Anda di halaman 1dari 109

ABSTRAK

Ira Putri Wahyuni. NIM 11150440000124. AHLI WARIS BEDA AGAMA


DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA (1995-
2018). Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M.
Studi ini bertujuan untuk menganalisis putusan hakim Mahkamah Agung
Republik Indonesia dalam perkara waris beda agama. Jenis penelitian ini adalah
kualitatif dengan pendekatan normatif-yuridis dengan melakukan kajian terhadap
putusan Mahkamah Agung dari tahun 1995 s/d 2018; nomor 368/K/1995,
51/K/AG/1999, 16/K/AG/2010, 218/K/AG/2016, 331/K/AG/2018 dan landmarck
decision sebagai data primer. Sedangkan sumber data sekunder terdiri dari UU
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan fatwa
MUI. Adapun teknik pengumpulan data digunakan melalui studi dokumentasi dan
studi pustaka.
Studi ini menyimpulkan bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
memutus perkara ahli waris beda agama menggunakan pertimbangan yang
bersifat humanistik (kontekstual) sehingga lebih mengedepankan faktor keadilan
dan kemaslahatan dengan meninggalkan kepastian hukum yang ada untuk
melakukan penemuan dan pembentukan hukum terhadap perkara waris beda
agama.
Dalam pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut diketahui bahwa hakim
Mahkamah Agung telah melakukan penemuan hukum dengan melakukan
interpretasi restriktif dan ekstensif terhadap Pasal 171, Pasal 180 dan Pasal 209
KHI yang diinterpretasi secara ekstensif dan restriktif kemduian menggunakan
mengkonstruksinya menggunakan metode menggunakan metode argumentum per
analogium dan a argumentum a contrario sebagai Yurisprudensi mengenai
ketentuan waris bagi ahli waris beda agama.
Secara tidak langsung Hakim Mahkamah Agung juga telah menyimpang dari jalur
Maqashid Asy-Syariah dengan membolehkan wasiat wajibah bagi ahli waris beda,
yakni darisegi hifdz al-din, hifdz an-nasab, dan hifdz al-mal. Selain itu, karena
dalam setiap putusan kewarisan beda agama atas subjek yang berbeda hakim tidak
mengacu pada suatu perundangan-undangan yang pasti, maka dapat disimpulkan
bahwa dinamika putusan Mahkamah Agung dalam perkara waris beda agama atas
subjek yang berbeda sampai saat ini belum memiliki kepastian hukum.

Kata Kunci: Ahli Waris, Wasiat Wajibah, Beda Agama, Non-Muslim


Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, M. Ag.
Daftar Pustaka : 1995 s/d 2018

v
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhaanahu wa Ta’ala karena berkat rahmat dan
inayah-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada
keluarganya, sahabatnya dan seluruh pengikutnya.
Kemudian rasa terimakasih dihaturkan kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan moril maupun materil sejak dari masa awal perkuliahan
hingga masa penyelesaian skripsi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Secara khusus ucapan terimakasih dihaturkan kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., Dekan beserta Wakil
Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., dan Ahmad Chairul Hadi, M.A. Ketua dan
sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah memberikan semangat
dan motivasi kepada seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Atep Abdurofiq, M. Si., Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan akademik semasa perkuliahan aktif di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak
memberikan kontribusi terlebih dalam hal memberikan arahan, kritik dan
saran yang bermanfaat dalam penyusunan karya ilmiah ini;
5. Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah memberikan
informasi dan bantuan dalam hal memperoleh data-data untuk kepentingan
penelitian karya ilmiah ini;
6. Terkhusus untuk kedua orang tua penulis tercinta, bapak Saepuloh dan
mamah Linda Yuliana yang telah membesarkan, merawat, mendidik,
menyemangati, memotivasi dan mendoakan kebaikan bagi penulis;

vi
7. Kepada keluarga tersayang, nenek, kakak dan adik penulis (Armas, Lita
Nurhasanah, Eva Pandini dan Alan Nuraga) yang sampai saat ini selalu
memberikan perhatian, semangat dan doa kepada penulis;
8. Kepada seluruh guru dan dosen yang telah mendidik dan mengajar sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan sampai jenjang saat ini;
9. Sahabat-sahabat Calon S.H, Winanda Fikri Panemiko, S.H., Ladina
Rosalinda, Nurmalia Ivani, Siti Muslikatun Rahmah, Kahfil Waro, Suparman,
S.H., dan Khoirunnisa Pahmiyanti, S.H., yang telah menjadi saksi dan selalu
memberikan semangat serta dukungan banyak hal selama masa perkuliahan
hingga terselesaikannya skripsi ini;
10. Sahabat-sahabat RCTS, Sri Suciati, Peni Oktavia, Mala Maulani, Sinta
Oktiana, Shifa Ainun Nafisa, Dwi Nursulistya yang telah menjadi sahabat
yang selalu menasihati dan memotivasi dari kejauhan;
11. Teman-teman Pondok Syifa 2 dan Wida Kost, Agustin Wahyuni, Dewi
Anggraeni, Nia, Defanti Putri Utami, Finza Khasif Ghifarani, Retno Paluvi,
Mitha, Meyrini dan yang lainnya yang telah menjadi teman berbagi di tanah
rantau.
12. Teman-teman Hukum Keluarga tahun angkatan 2015, terkhusus Fatma
Hidayah, Arabyatul Aidawiyah, Faiqah Azizah. Teman-teman LDK SYAHID
terkhusus LDK Fakultas Syariah dan Hukum, kemudian teman-teman KKN
kelompok 64 SEMARAK, yang telah turut mewarnai perjalanan menuntut
ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Oktober 2019

Penulis

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................................iii


PENGESAHAN PANITIA UJIAN ....................................................................................... iv
ABSTRAK ...............................................................................................................................v
KATA PENGANTAR ............................................................................................................ vi
DAFTAR ISI......................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 5
C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 6
D. Perumusan Masalah................................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 6
D. Kajian Terdahulu ....................................................................................... 7
E. Kerangka Teori Penelitian ....................................................................... 13
F. Metode Penelitian .................................................................................... 22
G. Sistematika Penulisan.............................................................................. 24
BAB II KEWARISAN BEDA AGAMA .......................................................................... 26
A. Kewarisan Beda Agama dalam Islam ..................................................... 26
B. Peraturan Kewarisan Beda Agama Di Indonesia .................................... 40
C. Fatwa Tentang Kewarisan Beda Agama Di Indonesia............................ 45
D. Wasiat Wajibah ....................................................................................... 47
BAB III KEWARISAN BEDA AGAMA DALAM PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG REPUBLIK INDONESIA .................................................................... 49
A. Waris Beda Agama Bagi Anak Kandung Murtad ................................... 49
B. Waris Beda Agama Bagi Saudara Kandung Murtad ............................... 52
C. Waris Beda Agama Bagi Isteri Non-Muslim .......................................... 56
D. Waris Pengganti Beda Agama (Istri dan Anak Kandung) Saudara
Seayah Non-Muslim ................................................................................ 59
E. Waris Beda Agama Bagi Suami Murtad ................................................. 61

viii
BAB IV IJTIHAD HAKIM DALAM PERKARA WARIS BEDA AGAMA DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ..................... 64
A. Pertimbangan Hukum Hakim Untuk Subjek Yang Berbeda ................... 64
B. Metode Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung Dalam
Putusan Waris Beda Agama .................................................................... 83
C. Putusan Waris Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam ............... 88
BAB V PENUTUP ............................................................................................................. 91
A. Kesimpulan.............................................................................................. 91
B. Rekomendasi ........................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 93
LAMPIRAN.......................................................................................................................... 99

ix
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kewarisan beda agama merupakan isu yang sangat kontroversial di
kalangan masyarakat muslim di dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Persoalan kewarisan sering menimbulkan masalah bagi ahli waris, terlebih
lagi apabila salah satu keluarganya ada yang beragama non-muslim.1 Peneliti
di dunia Islam telah banyak menyadari betapa pentingya mengkaji kewarisan
yang menjadi aspek ajaran Islam yang asasi dan berlaku secara universal bagi
setiap Muslim untuk mewujudkan kemaslahatan dalam kehidupan sosial. 2
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis putusan hakim Mahkamah
Agung Republik Indonesia mengenai ketentuan waris bagi ahli waris beda
agama. Beberapa putusan Mahkamah Agung sangat kontroversial tersebut
menjadi bahan perdebatan para tokoh agama, Pdt. Hanan Suharto dari Pusat
Pelayanan Bantuan Hukum Gereja Bethel Indonesia menyatakan bahwa,
“perbedaan agama tidak menghalangi hak waris”. Sedangkan dari kalangan
intelektual muslim M. Tahir Azhary menyatakan bahwa, “perbedaan agama
seharusnya menghalangi seseorang untuk mendapatkan hak waris.3 Salah satu
asas yang melekat dari hukum kewarisan Islam yaitu asas personalitas
keIslaman yang mengakibatkan ahli waris non-muslim tidak bisa memperoleh
harta warisan.4

1 Prastowo Hendarsanto, Tesis, Studi Perbandingan Tentang Hubungan Hibah Dengan


Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , (
Universitas Diponegoro Semarang: Tesis, 2006), h. 16
2 Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam Hukum
Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2016), Edisi Pertama-
Cet. 2, h. 9
3 Hak Waris Pada Keluarga Beda Agama Masih Diperdebatkan,
https://m.hukumonline.com/berita/baca/hol13853/hak-waris-pada-keluarga-beda-agama-masih-
diperdebatkan, yang diakses pada 12 Mei 2019.
4 Muhammad Baihaqi, Wasiat Wajibah pada Kasus Kewarisan Beda Agama (Studi Putusan
Mahkamah Agung Nomor: 16 K/AG/2010 Perspektif Maqasid asy-Syari’ah), (Tesis, Universitas
Islam Negri Sunan Kalijaga, 2017), h. 2

1
2

Terhadap perkara-perkara yang tidak biasa demikian, Mahkamah


Agung sebagai judex juris1 memutus perkara tidak hanya berdasarkan hukum
yang tertulis dalam undang-undang, tetapi juga memperhatikan dan
mempertimbangkan faktor lain seperti keadilan dan kemaslahatan. Hal
demikian disebabkan karena adanya ketidakpastian hukum dalam pengaturan
perkara kewarisan beda agama. Maka dari itu untuk memenuhi faktor
keadilan dalam sebuah hasil putusan, Mahkamah Agung berdasarkan
kewenangannya berhak untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding)
dan penciptaan hukum (rechtsschepping).
Sudah terdapat beberapa putusan kontroversial terkait ahli waris beda
agama yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung dan beberapa
diantaranya telah menjadi yurisprudensi. Tercatat sejak tahun 1995, yaitu
yurisprudensi pertama mengenai kewarisan beda agama dan sampai pada
tahun 2018, sudah tedapat 5 kasus kewarisan beda agama yang diterima oleh
Mahkamah Agung dengan kategori subjek hukum yang berbeda-beda.

No Nomor Perkara Tahun Subjek Pertimbangan Hakim dan Hasil


Hakim Mahkamah Agung menolak
permohonan kasasi dan melakukan
perbaikan atas putusan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta. Dengan
kaidah hukum “hak anak kandung
Anak murtad sama kedudukannya dengan
1 368/K/AG/19952 1995 kandung hak anak kandung beragama Islam”.
murtad Berdasarkan itu, hakim memberikan
bagian sebesar 3/4 dari bagian ahli
waris perempuan dari jalur pewaris
ayah dan sebesar bagian ahli waris
perempuan dari jalur pewaris ibu
melalui jalan wasiat wajibah.

1 Judex juris adalah peradilan memeriksa perkara dalam tingkat kasasi mengenai penerapan
hukum, bukan lagi sebatas mencari fakta-fakta kejadian melaui pembuktian dari pihak penggugat
dan tergugat.
2 Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2010, h., 433.
3

Hakim Mahkamah Agung menolak


permohonan kasasi dan melakuan
perbaikan atas putusan Pengadilan
Tinggi Agama Yogyakarta. Dengan
kaidah hukum “Ahli waris yang
bukan beragama Islam tetap dapat
mewarisi dari harta peningggalan
pewaris yang beragama Islam”.
Saudara
Pewarisan dilakukan menggunakan
2 51/K/AG/19993 1999 kandung
Lembaga wasiat wajibah, dimana
Murtad
bagian anak yang bukan beragama
Islam mendapat bagian yang sama
dengan bagian anak yang beragama
Islam sebagai ahli waris”.
Berdasarkan itu hakim memberikan
bagian saudara kandung murtad
melalui jalan wasiat wajibah dengan
bagian 3/4 dari 15 orang bersaudara.
Mengabulkan permohonan kasasi dan
membatalkan putusan Pengadilan
Tinggi Agama Makassar dan
menguatkan putusan Pengadilan
Agama Makassar. Dengan kaidah
hukum “Memberikan kedudukan istri
Istri non-
4
3 16/K/AG/2010 2010 yang bukan bergama Islam sama
muslim
dengan kedudukan istri yang
beragama Islam”. Oleh karena itu
hakim Mahkamah Agung
memberikan bagian sebesar 1/4
melalui wasiat wajibah dan harta
bersama kepada istri non-muslim.
Istri dan Hakim Mahkamah Agung menolak
4 218/K/AG/20165 2016 Anak permohonan kasasi dan menguatkan
kandung putusan Pengadilan Tinggi Agama

3 Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2010, h., 433.


4 Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2010, h., 431.
5 Putusan Nomor 218/K/AG/2016
4

saudara Yogyakarta. Dalam putusan ini,


seayah non- terhadap saudara kandung muslim
muslim yang telah meninggal dunia, hakim
memberikan bagian sesuai dengan
hukum waris, yaitu 15,625% dari
harta para pewaris. Kemudian
terhadap ahli waris non-muslim, yaitu
istri dan 2 orang anak yang beragama
katholik diberikan wasiat wajibah
dengan total 1/3 dari 15,625%
tersebut.
Hakim Mahkamah Agung menolak
permohonan kasasi dan melakukan
perbaikan atas putusan Pengadilan
Tinggi Agama Banten. Dengan
kaidah hukum “Hubungan baik dan
harmonis dalam rumah tangga dapat
Suami
5 331/K/AG/20186 2018 dijadikan sebagai pertimbangan
murtad
hakim dalam memberikan harta waris
kepada non-muslim”. Berdasarkan
itu, hakim kepada suami murtad
memberikan bagian harta bersama
dan waris sebesar 1/4 dari harta
pewaris melalui jalan wasiat wajibah.

Putusan tersebut memberikan suatu gambaran bahwa Mahkamah


Agung telah melakukan terobosan baru dan mengenyampingkan peraturan
yang telah ada demi tercapainya sebuah keadilan dalam memutuskan perkara
kewarisan beda agama. Hal tersebut terjadi karena adanya kewenangan
Mahkamah Agung melakukan pertimbangan hukum yang lebih
mengedepankan aspek keadilan dan dengan adanya putusan yang variatif
tersebut Mahkamah Agung dapat mengeluarkan yurispridensi untuk mengisi
adanya kekosongan hukum terkait permasalahan kewarisan beda agama.

6 Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2018, Era Baru Peradilan Modern
Berbasis Teknologi Informasi, h., 227.
5

Keragaman pola pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam


putusan-putusan tersebut menarik menjadi bahan penelitian berdasarkan
hukum positif dan hukum Islam. Kemudian peneliti akan menganalisis alasan
hakim Mahkamah Agung melakukan terobosan hukum dan menggali dasar
hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam memutus perkara
kewarisan beda agama tersebut. Selain itu, pokok perhatian dalam penelitian
ini adalah perkara kewarisan beda agama yang berkaitan dengan isu-isu
keadilan yang kemudian melahirkan suatu pola pertimbangan hukum yang
baru dari hakim-hakim Agung di Mahkamah Agung.
Penelitian ini penting untuk dilakukan untuk menganalisis
pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam putusan kewarisan
beda agama yang keluar dari prinsip hukum Islam juga hukum positif,
kemudian membandingkan dan mengklasifikasikan pertimbangan hukum
hakim terkait putusan waris beda agama untuk subjek yang berbeda. Sehingga
akan didapatkan suatu bentuk pola pertimbangan hukum hakim terkait
ketentuan waris beda agama untuk subjek yang beragam.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis bermaksud untuk
memunculkan beberapa permasalahan yang diidentifikasi sebagai berikut:
1. Apa saja persyaratan bagi seorang ahli waris?
2. Apa saja hal-hal yang menghalangi seseorang mendapat hak waris?
3. Bagaimana konsep kewarisan Islam terkait kewarisan beda agama?
4. Bagaimana ketentuan hukum waris beda agama di Indonesia?
5. Bagaimana bentuk pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung
dalam memutus perkara waris beda agama?
6. Mengapa dalam memutus perkara kewarisan beda agama Mahkamah
Agung menggunakan konsep wasiat wajibah?
7. Apa yang mendasari terjadinya pertentangan antara hukum Islam dan
hukum positif di Indonesia terkait kewarisan beda agama?
8. Bagaimana pola pemetaan putusan kewarisan beda agama di
Mahkamah Agung?
6

9. Apa akibat hukum yang terjadi apabila putusan kewarisan beda agama
menjadi yurisprudensi?

C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini terarah dan tidak melebar, maka penulis membatasi
permasalahan yang ada hanya kepada: pertama, hanya membandingkan
putusan kasasi dari Mahkamah Agung terkait argumentasi dan pertimbangan
hakim dalam putusan waris beda agama selama tahun 1995-2018 yang
didalamnya termasuk putusan penting (yurisprudensi); kedua, putusan yang
diteliti selama kurun tahun 1995-2018 tersebut juga hanya dibatasi kepada
subjek hukum yang berbeda, agar mendapatkan kesimpulan yang holistik;
ketiga, analisis putusan kewarisan beda agama hanya berdasarkan ketentuan
hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

D. Perumusan Masalah
Sebagaimana yang tertulis pada latar belakang masalah tersebut, maka
rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam
memutus perkara waris beda agama terhadap subjek yang berbeda?
2. Metode penemuan hukum apa yang digunakan dalam pertimbangan
hukum hakim terhadap perkara waris beda agama untuk subjek yang
berbeda?
3. Bagaimana hasil pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara
kewarisan beda agama dalam tinjauan Maqashid Asy-Syariah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
a. Menganalisis pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam
memutus perkara waris beda agama terhadap subjek yang berbeda.
b. Menggali dan menggambarkan metode penemuan hukum yang
dilakukan oleh hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara
kewarisan beda agama untuk subjek yang berbeda.
7

c. Menganalisis hasil pertimbangan hukum hakim dalam memutus


perkara kewarisan beda agama dalam tinjauan Maqashid Asy-
Syariah

2. Manfaat Penelitian
a. Memberikan informasi kepada kalangan akademisi, praktisi,
masyarakat pada umumnya terkait pertimbangan hukum Mahkamah
Agung dalam perkara kewarisan beda agama terhadap subjek yang
berbeda.
b. Menjadikan putusan Mahkamah Agung sebagai bahan
pertimbangan bagi para akademisi, praktisi, dan tokoh masyarakat
untuk lebih mengedepankan aspek keadilan dalam melihat perkara
kewarisan beda agama.

D. Kajian Terdahulu
Studi seputar kewarisan beda agama menjadi perhatian serius di kalangan
para peneliti di tingkat nasional maupun internasional. Studi ini merupakan
studi lanjutan dari studi sebelumnya yang membahas kewarisan beda agama.
Berikut beberapa karya ilmiah dan fokus bahasan yang memiliki beberapa
keterkaitan dengan tema riset yang penulis lakukan.
Rian Prima Akhdiawan mengkaji mengenai dasar pertimbangan hukum
putusan Mahkamah Agung perkara No 368/K/AG/1995 dalam memberikan
harta terhadap anak yang murtad, kedudukan anak yang murtad dalam
pembagian harta warisan dan eksekusi putusan Mahkamah Aguang dalam
perkara No 368/K/AG/1995. Dalam temuannya ia mengatakan bahwa hakim
dengan kewenangannya dapat melakukan penafsiran hukum demi
menegakkan keadilan terhadap penerapan wasiat wajibah dengan dasar sasa
manfaat, asas hati nurani, asas keadilan.7
Selanjutnya adalah hasil penelitian dari Winarti Soleh, dalam temuannya
ia mengatakan bahwa hakim dalam memutus perkara waris beda agama

7 Pengaturan Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Murtad Dalam Pemabagian Harta Waris
(Analisis Terhadap Putusan No. 368/K/AG/1995), Tesis Fakultas Hukum Universitas Jember
(2016)
8

berdasarkan asas keadilan, dan melakukan penemuan hukum dengan metode


argumentum peranalogian. 8
Ada juga penelitian yang dilakukan oleh Achmad Wildan Fahmi Ifza
Habibie (2014), dalam penelitiannya ia mengatakan bahwa kedudukan ahli
waris yang telah murtad adalah menjadi penghalang bagi dirinya untuk
mendapatkan harta warisan dari pewaris hal ini dikarenakan bahwa
pembagian harta warisan harus diberikan kepada para ahli waris yang
beragama Islam dan seperti yang dihadistkan Baginda Rasulullah S.A.W
bahwa Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan
tidak pula orang kafir mewarisi harta muslim." (HR.Bukhari dan Muslim).
Kedua, Seorang anak yang telah menjadi Murtad dapat menerima bagian dari
harta warisan dengan jalan hibah jadi hak yang dapat diterima oleh anak yang
telah murtad terhadap harta warisan dari pewaris yang beragama Islam adalah
dengan melalui hibah, dan yang ketiga besarnya hibah sebesar-besarnya 1/3
dari harta pemberi hibah dan pemberian hibah harus diberikan pada saat
pewaris masih hidup dengan bagian paling banyak sebesar 1/3 dari harta
pewaris.9
Selain itu Abdul Wahid Hasyim (2018) dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa; a) Sayyid Sabiq membolehkan perkawinan beda
agama ini karena hal tersebut bisa menjadi hikmah perkawinan yang mana
pernikahan dapat dijadikan media dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam
meskipun pada prinsipnya dibatasi dengan hanya membolehkan pria muslim
menikahi wanita Ahlul Kitab saja. b) sayyid Sabiq memakruhkan perkawinan
beda agama sekalipun jika seorang laki-laki muslim menikahi ahlul kitab,
sebab dikhawatirkan akan terjadi kemafsadatan dalam perkawinan tersebut,
yaitu sang suami akan condong kepada agama yang dasarnya berpendapat
bahwa seorang yang muslim tidak mewarisi daari yang kafir, dan seorang

8 Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non-muslim Berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Pasundan (2018)
9 Hak Ahli Waris Yang Murtad Dalam Pembagian Waris Ditinjau Dari Kompilasi Hukum
Islam, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember (2014)
9

kafir tidak mewarisi seorang yang muslim. Dengan demikian hak waris jatuh
kepada anak yang agamanya dengan orang tuanya.10
Roihan Firdaus Noris (2018), dalam penelitiannya mengatakan bahwa
hakim dalam memutus perkara waris beda agama menggunakan dasar hukum
Islam, namun penulis tidak sependapat dengan ulasan hakim karena didalam
hukum Islam disebutkan bahwa seorang non-muslim tidak berhak mendapat
warisan karena berbeda agama adalah salah satu penghalang kewarisan dalam
hukum Islam. Ulama-ulama termasyhur dari golongan sahabat, tabi’in dan
Imam-imam madzhab empat berpendapat bahwa orang Islam tidak dapat
mewarisi orang kafir dengan sebab apa saja. Dalam konteks penghalang
kewarisan karena perbedaan agama juga termasuk, maka dalam ajaran Islam
dikategorikan sebagai orang murtad. Murtad didefinisikan oleh ulama klasik
sebagai orang yang semula memeluk agama Islam kemudian keluar dari
agama Islam. Terkait dengan kewarisan status orang murtad disamakan
dengan orang kafir asli. Karena orang murtad maka tidak dapat menjadi ahli
waris bagi muwaris atau sebaliknya. Dasar hukum dalam hadist ini
mengambil dalil rujukan dari Usamah Bin zaid.11
Jurnal yang ditulis oleh Muhammad Isna Wahyudi (2015) di dalam
penelitiannya menyatakan bahwa pertimbangan hukum hakim pengadilan
agama lebih mencerminkan bias keagamaan dan inkonsistensi dalam
penggunaan logika hukum. Namun, dalam perkara waris yang terdiri dari
pewaris muslim dengan ahli waris muslim dan non-muslim, putusan atau
penetapan waris hakim pengadilan agama telah mampu mewujudkan keadilan
bagi semua pihak dengan memberi bagian harta warisan kepada ahli waris
non-muslim, meski bukan sebagai ahli waris, melalui lembaga wasiat wajibah
berdasarkan yurisprudensi. Hakim-hakim di lingkungan peradilan agama
lebih cenderung menggunakan lembaga wasiat wajibah dalam memberi

10 Perkawinan Beda Agama Serta Kewarisan Anak Pandangan Sayyid Sabiq, Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2018)
11 Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jember Tentang Penetapan
Status Ahli Waris Non-muslim (No. 1050/Pdt.G/2016), Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (2018)
10

bagian warisan kepada ahli waris non-muslim, dan tidak berusaha untuk
menyelidiki ‘illat hukum hadis yang melarang waris beda agama.12
Salma Suroyya Yuni Yanti, Mulyadi, Yunanto (2016) dalam jurnalnya
menyimpulkan bahwa menurut hukum waris barat, ahli waris beda agama
tidak menjadi penghalang untuk menjadi ahli waris sedangkan hukum waris
Islam, ahli waris beda agama menjadi penghalang untuk menjadi ahli waris.
Namun demikian, ahli waris beda agama tetap dapat menerima harta waris
dengan melaui wasiat wajibah sebagaimana dalam penetapan Pengadilan
Agama Badung No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dan hal ini sesuai Yurisprudensi
MA No 51/K/AG/1999. Akibat hukum pada penyelesaian kewarisan beda
agama dalam pelaksanaannya menimbulkan penafsiran Hakim yang berbeda
dalam mempertimbangkan hukum dalam amar putusan, serta menimbulkan
ketidakpastian hukum, baik dalam proses pelaksanaannya maupun status
hukum bagi ahli waris beda agama.13
Rizkal (2016) dalam artikel Komisi Yudisial menyatakan hasil
temuannya bahwa dalam putusan tersebut secara tidak langsung telah
membenarkan adanya hak saling mewarisi antara dua orang yang berbeda
agama melalui jalan wasiat wajibah. Pada dasarnya dalam hukum Islam telah
diberikan solusi melalui jalan wasiat, hibah, dan hadiah kepada ahli waris
non-muslim sebelum pewaris Islam meninggal, sesuai dengan Fatwa MUI.
Ahli waris non-Muslim tidak berhak mendapatkan wasiat wajibah yang
diberikan atas putusan hakim. Karena mengenai pemberian wasiat wajibah di
Indonesia hanya diperuntukkan kepada ahli anak angkat dan orangtua angkat
saja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 KHI.14
Zulfi Hanum dan Alfi Syahr (2016) dalam penelitiannya menyimpulkan;
bahwa wasiat wajibah telah mampu menjadi salah satu solusi dalam

12 Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama (Kajian Lima Penetapan dan Dua
Putusan Pengadilan Agama dalam Perkara Waris Beda Agama), Jurnal Pengadilan Agama
Bandung, Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015
13 Pembagian Harta Warisan Terhadap Ahli Waris Beda Agama Serta Akibat Hukumnya,
Jurnal Volume 5, Nomor 3, Tahun, Program Studi S1 Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro
(2016)
14 Pemberian Hak Waris Dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim Berdasarkan Wasiat
Wajibah (Kajian Putusan No. 16/K/AG/2010)
11

menyelesaikan perkara waris yang menyangkut keluarga yang berbeda


agama. Keluarga yang berselisih karena persoalan pembagian warisan ini
dengan anggota keluarga yang non-muslim dapat didamaikan dengan
memberikan wasiat wajibah oleh hakim melalui proses pengadilan. Sehingga,
dalam perkembangannya wasiat wajibah tidak hanya bisa diberikan kepada
orang tua ataupun anak angkat sebagaimana dalam KHI tetapi juga dapat
diberikan untuk anggota keluarga yang berbeda agama. Tentunya pemberian
wasiat wajibah tersebut oleh hakim telah melalui pertimbangan-pertimbangan
khusus dan fakta-fakta yang ada.15
Kamaruddin (2015) dalam penelitiannya mengatakan bahwa putusan
Mahkamah Agung telah memberikan gambaran bahwa secara mutlak hukum
Islam harus terus berubah manakala ia memuat prinsip-prinsip yang
mengakomodasi perubahan dan ada hukum darurat (Rule of Necessity) dan
perlu menampung kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang berkembang.
Dengan demikian hukum Islam memiliki kepastian yang mengagumkan
untuk berdamai dengan perubahan melalui para juris (Faqih) yang telah
menggunakan kemampuannya secara maksimal untuk memahami hukum
(fikih), sehingga tujuan hukum yang tertinggi dalam Islam adalah keadilan.16
Muhammad Rinaldi Arif (2017) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
Putusan Mahkamah Agung itu menciderai rasa keadilan yang telah tertera
dalam Al-Qur‟an dan Sunnah, serta mengabaikan perlindungan hukum bagi
ahli waris yang Islam. Selain itu penelitian ini juga dilakukan untuk melihat
perbandingan putusan Mahkamah Agung Nomor 368.K/AG/1995 dan fikih
Islam.17
Jurnal yang ditulis oleh Muhammad Isna Wahyudi Pengadilan Agama
Badung dalam penelitiannya mengkaji lima penetapan dan dua putusan

15 Wasiat Wajibah Sebagai Wujud Penyelesaian Perkara Waris Beda Agama Dalam
Perkembangan Sosial Masyarakat, Jurnal IAIN Syekh Nurjati Cirebon (2016)
16 Penerapan Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non-muslim (Studi Kasus PerkaraNo. 16
K/AG/2010), Jurnal Mizani, Vol. 25 No. 2, Agustus 2015.
17 Pemberian Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Beda Agama (Kajian Perbandingan
Hukum Antara Hukum Islam dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 368/K/AG/1995), Jurnal De
Lega Lata, Volume 2, Nomor 2 (2017)
12

pengadilan agama dalam perkara waris beda agama dengan pendekatan kasus.
Putusan yang dikaji daam jurnal ini adalah Putusan Nomor
2/Pdt.G/2011/PA.Kbj, Putusan Nomor 3321/Pdt.G/2010/PA.Sby, Penetapan
Nomor 84/Pdt.P/2012/PA.JU, Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/PA.Sby,
Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby.18
Selanjutnya jurnal Mimbar Hukum Volume 22, Nomor 2 yang ditulis
oleh Destri Budi Nugraheni, Haniah Ilhami, dan Yulkarnain Harahab didalam
jurnalnya berisi analisis sifat pengaturan wasiat wajibah dalam Kompilasi
Hukum Islam dan pengaturan tersebut pada Pengadilan Agama, juga
membahas pertimbangan hakim dalam suatu perkara yang diberikan wasiat
wajibah di dalamnya.19
Pasalnya masih banyak lagi kajian terdahulu yang membahas waris bagi
ahli waris beda agama melalui wasiat wajibah akan tetapi yang akan penulis
teliti di sini adalah pola pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam
memutus perkara waris bagi ahli waris beda agama dalam beberapa putusan
yang sudah menjadi yurisprudensi dan berpotensi akan menjadi
yurisprudensi. Dalam penelitian ini, penulis mencantumkan beberapa putusan
kasasi Mahkamah Agung yang diputus mulai dari tahun 1995-2018 untuk
menggali pertimbangan hukum hakim, metode pertimbangan hukum yang
digunakan dan menganalisis hasil pertimbanagn hukum hakim terkait waris
beda agama tersebut berdasarkan maqashid asy-syariah.
Adapun metode yang digunakakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian kualitatif dengan pendekatan kasus hukum (case approach)
menggunakan beberapa pisau analisis teori, yaitu keadilan, kemaslahatan,
maqashid asy-syariah, kepastian hukum, penemuan dan pembuatan hukum.
Hal-hal demikianlah yang akan membedakan penelitian penulis dengan
penelitian sebelumnya.

18 Muhammad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama (Kajian
Lima Penetapan dan Dua Putusan Pengadilan Agama dalam Perkara Waris Beda Agama)”, Jurnal
Yudisial Vol. 8 No. 3 (Desember 2015)
19 Destri Budi Nugraheni, Haniah Ilhami, dan Yulkarnain Harahab, “Penerapan Pengaturan
dan Implementasi Wasiat Wajibah Di Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 2,
(Juni 2010)
13

E. Kerangka Teori Penelitian

1. Teori Keadilan
Hans Kelsen memaparkan bahwa keadilan bermakna legalitas.
Suatu peraturan umum adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus
dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. 20
Keadilan menurut John Rawls terbagi menjadi dua prinsip:
pertama, setiap orang memiliki hak yang sama terhadap kebebasan-
kebebasan dasar yang sama secara luas yang sesuai dengan pola
kebebasan yang serupa bagi yang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial
ekonomi perlu diatur sedemikian rupa sehingga layak diharapkan dapat
memberikan keuntungan bagi setiap orang, dan ketidaksamaan sosial dan
ekonomi tersebut harus dikaitkan dengan kedudukan dan jabatan yang
terbuka bagi semua orang.21
Menurut John Rawls situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan
yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan
masyarakat paling lemah. Teori keadilan Rawlsian, tujuan utamanya
bukanlah menghapus ketidaksamaan, melainkan memastikan adanya
kesempatan yang sama, sehingga ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh
hal itu menguntungkan semua, terutama golongan yang terlemah. Hal
demikian dapat dipenuhi dengan syarat; a) situasi ketidaksamaan
menjamin maximum minimorum bagi orang yang lemah, artinya situasi
masyarakat harus sedemikian rupa, sehingga dihasilkan untung yang
paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi orang-orang yang paling
lemah. Pilihan dengan asas maximum minimorum yang digunakan orang
dalam kontrak hipotesis di mana masing-masing berada di balik “cadar
ketidaktahuan” (veil of ignorence) guna memilih prinsip keadilan, b),

20 Muhammad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Waris Beda Agama”, Jurnal
Yudisial Vol. 8 No. 3 269 - 288 (Desember, 2015), h. 274-275
21 Jonaedi Effendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, (Jakarta: Kencana,
2018), Ed.1, h., 32
14

ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua


orang. 22
Adapun secara praktiknya, teori keadilan dapat dibagi menjadi dua,
yaitu procedural justice (keadilan prosedural) dan substantive justice
(keadilan substantif). Keadilan prosedural didasarkan kepada ide atau
gagasan tentang keadilan dalam proses-proses penyelesaian sengketa dan
pengalokasian sumber daya. Salah satu aspek dari keadilan prosedural ini
berkaitan dengan pembahasan tentang bagaimana memberikan keadilan
dalam proses hukum.
Sedangkan keadilan susbtantif adalah keadilan yang diberikan
sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, tanpa melihat kesalahan-
kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif
Penggugat/Pemohon. Ini berarti bahwa apa yang secara prosedural benar,
bisa saja disalahkan secara substantinya melanggar keadilan. Demikian
sebalinya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan.23

2. Teori Kemaslahatan
Secara etimologis, arti maslahat (al-maslahah) secara etimologis
berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan,
kepatutan. Kata al-maslahah dilawankan dengan kata al-mafsadah yang
artinya kerusakan.
Secara terminologis, maslahah telah diberi muatan makna oleh
beberapa ulama usul al-fiqh. Al-Ghazali (w. 505 H), misalnya,
mengatakan bahwa makna genuine dari maslahah adalah menarik/
mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/ menghindari kemudaratan
(jalb al-manfa’ah atau daf’ al-madarrah). Menurut Al-Ghazali yang
dimaksud dengan maslahah, dalam arti terminologis-syar’i adalah
memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ yang berupa memelihara
agama, jiwa, akal budi, keturunan dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh

22 Muhammad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Waris Beda Agama”, Jurnal
Yudisial Vol. 8 No. 3 269 - 288 (Desember, 2015), h. 274-275
23 Jonaedi Effendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, (Jakarta: Kencana,
2018), Ed.1, h., 32
15

Al-Ghazali bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi


eksistensi kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai maslahah; sebaliknya,
setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak kelima hal tersebut
dinilai sebagai mafsadah; maka, mencegah dan menghilangkan sesuatu
yang demikian dikualifikasi sebagai maslahah.24
Sedangkan menurut Ahmad Hassan, legislasi al-Qur’an itu
mempertimbangkan tabiat dan kemampuan manusia serta kondisi
sosial.tujuan al-Qur’an dalam penetapan hukumnya meskipun elemen
hukum yang dituangkan dengan bahasa yang tegas sedikit jumlahnya
ialah maslahah. Al-Qur’an bertujuan membentuk individu dan
masyarakat yang ideal yang lebih berlandaskan kepada moralitas
ketimbang hukum. Karena itulah, ia terkadang menjelaskan perintah-
perintahnya melaui bahasa nalar dan tujuan, meskipun suatu otoritas
absolut sesungguhnya tidak perlu melakukan demikian. Inilah yang
menjadi alasan mengapa genre dannada legislasi al-Qur’an bersifat umum
dna rasional sehingga ia dapat beradaptasi dengan kondisi-kondisi
kehidupan yang terus berubah.25

3. Teori Maqashid al-Syariah


Secara kebahasaan, maqashid al-syariah terdiri dari dua kata, yaitu
maqashid dan syari’ah. Term Maqashid berasal dari bahsa Arab yang
merupakan bentuk jamak dari maqsud, yang berrarti maksud, sasaran,
niat, tujuan, tujuan akhir. Sedangkan syariah secara bahasa berarti jalan
ke sumber (mata) air, yakni jalan yang harus diikuti oleh setiap muslim.26
Maka dengan demikian maqashid al-syariah berarti kandungan nilai yang
menjadi tujuan pensyariatan hukum. Dengan mengetahui pengertian
maqashid dan syari’ah secara etimologi, maka dapat diketahui yang
dimaksud dengan maqashid al-syari’ah yaitu maksud atau tujuan-tujuan
dishari’atkannya hukum dalam Islam, ha ini mengindikasikan bahwa

24 Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah”, Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum, h. 314
25 Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah”, Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum, h. 319
26
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2018), h. 75
16

maqashid al-syari’ah erat kaitannya dengan hikmah dan ‘illat.27


Sedangkan menurut Wahbah Al-Zuhaili (1986:1017 sebagaimana dikutip
oleh Ghofar Shidiq28) mendefinisikan maqashid al-syariah dengan
makna-makna dan tujuan yang dipelihara oleh syara’ dalam seluruh
hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhira dari syariat
dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara’ pada setiap hukumnya.
Adapun Abu Ishak Al-Syathiby sebagaimana dalam Abdul Wahab
Khallaf menyebutkan tujuan hukum Islam (Maqashid Al-Syari’ah) adalah
sebagai berikut:

a. Menjaga agama (hifdz al-din), tujuan ini mempunyai kekuatan


hukum syar’i dimana adanya wahyu Allah berupa ayat-ayat Al-
Qur’an maupun Al-Hadits sebagai muatannya. Keseluruhan
muatan tersebut pada intinya menjaga agama dan aplikasi
keagamaan pada manusia, sehingga nama baik agama tetap terjaga
dan terus lestari pada setiap zaman.
b. Menjaga jiwa (hifdz al-nafs), begitu besar kepedulian Islam
terhadap upaya manusia menjaga keberadaan jiwanya. Kepedulian
syariah Islam terhadap jiwa manusia tersebut terkandung maksud
agar manusia dapat berperan secara optimal sebagai hamba
(abdun) dengan konsekwensi pada Al-Khaliq. Disamping itu juga
manusia dapat berperan secara optimal pula sebagai khalifah
Tuhan.
c. Menjaga akal (hifdz ala al-a’ql), termasuk akal (a’ql) bagi
manusia merupakan satu substansi pemberian Allah SWT (given)
yang teramat penting. Bahkan pada akal inilah merupakan
perbedaan antara manusia dengan makhluk-makhluk selainnya.

27
Ali Mutakin, “Teori Maqashid Al Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath
Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 3, (Agustus, 2017), h. 550-551
28
Ghofar Shidiq, “Teori Maqashid al-Syariah dalam Hukum Islam”, Jurnal Sultan Agung
Vol. XLIV. No. 118 (Juni-Agustus 2009), h. 118-119
17

d. Memelihara keturunan (hifdz al-nasl) bagi kontinuitas hidup


manusia adalah satu diantara kewajiban agama (syar’iy)
merupakan suatu penyimpangan (anomali) serius terhadap syariat
Islam.
e. Menjaga harta benda (hifdz al-mal) merupakan salah satu
kewajiban penting sebagaimana kewajiban penting lainnya seperti
sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain.29

4. Teori Kepastian Hukum


Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A. Hart
berpendapat bahwa kadang-kadang kata kata dalam sebuah undang-
undang dan apa yang diperintahkan undang-undang tersebut dalam suatu
kasus tertentu bisa jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada
keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat
diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah
menurut H.L.A Hart sebagai salah satu contoh ketidakpastian (legal
uncertainty) hukum.30 Karena pada prinsipnya, kepastian hukum
merupakan suatu jaminan dari Negara kepada masyarakat ataupun
individu bahwa hukum tersebut dapat dijalankan dengan baik.31
Kepastian hukum sendiri mengandung dua pengertian, yaitu a)
adanya peraturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan b) berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya peraturan aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu. Perlu diketahui juga kepastian hukum bukan hanya
berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya

29
Thohir Luth, Syari’at Islam Mengapa Takut,(T.tp: Universitas Brawijaya Press, 2011), h.
11-14
30 H.L.A Hart, The Concept Of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997)
diterejemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum, (bandung: Nusamedia, 2010) h., 230.
31 H. Salim. Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2010), h. 24.
18

konssitensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dan
putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.32
Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkret dan tidak boleh ada
penyimpangan (flat justitia et pereat mundus). 33

5. Teori Penemuan Hukum (Rechtsvinding)


Secara teoretis, penemuan hukum (rechtsvinding law) adalah
“suatu teori yang memberikan arah bagaimana cara menemukan aturan
yang sesuai untuk suatu peristiwa hukum tertentu, dengan cara
penyelidikan yang sistematis terhadap suatu aturan dengan
menghubungkan antara satu aturan dengan aturan lainnya”.34
Metode penemuan hukum yang dianut dewasa ini, seperti yang
dikemukakan antara lain oleh J.J.H. Bruggink meliputi metode
interpretasi (interpretation methoden) dan metode konstruksi hukum atau
penalaran (redeneerweijzen).35 Namun, dalam skripsi ini penulis
membedakan secara tegas antara metode interpretasi dan metode
konstruksi. Metode interpretasi penulis masukkan dalam teori penemuan
hukum (rechtsvinding) sedangkan metode konstruksi dimasukkan dalam
teori pembentukan hukum (rechtschepping).
Sudikno Mertokusuma memberikan penjelasan bahwa metode
interpretasi hukum merupakan metode penemuan hukum dalam peraturan
perundang-undangan ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan secara
pas pada peristiwa konkret atau fakta hukum yang ditemukan di
persidangan.36 Lebih lanjut metode interpretasi yang digunakan hakim
dalam menemukan hukum antara lain:

32 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi), (Jakarta: Kencana, 2008),
Cet-10, 2017, h., 137.
33 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, h. 58
34 Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), h.,
182
35Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, h. 58
36
Dr. M. Fauzan S.H., M.H, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum
Perdata, (Jakarta: Kencana, 2014), h., 51
19

a. Interpretasi Gramatikal yaitu suatu cara penafsiran Undang-undang


menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada Undang-undang.
Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa
sehari-hari yang umum.
b. Interprestasi Historis yaitu menafsirkan Undang-undang dengan cara
melihat sejarah terjadinya suatu Undang-undang. Penafsran historis ini
ada dua yaitu: pertama, interpretasi menurut sejarah undang-
undangnya (wets historisch) adalah mencari maksud dari perundang-
undangan itu seperti apa, dalam hal ini dilihat dari pembuat undang-
undangnya. Kedua, interpretasi menurut sejarah kelembagaan
hukumnya atau sejarah hukumnya (rechts historisch) adalah metode
interpretasi yang ingin memahami undang-undang dalam konteks
seluruh sejarah hukumnya, khususnya yang terkait kelembagaan
hukumnya.
c. Interpretasi Sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal
yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu per Undang-undangan
yang bersangkutan, atau dengan Undang-undang lain, serta membaca
penjelasan Undang-undang tersebut sehingga kita memahami
maksudnya.
d. Interpretasi Teleologis-Sosiologis yaitu makna Undang-undang itu
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan artinya peraturan per
Undang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial
yang baru. Ketentuan Undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi
disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk memecahkan/
menyelesaikan sengketa dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang
lama dibuat aktual. Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki lebih
banyak pada hakim-hakim di Indonesia mengingat negara Indonesia
yang pluralistik dan kompleks. Peraturan per Undang-undangan dalam
tatanan Hukum Nasional harus diterjemahkan oleh para hakim sesuai
kondisi sosial suatu daerah.
20

e. Intepretasi Authentik (Resmi) yaitu penafsiran yang resmi yang


diberikan oleh pembuat Undang-undang tentang arti kata-kata yang
digunakan dalam Undang-undang tersebut.
f. Interpretasi Ekstentif yaitu penafsiran dengan cara memperluas arti
kata-kata yang terdapat dalam Undang-undang sehingga suatu
peristiwa dapat dimasukkan kedalamnya.
g. Interpretasi Restriktif yaitu penafsiran yang membatasi/mempersempit
maksud suatu pasal dalam Undang-undang.37
h. Interpretasi Komparatif yaitu dimaksudkan sebagai metode penafsiran
dengan jalan membandingkan antara sistem hukum. Contoh, dalam
masalah warisan dapat diperbandingkan antar sistem Kewarisan
Hukum Adat, Hukum Islam, maupun Hukum Perdata Barat.
i. Interpretasi Antisipatif/ Futuristis adalah metode penemuan hukum
yang bersifat antisipasi, yaitu menjelaskan ketentuan undang-undang
dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai
kekuatan hukum, seperti RUU.38

6. Teori Pembentukan Hukum (Rechtschepping)


Pembentukan hukum berarti upaya hakim dalam memutus perkara,
tetapi tidak tersedia aturan hukum yang dapat dijadikan dasar hukum atau
terdapat aturan hukum tetapi sudah ketinggalan zaman sehingga terjadi
kekosongan hukum (normatif).
Hal ini sejalan dengan pemahaman metode konstruksi hukum yang
dilakukan dalam hal peraturannya memang tidak ada, sehingga terdapat
kekosongan hukum (rechts vacuum) atau lebih tepat disebutkan sebagai
kekosongan undang-undang (wet vacuum).
Dengan demikian, maka syarat kebolehan melakukan penciptaan
hukum yaitu: a) terjadinya kekosongan normatif, b) dipertimbangkan

37
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h.36-41.
38
Dr. M. Fauzan S.H., M.H, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum
Perdata, (Jakarta: Kencana, 2014), h., 59
21

melalui putusan hakim, c) berkenaan dengan kasus konkret, dan d)


bersifat individual.
Ketiadaan aturan hukum tersebut apabila diterapkan akan
bertentangan dengan rasa keadilan atau akan menimbulkan pertentangan
sosial atau akan bertentangan dengan ketertiban umum atau dengan
prinsip-prinsip yang diterima secara umum di masyarakat. Sehingga,
untuk mengisi kekosongan undang-undang ini, biasanya hakim
menggunakan penalaran logis yang berupa metode analogi (argumentum
per analogian), metode argumentum a contrario, metode penyempitan
hukum, dan fiksi hukum.

a. Metode Analogi (Argumentum Per Analogian) berarti memperluas


peraturan perundang-undangan yang terlalu sempit ruang lingkup,
kemudian diterapkan terhadap peristiwa yang serupa, sejenis atau
mirip dengan yang diatur dalam undang-undang. Dengan metode
analogi, maka peristiwa yang serupa, sejenis, atau mirip dengan yang
diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.
b. Metode A Contrario (Argumentum A Contrario) yaitu suatu penafsiran
yang memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit
yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan perlawanan ini ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara
yang dihadapi tidak termasuk kedalam pasal tersebut melainkan diluar
peraturan per undang-undangan.
c. Metode Penyempitan Hukum (Rechtsvervijning), yaitu ketika
peraturan perundang-undangan yang ruang lingkupnya terlalu umum
atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap
peristiwa tertentu. Metode ini bertujuan untuk mengkonkretkan atau
menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, luas, dan
umum, supaya dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu.
d. Metode Fiksi Hukum, yaitu sesuatu yang khayal yang digunakan di
dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-kata, istilah-istilah yang berdiri
sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan
22

suatu pengertian hukum. Bentuk fiksi ini lebih banyak digunakan


dalam hukum adat banyak memakai bentuk pepatah atau peribahasa,
sedangkan hukum perundangan memakai bentuk kalimat pasal demi
pasal. Contoh dalam hukum Adat Banten misalnya, banteng anut ing
sapi,” artinya sapi jantan mengikuti sapi betina, kiasan hukumnya
dikarenakan suami ikut menetap di tempat istri, maka kedudukan
suami lebih banyak dipengaruhi oleh hukum di pihak istri, sehingga
dalam hukum kewarisan rumah diwariskan kepada anak wanita.39

Pembentukan hukum hakim biasa melalui putusan hakim (hukum


in concreto) dapat saja menjadi hukum in abstracto apabila kaidah dalam
putusan hakim tersebut diambil alih oleh pembentuk undang-undang
menjadi undang-undang, maka menjadilah hukum positif yang berlaku
umum. Demikian pula putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap (res yudicata pro veritate habetuur), lalu diikuti dalam praktik
hukum sesuai asas similia similibus maka menjadilah hukum in abstracto.
Sebagai catatan hasil penciptaan hukum oleh hakim hanya diakui sebagai
hukum manakala dihasilkan dalam proses peradilan, inilah yang disebut
ratio decidende. Berbeda dengan obiter dicta, yaitu pendapat hukum oleh
hakim yang tidak berkenaan dengan proses peradilan.40

F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kasus (case
approach) yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
putusan hukum kemudian menganalisisnya dengan bantuan peraturan
perundang-undangan, doktrin dan bahan pustaka lainnya sebagai alat bantu
untuk menelusuri permasalahan yang diteliti.41

39
Dr. M. Fauzan S.H., M.H, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum
Perdata, (Jakarta: Kencana, 2014), h., 59
40 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Kencana, 2015),
h., 145
41 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali, 2001), h. 13-14
23

2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian normatif-
yuridis. Jenis penelitian ini dimaksudkan untuk mengimplementasikan
ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap
peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masayarakat.

3. Data Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data penelitian yang
bersumber dari data primer dan sekunder sebagai berikut:

a. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah data yang langsung
dikumpulkan peneliti yang sumbernya adalah objek penelitian. Yaitu
berupa putusan-putusan Mahkamah Agung dari tahun 1995 s/d 2018
dengan Nomor perkara sebagai berikut; a) 368/K/AG/1995; b)
51/K/AG/1999; c) 6/K/AG/2010; d) 218/K/AG/2016; e)
331/K/AG/2018.
b. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-
undangan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), landmark decision laporan
tahunan Mahkamah Agung, dan bahan-bahan literatur seperti buku,
jurnal, artikel, hasil penelitian (skripsi, tesis, disertasi), ataupun surat
kabar yang berkaitan dengan ketentuan hukum waris beda agama.

4. Teknik Pengumpulan Data


a. Studi Dokumentasi (document research)
Penelitian ini memfokuskan bahan-bahan atau data-data yang
diambil dari dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang
pemeriksaan putusan yang terkait masalah pemberian kewarisan beda
agama dalam putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor
368/K/AG/1995, 51/K/AG/1999, 16/K/AG/2010, 218/K/AG/2016,
162/K/AG/2018, 331/K/AG/2018.
24

b. Studi Pustaka (library research)


Bahan pustaka yang dikumpulkan adalah data-data yang
berhubungan dengan putusan dengan penulisan skripsi ini, yaitu
undang-undang, buku-buku, jurnal, literatur-literatur dan sumber
bacaan lainnya yang memuat laporan hasil penelitian, yang kemudian
sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah.

5. Metode Analisis Data


Metode analisis data yang penulis gunakan adalah analisis
kualitatif yang bersifat logis normatif, yaitu menganalisis isu
permasalahan berdasarkan logika dan peraturan perundang-undangan dan
kemudian menarik sebuah kesimpulan yang telah didapat. Maka logika
berfikir yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah logika deduktif,
yaitu analisis yang berangkat dari ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bersifat umum menuju suatu kesimpulan yang bersifat
khusus. Artinya ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan
yang dijadikan sebagai acuan dalam menganalisis pertimbangan hukum
hakim Mahkamah Agung dalam perkara waris beda agama.

G. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian ini merujuk pada Buku Pedoman Penelitian
Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Syariah dan Hukum. Untuk mengetahui gambaran keseluruhan isi penelitian
dalam penelitian ini, penyusun menguraikan secara singkat sebagai berikut:
Bab pertama, berisi gambaran umum yang mengantarkan kepada
pemahaman isu hukum yang akan diteliti. Yaitu perkara kewarisan beda
agama di Mahkamah Agung dari tahun 1995-2018. Pada bab ini juga
dijelaskan mengenai objek atau fokus penelitian, pembatasan masalah,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti, review studi terdahulu yang berfungsi untuk menemukan
celah penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan, serta
sistematika penulisan yang menggambarkan isi dari penelitian ini.
25

Bab kedua, membahas tentang pengetahuan umum mengenai ilmu


kewarisan Islam, penghalang kewarisan sampai dengan kewarisan beda
agama menurut 4 madzhab. Hukum positif dan fatwa tentang kewarisan beda
agama yang berlaku di Indonesia.
Bab ketiga, berisi tentang penguraian putusan terkait yang didalamnya
menjelaskan mengenai pertimbangan hukum oleh hakim Mahkamah Agung
dan penguraian alasan penggunaan kaidah-kaidah hukum lama dan
pembentukan kaidah hukum baru yang dibuat oleh Hakim Agung dalam
menyelesaikan perkara waris beda agama.
Bab keempat, menganalisis putusan waris beda agama yang
diputuskan oleh Mahkamah Agung terhadap isu keadilan, dan kesesuaian
dengan hukum Islam dan hukum positif dengan pertimbangan hakim, amar
putusan, analisis penyelesaian putusan di Mahkamah Agung menggunakan
pisau analisis teori yang telah dipaparkan, menelaah metode yang digunakan
hakim Mahkamah Agung dalam menyelesaikan perkawa waris beda agama.
Bab kelima, merupakan tahap terakhir dari penulisan skripsi berupa
kesimpulan dari beberapa permasalahan yang telah dibahas mengenai
kewarisan beda agama dan saran-saran penulis terhadap masyarakat dan
penegak hukum untuk lebih teliti dan jelas dalam menangani permasalahan
waris beda agama.
BAB II
KEWARISAN BEDA AGAMA

A. Kewarisan Beda Agama dalam Islam


1. Pengertian Kewarisan dalam Islam
Sistem hukum kewarisan Islam adalah sistem hukum kewarisan yang
diatur dalam al-Qur’an, as-Sunah, ijmak dan ijtihad ulama. Pewaris menurut
kewarisan Islam adalah proses pemindahan harta peninggalan seseorang yang
telah meninggal dunia, baik berupa hak-hak kebendaan maupun hak-hak
lainnya kepada ahli warisnya yang dinyatakan berhak oleh hukum.1
Kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal kepada yang masih hidup. Peralihan harta tersebut biasa juga
disebut atau dinamakan dengan faraidh, fikih mawaris, dan hukm al-waris.
Dari sekian banyak penamaan tersebut yang paling sering digunakan adalah
faraidh.2 Faraidh adalah bentuk jamak dari faridhah, yang diambil dari kata
fardhu yang berarti ‘penentuan’ dan faridhah yang bermakna ‘yang
ditetapkan’, karena di dalamnya ada bagian-bagian yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu kata al-Faraidh lebih banyak digunakan.3 Penyebutan faraidh
didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris.
Sedangkan yang didasarkan kepada objek hukum, yaitu harta yang
beralih kepada ahli waris yang masih hidup disebut dengan mawarits. Kata
mawarits merupakan bentuk jamak dari miwrats yang berarti mawruts, harta
yang diwarisi. Sehingga yang dimaksud dengan warits yang digunakan dalam
beberapa kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan itu,
karena kata warits memiliki makna yang menerima warisan.4
Objek kajian ilmu faraidh adalah harta peninggalan si mayit. Sementara
itu, ilmu faraidh pun ditujukan untuk memenuhi hak para mustahiq ’yang

1 Syamsulbahri Salihima, Perkembangan Pembagian Warisan Dalam Hukum Islam dan


Implementasinya Pada Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2016), Edisi Pertama-Cet. 2, h. 27
2 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2015), Edisi Kedua-Cet. 5, h. 5
3 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.
Jakarta: Gema Insani, 2011, Cet. 1- jilid 10, h. 340
4 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2015), Edisi Kedua- Cet. 5, h. 6

26
27

berhak menerimanya’, baik yang berhubungan dengan fardh ‘bagian yang


sudah pasti besar kecilnya’, ta’shib ‘mewarisi dengan jalan menerima sisa’,
maupun keduanya. Bisa juga dengan fardh dan radd, atau dengan fardh dan
rahm ‘ahli waris yang tidak termasuk ashabul furudh’ dan ‘ashabah’, atau
hanya dengan rahm.5
Dapat dipahami bahwa menurut hukum kewarisan Islam, pewarisan
dapat terjadi setelah pewaris meninggal dunia, maka peralihan harta kekayaan
kepada ahli waris pada saat pewaris masih hidup tidak dipandang sebagai
pewarisan. Jadi disebut pewarisan setelah meninggalnya seseorang, maka
kekayaan terlepas darinya dan akan segera berpindah menjadi milik ahli waris
yang ditinggalkan dan dinyatakan berhak oleh ketentuan hukum Islam.
Adapun al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber utama hukum kewarisan
Islam telah menetapkan, menjelaskan, dan memerinci secara detail hukum-
hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak
seorangpun. Bagian yang harus diterima dijelaskan dengan tegas sesuai
kedudukan nasab atau keturunan terhadap pewaris.

2. Dasar Hukum Kewarisan dalam Islam


Dasar dan sumber utama dari hukum Islam adalah nash atau teks yang
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunah. Berikut beberapa ayat al-Qur’an dan
as-Sunah yang menjelaskan tentang dasar hukum kewarisan Islam:
a. Al-Qur’an

َّ َ َ َۡ ۡ ۡ َ َ َۡ ۡ
ٞ ‫ون ِ َول ِّلن َِّسآءِِّنَص‬ َ َ ۡ َ َ َ َّ ِّ ‫يب‬ ٞ ‫ل ِّلر َجا ِل ِنَص‬
ِ‫ون ِم َِّّماِقل ِم ِّۡن ُه‬ ِِّ ‫يب ِم َِّّماِت َر َك ِٱل َو َٰ ِّ َِل‬
ِ ‫ان ِ َِوٱۡلق َر ُب‬ ِّ ِ ‫انِِ َوِٱۡلق َر ُب‬
ِّ ‫ِمِماِترك ِٱلو َٰ ِِّل‬ ِّ ِّ ِّ
ٗ ۡ َّ ٗ َ َ ُ َ ۡ َ
٧ِ‫اِمف ُروضا‬ ‫أوِكثَِۚن ِّصيب‬

Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-Nisa [4]: 7)
ٗ َّ ٗ ۡ َ ۡ ُ َ ْ ُ ُ َ ُ ۡ ُ ُ ُ ۡ َ ُ َٰ َ َ ۡ َ َ َٰ َ َ ۡ َ َٰ َ ۡ ُ ۡ ْ ُ ْ ُ َ َ ۡ ۡ َ َ َ َ
٨ِ‫ِم ۡع ُروفا‬ ‫ِّيِ ِفٱرزقوهمِمِّنهِوقولواِلهمِقوٗل‬ َِٰ ‫بِ ِوٱۡلت‬
ِ ‫مِوِٱلمسك‬ ِ ‫ِإَوذاِحَضِٱلقِّسم ِةِأولواِٱلقر‬

5 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), Cet. 1, h. 14
28

Artinya: “dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim
dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.” (QS.An-Nisa [4]: 8)

َ ‫ٱّللِ َو ۡۡلَ ُقولُواِْقَ ۡو ٗٗل‬


َّ ْ ُ ۡ َ َ َ ْ ُ َ ً َٰ َ ٗ َّ ُ ۡ ۡ َ ۡ ْ ُ َ َ ۡ َ َ َّ َ ۡ َ ۡ َ
ً ‫ِسد‬
٩ِ‫ِّيدا‬ َِ ِ‫ِعل ۡي ِّه ۡمِفل َي َّتقوا‬ ‫شِٱَّلِّينِِلوِتركواِمِّنِخلفِّ ِّهمِذرِّيةِضِّ عفاِخافوا‬
ِ ‫وۡلخ‬

Artinya: “dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang


seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah,
yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Perkataan yang benar.” (QS.An-Nisa [4]: 9)
َ َ ُ ۡ َ َ َ ٞ ۡ ُ ٓ َُ َ ٞ َ َ َُ َ َۡ َ َ َ ٌْ ُ ۡ َ َ َ ۡ ۡ ُ ۡ ُ ُ َّ ُ َ َ ُ ۡ َ ۡ َ
َِۚ‫ِماِت َر َك‬ ‫ِِفِٱلكلَٰلةِِِّإ ِّ ِّنِٱمرؤاِِهلكِليسِلِۥِوِلِولِ ِۥِأختِفلهاِن ِّصف‬ ِّ ‫ٱّللِيفت ِّيكم‬
ِ ِ‫كِق ِّل‬
ِ ‫يستفتون‬
ٗ َ َٗ ۡ ُْٓ َ َ ََ َّ َ ُ ُّ َ ُ َ َ ۡ َ َ ۡ َ َ َ َ ٞ َ َ َ َّ ُ َ ۡ َّ َُٓ َ ََُ
ِ‫كَۚ ِِإَون َِكنوا ِإِّخوة ِرِّجاٗل‬
ِ ‫انِ ِمِّما ِتر‬
ِّ ‫يِ ِفلهما ِٱثللث‬ ِّ ‫وهو ِي ِّرثها ِإِّن ِلم ِيكن ِلها ِوِل َۚ ِفإِّن َِكنتا ِٱث ِنت‬
ُ ‫ِعل‬َ ‫َِشء‬ َ ُ ُ َّ َ ْ ُّ َ َ ۡ ُ َ ُ َّ ُ َ ُ ۡ َ َ ُ ۡ َ ُ ۡ َ َّ َ ٗ ٓ َ َ
١٧٦ُِۢ‫ِّيم‬ ٍ ۡ ‫ٱّللِبِّك ِّل‬ ِ ‫ِو‬ ِ ‫ضل ْۗوا‬
ِّ ‫ٱّللِلكمِأنِت‬ ِ ِ‫ينِيب ِّي‬ ِِّ ‫ون ِّساءِفل ِّذلك ِّرِمِّثلِح ِّظِٱۡلنثي‬

Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).


Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu):
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan
itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-
laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum
ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. (QS.An-Nisa [4]: 176)
b. As-Sunah

ْ ‫يل بْ ُن ُم ْسلٍِم‬
َ ‫اْلَْوََلِِنُّ َِْس ْع ُ ب ََ ا ب َُم َام‬ ِ ٍ
ُ ‫يل بْ ُن َعيَّاش َحدَّثَنَا ُشَر ْحب‬
ِ ِ ٍ ِ
ُ ‫َحدَّثَنَا ه َش ُام بْ ُن َع َّمار َحدَّثَنَا إ ْْسَع‬
َّ ‫ول ِِف ُخطْبَتِ ِه َع َام ِح َّج ِ الْ َوَد ِاع إِ َّن‬
‫اَّللَ قَ ْد‬ ُ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يَ ُق‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ ُ ‫اهلِ َّي يَ ُق‬
َ ‫ول َِْس ْع ُ َر ُس‬ ِ ‫الْب‬
َ ‫اَّلل‬ َ
ٍ‫بَعطَى ُك َّل ِذي ح ٍق حقَّه فَ ََل و ِصيَّ َ لِوا ِرث‬
َ َ ُ َ َ ْ
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin 'Ammar]; telah
menceritakan kepada kami [Isma'il bin 'Ayyasy]; telah menceritakan
kepada kami [Syurahbil bin Muslim Al Khaulani], aku mendengar [Abu
Umamah Al Bahili], ia berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda pada saat khutbah haji wada':
“Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberi masing-
29

masing orang haknya, maka tidak ada harta wasiat bagi ahli waris.”
(HR. Ibnu Majah).6
2. Penghalang Kewarisan dalam Islam
Hak waris seseorang tidaklah muncul tiba-tiba, tetapi keberadaannya
didasari oleh sebab-sebab tertentu yang berfungsi mengalihkan daripada hak-
hak yang telah meninggal dunia.7 Adapun yang dimaksud dengan sebab-
sebab tertentu adalah mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum menjadi
ahli waris.8
Sehingga adanya hubungan kewarisan itu belum menjamin secara pasti
hak kewarisan. Sebab disamping adanya sebab serta terpenuhinya syarat dan
rukun, keberadaan hukum tersebut masih tergantung kepada hal lain, yaitu
bebas dari segala penghalang dan dalam hubungannya kepada pewaris tidak
ada kerabat yang lebih utama daripadanya.9
Adapun hal-hal yang dapat menghalangi ahli waris untuk mendapatkan
bagiannya dalam istilah hukum Islam dinamakan al-Maani’. Secara bahasa
Al-Maani’ berarti penghalang. Sedang menurut istilah, adalah sesuatu yang
menyebabkan status seseorang akan suatu makna (alasan) dalam dirinya
menjadi tidak ada, setelah adanya penyebab ketiadaan itu. Dengan demikian,
yang dimaksud dengan al-Maani’ (penghalang) adalah tindakan atau hal-hal
yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena adanya
sebab atau syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat
menerima hak waris.10

6 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2734, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 299.
7 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011),
Cet.1, h. 18
8 Muhammad Ali Ash-Shobuny, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995, Cet. Pertama), h. 39
9 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2015), Edisi Kedua- Cet. 5, h.
200
10 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesiam (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 75
30

Dalam hubungannya dengan hukum kewarisan, yang menjadi


penghalang ditetapkan hukum yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh ahli
waris terhadap pewaris dan perbedaan agama antar pewaris dan ahli waris.
Terhalangnya seseorang menerima hak kewarisan disebut “terhalang secara
hukum”.11
Ada dua macam bentuk penghalang kewarisan, penghalang kewarisan
yang telah disepakati ulama dan yang masih diperdebatkan. Adapun
penghalang kewarisan yang masih diperdebatkan, beberapa ulama
memandang sebagai halangan bagi seseorang untuk mendapatkan harta
warisan, dan ulama lainnya tidak memandangnya sebagai penghalang.12
a. Penghalang Kewarisan yang Disepakati Ulama
1) Perbedaan Agama
Para ahli fiqih telah bersepakat bahwasanya, berlainan agama
antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan,
merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang
mewarisi. Berlainan agama terjadi antara satu orang yang berama
Islam dengan yang selainnya (non-muslim).
Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang
Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir,
sebagaimana sabda Nabi Saw. berikut:

‫الُّْه ِر ِي َع ْن َعلِ ِي بْ ِن‬


ُّ ‫اح قَ َاَل َحدَّثَنَا ُسْيَا ُن بْ ُن ُعيَ ْي نَ َ َع ْن‬ َّ ‫َحدَّثَنَا ِه َش ُام بْ ُن َع َّما ٍر َوُُمَ َّم ُد بْ ُن‬
ِ َّ‫الصب‬
‫ث‬ُ ‫ال ََل يَِر‬َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬ِ ِ‫ُس َام َ بْ ِن َزيْ ٍد َرفَ َعهُ إِ ََل الن‬
َ ‫ْي َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُعثْ َما َن َع ْن ب‬ ِ ْ ‫اْلُس‬
َْ
‫الْ ُم ْسلِ ُم الْ َكافَِر َوََل الْ َكافُِر الْ ُم ْسلِ َم‬
Artinya : Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin 'Amar] dan
[Muhammad bin Ash Shabah], keduanya berkata; telah
menceritakan kepada kami [Sufyan bin Uyainah] dari [Az Zuhri]
dari [Ali bin Al Husain] dari ['Amru bin 'Utsman] dari [Usamah bin
Zaid], ia berkata; -secara marfu- Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Seorang muslim tidak berhak memberikan

11 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2015), Edisi Kedua- Cet. 5, h.
200
12 Muhammad Muhyiddin Abdul Hamidi, Ahkam al-Mawaris fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah ‘ala
Madzahib Al-Ar-Arba’ah, terj. Wahyudi Abdurrahim, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar), h. 46
31

harta warisannya kepada orang kafir, demikian pula seorang kafir


tidak diperkenankan memberikan harta warisannya kepada seorang
muslim.". (HR. Ibnu Majah)13

‫َخبَ َرُُ َع ْن َع ْم ِرو‬ ِِ ِ


ْ ‫اح ب‬ِ َّ‫الصب‬
َّ ‫َن الْ ُمثَ ََّّن بْ َن‬ َ َُِّ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُرْم ٍح بَنْبَأ َََن ابْ ُن ََل َيع َ َع ْن َخالد بْ ِن ي‬
َّ ‫يد ب‬
ِ ْ َ‫ث ب َْهل ِملَّت‬
‫ْي‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َّ ‫ب َع ْن بَبِ ِيه َع ْن َج ِدُِ ب‬ ٍ ‫بْ ِن ُش َعْي‬
ُ ُ ‫ال ََل يَتَ َو َار‬ َ ‫اَّلل‬ َ ‫َن َر ُس‬
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Rumh];
telah memberitakan kepada kami [Ibnu Lahi'ah] dari [Khalid bin
Yazid] bahwa [Mutsanna bin Ash Shabbah]; mengabarinya dari
['Amru bin Syu'aib] dari [Ayahnya] dari [Kakeknya]; Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pemeluk dua
agama (yang berlainan) tidak boleh saling mewarisi." (HR. Ibnu
Majah)14
Kedua hadits inilah yang menjadi dasar hukum atau ketetapan
jumhur ulama terkait ketentuan ahli waris beda agama. Bila
seseorang mati meninggalkan anak laki-laki yang kafir dan paman
yang muslim, niscaya harta peninggalan si mayit semuamnya
diberikan untuk paman, sehingga anak laki-laki yang kafir itu tidak
mendapatkan apa-apa dari warisan ayahnya.15

Walau demikian, meskipun jumhur ulama menjadikan kedua


hadits di atas sebagai standar kewarisan tetapi hadis tersebut tidak
menghasilkan ijmak, karena ada beberapa sahabat yang tidak
menyepakati kata ُ‫ ْالكَافِر‬di dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Usamah bin Zaid yang dianggap masih umum (‘amm) dan
memerlukan takhsis (pengkhususannya) atau taqyidnya bila dianggap
mutlaq. Maka menurut pendapat ini, kata ُ‫ ْالكَافِر‬di situ adalah kafir
harbi, bukan kafir dzimmi. Umar bin Khattab, Muadz, dan
Muawiyah, tidak menerapkan praktek hadis yang diriwayatkan di

13 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2729, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 298.
14 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2731, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 298.
15 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), Cet. 1, h. 47-48
32

atas, bahkan sebaliknya dalam kasus tertentu, sebagaimana


diriwayatkan, ”Mereka mengambil waris dari orang kafir, tetapi tidak
sebaliknya, yaitu orang kafir dari orang Islam” dalam al-Mughni (IX:
154) yang dikutip al-Qardhawi (2003, III: 675).16

Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai


penggugur hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad.
Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk
dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak
dapat mewarisi orang Islam.17
Pendapat yang kuat dalam masalah ini ialah pendapat
kebanyakan ulama mengatakan bahwa seorang muslim dan orang
kafir secara mutlak tidak dapat saling mewarisi, karena kuat dan
kelugasan dalil yang disampaikan oleh mereka.18

2) Budak (Ar-Riq)
Ar-Riq menurut bahasa berarti ‘pengabdian’. Sedangkan, menurut
istilah adalah ketidakmampuan secara hukum yang menetap pada diri
manusia. Seorang budak tidak bisa mewarisi siapa pun dan tidak bisa
diwarisi. Hal itu dikarenakan status budak menghilangkan hak
kepemilikan. Karena, status budak menyebabkan dia menjadi harta yang
dimiliki oleh tuannya, dan dia tidak memiliki harta. Dengan
pertimbangan bahwa ‘status dimiliki’ itu muncul karena kelemahan dan
ketidakmampuan. Sedang ‘status memiliki’ muncul karena kemampuan
dan kemuliaan. Oleh karena itu, keduanya bertentangan. Semua harta
yang ada di tangannya adalah milik tuannya. Kalau kita memberinya
warisan maka kepemilikan itu menjadi milik tuannya. Dengan demikian,

16 Komari dkk, Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Waris, (Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2011), h. 114
17 Riana Kesuma Ayu, Penghalang Mewarisi, artikel diakses pada 20 September 2019 dari
http://rianan-kesuma-ayu.com/penghalang-mewarisi.
18 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), Cet. 1, h. 48-49.
33

hal itu berarti memberikan warisan kepada orang asing tanpa sebab dan
ini batal menurut ijmak ulama.19

3) Membunuh (Pembunuhan)
Bahwasanya para fuqaha telah bersepakat, membunuh adalah
penghalang warisan. Orang yang membunuh tidak mewarisi orang yang
dibunuh. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.

‫اب َع ْن ُُحَْي ِد بْ ِن َعْب ِد‬ٍ ‫ث بْن س ْع ٍد َعن إِ ْسح َق بْ ِن بَِِب فَروةَ َعن ابْ ِن ِشه‬
َ ْ َْ َ ْ َ ُ ُ ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُرْم ٍح بَنْبَأ َََن اللَّْي‬
َِّ ‫ول‬ ٍ
‫ث‬ُ ‫ال الْ َقاتِ ُل ََل يَِر‬
َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم بَنَّهُ ق‬
َّ ‫صلَّى‬
َ ‫اَّلل‬
ِ ‫ف َعن بَِِب هري رةَ َعن رس‬
ُ َ ْ َ ْ َ ُ ْ ‫الر ُْحَ ِن بْ ِن َع ْو‬ َّ
Artinya : Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Rumh],
telah memberitakan kepada kami [Al Laits bin Sa'ad] dari [Ishaq bin
Abu Farwah] dari [Ibnu Syihab] dari [Humaid bin Abdurrahman bin
'Auf] dari [Abu Hurairah], dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: "Seorang pembunuh tidak mewarisi." (HR. Ibnu
Majah)20
Mengingat banyaknya bentuk tindakan pembunuhan, para Fuqaha
berbeda pendapat tentang jenis pembunuhan mana yang menjadi
mawani’ul irsi (penghalang mewarisi). Fuqaha aliran Syafiiyah dengan
berpegang pada keumuman hadis di atas berpendapat bahwa segala
bentuk tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
pewarisnya, adalah menjadi penghalang baginya untuk mewarisi.
Sedangkan menurut fuqaha aliran Hanafiyah jenis pembunuhan yang
menjadi mawani’ul irsi (penghalang mewarisi) ada empat macam, yaitu:
a) Pembunuhan dengan sengaja, yaitu pembunuhan yang direncanakan
sebelumnya.
b) Pembunuhan mirip sengaja (syibhul ‘amdi) misalnya sengaja
melakukan penganiayaan dengan pukulan tanpa niat membunuhnya,
tetapi terrnyata yang dipukul meninggal dunia.

19 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.
Jakarta: Gema Insani, 2011, Cet. 1- jilid 10, h. 354
20 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2735, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 299
34

c) Pembunuhan karena khilaf (qathlul khattha’i) misalnya seorang


pemburu yang menembak mati sesuatu yang dikira monyet, setelah
didekati ternyata manusia. Atau seorang yang sedang latihan
menembak tepat pada sasaran pohon, tetapi meleset mengenai
bapaknya yang berada didekatnya.
d) Pembunuhan dianggap khilaf misalnya orang yang sedang membawa
benda berat tanpa disengaja terlepas menjatuhi saudaranya hingga
mati.

Kemudian, menurut fuqaha Malikiyah, jenis pembunuhan yang menjadi


penghalang mewarisi ada tiga, yakni sebagai berikut:
a) Pembunuhan dengan sengaja
b) Pembunuhan mirip sengaja
c) Pembunuhan tidak langsung yang disengaja, misanya melepaskan
binatang buas atau persaksian palsu yang menyebabkan kematian
seseorang.

Adapun menurut fuqaha aliran Hanabillah, jenis pembunuhan yang


menjadi penghalang hak mewarisi adalah sebagai berikut:
a) Pembunuhan sengaja
b) Pembunuhan mirip sengaja
c) Pembunuhan karena khilaf
d) Pembunuhan dianggap khilaf
e) Pembunuhan tidak langsung
f) Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yamg tidak cakap bertindak
(anak kecil atau orang gila).21

b. Penghalang Kewarisan yang Diperdebatkan Ulama


1) Murtad
Orang murtad adalah orang yang meninggalkan Islam kepada
agama lain atau menjadi tidak mempunyai agama. Tidak ada

21 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Positif di
Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011), Cet. Kedua, h. 77
35

perbedaan, bahwa orang murtad itu laki-laki atau perempuan. dia tidak
bisa mewarisi yang lain sama sekali. Tidak pula dari orang Muslim
atau orang kafir. Sebab, orang murtad itu menjadi tidak punyai hak
muwalah (saling melindungi) antara dirinya dan orang lain. Islam
tidak mengakui kemurtadannya. Hukumannya dalam Islam hanya
dibunuh. Namun, orang murtad perempuan tiak dibunuh menurut
Hanafiyyah. Sebab, Rasulullah saw. melarang membunuh perempuan.
Dia ditahan sampai masuk Islam lagi atau meninggal. Hanabilah
mengecualikan, jika orang yang murtad kembali Islam sebelum
pembagian warisan maka dia mendapatkan bagian.22
Berikut ini adalah perbedaan mengenai warisan orang murtad:23
a) Abu Hanifah mengatakan, ahli waris Muslim mewarisi laki-laki
murtad, apa yang diperoleh pada saat dia masih Islam. Adapun yang
diperoleh pada saat murtad maka menjadi fai’ Baitul mal. Perempuan
murtad semua peninggalannya untuk ahli waris yang Muslim.
b) Dua murid Abu Hanifah, (Imam Muhammad dan Imam Abu Yusuf)
tidak membedakan antara laki-laki murtad dan perempuan murtad.
Keduanya mengatakan bahwa semua peninggalannya pada saat Islam
dan murtad menjadi hak ahli waris mereka yang muslim. Sebab,
orang murtad tidak diakui keyakinannya, tetapi dipaksa untuk
kembali kepada Islam. Hukum Islam menganggap hak ornag murtad
itu bukan apa yang dimanfaatkan olehnya, tetapi apa yang
dimanfaatkan oleh ahli warisnya.
c) Mayoritas Jumhur Ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabillah)
mengatakan bahwa orang murtad tidak mewarisi juga tidak diwarisi
sebagaimana kafir asli. Hartanya menjadi fai’ (rampasan) untuk
Baitul mal, baik dia memperolehnya pada saat Islam atau pada saat
murtad. Sebab, dengan kemurtadannya dia menjadi musuh umat
Islam. Status hartanya seperti status harta kafir harbi. Ini jika dia

22Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 359-360


23Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 360
36

meninggal dalam keadaan murtad, kalau tidak maka hartanya


diwakafkan. Oleh karena itu, jika dia kembali kepada Islam maka
harta itu menjadi haknya.
Sedangkan untuk perihal salah seorang suami istri murtad maka
ulama Hanabillah mengatakan jika salah seorang suami murtad
sebelum persetubuhan maka nikah menjadi batal seketika. masing-
masing tidak bisa mewarisi yang lain. Jika murtadnya setelah
persetubuhan maka ada dua riwayat. Pertama, dipercepat perpisahan
keduanya. Kedua, menunggu sampai selesai iddah. Siapa saja yang
mati maka yang hidup tidak bisa mewarisinya.24

2) Perbedaan Negara
Yang dimaksud dengan negara adalah negara yang mempunyai
pertahanan khusus dan kekuasaan tersendiri. Yang dimaksud dengan
perbedaan dua negara adalah masing-masing orang yang mewarisi dan
orang yang diwarisi mengikuti satu negara yang berbeda satu dengan
lainnya dalam hal pertahanan (kekuatan atau tentara) dan kerajaan
(kekuasaan), sementara antara satu dengan lainnya terputus
perlindungan (tidak bisa saling melindungi), seperti salah seorang dari
mereka dari India sedang yang lain dari Swedia.25
Apabila dua orang kafir harbi jika ada di dua negara Darul Harb
dengan kesamaan kewarganegaraan maka perbedaan di negara itu
adalah hakiki dan bukan penghalang warisan. Jika dia ada di negara
kita maka perbedaan itu hukmi dan mengahangi warisan. Oleh karena
itu, keduanya tidak bisa saling mewaris di Darul Islam jika keduanya
dzimmi.
Perbedaan negara menurut Syafi’iyah bukanlah mereka
termasuk penghalang warisan, namun mereka mengatakan tidak ada
saling mewarisi antara kafir harbi dan kafir mu’ahad. Dan ini
mencakup kafir dzimmi dan kafir musta’man, karena terputusnya

24 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h.360


25 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 361
37

muwalah antara keduanya, sebagaimana telah dijelaskan. Maka,


mereka sepakat dengan Hanafiyyah.
Perbedaan negara menurut Malikiyah dan Hanabilah bukanlah
penghalangg mutlak warisan. Penduduk Darul Harb bisa saing
mewarisi, baik negara mereka berbeda atau sama.26

3. Kewarisan Beda Agama dalam Fikih Klasik


Salah satu hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk
mendapatkan posisinya sebagai ahli waris adalah karena adanya perbedaan
agama antara pewaris dengan ahli waris. Untuk hal ini para ulama telah satu
pendapat bahwa orang kafir tidak mewarisi dan mewariskan harta orang
Islam. Begitupun sebaliknya, orang Islam tidak mewarisi dan mewariskan
harta orang kafir. Walaupun demikian ada beberapa ulama yang berbeda
pendapat, yaitu ada yang membolehkan dan ada juga yang tidak
membolehkan.27 Dalam Hadits Rasulullah SAW dinyatakan:

ِ ْ ‫اْلُس‬ ِ ِ ُّ ‫اح قَ َاَل َحدَّثَنَا ُسْيَا ُن بْ ُن ُعيَ ْي نَ َ َع ْن‬ َّ ‫َحدَّثَنَا ِه َش ُام بْ ُن َع َّما ٍر َوُُمَ َّم ُد بْ ُن‬
‫ْي َع ْن‬ َ ْ ‫الُّْهر ِي َع ْن َعل ِي بْ ِن‬ ِ َّ‫الصب‬
‫ث الْ ُم ْسلِ ُم الْ َكافَِر َوََل‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
ُ ‫ال ََل يَِر‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّب‬ِ ِ‫ُس َام َ بْ ِن َزيْ ٍد َرفَ َعهُ إِ ََل الن‬
َ ‫َع ْم ِرو بْ ِن عُثْ َما َن َع ْن ب‬
‫الْ َكافُِر الْ ُم ْسلِ َم‬
Artinya : Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin 'Amar] dan
[Muhammad bin Ash Shabah], keduanya berkata; telah menceritakan kepada
kami [Sufyan bin Uyainah] dari [Az Zuhri] dari [Ali bin Al Husain] dari
['Amru bin 'Utsman] dari [Usamah bin Zaid], ia berkata; -secara marfu-
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang muslim tidak
berhak memberikan harta warisannya kepada orang kafir, demikian pula
seorang kafir tidak diperkenankan memberikan harta warisannya kepada
seorang muslim."28
a. Jumhur Ulama
Menurut kebanyakan Ulama, seluruh agama atau kepercayaan selain
Islam itu dianggap satu. Dengan pendapat ini, maka orang orang kafir satu
sama lain dapat saling mewarisi, baik satu agama maupun tidak karena

26 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 362


27 Habiburrahman, Rekonstruksi Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2011), h. 170
28 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2729, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 298.
38

seluruh agama selain Islam pada dasarnya dalam kesesatan, dan agama-
agama tersebut bagaikan satu agama Allah swt. berfirman,

ُ َ َّ َّ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َ
ِ َٰ ‫قِإِّٗلِٱلضل‬
٣٢ِ…ِ‫ل‬ ِِّ ‫…ِفماذاِبعدِٱۡل‬

Artinya: “....maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan


kesesatan....” (QS. Yunus [10]: 32).
Hal ini dikarenakan soal warisan antara orang tua dan anak atau
sebaliknya, sudah disebutkan di dalam kitab Allah secara umum (baik
Taurat, Injil, maupun al-Qur’an). Dengan demikian, tidak sesuatu apapun
yang ditinggalkan, melainkan sesuatu yang yang dikecualikan syariat.
Adapun sesuatu yang tidak dikecualikan oleh syariat, tetap berada pada
keumumannya.29
Selain itu, hadis ‘Usamah bin Zaid tersebut juga menjadi salah satu
dasar bagi para kebanyakan ulama dalam menyikapi waris beda agama,
yang didalamnya menyatakan bahwa seorang muslim tidak mewarisi orang
kafir demikian sebaliknya. Walau, dari sudut pandang matan hadis, hadis ini
termasuk sahih, tetapi dari segi matan terdapat beberapa catatan. Pertama,
menurut satu riwayat dalam sahih Bukhari dan Sunan Ibn Majah adalah
pendapat ‘Umar Ibn Khattab bukan pendapat Nabi Muhammad.30

b. Ulama Hanabillah
Menurut kalangan HanHabillah, orang kafir mempunyai agama yang
beraneka ragam, maka pemeluk suatu agama (selain Islam) tidak dapat
mewarisi dari pemeluk agama yang berbeda. Ulama yang memegang
pendapat ini, termasuk kalangan Malikiyyah, bersandar pada sabda Nabi
Saw,
‫ب َع ْن بَبِ ِيه َع ْن‬
ٍ ‫َخبَرُُ َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َعْي‬
َ ْ ‫اح ب‬ َ َُِّ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُرْم ٍح بَنْبَأ َََن ابْ ُن ََلِ َيع َ َع ْن َخالِ ِد بْ ِن ي‬
َّ ‫يد ب ََّن الْ ُمثَ ََّّن بْ َن‬
ِ َّ‫الصب‬
ِ ْ َ‫ث ب َْهل ِملَّت‬
‫ْي‬ َ َ‫اَّللُ َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َ ‫َج ِدُِ ب ََّن َر ُس‬
ُ ُ ‫ال ََل يَتَ َو َار‬ َ ‫اَّلل‬

29 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), Cet. 1, h. 51
30 Edi Riadi, “Dinamika Putusan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Bidang
Perkara Perdata Islam”, Disertasi, (Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011) h. 283-284
39

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Rumh];


telah memberitakan kepada kami [Ibnu Lahi'ah] dari [Khalid bin Yazid]
bahwa [Mutsanna bin Ash Shabbah]; mengabarinya dari ['Amru bin
Syu'aib] dari [Ayahnya] dari [Kakeknya]; Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pemeluk dua agama (yang
berlainan) tidak boleh saling mewarisi."31
Hadits ini menerangkan secara gamblang ketiadaan saling mewarisi
antara dua pemeluk agama yang berbeda.

c. Ulama Malikiyyah
Menurut kalangan Malikiyyah, golongan lain yang tidak beragama
Isam terbagi menjadi tiga, yaitu Yahudi, Nasrani dan agama-agama yang
lainnya, yang dianggap satu agama. Hal tersebut ditetapkan karena
mereka tidak mempunyai satu kata untuk mereka sendiri. Dengan
demikian, orang yang beragama Yahudi tidak dapat mewarisi dari orang
yang beragama Nasrani, dan salah satu dari mereka tidak mewarisi dari
orang yang beragama Majusi dan Watsniy.
Dari beberapa pendapat di atas, yang paling kuat pendapatnya
dalam masalah pembagian waris beda agama adalah pendapat Jumhur
Ulama. Dalam pendapatnya, mereka mengatakan bahwa orang-orang
yang bukan muslim dapat mewarisi satu sama lain, baik mereka berada
dalam satu agama maupun tidak.
Dalil hadits yang digunakan oleh penentang pendapat Jumhur
Ulama, menyatakan bahwa maksud dari hadits,

‫ب َع ْن بَبِ ِيه َع ْن‬


ٍ ‫َخبَرُُ َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َعْي‬
َ ْ ‫اح ب‬ َ َُِّ‫َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُرْم ٍح بَنْبَأ َََن ابْ ُن ََلِ َيع َ َع ْن َخالِ ِد بْ ِن ي‬
َّ ‫يد ب ََّن الْ ُمثَ ََّّن بْ َن‬
ِ َّ‫الصب‬
ِ ْ َ‫ث ب َْهل ِملَّت‬
‫ْي‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫ول‬ َ ‫َج ِدُِ ب ََّن َر ُس‬
ُ ُ ‫ال ََل يَتَ َو َار‬ َ ‫اَّلل‬
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Rumh];
telah memberitakan kepada kami [Ibnu Lahi'ah] dari [Khalid bin Yazid]
bahwa [Mutsanna bin Ash Shabbah]; mengabarinya dari ['Amru bin
Syu'aib] dari [Ayahnya] dari [Kakeknya]; Sesungguhnya Rasulullah

31 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2731, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 298.
40

shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pemeluk dua hagama (yang


berlainan) tidak boleh saling mewarisi."32
Salah satunya adalah beragama Islam dan yang satunya lagi ialah
agama orang-orang kafir. Hadits ini merupakan penyelaras hadits,

‫ْي َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن‬ ِ ْ ‫الُّْه ِر ِي َع ْن َعلِ ِي بْ ِن ا ْْلُس‬ُّ ‫اح قَ َاَل َحدَّثَنَا ُسْيَا ُن بْ ُن ُعيَ ْي نَ َ َع ْن‬ َّ ‫َحدَّثَنَا ِه َش ُام بْ ُن َع َّما ٍر َوُُمَ َّم ُد بْ ُن‬
ِ َّ‫الصب‬
َ
‫ث الْ ُم ْسلِ ُم الْ َكافَِر َوََل الْ َكافُِر الْ ُم ْسلِ َم‬
ُ ‫ال ََل يَِر‬َ َ‫اَّللُ َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ‫ُس َام َ بْ ِن َزيْ ٍد َرفَ َعهُ إِ ََل الن‬
َ ‫َّب‬ َ ‫عُثْ َما َن َع ْن ب‬
Artinya : Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin 'Amar] dan
[Muhammad bin Ash Shabah], keduanya berkata; telah menceritakan
kepada kami [Sufyan bin Uyainah] dari [Az Zuhri] dari [Ali bin Al
Husain] dari ['Amru bin 'Utsman] dari [Usamah bin Zaid], ia berkata; -
secara marfu- Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Seorang muslim tidak berhak memberikan harta warisannya kepada
orang kafir, demikian pula seorang kafir tidak diperkenankan
memberikan harta warisannya kepada seorang muslim.".33
Kesimpulan dari hal-hal tersebut adalah agama yang berlainan
merupakan salah satu penghalang mewarisi bagi kedua belah pihak.34

B. Peraturan Kewarisan Beda Agama Di Indonesia


1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Hukum waris yang terdapat dalam KUHPer (BW), Buku I Bab XII
sampai dengan Bab XVIII dari pasal 830 sampai dengan pasal 1130.35 Salah
satu syarat yang juga dituliskan dalam Buku II adalah adanya hubungan darah
baik sah maupun luar kawin (Pasal 832 KUHPer). Selain itu, KUHPer pada
pasal 528 juga sedikit membahas hak kewarisan yang identik dengan hak
kebendaan, sedangkan dalam pasal 584 menyangkut hak waris sebagai salah
satu cara untuk memperoleh hak kebendaan.36

32 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2731, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 298.
33 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2729, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 298.
34 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), Cet. 1, h. 51
35 Suryati, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Andi, 2017) h., 88
36 Setiawan Wicaksono, “Hak Waris Dalam Perkawinan Campuran”, Jurnal Yurispruden, Vol. 2,
No. 1, (Januari 2019), h., 32
41

Menurut staatsblad 1925 nomor 415 jo 447 yang telah diubah ditambah
dan sebagainya terakhir dengan staatsblad 1929 nomor. 221 Pasal 131 jo
Pasal 163, hukum kewarisan yang diatur dalam KUHper tersebut
diberlakukan bagi orang-orang eropa tersebut. Dengan staatsblad 1917 nomor
129 jo staatsblad 1017 nomor 12, tentang penundukan diri terhadap Hukum
Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia dimungkinkan pula menggunakan
hukum kewarisan yang tertuang dalam KUHPer. Dengan demikian maka
KUHPer (BW) diberlakukan kepada:
a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa
misalnya: Inggris, Jerman, Perancis, Amerika dan termasuk orang-orang
Jepang,
b. Orang-orang Timur Asing Tionghoa, dan
c. Orang-orang Timur Asing lainnya dan orang-orang pribumi
menundukkan diri.
Menurut KUHPer ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu: a) ahli
waris menurut ketentuan undang-undang, b) karena ditunjuk dalam surat
wasiat (testament). Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut undang-
undang atau “abintestate”, sedangkan cara yang kedua dinamakan
“testamentair“.37
Adapun ahli waris yang tidak patut dan bertentangan dengan Undang-
undang, telah disebutkan dalam pasal 838 KUHPer, yaitu :
a. Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah
membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal.
b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara
fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si meninggal. Yaitu suatu
pengaduan telah melakukan suatu tindak kejahatan yang terancam
dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih
berat.

37 Fabian Hutamaswara Susilo, “Pembagian Warisan Pada Keluarga Beda Agama di Jakarta”,
Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018, h., 17.
42

c. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan yang telah mencegah si


yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.
d. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat
wasiat yang meninggal.

2. Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan tidak membahas secara rinci tentang
kewarisan beda agama, tetapi ada beberapa pasal yang dapat merujuk kepada
permasalahan kewarisan beda agama, antara lain ketentuan perkawinan beda
agama, harta besama dan harta waris anak luar nikah.
Hukum Perkawinan Indonesia melarang terjadinya perkawinan beda
agama. Hal ini diatu dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Kemudian ditegaskan pula
dalam Pasal 8 huruf (f) UU No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa
perkawinan dilarang antara dua orang yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin.38
Adapun perkara harta bersama sesuai Pasal 36 Undang-undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, suami atau isteri tidak dapat bertindak untuk
menggunakan harta bersama itu tanpa persetujuan pihak lain. Misalnya, bagi
pasangan berbeda agama yang salah satu pihak beragama Islam. Masalah bisa
timbul terkait kewajiban agama yang hendak dijalankannya, misalnya ketika
hendak membayarkan zakat, bagaimana perhitungan nisabnya, apakah
pasangannya yang berbeda agama akan serta merta menyetujuinya, karena
bagi yang beragama non-muslim tidak ada kewajiban membayarkan zakat.
Apabila perkawinan putus atau berakhir dengan perceraian maka harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sesuai aturan Pasal 3
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam penjelasan
Pasal 37 menyebutkan : "Yang dimaksud hukum masing-masing ialah hukum
agama, hukum adat dan hukum Iainnya". Bagi yang beragama Islam,

38 Wahyu Kuncoro, Waris: Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), h., 38
43

pembagian harta merujuk kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam, yaitu


dibagi dua, masing-masing mendapatkan separuh dari harta bersama.39
Kedudukan anak dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam pasal 42
dan 43, yaitu :
a. anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. (Pasal 42)
b. anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Dimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-


VIII/2010, pasal 43 telah diperluas maknanya dan diganti menjadi “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”.40

3. Kompilasi Hukum Islam


Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur kewarisan terdiri dari 23
pasal, dari Pasal 171 sampai dengan Pasal 193. Pada umumnya pasal-pasal
KHI tentang kewarisan sudah sama dengan yang terdapat dalam hukum
kewarisan Islam atau yang disebut faraidh. Dalam beberapa pasal dalam
penglihatan sepintas tidak sejalan dengan hukum faraidh.41
Hukum waris dalam KHI secara materiil dipengaruhi oleh hukum adat
dan hukum waris Belanda yang banyak termuat dalam KUHPerdata.
Pengalaman hukum Islam di Indonesia berbeda dengan wilayah hukum
kerajaan Turki Utsmani yang dipengaruhi oleh beberapa madrasah

39 Abdurrahman, “Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Perkawinan”, (Badan Pembinaan


Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, 2011), h., 92
40 Setiawan Wicaksono, “Hak Waris Dalam Perkawinan Campuran”, Jurnal Yurispruden, Vol. 2,
No. 1, (Januari 2019), h., 34
41 Amir Syariduddin, Hukum Kewarisan Islam., h. 322
44

(bermazhab Hanafi). Keadaan ini secara tidak langsung memberi ruang


terhadap hukum adat dalam mempengaruhi hukum waris.42
KHI merupakan hasil ijtihad dari kitab-kitab Fiqih klasik yang
kemudian dikontekstualisasikan dengan keadaan sosial di Indonesia.
Kontekstualisasi ini dilakukan karena pijakan hukum yang disusun ulama
dahulu itu ada dalam ruang, waktu dan tempat mereka yang sampai saat ini
dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan peradilan agama.43
Sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI), Departemen Agama
Republik Indonesia dibidang Biro Peradilan Agama melalui Surat Edarannya
Nomor B./1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang isinya menganjurkan kepada
para Hakim Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyyah untuk
menggunakan 13 kitab sebagai pedoman bagi para Hakim Pengadilan Agama
dalam memeriksa dan memutuskan perkara. Hal ini dimaksudkan untuk
memperoleh kepastian hukum Islam. Namun pada kenyataannya tetap saja
beragam, karena tidak adanya rujukan yang pasti untuk dijadikan pedoman.44
Islam dengan berbagai agama (non-muslim) yang ada pada masa awal
Islam hingga zaman kontemporer juga telah ikut mewarnai hubungan muslim
dengan non-Muslim. Hal tersebut, seiring dengan perkembangan masyarakat
Indonesia yang mewarnai hukum Islam dalam realisasinya dengan non-
Muslim, termasuk di dalamnya hukum kewarisan Islam. Sehingga dengan
perjuangan yang berat dengan interval waktu yang sangat panjang pada
akhirnya lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang memuat aturan tentang
hukum perkawinan, kewarisan, dan wakaf.
Dalam Pasal 171 huruf c KHI menjadi dasar hukum untuk menyatakan
tidak ada hak waris bagi non-muslim. Pasal tersebut berbunyi “ahli waris
adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah

42 Sugiri Permana, Dasar Penetapan Kewarisan Pengadilan Agama (Studi Atas Penetapan-
Penetapan Waris Pada Pengadilan Agama Bogor, Cianjur dan Cikarang Jawa Barat Pada Tahun
2006-2010), (Jakarta: Pustikom Jakarta, 2014), Cet. 1, h. 65
43 Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), h. 265
44 Amirullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), h. 1
45

atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak


terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Pasal itu tidak secara
tegas menyatakan secara tegas mengenai ahli waris non-muslim yang tidak
mendapatkan hak waris, tetapi hanya memberikan definisi terhadap ahli
waris.45
KHI dalam hal ini hanya menegaskan bahwa keIslaman merupakan
syarat mutlak bagi kedudukan seseorang sebagai ahli waris yang berhak atas
harta peninggalan.46 KHI tidak pula menyebutkan secara eksplisit mengenai
halangan-halangan dalam mewarisi karena beda agama. 47
Seperti kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan
kontemporer dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Di satu sisi nats al-
Qur’an tidak menjelaskan tentang bagian ahli waris untuk non-Muslim,48
sedangkan hadis tidak memberikan sedikitpun bagian harta bagi ahli waris
non-Muslim, namun disisi lain tuntutan keadaan dan kondisi menghendaki
hal yang sebaliknya. Dialektika antara hukum dan tuntutan perkembangan
zaman tersebut jelas menjadi problem besar bagi hukum kewarisan Islam.

C. Fatwa Tentang Kewarisan Beda Agama Di Indonesia


1. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia melalui fatwa Nomor 5/MUNAS
VII/MUI/9/2005 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Jumadil Akhir
1426 H atau bertepatan dengan 28 Juli 2005 M memutuskan bahwa:
a) Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-
orang yang berbeda agama (antara muslim dengan non-muslim);
b) Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan
dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.49

45 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), h.


78
46 Sugiri Permana, Sugiri Permana, Dasar Penetapan Kewarisan Pengadilan Agama, h. 65
47 Komari dkk, Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Waris, h. 116
48 Qs.An-Nisa (4): 141.
49 Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 5/MUNAS VII/MUI/9/2005
46

Dalam fatwa ini tidak dinyatakan secara tegas apakah kewarisan beda
agama haram. Fatwa ini hanya menggunakan kata “tidak memberikan hak”
yang mana menurut Rumadi Ahmad sebagai kata ganti “haram”, mengingat
dalil yang digunakan. Meskipun demikian, walaupun meniadakan kewarisan
beda agama, MUI memberi peluang bagi si pewaris untuk memberikan harta
kepada ahli waris yang berbeda agama dalam bentuk hibah, wasiat, dan
hadiah.50

2. Nahdhatul Ulama (NU)


Organisasi Masyarakat Nahdhatul Ulama (NU) melaui lembaga Bahtsul
Masail berependapat bahwa perbedaan agama menjadi penghalang
mendapatkan harta warisan. Para ulama telah sepakat muslim tidak bisa
mewariskan hartanya kepada non-muslim.51

3. Muhammadiyah
Organisasi Masyarakat Muhammadiyah melalui Lembaga Tarjih
mengeluarkan sebuah pendapat bahwasanya bagi ahli waris yang berbeda
agama dengan pewaris dapat tetap menyalurkan harta warisnya melalui
hibah atau wasiat.52

4. Persatuan Islam (Persis)


Organisasi Masyarakat Persatuan Islam (PERSIS) melalui Perwakilan
Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS) Republik Arab Mesir berpendapat
bahwasanya, dengan menggunakan pendekatan istihsan bila ditenggarai
bahwa harta yang menjadi haknya secara undang-undang. Maka oleh karena
itu ahli waris non-muslim diperbolehkan menerima warisan dari orang tua
atau saudaranya yang kafir.53

50 Rumadi Ahmad, Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2016), h., 228
51 https://Islam.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama- (diakses pada tanggal 26
Agustus 2019, pukul 20:20)
52 http://m.muhammadiyah.or.id/id/reading-350-archiveday.html (diakses pada tanggal 26
Agustus 2019, pukul 20:33)
53 https://www.google.com/amp/s/pwkpersis.wordpress.com/2008/05/16/keudukan-waris-beda-
agama/amp/ (diakses pada tanggal 26 Agustus 2019, pukul 20.45)
47

D. Wasiat Wajibah
Istilah wasiat wajibah tidak ditemukan dalam kitab fikih klasik, hanya
ditemukan pada kitab-kitab fikih kontemporer, terutama setelah diundangkan
wasiat wajibah di Mesir dan negara-negara yang menerapkannya, termasuk
Indonesia setelah ada Kompilasi Hukum Islam pada tahun 1991 melaului
Intruksi Presiden. Artinya wasiat wajibah tidak boleh diarikan secara harfiah
bahwa wasiat itu hukumnya wajib sebagaimana dipahami dari petunjuk kata
“kutiba” pada QS. Al-Baqarah (2): 180, walaupun akhirnya ayat ini dijadikan
dasar berlakunya hukum tentang wasiat wajibah.54
Menurut Ahmad Rafiq, wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan
penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi
putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan
kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam versi lain
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis mengemukakan bahwa wasiat
wajibah adalah wasiat yang dipandang sebagai telah dilakukan oleh seseorang
yang akan meninggal dunia, walaupun sebenarnya ia tidak meninggalkan
wasiat itu.55 Sedangkan menurut Bismar Siregar, wasiat wajibah adalah suatu
wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak
memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu
halangan syara. Eman Suparman juga memberikan komentar, bahwasanya
wasiat wajibah adalah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi
atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal
dunia.56
Keberadaan wasiat wajibah dalam sistem hukum keluarga Islam
terutama bila dihubungkan dengan hukum kewarisan memiliki kedudukan
sangat penting terutama dalam menjaga dan menjamin kesejahteraan keluarga

54 Kamarudin, “Penerapan Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non-muslim (Studi Kasus
PerkaraNo. 16 K/AG/2010)”, Jurnal Mizani, Vol. 25 No. 2, (Agustus 2015). h. 8
55 Miftahul Hakim Bagus Hermanto, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Ahli Waris Beda Agama
(Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 16 K/AG/2010)”, Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum, UIN Walisongo, (2015). h. 37
56 Syafi’i, ”Wasiat Wajibah dalam Kewarisan Islam di Indonesia”, Jurnal Misykat, Vol. 02, No.
02, (Desember 2017), h. 124
48

atau bahkwan masyarakat. Sehubungan dengan arti pentingnya wasiat dalam


hukum keluarga Islam dan ditengah-tengah keluarga muslim sehingga mudah
dimengerti jika ada beberapa Negara Islam yang memasukan diktum wasiat
wajibah dalam undang-undang kewarisannya.
Menurut Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan bahwa wasiat
wajibah harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima
pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
2) Orang yang meninggal, baik kakek maupun nenek belum memberikan
kepada anak yang wajib dibuat wasiat. Jumlah yang diwasiatkan
dengan jalan yang lain seperti hibah umpanya.57
Wasiat wajibah menurut jumhur adalah berkenaan dengan kewajiban
yang belum ditunaikan pewaris, seperti: hutang, kafarat, zakat dan kewajiban
keibadatan lainnya. Menurut Abdul Azis Dahlan bahwa besarnya bagian yang
diperoleh melalui wasiat wajibah adalah sama dengan bagian warisan yang
mesti diterima apabila tidak halangannya. Ini adalah pertimbangan sosial dan
rasa keadilan (al-Mashalih al-Maslahah) digunakan karena tidak ada ayat
atau aturan langsung yang berhubungan dengan persoalan yang dibahas
terkait dengan wasiat wajibah.
Sejumlah sahabat Nabi SAW. dan ulama membenarkan Muslim
mewarisi harta dari keluarganya yang non-Muslim, antara lain Mu’adz bin
Jabal, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Muhammad bin Al-Hanafiyah,
Muhammad bin Ali bin Al-Husayn, Said bin Musayyab.58

57 Kamarudin, “Penerapan Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non-muslim, h. 8


58 Kamarudin, “Penerapan Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non-muslim, h. 10
BAB III

KEWARISAN BEDA AGAMA DALAM

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

A. Waris Beda Agama Bagi Anak Kandung Murtad


Para pihak yang bersengketa dalam perkara ini adalah Bambang
Setyobudhi bin H. Sanusi, Djoko Sampurno bin H.Sanusi, Siti Aisyah binti
H. Sanusi, Esti Nuri Purnawanti binti H. Sanusi dan Untung Legiyanto bin
H. Sanusi yang pada mulanya adalah sebagai Penggugat, Tergugat-tergugat
dan turut Tergugat I/ Terbanding-terbanding melawan Sri Widyastuti binti
H. Sanusi yang dahulu sebagai turut Tergugat II/ Pembanding yang dalam
perkara ini memberikan kuasa kepada Ny. SS Helios Koento Djojodigoeno,
S.H.1
Perkara ini diawali dengan telah meninggalnya seorang istri beragama
Islam yang telah terlebih dahulu ditinggal meninggal oleh suaminya H.
Sanusi dan meninggalkan 6 (enam) orang anak kandung. Dari ke enam anak
kandung tersebut, satu diantaranya yaitu bernama Sri Widyastuti dalam
keadaan keluar dari agama Islam (Murtad) hingga pewaris (istri) meninggal
dunia. Oleh sebab itu, yang berhak menjadi ahli waris hanya 5 (lima) orang
anak, yaitu : pertama, Djoko Sampurno; kedua,Untung Legiyanto; ketiga,
Siti Aisyah; keempat, Bambang Setyobudhi; kelima, Esti Nuri Purwanti.
Semasa hidupnya, almarhum H. Sanusi telah memperoleh harta benda
berupa peninggalan 6 (enam) bidang tanah darat dan dua buah bangunan di
atasnya dan 8 (delapan) bidang tanah sawah. Harta tersebut hingga saat
meninggalnya istri belum dibagikan kepada seluruh ahli waris yang telah
disebutkan di atas. Selain harta-harta yang telah disebutkan di atas,
almarhumah Hj. Suyatmi binti Minggu (istri) pada saat meninggalnya
disamping meninggalkan harta yang telah disebutkan di atas juga
meninggalkan bagian warisan dari almarhum H. Sanusi (suami), tanah

1 Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 8 Agustus 1995.

49
50

seluas 322 m2 dengan sertifikat No. 986, tanah seluas 416 m2 dengan
sertifikat No. 153, dan sebuah bangunan rumah permanen yang berdiri si
atas tanah setifikat No. 986 dan No. 153 tersebut di atas.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka penggugat dengan surat gugatannya
tanggal 1 September 1993 yang kemudian didaftarkan pada kepaniteraan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan Nomor 377/Pdt.G/1993/PA.JP.
Gugatan tersebut dilakukan karena telah gagalnya pembagian harta waris
dengan jalan musyawarah pada keluarga tersebut, sehingga gugatan
ditujukan untuk menetapkan ahli waris dan bagiannya oleh Pengadilan
Agama.
Turut tergugat II/ Pembanding mengajukan permohonan banding atas
putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tanggal 9 Desember 1993 M.
Ketidakpuasan turut penggugat/ turut tergugat/ tergugat I/ terbanding
terhadap putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, maka pada tanggal 26
Mei 1995 mengajukan permohonan untuk pemeriksaan Kasasi secara lisan
pada tanggal 29 Mei 1995 sebagaimana ternyata dari Surat Keterangan No.
377/Pdt.G/1993/PA.JP. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama
Jakarta Pusat, permohonan yang berisi memori kasasi yang memuat alasan-
alasannya yang diterima kepaniteraan Pengadilan Agama tersebut pada
tanggal 7 Juni 1995. Kemudian setelah itu, pada tanggal 11 Agustus 1995
telah diberiatahukan memori Kasasi oleh turut tergugat II/pembanding. Dari
penggugat, tergugat-tergugat, turut tergugat I/ terbanding, diajukan jawaban
memori kasasi yang diterima dikepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta
Pusat pada tanggal 23 Agustus 1995.
Dalam putusan Kasasi, hakim Agung menyatakan pertimbangannnya
bahwa keberatan-keberatan yang diajukan dalam memori Kasasi tidak dapat
dibenarkan karena Pengadilan Agama Jakarta tidak salah menerapkan
hukum, lagipula hal ini mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat Kasasi hanya berkenaan
dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan atau
51

pelanggaran hukum yang berlaku, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal


30 Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia (Undang-undang No. 14
Tahun 1945).
Kemudian, Mahkamah Agung juga dalam pertimbangannya
mengatakan bahwa:
“menimbang, bahwa namun demikian menurut pendapat Mahkamah Agung
amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta harus diperbaiki karena
bagian wasiat wajibah untuk turut tergugat II seharusnya sama dengan
bagian warisan anak perempuan”. 2
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka Mahkamah
Agung menolak permohonan Kasasi dari pemohon Kasasi tersebut dengan
perbaikan putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta tanggal 25 Oktober
1994.
Mahkamah Agung menolak eksepsi dari turut tergugat II. Dalam
pokok perkaranya, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan penggugat
sebagian dan mengabulkan ahli waris sah dari alamarhum H. Sanusi bin H.
Irsyad adalah isteri almarhum H. Sanusi yang bernama Hj. Suyatmi, anak-
anak almarhum yang bernama (Djoko Sampurno almarhum, Untung
Legiyanto almarhum, Bambang Setyobudhi almarhum, Siti Aisyah, dan Esti
Nuri Purwanti). Disamping itu, Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa
Sri Widyastuti (tergugat II/ pembanding/ terbanding) berhak mendapatkan
bagian dari harta peninggalan almarhum H. Sanusi berdasarkan wasiat
wajibah sebesar ¾ bagian seorang perempuan ahli waris H. Sanusi. Setelah
Mahkamah Agung menyatakan tentang harta warisan peninggalan
almarhum H. Sanusi bin H. Irsyad. Mahkamah Agung juga menetapkan
bagian masing-masing ahli waris adalah setiap anak laki-laki mendapat dua
bagian anak perempuan.
Sedangkan dalam perkara kewarisan Hj. Suyatmi bin Minggu,
Mahkamah Agung menyatakan ahli waris dari almarhumah Hj Suyatmi binti
Minggu yaitu, (Djoko Sampurno almarhum, Untung Legiyanto almarhum,

2 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368 K/AG/1995, h. 49


52

Bambang Setyobudhi almarhum, Siti Aisyah, dan Esti Nuri Purwanti).


Mahkamah Agung juga menetapkan besarnya harta warisan dari Hj.
Suyatmi binti Minggu beserta kadar bagian bagi ahli waris, dimana anak
laki-laki dan dua anak perempuan mendapatkan besaran yang sama.
Sedangkan bagian tergugat II (Sri Widyastuti binti H. Sanusi) mendapatkan
bagian sebesar 1/8 bagian, yaitu disesuaikan dengan besaran bagian seorang
anak perempuan ahli waris almarhumah Hj. Suyatmi binti Minggu.
Sehingga besaran wasiat wajibah yang didapatkan oleh Sri Widyastuti binti
H. Sanusi selaku anak yang murtad tersebut sebesar 3/4 bagian dari anak
perempuan Alm. H. Sanusi dan 1/8 bagian dari harta warisan Almh. Hj.
Suyatmi binti Minggu.3

B. Waris Beda Agama Bagi Saudara Kandung Murtad


Para pihak yang berperkara dalam perkara ini adalah Ny. Subandiyah
Ammar Asof, SH. Binti Setjono Hindro, Ny. Sri Haryanti binti Setjono
Hindro, Ny. Cicilia Sri Drawasih binti Setjono hindro, Bambang
Hendriyanto bin Setjono Hindro, Tutut Bayendra bin Setjono Hindro, Sri
Hendrayati binti Setjono Hindro, Indar Astuti Pranowo binti Hinro
Wardoyo, Ny, Hj. Danusbroto binti Mas Ngabehi Djojosoewirjo, Ny.
Hendrowinoto binti Mas Ngabehi Djojosoewirjo, Fi Dewi Laksmi
Sugianto binti Hindrotriwirjo, Bambang Wahyu Murti S bin
Hindrotriwirjo, Bernadeta Hartini Tri Prasasti binti Hindrotriwirjo, Ferlina
Widyasari binti Drg. Pantoro, Yulia Yudantari binti Drg. Pantoro, Lucas
Indriya bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo. Melawan Ny. Jazilah Martadi
Hendrolesono binti Cokro Lesono yang memberikan kuasanya kepada H.
Djoko Prabowo Saebani, SH. Aviv Dihan Kuntoro, SH. Dan Dwi
Haryono, SH. Yang merupakan Advokat dan konsultan hukum.
Perkara ini bermula setelah meninggal dunianya Bapak Martadi
Hendro Lesono pada tanggal 17 Nopember 1995 dengan meninggalkan
seorang isteri bernama Ny Jazilah Martadi Hendro Lesono (Penggugat

3 Putusan Mahkamah Agung RepublikIndonesia Nomor 368K/AG/1995, h. 50


53

asli) tanpa meninggalkan anak. Selain meninggalkan ahli waris, Pewaris


juga meninggalkan harta berupa sebidang tanah.
Pewaris adalah seorang yang beragama Islam, maka oleh sebab itu
pembagian warisan harus berdasarkan hukum Islam bukan mengikuti
kehendak para ahli waris. Berdasarkan hal tersebut penggugat asli ingin
melakukan pembagian harta peninggalan dengan Hukum Islam, tetapi
keinginan tersebut tidak pernah ditanggapi oleh para tergugat asli.
Menurut pasal 174 Kompilasi Hukum Islam, penggugat asli adalah
ahli waris yang berhak atas harta peninggalan almarhum Martadi
Hendrolesono karena masuk dalam kelompok ahli waris menurut
hubungan perkawinan, sedangkan menurut QS. An-Nisa ayat 12
penggugat asli termasuk dzawil faraidh dan termasuk dalam semua
kelompok keutamaan.
Bahwa berdasarkan Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam disebutkan
bahwa janda akan mendapat “1/4 bagian apabila pewaris tidak
meninggalkan anak dst”. Maka berdasarkan kedua pasal tersebut diatas
harta peninggalan almarhum Martadi Hendrolesono secara yuridis formil
maupun materil harus dibagi sesuai dengan aturan Hukum Islam. Dengan
demikian hak dari penggugat asli adalah 1/4 bagian, sedangkan hak para
tergugat asli seluruhnya adalah 3/4 bagian.
Bahwa terhadap tergugat asli III, VII, X, XII, dan XV menurut
Hukum Islam adalah bukan merupakan ahli waris dan tidak berhak untuk
mewarisi atas warisan dari pewaris yang meninggal karena para tergugat
asli berlainan agama dengan pewaris, bukan beragama Islam, hal ini sesuai
dengan hadist Rasul riwayat Bukhari dan Muslim.
Bahwa penggugat asli menyampakan kepada para tergugat asli demi
pertanggung jawabannya kepada almarhum suaminya serta mengingat
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 195, maka tentang harta
peninggalan tersebut seyogyanya dibagi sesuai dengan aturan hukum
Islam.
54

Bahwa ternyata iktikad baik penggugat asli tidak mendapat tanggapan


yang positif dari para tergugat asli sehingga tidak ada jalan lain bagi
penggugat asli kecuali mengajukan gugatan kepada pengadilan agama,
yang akhirnya Pengadilan Agama Yogyakarta dipilih untuk
menyelesaikan perkara waris tersebut.
Karena para tergugat tidak puas dengan hasil putusan Pengadilan
Tinggi Agama tersebut, maka para tergugat mengajukan kasasi
berdasarkan memori kasasi. Di dalam pertimbangannya, Mahkamah
Agung menyatakan:
“menimbang, bahwa namun demikian Mahkamah Agung berpendapat
bahwa putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta harus diperbaiki.
Karena seharusnya Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta memperbaiki
amar putusan Pengadilan Agama Yogyakarta mengenai ahli waris yang
non-Islam, mereka berhak mendapat warisan wasiat wajibah yang kadar
bagiannya sama dengan bagian ahli waris muslim.”4
Bahwa memori kasasi tidak dapat dibenarkan karena judex facti telah
menerapkan hukum. Selain itu, Mahkamah Agung juga mengemukakan
pendapat bahwa Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta harus
memperbaiki putusannya dan menyatakan bahwa para ahli waris non-
muslim tersebut berhak mendapatkan warisan berdasarkan “wasiat
wajibah” yang besarannya akan dibagi dari sisa harta waris pewaris, yaitu
sebesar 3/4.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Mahkamah Agung
mengadili dengan amar putusan yang berisi diantaranya, menyatakan
bahwa Mahkamah Agung menolak permohonan dan Pemohon Kasasi
dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta
Nomor 007/Pdt.G/1998/PTA.Yk. sehingga menyatakan bahwa
permohonan banding pembanding dapat diterima.
Dalam eksepsinya Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta agar
menolak Eksepsi Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV,

4 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51 K/AG/1999, h. 15


55

Tergugat V, Tergugat VI, Tergugst VII, Tergugat VIII, Tergugat IX,


Tergugat X, Tergugat XI, Tergugat XII, Tergugat XIII, Tergugat XIV,
Tergugat XV, seluruhnya.
Kemudian, dalam pokok perkaranya, agar mengabulkan gugatan
penggugat sebagian, juga menyatakan secara hukum bahwa H. Martadi
Hendrolesono bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo telah meninggal dunia
tanggal 17 Nopember 1995 dalam keadaan tetap sebagai pemeluk agama
Islam. Menetapkan secara hukum bahwa penggugat (Ny. Jazilah Martadi
Hendrolesono binti Cokrolesono) adalah ahli waris (janda) dari H. Martadi
Hendrolesono bin Mas Ngebehi Djojosoewirjo. Menyatakan secara
hukum bahwa sebidang tanah dengan banungnan sertifikat Hak Milik
Nomor: M. 924/Btk dengan gambar situasi Nomor: 3572 tanggal 3
September 1990 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kotamadya
Yogyakarta seluas 1.319 M2 atas nama Martadi Hendrolesono yang
tereletak di jalan Prawirotaman Mg. III/ 593, Kel. Brotukusuman, Kec.
Mergangsan Kotamadya Yogyakarta. Selain itu juga, menyatakan
penggugat berhak mendapatkan 1/4 (seperempat) bagian dari harta warisan
H. Martadi Hendrolesono bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo. Kemudian
dalamn amar putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia selanjutnya
ahli waris non-muslim mendapatkan bagian sebagai berikut:
“menyatakan secara hukum bahwa disamping penggugat ahli waris H.
Martadi Hendrolesono bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo adalah:

a. Subandiyah Amar Asof, SH binti Setjeno Hindro (Tergugat I) sebagai


ahli waris pengganti dari saudara kandung laki-laki,

b. Sri Haryanti binti Setjono Hindro (Tergugat II) sebagai ahli waris
pengganti dari saudara kandung laki-laki,

c. Bambang Hendriyanto bin Setjono Hindro (Tergugat IV) sebagai ahli


waris pengganti dari saudara kandung laki-laki,
56

d. Putut Bayendra bin Setjono Hindro (Tergugat V) ahli waris pengganti


dari saudara kandung laki-laki,

e. Sri Hendriyanti binti Setjono Hindro (Tergugat VI) sebagai ahli waris
pengganti dari saudara kandung laki-laki,

f. Ny. Dusubroto binti M. Ng. Djojosoewirjo (Tergugat IX) ahli waris


saudara kandung perempuan,

g. Bambang Wahyu Murti bin Hindrotriwirjo (Tergugat XI) ahli waris


pengganti dari saudara kandung perempuan,

h. Ferlina Widyasari binti Pantoro (Tergugat XIII) ahli waris pengganti


dari saudara kandung laki-laki,

i. Yulia Yudantari binti Pantoro (Tergugat XIV) ahli waris pengganti


dari saudara kandung laki-laki,

j. Ny. Cicilia Sri Draswasih binti Setjono Hindro (Tergugat III),

k. Indar Astuti Pranowo binti Hindro Werdoyo (Tergugat IV),

l. Fi Dewi Laksana Sugianto bin Ny. Hendro Triwirjo (Tergugat X),

m. Bernadeta Harini Tri Prasasti bin Ny. Hendri Triwirjo (Tergugat XII),

n. Lucas Indriya bin Mas Ngabeho Djojosoewirjo (Tergugat XV).

Kesemuanya berhak memperoleh ¾ (tiga perempat) bagian dari harta


waris H. Martadi Hendrolesono bin Mas Ngabehi Djojosoewirjo.” 5

C. Waris Beda Agama Bagi Isteri Non-Muslim


Para pihak yang bersengketa dalam perkara ini adalah Evie Lany
Mosinta (Tergugat/ Pembanding/ Pemohon Kasasi) yang memberikan
kuasanya kepada Jermias T.U. Rasirna, S.H. untuk menjalani proses hukum
di Pengadilan Agama. Selanjutnya Haimah Daeng Baji, Dra. Hj. Murnihati
binti Rengreng M.Kes., Dra. Hj. Mulyati binti Renreng, M.Si., Djelitahati

5 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51K/AG/1999, h. 19


57

binti Renreng, Ir. Muhammad Arsal bin Renreng (para Penggugat/ para
Terbanding/ para Termohon Kasasi).
Perkara ini diawali ketika suami yang beragama Islam meninggal
dunia dan meninggalkan satu orang isteri beragama non-muslim, ibu
kandung dan saudara-saudara kandung, serta harta warisan terdiri dari harta
bergerak dan harta tidak bergerak. Harta-harta warisan almarhum tersebut
dikuasai oleh tergugat. Pihak penggugat sudah berusaha dan memohon
kepada Tergugat agar membagi harta tersebut, akan tetapi Tergugat tidak
menyetujuinya bahkan berupaya untuk memiliki semua harta warisan secara
melawan hukum.
Untuk menyelesaikan sengketa waris antara isteri/menantu dengan ibu
kandung dan saudara-saudara kandung ini, Penggugat pada tanggal 31 Juli
2008 mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Makassar untuk
menetapkan ahli waris dan pembagiannya dari harta warisan almarhum
tersebut, dengan putusan mengabulkan untuk menetapkan ahli waris dan
pembagiannya, sedangkan Tergugat tidak mendapatkan waris karena non-
muslim.
Tergugat yang merasa tidak puas, akhirnya mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Di tingkat banding putusan Pengadilan
Agama Makassar dikuatkan. Dengan putusan tersebut Tergugat masih
merasa tidak puas karena tidak mendapatkan warisan dari suaminya,
sehingga Tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Terhadap permohonan kasasi yang diajukan oleh tergugat, hakim
membuat sebuah pertimbangan yang didalamnya mengatakan bahwa
perkawinan Pewaris dengan Pemohon Kasasi sudah cukup lama yaitu 18
tahun berarti cukup lama pula Pemohon Kasasi mengabdikan diri pada
pewaris.6 Oleh karena itu Pemohon kasasi non-musim layak dan adil
memperoleh hak-haknya selaku isteri untuk mendapat bagian dari harta
peninggalan melalui bagian harta bersama (1/2) dan wasiat wajibah sebesar

6 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16 K/AG/2010, h. 11


58

15/60 (1/4)7, seperti yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung sebagai
berikut:
“menyatakan bahwa Tergugat berhak mendapat 1/2 bagian dari harta
bersama tersebut di atas dan 1/4 bagian lainnya adalah merupakan harta
warisan yang menjadi hak atau bagian ahli waris almarhum Ir. Muhammad
Armaya bin Renreng, dengan rincian bagian masing-masing sebagai
berikut dengan pokok masalah 60 bagian;
1) Halimah Daeng Baji (ibu kandung) mendapat 10/60 bagian;
2) Evie Lany Mosinta (isteri) wasiat wajibah mendapat 15/60 bagian;
3) Dra. Hj. Munihati binti Renreng, M.Kes. (saudara perempuan)
mendapat 7/60 bagian;
4) Dra. Hj. Mulyahati binti Renreng, M.Si. (saudara perempuan)
mendapat 6/70 bagian;
5) Djelitahati binti Renreng, SST. (saudara perempuan) mendapat 7/60
bagian;
6) Ir. Muhammad Arsal bin Renreng (saudara laki-laki) mendapat 14/60
bagian;”8
Telah disebutkan sebelumnya di dalam putusan tersebut, bahwasanya
hakim membuat pertimbangan sebagaimana yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 368K/AG/1995, Yurisprudensi Nomor
51K/AG/1999, KHI9 dan sesuai rasa keadilan. Selain itu, Hakim Agung
mempertimbangkan bahwa persoalan kedudukan ahli waris non-muslim
sudah banyak dikaji oleh kalangan ulama diantaranya ulama Yusuf Al-
Qardhawi, menafsirkan bahwa orang-orang non-muslim yang hidup
berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan kafir harbi.
Demikian halnya Pemohon Kasasi yang telah bersama pewaris semasa

7 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16 K/AG/2010, h. 14


8 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16 K/AG/2010, h. 14
9 Apabila perkawinan putus atau berakhir dengan perceraian maka harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing, sesuai aturan Pasal 3 Undang-undang No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Dalam penjelasan Pasal 37 menyebutkan : "Yang dimaksud hukum masing-
masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum Iainnya". Bagi yang beragama Islam,
pembagian harta merujuk kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam, yaitu dibagi dua, masing-
masing mendapatkan separuh dari harta bersama.
59

hidup bergaul secara rukun damai meskipun berbeda keyakinan, karena itu
patut dan layak Pemohon Kasasi memperoleh bagian dari hara peninggalan
pewaris melalui wasiat wajibah.10
Oleh sebab itu, hakim berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas
mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi dan membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Agama Makasar Nomor 59/Pdt.G/PTA.Mks.
pada tanggal 15 Juli 2009 M. Bertetpatan dengan tanggal 22 Rajab 1430 H,
yang menguatkan putusan Pengadilan Agama Makasar Nomor
732/Pdt.G.2008/PA.Mks, tanggal 2 Maret 2009 M. Bertepatan dengan
tanggal 5 Rabiul Awal 1430 H.11

D. Waris Pengganti Beda Agama (Istri dan Anak Kandung) Saudara Seayah
Non-Muslim
Para pihak yang bersengketa dalam perkara ini adalah Dwi Lestari
binti Hadi Sardjono (Tergugat III/ Terbanding I/ Pembanding II/ Pemohon
Kasasi ) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Antonius Budi
Hartono, S.H. dan kawan-kawan untuk menjalani proses hukum di
Pengadilan. Selanjutnya Soeparno binti Martowirono, Maryati binti
Martowirono, Siti Aminah binti Martowirono, Saban bin Martowirono
(Penggugat/ Para Pembanding I/ Para Terbanding II/ Termohon Kasasi)
yang dalam hal ini keempatnya memberikan kuasa kepada Yusuf Akbar
Siregar, S.H. untuk menjalani proses hukum di Pengadilan. Kemudian,
selain para pihak yang telah disebutkan ada juga Samnah binti Abdullah,
Gregorius Priantono bin Hadi Sardjono, Badan Pertanahan Nasional Pusat
Jakarta Cq. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Cq. Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta (Tergugat I,
II, IV/ para Terbanding II/ para Turut Terbanding II/ para Turut Termohon
Kasasi).

10 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 16 K/AG/2010, h. 14


60

Pada putusan Hakim MA terkait perkara kewarisan beda agama, yaitu


Nomor 218 K/Ag/2016 berkaitan dengan pokok perkara; bahwa Pengadilan
Tinggi Agama Yogyakarta dan Pengadilan Agama Yogyakarta telah tidak
salah dalam menerapkan hukum karena putusannya tersebut telah
didasarkan pada pertimbangan yang tepat dan benar. Dalam putusannya
penggugat telah berhasil membuktikan dalil-dalil gugatannya bahwa objek
sengketa adalah harta bersama Martomulyono alias Tugimin bin
Martowirono dengan Poniyah binti Poniman. Oleh karena Martomulyono
alias Tugimin bin Martowirono telah meninggal dunia pada tanggal 12
September 1987, maka harta bersama tersebut dibagi dua antara
Martomulyono alias Tugimin bin Martowirono dengan Poniyah binti
Poniman, masing-masing memperoleh 1/2 atau 50%. Kemudian, hak
Martomulyono alias Tugimin bin Martowirono berupa 1/2 atau 50% dari
harta bersama tersebut ditetapkan sebagai harta warisan Martomulyono alias
Tugimin bin Martowirono yang harus dibagikan kepada ahli warisnya yang
berhak, yaitu ibu pewaris (Ny. Soerip), istri pewaris (Poniyah binti
Poniman), dan lima orang saudara kandung dan sebapak perwaris yang
berkedudukan sebagai ‘ashabah (Hadi Sardjono, Soeparno, Maryati, Siti
Aminah dan Saban). Akan tetapi, istri pewaris (Poniyah binti Poniman) juga
telah meninggal dunia pada tanggal 2 Januari 1997 tanpa meninggalkan ahli
waris dan pada saat masih hidup, Poniyah binti Poniman telah menyerahkan
haknya (berupa seperdua dari harta bersama tersebut) kepada ahli waris
suaminya (Martomulyono alias Tugimin bin Martowirono), maka putusan
Judex Facti (Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta) yang membagikan
harta warisan Poniyah binti Poniman tersebut secara sama kepada saudara-
saudara Martomulyono alias Tugimin bin Martowirono dinilai telah tepat
dan telah memenuhi rasa keadilan.
Bahwa oleh karena Tergugat I (Ny. Saminah), Tergugat II (Gregorius
Priantoro), dan Tergugat III (Dwi Lestari) tidak berhasil membuktikan dalil-
dalil bantahannya, maka bantahan tersebut harus ditolak. Selain itu,
Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Tergugat I (Ny. Saminah),
61

Tergugat II (Gregorius Priantoro), dan Tergugat III (Dwi Lestari) adalah


janda dan anak-anak dari Hadi Sarjono, yang merupakan salah satu ahli
waris dari Martomulyono alias Tugimin bin Martowirono. Oleh karena Hadi
Sarjono telah meninggal dunia, sementara terbukti Tergugat I (Ny.
Saminah), Tergugat II (Gregorius Priantoro), dan Tergugat III (Dwi Lestari)
adalah berbeda agama dengan Hadi Sarjono, maka janda dan anak-anak
tersebut tidak berhak menjadi ahli waris dari Hadi Sarjono, tetapi berhak
mendapat bagian melalui wasiat wajibah.12 Adapun total besaran wasiat
wajibah yang didapat adalah 1/3 seperti yang terdapat dalam putusan
Pengadilan Tinggi Yogyakarta sebelumnya.13
Dan berkenaan dengan keberatan Pemohon Kasasi/ Tergugat III/
tentang tidak adanya bukti surat nikah yang menunjukan Martowirono telah
menikah sah dengan Tukiyem (istri kedua) dan Komsiyah (istri ketiga) tidak
dapat dibenarkan, karena pernikahan tersebut terjadi jauh sebelum lahirnya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan bukti-bukti
yang diajukan oleh para Termohon Kasasi/ para penggugat di persidangan
dinilai cukup untuk menunjukan adanya pernikahan yang sah.
Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan-perimbangan yang telah
dipaparkan diatas permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Dwi Lestari
binti Hadi Sardjono ditolak. Karena ternyata putusan Pengadilan Tinggi
Agama Yogyakarta terbukti tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang.

E. Waris Beda Agama Bagi Suami Murtad


Para pihak yang bersengketa dalam perkara ini adalah Victor Sitorus
bin L. Sitorus (Pemohon Kasasi) yang memberikan kuasa kepada Zacky
Syarif, S.H. selanjutnya adalah Arman Nasution bin H. Amir Husin
Nasution, Irwani Nasution binti H. Amir Husin Nasution, Drs. H. Arlan
Nasution bin H. Amir Husin Nasution, Iryani Nasution binti H. Amir Husin

12
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 218 K/AG/2016, h. 22
13
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 218 K/AG/2016, h. 13
62

Nasution (para Termohon Kasasi). Dan H. Aarwin Nasution bin H. Amir


Husin Nasution yang memberikan kuasa keapda A. Walad, S.H., M.H.
Dr. Anita Nasution binti H. Amir Husin Nasution menikah dengan
Victor Sitorus bin L. Sitorus14. Dari pernikahan Dr. Anita Nasution binti H.
Amir Husin Nasution dengan Victor Sitorus bin L. Sitorus sampai
meninggalnya Dr. Anita Nasution binti H. Amir Husin Nasution tidak
dikaruniai anak. Dr. Anita Nasution binti H. Amir Husin Nasution
meninggal pada hari senin tanggal 26 Agustus 2008 di Guangzou Cina dan
meninggalkan ahli waris seorang suami bernama Victor Sitorus bin L.
Sitorus (Tergugat) dan empat saudara kandung15.
Setelah Dr. Anita Nasution binti H. Amir Husin Nasution meninggal
dunia, Victor Sitorus bin L. Sitorus berpindah/ kembali ke agama Nasrani
yang mengakibatkan ia terhalang untuk mendapatkan warisan.
Sebelumnya, para penggugat telah mengupayakan agar harta-harta
tersebut diselesaikan pembagiannya dengan musyawarah namun Tergugat
tidak bersedia. Hingga akhirnya Penggugat menuntut Tergugat untuk
mengadakan pembagian harta sesuai dengan ketentuan hukum waris yang
didasarkan faraidh.
Berdasarkan perkara tersebut, di dalam pertimbangan pertamanya,
Hakim Mahkamah Agung menggunakan Pasal 49 Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan hasil Rapat Kerja Nasional
Mahkamah Agung Tahun 2012 di Manado tentang asas personalitas
keIslaman dalam bidang kewarisan. Dengan demikian perkara a quo adalah
kewenangan absolut Pengadilan Agama.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar putusan judex
facti/Pengadilan Tinggi Agama Banten yang memperbaiki putusan
Pengadilan Agama Tigaraksa harus diperbaiki sepanjang mengenai hak

14 Berdasarkan Kutipan Akta Nikah No. 855/26/XII/1999 yang dikeluarakn KUA


Kecamatan Pesanggrahan
15 Arman Nasution bin H. Amir Husin Nasution, Irwani Nasution binti H. Amir Husin
Nasution, Drs. H. Arlan Nasution bin H. Amir Husin Nasution, Iryani Nasution binti H. Amir
Husin Nasution dan H. Aarwin Nasution bin H. Amir Husin Nasution.
63

Pemohon Kasasi sebagai duda dari Pewaris terhadap harta warisan dengan
pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan hubungan antara Pemohon
Kasasi dengan Pewaris semasa hidupnya yang cukup baik dan harmonis
bahkan Pemohon Kasasi telah mendampingi Pewaris selaku istri dalam
suka maupun duka, bahkan pada saat Pewaris sakit, Pemohon Kasasi
tetap merawat Pewaris dengan setia dan selalu mendampingi sampai
berobat ke Cina, maka sepantasnya Pemohon Kasasi yang beragama
non-muslim diberi bagian dari harta warisan dalam bentuk wasiat
wajibah sebesar ¼ (seperempat) dari harta peninggalan Pewaris”.16
Mahkamah Agung dalam pertimbangan lainnya berpendapat:
“Menimbang, bahwa dengan demikian Tergugat mendapat bagian
seperdua atau 50% dari harta bersama, seperempat dari harta
peninggalan Pewaris sehingga dari harta bersama Tergugat mendapat
50% + wasiat wajibah (1/4 x 50% = 12,5% dari harta bersama) sehingga
berjumlah 62,5%, dan tambahan 25% dari harta peninggalan pewaris.
Sedang sisanya 37,5% dari harta bersama dan 75% dari harta bawaan
pewaris dibagikan kepada ahli warisnya”.17
Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan di atas, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Victor Sitorus
bin L. Sitorus tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan
Peradilan Tinggi Agama Banten.

16
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 331 K/AG/2018, h. 12
17
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 331 K/AG/2018, h. 12
BAB IV

IJTIHAD HAKIM DALAM PERKARA WARIS BEDA AGAMA DALAM


PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

A. Pertimbangan Hukum Hakim Untuk Subjek Yang Berbeda


1. Ahli Waris Beda Agama Untuk Anak Kandung Murtad
Dalam perkara waris beda agama Nomor 368 K/AG/1995 dalam
pertimbangannya Hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa yang
termasuk ahli waris dari almarhum H. Sanusi bin Irsyad dan ahli waris
dari almarhumah Hj Suyatmi binti Minggu yaitu, (Djoko Sampurno
almarhum, Untung Legiyanto almarhum, Bambang Setyobudhi
almarhum, Siti Aisyah, dan Esti Nuri Purwanti).1
Dalam putusannya, hakim Mahkamah Agung menolak
permohonan kasasi dan melakukan perbaikan atas putusan Pengadilan
Tinggi Agama Jakarta. Pada Pengadilan Agama Jakarta Pusat, ahli waris
non-muslim tidak mendapatkan hak kewarisan dari Pewaris muslim.
Sedangkan di Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, ahli waris non-muslim
(anak kandung murtad) mendapatkan bagian dari harta peninggalan
Pewaris muslim sebesar 3/4 bagian seorang anak perempuan dari
almarhum (ayah) dan almarhumah (ibu) melalui lembaga wasiat wajibah.
Sedangkan Mahkamah Agung berpendapat bahwa seharusnya besaran
bagian untuk ahli waris non-muslim tersebut sebanyak bagian ahli waris
perempuan lainnya.
Pada dasarnya bagian anak perempuan jika dibersamai anak laki-
laki maka anak perempuan itu mendapat warisan dengan kadar yang tidak
ditentukan (ashabah). Sedangkan bagian anak laki-lak sama dengan
dengan bagian dua orang anak perempuan. Hal ini berdasarkan QS. An-
Nisa ayat 4:

1 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368K/AG/1995

64
65

ٓ َّ ٓ َ ُ ُ ُ َ ٗ ۡ َ ُ ۡ ۡ َ َ ۡ ُ َ َ ۡ َ ٗ َ ۡ َّ َٰ َ ُ َ َ ٓ َ ْ ُ َ َ
٤ِ‫اِم ِّر ِا‬ ِّ ‫واِٱلن ِّسا ِءِص ِدقت ِّ ِّهن‬
ِ‫ِِنلةَِۚفإِّنِطِّۡبِلكمِعنَِشءِٖمِّنهِنفساِفُكوهِهن ِّي‬ ِ ‫وءات‬

Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka


untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta”.
Dikarenakan ini adalah perkara yang menyangkut perbedaan
keyakinan dalam sebuah keluarga, maka Hakim Agung merujuk kepada
Yurisprudensi Mahkamah Agung 172K/Sip/1974 yang pada intinya
menyatakan bahwa dalam sengketa waris, hukum waris yang dipakai
adalah hukum si Pewaris. Dikarenakan ahli waris anak kandung tersebut
sudah murtad, maka secara hukum Islam, ia tidak dapat mendapatkan
bagian harta waris melalui jalan waris, melainkan melalui jalan wasiat
wajibah yang diberikan hakim berdasarkan pertimbangan hakim.
Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Agung menyatakan bahwa
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta harus memperbaiki bagian wasiat
wajibah yang diperuntukan kepada Tergugat. Dengan kaidah hukum “hak
anak kandung murtad sama kedudukannya dengan hak anak kandung
yang beragama Islam”. Berdasarkan itu, hakim memberikan bagian
sebesar 3/4 dari bagian ahli waris perempuan dari jalur pewaris ayah dan
sebesar bagian ahli waris perempuan dari jalur pewaris ibu melalui jalan
wasiat wajibah.
Dalam pertimbangan tersebut, meskipun melalui wasiat wajibah,
akan tetapi hakim telah mempersamakan kedudukan anak yang murtad
dengan bagian anak perempuan yang muslim. Seakan-akan ahli waris
perempuan non-muslim masih merupakan saudara bagi saudara
perempuannya yang muslim.
Padahal para jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa perbedaan
agama pewaris dengan ahli waris menjadi faktor penghalang untuk
mewarisi. Hal ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an tetapi diatur dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zayd:
66

‫الُّْه ِر ِي َع ْن َعلِ ِي بْ ِن‬


ُّ ‫اح قَ َاَل َحدَّثَنَا ُسْيَا ُن بْ ُن ُعيَ ْي نَ َ َع ْن‬ َّ ‫َحدَّثَنَا ِه َش ُام بْ ُن َع َّما ٍر َوُُمَ َّم ُد بْ ُن‬
ِ َّ‫الصب‬
‫ث‬ُ ‫ال ََل يَِر‬َ َ‫اَّللُ عَلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬ِ ِ‫ُس َام َ بْ ِن َزيْ ٍد َرفَ َعهُ إِ ََل الن‬
َ ‫ْي َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن عُثْ َما َن عَ ْن ب‬ ِ ْ ‫اْلُس‬
َْ
‫الْ ُم ْسلِ ُم الْ َكافَِر َوََل الْ َكافُِر الْ ُم ْسلِ َم‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin 'Amar] dan
[Muhammad bin Ash Shabah], keduanya berkata; telah menceritakan
kepada kami [Sufyan bin Uyainah] dari [Az Zuhri] dari [Ali bin Al
Husain] dari ['Amru bin 'Utsman] dari [Usamah bin Zaid], ia berkata; -
secara marfu- Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Seorang muslim tidak berhak memberikan harta warisannya kepada
orang kafir, demikian pula seorang kafir tidak diperkenankan
memberikan harta warisannya kepada seorang muslim."2
Di dalam KHI pasal 171 huruf b dan c juga telah diatur tentang
syarat Pewaris dan ahli waris yang harus beragama Islam. Hal ini tidak
sesuai dengan isi putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa ahli
waris non-muslim tidak termasuk ahli waris yang sah dari Pewaris karena
ahli waris tersebut beragama bukan Islam (murtad). Maka seharusnya
hakim tidak mempersamakan antara kedudukan anak perempuan yang
telah murtad dengan bagian seorang anak perempuan yang muslim.
Melainkan hakim seharusnya memberikan bagian wasiat wajibah sesuai
bagian terkecil dalam waris Islam.
Selain itu, hakim telah melakukan interpretasi hukum terhadap
pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi “penerapan
wasiat wajibah sebesar 1/3 (sepertiga) hanya berlaku terhadap orang tua
angkat maupun anak angkat, bukan terhadap ahli waris yang sah.”
Terhadap pasal tersebut, hakim telah melakukan penemuan
hukum dengan melakukan penafsiran ekstensif dan restriktif secara
bersamaan, yaitu pada kata “hanya berlaku terhadap orang tua angkat
maupun anak angkat, bukan terhadap ahli waris yang sah”. Menggunakan
penafsiran ekstensif dan restriktif hakim telah memperluas makna orang
tua angkat dan anak angkat sebagai setiap orang yang telah berhubungan

2 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2729, (Libanon : Bait al-
Afkar Dauliyyah, 2004), h. 298.
67

dan berjasa terhadap pewaris, dengan batasan restriktif “bukan ahli waris
yang sah”. Sri Widyastuti yang seharusnya merupakan ahli waris sah,
akan tetapi karena kemurtadannya telah terhalang menjadi ahli waris sah.
Sehingga hakim dapat mempertimbangan untuk memberikan hak kepada
anak kandung yang telah murtad tersebut melalui wasiat wajibah dari
Pewaris, karena dalam hal wasiat wajibah tidak disyaratkan harus
beragama Islam.3
Pertimbangan Majelis Hakim Agung yang memberikan
kesempatan bagi ahli waris yang murtad mendapatkan bagian dari harta
warisan melalui wasiat wajibah di atas nampaknya cukup mencerminkan
kemaslahatan. Non-muslim dalam hal ini seolah berada pada posisi yang
lemah oleh karena itu layak diberikan kesempatan yang sama sehingga
ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh tidak merugikan ahli waris
lainnya.4
Akan tetapi, pada kenyataannya secara yuridis Hakim Mahkamah
Agung tidak menggunakan satupun sumber hukum yang baku seperti KHI
atau peraturan lainnya. Dengan begitu pernyataan putusan seperti di atas
sebenarnya tidak beriringan dengan prinsip kepastian hukum yang
berkenaan dengan sumber hukum dalam sebuah putusan Hakim.
Hakim Mahkamah Agung hanya mempertimbangkan kemaslahatan
kedalam putusan tersebut tanpa menggali lebih dalam kepastian hukum
yang seharusnya ada dalam setiap penyelesaian perkara, terlebih lagi
untuk perkara yang sudah memiliki hukum dasar seperti waris beda
agama ini. Apabila ditinjau lebih jauh, sebenarnya tujuan dari maslahat
adalah maqashid al-syariah. Dimana seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya5 bahwa tujuan dari syariat adalah memelihara agama, jiwa,
akal budi, keturunan dan harta kekayaan. Konsep maslahat yang
diterapkan oleh hakim ini sebenarnya bersebrangan dengan tujuan syariat
(maqashid al-syariah) itu sendiri, karena hakim memberikan bagian harta

3 Pasal 171 huruf f Kompilasi Hukum Islam


4 Lihat halaman 21
5 Lihat halaman 15
68

kekayaan pewaris yang semestinya hanya untuk ahli waris yang sah dan
sesuai syariat, akan tetapi hakim memberikannya juga dengan jalan wasiat
wajibah, sehingga tujuan dari syara itu sendiri tidak dapat tercapai.

2. Ahli Waris Beda Agama Untuk Saudara Kandung Dan Anak Saudara
Kandung Murtad
Sedikit berbeda dengan perkara waris beda agama sebelumnya,
untuk Nomor perkara 51 K/AG/1999 Hakim Mahkamah Agung
mempertimbangkan untuk tidak sejalan dengan hasil putusan tingkat
pertama dan banding yang menyatakan bahwa ahli waris non-muslim
(Ny. Cicilia Sri Draswasih binti Setjono Hindro, Indar Astuti Pranowo
binti Hindro Werdoyo, Fi Dewi Laksana Sugianto bin Ny. Hendro
Triwirjo, Bernadeta Harini Tri Prasasti bin Ny. Hendri Triwirjo, Lucas
Indriya bin Mas Ngabeho Djojosoewirjo) tidak mendapatkan bagian dari
harta Pewaris.
Dalam putusannya, Hakim Mahkamah Agung menolak
permohonan kasasi dan melakuan perbaikan atas putusan Pengadilan
Tinggi Agama Yogyakarta. Dengan kaidah hukum “Ahli waris yang
bukan beragama Islam tetap dapat mewarisi dari harta peningggalan
pewaris yang beragama Islam”. Pewarisan dilakukan menggunakan
Lembaga wasiat wajibah, dimana bagian anak yang bukan beragama
Islam mendapat bagian yang sama dengan bagian anak yang beragama
Islam sebagai ahli waris”. Berdasarkan itu hakim memberikan bagian
saudara kandung murtad melalui jalan wasiat wajibah dengan bagian 3/4
dari 15 orang bersaudara.
Dalam pertimbangan tersebut, penulis menilai bahwa hakim
Mahkamah Agung telah menggunakan dasar hukum berupa hadis yang
diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid:

‫الُّْه ِر ِي َع ْن َعلِ ِي بْ ِن‬


ُّ ‫اح قَ َاَل َحدَّثَنَا ُسْيَا ُن بْ ُن ُعيَ ْي نَ َ َع ْن‬ َّ ‫َحدَّثَنَا ِه َش ُام بْ ُن َع َّما ٍر َوُُمَ َّم ُد بْ ُن‬
ِ َّ‫الصب‬
‫ث‬ُ ‫ال ََل يَِر‬َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬ َ ‫َّب‬ِ ِ‫ُس َام َ بْ ِن َزيْ ٍد َرفَ َعهُ إِ ََل الن‬
َ ‫ْي َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن عُثْ َما َن َع ْن ب‬ ِ ْ ‫اْلُس‬
َْ
‫الْ ُم ْسلِ ُم الْ َكافَِر َوََل الْ َكافُِر الْ ُم ْسلِ َم‬
69

Artinya : Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin 'Amar] dan


[Muhammad bin Ash Shabah], keduanya berkata; telah menceritakan
kepada kami [Sufyan bin Uyainah] dari [Az Zuhri] dari [Ali bin Al
Husain] dari ['Amru bin 'Utsman] dari [Usamah bin Zaid], ia berkata; -
secara marfu- Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Seorang muslim tidak berhak memberikan harta warisannya kepada
orang kafir, demikian pula seorang kafir tidak diperkenankan memberikan
harta warisannya kepada seorang muslim.". (HR. Ibnu Majah)6

Berdasarkan hadis tersebut, hakim Mahkamah Agung


mengkategorikan bahwa ahli waris non-muslim ini sebagai bukan ahli
waris yang sah berdasarkan hukum Islam, sesuai dengan pendapat jumhur
ulama terkait bagian ahli waris yang bisa mendapatkan waris secara
hukum Islam.7
Dikarenakan di dalam KHI tidak ditemukan dasar hukum yang
pasti akan bagian waris anak kandung non-muslim, maka Hakim
Mahkamah Agung melakukan interpretasi terhadap pasal-pasal kewarisan
dan jalan memperoleh harta peninggalan. Dalam pertimbangan tersebut
Hakim Agung lebih cenderung mengedepankan aspek keadilan sehingga
jauh dari kepastian hukum. Keadilan yang terdapat dalam putusan ini
adalah keadilan substantif (materiil), dikatakan demikian karena hakim
dalam memutus perkara ini lebih mengedepankan hak sosial, hakim
memberikan bagian harta waris Pewaris kepada ahli waris non-muslim
tersebut karena untuk menjamin kehidupan ahli waris setelah Pewaris
meninggal, agar ahli waris tersebut tidak kekurangan.8
Terlebih lagi hakim Mahkamah Agung merujuk kepada
Yurisprudensi Mahkamah Agung atas Putusan Kasasi Nomor 368
K/AG/1995, yang menyatakan bahwa “hak anak kandung murtad sama

6 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2729, (Libanon : Bait al-
Afkar Dauliyyah, 2004), h. 298.
7 Lihat Halaman 37
8 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspekttif Hukum Progresif, h. 128
70

kedudukannya dengan hak anak kandung beragama Islam”. Dimana


Yurisprudensi tersebut sampai saat ini masih menjadi pintu masuk bagi
ahli waris non-muslim untuk memperoleh harta kewarisan dari pewaris
muslim. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Hakim Mahkamah Agung
memberikan bagian yang sama kepada saudara kandung non-muslim,
meskipun hanya melalui wasiat wajibah.
Dengan merujuk kepada Pasal 180 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa janda akan mendapat “1/4 bagian apabila pewaris tidak
meninggalkan anak dst”. Maka berdasarkan pasal tersebut hakim
Mahkamah Agung melakukan penafsiran A Contrario (Argumentum A
Contrario) yaitu dengan menafsirkan sisa bagian dari penggugat asli yang
mendapat 1/4 bagian harta pewaris, yaitu 3/4 bagian diberikan secara
bersamaan kepada ahli waris selain penggugat, termasuk saudara kandung
murtad dengan bagian yang sama, melalui wasiat wajibah.
Dengan demikian, bagian 15 orang ahli waris termasuk saudara
kandung murtad kesemuanya mendapatkan bagian sebesar ¾ dari harta
waris dengan rincian sebagai berikut:
a. Subandiyah Amar Asof, SH binti Setjeno Hindro (Tergugat I)
sebagai ahli waris pengganti dari saudara kandung laki-laki,
mendapat 1/20 dari ¾ bagian dari harta waris H.Martadi
Hendralesono.

b. Sri Haryanti binti Setjono Hindro (Tergugat II) sebagai ahli waris
pengganti dari saudara kandung laki-laki, mendapat 1/20 dari ¾
bagian dari harta waris H.Martadi Hendralesono.

c. Bambang Hendriyanto bin Setjono Hindro (Tergugat IV) sebagai


ahli waris pengganti dari saudara kandung laki-laki, mendapat
1/20 dari ¾ bagian dari harta waris H.Martadi Hendralesono.

d. Tutut Bayendra bin Setjono Hindro (Tergugat V) ahli waris


pengganti dari saudara kandung laki-laki, mendapat 1/20 dari ¾
bagian dari harta waris H.Martadi Hendralesono.
71

e. Sri Hendriyanti binti Setjono Hindro (Tergugat VI) sebagai ahli


waris pengganti dari saudara kandung laki-laki, mendapat 1/20
dari ¾ bagian dari harta waris H.Martadi Hendralesono.

f. Ny. Dusubroto binti M. Ng. Djojosoewirjo (Tergugat IX) ahli waris


saudara kandung perempuan, mendapat 1/20 dari ¾ bagian dari
harta waris H.Martadi Hendralesono.

g. Bambang Wahyu Murti bin Hindrotriwirjo (Tergugat XI) ahli


waris pengganti dari saudara kandung perempuan, mendapat 1/20
dari ¾ bagian dari harta waris H.Martadi Hendralesono.

h. Ferlina Widyasari binti Pantoro (Tergugat XIII) ahli waris


pengganti dari saudara kandung laki-laki, mendapat 1/20 dari ¾
bagian dari harta waris H.Martadi Hendralesono.

i. Yulia Yudantari binti Pantoro (Tergugat XIV) ahli waris pengganti


dari saudara kandung laki-laki, mendapat 1/20 dari ¾ bagian dari
harta waris H.Martadi Hendralesono.

j. Ny. Cicilia Sri Draswasih binti Setjono Hindro (Tergugat III),


mendapat 1/20 dari ¾ bagian dari harta waris H.Martadi
Hendralesono.

k. Indar Astuti Pranowo binti Hindro Werdoyo (Tergugat IV),


mendapat 1/20 dari ¾ bagian dari harta waris H.Martadi
Hendralesono.

l. Fi Dewi Laksana Sugianto bin Ny. Hendro Triwirjo (Tergugat X),


mendapat 1/20 dari ¾ bagian dari harta waris H.Martadi
Hendralesono.

m. Bernadeta Harini Tri Prasasti bin Ny. Hendri Triwirjo (Tergugat


XII), mendapat 1/20 dari ¾ bagian dari harta waris H.Martadi
Hendralesono.
72

n. Lucas Indriya bin Mas Ngabeho Djojosoewirjo (Tergugat XV),


mendapat 1/20 dari ¾ bagian dari harta waris H.Martadi
Hendralesono.

Sedangkan Ny. Jazilah Martadi Hendrolesono binti Cokro Lesono


mendapatkan bagian waris sebesar ¼ sebagai ahli waris muslim. Dengan
demikian dapat diketahui bahwa besaran kadar wasiat wajibah ahli waris
non-muslim tidak lebih besar dari ahli waris muslim.

Meskipun demikian, seperti yang telah di paparkan sebelumnya9,


bahwa murtad menurut mayoritas ulama (Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabillah) dan fatwa MUI, tidaklah berhak mewarisi dan diwarisi
layaknya kafir asli. Hal ini dikarenakan kemurtadannya menjadikan dia
musuh umat Islam. Dengan demikian, langkah hakim memberikan wasiat
wajibah kepada ahli waris non-muslim seolah menjadi jalan pintas bagi
ahli waris non-muslim agar tetap bisa mendapatkan bagian dari harta
pewaris muslim sebagaimana layaknya ahli waris muslim seolah pewaris
muslim berwasiat kepada keluarganya yang beragama non-muslim.
Dalam hal ini juga hakim terlihat lebih mnegedepankan aspek
keadilan dan kemaslahatan, dengan alasan sosial dan kesamarataan untuk
memperoleh hak kewarisan. Padahal pertimbangan tersebut telah
menyimpang jauh dari tujuan syariat (maqashid syariah) itu sendiri, yaitu
memelihara agama (hifdz ad-din), jiwa (hifdz an-nafs), akal budi (hifdz al-
aql), keturunan (hifdz an-nasl) dan harta kekayaan (hifdz al-mal).

3. Ahli Waris Beda Agama Untuk Istri Non-Muslim


Disamping ahli waris anak kandung dan saudara kandung non-
muslim ada pula ahli waris isteri non-muslim. Seperti dalam perkara
Nomor 16 K/AG/2010 Evie Lany Mosinta (isteri non-muslim) mendapat
bagian wasiat wajibah sebesar 15/60 atau ¼ dari harta warisan Pewaris.
Sedikit berbeda dengan putusan sebelumnya, dalam putusan ini terdapat

9
Lihat halaman 39-40
73

kaidah hukum baru yang terbentuk demi tercapainya sebuah keadilan dan
kemaslahatan.
Dalam putusan ini, Hakim Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama
Makassar dan menguatkan putusan Pengadilan Agama Makassar. Dengan
kaidah hukum “Memberikan kedudukan istri yang bukan bergama Islam
sama dengan kedudukan istri yang beragama Islam”. Oleh karena itu
hakim Mahkamah Agung memberikan bagian sebesar 1/4 melalui wasiat
wajibah dan harta bersama kepada istri non-muslim.
Dalam putusan ini, Hakim Mahkamah Agung juga merujuk kepada
putusan terkait kewarisan beda agama yang telah ada sebelumnya yaitu
Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Nomor 368/K/AG/1995 yang
menyatakan bahwa “hak anak kandung murtad sama kedudukannya
dengan hak anak kandung beragama Islam” dan Yurisprudensi putusan
Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/1999 yang menyatakan bahwa “Ahli
waris yang bukan beragama Islam tetap dapat mewarisi dari harta
peningggalan pewaris yang beragama Islam”.
Begitupula dalam putusan ini, Hakim Mahkamah Agung seolah-
olah mengkategorikan kedudukan ahli waris non-muslim sama saja
seperti ahli waris muslim. Maka, bagian harta kewarisan bagi seorang istri
non-muslim adalah sama bagiannya dengan istri yang beragama Islam,
yaitu ¼ sebagaimana dengan QS. An-Nisa ayat 12:ُ
ۡ َ َ َ ٞ َ َ ۡ ُ َ َ َ َ ٞ َ َ ۡ ُ َّ ُ َ ۡ َّ ۡ ُ ۡ َ َ َّ ُ ُ ُّ َّ ُ َ َ
ُِ ‫ِلِفل ُه َّنِٱثلُّ ُم‬
١٢ِ…ِ‫نِم َِّّماِت َرك ُتم‬ ‫…ِولهنِٱلرب ِعِمِّماِتركتمِإِّنِلمِيكنِلكمِوِلِ َِۚفإِّنَِكنِلكمِو‬

Artinya: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu


tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak”.

Berdasarkan ayat tersebut, dapat diketahui bahwa bagian bagi isteri


sebagai ahli waris yang ditinggal meninggal suami mendapatkan bagian
sebesar ¼ dikarenakan dalam pernikahan pewaris dengan isterinya
tersebut tidak ada anak. Akan tetapi, dikarenakan isteri dalam putusan ini
74

beragama non-muslim maka hakim tidak memberikan kadar tersebut


melalui jalan waris akan tetapi melalui pertimbangan lain yaitu wasiat
wajibah.
Hal ini terlihat dalam pertimbangan hukumnya, “bahwa
perkawinan Tergugat/Pemohon Kasasi dengan Ir. Muhammad Armaya
bin Renren, M,Si., alias Ir. Armaya Renreng sudah berlangsung cukup
lama yaitu 18 tahun, berarti cukup lama pula Tergugat/ Pemohon Kasasi
mengabdikan diri pada Pewaris, karena itu walaupun Pemohon Kasasi
non Muslim layak dan adil untuk memperoleh hak-haknya selaku istri
untuk mendapat bagian dari harta peninggalan berupa wasiat wajibah
serta bagian harta bersama sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung
RI.” 10
Dalam pertimbangan tersebut Hakim mengatakan bahwa 18 tahun
pernikahan diantara keduanya menjadi penyebab kelayakan isteri murtad
ini tetap mendapatkan bagiannya meski dengan melalui jalur wasiat
wajibah. Padahal di dalam peraturan perundang-undangan yang ada, tidak
pernah tercantum bahwa untuk memperoleh harta peninggalan secara
layak dan patut dapat dilihat berdasarkan lamanya waktu perkawinan.
Oleh karena itu, hakim melihat terhadap peraturan yang telah ada, namun
tidak begitu jelas untuk diinterpretasikan secara Teleologi-Sosiologis,
dimana hakim dalam putusan tersebut tidak menemukan peraturan yang
sesuai lagi, sehingga hakim menyesuaikan terhadap keadaan yang terjadi
skearang untuk memecahkan/menyelesaikan sengketa dalam kehidupan
masyarakat. Oleh karena itu, hakim mempertimbangkan sisi keadilan dan
kemaslahatan bagi istri non-muslim tersebut dengan cara memberikan
harta bersama dan bagian harta peninggalan ahli waris dengan
menggunakan wasiat waijbah.
Meskipun dalam Pasal 209 KHI wasiat wajibah hanya
diperuntukan bagi anak angkat dan orang tua angkat saja, bukan terhadap
ahli waris yang sah. Hakim telah melakukan penemuan hukum dengan

10
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 16 K/AG/2010, h. 11
75

melakukan penafsiran ekstensif dan restriktif secara bersamaan, yaitu


pada kata “hanya berlaku terhadap orang tua angkat maupun anak angkat,
bukan terhadap ahli waris yang sah”. Menggunakan penafsiran ekstensif
dan restriktif hakim telah memperluas makna orang tua angkat dan anak
angkat sebagai setiap orang yang telah berhubungan dan berjasa terhadap
pewaris, dengan batasan restriktif “bukan ahli waris yang sah”. Ikatan
perkawinan dalam hukum kewarisan Islam merupakan salah satu jalan
untuk memperoleh harta kewarisan, akan tetapi karena istri tersebut non-
muslim maka ia telah terhalang menjadi ahli waris sah. Sehingga hakim
dapat mempertimbangan untuk memberikan hak kepada istri non-muslim
tersebut melalui wasiat wajibah dari Pewaris, karena dalam hal wasiat
wajibah tidak disyaratkan harus beragama Islam
Pertimbangan hakim diatas juga seolah telah mempertimbangkan
doktrin para ulama. Sebagaimana pendapatnya Ibnu Hazm, Al-Thabari
dan Muhammad Rasyid Ridha yang berpendapat bahwa ahli waris non-
Muslim akan tetap mendapatkan harta Pewaris Muslim melalui wasiat
wajibah. Meskipun demikian, Ibnu al-Qayyim juga berpendapat bahwa
kesetiaan hati tidaklah menjadi syarat atau ‘illat dari kewarisan. Tetapi
‘illatnya adalah adanya tolong-menolong, orang muslim menolong ahli
zimmah maka berhak mewarisi mereka, sedangkan orang ahli zimmah
tidak menolong orang muslim sehingga tidak berhak mewarisinya.11
Dalam pertimbangan lainnya, hakim Mahkamah Agung juga
mempertimbangkan pendapat ulama Yusuf Al-Qardhawi mengenai
persoalan kedudukan ahli waris non-muslim, bahwasanya beliau
menafsirkan orang-orang non-muslim yang hidup berdampingan dengan
damai tidak dapat dikategorikan sebagai kafir harbi12, demikian halnya
dengan Pemohon Kasasi bersama pewaris semasa hidupnya bergaul

11 Iim Fahimah, “Praktik Kewarisan Keluarga Beda Agama Pada Masyarakat Majemuk di
Provinsi bengkulu dalam Perspektif Hukum Islam”, Disertasi Universitas Islam Negeri Raden
Intang Lampung, (2018), h. 260
12 Kafir harbi atau kafir muharib yaitu orang kafir yang berada dalam peperangan dan
permusuhan terhadap kaum muslimin.
76

secara rukun dan damai meskipun berbeda keyakinan, karena itu patut dan
layak Pemohon Kasasi memperoleh bagian dari harta peninggalan
pewaris berupa wasiat wajibah.
Berdasarkan hal-hal di atas tersebut, maka penulis berpendapat
bahwa Mahkamah Agung telah melakukan penemuan hukum demi
tercapainya sebuah kemaslahatan bagi pihak berperkara. Namun, upaya
kemaslahatan ini seakan menjauh dari tujuan syari’at itu sendiri.
Terutama tujuan syariat untuk menjaga agama, harta, dan keturunan
dalam perkara kewarisan beda agama ini tidak dapat dicapai dengan baik.

4. Ahli Waris Pengganti (Istri dan Anak Kandung) Saudara Seayah Non-
Muslim
Sedangkan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 218
K/AG/2016, ahli waris pengganti non-muslim (Dwi Lestari binti Hadi
Sardjono) yang merupakan seorang anak kandung dari saudara kandung
Pewaris. Karena berbeda agama dengan Pewaris, maka Dwi Lestari binti
Hadi Sardjono tidak dapat menjadi ahli waris pengganti sebagaimana
mestinya. Akan tetapi, Dwi Lestari binti Hadi Sardjono masih
mendapatkan bagian dari harta waris berupa wasiat wajibah sebesar 1/3.
Dalam putusan ini, Hakim Mahkamah Agung menolak
permohonan kasasi dan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Agama
Yogyakarta. Dalam putusan ini, terhadap saudara kandung muslim yang
telah meninggal dunia, hakim memberikan bagian sesuai dengan hukum
waris, yaitu 15,625% dari harta para pewaris. Kemudian terhadap ahli
waris non-muslim, yaitu istri dan 2 orang anak yang beragama katholik
diberikan wasiat wajibah dengan total 1/3 dari 15,625% tersebut.
Dalam perkara ini, terjadi dua kali pengalihan ahli waris, yaitu dari
Pewaris kepada anaknya yang telah meninggal, kemudian kepada istri dan
anak dari anak pewaris tersebut. Dalam arti singkat dapat dikatakan
sebagai ahli waris pengganti. Namun dalam perkara ini, ahli waris
pengganti tersebut adalan non-Muslim.
77

Dalam Pasal 185 KHI menyatakan bahwa ahli waris pengganti dari
saudara kandung mendapatkan bagian yang jumlahnya tidak boleh
melebihi ahli waris asli.13 Namun bagi ahli waris pengganti non-muslim
tidak dapat ditemui ketentuannya dalam KHI ataupun perundang-
undangan lainnya. Namun berdasarkan Pasal 171 hurf c KHI dapat
ditemukan bahwa yang dimaksud ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris”.14
Maka dapat diketahui berdasarkan metode A Contrario
(Argumentum A Contrario), bahwa ahli waris yang bukan beragama Islam
tidak dapat menjadi ahli waris yang sah. Namun hakim Mahkamah Agung
juga merujuk kepada Yurisprudensi yang telah ada, yaitu Yurisprudensi
putusan Mahkamah Agung Nomor 368/K/AG/1995 yang menyatakan
bahwa “hak anak kandung murtad sama kedudukannya dengan hak anak
kandung beragama Islam” dan Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung
Nomor 51/K/AG/1999 yang menyatakan bahwa “Ahli waris yang bukan
beragama Islam tetap dapat mewarisi dari harta peningggalan pewaris
yang beragama Islam”.
Sehingga berdasarkan Yurisprudensi tersebut, Mahkamh Agung
telah mempertimbangkna juga bahwa bagian bagi ahli waris pengganti
yang non-Muslim ini juga sama seperti bagian anak kandung non-Muslim
dan Istri non-Muslim. Maka bagian anak dan istri non-Muslim selaku ahli
waris pengganti dari Hadi Sardjono (anak pewaris) memiliki bagian yang
sama dengan anak dari Pewaris.
Hal ini dapat terlihat dalam pertimbangann Hakim Mahkamah
Agung yang menyatakan bahwa harta peninggalan Hadi Sardjono dari
almarhum Martomulyono alias Tugimin bin Martowirono alias Ngadi

13 Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam


14
Pasal 171 Huruf C Kompilasi Hukum Islam
78

ditambah dengan warisan almarhum Surip adalah 7,2917% + 8,3333%=


15,625% dengan rincian sebagai berikut:
1) Ny. Saminah (istri) mendapat 1/3 x 5,2083%= 1,7361%
2) Gregorius (anak kandung) 1/3 x 5,2083%= 1,7361%
3) Dwi lestari (anak kandung) 1/3 x 5,2083%= 1,7361%

Kemudian setelah dikurangi wasiat wajibah sebesar 1/3 x 15,625%


= 5,2083% sehingga menyisakan harta warisan sebesar 10,4166% untuk
ahli waris muslim dengan rincian sebagai berikut:

1) Soeparno (saudara seayah) mendapat 2/6 x 10,4166%= 3,4722%


2) Maryati (saudara seayah) mendapat 1/6 x 10, 4166%= 1,7361%
3) Siti Aminah (saudara seayah) mendapat 1/6 x 10, 4166%= 1,7361%
4) Saban (saudara seayah) mendapat 2/6 x 10, 4166%= 3,4722%15

Berdasarkan pembagian tersebut dapat terlihat bahwa bagian ahli


waris non-muslim dan ahli waris muslim pada beberapa orang memiliki
kadar bagian yang sama.
Berdasarkan pertimbangan dalam putusan tersebut, yang menjadi
sengketa dalam perkara ini adalah harta bersama antara Martomulyono
alias Tugimin bin Martowirono dengan Poniyah binti Poniman. Bahwa
hak Martomulyono alias Tugimin bin Martowirono yang sebesar 50%
tersebut ditetapkan menjadi harta warisan Martomulyono yang kemudian
harus dibagikan kepada ahli warisnya yang berhak.
Dikarenakan Poniyah binti Poniman (istri) telah meninggal dunia
juga, maka Pengadilan Tinggi Agama Yogyakara membagikan hak harta
bersama Poniyah kepada ahli waris suaminya.
Salah satu ahli waris dari Martomulyono yaitu Hadi Sarjono telah
meninggal dengan meninggalkan ahli waris istri, dan dua anaknya yang
beragama non-muslim. Dikarenakan janda dan anak-anaknya Hadi
Sarjono tersebut berbeda agama, maka mereka tidak berhak menjadi ahli

15
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 218K/AG2016, h. 13-14
79

waris pengganti dari Hadi Sarjono, walau demikian ahli waris pengganti
Hadi Sardjono tersebut tetap mendapatkan bagian melalui wasiat wajibah.
Menurut penulis, ahli waris pengganti dari almarhum Hadi Surjono
tersebut yang mendapatkan wasiat wajibah telah adil. Karena dengan
dilaksanakannya lembaga wasiat harta keapda ahli waris memiliki nilai
filosofi sebagai salah satu cara melakukan pembagian harta peninggalan
secara adil dalam artian yang hakiki. Keadilan yang tercapainya maslahah
di antara para ahli waris. Untuk mencapai kemaslahatan ini tidaklah
mudah kecuali dengan cara musyawarah dan mufakat atau perdamaian
(as-sulhu).16 Sesuatu yang maslahah menurut pertimbangan akal, dan
disamping itu ada pula petunjuk khusus dalam nash atau ijma’ bahwa
maslahat itu dapat diperhitungkan.17
Oleh karena itu, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa ahli
waris non-muslim terhalang untuk menjadi ahli waris pengganti yang sah
merupakan keputusan yang benar menurut teori al-maslahah al-
mu’tabarah. Karena yang demikian dapat mendatangkan suatu hal yang
berpotensi kepada masalah baru atau bahkan perselisihan yang tiada henti
dalam keluarga tersebut apabila ahli waris non-muslim tersebut tidak
mendapatkan bagiannya. Mengingat pula, ahli waris pengganti non-
muslim tersebut mengajukan upaya hukum yang menurut penulis hal itu
berarti ahli waris pengganti non-muslim tersebut ingin memperjuangkan
haknya sebagai ahli waris pengganti dari sang ayah yang menjadi ahli
waris sah sebagai saudara kandung Pewaris utama.
Akan tetapi, prinsip kemaslahatan yang telah dipertimbangan
hakim Mahakamah Agung telah bertentang dengan semangat dan tujuan
dari syari’ah itu sendiri dengan memberikan harta kekayaan Muslim jatuh
ke tangan non-Muslim dan telah melonggarkan non-Muslim untuk
mendapat harta warisan melalui wasiat wajibah, dengan berarti telah

16 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011), h. 118
17 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014),
cet. 2, h. 6
80

melonggarkan penjagaan atas agama Islam, begitupun pula dengan


prinsip menjaga keturunan yang akan memberikan masalah di kemudian
hari, dimana anak yang terlahir non-Muslim telah kehilangan agamanya.

5. Ahli Waris Beda Agama Untuk Suami Murtad


Putusan waris beda agama selanjutnya adalah putusan Nomor 331
K/AG/2018. Dalam putusan ini, terdapat perbedaan keyakinan antara
suami dan istri yang tidak memiliki keturunan. Untuk itu hukum yang
dipakai dalam keluarga ini juga tidaklah sama. Berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
172/K/Sip/1974 bahwasanya dalam sebuah sengketa waris, hukum yang
digunakan adalah hukum waris dari Pewaris. Dalam hal ini sudah tepat
apabila penyelesaian sengketa waris diputuskan dengan berdasarkan
hukum Islam oleh Mahkamah Agung dan Pengadilan Agama. Karena
mengingat Pewaris beragama Islam sedangkan salah satu ahli warisnya
(suami) beragama non-muslim, oleh karena itu untuk penyelesaian
sengketa waris ini menggunakan hukum Islam.
Dalam putusan ini, Hakim Mahkamah Agung menolak
permohonan kasasi dan melakukan perbaikan atas putusan Pengadilan
Tinggi Agama Banten. Dengan kaidah hukum “Hubungan baik dan
harmonis dalam rumah tangga dapat dijadikan sebagai pertimbangan
hakim dalam memberikan harta waris kepada non-muslim”. Berdasarkan
itu, hakim kepada suami murtad memberikan bagian seeprdua atau 50%
dari harta bersama dan bagian harta peninggalan sebesar 1/4 dari harta
pewaris melalui jalan wasiat wajibah.
Dalam putusan ini, Hakim Mahkamah Agung juga merujuk kepada
putusan terkait kewarisan beda agama yang telah ada sebelumnya yaitu
Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Nomor 368/K/AG/1995 yang
menyatakan bahwa “hak anak kandung murtad sama kedudukannya
dengan hak anak kandung beragama Islam”, Yurisprudensi putusan
Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/1999 yang menyatakan bahwa “Ahli
waris yang bukan beragama Islam tetap dapat mewarisi dari harta
81

peningggalan pewaris yang beragama Islam” dan Yurisprudensi


Mahkamah Agung Nomor 16/K/AG/2010 yang menyatakan bahwa
“memberikan kedudukan istri yang bukan beragama Islam sama dengan
kedudukan istri yang beragama Islam”.
Berdasarkan dua Yurisprudensi yang pertama, yakni Yurisprudensi
putusan Mahkamah Agung Nomor 368/K/AG/1995 dan Yurisprudensi
putusan Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/1999 hakim menjadikannya
sebagai dasar bagi ahli waris non-muslim memiliki kedudukan (hak) yang
sama dengan ahli waris muslim yang sah untuk mendapat harta
peninggalan pewaris. Sedangkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung
Nomor 16/K/AG/2010, yang menyatakan “memberikan kedudukan istri
yang bukan beragama Islam sama dengan kedudukan istri yang beragama
Islam dengan dasar telah hidup bersama dan harmonis selama 18 tahun”,
hakim melakukan konstruksi hukum menggunakan metode Analogi
(Argumentum Per Analogian), dimana dalam suatu kasus hukum yang
belum ada hukumnya dan memliki peristiwa kasus yang hampir serupa,
maka atas peristiwa tersebut diperlakukan peraturan yang sama.
Kemudian atas Yurisprudensi tersebut hakim Mahkamah Agung
melakukan konstruksi hukum dengan metode A Contrario (Argumentum
A Contrario) dengan dasar pertimbangan apabila istri yang non-muslim
saja dapat mendapatkan harta peninggalan atas dasar kesetiaan hati dan
keloyalannya selama berumah tangga, maka atas perkara ini juga suami
berhak untuk memperoleh bagiannya sebagaimana layaknya suami yang
muslim, yaitu sebesar 1/2 bagian apabila tidak memiliki anak.
Sebagaimana penjelasa dalam QS. An-Nisa ayat 12:

ٞ َ ‫ِو‬ ُ َ ۡ َّ ۡ ُ ُ َٰ َ ۡ َ َ َ َ َ ُ ۡ ۡ ُ َ َ
َ ‫كنِل َّ ُه َّن‬
١٢ِ….َِۚ‫ِل‬ ‫۞ولكمِن ِّصفِماِترك ِِأزوجكمِإِّنِلمِي‬

Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak”.
82

Akan tetapi, dikarenakan suami tersebut telah murtad dari Islam.


Maka hakim tidak dapat memberikan hak kewarisan Islam sebagaimana
mestinya, sehingga hakim memberikannya melalui wasiat wajibah
berdasarkan pertimbangan humanistik, yaitu karena telah menjaga isteri
saat suka maupun duka, bahkan pada saat Pewaris sakit, Pemohon kasasi
tetap merawat Pewaris dengan setia dan selalu mendampingi sampai
berobat ke Cina, maka sepantasnya Pemohon kasasi yang beragama non-
Muslim diberi bagian dari harta warisan dalam bentuk wasiat wajibah
sebesar 1/4 dari harta peninggalan pewaris.18
Meskipun demikian, hakim Mahkamah Agung tidak boleh
memberikan bagian suami yang non-muslim tersebut selayaknya suami
yang muslim. Karena bagian suami yang tidak memiliki anak adalah
sebesar 1/2 bagian dari harta pewaris dan batas pemberian kewarisan
melalui wasiat wajibah sebanyak-banyaknya hanyalah sebesar 1/3
bagian.19 Dalam kasus wasiat wajibah kepada ahli waris non-muslim,
hakim juga menggunakan asas egaliter, yaitu asas yang memperbolehkan
ahli waris non-muslim memperoleh wasiat wajibah dengan catatan tidak
melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengannya.20
Dalam kasus ini, bagian yang terkecil dalam pembagian harta
peninggalan bagi bagi ahli waris bukanlah 1/4 (25%) bagian, melainkan
hanya sebesar 18,75% dan 9,375%. Sehingga, hakim telah keluar dari
asas egaliter yang seharusnya hakim perhatikan dalam pemberian wasiat
wajibah kepada ahli waris non-muslim. Adapun alasan pertimbangan
hakim memberikan wasiat wajibah sebesar 1/4 dari harta peninggalan
Pewaris tidak disebutkan dalam pertimbangan hukumnya.
Terlebih lagi, hakim hanya mempertimbangkan alasan kerukunan
sebuah rumah tangga sebagai alasan utama memberikan porsi wasiat

18
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia 331 K/AG/2018, h. 11-12
19
Pasal 209 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam
20
Salma Suroyya Yuni Yanti dan Yunanto Mulyadi, “Pembagian Harta Warisan Terhadap
Ahli Waris Beda Agama Serta Akitbatnya”, Diponegoro Law Journal, Vol. 5 No. 3, Agustus 2016.
h., 7.
83

wajibah kepada ahli waris (suami) yang telah murtad sepeninggalan


istrinya. Hal ini seolah tidak mencerminkan sikap menjaga syariat
(maqashid al-syariah) yaitu menjaga agama. Hakim hanya
mempertimbangkan faktor sosial dan tidak mempertimbangkan
kemurtadan tersebut karena ahli waris murtad tersebut telah memberikan
manfaat kepada pewaris semasa hidup.
Dalam kasus seperti ini, nampaknya hakim lebih mengutamakan
asas keadilan dibandingkan menjaga tujuan dari syara’ itu sendiri.
Sebagaimana yang dikemukakan John Rawls bahwa tujuan utama
keadilan bukanlah menghapus ketidaksamaan, melainkan memastikan
adanya kesempatan yang sama, sehingga ketidaksamaan dapat ditoleransi
sejauh hal itu menguntungkan semua, terutama golongan yang
terlemah.21 Sikap hakim yang menjadikan pertimbangan-pertimbangan di
atas seolah mencerminkan hakim telah melakukan refleksi dengan
metode penafsiran hukum ekstentif terhadap Pasal 171 huruf C yang
dasarnya mengharuskan ahli waris harus beragama yang sama dengan
pewaris. Dalam hal ini hakim telah melakukan peluasan makna hukum
bahwasanya ahli waris yang tidak seagama dengan pewaris muslim tetap
tidak digolongkan sebagai ahli waris, namun mendapatkan bagian harta
pewaris melaului wasiat wajibah.

B. Metode Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung Dalam Putusan


Waris Beda Agama
Di Indonesia, sudah menjadi kebiasaan umat Islam dalam hal warisan,
bahwa mereka baru pergi ke Pengadilan, ketika terjadi persengketaan di
antara mereka sendiri (keluarga). Sedangkan kalau tidak terjadi
persengketaan, biasanya pembagian harta warisan dilakukan atas dasar saling
merelakan.22 Biasanya, keluarga yang terjadi sengketa di dalam pembagian
warisan adalah keluarga yang antar anggotanya terjadi perbedaan agama.
Bagi keluarga yang demikian dalam penyelesaian sengketa nya tidak jarang

21 Muhammad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Waris Beda Agama”, h. 274
22 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, h. 121
84

sampai ke meja hijau. Seperti yang terjadi pada keluarga berbeda agama yang
perkaranya tercatat di Mahkamah Agung. Seperti perkara Nomor 368
K/AG/1995, 51 K/AG/1999. 16 K/AG/2010, 218K/AG/2016, 331
K/AG/2018 yang kesemuanya berlatar belakangkan keluarga dengan
perbedaan agama antar anggota keluarganya.
Bagi seseorang yang keluar dari agama Islam atau bukan beragama
Islam maka ia terhalang untuk mendapatkan hak atas harta warisan dari
Pewaris23. Akan tetapi, bagi ahli waris beda agama tersebut tidak serta merta
benar-benar tidak mendapatkan apapun. Dalam hukum Islam, untuk hal
penyelesaian pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berbeda agama
dapat melalui dua cara24, yaitu hibah dan wasiat.
Sedangkan hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara waris
beda agama kelima putusan di atas menggunakan konsep wasiat wajibah. Bila
dilihat dari filosofisnya, konsep wasiat wajibah berawal dari penafsiran QS.
Al-Baqarah ayat 180.
ِ ۡ ِ ۡ ۡ ِ‫ُكتِب علَ ۡي ُك ۡم إِذَا حضر بَح َد ُكم ۡٱلم ۡوت إِن تَرَك خ ۡي را ۡٱلو ِصيَّ ُ لِ ۡل َٰولِ َد ۡي ِن و ۡٱۡل َۡق رب‬
َ ‫ْي بِٱل َمعُروف َحقًّا َعلَى ٱل ُمتَّق‬
‫ْي‬ َ َ َ َ َ ً َ َ ُ َ ُ َ ََ َ َ َ
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”
Berdasarkan ayat tersebut Ibnu Hazm, dalam kitab Al-Muhalla
berpendapat bahwa “Diwajibkan atas setiap muslim untuk berwasiat bagi
kerabatnya yang tidak mewarisi disebabkan adanya perbudakan, adanya
kekufuran (non-muslim), karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan
(karena bukan ahli waris), maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka
seleranya, dalam hal ini tidak ada batasan tertentu. Apabila ia tidak berwasiat
(bagi mereka), maka tidak boleh tidak ahli waris atau wali yang mengurus

23 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, h. 47


24 Usman Abdi, “Kedudukan Anak yang Berbeda Agama Dengan Orang Tuanya Terhadap
Harta Warisan Berdasarkan KHI dan KUH Perdata”, (t.th), h. 13
85

wasiat untuk memberikan wasiat tersebut kepada mereka (kerabat) menurut


kepatutan.”25
Jadi, menurut Ibnu Hazm kewajiban atas wasiat. Termasuk wasiat
kepada kerabat non-muslim atau orang yang bukan ahli waris. Apabila
Pewaris tidak berwasiat maka ahli waris atau seseorang yang mengurusi harta
warisan Pewaris wajib memberikan bagian kepada mereka secara patut atau
wajar.
Sedangkan penerapan konsep wasiat wajibah dalam KHI hanya
diperuntukan bagi anak angkat atau orang tua angkat. Seperti yang terdapat
dalam KHI pasal 209 ayat (2):
“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”
Jika dilihat dari kelima putusan waris beda agama di atas, Mahkamah
Agung menggunakan wasiat wajibah sebagai cara penyelesaian waris beda
agama. Oleh karena itu penulis berpendapat Hakim Mahkamah Agung dalam
menyelesaikan perkara tersebut melakukan penemuan hukum dan
pembentukan hukum dengan metode interpretasi dan konstruksi hukum yang
sedikit berbeda, namun bermuara pada suatu wadah yang sama, yaitu
membolehkan wasiat wajibah sebagai jalan bagi ahli wrais beda agama untuk
memperoleh harta peninggalan Pewaris.
Dalam beberapa peraturan hakim telah melakukan beberapa
interpretasi dan konstruksi hukum, misalnya saja dalam Pasal 171 huruf C
Kompilasi Hukum Islam (KHI) hakim melakukan interpretasi restriktif, pasal
180 KHI hakim Mahkamah Agung melakukan metode A Contrario
(Argumentum A Contrario), pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) hakim
melakukan interpretasi ekstensif dan restriktif, Yurisprudensi Mahkamah
Agung Nomor 16/K/AG/2010 hakim melakukan kontruksi hukum
argumentum per analogium (analogi) dan metode A Contrario (Argumentum
A Contrario).

25 Muhammad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama”, Jurnal
Yudisial vol. 8 No. 3 Desember (2015), h. 286
86

Tidak lain alasan hakim melakukan interpretasi dan konstruksi hukum


adalah untuk mengatasi situasi kekosongan hukum atau (rechts vacuum) atau
kekosongan undang-undang (wet vacuum). Selain itu yang dimaksud dengan
analogi merupakan metode penemuan hukum di mana hakim mencari esensi
yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik
yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada
peraturannya.26 Sehingga tidak lain dapat dikatakan juga bahwa belum
adanya suatu kepastian hukum dalam perkara kewarisan beda agama di
Indonesia.
Dalam hal ini sistem perundang-undangan di Indonesia belum ada
peraturan yang secara eksplisit mengatur mengenai wasiat wajibah bagi ahli
waris non-muslim. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan
hukum yang mengakibatkan hakim harus melakukan penemuan hukum untuk
menghindari penolakan terhadap suatu perkara yang telah masuk ke
Mahkamah Agung dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya (asas
ius curia novit).27
Seperti penerapan konsep wasiat wajibah (KHI pasal 209 ayat 2)
dalam putusan Mahkamah Agung. Dalam pasal itu hanya diatur mengenai
wasiat wajibah bagi anak angkat dan orang tua angkat. Akan tetapi dalam
praktiknya hakim memberikan bagian kepada ahli waris non-muslim
berdasarkan wasiat wajibah. Padahal tidak ada pasal KHI atau Undang-
undang Perkawinan atau perundang-undangan lainnya yang mengatur wasiat
wajibah, terlebih bagi ahli waris yang telah murtad atau non-muslim. Oleh
karena undang-undang hanya mengatur tentang wasiat wajibah kepada anak
angkat dan orang tua angkat, maka hakim wajib melakukan penemuan hukum
untuk menyelesaikan perkara waris beda agama bagi ahli waris non-muslim
tersebut sehingga dapat menghasilkan putusan yang memiliki dasar yang
tepat dan jelas.

26 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, h. 75
27 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. h 74
87

Hasil dari metode penemuan hukum adalah terciptanya putusan


pengadilan yang baik, yang dapat dipergunakan sebagai sumber pembaruan
hukum.28 Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata menyangkut
penerapan peraturan perundang-undangan terhadap peristiwa konkret, tetapi
juga penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya sekaligus.29
Dalam pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
kekuasan kehakiman dinyatakan bahwasanya hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keaddilan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, istilah penemuan
hukum ini tepat dikatakan untuk putusan-putusan yang diselesaikan melalui
wasiat wajibah. Walaupun ada istilah lain seperti penciptaan hukum
(rechtsschepping), akan tetapi apabila diterapkan seolah kurang tepat. Karena
yang dimaksud dengan penciptaan hukum itu menggambarkan kondisi
ketiadaan hukum yang kemudian mengharuskan dilakukannnya penciptaan
hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan penemuan hukum merupakan
pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim atau pelaksasna hukum
terhadap suatu peristiwa yang konkret.
Hakim harus mempunyai keahlian dan ide untuk dapat menyelesaikan
perkara dengan mencari dan menemukan hukum bagi suatu kasus yang
peraturannya belum ditemukan atau sudah ada tapi tidak jelas. Hal ini harus
dilakukan karena hakim dalam memutus sebuah perkara harus
menyelesaikannya dengan keadilan yang semestinya.
Menurut penulis, untuk menjawab tantangan di atas hakim dalam
memutus perkara tersebut menggunakan metode penemuan hukum, lebih
tepatnya lagi penemuan hukum dengan metode Argumentum Per Analogium
(Analogi) dengan melakukan penafsiran terhadap hukum. Menurut metode
ini, hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau
perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang
belum ada peraturannya.

28 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, h. 59
29 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, h. 58
88

Untuk perkara waris beda agama ini, hakim telah menganalogikan dan
menyamakan penerapan wasiat wajibah untuk anak angkat 30 dengan wasiat
wajibah untuk ahli waris non-muslim atau murtad untuk mengisi kekosongan
hukum tersebut.

C. Putusan Waris Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam


Sama halnya dengan orang yang murtad atau non-muslim tidak berhak
mendapatkan bagian dari harta warisan Pewaris muslim. Hal tersebut
diakibatkan oleh terhalangnya hak ahli waris murtad atau non-muslim karena
berbeda agama dengan Pewaris. Di dalam beberapa putusan Mahkamah
Agung terdapat dinamika pertimbangan hakim terhadap subjek waris yang
berbeda.
Walau demikian, syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta
bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang
legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang
sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya.31
Menurut para Ulama, mengenai orang murtad memiliki kedudukan
hukum tersendiri dalam hak terhadap harta waris Pewaris muslim. Hal ini
dikarenakan orang murtad telah dianggap memutuskan tali syari’ah (al-
maqashid al-syariah). Al-Qur’an sebagai salah satu sumber utama bagi umat
Islam dalam menghadapi dinamika kehidupan termasuk perihal waris beda
agama tidak secara tegas mengatur waris antar umat Islam dengan umat yang
berbeda agama.
Walaupun dalam Al-Qur’an tidak membahas secara jelas mengenai hal
tersebut, ada salah satu cuplikan ayat mengenai jawaban dari Allah atas
permohonan Nabi Nuh yang terkait sebagai berikut: "Ya Tuhanku,
Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau
Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya. Kemudian

30 Pasal 171 huruf c KHI


31 Eka Apriyudi, “Pembagian Harta Waris Kepada Anak Kandung Non-Muslim Melaui
Wasiat Wajibah, jurnal Kertha Patrika, Vol. 40, No. 1 , April 2018, h. 54
89

Allah berfirman: "Hai Nuh, Sesungguhnya Dia bukanlah Termasuk


keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), Sesungguhnya
(perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. sebab itu janganlah kamu
memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya.
Sesungguhnya aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan
Termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." Berdasarkan kutipan dari
pembicaraan Allah SWT dengan Nabi Nuh A.S disimpulkan bahwa
sebenarnya Allah SWT lah yang Maha Mengetahui atas segala apa yang tidak
diketahui manusia, sehingga walaupun seseorang tersebut memiliki hubungan
darah, apabila tidak beriman kepada Allah SWT, maka Allah SWT tidak
meridhoi orang beriman tersebut untuk mendoakan atau memberikan harta
serta pertolongannya kepada orang yang tidak beriman.32
Pernyataan di atas semakin memperjelas bahwa di dalam hukum Waris
Islam tidak diperkenalkan saling mewarisi antar umat berbeda agama, dalam
hal ini adalah umat Islam dengan non-muslim. Berdasarkan ayat di atas,
mendoakan orang yang tidak beriman kepada Allah SWT saja tidak diridhoi
bagaimana dengan hal yang lebih dari itu seperti memberikan harta warisan
dari Pewaris Muslim kepada ahli waris yang sudah murtad. Hal ini jelas tidak
sama sekali mencerminkan sikap menjaga dan memelihara agama dan harta
seperti yang menjadi tujuan syariat (al-maqashid al-syari’ah).
Menurut penulis, tidak dapat disamakan ahli waris yang telah murtad
dengan ketika ahli waris murtad tersebut masih memeluk agama Islam.
Murtad tersebut sudah menjadikannya terhalang dari harta warisan, jadi
bagaimanapun ia tidak bisa mendapatkan bagiannya yang dulu menjadi hak
semasa ia menjadi ahli waris muslim karena kini ia telah murtad (keluar dari
agama Islam). Hal ini dikuatkan dengan adanya hadis Rasulullah SAW yang
artinya: “Muslim tidak mempusakai orang kafir dan kafir tidak mempusakai
orang muslim”. Ayat Al-Qur’an dan hadis ini sama-sama menyebutkan
mengenai ketidak ridhoan Allah terhadap adanya sikap tidak beriman kepada

32 Sofyan Adhi Styawan, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Harta Waris Kepada Ahli
Waris Yang Beda Agama Melaui Wasiat Wajibah”, Skripsi (2016). Fakultas Hukum Univeristas
Muahmmadiyah Surakarta. h. 11
90

Allah. Hal ini pun terbukti, dalam ayat tersebut Nabi Nuh meminta kepada
Allah untuk menyelamatkan anaknya akan tetapi Allah menolak permintaan
Nabi Nuh karena anaknya dalam keadaan tidak beriman kepada Allah SWT.
Pada prinsipnya, harta itu merupakan titipan dari Allah SWT yang
harus dipelihara untuk digunakan demi kemaslahatan yang beriman kepada
Allah SWT.33 Sesuai dengan tujuan kewarisan yakni untuk memelihara harta
dan keturunan. Sedangkan apabila ditinjau lebih jauh, dalam tujuan syariat
(al-maqashid al-syariah) maka menggolongkan ahli waris murtad atau non-
muslim sebagai ahli waris atau berhak atas harta warisan Pewaris muslim
merupakan sikap tidak memelihara akal, harta, jiwa dan juga agama.
Ahli waris non-muslim dalam Al-Qur’an maupun hadits tidak
mendapatkan bagian waris yang jelas. Akan tetapi saat ini, kebebasan
memeluk kepercayaan di Indonesia tidak bisa menutup kemungkinan adanya
perbedaan agama atau kepercayaan dalam sebuah keluarga yang kemudian
berpengaruh terhadap pembagian warisan apabila salah satu dari anggota
keluarga tersebut meninggal dunia. Hal ini juga mengakibatkan adanya
perspektif tidak adil dari ahli waris non-muslim terhadap terhalangnya ia dari
hak kewarisan yang semula ia dapatkan.
Menjawab hal itu, meskipun terkesan keluar dari hukum Islam,
Mahkamah Agung memberikan putusan yang seolah mempertimbangkan
aspek sosiologis dan memerhatikan kaidah-kaidah moral yang hidup dalam
masyarakat untuk memberikan putusan yang ditujukan kepada kemaslahatan.
Dengan demikian, meskipun putusan Mahkamah Agung tersebut
dianggap telah tidak sejalan atau keluar dari hukum Waris Islam akan tetapi
di satu sisi, keputusan ini menjadi jalan tengah untuk menjaga kedamaian
pada suatu keluarga yang di dalamnya memiliki perbedaan agama. Dan
memberikan kesan bahwa hukum Islam tidak kaku dan tidak sempit dalam
menghadapi perkara semacam ini.

33 Sofyan Adhi Styawan, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Harta Waris Kepada Ahli
Waris Yang Beda Agama Melaui Wasiat Wajibah”, h. 9
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada beberapa bab sebelumnya,
maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, di antaranya:
1. Hakim Agung dalam memutus putusan waris beda agama lebih
mempertimbangan kepada aspek keadilan dan kemaslahatan terhadap ahli
waris non-muslim dengan memberikan kadar wasiat wajibah berdasarkan
kondisi sosiologis pihak yang berperkara. Terhadap putusan-putusan di
atas Mahkamah Agung Republik Indonesia menggunakan pertimbangan
yang humanistik sehingga tidak menjadikan kemurtadan dan perbedaan
agama sebagai penghalang mutlak untuk mendapatkan bagian harta
Pewaris muslim, melainkan hakim tetap memberikan jalan pemberian
harta waris tersebut melalui lembaga wasiat wajibah untuk ahli waris
murtad dan non-muslim.
2. Mahkamah Agung dalam memutus perkara waris beda agama
menggunakan konsep wasiat wajibah. Akan tetapi belum ada peraturan
perundang-undangan yang pasti terhadap pemberlakuan wasiat wajibah
ini sebagai jalan untuk bagi ahli waris murtad atau non-muslim untuk
memperoleh harta peninggalan Pewaris. Sehingga hakim harus selalu
melakukan penemuan hukum dan pembentukan hukum terhadap setiap
peristiwa kasus kewarisan beda agama bagi subjek yang berbeda. Metode
masing-masing hakim dalam melakukan penemuan dan pembentukan
hukum sedikit beragam dalam setiap kasusnya, adapun apabila
dikelompokkan, maka hakim telah melakukan interpretasi dan konstruksi
hukum terkait kewarisan beda agama sebagai berikut : terhadap Pasal 171
huruf C Kompilasi Hukum Islam (KHI) hakim melakukan interpretasi
restriktif, terhadap pasal 180 KHI hakim Mahkamah Agung melakukan
metode A Contrario (Argumentum A Contrario), terhadap pasal 209

91
92

Kompilasi Hukum Islam (KHI) hakim melakukan interpretasi ekstensif


dan restriktif, terhadap Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor
16/K/AG/2010 hakim melakukan kontruksi hukum argumentum per
analogium (analogi) dan metode A Contrario (Argumentum A Contrario).
3. Berdasarkan hasil pertimbangan hakim dalam memutus perkara kewarisan
beda agama tahun 1995-2018, diketahui bahwa hakim Mahkamah Agung
lebih cenderung menggunakan pertimbangan berdasarkan aspek keadilan
dan kemaslahatan dengan melakukan penemuan dan pembentukan
hukum, sehingga jauh dari kepastian hukum. Namun aspek kemaslahatan
yang dipertimbangkan oleh hakim Mahkamah Agung telah menyimpang
dari tujuan syara’ (maqashid asy-syariah), terutama dalam perihal hifdz
al-din, hifdz al-nasl, dan hifdz al-mal.

B. Rekomendasi
Berkenaan pada rumusan kesimpulan di atas, maka terdapat tiga
catatan penting sebagai saran atau rekomendasi dari penelitian skripsi ini,
antara lain:
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam mengenai isu
beda agama dalam ranah hukum perdata agama, seperti beda agama
dalam hal hak asuh anak, harta bersama, hibah, hadiah dan lain
sebagainya guna melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya dari
sudut pandang yang berbeda.
2. Untuk mengurangi adanya perbedaan hasil putusan di Mahkamah
Agung maka dalam memutus perkara perlu dilakukan penyamarataan
dasar berpikir yang tidak berubah-ubah. Sehingga menimbulkan hasil
putusan yang dapat menjadi rujukan bagi tingkat pengadilan di
bawahnya
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdi, Usman. Kedudukan Anak yang Berbeda Agama Dengan Orang Tuanya
Terhadap Harta Warisan Berdasarkan KHI dan KUH Perdata, (t.th).
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 2004)
---------------- “Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Perkawinan”, (Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, 2011)
Ahmad, Amirullah. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Ahmad, Rumadi, Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2016)
Al-Qazwaini, Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah. Sunan Ibnu Majah,
Kitab al-Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No.
Hadits 2729, (Libanon : Bait al-Afkar Dauliyyah, 2004)
Aripin, Jaenal. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2013)
Ash-Shobuny, Muhammad Ali. Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995, Cet. Pertama)
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adilatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011, Cet. 1- jilid 10
Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011)
Effendi, Jonaedi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, (Jakarta:
Kencana, 2018), Ed.1
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 5/MUNAS VII/MUI/9/2005
Fauzan, M. Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata,
Jakarta: Kencana, 2014

93
94

Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:


Kencana, 2011), Cet.1
Hamidi, Muhammad Muhyiddin Abdul. Ahkam al-Mawaris fi Asy-Syari’ah Al-
Islamiyah ‘ala Madzahib Al-Ar-Arba’ah, terj. Wahyudi Abdurrahim,
(Jakarta: Pustaka Al Kautsar)
Hart , H.L.A. The Concept Of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997)
diterejemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum, (bandung:
Nusamedia, 2010)
HS., Salim. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta
: Rajawali Pers, 2017), ed.1. cet. 5
Kansil. C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di
Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012)
Komari dkk, Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Waris, (Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, 2011)
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta:
Senayan Abadi Publishing, 2004), Cet. 1
Kuncoro, Wahyu, Waris: Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta: Raih Asa Sukses,
2015)
Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2010
Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2018, Era Baru
Peradilan Modern Berbasis Teknologi Informasi
Luth, Thohir Syari’at Islam Mengapa Takut,(T.tp: Universitas Brawijaya Press,
2011)
Mappiase, Syarif, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:
Kencana, 2015)
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi), (Jakarta:
Kencana, 2008), Cet-10, 2017
95

Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2018)
Permana, Sugiri. Dasar Penetapan Kewarisan Pengadilan Agama (Studi Atas
Penetapan-Penetapan Waris Pada Pengadilan Agama Bogor, Cianjur
dan Cikarang Jawa Barat Pada Tahun 2006-2010), (Jakarta: Pustikom
Jakarta, 2014), Cet. 1
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
Salihima, Syamsul Bahri. Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam
Hukum Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2016), Edisi Pertama- Cet. 2
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Rinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali, 2001
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2015), Edisi
Kedua- Cet. 5
--------------Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014),
cet. 2
Wahid, Abdul dan Moh. Muhibbin. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesiam (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
Wicaksono, Setiawan, “Hak Waris Dalam Perkawinan Campuran”, Jurnal
Yurispruden, Vol. 2, No. 1, (Januari 2019)
Jurnal:

Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah”, Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum

Apriyudi, Eka. “Pembagian Harta Waris Kepada Anak Kandung Non-Muslim


Melaui Wasiat Wajibah”, jurnal Kertha Patrika, Vol. 40, No. 1 , April
(2018)
Arif, Muhammad Rinaldi. “Pemberian Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris
Beda Agama (Kajian Perbandingan Hukum Antara Hukum Islam dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 368/K/AG/1995)”, Jurnal De Lega
Lata, Volume 2, Nomor 2 (2017)
96

Kamarudin, Penerapan Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non-muslim (Studi


Kasus Perkara No. 16 K/AG/2010), Jurnal Mizani, Vol. 25 No. 2,
(Agustus 2015).

Mutakin, Ali, Teori Maqashid Al Syariah dan Hubungannya dengan Metode


Istinbath Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 3, (Agustus,
2017)

Nugraheni, Destri Budi, dkk. “Penerapan Pengaturan dan Implementasi Wasiat


Wajibah Di Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 2,
(Juni 2010)
Rizkal, Pemberian Hak Waris Dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim
Berdasarkan Wasiat Wajibah (Kajian Putusan No. 16/K/AG/2010)
Salma Suroyya Yuni Yanti dkk. “Pembagian Harta Warisan Terhadap Ahli Waris
Beda Agama Serta Akibat Hukumnya”, Jurnal Volume 5, Nomor 3,
Tahun, Program Studi S1 Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro (2016)
Shidiq, Ghofar. “Teori Maqashid al-Syariah dalam Hukum Islam”, (Sultan Agung
Vol. XLIV. No. 118 Juni-Aagustus 2009)
Suryati, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Andi, 2017)
Syafi’i, ”Wasiat Wajibah dalam Kewarisan Islam di Indonesia”, Jurnal Misykat,
Vol. 02, No. 02, (Desember 2017).
Wahyudi, Muhammad Isna. “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama
(Kajian Lima Penetapan dan Dua Putusan Pengadilan Agama dalam
Perkara Waris Beda Agama)”, Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 (Desember
2015)
Zulfia Hanum dan Alfi Syahr, “Wasiat Wajibah Sebagai Wujud Penyelesaian
Perkara Waris Beda Agama Dalam Perkembangan Sosial Masyarakat,
Jurnal IAIN Syekh Nurjati Cirebon Mulyadi, Yunanto (2016)
Skripsi:

Habibi, Achmad Wildan Fahmi Ifza. “Hak Ahli Waris Yang Murtad Dalam
Pembagian Waris Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam”, Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Jember, 2014.
97

Hasyim, Abdul Wahid. “Perkawinan Beda Agama Serta Kewarisan Anak


Pandangan Sayyid Sabiq”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Hermanto, Miftahul Hakim Bagus, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Ahli Waris
Beda Agama (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
16 K/AG/2010)”, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Walisongo, (2015)
Noris, Roihan Firdaus. “Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan
Agama Jember Tentang Penetapan Status Ahli Waris Non-muslim (No.
1050/Pdt.G/2016)”, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Sunan Ampel, 2018

Soleh, Winarti. “Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non-
muslim Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam”, Skripsi Fakultas
Hukum, Universitas Pasundan, 2018.
Styawan, Sofyan Adhi. “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Harta Waris
Kepada Ahli Waris Yang Beda Agama Melaui Wasiat Wajibah”,
Skripsi Fakultas Hukum, Univeristas Muahmmadiyah Surakarta, 2016.
Susilo, Febian Hutamaswara, “Pembagian Warisan Pada Keluarga Beda Agama di
Jakarta”, Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018
Tesis:

Ardhiawan, Rian Prima. “Pengaturan Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris


Murtad Dalam Pembagian Harta Waris (Analisis Terhadap Putusan No.
368/K/AG/1995)”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Jember, 2016
Baihaqi, Muhammad. “Wasiat Wajibah pada Kasus Kewarisan Beda Agama
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 16 K/AG/2010 Perspektif
Maqasid asy-Syari’ah)”, Tesis, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga: 2017
98

Hendarsanto, Prastowo, “Studi Perbandingan Tentang Hubungan Hibah Dengan


Waris Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata”, Tesis, Universitas Diponegoro Semarang, 2006
Disertasi:
Riadi, Edi. Dinamika Putusan mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam
Bidang Perdata Islam. Disertasi Pascasarjana Universitas Islam negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Fahimah, Iim. “Praktik Kewarisan Keluarga Beda Agama Pada Masyarakat
Majemuk di Provinsi bengkulu dalam Perspektif Hukum Islam”,
Disertasi Universitas Islam Negeri Raden Intang Lampung, 2018
Website:

Hak Waris Pada Keluarga Beda Agama Masih Diperdebatkan, artikel diakses
pada 12 Mei 2019 dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol13853/hak-waris-pada-
keluarga-beda-agama-masih-diperdebatkan.
Ayu, Riana Kesuma. Penghalang Mewarisi, artikel diakses pada 20 September
2019 dari http://rianan-kesuma-ayu.com/penghalang-mewarisi

Bahtsul Masail tentang Hukum Waris Beda Agama, diakses pada tanggal 26
Agustus 2019 dari https://Islam.nu.or.id/post/read/66597/hukum-
kewarisan-beda-agama-
Fatwa Muhammadiyah tentang waris beda agama diakses pada tanggal 26
Agustus 2019 dari http://m.muhammadiyah.or.id/id/reading-350-
archiveday.html
Pwk. PP PERSIS Mesir tentang Kedudukan Waris Beda Agama, diakses pada
tanggal 26 Agustus 2019 dari
https://www.google.com/amp/s/pwkpersis.wordpress.com/2008/05/16/k
eudukan-waris-beda-agama/amp/,
LAMPIRAN

99
100

Anda mungkin juga menyukai