Anda di halaman 1dari 103

PERAN MEDIASI PADA TINDAK PIDANA RINGAN SEBAGAI PERWUJUDAN

RESTORATIVE JUSTICE

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :
Muhamad Arsy Nuril Fikri
NIM : 11130450000044

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1438 H
ABSTRAK

Muhamad Arsy Nuril Fikri 1113045000044, PERAN MEDIASI PADA TINDAK PIDANA
RINGAN SEBAGAI PERWUJUDAN RESTORATIVE JUSTICE. Jurusan Hukum Pidana
Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Tahun 1438 H/2017, ix + 83 Halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang peran mediasi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum yakni kepolisian pada tindak pidana ringan dalam mewujudkan
Restorative Justice. Karena mediasi dapat memberikan rasa keadilan yang lebih kepada
korban jika dibandingkan dengan proses litigasi. Selain itu konsep Restorative Justice yang
ditawarkan oleh proses mediasi masih sejalan dengan asas dari proses litigasi yaitu cepat,
sedehana dan biaya murah.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berupa kajian kepustakaan
(Library Research). Spesifikasi yang digunakan pada penelitian ini adalah Deskriptif
Analitis, data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer dan sekunder. Data
primer pada penelitian ini didapatkan dari KUHP, Perkap No. 7 tahun 2008 tentang Pedoman
Dasar Strategi Dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaran Tugas
POLRI, Surat Kapolri No.Pol : B/3022/IX/2009/ SDEOPS, dan PERMA No. 2 tahun 2012
tentang batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP. Sedangkan data
sekunder pada penelitian ini didapatkan dari buku-buku, hasil penelitian, jurnal ilmiah, dan
kitab fiqh yang berkaitan dengan skripsi ini.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa proses mediasi memiliki manfaat berupa terpenuhinya
hak-hak korban dan berkurangnya perkara yang masuk ke pengadilan. Selain manfaat di atas,
dapat juga dirasakan oleh masyarakat yaitu berupa terjalinnya harmonisasi di masyarakat
dengan cara perdamaian. mediasi yang dilakukan baik oleh kepolisian maupun perorangan,
dapat mengurangi beban aparat penegak hukum sehingga dapat fokus kepada perkara yang
lebih penting. Sedangkan dalam hukum Islam proses mediasi diperbolehkan dalam ranah
Ta’zir dan mendapatkan pemaafan dalam ranah Qishash, tetapi untuk ranah Hudud tidak
diperbolehkan.

Kata Kunci : Mediasi Penal, Tindak Pidana Ringan, Restorative Justice


Pembimbing : Afwan Faizin, M.A.
Achmad Cholil, S.Ag., S.H., LL.M.
Daftar Pustaka : Tahun 1991 s.d. Tahun 2016

iv
KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ ﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﯿﻢ‬

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini sebagai salah satu syarat menyelesaikan

studi pada tingkat Universitas. Shalawat beriring Salam penulis curahkan kepada Nabi kita

Sayyidina Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyyah hingga zaman

keilmuan seperti sekarang ini. Dan tak lupa pula kepada keluarga, sahabat dan para

pengikutnya yang selalu mengamalkan sunnahnya hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “PERAN MEDIASI PADA TINDAK PIDANA RINGAN

SEBAGAI PERWUJUDAN RESTORATIVE JUSTICE” merupakan karya tulis penutup di

tingkatan Strata 1 dari semua pembelajaran yang sudah penulis dapatkan di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta selama 4 tahun ini. Semoga dengan lahirnya karya tulis ini

dapat menambah khazanah keilmuan khususnya bagi penulis umumnya bagi siapa saja yang

membaca skripsi ini.

Penghargaan dan Terima kasih yang setulusnya penulis ucapkan untuk Ayahanda Drs.

H. Kosasih dan Ibunda Hj. Ecih Kurniasih, S.Pd. yang telah mencurahkan segalanya baik itu

yang bersifat dukungan moril maupun materil. Semoga Allah SWT selalu memberikan

Keberkahan, Kesehatan dan Kemulian di dunia maupun di akhirat atas segala kebaikan yang

telah diberikan kepada penulis.

Dalam penulisan Skripsi ini, saya sebagai penulis sangat menyadari akan pentingnya

keberadaan orang-orang di sekitar penulis baik itu yang memberi dukungan secara keilmuan,

pemikiran maupun materi serta dukungan lain baik secara moril maupun spiritual sehingga

Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Dukungan mereka sangatlah berarti karena

v
dukungan mereka segala halangan dan hambatan yang ada dapat teratasi dengan mudah dan

terarah. Untuk itu penulis mengucapkan rasa terima kasih yang amat dalam kepada yang

terhormat :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam

dan Nur Rohim Yunus, LL.M, Selaku Sekertasris Prodi yang telah membantu

segala hal yang bekenaan dengan perkuliahan hingga motivasinya dalam

menyelesaikan Skripsi ini.

3. Afwan Faizin, M.A. dan Achmad Cholil, S.Ag., S.H., LL.M selaku dosen

Pembimbing Skripsi yang telah membimbing, mengarahkan dan meluangkan

waktunya bagi penulis sehingga skripsi ini lebih terarah dan menjadi lebih baik.

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah ikhlas memberikan ilmu

yang bermanfaat sehingga penulis dapat menyambung ilmu baik dalam dunia

pekerjaan maupun akademik ditingkat lebih tinggi.

5. Tengku Firdaus, S.H, M.H., Desi Marjanti, S.H., Susanti, S.H., Marjek Ravilo,

S.H., Meffy Olivia, S.H., serta Bapak dan Ibu Jaksa di Kejaksaan Negeri Kota

Tangerang yang telah memberikan Motivasi, Arahan, dan Pandangan berdasarkan

fakta di lapangan seputar dunia Hukum Pidana.

6. Untuk adik-adik penulis Exa Rizky Fatihah dan Muhamad Kemal Idris yang selalu

menghibur disaat penulis terbentur pada kesulitan dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Untuk para sahabat penulis Yunisa Azzahra, Rian Maulana, Renaldi Tegar

Pratama, Ahmad Syamsul, Ahmad Risyad Fadli, Keken Rizka, Arya Chairunnisa

dan Syamazka Zakirni yang selalu mensupport penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini kapanpun dan dimanapun.

vi
8. Untuk teman-teman seperjuangan Hukum Pidana Islam 2013 yang telah saling

membantu disegala keadaan dan menjadi tempat bertukar fikiran dengan penuh

semangat dan kerja keras.

9. Untuk teman-teman seperjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat

Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pengalaman dan dorongan

pemikiran yang luas selama penulis menimba ilmu di kampus ini.

10. Untuk Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) yang telah

memberikan dukungan dan pemikiran selama penulis menimba ilmu di kampus ini.

11. Ucapan terkahir penulis tujukan kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebut

satu persatu namun tidak mengurangi rasa terima kasih penulis atas bantuannya

dalam menyelesaikan skripsi ini.

Karena proses tidak akan mendustakan hasil, semuanya bergantung kepada kekuasaan

Allah SWT yang maha segalanya. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang

membacanya dan menjadi amalan baik yang akan dicatat oleh malaikat sebagai bekal kita di

akhirat nanti. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 20 Juli 2017

Penulis

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI …………………………………... ii
LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………. iii
ABSTRAK …………………………………………………………………. iv
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. v
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. viii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………. 1


B. Identifikasi Masalah ………………………………………… 6
C. Pembatasan Masalah ……………………………………….. 6
D. Rumusan Masalah …………………………………………... 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………... 7
F. Studi Review ………………………………………………... 8
G. Metode Penelitian …………………………………………... 10
H. Sistematika Penulisan ……………………………………..... 11

BAB II : MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN

PERKARA DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa ……………… 14


1. Macam-Macam Alternatif Penyelesaian Sengekta ………. 14
2. Pengertian Mediasi ……………………………………………………… 20
3. Jenis-Jenis Mediasi ……………………………………………………… 22
B. Mediasi dalam proses peradilan …………………………………………… 26
1. Mediasi dalam Perkara Perdata ……………………………………. 26
2. Mediasi dalam Perkara Pidana …………………………………….. 29
C. Mediasi dalam Hukum Islam ……………………………………………….. 34

viii
BAB III : PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE

JUSTICE) PADA TINDAK PIDANA RINGAN

A. Keadilan Restoratif ……………………………………………………………. 41


1. Pengertian Keadilan ………………………………………………….. 41
2. Macam-macam Keadilan …………………………………………… 42
3. Konsep Keadilan dalam Tindak Pidana di 47
Indonesia........................................................................
4. Prinsip-prinsip Dasar Restorative Justice …………………… 49
B. Gambaran Umum Tentang Tindak Pidana Ringan ……………… 51
1. Pengertian Tindak Pidana …………………………………………. 51
2. Kategorisasi Tindak Pidana ………………………………………. 52
3. Tindak Pidana Ringan ……………………………………………….. 54

BAB IV: ANALISIS MEDIASI PENAL PADA TINDAK PIDANA RINGAN

UNTUK MEWUJUDKAN RESTORATIVE JUSTICE

A. Pandangan Hukum Pidana Positif tentang Mediasi pada 62


Tindak Pidana Ringan …………………………………………………………
B. Pandangan Hukum Pidana Islam tentang Mediasi pada 68
Tindak Pidana Ringan …………………………………………………………
C. Konsep Ideal Mediasi Pada Tindak Pidana Ringan Untuk 76
Mewujudkan Restorative Justice …………………………………………

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………. 83
B. Saran .............………………………………………………. 85

DAFTAR PUSTAKA

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat yang heterogen, baik itu
dilihat dari segi horizontal maupun vertikal. Kesenjangan di masyarakat pada
dasarnya dapat menjadi salah satu faktor terjadinya tindak kriminal, apabila
ketiadaannya keadilan dalam penegakan hukum dan konflik yang ada di masyarakat.
Hukum pidana hadir sebagai salah satu sosial kontrol bagi masyarakat sebagai
penengah untuk menyelesaikan konflik yang ada di masyarakat.1 Dengan demikian
hukum pidana memiliki peran penting dalam pengendali kejahatan di masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat, sering terjadi perbuatan pidana yang berupa
pelanggaran maupun kejahatan, baik itu berat maupun ringan. Pada hakikatnya
semua tindak pidana tersebut merupakan sebuah pelanggaran norma-norma dalam
bidang hukum lain seperti perdata, ketatanegaraan dan hukum tata usaha pemerintah.
Dari sekian banyak tindak pidana, semuanya memiliki persamaan sifat yaitu sifat
melanggar hukum2 (wederrechtelijkheid).3 hal inilah yang membuat banyak orang
mencari keadilan ke para penegak hukum.
Permasalahan ataupun konflik memiliki cukup dimensi dan ruang lingkup yang
luas, Hal tersebut dapat terjadi dalam wilayah publik maupun privat. sehingga hal
tersebut berkaitan erat dengan kepentingan umum. Kepentingan umum sudah tentu
menjadi kepentingan negara yang berkewajiban menjaga kestabilan di masyarakat
Indonesia.4

1
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2007). h. 22-23.
2
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Bandung : PT. Refika
Aditama, 2003), h. 1.
3
Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur objektif dalam tindak pidana yang tersirat
dalam KUHP pasal 1 (asas legalitas). Sifat melawan hukum tersebut memiliki arti bertentangan
dengan hukum atau bertentangan dengan hak orang lain atau tanpa kewenangan. Sifat melawan
hukum dibagi menjadi 2 yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materil.
4
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum Nasional (Jakarta:
Prenada Media Group, 2011), h. 21.
1
2

Dalam upaya mencari keadilan, hukum yang saat ini berlaku di Indonesia
dipandang adil bilamana si pelaku telah disidangkan di pengadilan dan dijatuhi
dengan hukuman yang sesuai dengan perbuatannya. Sedangkan kerugian yang
dialami oleh korban secara tidak langsung dianggap terpenuhi dengan hukuman yang
dijalani pelaku. Apabila kita memperhatikan prosedur dan substansi dari pemidanaan
hanya terfokus pada faktor penjeraan dan pencegahan semata, di lain sisi korban
butuh pemulihan dari perbuatan si pelaku. 5
Apabila diteliti lebih dalam KUHAP lebih banyak mengatur hak-hak tersangka
dan terdakwa, sementara untuk hak korban (Victim) pengaturannya tidak secara tegas
dan tidaklah sebanyak hak-hak tersangka dan terdakwa. Hal tersebut dapat
dimungkinkan hak korban dan masyarakat telah diwakilkan oleh negara. Berbeda
halnya dengan zaman dahulu, korban ataupun keluarganya dapat meminta langsung
ganti rugi atau pembalasan kepada pelaku.6
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat kriminalitas di
Indonesia selalu bertambah dari tahun ke tahun. Sepanjang tahun 2000-2015 terjadi
peningkatan hingga 200 persen. Pada tahun 2000 terjadi 172.532 kasus diseluruh
wilayah Indonesia, sedangkan pada tahun 2015 terjadi 352.936 kasus. setiap
tahunnya tindak kriminal mengalami kenaikan sebanyak 10 persen. 7
Berdasarkan data di atas, tindak pidana mengalami peningkatan yang cukup
signifikan setiap tahunnya baik itu pada tindak pidana berat, tindak pidana biasa
hingga tindak pidana ringan seperti Pasal 364, 373, 379, 384, 407, 482 KUHP. Selain
itu, faktor fasilitas negara yang berupa Rumah Tahanan dan Lembaga
Pemasyarakatan pun sudah tidak lagi cukup untuk menampung para terpidana. Oleh
karenanya dibutuhkan solusi lain bagi mereka yang mempunyai perkara yang masih

5
G. Widiartana, Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan (Yogyakarta
: UAJY, 2013), h. 102.
6
Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi (Jakarta : Sinar Grafika
Cetakan keempat, 2016), h. 2.
7
Diakses dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1570 pada tanggal 9 Oktober 2016.
3

memiliki kemungkinan untuk berdamai walaupun dengan beberapa syarat dan


kesepakatan antara kedua belah pihak.
Sebagai pihak ketiga, mediator merancang, memimpin diskusi serta bertindak
sebagai wasit yang menengahi dan memfasilitasi persoalan tersebut ke arah
penyelesaian perkara. Tugas mediator tersebut juga sebagai perluasan dari proses
negosiasi yang biasa terjadi di masyarakat, akan tetapi mediasi memiliki perbedaaan
yaitu tidak mempunyai wewenang untuk menetapkan atau membuat keputusan atas
perkara.8
Pengertian tentang mediasi bisa kita temukan secara lebih konkret pada
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) no.1 tahun 2016 tentang prosedur mediasi di
pengadilan. Secara subtansial mediasi merupakan cara penyelesaian perkara atau
sengketa yang dilaksanakan melalui proses perundingan untuk mendapatkan
kesepakatan dari para pihak dengan dibantu oleh mediator.9
Tujuh tahun lalu tepatnya pada tahun 2009 dunia peradilan Indonesia digegerkan
dengan kasus nenek minah dari Dusun Sidoharjo, Banyumas. kasus tersebut
disidangkan di Pengadilan Negeri Purwokerto dengan nomor perkara
No.247/PID.B/2009/PN.PWT. Kasus nenek minah dikarenakan mengambil 3 buah
biji kakao di kebun milik PT. Rumpun Sari Antan 4. Dari peristiwa tersebut
membuat nenek harus mendapat hukuman dari majelis hakim berupa 1 bulan 15
hari.10
Namun dalam putusan itu juga disebutkan, Minah tidak perlu menjalani
hukuman tersebut, kecuali bila selama 3 bulan masa percobaan, nenek Minah
kembali tersangkut masalah pidana. Bila hal ini terjadi, maka yang bersangkutan
wajib menjalani hukuman 1 bulan 15 hari tersebut. Selain itu, Nenek Minah juga
hanya dibebani ongkos perkara sebesar Rp 1.000.

8
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
2006), h.121-122.
9
Diambil dari Pasal 1 butir 1 PERMA no.1 tahun 2016 tentang Proses Mediasi di Pengadilan.
10
Diakses dari Republika.co.id pada tanggal 19 Oktober 2016 pukul 19.26 Wib.
4

Berdasarkan hukum segala tindak pidana harus diproses. Namun, untuk


mendapatkan keadilan hukum tidak selalu berbicara hukuman dan penyelesaian di
pengadilan. Belakangan ini masyarakat mulai melirik salah satu bentuk penyelesaian
sengketa non-litigasi yaitu berupa Mediasi, Arbitrase, Konsiliasi dan Negosiasi.
Keempat hal tersebut dinamakan sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution).11
Di dalam Hukum Pidana Indonesia saat ini hakikatnya perkara pidana tidak
dapat dilaksanakan di luar pengadilan. Walaupun pada kenyataannya terjadi
penyelesaian di luar pengadilan dengan diskresi dari aparat penegak hukum
khususnya dari pihak kepolisian. Disamping ada juga beberapa cara lain dalam
menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan yaitu berupa mekanisme
perdamaian, lembaga adat dan lain sebagainya.12 Penyelesaian sengketa melalui
ADR ini memiliki beberapa kelebihan yaitu penyelesaian perkara dengan cepat dan
murah, memfokuskan pada kepentingan masing-masing pihak, dan memberikan para
pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya. 13
Untuk memaksimalkan penyelesaian tindak pidana ringan melalui ADR, maka
di keluarkan Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi
dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri dan
Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tentang penanganan kasus melalui
Alternatif Dispute Solution (ADR). Dengan dikeluarkannya Peraturan Kapolri ini
agar kasus pidana yang mempunyai kerugian kecil dapat diselesaikan tanpa jalur
hukum, selain itu juga sebagai penghormatan kepada hukum sosial/adat serta
memenuhi azas keadilan.
Perkara-perkara tindak pidana ringan memiliki batasan kerugian yang diatur oleh
PERMA No.2 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda dalam KUHP. Perkara yang masuk ke dalam kategori ringan ialah

11
Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan (Bandung : PT. Alumni, 2013), h. 5
12
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bandung : PT.
Alumni, 2015), h. 3.
13
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, h. 139.
5

perkara pencurian ringan (364), penggelapan ringan (373), penipuan ringan (379),
penadahan ringan (482), kejahatan surat ringan (384), pengerusakan ringan (407)
yang akan dibahas pada BAB selanjutnya.14
Dalam hukum Islam, penegakkan hukum tidak hanya bertujuan untuk
memberikan efek jera. Namun hukum Islam juga menegakan keadilan berdasarkan
kemauan pencipta manusia sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman
masyarakat. Dari tujuan tersebut alangkah lebih baik bagi seorang hakim untuk
memutus perkara dengan rasa adil sehingga dipatuhi oleh masyarakat dan memberi
rasa adil bagi para pihak.15
Keadilan restoratif juga terkandung di dalam hukum Islam, yang mana terdapat
pada kasus pembunuhan (Qishash) dimana korban dapat menentukan penyelesaian
perkara yaitu dengan 3 metode yaitu Kompensasi, Konsiliasi, pengampunan/maaf. 16
Dalam Islam dikenal 2 metode penyelesaian sengketa yaitu Mediasi (Islah) untuk
perkara pidana dan Arbitrase (tahkim) untuk perkara perdata yang merupakan bagian
integral dari sistem peradilan Islam selain proses ajudikasi (Qadha).17
Mediasi (Islah) merupakan akad perdamaian berupa perjanjian kesepakatan itu
boleh hukumnya dan sangat dianjurkan untuk kebaikan dan keutuhan persaudaraan
sesama muslim dengan syarat asalkan tidak menyalahi hukum yang telah di tetapkan
oleh Allah SWT. Sehingga menjadikan kebebasan bagi para pihak untuk
menyelesaikan perkaranya, dan tidak hanya berlaku pada perkara perdata saja,
pidana pun bisa dilakukan perjanjian perdamaian.

14
Penyesuaian batasan tindak pidana ringan di sini diatur dalam PERMA No.2 tahun. 2012 yang
mana disana dijelaskan bahwa nominal yang terdapat pada pasal-pasal pada PERMA ini dikalikan
dengan 10 ribu rupiah menjadi 2,5 juta rupiah. Dengan adanya PERMA ini majelis hakim yang
menangani wajib memperhatikan nilai barang yang menjadi objek perkara, dan bila mana kurang dari
2,5 juta maka ditunjuk dengan hakim tunggal dengan acara pemeriksaan cepat.
15
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.11.
16
Mutaz M. Qafisheh, “Restorative Justice In The Islamic Panel Law : A Contribution To The
Global System”, International journal of criminal justive sciences, vol 7 issue 1 january - june 2012, h.
489.
17
Syed Khalid Rashid, "peculiarities and religious underlining of adr in islamic law" in asia
pacific mediation forum (kuala lumpur 2008). Sebagaimana dikutip dalam buku Fatahillah A. Syukur,
mediasi perkara kdrt teori dan praktek di pengadilan indonesia, h. 78.
6

Berdasarkan penjelasan di atas menurut hemat penulis perkara-perkara yang


memiliki jumlah kerugian di bawah 2,5 juta rupiah alangkah lebih bijaknya jika
diselesaikan dengan Mediasi. Penegakan hukum yang saat ini dikenal kaku dengan
hukum acara yang ada dirasa belum efektif dan efisien bagi para pihak. Oleh sebab
itu maka penulis tertarik untuk menulis dalam bentuk penelitian dengan judul “Peran
Mediasi Pada Tindak Pidana Ringan Sebagai Perwujudan Restoractive Justice”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah diatas, maka dapat kita tarik identifikasi
masalah sebagai berikut ini :
1. Meningkatnya kriminalitas di negara hukum
2. Banyaknya perkara tindak pidana ringan yang masuk ke pengadilan.
3. Banyaknya faktor yang menyebabkan proses mediasi masih sedikit
dilakukan oleh polisi sebagai aparat penegak hukum pada tindak pidana
ringan.
4. Penegakan hukum yang belum memberi nilai rasa keadilan bagi korban
tindak pidana ringan.
5. Masyarakat masih awam akan manfaat dan keunggulan proses Mediasi
dibandingkan dengan proses hukum secara litigasi atau pengadilan.
6. Belum adanya payung hukum berbentuk undang-undang tentang Mediasi
pada tindak pidana ringan.
7. Perspektif hukum positif dan hukum pidana Islam mengenai Mediasi Penal.

C. Pembatasan Masalah
Sebagaimana yang telah penulis paparkan pada dasar pemikiran, agar
pembahasan ini tidak melebar dan keluar dari pokok pembahasan serta masalah
menjadi lebih terfokus dan spesifik. Maka dengan keterbatasan penulis, penulis
membatasi ruang lingkup permasalahan dalam skripsi ini sebagai berikut :
7

1. Alternatif Penyelesaian Sengketa pada penelitian ini hanya membahas proses


mediasi saja. Adapun penjelesan lain dari bentuk Alternatif Penyelesaian
Sengketa hanya sebagai gambaran semata.
2. Penelitian ini hanya membahas tentang tindak pidana ringan yang
dikhususkan pada PERMA no.2 tahun 2012 pasal 2 ayat 1 dan 2 tentang
“Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP” dan kesesuaiannya dengan Hukum Pidana Islam.
3. Hukum pidana positif yang penulis maksud pada skripsi ini adalah KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dan yang tertulis dalam Peraturan
Kapolri Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan
Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
4. Tindak pidana ringan pada Hukum Pidana Islam yang penulis maksud dalam
skripsi ini adalah Fiqh Jinayah tentang Jarimah Ta’zir.

D. Perumusan Masalah
Dari permasalahan pokok yang ada di atas dapat diuraikan 3 sub masalah yang
dirumuskan dalam beberapa pertanyaan penelitian (Research Questions), yaitu
sebagai berikut :
1. Bagaimana kajian Hukum Pidana Positif tentang peranan Mediasi dalam
penyelesaian perkara tindak pidana ringan?
2. Bagaimana kajian Hukum Pidana Islam tentang peranan Mediasi dalam
penyelesaian perkara tindak pidana ringan?
3. Bagaimana konsep ideal mediasi dalam perkara tindak pidana ringan untuk
mewujudkan Keadilan Restoratif?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui Peran Mediasi pada perkara pidana ringan dan
penyelesaiaannya
8

b. Untuk mengetahui kualitas dari proses Mediasi pada perkara tindak


pidana ringan yang dilakukan oleh kepolisian
2. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. Manfaat teoritis yang bisa didapat ialah menambahnya khazanah
keilmuan dalam mengetahui pengertian atau definisi dari Mediasi baik
dalam perihal pidana maupun perdata, hasil dari penelitian ini sangat
berguna bagi kalangan pelajar, mahasiswa, serta berbagai kalangan yang
tertarik akan bidang hukum pidana
b. Manfaat praktis yang dapat sampai kepada pembaca ialah hasil penelitian
ini dapat bermanfaat bagi kalangan pelajar, mahasiswa dan siapapun
yang tertarik akan hukum pidana serta bermanfaat bagi para penegak
hukum yang menerima banyak kasus pada tindak pidana ringan.
c. Manfaat Umum yang dapat sampai kepada masyarakat ialah sebagai
gambaran dan menfaat dilakukannya penyelesaian perkara khususnya
pada tindak pidana ringan melalui jalur mediasi.

F. Studi Review
Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menemukan beberapa skripsi yang telah
ada sebagai bahan kajian awal bagi penulis untuk menulis skripsi ini, diantaranya
adalah :
1. Skripsi Helmi Arisandi, tentang “KONSEP MEDIASI PENAL UNTUK
RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA
PIDANA (PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM
POSITIF)”. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta
2016. Dalam skripsinya ia membahas tentang (1) Pandangan dari Hukum
positif dan Hukum Pidana Islam mengenai Restorative justice dalam sebuah
tindak pidana, (2) mediasi penal dapat diterapkan sebagai sarana yang
menerapkan nilai-nilai restorative justice. Namun pada skripsi ini tidak
memfokuskan pada tindak pidana ringan yang memang lebih ideal untuk
9

dilaksanakannya mediasi sebagaimana yang akan penulis jelaskan dalam


skripsi ini.
2. Skripsi Ni Komang Surianti Ningsih, mengenai “IMPLEMENTASI
MEDIASI PENAL DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA”.
Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar 2015. Dalam skripsinya ia
membahas tentang (1) Urgensi Mediasi Penal sebagai upaya penyelesaian
tindak pidana, (2) Kriteria tindak pidana yang bisa diterapkannya mediasi
penal, (3) keuntungan dan kelebihan penanganan perkara pidana
menggunakan mediasi penal. Namun pada skripsi ini tidak menjelaskan
implementasi mediasi penal dalam mewujudkan Restorative Justice
sebagaimana yang akan penulis jelaskan dalam skripsi ini.
3. Skripsi Santa Novena Christy, mengenai “IMPLEMENTASI MEDIASI
PENAL SEBAGAI PERWUJUDAN RESTORATIVE JUSTICE
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA”. Fakultas
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta (Skripsi) 2014. Dalam skripsinya
ia membahas tentang (1) Eksistensi Perundang-undangan sebagai landasan
yuridis dalam implementasi mediasi penal, (2) Implementasi mediasi penal
pada setiap tingkatan dari penyidikan, penuntutan hingga persidangan.
Namun pada skripsi ini tidak menjelaskan implementasi mediasi penal dalam
Hukum Islam sebagaimana yang akan penulis jelaskan dalam skripsi ini.

Dari ketiga skripsi di atas berbeda dengan skripsi yang akan dibahas oleh penulis
dalam skripsi ini yakni akan membahas tentang “PERAN MEDIASI PADA
TINDAK PIDANA RINGAN SEBAGAI PERWUJUDAN RESTORATIVE
JUSTICE MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM
PIDANA ISLAM”. Di dalam skripsi yang akan ditulis oleh penulis membahas
tentang peranan Mediasi dalam tindak pidana ringan berdasarkan hukum positif dan
juga hukum pidana Islam atau biasa disebut jinayah.
10

G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
penelitian kualitatif yang berupa kajian kepustakaan (library research) yang
memakai bahan pustaka atau menggunakan bahan kepustakaan menjadi sumber data.
Diantaranya adalah : buku-buku, kitab-kitab, hasil penelitian-penelitian, jurnal-jurnal
yang berhubungan dengan objek kajian penelitian.18 Dari sumber tersebut dilakukan
penelitian dengan cara menganalisa bahan-bahan kepustakaan yang memuat berbagai
hal yang berkaitan dengan Peran Mediasi dalam tindak pidana ringan baik itu
menurut hukum positif dan hukum pidana Islam.
1. Jenis Penelitian
Sebuah penelitian dapat diklasifikasikan dari berbagai cara dan sudut pandang,
pada dasarnya dilihat dari pendekatan analisisnya penelitian di bagi menjadi dua
model; Pertama ialah metode penelitian kuantitatif, Kedua ialah metode penelitian
kualitataif19. Pada penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif yang memiliki sifat deskriptif analitis untuk memberi gambaran mengenai
peranan Mediasi dalam tindak pidana ringan seperti pencurian, penggelapan ringan
dengan perspektif hukum pidana positif dan Hukum Pidana Islam, sedangkan dilihat
dari segi jenis penelitian hukum penelitian ini termasuk dalam kategori
jenis penelitian ini ialah penelitian normatif
2. Teknik Pengumpulan Data
Menurut para pakar, data dalam sebuah penelitian digolongkan atas dua macam,
yaitu data primer dan data sekunder20. Dalam penulisan skripsi ini, teknik
pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti ialah berupa studi kepustakaan, data
yang digunakan pada skrpisi ini ialah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian
ini mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer disini
ialah berupa peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional seperti Kitab

18
G.R. Raco, Metode Penlitian Kualitatif Jenis, karakteristik dan keunggulan (Jakarta :
Grasindo, 2010), h. 46
19
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013) Cet. XIV, h. 5.
20
Ibid, h.9.
11

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan surat Kapolri No Pol:


B/3022/XII/2009/SDEOPS tertanggal 14 Desember 2009, PERMA No.1 tahun 2016
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan PERMA No. 2 tahun 2012 tentang
batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP. Bahan hukum
sekunder yang dimaksud dalam skripsi ini ialah berupa kitab-kitab, buku-buku,
hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah dan karya ilmiah lainnya
yang berkaitan dengan hukum positif tentang mediasi dan juga hukum pidana Islam
(Fiqh Jinayah). Selain kedua bahan tersebut terdapat pula bahan hukum tersier yang
berupa Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Arab, Kamus Bahasa
Inggris, kamus-kamus keilmuan dan bahan-bahan hukum yang membantu
petunjuk dan penjelasan mengenai bahan hukum premier dan juga sekunder.
3. Teknik Analisis Data
Data yang sudah didapat dan dikumpulkan melalui studi kepustakaan di atas,
selanjutnya akan dilakukan analisis secara kualitatif. Karena bahan-bahan yang
sudah didapat itu masih bersifat monografis ataupun masih sekedar kasus-kasus yang
belum bisa disusun dalam satu struktur kualifikasi, namun dapat disusun dengan
tema-tema. Teknik yang digunakan dalam analisis data pada skripsi ini ialah studi
dokumentasi yang mana analisis menggunakan alat berupa sejarah, pengertian,
hingga kesesuaian konsep Mediasi tersebut dengan hukum positif dan Hukum Islam
sebagai pembandingnya.

H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing dari bab terdiri dari sub bahasan,
hal ini dimaksudkan agar memudahkan penulis dalam penulisan dan penjabaran
materi serta memudahkan para pembaca dalam memahami alur dan tata urutan
penulisan skripsi ini. Maka penulis menyusun sistematika penulisan ini secara
sistematis sebagai berikut :
Bab pertama berjudul “Pendahuluan”. Didalam Bab ini diuraikan pokok-pokok
pikiran yang menjadi kegelisahan penulis yang diangkat menjadi objek kajian dalam
12

skripsi ini. Kemudian dalam pendahuluan ini dilanjutkan kepada penjelasan tentang
permasalahan penelitian yang terdiri atas pembatasan masalah dan perumusan
masalah. Setelah itu bersambung kepada tujuan dan manfaat dari penelitian ini yang
berupa manfaat teoritis maupun praktis. Selanjutnya penjelasan tentang penelitian
terdahulu yang tertuang dalam studi review yang memiliki relevansi dengan
penelitian yang akan penulis angkat. Pada penjelasan di sini memiliki tujuan untuk
memberikan gambaran atas beberapa kajian sebelumnya yang juga pernah membahas
mengenai objek penelitian skripsi ini. Sehingga diharapkan menemukan hal baru
yang belum pernah dikaji pada skripsi terdahulu. Setelah itu beranjak ke penjelasan
metodologi penelitian, yang berisikan tentang penjelasan jenis, sumber data, teori
pendekatan dan pengolahan data. Dan yang terakhir ialah penjelasan terkait
sistematika penulisan guna menjelaskan alur pembahasan dalam skripsi ini.
Bab kedua pada skripsi ini berjudul “Mediasi Penal Sebagai Alternatif
Penyelesaian Perkara Dalam Hukum Positif dan Hukum Islam”. didalam bab ini
akan berisi 3 sub bab yang mana sub bab pertama akan dijelaskan Mediasi sebagai
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sub bab ini memiliki tujuan untuk menjelaskan
tentang Fungsi hingga macam-macam dari Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
mana Mediasi termasuk di dalamnya. Selanjutnya pada sub bab kedua yaitu tentang
Mediasi yang ada di Peradilan. Pada sub bab ini akan diterangkan mediasi yang
digunakan dalam perkara perdata dan pidana. Pada sub bab ini memiliki tujuan yaitu
memberikan gambaran apakah perkara pidana dapat dilaksanakan mediasi layaknya
perkara perdata. Lalu sub bab terakhir pada bab ini terkait dengan gambaran umum
mediasi dalam Hukum Islam. Pada sub bab ini akan menjelaskan tentang bagaimana
konsep mediasi di dalam Hukum Islam dengan tujuan agar dapat memahami proses
mediasi yang dilaksanakan sesuai dengan Hukum Islam.
Bab ketiga berjudul “Pendekatan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Pada
Tindak Pidana Ringan”. dalam bab ini terdapat 2 sub yaitu pada sub bab pertama
akan dijelaskan mengenai gambaran umum seputar keadilan yang termasuk di
dalamnya keadilan restoratif. Pada sub bab ini memiliki tujuan berupa mengupas
13

kembali dasar-dasar pemikiran tentang keadilan. Selanjutnya sub bab kedua akan
menjelaskan tentang tindak pidana ringan, pada sub bab ini akan diterangkan
gambaran umum tentang tindak pidana ringan yang dapat diterapkannya mediasi
sebagai bentuk keadilan restoratif. Sub bab ini juga memiliki tujuan yaitu
menjelaskan macam-macam tindak pidana yang masuk ke dalam tindak pidana
ringan.
Bab Keempat berjudul “Analisis Mediasi Penal pada tindak pidana ringan untuk
mewujudkan Restorative Justice”. Pada bab ini terdapat 3 sub bab yang diawali
dengan sub bab pertama yang membahas tentang pandangan Hukum Positif tentang
Mediasi pada perkara tindak pidana ringan. Pada sub bab ini akan menjelaskan
bagaimana mediasi dapat dilaksanakan pada perkara tindak pidana ringan
berdasarkan Hukum Positif yang berlaku. Selanjutnya pada sub bab kedua akan
membahas tentang pandangan Hukum Islam tentang Mediasi pada perkara tindak
pidana ringan. Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai bagaimana mediasi dapat
dilaksanakan pada perkara tindak pidana ringan berdasarkan Hukum Islam.
Selanjutnya pada sub bab ketiga akan membahas tentang konsep ideal dilakukannya
mediasi pada perkara tindak pidana ringan untuk mewujudkan Restorative Justice.
Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai bagaimana proses mediasi dapat
dilaksanakan pada setiap tingkatan untuk perkara tindak pidana ringan.
Bab Kelima yang berjudul “Penutup”. Bab ini merupakan bab terakhir pada
skripsi ini yang terdiri atas kesimpulan dan rekomendasi dari penulis terkait dengan
hasil penelitian pada skripsi ini agar dapat membantu siapa saja yang tertarik pada
materi ini serta menjadi batu loncatan untuk peneliti lainnya.
BAB II
MEDIASI PENAL SEBAGAI ALTERN/ATIF PENYELESAIAN PERKARA
DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa


1. Macam-macam Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sengketa merupakan situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak
lain. Pihak yang merasa dirugikan itu menyampaikan rasa kekecewaannya dan
apabila pihak kedua tidak menanggapi dan memuaskan pihak pertama, serta
menunjukan perbedaan pendapat, maka terjadilah apa yang dinamakan dengan
sengketa.1 Sengketa (disputes)2 yang sudah timbul lebih baik segera diselesaikan
secara damai dengan masing-masing pihak, namun untuk mewujudkan hal tersebut
kita memerlukan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) agar tidak ada yang
dirugikan diantara para pihak.
Sejarah munculnya APS dimulai pada tahun 1976 ketika ketua MA di Amerika
Serikat Warren Burger mempelopori ide ini disuatu konferensi di Saint Paul,
Minnesota Amerika Serikat. Munculnya APS dilatarbelakangi oleh berbagai faktor
gerakan reformasi pada awal 1970, dimana saat itu banyak pengamat dalam bidang
hukum dan masyarakat akademisi mulai merasakan adanya keprihatinan yang serius
mengenai efek negatif yang semakin meningkat dari proses litigasi di pengadilan.
Akhirnya American Bar Assosiation (ABA) merealisasikan rencana tersebut dan
menambahkan komite APS pada organisasi mereka diikuti dengan masuknya
kurikulum APS pada sekolah hukum di Amerika Serikat dan sekolah ekonomi. 3

1
Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Bogor : Ghalia
Indonesia, 2000), h.34.
2
Istilah sengketa (dispute) sudah lazim digunakan dalam hukum internasional, kata dispute
digunakan dalam dispute settlement body dalam GATT, dan juga dalam convention on the settlement
investment disputes between states and national of other states.
3
Susanti Adi Nugraha, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta : Telaga Ilmu
Indonesia, 2009), h. 2-3

14
15

Pada saat itu Alternatif Penyelesaian Perkara (APS) di Amerika dikenal dengan
Istilah ADR, Para sarjana Amerika berusaha mencari alternatif lain di luar pengadilan
yaitu dengan ADR (Alternative Dispute Resolution). ADR pertama kali lahir di
Amerika pada era tahun 1970-an yang kemudian menyebar ke berbagai negara
dengan bentuk arbitrase dan mediasi. Proses ADR ini dalam penggunaannya tidak
hanya ditujukan untuk mengatasi hambatan finansial terhadap pengadilan semata,
namun juga pada pelaksanaannya mengandung faktor budaya, geografi dan
psikologi.4
Beberapa ahli mendefinisikan tentang APS, diantaranya Stanford M. Altschul
yang menyatakan bahwa APS adalah
“Sebuah persidangan kasus di depan pengadilan swasta yang disepakati oleh
para pihak untuk menghemat biaya hukum, menghindari publisitas, dan
menghindari penundaan pengadilan yang panjang”.

Sedangkan Phillip D. Bostwick berpendapat bahwa APS adalah


“Satu set praktik dan teknik hukum yang bertujuan: (1) mengizinkan
perselisihan hukum diselesaikan di luar pengadilan untuk kepentingan semua
pihak yang bersengketa, (2) mengurangi biaya proses pengadilan konvensional
dan penundaan yang dikenakannya biasa-biasa saja, (3) mencegah perselisihan
hukum yang kemungkinan besar akan diajukan ke pengadilan.”5

Pola penyelesaian sengketa di Indonesia saat ini pada umumnya menerapkan dua
sistem penyelesaian sengketa, yaitu dengan menggunakan sistem adjudikasi
(pengadilan) atau biasa dikenal dengan istilah litigasi dan diluar pengadilan (non
adjudikasi). Penyelesaian sengketa secara adjudikasi dibagi menjadi dua juga, yaitu
adjudikasi publik dan adjudikasi privat.6
Pada proses adjudikasi atau litigasi lebih cenderung menghasilkan masalah baru
Karena sifatnya yang Win-Lose atau menghasilkan pihak yang kalah dan menang.

4
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, h. 14.
5
Bostwick Phillip D., going privat with the judicial system, sebagaiamana dikutip oleh Frans
Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase, h. 14.
6
Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa
Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan (Bandung : PT. Alumni, 2013), h. 36.
16

Selain itu litigasi juga tidak responsif, memakan waktu proses berperkaranya dan
terbuka untuk umum. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau biasa disebut
APS (non adjudikasi) pun turut berkembang yang mana sifatnya tertutup untuk umum
(Close Door Session), kerahasiaan para pihak terjamin (Confidentiality), dan proses
beracara lebih cepat dan efisien.7
Proses litigasi biasanya menjadi Ultimatum Remedium atau upaya terkahir untuk
penyelesaian sengketa apabila penyelesaian secara kekeluargaan atau di luar
pengadilan tidak menemukan titik temu. Sebaliknya proses penyelesaian sengketa
non adjudikasi atau non litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang menggunakan mekanisme yang hidup di dalam musyawarah,
perdamaian, kekeluargaan, penyelesaian adat dan lain sebagainya.8 Menurut penulis,
sudah saatnya memperbaiki pola penyelesaian sengketa menjadi win-win solution
masuk kedalam proses litigasi sebagai First Resort baik itu di ranah publik maupun
privat.
Proses penyelesaian sengketa secara adjudikasi publik di Indonesia dilakukan
melalui institusi pengadilan negara. pihak ketiga dalam proses ini bersifat
Involuntary, karena hakimnya sudah ditentukan oleh pengadilan. Hal ini berbeda
dengan proses non adjudikasi yang mana pihak ketiga yaitu mediator atau arbiter
bersifat Voluntary atau dapat dipilih oleh para pihak. Pihak ketiga pada proses itu
tidak memiliki kewenangan dalam mengambil keputusan, hal ini demi tercapainya
solusi sengketa yang bersifat win-win solution9.
Pada umumnya terdapat beberapa cara untuk menyelesaikan sengketa di
masyarakat, diantaranya ialah dapat di lakukan dengan cara-cara berikut ini:

a. Hukum adat

7
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, h. 9.
8
Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa, h. 37.
9
Dwi Rezki Sri Astarini, Ibid, h. 37
17

Penyelesaian sengketa melalui hukum adat telah lama dikenal di Indonesia.


Konsep penyelesaian sengketa melalui musyawarah antara para pihak telah lama
dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem litigasi diperkenalkan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Penyelesaian sengketa menurut hukum adat selalu
diarahkan kepada pemulihan dan keseimbangan tatanan yang terganggu karena
adanya sengketa tersebut dan tidak bersifat penghukuman.10
Pola-pola penyelesaian sengekata secara musyawarah dan damai tetap bertahan
di dalam masyarakat hukum adat Indonesia dewasa ini. Misalnya saja pada
masyarakat batak, masih mengandalkan forum runggun adat yang pada intinya
adalah penyelesaian sengekata secara musyawarah dan kekeluargaan. 11 Selain itu
pada masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan UU No.11 tahun 2006
tentang pemerintahan Aceh diterapkan dan dikenal untuk penyelesaian perkara
dilakukan terlebih dahulu melalui peradilan gempong atau peradilan damai.
Disamping itu diatur juga dalam Qanun Aceh No.9 tahun 2008 tanggal 30 Desember
2008 tentang pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat khususnya pasal 13
menentukan “penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat diselesaikan
secara bertahap” kemudian disebutkan pula bahwa “aparat penegak hukum
memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu
secara adat atau nama lain”.12
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa proses penyelesaian sengketa melalui
mediasi telah lama dikenal oleh masyarkat dalam sistem hukum adat. Sayangnya
pola-pola penyelesaian melalui mediasi ini kurang dikembangkan oleh masyarakat
kita. Bahkan masyarkat yang sering berbicara tentang perdamaian atau msayarakat
yang kompromis, nyatanya beralih kepada masyarakat litigasi (litigious society).

10
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, h.
115
11
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, h.
118
12
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Hal. 10
18

b. Negosiasi
“Merupakan cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi
(musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengeketa yang hasilnya
diterima oleh para pihak tersebut”. jadi negosiasi tampak sebagai suatu seni untuk
mencapai kesepakatan dan bukan ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari.
Negosiasi juga dapat dikatakan “fact of life” atau keseharian, karena setiap orang
melakukan negosiasi dalam kehidupannya sehari-hari. menurut Ficher dan Ury
Negosiasi adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan
pada dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah
pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Adapun perbedaan
mencolok antara Negosiasi dengan Mediasi dan juga Arbitrase, dimana Negosiasi
menjadi sarana bagi para pihak yang mengalami sengekta untuk mendiskusikan
penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah yang tidak
berwenang mengambil keputusan (Mediasi), maupun pihak ketiga pengambil
keputusan (arbitrase).13

c. Arbitrase
Penyelesaian sengketa yang sudah cukup lama berkembang adalah arbitrase. Para
pihak melalui klausul yang disepakati dalam perjanjian, menundukan diri
(submission) menyerahkan penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian kepada
pihak ketiga yang netral yang bertindak sebagai arbiter. Proses penyelesaian ini
dilakukan dalam wadah majelis arbitrase (arbitral tribunal).
Arbitrase merupakan salah satu bentuk APS (alternatif penyelesaian sengketa)
yang mirip dengan mediasi namun memiliki perbedaan yang mencolok. Perbedaan
tersebut terletak pada fungsi dan kewenangannya. Pada faktor fungsinya arbiter
diberikan kewenangan penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa,
sedangkan dari sisi wewenangnya arbiter berwenang mengambil keputusan yang

13
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, h. 23
19

lazim disebut dengan award. Sifat putusannya pun langsung Final and Binding (akhir
dan mengikat) kepada para pihak.14

d. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan tahapan lanjutan dari proses mediasi. Orang yang
melakukan konsiliasi disebut dengan konsiliator, yang mana tugasnya ialah
menyusun dan merumuskan resolusi kepada para pihak. Resolusi yang ditawarkan
oleh konsiliator apabila disetujui, maka resolusi/kesepakatan tersebut bersifat final
dan mengikat para pihak.
Kesamaan cara kerja antara Konsiliasi dan Mediasi membuat banyak orang
bingung membedakannya. Adapun perbedaan yang mencolok ialah rekomendasi yang
diberikan pihak ketiga (Konsiliator) kepada para pihak yang bersengketa hanya ada
dalam Konsiliasi, sedangkan Mediasi hanya membimbing untuk mencapai suatu
kesepakatan.15

e. Mediasi
Salah satu upaya penengahan sengketa antara para pihak dalam hukum, biasa
disebut dengan Mediasi. Upaya tersebut merupakan salah satu langkah penyelesaian
sengketa antara dua pihak ataupun lebih melalui metode musyawarah maupun
mufakat. Musyawarah tersebut dilakukan untuk mencapai penyelesaian (solusi) yang
diterima oleh kedua belah pihak dibantu pihak netral yang tidak memiliki
kewenangan untuk memutus perkara yang diperselisihkan.16
Pihak ketiga yang dimaksud ialah seorang mediator yang memiliki keahlian
khusus untuk proses litigasi dan mediator individu dalam proses non-litigasi. Kata
mediasi memang sulit untuk didefinisikan karena pengertian mediasi sering dipakai
oleh penggunanya dengan tujuan yang berbeda-beda. Misalnya saja dibeberapa
14
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, h.21
15
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, h.34
16
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat (Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada, 2010), h.12.
20

negara, menyediakan dana untuk lembaga mediasi bagi penyelesaian sengekta


komersial, dan juga banyak lembaga lain yang menyebut dirinya sebagai lembaga
mediasi. Sehingga mediasi dapat dikatakan suatu definisi yang di rancukan untuk
istilah lainnya seperti konsiliasi, rekonsiliasi, konsultasi dan juga arbitrase.17
Peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator harus berada pada posisi
netral dan tidak memihak pada salah satu pihak dalam menyelesaikan sengketa.
Mediator juga harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa
secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang
bersengketa. Dalam proses ini, kemampuan seorang mediator sangat menentukan
keberhasilan proses mediasi. Keberhasilan proses mediasi juga dapat dicapai apabila
para pihak memiliki posisi tawar menawar yang setara dan mereka masih menghargai
hubungan baik antara mereka dimasa depan.18

2. Pengertian Mediasi
Secara etimologi kata mediasi berasal dari bahasa latin yaitu “mediare” yang
berarti berada di tengah. Makna tersebut menunjuk kepada peran yang ditampilkan
pihak ketiga yaitu mediator, yang mana dalam tugasnya menengahi dan
menyelesaikan sengketa antara para pihak. Selain itu makna berada di tengah juga
memiliki arti seorang mediator haruslah bersifat netral dan tidak memihak dalam
menyelesaikan sengketa. Mediator juga harus mampu menjaga kepentingan para
pihak yang bersengketa dengan cara adil dan sama. Sehingga mediator dapat
menumbuhkan rasa kepercayaan dari para pihak. 19
Black’s Law Dictionary mendefiniskan mediasi sebagai berikut

17
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta : PT. Gramdeia Pustaka
Utama, 2006) h. 2
18
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta
: Prenada Media Group, 2011), h. 1-2.
19
Rachmadi Usman, Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik (Jakarta : Sinar Grafika,
2012), h. 23
21

“Metode penyelesaian sengketa non-mengikat yang melibatkan pihak ketiga yang


netral yang mencoba membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai solusi yang
dapat disetujui bersama” 20

Menurut Christoper Moore mediasi merupakan :


“Mediasi adalah campur tangan dalam sebuah perselisihan atau negosiasi oleh
pihak ketiga yang dapat diterima, tidak berpihak, dan netral yang tidak memiliki
kekuatan pengambilan keputusan yang otoritatif untuk membantu pihak-pihak yang
bersengketa secara sukarela mencapai penyelesaian masalah yang dapat diterima
bersama dalam perselisihan.”

Kimberlee Kovach memberikan pengertian mediasi sebagai berikut :


“Negosiasi yang difasilitasi Ini adalah proses dimana pihak ketiga yang netral,
mediator, membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapai resolusi yang
saling memuaskan”.

Menurut Jacqueline M. Nolan- Harley.


“Mediasi adalah proses terstruktur jangka pendek, proses penemuan partisipatif.
Pihak yang membantah bekerja dengan pihak ketiga yang netral, mediator, untuk
mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama”21

Munir Fuady mendefinisikan Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian


sengketa dimana suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak
yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa
tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak, adapun pihak ketiga yang
membantu menyelesaikan sengketa tersebut disebut dengan pihak mediator.22
Mediasi yang merupakan salah satu penyelesaian sengketa memiliki keunggulan
dibandingkan dengan proses litigasi, mediasi juga memiliki keunggulan dari
Alternatif penyelesaian sengketa yang lainnya, diantaranya ialah :
a. Voluntary

20
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasioanl (Jakarta ; Sinar Grafika, 2013), h.16
21
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta ; Telaga
Ilmu Indonesia, 2009) h. 60-61
22
Sudiarto, Negosiasi, Medaisi & Arbitrase : Penyelesaian Sengketa Alternatif Di Indonesia
(Bandung : Pustaka Rieka Cipta, 2013), h. 35. yang dikutip dari Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari
sudut pandang hukum bisnis). Bandung : Citra Daya Bakti, 2001. Hal.30
22

Keputusan untuk berdamai diserahkan kepada para pihak, sehingga dapat


dicapainya suatu putusan yang benar-benar keputusan yang dikehendaki oleh
para pihak.
b. Informal/Fleksibel
Skema ataupun desain proses bermediasi dapat disesuaikan dengan
keinginan para pihak dibantu oleh mediator. Hal ini sangat jauh berbeda
dengan proses litigasi yang dimulai dari pembacaan gugatan/tuntutan,
jawaban gugatan/pledoi, replik, duplik, pemanggilan saksi, pembuktian dan
sebagainya.
c. Interest Based
Perbedaan lain dengan proses litigasi ialah pada mediasi tidak mencari siapa
yang salah dan siapa yang benar, melainkan tetap menjaga kepentingan
masing-masing pihak.
d. Future Looking
Berdasarkan Interest Based diatas, mediasi lebih menekankan pada
hubungan para pihak dimasa yang akan datang dan tidak berorientasi pada
masa lalu.
e. Parties Oriented
Dengan prosedur yang informal, maka para pihak dapat berperan aktif
mengontrol prosesnya tanpa terlalu bergantung kepada penasehat hukum.
f. Parties Control
Mediasi yang dilakukan merupakan keinginan para pihak, mediator tidak
dapat memaksakan untuk mencapai kata sepakat bagi para pihak dan juga
pengacara tidak dapat mengulur waktu ataupun memanfaatkan ketidaktahuan
kliennya dalam hal beracara di pengadilan.23

3. Jenis-Jenis Mediasi

23
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Semgketa, h. 29-30.
23

Lawrence Boulle membagi mediasi menjadi beberapa model yang ditujukan


untuk mengetahui peran mediator dalam melihat posisi sengketa dan peran para pihak
dalam upaya penyelesaian sengketa. Empat model tersebut ialah Settlement
Mediation, facilitative mediation, transformative mediation, dan evaluative
mediation.24
a. Settlement Mediation
Jenis mediasi ini dikenal dengan istilah mediasi kompromi, yang mana memiliki
tujuan untuk mendorong terwujudnya kesepakatan dengan jalan kompromi
(mengurangi tuntutan) dari tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Pada
model mediasi ini mediator yang diperlukan adalah seseorang yang memiliki status
tinggi walaupun tidak memiliki kompetensi tinggi dalam hal memediasi para pihak.
Peran yang dapat digunakan oleh mediator pada model ini berupa bottom lines
dari disputan dan secara persuasif mendorong kedua belah pihak yang bertikai untuk
menurunkan posisi mereka ke titik kompromi. Pada model mediasi ini memiliki
prinsip-prinsip yaitu :25
1) Mediasi ditujukan unruk mendekatkan perbedaan nilai tawar atas suatu
kesepakatan
2) Mediator hanya terfokus pada permasalahan atau posisi yang dinyatakan
para pihak
3) Mediator menentukan posisi bottom lines kepada pra pihak dan
melakukan berbagai pendekatan untuk mendorong para pihak untuk
mencapai titik kompromi
4) Mediator yang diperlukan ialah orang yang memiliki status tinggi bagi
para pihak sehingga para pihak dapat menghormati dan menurunkan
rasa ego masing-masing.

24
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 31
25
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 31-32
24

b. Facilitative Mediation
Model mediasi ini memiliki ciri mediasi yang berbasis kepentingan (interest-
based) dan problem solving yang memiliki tujuan untuk menghindarkan para pihak
yang bersengketa dari posisi mereka dan menegosiasikan kebutuhan dan kepentingan
mereka dari hak-hak legal mereka secara kaku.
Pada model ini mediator yang dibutuhkan ialah yang memiliki keahlian dalam
proses mediasi dan teknik dalam bermediasi, meskipun tidak menguasai materi yang
dipersengketakan. Selain itu mediator harus dapat memimpin proses mediasi dan
mengupayakan dialog yang konstruktif serta meningkatkan upaya negosiasi dan
upaya kesepakatan.26 Adapun prinsip pada model ini yaitu :
1) Fokus pada kepentingan masing-masing pihak.
2) Proses mediasi lebih terstruktur.
3) Tingkat kepuasan dari pihak lebih tinggi karena yang diangkat oleh
mediator ialah dari sisi kepentingan, bukan hanya pada persoalan yang
disengketakan.
4) Yang diutamakan ialah teknik mediasi tanpa harus ahli pada materi yang
sedang di sengketakan.27

c. Transformative Mediation
Model mediasi ini dikenal dengan mediasi terapi dan rekonsiliasi, karena mediasi
ini lebih menekankan kepada pencarian penyebab yang mendasari munculnya
sengketa di antara para pihak. Dengan pertimbangan untuk meningkatkan hubungan
para pihak melalui pengakuan dan pemberdayaan sebagai dasar resolusi konflik dari
pertikaian yang ada.
Mediator pada model ini harus dapat menggunakan terapi dan teknik professional
sebelum dan selama proses mediasi serta mengangkat isu relasi/hubungan melalui
26
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 32-33
27
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, h.
85-86
25

pemberdayaan dan pengakuan kepada para pihak. Adapun prinsip pada model ini
yaitu:28
1) Proses pengambilan keputusan tidak akan didapat, jika masalah
hubungan emosional para pihak belum selesai.
2) Fungsi mediator ialah untuk mendiagnosis penyebab konflik dan
menanganinya dengan cara psikologi dan emosional.
3) Mediator diharapkan lebih memiliki kecakapan dalam “Counseling” dan
jugaproses serta teknik mediasi.
4) Hasil mediasi diharapkan menjadikan hubungan kedua belah pihak
menjadi lebih baik
5) Biasanya digunakan dalam kasus keluarga

d. Evaluative Mediation
Model yang terakhir ialah dikenal dengan mediasi normatif yang bertujuan untuk
mencari kesepakatan berdasarkan hak-hak legal dari para pihak yang bersengketa
dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan. Peran mediator pada model ini
adalah memberikan informasi dan saran serta persuasi kepada para pihak dan
memberikan prediksi tentang hasil-hasil yang akan timbul.29 Adapun prinsip-prinsip
pada model ini yaitu :
1) Mediator memberikan gambaran kepada para pihak jika sengketa tetap
berlangsung, maka siapa yang akan menang maupun kalah
2) Lebih fokus kepada hak dan kewajiban
3) Mediator merupakan orang yang ahli dalam bidang hukum karena
pendekatan yang digunakan adalah hak dan standar kepada kasus yang
serupa

28
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 33-34
29
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, h. 34-35
26

4) Terdapat pemberian saran kepada para pihak berupa nasihat-nasihat


hukum dalam proses mediasi
5) Kecenderungan mediator memberikan jalan keluar dan informasi legal
guna mengarahkan kepada suatu hasil akhir yang pantas dan dapat
diterima oleh kedua belah pihak.30

B. Mediasi dalam Proses Peradilan


1. Mediasi dalam perkara perdata
Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian perkara diluar pengadilan
sebagaimana yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, yang mana mediasi
memiliki sifat sukarela atau pilihan. Namun, dalam konteks mediasi di pengadilan,
mediasi di pengadilan memiliki sifat yang wajib khususnya dalam perkara perdata.
Hal ini menunjukan bahwa proses mediasi dalam penyelesaian sengketa di
pengadilan harus terlebih dahulu dilakukan penyelesaian melalui perdamaian. 31
Kewajiban pelaksanaan Mediasi di Pengadilan pada perkara perdata di atur
dalam Pasal 4 ayat (1) PERMA No.1 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa “semua
sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan termasuk perkara perlawanan (Verzet)
atas putusan Verstek dan perlawanan pihak berperkara (Partij Verzet) maupun pihak
ketiga (Derden Verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi, kecuali
ditentukan oleh oleh Peraturan Mahkamah Agung ini.”32
Adanya proses mediasi di lembaga pengadilan merupakan pemberdayaan yang
tidak terlepas dari landasan filosofis yang bersumber pada dasar negara kita yaitu
pancasila, terutama sila ke empat yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Dari sila ke empat dari

30
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,
(Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2011), h. 86
31
Rachmadi Usman, Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik (Jakarta : Sinar Grafika,
2012), h. 70-71
32
Nurnaningsih Amriani, Mediasi lternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, h. 97.
27

pancasila menginginkan bahwa setiap sengketa/konflik dapat diselesaikan dengan


melalui musyawarah untuk mencapai mufakat yang diliputi semangat kekeluargaan.
Hal tersebut menandakan bahwa setiap sengketa hendaknya diselesaikan dengan cara
perundingan atau perdamaian diantara para pihak yang bersengketa untuk
memperoleh kesepakatan bersama.33
Kenyataan praktik yang dihadapi jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk
yang dihasilkan peradilan dalam penyelesaian perkara yang diajukan hampir seratus
persen berupa putusan konvensional yang bercorak menang atau kalah (winning or
losing). Jarang ditemukan penyelesaian berdasarkan konsep konsep sama-sama
menang (win-win solution). Berdasarkan fakta ini, kesungguhan, kemampuan, dan
dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh dikatakan gagal. Sehingga keberadaan
pasal 130 HIR/154 RBg dalam hukum acara tidak lebih dari hiasan semata atau
sebuah rumusan mati.34
Pada tahapan awal dari suatu proses mediasi di pengadilan, sebelum perkara di
periksa oleh majelis hakim, maka terlebih dahulu diupayakan perdamaian antara para
pihak. Setiap hakim, mediator dan pihak-pihak wajib mengikuti prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam PERMA No.1 tahun 2016.
Anjuran perdamaian sebenarnya dapat dilakukan kapan saja selama perkara belum
diputus oleh pengadilan, walaupun kemungkinannya kecil tetapi ada saja terjadi
perdamaian yang bukan terjadi pada sidang pertama, melainkan pada sidang-sidang
berikutnya. Oleh karena ada peraturan yang mengatur keharusan bermediasi maka
anjuran damai pada awal mula persidanagan bersifat mutlak/wajib dilakukan dan
dimasukkan kedalam berita acara.35

33
Rachmadi Usman, Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik (Jakarta : Sinar Grafika,
2012), h. 26.
34
Rachmadi Usman, Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik (Jakarta : Sinar Grafika,
2012), h. 27.
35
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013),
h.100.
28

Dalam proses mediasi di pengadilan, ada beberapa tahapan yang harus dilalui.
Secara umum tahapan mediasi bisa di bagi kedalam tiga tahapan, yaitu (1) tahap
persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengambilan keputusan
a. Tahap persiapan
Dalam sebuah proses mediasi dibutuhkan bagi seorang mediator untuk
terlebih dahulu mendalami terhadap apa yang menjadi pokok sengketa para
pihak yang akan dibicarakan dalam mediasi. Pada tahapan ini mediator
mengkonsultasikan dengan para pihak tentang tempat dan waktu mediasi,
identitas pihak yang akan hadir, durasi waktu dan sebagainya
b. Tahap pelaksanaan
Dalam tahapan pertama ini yang harus dilakukan ialah membentuk forum
yang terdiri atas mediator dan para pihak. Setelah forum terbentuk, tahapan
kedua ialah mediator memberikan pernyataan pendahuluan yang mana
didalamnya mediator memperkenalkan dari kepada para pihak, lalu
menjelaskan kedudukan peran dan wewenangnya sebagai mediator. Tahapan
yang ketiga ialah mengumpulkan dan membagikan informasi dari para pihak
(mediator memberikan kesempatan bagi para pihak untuk berbicara tentang
fakta dan posisi menurut versinya masing-masing. Di tahapan ini mediator
sebagai pendengar yang aktif dan dapat mengemukakan pertanyaan-
pertanyaan dan harus juga menerapkan aturan keputusan dan sebaliknya
mengontrol interaksi para pihak). Tahapan selanjutnya ialah melakukan
negosiasi pemecahan masalah. Tahapan ini berupa diskusi dan tanggapan
terhadap informasi yang disampaikan masing-masing pihak.
c. Tahap pengambilan keputusan
Pada tahapan ini para pihak saling bekerja sama dengan bantuan mediator
untuk mengevaluasi pilihan, mendapatkan trade off dan menawarkan paket,
memperkecil perdebatan-perdebatan dan mencari basis yang adil bagi
alokasi bersama. Dan akhirnya para pihak yang bersepakat berhasil membuat
kesepakatan bersama. Dalam tahap penentuan keputusan mediator dapat juga
29

menekan para pihak, mencarikan rumusan-rumusan untuk menghindari rasa


malu, membantu para pihak dalam menghadapi para pemberi kuasa (jika
dikuasakan).
Setelah proses mediasi ini selesai, maka akan dikeluarkan hasil dari proses
mediasi tersebut. hasil mediasi dapat berupa berhasil, tidak berhasil (gagal) ataupun
tidak dapat dilaksanakan. Jika terjadi perdamaian, maka mediator membuat laporan
hasil mediasi yang berupa perdamaian lalu diberikan kepada majelis hakim yang
memeriksa perkara tersebut untuk dibuatkan akta perdamaiannya. Namun apabila
para pihak tidak menghendaki perdamaian dalam bentuk akta perdamaian, maka
kesepakatan perdamaian tersebut haruslah memuat klausul pencabutan gugatan. Akta
perdamaian memiliki kekuatan yang sama dengan putusan dari pengadilan. Apabila
mediasi tersebut gagal, maka harus dicantumkan dalam Berita Acara Persidangan dan
proses sidang dilanjutkan.36

2. Mediasi dalam Perkara Pidana


Mediasi pada perkara pidana dikenal dengan istilah mediasi penal, Mediasi Penal
saat ini sudah banyak diintrodusir dalam peraturan hukum pidana di beberapa negara.
Menurut Barda Nawawi Arief mediasi penal (Penal Mediation) sering disebut dengan
berbagai istilah, diantaranya adalah Mediation in criminal cases atau Mediation in
penal matters, dalam istilah Belanda disebut Strafbemidelling atau juga dalam istilah
Jerman Der Au Bergerichtiiche Tatausgleich (ATA), serta dalam istilah Perancis
disebut de mediation penale.37
Menurut DS. Dewi dan Fatahillah dalam bukunya berpendapat bahwa Mediasi
Penal adalah penyelesaian perkara pidana melalui musyawarah dengan bantuan
mediator yang netral, dihadiri oleh korban, pelaku, keluarga dari pihak korban dan
perwakilan dari masyarakat setempat, dengan tujuan untuk memulihkan para pihak

36
Rachmadi Usman, Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik. h. 27.
37
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan.
(Semarang : Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2008), h.1-2.
30

baik itu korban, pelaku maupun masyarakat. 38 Sedangkan menurut Ms. Toulemonde
Mediasi Penal ialah sebagai seuatu alternatif penuntutan yang memberikan
kemungkinan penyeleasaian negosiasi antara pelaku tindak pidana dengan korban. 39
Penyelesaian perkara di pengadilan dalam ranah pidana pada asasnya tidak dapat
dilakukannya mediasi, karena tidak ada payung hukum dalam sistem peradilan pidana
di Indonesia saat ini. Penerapan mediasi di dalam perkara pidana dalam lingkup
peradilan memang belum banyak dikenal dan masih menyisakan kontroversi.
Persoalan esensialnya pada pilihan pola penyelesaian sengketa pidana, terkait dengan
domain superioritas negara dan superioritas kearifan lokal.40 Selain itu, implikasi lain
dari kontroversi mediasi pada perkara pidana terletak pada eksistensi mediasi itu
sendiri, karena eksistensinya dapat dikatakan “ada” dan “tiada”. Makna ada dan tiada
pada hal ini ialah di satu sisi mediasi dalam ketentuan Undang-Undang tidak dikenal
dalam sistem peradilan pidana,41 namun dalam tataran di bawah undang-undang
dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum dan sifatnya parsial.42
Medaisi Penal pertama kali dikenal di Kitchener, Ontario, Kanada pada tahun
1974. Di Amerika Serikat mediasi penal pertama kali dipraktekkan di Elkhart,
Indiana dan di Inggris oleh The Exeter Youth Support Team pada tahun 1979
(program ini kemudian menyebar ke AS, Inggris dan Negara di dunia) dimana
perkembangannya paling subur di negara-negara Eropa.43

38
DS.Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di
Pengadilan Anak Indonesia, (Depok: Indie-Publishing, 2011), h. 86
39
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan,
makalah tersebut disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban hukum korporasi dalam
konteks Good Corporate Governance, 27 Maret 2007, h.1
40
Superioritas negara merupakan kewajiban negara untuk menjaga kemanan dan ketentraman
warga negaranya dengan menjadikan Jaksa sebagai pihak ketiga dalam hal tuntutan di ranah publik,
sedangkan superioritas kearifan lokal mengacu pada budaya Indonesia yang kental dengan
musyawarah dan mufakat dalam setiap persoalan.
41
Ketentuan UU yang dimaksud disini ialah Pasal 82 KUHP, yang mana pada pasal ini dapat
menghapus proses penuntutan jika pihak pelaku bersedia membayar maksimum dan biaya-biaya jika
penuntutan telah berjalan.
42
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana (Bandung : PT. Alumni, 2015),
h. 12
43
DS Dewi dan Fatahillah A Syukur, Medaisi Penal : Penerapan Restorative Justice di
Pengadilan Anak Indonesia. (Depok, Indoe Publishing, 2011), h. 78
31

Mark Umbreit yang merupakan tokoh, pionir dan pakar mediasi penal di
Amerika Sertikat yang dikutip oleh DS. Dewi dan Fatahilah S. Syukur
mendefinisikan mediasi44 :
Proses yang memberikan kesempatan kepada korban pencurian dan tindak
pidana ringan untuk bertemu pelaku dalam suasana yang aman yang
terstruktur, dengan tujuan meminta pelaku langsung bertanggung jawab sambil
menyediakan bantuan dan kompensasi untuk korban. Dengan dibantu seorang
mediator yang ahli, korban mampu memberitahu pelaku bagaimana kejahatan
yang dilakukan memengaruhi hidupnya, mendapatkan rencana restitusi sebagai
bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap kerugian atau kerusakan yang
ditimbulkan.

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa tidak terdapat Undang-undang


yang mengatur tentang mediasi penal, namun secara parsial mediasi penal diatur
dalam Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009
tentang penanganan kasus melalui Alternative Dispute Resolution serta Peraturan
Kapolri Kapolri No. 7 tahun 2008 tentang pedoman dasar dan implementasi
pemolisian masyarakat. Pada Peraturan Kapolri tersebut menyatakan bahwa
penerapan konsep ADR (pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternative
yang efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau
litigasi), misalnya upaya perdamaian. Sedangkan pada Surat Kepolri tersebut
menjelaskan langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR yaitu :
a. Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi
kecil, penyelesaian dapat diarahkan melalui konsep ADR
b. Penyelesian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh
pihak-pihak yang berperkara, tetapi apabila tidak terdapat kesepakatan baru
diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara professional
dan proporsional

44
DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Medaisi Penal : Penerapan Restorative Justice di
Pengadilan Anak Indonesia, h. 126.
32

c. Penyelesaian kasus pidana menggunakan ADR harus berprinsip pada


musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan
menyertakan RT/RW setempat
d. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati
norma sosial/adat serta memenuhi asas keadilan
e. Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan FKPM yang ada
diwilayah masing-masing untuk mempu mengidentifikasi kasus-kasus
pidana yang mempunyai kerugian materil kecil dan memungkinkan untuk
diselesaikan melalui konsep ADR
f. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR tidak lagi
disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan
Polmas.
Meningkatnya volume perkara yang masuk akan membebani kinerja pengadilan
itu sendiri yang harus menjaga asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Oleh
karenanya diperukan bentuk mediasi yang tepat. sebagaimana dikemukakan oleh
Dewan Eropa No. R. (99) 19 tentang “mediation in penal matters” yaitu sebagai
berikut :45
a. Model Informal Mediation
Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice
personnel) dalam tugas normalnya. Tugas tersebut berupa mengundang para
pihak untuk menyelesaikan dengan cara informal dengan tujuan tidak
melanjutkan penuntutan apabila tercapainya kesepakatan. Pada model ini dapat
dilakukan oleh pejabat pengawas atau polisi atau hakim.
b. Model Traditional Village or Tribal Moots
Pada model ini seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik
kejahatan diantara warganya dan terdapat pada beberapa negara yang kurang
maju dan berada di wilayah pedesaan/pedalaman. Model ini pada asasnya

45
Lilik Mulyadi, Medaisi Penal : Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia,
h. 36-38.
33

mendahulukan hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan


program-program mediasi modern. Program mediasi modern ini sering
menampilkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam
bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak
individu yang diakuinya menurut hukum
c. Model Victim-Offender Mediation
Model ini menerapkan sistem pertemuan antara korban dan pelaku, yang
mana model ini paling sering ada dalam pikiran orang, model ini melibatkan
berbagai pihak yang bertemu dengan mediator yang ditunjuk. Mediator dapat
berasal dari pejabat formal, mediator independen,atau kombinasi. Mediasi ini
dapat dilakukan pada setiap tahapan proses baik itu pada tingkat kepolisian,
penuntutan, tahap pemidaaan (persidangan) bahkan setelah pemidanaan. Model
ini juga dapat diterapkan untuk semua tipe tindak pidana, adapun tindak pidana
tertentu (ringan), ada juga yang diutamakan pada tindak pidana anak atau bahkan
untuk residivis.
d. Model Reparation Negotiation Programmes
Model ini merupakan program untuk menaksir atau menilai kompensasi atau
perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya
pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini berhubungan dengan
rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan
perbaikan materiil. Dalam model ini pelaku dapat dikenakan program kerja agar
dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi atau kompensasi kepada
korban.
e. Model Community Panels of Courts
Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari
penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan
informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.
f. Model Family and Community Group Conference
34

Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang


melibatkan partisipasi masyarakat dalam SPP (Sistem Peradilan Pidana). Tidak
hanya melibatkan korban dan pelaku tetapi juga keluarga dan masyarakat
lainnya, pejabat tertentu seperti polisi dan para pendukung korban. Pelaku dan
keluarga korban diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan
memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari
kesusahan.
Meskipun Indonesia belum mengakui adanya mediasi penal dalam sistem
peradilan pidana, akan tetapi di dalam praktiknya banyak perkara pidana diselesaikan
melalui mekanisme mediasi, yang merupakan inisiatif penegak hukum sebagai bagian
dari penyelesaian perkara. Dengan demikian pada kenyataannya proses mediasi penal
sudah dijalankan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Adapun negara-negara
yang sudah menerapkan mediasi penal ini ialah Austria, Jerman, Belgia, Perancis,
Polandia, Slovenia, Canada, Amerika Serikat, Norwegia, Denmark, dan Firlandia.46

C. Mediasi Penal dalam Hukum Islam


Dalam ajaran Islam, penyelesaian sengketa dengan cara mediasi juga dikenal
walaupun tidak disebut dengan istilah mediasi. Namun pola penyelesaiannya sama
dengan pola yang digunakan oleh mediasi yang biasa disebut dengan istilah Islah, Al-
Afw dan Hakam. Kata Islah merupakan ajaran Islam yang bermakna lebih
menonjolkan metode penyelesaian perselisihan atau konflik secara damai dengan
mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang menjadi akar perselisihan. Sehingga
para pihak yang berselisih diperintahkan untuk mengikhlaskan kesalahan masing-
masing dan saling memaafkan.47

46
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, makalah
dalam seminar nasional pertanggungjawaban hukum korporasi dalam konteks Good Coorporate
Governance, Jakarta, 27 Maret 2007.
47
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, h.
119.
35

Selain kata Islah dikenal juga istilah Hakam, Hakam memiliki pengertian yang
sama dengan mediasi. Dalam sistem hukum Islam, Hakam berfungsi untuk
menyelesaikan perselisihan perkawinan yang biasa disebut dengan Syiqaq. Para ahli
hukum Islam memberikan pengertian yang berbeda-beda, sehingga dapat disimpulkan
bahwa Hakam merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri ke dalam konflik yang
terjadi antara suami dan istri sebagai pihak yang akan menengahi atau menyelesaikan
sengketa diantara mereka.48
Selain digunakan dalam perkara rumah tangga (perkawinan), ternyata konsep
hakam/tahkim juga digunakan dalam hal yang terkait dengan pidana. Seperti perkara
yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang
mengakibatkan terjadinya perang siffin lalu diselesaikan dengan metode tahkim.49
Secara bahasa, kata Islah berasal dari bahasa arab yakni ‫ ﺻﻼﺣﺎ – ﯾﺼﻠﺢ – ﺻﻠﺢ‬yang
berarti “baik”, yang mengalami perubahan bentuk. Kata Islah merupakan bentuk
Mashdar dari wazan ‫ إﻓﻌﺎل‬yang berarti memperbaiki, memperindah dan mendamaikan
(penyelesaian sengketa). Kata ‫ ﺻﻼح‬merupakan lawan kata dari ‫ﺳﯿﺌﺔ‬/‫( ﻓﺴﺎد‬rusak).
Sedangkan kata ‫إﺻﻼح‬ biasanya khusus digunakan untuk menghilangkan
persengketaan yang terjadi dikalangan manusia.50
Ibnu Manzūr dan Ibrāhīm Mazkūr berpendapat bahwa kata Ishlah berarti
mengakhiri permusuhan, sedangkan Sayyid Sabiq menerangkan bahwa Islah
merupakan suatu jenis akad untuk mengakhiri permusuhan antara dua orang yang
sedang bermusuhan.51 Cak Nur juga berpendapat bahwa Ishlah sebagai reformasi,
yang mana memiliki akar kata sama dengan kata kata “Shalih” dan “Maslahah”

48
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, h.
119-120
49
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafaan Sebagai Alternative Penyelesaian Perkara
Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal diskursus Islam, Volume 1 No.3, Desember 2013, h.455
50
Arif Hamzah, Konsep Islah dalam Perspektif Fiqh (Tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2008), h.13
51
Umar Al Tamimi, Lembaga Pemaafan sebagai Alternatif Penyelesaian Perkar Pidana
Perspektif Hukum Islam (Jurnal Diskursus Islam Volume 01 Tahun 2013), h. 464
36

(Maslahat). Kesemuanya mengacu kepada makna baik, kebaikan, dan perbaikan.52


Ishlah juga dapat diartikan memutuskan persengketaan, sedangkan menurut
syara’ Islah adalah suatu akad dengan maksud mengakhiri suatu persengketaan antara
dua orang. Mengakhiri pada definisi ini ialah mengakhiri dengan cara perdamaian,
karena Allah SWT mencintai perdamaian. Dengan adanya Islah akan mencegah hal-
hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan fitnah dan pertentangan. 53
Dalam Al-Qur’an juga menjelaskan tentang Mediasi atau perdamaian yang
terdapat pada surat Al-Hujarat (9-10);

           

             

           

       


Artinya : “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi
sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara
keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang Berlaku adil. 10. orang-orang beriman itu Sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa setiap ada pertikaian ataupun sengketa wajib

untuk dilakukannya Islah. Kata (‫ )إﻗﺘﺘﻠﻮا‬pada ayat ini tidak harus diartikan sebagai

peperangan ataupun pembunuhan, namun dapat diartikan berkelahi atau bertengkar

atau saling memaki. Sedangkan kata (‫ )أﺻﻠﺤﻮا‬diartikan sebagai antonim dari (‫)ﻓﺴﺎد‬

52
Budi Munawar Rahman, Ensiklopedia Nurcholis Madjid Jilid Dua, (Jakarta : Yayasan Abad
Demokrasi, 2012) h 1121.
53
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi dalam proses beracara di pengadilan (Jakarta, Pusat Studi
Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010), h. 31.
37

yaitu rusak. Ayat tersebut dapat dimaknai sebagai tanda untuk segera dilakukannya
perdamaian apabila sudah nampak perselisihan diantara mereka. 54
Dalam sejarah hukum Islam, dunia peradilan sudah ada sebelum datangnya
Islam. Pada saat itu bangsa arab mengenalnya dengan isltilah Qadli dalam
menyelesaikan segala sengketa yang mereka hadapi. Proses Mediasi yang lebih dekat
dengan prinsip Islah yaitu penyelesaian konflik dengan cara musyawarah sudah
pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika peristiwa peletakan Hajar Aswad. 55
Hukum Pidana Islam yang merupakan terjemah dari Fiqh jinayah yang artinya
tindakan yang mengancam keselamatan fisik manusia serta berpotensi menimbulkan
kerugian pada harga diri dan harta manusia sehingga hal tersebut diharamkan. Selain
kata Jinayah, Hukum Pidana Islam seringkali disebut dengan Jarimah yang berarti
kejahatan yang diancam oleh undang-undang dengan pidana tertentu.56
Jarimah yang berhubungan dengan tubuh digolongkan kedalam Jarimah Qishash
Diyat. Kata Qishash berasal dari kata Qashsha-Yaqushshu yang berati mengikuti dan
menelusur jejak kaki, sedangkan secara bahasa memiliki kaitan dengan kata kisah. 57
Jika secara bahasa kedua hal tersebut memiliki kesamaan maka secara terminologi
juga memiliki korelasi yaitu kesamaan antara perbuatan pidana dan sanksi hukumnya
seperti dihukum mati bagi pelaku pembunuhan dan dianiaya bagi pelaku
penganiayaan.58
Selain Islah adapula istilah lain yaitu Al-Afw (Pemaafan), Al-Qur’an menjelaskan
tentang pemaafan dalam Jarimah Qishash yaitu pada Surat Al-Baqarah ayat 178 :

54
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Ciputat :
Lentera Hati, 2006), h.244
55
Faizal Adi Surya, Tinjauan Mediasi Penal dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Islam,
Jurisprudence, Vol.5 No.2 (Septermber) 2015. h. 49
56
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Amzah, 2016), h. 1-10.
57
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h. 30.
58
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah, 2013), h. 5.
38

            

              

             
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu
pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi
ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih.”

Dalam ayat tersebut terdapat makna ‫ ﻋﻔﻲ ﻟﮫ‬yang berarti mendapatkan pemaafan
dari Ahli Waris hendaknya memaafkan dengan cara yang baik yaitu tidak dendam.
Dengan melepas hak Qishash berarti korban lebih memilih memaafkan pelaku dan
hal tersebut merupakan perbuatan mulia sehingga korban akan mendapatkan
pengampunan dosa.59
Menurut Abdul Qodir Audah, Jarimah Qishash terdapat tiga jenis jarimah yaitu
sengaja, tidak sengaja dan semi-sengaja. Ketiga macam jenis pembunuhan tersebut
disepakati oleh para jumhur Ulama, kecuali Imam Malik:60

‫ب ﷲِ إ ﱠِﻻ‬
ِ ‫أَﺳَﺎسُ اْﻟﺨ َِﻼفِ أَنﱠ ﻣَﺎﻟِﻜًﺎ َﻻﯾَ ْﻌﺘَﺮِفُ ﺑِﺎﻟﻘَ ْﺘ ِﻞ ِﺷ ْﺒ ِﮫ ا ْﻟ َﻌ ْﻤ ِﺪ َو ﯾَﺮَى أَﻧﱠﮫُ ﻟَﯿْﺲَ ﻓِﻲْ ِﻛﺘَﺎ‬
‫اْﻟ َﻌ ْﻤ َﺪ َواْﻟﺨَ ﻄَﺎ َء ﻓَﻤَﻦْ َزا َد ﻗِ ْﺴﻤًﺎ ﺛَﺎﻟِﺜًﺎ َزا َد َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺺﱢ‬
Artinya : “Perbedaan pendapat yang mendasar bahwa imam malik tidak mengenal
jenis pembunuhan semi-sengaja, menurutnya, didalam Al-Qur’an tidak ada jenis
pembunuhan kecuali pembunuhan sengaja dan tersalah. Barangsiapa menambahkan
jenis ketiga, berarti ia menambah Nash.”

59
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, h. 67
60
Abdul Qodir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan Bil Qonun Al-Wadh’i, Jilid 2,
h. 30-31
39

Jarimah Qishsash dilakukan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pelaku
kepada korban. Eksekusi Qishash dapat dilakukan oleh keluarga korban maupun oleh
hakim, dengan syarat apabila keluarga korban ialah orang yang tegar, apabila
melaksanakannya melewati batas maka hakim bisa memberikan sanksi ta’zir.
Hukuman ini bisa saja dihapus dengan pemaafan dan kerelaan dari keluarga korban
baik itu dimaafkan dengan denda (Diyat) maupun tanpa denda yang disyaratkan
kepadanya.
Namun jarimah yang bisa dilaksanakan hanyalah perbuatan tersebut memiliki
unsur kesengajaan, sedangkan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan tanpa
sengaja dan semi-sengaja maka tidak diwajibkan Qishash atasnya, namun
mensyaratkan adanya Diyat.61Qishash juga tidak diwajibkan terhadap subjek hukum
dengan status yang berbeda seperti orang merdeka yang membunuh budak, ataupun
muslim membunuh orang kafir.
Diyat merupakan uang tebusan sebagai ganti akibat kasus pembunuhan atau
penganiayaan yang mendapat pemaafan dari keluarga korban dan wajib dibayarkan
oleh pelaku kepada keluarga korban.62 Dalam hal Diyat ini pada prinsipnya dalam
bentuk unta, sedangkan selain itu sebagai alternatif pengganti saja. Dalam Hukum
Pidana Islam Diyat terdapat 2 macam yaitu diyat Mughallazhah (berat) untuk kasus
pembunuhan semi sengaja dan Mukhaffafah (ringan) untuk kasus pembunuhan
tersalah, sedangkan menurut ulama dari kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali untuk
pembunuhan sengaja diberlakukan Diyat Mughallazhah tapi menurut ulama kalangan
Hanafi tidak berlaku Diyat bagi pelaku pembunuhan sengaja.63
Mediasi yang terjadi antara pelaku dan keluarga korban yang memaafkan tindak
pidana pelaku merupakan suatu integrasi. Hal ini ialah bagian dari konsep Mediasi
Penal. Diyat pada Jarimah Qishash memiliki kesamaan dengan prinsip yang dimiliki
oleh Mediasi Penal yaitu sebagai penyelesaian perkara pidana, yang mana disana
61
M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah. h. 37
62
M. Nurul Irfan, Fiqh Jinayah. h. 41
63
Ahmad Muhammad Assaf, Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah fi Madzahib Al-Islamiyah Al-Arba’ah, Jilid
I, h. 553
40

dilaksanakan oleh para pihak yakni pelaku dan keluarga korban dibantu oleh hakim
sebagai perwakilan dari masyarakat dalam menentukan hukuman bagi pelaku
pembunuhan tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan karena Jarimah Qishash
merupakan hak Manusia (keluarga korban) bukan hak Allah (Hudud) maupun hak
penguasa.
Mediasi yang telah berhasil terjadi antara pelaku, keluarga korban dan juga
hakim akan menghasilkan kesepakatan yang biasanya diluar ketentuan Diyat itu
sendiri. Pada prakteknya besaran Diyat bersifat fleksibel dan disesuaikan dengan
kesepakatan pada Mediasi. Hal ini pernah terjadi beberapa tahun lalu pada kasus
Satinah yang awalnya dimintai Diyat sebesar 14 Juta Riyal, lalu berubah menjadi 7
Juta Riyal yang telah dilunasi dengan bantuan donasi dan pemerintah Indonesia.64
Fleksibilitas yang terjadi pada kasus Diyat ini, memberikan celah bagi mediator
untuk membuka dialog atau musyawarah dengan keluarga korban untuk memaafkan
dan menurunkan harga Diyat yang diminta oleh keluarga korban. Menurut Umar Al
Tamimi mediasi yang berlandas pada pemaafan korban dalam Jarimah Diyat juga
dapat dilakukan pada kasus Hudud, namun masih menjadi perdebatan sampai saat ini.
Penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan hukum Islam menjadi sebuah
Counter Critic terhadap Hukum Pidana Modern. Dalam Hukum Pidana modern
keberadaan keluarga korban maupun ahli waris tidak memiliki hak untuk menuntut,
melainkan sudah diwakilkan oleh negara melalui Jaksa. Hal tersebut sangat berbeda
dengan hukum Islam yang membebankan penuntutan kepada keluarga korban,
sehingga menjadikan para pihak menjadi puas dengan hasilnya. 65

64
Viva.co.id dilihat pada hari Minggu tanggal 1Maret 2017
65
Faizal Adi Surya, Tinjauan Mediasi Penal dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Islam,
Jurisprudence, Vol.5 No.2 (Septermber) 2015, h. 50.
BAB III
PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF (RESTORATIVE JUSTICE)
PADA TINDAK PIDANA RINGAN

A. Keadilan Restoratif
1. Pengertian Keadilan
Makna dari kata “Keadilan” yang digunakan dalam bahasa inggris ialah
“Justice” yang mana kata tersebut berasal dari bahasa latin yaitu “Iustitia” memiliki
sejarah pemikiran yang panjang. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), keadilan berasal dari kata “adil” yang berarti sama berat atau sepatutnya
tidak sewenang-wenang, tidak memihak, tidak berat sebelah.1 Kata adil juga
memiliki arti lain yang lebih mendasar yaitu bahwa seuatu keputusan dan tindakan
didasarkan atas norma-norma yang objektif dan tidak subjektif.2 Pada dasarnya
keadilan merupakan suatu konsep yang relatif sehingga tidak memiliki kesamaan
bagi setiap orang untuk mengatakan suatu hal tersebut menjadi adil.
Menurut John Rawls konsepsi keadilan merupakan kebajikan utama dalam
institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Keadilan pun
memiliki peran berupa menunjukan hak-hak dan kewajiban dasar serta menentukan
pemetaan yang layak, hal tersebut dapat berdampak pada permasalahan-
permasalahan dari sisi efisiensi, koordinasi dan stabilitas. Keadilan juga memiliki
subjek utama yaitu struktur dasar masyarakat.3
Di Indoensia keadilan tertuang pada pancasila yaitu pada sila ke-lima. Nilai sila
ke-lima ini dijiwai oleh keempat sila yang lain. Pada sila ke-lima terdapat nilai-nilai
keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan bermasyarakat, karena dengan

1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta : Pusat
Bahasa, 2008), h. 12.
2
Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan : Sebuah Kajian Filsafat Hukum (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2012), h. 85
3
John Rawls, A Theory of Justice : Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Penerjemah :Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), h.5-7
41
42

mewujudkan nilai-nilai tersebut dapat pula terwujud tujuan negara yaitu mewujudkan
kesejahteraan seluruh warganya, seluruh wilayahnya, dan mencerdaskan seluruh
warganya.4 Kita sebagai warga negara Indonesia sepakat bahwasanya hukum dan
keadilan yang berlaku di negara ini, wajib berdasarkan hukum dan keadilan yang
berfilsafat Pancasila. Pancasila sebagai filsafat, tidak mengabaikan rumusan tentang
hukum dan keadilan. 5
Dalam konsepsi Islam, adil berasal dari bahasa arab yaitu ‘adl yang merupakan
kata benda dari asal kata ‘adala yang memiliki beberapa arti. Pertama, berarti
meluruskan atau jujur atau mengubah. Kedua, berarti menjauh atau meninggalkan
dari suatu jalan yang salah ke jalan yang benar. Ketiga, berarti menjadi sama atau
sesuai atau menyamakan. Keempat berarti membuat seimbang.6
Keadilan juga merupakan suatu perilaku adil yang mana menempatkan segala
sesuatu pada tempatnya atau sesuai dengan porsinya. Adil tidak harus merata berlaku
bagi semua orang namun sifatnya sangat subjektif, segala yang sudah menjadi
ketentuan Allah pastilah adil, karena itu Allah memerintahkan kepada umat manusia
untuk berbuat adil, karena adil lebih dekat dengan ketakwaan. 7
2. Macam-macam Keadilan
Menurut Yoachim Tridiatno dalam bukunya “Keadilan Restoratif” terdapat
beberapa keadilan yang ada di masyarakat, yaitu sebagai berikut ;
a. Keadilan Atributif
Keadaan dimana seseorang mendapatkan apa saja yang melekat pada dirinya
sebagai atributnya, termasuk atributnya sebagai manusia. Setiap orang yang lahir ke
dunia mempunyai hak baik itu hak atas pribadi, hak atas nama baik serta kehormatan.
Akan hilang sebuah keadilan apabila hak-hak tersebut tidak melekat pada diri
seseorang, serta apabila seseorang melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
martabat manusia.

4
Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan, h. 87.
5
Bismar Siregar, Rasa Keadilan (Surabaya : PT. Bima Ilmu Offset, 1996), Hal. 4.
6
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam (Jakarta : Asy Syamil, 2001), h. 83.
7
Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan, h. 87-88
43

Selain atribut yang dimaksud pada poin diatas, terdapat juga atribut-atribut yang
melekat pada seseorang karena profesi atau pekerjaannya. Misalnya seseorang
berprofesi sebagai Hakim, Jaksa maupun Polisi. Dari profesi tersebut seseorang
berhak atas Upah, Kompensasi, Fasilitas hingga Penghargaan. Besar maupun kecil
dari hak tersebut bergantung kepada masa kerja, pengalaman, pendidikan dan lain-
lain.8
b. Keadilan Komutatif
Keadilan komutatif menggambarkan bahwa tukar menukar barang dan jasa harus
mengikuti prinsip kesetaraan nilai dari barang dan jasa yang ditukar. Sehingga
prinsip yang digunakan pada keadilan komutatif mengatur tatacara memberikan
bayaran yang adil bagi para pekerja (jasa) dan menentukan harga barang.
Pemberian bayaran yang adil pada bidang jasa diukur dari aspek keterampilan.
Keterampilan dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu pengalaman kerja dan jenjang
pendidikannya. Semakin seseorang memiliki jam terbang pengalaman kerja yang
banyak maka keterampilannya semakin tinggi sehingga pantas untuk dibayar mahal,
sedangkan jenjang pendidikan menjadi faktor standar kompetensi seseorang dalam
mengerjakan pekerjaan tertentu.
Penetapan harga dari suatu barang dapat dikatakan adil apabila harga yang
diberikan sesuai dengan nilai dari barang tersebut. nilai yang dimaksud dilihat dari
segi kegunaan, manfaat, keindahan, dan persediaan barang. 9
c. Keadilan Distributif
Keadilan distributif menggambarkan sesuatu dapat dikatakan adil apabila
keuntungan (hak) dan Beban (Kewajiban) dari suatu organisasi maupun kelompok
sosial dibagi secara proporsional. Dengan diberikan hak dan kewajibannya maka
akan terciptannya kestabilan. Pada keadilan ini lebih memusatkan pada pemimpin
untuk menditribusikan beban dan keuntungan kepada rakyatnya.

8
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif (Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka), h. 10-11
9
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif, h. 11-12
44

Dalam konteks pemerintahan, pemerintah dari suatu negara harus memberikan


beban dan keuntungan kepada seluruh rakyatnya. Pemerintah harus berani
memberikan perintah kepada rakyat untuk mengerjakan hal-hal yang menjadi beban
negara, sebaliknya pemerintah juga harus berani memberikan keuntungan yang
diperoleh negara kepada rakyat baik itu berupa subsidi maupun penyediaan fasilitas-
fasilitas bagi seluruh masyarakat.10
d. Keadilan Kontributif
Keadilan Kontributif mengharuskan kepada anggota kelompok atau anggota
komunitas ataupun rakyat untuk memberikan kontribusi atau sumbangan bagi
organiasasi komunitas sampai negara. Besaran kontribusi disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing anggota. Keadilan kontributif ini menuntut setiap
anggota untuk peduli akan kesejahteraan bersama.
Kontributif memiliki kemiripan antara satu dengan Keadilan Distributif yang
sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. pada Keadilan Distributif memberikan
tuntutan kepada pihak yang memiliki wewenang untuk memerintah dan mengatur
baik kelompok atau negara, sedangkan pada Keadilan Kontributif memberikan
tuntutan kepada anggota kelompok ataupun rakyat.11
e. Keadilan Sosial
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang
kehidupan baik materil maupun spiritual, yaitu yang menyangkut keadilan dibidang
hukum, ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan. Selain arti tersebut, keadilan sosial
juga mencakup pengertian adil dan makmur yang menjadi tujuan dari negara
Indonesia.12
f. Keadilan Retributif
Keadilan retributif atau biasa disebut dengan keadilan punitif merupakan
keadaan dimana pihak-pihak yang melanggar martabat manusia dan tatanan hidup

10
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif, h. 12-13
11
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif, h. 13-14
12
Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan, h. 86.
45

bersama dalam suatu negara harus membayar hutang atau memberi retribusi dengan
mendapatkan hukuman atas pelanggaran mereka. 13
Konsep hukuman sebagai retribusi atau pelanggaran hukum sedikit banyaknya
dilatarbelakangi oleh konsep tentang suatu dosa. Jika seseorang berdosa maka ia
telah melanggar tatanan moral masyarakat, dan tidak lain adalah tatanan ilahi. Jika
seseorang melanggar hal tersebut maka ia dimasukkan kedalam tempat pencucian
(Purgatory) agar membersihkan diri dari segala dosa dan kesalahannya. Setelah
selesai menjalani proses Purification, dia akan dikembalikan ke dalam masyarakat.14
Negara sebagai penjamin keamanan masyarakat memiliki hak untuk menentukan
besaran hukuman yang harus ditanggung oleh pelaku. Besaran retribusi atau
hukuman tersebut ditentukan selaras dengan besar kecilnya pelanggaran yang
dilakukan. Penentuan bentuk hukuman bagi pelaku dilaksanakan oleh lembaga
peradilan yang mewakili kepentingan masyarakat atau negara. 15
g. Keadilan Restoratif
Dalam bukunya Eva Achjani Zulfa menerangkan bahwa Restorative Justice atau
yang lebih dikenal dengan keadilan restoratif diartikan sebagai suatu model
pendekatan yang muncul sejak era tahun 1960-an dalam penyelesaian perkara
pidana. Model pendekatan ini cenderung pada partisipasi langsung dari
korban/keluarga korban, pelaku dan juga masyarakat dalam menyelesaikan
perkaranya. Pendekatan secara Restorative Justice ini memiliki perbedaan yang
menonjol dibandingkan dengan pendekatan penyelesaian perkara yang dipakai oleh
Sistem Peradilan Pidana Indonesia pada saat ini.16
Menurut Tony F. Mashall Restorative Justice adalah :

13
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif, h. 16.
14
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif, h. 17.
15
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif , h. 16-17
16
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif ( Jakarta : Badan Penerbit FH UI, 2009), h. 2
46

“keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat
dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan bagaimana
menangani akibat di masa yang akan datang.”17

Sedangkan John Braithwaite memberikan pengertian tentang keadilan restoratif


yaitu pemulihan korban, pemulihan korban yang dimaksud tersebut mencakup
Restore Property Lose (perbaikan hak milik yang rusak), Restore Injury (perbaikan
cidera fisik), Restore Sense Of Security (perbaikan rasa aman), Restore Dignity
(perbaikan martabat), Restore Sense Of Empowerment (perbaikan rasa
pemberdayaan), Restore Deliberative Democracy (perbaikan rasa guyub/demokrasi),
Restore Harmony Based On A Feeling That Justice Has Been Done (perbaikan
kerukunan sesuai dengan hukum yang sudah berjalan), Restore Social Support
(perbaikan dukungan sosial).
Keadilan Restoratif juga merupakan bentuk keadilan yang berpusat pada
kebutuhan korban, pelaku kejahatan dan masyarakat. Keadilan restoratif ini bertolak
belakang dengan keadilan retributif yang menekankan hukuman kepada pelaku
namun untuk kebutuhan korban tidak diprioritaskan, sehingga keadilan restoratif
hadir untuk memberikan hak korban, yang mana korbanlah yang pertama kali
menderita akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. 18
Selain mengutamakan pemulihan terhadap korban, John Braithwaite juga
memperkenalkan ide tentang rasa malu yang memadukan (Reintegrative Shaming).
Dia mengusulkan agar kejahatan ditanggapi secara menyeluruh bukan dengan
memberi stigma. Dia menyatakan bahwa kontrol sosial yang mendatangkan rasa
malu dapat memberikan akibat positif bagi pelaku kejahatan. 19

17
Restorative Justice in new Zealand : A model for U.S Criminal Justice, (Wellington : Ian
Axford fellowship, 2001), h. 5
18
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif. (Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2015), h.
27
19
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restortif, h. 33.
47

Menurut Howard Zehr, keadilan restoratif dibagi menjadi dua, yaitu Restitutive
Justice (criminal justice) dan Restorative Justice. Kedua macam keadilan restoratif
tersebut memiliki beberapa perbedaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut ini20:
Restitutive Justice memandang bahwa kejahatan merupakan suatu pelanggaran
terhadap hukum dan negara, pelanggaran menciptakan kesalahan, keadilan
membutuhkan pernyataan yang menentukan kesalahan pelaku dan menjatuhkan
pidana terhadap pelakunya, fokus sentral: pelanggar mendapatkan hal yang setimpal
dengan pelanggarannya. Sedangkan Restorative justice memandang bahwa kejahatan
adalah pelanggaran terhadap rakyat dan hubungan antar warga masyarakat,
pelanggaran menciptakan kewajiban, keadilan mencakup para korban, para
pelanggar dan anggota masyarakat didalam suatu upaya untuk melakukan segala
sesuatunya secara benar, fokus sentralnya: para korban membutuhkan pemulihan
kerugian yang dideritanya (baik secara fisik, psikologis maupun materi) dan pelaku
bertaggungjawab untuk memulihkannya (biasanya dengan pengakuan bersalah dari
pelaku dan pemberian kompensasi ataupun restitusi).21

3. Konsep Keadilan dalam Tindak Pidana di Indonesia


Pada saat ini Penyelesaian perkara pidana yang telah dilakukan oleh Sistem
Peradilan Pidana Indonesia lebih menggunakan pendekatan represif, yaitu
menggunakan pendekatan keadilan retributif (menggunakan pemidanaan dan
penjara). Pada perkembangannya pada saat ini banyak tindak pidana yang
diselesaikan secara kekeluargaan maupun diskresi dari aparat penegak hukum.
Diskresi ini dilakukan sebagai bentuk penyelesaian perkara secara Restoratif atau
biasa disebut dengan Restorative Justice yang memberikan posisi yang sama kepada
para pihak sehingga mendapat keuntungan.22

20
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence),
(Jakarta, Kencana, 2009), h.249-250
21
Ridho Rokamah, Jurnal Justitia Islamica, Vol. 10/No.2/Juli-Desember 2013, h.269
22
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan. (Bandung : Lubuk Agung, 2011), h.
64
48

Dalam konsep Restoratif yang lebih mengutamakan penyembuhan kepada


korban atau ganti rugi, terkandung juga beberapa konsep lain yang serupa dan
memiiliki tujuan yang sama seperti Rehabilitasi, Rekonsiliasi, Reparasi, Restitusi dan
Kompensasi dalam penyelesaian perkara pidana. Di negara-negara yang sistem
hukum dan peradilannya belum dapat berjalan dengan baik, praktik keadilan
restoratif semestinya lebih tepat untuk diterapkan dari pada menggunakan
pendekatan keadilan retributif. Keadilan restoratif dapat menjamin kesejahteraan
sosial, karena ia berakhir dengan perdamaian dan rekonsiliasi, bukannya hukuman
dan balas dendam. Proses peradilan yang tidak dapat memutuskan hukum secara adil
justru akan menyulut kebencian diantara korban dan pelaku, bahkan ia dapat
merangsang timbulnya pembalasan yang brutal. Keadilan restoratif juga akan
menghilangkan arogansi orang-orang kaya dan memiliki kekuasaan. Selain itu
keadilan restoratif juga akan melatih dan mengajarkan orang-orang untuk mudah
memaafkan.23
Pada keadilan restoratif, tidak mementingkan hukuman yang harus dijalani oleh
pelaku kejahatan, tetapi keadilan restoratif lebih kepada kompensasi yang harus
dibayar untuk memulihkan kerusakan dan kerugian yang dialami oleh korban dan
masyarakat. Di dalam menentukan besaran kompensasi ini juga dilakukan
pembicaraan dengan bersama korban dan masyarakat, sehingga berapapun besaran
hukuman yang dijalani oleh pelaku tidak akan menyembuhkan luka-luka korban dan
kerusakan masyarakat. Namun, dengan adanya kompensasi yang dirundingkan
bersama yang terdiri dari pelaku, korban dan masyarakat akan memulihkan dan
mendamaikan semua pihak.24
Keadilan Restoratif yang merupakan kebalikan dari keadilan Retributif
sebagaimana yang sudah dipaparkan oleh penulis di atas, maka terdapat beberapa
perbedaan yang mencolok diantara keadilan Restoratif dan Keadilan Retributif.
Diantaranya ialah sebagai berikut :

23
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restortif, h. 51-52.
24
Yoachim Agus Tridiatno Keadilan Restortif, h. 41-42
49

Pertama, adanya pertemuan antara korban dan keluarga, pelaku tindak kejahatan,
dan fasilitator perwakilan masyarakat. Pada pertemuan ini diharapkan korban dan
masyarakat dapat berbicara mengenai apa yang menjadi keadaan dan penderitaan
yang korban rasakan sehingga pelaku dapat mengetahui apa yang menjadi faktor
pemulihan korban dan masyarakat. Pelaku yang sudah mengetahui hal tersebut
diharapkan untuk dapat meminta maaf dengan tidak mengulangi perbuatannya
kembali, dan bisa mengembalikan keadaan dan menghilangkan penderitaan korban
dan masyarakat.
Kedua, dalam keadilan restoratif pelaku tidak diharuskan membayar (retribusi)
atas tindak kejahatan dalam bentuk hukuman dan menderita sakit, melainkan
diwajibkan melakukan perubahan diri dengan melakukan tindakan yang positif demi
kepentingan korban, dirinya dan masyarakat. Demi pemulihan relasi antara para
pihak, akan lebih baik bila pelaku kejahatan bersedia untuk meminta maaf dan
korban beserta masyarakat memberikan maaf kepada pelaku.
Ketiga, keputusan-keputusan yang berkaitan dengan cara pelaku kejahatan
memberikan pertanggungjawaban atau kompensasi dan restitusi ditentukan bersama
dalam pertemuan antara pelaku dengan korban bersama dengan keluarga dan
mediator. Hal ini membuktikan bahwa ada dialog antara banyak pihak untuk
mencapai kesepakatan tentang bentuk pertanggungjawaban pelaku. Dalm hal ini
terjadinya perbaikan relasi atau hubungan dengan banyak pihak.
4. Prinsip-Prinsip Dasar Restorative Justice
Prinsip-prinsip dasar dalam keadilan restoratif ialah pertama, keadilan restoratif
mengutamakan pemulihan atau restorasi bagi semua pihak yang terkena dampak dari
tindak kejahatan. Kedua, berkaitan dengan cita-cita pemulihan (restorasi), keadilan
restoratif berfokus pada kebutuhan tiga pihak yaitu korban, pelaku dan masyarakat
yang tidak dipenuhi oleh proses peradilan. Ketiga, keadilan restoratif memperhatikan
kewajiban dan tanggung jawab yang muncul oleh karena tindak kejahatan. 25

25
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restortif, h. 34-37
50

PBB menuturkan beberapa prinsip yang mendasari konsep keadilan restoratif ini
yaitu sebagai berikut26 :
a. That the response to crime should repair as much as possible the harm
suffered by the victim;
Pada prinsip ini penanganan kerugian atas tindak pidana harus dilakukan
semaksimal mungkin. Hal inilah yang menjadi salah satu tujuan utama dari
keadilan restoratif. Dengan memaksimalkan kerugian dari tindak pidana,
korban memiliki akses untuk berperan dalam penyelesaian perkara pidana.
b. That offender should be brought to understand that their behaviour is not
acceptable and that it had some real consequences for the victim and
community.
Pendekatan keadilan restoratif ini dapat dilakukan jika pelaku menyadari
bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang salah dan
merugikan orang lain dan masyarakat. Dengan kesadaran yang timbul dari
pelaku, akan menimbulkan rasa kesukarelaan dari pelaku. Sukarela yang
keluar dari pelaku merupakan arti bahwa pelaku telah berintrospeksi diri
untuk bertanggungjawab atas perbuatannya.
c. That offenders can and should accept responsibility for their action
Pada prinsip ini pelaku harus bisa menerima atas perbuatannya, pelaku
dituntut untuk rela bertanggungjawab atas akibat yang timbul dari tindak
pidana yang dilakukannya. Kesadaran dari pelaku merupakan salah satu
bentuk tujuan dari keadilan restoratif.
d. That victims should have an opportunity to express their needs and
participate in determining the best way for the offender to make reparation
Prinsip pada poin ini masih memiliki kaitan dengan prinsip pertama, pada
prinsip ini korban diberikan kesempatan untuk mengekspresikan

26
Handbook on restorative justice programme, New York: United Nation, 2006, Hal.8
51

pendapatnya tentang kebutuhannya dan berpartisipasi dalam menentukan


cara yang terbaik untuk pelaku dalam memperbaiki kerugian korban.
e. That the common has a responsibility to contribute to this process
Dalam peristiwa pidana, Masyarakat juga memiliki tanggungjawab untuk
berkontribusi dalam proses restoratif ini.

B. Gambaran Umum Tentang Tindak Pidana Ringan di Indonesia


1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit atau dalam kepustakaan dikenal dengan
istilah Delik. Tindak pidana merupakan sebuah arti dasar untuk memberikan ciri
tertentu pada peristiwa hukum pidana, hal ini dikarenakan tindak pidana memiliki
pengertian yang abstrak dari peristiwa konkrit dalam lapangan perkara pidana. 27
Para pakar asing menggunakan istilah tindak pidana atau perbuatan pidana
ataupun peristiwa pidana dengan istilah :
a. STRAFBAARFEIT : Peristiwa Pidana
b. STRAFBARE HANDLUNG : perbuatan pidana (digunakan oleh para
sarjana hukum Jerman)
c. CRIMINAL ACT : perbuatan kriminal
Sedangkan dalam bahasa Belanda yang menjadi asal dari KUHP Indonesia
mengartikan tindak pidana dengan Strafbaarfeit yang terdiri atas tiga suku kata yaitu:
a. Straf yang berarti Pidana atau Hukum
b. Baar yang berarti dapat dan boleh
c. Feit yang berarti tindak atau peristiwa atau pelanggaran dan perbuatan.

27
Amir Ilyas, Asas-asas Hukum PIdana : memahami tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana sebagai syarat pemidanaan. (Yogyakarta : Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP
Indonesia, 2012), h. 18.
52

Menurut Andi Hamzah dalam bukunya Asas-asas hukum pidana memberikan


definisi tentang Delik (Tindak Pidana) yaitu suatu perbuatan atau tindakan yang
telarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).28
Sedangkan menurut Moeljanto memberikan definisi tentang Strafbaarfeit yaitu
kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang. Lalu Jonkers
memberikan definisi lain tentang Strafbaarfeit berupa “peristiwa pidana yang
diartikan sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum (Wederrechttelijk) yang
berhubungan dengan kesenjangan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang
dapat dipertanggung jawabkan”. 29
Selain pendapat dari para pakar di atas, ada juga pendapat Pompe dan Simons
juga turut memberikan definisi tentang tindak pidana. Menurut Pompe “Strafbaarfeit
suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang sengaja ataupun
dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku dimana penjatuhan
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.
Sedangkan Simons “Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan
sengaja oleh seorang yang dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”. 30

2. Kategorisasi Tindak Pidana


Dalam membahas hukum pidana, kita pasti akan menemukan berbagai macam
tindak pidana yang terjadi di masyarakat. Menurut KUHP Secara teoritis, Delik
ataupun tindak pidana dapat dikategorisasi kedalam beberapa tindak pidana. Secara
kualitatif tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu Kejahatan
(Misdrijven) dan Pelanggaran (Overtredingen).31

28
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta : Rieneka Cipta, 1994), Cet.1 h. 72.
29
Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana. Bagian 1: stelsel pidana, teori-teori pemidanaan&
batas berlakunya hukum pidana. (Jakarta ; PT. Raja Grafindo, 2002), h. 72.
30
Lamintang P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung : Citra Aditya Bakti,
1997), h. 34-35.
31
Wirjono Prodjodikro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung, PT. Refika Aditama,
2003), h.32
53

Hukum pidana yang hakikatnya merupakan sebuah alat untuk mencapai sebuah
tujuan, dalam hal mengidentifikasi tujuan tersebut maka terfokuslah kepada dua
sasaran pokok yakni perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu
pelaku tindak pidana dan muncul faktor objektif dan faktor subjektif. Selain itu,
dalam hal pemidanaan berdasar dari dua pilar yang fundamental yaitu asas legalitas
dan asas culpabilitas.32
Asas Legalitas yang dalam istilah Belanda dikenal dengan Nullum Delictum,
Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali, yang berarti tiada delik, tiada seorangpun
dapat dipidana tanpa undang-undang yang mengancam pidana terlebih dahulu (Pasal
1 KUHP).33Di negara lain yang juga menggunakan sistem hukum Common Law
menggunakan asas ini dengan nama principle of legality. Asas ini merupakan asas
yang penting dalam hukum pidana karena asas ini menjadi dasar pemikiran atau
latarbelakang dari terbentuknya suatu hukum.34
Sedangkan Asas Culpabilitas merupakan sebutan lain dari terhadap asas tiada
hukuman tanpa kesalahan. Pada hal ini, asas culpabilitas berpondasi kepada
pembuktian kesalahan baik itu kesengajaan maupun kealpaan, dengan kata lain
seseorang tidak dapat dihukum apabila kesalahannya tidak terbukti. Kata “Culpa”
diartikan sebagai kesalahan pada umumnya, tapi kesalahan pelaku dalam konteks ini
tidak dapat dikatakan sama dengan kesengajaan, karena faktor ketidak hati-hatianlah
yang dinilai atau dapat diartikan tidak seberat dengan sifat kesengajaan. 35
Kejahatan yang kita ketahui merupakan perbuatan ataupun tindakan yang
bertentangan dengan keadilan, baik itu yang diatur dalam Undang-undang maupun
tidak diatur dalam Undang-undang. Sekalipun perbuatan tersebut tidak dirumuskan

32
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 101.
33
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2012), h. 90.
34
Dengan adanya asas legalitas, bukan sekedar menjadi rumusan belaka melainkan asas ini
terlahir dari pengalaman buruk warga masayrakat khususnya di eropa (lahirnya asas legalitas) pada
beberapa abad terdahulu dan juga untuk menghindari dari penguasa yang memutus perkara pidana
secara bebas ttanpa terkait dengan aturan yang ada
35
Wirjono Prodjodikro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung, PT. Refika Aditama,
2003), h.72
54

dalam suatu Undang-undang, perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai


Mala In Se36 yaitu perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. 37Sedangkan
Pelanggaran merupakan perbuatan atau tindakan yang bersifat melawan hukum yang
dapat diketahui setelah ada aturan atau Undang-undang yang menentukan demikian.
Seiring dengan berjalannya perkembangan di dunia hukum, perbedaan kualitatif
antara kejahatan dan pelanggaran sudah banyak ditinggalkan, lalu diganti dengan
hanya ada satu perbedaan yaitu secara kuantitatif yang diukur berdasarkan berat atau
ringan ancaman pidananya.38 Hal ini menunjukan perbedaan yang saat ini dikenal
antara tindak pidana biasa dan tindak pidana ringan (tipiring) yang akan penulis
paparkan lebih dalam penelitian ini.

3. Tindak Pidana Ringan


Tindak pidana ringan (Lichte Misdrijven) merupakan tindak pidana yang
berakibat kecil dari perbuatan yang telah dilakukan. Dalam KUHP perbuatan ini
dikatakan sebagai tindak pidana ringan karena mengakibatkan kerugian yang tidak
lebih dari Rp.25, selain itu perbuatannya hanya diancam dengan hukuman paling
berat selama 3 bulan.39
Penggunaan tindak pidana ringan menurut Utrecht berhubungan dengan
kompetensi pengadilan. Dalam bukunya ia menyatakan, bahwa pada tahun 1918
hanya di 6 kota didirikan suatu road van justitie yang menjadi pengadilan sehari-hari
bagi orang Eropa dan oleh sebab dianggap lebih efisien kalau orang Eropa. Penduduk
suatu kota kecil yang letaknya jauh dari suatu kota besar, yang melakukan suatu
kejahatan yang dianggap ringan saja tidak dipaksa pergi ke salah satu di antar 6 kota
besar itu untuk mendapat perkaranya diadili, maka pengadilan kejahatan enteng

36
Mala In Se merupakan Istilah yang digunakan untuk mendefinisikan perbuatan jahat karena
sifatnya yang memang jahat.
37
Ibid.
38
Ibid, h. 72
39
Wirjono Prodjodikro, Asas-asas hukum pidana di Indonesia (Bandung, PT. Refika Aditama,
2003), h.35
55

tersebut diserahkan kepada Landgerecht yang mulai tahun 1917 didirikan di kota-
kota yang tidak kecil (misalnya di tiap-tiap ibu kota kabupaten).40
Berdasarkan Undang-undang no. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Tindak pidana ringan memiliki acara pemeriksaan sendiri. Peraturan tersebut
mengatur beberapa bentuk pemeriksaan acara pidana yaitu acara pemeriksaan biasa
(diatur dalam bagian ketiga Bab XVI), acara pemeriksaan singkat (diatur dalam
bagian kelima Bab XVI), acara pemeriksaan cepat dan acara pemeriksaan
pelanggaran lalu lintas (diatur dalam bagian keenam Bab XVI). 41
Pada pemeriksaan biasa, proses persidangan dilakukan sebagaimana diatur
dalam undang-undang yang dihadiri oleh hakim, penuntut umum, dan terdakwa.
Dilanjutkan dengan pembacaan dakwaan, pembuktian alat bukti hingga pembacaan
tuntutan yang berakhir pada putusan majelis hakim. Secara gambaran umum, tindak
pidana yang diancam dengan hukuman 5 tahun ke atas dan memerlukan ketelitian
dilakukan oleh pemeriksaan biasa. Sedangkan untuk perkara yang dinilai
pembuktiannya mudah atau hukumannya relatif lebih rendah dari 5 tahun diperiksa
dengan pemeriksaan singkat.
Berkenaan dengan tindak pidana ringan, Pasal 205 ayat (1) KUHAP
menjelaskan tentang tindak pidana ringan sebagi berikut :
“yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan adalah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan
atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan
kecuali yang ditentukan dalam paragraf bagian 2 ini”.
Dari pasal tersebut dapat menggambarkan bahwa KUHAP hanya melanjutkan
pembagian perkara yang sudah dikenal sebelumnya dalam HIR. Hal ini juga tampak

40
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Pidana I (Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1958), h.80
41
Undang-undang no. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Pada Undang-undang ini
dijelaskan pembagian acara pemeriksaan baik itu biasa, cepat maupun singkat berikut dengan pasal-
pasal yang dapat digunakan oleh masing-masing acara pemeriksaan.
56

pada penempatan tindak pidana ringan yang masuk ke dalam acara pemeriksaan
cepat.42
Tindak pidana ringan di lain sisi dapat di artikan sebagai tindak pidana yang
bersifat ringan dan tidak berbahaya. Hal tersebut dapat dilihat pada sistematika
KUHAP yang membedakan tindak pidana menjadi 2 hal, yakni kejahatan
(Misdrijven) dan pelanggaran (Overtredingen). namun pada KUHAP pada nyatanya
terdapat tindak pidana kejahatan yang dikelompokan sebagai tindak pidana ringan
(Lichtemisdrijven). Adapun pasal-pasal yang termasuk pada tindak pidana ringan
ialah sebagai berikut :43
a. Penganiayaan hewan ringan (pasal 302 ayat (1) KUHP)
b. Penganiayaan ringan (pasal 352 ayat (1) KUHP)
c. Penghinaan ringan (pasal 315 KUHP)
d. Pencurian ringan (pasal 364 KUHP)
e. Penggelapan ringan (pasal 373 KUHP)
f. Penipuan ringan (pasal 379 KUHP)
g. Perusakan ringan (pasal 407 ayat (1) KUHP)
h. Penadahan ringan (pasal 482 KUHP)
Penerapan pasal-pasal biasa pada perkara yang memiliki objek barang atau
kerugian yang tidak terlalu besar tentunya menambah beban pengadilan dengan
menumpuknya perkara sehingga penanganan sebuah kasus menjadi berlarut. Bahkan
pada hasilnya tak jarang yang berujung pada hukuman penjara bagi pelaku tindak
pidana ringan ini. Misalnya saja pada kasus nenek Minah yang mencuri tiga kakao
pada tahun 2009, ataupun pencurian sandal jepit yang banyak terjadi.
Untuk mengatasi kesenjangan pada perkara-perkara ringan, maka Mahkamah
Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.2 tahun 2012
tentang penyesuaian tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP. Dalam

42
Tolib Effendi, Praktik Peradilan Pidana : kemahiran beracara pidana pada pengadilan
tingkat pertama (Malang : Setara Press, 2016), h. 12.
43
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya
lengkap pasal demi pasal (Bogor : 1995). Hal. 24.
57

PERMA tersebut diatur pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 yang pada mulanya
bernilai Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah). Adapun pengecualian pada pasal 303 ayat (1) dan (2) dengan
nilai dilipat gandakan menjadi 1000 kali lipat.44

a. Pengertian Pencurian Ringan


“Pencurian ringan diatur menurut KUHP diatur pada pasal 364 KUHP yaitu
perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitupun
perbuatan yang diterangkan pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam
sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang
yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam karena pencurian
ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling
banyak Sembilan ratus rupiah”.45
Tindak pidana pencurian merupakan hal yang paling umum dan tercatat di dalam
semua KUHP di dunia. Tindak pidana ini juga dapat dikatakan sebagai delik netral
yang diatur oleh semua negara, bahkan sudah berlangsung dari zaman Nabi Adam
sampai sekarang ini. Dengan adanya PERMA No.2 tahun 2012 tentang penyesuaian
batasan tindak pidana ringan, mengubah nilai barang pada pasal 364 diatas dengan
10.000 kali lipat menjadi 2,5 juta rupiah.46
Menurut Koster Hanke, tidak dapat dikatakan mencuri jika hanya melakukan
tindakan mengambil saja, melainkan harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain. Selain itu harus dengan maksud atau niat untuk memilikinya yang mana
hal tersebut bertentangan dengan hak milik orang yang dicuri tersebut. berbeda
halnya dengan pendapat Cleiren yang berpendapat bahwa pencurian merupakan delik
dengan berbuat, Sedangkan bagaimana caranya barang bukanlah syarat mutlak dalam

44
Lihat PERMA No.2 tahun 2012 tentang penyesuaian tindak pidana ringan dan jumlah denda
dalam KUHP
45
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP (Jakarta, Rineka Cipta, 2012), h. 141.
46
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP (Jakarta : Sinar
Grafika, 2011), h.106
58

dakwaan. Waktu dan tempat dalam hal tertentu hanya dapat dikenakan pemberatan
yaitu pada waktu malam hari atau di tempat yang tertutup.47

b. Pengertian Penggelapan Ringan


“Penggelapan ringan diatur menurut KUHP diatur pada pasal 373 KUHP yaitu
perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372, apabila yang digelapkan bukan ternak
dan harganya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam sebagai
penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda
paling banyak Sembilan ratus rupiah”.
Delik penggelapan merupakan delik yang memiliki kemiripan dengan delik
pencurian. Menurut Cleiren inti dari tindak pidana penggelapan ialah
penyalahgunaan kepercayaan, selalu berkenaan dengan hal melawan hukum dengan
memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada orang tersebut.
Secara garis besar perbedaaan penggelapan dengan pencurian ialah terletak
posisi barang. Jika pencurian memiliki dengan mengambil barang yang belum ada
pada dirinya, sedangkan penggelapan ialah memiliki barang yang sudah ada didalam
kekuasaannya.48

c. Pengertian Penipuan Ringan


“Penipuan ringan diatur menurut KUHP diatur pada pasal 379 KUHP yaitu
perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378, jika barang yang diserahkan itu bukan
ternak dan harga barang, hutang atau piutang itu tidak lebih dari dua ratus lima
puluh rupiah diancam sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah”.
Delik penipuan ini biasa disebut dengan flesschen trekkerij yaitu membeli
barang-barang kadang-kadang dengan bon (hutang) tanpa mau membayar. Dalam

47
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP (Jakarta : Sinar
Grafika, 2011), h.100-102
48
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP, h. 107-108.
59

sejarahnya pasal ini dimasukan kedalam Ned. W.v.S. (KUHP Belanda) pada tanggal
12 mei 1928 untuk memberantas tindak pidana itu. Lalu dimasukan kedalam W.v.S
voor Ned.Indie (KUHP) tahun 1930 dengan staatsblad 1930 No.19.49

d. Pengertian Pengerusakan Ringan


“Penadahan ringan diatur menurut KUHP diatur pada pasal 407 KUHP yaitu
(1) perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 406, jika harga kerugian
tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah diancam dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau pidana paling banyak sembilan ratus rupiah. (2) jika perbuatan
yang dirumuskan dalam pasal 406 (2) itu dilakukan dengan memasukan bahan-
bahan yang merusakkan nyawa atau kesehatan, atau jika hewan itu termasuk dalam
pasal 101, maka ketentuan ayat (1) tidak berlaku.”
Menurut R. Soesilo untuk dapat dipidana berdasarkan pasal ini, maka yang harus
dibuktikan adalah :
1) bahwa terdakwa telah membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak
dapat dipakai lagi, atau menghilangkan suatu barang;
2) bahwa pembinasaan dan sebagainya itu harus dilakukan dengan sengaja dan
dengan melawan hak;
3) bahwa barang itu harus sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain.
Jika kita lihat dari pasal tersebut dan merujuk kepada PERMA No.2 tahun
2012, maka selama barang yang dirusak tersebut bernilai tidak lebih dari
Rp.2.500.000, maka perbuatan tersebut dapat dikenakan pasal 407 ayat (1) KUHP. 50

e. Pengertian Penadahan Ringan


“Pengerusakan ringan diatur menurut KUHP diatur pada pasal 482 KUHP
yaitu perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 480, diancam karena

49
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP, h. 114
50
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia 1991), h. 31.
60

penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah, jika kejahatan dari mana benda tersebut
diperoleh adalah salah satu dari kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 364, 373,
dan 379.”
Terkait pasal di atas, R. Soesilo menjelaskan dalam bukunya berjudul Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal mengatakan bahwa:
1) yang dinamakan “sekongkol” atau biasa disebut pula “tadah” itu sebenarnya
hanya perbuatan yang disebutkan pada sub 1 dari pasal ini.
2) Perbuatan yang tersebut pada sub 1 dibagi atas dua bagian:
a) membeli, menyewa, dsb (tidak perlu dengan maksud hendak mendapat
untung) barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh
karena kejahatan
b) menjual, menukarkan, menggadaikan, dsb dengan maksud hendak
mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut disangkanya
diperoleh karena kejahatan
3) Elemen penting pasal ini adalah terdakwa harus mengetahui atau patut dapat
menyangka bahwa barang itu asal dari kejahatan. Di sini terdakwa tidak
perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian,
penggelapan, penipuan, pemerasan, uang palsu atau lain-lain), akan tetapi
sudah cukup apabila ia patut dapat menyangka (mengira,
mencurigai) bahwa barang itu bukan barang “terang”.
Untuk membuktikan elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam
prakteknya biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang
itu, misalnya dibeli dengan di bawah harga, dibeli pada waktu malam secara
bersembunyi yang menurut ukuran di tempat itu memang mencurigakan.
4) Barang asal dari kejahatan misalnya berasal dari pencurian, penggelapan,
penipuan, pemalsuan uang, sekongkol, dll.
61

Jadi jika barang tersebut dibeli dengan keadaan atau cara beli yang tidak wajar,
dan dilihat bahwa harga dari barang tersebut juga jauh dari harga yang seharusnya,
maka sebagai pembeli seharusnya mengetahui bahwa ada kemungkinan barang
tersebut berasal dari kejahatan. Jika orang tersebut tetap membeli barang tersebut,
maka si pembeli dapat dianggap melakukan tindak pidana penadahan. 51

f. Pengertian Kejahatan Surat Ringan


“Kejahatan surat ringan diatur menurut KUHP diatur pada pasal 384 KUHP
yaitu perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 383 diancam dengan pidana penjara
paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah, jika jumlah
keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah.”
Pasal ini digunakan untuk delik yang memenuhi unsur berikut ; Melakukan akal
dan tipu muslihat atau perkataan-perkataan bohong atau membujuk orang lain atau
perbuatan curang, Pemegang kognosemen, Sengaja mempergunakan beberapa
eksemplar dari surat tersebut dengan titel yang memberatkan dan untuk beberapa
orang penerima, Harga keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari Rp. 250,-

51
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, h. 27
BAB IV
KONSEP IDEAL MEDIASI PENAL SEBAGAI PERWUJUDAN
RESTORATIVE JUSTICE PADA PENEYELESAIAN PERKARA TINDAK
PIDANA RINGAN

A. Pandangan Hukum Pidana Positif tentang Mediasi pada Tindak Pidana Ringan
KUHP yang berlaku di Indonesia mengenal dua bentuk peristiwa pidana yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan terbagi menjadi kejahatan biasa dan kejahatan
ringan atau tindak pidana ringan. Hal ini yang menjadi keistimewaan KUHP
Indonesia yang merupakan warisan KUHP Hindia-Belanda. Sekalipun KUHP
Hindia-Belanda didasari oleh KUHP Belanda namun pembagian bentuk kejahatan
biasa dan ringan berasal dari Hindia-Belanda sendiri yang kemudian diadopsi ke
dalam KUHP Indonesia. Kejahatan dan pelanggaran sendiri memiliki beberapa
perbedaan. Pengaturan mengenai kejahatan dan pelanggaran diletakkan di tempat
yang berbeda dalam KUHP. Kejahatan diatur dalam buku II KUHP sedangkan
pelanggaran diatur dalam buku III KUHP. Pada dasarnya KUHP terdiri atas 569
pasal yang terbagi dalam tiga buku, yaitu Buku I mengenai ketentuan umum (disebut
bagian umum, Algemeen deel) – pasal-pasal 1-103. Buku II tentang Kejahatan –
Pasal-pasal 104-448. Buku III tentang Pelanggaran – pasal-pasal 449-569.1
Tindak pidana yang terjadi setiap hari menjadi beban tersendiri bagi setiap
pengadilan. Untuk perkara tindak pidana biasa sampai dengan berat haruslah diputus
acara pemeriksaan sebagaimana mestinya agar masyarakat tetap percaya kepada
lembaga hukum di Indonesia. Disamping tindak pidana, biasa terdapat pula tindak
pidana ringan yang turut menyumbang beban bagi pengadilan walaupun merupakan
tindak pidana yang memiliki konsekuensi yang sedikit, sebagaimana tercantum pada
pasal 205 KUHAP :
“(1) yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga

1
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Pidana I (Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1958), h.80

62
63

bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan
penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini”. 2

Dengan kecilnya ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana ringan, tentulah
mudah dalam memutus perkara tersebut, namun hal itu tetap menjadi beban
tambahan bagi lembaga peradilan. Oleh karenanya dibutuhkan solusi untuk
mengurangi jumlah perkara tindak pidana ringan.
Secara perlahan perubahan dan dinamika masyarakat yang sangat kompleks
disatu sisi, sedangkan di sisi lainnya terhadap regulasi pembuatan undang-undang
sebagai kebijakan legislasi yang bersifat parsial ternyata sifat publik dari hukum
pidana bergeser sifatnya karena relatif juga memasuki ranah privat dengan dikenal
dan dipraktikkan mediasi penal sebagai sebuah bentuk peyelesaian perkara di luar
pengadilan.3
Model konsensus yang dianggap menimbulkan konflik baru harus diganti
dengan model asensus, karena dialog antara yang berselisih untuk menyelesaikan
masalahnya merupakan langkah yang positif. Dengan konsep ini muncullah istilah
ADR yang dalam hal-hal tertentu menurut Muladi lebih memenuhi tuntutan keadilan
dan efisien. ADR ini merupakan bagian dari konsep Restorative Justice yang
menempatkan peradilan pada posisi mediator.4
Istilah yang digunakan dalam menyebut mediasi penal dapat berupa Mediation
In Criminal Cases atau Mediation In Penal Matters, dalam bahasa Belanda disebut
juga Strafbemiddeling atau dalam bahasa Jerman disebut ‘Der AuBergerichtiiche
Tatausgleich (ATA), sedangkan dalam bahasa perancis “de mediation penale”

2
Pada pasal penghinaan ringan (315 KUHP) dimasukan ke dalam tindak pidana ringan karena
sifatnya yang cukup ringan walaupun memiliki ancaman hukuman selama 4 bulan 2 minggu atau
dengan pidana denda sebanyak empat ribu lima ratus ribu rupiah.
3
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, h. 2.
4
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana (Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1997), h.67.
64

karena mediasi penal mempertemukan pelaku tindak pidana dengan korban tindak
pidana.5
Munurut Lilik Mulyadi yang disadur dari Mudzakkir dalam makalah workshop,
bahwa terdapat beberapa kategorisasi sebagai tolak ukur dan ruang lingkup terhadap
perkara yang dapat diselesaikan di luar pengadilan melalui mediasi penal adalah
sebagai berikut :
1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik
aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif
2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai
ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (pasal 80
KUHP)
3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “Pelanggaran” bukan
“kejahatan” yang hanya diancam dengan pidana denda
4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang
hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimatum
remedium
5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan
dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan
diskresi
6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke
pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum
yang dimilikinya
7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori hukum pidana adat
yang diselesaikan melalui lembaga adat.6
Eksisitensi dari mediasi penal di Indonesia pada kenyataannya diasumsikan
layaknya hantu yakni “ada” dan “tiada”. Hal tersebut dikarenakan dalam hukum

5
Prija Djatmika, Mediasi Penal Untuk Penyelesaian Perkara Penghinaan Oleh Pers, (Malang :
Selaras, 2014), h.121-122.
6
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, h. 5.
65

pidana tidak dikenal mediasi penal, namun kesempatan bagi korban untuk
menggugat ganti rugi kepada pelaku selalu terbuka dalam jalur perdata. Lalu, apabila
mediasi penal dipermasalahkan dalam hal penentuan pengganti kerugian dari pelaku
kepada korban ini dimungkinkan, karena hal ini dapat menjadi pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana bersyarat. Ganti rugi terhadap korban dalam pidana
bersyarat merupakan salah satu syarat khusus yang telah dilakukan oleh terpidana,
disamping ketentuan pidana yang akan dijatuhkan oleh hakim tidak lebih dari 1
tahun untuk pidana penjara.
Apabila dalam mediasi tersebut didapatkan kata damai, maka mediator
memberitahukan kepada penyidik bahwa telah didapatkan kesepakatan antara korban
dan pelaku melalui mekanisme mediasi. Kesepakatan tersebut didapat dengan
ketentuan ganti rugi dari pelaku kepada korban. Hasil mediasi yang didapat
merupakan hasil yang final dan dibuatkan akta perdamaian, sehingga dapat menjadi
alasan penghapus penuntutan. Dengan adanya hasil mediasi maka penyidik
menyatakan tidak melimpahkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP/P18) ke Penuntut
Umum.7
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, Mediasi Penal belum memiliki
payung hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Tetapi, mediasi penal
memiliki regulasi yang sifatnya tersirat dengan kemungkinan dilaksanakannya
mediasi. Pada Pasal 82 ayat (1) KUHP menjelaskan :
“(1) Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan pidana denda
saja menjadi hapus, kalau dengan sukarela membayar maksimum denda dan
biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atau kuasa
pegawai negeri yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam
waktu yang ditetapkan olehnya”

7
Herry Kandati, “Penerapan Mediasi Oleh Lembaga Kepolisian Republik Indonesia dalam
Penanganan Tindak Pidana Sebagai Perwujudan Restorasi Justitia”, Vol.I/No.5/Oktober-Desember
/2013, h.110.
66

Pasal 82 ayat (1) KUHP merupakan regulasi tersirat dapat dilakukannya mediasi
penal, namun pasal tersebut belum menggambarkan secara tegas kemungkinan
penyelesaian damai antara pelaku pidana dengan korban. 8 Tetapi dalam praktiknya
sering dilakukan oleh hakim, karena hal tersebut dipandang cara terbaik
menyelesaikan masalah.
Berdasarkan pemaparan di atas, apabila mediasi penal tidak terdapat undang-
undang yang mengaturnya, maka dapat kita lihat peraturan dibawah undang-
undangnya. Pertama, dikaji dari tataran regulasi dibawah undang-undang yang
sifatnya parsial dan terbatas sifatnya maka mediasi penal diatur dalam surat kapolri
No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan
kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) dan PerKap No. 7 tahun 2008
tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Tugas Polri. Kedua aturan tersebut pada dasarnya mengatur tentang
penanganan perkara pidana yang memiliki kerugian materil yang kecil, disepakati
oleh para pihak, dilakukan dengan prinsip musyawarah mufakat, serta memenuhi
asas keadilan dan apabila hal tersebut tercapai malalui ADR maka pelaku tidak lagi
disentuh oleh tindakan hukum lain.9
Kedua, praktik mediasi penal walaupun normatif tidak diatur oleh undang-
undang (Hukum Positif) akan tetapi masyarakat mempraktikkannya. Misalnya saja
sidang adat terhadap Prof. Dr. Tamrin Amal Tamagola yang dilakukan oleh Majelis
Adat Dayak Nasional (MADN) yang diberi nama Persidangan Dayak Maniring
Tuntang Manates Hinting Bunu antara masyarakat Dayak dengan Tamrin di Betang
Nagnderang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada hari Sabtu tanggal 22 Januari
2001.10
Ketiga, dikaji dari yurisprudensi Mahkamah Agung RI mediasi penal melalui
eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. Salah satu contohnya ialah pada

8
DS. Dewi dan Fatahillah A Syukur, Mediasi Penal : Penerapan Restorative Justice di
Pengadilan Anak Indonesia (Depok : Indie Publishing, 2011), h. 81.
9
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, h.12.
10
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, h.13.
67

putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 bahwa
dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seorang melanggar hukum
adat kemudian kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi adat (sanksi), berati
yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam
persidangan Badan Peradilan Negara dengan dakwaan yang sama. Hal ini
menunjukan bahwa eksistensi peradilan adat diakui, dan apabila adanya mediasi
penal antara pelaku dan korban kemudian penjatuhan sanksi adat dilakukan sebagai
suatu pemulihan keseimbangan antara pelaku dengan masyarakat adatnya. 11
Keempat, praktik mediasi penal pada peradilan tingkat pertama sebagaimana
terdapat pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Nomor :
46/Pid/78/UT/wan tanggal 17 Juni 1978 bahwa dalam perkara tersebut adanya
penyelesaian secara “perdamaian” dalam perkara Ny. Ellya Dado, sehingga
perbuatan diantara para pihak tidak lagi merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran
yang dapat dihukum lagi, dan oleh karenanya melepaskan tertuduh dari segala
tuntutan hukum.12
Dalam Surat Kapolri nomor : B/3022/XII/2009/SDEOPS yang berisikan hal-hal
yang menyangkut penyelesaian perkara melalui konsep ADR (alternative dispute
resolution) yaitu sebagai berikut :
1. Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi
kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR.
2. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh
pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru
diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional
dan proporsional.
3. Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan ADR harus berprinsip pada
musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan
menyertakan RT RW setempat.

11
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, h.14.
12
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, h.14.
68

4. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati


norma hukum sosial / adat serta memenuhi azas keadilan.
5. Memberdayakan anggota Pemolisian/ Perpolisian Masyarakat (“Polmas”)
dan memerankan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (“FKPM”) yang
ada di wilayah masing-masing untuk mampu mengidentifikasi kasus-kasus
pidana yang mempunyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk
diselesaikan melalui konsep ADR.
6. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak
lagi di sentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan
Polmas.13
Dalam penerapan mediasi pada tindak pidana, menurut hemat penulis mediasi
dapat dilaksanakan pada tindak pidana ringan. karena tindak pidana ringan memiliki
kerugian yang kecil, sehingga sangat cenderung seorang korban dapat memaafkan
kesalahan pelaku dengan kompensasi yang dialami oleh korban.

B. Pandangan Hukum Pidana Islam tentang Mediasi pada Tindak Pidana


Ringan
Dalam Hukum Pidana Islam, Mediasi memiliki beberapa istilah yaitu Hakam,
Islah dan Al-afwu. Hakam merupakan istilah mediasi yang lebih cenderung kepada
masalah persoalan perkawinan (Munakahat), sedangkan Islah dan Al-afwu lebih
cenderung kepada permasalahan sengketa. Letak perbedaan antara Islah dengan Al-
afwu ialah jika suatu perdamaian itu timbul dari inisiatif atau pemaafan dari pihak
korban maka masuk ke dalam kategori Al-afwu (pemaafan), Sedangkan jika suatu

13
Hukum online, bisakah meminta polisi memediasi masalah hukum, diakses pada tanggal 21
Mei 2017 (http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt574a375e41718/bisakah-meminta-polisi-
memediasi-masalah-hukum).
69

perdamaian atau inisiatif pemberian ganti rugi (Kompensasi) itu berasal dari kedua
belah pihak maka masuk ke dalam kategori Islah.14
Istilah Islah dan Al-Afwu lebih dekat dengan bidang pidana sedangkan Ahkam
kepada bidang perdata. Mediasi pada bidang pidana diperbolehkan selama
perdamaian tersebut tidak melanggar hak Allah SWT dan Rasulnya, adapun hadits
yang diriwayatkan Amr bin Auf Al-Muzaniy perihal diperbolehkannya mediasi
dalam perkara pidana sebagai berikut :

: ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل‬


َ ِ‫ﺿﻲَ ﷲُ َﻋ ْﻨﮫُ أَنﱠ َر ُﺳﻮْ ُل ﷲ‬
ِ ‫َﻋﻦْ ﻋ ْﻤ ُﺮ ْﺑﻦُ َﻋﻮْ ف ا ْﻟ ُﻤﺰْ ﻧِﻲﱡ َر‬
ُ ‫اﻟﺼﱡ ْﻠ ُﺢ َﺟﺎﺋِ ٌﺰ ﺑَ ْﯿﻦَ اﻟ ُﻤ ْﺴﻠِ ِﻤ ْﯿﻦَ إِ ﱠﻻ‬
‫ﺻ ْﻠ ًﺤﺎ َﺣ ﱠﺮ َم َﺣ َﻼ ًﻻ أَ َوأَ َﺣ ﱠﻞ ﺣَ َﺮا ًﻣﺎ َوا ْﻟ ُﻤ ْﺴﻠِ ُﻤﻮْ نَ َﻋﻠَﻰ‬
15
( ‫ُﺷ ُﺮوْ طِ ِﮭ ْﻢ إِ ﱠﻻ َﺷﺮْ طًﺎ َﺣ ﱠﺮ َم َﺣ َﻼ ًﻻ َوأَ َﺣ ﱠﻞ َﺣ َﺮا ًﻣﺎ ) رواه اﻟﺘّﺮﻣﺬى و ﺻﺤﺤﮫ‬
Artinya : “Dari Amr bin Auf Al-Muzani bahwa Rasulullah SAW bersabda :
antara sesama muslim boleh mengadakan perdamaian kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan setiap muslim diatas
syaratnya masing-masing kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”16

Dibolehkannya perdamaian/mediasi pada perkara pidana selaras dengan


pendapat Abdul Qodir Audah, yang dalam bukunya menyatakan bahwa hal-hal yang
dapat menggugurkan hukuman dalam syariat ialah tujuh hal yaitu meninggalnya
pelaku tindak pidana, hilangnya tempat melakukan Qishash, tobatnya pelaku tindak
pidana, perdamaian, pengampunan, diwarisinya Qishash dan kedaluarsa (At-
taqaddum/ verjaring).17

14
Ahmad Ramzy, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice Dikaitkan
Dengan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, (Tesis Universitas Indonesia tahun 2012) h. 27-
28.
15
Abi Isa Muhamad bin Isa bin Saurot At-Tirmidzi, Jami’u At-Tirmidzi (Kairo : Darul Hadits),
Hadist No.1352.
16
Imam Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subulussalam, Juz III (Mesir : Mustafa Al-Baby Al-
Halaby, 1960), h.59.
17
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum Pidana Islam Juz.III: At-Tasyri’ al-Jinai’ al-islamiy
Muqaranan bil Qanuni Wad’iy, Penerjemah Tim Tsalisah (Bogor : PT. Kharisma Ilmu), h. 165.
70

Pertama, pelaku kejahatan meninggal dunia, akan tetapi jika tindakan yang
dilakukan pelaku merupakan hukuman yang berhubungan dengan harta seperti diyat
maka harus tetap dijalankan. Kedua, hilangnya objek dari Qishash disini ialah
Qishash yang berkaitan dengan penganiayaan. Objek yang dimaksud ialah anggota
badan pelaku yang menjadi objek dilaksanakannya hukuman Qishash. Ketiga,
tobatnya pelaku disepakati dapat membatalkan hukuman tindak pidana gangguan
keamanan (Jarimah Hirabah) yaitu hukuman yang berhubungan dan menyentuh hak
masyarakat.
Keempat, hukuman Qishash menjadi gugur jika hukuman tersebut diwariskan
kepada orang yang tidak dapat menjatuhkan Qishash terhadap pelaku atau jika
pelaku sendiri mewarisi seluruh Qishash atau sebagiannya. Kelima, kedaluarsa
dimaksud di sini ialah berlalunya suatu waktu tertentu atas putusan adanya hukuman
tanpa dilaksanakannya hukuman tersebut sehingga dengan berlalunya masa tersebut
pelaksanaan hukuman menjadi terhalang.18
Keenam, Jarimah qishash dan diyat dapat menjadi gugur apabila kedua belah
pihak melakukan Islah. Islah (perdamaian) dalam Islam yang dilakukan oleh pelaku
dan korban atau walinya merupakan salah satu sebab dapat membatalkan
(mengugurkan) hukuman. Namun pengaruhnya hanya terbatas pada tindak pidana
Qishash dan Diyat, karena perdamaian tidak berpengaruh pada selain kedua tindak
pidana tersebut.19 Dalam hal terciptanya Islah pada perkara Qishash kadar
pelaksanaan Islah boleh lebih dari jumlah diyat ataupun kurang dari jumlah diyat.
Namun, untuk perkara diyat tidak boleh melibihi dari dari jumlah yang telah
diwajibkan atas diyat, karena lebihnya tersebut dapat dihitung sebagai riba.
Ketujuh, hukuman dapat gugur apabila pelaku mendapat maaf dari korban atau
walinya. Adapun untuk perkara Hudud tidak ada boleh ada maaf, karena dalam
Hudud terdapat hak Allah. Sehingga maaf yang diberikan oleh korban maupun

18
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum Pidana Islam Juz.III: At-Tasyri’ al-Jinai’ al-islamiy
Muqaranan bil Qanuni Wad’iy, Penerjemah Tim Tsalisah (Bogor : PT. Kharisma Ilmu), h. 171-172
19
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum Pidana Islam Juz.V: At-Tasyri’ al-Jinai’ al-islamiy
Muqaranan bil Qanuni Wad’iy, Penerjemah Tim Tsalisah (Bogor : PT. Kharisma Ilmu) h.168
71

walinya akan menjadi sia-sia. Sedangkan untuk perkara Ta’zir diperbolehkan asalkan
dengan batasan pada hal-hal yang berhubungan dengan haknya seperti pemukulan
dan pencacian.20
Jarimah Ta’zir merupakan Jarimah yang bentuk sanksinya tidak disebutkan
secara tegas dalam Al-Qur’an maupun Hadits, sehingga Jarimah Ta’zir dapat
dikatakan tidak memiliki batasan yang dapat berisikan tindak pidana ringan sampai
berat. Ringan atau beratnya hukuman diserahkan kepada kompetensi hakim dan
penguasa setempat.21
Secara umum, tindak pidana ta’zir terbagi menjadi tiga bagian yaitu dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Tindak pidana hudud dan tindak pidana Qishash yang Syubhat, atau tidak
jelas, atau tidak memenuhi syarat, tetapi merupakan unsur maksiat.
Misalnya percobaan pada tindak pidana pencurian, pencurian dalam
keluarga dan lain-lain.
2. Tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh Al-Qur’an dan Hadits
tetapi tidak ditentukan sanksinya. Misalnya tindak pidana penghinaan, saksi
palsu, tidak melaksanakan amanah (Khianat), makan babi, mengurangi
timbangan, riba dan lain-lain.
3. Berbagai tindak pidana atau kemaksiatan yang ditentukan oleh ulil amri
(penguasa) berdasarkan ajaran Islam demi kemashlahatan umum. Misalnya
pelanggaran terhadap berbagai peraturan penguasa yang telah ditetapkan
berdasarkan ajaran Islam, Korupsi, kejahatan ekonomi dan lain-lain.22
Apabila kita bandingkan cakupannya, Jarimah Ta’zir lebih banyak
mengakomodir tindak pidana yang sifatnya ringan dari pada tindak pidana yang

20
Arif Hamzah, Konsep Islah Dalam Perspektif Fikih, (Tesis : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2008), H. 63.
21
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam (Jakarta : Amzah, 2012), h. 147.
22
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam,\ (Bogor: Ghalia Indonesia
2009), h.55.
72

sifatnya berat. Disyariatkannya Ta’zir pada tindak pidana ringan sebagaimana Hadits
Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Al-Nasa’i dan
Al-Baihaqi bahwa Nabi Bersabda :

ْ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَﻗﱢ ْﯿﻠُﻮْ ا َذ َوي‬


َ ‫َﻋﻦْ َﻋﺎ ﺋِ َﺸﺔَ َرﺿِ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨﮭَﺎ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﻗَﺎ َل َر ُﺳﻮْ ُل‬
( ‫ت ُﻋ ْﺜ َﺮاﺗِ ِﮭ ْﻢ إِﻻﱠا ْﻟ ُﺤ ُﺪوْ َد ) رواه أﺣﻤﺪ وأﺑﻮ داود واﻧﺴﺎﺋﻰ واﻟﺒﯿﺤﻘﻰ‬
ِ ‫ا ْﻟﮭَ ْﯿﺌَﺎ‬
Artinya : “Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi bersabda : Ringankanlah hukuman bagi
orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali
dalam Jarimah hudud (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Al-Baihaqi)”23

Hadits di atas menjelaskan tentang batasan dari hukuman ta’zir yang tidak
diperbolehkan lebih dari 10 kali cambukan, karena hal tersebut untuk
membedakannya dengan hukuman Hudud. Apabila seseorang melakukan tindak
pidana ringan maka ia dapat dihukum dengan hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir dapat
berbentuk bermacam-macam, dari sanksi yang ringan, hingga sanksi yang berat.
Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan badan dapat berupa hukuman cambuk ataupun
hukuman mati. Selain itu, hukuman ta’zir juga dapat berbentuk penjara,
pengasingan, penyaliban, pengucilan, peringatan, pencemaran, pembayaran denda,
perampasan/penyitaan, hingga nasihat tertulis, nasihat, pemecatan, pengumuman
kesalahan dan lain-lain.24
Adapun tujuan dan syarat-syarat dari sanksi ta’zir yaitu pertama, sebagai upaya
pencegahan (Preventif), upaya ini ditujukan bagi orang yang belum pernah
melakukan jarimah. Kedua, upaya membuat jera (Represif) upaya ini ditujukkan agar
pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah dikemudian hari. Ketiga, Upaya
perbaikan atau kuratif ditujukan untuk membawa perbaikan kepada perilaku

23
Imam Muhamad bin Ismail Al-Kahlani, Subulussalam (Mesir:Maktabah Musthafa Al-Bab Al-
Halabi, 1960) Jilid IV, h.38.
24
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah) (Bandung : CV Pustaka Setia, 2000) h.
155-169.
73

terpidana dikemudian hari. Keempat, Upaya Pembelajaran (Edukasi) diharapkan


dapat mengubah pola hidup pelaku ke arah yang lebih baik lagi. 25
Apabila mengacu pada pasal 2 ayat (1) dan (2) PERMA Nomor 2 tahun 2012
tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP,
dari semua pasal yang tercantum pada PERMA tersebut jika diselaraskan ke dalam
hukum Islam, maka semua tindak pidana dijatuhkan kepada Jarimah Ta’zir kecuali
pencurian. Namun, tindak pidana pencurian memiliki qualifikasi jumlah harga
barang yang dicuri dalam hukum Islam.
Untuk besaran barang yang dicuri, Umar bin Al-Khathhab, Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits, Al-Syafi’i dan Abu Saur
berpendapat bahwa pencurian yang kurang dari seperempat dinar tidak terkena
hukuman potong tangan. Disamping itu Imam Malik berkata : “Tangan pencuri
dipotong juga karena mencuri seperempat dinar atau tiga dirham. Kalau mencuri
sesuatu seharga dua dirham yang senilai dengan seperempat dinar, karena selisih
nilai tukarnya; tangan pencuri tersebut tidak boleh dipotong”26
Berkenaang dengan hukuman potong tangan, Abdul Qodir Audah berpendapat
bahwa hal-hal yang dapat menggugurkan hukum potong tangan ialah sebagai
berikut:
1. Penyangkalan korban terhadap pencuri atas pengakuannya tentang
pencurian atau sanggahan korban atas kesaksian para saksi.
2. Adanya ampunan untuk pencuri dari semua korban pencurian Jika ampunan
hanya dari sebagian korban, hukum potong tangan tidaklah gugur, demikian
pendapat Ulama Syi’ahzaidiyah sementara madzhab lain tidak memberikan
pendapat.
3. Pencuri menarik pengakuannya secara jelas ataupun tersurat
4. Mengembalikan barang curian sebelum dilaporkan

25
Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah, 2016), h.94.
26
Abu Abdullah Muhammaad bin ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al-Jami’li lil Ahkam Al-
Qur’an (Beirut : Maktabah Al-Ashriyyah, 2005), Jilid III, h.388.
74

5. Pencuri memiliki barang curian sebelum adanya keputusan hukum


6. Pencuri mengaku sebagai pemilik barang curian.27
Menurut Abdul Qodir Audah tentang perbedaan hukuman Hudud, Qishsash,
Diyat dan Ta’zir. Pertama, Hudud, Qishsash dan Diyat tidak boleh diubah-ubah oleh
hakim sedangkan Ta’zir boleh disesuaikan. Kedua, seorang hakim tidak
diperbolehkan untuk memaafkan pelaku dalam masalah Hudud, Qishsash dan Diyat.
Ketiga, objek pertimbangan hakim dalam perkara Hudud, Qishsash dan Diyat hanya
sebatas tindak pidananya saja (unsur Objektif), tidak termasuk pelakunya (Unsur
Subjektif). Sedangkan dalam Hukuman ta’zir untuk memaafkan (mengampuni)
maupun memberatkan dapat dilihat dari dua sisi yaitu tindak pidana yang dilakukan
dan pelaku yang melakukan (Unsur Objektif dan Subjektif).28
Para Fukaha telah bersepakat bahwa penguasa memiliki hak pengampunan yang
sempurna tindak pidana-tindak pidana ta’zir, baik itu pengampunan sebagian maupun
seluruhnya. Sebagian ulama (kelompok 1) berpendapat bahwa penguasa tidak
memiliki hak pengampunan pada tindak pidana Qishash dan Hudud yang sempurna
yang tidak boleh dijatuhi hukuman Qishash dan Hudud, tetapi harus dijatuhi
hukuman ta’zir yang sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukannya. Adapun
untuk tindak pidana lainnya selain kedua tindak pidana tersebut penguasa boleh
mengampuni tindak pidana dan hukumannya jika ia melihat ada kemashlahatan
umum di dalamnya dan setelah menghilangkan dorongan hawa nafsunya.
Sedangkan sebagian ulama lain (kelompok kedua) berpendapat bahwa penguasa
memiliki hak untuk memberikan pengampunan atas seluruh tindak pidana yang
diancam dengan hukuman ta’zir dan juga hak mengampuni hukumannya jika di
dalamnya terdapat kemashlahatan umum. Dari kedua pendapat di atas dapat kita lihat

27
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum Pidana Islam Juz.V: At-Tasyri’ al-Jinai’ al-islamiy
Muqaranan bil Qanuni Wad’iy, Penerjemah Tim Tsalisah (Bogor : PT. Kharisma Ilmu), h.181-183
28
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, cet ke-4 jilid VII (Beirut : Daar Al-Fikr,
1997), h.5282.
75

bahwa kelompok pertama lebih dekat dengan logika hukum Islam yang berkaitan
dengan tindak pidana Hudud dan Qishash.29
Kekuasaan korban dalam memberikan ampunan terhadap tindak pidana ta’zir
hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan dirinya seperti pemukulan dan
pencacian. Karena itu, pengampunan korban tidak berpengaruh pada hak masyarakat
yaitu mendidik pelaku dan memperbaikinya, sehingga jika korban mengampuni
pelaku, pengampunan itu tertuju pada hak pribadi saja, sebaliknya pengampunan
penguasa atas tindak pidana tidak berpengaruh pada hak korban.30
Pada tindak pidana jarimah hudud tidak ada pengampunan secara mutlak baik
dari sisi korban maupun dari penguasa tertinggi, karena dalam Jarimah Hudud
terdapat hak Allah SWT sehingga pengampunan yang diberikan baik itu oleh salah
satu tersebut akan sia-sia saja. Hak Allah yang dimaksud disini ialah hak yang
bersinggungan dengan kemashlahatan seluruh umat manusia.
Pada tindak pidana jarimah qishsash pengampunan dapat diberikan oleh si
korban. Dalam hal ini pengampunan yang telah diberikan memiliki pengaruh yaitu
korban dapat merubah hukuman qishash menjadi hukuman diyat, bahkan dapat
membebaskan dari kedua hukuman tersebut jika memaafkan pelaku seutuhnya.
Selanjutnya dalam tindak pidana jarimah ta’zir pihak penguasa memiliki hak untuk
mengampuni tindak pidana dan hukuman sekaligus, namun hal tersebut disyaratkan
tidak menggangu hak korban. Selain itu, korban juga dapat memberikan
pengampunan pada batas-batas yang berhubungan dengan hak pribadinya murni.
Karena tindak pidana itu menyinggung masyarakat, pengampunan yang
diberikan korban sama sekali tidak menghapus hukuman kecuali sekedar untuk
meringankan hukuman dari si pelaku. Seorang hakim mempunyai kekuasaan yang

29
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum Pidana Islam Juz.V: At-Tasyri’ al-Jinai’ al-islamiy
Muqaranan bil Qanuni Wad’iy, Penerjemah Tim Tsalisah (Bogor : PT. Kharisma Ilmu), h.171.
30
Ibid.
76

luas pada tindak pidana ta’zir dalam mempertimbangkan keadaan-keadaan yang


meringankan serta peringanan hukuman.31
Menurut penulis, Pengampunan memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan
dengan Perdamaian. Karena dengan diberi pengampunan terhadap tindak pidana
yang dilakukan pasti dapat menghapus hukuman, sedangkan faktor perdamaian akan
menghasilkan dua kemungkinan yaitu pengampunan dari korban sepenuhnya
ataupun pengurangan sanksi hukuman dari hakim atas pertanggungjawaban pelaku
terhadap korban. Sehingga baik pengampunan maupun perdamaian dapat dilakukan
pada tindak pidana khususnya pada tindak pidana ringan yang memiliki nilai
kerugian yang kecil baik dari sisi materiil maupun immmateriil.

C. Konsep Ideal Mediasi Pada Tindak Pidana Ringan Untuk Mewujudkan


Restorative Justice
Demi terciptanya ketentraman di lingkungan masyarakat, maka perlulah aturan
umum yang mengatur secara keseluruhan yang bersifat memaksa. Remmelink
berpendapat bahwa hukum pidana ada bukan untuk tujuan diri sendiri, tapi demi
terciptanya penegakan hukum secara tertib. Selain itu, hukum pidana juga bertujuan
untuk melindungi masyarakat serta penjagaan tertib sosial. Dalam mewujudkan hal
tersebut, maka eksistensi hukum pidana haruslah bersifat memaksa. 32
Dalam teori pemidanaan yang terdapat dalam sistem hukum Eropa Kontinental
terdapat 3 teori pemidanaan yang menjelaskan tentang tujuan dari pemidanaan itu
sendiri yaitu teori absolut, teori relatif dan teori gabungan. Pertama, teori absolut
memiliki tujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik itu masyarakat maupun
pihak yang dirugikan atau korban33. Lalu teori relatif bertujuan untuk mencegah
masyarakat luas (general prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik

31
Abdul Qodir Audah, Ensiklopedi hukum Pidana Islam Juz.V: At-Tasyri’ al-Jinai’ al-islamiy
Muqaranan bil Qanuni Wad’iy, Penerjemah Tim Tsalisah (Bogor : PT. Kharisma Ilmu), h. 100-101.
32
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Yasrif Watampoe, 2005), h. 30.
33
Ali Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 187.
77

itu kejahatan yang telah lakukan oleh terpidana maupun tindak pidana lainnya. 34
Sedangkan teori gabungan bertujuan untuk menggabungkan teori absolut dan teori
relatif, yang dapat diartikan dengan penjatuhan sanksi pidana merupakan pembalasan
atas perbuatan yang telah pelaku lakukan, juga dimaksudkan agar pelaku dapat
diperbaiki sehingga dapat kembali ke masyarakat.35
Untuk mengembalikan pelaku ke masyarakat dan memperbaiki keadaan korban
dibutuhkanlah sebuah pendekatan keadilan yaitu keadilan restoratif. Keadilan
Restoratif (Restorative Justice) bukanlah konsep yang baru dalam dunia hukum di
Indonesia. Eksistensinya bahkan sama dengan hukum pidana itu sendiri. Hal tersebut
sejalan dengan tujuan hukum pidana, sehingga pendekatan melalui restorative justice
ditempatkan sebagai mekanisme utama dalam penanganan perkara pidana. Menurut
Marc Levin pendekatan yang dahulu dinyatakan sebagai pendekatan yang kuno dan
usang kini menjadi sebagai pendekatan yang progressif.36
Pendekatan keadilan restoratif merupakan pendekatan yang baru digunakan saat
ini dalam perkara pidana. Hal ini senada dengan definisi yang dikeluarkan oleh
Dignan yaitu sebagai berikut :
“Keadilan restoratif adalah kerangka baru untuk menanggapi kesalahan dan
konflik yang dengan cepat memperoleh penerimaan dan dukungan oleh
profesional pendidikan, hukum, pekerjaan sosial dan konseling dan kelompok
masyarakat. Restoratif adalah pendekatan berbasis nilai untuk menanggapi
kesalahan dan konflik, dengan fokus yang seimbang pada orang yang dirugikan,
orang yang menyebabkan kerugian, dan komunitas yang terkena dampak.”37

Dari definisi di atas mensyaratkan adanya suatu kondisi tertentu yang


menempatkan keadilan restoratif sebagai nilai dasar yang digunakan guna merespon
suatu perkara pidana. Selain hal tersebut perlunya keseimbangan antara fokus
perhatian kepada pelaku dengan korban serta dampak dari penyelesaiannya kepada
masyarakat. Penerapan dengan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana
34
Ali mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h. 190.
35
Ali mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h. 191.
36
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, h. 64.
37
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : PT. Alumni,
1992), h.15-16.
78

dijelaskan di atas tidaklah mudah untuk dilakukan, karena pola berfikir dari para
penegak hukum maupun masyarakat yang mengerti akan hukum telah terkotakkan
oleh pemikiran yang kaku dengan pandangan konvensional seperti yang dijalankan
oleh sistem peradilan pidana pada saat ini.
Dalam proses penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan restoratif,
melekat suatu sanksi sebagai bentuk rasa tanggungjawab pelaku kepada korban.
Bentuk sanksi tersebut bersifat memulihkan dan menjauhkan dari bentuk
pemenjaraan. Bentuk sanksi haruslah berasal dari kesepakatan sebagai syarat
diterimanya pelaku dalam lembaga penyelesaian konflik serta syarat kembalinya
pelaku kepada masyarakat.38
Pendekatan restoratif juga memiliki dampak positif yang akan didapat apabila
diterapkan pada proses peradilan pidana :
1. Memberikan alternatif-alternatif penanganan terhadap tindak pidana dengan
memberikan ruang bagi tercapainya suatu out of court settlement dalam
lingkup bidang hukum pidana.
2. Dapat meniadakan proses penuntutan dan persidangan yang memakan
waktu yang panjang, tunggakan perkara hingga menghemat biaya perkara.
3. Dapat menghindarkan penjatuhan sanksi hukuman penjara yang sudah tidak
lagi relavan untuk masa kini, karena pemenjaraan lebih cenderung
memberikan ruang belajar pelaku lebih jahat lagi
4. Dapat menghindari over capacity yang sebagaimana terjadi pada belakangan
ini
5. Dapat menghemat anggaran keuangan negara agar digunakan untuk hal
lebih penting lagi.39
Berbicara mengenai konsep ideal mediasi untuk perkara pidana, berarti pula
membahas mediasi yang seperti apa dan pada tingkatan mana hal tersebut dapat

38
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 255-256
39
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan
Restoratif Suatu Terobosan Hukum, h. 257.
79

dilakukan. Pada tingkatan penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian terdapat


aturan berupa Surat Kapolri Nomor : B/3022/IX/2009/SDEOPS dan PerKap Nomor
7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi Dan Implementasi Pemolisian
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri Pasal 14 huruf f yang menjelaskan
tentang penerapan Alternatif Dispute Resolution (ADR) pada persoalan sosial dengan
cara perdamaian. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai diversi dari kepolisian.40
Menurut Apong Herlina, selain mendapatkan keadilan untuk semua, tujuan
dilakukannya diversi adalah untuk menghindari penahanan; untuk menghindari cap
atau label sebagai penjahat; untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi si pelaku
pada saat telah berada di luar; si pelaku dapat bertanggungjawab atas perbuatannya
secara langsung kepada korban; dan mencegah pengulangan dari tindak pidana yang
telah dilakukan pelaku.41
Pada pembahasan sebelumnya pada Bab II, telah dipaparkan model-model
dalam mediasi penal. Pertama ialah model Information Mediation yang dilakukan
oleh personil peradilan pidana baik itu polisi, jaksa dan hakim dalam tugas
normalnya. Personil peradilan tersebut mengundang para pihak untuk menyelesaikan
perkara secara informal dengan aturan apabila terjadi kesepakatan maka perkara
tidak dilanjutkan kepada proses penuntutan.
Kedua, model Traditional Village ot Tribal Moots menggambarkan sebuah
model mediasi untuk menyelesaikan sengketa antar suku atau kelompok masyarakat.
Dengan dipertemukannya seluruh warga, diharapkan dapat memecahkan konflik
kejahatan diantara warga itu sendiri.
Ketiga, Reparation Negotiation Programmes merupakan salah satu bentuk
mediasi yang berfokus kepada negosiasi antara para pihak mengenai besaran
kompensasi yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada korban, biasanya mediasi ini

40
Diversi merupakan proses dimana pelanggar dipindahkan dari proses pengadilan yang
konvensional ke dalam proses yang alternatif.
41
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol.3 No.III September
2004, h.26-27.
80

terjadi di pengadilan dengan tujuan sebagai bentuk tanggungjawab dari pelaku


sehingga hakim dapat mempertimbangkan untuk meringankan hukuman pelaku.
Keempat, Community Panels of Courts ialah model mediasi yang membelokkan
atau mengubah tuntutan perkara pidana di pengadilan ke prosedur masyarakat yang
lebih fleksibel dan informal
Kelima, Family and Community Group Conference merupakan model mediasi
yang melibatkan masyarakat, keluarga korban dan pendukungnya serta aparat
penegak hukum seperti polisi dalam SPP (Sistem Peradilan Pidana). Model ini
menitikberatkan kepada kesepakatan antara pelaku dan keluarga korban
Keenam, Victim Offender Mediation yaitu model mediasi yang mempertemukan
antara korban dan pelaku. Model mediasi inilah yang paling diketahui oleh banyak
orang. Pada model ini pelaku dan korban dipertemukan dengan bantuan mediator,
mediator dapat berasal dari pejabat formal, independen maupun gabungan. Pada
model ini mediasi dapat dilakukan disetiap tahapan proses pidana dan dapat
dilakukan untuk segala bentuk tindak pidana. 42
Mediasi penal apabila dilakukan pada tahap penuntutan merupakan gabungan
antara mediasi penal bentuk Victim Offender Mediation dan Reparation Negotiation
Programme. Pelaksanaan mediasi penal pada tahap penuntutan dapat digambarkan
sebagai berikut ini :
1. Jaksa penuntut umum dengan mempelajari tindak pidana yang dilakukan
oleh pelaku berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, dapat menawarkan
mediasi kepada korban dan pelaku tindak pidana
2. Mediasi dilakukan berdasarkan persetujuan secara suka rela dari pelaku dan
korban tindak pidana. Jika kedua pihak menyetujui untuk dilakukan
mediasi, maka persetujuan untuk mediasi diberikan kepada Jaksa Penuntut
Umum

42
Lilik Mulyadi, Mediasi Penal dalam sistem peradilan pidana Indonesia, h. 36-38.
81

3. Jaksa penuntut umum dapat berposisi sebagai mediator maupun dapat


melakukan penunjukan mediator dari luar yang bersertifikasi.
4. Mediator mempertemukan pihak pelaku dan korban tindak pidana
5. Pelaksanaan proses mediasi dilakukan secara rahasia, dalam arti semua
peristiwa yang terjadi dan pernyataan-pernyataan yang muncul selama
mediasi tidak dapat dipublikasikan oleh semua pihak yang terlibat.
Selanjutnya apabila mediasi itu tidak tercapai kesepakatan, maka perkara pidana
akan dilanjutkan dengan proses litigasi yaitu pemeriksaan di sidang pengadilan dan
dilakukan penuntutan atas tindak pidananya. Ketika proses naik ke persidangan,
maka mediator tidak dapat bersaksi atas hal yang terjadi pada saat mediasi atau tidak
tercapainya kesepakatan diantara para pihak.
Pada tingkatan perkara sudah masuk ke pengadilan, Hakim pun dapat berperan
sebagai mediator di luar pengadilan yang telah memenuhi syarat dan sertifikasi. Pada
saat mediasi oleh Hakim sama halnya dengan mediasi di tahap penyidikan dan
penuntutan yaitu mempertemukan terdakwa dengan korban. Apabila tidak tercapai
kata sepakat maka proses persidangan dilakukan sebagaimana mestinya, sedangkan
apabila tercapai kata sepakat dan ganti rugi dibayarkan oleh pelaku maka
kesepakatan tersebut dituangkan dalam akta kesepakatan yang menjadi berkekuatan
hukum tetap sebagaimana putusan pengadilan dan bersifat final. Hal tersebut
berartikan pelaku tidak dapat lagi di tuntut dan diadili kembali dalam proses
peradilan pidana.43
Dalam mewujudkan restorative justice melalui mediasi, diperlukan regulasi
yang mengatur adanya mediasi pada tindak pidana ringan. selain itu, diperlukan pula
perubahan paradigma dari aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi, Jaksa dan juga
Hakim dalam menyelesaikan perkara pidana ringan. Paradigma atas segala perbuatan
pidana yang tidak bisa diselesaikan selain di pengadilan dirubah menjadi perbuatan

43
Herry Kandati, Penerapan Mediasi Oleh Lembaga Kepolisian Republik Indonesia dalam
Penanganan Tindak Pidana Sebagai Perwujudan Restorasi Justitia”, Vol.I/No.5/Oktober-Desember
/2013, h.111.
82

pidana yang berakibat kerugian kecil dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan
dalam hal ini proses mediasi. Selanjutnya aparat penegak memberikan edukasi
kepada masyarakat akan pentingnya mediasi dan nilai-nilai perdamaian antara
sesama manusia. Adapun mediasi yang telah dilakukan oleh pelaku dan korban
tidaklah meniadakan unsur pidana padanya, apabila perkara pidana tersebut telah
masuk ke persidangan, setidaknya mediasi dapat dijadikan sebagai salah satu faktor
peringanan tuntutan maupun putusan. Oleh karenanya keadilan restoratif dan
keadilan retributif seyogyanya tidak saling dioposisikan dan haruslah saling
melengkapi satu sama lain.44
Penulis dalam hal ini berpendapat, untuk tindak pidana tertentu misalnya seperti
perkara Anak, KDRT pada rumah tangga dan tindak pidana ringan seyogyanya dapat
diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat via mediasi. Karena hal tersebut
mengurangi dampak negatif yaitu agar anak bisa melanjutkan masa depannya dengan
baik tanpa ada cap kriminal. Lalu, dalam rumah tangga hubungan suami istri yang
diikat dengan pernikahan yang sakral menjadi faktor untuk tidak langsung
memidanakan satu sama lain. Serta tindak pidana ringan yang memiliki kerugian
yang kecil sehingga satu sama lain mudah untuk memaafkan serta dapat mengurangi
beban kerja aparat penegak hukum sehingga dapat memfokuskan kepada persoalan
yang lebih kompleks.

44
Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif (Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka 2015), h.
79-80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan dan penjelasan yang telah penulis sampaikan pada Bab I-IV,
Penulils dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Dalam hukum positif, Mediasi yang dilakukan pada tindak pidana dapat disebut
dengan Mediasi Penal. Dilakukannya Mediasi Penal ditujukan sebagai salah
satu perwujudan Restorative Justice bagi korban, pelaku maupun masyarakat.
Pelaksanaan mediasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (khususnya
polisi) terutama pada kasus-kasus tindak pidana ringan dapat memberikan rasa
keadilan bagi para pihak. Rasa keadilan yang didapat dari penggunaan konsep
Restorative Justice memiliki nilai yang lebih dan terasa langsung oleh
masyarakat dibanding dengan proses litigasi biasa. Kepercayaan masyarakat
terhadap proses litigasi yang memiliki asas peradilan cepat, sederhana dan
biaya ringan tidak seolah sirna karena faktor praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme) dan Suap yang menggurita di dalam penegakkan hukum di
Indonesia.
Mediasi yang selama ini dikenal hanya dalam wadah perdata, belakangan ini
mulai merambah ke wadah pidana. Hal ini menunjukkan faktor perdata yang
tak luput dari setiap orang dapat mempengaruhi jalannya proses pidana. Faktor
perdata tersebut bergandengan ide pokok dari mediasi penal yang memayungi
hak-hak korban, harmonisasi antar masyarakat serta pemulihan korban, pelaku
dan masyakat itu sendiri. Selain hal tersebut, mediasi penal juga memiliki
dampak positif yang mencerminkan dari asas peradilan (cepat, sederhana dan
biaya ringan) yang dilakukan hanya dengan bantuan dari mediator tanpa ada
batas tahapan proses seperti dalam proses litigasi.
2. Dalam Hukum Pidana Islam Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian
sengketa ataupun pengguguran hukuman. Dalam Hukum Islam Mediasi dikenal
beberapa istilah yaitu Hakam, Islah dan Al-Afwu, perbedaannya ialah Hakam
83
84

digunakan dalam konteks urusan rumah tangga, Islah dalam konteks pidana,
sedangkan Al-Afwu dalam konteks pidana berupa Pemaafan baik dari korban
maupun penguasa (Ulil Amri).
Konsep Al-Afwu (Pemaafan) dalam Islam dapat digunakan dalam Jarimah
Qishash, yakni bisa berdampak pada konsekuensi hukum yang akan diterima
oleh pelaku. Konsekuensi hukum tersebut bisa menjadi 2 pilihan. Pertama,
Apabila keluarga korban bisa berdamai dengan mengganti hukuman Qishash
menjadi hukuman diyat, maka pelaku tidak dihukum Qishash dan hanya wajib
membayar diyat. Kedua, apabila keluarga korban/ ahli waris mau memaafkan
seutuhnya kesalahan pelaku sehingga pelaku tidak dikenakan hukuman apapun.
Pemaafan dari korban terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan haknya
yang dilanggar oleh pelaku.
Konsep Islah (Perdamaian) merupakan salah satu faktor gugurnya hukuman
pidana. Perdamaian yang timbul dari kesepakatan para pihak terbatas pada
tindak pidana Ta’zir semata, walaupun beberapa pendapat mengatakan Jarimah
Qishash juga bisa didamaikan melalui mediasi sehingga mendapat
pengampunan/pemaafan dari keluarga korban.
Pemaafan memiliki cakupan yang lebih luas dan dalam dibandingkan dengan
perdamaian, pemaafan dapat timbul dari diri korban/ahli waris ataupun dapat
timbul dari faktor perdamaian antara para pihak. oleh karenanya perdamaian
(Islah) seyogyanya dapat dilakukan pada tindak pidana Ta’zir dan Qishash.
Lalu, untuk jarimah Hudud tidak ada hal pemaafan maupun perdamaian, karena
Hudud merupakan hak Allah SWT yang tidak bisa ditawar dengan hal apapun.
3. Konsep mediasi yang pada saat ini berlangsung hanya dilakukan pada tahapan
penyelidikan dan penyidikan di kepolisian. Namun tidak menutup kemungkinan
dilakukan pada tahapan penuntutan hingga paska peradilan. Model mediasi
yang digunakan di kepolisian menggunakan model Victim Offender Mediation
yang mana mempertemukan pihak korban dan pelaku dibantu oleh mediator
yang dapat berasal dari pihak pejabat formal (Polisi), atau independen maupun
85

gabungan. Model mediasi tersebut merupakan model yang sangat cocok


diterapkan di setiap tahapan pemeriksaan perkara. Selanjutnya apabila mediasi
masuk ke proses peradilan, model mediasi digabungkan dengan model
Reparation Negotiation Programmes sebagai pertimbangan hakim untuk
meringankan hukuman pelaku jika proses mediasi mengalami kegagalan.
Sehingga dengan dilakukannya mediasi khususnya pada tindak pidana ringan
dapat mewujudkan keadilan restoratif yang dapat dirasakan langsung oleh pihak
korban.
B. Saran
1. Kepada masyarakat Indonesia yang membaca skripsi ini agar memahami
pentingnya mediasi pada tindak pidana, khususnya pada perkara tindak pidana
ringan maupun tindak pidana yang diatur khusus seperti KDRT dan tindak
pidana oleh anak. Karena proses mediasi merupakan proses hukum yang
menghasilkan Win-Win Solution yang berarti solusi yang menguntungkan bagi
para pihak khususnya korban yang lebih butuh kepada pemulihan atas kerugian
yang diderita
2. Kepada lembaga legislatif yang saat ini sedang merevisi KUHP, agar
memasukan proses Mediasi Penal di setiap tahapan pemeriksaan perkara
sebagai sarana untuk mencari keadilan untuk korban, pelaku dan juga
masyarakat. Apabila Mediasi Penal ini memiliki payung hukum yang jelas,
maka akan mengurangi penyalahgunaan wewenang dari para aparat yang
memiliki wewenang pada proses peradilan pidana di Indonesia.
3. Kepada aparat penegak hukum dengan dilakukannya diversi disetiap tingkatan
pemeriksaan, baik itu tingkat penyelidikan, penyidikan, proses peradilan
bahkan paska peradilan, Hal tersebut sangat memberikan efek yang lebih baik
untuk semua pihak. Dari sisi korban, akan mendapatkan kompensasi atau ganti
rugi dari pelaku sesuai dengan keinginan korban. Untuk pelaku, akan terhindar
dari hukuman pemenjaraan dan hukaman sosial masyarakat atau setidaknya
dapat mengurangi beban hukuman. Untuk kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
86

tentunya dapat mengurangi beban pemeriksaan untuk perkara-perkara yang


ringan atau telah didamaikan sebelumnya, sehingga dapat fokus menangani
perkara-perkara yang lebih penting. dan untuk Rumah Tahanan dapat
mengurangi kapasitas yang selama ini selalu Over Capacity.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, Dan Hukum

Nasional Jakarta: Prenada Media Group, 2011.

Adami, Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana. Bagian 1: stelsel pidana, teori-teori pemidanaan &

batas berlakunya hukum pidana. Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2002.

Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence).

Jakarta, Kencana, 2009.

Ali, Zainudin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

______________. Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2007.

Al Faruk, Asadulloh. Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam. Bogor: Ghalia Indonesia

2009.

Al-Kahlani, Imam Muhammad bin Ismail. Subulussalam. Juz III. Mesir : Mustafa Al-Baby Al-

Halaby, 1973.

Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammaad bin ahmad Al-Anshari. Al-Jami’li lil Ahkam Al-

Qur’an. Jilid III. Beirut : Maktabah Al-Ashriyyah, 2005.

Al-Zuhaili, Wahbah Al-Fiqh Al Islami wa Adillatuhu. cet ke-4 jilid VII. Beirut: Daar Al-Fikr,

1997.

Amriani, Nurnaningsih. Mediasi alternatif penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan.

Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2011.

______________. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (Jakarta ; Telaga Ilmu

Indonesia, 2009).

Arief, Barda Nawawi. Mediasi Penal : Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan.

Semarang : Program Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2008.
Assaf, Ahmad Muhammad. Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah fi Madzahib Al-Islamiyah Al-Arba’ah, Jilid

Astarini, Dwi Rezki Sri. Mediasi Pengadilan Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa

Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan Bandung : PT. alumni,

2013.

Audah, Abdul Qodir. At-Tasyri’ al-Jinai’ al-islamiy Muqaranan bil Qanuni Wad’iy yang di

terjemahkan ke dalam Ensiklopedi hukum Pidana Islam. Jilid III. Bogor : PT. Kharisma

Ilmu.

______________. At-Tasyri’ al-Jinai’ al-islamiy Muqaranan bil Qanuni Wad’iy yang di

terjemahkan ke dalam Ensiklopedi hukum Pidana Islam. Jilid V. Bogor : PT. Kharisma

Ilmu.

______________. Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan Bil Qonun Al-Wadh’i, yang di

terjemahkan ke dalam Ensiklopedi hukum Pidana Islam. Jilid II. Bogor : PT. Kharisma

Ilmu.

At-Tirmidzi, Abi Isa Muhamad bin Isa bin Saurot. Jami’u At-Tirmidzi. Kairo : Darul Hadist.

Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Cet. XIV. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013.

Dewi, DS, dan Fatahillah A Syukur. Medaisi Penal : Penerapan Restorative Justice di

Pengadilan Anak Indonesia. Depok, Indoe Publishing, 2011.

Djatmika, Prija. Mediasi Penal Untuk Penyelesaian Perkara Penghinaan Oleh Pers. Malang,

Selaras, 2014.

Effendi, Tolib. Praktik Peradilan Pidana : kemahiran beracara pidana pada pengadilan tingkat

pertama. Malang : Setara Press, 2016.

Handbook on restorative justice programme, (New York: United Nation, 2006).

Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung : CV Pustaka Setia, 2000.
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Cet.1. Jakarta : Rieneka Cipta, 1994.

Hamzah, Andi. Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP. Jakarta : Sinar

Grafika, 2011.

Hamzah, Andi. KUHP dan KUHAP. Jakarta, Rineka Cipta, 2012.

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Yasrif Watampoe, 2005.

Hutauruk, Hotmaulana. Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratif

Suatu Terobosan Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2013.

Ilyas, Amir. Asas-asas Hukum Pidana : memahami tindak pidana dan pertanggungjawaban

pidana sebagai syarat pemidanaan. Yogyakarta : Rangkang Education Yogyakarta &

PuKAP Indonesia, 2012.

Irfan, M. Nurul. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Amzah, 2016.

Irfan, M. Nurul. dan Masyrofah, Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah, 2013.

Irfan, M. Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta : Amzah, 2012.

Mahrus, Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada, 2012.

Margono, Suyud. ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum. Bogor : Ghalia

Indonesia, 2000.

Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana. Cet.7. Jakarta, Rineka Cipta, 2002.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 1997.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung, PT. Alumni,

1992).
Mulyadi, Lilik. Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bandung : PT.

Alumni, 2015.

Nugraha, Susanti Adi. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta : Telaga Ilmu

Indonesia, 2009.

P.A.F, Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.

Prodjodikro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung, PT. Refika Aditama,

2003.

Rawls, John. A Theory of Justice : Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk

Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Penerjemah :Uzair Fauzan dan Heru

Prasetyo. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011.

Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung : PT. Refika

Aditama, 2003.

Raco, G.R. Metode Penlitian Kualitatif Jenis, karakteristik dan keunggulan. Jakarta : Grasindo,

2010.

Rahmadi, Takdir. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta : PT

Rajagrafindo Persada, 2010.

Rahman, Budi Munawar. Ensiklopedia Nurcholis Madjid Jilid Dua. Jakarta : Yayasan Abad

Demokrasi, 2012.

Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013.

Restorative Justice in new Zealand : A model for U.S Criminal Justice. Wellington : Ian Axford

Fellowship, 2001.

Salamah, Yayah Yarotul. Mediasi dalam proses beracara di pengadilan. Jakarta, Pusat Studi

Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010.


Santoso, Agus. Hukum, Moral & Keadilan : Sebuah Kajian Filsafat Hukum. Jakarta : Kencana

Prenada Media Group, 2012.

Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Asy Syamil, 2001.

Siregar, Bismar. Rasa Keadilan. Surabaya : PT. Bima Ilmu Offset, 1996.

Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,

2006.

Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politeia 1991.

Sudiarto, Negosiasi, Medaisi & Arbitrase : Penyelesaian Sengketa Alternatif Di Indonesia.

Bandung : Pustaka Rieka Cipta, 2013.

Tridiatno, Yoachim Agus. Keadilan Restoratif. Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2015.

Usman, Rachmadi. Mediasi Di Pengadilan Dalam Teori Dan Praktik. Jakarta : Sinar Grafika,

2012.

Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Pidana I. Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1958.

Waluyo, Bambang. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta : Sinar Grafika

Cetakan keempat, 2016.

Widiartana, G. Viktimologi Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan. Yogyakarta :

UAJY, 2013.

Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan

Internasional. Jakarta ; Sinar Grafika, 2013.

Zulfa, Eva Achjani. Keadilan Restoratif. Jakarta : Badan Penerbit FH UI, 2009.

Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung : Lubuk Agung, 2011.
Undang-Undang :

PERMA RI No.1 tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Startegi dan Implementasi

Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas POLRI

PERMA RI No. 1 tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah

Denda dalam KUHP

Jurnal :

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta : Pusat

Bahasa, 2008).

Herlina, Apong. Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol.3 No.III September

2004, h.26-27

Herry Kandati, “Penerapan Mediasi Oleh Lembaga Kepolisian Republik Indonesia dalam

Penanganan Tindak Pidana Sebagai Perwujudan Restorasi Justitia”, Vol.I/No.5/ Oktober-

Desember /2013.

Ridho Rokamah, Jurnal Justitia Islamica, Vol. 10/No.2/Juli-Desember 2013.

Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafaan Sebagai Alternative Penyelesaian Perkara Pidana

Perspektif Hukum Islam, Jurnal diskursus Islam, Volume 1 No.3, Desember 2013.

Qafisheh, Mutaz M. “Restorative Justice In The Islamic Panel Law : A Contribution To The

Global System”, International journal of criminal justive sciences, vol 7 issue 1 january -

june 2012.

Surya, Faizal Adi. Tinjauan Mediasi Penal dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Islam,

Jurisprudence, Vol.5 No.2 (Septermber) 2015.


Arief, Barda Nawawi. Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan,

makalah tersebut disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggungjawaban hukum

korporasi dalam konteks Good Corporate Governance, 27 Maret 2007.

Skripsi atau tesis :

Hamzah, Arif. Konsep Islah dalam Perspektif Fiqh. Tesis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2008.

Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice

Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Universitas Indonesia

tahun 2012.

Internet :

https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1570 dilihat pada tanggal 9 Oktober 2016.

Viva.co.id dilihat pada hari Minggu tanggal 1Maret 2017

www.hukumonline.com diakses pada tanggal 21 Mei 2017

Republika.co.id dikses pada tanggal 19 Oktober 2016 pukul 19.26 Wib.

Anda mungkin juga menyukai