Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.)
Oleh :
YUSRI WAHYUNI
NIM: 11140430000013
v
بسم هللا الرمحن الرحيم
KATA PENGANTAR
Puji dan rasa syukur mendalam peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah
Muhammad SAW.
Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik berupa
dorongan moril maupun materil. Karena peneliti yakin tanpa bantuan dan dukungan
tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu peneliti secara khusus ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc, M.H., selaku Sekretaris
Program Studi Perbandingan Mazhab;
3. Bapak Dr.H. Mujar Ibnu Syarif, SH, MH., selaku Dosen Penasehat Akademik
Peneliti;
4. Bapak Dr. H. M. Asrorun Ni’am, S.Ag, M.A., dan Drs. Hamid Farihi, M.A.,
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan
ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Bapak Dr. H. Moch. Ali, M.Ag., dan Atep Abdurofiq, M.Si., selaku dosen penguji
yang telah menguji skripsi ini dan telah memberikan kritik dan saran demi
kesempurnaan skripsi ini;
6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
vi
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan mengajarkan Ilmu dan
Akhlaq yang tidak ternilai harganya. Sehingga peneliti dapat menyelesaikan studi
di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta;
7. Kedua orang tua tercintah Ayahanda Syarif Usman dan Ibunda Noviar, yang telah
mencintai dengan segenap jiwa dan raga, memberikan segala yang mereka bisa,
baik do’a maupun dukungan sehingga dengan ridha mereka peneliti bisa sampai
seperti ini;
8. Kepada paman peneliti Bapak Khairul Jasmi yang telah memberikan dukungan
moril maupun materil sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini;
9. Kakak-kakak tercintah Fetrianto, Afnilas Wati, SPd.I, Edi Eka Putra, Noviati
Nova, Herma Ripnawita, SPd.I, dan Muhammad Syukron, yang telah
memberikan segala yang mereka bisa, baik dukungan moril maupun materil
sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini;
10. Teman-teman tercintah Agnes Fitryantica, SH, Ety Asyaroh, Binga Agsel Siqitsa,
SH, Camelia Vurista, Suci Fauziardi, Azmi Fathonia Arja, Fadel Premeldy, Rani
widiastuti, Annisa Nur Aida, Ainun Mardia, Siti Sarah, Sari, Sarah Maulidiyanti,
Muharromah, Nur Asiah, Prima, Gibran, Zaelani, Deni, Angga Yudha, Harrist,
Reno (babang enoy), Fakhri (akang), Lalu Rizal, Jihan Ardiansyah, Nining Nia
Kodarningsih, Dewi Murti Hidayat, Siti Nur Kartika, Adhi, Guntur, dan adek
kelas tercintah Rivani, Latifah Azizah, Ena Nurjanna, Friska, teman-teman PMH
Angkatan 2014, Ladies PMH 2014, teman-teman Double Degree Ilmu Hukum
2016, teman-teman Kelembagaan Negara (KN) Ilmu Hukum Angkatan 2014,
teman-teman HMI Komfaksy Cabang Ciputat, Ikamanda Ciputat, KMM Ciputat,
teman-teman CLC FSH UIN Jakarta, teman-teman Pearly Fiveteen, Imatar UIN
Jakarta, teman-teman KKN Abdi Bangsa 072 yang telah memberikan do’a dan
dukungan sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik;
11. Sahabat tercintah Rini Purnama Sari, Regina Silviani, Ayu Novita, Ivon Aulia
Damayanti, Meria Ulfa, Elfy Junia Fransiska, Dila Fauziah yang telah
vii
memberikan do’a dan dukungan sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini
dengan baik;
12. Dan kepada semua pihak yang terkait dengan skripsi ini yang tidak bisa peneliti
sebutkan satu persatu.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan atas
bantuan yang telah diberikan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi
ini. Aamiin.
Peneliti
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
ix
BAB III DATA PENELITIAN
A. Pengertian Kebebasan Berekspresi..... ................................. 27
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 71
B. Rekomendasi ....................................................................... 72
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
Rhona K.M. Smith dkk, Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008),
h. 11.
1
2
2
Rhona K.M. Smith dkk, Hukum dan Hak Asasi Manusia, h. 261-265.
3
Tim Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan Berekspresi di
internet, (Jakarta: ELSAM, 2013), h. 17.
3
mencapai 132,7 juta orang. 3 media sosial yang paling banyak dikunjungi oleh para
pengguna internet di Indonesia berdasarkan hasil survey yaitu masih menurut sumber
yang sama, adalah pengguna layanan jejaring sosial Facebook yang menunjukkan
angka yang tinggi yaitu mencapai 71,6 juta pengguna, Instagram mencapai 18,9 juta
dan Youtube mencapai 14,5 juta orang.4
Dari data yang diungkapkan di atas, bisa disimpulkan bahwa lebih dari 54 %
pengguna internet di Indonesia menggunakan Facebook, 15 % menggunakan
Instagram dan 11 % lagi menggunakan Youtube sebagai wadah berekspresi via
internet5. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan media sosial bisa
dimanfaatkan sebagai tempat paling pas untuk mencurahkan ekspresi kita di dunia
maya. Keberadaan Facebook sebagai situs jejaring sosial terbesar di dunia
memungkinkan penggunanya untuk bisa berekspresi tentang apa saja yang kita mau
dari ekspresi curahan hati kita, ceramah keagamaan, berekspresi melalui puisi,
menasehati kawan dengan kata-kata bijak, saling berkomentar, chatting dan lain
sebagainya.
Contoh pelanggaran kebebasan berekspresi di jejaring sosial adalah kasus
penghinaan lewat Facebook yang menggiring Nur Arafah sebagai tersangka dalam
kasus pencemaran nama baik Felly Fandini pada tanggal 30 Mei 2009 lalu, menurut
Kasat Reskrim Polresta Bogor Ajun Komisaris Polisi Irwansyah, menuturkan Arafah
dijeret pasal 310 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman
hukuman sembilan bulan penjara.6
Contoh lain juga dirasakan oleh pemilik nama asli Asa Firda Inaya yang
“Warisan” di akun Facebooknya @Afi Nihaya Faradisa pada Senin, 15 Mei 2017.
Tulisannya viral. Status tulisannya mendapat 138 ribu respons warganet, termasuk
sekitar 120 ribu tanda suka dan lebih dari 16 ribu lambang hati (love). Tercatat 76.179
4
Hasil Survey APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) Tahun 2016
5
Hasil Survey APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) Tahun 2016
6
Nur Arafah Jadi Tersangka Kasus Pencemaran Lewat Facebook, http://metro.tempo,co/read/
188196/nur-arafah-jadi-tersangka-kasus-pencemaran-lewat-facebook
4
akun ikut menyebarnya (share). Dalam tulisan itu ia mengatakan agama dan ras
merupakan warisan dari orang tua yang dapat ketika seseorang terlahir di dunia. Afi
pun panen pujian atas tulisan-tulisannya yang diunggah di FB, namun di balik pesan
damai yang disampaikan itu rupanya banyak juga teror dan ancaman yang datang.
Bahkan dia diancam dibunuh dan akunnya sempat ditangguhkan Facebooknya selama
24 jam.7
Dari kasus-kasus yang sudah dipaparkan, masih banyak kasus lain yang serupa
yang sering ditemui di media sosial saat ini, hal tersebut terjadi disebabkan karena di
zaman sekarang, kita banyak dihadapkan pada ekpresi kebebasan yang melebihi batas
kebebasan manusia. Hal ini secara mendasar disebabkan oleh kesalahfahaman dalam
memaknai makna kebebasan. Kebebasan yang diberikan cenderung kebablasan dan
tidak memandang hak-hak serta kewajiban yang lain, dan di sisi lain apabila
mengekang kebebasan berekspresi tersebut berarti telah melukai demokrasi yang telah
dijunjung tinggi dan diakui keberadaannya di Indonesia.
Kebebasan berekspresi di Indonesia yang merupakan hak dari setiap manusia,
yang menjadi amanat dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, khususnya pasal 28F (amandemen ke-2 yang ditetapkan pada Agustus 2000)
menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal
14 ayat (2) menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”
7
Asa Afi Firda Inayah Saya Diancam Akan Dihabisi, http://Beritagar.id/artikel/bincang/asa-afi-
firda-inayah-saya-diancam-akan-dihabisi.
5
8
Manfred Nowak, Introduction to the International Human Right Regine, (Leiden: Martinus
Nijhoff Publishers, 2003),h. 1.
9
Mui Keluarkan Fatwa Halal Haram Bermedia Sosial, http://m.liputan6.com/news/read/2
979133/mui-keluarkan-fatwa-halal-haram-bermedia-sosial.
10
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nomor: 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman
Bermumalah Melalui Media Sosial
6
memberikan efek buruk bagi dirinya, maka harus mengetahui batasan-batasan dari
kebebasan berekspresi tersebut sehingga tidak bertentangan dengan hukum Islam dan
HAM. Tentunya hukum Islam dan HAM berbeda dalam memberikan batasan-batasan
tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk membahas,
“Kebebasan Berekspresi Melalui Media Sosial Menurut Hukum Islam dan HAM”.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Adapun metode pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini, yaitu
pendekatan perundang-undangan (statude approach) adalah suatu pendekatan yang
dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.11
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
reasearch dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan,
Fatwa MUI, buku-buku, dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan judul skripsi
ini.
3. Data Penelitian
Dalam penelitian kepustakaan digunakan data sekunder berupa bahan hukum
yang terdiri dari bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan, bahan
hukum sekunder berupa yang berupa buku-buku, buku-buku, jurnal-jurnal hukum,
kamus-kamus hukum, termasuk data-data atau dokumen-dokumen dari internet
yang berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.
4. Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan rujukan dalam
penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini peneliti bagi ke dalam dua jenis
data, yaitu :
a. Sumber Primer
Data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang diperlukan.
Dan disebut juga bahan-bahan hukum yang mengikat.12 Dalam hal ini, yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 39
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet, IV, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 137.
12
Soejono Sukanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND HILLCO,
2001), h. 13.
9
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun
2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.
b. Sumber Sekunder
Yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan hukum primer, yaitu
data pendukung dan data pelengkap, Adapun bahan hukum sekunder yang
peneliti gunakan adalah buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus
hukum, termasuk data-data atau dokumen-dokumen dari internet yang berkaitan
dengan pembahasan dalam penelitian ini.13
5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data studi pustaka (library
research). Studi pustaka dilakukan guna mengklarifikasikannya dengan masalah
yang dikaji. Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, maupun bahan
hukum sekunder diuraikan dan di hubungakan sedemikian rupa, sehingga
ditampilkan pada penelitian yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan.
6. Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang akan dijadikan sebagai bahan analisis dalam
penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan
Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.
7. Teknik Pengolahan Data
Cara mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh dari
pendekatan yang di lakukan oleh peneliti yaitu pendekatan perundang-undangan.
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h., 155.
10
Dan kemudian dianalisis untuk mendapatkan titik terang dan jawaban terhadap
permasalahan yang dikaji.
8. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisi
data. Dalam hal ini penulis menggunakan metode komparatif. Metode komparatif
ini digunakan untuk membandingkan 3 peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang kebebasan berekspresi di media sosial dengan fatwa MUI tentang
hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial yang menjadi sumber dasar
Hukum Islam dalam kebebasan berekspresi di Indonesia.
9. Pedoman Penulisan Skripsi
Adapun pedoman penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017
E. Sistematika Penulisan
Pedoman penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
berdasarkan buku pedoman panduan penyusunan skripsi dan karya tulis ilmiah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017, dan untuk menjadikan penelitian ini menjadi penelitian yang terarah dan
sistematis maka pembahasan skripsi ini dilakukan dan ditulis melalui tiga tahap
penulisan yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari
bab-bab dan di dalam bab terdapat sub-sub bab. Adapun sistematika penulisannya
adalah sebagai berikut:
Bab I berisikan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II berikan kajian pustaka yang menguraikan dua pokok pembahasan yaitu
pembahasan terkait kerangka teori yaitu definisi atau istilah operasional terhadap kata-
11
kata yang berkaitan dengan penelitian ini, teori konseptual yaitu pandangan para pakar
yang berkaitan dengan judul skripsi. Selanjutnya akan dijelakan terkait tinjauan
(review) kajian terdahulu, agar tidak ada persamaan dengan apa yang ditulis pihak lain.
Bab III berisikan data penelitian yang menuraikan tentang pengertian kebebasan
berekspresi, media sosial yang terdiri dari sub bab yaitu definisi media sosial, sejarah
media sosial dan jenis-jenis media sosial dan Hak Asasi Manusia yang terdiri dari sub
bab yaitu pengertian Hak Asasi Manusia, prinsip-prinsip HAM dan Kebebasan
Berekspresi sebagai Derogable Rights atau Non-derogable Rights.
Bab IV berisikan hasil penelitian yang menguraikan tentang pengaturan
kebebasan berekspresi melalui media sosial menurut hukum Islam dan HAM, dan
pembatasan terhadap kebebasan berekspresi melalui media sosial menurut hukum
Islam dan HAM.
Bab V berisikan penutup, bagian akhir dari penulisan skripsi ini terdiri dari
kesimpulan terhadap penelitian, serta berisikan rekomendasi untuk pemerintah dalam
menyikapi kebebasan berekspresi melalui media sosial di Indonesia.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
Sesuai dengan judul penelitian, pokok bahasan adalah kebebasan berekspresi
melalui media sosial menurut hukum Islam dan HAM. Untuk lebih memberikan
batasan dan gambaran yang jelas dari penelitian yang dilakukan, maka perlu penulis
jelaskan apa yang dimaksud dengan kebebasan, bereskpresi, melalui media sosial dan
HAM.
1. Kebebasan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebebasan merupakan kata dasar
dari bebas yang artinya lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb
sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dengan leluasa): lepas dari
(kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dsb): tidak terikat atau terbatas oleh aturan
dsb: merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain
atau kekuasaan asing): tidak terdapat (didapati) lagi. Dan kebebasan adalah
keadaan bebas : kemerdekaan.1 Pada yang pertamma, kita rumuskan kebebasan
sebagai sesuatu yang negatif. Artinya, bebas adalah keadaan dimana campur
tangan dari luar yang aka membatasi kebebasan itu dicegah. Dalam pengertian ini
individu meminta supaya kebebasannya tidak dicampuri pihak luar, tentunya
sepanjang tidak menganggu kebebasan orang lain. Bebas disini adalah bebas dari
camur tangan pihak luar. Kalau HAM dihibungkan dengan kebebasan seperti ini,
maka muncul beberapa masalah, ini tidak berarti bahwa kebebasan yang seperti
ini tidak penting. Tapi memang muncul persoalan-persoalan yang kadang-kadang
sulit dijawab. Misalnya, apakah hak asasi atau kebebasan seseorang untuk menjadi
pelacur harus dihormati ? atau kebebasan para anak muda untuk mengkonsumsi
pil ekstasi untuk menghindari realitas kehidupan modern yang keras, apakah ini
1
Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia :Edisi Ketiga, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), h. 118-119.
12
13
juga harus dilindungi sepanjang tidak menganggu orang lain ? atau yang kini
menjadi perdebatan, apakah kebebasan seseoramh untuk menghakhiri hidupnya
(eutanasia) harus dijamin, kalau dia merasa bahwa dia sudah cukup menikmati
hidup ini. 2
Pada konsep yang kedua, bebas untuk, kebebasan dan hak asasi
dihubungkan dengan nilai-nilai yang mau dicapai manusia dalam hidup ini.
Pengertian kebebasan disini lebih bersifat positif, yakni kebebasan untuk
merealisasikan nilai-nilai yang dianggap luhur. Karena itu, misalnya kebebsan
untuk bereutanasia bisa ditolak, kalau kita menganggap bahwa hidup ini
merupakan sesuatu suci, yang tidak bisa seenaknya saja diakhiri, meskipun oleh
pemiliknya sendiri, kecuali dia ada dalam keadaan sakit berat. Ini semua
tergantung dari nilai luhur yang kita anut. 3 Selain itu kebebasan meliputi segala
macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan yang disadari, disengaja dan dilakukan
demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut tindakan. Namun bersamaan dengan
itu manusia juga memiliki keterbatasan atau dipaksa menerimanya apa
adanya. Misalnya keterbatasan dalam menentukan jenis kelaminnya, keterbatasan
kesukuan kita, keterbatasan asal keturunan kita, bentuk tubuh kita, dan
sebagainya. Namun keterbatasan yang demikian itu sifatnya fisik, dan tidak
membatasi kebebasan yang sifatnya rohaniah. Dengan demikian keterbatasan –
keterbatasan tersebut tidak mengurangi kebebasan kita.4
2. Bereskpresi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia eksresi adalah (i) pengungkapan
atau proses menyatakan (yaitu memperlihatkan atau menyatakan maksud,
gagasan, perasaan, dan sebagainya), (ii) pandangan air muka yang
memperlihatkan perasaan seseorang. Jadi ekspresi adalah pengungkapan ataupun
2
Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan, kumpulan tulisan 1965-2005,
(Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. 114
3
Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan, kumpulan tulisan 1965-2005, h. 114
4
Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), cet. 15, h. 113
14
5
Pengertian Ekspresi, http://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-ekspresi
15
6
Anang Sugeng Cahyono, Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial
Masyarakat di Indonesia, h. 140
7
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 4.
8
Barzah Latupono, La Ode Angga dkk, Bahan Ajar Hukum Islam, (Yogyakarta:
Deepublish, 2017), h. 3.
9
H Zainuddin Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam di indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), h. 4.
16
oleh ahli hukum Islam melalui motode qiyas dan metode ijtihad lainnya. Hukum
Islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fiqh al-
Islam atau dalam konteks tertentu dari as-syariah al-Islamy. Dalam wacana
hukum Barat istilah ini disebut dengan Islamic Law. Penyebutan hukum Islam
sering dipakai sebagai terjemahan dari syariat Islam atau fiqh Islam. Apabila
syariat Islam diterjemahkan sebagai hukum Islam (hukum in abstracto), maka
berarti syariat Islam yang dipahami dalam makna yang sempit. Kajian syariat
Islam meliputi aspek I’tiqadiyah, khuluqiyah, dan amal syariah. Sebaliknya bila
hukum Islam merupakan terjemahan dari fiqh Islam, maka hukum Islam termasuk
bidang kajian ijtihad yang bersifat dzanni. Pada dimensi lain penyebutan hukum
Islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu negara, baik yang telah
terdapat didalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum. Jika demikian adanya,
kedudukan fiqh Islam bukan lagi sebagai hukum Islam in abstracto (pada tataran
fatwa atau doktrin) melainkan sudah menjadi hukum Islam in concreto (pada
tataran aplikasi atau pembumian). Hukum Islam secara formal sudah dinyatakan
berlaku sebagai hukum positif, yang berarti bahwa aturan yang mengikat dalam
suatu negara.10 Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah
Allah SWT yang wajib dituruti (ditaati) oleh seorang Muslim. Dari definisi
tersebut syariah meliputi :11 (i) ilmu aqoid (keimanan); (ii) ilmu fiqh (pemahaman
manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT); (iii) ilmu akhlak (kesusilaan).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum Islam adalah syariat
yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah SWT untuk hamba-NYA
yang dibawa oleh seorang Nabi Muhammad SAW, baik hukum yang berhubungan
dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan
amaliyah (perbuatan). 12
10
Barzah Latupono, La Ode Angga dkk, Bahan Ajar Hukum Islam, h. 4
11
Muhammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 4
12
Barzah Latupono, La Ode Angga dkk, Bahan Ajar Hukum Islam, h. 4
17
13
Kuntjoro Purbopranoto, Hak-hak Dasar Manusia dan Pancasila Negara Republik
Indonesia, (Jakarta: PN. Pradnya Paramita, 1960), h. 28
14
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986), h. 28
18
B. Teori-teori Terkait
Teori kebebasan secara garis besar, Islam menetapkan tiga bentuk kebebasan,
yakni, (i) kebebasan berfikir; (ii) kebebasan beritikad, dan (iii) kebebasan
mengemukakan pendapat. Ketiga macam kebebasan ini diperkuat oleh pendapat Abdul
Qadir Audah dengan seperangkat dalil-dalilnya yang shorih sehingga argumentasinya
sangat akurat dan memuaskan. 16 Di zaman baru, perdebatan masalah kebebasan dan
keterpaksaan tersebut muncul kembali. Sebagian ahli filsafat seperti Spinoza, Hucs
dan Melebrache berpendapat bahwa manusia melakukan suatu karena terpaksa.
Sementara sebagian ahli filsafat lainnya berpendapat bahwa manusia memiliki
kebebasan unuk menetapkan perbuatnnya. 17
Disebut bebas apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak
dibatasi oleh suatu paksaan atau keterkaitan kepada orang lain. Paham ini disebut
bebas negatif, karena hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas
untuk apa. Seseorang disebut bebas apabila : (a) dapat mentukan sendiri tujuan-
tujuannya dan apa yang dilakukannya, (b) dapat memilih antara kemungkinan-
kemungkinan yang tersedia baginya, (c) tidak dipaksa atau terikat untuk membuat
sesuatu yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang
dipilihnya sendiri. Oleh kehendak orang lain, negara ataupun kekuasaan apapun. 18
Selain itu kebebasan meliputi segala macam kegiatan manusia, yaitu kegiatan
yang disadari, disengaja dan dilakukan demi suatu tujuan yang selanjutnya disebut
tindakan. Namun bersamaan dengan itu manusia juga memiliki keterbatasan atau
15
Widiada Gunakaya, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: ANDI, 2017), h. 55-56
16
Abdullah Nashih Ulwan, Pesan Untuk Pemuda Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.
54
17
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 110
18
Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers. 1987), Cet. 1, h. 39-40
19
19
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 113.
20
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, h. 111.
21
Ahmad Charris Zubair, Kuliah Etika, h. 43.
20
kategori hak asasi manusia yang utama. Hak ini masuk kategori hak asasi pertama, hak
dengan dimensi sipil-politik. Meskipun hak berekspresi dianggap “tidak”
sefundamental hak atas hidup, hak beragama dan berkeyakinan, hak bebas dari
penyiksaan, dan masih dimungkinkan untuk di derogasi, hak ini selalu menjadi
pengawal utama hak-hak dasar manusia. Sebagai bagian dari hak liberal, kebebasan
berekspresi menjadi jembatan dari dua dimensi hak sipil (hak bebas dari intervensi
Negara) dan hak politik (hak untuk menentukan Negara). Kebebasan berekspresi
menjadi penanda dari suatu tatanan politik yang demokratis dan dasar supremasi
hukum. Hak Kebebasan bereskpresi merupakan hak individual (kelompok) untuk
membentuk, membangun, dan menyatakan pikiran (opini)nya sendiri dari indoktrinasi
eksternal dan hak ini merupakan benteng dari “free market of ideas”22 dari ekspresi
dan ketakutan. Hak ini menjadi batu penjuru (corner stone) dari hak-hak asasi lainnya,
baik itu hak-hak sipil-politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya lainnya. 23
Todung Mulya Lubis menyebutkan ada empat teori HAM24, yaitu pertama, hak-
hak alami (natural rights), berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh
seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia
(human rights are rights that belong to all human beings at all times and in all places
by virtue of being born as human beings).
Kedua, teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa karena hak
harus tertuang dalam hukum yang riel, maka dipandang sebagai hak melalui adanya
jaminan konstitusi (rights, then should be created and granted by constitution, laws
and contracts). Pandangan ini secara nyata berasal dari ungkapan Bentham yang
mengatakan, rights is a child of law , from real laws come real rights, but from
22
Dalam perspektif HAM, ide-gagasan-pemikiran-keyakinan yang abstrak tersebut tidak dapat
dibatasi dan karenanya tidak boleh dilarang. Yang bisa dibatasi hanyalah implikasi ide tersebut yang
bersifat fisik dan merugikan hak asasi orang lain, juga dalam bentuk yang materil.
23
Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Menguji Pembatasan
terhadap Kebebasan Berekspresi dan Hak Berorganisasi yang Dimungkinkan Berdasarkan Perspektif
HAM, h. 6.
24
Todung Mulya Lubis, In Search of Human Rights; Legal Political Dilemmas of Indonesia’s
New Order, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 14-25.
21
imaginary law, law of nature, come imaginary rights. Natural rights is simple nonsens,
natural and impresicible rights rethorical nonsens, nonsens upon still.
Ketiga, teori relativis kultural (cultural relativist theory). Teori ini adalah salah
satu bentuk antitesis dari teori hak-hak alami (natural rights). Teori ini berpandangan
bahwa menganggap hak itu bersifat universal merupakan pelanggaran satu dimensi
kultural terhadap dimensi kultural yang lain, atau disebut dengan imperialisme kultural
(cultural imperialism). Yang ditekankan dalam teori ini adalah bahwa manusia
merupakan interaksi sosial dan kultural serta perbedaan tradisi budaya dan peradaban
berisikan perbedaan cara pandang kemanusiaan (different ways of being human). Oleh
karenanya, penganut teori ini mengatakan, that rights belonging to all human beings at
all times in all places would be the rights of desocialized and deculturized beings.
Keempat, doktrin Marxis (Marxist doctrine and human rights). Doktrin Marxis
menolak teori hak-hak alami karena negara atau kolektivitas adalah sumber galian
seluruh hak (repository of all rights). Hak-hak mendapatkan pengaduan sebagai hak
indivisual, apabila telah mendapat pengakuan dari negara dan kolektivitas. Dengan
kata lain, all rights derive from the state, and are not naturally possessed by human
beings by virtue of having been born.
Dalam perspektif HAM Internasional, margin apresiasi HAM merupakan garis
batas di mana pengawasan internasional harus mengalah kepada pertimbangan negara-
pihak dalam merancang atau menegakkan hukumnya. Dalam konteks domestik,
margin apresiasi merupakan batas legitimasi bagi otoritas negara membuat kebijakan
yang membawa akibat mengurangi atau membatasi HAM. UUD 1945 secara implisit
menganut ajaran margin apresiasi HAM. Pasal 28 J (2) UUD 1945 menyatakan,
”Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.” Pasal ini
membawa konsekuensi diterapkannya margin apresiasi HAM, demi kepentingan
22
25
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Margin Apresiasi HAM", https://nasio
nal.kompas.com/read/2011/03/08/04052481/twitter.com.
23
dan kaum Muslimin yang hidup pada periode berikutnya membangun peradaban di
atas dasar-dasar yang telah diletakkan oleh Nabi Muhammad SAW tersebut. 26
Dalam Islam, konsep kebebasan berekspresi dikenal dengan istilah-isltilah yang
berbeda. Terdapat tiga buah istilah yang secara langsung dapat dikaitkan dengan
konsep kebebasan berekspresi dalam Islam. Konsep-konsep tersebut adalah
hurriyaturra’yi (kebebasan berpendapat), hurriyatul mu’arrada (kebebasan
mengajukan kritik), dan al-hurriyatud diniyyah (kebebasan beragama). Berdasarkan
tiga konsep di atas, dapat ditegaskan bahwa tradisi Islam sangat familier dengan
konsep kebebasan berekspresi. Tentu saja koridor Islam menjadi batasan akan ketiga
konsep tersebut meskipun di dalam ajaran Islam, terdapat sejumlah hal yang bersifat
multitafsir. Muhammad Abduh, ulama dari Mesir dan Syekh al-Azhar sebagaimana
dikutip oleh Arief Subhan dkk, mengatakan bahwa kebebasan itu mengandung tiga
prinsip. Pertama, setiap orang bebas berbuat menurut kehendak dan pilihan bebasnya,
tetapi di atas itu ada tugas dan tanggungjawab. Kedua, setiap kegiatan harus memiliki
tujuan tertentu, dan manusia harus memilih cara yang paling baik dan bijaksana untuk
mencapai tujuan tersebut. Ketiga, kebebasan setiap individu tidak bersifat mutlak,
tetapi terbatas dan terikat pada tanggung jawab sosial. Dengan demikian, dapat
disimpulkan sementara bahwa dalam Islam terdapat konsep kebebasan berekspresi,
tetapi konsepnya berbeda dengan budaya Barat yang seolah-olah menggambarkan
bahwa kebebasan itu bersifat mutlak sehingga bisa digunakan untuk tujuan apa saja.27
Menurut Supriyanto Abdi,28 setidaknya terdapat tiga varian pandangan tentang
hubungan Islam dan HAM, baik dikemukakan oleh para sarjana Barat atau pemikir
Muslim sendiri, (yakni): Pertama, menegaskan bahwa Islam tidak sesuai dengan
gagasan dan kosenpsi HAM modern. Kedua, menyatakan bahwa Islam menerima
26
Arief Subhan, Didin Syafruddin dkk, Seri Khotbah Jum’at : Islam untuk Kedamaian dalam
Perbedaan, h. 57.
27
Arief Subhan, Didin Syafruddin dkk, Seri Khotbah Jum’at : Islam untuk Kedamaian dalam
Perbedaan, h. 59-61.
28
Supriyanto Abdi, Mengurai Kompleksitas Hubungan Islam, HAM, dan Barat, dalam UNISIA,
(Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 74-75.
24
semangat kemanusiaan HAM modern, tetapi, pada saat yang sama, menolak landasan
sekulernya dan menggantinya dengan landasan Islami. Ketiga, menegaskan bahwa
HAM modern adalah khazanah kemanusiaan universal dan Islam (bisa dan
seharusnya) memberikan landasan normatif yang sangat kuat terhadapnya.
HAM yang dijamin oleh agama Islam bagi rakyat dapat diklasifikasikan kedalam
dua kategori :29
1. HAM dasar yang telah ditetapkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia.
2. HAM yang dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok rakyat yang berbeda dalam
situasi tertentu, status, posisi, dan lain-lainnya yang mereka miliki. Hak-hak
khusus bagi nonmuslim, kaum wanita, buruh/pekerja, anak-anak, dan lainnya
merupakan beberapa contoh dari kategori hak-hak ini.
HAM dalam Islam merupakan salah satu bagian dari pola umum syariat. Hak-
hak ini sesuci hukum-hukum syariat lainnya, dan dengan demikian hak-hak ini harus
diindahkan sesuai dengan syariat. Tidak ada ketetapan Allah yang dapat dikurangi
ataupun dibatasi demi hak-hak manusia. Jadi, jelaslah dari sini bahwasanya semua
hukum yang telah ditetapkan syariat itu membatasi ruang lingkup hak-hak manusia.30
29
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996),
h. 59.
30
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, h. 100.
25
ini bahwa kebebasan berekspresi melalui media digital telah dengan jelas dan sangat
rigit diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional. Penerapan regulasi
mengenai kebebasan berekspresi melalui media digital di Indonesiapun telah
dilakukan oleh pemerintah melalui ratifikasi ICCPR dan UU HAM No. 39 Tahun 1999
serta mengatur secara khusus informasi dan transaksi elektronik melalui UU No. 11
tahun 2008. Namun aplikasinya masih terdapat banyak tantangan serta masalah terkait
intoleransi dari warga masyarakat, kebijakan politik yang tidak demokratis serta
berbagai tekanan dari pihak-pihak yang tidak menyukai konsep HAM.31
Toni Yuri Rahmanto, yang menulis “Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif
Hak Asasi Manusia: Perlindungan, Permasalahan dan Implementasinya di Provinsi
Jawa Barat”. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana implementasi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memberikan perlindungan
hak kebebasan berekspresi masyarakat khususnya di Provinsi Jawa Barat. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian hukum normatif empiris, sifat penelitian bersifat
deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran belum sepenuhnya
memberikan jaminan perlindungan terhadap hak kebebasan berekspresi masyarakat di
Provinsi Jawa Barat karena masih belum adanya keberagaman isi siaran yang
dilakukan oleh lembaga penyiaran, Sanksi dan teguran dari KPID Provinsi Jawa Barat
sebagai lembaga regulator penyiaran di daerah seyogyanya harus diikuti dengan
kepastian bahwa pelanggaran yang terjadi tidak akan terulang kembali oleh lembaga
penyiaran, dan keberagaman kepemilikan media yang terjadi di Provinsi Jawa Barat
masih belum sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UU Nomor 32 Tahun 2002
tentang penyiaran.32
31
Mikel kelvin, Pengaturan Kebebasan Berekskresi Melalui Media Digital Menurut Hukum
Internnasional dan Penerapannya di Indonesia, (Makasar: Skripsi Universitas Hasanuddin Makasar,
2016), h. 102
32
Tony Yuri Rahmanto, Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia:
Perlindungan, Permasalahan dan Implementasinya di Provinsi Jawa Barat, Jurnal Hak Asasi Manusia,
Volume 7 No.1 (Juli 2016), h. 52
26
Berdasarkan kajian terdahulu di atas, belum ditemukan karya ilmiah yang secara
khusus membahas kebebasan berekspresi melalui media sosial menurut hukum Islam
dan HAM, para peneliti baru sebatas mengakaji pengaturan kebebasan berekspresi
melalui media digital menurut hukum internasional dan kebebasan berekspresi dalam
perspektif HAM dan implementasinya di Provinsi Jawa Barat. Oleh karena itu, peneliti
bermaksud mengisi kekosongan penelitian tentang kebebasan berekpresi, khususnya
kebebasan berekspresi melalui media sosial menurut hukum Islam dan Hak Asasi
Manusia.
BAB III
DATA PENELITIAN
1
Kamus Besar Bahasa Indonesia
2
Arief Subhan, Didin Syafruddin dkk, Seri Khotbah Jum’at : Islam untuk Kedamaian dalam
Perbedaan, (Ciputat : PPIM UIN Jakarta, 2016), h. 57.
3
Tony Yuri Rahmanto, Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia:
Perlindungan, Permasalahan dan Implementasinya di Provinsi Jawa Barat, h. 48.
27
28
fase the printing era, fase the telecommunication era dan interactive communication
era” dari keempat fase tersebut telah terlahir yang namanya kebebasan berpendapat
dan kebebasan berekspresi.4
Istilah “kebebasan berekspresi” itu sendiri sebenarnya telah ada sejak zaman
kuno, setidaknya semenjak masa Polis Athena di Yunani sekitar 2400 tahun yang lalu.
Akan tetapi, jenis kebebasan berekspresi pada saat itu sebenarnya masih amat terbatas
dan hanya diberikan kepada sekelompok kecil masyarakat. Semenjak pada saat itu,
istilah “kebebasan berekspresi” digunakan dengan amat luas dan dikonseptualisasikan
(dan direkonseptualisasikan) oleh berbagai kelompok.
“Kebebasan berekspresi, yang mencakup hak untuk mencari, menerima dan berbagai
informasi dan ide dalam segala jenisnya, mencakup hak untuk berbagi atau
mengekspresikan informasi atau ide, serta hak untuk mengakses informasi”
(masyarakat hak-hak asasi manusia internasional). 5
4
Tony Yuri Rahmanto, Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia:
Perlindungan, Permasalahan dan Implementasinya di Provinsi Jawa Barat, h. 48.
5
UNESCO, Toolkit Kebebasan Berekspresi bagi Aktivis Informasi, place Fontenoy 75007 Paris,
h. 16.
29
menimbulkan benih instabilitas karena masyarakat akan menjadi kaku dan tidak
mampu beradaptasi terhadap perubahan.6
Hak atas kebebasan berekspresi mencakup kebebasan untuk menyampaikan
opini/ pendapat, pandangan atau gagasan tanpa adanya intervensi/campur tangan, hak
untuk mencari, menerima dan menyampikan informasi, melalui media apapun, tanpa
memandang batas-batas wilayah. Kebebasan ini dilakukan baik secara lisan,
tulisan/cetak, dalam bentuk seni/budaya, atau melalui media lain yang dipilihnya.7
Kebebasan berekspresi terkadang juga dikenal sebagai kebebasan berbicara. Dua
konsep ini sebenarnya sama. Kebebasan berekspresi amat terkait erat dengan konsep
lain yang disebut dengan kebebasan pers. Kebebasan berekspresi mencakup ekspresi
yang lebih luas, termasuk kebebasan berekspresi melalui cara lisan, tercetak maupun
materi audiovisual, serta ekspresi budaya, artistik maupun politik. Kebebasan pers
lebih difokuskan pada media cetak dan penyiaran, khususnya yang terkait dengan
jurnalisme dan jurnalis. 8
Kebebasan berekspresi adalah hak individual sekaligus kolektif, yang
memungkinkan orang-orang mempunyai kesempatan untuk menyampaikan, mencari,
menerima, dan membagikan berbagai macam informasi, yang dapat mengembangkan
dan mengekspresikan opini/pandangan mereka dengan cara yang menurut mereka
tepat. Kebebasan berekspresi bisa dilihat dari dua cara; hak untuk mengakses,
menerima, dan menyebarkan informasi dan hak mengekspresikan diri melalui medium
apapun. Ketentuan dalam frasa “melalui media apapun” atau “melalui media lainnya”
dapat diartikan bahwa pelaksanaan kebebasan berekspresi dapat diartikan melalui
penggunaan teknologi komunikasi dan informasi termasuk media internet. Kata dalam
hak untuk “mencari” dan menyebarkan informasi sesuai dengan kata “surfing” di
6
The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Toolkit
Kebebasan Berekspresi bagi Aktivis Informasi, h. 17.
7
Tim Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan Berekspresi di
internet, h. 17.
8
The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Toolkit
Kebebasan Berekspresi bagi Aktivis Informasi, h. 17.
30
internet dan melakukan “posting” informasi di website atau melalui media internet
lainnya untuk dapat dibaca semua orang. Hak untuk “menerima” informasi merujuk
pada saling menukar informasi misalnya melalui surat elektronik (email) dan
melakukan “download” atas informasi tertentu. Artinya, hak atas kebebasan
berekspresi mencakup aktivitas yang dilakukan secara “online”.9 Amien Rais
menyatakan bahwa terdapat 10 kriteria demokrasi yang harus dipenuhi oleh sebuah
negara. Salah satunya ialah pemenuhan terhadap empat macam kebebasan, yakni:
kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, dan
kebebasan beragama. Bila rakyat sudah tidak boleh berbicara atau mengeluarkan
pendapat, maka itu pertanda tiadanya demokrasi.10
Dari beberapa penjelasan tentang kebebasan berekspresi yang dikemukakan di
atas, jelaslah bahwa freedom of expression pada dasarnya tidak dapat dikurangi dalam
bentuk apapun, Namun, karena kerangka dalam segala tindakan kita adalah lingkungan
yang secara normatif punya aturan-aturan tertentu, maka secara tidak langsung,
seseorang tidak bisa berekspresi sebebas-bebasnya tanpa menghiraukan dampak sosial
yang akan ditimbulkan.
Kebebasan berekspresi sejatinya diakui dunia internasioanal sebagai salah satu
hak asasi manusia. Dokumentasinya dapat kita lihat pada isi Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM). Dalam pengantarnya, Hendardi sebagaimana dikutip oleh
hukum online, menyatakan Indonesia terikat secara moral terhadap DUHAM dan
konvensi-konvensi internasional. Mau atau tidak Indonesia harus menerapkan prinsip
kebebasan berekspresi yang termuat di dalamnya.11 Adanya pengakuan atas kebebasan
berekspresi secara universal, maka muncul dua hal yang menjadi penting, yakni: pada
tingkatan individu, kebebasan berekspresi adalah kunci dalam pembangunan,
9
Tim Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan Berekspresi di
internet, h. 17
10
Krisna Harahap, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia (Bandung: Grafiti. Kuntjoro,
2003), h. 73
11
Kebebasan Berekspresi yang Terkungkung Aturan, www.hukumonline.com/kebebasan-bereks
presi-yang-terkungkung-aturan.
31
martabat, dan ada pada diri setiap orang. Dengan saling bertukar ide dan informasi
yang bebas antar individu, maka masyarakat mendapatkan pemahaman atas kehidupan
di lingkungannya dan dunia yang lebih luas. Akibatnya masyarakat memiliki peluang
untuk mengembangkan taraf kehidupannya. Lebih dari itu, seseorang menjadi merasa
terlindungi dan dihargai oleh negara karena memiliki kebebasan untuk menyatakan
pendapatnya. Ditingkatan negara, kebebasan berekspresi menjadi pendorong yang
penting bagi pemerintahan yang baik yakni dalam hal perubahan sosial dan
perekonomian.12 Contoh bagian konsitusi yang berurusan dengan kebebasan
berekspresi, diambil dari Pasal 16 Konstitusi Republik Afika Selatan yang bermulai
berlaku pada 1996 setelah berakhirnya rezim Apartheid, menyatakan dengan amat
jelas bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi” selanjutnya, kosntitusi
tersebut juga menekankan kebebasan “pers” dan “media”, “untuk menerima atau
berbagi informasi atau ide”. Dan juga “kreativitas artistik”. Konstitusi Afrika Selatan
bahkan juga mencantumkan “kebebasan akademik” dan “penelitian ilmiah”, yang
bahkan jarang ditemui di konstitusi Negara lain. Akan tetapi konstitusi ini juga
memiliki batasan atas kebebasan berekspresi yang mengecualikannya pada
propaganda perang dan penghasutan kepada kekerasan (inticement of imminent
violence). 13
B. Media Sosial
1. Definisi Media Sosial
Pengungkapan kata ‘media” bisa dipahami dengan melihat dari proses
komunikasi itu sendiri, proses terjadinya komunikasi memerlukan tiga hal, yaitu
objek, organ dan medium. Saat menyaksikan sebuah program di televisi, televisi
adalah obyeknya dan mata adalah organ. Perantara antara televisi dan mata adalah
gambar atau visual. Contoh sederhana ini membuktikan bahwa media merupakan
12
Article 19, Central Asian Pocketbook on freedom of Expression, (OSCE: London,2016),
h. 21.
13
UNESCO, Toolkit Kebebasan Berekspresi bagi Aktivis Informasi, h. 29.
32
wadah untuk membawa pesan dari proses komunikasi.14 Kata “sosial” dalam media
sosial secara teori semestiya didekati oleh ranah sosiologi. Bahkan, dalam teori
sosiologi disebutkan bahwa media pada dasarnya adalah sosial karena media
merupakan bagian dari masyarakat dan aspek dari masyarakat yang
direpresentasikan dalam bentuk perangkat teknologi yang digunakan. Secara teori,
ketika membahas kata “sosial”, ada kesepahaman bahwa individu-individu yang
ada di dalam komunitas itu tidak hanya berada dalam sebuah lingkungan. Anggota
komunitas harus berkolaborasi hingga bekerja sama karena inilah karakter dari
sosial itu sendiri. Karena itu, tidak mudah memahami sosial dalam kaitannya
dengan media sosial.15
Dua pengertian dasar tentang media dan sosial telah dijelaskan, namun tidak
mudah membuat sebuah definisi tentang media sosial berdasarkan perangkat
teknologi semata. Diperlukan pendekatan dari teori-teori sosial untuk memperjelas
apa yang membedakan media sosial dengan media lainnya di internet sebelum pada
kesimpulan apa yang dimaksud dengan media sosial.16 Berikut ini adalah definisi
dari media sosial yang berasal dari berbagai literature penelitian :17
a. Menurut Mandibergh (2012), media sosial adalah media yang mewadahi kerja
sama d.iantara pengguna yang menghasilkan konten (user generated content).
b. Menurut Shirky (2008), media sosial dan perangkat lunak sosial merupakan alat
untuk meningkatkan kemampuan pengguna untuk berbagi (to share), bekerja
sama (to co-operate) di antara pengguna dan melakukan tindakan secara kolektif
yang semuanya berada di luar kerangka institusional maupun organisasi.
c. Boyd (2009) menjelaskan media sosial sebagai kumpulan perangkat lunak yang
memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi,
14
Rulli Nasrullah, Media Sosial perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015), h. 3.
15
Funchs C, Social Media a Critical Introduction, (Los Angeles: SAGE Publications, 2014),
h. 5.
16
Rulli Nasrullah, Media Sosial perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi, h. 8
17
Rulli Nasrullah, Media Sosial perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi, h. 11.
33
18
Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: PT RagaGrafindo Persada, 2007),
h. 123.
19
Tracy L. Tuten, Advertising 2.0: social media marketing in a web 2.0 world (USA: Green
Wood Publising GroupInc, 2008), h. 20.
34
20
Rulli Nasrullah, Media Sosial perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi, h. 11.
21
Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui
Media Sosial
35
22
Rulli Nasrullah, Media Sosial perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi, h. 128.
36
23
Anang Sugeng Cahyono, Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial
Masyarakat di Indonesia, h. 143-144
24
Rulli Nasrullah, Media Sosial perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi, h.
39-46
37
atau kerja bersama dari semua pengunjung untuk mengisi konten dalam situs ini.
Kata “wiki” merujuk pada media sosial Wikipedia yang populer sebagai media
kolaborasi konten bersama. Situs wiki hanya menyediakan perangkat lunak yang
bisa dimasuki oleh siapa saja untuk mengisi, menyunting, bahkan mengomentari
sebuah lema yang dijelaskan.
Pembagian jenis media sosial ke dalam kategori ini meruapakan upaya
untuk melihat bagaimana jenis media sosial itu. Bukan berarti hanya terbatas
pada pembagian ini apalagi melihat perkembangan platform di internet dan
aplikasi diperangkat telepon genggam, seperti aplikasi Androit, namun secara
dasar dan teori semestinya harus ada landasan awal untuk melihat jenis-jenis
media siber tersebut. 25
25
Rulli Nasrullah, Media Sosial perspektif komunikasi, budaya, dan sosioteknologi, h. 39.
26
Muladi, Hak Asasi Manusia, Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 227-228.
39
negara mempunyai hak-hak utama dan mendasar yang wajib dilindungi oleh
Pemerintah, maka muncul istilah “Basic Rights” atau “Fundamental Rights”. Bila
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah merupakan hak-hak dasar
manusia atau lebih dikenal dengan istilah “hak asasi manusia”.27
Semula tidak ada keseragaman penyebutan istilah mengenai hak asasi
manusia ini. Sebelumnya dikenal right of man, menggantikan natural right. Silang
pengertian dan pemaknaan ini baru mendapatkan penegasan ketika Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan Universal Declaration of Human Rights
10 Desember 1948. Deklarasi ini kemudian diikuti oleh lahirnya konvensi dan
protocol sebagai berikut: the nternational covenant on Economic, Social and
Cultural Rights, The International Covenant and Political Rights. Peristiwa ini
dijadikan titik tolak sebagai hari hak asasi setiap tahunnya. Secara aklamasi
deklarasi tersebut diterima secara baik oleh siding Umum PBB tanggan 16
Desember 1966 dengan member kesempatan kepada Negara-negara anggota PBB
untuk meratifikasinya. Majelis merekomendasikan agar semua Negara-negara
anggota dan semua rakyat untuk menggalakan dan menjamin pengakuan yang
efektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dari kebebasan yang
ditentukan di dalam pernyataan ini. Dalam 30 pasal yang dimuat di dalamnya,
terdapat pengakuan hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi hingga hak
bebas dari perbudakan, menikah, beragama, hak perlindungan bagi perempuan
(gender), lingkungan hidup dan lain-lain. Dapat dinyatakan lahirnya deklarasi ini
memposisikan perlindungan hak yang maju lebih pesat ketimbang rumusan John
Locke ketika memperkenalkan hak kodrati manusia yang hanya meliputi hak hidup,
hak kemerdekaan dan hak milik saja. 28
Pengertian mengenai sitilah HAM sangat beragam. Wolhof menjelaskan,”
Manusia mempunyai hak-hak yang sifatnya kodrat. Hak-hak ini tidak dapat dicabut
oleh siapapun juga, dan tidak dapat dipindahtangankan dari manusia satu ke
27
Ramdlon Naning, Gatra Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 97.
28
Muladi, Hak Asasi Manusia, h. 228-229.
40
manusia lain. Selanjtnya ia juga menyatakan bahwa hak asasi ini adalah sejumlah
hak yang mengakar dalam tabiat kodrati setiap pribadi manusia, justru karena
kemanusiannya yang tidak dapat dicabut oleh siapa pun, karena jika dicabut
29
hilanglah kemanusiaan itu. Selain wolhof, definisi tentang istilah HAM juga
dikemukakan oleh beberapa pakar sebagai berikut :30
a. Soetandyo Wignyosoebroto: “HAM adalah hak-hak yang melekat secara
kodrati pada setiap makhluk yang bersosok biologis sebagai manusia yang
memberikan jaminan moral dan legal kepada setiap manusia itu untuk
kebebasan dari setiap bentuk penghambaan, penindasan, perampasan,
penganiayaan atau perlakukan apa pun lainnya yang menyebabkan manusia itu
tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah”
b. Arief Budiman: “HAM adalah hak kodrati manusia, begitu manusia dilahirkan
langsung hak asasi itu melekat pada dirinya sebagai manusia, dalam hal ini
HAM berdiri di luar undang-undang yang ada, jadi harus dipisahkan antara hak
warga Negara dan HAM”
c. Majda El Muhtaj: “HAM merupaka hak kodrati yang melekat pada diri
manusia dan melambangkan kemanunggalan hidup manusia dengan dimensi
instrinsiknya,”
d. Donelly: “Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang iniversal, bukan
keuntungan, tanggungjawab, keistimewaan, atau beberapa bentuk pemberian
lainnya tetapi diberikan sebagai akibat dari martabat seseorang sebagai
manusia.
e. Franz-Magnis Seseno:,”Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia
karena ia manusia, berdasarkan harkat yang diterimanya dari Sang Pencipta,
bukan karena diberikan oleh masyarakat atau Negara.
29
Harum Pudjiarto, Hak Asasi Manusia: Kajian Filosofis dan Implementasinya dalam
Hukum Pidana di Indonesia, (Universitas Atma Jaya: Yogyakarta, 1999), h. 26.
30
Rohidin, Konstruksi Baru Kebebasan Beragama, (FH UII Press: Yogyakarta, 2015), h. 2-
3.
41
31
Rohidin, Konstruksi Baru Kebebasan Beragama, h. 4.
32
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013), h.16.
33
Dikatakan ‘’melekat atau inheren’’ karena hak-hak itu dimiliki siapapun yang menusia
berkat kodrat kelahirannya sebagai manusia dan bukan karena pemberian oleh suatu organisasi
kekuasaan manapun. Karena dikatakan ‘’melekat’’ itu pulalah maka pada dasarnya hak-hak ini tidak
sesaatpun boleh dirampas atau dicabut. Lihat: Rizky Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi
Manusia dan Demokrasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 63.
34
Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
(Jakarta : Kencana, 2003), h. 148.
42
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilingdungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Jika HAM merupkan hak yang diperoleh setiap manusia sebagai kosekuensi
ia ditaksirkan lahir sebagai manusia, maka lain haknya dengan hak dasar, sebagai
suatu hak yang diperoleh setiap manusia sebagai kosekuensi ia menjadi warga
Negara dari suatu Negara. Dirujuk dari sumbernya, HAM berasal dari Tuhan,
sedangkan hak dasar, asalnya dari Negara atau pemerintah. HAM bersifat
universal35, sedangkan hak dasar bersifat domestik. Fungsi HAM mengawal hak
dasar (legal rights).36
Pada dasarnya terdapat dua hak dasar pada manusia yaitu pertama, hak
manusia (human rights) yaitu hak yang melekat pada manusia dan secara asasi ada
sejak manusia itu dilahirkan. Ia berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat
tetap dan utama, tidak dapat dicabut, tidak tergantung dengan ada atau tidaknya
orang lain di sekitarnya. Dalam skala yang lebih luas hak asasi menjadi asas
undang-undang. Wujud hak ini di antaranya berupa : kebebasan batin, kebebasan
beragama, kebebasan hidup pribadi, atas nama baik, melakukan pernikahan,
kebebasan untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, emansipasi wanita.
Kedua, hak undang-undang (legal rights) yaitu hak yang diberikan oleh undang-
undang secra khusus kepada pribadi manusia. oleh karena diberikan, maka sifat
pengaturannya harus jelas tetuang dalam sejumlah perauran perundang-undangan.
Barang apa yang tidak memnuhi ketentuan undang-undang maka kepadanya dapat
dikenakan sanksi yang ditentukan oleh pembenuk undang-undang. Dengan dasar
filosofi demikian, maka dapatlah kiranya dimengerti kalau hak yang diberikan
35
Dkatakan “universal” karena hak –hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan
setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang
cultural dan pula agama atau kepercayaan spritualitasnya. Lihat : Rizky Ariestandi Irmansyah,
Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, h. 63.
36
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, h. 16
43
2. Prinsip-Prinsip HAM
Adapun prinsip-prinsip Hak asasi manusia adalah :
a. Prinsip universalitas dan tidak dapat dicabut
37
Muladi, Hak Asasi Manusia, h. 229-230.
38
Rizky Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, h. 61.
44
Prinsip universal dimaksudkan bahwa hak asasi manusia ini adalah milik
semua orang karena kodratnya sebagai manusia, sebagaimana tersebut dalam
DUHAM Pasal 1: “All human beings are born free and equal in dignity and
rights”. Penggunaan istilah “All human beings” berarti bahwa “everyone
(setiap orang)” boleh diabaikan hak-haknya atau diperlakukan secara berbeda
berdasarkan misalnya perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik yang dianut kebangsaan, atau asal usul, tingkat kekayaan,
kelahiran, atau status yang lainnya.39 Semenjak sifat universal ini diterima oleh
semua orang dan disegala tempat. HAM tidak dapat dicabut berarti bahwa hak-
hak seseorang tidak dapat dilepaskan atau diambil, kecuali atas situasi yang
terjadi berdasarkan hukum. 40
b. Prinsip tidak dapat dibagi
Berarti HAM melekat pada martabat semua manusia terlepas apakah
hak-hak tersebut terkait dengan masalah-masalah sipil, budaya, ekonomi,
politik atau sosial. Kosekuensinya, semua hak asasi manusia mempunyai status
yang sama , dan tidak dapat ditempatkan dalam posisi berdasarkan derajat atau
hirarki, pengabaian atas suatu hak akan mengambat penikmatan hak-hak
lainnya.
39
Prinsip-prinsip Perlindungan HAM, www.google.com/prinsip-prinsip-perlindungan-
ham.
40
Tim Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan
Berekspresi di internet, h. 5-7
45
tingkat kekayaan, kelahiran, atau status yang lainnya. Tidak setiap pembedaan
meupakan tindakan yang diskriminatif. Pembedaan baik berdasarkan hukum
atau dalam kenyataannya yang didasarkan pada criteria yang masuk akal dan
obyektif diperbolehkan. Pembedaan tersebut harus dibuktikan untuk
menunjukan bahwa perlakuan tersebut memang benar-benar masuk akal dan
obyektif. Sejumlah atau individu dapat menikmati hak-hak khusus,
sebagaimana dinyatakan dalam berbagai instrument HAM, yang ditujukan
untuk melindungi hak-hak individu dan kelompok dengan kebutuhan khusus
tersebut. Perlakuan khusus atau pembedaan perlakuan tersebut, haruslah
dilakukan dalam jangka waktu yang terbatas, sesuai dengan kebutuhan untuk
mencapai persamaan. Dalam hal perlakuan khusus sudah mencapai tujuan
yaitu kesetaraan, maka tindakan pembedaan tersebut harus dicabut. Tindakan
ini dikenal sebagai tindakan afirmatif (affirmative actions).
d. Prinsip partisipasi dan keikutsertaan
Berarti bahwa semua orang mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam
mengakses informasi atas proses pembuatan kebijakan yang akan
mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan mereka. Pendekatan berdasarkan
hak masyarakat suatu derajat yang lebih tinggi atas partisipasi yang dilakukan
komunitas, masyarakat sipil, minoritas, perempuan, pemuda, masyarakat adat
dan berbagai kelompok lainnya.
41
Rizky Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, h. 72-73.
47
Seperti yang telah diuraikan di atas mengenai makna hak asasi manusia dan
suatu keharusan atau biasa disebut kewajiban asasi manusia, timbul suatu
perdebatan hak asasi manusia manakah yang dapat dibatasi (derogable rights) dan
manakah yang termasuk dalam lingkup hak asasi yang tidak dapat dibatasi (non-
derogable rigts).42 Perkembangan pengakuan dan jaminan HAM memunculkan
konsep tentang hak-hak yang tidak dapat dicabut/dikurangi pemenuhannya dalam
keadaan apapun (non-derogable rigts) dan hak-hak yang dapat dibatasi atau
dikurangi pemenuhannya (derogable rights). Hak-hak dalam jenis “non-
derogable”, merupakan hak-hak yang bersifat absout yang tidak boleh dikurangi
atau dibatasi pemenuhannya. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun.43
Istilah derogable rights diartikan sebagai hak-hak yang masih dapat ditangguhkan
atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh Negara dalam kondisi tertentu atau
dengan kata lain hak yang terdapat pembatasan. Sementara itu istilah non-
derogable rights maksudnya adalah ada hak-hak yang tidak dapat dtangguhkan
atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh Negara, meskipun dalam kondisi
darurat sekalipun atau dapat dikatakan sebagai hak asasi manusia yang tidak
terdapat batasan dengan alasan apapun.
Derogable rights muncul dengan tujuan utama Negara, akan tetapi dengan
mempertimbangkan dari segala unsur dan aspek yang dapat mempengaruhi dari
stabilitas politik dan keamanan suatu Negara dengn mengedepankan nilai
demokratis dan kepentingan masyarakat umum. Sedangkan non-derogable rights
itu sendiri merupakan jaminan atas hak-hak dasar setiap manusi dengan
perimbangan segala aspek persoalan yang terkait. Seperti masalah kebebasan
menentukan jalan hidup sendiri, bebas dari ancaman dan ketakutan, hak
perlindungan Negara, dan kebebasan untuk menyalurkan pendapat dan keyakinan
sesuai dengan hati nuraninya. Makanya, pemenuhan terhadap hak-hak ini harus
42
Rizky Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi, h. 66.
43
Tim Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan Berekspresi
di internet, h. 2.
48
dijalankan sebaik mungkin oleh suatu Negara tanpa terkecuali dengan hukum
yang jelas tanpa saling tumpah tindih antar regulasi yang mengaturnya. Oleh
karena itu derogable rights dan non-derogable rights harus diterapkan dlam suatu
Negara demi memajukan harkat dan martabat bangsa itu sendiri terhadap
kepentingan-kepentingan individual maupun kelompok.44
Maka perlu dipahami bahwa hak asasi manusia tidaklah bersumber dari
Negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta
alam beserta isinya sehingga hak asasi manusia tidak dapat dikurangi (non-
derogable right). Oleh karena itu yang perlu diperhatikan dari Negara dan hukum
adalah suatu pengakuan dan jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi
manusia tersebut.45 Hak-hak yang masuk kedalam hak non-derogable right atau
hak-hak mutlak yang tidak dapat dikurangi ialah :
a. Hak hidup;
b. Hak bebas dari penyiksaan;
c. Hak bebas dari perbudakan;
d. Hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang);
e. Hak bebas dari pemidanaan yang surut;
f. Hak sebagai subyek hukum;
g. Hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama46
Namun tidak semua yang disebut hak asasi manusia bersifat mutlak dan
tidak terbatas, sebab terdapat hak-hak yang disebut derogable right atau hak-hak
yang dapat dikurangi atau dibatasi pemenuhannya, hak-hak tersebut meliputi :
a. Hak atas kebebasan berkumpul secara damai;
b. Hak atas kebebasan berserikat termasuk membentuk dan menjadi anggota
serikat buruh, dan;
44
Rizky Ariestandi Irmansyah, Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi, h. 67.
45
Rozali Abdullah dan Syamsir, Perkembangan HAM dan keberadaan peradilan HAM di
Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002) h. 10
46
Pasal 4 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan Politik
49
47
Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, (Jakarta: ELSAM, 2001), h. xii-
xiii.
BAB IV
KEBEBASAN BEREKSPRESI MELALUI MEDIA SOSIAL MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HAM
1
Lihat Pedoman Umum angka 1 fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan
Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial
50
51
Fatwa tersebut tidak hanya memuat kewajiban setiap orang yang perlu
diperhatikan dalam bereskpresi di media sosial. Namun, fatwa tersebut juga
berisikan hak setiap orang untuk bereskpresi di media sosial. Hak yang dimaksud
sudah disebukan dalam ketentuan hukum angka 1 Fatwa MUI di atas.
Ketentuan dalam frasa “segala saluran yang tersedia” atau “segala jenis
sarana yang tersedia” dapat diartikan bahwa pelaksanaan kebebasan berekspresi
dapat diartikan melalui penggunaan teknologi komunikasi dan informasi
termasuk media sosial.
2
Sehubungan dengan adanya putusan MK No. 132/PUU-VII/2009, oleh mahkamah
kosntitusi ditegaskan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia yakni bahwa dari
perspektif original intent pembentuk UUD 1945, maka seluruh hak asasi manusia yang
tercantum dalam BAB XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi Pasal 28 J UUD 1945
sebagai pasal penutup dari seluruh pasal tentang hak asasi manusia dalam BAB XA UUD 1945
tersebut, disampin itu berdasarkan penafsiran sistematis, hak asasi manusia yang diatur dalam
Pasal 28 A sampai Pasal 28 I UUD 1945 tuduk atas pembatasan yang ada pada Pasal 28 J UUD
1945
56
3
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1996), h. 101.
4
Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, h. 105.
58
Setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan untuk : (a)
Melakukan ghibah, fitnah, namimah, dan penyebaran permusuhan, (b)
Melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan atas dasar suku, agama,
rasa tau antargolongan, (c) Menyebarkan hoak serta informasi bohong meskipun
dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup, (d)
Menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang
secara syar’i, (e) menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat
dan/atau waktunya.
a. Ayat-ayat Al-Qur’an yang relevan dalam hal ini antara lain :
1) Firman Allah SWT yang memerintahkan pentingnya tabayyun
(klarifikasi) ketika memperoleh informasi, antara lain:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujuraat: 6)
Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu:
"Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau
(Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar".(QS. An-Nur: 16)
59
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu
(berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka
mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nur: 19)
Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka
menghina, yang suka mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. (QS. Al-
Qalam 10 – 11)
60
قال رسول هللا: عن عبد هللا بن مسعود ريض هللا عنه قال
الص ْد َق َيَ ْ ادي ا َىل ا ِّا
الب صىل هللا عليه وسمل عَلَ ْي م ُْك اِب ِّ الص ْد اق فَا َّن ِّ ا
ِ ِ
الص ْد َق الب َيَ ْ اد ْي ا َىل اجلَنَّ اة َو َما يَ َز مال َّالر مج مل ي َ ْصدم مق َوي َ َت َح َّرى ِّ ا
َّ َوا َّن
ِ
هللا اص اديْ َاإ َوا َّمُك م ْ َوال َب ا ََ فَا َّن ال َب ا ََ َيَ ا ادى َِح َّىت مي ْبتَ َب اع ْندَ ا
ِ ِ
61
َا َىل ال مف مج ْو ار َوا َّن ال مف مج ْو َر َيَ ْ ادي ا َىل النَّا ار َو َما يَ َز مال َّالر مج مل يَ ْب ا م
ِ ِ ِ
ا ا ْ
َوي َت َح َّرى الب ََ َح َّىت ميبتَ َب ع ْندَ هللا ذ اِبا َ
Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu, ia berkata: "Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Wajib atas kalian berlaku jujur, karena
sesungguhnya jujur itu menunjukkan (pelakunya) kepada kebaikan, dan
kebaikan itu menunjukkan kepada Surga. Seseorang senantiasa jujur dan
berusaha untuk selalu jujur sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang
sangat jujur. Dan jauhilah oleh kalian sifat dusta, karena sesungguhnya dusta
itu menunjukkan pelakunya kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan
kepada api Neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk selalu
berdusta sehingga ia ditulis disisi Allah sebagai seorang pendusta." (HR.
Muslim)
2) Hadis Nabi saw yang melarang terburu-buru, termasuk terburu-buru
menyebar informasi sebelum ada kejelasannya, sebagaimana sabdanya:
dimaksud adalah ketentuan yang ada dalam ketentuan umum anggka 3 fatwa
MUI yang sudah disebutkan di atas, (b) ketentuan peraturan perundang-
undangan, bahwa kebebasan bereskpresi di media sosial juga harus
memeperhatikan dan tunduk terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5
Samsul Wahidin, Hukum Pers, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Cet ke-1), h. 55
64
UU NO. 39 tahun 1999 tentang Hak asasi manusia6 dan UU No. 11 Tahun 2008
tentang ITE.
Konstitusi juga memerintahkan adanya pembatasan dari hak-hak asasi
manusia dalam suatu undang-undang dalam beberapa pasal : Dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
6
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan
Berekspresi di internet, 2013, h. 48.
65
7
Zihan Syahayani, Kebebasan Bereksprsi di Bawah Bayang-bayang Rezim UU ITE,
diakses dari http://suarakebebasan.org pada 20 Januari Pukul 10.00 WIB
67
8
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan
Berekspresi di internet, 2013, h. 47.
9
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Buku Saku Kebebasan
Berekspresi di internet, 2013, h. 34-35.
69
Pembatasan hak atas kebebasan berekspresi menurut hukum Islam dan HAM di
Indonesia
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam skripsi ini, peneliti memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengaturan kebebasan berekspresi melalui media sosial telah dengan jelas diatur
dan dijamin dalam berbagai instrument hukum di Indonesia, baik hukum Islam
seperti Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang hukum dan pedoman
bermuamalah di media sosial, maupun dalam HAM di Indonesia seperti UUD
NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU
No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Yang mana keduanya
sudah memberikan respon positif terhadap kebebasan bereskpresi di media
sosial.
2. Batasan-batasan kebebasan bereskpresi melalui media sosial pun telah dijelaskan
secara komprehensif di dalam fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tersebut, serta
di dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia seperti UUD
NRI Tahun 1945 Pasal 28 J ayat (2), Undang-Undang UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM, serta UU yang mengatur secara khusus batasan-batasan atas
kebebasan bereskpresi di media sosial yakni UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Perbedaan klausul pembatas hak atas
kebebasan bereskpresi di media sosial: (a) Hukum Islam memasukkan ketentuan
agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan (b) HAM di Indonesia
hanya memasukkan ketentuan yang ditetapkan dengan undang-undang. Jadi,
Hukum Islam lebih komprehensif mengatur terkait kebebasan berekspresi
71
72
melalui media sosial, bahwa kita dalam bereskpresi di media sosial tidak hanya
tunduk pada ketentuan agama saja, tetapi juga patuh terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, dan begitu juga sebaliknya.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan, melalui penelitian ini, penulis
mengajukan beberapa rekomendasi konstruktif sebagai berikut :
BUKU
Abdi, Supriyanto, Mengurai Kompleksitas Hubungan Islam, HAM, dan Barat, dalam
UNISIA, Yogyakarta: UII Press, 2002
Abdullah, Rozali dan Syamsir, Perkembangan HAM dan keberadaan peradilan HAM
di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002
Ali, Muhammad Daud, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Ali, H Zainuddin, Pengantar Ilmu Hukum Islam di indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2010.
Cahyono, Anang Sugeng, Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat
di Indonesia
El-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia dalam Kinstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana,
2007
Harahap, Krisna, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia (Bandung: Grafiti. Kuntjoro,
2003)
Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Jakarta: Gema Insani
Press, 1996
73
74
Kasim, Ifdhal, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, Jakarta: ELSAM, 2001
Kelvin, Mikel, Skripsi, Pengaturan Kebebasan Berekskresi Melalui Media Digital
Menurut Hukum Internnasional dan Penerapannya di Indonesia, Makasar:
Skripsi Universitas Hasanuddin Makasar, 2016
Latupono, Barzah, La Ode Angga dkk, Bahan Ajar Hukum Islam, Yogyakarta:
Deepublish, 2017
Rahmanto, Tony Yuri, Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia:
Perlindungan, Permasalahan dan Implementasinya di Provinsi Jawa Barat,
Jurnal Hak Asasi Manusia, Volume 7 No.1 Juli 2016
75
Rhona K.M. Smith dkk, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM
UII, 2008
Subhan, Arief, Didin Syafruddin dkk, Seri Khotbah Jum’at : Islam untuk Kedamaian
dalam Perbedaan, Ciputat : PPIM UIN Jakarta, 2016
Sukanto, Soejono dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:IND HILLCO
, 2001
Qamar, Nurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Jakarta :Sinar
Grafika, 2013
Ulwan, Abdullah Nashih Pesan Untuk Pemuda Islam, Jakarta: Gema Insani Press,
1996
Wahidin, Samsul, Hukum Pers, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006 Cet ke-1
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasar Atas Hukum, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986
WEBSITE
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Margin Apresiasi
HAM", https://nasional.kompas.com/read/2011/03/08/04052481/twitter.com.
Pada 19 Maret 2018 Pukul 15.00 WIB
76
Hasil Survey APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) Tahun 2016
KAMUS
Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia : Edisi Ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eektronik
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan
pendapat di muka umum.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nomor : 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan
Pedoman Bermumalah Melalui Media Sosial
PUTUSAN PENGADILAN
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 132/PUU-VII/2009