v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhaanahu wa Ta’ala karena berkat rahmat dan
inayah-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada
keluarganya, sahabatnya dan seluruh pengikutnya.
Kemudian rasa terimakasih dihaturkan kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan moril maupun materil sejak dari masa awal perkuliahan
hingga masa penyelesaian skripsi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Secara khusus ucapan terimakasih dihaturkan kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H, M.H, M.A., Dekan beserta Wakil
Dekan I, II dan III Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., dan Ahmad Chairul Hadi, M.A. Ketua dan
sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah memberikan semangat
dan motivasi kepada seluruh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Atep Abdurofiq, M. Si., Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan akademik semasa perkuliahan aktif di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak
memberikan kontribusi terlebih dalam hal memberikan arahan, kritik dan
saran yang bermanfaat dalam penyusunan karya ilmiah ini;
5. Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah memberikan
informasi dan bantuan dalam hal memperoleh data-data untuk kepentingan
penelitian karya ilmiah ini;
6. Terkhusus untuk kedua orang tua penulis tercinta, bapak Saepuloh dan
mamah Linda Yuliana yang telah membesarkan, merawat, mendidik,
menyemangati, memotivasi dan mendoakan kebaikan bagi penulis;
vi
7. Kepada keluarga tersayang, nenek, kakak dan adik penulis (Armas, Lita
Nurhasanah, Eva Pandini dan Alan Nuraga) yang sampai saat ini selalu
memberikan perhatian, semangat dan doa kepada penulis;
8. Kepada seluruh guru dan dosen yang telah mendidik dan mengajar sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan sampai jenjang saat ini;
9. Sahabat-sahabat Calon S.H, Winanda Fikri Panemiko, S.H., Ladina
Rosalinda, Nurmalia Ivani, Siti Muslikatun Rahmah, Kahfil Waro, Suparman,
S.H., dan Khoirunnisa Pahmiyanti, S.H., yang telah menjadi saksi dan selalu
memberikan semangat serta dukungan banyak hal selama masa perkuliahan
hingga terselesaikannya skripsi ini;
10. Sahabat-sahabat RCTS, Sri Suciati, Peni Oktavia, Mala Maulani, Sinta
Oktiana, Shifa Ainun Nafisa, Dwi Nursulistya yang telah menjadi sahabat
yang selalu menasihati dan memotivasi dari kejauhan;
11. Teman-teman Pondok Syifa 2 dan Wida Kost, Agustin Wahyuni, Dewi
Anggraeni, Nia, Defanti Putri Utami, Finza Khasif Ghifarani, Retno Paluvi,
Mitha, Meyrini dan yang lainnya yang telah menjadi teman berbagi di tanah
rantau.
12. Teman-teman Hukum Keluarga tahun angkatan 2015, terkhusus Fatma
Hidayah, Arabyatul Aidawiyah, Faiqah Azizah. Teman-teman LDK SYAHID
terkhusus LDK Fakultas Syariah dan Hukum, kemudian teman-teman KKN
kelompok 64 SEMARAK, yang telah turut mewarnai perjalanan menuntut
ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
viii
BAB IV IJTIHAD HAKIM DALAM PERKARA WARIS BEDA AGAMA DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ..................... 64
A. Pertimbangan Hukum Hakim Untuk Subjek Yang Berbeda ................... 64
B. Metode Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung Dalam
Putusan Waris Beda Agama .................................................................... 83
C. Putusan Waris Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam ............... 88
BAB V PENUTUP ............................................................................................................. 91
A. Kesimpulan.............................................................................................. 91
B. Rekomendasi ........................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 93
LAMPIRAN.......................................................................................................................... 99
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1 Judex juris adalah peradilan memeriksa perkara dalam tingkat kasasi mengenai penerapan
hukum, bukan lagi sebatas mencari fakta-fakta kejadian melaui pembuktian dari pihak penggugat
dan tergugat.
2 Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2010, h., 433.
3
6 Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2018, Era Baru Peradilan Modern
Berbasis Teknologi Informasi, h., 227.
5
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis bermaksud untuk
memunculkan beberapa permasalahan yang diidentifikasi sebagai berikut:
1. Apa saja persyaratan bagi seorang ahli waris?
2. Apa saja hal-hal yang menghalangi seseorang mendapat hak waris?
3. Bagaimana konsep kewarisan Islam terkait kewarisan beda agama?
4. Bagaimana ketentuan hukum waris beda agama di Indonesia?
5. Bagaimana bentuk pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung
dalam memutus perkara waris beda agama?
6. Mengapa dalam memutus perkara kewarisan beda agama Mahkamah
Agung menggunakan konsep wasiat wajibah?
7. Apa yang mendasari terjadinya pertentangan antara hukum Islam dan
hukum positif di Indonesia terkait kewarisan beda agama?
8. Bagaimana pola pemetaan putusan kewarisan beda agama di
Mahkamah Agung?
6
9. Apa akibat hukum yang terjadi apabila putusan kewarisan beda agama
menjadi yurisprudensi?
C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini terarah dan tidak melebar, maka penulis membatasi
permasalahan yang ada hanya kepada: pertama, hanya membandingkan
putusan kasasi dari Mahkamah Agung terkait argumentasi dan pertimbangan
hakim dalam putusan waris beda agama selama tahun 1995-2018 yang
didalamnya termasuk putusan penting (yurisprudensi); kedua, putusan yang
diteliti selama kurun tahun 1995-2018 tersebut juga hanya dibatasi kepada
subjek hukum yang berbeda, agar mendapatkan kesimpulan yang holistik;
ketiga, analisis putusan kewarisan beda agama hanya berdasarkan ketentuan
hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
D. Perumusan Masalah
Sebagaimana yang tertulis pada latar belakang masalah tersebut, maka
rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam
memutus perkara waris beda agama terhadap subjek yang berbeda?
2. Metode penemuan hukum apa yang digunakan dalam pertimbangan
hukum hakim terhadap perkara waris beda agama untuk subjek yang
berbeda?
3. Bagaimana hasil pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara
kewarisan beda agama dalam tinjauan Maqashid Asy-Syariah?
2. Manfaat Penelitian
a. Memberikan informasi kepada kalangan akademisi, praktisi,
masyarakat pada umumnya terkait pertimbangan hukum Mahkamah
Agung dalam perkara kewarisan beda agama terhadap subjek yang
berbeda.
b. Menjadikan putusan Mahkamah Agung sebagai bahan
pertimbangan bagi para akademisi, praktisi, dan tokoh masyarakat
untuk lebih mengedepankan aspek keadilan dalam melihat perkara
kewarisan beda agama.
D. Kajian Terdahulu
Studi seputar kewarisan beda agama menjadi perhatian serius di kalangan
para peneliti di tingkat nasional maupun internasional. Studi ini merupakan
studi lanjutan dari studi sebelumnya yang membahas kewarisan beda agama.
Berikut beberapa karya ilmiah dan fokus bahasan yang memiliki beberapa
keterkaitan dengan tema riset yang penulis lakukan.
Rian Prima Akhdiawan mengkaji mengenai dasar pertimbangan hukum
putusan Mahkamah Agung perkara No 368/K/AG/1995 dalam memberikan
harta terhadap anak yang murtad, kedudukan anak yang murtad dalam
pembagian harta warisan dan eksekusi putusan Mahkamah Aguang dalam
perkara No 368/K/AG/1995. Dalam temuannya ia mengatakan bahwa hakim
dengan kewenangannya dapat melakukan penafsiran hukum demi
menegakkan keadilan terhadap penerapan wasiat wajibah dengan dasar sasa
manfaat, asas hati nurani, asas keadilan.7
Selanjutnya adalah hasil penelitian dari Winarti Soleh, dalam temuannya
ia mengatakan bahwa hakim dalam memutus perkara waris beda agama
7 Pengaturan Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Murtad Dalam Pemabagian Harta Waris
(Analisis Terhadap Putusan No. 368/K/AG/1995), Tesis Fakultas Hukum Universitas Jember
(2016)
8
8 Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non-muslim Berdasarkan Kompilasi
Hukum Islam, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Pasundan (2018)
9 Hak Ahli Waris Yang Murtad Dalam Pembagian Waris Ditinjau Dari Kompilasi Hukum
Islam, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jember (2014)
9
kafir tidak mewarisi seorang yang muslim. Dengan demikian hak waris jatuh
kepada anak yang agamanya dengan orang tuanya.10
Roihan Firdaus Noris (2018), dalam penelitiannya mengatakan bahwa
hakim dalam memutus perkara waris beda agama menggunakan dasar hukum
Islam, namun penulis tidak sependapat dengan ulasan hakim karena didalam
hukum Islam disebutkan bahwa seorang non-muslim tidak berhak mendapat
warisan karena berbeda agama adalah salah satu penghalang kewarisan dalam
hukum Islam. Ulama-ulama termasyhur dari golongan sahabat, tabi’in dan
Imam-imam madzhab empat berpendapat bahwa orang Islam tidak dapat
mewarisi orang kafir dengan sebab apa saja. Dalam konteks penghalang
kewarisan karena perbedaan agama juga termasuk, maka dalam ajaran Islam
dikategorikan sebagai orang murtad. Murtad didefinisikan oleh ulama klasik
sebagai orang yang semula memeluk agama Islam kemudian keluar dari
agama Islam. Terkait dengan kewarisan status orang murtad disamakan
dengan orang kafir asli. Karena orang murtad maka tidak dapat menjadi ahli
waris bagi muwaris atau sebaliknya. Dasar hukum dalam hadist ini
mengambil dalil rujukan dari Usamah Bin zaid.11
Jurnal yang ditulis oleh Muhammad Isna Wahyudi (2015) di dalam
penelitiannya menyatakan bahwa pertimbangan hukum hakim pengadilan
agama lebih mencerminkan bias keagamaan dan inkonsistensi dalam
penggunaan logika hukum. Namun, dalam perkara waris yang terdiri dari
pewaris muslim dengan ahli waris muslim dan non-muslim, putusan atau
penetapan waris hakim pengadilan agama telah mampu mewujudkan keadilan
bagi semua pihak dengan memberi bagian harta warisan kepada ahli waris
non-muslim, meski bukan sebagai ahli waris, melalui lembaga wasiat wajibah
berdasarkan yurisprudensi. Hakim-hakim di lingkungan peradilan agama
lebih cenderung menggunakan lembaga wasiat wajibah dalam memberi
10 Perkawinan Beda Agama Serta Kewarisan Anak Pandangan Sayyid Sabiq, Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2018)
11 Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jember Tentang Penetapan
Status Ahli Waris Non-muslim (No. 1050/Pdt.G/2016), Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (2018)
10
bagian warisan kepada ahli waris non-muslim, dan tidak berusaha untuk
menyelidiki ‘illat hukum hadis yang melarang waris beda agama.12
Salma Suroyya Yuni Yanti, Mulyadi, Yunanto (2016) dalam jurnalnya
menyimpulkan bahwa menurut hukum waris barat, ahli waris beda agama
tidak menjadi penghalang untuk menjadi ahli waris sedangkan hukum waris
Islam, ahli waris beda agama menjadi penghalang untuk menjadi ahli waris.
Namun demikian, ahli waris beda agama tetap dapat menerima harta waris
dengan melaui wasiat wajibah sebagaimana dalam penetapan Pengadilan
Agama Badung No. 4/Pdt.P/2013/PA.Bdg dan hal ini sesuai Yurisprudensi
MA No 51/K/AG/1999. Akibat hukum pada penyelesaian kewarisan beda
agama dalam pelaksanaannya menimbulkan penafsiran Hakim yang berbeda
dalam mempertimbangkan hukum dalam amar putusan, serta menimbulkan
ketidakpastian hukum, baik dalam proses pelaksanaannya maupun status
hukum bagi ahli waris beda agama.13
Rizkal (2016) dalam artikel Komisi Yudisial menyatakan hasil
temuannya bahwa dalam putusan tersebut secara tidak langsung telah
membenarkan adanya hak saling mewarisi antara dua orang yang berbeda
agama melalui jalan wasiat wajibah. Pada dasarnya dalam hukum Islam telah
diberikan solusi melalui jalan wasiat, hibah, dan hadiah kepada ahli waris
non-muslim sebelum pewaris Islam meninggal, sesuai dengan Fatwa MUI.
Ahli waris non-Muslim tidak berhak mendapatkan wasiat wajibah yang
diberikan atas putusan hakim. Karena mengenai pemberian wasiat wajibah di
Indonesia hanya diperuntukkan kepada ahli anak angkat dan orangtua angkat
saja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 209 KHI.14
Zulfi Hanum dan Alfi Syahr (2016) dalam penelitiannya menyimpulkan;
bahwa wasiat wajibah telah mampu menjadi salah satu solusi dalam
12 Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama (Kajian Lima Penetapan dan Dua
Putusan Pengadilan Agama dalam Perkara Waris Beda Agama), Jurnal Pengadilan Agama
Bandung, Jurnal Yudisial Vol. 8 No. 3 Desember 2015
13 Pembagian Harta Warisan Terhadap Ahli Waris Beda Agama Serta Akibat Hukumnya,
Jurnal Volume 5, Nomor 3, Tahun, Program Studi S1 Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro
(2016)
14 Pemberian Hak Waris Dalam Hukum Islam Kepada Non-Muslim Berdasarkan Wasiat
Wajibah (Kajian Putusan No. 16/K/AG/2010)
11
15 Wasiat Wajibah Sebagai Wujud Penyelesaian Perkara Waris Beda Agama Dalam
Perkembangan Sosial Masyarakat, Jurnal IAIN Syekh Nurjati Cirebon (2016)
16 Penerapan Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non-muslim (Studi Kasus PerkaraNo. 16
K/AG/2010), Jurnal Mizani, Vol. 25 No. 2, Agustus 2015.
17 Pemberian Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Beda Agama (Kajian Perbandingan
Hukum Antara Hukum Islam dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 368/K/AG/1995), Jurnal De
Lega Lata, Volume 2, Nomor 2 (2017)
12
pengadilan agama dalam perkara waris beda agama dengan pendekatan kasus.
Putusan yang dikaji daam jurnal ini adalah Putusan Nomor
2/Pdt.G/2011/PA.Kbj, Putusan Nomor 3321/Pdt.G/2010/PA.Sby, Penetapan
Nomor 84/Pdt.P/2012/PA.JU, Penetapan Nomor 262/Pdt.P/2010/PA.Sby,
Penetapan Nomor 473/Pdt.P/2010/PA.Sby.18
Selanjutnya jurnal Mimbar Hukum Volume 22, Nomor 2 yang ditulis
oleh Destri Budi Nugraheni, Haniah Ilhami, dan Yulkarnain Harahab didalam
jurnalnya berisi analisis sifat pengaturan wasiat wajibah dalam Kompilasi
Hukum Islam dan pengaturan tersebut pada Pengadilan Agama, juga
membahas pertimbangan hakim dalam suatu perkara yang diberikan wasiat
wajibah di dalamnya.19
Pasalnya masih banyak lagi kajian terdahulu yang membahas waris bagi
ahli waris beda agama melalui wasiat wajibah akan tetapi yang akan penulis
teliti di sini adalah pola pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam
memutus perkara waris bagi ahli waris beda agama dalam beberapa putusan
yang sudah menjadi yurisprudensi dan berpotensi akan menjadi
yurisprudensi. Dalam penelitian ini, penulis mencantumkan beberapa putusan
kasasi Mahkamah Agung yang diputus mulai dari tahun 1995-2018 untuk
menggali pertimbangan hukum hakim, metode pertimbangan hukum yang
digunakan dan menganalisis hasil pertimbanagn hukum hakim terkait waris
beda agama tersebut berdasarkan maqashid asy-syariah.
Adapun metode yang digunakakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian kualitatif dengan pendekatan kasus hukum (case approach)
menggunakan beberapa pisau analisis teori, yaitu keadilan, kemaslahatan,
maqashid asy-syariah, kepastian hukum, penemuan dan pembuatan hukum.
Hal-hal demikianlah yang akan membedakan penelitian penulis dengan
penelitian sebelumnya.
18 Muhammad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama (Kajian
Lima Penetapan dan Dua Putusan Pengadilan Agama dalam Perkara Waris Beda Agama)”, Jurnal
Yudisial Vol. 8 No. 3 (Desember 2015)
19 Destri Budi Nugraheni, Haniah Ilhami, dan Yulkarnain Harahab, “Penerapan Pengaturan
dan Implementasi Wasiat Wajibah Di Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum Volume 22 Nomor 2,
(Juni 2010)
13
1. Teori Keadilan
Hans Kelsen memaparkan bahwa keadilan bermakna legalitas.
Suatu peraturan umum adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus
dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. 20
Keadilan menurut John Rawls terbagi menjadi dua prinsip:
pertama, setiap orang memiliki hak yang sama terhadap kebebasan-
kebebasan dasar yang sama secara luas yang sesuai dengan pola
kebebasan yang serupa bagi yang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial
ekonomi perlu diatur sedemikian rupa sehingga layak diharapkan dapat
memberikan keuntungan bagi setiap orang, dan ketidaksamaan sosial dan
ekonomi tersebut harus dikaitkan dengan kedudukan dan jabatan yang
terbuka bagi semua orang.21
Menurut John Rawls situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan
yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan
masyarakat paling lemah. Teori keadilan Rawlsian, tujuan utamanya
bukanlah menghapus ketidaksamaan, melainkan memastikan adanya
kesempatan yang sama, sehingga ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh
hal itu menguntungkan semua, terutama golongan yang terlemah. Hal
demikian dapat dipenuhi dengan syarat; a) situasi ketidaksamaan
menjamin maximum minimorum bagi orang yang lemah, artinya situasi
masyarakat harus sedemikian rupa, sehingga dihasilkan untung yang
paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi orang-orang yang paling
lemah. Pilihan dengan asas maximum minimorum yang digunakan orang
dalam kontrak hipotesis di mana masing-masing berada di balik “cadar
ketidaktahuan” (veil of ignorence) guna memilih prinsip keadilan, b),
20 Muhammad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Waris Beda Agama”, Jurnal
Yudisial Vol. 8 No. 3 269 - 288 (Desember, 2015), h. 274-275
21 Jonaedi Effendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, (Jakarta: Kencana,
2018), Ed.1, h., 32
14
2. Teori Kemaslahatan
Secara etimologis, arti maslahat (al-maslahah) secara etimologis
berarti kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan,
kepatutan. Kata al-maslahah dilawankan dengan kata al-mafsadah yang
artinya kerusakan.
Secara terminologis, maslahah telah diberi muatan makna oleh
beberapa ulama usul al-fiqh. Al-Ghazali (w. 505 H), misalnya,
mengatakan bahwa makna genuine dari maslahah adalah menarik/
mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/ menghindari kemudaratan
(jalb al-manfa’ah atau daf’ al-madarrah). Menurut Al-Ghazali yang
dimaksud dengan maslahah, dalam arti terminologis-syar’i adalah
memelihara dan mewujudkan tujuan syara’ yang berupa memelihara
agama, jiwa, akal budi, keturunan dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh
22 Muhammad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Waris Beda Agama”, Jurnal
Yudisial Vol. 8 No. 3 269 - 288 (Desember, 2015), h. 274-275
23 Jonaedi Effendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, (Jakarta: Kencana,
2018), Ed.1, h., 32
15
24 Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah”, Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum, h. 314
25 Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah”, Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum, h. 319
26
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2018), h. 75
16
27
Ali Mutakin, “Teori Maqashid Al Syariah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath
Hukum, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 19, No. 3, (Agustus, 2017), h. 550-551
28
Ghofar Shidiq, “Teori Maqashid al-Syariah dalam Hukum Islam”, Jurnal Sultan Agung
Vol. XLIV. No. 118 (Juni-Agustus 2009), h. 118-119
17
29
Thohir Luth, Syari’at Islam Mengapa Takut,(T.tp: Universitas Brawijaya Press, 2011), h.
11-14
30 H.L.A Hart, The Concept Of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997)
diterejemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum, (bandung: Nusamedia, 2010) h., 230.
31 H. Salim. Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2010), h. 24.
18
konssitensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dan
putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.32
Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan secara tegas bagi setiap peristiwa konkret dan tidak boleh ada
penyimpangan (flat justitia et pereat mundus). 33
32 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Edisi Revisi), (Jakarta: Kencana, 2008),
Cet-10, 2017, h., 137.
33 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, h. 58
34 Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), h.,
182
35Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, h. 58
36
Dr. M. Fauzan S.H., M.H, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum
Perdata, (Jakarta: Kencana, 2014), h., 51
19
37
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h.36-41.
38
Dr. M. Fauzan S.H., M.H, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum
Perdata, (Jakarta: Kencana, 2014), h., 59
21
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kasus (case
approach) yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
putusan hukum kemudian menganalisisnya dengan bantuan peraturan
perundang-undangan, doktrin dan bahan pustaka lainnya sebagai alat bantu
untuk menelusuri permasalahan yang diteliti.41
39
Dr. M. Fauzan S.H., M.H, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum
Perdata, (Jakarta: Kencana, 2014), h., 59
40 Syarif Mappiase, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Kencana, 2015),
h., 145
41 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), (Jakarta: Rajawali, 2001), h. 13-14
23
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian normatif-
yuridis. Jenis penelitian ini dimaksudkan untuk mengimplementasikan
ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya pada setiap
peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masayarakat.
3. Data Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan data penelitian yang
bersumber dari data primer dan sekunder sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer dalam penelitian ini adalah data yang langsung
dikumpulkan peneliti yang sumbernya adalah objek penelitian. Yaitu
berupa putusan-putusan Mahkamah Agung dari tahun 1995 s/d 2018
dengan Nomor perkara sebagai berikut; a) 368/K/AG/1995; b)
51/K/AG/1999; c) 6/K/AG/2010; d) 218/K/AG/2016; e)
331/K/AG/2018.
b. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-
undangan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), landmark decision laporan
tahunan Mahkamah Agung, dan bahan-bahan literatur seperti buku,
jurnal, artikel, hasil penelitian (skripsi, tesis, disertasi), ataupun surat
kabar yang berkaitan dengan ketentuan hukum waris beda agama.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian ini merujuk pada Buku Pedoman Penelitian
Skripsi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Syariah dan Hukum. Untuk mengetahui gambaran keseluruhan isi penelitian
dalam penelitian ini, penyusun menguraikan secara singkat sebagai berikut:
Bab pertama, berisi gambaran umum yang mengantarkan kepada
pemahaman isu hukum yang akan diteliti. Yaitu perkara kewarisan beda
agama di Mahkamah Agung dari tahun 1995-2018. Pada bab ini juga
dijelaskan mengenai objek atau fokus penelitian, pembatasan masalah,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti, review studi terdahulu yang berfungsi untuk menemukan
celah penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan, serta
sistematika penulisan yang menggambarkan isi dari penelitian ini.
25
26
27
َّ َ َ َۡ ۡ ۡ َ َ َۡ ۡ
ٞ ون ِ َول ِّلن َِّسآءِِّنَص َ َ ۡ َ َ َ َّ ِّ يب ٞ ل ِّلر َجا ِل ِنَص
ِون ِم َِّّماِقل ِم ِّۡن ُه ِِّ يب ِم َِّّماِت َر َك ِٱل َو َٰ ِّ َِل
ِ ان ِ َِوٱۡلق َر ُب ِّ ِ انِِ َوِٱۡلق َر ُب
ِّ ِمِماِترك ِٱلو َٰ ِِّل ِّ ِّ ِّ
ٗ ۡ َّ ٗ َ َ ُ َ ۡ َ
٧ِاِمف ُروضا أوِكثَِۚن ِّصيب
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-Nisa [4]: 7)
ٗ َّ ٗ ۡ َ ۡ ُ َ ْ ُ ُ َ ُ ۡ ُ ُ ُ ۡ َ ُ َٰ َ َ ۡ َ َ َٰ َ َ ۡ َ َٰ َ ۡ ُ ۡ ْ ُ ْ ُ َ َ ۡ ۡ َ َ َ َ
٨ِِم ۡع ُروفا ِّيِ ِفٱرزقوهمِمِّنهِوقولواِلهمِقوٗل َِٰ بِ ِوٱۡلت
ِ مِوِٱلمسك ِ ِإَوذاِحَضِٱلقِّسم ِةِأولواِٱلقر
5 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), Cet. 1, h. 14
28
Artinya: “dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim
dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik.” (QS.An-Nisa [4]: 8)
ْ يل بْ ُن ُم ْسلٍِم
َ اْلَْوََلِِنُّ َِْس ْع ُ ب ََ ا ب َُم َام ِ ٍ
ُ يل بْ ُن َعيَّاش َحدَّثَنَا ُشَر ْحب
ِ ِ ٍ ِ
ُ َحدَّثَنَا ه َش ُام بْ ُن َع َّمار َحدَّثَنَا إ ْْسَع
َّ ول ِِف ُخطْبَتِ ِه َع َام ِح َّج ِ الْ َوَد ِاع إِ َّن
اَّللَ قَ ْد ُ اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم يَ ُق
َّ صلَّى َِّ ول ُ اهلِ َّي يَ ُق
َ ول َِْس ْع ُ َر ُس ِ الْب
َ اَّلل َ
ٍبَعطَى ُك َّل ِذي ح ٍق حقَّه فَ ََل و ِصيَّ َ لِوا ِرث
َ َ ُ َ َ ْ
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin 'Ammar]; telah
menceritakan kepada kami [Isma'il bin 'Ayyasy]; telah menceritakan
kepada kami [Syurahbil bin Muslim Al Khaulani], aku mendengar [Abu
Umamah Al Bahili], ia berkata; "Aku mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda pada saat khutbah haji wada':
“Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta'ala telah memberi masing-
29
masing orang haknya, maka tidak ada harta wasiat bagi ahli waris.”
(HR. Ibnu Majah).6
2. Penghalang Kewarisan dalam Islam
Hak waris seseorang tidaklah muncul tiba-tiba, tetapi keberadaannya
didasari oleh sebab-sebab tertentu yang berfungsi mengalihkan daripada hak-
hak yang telah meninggal dunia.7 Adapun yang dimaksud dengan sebab-
sebab tertentu adalah mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum menjadi
ahli waris.8
Sehingga adanya hubungan kewarisan itu belum menjamin secara pasti
hak kewarisan. Sebab disamping adanya sebab serta terpenuhinya syarat dan
rukun, keberadaan hukum tersebut masih tergantung kepada hal lain, yaitu
bebas dari segala penghalang dan dalam hubungannya kepada pewaris tidak
ada kerabat yang lebih utama daripadanya.9
Adapun hal-hal yang dapat menghalangi ahli waris untuk mendapatkan
bagiannya dalam istilah hukum Islam dinamakan al-Maani’. Secara bahasa
Al-Maani’ berarti penghalang. Sedang menurut istilah, adalah sesuatu yang
menyebabkan status seseorang akan suatu makna (alasan) dalam dirinya
menjadi tidak ada, setelah adanya penyebab ketiadaan itu. Dengan demikian,
yang dimaksud dengan al-Maani’ (penghalang) adalah tindakan atau hal-hal
yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena adanya
sebab atau syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat
menerima hak waris.10
6 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2734, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 299.
7 Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011),
Cet.1, h. 18
8 Muhammad Ali Ash-Shobuny, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995, Cet. Pertama), h. 39
9 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2015), Edisi Kedua- Cet. 5, h.
200
10 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesiam (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 75
30
11 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2015), Edisi Kedua- Cet. 5, h.
200
12 Muhammad Muhyiddin Abdul Hamidi, Ahkam al-Mawaris fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah ‘ala
Madzahib Al-Ar-Arba’ah, terj. Wahyudi Abdurrahim, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar), h. 46
31
13 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2729, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 298.
14 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2731, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 298.
15 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), Cet. 1, h. 47-48
32
2) Budak (Ar-Riq)
Ar-Riq menurut bahasa berarti ‘pengabdian’. Sedangkan, menurut
istilah adalah ketidakmampuan secara hukum yang menetap pada diri
manusia. Seorang budak tidak bisa mewarisi siapa pun dan tidak bisa
diwarisi. Hal itu dikarenakan status budak menghilangkan hak
kepemilikan. Karena, status budak menyebabkan dia menjadi harta yang
dimiliki oleh tuannya, dan dia tidak memiliki harta. Dengan
pertimbangan bahwa ‘status dimiliki’ itu muncul karena kelemahan dan
ketidakmampuan. Sedang ‘status memiliki’ muncul karena kemampuan
dan kemuliaan. Oleh karena itu, keduanya bertentangan. Semua harta
yang ada di tangannya adalah milik tuannya. Kalau kita memberinya
warisan maka kepemilikan itu menjadi milik tuannya. Dengan demikian,
16 Komari dkk, Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Waris, (Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2011), h. 114
17 Riana Kesuma Ayu, Penghalang Mewarisi, artikel diakses pada 20 September 2019 dari
http://rianan-kesuma-ayu.com/penghalang-mewarisi.
18 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), Cet. 1, h. 48-49.
33
hal itu berarti memberikan warisan kepada orang asing tanpa sebab dan
ini batal menurut ijmak ulama.19
3) Membunuh (Pembunuhan)
Bahwasanya para fuqaha telah bersepakat, membunuh adalah
penghalang warisan. Orang yang membunuh tidak mewarisi orang yang
dibunuh. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.
اب َع ْن ُُحَْي ِد بْ ِن َعْب ِدٍ ث بْن س ْع ٍد َعن إِ ْسح َق بْ ِن بَِِب فَروةَ َعن ابْ ِن ِشه
َ ْ َْ َ ْ َ ُ ُ َحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُرْم ٍح بَنْبَأ َََن اللَّْي
َِّ ول ٍ
ثُ ال الْ َقاتِ ُل ََل يَِر
َ َاَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم بَنَّهُ ق
َّ صلَّى
َ اَّلل
ِ ف َعن بَِِب هري رةَ َعن رس
ُ َ ْ َ ْ َ ُ ْ الر ُْحَ ِن بْ ِن َع ْو َّ
Artinya : Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Rumh],
telah memberitakan kepada kami [Al Laits bin Sa'ad] dari [Ishaq bin
Abu Farwah] dari [Ibnu Syihab] dari [Humaid bin Abdurrahman bin
'Auf] dari [Abu Hurairah], dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: "Seorang pembunuh tidak mewarisi." (HR. Ibnu
Majah)20
Mengingat banyaknya bentuk tindakan pembunuhan, para Fuqaha
berbeda pendapat tentang jenis pembunuhan mana yang menjadi
mawani’ul irsi (penghalang mewarisi). Fuqaha aliran Syafiiyah dengan
berpegang pada keumuman hadis di atas berpendapat bahwa segala
bentuk tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap
pewarisnya, adalah menjadi penghalang baginya untuk mewarisi.
Sedangkan menurut fuqaha aliran Hanafiyah jenis pembunuhan yang
menjadi mawani’ul irsi (penghalang mewarisi) ada empat macam, yaitu:
a) Pembunuhan dengan sengaja, yaitu pembunuhan yang direncanakan
sebelumnya.
b) Pembunuhan mirip sengaja (syibhul ‘amdi) misalnya sengaja
melakukan penganiayaan dengan pukulan tanpa niat membunuhnya,
tetapi terrnyata yang dipukul meninggal dunia.
19 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.
Jakarta: Gema Insani, 2011, Cet. 1- jilid 10, h. 354
20 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2735, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 299
34
21 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Positif di
Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011), Cet. Kedua, h. 77
35
perbedaan, bahwa orang murtad itu laki-laki atau perempuan. dia tidak
bisa mewarisi yang lain sama sekali. Tidak pula dari orang Muslim
atau orang kafir. Sebab, orang murtad itu menjadi tidak punyai hak
muwalah (saling melindungi) antara dirinya dan orang lain. Islam
tidak mengakui kemurtadannya. Hukumannya dalam Islam hanya
dibunuh. Namun, orang murtad perempuan tiak dibunuh menurut
Hanafiyyah. Sebab, Rasulullah saw. melarang membunuh perempuan.
Dia ditahan sampai masuk Islam lagi atau meninggal. Hanabilah
mengecualikan, jika orang yang murtad kembali Islam sebelum
pembagian warisan maka dia mendapatkan bagian.22
Berikut ini adalah perbedaan mengenai warisan orang murtad:23
a) Abu Hanifah mengatakan, ahli waris Muslim mewarisi laki-laki
murtad, apa yang diperoleh pada saat dia masih Islam. Adapun yang
diperoleh pada saat murtad maka menjadi fai’ Baitul mal. Perempuan
murtad semua peninggalannya untuk ahli waris yang Muslim.
b) Dua murid Abu Hanifah, (Imam Muhammad dan Imam Abu Yusuf)
tidak membedakan antara laki-laki murtad dan perempuan murtad.
Keduanya mengatakan bahwa semua peninggalannya pada saat Islam
dan murtad menjadi hak ahli waris mereka yang muslim. Sebab,
orang murtad tidak diakui keyakinannya, tetapi dipaksa untuk
kembali kepada Islam. Hukum Islam menganggap hak ornag murtad
itu bukan apa yang dimanfaatkan olehnya, tetapi apa yang
dimanfaatkan oleh ahli warisnya.
c) Mayoritas Jumhur Ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabillah)
mengatakan bahwa orang murtad tidak mewarisi juga tidak diwarisi
sebagaimana kafir asli. Hartanya menjadi fai’ (rampasan) untuk
Baitul mal, baik dia memperolehnya pada saat Islam atau pada saat
murtad. Sebab, dengan kemurtadannya dia menjadi musuh umat
Islam. Status hartanya seperti status harta kafir harbi. Ini jika dia
2) Perbedaan Negara
Yang dimaksud dengan negara adalah negara yang mempunyai
pertahanan khusus dan kekuasaan tersendiri. Yang dimaksud dengan
perbedaan dua negara adalah masing-masing orang yang mewarisi dan
orang yang diwarisi mengikuti satu negara yang berbeda satu dengan
lainnya dalam hal pertahanan (kekuatan atau tentara) dan kerajaan
(kekuasaan), sementara antara satu dengan lainnya terputus
perlindungan (tidak bisa saling melindungi), seperti salah seorang dari
mereka dari India sedang yang lain dari Swedia.25
Apabila dua orang kafir harbi jika ada di dua negara Darul Harb
dengan kesamaan kewarganegaraan maka perbedaan di negara itu
adalah hakiki dan bukan penghalang warisan. Jika dia ada di negara
kita maka perbedaan itu hukmi dan mengahangi warisan. Oleh karena
itu, keduanya tidak bisa saling mewaris di Darul Islam jika keduanya
dzimmi.
Perbedaan negara menurut Syafi’iyah bukanlah mereka
termasuk penghalang warisan, namun mereka mengatakan tidak ada
saling mewarisi antara kafir harbi dan kafir mu’ahad. Dan ini
mencakup kafir dzimmi dan kafir musta’man, karena terputusnya
ِ ْ اْلُس ِ ِ ُّ اح قَ َاَل َحدَّثَنَا ُسْيَا ُن بْ ُن ُعيَ ْي نَ َ َع ْن َّ َحدَّثَنَا ِه َش ُام بْ ُن َع َّما ٍر َوُُمَ َّم ُد بْ ُن
ْي َع ْن َ ْ الُّْهر ِي َع ْن َعل ِي بْ ِن ِ َّالصب
ث الْ ُم ْسلِ ُم الْ َكافَِر َوََل َ َاَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق
ُ ال ََل يَِر َّ صلَّى
َ َّبِ ُِس َام َ بْ ِن َزيْ ٍد َرفَ َعهُ إِ ََل الن
َ َع ْم ِرو بْ ِن عُثْ َما َن َع ْن ب
الْ َكافُِر الْ ُم ْسلِ َم
Artinya : Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin 'Amar] dan
[Muhammad bin Ash Shabah], keduanya berkata; telah menceritakan kepada
kami [Sufyan bin Uyainah] dari [Az Zuhri] dari [Ali bin Al Husain] dari
['Amru bin 'Utsman] dari [Usamah bin Zaid], ia berkata; -secara marfu-
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang muslim tidak
berhak memberikan harta warisannya kepada orang kafir, demikian pula
seorang kafir tidak diperkenankan memberikan harta warisannya kepada
seorang muslim."28
a. Jumhur Ulama
Menurut kebanyakan Ulama, seluruh agama atau kepercayaan selain
Islam itu dianggap satu. Dengan pendapat ini, maka orang orang kafir satu
sama lain dapat saling mewarisi, baik satu agama maupun tidak karena
seluruh agama selain Islam pada dasarnya dalam kesesatan, dan agama-
agama tersebut bagaikan satu agama Allah swt. berfirman,
ُ َ َّ َّ َ ۡ َ ۡ َ َ َ َ
ِ َٰ قِإِّٗلِٱلضل
٣٢ِ…ِل ِِّ …ِفماذاِبعدِٱۡل
b. Ulama Hanabillah
Menurut kalangan HanHabillah, orang kafir mempunyai agama yang
beraneka ragam, maka pemeluk suatu agama (selain Islam) tidak dapat
mewarisi dari pemeluk agama yang berbeda. Ulama yang memegang
pendapat ini, termasuk kalangan Malikiyyah, bersandar pada sabda Nabi
Saw,
ب َع ْن بَبِ ِيه َع ْن
ٍ َخبَرُُ َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ُش َعْي
َ ْ اح ب َ ََُِّحدَّثَنَا ُُمَ َّم ُد بْ ُن ُرْم ٍح بَنْبَأ َََن ابْ ُن ََلِ َيع َ َع ْن َخالِ ِد بْ ِن ي
َّ يد ب ََّن الْ ُمثَ ََّّن بْ َن
ِ َّالصب
ِ ْ َث ب َْهل ِملَّت
ْي َ َاَّللُ َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم ق
َّ صلَّى َِّ ول َ َج ِدُِ ب ََّن َر ُس
ُ ُ ال ََل يَتَ َو َار َ اَّلل
29 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), Cet. 1, h. 51
30 Edi Riadi, “Dinamika Putusan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Bidang
Perkara Perdata Islam”, Disertasi, (Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011) h. 283-284
39
c. Ulama Malikiyyah
Menurut kalangan Malikiyyah, golongan lain yang tidak beragama
Isam terbagi menjadi tiga, yaitu Yahudi, Nasrani dan agama-agama yang
lainnya, yang dianggap satu agama. Hal tersebut ditetapkan karena
mereka tidak mempunyai satu kata untuk mereka sendiri. Dengan
demikian, orang yang beragama Yahudi tidak dapat mewarisi dari orang
yang beragama Nasrani, dan salah satu dari mereka tidak mewarisi dari
orang yang beragama Majusi dan Watsniy.
Dari beberapa pendapat di atas, yang paling kuat pendapatnya
dalam masalah pembagian waris beda agama adalah pendapat Jumhur
Ulama. Dalam pendapatnya, mereka mengatakan bahwa orang-orang
yang bukan muslim dapat mewarisi satu sama lain, baik mereka berada
dalam satu agama maupun tidak.
Dalil hadits yang digunakan oleh penentang pendapat Jumhur
Ulama, menyatakan bahwa maksud dari hadits,
31 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2731, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 298.
40
ْي َع ْن َع ْم ِرو بْ ِن ِ ْ الُّْه ِر ِي َع ْن َعلِ ِي بْ ِن ا ْْلُسُّ اح قَ َاَل َحدَّثَنَا ُسْيَا ُن بْ ُن ُعيَ ْي نَ َ َع ْن َّ َحدَّثَنَا ِه َش ُام بْ ُن َع َّما ٍر َوُُمَ َّم ُد بْ ُن
ِ َّالصب
َ
ث الْ ُم ْسلِ ُم الْ َكافَِر َوََل الْ َكافُِر الْ ُم ْسلِ َم
ُ ال ََل يَِرَ َاَّللُ َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم ق
َّ صلَّى ِ ُِس َام َ بْ ِن َزيْ ٍد َرفَ َعهُ إِ ََل الن
َ َّب َ عُثْ َما َن َع ْن ب
Artinya : Telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin 'Amar] dan
[Muhammad bin Ash Shabah], keduanya berkata; telah menceritakan
kepada kami [Sufyan bin Uyainah] dari [Az Zuhri] dari [Ali bin Al
Husain] dari ['Amru bin 'Utsman] dari [Usamah bin Zaid], ia berkata; -
secara marfu- Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Seorang muslim tidak berhak memberikan harta warisannya kepada
orang kafir, demikian pula seorang kafir tidak diperkenankan
memberikan harta warisannya kepada seorang muslim.".33
Kesimpulan dari hal-hal tersebut adalah agama yang berlainan
merupakan salah satu penghalang mewarisi bagi kedua belah pihak.34
32 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2731, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 298.
33 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2729, (Libanon : Bait al-Afkar
Dauliyyah, 2004), h. 298.
34 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar Mesir, Hukum Waris, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004), Cet. 1, h. 51
35 Suryati, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Andi, 2017) h., 88
36 Setiawan Wicaksono, “Hak Waris Dalam Perkawinan Campuran”, Jurnal Yurispruden, Vol. 2,
No. 1, (Januari 2019), h., 32
41
Menurut staatsblad 1925 nomor 415 jo 447 yang telah diubah ditambah
dan sebagainya terakhir dengan staatsblad 1929 nomor. 221 Pasal 131 jo
Pasal 163, hukum kewarisan yang diatur dalam KUHper tersebut
diberlakukan bagi orang-orang eropa tersebut. Dengan staatsblad 1917 nomor
129 jo staatsblad 1017 nomor 12, tentang penundukan diri terhadap Hukum
Eropa, maka bagi orang-orang Indonesia dimungkinkan pula menggunakan
hukum kewarisan yang tertuang dalam KUHPer. Dengan demikian maka
KUHPer (BW) diberlakukan kepada:
a. Orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa
misalnya: Inggris, Jerman, Perancis, Amerika dan termasuk orang-orang
Jepang,
b. Orang-orang Timur Asing Tionghoa, dan
c. Orang-orang Timur Asing lainnya dan orang-orang pribumi
menundukkan diri.
Menurut KUHPer ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu: a) ahli
waris menurut ketentuan undang-undang, b) karena ditunjuk dalam surat
wasiat (testament). Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut undang-
undang atau “abintestate”, sedangkan cara yang kedua dinamakan
“testamentair“.37
Adapun ahli waris yang tidak patut dan bertentangan dengan Undang-
undang, telah disebutkan dalam pasal 838 KUHPer, yaitu :
a. Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah
membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal.
b. Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara
fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap si meninggal. Yaitu suatu
pengaduan telah melakukan suatu tindak kejahatan yang terancam
dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih
berat.
37 Fabian Hutamaswara Susilo, “Pembagian Warisan Pada Keluarga Beda Agama di Jakarta”,
Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018, h., 17.
42
2. Undang-Undang Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan tidak membahas secara rinci tentang
kewarisan beda agama, tetapi ada beberapa pasal yang dapat merujuk kepada
permasalahan kewarisan beda agama, antara lain ketentuan perkawinan beda
agama, harta besama dan harta waris anak luar nikah.
Hukum Perkawinan Indonesia melarang terjadinya perkawinan beda
agama. Hal ini diatu dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Kemudian ditegaskan pula
dalam Pasal 8 huruf (f) UU No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa
perkawinan dilarang antara dua orang yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku dilarang kawin.38
Adapun perkara harta bersama sesuai Pasal 36 Undang-undang No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, suami atau isteri tidak dapat bertindak untuk
menggunakan harta bersama itu tanpa persetujuan pihak lain. Misalnya, bagi
pasangan berbeda agama yang salah satu pihak beragama Islam. Masalah bisa
timbul terkait kewajiban agama yang hendak dijalankannya, misalnya ketika
hendak membayarkan zakat, bagaimana perhitungan nisabnya, apakah
pasangannya yang berbeda agama akan serta merta menyetujuinya, karena
bagi yang beragama non-muslim tidak ada kewajiban membayarkan zakat.
Apabila perkawinan putus atau berakhir dengan perceraian maka harta
bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sesuai aturan Pasal 3
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam penjelasan
Pasal 37 menyebutkan : "Yang dimaksud hukum masing-masing ialah hukum
agama, hukum adat dan hukum Iainnya". Bagi yang beragama Islam,
38 Wahyu Kuncoro, Waris: Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), h., 38
43
42 Sugiri Permana, Dasar Penetapan Kewarisan Pengadilan Agama (Studi Atas Penetapan-
Penetapan Waris Pada Pengadilan Agama Bogor, Cianjur dan Cikarang Jawa Barat Pada Tahun
2006-2010), (Jakarta: Pustikom Jakarta, 2014), Cet. 1, h. 65
43 Kementrian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), h. 265
44 Amirullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1996), h. 1
45
Dalam fatwa ini tidak dinyatakan secara tegas apakah kewarisan beda
agama haram. Fatwa ini hanya menggunakan kata “tidak memberikan hak”
yang mana menurut Rumadi Ahmad sebagai kata ganti “haram”, mengingat
dalil yang digunakan. Meskipun demikian, walaupun meniadakan kewarisan
beda agama, MUI memberi peluang bagi si pewaris untuk memberikan harta
kepada ahli waris yang berbeda agama dalam bentuk hibah, wasiat, dan
hadiah.50
3. Muhammadiyah
Organisasi Masyarakat Muhammadiyah melalui Lembaga Tarjih
mengeluarkan sebuah pendapat bahwasanya bagi ahli waris yang berbeda
agama dengan pewaris dapat tetap menyalurkan harta warisnya melalui
hibah atau wasiat.52
50 Rumadi Ahmad, Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2016), h., 228
51 https://Islam.nu.or.id/post/read/66597/hukum-kewarisan-beda-agama- (diakses pada tanggal 26
Agustus 2019, pukul 20:20)
52 http://m.muhammadiyah.or.id/id/reading-350-archiveday.html (diakses pada tanggal 26
Agustus 2019, pukul 20:33)
53 https://www.google.com/amp/s/pwkpersis.wordpress.com/2008/05/16/keudukan-waris-beda-
agama/amp/ (diakses pada tanggal 26 Agustus 2019, pukul 20.45)
47
D. Wasiat Wajibah
Istilah wasiat wajibah tidak ditemukan dalam kitab fikih klasik, hanya
ditemukan pada kitab-kitab fikih kontemporer, terutama setelah diundangkan
wasiat wajibah di Mesir dan negara-negara yang menerapkannya, termasuk
Indonesia setelah ada Kompilasi Hukum Islam pada tahun 1991 melaului
Intruksi Presiden. Artinya wasiat wajibah tidak boleh diarikan secara harfiah
bahwa wasiat itu hukumnya wajib sebagaimana dipahami dari petunjuk kata
“kutiba” pada QS. Al-Baqarah (2): 180, walaupun akhirnya ayat ini dijadikan
dasar berlakunya hukum tentang wasiat wajibah.54
Menurut Ahmad Rafiq, wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan
penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi
putusan wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan
kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula. Dalam versi lain
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis mengemukakan bahwa wasiat
wajibah adalah wasiat yang dipandang sebagai telah dilakukan oleh seseorang
yang akan meninggal dunia, walaupun sebenarnya ia tidak meninggalkan
wasiat itu.55 Sedangkan menurut Bismar Siregar, wasiat wajibah adalah suatu
wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak
memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu
halangan syara. Eman Suparman juga memberikan komentar, bahwasanya
wasiat wajibah adalah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi
atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal
dunia.56
Keberadaan wasiat wajibah dalam sistem hukum keluarga Islam
terutama bila dihubungkan dengan hukum kewarisan memiliki kedudukan
sangat penting terutama dalam menjaga dan menjamin kesejahteraan keluarga
54 Kamarudin, “Penerapan Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non-muslim (Studi Kasus
PerkaraNo. 16 K/AG/2010)”, Jurnal Mizani, Vol. 25 No. 2, (Agustus 2015). h. 8
55 Miftahul Hakim Bagus Hermanto, “Tinjauan Hukum Islam Tentang Ahli Waris Beda Agama
(Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 16 K/AG/2010)”, Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum, UIN Walisongo, (2015). h. 37
56 Syafi’i, ”Wasiat Wajibah dalam Kewarisan Islam di Indonesia”, Jurnal Misykat, Vol. 02, No.
02, (Desember 2017), h. 124
48
49
50
seluas 322 m2 dengan sertifikat No. 986, tanah seluas 416 m2 dengan
sertifikat No. 153, dan sebuah bangunan rumah permanen yang berdiri si
atas tanah setifikat No. 986 dan No. 153 tersebut di atas.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka penggugat dengan surat gugatannya
tanggal 1 September 1993 yang kemudian didaftarkan pada kepaniteraan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan Nomor 377/Pdt.G/1993/PA.JP.
Gugatan tersebut dilakukan karena telah gagalnya pembagian harta waris
dengan jalan musyawarah pada keluarga tersebut, sehingga gugatan
ditujukan untuk menetapkan ahli waris dan bagiannya oleh Pengadilan
Agama.
Turut tergugat II/ Pembanding mengajukan permohonan banding atas
putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tanggal 9 Desember 1993 M.
Ketidakpuasan turut penggugat/ turut tergugat/ tergugat I/ terbanding
terhadap putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, maka pada tanggal 26
Mei 1995 mengajukan permohonan untuk pemeriksaan Kasasi secara lisan
pada tanggal 29 Mei 1995 sebagaimana ternyata dari Surat Keterangan No.
377/Pdt.G/1993/PA.JP. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama
Jakarta Pusat, permohonan yang berisi memori kasasi yang memuat alasan-
alasannya yang diterima kepaniteraan Pengadilan Agama tersebut pada
tanggal 7 Juni 1995. Kemudian setelah itu, pada tanggal 11 Agustus 1995
telah diberiatahukan memori Kasasi oleh turut tergugat II/pembanding. Dari
penggugat, tergugat-tergugat, turut tergugat I/ terbanding, diajukan jawaban
memori kasasi yang diterima dikepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta
Pusat pada tanggal 23 Agustus 1995.
Dalam putusan Kasasi, hakim Agung menyatakan pertimbangannnya
bahwa keberatan-keberatan yang diajukan dalam memori Kasasi tidak dapat
dibenarkan karena Pengadilan Agama Jakarta tidak salah menerapkan
hukum, lagipula hal ini mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat Kasasi hanya berkenaan
dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan atau
51
b. Sri Haryanti binti Setjono Hindro (Tergugat II) sebagai ahli waris
pengganti dari saudara kandung laki-laki,
e. Sri Hendriyanti binti Setjono Hindro (Tergugat VI) sebagai ahli waris
pengganti dari saudara kandung laki-laki,
m. Bernadeta Harini Tri Prasasti bin Ny. Hendri Triwirjo (Tergugat XII),
binti Renreng, Ir. Muhammad Arsal bin Renreng (para Penggugat/ para
Terbanding/ para Termohon Kasasi).
Perkara ini diawali ketika suami yang beragama Islam meninggal
dunia dan meninggalkan satu orang isteri beragama non-muslim, ibu
kandung dan saudara-saudara kandung, serta harta warisan terdiri dari harta
bergerak dan harta tidak bergerak. Harta-harta warisan almarhum tersebut
dikuasai oleh tergugat. Pihak penggugat sudah berusaha dan memohon
kepada Tergugat agar membagi harta tersebut, akan tetapi Tergugat tidak
menyetujuinya bahkan berupaya untuk memiliki semua harta warisan secara
melawan hukum.
Untuk menyelesaikan sengketa waris antara isteri/menantu dengan ibu
kandung dan saudara-saudara kandung ini, Penggugat pada tanggal 31 Juli
2008 mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Makassar untuk
menetapkan ahli waris dan pembagiannya dari harta warisan almarhum
tersebut, dengan putusan mengabulkan untuk menetapkan ahli waris dan
pembagiannya, sedangkan Tergugat tidak mendapatkan waris karena non-
muslim.
Tergugat yang merasa tidak puas, akhirnya mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Di tingkat banding putusan Pengadilan
Agama Makassar dikuatkan. Dengan putusan tersebut Tergugat masih
merasa tidak puas karena tidak mendapatkan warisan dari suaminya,
sehingga Tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Terhadap permohonan kasasi yang diajukan oleh tergugat, hakim
membuat sebuah pertimbangan yang didalamnya mengatakan bahwa
perkawinan Pewaris dengan Pemohon Kasasi sudah cukup lama yaitu 18
tahun berarti cukup lama pula Pemohon Kasasi mengabdikan diri pada
pewaris.6 Oleh karena itu Pemohon kasasi non-musim layak dan adil
memperoleh hak-haknya selaku isteri untuk mendapat bagian dari harta
peninggalan melalui bagian harta bersama (1/2) dan wasiat wajibah sebesar
15/60 (1/4)7, seperti yang terdapat dalam putusan Mahkamah Agung sebagai
berikut:
“menyatakan bahwa Tergugat berhak mendapat 1/2 bagian dari harta
bersama tersebut di atas dan 1/4 bagian lainnya adalah merupakan harta
warisan yang menjadi hak atau bagian ahli waris almarhum Ir. Muhammad
Armaya bin Renreng, dengan rincian bagian masing-masing sebagai
berikut dengan pokok masalah 60 bagian;
1) Halimah Daeng Baji (ibu kandung) mendapat 10/60 bagian;
2) Evie Lany Mosinta (isteri) wasiat wajibah mendapat 15/60 bagian;
3) Dra. Hj. Munihati binti Renreng, M.Kes. (saudara perempuan)
mendapat 7/60 bagian;
4) Dra. Hj. Mulyahati binti Renreng, M.Si. (saudara perempuan)
mendapat 6/70 bagian;
5) Djelitahati binti Renreng, SST. (saudara perempuan) mendapat 7/60
bagian;
6) Ir. Muhammad Arsal bin Renreng (saudara laki-laki) mendapat 14/60
bagian;”8
Telah disebutkan sebelumnya di dalam putusan tersebut, bahwasanya
hakim membuat pertimbangan sebagaimana yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor 368K/AG/1995, Yurisprudensi Nomor
51K/AG/1999, KHI9 dan sesuai rasa keadilan. Selain itu, Hakim Agung
mempertimbangkan bahwa persoalan kedudukan ahli waris non-muslim
sudah banyak dikaji oleh kalangan ulama diantaranya ulama Yusuf Al-
Qardhawi, menafsirkan bahwa orang-orang non-muslim yang hidup
berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan kafir harbi.
Demikian halnya Pemohon Kasasi yang telah bersama pewaris semasa
hidup bergaul secara rukun damai meskipun berbeda keyakinan, karena itu
patut dan layak Pemohon Kasasi memperoleh bagian dari hara peninggalan
pewaris melalui wasiat wajibah.10
Oleh sebab itu, hakim berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas
mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi dan membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Agama Makasar Nomor 59/Pdt.G/PTA.Mks.
pada tanggal 15 Juli 2009 M. Bertetpatan dengan tanggal 22 Rajab 1430 H,
yang menguatkan putusan Pengadilan Agama Makasar Nomor
732/Pdt.G.2008/PA.Mks, tanggal 2 Maret 2009 M. Bertepatan dengan
tanggal 5 Rabiul Awal 1430 H.11
D. Waris Pengganti Beda Agama (Istri dan Anak Kandung) Saudara Seayah
Non-Muslim
Para pihak yang bersengketa dalam perkara ini adalah Dwi Lestari
binti Hadi Sardjono (Tergugat III/ Terbanding I/ Pembanding II/ Pemohon
Kasasi ) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Antonius Budi
Hartono, S.H. dan kawan-kawan untuk menjalani proses hukum di
Pengadilan. Selanjutnya Soeparno binti Martowirono, Maryati binti
Martowirono, Siti Aminah binti Martowirono, Saban bin Martowirono
(Penggugat/ Para Pembanding I/ Para Terbanding II/ Termohon Kasasi)
yang dalam hal ini keempatnya memberikan kuasa kepada Yusuf Akbar
Siregar, S.H. untuk menjalani proses hukum di Pengadilan. Kemudian,
selain para pihak yang telah disebutkan ada juga Samnah binti Abdullah,
Gregorius Priantono bin Hadi Sardjono, Badan Pertanahan Nasional Pusat
Jakarta Cq. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Cq. Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta (Tergugat I,
II, IV/ para Terbanding II/ para Turut Terbanding II/ para Turut Termohon
Kasasi).
12
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 218 K/AG/2016, h. 22
13
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 218 K/AG/2016, h. 13
62
Pemohon Kasasi sebagai duda dari Pewaris terhadap harta warisan dengan
pertimbangan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan hubungan antara Pemohon
Kasasi dengan Pewaris semasa hidupnya yang cukup baik dan harmonis
bahkan Pemohon Kasasi telah mendampingi Pewaris selaku istri dalam
suka maupun duka, bahkan pada saat Pewaris sakit, Pemohon Kasasi
tetap merawat Pewaris dengan setia dan selalu mendampingi sampai
berobat ke Cina, maka sepantasnya Pemohon Kasasi yang beragama
non-muslim diberi bagian dari harta warisan dalam bentuk wasiat
wajibah sebesar ¼ (seperempat) dari harta peninggalan Pewaris”.16
Mahkamah Agung dalam pertimbangan lainnya berpendapat:
“Menimbang, bahwa dengan demikian Tergugat mendapat bagian
seperdua atau 50% dari harta bersama, seperempat dari harta
peninggalan Pewaris sehingga dari harta bersama Tergugat mendapat
50% + wasiat wajibah (1/4 x 50% = 12,5% dari harta bersama) sehingga
berjumlah 62,5%, dan tambahan 25% dari harta peninggalan pewaris.
Sedang sisanya 37,5% dari harta bersama dan 75% dari harta bawaan
pewaris dibagikan kepada ahli warisnya”.17
Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan di atas, maka
permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi Victor Sitorus
bin L. Sitorus tersebut harus ditolak dengan perbaikan amar putusan
Peradilan Tinggi Agama Banten.
16
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 331 K/AG/2018, h. 12
17
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 331 K/AG/2018, h. 12
BAB IV
64
65
ٓ َّ ٓ َ ُ ُ ُ َ ٗ ۡ َ ُ ۡ ۡ َ َ ۡ ُ َ َ ۡ َ ٗ َ ۡ َّ َٰ َ ُ َ َ ٓ َ ْ ُ َ َ
٤ِاِم ِّر ِا ِّ واِٱلن ِّسا ِءِص ِدقت ِّ ِّهن
ِِِنلةَِۚفإِّنِطِّۡبِلكمِعنَِشءِٖمِّنهِنفساِفُكوهِهن ِّي ِ وءات
2 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2729, (Libanon : Bait al-
Afkar Dauliyyah, 2004), h. 298.
67
dan berjasa terhadap pewaris, dengan batasan restriktif “bukan ahli waris
yang sah”. Sri Widyastuti yang seharusnya merupakan ahli waris sah,
akan tetapi karena kemurtadannya telah terhalang menjadi ahli waris sah.
Sehingga hakim dapat mempertimbangan untuk memberikan hak kepada
anak kandung yang telah murtad tersebut melalui wasiat wajibah dari
Pewaris, karena dalam hal wasiat wajibah tidak disyaratkan harus
beragama Islam.3
Pertimbangan Majelis Hakim Agung yang memberikan
kesempatan bagi ahli waris yang murtad mendapatkan bagian dari harta
warisan melalui wasiat wajibah di atas nampaknya cukup mencerminkan
kemaslahatan. Non-muslim dalam hal ini seolah berada pada posisi yang
lemah oleh karena itu layak diberikan kesempatan yang sama sehingga
ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh tidak merugikan ahli waris
lainnya.4
Akan tetapi, pada kenyataannya secara yuridis Hakim Mahkamah
Agung tidak menggunakan satupun sumber hukum yang baku seperti KHI
atau peraturan lainnya. Dengan begitu pernyataan putusan seperti di atas
sebenarnya tidak beriringan dengan prinsip kepastian hukum yang
berkenaan dengan sumber hukum dalam sebuah putusan Hakim.
Hakim Mahkamah Agung hanya mempertimbangkan kemaslahatan
kedalam putusan tersebut tanpa menggali lebih dalam kepastian hukum
yang seharusnya ada dalam setiap penyelesaian perkara, terlebih lagi
untuk perkara yang sudah memiliki hukum dasar seperti waris beda
agama ini. Apabila ditinjau lebih jauh, sebenarnya tujuan dari maslahat
adalah maqashid al-syariah. Dimana seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya5 bahwa tujuan dari syariat adalah memelihara agama, jiwa,
akal budi, keturunan dan harta kekayaan. Konsep maslahat yang
diterapkan oleh hakim ini sebenarnya bersebrangan dengan tujuan syariat
(maqashid al-syariah) itu sendiri, karena hakim memberikan bagian harta
kekayaan pewaris yang semestinya hanya untuk ahli waris yang sah dan
sesuai syariat, akan tetapi hakim memberikannya juga dengan jalan wasiat
wajibah, sehingga tujuan dari syara itu sendiri tidak dapat tercapai.
2. Ahli Waris Beda Agama Untuk Saudara Kandung Dan Anak Saudara
Kandung Murtad
Sedikit berbeda dengan perkara waris beda agama sebelumnya,
untuk Nomor perkara 51 K/AG/1999 Hakim Mahkamah Agung
mempertimbangkan untuk tidak sejalan dengan hasil putusan tingkat
pertama dan banding yang menyatakan bahwa ahli waris non-muslim
(Ny. Cicilia Sri Draswasih binti Setjono Hindro, Indar Astuti Pranowo
binti Hindro Werdoyo, Fi Dewi Laksana Sugianto bin Ny. Hendro
Triwirjo, Bernadeta Harini Tri Prasasti bin Ny. Hendri Triwirjo, Lucas
Indriya bin Mas Ngabeho Djojosoewirjo) tidak mendapatkan bagian dari
harta Pewaris.
Dalam putusannya, Hakim Mahkamah Agung menolak
permohonan kasasi dan melakuan perbaikan atas putusan Pengadilan
Tinggi Agama Yogyakarta. Dengan kaidah hukum “Ahli waris yang
bukan beragama Islam tetap dapat mewarisi dari harta peningggalan
pewaris yang beragama Islam”. Pewarisan dilakukan menggunakan
Lembaga wasiat wajibah, dimana bagian anak yang bukan beragama
Islam mendapat bagian yang sama dengan bagian anak yang beragama
Islam sebagai ahli waris”. Berdasarkan itu hakim memberikan bagian
saudara kandung murtad melalui jalan wasiat wajibah dengan bagian 3/4
dari 15 orang bersaudara.
Dalam pertimbangan tersebut, penulis menilai bahwa hakim
Mahkamah Agung telah menggunakan dasar hukum berupa hadis yang
diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid:
6 Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-
Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No. Hadits 2729, (Libanon : Bait al-
Afkar Dauliyyah, 2004), h. 298.
7 Lihat Halaman 37
8 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspekttif Hukum Progresif, h. 128
70
b. Sri Haryanti binti Setjono Hindro (Tergugat II) sebagai ahli waris
pengganti dari saudara kandung laki-laki, mendapat 1/20 dari ¾
bagian dari harta waris H.Martadi Hendralesono.
9
Lihat halaman 39-40
73
kaidah hukum baru yang terbentuk demi tercapainya sebuah keadilan dan
kemaslahatan.
Dalam putusan ini, Hakim Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Agama
Makassar dan menguatkan putusan Pengadilan Agama Makassar. Dengan
kaidah hukum “Memberikan kedudukan istri yang bukan bergama Islam
sama dengan kedudukan istri yang beragama Islam”. Oleh karena itu
hakim Mahkamah Agung memberikan bagian sebesar 1/4 melalui wasiat
wajibah dan harta bersama kepada istri non-muslim.
Dalam putusan ini, Hakim Mahkamah Agung juga merujuk kepada
putusan terkait kewarisan beda agama yang telah ada sebelumnya yaitu
Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Nomor 368/K/AG/1995 yang
menyatakan bahwa “hak anak kandung murtad sama kedudukannya
dengan hak anak kandung beragama Islam” dan Yurisprudensi putusan
Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/1999 yang menyatakan bahwa “Ahli
waris yang bukan beragama Islam tetap dapat mewarisi dari harta
peningggalan pewaris yang beragama Islam”.
Begitupula dalam putusan ini, Hakim Mahkamah Agung seolah-
olah mengkategorikan kedudukan ahli waris non-muslim sama saja
seperti ahli waris muslim. Maka, bagian harta kewarisan bagi seorang istri
non-muslim adalah sama bagiannya dengan istri yang beragama Islam,
yaitu ¼ sebagaimana dengan QS. An-Nisa ayat 12:ُ
ۡ َ َ َ ٞ َ َ ۡ ُ َ َ َ َ ٞ َ َ ۡ ُ َّ ُ َ ۡ َّ ۡ ُ ۡ َ َ َّ ُ ُ ُّ َّ ُ َ َ
ُِ ِلِفل ُه َّنِٱثلُّ ُم
١٢ِ…ِنِم َِّّماِت َرك ُتم …ِولهنِٱلرب ِعِمِّماِتركتمِإِّنِلمِيكنِلكمِوِلِ َِۚفإِّنَِكنِلكمِو
10
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 16 K/AG/2010, h. 11
75
11 Iim Fahimah, “Praktik Kewarisan Keluarga Beda Agama Pada Masyarakat Majemuk di
Provinsi bengkulu dalam Perspektif Hukum Islam”, Disertasi Universitas Islam Negeri Raden
Intang Lampung, (2018), h. 260
12 Kafir harbi atau kafir muharib yaitu orang kafir yang berada dalam peperangan dan
permusuhan terhadap kaum muslimin.
76
secara rukun dan damai meskipun berbeda keyakinan, karena itu patut dan
layak Pemohon Kasasi memperoleh bagian dari harta peninggalan
pewaris berupa wasiat wajibah.
Berdasarkan hal-hal di atas tersebut, maka penulis berpendapat
bahwa Mahkamah Agung telah melakukan penemuan hukum demi
tercapainya sebuah kemaslahatan bagi pihak berperkara. Namun, upaya
kemaslahatan ini seakan menjauh dari tujuan syari’at itu sendiri.
Terutama tujuan syariat untuk menjaga agama, harta, dan keturunan
dalam perkara kewarisan beda agama ini tidak dapat dicapai dengan baik.
4. Ahli Waris Pengganti (Istri dan Anak Kandung) Saudara Seayah Non-
Muslim
Sedangkan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 218
K/AG/2016, ahli waris pengganti non-muslim (Dwi Lestari binti Hadi
Sardjono) yang merupakan seorang anak kandung dari saudara kandung
Pewaris. Karena berbeda agama dengan Pewaris, maka Dwi Lestari binti
Hadi Sardjono tidak dapat menjadi ahli waris pengganti sebagaimana
mestinya. Akan tetapi, Dwi Lestari binti Hadi Sardjono masih
mendapatkan bagian dari harta waris berupa wasiat wajibah sebesar 1/3.
Dalam putusan ini, Hakim Mahkamah Agung menolak
permohonan kasasi dan menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Agama
Yogyakarta. Dalam putusan ini, terhadap saudara kandung muslim yang
telah meninggal dunia, hakim memberikan bagian sesuai dengan hukum
waris, yaitu 15,625% dari harta para pewaris. Kemudian terhadap ahli
waris non-muslim, yaitu istri dan 2 orang anak yang beragama katholik
diberikan wasiat wajibah dengan total 1/3 dari 15,625% tersebut.
Dalam perkara ini, terjadi dua kali pengalihan ahli waris, yaitu dari
Pewaris kepada anaknya yang telah meninggal, kemudian kepada istri dan
anak dari anak pewaris tersebut. Dalam arti singkat dapat dikatakan
sebagai ahli waris pengganti. Namun dalam perkara ini, ahli waris
pengganti tersebut adalan non-Muslim.
77
Dalam Pasal 185 KHI menyatakan bahwa ahli waris pengganti dari
saudara kandung mendapatkan bagian yang jumlahnya tidak boleh
melebihi ahli waris asli.13 Namun bagi ahli waris pengganti non-muslim
tidak dapat ditemui ketentuannya dalam KHI ataupun perundang-
undangan lainnya. Namun berdasarkan Pasal 171 hurf c KHI dapat
ditemukan bahwa yang dimaksud ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris”.14
Maka dapat diketahui berdasarkan metode A Contrario
(Argumentum A Contrario), bahwa ahli waris yang bukan beragama Islam
tidak dapat menjadi ahli waris yang sah. Namun hakim Mahkamah Agung
juga merujuk kepada Yurisprudensi yang telah ada, yaitu Yurisprudensi
putusan Mahkamah Agung Nomor 368/K/AG/1995 yang menyatakan
bahwa “hak anak kandung murtad sama kedudukannya dengan hak anak
kandung beragama Islam” dan Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung
Nomor 51/K/AG/1999 yang menyatakan bahwa “Ahli waris yang bukan
beragama Islam tetap dapat mewarisi dari harta peningggalan pewaris
yang beragama Islam”.
Sehingga berdasarkan Yurisprudensi tersebut, Mahkamh Agung
telah mempertimbangkna juga bahwa bagian bagi ahli waris pengganti
yang non-Muslim ini juga sama seperti bagian anak kandung non-Muslim
dan Istri non-Muslim. Maka bagian anak dan istri non-Muslim selaku ahli
waris pengganti dari Hadi Sardjono (anak pewaris) memiliki bagian yang
sama dengan anak dari Pewaris.
Hal ini dapat terlihat dalam pertimbangann Hakim Mahkamah
Agung yang menyatakan bahwa harta peninggalan Hadi Sardjono dari
almarhum Martomulyono alias Tugimin bin Martowirono alias Ngadi
15
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 218K/AG2016, h. 13-14
79
waris pengganti dari Hadi Sarjono, walau demikian ahli waris pengganti
Hadi Sardjono tersebut tetap mendapatkan bagian melalui wasiat wajibah.
Menurut penulis, ahli waris pengganti dari almarhum Hadi Surjono
tersebut yang mendapatkan wasiat wajibah telah adil. Karena dengan
dilaksanakannya lembaga wasiat harta keapda ahli waris memiliki nilai
filosofi sebagai salah satu cara melakukan pembagian harta peninggalan
secara adil dalam artian yang hakiki. Keadilan yang tercapainya maslahah
di antara para ahli waris. Untuk mencapai kemaslahatan ini tidaklah
mudah kecuali dengan cara musyawarah dan mufakat atau perdamaian
(as-sulhu).16 Sesuatu yang maslahah menurut pertimbangan akal, dan
disamping itu ada pula petunjuk khusus dalam nash atau ijma’ bahwa
maslahat itu dapat diperhitungkan.17
Oleh karena itu, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa ahli
waris non-muslim terhalang untuk menjadi ahli waris pengganti yang sah
merupakan keputusan yang benar menurut teori al-maslahah al-
mu’tabarah. Karena yang demikian dapat mendatangkan suatu hal yang
berpotensi kepada masalah baru atau bahkan perselisihan yang tiada henti
dalam keluarga tersebut apabila ahli waris non-muslim tersebut tidak
mendapatkan bagiannya. Mengingat pula, ahli waris pengganti non-
muslim tersebut mengajukan upaya hukum yang menurut penulis hal itu
berarti ahli waris pengganti non-muslim tersebut ingin memperjuangkan
haknya sebagai ahli waris pengganti dari sang ayah yang menjadi ahli
waris sah sebagai saudara kandung Pewaris utama.
Akan tetapi, prinsip kemaslahatan yang telah dipertimbangan
hakim Mahakamah Agung telah bertentang dengan semangat dan tujuan
dari syari’ah itu sendiri dengan memberikan harta kekayaan Muslim jatuh
ke tangan non-Muslim dan telah melonggarkan non-Muslim untuk
mendapat harta warisan melalui wasiat wajibah, dengan berarti telah
16 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2011), h. 118
17 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014),
cet. 2, h. 6
80
ٞ َ ِو ُ َ ۡ َّ ۡ ُ ُ َٰ َ ۡ َ َ َ َ َ ُ ۡ ۡ ُ َ َ
َ كنِل َّ ُه َّن
١٢ِ….َِِۚل ۞ولكمِن ِّصفِماِترك ِِأزوجكمِإِّنِلمِي
18
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia 331 K/AG/2018, h. 11-12
19
Pasal 209 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam
20
Salma Suroyya Yuni Yanti dan Yunanto Mulyadi, “Pembagian Harta Warisan Terhadap
Ahli Waris Beda Agama Serta Akitbatnya”, Diponegoro Law Journal, Vol. 5 No. 3, Agustus 2016.
h., 7.
83
21 Muhammad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Waris Beda Agama”, h. 274
22 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, h. 121
84
sampai ke meja hijau. Seperti yang terjadi pada keluarga berbeda agama yang
perkaranya tercatat di Mahkamah Agung. Seperti perkara Nomor 368
K/AG/1995, 51 K/AG/1999. 16 K/AG/2010, 218K/AG/2016, 331
K/AG/2018 yang kesemuanya berlatar belakangkan keluarga dengan
perbedaan agama antar anggota keluarganya.
Bagi seseorang yang keluar dari agama Islam atau bukan beragama
Islam maka ia terhalang untuk mendapatkan hak atas harta warisan dari
Pewaris23. Akan tetapi, bagi ahli waris beda agama tersebut tidak serta merta
benar-benar tidak mendapatkan apapun. Dalam hukum Islam, untuk hal
penyelesaian pembagian harta warisan kepada ahli waris yang berbeda agama
dapat melalui dua cara24, yaitu hibah dan wasiat.
Sedangkan hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara waris
beda agama kelima putusan di atas menggunakan konsep wasiat wajibah. Bila
dilihat dari filosofisnya, konsep wasiat wajibah berawal dari penafsiran QS.
Al-Baqarah ayat 180.
ِ ۡ ِ ۡ ۡ ُِكتِب علَ ۡي ُك ۡم إِذَا حضر بَح َد ُكم ۡٱلم ۡوت إِن تَرَك خ ۡي را ۡٱلو ِصيَّ ُ لِ ۡل َٰولِ َد ۡي ِن و ۡٱۡل َۡق رب
َ ْي بِٱل َمعُروف َحقًّا َعلَى ٱل ُمتَّق
ْي َ َ َ َ َ ً َ َ ُ َ ُ َ ََ َ َ َ
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”
Berdasarkan ayat tersebut Ibnu Hazm, dalam kitab Al-Muhalla
berpendapat bahwa “Diwajibkan atas setiap muslim untuk berwasiat bagi
kerabatnya yang tidak mewarisi disebabkan adanya perbudakan, adanya
kekufuran (non-muslim), karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan
(karena bukan ahli waris), maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka
seleranya, dalam hal ini tidak ada batasan tertentu. Apabila ia tidak berwasiat
(bagi mereka), maka tidak boleh tidak ahli waris atau wali yang mengurus
25 Muhammad Isna Wahyudi, “Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama”, Jurnal
Yudisial vol. 8 No. 3 Desember (2015), h. 286
86
26 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, h. 75
27 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. h 74
87
28 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, h. 59
29 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, h. 58
88
Untuk perkara waris beda agama ini, hakim telah menganalogikan dan
menyamakan penerapan wasiat wajibah untuk anak angkat 30 dengan wasiat
wajibah untuk ahli waris non-muslim atau murtad untuk mengisi kekosongan
hukum tersebut.
32 Sofyan Adhi Styawan, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Harta Waris Kepada Ahli
Waris Yang Beda Agama Melaui Wasiat Wajibah”, Skripsi (2016). Fakultas Hukum Univeristas
Muahmmadiyah Surakarta. h. 11
90
Allah. Hal ini pun terbukti, dalam ayat tersebut Nabi Nuh meminta kepada
Allah untuk menyelamatkan anaknya akan tetapi Allah menolak permintaan
Nabi Nuh karena anaknya dalam keadaan tidak beriman kepada Allah SWT.
Pada prinsipnya, harta itu merupakan titipan dari Allah SWT yang
harus dipelihara untuk digunakan demi kemaslahatan yang beriman kepada
Allah SWT.33 Sesuai dengan tujuan kewarisan yakni untuk memelihara harta
dan keturunan. Sedangkan apabila ditinjau lebih jauh, dalam tujuan syariat
(al-maqashid al-syariah) maka menggolongkan ahli waris murtad atau non-
muslim sebagai ahli waris atau berhak atas harta warisan Pewaris muslim
merupakan sikap tidak memelihara akal, harta, jiwa dan juga agama.
Ahli waris non-muslim dalam Al-Qur’an maupun hadits tidak
mendapatkan bagian waris yang jelas. Akan tetapi saat ini, kebebasan
memeluk kepercayaan di Indonesia tidak bisa menutup kemungkinan adanya
perbedaan agama atau kepercayaan dalam sebuah keluarga yang kemudian
berpengaruh terhadap pembagian warisan apabila salah satu dari anggota
keluarga tersebut meninggal dunia. Hal ini juga mengakibatkan adanya
perspektif tidak adil dari ahli waris non-muslim terhadap terhalangnya ia dari
hak kewarisan yang semula ia dapatkan.
Menjawab hal itu, meskipun terkesan keluar dari hukum Islam,
Mahkamah Agung memberikan putusan yang seolah mempertimbangkan
aspek sosiologis dan memerhatikan kaidah-kaidah moral yang hidup dalam
masyarakat untuk memberikan putusan yang ditujukan kepada kemaslahatan.
Dengan demikian, meskipun putusan Mahkamah Agung tersebut
dianggap telah tidak sejalan atau keluar dari hukum Waris Islam akan tetapi
di satu sisi, keputusan ini menjadi jalan tengah untuk menjaga kedamaian
pada suatu keluarga yang di dalamnya memiliki perbedaan agama. Dan
memberikan kesan bahwa hukum Islam tidak kaku dan tidak sempit dalam
menghadapi perkara semacam ini.
33 Sofyan Adhi Styawan, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Harta Waris Kepada Ahli
Waris Yang Beda Agama Melaui Wasiat Wajibah”, h. 9
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada beberapa bab sebelumnya,
maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut, di antaranya:
1. Hakim Agung dalam memutus putusan waris beda agama lebih
mempertimbangan kepada aspek keadilan dan kemaslahatan terhadap ahli
waris non-muslim dengan memberikan kadar wasiat wajibah berdasarkan
kondisi sosiologis pihak yang berperkara. Terhadap putusan-putusan di
atas Mahkamah Agung Republik Indonesia menggunakan pertimbangan
yang humanistik sehingga tidak menjadikan kemurtadan dan perbedaan
agama sebagai penghalang mutlak untuk mendapatkan bagian harta
Pewaris muslim, melainkan hakim tetap memberikan jalan pemberian
harta waris tersebut melalui lembaga wasiat wajibah untuk ahli waris
murtad dan non-muslim.
2. Mahkamah Agung dalam memutus perkara waris beda agama
menggunakan konsep wasiat wajibah. Akan tetapi belum ada peraturan
perundang-undangan yang pasti terhadap pemberlakuan wasiat wajibah
ini sebagai jalan untuk bagi ahli waris murtad atau non-muslim untuk
memperoleh harta peninggalan Pewaris. Sehingga hakim harus selalu
melakukan penemuan hukum dan pembentukan hukum terhadap setiap
peristiwa kasus kewarisan beda agama bagi subjek yang berbeda. Metode
masing-masing hakim dalam melakukan penemuan dan pembentukan
hukum sedikit beragam dalam setiap kasusnya, adapun apabila
dikelompokkan, maka hakim telah melakukan interpretasi dan konstruksi
hukum terkait kewarisan beda agama sebagai berikut : terhadap Pasal 171
huruf C Kompilasi Hukum Islam (KHI) hakim melakukan interpretasi
restriktif, terhadap pasal 180 KHI hakim Mahkamah Agung melakukan
metode A Contrario (Argumentum A Contrario), terhadap pasal 209
91
92
B. Rekomendasi
Berkenaan pada rumusan kesimpulan di atas, maka terdapat tiga
catatan penting sebagai saran atau rekomendasi dari penelitian skripsi ini,
antara lain:
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam mengenai isu
beda agama dalam ranah hukum perdata agama, seperti beda agama
dalam hal hak asuh anak, harta bersama, hibah, hadiah dan lain
sebagainya guna melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya dari
sudut pandang yang berbeda.
2. Untuk mengurangi adanya perbedaan hasil putusan di Mahkamah
Agung maka dalam memutus perkara perlu dilakukan penyamarataan
dasar berpikir yang tidak berubah-ubah. Sehingga menimbulkan hasil
putusan yang dapat menjadi rujukan bagi tingkat pengadilan di
bawahnya
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdi, Usman. Kedudukan Anak yang Berbeda Agama Dengan Orang Tuanya
Terhadap Harta Warisan Berdasarkan KHI dan KUH Perdata, (t.th).
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 2004)
---------------- “Laporan Akhir Kompendium Bidang Hukum Perkawinan”, (Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, 2011)
Ahmad, Amirullah. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Ahmad, Rumadi, Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2016)
Al-Qazwaini, Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Ibn Majah. Sunan Ibnu Majah,
Kitab al-Faraidh, Bab Miraatsi ahli al-Islam Min ahli asy-Syirki, No.
Hadits 2729, (Libanon : Bait al-Afkar Dauliyyah, 2004)
Aripin, Jaenal. Jejak Langkah Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2013)
Ash-Shobuny, Muhammad Ali. Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1995, Cet. Pertama)
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adilatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011, Cet. 1- jilid 10
Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011)
Effendi, Jonaedi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim, (Jakarta:
Kencana, 2018), Ed.1
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 5/MUNAS VII/MUI/9/2005
Fauzan, M. Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata,
Jakarta: Kencana, 2014
93
94
Nurhayati dan Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2018)
Permana, Sugiri. Dasar Penetapan Kewarisan Pengadilan Agama (Studi Atas
Penetapan-Penetapan Waris Pada Pengadilan Agama Bogor, Cianjur
dan Cikarang Jawa Barat Pada Tahun 2006-2010), (Jakarta: Pustikom
Jakarta, 2014), Cet. 1
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010)
Salihima, Syamsul Bahri. Perkembangan Pemikiran Pembagian Warisan dalam
Hukum Islam dan Implementasinya pada Pengadilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2016), Edisi Pertama- Cet. 2
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Rinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali, 2001
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Kencana, 2015), Edisi
Kedua- Cet. 5
--------------Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014),
cet. 2
Wahid, Abdul dan Moh. Muhibbin. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesiam (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
Wicaksono, Setiawan, “Hak Waris Dalam Perkawinan Campuran”, Jurnal
Yurispruden, Vol. 2, No. 1, (Januari 2019)
Jurnal:
Habibi, Achmad Wildan Fahmi Ifza. “Hak Ahli Waris Yang Murtad Dalam
Pembagian Waris Ditinjau Dari Kompilasi Hukum Islam”, Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Jember, 2014.
97
Soleh, Winarti. “Penetapan Hak Wasiat Wajibah Terhadap Ahli Waris Non-
muslim Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam”, Skripsi Fakultas
Hukum, Universitas Pasundan, 2018.
Styawan, Sofyan Adhi. “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Harta Waris
Kepada Ahli Waris Yang Beda Agama Melaui Wasiat Wajibah”,
Skripsi Fakultas Hukum, Univeristas Muahmmadiyah Surakarta, 2016.
Susilo, Febian Hutamaswara, “Pembagian Warisan Pada Keluarga Beda Agama di
Jakarta”, Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018
Tesis:
Hak Waris Pada Keluarga Beda Agama Masih Diperdebatkan, artikel diakses
pada 12 Mei 2019 dari
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol13853/hak-waris-pada-
keluarga-beda-agama-masih-diperdebatkan.
Ayu, Riana Kesuma. Penghalang Mewarisi, artikel diakses pada 20 September
2019 dari http://rianan-kesuma-ayu.com/penghalang-mewarisi
Bahtsul Masail tentang Hukum Waris Beda Agama, diakses pada tanggal 26
Agustus 2019 dari https://Islam.nu.or.id/post/read/66597/hukum-
kewarisan-beda-agama-
Fatwa Muhammadiyah tentang waris beda agama diakses pada tanggal 26
Agustus 2019 dari http://m.muhammadiyah.or.id/id/reading-350-
archiveday.html
Pwk. PP PERSIS Mesir tentang Kedudukan Waris Beda Agama, diakses pada
tanggal 26 Agustus 2019 dari
https://www.google.com/amp/s/pwkpersis.wordpress.com/2008/05/16/k
eudukan-waris-beda-agama/amp/,
LAMPIRAN
99
100