan-peralihannya
juga hanya dibuat berdasarkan rasa saling percaya antara pemilik tanah dengan
pembeli (tanpa dibuat dalam akta). Disamping itu masih terdapat tanah-tanah yang
tidak mempunyai bukti hak sama sekali yang sebagian besar berasal dari tanah
garapan. Penguasaan tanah dengan cara sewa dan bagi hasil juga belum
dilaksanakan sesuai dengan administrasi pertanahan dan ketentuan sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (tanah
pertanian).
Dengan adanya pelaksanaan kegiatan P4T tersebut dapat terlihat pemilikan

tanah pertanian yang diperoleh secara absentee di kecamatan tersebut berasal dari
jual beli yang pemiliknya rata-rata tidak tinggal di daerah letak tanah tersebut.
Jelas dalam hal ini, sistem administrasi pertanahan di Kantor Pertanahan
Kabupaten Deli Serdang belum menggambarkan adanya tertib administrasi
pertanahan yang baik sesuai dengan ketentuan yang berlaku karena untuk
mengetahui kepemilikan atas tanah latifundia dan absentee pun tidak ada datanya.
Belum adanya sistem pelayanan pertanahan tentang informasi atau database di
kantor tersebut untuk disampaikan, dilegitimasi oleh pejabat yang berwenang
sehingga masyarakat mempunyai kepastian terhadap suatu aset yang dimilikinya.
Tidak seluruh masyarakat Deli Serdang mengetahui tentang kepemilikan
kelebihan tanah maksimum (latifundia) dan absentee tersebut dikarenakan
kurangnya sosialisasi dari Aparat Pemerintah. Padahal fenomena tanah absentee
dan kelebihan tanah maksimum (latifundia) yang dipergunakan untuk tanah
pertanian merupakan fenomena yang biasa terlihat atau terdengar dan secara
terbatas diketahui oleh penduduk atau warga setempat. Jadi pada umumnya
masyarakat yang melakukan jual beli tanah sebatas hanya kepada pihak penjual
dan disaksikan oleh Camat dan tidak dilanjuti dengan proses pendaftarannya di
Kantor Pertanahan, akibatnya tanah tersebut tidak tercatat pada kantor Pertanahan.
Selain itu tidak dilakukan atau tidak ada sanksinya kepada pihak penerima tanah
yang tidak mendaftarkan tanahnya ke BPN sehingga pola jual beli sebagaimana
yang dilakukan di atas mengakibatkan administrasi pertanahan menjadi tidak
tertib dan untuk mencari data-data yang diperlukan di kantor pertanahan sangatlah
sulit. Selanjutnya untuk melaksanakan salah satu tugas dan tanggung jawabnya

Kantor Pertanahan memberikan penyuluhanpenyuluhan pada masyarakat di desadesa tentang pentingnya bagi pemilik tanah untuk mendaftarkan tanahnya agar
Kantor Pertanahan dapat melakukan penertiban administrasi pertanahan karena
belum seluruhnya Daftar Nama orang yang memiliki tanah di Kabupaten Deli
Serdang terdaftar. Daftar nama diperlukan sebagai instrumen untuk melakukan
kontrol dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Yang telah ada saat ini adalah
daftar buku tanah dan surat ukur. Jadi kalau data-data yang diperlukan oleh BPN
telah lengkap seperti buku tanah, daftar nama, surat ukur maka sangat mudah
untuk melihat siapa-siapa saja yang menguasai tanah lebih dan mempunyai tanah
yang berada di luar kecamatan tempat tinggalnya.167
Selain itu kejelasan, kelengkapan dan transparansi data pertanahan
merupakan salah satu kunci utama dalam pencapaian bentuk pelayanan yanag
menjadi harapan masyarakat. Karena dalam praktek di lapangan sering terjadi
bahwa ada sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam
kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam
ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Hal
ini biasa karena adanya pemilikan KTP ganda yang memungkinkan seseorang
menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee dan melalui upaya pemindahan
hak terselubung yang dikenal dengan pemberian kuasa mutlak. Melalui kuasa
mutlak, maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik
kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi kewenangan untuk
menguasai, menggunakan dan melakukan segala perbuatan hukum pemindahan
167

Wawancara dengan Bapak Abdul Rahim Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah
dan Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertahanan Kabupaten Deli Serdang.

hak atas tanah. Hal ini jelas merupakan penyelundupan hukum.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat


ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Latar belakang timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee
yaitu mudahnya untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan adanya
penggunaan kuasa mutlak. Yang banyak terjadi dalam praktek adalah adanya
sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya
sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan
orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Tanahtanah pertanian tersebut letaknya di desa sedangkan mereka yang memiliki
tanah absentee umumnya bertempat tinggal di kota. Kemudahan dalam
pembuatan KTP menyebabkan banyak orang kota atau orang yang mempunyai
uang banyak membeli tanah pertanian untuk usaha atau hanya untuk investasi
masa depan. Hal ini disebabkan karena sistem administrasi kependudukan
secara online melalui komputerisasi belum terlaksana dengan baik. Jadi siapa
saja bisa dengan mudah untuk mempunyai lebih dari satu KTP. Memiliki KTP
ganda tidak mudah untuk diketahui karena secara yuridis kalau tanah sudah
bersertipikat maka sertipikat atas nama pemilik semula dan surat kuasa hanya
diketahui oleh kedua belah pihak saja.

Selain itu melalui kuasa mutlak maka pemberi kuasa (penjual) memberikan
kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang
diberi kewenangan untuk menguasai, menggunakan dan melakukan perbuatan
hukum pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa,
sehingga pada hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas
tanah. Hal ini jelas merupakan penyelundupan hukum, melanggar ketentuan
peraturan perundangundangan. Selain itu timbulnya kepemilikan tanah secara
latifundia dan absentee karena tanahnya masih belum terdaftar pada Kantor
Pertanahan. Meskipun sudah ada ketentuan bahwa setiap tanah harus
dilaporkan atau didaftarkan namun masih banyak pemilik tanah yang belum
melaksanakan hal tersebut. Hal ini dapat disebabkan karena ketidaktauan
masyarakat atas kepemilikan tanah tersebut dan atau adanya ketidakpatuhan
tiap-tiap individu untuk melaporkan kelebihan tanah yang dimilikinya.
2. Pelaksanaan peraturan tentang kepemilikan tanah latifundia dan absentee sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sekarang ini sehingga banyak
peraturan-peraturan yang perlu direvisi atau diganti. Berkaitan dengan
peraturan larangan kepemilikan tanah absentee belum ada peraturan yang
khusus mengatur tentang tanah absentee. Selain itu ukuran batas kecamatan
sebagai dasar penetapan tanah absentee perlu dikaji ulang. Hal ini berkaitan
dengan semakin majunya sarana transportasi serta adanya pemekaran
kecamatan yang satu dengan yang lainnya semakin pendek dan mudah
dijangkau. Pengecualian terhadap pegawai negeri, pensiunan, janda pensiunan
dan yang dipersamakan dengan

mereka perlu direvisi ulang karena fasilitas untuk dapat memiliki lahan
pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya sebesar 2/5 dari batas
maksimum di Daerah Tingkat II setempat pada saat sekarang ini sudah
terlampau besar. Berkaitan dengan larangan kepemilikan tanah secara
latifundia, luas maksimum tanah pertanian yang dimiliki berdasarkan pada
jumlah anggota keluarga sebanyak 7 (tujuh) orang yang disertai dengan
kemungkinan terjadinya kelebihan anggota keluarga serta luas tanah yang
dimiliki kiranya perlu juga diadakan peninjauan kembali. Selanjutnya jangka
waktu melapor dalam waktu 3 bulan atas kelebihan tanahnya perlu dikaji
ulang, dan juga mengenai batas minimum kepemilikan tanah juga dianggap
tidak efektif lagi dalam penegakkannya karena jumlah petani sudah semakin
banyak sementara areal tanah pertanian yang tersedia semakin sempit.
3. Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang hanya sekedar dalam memberikan
kontribusi terhadap larangan pemilikan tanah secara latifundia dan absentee
(guntai) dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya
pendaftaran tanah yang efektif dan efisien sebagai upaya dalam memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas
tanah. Dengan didaftarkannya hak atas tanah tersebut nantinya dapat diketahui
siapa-siapa saja yang menguasai tanah lebih dan yang mempunyai tanah yang
berada di luar kecamatan dan terhadap tanah kelebihan (latifundia) dan tanah
absentee tersebut akan diberikan ganti rugi oleh Kantor Pertanahan kepada

pemilik awal dan selanjutnya diberikan kepada petani yang tidak mempunyai
tanah.
B. Saran
1. Perlu adanya sistem komputerisasi online administrasi kependudukan. Jadi
untuk mendapatkan KTP ganda sudah tidak bisa lagi. Dan penggunaan Surat
Kuasa Mutlak dibidang pertanahan perlu pula segera diatur bagi Para Pejabat
di bidang pertanahan, Camat, Kepala Desa yang melayani penyelesaian status
hak atas tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak sebagai bahan
pembuktian pemindahan hak atas tanah hendaknya diberi sanksi yang seberatberatnya.
2. Pelaksanaan peraturan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee agar
direvisi ulang atau diganti karena sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan kebutuhan penduduk saat ini, misalnya penetapan tentang
luas batas maksimum dan minimum pemilikan tanah (ceiling) sudah tidak
relevan lagi karena jumlah petani sudah semakin besar sementara areal tanah
pertanian yang tersedia semakin sempit, dan juga kenyataan menunjukkan
bahwa dengan penerapan teknologi pertanian yang maju hasil pertanianpun
jauh lebih meningkat. Kerjasama yang baik antara Kantor Pertanahan dan
Aparat

di

pedesaan

harus

ditingkatkan

agar

tidak

menimbulkan

kesimpangsiuran dan dapat memberi dampak positif terhadap para petani dan
pembangunan pertanian dan dapat terlaksana dengan baik selain itu partisipasi
aktif dari para petani dan rakyat juga harus ditingkatkan.

3. Perlu pengawasan yang ketat dari aparat kantor pertanahan terhadap tanahtanah yang sudah diredistribusikan ataupun belum dalam penguasaan dan
pemilikan terhadap tanah-tanah pertanian agar lebih ditingkatkan lagi dan
sistem informasi pertanahan melalui komputerisasi kantor pertanahan segera
dilakukan agar untuk mereka yang akan mendaftarkan tanahnya dapat diproses
dengan cepat dan mudah.

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1985.
, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di
Indonesia, Bandung: Alumni, 1983.
Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum. Jakarta: Granit, 2004.
Dalimunthe, Chadidjah, Pelaksaaan Landreform di Indonesia dan
Permasalahannya. Medan: USU, 2005.
, Politik Hukum Agraria Terhadap Hak-hak Atas Tanah.
Yayasan Pencerahan Mandailing, 2008.
Ediwarman., Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan,
Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003.
Faryadi, Landreform, Jawaban Bagi Ketimpangan Penguasaan tanah Di Jawa
Barat, Jakarta: 2000.
Gautama, Sudargo, Tafsiran Undang Undang Pokok Agraria, Bandung: Alumni,
1981.
Harsono, Boedi., Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undangundang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I. Jakarta:
Djambatan, 1999.
Hermit, Herman., Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara
dan Tanah Pemda, Bandung: Mandar Maju, 2004.
, Program Landreform dan Relevansinya Dalam Pembangunan di

Indonesia, Jati Nangor: Fakultas Teknik UNWIM, 2001.


Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform
di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1990.

Hutagalung, Arie Sukanti, Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu


Sarana Ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah dan Pemilikan
Tanah, Jakarta: Rajawali, 1985.
, Tebaran Pemikiran Seputar masalah Hukum Tanah,
(Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005).
Jaya, I Nyoman Budi., Tinjauan Yuridis Tentang Redistribusi Tanah Pertanian
Dalam Rangka Pelaksanaan landreform, Yogyakarta: Liberty, 1989.
Kartasapoetra G, R.G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, A.Setiady, Hukum
Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta:
Bina Aksara, 1985.
Kusnadi, AdyCs, Penelitian Tentang Efektifitas Peraturan Perundang-undangan
Larangan Tanah Absentee. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, 2001.
Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu Dan Penelitian. Bandung: Mandar Maju, 1994.
Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria. Jogjakarta: Liberty, 1997.
Mukti, Affan., Pokok -pokok Bahasan Hukum Agraria. Medan: USU Press, 2006.
Napiri, Yusup, Moh. Sohibuddin, Iwan Nurdin, Syahyuti, Reforma Agraria,
Kepastian Yang Harus Dijaga , Bogor: Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan
Pangan/KRKP, 2006.
Parlindungan, A.P, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria. Bandung:
Mandar Maju, 1998.
, Landreform di Indonesia, Suatu Studi Perbandingan. Bandung,
Alumni, 1991.

________________, Aneka Hukum Agraria, Bandung: Alumni, 1986.


, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Bandung:
Mandar maju, 1989.
Perangin-angin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1986.
Rajagukguk, Erman, Hukum Agraria Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan
Hidup, Jakarta: Chandra Pratama, 1995.
Salindeho, John, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta : Sinar Grafika,
1988. Siong, Gouw Giok, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, Jakarta: 1960
Siregar, Tampil Anshari., Pendalaman Lanjutan UUPA. Medan : Pustaka Bangsa
Press, 2005.
, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Medan: Multi Grafik,
2005.
, Undang-undang Pokok Agraria Dalam Bagan, Medan: FH
USU, 2006.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Soekanto, Soerjono, Faktor -faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Suardi, Hukum Agraria, Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005.
Sumardjono, Maria S.W, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan
Implementasi, Jakarta: Kompas, 2001.

Sunindia, Y.W dan Ninik Widiyanti., Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa


Pemikiran), Jakarta: Bina Aksara, 1988.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
Tarigan, Pendastaren, Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi
Pemerintah Dengan Delegasi Legislasi Namun Terkendali, Dengan
Delegasi Pengaturan dan Pengawasan Tindakan Pemerintah Dalam
Bidang Pertanahan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.

Tjondronegoro, Soediono MP dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan


Tanah di Jawa dan Madura dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1984.
Wahid, Muchtar, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik atas Tanah, Jakarta:
Republika, 2008.
Yamin, Muhammad dan Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum
Agraria. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.
Yamin, Muhammad, Beberapa Dimensi Filosophis Hukum Agraria, Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2004.
, Jawaban Singkat Pertanyaan -pertanyaan Dalam Komentar
UUPA A.P Parlindungan. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.
B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Maksimum
Tanah Pertanian.
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian

Secara Guntai (Absentee) Bagi Pensiunan Pegawai Negeri.


Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006, tentang Badan Pertanahan Nasional.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak
Lanjut Pelaksanaan Land Reform.
Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar
Mekanisme

Ketatalaksanaan

Kewenangan

Pemerintah

Dibidang

Pertanahan yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kabupaten/Kota


C. Makalah, Artikel, Majalah, Internet
Dokumen Kelompok Studi Pembaruan Agraria, Ketetapan MPR RI Tentang
Pembaruan

Agraria

Sebagai

Komitmen

Negara

Menggerakkan

Perubahan Menuju Indonesia Yang Lebih Baik disampaikan kepada


Badan Pekerja MPR RI pada tanggal 21 Mei 2001.
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Dalam Perspektif Transisi Agraria ,
Bandung, 1998.
Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs USU,
Medan, 2002.
Muladi, Seminar Reformasi Kebijakan Di Bidang Pertanahan, Jakarta, 2000, di
akses pada bulan Maret 2009.
M. Yamin, Revitalisasi Penggunaan Tanah , tanggal 17 Oktober 2005.
Makalah Landreform Di Indonesia, oleh ALSA KLI UGM.
Media Komunikasi Pertanahan, Bumi Bhakti Adiguna III, Edisi xii, Nomor 12.
Sayuti, Permasalahan Konseptual dan Implementasi Dalam Pembaruan Agraria

di Indonesia, Peneliti pada Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. Akses


Internet tanggal 13 April 2009.
Http://www.antara.co.id, Penetapan Luas Tanah Pertanian Dianggap Tidak
Efektif Lagi, diakses terakhir tanggal 4 Mei 2009.

ABSTRAK
Indonesia merupakan sebuah negara agraris, dimana penduduknya
sebagian besar bermatapencaharian dengan pertanian. Oleh karena itu tanah
merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. UU
Nomor 5 Tahun 1960 yang dikenal dengan UUPA menyatakan bahwa tanah
diperuntukkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat/Bangsa Indonesia,
oleh karena itu penguasaan tanah yang melampaui batas oleh segelintir orang
tidak diperkenankan. Larangan kepemilikan tanah secara latifundia adalah
larangan penguasaan tanah pertanian luas yang melampaui batas maksimum,
sedangkan larangan tanah absentee (guntai) adalah larangan kepemilikan tanah
pertanian yang letaknya di luar wilayah kecamatan tempat tinggal pemilik tanah.
Larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee (guntai) merupakan
program dari landreform yang bertujuan untuk memperbaharui struktur
keagrariaan terutama terhadap tanah pertanian yang dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur dan memperkuat
serta memperluas pemilikan tanah, terutama kaum petani. Peraturan
pelaksanaannya adalah pasal 7, 10, 17 UUPA dan selain itu Pemerintah
menerbitkan UU No. 56 Prp Tahun 1960, PP No. 224 Tahun 1961, PP No. 41
Tahun 1964 dan PP No. 4 Tahun 1977. Seiring dengan berjalannya waktu
program landreform sejak diterbitkannya UU No 56 Tahun 1960 dan berbagai
peraturan pelaksanaannya hingga saat ini tidak berjalan lancar, hal tersebut
dikarenakan adanya indikasi ketimpangan penguasaan tanah akibatnya banyak
petani miskin yang tidak memiliki tanah pertanian ditambah lagi dengan
pertambahan penduduk berakibat menurunnya kesejahteraan petani dan
bertambahnya tuna kisma. Ketentuan peraturan perundangundangan tentang
landreform yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang.
Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana latar belakang timbulnya
kepemilikan tanah tersebut dan apakah peraturan-peraturan tersebut masih
efektif dioperasionalkan serta bagaimana peran dari Kantor Pertanahan
Kabupaten Deli Serdang terhadap pelaksanaan larangan kepemilikan tanah
tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu bertujuan untuk
mengumpulkan serta menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual
dan akurat sehingga ditemukan gambaran yang jelas mengenai eksistensi
larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee di Kantor Pertanahan
Kabupaten Deli Serdang. Metode pendekatannya yaitu yuridis normatif dan
empiris. Sumber data berasal dari data primer, yaitu data yang diperoleh
langsung dari narasumber yaitu Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Deli
Serdang serta data sekunder yaitu dengan mempelajari bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara studi kepustakaan yaitu menghimpun data dengan melakukan
penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder dan dengan studi lapangan
yang dilakukan untuk menghimpun data primer dengan cara wawancara.
Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa yang menjadi latar belakang
timbulnya pemilikan tanah secara latifundia dan absentee yaitu adanya
kemudahan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), adanya penggunaan
kuasa mutlak sehingga terjadi penyelundupan hukum, serta banyaknya tanahtanah yang tidak terdaftar membuat jangkauan pelaksanaan landreform tidak
sampai kepada sasaran. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi dari peraturan
tersebut sudah tidak efektif lagi. Sehingga perlu pengawasan yang ketat dari
aparat Kantor Pertanahan terhadap tanahtanah yang sudah diredistribusikan
ataupun belum dan juga sistem informasi pertanahan melalui komputerisasi kantor
pertanahan segera di lakukan agar untuk pemilik tanah yang ingin mendaftarkan
tanahnya dapat diproses dengan cepat dan mudah.
Kata Kunci : Eksistensi, Latifundia, Absentee (Guntai)

ABSTRACT
Indonesia is an agrarian country, in which majority of the population live
in an earning in agriculture. There fore, land is a significantly important factor for
the life of Indonesian nation. The Agrarian law No. 5/1960 which is also well
known as UUPA that land is used as great as possible for welfare of the people/
nation of Indonesia, therefore over possession of land by some persons is not
allowed.
The prohibition to own land by latifundia is the prohibition to own an agricultural
land with exceeding maximun size, while the prohibition to own absentee (guntai)
land is the prohibition to own an agricultural land located outside of the subdistrict where the land owners domicile. The prohibition to own latifundia and
absentee (guntai) land is the program of the landreform intended to renew the
structure of agrarian matters especially for the agriculture land to improve the
welfare of the just and prosperous society and to strengthen and to expand the
ownership of land especially for the farmers community. The regulation of
implementation of this program is found in Article 7,10, 17 of Agrarian Law and
Law No. 56 Prp/1960, Government Regulation No. 224/1961, Government
Regulation No. 41/1964, Government Regulation No. 4/1977. From the issuance
of law No. 56/1960 and its various regulations of implementation to present, the
landreform program has not yet gone smoothly because of the indication of the
imbalance of land ownership resulted consequently a great number of the farmers
became poorer and even they failed to own their agriculture land, in addition the
increased population resulted in their welfare decreased and the number of
farmers increased. The regulations of legislation on land reform does not go any
more with the current condition.
Therefore, it needs to study the background of the incident of the land
ownership and whether or not the regulations are still effective to be operated and
how the Land Office plays its role in implementing the prohibition of land
ownership. The purpose of this analytical descriptive study with normative and
empirical juridical approach is to collect and analyze the factual and accurate data
systematically obtained to find out a clear description of the existence of the
prohibition to own latifunfia and absentee (guntai) lands in the Land Office, Deli
Serdang District. The primary data the for this study were obtained through
directly interviewing the officers of the Land Office, Deli Serdang District and the
secondary data for this study were collected through library research by studying
the primary, secondary, and tertiary legal materials. The data obtained were then
qualitatively analyzed.
The result of this study shows that the incident of owning latifundia and
absentee (guntai) lands was caused by the simplicity of making the identification
card for the residents, the use of absolute power that resulted in law infiltration,
and the great number of unregistered lands that the implementation of landreform
could reach the person targeted. This condition shows that the existence of the
regulation is not effective any more that a strict control from the apparatuses of
Land Office on

the lands which have been or have not been redistributed and computers should
be installed in the Land Office for the land information system that the land
owner who wants to register his land can be easily and quickly processed.
Key words: Existence, Latifundia, Absentee (Guntai)

Anda mungkin juga menyukai