Anda di halaman 1dari 87

PAHAM CHILDFREE MENURUT HUKUM ISLAM

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Jalaludin

NIM: 11170430000012

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1444 H/2022 M
ABSTRAK

Jalaludin. NIM 11170430000012, PAHAM CHILDFREE MENURUT


HUKUM ISLAM. Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1444
H/2022 M. ( ix halaman dan 78 halaman).
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hukum Islam
memandang paham childfree dalam perspektif Tujuan Pernikahan dan Konsep
Tanâsul (berketurunan). Childfree sebagai suatu fenomena masyarakat
dianalisis kesesuaiannya dengan hukum Islam.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan ini
digunakan manakala peneliti tidak menemukan aturan hukum terkait fenomena
yang terjadi. Asas hukum dapat ditemukan dengan mempelajari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin ahli hukum yang berkaitan dengan masalah
yang akan diteliti. Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif-analitis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa paham childfree tidak sesuai
dengan tujuan pernikahan. Tujuan utama pernikahan adalah untuk menjaga
jenis manusia sebagai khalifah di muka bumi. Eksistensi manusia (muslim)
diperlukan untuk pengembangan dan perluasan dakwah Islam. Selain tidak
sesuai dengan tujuan pernikahan, childfree secara teori dan praktik juga
bertentangan dengan konsep tanâsul, yakni dengan memutus keturunan secara
permanen, khawatir akan kemiskinan jika mempunyai anak, lebih memilih
childfree daripada tandzîm al-nasl, dan menafikan wujud anak yang saleh dan
saleha sebagai tonggak berdirinya agama Islam.

Kata Kunci : Childfree. Tujuan Pernikahan, Konsep Tanâsul


Pembimbing : Dr. Muhammad Taufiki, S.Ag., M.Ag.
Daftar Pustaka : 1990 s.d. 2022

v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah wa Syukru Lillah. Segala puji dan syukur terucap hanya
kepada Allah SWT. Tuhan jagat raya semesta alam, yang telah memberikan
limpahan nikmat, rahmat, hidayah dan karunia-Nya kepada umat manusia di
muka bumi ini, terkhusus kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi Sarjana Strata Satu (S-1) di Program Studi Perbandingan
Mazhab, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
lancar dan baik. Shalawat beriringan salam semoga senantiasa tercurah kepada
suri tauladan umat manusia yakni Nabi Muhammad Saw beserta keluarga, para
sahabat, dan juga bagi yang mengikuti dan memegang teguh sunnah-
sunnahnya. Salah satu sunnahnya adalah untuk senantiasa melanggengkan
jenis manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tentunya mendapat banyak bantuan
dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh
karenanya, penulis ingin berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah
berkontribusi baik secara moril maupun materi kepada penulis, khususnya
kepada:
1. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta Wakil Dekan I, II, dan III
Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Ibunda Hj. Siti Hanna, Lc., M.A., Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab yang telah memberikan banyak ilmu,
pengalaman serta bantuan moril maupun materil kepada penulis.
3. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, S.Ag., M.Ag., sebagai dosen
pembimbing skripsi penulis yang telah sabar dan terus memberikan
arahannya untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan
skripsi ini dengan sungguh-sungguh dan penuh kecintaan.
4. Bapak Drs. Hamid Farihi, M.A., sebagai dosen penasihat akademik
penulis yang telah sabar mendampingi hingga semester akhir dan
juga telah membantu kelancaran penulis selama proses belajar

vi
mengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Terima kasih kepada bagian administrasi dan tata usaha Fakultas
Syariah dan Hukum, serta perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum, sekaligus kepada seluruh staff dan karyawan Fakultas
Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan dengan
sangat maksimal.
6. Segenap bapak dan ibu dosen, pada lingkungan program Studi
Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu dan
pengetahuan selama duduk di bangku kuliah.
7. Yang paling utama kepada Ibunda Tercinta, Umi Sarminah binti
Saca, dan Abah Jenawi bin Asmani, yang tidak pernah lupa
mendoakan, mencintai, mendukung segala hal yang menjadi cita-
cita penulis dan keinginan penulis.
8. Kakak penulis, Teh Erni beserta suaminya Kang Tiboy, Kang Zae
beserta istrinya Siti Romlah, yang sangat berbaik hati membantu
Abah dan Umi dalam membiayai perkuliahan penulis hingga lulus,
dan bersedia direpotkan mengurus administrasi kampus. Insyaallah
berkah.
9. Segenap mahasiswa Perbandingan Mazhab, angkatan 2017
terkhusus Bidayatul Mutammimah, Rizki Setiani, Ibnu Alwi
Syihab, Putri Nur Amalia, Alfan Salsabila, dan Yusuf Burhan dan
lainnya yang telah tulus membantu, memberikan semangat, arahan
dan langkah-langkah yang konkret dalam rangka menuntaskan
perkuliahan S-1 ini.
10. Segenap keluarga besar Darus-Sunnah, terkhusus kawan-kawan
Ashaab Darus-Sunnah: Uzmeng, Mbak Caca Chamidah, Mas
Mashuda, dan Wildatul Muyasiroh yang telah memberikan
semangat, dorongan, sekaligus menjadi teman ngopi, karaoke, dan
nongkrong. Semoga kalian sehat selalu dan berkah hidupnya.
11. Seluruh pihak yang tidak bisa penulis satu persatu namun telah

vii
memberikan banyak kontribusi dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga segala bentuk kebaikan mereka dibalas dengan ganjaran
berlipat ganda oleh Allah SWT. penulis berharap skripsi ini dapat
memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi
pembaca. Untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang
sifatnya membangun untuk memperbaiki skripsi ini.

Ciputat, 14 Oktober 2022

Jalaludin

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING.................................... ii


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah.................................... 4
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .............................................. 6
D. Metode Penelitian ................................................................................... 7
E. Rancangan Sistematika Penulisan .......................................................... 9
BAB II TUJUAN PERNIKAHAN DAN KONSEP TANÂSUL DALAM
ISLAM ........................................................................................................... 11
A. Kerangka Konseptual ........................................................................... 11
B. Kerangka Teori ..................................................................................... 12
C. Kajian (Review) Studi Terdahulu ......................................................... 33
BAB III TINJAUAN UMUM CHILDFREE ................................................ 36
A. Pengertian Childfree ............................................................................. 36
B. Macam-macam Childfree ..................................................................... 37
C. Fenomena Childfree dan Demografi Penduduk di Beberapa Negara... 39
D. Alasan Utama Pilihan untuk Childfree ................................................. 44
E. Dampak Seseorang Melakukan Childfree ............................................ 50
BAB IV ANALISIS FENOMENA CHILDFREE DALAM PANDANGAN
HUKUM ISLAM PERSPEKTIF TUJUAN PERNIKAHAN ....................... 53
A. Childfree Perspektif Tujuan Pernikahan............................................... 53
B. Konsep Tanâsul dan Kaitannya dengan Childfree ............................... 61
BAB V PENUTUP........................................................................................ 69
A. Kesimpulan ........................................................................................... 69
B. Saran ..................................................................................................... 70
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 72

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era yang semakin modern dewasa ini, pemikiran manusia kian


berkembang pesat. Baik dari segi teknologi, industri, lingkungan hidup,
agama, dan sosial. Dari bidang humaniora, belakangan ini sempat viral di
jagat media sosial sebuah pemikiran dan gerakan yang mengatakan bahwa
menikah tidak harus mempunyai anak, memiliki anak atau tidak adalah hak
pasangan tersebut, yang disebut dengan “childfree”. Hal ini menuai pro dan
kontra di kalangan masyarakat Indonesia, karena bertolak belakang dengan
kultur, norma dan agama yang berlaku di masyarakat Indonesia.
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam tentunya mengatur segala aspek
kehidupan manusia, termasuk di dalamnya keberlangsungan umat manusia
melalui jalan pernikahan. Hadirnya pemikiran childfree ini sekilas tampak
bertentangan dengan hukum keluarga Islam dan fitrah manusia sebagai
makhluk hidup yang dikaruniai kecintaan terhadap aneka kesenangan, di
antaranya adalah rasa cinta terhadap anak-anak. Allah SWT. berfirman :

‫َب‬ َّ ‫ن‬
ِّ ‫الذه‬ َ ِّ ‫ن النِّسَ ۤا ء ِّ و َال ْبَنِّيْنَ و َالْق َنَاطِّيْرِّ ال ْمُقَنْطَرَة ِّ م‬
َ ِّ ‫ت م‬ َّ ‫س ح ُُّب‬
ِّ ‫الشه َٰو‬ ِّ ‫ن ل ِّ َّلنا‬
َ ِّ ‫ز ُي‬

ُّ ِّ ‫ك م َتَاعُ الْحيَ ٰوة‬


ٗ ‫الدن ْيَا ۗو َاللٰه ُ عِّنْدَه‬ ِّ ‫ل ال ْمُس ََّومَة ِّ و َالْانَْع َا ِّم و َالْحَر‬
َ ِّ ‫ْث ۗ ذٰل‬ ِّ ْ َ‫و َالْف َِّّضة ِّ و َالْخي‬

)14 : 3 / ‫ٰب (آل عمران‬


ِّ ‫ن ال ْمَا‬
ُ ‫س‬
ْ ‫ح‬
ُ

Artinya: “Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan


yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak
terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat
kembali yang baik”.

Fenomena childfree di Indonesia viral melalui pernyataan salah satu


influencer bernama Gita Savitri yang menyatakan dalam Question Story

1
ketika ditanya tentang kepribadian anak masa depannya. Gita menjawab
bahwa lebih baik tidak mempunyai anak, dunia semakin kacau dan hidup
semakin lama semakin susah, hal ini seperti menyiapkan anak untuk sebuah
kegagalan.1 Selain Gita terdapat artis lain seperti Cinta Laura yang
mengatakan dalam bahwa ia lebih baik mengadopsi anak daripada memiliki
anak kandung, sebab dunia saat ini sudah over populasi, ungkap Cinta dalam
kanal Youtube Anang Hermasnyah.
Fenomena ini bukanlah hal baru di dunia, melainkan sudah ada sejak
tahun 1930-an di Amerika Serikat sebagai akibat dari kehidupan pada masa
Depresi Besar (The Great Depression) atau Krisis Malaise yang
menyebabkan kehancuran ekonomi baik negara industri maupun negara
berkembang. Krisis ini menyebabkan kesulitan ekonomi dan tekanan
psikologis bagi masyarakat, sehingga banyak masyarakat Amerika pada
waktu itu memutuskan untuk tidak mempunyai anak karena khawatir akan
hidupnya nanti.2
Tren childfree ini meningkat dua kali lipat pada pertengahan tahun
1970-an dan 2000-an dari 10 menjadi sekitar 20 persen.3 Ketika ditanya
tentang mengapa orang dewasa memilih untuk tidak memiliki anak secara
sukarela (voluntarily childless) penjelasannya berkisar atas dampak dari
kekuatan sosial-makro seperti meningkatnya peningkatan partisipasi
angkatan kerja perempuan hingga motivasi tingkat mikro seperti otonomi
dan kebebasan. Selain itu, meningkatnya jumlah voluntarily childlessness
juga disebabkan karena gerakan feminis tahun 1970-an, peningkatan pilihan
reproduksi, dan partisipasi angkatan kerja perempuan yang meningkat.4

1
Fitri Nursaniyah, “Bukan karena Ingin Punya Anak, Ternyata Ini Alasan Gita Savitri dan Paul
Andre Menikah,” 16 Agustus, 2021,
https://www.kompas.com/hype/read/2021/08/16/175912066/bukan-karena-ingin-punya-anak-
ternyata-ini-alasan-gita-savitri-dan-paul.
2
Tomas Frejka, “Childlessness in the United States,” Demographic Research Monographs,
no. November 2016 (2017): 159–79, https://doi.org/10.1007/978-3-319-44667-7_8, h. 1.
3
Frejka, “Childlessness in the United States”, h. 1.
4
Amy Blackstone dan Mahala Dyer Stewart, “Choosing to be childfree: Research on the
decision not to parent,” Sociology Compass 6, no. 9 (2012): 718–27,
https://doi.org/10.1111/j.1751-9020.2012.00496.x, h. 720.

2
Childfree menjadi kontroversi di Indonesia karena dianggap
bertentangan dengan pemikiran masyarakat Indonesia yang sebagian besar
berpendapat bahwa tujuan pernikahan adalah mempunyai anak. Tanaka &
Johnson seperti dikutip Miwa dkk. mengatakan bahwa Indonesia
merupakan negara yang digolongkan sebagai negara yang mendukung
adanya kelahiran anak dengan tingkat kelahiran sebesar 2.265 dan kehadiran
anak adalah hal penting dalam perkawinan menurut 93% masyarakat
Indonesia. Hal ini didasari oleh pemikiran masyarakat Indonesia yang
menganggap anak dapat memberikan manfaat sosial sebagai sumber
ketenteraman dan status sosial, manfaat ekonomi sebagai sumber
pendapatan dan jaminan hari tua, manfaat budaya sebagai ahli waris,
manfaat agama sebagai amanah dari Tuhan, dan manfaat psikologis sebagai
sumber kepuasan keluarga.6
Selain karena kultur, childfree juga dianggap bertentangan dengan
syariat agama Islam karena bertolak belakang dengan hadis nabi
Muhammad SAW yang mengatakan bahwa muslim yang baik adalah
muslim yang memiliki banyak keturunan. Imam Abu Daud dalam kitabnya
Sunan Abi Daud meriwayatkan:

‫ إني‬:‫ فقال‬،‫ جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم‬:‫ قال‬،‫عن معقل بن يسار‬
‫ «لا» ثم أتاه‬:‫ قال‬،‫ أفأتزوجها‬،‫ وإنها لا تلد‬،‫أصبت امرأة ذات حسب وجمال‬
7
.»‫ «تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم‬:‫ فقال‬،‫ ثم أتاه الثالثة‬،‫الثانية فنهاه‬
)‫(رواه أبو داود‬

Artinya : “Dari Ma’qil bin Yasar berkata: Seseorang telah mendatangi


Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya berkata: “Wahai

5
Tingkat Kelahiran Anak atau Total Fertility Rate (TFR) adalah jumlah anak rata-
rata yang akan dilahirkan oleh seorang perempuan selama masa reproduksinya. Jika suatu
negara memiliki TFR sebesar 2.26, bahwa wanita dalam suatu negara tersebut memiliki rata-
rata 2-3 anak selama masa usia suburnya. Lihat “Total Fertility Rate (TFR),” Badan Pusat
Statistik, diakses 14 Oktober 2022, https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/1156.
6
Miwa Patnani, Bagus Takwin, dan Winarini Wilman Mansoer, “Bahagia tanpa
anak? Arti penting anak bagi involuntary childless,” Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 9, no. 1
(2021): 117, https://doi.org/10.22219/jipt.v9i1.14260, h. 118.
7
Abu Daud Sulaiman Al-Sijistani, Sunan Abi Daud, ed. oleh Syu’aib Al-Arnauth, 1 ed., vol.
3 (Dar al-Risalah al-Alamiyah, 2009), h. 395.

3
Rasulullah, saya mengenal seorang wanita yang mempunyai kedudukan
dan cantik namun dia mandul, apakah saya boleh menikahinya ?, maka
beliau melarangnya, kemudian dia mendatangi beliau untuk yang kedua
kali, beliau pun melarangnya lagi, kemudian dia mendatangi beliau lagi,
maka beliau pun tetap melarangnya. Akhirnya Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang dan subur, karena
saya banggadengan jumlah kalian yang banyak” (H.r. Abu Dawud)

Hal ini menimbulkan pertanyaan terutama tentang status hukum


melakukan childfree bagi kalangan muslim, terkhusus muslim
Indonesia yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Di
samping itu, memiliki anak juga merupakan sebuah pilihan bagi pasangan,
dengan berlandaskan HAM yang harus ditaati oleh seluruh manusia. Hal ini
sekilas tampak bertentangan, karena bertolak belakang dengan hadis yang
menyatakan untuk memperbanyak keturunan, namun tidak di satu sisi tidak
ada nash yang mewajibkan manusia untuk memiliki anak. Hukum Islam
yang tidak lekang oleh waktu jelas tentunya mengatur juga permasalahan
ini guna menjawab problematika umat Islam yang semakin kompleks dan
rumit.
Oleh karena itu penulis berniat menulis sebuah penelitian berjudul
“Paham Childfree menurut Hukum Islam” untuk menganalisis ijtihad
para ulama tentang childfree, dengan menggunakan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Pendekatan Konseptual digunakan untuk
menemukan konsepsi hukum terhadap suatu permasalahan yang belum ada
aturannya. Dalam hal ini peneliti mempelajari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin ahli hukum Islam yang berkaitan dengan tujuan pernikahan
dan memiliki keturunan, sehingga hukum Islam dapat relevan dengan isu
yang dihadapi.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas
terdapat beberapa permasalahan sosial yang tampaknya berbenturan
dengan kaidah hukum Islam yang telah lama dipelajari di lembaga-

4
lembaga keagamaan. Childfree dihubung-hubungkan dengan upaya
untuk menjaga kelestarian alam dan sebagainya, tentunya Hukum Islam
harus menjawab permasalahan ini dan mencari jalan tengah di antara
keduanya. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Perlunya penjelasan tentang konsep pernikahan dan memiliki
keturunan menurut pandangan hukum Islam.
b. Pertentangan antara orang yang tidak ingin memiliki anak
(childless/childfree) dengan sabda nabi yang menganjurkan
untuk memperbanyak keturunan.

c. Menggunakan alat-alat kontrasepsi maupun metode-metode


lainnya disandingkan dengan larangan untuk mengubah ciptaan
Allah SWT.
d. Perlunya penjelasan tentang hukum menyebarkan dan
mengampanyekan ideologi childfree, mengingat bila diteruskan
akan menyebabkan tenaga kerja berkurang, ketimpangan
ekonomi dan permasalahan sosial lainnya.
e. Peran HAM dalam memandang childfree dikaitkan dengan
hukum Islam.
f. Penjelasan tentang pasangan yang tidak dapat memiliki anak
karena masalah fertilitas dan kesehatan lainnya.
g. Hukum childfree bagi mereka yang memilih untuk tidak
menikah sama sekali, melakukan pengebirian, serta
homoseksual.
2. Pembatasan Masalah
Sehubungan dengan banyaknya masalah pada penelitian ini,
maka peneliti perlu membatasi masalah agar cakupannya jelas dan lebih
terarah. Hal ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Pembahasan fikih hanya seputar tujuan pernikahan dan konsep
tanâsul (memiliki keturunan).
b. Pembahasan childfree pada penelitian ini terfokus pada
terminologi yang dikemukakan oleh Rachel Chrastil dan

5
Agrillo. Yakni childfree adalah mereka yang tidak memiliki
anak biologis dan tidak berkeinginan secara mendalam untuk
memiliki anak baik dengan cara adopsi maupun jalan lain.8
Dengan pembatasan ini, mengecualikan mereka yang childfree
karena melajang seumur hidup, mengebiri diri sendiri, dan
homoseksual.
c. Pendapat para ulama hanya sekitar lingkup empat mazhab dan
ulama-ulama kontemporer yang mu’tabâr.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang di susun dalam
penelitian ini, rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang childfree?
b. Bagaimana tujuan pernikahan dan konsep tanâsul dalam Islam?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang di susun dalam penelitian
ini,tujuan dari penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Mengetahui pandangan hukum Islam tentang childfree.
b. Untuk memahami tujuan pernikahan dan konsep tanâsul dalam
Islam.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan di atas, penelitian ini juga diharapkan dapat
membawa manfaat sebagai berikut:
a. Secara teoritis dan akademik, diharapkan dapat menambah
wawasan, referensi dan pengetahuan dalam dunia hukum,

8
Rachel Chrastil, How to Be Childless: a History and Philosophy of Life Without Childreen
(New York: Oxford university Press, 2020), h. 8; Christian Agrillo dan Cristian Nelini,
“Childfree by choice: A review,” Journal of Cultural Geography 25, no. 3 (2008): 347–63,
https://doi.org/10.1080/08873630802476292, h. 347.

6
terkhusus hukum Islam.
b. Diharapkan dapat menjadi sebuah kontribusi bagi pemerintah,
penegakhukum maupun mubaligh dalam menerapkan kebijakan,
penerapan hukum Islam, dan ceramah agama yang moderat.
c. Menghasilkan karya ilmiah yang bermanfaat bagi penulis guna
mendapat gelar Sarjana Hukum (SH) dalam program studi
Perbandingan Mazhab (PM) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian
kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor, seperti yang dikutip
Muhaimin menjelaskan bahwa metodologi kualitatif merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis maupun lisan dari perilaku yang diamati.
b. Pendekatan Penelitian
Dari segi pendekatan analisis, penelitian ini termasuk ke dalam
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan
penelitian hukum yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai
norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, sekaligus
menjadi acuan perilaku setiap orang. Penelitian hukum normatif lebih
fokus pada lingkup konsepsi hukum, asas hukum dan kaidah hukum.9
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
konseptual (conceptual approach). Pendekatan konseptual dilakukan
manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada, akan
tetapi penelitian dapat dilakukan dengan melihat pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu

9
Muhaimin, Metode Penelitian Hukum (Mataram: Mataram University Press,
2020), h. 52.

7
hukum.10 Dengan melihat dan mempelajari doktrin dan pandangan di
dalam ilmu hukum, diharapkan peneliti dapat menemukan ide-ide
yang melahirkan pengertian, konsep-konsep, dan asas-asas hukum
yang relevan dengan isu yang dihadapi.11 Dalam fenomena yang akan
diteliti dalam penelitian ini, childfree merupakan suatu fenomena
baru yang belum ada aturan hukumnya dalam hukum Islam. Akan
tetapi fenomena tersebut dapat digali dari doktrin-doktrin dan
pandangan-pandangan ulama terkait pendapat mereka dalam tujuan
pernikahan dan konsep tanâsul.
2. Sumber Data
Untuk memperoleh bahan hukum yang akurat untuk penulisan
skripsi ini maka bahan-bahan tersebut diperoleh dari sumber bahan
hukum primer, sekunder dan tersier yang akan diuraikan sebagai
berikut:
a. Sumber bahan hukum primer al-Quran, hadis, kitab-kitab fikih
dan ushul fikih.
b. Sumber bahan hukum sekunder, yakni segala yangberhubungan
secara langsung dengan objek penelitian yakni tentang doktrin-
doktrin hukum Islam tentang pernikahan dan pembangunan
keluarga, jurnal-jurnal internasional yang fokus pada pembahasan
childfree, dan buku-buku terkait hukum keluarga.
c. Sumber bahan hukum tersier, yakni bahan hukum pelengkap
seperti kamus besar bahasa Indonesia, kamus bahasa Arab-
Indonesia, kamus hukum dan jurnal ataupun artikel yang
membantu penelitian ini.
3. Teknik Pengolahan Data
Langkah selanjutnya setelah mengumpulkan semua sumber
bahan adalah mengolah data tersebut, yang dilakukan dengan cara

10
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2014), h. 177.
11
M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007).

8
memperoleh data, mengecek kesesuaian data dengan pembahasan
penelitian, kemudian menempatkan data sesuai dengan pembahasan.
4. Teknik Analisis Data
Setelah mengolah data, langkah selanjutnya adalah menganalisis
data secara deskriptif-analisis, yakni mendeskripsikan materi tentang
doktrin-doktrin ahli fikih terhadap hukum melakukan childfree
dihubungkan dengan konsep tanâsul dan penggunaan alat-alat
kontrasepsi.
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan penelitian ini, peneliti merujuk pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

E. Rancangan Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran mengenai pokok pembahasan,


maka peneliti menyusun proposal skripsi ini dalam beberapa bab degan
sistematika sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Merupakan pendahuluan yang membahas materi penelitian yang
terdapat pada latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian studi terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode
penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II : Tujuan Pernikahan dan Konsep Tanâsul dalam Islam
Merupakan teori dari beberapa literatur. Bab ini meliputi penguraian
tentang kerangka konseptual, tujuan pernikahan, konsep dasar
berketurunan (tanâsul) dalam Islam, anjuran untuk memiliki banyak
keturunan dan hikmahnya, juga disertai tentang doktrin fikih tentang
pengaturan jumlah anak.
BAB III : Tinjauan Umum Childfree
Merupakan pemaparan tentang childfree, statistik serta alasan yang
melatarbelakangi banyak orang melakukannya. Serta dampak positif

9
dan negatif yang dihasilkan apabila banyak orang yang childfree
semakin menjamur.
BAB IV : Analisis Fenomena Childfree dalam Pandangan Hukum Islam
Perspektif Tujuan Pernikahan

Merupakan pemaparan tentang pandangan hukum Islam tentang


childfree bagi seorang muslim, dilihat dari perspektif tujuan
pernikahan dan konsep tanâsul dalam Islam.
BAB V : Penutup
Merupakan jawaban dari rumusan masalah yang berisi kesimpulan
dan saran untuk perbaikan dimasa yang akan datang.

10
BAB II

TUJUAN PERNIKAHAN DAN KONSEP TANÂSUL DALAM ISLAM

A. Kerangka Konseptual

1. Pengertian Tujuan Pernikahan


Menurut Hasan Sayyid Hamid Khitab, tujuan pernikahan adalah
kemaslahatan-kemaslahatan yang telah ditetapkan syara’ sebagai suatu
arah yang di tuju dalam pernikahan. Pernikahan disyariatkan untuk
menggapai tujuan-tujuan tersebut. Pada umumnya, kemaslahatan-
kemaslahatan tersebut akan timbul seiring dengan adanya pernikahan.
Ketiadaan pernikahan dapat menafikan kemaslahatan itu sendiri,
seperti mempertahankan jenis manusia, melahirkan anak-anak yang
saleh, menjaga kemaluan dari nafsu birahi, menjaga jelasnya nasab, dan
lain-lain.12
Hamid Khitab melanjutkan bahwa tujuan pernikahan ada
kalanya bersifat pokok (ashli), dan bersifat turunan (tab’iy). Tujuan-
tujuan yang mendasar dan utama dalam pernikahan adalah menjaga
spesies manusia, memperbanyak keturunan, atau melahirkan anak
yang saleh. Sedangkan tujuan pernikahan yang bersifat turunan adalah
yang mengikuti tujuan utama pernikahan dan menyempurnakannya
seperti: istimta’13 antara suami istri, konsekuensi yang didapat jika
menjaga kemaluan, menjaga pandangan terhadap lawan jenis, menjaga
diri akan terjerumus dalam sesuatu yang haram, dan tolong-menolong
antara suami dan istri atas permasalahan duniawi dan ukhrawi.
Semuanya merupakan tujuan syara’ akan tetapi bukan tujuan yang
utama.14

2. Pengertian Konsep Tanâsul dalam Islam

12
Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan
Muqâranatan (Madinah, 2009), h. 9.
13
Bersenang-senang secara seksual.
14
Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan Muqâranatan, h. 9.

11
Tanâsul )‫ (تناسل‬berasal dari kata nasl)‫(نسل‬, secara bahasa

mempunyai makna anak dan keturunan. Sedangkan tanâsul merupakan


bentuk tsulasi mazîd dari kata nasala )‫ (نسل‬yang memiliki makna

pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama (musyarakah). Secara


makna, tanâsul sebagai kata kerja dapat kita maknai sebagai
berketurunan atau saling memiliki keturunan.15 Hal ini masuk akal
karena sejatinya untuk memiliki keturunan, seseorang tidak dapat
menggapainya sendiri, kehadiran pasangan mutlak diperlukan.
Sedangkan konsep tanâsul adalah hukum-hukum yang
berkaitan dengan memiliki keturunan. Hukum-hukum tersebut
mengatur seseorang untuk senantiasa menjaga pesan-pesan yang telah
disampaikan oleh syara’ berkaitan dengan keturunan seperti:
memperbanyak keturunan, dilarang melakukan aborsi, dilarang
membunuh anak karena khawatir akan miskin, dilarang mengebiri diri
sendiri, menjaga kesehatan ibu dan anak dan lain-lain.16

B. Kerangka Teori

1. Tujuan Pernikahan dalam Islam


Tujuan pernikahan telah banyak dikemukakan dalam syariat. Di antaranya
terdapat ayat Al-Qur’an, sabda Rasulullah ‫ ﷺ‬dan doktrin-doktrin ulama. Dalam
Al-Qur’an, Allah Swt. telah menjelaskan tentang tujuan pernikahan, di
antaranya adalah:
Q.S. Al-Rûm [30] ayat 21

ً ‫ل بَي ْنَك ُ ْم َّمو ََّدة‬ َ َ ‫سكُن ُ ْٖٓوا اِّلَيْهَا و‬


َ َ ‫جع‬ ْ َ ‫سك ُ ْم ا َ ْزو َاج ًا لِّت‬
ِّ ُ ‫ق ل َك ُ ْم م ِّنْ اَنْف‬
َ َ ‫وَم ِّنْ اٰي ٰت ِّ ٖٓه ا َ ْن خ َل‬

َ ِّ ‫َّورَحْم َة ً ۗا ِّ َّن ف ِّ ْي ذٰل‬


)21 : 30 / ‫ك ل َاٰي ٍٰت لِّقَو ْ ٍم َّيتَف ََّكر ُ ْونَ (الروم‬

15
Ibnu Munzhir, Lisan al-Arab, 3 ed., vol. 11 (Beirut: Dar al-Shadir, 1414 H), h.
660.
16
Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaitiyyah, vol. 39 (Kuwait: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 1427), h. 260-
262.

12
Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia
menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar
kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta
dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Melalui ayat di atas, secara tersurat disebutkan bahwa tujuan utama


pernikahan adalah untuk menggapai sakinah, mawaddah, dan rahmah. Al-
Qur’an tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa tujuan pernikahan adalah
untuk memiliki anak. Akan tetapi, tujuan tersebut terkandung dalam ketiga kata
di atas.
a. Tujuan Pernikahan Berdasarkan Tafsir Surat Al-Rûm Ayat 21
Merupakan tanda-tanda ayat-ayat Allah Swt. adalah penciptaan laki-
laki dan perempuan. Ketenangan bisa dicapai dengan adanya pertemuan
antara laki-laki dan perempuan dalam mahligai pernikahan. Seorang laki-
laki akan gelisah bila hidup sendiri karena kesepian. Kemudian laki-laki
mencari perempuan dan perempuan menunggu laki-laki sampai ia datang.
Kemudian keduanya bersatu padu. Karena hanya dengan perpaduan itulah
akan dapat berlangsung pembiakan manusia.17
Benar dikatakan bahwa manusia dapat menggapai kebahagiaan
dengan kesendiriannya, akan tetapi hal itu bersifat sementara. Dalam diri
manusia tentulah dapat mereka sadari bahwa ikatan yang erat dan
hubungan yang dalam dengan pihak lain tentu dapat membantunya
mendapatkan kekuatan dan membuatnya lebih siap menghadapi rintangan
dan tantangan. Dengan adanya kerjasama timbullah rasa ketenangan. Akan
tetapi perlu digarisbawahi bahwa kebersamaan bukan hanya didorong oleh
hasrat seksual, tetapi lebih dari itu. Yakni dorongan kebutuhan jiwa untuk
menggapai sakinah.18
Allah Swt. berfirman:

17
Abdul Malik Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, vol. 7 (Singapura: Pustaka Nasional PTE
LTD Singapura, t.t.), h. 5503.
18
M. Quraish Shihab, Perempuan, ed. oleh Qamarudin SF (Tangerang Selatan: Lentera Hati,
2018), h. 151-152.

13
)187 : 2 / ‫اس َّله َُّن ۗ(البقرة‬
ٌ َ ‫اس َّل ك ُ ْم و َاَن ْتُم ْ لِّب‬
ٌ َ ‫ه َُّن لِّب‬

Artinya: “..Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi
mereka..”

Ayat tersebut menyerupakan setiap dari pasangan suami istri sebagai


pakaian, karena keduanya saling menutupi. Maka kebutuhan masing-
masing suami istri terhadap pasangannya sama halnya dengan pakaian.
Jika pakaian dapat menutupi cela/aib dalam badan dan bekas luka, maka
setiap hubungan suami istri dapat menjaga kehormatan dan menciptakan
harmoni ketenteraman bagi pelakunya.19
Ulama tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan makna
mawaddah dan rahmah. Ibnu Abbas dan Mujahid dalam menafsirkan ayat
di atas, mengartikan kata “mawaddah” dengan makna “jimak/bersetubuh”
sedangkan “rahmah” bermakna “anak”. al-Hasan memaknai mawaddah
dengan “saling mengasihi satu sama lain”. al-Siddi menafsirkan
mawaddah dengan cinta, dan rahmah dengan simpati atau belas kasih.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa mawaddah adalah cinta seorang
laki-laki kepada wanitanya, dan rahmah adalah belas kasihnya jika sesuatu
yang buruk menimpanya.20
Sedangkan menurut Prof. Quraish Shihab, tidak ada padanan kata
yang tepat dalam mengartikan mawaddah ke dalam bahasa Indonesia,
akan tetapi ia hanya menjelaskan dampak mawaddah terhadap jiwa
seseorang. Apabila mawaddah telah tersemai dalam jiwa seseorang, maka
ia tidak rela jika pasangan atau mitranya disentuh oleh sesuatu yang dapat
mengeruhkan pasangannya, walaupun si penyandang mawaddah memiliki
kecenderungan yang kejam. Kata mawaddah hampir mirip dengan kata
rahmah, hanya saja rahmah terfokus kepada yang dirahmati dan yang
dirahmati tersebut dalam kondisi butuh. Rahmah cenderung tertuju kepada

19
Al-Khin dan Al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji, h. 15.
20
Muhammad Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, ed. oleh Ahmad Al-Barduni dan
Ibrahim Atfisy, 3 ed., vol. 14 (Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah, 1964), h. 17.

14
lemah, sedangkan mawaddah dapat terjadi pada yang kuat. Oleh karena
itu rahmah pada suami istri datang bersama dengan lahirnya anak atau
ketika pasangan suami istri mencapai usia lanjut. Karena anak dilahirkan
dengan keadaan sangat rapuh dan membutuhkan kasih sayang, begitu pula
ketika usia sangat renta tak dapat dipungkiri bahwa orang tua
membutuhkan rahmah dari anak-anaknya.21
Jika diamati secara umum, perbedaan-perbedaan pemaknaan
tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Kita dapati
kesatuan makna dalam kata sakinah, yakni ketenangan dan ketenteraman.
Sedangkan kata mawaddah jika dimaknai dengan jimak/bersetubuh, maka
hal itu dirasa akan lebih indah dan bermakna apabila ada rasa cinta di
antara keduanya. Begitu pula jika dimaknai dengan cinta meskipun masih
belum cukup sepadan maknanya, tentu dapat mempererat hubungan
percintaan dengan adanya hubungan biologis dengan orang yang dicintai.
Dan jika kata rahmah dimaknai dengan anak, tentunya anak merupakan
suatu pemberian kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Betapa banyak
orang tua di dunia ini mendambakan seorang anak yang dapat menghiasi
hubungan rumah tangga.

b. Tujuan Pernikahan dalam Hadis Rasulullah ‫ﷺ‬

Hadis Rasulullah ‫ﷺ‬:

‫ إني أصبت‬:‫ فقال‬،‫ جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم‬:‫ قال‬،‫عن معقل بن يسار‬

،‫ «لا» ثم أتاه الثانية فنهاه‬:‫ قال‬،‫ أفأتزوجها‬،‫ وإنها لا تلد‬،‫امرأة ذات حسب وجمال‬

‫(رواه أبو‬ 22
.»‫ «تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم‬:‫ فقال‬،‫ثم أتاه الثالثة‬

)‫داود‬

Artinya : “Dari Ma’qil bin Yasar berkata: Seseorang telah mendatangi


Rasulullah ‫ ﷺ‬seraya berkata: “Wahai Rasulullah, saya mengenal seorang
wanita yang mempunyai kedudukan dan cantik namun dia mandul, apakah

21
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Tangerang:
Lentera Hati, 2005), vol. 11, h. 36; Shihab, Perempuan, h. 154-155.
22
Al-Sijistani, Sunan Abi Daud, 2009, h. 395.

15
saya boleh menikahinya ?, maka beliau melarangnya, kemudian dia
mendatangi beliau untuk yang kedua kali, beliau pun melarangnya lagi,
kemudian dia mendatangi beliau lagi, maka beliau pun tetap melarangnya.
Akhirnya Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda: “Menikahlah kalian dengan wanita
yang penyayang dan subur, karena saya bangga dengan jumlah kalian
yang banyak” (H.r. Abu Dawud)

Dalam hadis tersebut , jika seseorang hendak menikah, maka


hendaklah ia menikahi perempuan yang subur (banyak anaknya, atau
berpotensi memiliki banyak anak) dan penyayang (baik kepada suami
maupun anak-anak). Kesuburan seorang perempuan dapat diketahui
dengan dua cara, yaitu: 1) jika ia seorang janda, maka dengan melihat track
record-nya dalam mahligai pernikahan, apakah dikaruniai banyak anak
atau tidak. Jika ia menikah berkali-kali, tidak memiliki anak, maka
masalah fertilitas tersebut berada pada diri perempuan tersebut, bukan
pada suaminya. 2) Jika ia gadis, maka dengan mengiaskannya dengan
saudari, ibu, bibi, atau kerabatnya. Jika kerabatnya memiliki banyak anak,
maka hal tersebut bisa dijadikan argumentasi dalam meninjau kesuburan
perempuan.23
Abu Zur’ah mengatakan bahwa makna al-walu>d di sini bukan berarti
memiliki banyaknya anak, akan tetapi al-walu>d adalah seorang gadis muda
dan bukan seorang wanita tua yang sudah manopause.24 Perbedaan makna
tersebut dapat membedakan isi kandungan perintah Rasulullah Saw. di
atas. Jika dimaknai dengan perempuan yang subur (memiliki banyak
anak), maka perintahnya adalah lebih utama menikahi wanita subur.
Sedangkan jika dimaknai dengan gadis muda saja (bukan wanita tua yang
manopause), maka cukup menikahi perempuan muda maka sudah
mendapatkan keutamaan dari hadis Rasulullah Saw..
Dari beberapa penjelasan ulama terkait makna hadis si atas, terlepas
dari perbedaan pendapat mengenai makna al-walûd, ulama sepakat bahwa

23
Abd Al-Muhsin bin Hamd Al-Ibad, Syarh Sunan Abi Dawud, vol. 236 (Maktabah Syamilah,
1432), h. 21.
24
Abd al-Ra’uf bin Taj al-Arifin Al-Munawi, Fayd al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shagir, 1 ed.,
vol. 3 (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1356), h. 242.

16
menikahi perempuan subur atau terindikasi akan mewarisi banyak anak
merupakan anjuran dari Rasulullah ‫ ﷺ‬. Banyaknya umat diperlukan untuk
menopang tegaknya agama Islam dan melanggengkannya hingga hari
kiamat. Akan tetapi, kuantitas seharusnya diiringi dengan kualitas umat
yang baik. Intelektual muslim (ulama) sebagai pewaris para nabi sangat
diperlukan untuk membimbing umat ke jalan yang benar agak tidak
tersesat.
c. Tujuan Pernikahan Menurut Para Ulama
Menurut para ulama, Pernikahan mempunyai beberapa tujuan,
termasuk di antaranya adalah memiliki keturunan. Menurut Syekh
Wahbah al-Zuhailly, hikmah disyariatkannya pernikahan adalah untuk
menjaga diri seseorang dan pasangannya dari hal-hal yang menjerumuskan
kepada keharaman, menjaga entitas manusia dari kepunahan dengan jalan
pro-kreasi, melanggengkan keturunan dan menjaga nasab, pembentukan
keluarga di mana dengan hal tersebut ketenteraman masyarakat dapat
diatur, saling tolong menolong antar individu (suami dan istri) untuk
menanggung beban hidup bersama, keakraban dan solidaritas antar
kelompok, dan menguatkan ikatan keluarga dimana dapat tolong
menolong dalam kemaslahatan.25
Sedangkan Quraish Shihab tidak menuliskan secara langsung
tentang tujuan pernikahan adalah untuk memiliki anak, akan tetapi ia
mengatakan bahwa tujuan utama dalam pernikahan adalah membina
rumah tangga yang sakinah. Dalam keluarga yang sakinah, suami istri
harus melaksanakan fungsi keluarga, di antara fungsi keluarga adalah
untuk reproduksi.26
Hasan Sayyid Hamid Khitab dalam kitabnya, Maqâsidun Nikâh
yang mengutip pendapat Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya
I’lâmul Muwaqqi’in mengatakan bahwa :

25
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, vol. 9 (Damaskus: Dar al Fikr, 1433),
h. 6515-6516.
26
M. Quraish Shihab, Perempuan, ed. oleh Qamarudin SF (Tangerang Selatan: Lentera Hati,
2018), h. 137-145.

17
‫ وهي أيضا‬, ‫ وإنجاب الولد الصالح‬, ‫وكذلك في النكاح مقصوده حفظ النوع البشري‬

‫ حيث يرتبط كل منهما بالآخر و يطرد معه فلا يمكن تصور‬, ‫علة حقيقية لتشر يعه‬

‫ والولد الصالح غاية ومقصد‬, ‫ فالنكاح سبب يتوصل إليه‬, ‫الولد الصالح بدون النكاح‬

.‫ وإذا لم يوجد الزواج لا يمكن وجود الولد الصالح‬, ‫للشرع وللمكلف‬

Artinya: Begitu pula dalam pernikahan, tujuannya adalah untuk


melanggengkan jenis manusia, melahirkan anak yang saleh, hal itu juga
yang menjadi ‘illat hakiki disyariatkannya nikah. Karenanya tidak
mungkin terbayang adanya anak saleh tanpa pernikahan, sehingga nikah
menjadi sebab yang menjadi perantara. Anak saleh merupakan maksud
syariat bagi mukallaf. Jika tidak ada pernikahan, maka wujud anak yang
saleh tidak mungkin ada.27

Adapun menikah dengan mengharapkan keturunan, jumhur ulama


sepakat bahwa hal tersebut merupakan sunah. Akan tetapi mereka berbeda
pendapat tentang menikah hanya bertujuan untuk istimta’. Karena
mayoritas ulama Syafi’iyyah menetapkan bahwa hukum asal menikah
adalah mubah, oleh karena itu jika seseorang menikah hanya untuk
bersenang-senang dengan perempuan dan kenikmatan belaka maka
hukumnya mubah. Akan tetapi jika menikah dengan niat untuk
menghasilkan keturunan dengannya, maka disunahkan.28
Qadhi Iyadh sependapat dengan Syafi’iyyah tentang sunahnya
menikah dengan tujuan mengharapkan anak, akan tetapi ia tidak
sependapat jika menikah dengan tujuan istimta’ tanpa adanya hubungan
suami istri hukumnya mubah. Menurutnya, hukum menikah dengan tujuan
tersebut adalah sunah. Hukum mubah menurutnya berlaku bagi seseorang
yang menikah dengan tidak mengharapkan keturunan dan tidak ingin
istimta’ dan bersenang-senang dengan istrinya, selama istrinya
mengetahui dan rida’ akan hal itu.29 Sedangkan menurut Hanabilah,

27
Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan
Muqâranatan (Madinah, 2009), h. 9.
28
Al-Jazairi, Al-Fiqh ’ala al-Mazahib al-Arba’ah, h. 740- 741.
29
Al-’Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, h. 111.

18
hukum mubahnya nikah berlaku bagi orang yang tidak berhasrat
dengannya, seperti lansia dan orang yang impoten, dengan syarat tidak
membahayakan hubungan rumah tangga atau dapat merusak akhlaknya
jika ia menikah. Jika hal itu terjadi, maka menikah menjadi haram
baginya.30
Sama halnya dengan Syafi’iyyah dan Qadhi ‘Iyadh, ulama
Mailikiyyah berpendapat bahwa hukum menikah dengan mengharapkan
keturunan adalah sunah, walaupun ia tidak menginginkan pernikahan itu.
Adapun bagi seseorang yang menginginkan pernikahan disertai dengan
tidak khawatir akan zina, terlepas pernikahan tersebut dapat mengganggu
ibadah sunahnya maupun tidak, maka hukumnya tetap sunah. Begitu pula
hukumnya sunah meskipun ia mengharapkan keturunan atau tidak dalam
pernikahan tersebut.31
Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa tujuan utama dalam
pernikahan adalah untuk menggapai ketenangan (sakinah), mawaddah dan
rahmah. Adapun beberapa tujuan yang ditambahkan oleh para ulama
merupakan ijtihad mereka memaknai sakinah, mawaddah dan rahmah
tersebut. Di antara ijtihad ulama dalam tujuan pernikahan adalah
keberadaan anak. Sakinah dapat digapai dengan adanya keluarga yang
utuh yang terdapat anak di dalamnya. Kita lihat beberapa orang tua bahkan
Nabi Allah Swt. sangat mengharapkan hadirnya anak dalam kehidupan
rumah tangga mereka. Hal ini membuktikan bahwa keinginan memiliki
anak merupakan sifat naluriah manusia.
2. Konsep Tanâsul dalam Islam
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kerangka konseptual,
konsep tanâsul merupakan hukum-hukum yang berkaitan dengan
keturunan. Jika hukum-hukum tersebut dilanggar, maka tujuan pernikahan
tidak dapat tercapai dan seseorang tidak dapat menggapai rida’ Allah SWT.
Berikut adalah hal-hal yang berkaitan dengan keturunan dari segi hukum

30
Al-Jazairi, Al-Fiqh ’ala al-Mazahib al-Arba’ah, h. 741.
31
Al-Jazairi, Al-Fiqh ’ala al-Mazahib al-Arba’ah, h. 740.

19
Islam.
a. Mempunyai Keturunan yang Baik dari Segi Kuantitas dan
Kualitas
Islam adalah agama pro-natalis, hal ini dibuktikan dengan banyaknya
populasi muslim di dunia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pew
Research Center, pada tahun 2015 populasi muslim di dunia mencapai 1,8
miliar, sementara populasi Kristiani mencapai 2,3 miliar. Kesenjangan ini
diperkirakan akan terus menyempit pada tahun 2060, Pew Research Center
memproyeksikan bahwa akan ada 3 miliar orang Kristiani dan hampir 3
miliar Muslim. Hal tersebut dikarenakan rata-rata Muslim lebih muda dan
mempunyai lebih banyak anak daripada orang Kristen.32
Faktor utama banyaknya populasi Muslim dunia bukan didasari oleh
kenyataan bahwa Islam adalah agama misionaris. Faktor misionaris hanya
menyumbang sebagian kecil dari populasi muslim dunia. Sedangkan faktor
utama yang mendasari banyaknya populasi muslim adalah tingginya tingkat
fertilitas. Tingginya angka fertilitas tersebut dipengaruhi oleh motivasi
muslim untuk melahirkan banyak anak berdasarkan perintah Rasulullah ‫ﷺ‬.
Sabrur Rohim menggunakan pendekatan hermeneutika dalam hadis
tersebut. Ia menerapkan beberapa langkah untuk menerapkan hermeneutika:
1) memahami aspek bahasa, 2) memahami konteks historis, 3)
mengkomparasikan secara tematik dengan hadis-hadis lain, 4) memaknai
teks dengan menggali pesan utama di dalamnya.
Pertama, jika dilihat dari sudut pandang historis, umat muslim pada
zaman Rasulullah Saw. masih terbilang rendah secara kuantitas. Padahal,
untuk meneguhkan keberadaan Islam di jazirah Arab, populasi penduduk
sangatlah mutlak diperlukan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan jumlah
populasi umat muslim, Rasulullah bersabda demikian.

32
Jeff Diamant, “The countries with the 10 largest Christian populations and the 10 largest
Muslim populations,” Pew Research Center, 2019, https://www.pewresearch.org/fact-
tank/2019/04/01/the-countries-with-the-10-largest-christian-populations-and-the-10-largest-
muslim-populations/.

20
Kedua, secara bahasa, lafaz hadis tersebut tidak secara langsung
membahas sesuatu yang bersifat doktrinal maupun sebagai suatu prinsip
dasar keberagamaan. Perintah Nabi tersebut tidak mengatakan sesuatu yang
berkaitan dengan surga neraka, dan pahala dan dosa, melainkan hanya
bersifat anjuran. Lebih lanjut Sabrur mengatakan bahwa anjuran tersebut
hanya untuk dirinya sendiri yakni kebanggaan atas banyak umatnya
dibandingkan dengan umat nabi-nabi lainnya.
Ketiga, Sabrur Rohim mengatakan bahwa berbangga-bangga dengan
anak tidak sejalan dengan wacana yang dicanangkan oleh Al-Qur'an. Rohim
mengutip Al-Qur'an surat Al-Hadîd ayat 20 sebagai landasan
argumentasinya. Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa Allah mengecam
perilaku berbangga-bangga dengan banyaknya jumlah anak bersamaan
dengan banyaknya harta.

ِّ ‫ِّب َّولَه ْو ٌ َّوزِّ ي ْن َة ٌ َّوتَف َاخُر ٌ ٌۢ بَي ْنَك ُ ْم و َتَك َاثُر ٌ فِّى الْاَمْوَا‬
ِّ‫ل و َالْا َ ْول َا ۗد‬ ُّ ُ ‫اِّع ْلَم ُ ْٖٓوا ا ََّنمَا الْحيَ ٰوة‬
ٌ ‫الدن ْيَا لَع‬

ِّ ‫خرَة‬ ُ ُ‫ج فَتَرٰىه ُ م ُصْ ف ًَّرا ث َُّم يَكُوْن‬


ِّ ٰ ‫حطَامًاۗ و َفِّى الْا‬ ُ ْ ‫عج َبَ ال ْ ك َُّفار َ نَبَاتُه ٗ ث َُّم يَهِّي‬
ْ َ ‫ْث ا‬ ِّ َ ‫كَمَث‬
ٍ ‫ل غَي‬

‫الدن ْي َ ٖٓا ا َِّّلا م َتَاعُ ال ْغ ُر ُ ْورِّ (الحديد‬ ٌ ‫ن اللٰه ِّ وَرِّضْ وَا‬


ُّ ُ ‫ن ۗوَم َا الْحيَ ٰوة‬ َ ِّ ‫شدِّي ْ ٌۙد ٌ َّومَغْف ِّرَة ٌ م‬
َ ‫َاب‬
ٌ ‫عَذ‬

)20 : 57 /

Artinya: “Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan,


kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta
berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan.
(Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan
para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur.
Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-
Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah
kesenangan yang memperdaya.”

Keempat, terdapat riwayat yang bertentangan dengan semangat


memperbanyak keturunan. Yakni riwayat yang berkaitan dengan Jahd al-
Bala (cobaan yang meletihkan). Matan hadis tersebut adalah anjuran Nabi
untuk senantiasa berdoa :

21
.‫ وشماتة الاعداء وسوء القضاء‬،‫ ودرك الشقاء‬،‫اللهم إني نعود بك من جهد البلاء‬

Pada intinya riwayat ini meneguhkan poin prinsip bahwa banyaknya


anak harus disertai dengan finansial yang memadai agar tidak terjadi hal-hal
yang buruk.33
Dalam memandang hadis tersebut, Quraish Shihab lebih memahami
untuk mengunggulkan kualitas daripada kuantitas, bahkan lebih bagus jika
keduanya seimbang. Tentunya bukan kehendak Rasulullah untuk
memerintahkan memperbanyak keturunan, akan tetapi tidak berkualitas.34
Apabila ditarik kesimpulan dari semua pendapat di atas, dapat kita
memahami bahwa perintah untuk memperbanyak keturunan bukanlah suatu
yang mutlak. Akan tetapi harus dipertimbangkan dengan kemampuan
ekonomi keluarga. Islam tidak menginginkan memiliki umat yang lemah di
kemudian hari, dalam arti umat harus mempunyai kualitas yang mumpuni
baik untuk hidup di dunia maupun bekal di akhirat. Hal ini selaras dengan
Firman Allah Swt. dalam surat Al-Nisa ayat 9:

‫م فَل ْي ََّتق ُوا اللٰه َ و َل ْيَقُو ْلُو ْا قَوْل ًا‬ ِّ ً ‫كو ْا م ِّنْ خ َلْفِّه ِّ ْم ذ ُرِّ َّية‬
ْۖ ْ ِّ ‫ضعٰف ًا خ َافُو ْا عَلَيْه‬ َ ْ ‫ش الَّذ ِّي‬
ُ َ ‫ن لَو ْ ت َر‬ َ ْ‫و َل ْي َخ‬

)9 : 4 / ‫سدِّيْد ًا (النساء‬
َ

Artinya: “Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati)


meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka
khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah
dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).”

Di samping ayat di atas, dalam riwayat lain terdapat hal yang


mengindikasikan akan pentingnya kualitas umat dibandingkan dengan
kuantitasnya. Rasulullah Saw. bersabda:

33
Sabrur Rohim, “Argumen Program Keluarga Berencana (Kb) Dalam Islam,” Al-Ahkam:
Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 2, no. 2 (2017), https://doi.org/10.22515/al-ahkam.v2i2.501.
34
Shihab, Perempuan, h. 242.

22
(‫ )رواه الترمذي‬35.‫فقيه أشد على الشيطان من ألف عابد‬

Artinya: Seorang ahli fikih adalah lebih ditakuti setan daripada seribu ahli
ibadah (yang tidak faqîh). (H.r. Al-Tirmidzi).

b. Dilarang Memutus Keturunan Secara Permanen


Islam melarang perbuatan pengebirian karena tidak sesuai dengan
prinsip Islam untuk memperbanyak keturunan. Pada masa Rasulullah ‫ﷺ‬,
banyaknya populasi muslim amat diperlukan untuk jihad melawan musuh-
musuhnya.36 Disebutkan dalam sebuah hadis:

‫ «كنا نغزو مع النبي صلى الله عليه وسلم ليس‬:‫ قال‬،‫عن ابن مسعود رضي الله عنه‬

)‫(رواه البخاري‬ 37
.»‫ ألا نستخصي؟ فنهانا عن ذلك‬،‫ يا رسول الله‬:‫ فقلنا‬،‫لنا نساء‬

Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata: Kami pernah berperang


bersama-sama dengan Nabi ‫ﷺ‬, saat itu kami tidak mempunyai istri, maka
kami pun berkata, "Wahai Rasulullah, apakah kami harus mengebiri?"
Namun, beliau melarang kami untuk melakukannya.”

Selain itu, terdapat riwayat Imam Muslim dari Sahabat Sa’ad bin Abi
Waqash, Rasulullah Saw. bersabda:

‫ على عثمان‬- ‫ صلى الله عليه وسلم‬- ‫ «رد رسول الله‬:‫ قال‬،‫عن سعد بن أبي وقاص‬

)‫ (رواه مسلم‬38.»‫ ولو أذن له لاختصينا‬،‫بن مظعون التبتل‬

Artinya: “Dari Sa’d bin Abi Waqash ia berkata: Rasulullah Saw. pernah
melarang Utsman bin Mazh’un untuk membujang selamanya. Andaikan
beliau mengizinkannya, tentulah kami sudah mengebiri diri kami sendiri.”
(H.r. Muslim dan Tirmidzi).39

35
Abu Isa Al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, ed. oleh Basyar Awaad Ma’ruf, 1 ed., vol. 2
(Beirut: Dar al Garb al Islamy, 1996), h. 345.
36
Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,
vol. 39 (Kuwait: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, 1427), vol. 40. h. 261.
37
Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, vol. 7 (Mesir: Dar al-Thuq al-
Najah, 1422), h. 4.
38
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, ed. oleh Muhammad Fu’ad Abd Al-Baqi, vol. 2 (Kairo:
Mathba’ah Isa al-Babi al-Hilbi wa Syirkah, 1955), h. 1020.
39
Menurut Imam al-Nawawi dan Syafi’iyyah dalam Syarah Muslim, larangan untuk selibat
dalam hadis tersebut diperuntukkan bagi orang yang berhasrat untuk menikah dan mempunyai

23
Menurut hemat penulis, pelarangan tersebut terjadi bukan hanya
karena prinsip Islam itu sendiri yang menganjurkan untuk ber-tanâsul,
melainkan juga karena pengebirian merupakan bentuk mengubah ciptaan
Allah Swt. Sebagaimana hadis Rasulullah ‫ ﷺ‬yang melarang untuk membuat
tato, menyambung rambut dan lain-lain.
Dengan demikian pelarangan Rasulullah ‫ ﷺ‬yang berkaitan dengan
tanâsul di atas adalah untuk berjihad melawan kaum musyrikin. Adapun
jihad yang dilakukan umat muslim dewasa ini merupakan jihad melawan
mereka yang menginginkan kehancuran Islam sekaligus melawan ideologi-
ideologi yang menyimpang. Ideologi-ideologi tersebut dapat
menghancurkan Islam dari dalam.
Oleh karena itu, kualitas muslim yang baik mutlak diperlukan, bukan
hanya sekedar jumlahnya yang banyak. Sebagai manusia, tentunya tidak
semua memiliki kapabilitas maupun kemampuan yang cukup untuk
mengimbangi kuantitas dengan kualitas. Oleh karena itu, menurut hemat
penulis, jumlah anak yang sedikit tetapi memiliki kualitas yang baik, lebih
utama untuk berjihad daripada banyaknya anak akan tetapi kurang
berpendidikan.
Jumlah anak yang sedikit tetapi berkualitas pun lebih utama jika tidak
mempunyai anak sama sekali. Hal tersebut tentunya masih mengikuti sunah
Rasulullah ‫ ﷺ‬dalam hal pernikahan dan memiliki keturunan yang baik. Lain
halnya jika seseorang tidak memiliki keturunan karena alasan kesehatan, hal
tersebut merupakan rukhsah dari syariat. Karena anak adalah amanah
pemberian dari Allah Swt. kita sebagai manusia patut pula berusaha. Jika

bekal dan persiapan. Larangan tersebut juga diperuntukkan bagi orang yang dengannya dapat
membahayakan dengan melaksanakan ibadah-ibadah yang memberatkan dirinya. Adapun
menjauhi hawa nafsu dan kesenangan tanpa merugikan diri sendiri dan tidak mengorbankan
hak istri atau orang lain, maka hal tersebut adalah keutamaan dan suatu yang diperintahkan
syariat. Begitu juga dalam mengomentari lafaz ‫ ولو أذن له لاختصينا‬, al-Nawawi mengatakan
bahwa para sahabat mengira bahwa mengebiri diri sendiri adalah suatu yang dibolehkan
menurut ijtihad mereka. Padahal perilaku mengebiri diri sendiri adalah haram baik bagi anak-
anak maupun dewasa. Lihat Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin
al-Hajjaj, 4 ed., vol. 5 (Kairo: Dar al-Hadith, 2001), h. 191.

24
amanah tersebut Allah Swt. berikan pada hambanya, maka patut dijaga dan
dibimbing. Jika amanah tersebut tidak Allah Swt. berikan, maka hal tersebut
merupakan ketentuan dari Allah Swt., kita sebagai hamba patut menerima
dengan sabar sambil senantiasa berdoa.

c. Mendidik Anak Menjadi Anak yang Saleh dan Saleha


Selain menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan yang
banyak, tentunya hal tersebut harus diiringi dengan kualitas ilmu dan akhlak
yang baik. Kualitas ilmu dan akhlak anak ditentukan oleh pendidikan dari
orang tua. Jika pendidikan yang diberikan baik, maka hal tersebut menjadi
amal jariah di dunia hingga akhirat. Namun jika anak tidak mendapat
pendidikan yang baik, maka kerugian besar menanti orang tua. Hal ini sesuai
dengan sabda Rasulullah Saw. berkaitan tentang anak yang saleh merupakan
syafa’at bagi orang tuanya.

‫ «إذا مات الإنسان انقطع‬:‫ قال‬،‫ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم‬،‫عن أبي هريرة‬

‫ أو ولد صالح يدعو‬،‫ أو علم ينتفع به‬،‫ إلا من صدقة جار ية‬:‫عنه عمله إلا من ثلاثة‬

)‫ » (رواه مسلم‬40.‫له‬

Artinya: “Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala


amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat atau anak
yang saleh yang mendoakan kepadanya.” (H.r Muslim)

Syekh Maghribi mengatakan bahwa hadis ini menunjukkan


keutamaan menikah untuk mengharapkan anak yang saleh, memperbanyak
ilmu, anjuran untuk mendidik anak, memilih ilmu yang paling bermanfaat
untuk diri anak, karena ganjaran hal tersebut akan sampai kepada orang
tuanya yang telah wafat.41
Sabda Rasulullah di atas juga menjadi motivasi bagi orang tua muslim
dunia untuk melahirkan dan mendidik anak-anak yang saleh dan saleha.

40
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, ed. oleh Muhammad Fuad Abd Al-Baqi, vol. 3 (Kairo:
Mathba’ah Isa al-Babi al-Hilbi wa Syirkah, 1955), h. 1255.
41
Husain bin Muhammad Al-Maghribi, Al-Badr al-Tamam Syarh Bulugh al-Maram, ed. oleh
Ali bin Abdullah Al-Zibn, 1 ed., vol. 6 (Dar Hijr, 2007), h. 399-400.

25
Karena hidup tak hanya di dunia, sementara umur tak menjadi jaminan
untuk dapat beribadah sebanyak-banyaknya, jalan terakhir yang dapat
digapai untuk keselamatan di akhirat adalah dengan mengharapkan rida’
dari Allah Swt. dan berusaha memberikan pendidikan terbaik bagi anak agar
terus mendoakannya setelah mati. Hadis ini juga mengisyaratkan bahwa
kualitas seorang anak dalam hal kesalehan agama perlu diperhatikan.

d. Pengaturan Kelahiran yang Baik untuk Kesehatan Ibu dan Anak


Seorang muslim yang baik bukan hanya mengandalkan kuantitas,
akan tetapi kualitas keturunannya. Tentunya Islam tidak mengharapkan
banyaknya anak yang terlantar disebabkan karena ketidakmampuan orang
tua dalam membimbing dan membiayai pendidikan anak-anaknya.
Bimbingan dan pendidikan dari orang tua sangat diperlukan agar kelak
dapat menjadi anak saleh dan hidup mandiri. Selain itu, kesehatan ibu juga
harus diperhatikan. Dalam hal ini, Islam menganjurkan untuk menunda
kelahiran ibu selama dua tahun. Firman Allah Swt.

َّ ‫حو ْليَْنِّ ك َام ِّلَيْنِّ لم َِّنْ اَر َاد َ ا َ ْن ُّيت َِّّم‬


ِّ‫الرضَاع َة َ ۗ و َعَلَى ال ْمَو ْل ُوْد‬ َ ‫ن ا َ ْول َاد َه َُّن‬
َ ْ ‫ضع‬
ِّ ْ‫۞ و َال ْٰولِّدٰتُ يُر‬

َ ُ ‫ْس ا َِّّلا و ُسْ عَه َا ۚ ل َا ت‬


‫ض ۤا َّر و َالِّدَة ٌ ٌۢب ِّوَلَد ِّه َا‬ ُ ‫ْف ل َا تُك ََّل‬
ٌ ‫ف نَف‬ ۗ ِّ ‫لَه ٗ رِّزْقُه َُّن وَكِّسْوَتُه َُّن ب ِّال ْمَعْرُو‬

‫ض مِّنْهُم َا‬
ٍ ‫ك ۚ فَا ِّ ْن اَر َاد َا فِّصَال ًا ع َنْ ت َر َا‬
َ ِّ ‫ل ذٰل‬ ِّ ‫وَل َا مَو ْلُوْد ٌ لَّه ٗ ب ِّوَلَد ِّه و َعَلَى ال ْوَار‬
ُ ْ ‫ِّث مِّث‬

‫ح عَلَيْك ُ ْم اِّذ َا‬


َ ‫ح عَلَيْهِّم َا ۗو َا ِّ ْن اَرَد ُّْتم ْ ا َ ْن تَسْتَرْضِّع ُ ْٖٓوا ا َ ْول َاد َك ُ ْم فَلَا جُنَا‬
َ ‫و َتَش َاوُرٍ فَلَا جُنَا‬

: 2 / ‫ْف و ََّاتق ُوا اللٰه َ و َاع ْلَم ُ ْٖٓوا ا َ َّن اللٰه َ بِّمَا تَعْم َلُوْنَ بَصِّ يْر ٌ (البقرة‬
ۗ ِّ ‫س َّلم ْتُم ْ َّم ٖٓا اٰتَي ْتُم ْ ب ِّال ْمَعْرُو‬
َ

)233

Artinya: “Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun


penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah
menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula
ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula.

26
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan
persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas
keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain),
tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara
yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Dalam bahasa Arab, pengaturan kelahiran/fertilitas disebut dengan


tanzim al-nasl, bukan tahdîd al-nasl (pembatasan keturunan). Di
Indonesia, terdapat suatu program khusus dalam menangani fertilitas,
program ini disebut dengan Keluarga Berencana. Menurut Dinas
Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk,
dan Keluarga Berencana (DP3KB), tujuan umum dari program ini adalah
untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera khususnya bagi ibu dan
anak serta untuk mengendalikan pertambahan jumlah penduduk dalam
suatu negara dengan jalan mengendalikan jumlah kelahiran sesuai dengan
Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS). Adapun tujuan
khusus dari program KB adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
keluarga dengan jalan mengatur jarak kelahiran bayi dengan
menggencarkan pemakaian alat kontrasepsi.42 Setelah diadakan konferensi
dalam International Conference on Population and Development di Kairo
pada tahun 1994, paradigma pengelolaan masalah kependudukan berubah,
yang semula berorientasi kepada penurunan fertilitas menjadi
pengutamaan kesehatan reproduksi perorangan dengan menghormati hak
reproduksi hak reproduksi individu.43 Hukum Islam terkait dengan
kontrasepsi sangat bergantung dengan alat kontrasepsi yang digunakan.44
Menurut jumhur ulama fikih, Keluarga Berencana merupakan
pemenuhan terhadap Al-Qur’an Surat Al-Nisa (4) ayat 9 :

42
DP3KB, “9 Manfaat KB Bagi Keluarga,” Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan
Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana, 2017,
http://dp3kb.brebeskab.go.id/9-manfaat-kb-bagi-keluarga/#:~:text=Adapun tujuan umum dari
perencanaan,dengan jalan mengendalikan jumlah kelahiran.
43
Kementrian Kesehatan RI, “Situasi Keluarga Berencana di Indonesia,” Buletin Jendela Data
dan Informasi Kesehatan (Jakarta, 2013), h. 1.
44
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 3 ed. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,
2006), h. 883

27
‫م فَل ْي ََّتق ُوا اللٰه َ و َل ْيَقُو ْلُو ْا‬ ِّ ً ‫كو ْا م ِّنْ خ َلْفِّه ِّ ْم ذ ُرِّ َّية‬
ْۖ ْ ِّ ‫ضعٰف ًا خ َافُو ْا عَلَيْه‬ َ ْ ‫ش الَّذ ِّي‬
ُ َ ‫ن لَو ْ ت َر‬ َ ْ‫و َل ْي َخ‬

)9 : 4 / ‫سدِّيْد ًا (النساء‬
َ ‫قَوْل ًا‬

Artinya: “Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati)


meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka
khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah
dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya)”.

Ayat ini mempunyai pesan bahwa tidak selayaknya orang tua


meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan lemah, sehingga menjadi
beban bagi orang lain. Salah satu cara untuk menyejahterakan anak-anak
adalah dengan memberikan nafkah, perhatian dan pendidikan yang
memadai. Jika orang tua meninggalkan keturunan yang banyak akan tetapi
tidak memiliki skill yang mumpuni dalam menjalani kehidupan, maka
dikhawatirkan mereka akan terlantar dan menjadi manusia lemah. Begitu
juga dalam surat Al-Kahfi (18) ayat 46 mengisyaratkan bahwa harta dan
merupakan perhiasan dunia. Suatu perhiasan seharusnya terdiri dari suatu
yang bagus dan yang terbaik. Apabila anak merupakan suatu perhiasan itu,
maka hendaknya ia menjadi anak yang baik dan terbaik, mampu
membangun diri, agama, dan bangsa. Maka sudah selayaknya anak diurus,
diberikan pendidikan terbaik, bekal baik materiil maupun spiritual.
Keinginan tersebut dapat digapai dengan menyesuaikan jumlah anak
dengan kemampuan orang tua.45
Di samping ayat di atas terdapat pula hadis Rasulullah Saw.
1) Riwayat Bukhari dan Muslim melalui Sa’d bin Abi Waqash

...46‫اس‬ َّ َ‫ك أَ غْن ِّيَاء َ خَيْر ٌ م ِّنْ أَ ْن تَذَر َه ُ ْم عَالَة ً يَتَك ََّفف ُون‬
َ ‫الن‬ َ ‫ ِإ َّن‬...
َ َ ‫ك أَ ْن تَذَر َ وَر َثَت‬

)‫(متفق عليه‬

45
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 884.
46
Hajjaj, Sahih Muslim, vol. 3, h. 1250.

28
Artinya: Sesungguhnya lebih baik bagi kamu meninggalkan ahli warismu
dalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan mereka menjadi
beban tanggungan (meminta-minta kepada) orang banyak. (Mutafaq
‘alaih).

Menurut Imam al-Nawawi, bersilaturahmi dan menyayangi


kerabat yang lebih dekat lebih diutamakan daripada kerabat yang
jauh.47 Dalam hal ini, anak merupakan kerabat terdekat, sudah
selayaknya diberikan nafkah yang cukup untuk menunjang
kehidupannya.

2) Riwayat Al-Suyuthi melalui Abu Hurairah

‫إن من حق الولد على والده أن يعلمه الكتابة وأن يحسن اسمه وأن يزوجه إذا‬

)‫(رواه السيوطي‬ 48
.‫بلغ‬

Artinya: Sesungguhnya sebagian kewajiban orang tua kepada anaknya


adalah menulis, memberikan nama yang bagus, dan menikahkannya ketika
dewasa. (H.r. Ibn Najar)

Mahmud Syaltut membedakan antara tahdîd al-nasl dengan tandzîm


al-nasl. Menurutnya, tahdîd al-nasl adalah memutus kelahiran secara
umum yakni keluar dari wasiat-wasiat yang telah ditetapkan syariat,
seperti 1) hadis Rasulullah Saw. untuk memperbanyak keturunan, 2)
dilarang membunuh anak karena takut miskin, dan lain-lain. Maka tahdîd
al-nasl dalam pengertian ini merupakan sesuatu yang wajib disepakati
pengingkarannya. Sedangkan tandzîm al-nasl merupakan pengaturan
kelahiran bagi wanita yang cepat hamil, wanita yang mempunyai penyakit
menular, atau karena diri tak kuasa memikul beban jika dihadapkan
dengan tanggung jawab yang banyak, sedangkan pemerintah atau orang-
orang kaya tidak memberikan subsidi terhadap mereka. Tandzîm al-nasl
dalam makna ini bertujuan untuk menolak kemudharatan, dan

47
Al-Nawawi, al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, jilid 11, h. 77.
48
Jalaluddin Al-Suyuthi, Jam’ul Jawami’, 2 ed., vol. 2 (Kairo: Al-Azhar Al-Syarif, 2005), h.
670

29
menciptakan keturunan yang saleh dan kuat.49
Mahmud Syaltut mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an surat
Al-Baqarah (2) ayat 233:

ِّ‫الرضَاع َة َ ۗ و َعَلَى ال ْمَو ْلُو ْد‬ َّ ‫حو ْليَْنِّ ك َام ِّلَيْنِّ لم َِّنْ اَر َاد َ ا َ ْن ُّيت َِّّم‬ َ ‫ن ا َ ْول َاد َه َُّن‬ َ ْ ‫ضع‬
ِّ ْ‫و َال ْٰولِّدٰتُ يُر‬

َ ُ ‫ْس ا َِّّلا و ُسْ عَه َا ۚ ل َا ت‬


‫ض ۤا َّر و َالِّدَة ٌ ٌۢب ِّوَلَد ِّه َا‬ ٌ ‫ف نَف‬ ُ ‫ْف ل َا تُك ََّل‬ ۗ ِّ ‫ل َه ٗ رِّزْقُه َُّن وَكِّسْوَتُه َُّن ب ِّال ْمَعْرُو‬

)233 : 2 / ‫ك ۚ (البقرة‬
َ ِّ ‫ل ذٰل‬ ِّ ‫وَل َا مَو ْلُوْد ٌ لَّه ٗ ب ِّوَلَد ِّه و َعَلَى ال ْوَار‬
ُ ْ ‫ِّث مِّث‬

Artinya: “Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun


penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah
menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya.
Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula
ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula.

Seorang istri yang menyusui anaknya berarti memperkecil


kemungkinan baginya untuk hamil kembali. Melalui anjuran untuk
menyusui selama dua tahun, Al-Qur’an tidak melarang orang untuk
mengatur interval kehamilan selama masa menyusui tersebut. Selain ayat
di atas, terdapat ayat lainnya yang senada yaitu Q.S. Luqman (31) ayat 14
dan Al-Ahqaf (46) ayat 15.50
Adapun dalil hadis yang digunakan Mahmud Syaltut adalah sabda
Rasulullah Saw.

‫ أنها سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول «لَق َ ْد‬،‫عن جدامة بنت وهب‬

‫ فَلَا يَض ُُّر‬،َ‫ِّس يَصْ ن َع ُونَ ذ َلِّك‬ ُّ ‫ ح ََّتى ذَكَر ْتُ أَ َّن‬،ِّ ‫ن ال ْغ ِّيلَة‬
َ ‫الروم َ و َفَار‬ ِّ َ ‫هَمَمْتُ أَ ْن أَ نْهَى ع‬
)‫ (رواه مسلم‬51»‫أَ ْول َاد َه ُ ْم‬

Artinya: “Dari Judzamah binti Wahab, ia mendengar Rasulullah ‫ﷺ‬


bersabda: Saya pernah berkeinginan untuk melarang ghîlah (berhubungan
badan ketika istri menyusui), namun setelah itu saya melihat bangsa

49
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa : Dirasah al-Musykilaat al-Muslim al-Mu’ashir fii Hayatih al-
Yaumiyah wa al-’Amah, 12 ed. (Kairo: Dar al-Syuruq, 2001), h. 296.
50
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 884.
51
Hajjaj, Sahih Muslim, vol. 2, h. 1066.

30
Romawi dan Persia melakukannya dan anak-anak mereka tidak
mengalami bahaya karena ghilah tersebut”. (H.r. Muslim).

Dan sabda Rasulullah ‫ ﷺ‬dari Abu Hurairah:

)‫(رواه مسلم‬ 52
. ‫المؤمن القوي خير وأحب إل ى الله من المؤمن الضعيف‬

Artinya: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah Azza wa
Jalla daripada Mukmin yang lemah.”

Yusuf Al-Qaradhawi berpendapat bahwa harus disertai alasan-


alasan tertentu jika seseorang hendak melakukan tandzîm al-nasl. Alasan-
alasan tersebut adalah: 1) kekhawatiran akan kehidupan kan kesehatan ibu
jika melahirkan. 2) Kekhawatiran akan bahaya dalam urusan dunia
sehingga mempersulit ibadah. 3) Bahaya akan perhiasan dunia. 4)
Kekhawatiran akan kesehatan dan pendidikan anak
Sedangkan menurut Lembaga Penelitian Ilmiah, Fatawa dan
Dakwah Riyadh (Arab Saudi) melakukan pembatasan keturunan
hukumnya haram secara mutlak, sedangkan pencegahan kehamilan
dengan alasan individual tertentu, seperti ibu diduga kuat akan meninggal
jika melahirkan, atau anak akan mengalami penyakit menular maka
diperbolehkan. Karena sejatinya syariat Islam datang untuk memberikan
kemudahan dan menolak kemudharatan.53
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa secara
umum syariat Islam membolehkan KB. Akan tetapi secara praktik, masih
menimbulkan potensi untuk dilarang, bergantung metode kontrasepsi yang
digunakan.
e. Dilarang Membunuh Anak Karena Faktor Ekonomi
Pembunuhan dengan cara mengubur hidup-hidup merupakan tradisi
jahiliah yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Firman Allah Swt. surat al-
Takwir ayat 8-9.

52
Muslim bin Hajjaj, Sahih Muslim, vol. 4 (Kairo: Mathba’ah Isa al-Babi al-Hilbi wa
Syirkah, 1955),
53
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 885.

31
)9-8 : 81/ ‫ت (التكوير‬
ۚ ْ َ ‫ٌۢب قُتِّل‬
ٍ ْ ‫ي ذَن‬ ْۖ ْ َ ‫و َاِّذ َا ال ْمَو ْءٗدَة ُ س ُِىل‬
ِّ َ ‫ت ب ِّا‬

Artinya: “apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup


ditanya, (8) “Karena dosa apa dia dibunuh (9)”.

Pembunuhan anak perempuan yang tidak berdosa dengan cara dikubur


hidup-hidup merupakan tradisi umat jahiliyah yang keji. Sahabat Umar bin
Khattab pernah mengubur delapan putrinya pada masa itu. Setelah masuk
Islam, Rasulullah ‫ ﷺ‬memerintahkannya untuk memerdekakan budak per
anak yang telah ia kubur. Orang-orang Jahiliyyah mengubur putri-putri
mereka disebabkan dua faktor utama. 1) Menganggap malaikat adalah
putri Allah, kemudian mereka menyamakan putri-putri mereka dengan
malaikat. 2) Takut akan banyaknya kebutuhan dan kemiskinan, dijadikan
tawanan dan dijadikan hamba sahaya.54

Kemudian Islam datang dan secara tegas melarang praktik penguburan


bayi tersebut. Allah Swt. berfirman: Q.S. Al-Isra [17] ayat 31:

ِّ َ‫ن نَرْز ُقُه ُ ْم و َا ِّ َّياك ُ ْۗم ا ِّ َّن قَت ْلَه ُ ْم ك َان‬


‫خ ْط ًا‬ ُ ْ ‫نح‬ ۗ ٍ ‫خشْي َة َ اِّمْلَا‬
َ ‫ق‬ َ ‫وَل َا تَقْتُل ُْٖٓوا ا َ ْول َاد َك ُ ْم‬

)31 : 17 / ‫كَبِّيْر ًا (الإسراء‬

Artinya: “Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut


miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan (juga)
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa
yang besar.”

Secara makna, ayat di atas mempunyai sifat qath’iyu dalâlah,


sehingga tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut terkait makna.
Yakni sebagai umat Islam tidaklah patut meragukan rezeki dari Allah
Swt. Setiap makhluk di muka bumi telah Allah atur rezekinya. Maka,
membunuh anak atau menggugurkannya karena takut akan kelaparan,
kesusahan, dan kemiskinan merupakan dosa yang besar.

54
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol. 19, h. 232.

32
Termasuk dalam kategori pembunuhan anak adalah aborsi. Aborsi
merupakan bentuk pembunuhan yang ulama sepakat akan
keharamannya. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat perihal aborsi
yang dilakukan sebelum ditiupkannya ruh.55 Salah satu motif seseorang
melakukan aborsi pada masa kini adalah merasa malu mengandung
anak hasil perbuatan zina. Hikmah disyariatkannya pernikahan adalah
untuk menjaga kelangsungan keturunan dan kejelasan nasab. Dengan
adanya praktik pembunuhan bayi, selain melanggar hifdz al-nafs, ia
juga melanggar hifdz al-nasl, yang dengannya Islam dapat tumbuh
berkembang hingga akhir zaman.

C. Kajian (Review) Studi Terdahulu

Jurnal yang ditulis oleh Dania Nalisa Indah dan Saifuddin Zuhri
pada tahun 2022 dengan judul “The Childfree Phenomenon in the
Perspective of Human Rights and Maqashid Al-Shari'ah”.
Penelitian ini membahas tentang fenomena childfree dalam
pandangan HAM dan maqâshid al-syarî’ah. Penelitian ini menggunakan
metode studi lapangan dengan mewawancara secara online atau kuesioner
kepada 62 responden. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa
generasi millenial Indonesia mempertimbangkan bahwa childfree
merupakan fenomena dari pasangan suami istri yang tidak ingin
mempunyai anak. 60% di antara responden memilih untuk mendukung
childfree karena childfree merupakan hak asasi seseorang bergantung
dengan pilihan pribadinya. Dan total 56% dari keseluruhan responden
percaya bahwa melakukan childfree tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Keputusan untuk childfree secara HAM sangat dilindungi, hal ini
berbeda dengan maqashid syariah, karena maqashid syariah menghendaki
untuk memlihara keturunan. Hasil penelitian ini dapat memberikan
pertimbangan kepada pemerintah dan instansi yang berwenang dalam

55
Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
vol 40, h. 262.

33
mengembangkan tindakan preventif agar fenomena yang bertentangan
dengan ajaran Islam dapat dikendalikan dengan baik dan efek negatif dapat
dikurangi.56
Dalam penelitian yang diteliti oleh M. Irfan Farraz Haecal,
Hidayatul Fikra, Wahyudin Darmalaksana pada tahun 2022 dengan judul
“Analisis Fenomena Childfree di Masyarakat: Studi Takhrij dan Syarah
Hadis dengan Pendekatan Hukum Islam”, ia menyatakan bahwa hukum
hadis tentang anjuran untuk memperbanyak keturunan adalah sahih bi al-
makna. Adapun menurut syarah, hadis tersebut menjelaskan tentang
anjuran menikah untuk memperbanyak keturunan. Hasil dari penelitian
tersebut adalah menghukumi bahwa childfree merupakan perbuatan yang
makruh. Akan tetapi hukum tersebut dapat berubah bergantung dengan
kondisi seseorang melakukannya.57
Sitti Muliya Rizka dkk. dalam jurnal penelitiannya yang berjudul
“Childfree Phenomenon in Indonesia” yang ditulis pada tahun 2021
mengungkapkan bahwa fenomena childfree sudah mulai merebak di
Indonesia dan mulai menimbulkan pro dan kontra terkait kebebasan untuk
memiliki anak. Berdasarkan data yang dirilis oleh Bank Dunia, tren
kelahiran di Indonesia terus menurun. Bahkan menurut BPS, angka
kelahiran kasar pada tahun 2019, terjadi angka penurunan penduduk per
1000 populasi. Keuntungan yang di dapat dari fenomena childfree dapat
berjalan dengan optimal jika hanya diadopsi oleh segelintir orang. Ini
karena setiap keuntungan cenderung menurun karena jumlah orang yang
menggunakan strategi yang sama meningkat.58
Berangkat dari beberapa penelitian di atas, perbedaannya dengan

56
Dania Nalisa Indah dan Syaifuddin Zuhdi, “The Childfree Phenomenon in the Perspective
of Human Rights and Maqashid Al-Shari’ah,” Proceedings of the International Conference on
Community Empowerment and Engagement (ICCEE 2021) 661, no. Iccee 2021 (2022): 222–
31, https://doi.org/10.2991/assehr.k.220501.025.
57
M Irfan dkk., “Analisis Fenomena Childfree di Masyarakat: Studi Takhrij dan Syarah Hadis
dengan Pendekatan Hukum Islam,” Conferences.Uinsgd.Ac.Id 8, no. 2 (2022): 219–33,
http://conferences.uinsgd.ac.id/index.php/gdcs/article/view/566.
58
Muliya Rizka dkk., “Childfree Phenomenon in Indonesia,” The 11th AIC on Social Science,
Syiah Kuala University 11 (2021): 336–41.

34
penelitian yang akan penulis bahas adalah perspektif yang digunakan. Bila
jurnal yang ditulis oleh Dania Nalisa Indah dan Saifuddin Zuhri
menggunakan pendekatan maqashid syariah, dan penelitian M. Irfan Farraz
Haecal, Hidayatul Fikra, Wahyudin Darmalaksana menggunakan
pendekatan studi syarah dan takhrij hadis, maka penulis menggunakan
perspektif tujuan pernikahan dalam Islam dan metode yang digunakan
adalah ilhaq bi nazhairiha, yakni dengan menggunakan doktrin-doktrin
ulama fikih. Adapun perbedaannya dengan penelitian yang ditulis oleh Sitti
Muliya Rizka dkk. adalah, penelitian penulis lebih terfokus pada pandangan
hukum Islam terhadap fenomena childfree, sedangkan penelitian tersebut
lebih terfokus kepada fenomena childfree di Indonesia yang kian marak
beserta penyebabnya, dan tidak mengemukakan ketentuan hukum Islam.

35
BAB III

TINJAUAN UMUM CHILDFREE

A. Pengertian Childfree

Childfree merupakan suatu gabungan dua kata bahasa Inggris dari kata
child yang bermakna anak, dan free yang berarti bebas. Maka apabila kita
artikan secara literal, childfree memiliki makna terbebas dari anak. Sedangkan
dalam Cambridge Dictionary : used to refer to people who choose not to have
children, or a place or situation without children.59 Childfree juga mempunyai
kesamaan makna dengan childless, yang dalam kamus Oxford Dictionary
mempunyai makna : having no children.60
Dalam Kamus Meriam-Webster, kata “childfree” pertama kali muncul
sebelum tahun 1901,61 dan telah dideskripsikan sebagai sebuah tren pada tahun
2014 dalam majalah daring Psychology Today.62 Sedangkan menurut Rachel
Chrastil, childfree adalah mereka yang tidak memiliki anak biologis dan tidak
berkeinginan secara mendalam untuk memiliki anak baik dengan cara adopsi
maupun jalan lain.63 Pengertian yang dikemukakan oleh Rachel selaras dengan
pengertian yang dikemukakan Agrillo. Menurut Agrillo, term ‘childfree’
mengindikasikan seseorang yang tidak mempunyai keinginan atau rencana
untuk memiliki anak.64 Akan tetapi keduanya berbeda menggunakan istilah
‘childfree’ dan ‘childless’, walaupun makna yang diharapkan sama. Mengutip
Tessarolo, Agrillo mengatakan bahwa ‘childless’ awalnya digunakan untuk
Organisasi Nasional Non-Parents yang berlainan dengan ‘childless’. Karena

59
Cambridge Dictionary, adj. “‘Childfree,’” diakses 2 Juni 2022,
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/child-free.
60
Oxford Learner’s Dictionaries, “‘child-less,’” diakses 2 Juni 2022,
https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/childless?q=childless.
61
Meriam-Webster Dictionary, “‘Childfree,’” diakses 24 September 2022,
https://www.merriam-webster.com/dictionary/child-free#h1.
62
Ellen Walker, “Childfree Trend on the Rise: Four Reasons Why!,” Psychology Today, 2014,
https://www.psychologytoday.com/intl/blog/complete-without-kids/201401/childfree-trend-
the-rise-four-reasons-why.
63
Chrastil, How to Be Childless: a History and Philosophy of Life Without Childreen, h. 8.
64
Agrillo dan Nelini, “Childfree by choice: A review.”, h. 347.

36
‘childfree’ menunjukkan mereka yang memilih untuk tidak memiliki anak
meskipun mereka mungkin memiliki kemampuan ekonomi dan biologis,
sedangkan ‘childless’ biasanya mengacu pada mereka yang ingin menjadi
orang tua tetapi tidak dapat karena alasan biologis.65

B. Macam-macam Childfree

Childfree, valountary-childless dan childless-by-choice adalah


terminologi baru yang sering digunakan peneliti dan dipandang akurat untuk
mendefinisikan individu yang telah membuat pilihan eksplisit dan disengaja
untuk tidak memiliki atau membesarkan anak, dibandingkan dengan istilah
“childless”.66 Karena dalam childless terdapat dua kategori berbeda. Kategori
pertama adalah valountary-childless yakni mereka yang secara eksplisit dan
disengaja memilih untuk tidak memiliki anak baik dalam kondisi normal (tidak
memiliki masalah kesuburan) maupun dalam kondisi mengalami gangguan
fekunditas. Sedangkan kategori kedua, adalah invalountary-childless.
Invalountary-childless merupakan sebutan bagi mereka yang menginginkan
anak dan membesarkannya, namun memiliki masalah kesuburan (fecundity
impaired), fungsi tubuh yang tidak normal, atau gangguan kesehatan lainnya,
sehingga tidak diperkenankan mengandung anak karena dapat membahayakan
keselamatan ibu maupun cabang bayi. Untuk kategori ketiga adalah temporary-
childless adalah mereka yang tidak memiliki anak dan menginginkannya nanti
dalam jangka waktu tertentu.67
Childfree di luar negeri berbeda dengan di Indonesia. Ketika orang-orang
di negara-negara Eropa dapat mengartikan childfree sebagai suatu tindakan
individual, kebanyakan orang Indonesia mengartikan childfree sebagai
tindakan yang dilakukan bersama dengan pasangan. Dania Nalisa Indah dan
Syaifuddin Zuhdi melakukan kuesioner kepada WNI beragama Islam dengan
rentang umur 18 sampai 30 tahun, dengan rasio jenis kelamin 73% perempuan

65
Agrillo dan Nelini, “Childfree by choice: A review.”
66
Blackstone dan Stewart, “Choosing to be childfree: Research on the decision not to parent.”,
h. 718
67
Agrillo dan Nelini, “Childfree by choice: A review.” H. 348.

37
dan 27% laki-laki. Responden tersebut diberikan sebuah pertanyaan untuk
menginterpretasikan konsep childfree. Berdasarkan kuesioner tersebut, 45%
responden menginterpretasikan childfree sebagai “pasangan suami istri yang
tidak ingin memiliki anak”, 28% mengatakan bahwa childfree adalah “individu
yang tidak ingin mempunyai anak”, dan 19% mengatakan bahwa childfree
adalah pasangan yang tidak ingin memiliki anak. Hasil dari kuesioner
menyatakan bahwa kebanyakan responden, yakni 45% responden dari total
responden mengintrerpretasikan childfree sebagai pasangan suami istri yang
tidak menginginkan anak. Perbedaan antara terminologi yang ditulis oleh
Agrillo dengan penelitian ini didasarkan atas perbedaan karakteristik antara
Indonesia dan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.68
Jika dilihat dari sudut pandang regulasi, Negara Indonesia adalah negara
dengan populasi mayoritas muslim, dan jika dilihat dari supremasi hukum,
Indonesia merupakan negara yang mewajibkan individunya untuk diikat dalam
perkawinan yang sah menurut hukum dan agama bagi anak yang lahir agar
diakui dan dijamin haknya oleh negara.69 Peraturan ini berbeda dengan mereka
yang di Amerika Serikat, yang mana AS merupakan satu dari beberapa negara
yang tidak mengharuskan pernikahan sebagai perantara untuk memiliki anak.
Hal ini umum bagi seorang anak untuk dilahirkan di luar ikatan pernikahan.
Mereka dapat memiliki anak di luar nikah dengan pasangannya, serta melalui
program bayi tabung untuk wanita yang belum menikah atau ibu pengganti
untuk pria yang belum menikah. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat
yang mengizinkan penggunaan surrogacy (ibu pengganti) adalah California,
Ohio, dan lainnya.70
Berdasarkan pengertian dan kategori childfree di atas, penulis
menggunakan terminologi childfree yang dikemukakan oleh Agrillo dan

68
Indah dan Zuhdi, “The Childfree Phenomenon in the Perspective of Human Rights and
Maqashid Al-Shari’ah.”, h. 225.
69
Rafik Patrajaya, “Implementasi Penjaminan Hak Anak Dan Istri Perspektif Hukum Positif
Di Indonesia,” SANGAJI: Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum 1, no. 2 (2017): 143–57,
https://doi.org/10.52266/sangaji.v1i2.200, h. 143-144.
70
Carla Spivack, “The Law of Surrogate Motherhood in the United States,” American Journal
of Comparative Law 58, no. 1 (2010): 97–114, https://doi.org/10.5131/ajcl.2009.0042, h. 97.

38
Rachel, yakni mereka yang secara sukarela dan sadar memilih untuk tidak
mempunyai anak disertai dengan tidak adanya keinginan dan usaha untuk
memilikinya walaupun memiliki kondisi fisik yang sehat. Dengan demikian,
fokus penelitian ini hanya valountary childless dan temporary childless, tidak
membahas lebih jauh tentang involuntary childless. Di samping itu, mengacu
pada penelitian yang dilakukan oleh Dania Nalisa Indah dan Syaifuddin Zuhdi,
sesuai dengan regulasi pernikahan di Indonesia, fokus penelitian ini juga
terfokus pada pasangan menikah yang melakukan childfree. Hal ini
mengecualikan childfree bagi mereka yang LGBT, selibat (melakukan kebiri),
atau melajang selamanya.

C. Fenomena Childfree dan Demografi Penduduk di Beberapa Negara


Untuk menguatkan penulis terkait maraknya fenomena childfree di dunia,
penulis menghadirkan data terkait praktik childfree di beberapa negara barat
dan demografi beberapa negara Asia. Mengingat childfree di Asia tidak begitu
gencarnya sebagaimana di dunia barat, penulis hanya menampilkan data
demografi dan sedikit menampilkan praktik childfree karena minimnya
penelitian yang membahasnya di kawasan Asia.
1. Childfree di Amerika.
Sebelum term childfree viral di Indonesia, di beberapa negara
sudah terlebih dahulu dilakukan sejumlah riset yang meneliti tentang
jumlah pelaku childfree. Berdasarkan Angka Biro Sensus AS, persentase
pasangan tanpa anak mengalami peningkatan tiga kali lipat antara tahun
1967 dan 1971, meningkat dari 1,3% menjadi 3,9%. Pada tahun 2000,
hampir 19% wanita di awal 40-an dan 29% di awal 30-an tidak mempunyai
anak. Juga kelahiran anak di antara wanita di AS di awal usia 20-an telah
mencapai rekor terendah, sedangkan rata-rata usia ibu pertama kali
dan tingkat kelahiran pertama di antara wanita berusia di atas 35 tahun
telah meningkat. Hari ini, perkiraan wanita tanpa anak di Amerika

39
Serikat sekitar 8,9%, dan diperkirakan sebanyak 25% dari wanita yang
lahir pada tahun 1973 tidak akan memiliki anak.71
2. Childfree di Kanada
Di Kanada, sementara proporsi orang yang memiliki anak
meningkat seiring bertambahnya usia (18% dari usia 20 hingga 24 tahun
memiliki satu atau lebih anak, dibandingkan dengan 64% dari 30 hingga
34 tahun), proporsi individu antara usia 20 dan 34 yang saat ini belum
memiliki anak tetapi berniat memilikinya di masa depan (temporary
childfree) turun dari 75% menjadi 27%. Tingkat kesuburan total per
wanita turun dari 3,5 anak pada tahun 1921 menjadi 1,5 pada tahun 2007.
Perempuan tidak hanya memiliki lebih sedikit anak, tetapi banyak yang
tidak memiliki anak sama sekali.72
3. Childfree di Jepang
Jepang merupakan negara dengan kemampuan SDM yang luar
biasa. Hal ini dapat diketahui dari kemampuan Jepang dalam menyerap
ilmu dari negara-negara barat untuk kemajuan negaranya. Oleh karena
SDM yang luar biasa itu, di era restorasi Meiji, Jepang meningkatkan
teknologinya dan bergabung dengan Jerman dalam Perang Dunia kedua.
Penyerapan Jepang terhadap barat tidak hanya dalam bidang sains, akan
tetapi juga budayanya, sehingga tren Childfree dan Unmarried pun
merasuki Jepang oleh kaum feminis.73
Tren tersebut muncul dikarenakan kentalnya budaya patriarki di
Jepang, yang menyudutkan hak-hak perempuan. Perempuan dianggap
sebagai warga kelas dua yang bertugas hanya untuk domestik saja. Selain
itu, apabila seorang perempuan menikah, maka ia harus ikut kepada
keluarga suaminya dan mengurusi mertuanya jika sakit. Hal ini
menyebabkan kaum feminis berusaha untuk menyetarakan kedudukan

71
Agrillo dan Nelini, “Childfree by choice: A review.”, h. 347-348.
72
Agrillo dan Nelini, “Childfree by choice: A review.”, h. 348.
73
Dhimas Adi Nugroho dkk., “Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat Jepang,”
COMSERVA Indonesian Jurnal of Community Services and Development 1, no. 11 (2022):
1023–30, https://doi.org/10.36418/comserva.v1i11.153, h. 1023.

40
atau bertindak melakukan childfree atau bahkan tidak menikah sama
sekali. Selain protes dari feminis, tren childfree dan unmarried juga
disebabkan karena budaya gila kerja dan mahalnya biaya pernikahan dan
rumah tangga di Jepang.74
Tabel 1. Tabel Populasi Jepang

74
Nugroho dkk., “Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat Jepang,”.

41
Menurut worldometers.info jumlah populasi di Jepang tertanggal
16 Juli 2022 berjumlah 125.690.189 jiwa. Jumlah ini terus menurun
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Begitu juga dengan tingkat
kesuburan masyarakat Jepang tahun 2020 menurun dibandingkan dengan
tahun 2019.75 Pemerintah Jepang terus melakukan upaya dalam
menanggulangi masalah populasi, karena dikhawatirkan populasi
asli Jepang akan hilang di masa depan jika masalah ini terus berlanjut.
4. Demografi Penduduk Arab Saudi
Arab Saudi merupakan negara pro natalis. Hal ini disebabkan
karena Arab Saudi merupakan negara muslim terbesar di dunia. Islam
merupakan agama yang menganjurkan umatnya untuk memperbanyak
keturunan berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, di
kurun terakhir demografi penduduk Arab Saudi, tingkat fertilitas Saudi
semakin menurun. Dikutip dari laman worldometers.info, tingkat
kesuburan (fertility rate) Arab Saudi pada tahun 2020 adalah 2.34. Hal ini
berbeda dengan tahun 2016-2019 dengan tingkat kesuburan 2.64.
Meskipun menurun, angka 2.34 merupakan angka yang cukup tinggi
dibandingkan dengan negara-negara lainnya, dan Arab Saudi juga
memiliki populasi yang kian tinggi setiap tahunnya.
Diketahui bahwa perkembangan terakhir populasi Arab Saudi pada
tanggal 15 Juli 2022 berdasarkan elaborasi Worldometer terhadap data
terbaru PBB berjumlah 35.913.946 jiwa. dengan jumlah tersebut, Arab
Saudi menduduki urutan ke 41 populasi terbanyak dunia dan menyumbang
0.45% dari total penduduk dunia.76
5. Childfree di Indonesia
Saat ini, fenomena childfree sedang berkembang di
Indonesia. Fenomena ini mulai diperbincangkan di tengah masyarakat
umum dan menimbulkan banyak pro dan kontra dalam masyarakat tentang

75
Worldometers.info, “Japan Population (LIVE),” 2022,
https://www.worldometers.info/world-population/japan-population/.
76
Worldometers.info, “Saudi Arabia Population (LIVE),” 2022,
https://www.worldometers.info/world-population/saudi-arabia-population/.

42
kebebasan memiliki anak. Term Childfree semakin mencuat di Indonesia
setelah seorang influencer bernama Gita Savitri menyatakan bahwa ia
enggan mempunyai anak. Masing-masing memiliki alasan tersendiri
dibalik pilihannya tersebut. Gita dalam Instagram story-nya @gitasav
berkata: "Di kamus idup gw, "tiba-tiba dikasih" is very unlikely. IMO lebih
gampang ga punya anak dari pada punya anak.. karena banyak banget
hal preventif yg bisa dilakukan untuk tidak punya," tutur Gita Savitri. Ia
menambahkan: "This scenario is very very verrry unlikely to happen.”77
Berdasarkan data yang dirilis oleh Bank Dunia, tren angka
kelahiran di Indonesia terus menurun, bahkan pada 2019 angka kelahiran
kasar per 1.000 penduduk yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS), dimana terjadi penurunan laju pertumbuhan penduduk. Laju
pertumbuhan penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2020
menunjukkan penurunan 1,25 persen dari periode sebelumnya di 2000
hingga 2010 yang menunjukkan 1,49 persen. BPS juga memperkirakan
bahwa pada tahun 2025-2030, laju pertumbuhan penduduk hanya 0,80%
dan akan terus menurun pada tahun berikutnya. Jika dilihat secara detail
dalam data BPS Indonesia, beberapa provinsi mengalami tingkat
pertumbuhan yang terus menurun. Sebagai contoh, laju pertumbuhan
penduduk di Aceh Provinsi juga terus menurun. Data BPS menunjukkan
bahwa pada tahun 2010-2015, laju pertumbuhan penduduk sebesar
2,03%. Selanjutnya pada tahun 2015-2020 laju pertumbuhan penduduk
menunjukkan 1,77%. Data ini menunjukkan bahwa setiap tahun, Provinsi
Aceh juga mengalami penurunan pertumbuhan penduduk.78
Menurut hemat penulis, tidak tepat mengatakan bahwa penurunan
jumlah penduduk dan fertilitas di Indonesia disebabkan karena childfree.
Perlu adanya penelitian khusus yang bersifat kuantitatif seperti yang
dilakukan oleh peneliti-peneliti di Amerika dan Eropa. Kemungkinan

77
Nursaniyah, “Bukan karena Ingin Punya Anak, Ternyata Ini Alasan Gita Savitri dan Paul
Andre Menikah.”
78
Rizka dkk., “Childfree Phenomenon in Indonesia.”, h. 336-337.

43
penurunan angka fertilitas di Indonesia disebabkan oleh keberhasilan
BKKBN dalam melaksanakan program Keluarga Berencana,79 maupun
keberhasilan program KB pada masa orde baru yang masih tertanam dalam
benak masyarakat Indonesia.

D. Alasan Utama Pilihan untuk Childfree

Memiliki anak merupakan harapan bagi pasangan suami istri. Mungkin


pernyataan tersebut masih relevan di sebagian masyarakat Indonesia dan di
negara-negara mayoritas muslim. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan
waktu, keluarga bahagia dengan hadirnya anak di dalamnya mengalami
perubahan secara konsep. Bagi sebagian orang, konsep keluarga bahagia
tidaklah melulu berkaitan dengan hadirnya anak. Keluarga bahagia bisa
didapatkan dari hubungan suami istri yang intens, finansial yang cukup, atau
bahkan cukup dengan hadirnya hewan peliharaan yang setia. Selain ketiga
faktor tersebut, masih terdapat beberapa alasan seseorang memilih untuk tidak
memiliki anak. Pendukung gaya hidup childfree, seperti Corinne Maier,
seorang penulis berkebangsaan Perancis dalam bukunya: 40 Reasons For Not
Having Childreen mengutip berbagai alasan untuk menguatkan pandangan
mereka. Berikut beberapa alasan utama seseorang melakukan childfree.

1. Personal dan Sosial


Faktor personal merupakan alasan pribadi yang didasari untuk
menggapai kesenangan maupun kesejahteraan diri sendiri karena terbebas
dari anak. Mengurus anak dipercaya dapat mengganggu kenyamanan
karena sangat menguras tenaga dan pikiran. Sedangkan faktor sosial
dipengaruhi oleh pengalaman orang-orang dalam menangani masalah

79
Biro Umum dan Humas, “Setelah 33 Tahun Perjuangan, BKKBN Kembali Raih
Penghargaan Tertinggi Dunia Bidang Kependudukan The 2022 United Nation Population
Award,” Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 2022,
https://www.bkkbn.go.id/berita-setelah-33-tahun-perjuangan-bkkbn-kembali-raih-
penghargaan-tertinggi-dunia-bidang-kependudukan-the-2022-united-nation-population-
award.

44
anak maupun merasa tidak setuju terhadap perlakuan dan harapan
masyarakat terhadap pria dan wanita.
Berikut beberapa alasan seseorang tidak ingin memiliki anak di
pandang dari segi personal dan sosial.
a. Kurangnya keinginan untuk menjadi orang tua.
b. Tidak mempunyai insting sebagai orang tua.
c. Melihat efek anak-anak pada keluarga/teman.
d. Kurangnya minat untuk mematuhi kewajiban sosial.
e. Pertimbangan untuk membesarkan anak-anak dengan menggunakan
kapasitas intelektual manusia yang buruk.
f. Sudah puas dengan bersenang-senang bersama hewan peliharaan.
g. Kemajuan pribadi.80
h. Ketersediaan alat-alat kontrasepsi membuat pilihan untuk childfree
menjadi semakin mudah untuk dilakukan.81
i. Kekhawatiran atas efek kehamilan pada tubuh wanita seperti
bertambahnya berat badan, stretch marks, payudara yang menurun,
pigmentasi berlebihan pada wajah, otot panggul yang kendur yang
menyebabkan berkurangnya kenikmatan seksual bagi wanita dan
pasangannya, wasir, inkontinensia urin, kematian, dan lain-lain.82
2. Masalah Medis dan Psikologi
Berikut adalah beberapa kekhawatiran seseorang terkait kesehatan dan

80
Kemajuan pribadi merupakan faktor di mana seseorang berkeinginan untuk
mencapai sukses dirinya dan menyingkirkan hal-hal yang dapat mengganggu kelangsungan
karir, termasuk di antaranya adalah uang, waktu, dan pengorbanan untuk membesarkan anak-
anak. Houseknecht mengidentifikasi motivasi yang diartikulasikan oleh partisipan tanpa anak
dalam 29 penelitian yang diterbitkan antara tahun 1971 dan 1981. Motif dengan frekuensi
tertinggi, muncul di 79% dari semua penelitian dan disebutkan tanpa perbedaan yang kuat
antara perempuan dan laki-laki, adalah kebebasan dari tanggung jawab pengasuhan anak, dan
kesempatan yang lebih besar untuk pemenuhan diri dan mobilitas spontan. lihat Sharon K.
Houseknecht, “Voluntary Childlessness,” Journal of Family Issues 3, no. 4 (1982): 459–71,
https://doi.org/10.1177/019251382003004003, h. 377.
81
Stephanie Zacharek, “Why I Have Zero Regrets About My Childless Life,” Time, 2019,
https://web.archive.org/web/20201211015631/https://time.com/5492622/stephanie-zacharek-
childless-life/.
82
Daniel Altman dkk., “Risk of Urinary Incontinence After Childbirth,” Obstetrics &
Gynecology 108, no. 4 (2006): 873–78, https://doi.org/10.1097/01.aog.0000233172.96153.ad,
h. 873.

45
psikologi yang menyebabkan seseorang tidak ingin atau diharuskan untuk
tidak memiliki anak.
a. Kepedulian terhadap keselamatan orang tua atau anak
b. Risiko bahwa kondisi medis yang ada dapat mempengaruhi
perawatan anak dan masa depannya.
c. Kekhawatiran bahwa anak akan mewarisi penyakit keturunan83 dan
masalah kesehatan mental (mental health issues).84
d. Kehamilan dan persalinan dapat membawa perubahan yang tidak
diinginkan seperti:
1) Perubahan neurobiologis substansial yang mengarah ke depresi
pasca melahirkan, dan perasaan tidak aman dan tidak mampu.
Pria juga bisa menderita depresi pasca istri melahirkan.85
2) Efek jangka panjang pada kesehatan wanita. Secara khusus,
penelitian menunjukkan hubungan sebab akibat antara
kehamilan dan penuaan sel yang dipercepat, karena energi
dialihkan dari pemeliharaan somatik ke upaya reproduksi.86
3) Takut dan/atau jijik terhadap kondisi fisik pasca melahirkan.
e. Percaya bahwa seseorang terlalu tua atau terlalu muda untuk
memiliki anak.87
f. Merasa tidak memiliki kapasitas untuk menjadi orang tua yang
sabar dan bertanggungjawab.88

83
Agrillo dan Nelini, “Childfree by choice: A review.”, h. 352.
84
Kellie Scott, “Undecided about having kids? Reading this might help,” ABC Everyday,
2020, https://www.abc.net.au/everyday/stories-for-those-undecided-about-having-
kids/12506732.
85
Nicola Davis, “Postnatal depression: fathers can suffer similar issues to women, say experts,”
The Guardian, 2018, https://www.theguardian.com/science/2018/aug/09/new-fathers-suffer-
similar-rates-of-depression-as-mothers-experts-warn.
86
Calen P. Ryan dkk., “Reproduction predicts shorter telomeres and epigenetic age
acceleration among young adult women,” Scientific Reports 8, no. 1 (2018): 1–9,
https://doi.org/10.1038/s41598-018-29486-4, h. 1.
87
Maja Bodin, Lars Plantin, dan Eva Elmerstig, “A wonderful experience or a frightening
commitment? An exploration of men’s reasons to (not) have children,” Reproductive
Biomedicine and Society Online 9 (2019): 19–27, https://doi.org/10.1016/j.rbms.2019.11.002,
h. 22.
88
Bodin, Plantin, dan Elmerstig, “A wonderful experience or a frightening commitment? An
exploration of men’s reasons to (not) have children,” h. 22.

46
3. Ekonomi dan Kultur
Alasan selanjutnya seseorang memilih untuk childfree adalah
karena alasan ekonomi dan kultur. Seseorang enggan memiliki anak
dalam rangka menghindari pembiayaan-pembiayaan yang merepotkan
di kemudian hari jika ia memiliki anak. Selain itu, kultur masyarakat
juga memberikan pengaruh dalam menentukan jalan hidup childfree.
Lebih rinci, berikut adalah faktor ekonomi dan kultur yang
memengaruhi seseorang untuk childfree.
a. Terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga tidak sempat memikirkan
anak-anak.89
b. Keengganan untuk membiayai perkembangan anak. Contoh,
berdasarkan Statistics Netherlands dan National Institute for
Budgetary Information (Nibud), membesarkan anak rata-rata
membutuhkan biaya €120.000 atau sekitar 1,7 miliar rupiah
semenjak ia lahir sampai berumur 18 tahun, atau sekitar 17% dari
pendapatan yang dapat dibelanjakan pada tahun 2019. Termasuk
membesarkan anak adalah memberikannya pendidikan, dan biaya
hidup lainnya.90
c. Hidup dalam wabah penyakit atau resesi ekonomi.91
d. Tidak membutuhkan perhatian anak sendiri ketika terlalu renta atau
mendekati kematiannya. Hal itu disebabkan: 1) di beberapa negara
yang terdapat fasilitas yang cukup memadai untuk para orang tua
seperti pendirian panti jompo. 2) Tidak memiliki anak
memungkinkan seseorang menabung lebih banyak untuk masa

89
Trung Son dan Nguyen Quy, “Overworked Saigon women have no time to have babies,”
VN Express, 2020, https://e.vnexpress.net/news/news/overworked-saigon-women-have-no-
time-to-have-babies-4038257.html.
90
“Hoeveel kost een kind tot zijn achttiende?,” Quest (dalam bahasa Belanda), 2019,
https://www.quest.nl/maatschappij/cultuur/a25777504/kosten-kind-tot-achttiende/;
91
Sian Cain, “Why a generation is choosing to be child-free,” The Guardian, 2020,
https://www.theguardian.com/books/2020/jul/25/why-a-generation-is-choosing-to-be-child-
free.

47
pensiun. 3) Memiliki anak tidak menjamin hubungan harmonis
antara orang tua dan anak.92
e. Lebih memilih untuk mendonasikan warisan kepada lembaga amal
pilihan sendiri daripada dibagikan kepada anak-anak mereka.93
4. Filosofis
Sebagai manusia yang berpikir, tentunya dalam kehidupan sehari-
hari mereka diisi dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai apa
arti dan makna kehidupan. Di antara para penganut childfree, ada yang
berpikiran secara filosofis terkait apa makna anak dan keturunan yang
sebenarnya. Jika makna tersebut dapat diraih dengan jalan lain, maka
mereka berpikir untuk mengambil jalan itu daripada untuk memiliki
anak. Selain itu, pilihan untuk childfree dapat pula dipengaruhi oleh
ideologi yang dianut. Berikut adalah alasan-alasan filosofis yang
mendasari seseorang melakukan childfree.
a. Lebih memilih untuk menginvestasikan waktu dan menabung
dengan tidak membesarkan anak untuk tujuan sosial yang lebih
bermakna.94
b. Percaya bahwa seseorang dapat tetap berkontribusi untuk
pendidikan anak yang lebih menyenangkan dan berempati dengan
menjadi guru atau babysitter, dengan tidak menjadi bagian dari
orang tua itu sendiri.95
c. Percaya bahwa seseorang bahkan dapat berkontribusi lebih untuk
kemanusiaan melalui usaha daripada memiliki anak. Misalnya
seseorang dapat berdonasi untuk amal.96

92
“Emma Gannon: I’m made to feel guilty for not having children,” BBC, diakses 27
September 2022,
https://www.bbc.co.uk/programmes/articles/3fr3mLYZGl4YPdPDQrvGNjK/emma-gannon-
i-m-made-to-feel-guilty-for-not-having-children.
93
Tobias Leenaert, “Kindvrij vs kinderloos,” Mondiaal Nieuws (dalam bahasa Belanda), 2015,
https://www.mo.be/column/kindvrij.
94
Leenaert, “Kindvrij vs kinderloos,”.
95
Leenaert, “Kindvrij vs kinderloos,”
96
Leenaert, “Kindvrij vs kinderloos,”.

48
d. Pendapat bahwa tidak memiliki anak tidak lebih egois daripada
mereka yang memilikinya.97
e. Antinatalisme, merupakan filosofi yang menyatakan bahwa tidak
bermoral membawa orang ke dunia. Antinatalis berpendapat bahwa
mereka mendukung asimetri98 antara kesenangan dan rasa sakit.
Ketiadaan rasa senang adalah netral, sedangkan ketiadaan rasa sakit
adalah hal positif. Oleh karena itu, mungkin secara umum seseorang
ingin agar calon anak selamat dari penderitaan hidup. Karena orang
tua tidak pernah bisa mendapatkan persetujuan dari anak yang
belum lahir, oleh karena itu, keputusan untuk melahirkan akan
menjadi beban hidup. Akan tetapi, antinatalisme tidak selamanya
diterima oleh beberapa orang yang tidak memiliki anak; bahkan
mereka menyukai anak-anak orang lain, namun tidak menginginkan
anak itu sendiri.99
f. Menjadi oposisi terhadap kapitalisme, diyakini kapitalisme
membutuhkan prokreasi dalam menunjang ideologi. Hal ini juga
terjadi di Jepang, para wanita Jepang melakukan childfree dalam
upaya menolak patriarki yang kian kental di sana.100
g. Dunia ini penuh dengan penderitaan, dan seseorang tidak dapat
memastikan bahwa setiap orang akan memiliki kehidupan yang
baik.101
5. Lingkungan
Tidak dapat dipungkiri bahwa kepadatan penduduk dapat
mempengaruhi lingkungan dan iklim. Banyaknya manusia harus
ditopang oleh tersedianya bahan makanan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi harian. Selain itu, kepadatan penduduk yang

97
Cain, “Why a generation is choosing to be child-free.”
98
Keadaan tidak seimbang
99
Leenaert, “Kindvrij vs kinderloos”; Chion Wolf, “You Didn’t Ask To Be Here: Adventures
In Antinatalism,” WNPR, 2022, https://www.ctpublic.org/environment/2020-07-09/you-
didnt-ask-to-be-here-adventures-in-antinatalism.
100
Nugroho dkk., “Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat Jepang.”, h. 1025.
101
Agrillo dan Nelini, “Childfree by choice: A review.”, h. 352.

49
berlebihan juga berimbas pada perubahan iklim, lingkungan yang
kotor, sesak dan sebainya. Oleh karena itu, terdapat orang-orang yang
melakukan childfree untuk menjaga keseimbangan alam. Berikut
faktor-faktor yang memengaruhi pilihan childfree berdasarkan
lingkungan.
a. Kekhawatiran tentang faktor lingkungan dan/atau kelebihan
penduduk.102
b. Pandangan bahwa kehadiran manusia dapat menyebabkan penderitaan
bagi spesies lainnya sebagaimana mereka menyebabkan kerusakan
pada diri mereka sendiri.103
c. Melawan overpopulasi dan dampaknya dengan jalan tidak
bereproduksi. Dampak lingkungan dari aktivitas manusia termasuk
pertumbuhan penduduk adalah perubahan iklim, pemanasan global,
polusi, kelangkaan sumber daya dan kelaparan, krisis kemanusiaan
seperti krisis pengungsi dan konflik etnis yang mengakibatkan
rusaknya keanekaragaman hayati atau kepunahan massal.104

E. Dampak Seseorang Melakukan Childfree


1. Dampak Positif
a. Lingkup Publik

Dalam kadar normal dapat mengatur jumlah populasi dunia.


Dalam laman worldometers.info, jumlah populasi dunia saat ini
berjumlah sekitar 7,9 milyar jiwa. Jumlah tersebut kian bertambah
setiap detiknya karena data yang ditampilkan bersifat realtime
sesuai dengan data dari PBB.105 Masalah ledakan jumlah penduduk
tentunya berimbas pada beberapa permasalahan penduduk seperti,

102
Agrillo dan Nelini, “Childfree by choice: A review.”, h. 352.
103
Todd May, “Would Human Extinction Be a Tragedy?,” New York Times, 2018,
https://www.nytimes.com/2018/12/17/opinion/human-extinction-climate-change.html.
104
Matthew Schneider-Mayerson dan Kit Ling Leong, “Eco-reproductive concerns in the age
of climate change,” Climatic Change 163, no. 2 (2020): 1007–23,
https://doi.org/10.1007/s10584-020-02923-y, h. 1.
105
Worldometers.info, “World Population (LIVE),” 2022,
https://www.worldometers.info/watch/world-population/.

50
kelaparan, masalah lingkungan global, krisis pembangunan dan
lingkungan.106

Menurut hemat penulis, di samping sisi positif mengurangi


jumlah penduduk dengan jalan childfree, terdapat hal yang lebih
manusiawi dilakukan yakni dengan mengurangi jumlah anak per
keluarga. Hal ini dirasa sukses dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dalam menekan laju pertumbuhan penduduk.

Pemerintah Indonesia atau dalam hal ini Institusi Badan


Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
berhasil mendapatkan penghargaan tertinggi bidang
kependudukan yaitu “The 2022 United Nation Population Award
(UNPA)” untuk kategori Institusi. Sebelumnya Indonesia juga
pernah meraih penghargaan serupa 33 tahun lalu yakni oleh
Presiden RI ke 2 Bapak Soeharto.

Penghargaan tersebut diraih karena BKKBN berhasil


melaksanakan program Keluarga Berencana di Indonesia.
Program tersebut berimbas pada penurunan secara signifikan TFR
(Total Fertility Rate) di Indonesia dari 5,6 menjadi 2,2 anak per
wanita selama kurun waktu 1970-an sampai 2000-an. Selain itu,
laju pertumbuhan penduduk Indonesia juga menurun dari 2,31%
per tahun pada 1971-1980 menjadi 1,25% per tahun pada 2010-
2020.107
b. Lingkup Privat

Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam alasan seseorang


melakukan childfree, tentunya memiliki dampak positif bagi
seseorang yang memang berniat melakukannya, yakni sebagai

106
M Baiquni, “Revolusi Industri, Ledakan Penduduk Dan Masalah Lingkungan,” Jurnal Sains
&Teknologi Lingkungan 1, no. 1 (2009): 38–59, https://doi.org/10.20885/jstl.vol1.iss1.art3.
107
Biro Umum dan Humas, “Setelah 33 Tahun Perjuangan, BKKBN Kembali Raih
Penghargaan Tertinggi Dunia Bidang Kependudukan The 2022 United Nation Population
Award.”

51
berikut:

1) Kebebasan finansial;

2) Mempunyai banyak waktu luang untuk bersenang-senang;

3) Terhindar dari trauma masa kecil;

4) Bagi perempuan dalam gangguan kesehatan semisal dapat


membahayakan ibu apabila memiliki anak, maka ini akan
menyelamatkan nyawa ibu.
2. Dampak Negatif
b. Jika dilakukan terus-menerus akan mengakibatkan kepunahan
umat manusia.
Dapat diketahui bahwa jika kelahiran semakin menurun atau
bahkan tidak melahirkan sama sekali dapat mengakibatkan kepunahan
umat manusia. Semakin sedikit manusia, maka akan semakin sedikit
SDM yang didapat untuk membangun suatu peradaban.
Masalah fertilitas ini dialami oleh negara Jepang. Banyak
generasi muda Jepang menganut budaya gila kerja, sehingga tidak
mempunyai waktu untuk mencari pasangan. Sebenarnya mereka
memiliki waktu untuk itu, akan tetapi mereka lebih memilih
menghabiskan waktu luangnya untuk lembur. Selain budaya gila kerja,
masalah fertilitas juga disebabkan karena gerakan feminis untuk tidak
menikah (unmarried) sebagai bentuk protes terhadap budaya patriarki
Jepang yang begitu kental.108
c. Berkurangnya usia produktif di generasi berikutnya.
Dengan berkurangnya jumlah populasi usia produktif, dan
semakin menjamurnya usia lansia dapat menimbulkan masalah SDM.
Jika hal demikian terjadi, maka gelombang imigran akan masuk ke
negara tersebut dan mengikis penduduk asli, maka identitas negara
semakin hilang seiring berjalannya waktu.109

108
Nugroho dkk., “Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat Jepang.”, 1025-
1026.
109
Nugroho dkk., “Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat Jepang.”, 1028.

52
d. Mendapat stigma negatif dari masyarakat
Stigma negatif akan timbul sebagai akibat dari seseorang
melakukan childfree, terutama di negara-negara pro natalis seperti
Indonesia. Adanya anak kandung membawa manfaat dalam sosial dan
ekonomi, rasa aman ketika orang tua berusia lanjut, dan juga
memberikan manfaat secara psikologis, budaya dan agama. Tentunya
seseorang melakukan childfree akan mendapat tekanan dan cemooh
dari masyarakat.110

BAB IV

ANALISIS FENOMENA CHILDFREE DALAM PANDANGAN


HUKUM ISLAM PERSPEKTIF TUJUAN PERNIKAHAN

A. Childfree Perspektif Tujuan Pernikahan

Childfree merupakan suatu fenomena global yang datang dari Barat


yang menyerukan bahwa menikah tidak harus memiliki anak. Memiliki anak
merupakan pilihan masing-masing pasangan dan tidak sepatutnya diintervensi
oleh pihak luar. Salah satu penyebab muncul fenomena ini adalah karena
maraknya gerakan feminis yang menyuarakan hak-hak perempuan terutama
dalam hal reproduksi. Selain itu, masih banyak alasan yang mendasari
keputusan mereka untuk memilih childfree sebagai jalan hidup.111
Meskipun pilihan untuk childfree merupakan hak individual seseorang.
Akan tetapi, dari pada menggunakan haknya itu, ada yang mendasari
pernikahannya dengan materialisme dan tidak dikaitkan dengan agama.112
Imbasnya, mereka berpikir bahwa hanya merekalah yang mempunyai hak
dalam melanjutkan keturunan. Padahal sejatinya tidaklah demikian. Oleh

110
Patnani, Takwin, dan Mansoer, “Bahagia tanpa anak? Arti penting anak bagi involuntary
childless.”, 124-125.
111
Blackstone dan Stewart, “Choosing to be childfree: Research on the decision not to parent.”,
h. 720.
112
Wolf, “You Didn’t Ask To Be Here: Adventures In Antinatalism.”

53
karena itu, fenomena ini harus ditangani dengan serius dan harus diurai dalam
beberapa hal.
Secara umum, childfree dapat dilihat dari dua aspek. Yakni aspek
teologis dan aspek yuridis Islam.
1. Aspek Teologis
Secara teologis, apabila sepasang suami istri menikah, biasanya
keduanya mengharapkan anak dalam mahligai rumah tangga mereka.
Firman Allah Swt.
Q.S. Al-Nisa [4] ayat 1

‫جه َا و َب ََّث‬ َ َ ‫حدَة ٍ َّوخ َل‬


َ ‫ق مِّنْهَا ز َ ْو‬ ِّ ‫س َّوا‬
ٍ ‫ِّي خ َلَقَك ُ ْم م ِّنْ َّن ْف‬
ْ ‫اس َّاتقُو ْا ر ََّبكُم ُ الَّذ‬ َّ ‫ٰٖٓيا َُّيهَا‬
ُ ‫الن‬

َ‫ن ب ِّه و َالْا َ ْرح َام َ ۗ ا ِّ َّن اللٰه َ ك َان‬ ْ ‫مِّنْهُم َا رِّج َال ًا كَثِّيْر ًا َّونِّس َ ۤا ء ً ۚ و ََّاتق ُوا اللٰه َ الَّذ‬
َ ْ ‫ِّي تَس َ ۤا ءَلُو‬

)1 : 4 / ‫عَلَيْك ُ ْم ر َقِّي ْبًا (النساء‬

Artinya: Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah


menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya
pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan
nama-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

Dan Firman Allah Swt. Q.S. Al-A’raf [7] : 189

‫ن اِّلَيْهَاۚ فَل ََّما تَغ َٰشىهَا‬


َ ُ‫سك‬
ْ َ ‫جه َا لِّي‬
َ ‫ل مِّنْهَا ز َ ْو‬ َ ‫حدَة ٍ َّو‬
َ َ ‫جع‬ ِّ ‫س َّوا‬
ٍ ‫ِّي خ َلَقَك ُ ْم م ِّنْ َّن ْف‬
ْ ‫ه ُو َ الَّذ‬

‫ت َّدع َوَا اللٰه َ ر ََّبهُم َا ل ِىَ ْن اٰتَي ْتَنَا صَالِّ حاً َّلنَكُو ْن ََّن‬
ْ َ ‫ت ب ِّه ۚفَل ََّم ٖٓا اَثْق َل‬
ْ ‫خفِّيْف ًا فَم ََّر‬
َ ‫ت حَم ْل ًا‬
ْ َ ‫حَمَل‬

)189 : 7 / ‫ن (الأعراف‬ ٰ ‫ن‬


َ ْ ‫الشكِّر ِّي‬ َ ِّ ‫م‬

Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan
darinya Dia menjadikan pasangannya agar dia cenderung dan merasa
tenteram kepadanya. Kemudian, setelah ia mencampurinya, dia (istrinya)
mengandung dengan ringan. Maka, ia pun melewatinya dengan mudah.
Kemudian, ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) memohon

54
kepada Allah, Tuhan mereka, “Sungguh, jika Engkau memberi kami anak
yang saleh, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Jika kita lihat dua ayat di atas, keduanya membicarakan tentang


penciptaan manusia sebagai makhluk yang satu, kemudian diciptakanlah
pasangannya dari jenis yang sama (manusia). Keduanya dipertemukan
agar timbul ketenangan di antara keduanya. Dari pertemuan tersebut
tentunya menghendaki lahirnya keturunan yang banyak. Maka, kedua
ayat di atas mengandung spirit bahwa pernikahan yang normal dan
sejalan dengan sunatullah adalah pernikahan dengan hadirnya anak. Dan
dalam ayat kedua, disebutkan pula bahwa anak merupakan sesuatu yang
patut disyukuri keberadaanya, karena anak merupakan rezeki dari Allah
Swt. sekaligus amanah yang harus dijaga.
Merupakan sunatullah sebagai manusia melanggengkan keturunan.
Telah disebutkan dalam ayat di atas bahwa setiap pertemuan antara laki-
laki dan perempuan (dalam ikatan pernikahan) tidak lengkap jika tidak
dikaruniai seorang buah hati. Dengan hadirnya buah hati, ketenangan
(sakinah), mawaddah dan rahmah dapat terpenuhi. Firman Allah Swt.
Q.S. Al-Rûm [30] ayat 21

ً ‫ل بَي ْنَك ُ ْم َّمو ََّدة‬ َ َ ‫سكُن ُ ْٖٓوا اِّلَيْهَا و‬


َ َ ‫جع‬ ْ َ ‫سك ُ ْم ا َ ْزو َاج ًا لِّت‬
ِّ ُ ‫ق ل َك ُ ْم م ِّنْ اَنْف‬
َ َ ‫وَم ِّنْ اٰي ٰت ِّ ٖٓه ا َ ْن خ َل‬

َ ِّ ‫َّورَحْم َة ً ۗا ِّ َّن ف ِّ ْي ذٰل‬


)21 : 30 / ‫ك ل َاٰي ٍٰت لِّقَو ْ ٍم َّيت َف ََّكر ُ ْونَ (الروم‬

Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia


menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar
kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta
dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Menurut Quraish Shihab, sesuai ayat di atas, tujuan utama


pernikahan adalah menggapai sakinah. Dalam keluarga yang sakinah,
pasangan suami istri harus melaksanakan fungsi keluarga, di antara

55
fungsi keluarga adalah untuk reproduksi.113 Secara tidak langsung dapat
kita katakan bahwa memiliki anak dapat menunjang ketenangan dalam
berumah tangga, karena sebabnya dapat menjalankan fungsi keluarga.
Selain itu, menurut Ibnu Abbas dan Mujahid kata rahmah dalam Al-
Qur’an mempunyai makna ‘anak’. Sedangkan Quraish Shihab
memaknai rahmah sebagai kasih sayang kepada yang lemah, dalam hal
ini adalah kasih sayang kepada anak ketika ia kecil, dan kepada orang
tua ketika sudah renta.114
Selain ayat di atas, Rasulullah ‫ ﷺ‬juga menganjurkan umatnya untuk
menikah dan memiliki banyak keturunan.

‫ إني أصبت‬:‫ فقال‬،‫ جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم‬:‫ قال‬،‫عن معقل بن يسار‬
‫ ثم‬،‫ «لا» ثم أتاه الثانية فنهاه‬:‫ قال‬،‫ أفأتزوجها‬،‫ وإنها لا تلد‬،‫امرأة ذات حسب وجمال‬
)‫ (رواه أبو داود‬115.»‫ «تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم‬:‫ فقال‬،‫أتاه الثالثة‬

Artinya : “Dari Ma’qil bin Yasar berkata: Seseorang telah mendatangi


Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya berkata: “Wahai
Rasulullah, saya mengenal seorang wanita yang mempunyai kedudukan
dan cantik namun dia mandul, apakah saya boleh menikahinya ?, maka
beliau melarangnya, kemudian dia mendatangi beliau untuk yang kedua
kali, beliau pun melarangnya lagi, kemudian dia mendatangi beliau lagi,
maka beliau pun tetap melarangnya. Akhirnya Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda:
“Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang dan subur, karena
saya bangga dengan jumlah kalian yang banyak” (H.r. Abu Dawud)

Menurut Imam al-Dzahabi dan Syekh Albani hadis di atas


merupakan hadis yang sahih, dan Al-Arna’uth mengatakan bahwa sanad
pada hadis ini kuat.116 Sebagai mana kita ketahui bahwa hadis sahih

113
Shihab, Perempuan, h. h. 137-145.
114
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 13 ed. (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 36
115
Abu Daud Sulaiman Al-Sijistani, Sunan Abi Daud, ed. oleh Syu’aib Al-Arnauth, 1 ed., vol.
3 (Dar al-Risalah al-Alamiyah, 2009), h. 395.
116
Muhammad bin Abdillah Al-Hakim, Mustadrak ’Ala Al-Shahihain, ed. oleh Musthafa
Abdul Qadir ’Atha, 1 ed., vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), h. 176; Abu Daud
Sulaiman Al-Sijistani, Sunan Abi Daud, ed. oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, vol. 2
(Beirut: Maktabah al-Ashriyah, t.t.), h. 220; Abu Daud Sulaiman Al-Sijistani, Sunan Abi Daud,
ed. oleh Syu’aib Al-Arnauth, 1 ed., vol. 3 (Dar al-Risalah al-Alamiyah, 2009), h. 395.

56
sudah memenuhi salah satu kriteria penentuan hukum Islam, yakni
qath’iyu tsubut. Secara dalâlah, hadis di atas juga memiliki pengertian
yang jelas bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬menghendaki banyaknya umat dari
pasangan suami istri. Karena dengan banyaknya umat, Islam akan
menjadi besar dan disegani oleh umat lainnya. Apabila suatu sumber
hukum (nash) sudah memenuhi unsur qathi’yu tsubut dan qath’iyyu
dalâlah dan tidak ada nash lain yang berlawanan dengan maksud nash
tersebut, maka nash tersebut dapat dijadikan dalil kuat dalam
menentukan suatu hukum.117
Dari ayat Al-Qur’an dan hadis di atas, sudah jelas bahwa Islam
menghendaki hadirnya anak dalam kehidupan rumah tangga. Anjuran
Rasulullah ‫ ﷺ‬sebagai junjungan umat Islam juga patut didahulukan di
atas kepentingan ego belaka. Maka, sudah semestinya menikah harus
diiringi dengan niat untuk melanjutkan keturunan. Niat untuk
menjalankan anjuran Rasulullah ‫ ﷺ‬berupa memiliki keturunan dan
menyiapkan kader yang saleh merupakan anjuran agama. Niat juga
memiliki peranan penting dalam melangsungkan pernikahan. Janganlah
menikah didasarkan hanya pada hal-hal yang bersifat materi apalagi
tidak mengaitkannya dengan agama (sekuler). Karena sejatinya
pernikahan merupakan ikatan suci yang kuat (mitsaqan ghalizha) yang
harus diiringi dengan nafas Islam di dalamnya. Dengan demikian,
Childfree dengan niat untuk tidak memiliki anak dengan alasan-alasan
materialisme dan sekulerisme tidak sejalan dengan tujuan utama
pernikahan.
Akan tetapi, memiliki banyak anak, sedikit atau tidak memilikinya
sama sekali karena alasan fertilitas merupakan sesuatu yang tidak lepas
dari kekuasaan Allah Swt.
Allah Swt. berfirman:

117
Muhammad Abu al-Fath Al-Bayanuni, Memahami Hakikat Hukum Islam terj. Ali Mustafa
Yaqub, 2 ed. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 23.

57
ِّ ُ ْ ‫لِّلٰه ِّ مُل‬
ُ ‫ق م َا يَش َ ۤا ء ُ ۗيَه َبُ لم َِّنْ يَّش َ ۤا ء ُ ان َاث ًا َّو يَه َبُ لم َِّنْ يَّش َ ۤا ء‬
ُ ُ ‫يخ ْل‬
َ ‫ض‬
ۗ ِّ ‫ت و َالْا َ ْر‬ َّ ‫ك‬
ِّ ‫السم ٰٰو‬

)49 :42 / ‫كوْر َ ٌۙ (الشورى‬ ُّ


ُ ‫الذ‬

Artinya: Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa
yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia
kehendaki, memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki.

Anak keturunan merupakan rezeki dari Allah Swt. bukan suami dan
bukan pula istri. Allahlah yang menghendaki wujud anak berupa laki-laki,
perempuan, atau bahkan tidak memilikinya sama sekali. Karena sejatinya
Allahlah dalang dalam penciptaan manusia dalam rahim, manusia
hanyalah wasilah. Meskipun demikian, pasangan suami istri hendaklah
senantiasa berusaha dan berdoa untuk memiliki keturunan. Betapa banyak
pasangan suami istri mengharapkan anak dalam kehidupan rumah
tangganya. Kita lihat bahwa Nabi Zakariya As. dan nabi Ibrahim As. dalam
Al-Qur’an sangat mengharapkan adanya anak dalam pernikahan mereka.
Kemudian Allah memberikan rezeki kepada keduanya dengan
menghadirkan Yahya As. dan Ishaq As. Namun, jika sedari awal pasangan
suami istri sudah berniat untuk tidak memiliki anak keturunan, tentunya
hal tersebut tidak sejalan dengan nash-nash yang memiliki spirit
berketurunan. Selain itu, jika seseorang dengan jasmani dan jiwa yang
sehat dan memiliki kemampuan untuk berketurunan enggan untuk
memiliki anak, sungguh hal tersebut telah mencederai hati para Nabi.
Dengan demikian, patutlah kita sebagai muslim yang taat senantiasa
mengiringi pernikahan dengan nafas Islam di dalamnya. Menikah harus
disertai dengan kesiapan diri baik secara fisik, materi, maupun mental. Dan
apabila sudah siap untuk menikah, maka hendaklah pernikahan tersebut
diiringi dengan mengharapkan, memiliki, dan mendidik anak dalam
kehidupan berumah tangga.
2. Aspek Yuridis
Jika dipandang secara yuridis, niat memiliki anak merupakan sesuatu

58
yang bernilai pahala. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa ulama
sepakat jika menikah dengan niat memiliki keturunan merupakan sunah,
dan jika tidak adanya niat tersebut maka hukumnya mubah. Meskipun
menikah dengan tanpa diiringi niat memiliki keturunan merupakan perkara
mubah menurut jumhur, akan tetapi semuanya sepakat akan keutamaan
menikah dengan niat memiliki keturunan. Oleh karena itu, meskipun
hukum pernikahan tersebut mubah, ia tetap meninggalkan tujuan menikah
yang lebih utama, yakni memiliki keturunan.
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulûmiddin berpendapat bahwa:

‫وفي التوصل إلى الولد قربة من أربعة أوجه هي الأصل في الترغيب فيه عند الأمن‬

‫ الأول موافقة محبة الله‬،ً ‫من غوائل الشهوة حتى لم يحب أحدهم أن يلقى الله عزبا‬

‫ والثاني طلب محبة رسول الله صلى‬،‫بالسعي في تحصيل الولد لإبقاء جنس الإنسان‬

،‫ والثالث طلب التبرك بدعاء الولد الصالح بعده‬،‫الله عليه وسلم في تكثير من مباهاته‬
118
.‫والرابع طلب الشفاعة بموت الولد الصغير إذا مات قبله‬

“Usaha meneruskan keturunan merupakan suatu yang bernilai ibadah


dalam empat sisi. Semuanya merupakan pokok anjuran menikah, karena
di dalamnya terdapat rasa aman dari gejolak syahwat, sehingga tidak ada
seorang yang suka bila bertemu Allah Swt. dalam keadaan lajang. Pertama,
menggapai rida’ Allah dengan berusaha menghasilkan anak keturunan
untuk melanggengkan jenis manusia. Kedua, mencari rida’ Rasulullah ‫ﷺ‬
dengan memperbanyak keturunan yang membanggakan. Ketiga,
mengharapkan keberkahan dari doa anak yang saleh selepas kematiannya.
Keempat, mengharapkan pertolongan (syafa’at) dengan sebab kematian
anak yang mendahuluinya.”

Hasan Sayyid Hamid Khitab dalam kitabnya, Maqâsidun Nikâh yang


mengutip pendapat Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya I’lâmul
Muwaqqi’in mengatakan bahwa :

‫ وهي‬, ‫ وإنجاب الولد الصالح‬, ‫وكذلك في النكاح مقصوده حفظ النوع البشري‬

‫ حيث يرتبط كل منهما بالآخر و يطرد معه فلا يمكن‬, ‫أيضا علة حقيقية لتشر يعه‬

118
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, vol. 2 (Beirut: Dar al Ma’rifah, t.t.), h. 24.

59
‫ والولد الصالح غاية‬, ‫ فالنكاح سبب يتوصل إليه‬, ‫تصور الولد الصالح بدون النكاح‬

.‫ وإذا لم يوجد الزواج لا يمكن وجود الولد الصالح‬, ‫ومقصد للشرع وللمكلف‬

“Begitu pula dalam pernikahan, tujuannya adalah untuk melanggengkan


jenis manusia, melahirkan anak yang saleh, hal itu juga yang menjadi ‘illat
hakiki disyariatkannya nikah. Karenanya tidak mungkin terbayang adanya
anak saleh tanpa pernikahan, sehingga nikah menjadi sebab yang menjadi
perantara. Anak saleh merupakan maksud syariat bagi mukallaf. Jika tidak
ada pernikahan, maka wujud anak yang saleh tidak mungkin ada”.119

Menurut Hasan Sayyid Hamid Khitab di atas, secara tidak langsung


dapat kita katakan bahwa mendidik anak yang saleh merupakan sebuah
taklif bagi umat muslim. Karena wujudnya anak saleh tidak akan pernah
ada jika ia tidak adanya pernikahan. Maka sudah seharusnya pernikahan
itu diiringi semangat untuk memiliki keturunan.
Atas dasar pendapat para ulama di atas, jika sepasang suami istri dalam
keadaan normal, dan secara medis memiliki kemampuan untuk beranak-
pinak, maka dilarang bagi keduanya untuk menutup jalan keturunan.
Menikah juga harus disertai dengan kesiapan fisik, materi, maupun
mental. Ulama fikih telah merumuskan bahwa hukum menikah berbeda-
beda bergantung dengan kondisi seseorang. Pernikahan dapat menjadi
haram apabila seseorang secara yakin dapat membahayakan pasangan
apabila menikah nanti. Karena sesuatu yang dapat mendatangkan
keharaman, maka hukumnya haram pula.120 Termasuk kesiapan dalam
menikah adalah kesiapan mental yang baik. Tidak jarang pasangan suami
istri mengalami baby blues dikarenakan tidak siap memiliki anak.
Fenomena baby blues mengakibatkan anak yang tidak tahu apa-apa
menjadi korban kemarahan atau bahkan penganiayaan orang tuanya. Jika
terjadi demikian, tujuan pernikahan untuk menggapai sakinah tidak
tercapai. Maka, kesiapan untuk menikah harus ditimbang baik buruknya

119
Hasan Sayyid Hamid Khitab, Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan Fiqhiyyatan
Muqâranatan (Madinah, 2009), h. 9.
120
Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, h. 6516.

60
agar tidak terjadi KDRT. Betapa banyak bertebaran bimbingan pernikahan
di Indonesia guna mencapai kesiapan berumah tangga. Alangkah baiknya
menikah harus disiapkan baik-baik agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan dalam berumah tangga. Maka, bila pasangan suami istri
melakukan childfree dengan alasan bahwa ia khawatir akan menyakiti
anaknya kelak, tidak dapat dibenarkan. Terdapat cara agar penyakit mental
dapat disembuhkan, yakni dengan berkonsultasi terkait parenting kepada
ahlinya, bukan dengan cara memutus keturunan.

B. Konsep Tanâsul dan Kaitannya dengan Childfree

1. Metode Kontrasepsi Permanen

Salah satu penyebab maraknya orang melakukan childfree adalah


banyak tersedianya alat-alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan
mereka.121 Salah satu di antara banyaknya alat kontrasepsi adalah
vasektomi dan tubektomi. metode kontrasepsi dengan cara memotong
sebagian (0,5-1cm) saluran benih sehingga saluran sperma tidak keluar
dari testis. Sedangkan tubektomi adalah metode kontrasepsi permanen
pada wanita dengan cara menutup tuba fallopi sehingga sperma tidak
masuk ke dalam rahim. Vasektomi dan tubektomi merupakan metode
kontrasepsi permanen yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin atau
boleh memiliki anak (dengan alasan kesehatan). Dikatakan permanen
karena metode ini hampir tidak dapat mengembalikan kondisi semula jika
seseorang ingin memiliki anak.122
Menurut pandangan Islam hukum sterilisasi pada dasarnya adalah
haram. Penyebab keharaman tersebut adalah: a) sterilisasi merupakan
pembatasan keturunan (tahdîd al-nasl) karena dapat memandulkan secara
permanen. Pemandulan secara permanen bertentangan dengan tujuan
utama perkawinan dan dilarang oleh Islam. b) Sterilisasi dapat dikatakan

Zacharek, “Why I Have Zero Regrets About My Childless Life.”


121
122
Sari Priyanti dan Agustin Dwi Syalfina, Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan Keluarga
Berencana (Surakarta: CV Kekata Group, 2017), h. 115.

61
membunuh ciptaan Allah SWT tidak pada tempatnya. c) dalam
pelaksanaannya terdapat hal yang dilarang yakni melihat aurat besar orang
lain, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh hadis di atas.123
Pelarangan tersebut terindikasi dari sabda Rasulullah ‫ﷺ‬:

‫ ألا‬،‫ يا رسول الله‬:‫ فقلنا‬،‫كنا نغزو مع النبي صلى الله عليه وسلم ليس لنا نساء‬

)‫(رواه البخاري‬ 124


.‫نستخصي؟ فنهانا عن ذلك‬

Artinya: Kami pernah berperang bersama-sama dengan Nabi ‫ﷺ‬, saat itu
kami tidak mempunyai istri, maka kami pun berkata, "Wahai Rasulullah,
apakah kami harus mengebiri?" Namun, beliau melarang kami untuk
melakukannya.

Selain itu, terdapat riwayat Imam Muslim dan Imam Tirmidzi dari
Sahabat Sa’ad bin Abi Waqash, Rasulullah Saw. bersabda:

‫ ولو أذن‬،‫ على عثمان بن مظعون التبتل‬- ‫ صلى الله عليه وسلم‬- ‫رد رسول الله‬

)1083 :‫ والترمذي‬،1082 : ‫ (رواه مسلم‬125.‫له لاختصينا‬

Artinya: “Rasulullah Saw. pernah melarang Utsman bin Mazh’un untuk


membujang selamanya. Andaikan beliau mengizinkannya, tentulah kami
sudah mengebiri diri kami sendiri.” (H.r. Muslim dan Tirmidzi).

Perilaku mengebiri merupakan hal yang telah jelas dilarang oleh


Rasulullah ‫ﷺ‬. Hal itu dikarenakan pengebirian merupakan jalan untuk
memutus keturunan. Selain itu, pengebirian juga mengubah ciptaan Allah
Swt. Mengubah ciptaan Allah Swt. merupakan hal yang dilarang pula
dalam Islam sebagaimana dilarangnya memanjangkan rambut, membuat
tato dan lain-lain. Banyak pelaku childfree menggunakan metode
kontrasepsi yang dapat memutus keturunan secara permanen seperti
vasektomi dan tubektomi. Selain vasektomi dan tubektomi dengan jalan
memutus keturunan merupakan suatu yang diharamkan, hal itu juga
mengubah ciptaan Allah Swt. pula.

123
Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 886.
124
Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari, vol. 7, h. 4.
125
Hajjaj, Sahih Muslim, 1955, vol. 2, h. 1020.

62
Akan tetapi, jika terjadi sesuatu yang menghendaki dilakukannya
sterilisasi dalam keadaan darurat, maka hukum bisa saja berubah. Hal-hal
darurat yang dimaksud adalah kanker rahim, penyakit menurun yang dapat
membahayakan buah hati, dan lain-lain. Dalam kaidah fikih disebutkan
bahwa:

‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬

“Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil maslahat”


Bila seseorang dengan kesehatan yang normal dan tanpa adanya
darurat maka haram baginya melakukan itu. Hal tersebut dapat merusak
tujuan perkawinan dan tidak sesuai dengan konsep tanâsul dalam Islam.
Konsep tanâsul dalam Islam hanya membolehkan seseorang melakukan
pembatasan kelahiran jika disertai tujuan yang dibenarkan. Adapun jika
alasan yang dipakai hanya keinginan yang bersifat egoisme belaka maka
haram baginya. Dalam hal ini, childfree dengan tujuan pembatasan
kelahiran haram dilakukan. Selain itu, jika ia menggunakan metode
sterilisasi maka ia juga melanggar ketentuan syariat karena mengubah
ciptaan Allah Swt.
Secara umum, alat kontrasepsi yang dibolehkan penggunaannya adalah
alat kontrasepsi yang tidak membutuhkan bantuan orang lain dalam
penggunaannya, tidak bersifat aborsi dan hanya bersifat sementara. Cara
atau Alat-alat kontrasepsi yang penggunaannya tidak membutuhkan
bantuan orang lain adalah pil kondom dan pantang berkala. Adapun yang
masih diperselisihkan para ulama adalah alat kontrasepsi yang dapat
menghambat bagi kelanjutan hidup benih dan pemakaiannya memerlukan
bantuan orang lain seperti spiral. Dan alat kontrasepsi yang disepakati
keharamannya adalah yang sudah jelas unsur pembunuhannya seperti
pengguguran atau unsur pemandulan untuk selamanya atau unsur
pengubahan bentuk atau susunan tubuh yang telah diciptakan Allah SWT.
Dalam musyawarah ulama Indonesia terbatas tahun 1972 pengguguran
kandungan hukumnya haram kecuali dalam keadaan darurat.

63
2. Childfree karena Faktor Ekonomi
Jika salah satu faktor penyebab banyak orang melakukan childfree
adalah karena faktor ekonomi, maka sama halnya dengan kaum jahiliyyah.
Kesamaan tersebut berlaku hanya pada motivasi, akan tetapi cara yang
digunakan untuk melakukannya berbeda. Jika pada masa kini seseorang
melakukan childfree dengan cara memakai alat-alat kontrasepsi yang
dapat mencegah kehamilan, maka orang-orang pada zaman jahiliyyah
melakukannya dengan membunuh anak mereka sendiri yang sudah lahir.
Termasuk dalam membunuh anak adalah aborsi, yakni membunuh bayi
yang masih dalam kandungan. Padahal, bayi yang lahir ke dunia dalam
keadaan suci, tak berdosa, dan tidak mengetahui apa pun. Allah Swt.
berfirman dalam surat al-Takwir ayat 8-9.

)9-8 : 81/ ‫ت (التكوير‬


ۚ ْ َ ‫ٌۢب قُتِّل‬
ٍ ْ ‫ي ذَن‬ ْۖ ْ َ ‫و َاِّذ َا ال ْمَو ْءٗدَة ُ س ُِىل‬
ِّ َ ‫ت ب ِّا‬

Artinya: “apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup


ditanya, (8) “Karena dosa apa dia dibunuh (9)”.

Salah satu penyebabnya ialah kekhawatiran akan memberatkan dirinya


di kemudian hari karena hidup dalam kemiskinan.126 Dengan tegas Allah
Swt. melarang hal tersebut dalam firman-Nya Q.S. Al-Isra [17] ayat 31:

ِّ َ‫ن نَرْز ُقُه ُ ْم و َا ِّ َّياك ُ ْۗم ا ِّ َّن قَت ْلَه ُ ْم ك َان‬


‫خ ْط ًا كَبِّي ْر ًا‬ ُ ْ ‫نح‬ ۗ ٍ ‫خشْي َة َ اِّمْلَا‬
َ ‫ق‬ َ ‫وَل َا تَقْتُل ُْٖٓوا ا َ ْول َاد َك ُ ْم‬

)31 : 17 / ‫(الإسراء‬

Artinya: “Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut


miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan (juga)
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa
yang besar.”

Dari ayat di atas, tidak patut bagi seorang muslim jika merasa khawatir
akan kehidupan anak ke depan, baik dari segi ekonomi maupun
pendidikan. Karena Allah Swt. telah menjamin rezeki setiap makhluk
hidup di muka bumi. Menurut Sayyid Thanthawi, bukanlah seseorang

126
Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, h. 232.

64
mukmin hakiki bila ia tidak meyakini dengan keyakinan yang pasti bahwa
setiap makhluk di muka bumi baik manusia, hewan dan lainnya telah
ditanggung rezekinya oleh Allah Swt. Dia lah yang memberikan rezeki
kepada orang kaya, orang miskin, besar maupun kecil. Akan tetapi,
meskipun rezeki Allah Swt. sangatlah luas, hal itu tidak menafikan usaha
untuk menggapainya. Karena rezeki ini telah disediakan untuknya oleh
Allah Swt., siapa yang mengambilnya akan beruntung, dan siapa yang
mengabaikannya akan merugi.127
Dengan demikian, childfree dengan niat agar terhindar dari pajak
perawatan anak, kemiskinan, dan masalah ekonomi lainnya tidak dapat
dibenarkan. Setiap makhluk di dunia telah Allah Swt. siapkan rezekinya,
tinggal bagaimana seseorang itu berusaha untuk menggapainya.

3. Tandzîm al-Nasl sebagai Solusi Masalah Kependudukan


Salah satu faktor banyaknya generasi muda memilih jalan hidup
childfree adalah kekhawatiran akan perubahan iklim dan lingkungan yang
kian hari makin rusak. Kerusakan tersebut merupakan dampak dari
aktivitas tangan jahil manusia yang semena-mena terhadap alam. Aktivitas
manusia tersebut didasari oleh kelebihan penduduk yang menuntut untuk
mengeruk kekayaan alam demi memenuhi kebutuhan manusia. Maka jalan
hidup childfree dipilih dalam upaya mengentaskan masalah lingkungan
yang disebabkan oleh kelebihan penduduk.128
Menurut hemat penulis, masih terdapat cara lain yang lebih maslahat
digunakan untuk menanggulangi masalah lingkungan yang disebabkan
oleh banyaknya jumlah penduduk dunia. Salah satu caranya adalah dengan
mengatur kelahiran atau tandzîm al-nasl. Tandzîm al-nasl di Indonesia
dikenal dengan program Keluarga Berencana. Program ini dinilai cukup
sukses untuk menekan jumlah penduduk di Indonesia. Hal itu dibuktikan

127
Organisasi Konferensi Islam, Majalah Majma’ al-Fiqh al-Islami, vol. 5 (Jeddah: Organisasi
Konferensi Islam, t.t.), h. 93.
128
Schneider-Mayerson dan Leong, “Eco-reproductive concerns in the age of climate change.”,
h. 1.

65
dengan penghargaan yang di dapat oleh institusi BKKBN yang berhasil
mendapatkan penghargaan tertinggi bidang kependudukan oleh PBB.
Keberhasilan tersebut didapat karena BKKBN berhasil melaksanakan
program KB dengan menurunkan TFR (Total Fertility Rate) di Indonesia
dari 5,6 menjadi 2,2 anak per wanita selama kurun waktu 1970-an sampai
2000-an. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia juga menurun dari 2,31
% per tahun pada 1971-1980 menjadi 1,25% per tahun pada 2010-2020.129
Berdasarkan keterangan di atas, agaknya memilih untuk childfree
sebagai pilihan untuk menyelamatkan lingkungan merupakan suatu yang
berlebihan, jika tidak dapat kita katakan haram. Terdapat cara lain yang
lebih humanis dan islami untuk dilakukan dalam menanggulanginya.
Selain itu, kehadiran anak mutlak diperlukan demi menunjang ekonomi
dan diharapkan menjadi generasi penerus tonggak berdirinya suatu bangsa.
Kita telah melihat fakta bahwa negara Jepang menghadapi jurang
kemerosotan jumlah penduduk. Budaya hustle culture, yang menerpa
generasi muda Jepang menyebabkan banyak dari mereka tidak
memikirkan untuk menikah dan memiliki keturunan dan lebih memilih
untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya.130
Dengan sedikitnya jumlah penduduk, sedikit pula tenaga kerja untuk
menopang ekonomi, maka tidak ada jalan lain selain menyerap tenaga
kerja asing. Hal itu bukan tanpa risiko, banyaknya tenaga kerja asing yang
menetap sehingga melebihi penduduk asli dapat menyebabkan krisis
identitas. Oleh karena itu, jalan tengah untuk menghadapi overpopulasi
dan terlalu sedikitnya jumlah penduduk adalah dengan mengatur kelahiran
dengan tidak memperbanyak sehingga mengganggu kesehatan ibu dan
tidak pula memutus keturunan sama sekali.
Syekh Yusuf al-Qaradhawi membolehkan tandzîm al-nasl selama
memiliki alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Alasan tersebut adalah: 1)

129
Biro Umum dan Humas, “Setelah 33 Tahun Perjuangan, BKKBN Kembali Raih
Penghargaan Tertinggi Dunia Bidang Kependudukan The 2022 United Nation Population
Award.”
130
Nugroho dkk., “Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat Jepang.”, h. 1025.

66
khawatir akan kesehatan ibu dan anak, 2) khawatir akan bahaya akan
urusan dunia sehingga menghambat ibadah, 3) khawatir akan menularkan
penyakit kepada anak. Dengan sebab-sebab tersebut, maka tandzîm al-nasl
diperbolehkan dalam Islam.131
Jika dilihat dari paparan ahli hukum Islam di atas, tampaknya antara
childfree dan tandzîm al-nasl memiliki sisi yang bersinggungan. Sisi di
mana apabila salah dalam menerapkannya, maka hukumnya sama saja
haram. Sisi tersebut adalah niat. Pada praktiknya, antara childfree dan
tandzîm al-nasl sama-sama menggunakan alat kontrasepsi. Oleh karena
itu, patut dibedakan antara childfree dengan niat tahdîd al-nasl dengan
tandzîm al-nasl.
Mahmud Syaltut memaparkan bahwa antara tahdîd al-nasl dengan
tandzîm al-nasl berbeda dari segi niatnya. Menurutnya, tahdîd al-nasl
adalah memutus kelahiran secara umum yakni keluar dari wasiat-wasiat
yang telah ditetapkan syariat, seperti 1) hadis Rasulullah Saw. untuk
memperbanyak keturunan, 2) dilarang membunuh anak karena takut
miskin, dan lain-lain. Maka tahdîd al-nasl dalam pengertian ini merupakan
sesuatu yang wajib disepakati pengingkarannya. Sedangkan tandzîm al-
nasl merupakan pengaturan kelahiran bagi wanita yang cepat hamil,
wanita yang mempunyai penyakit menular, atau karena diri tak kuasa
memikul beban jika dihadapkan dengan tanggung jawab yang banyak,
sedangkan pemerintah atau orang-orang kaya tidak memberikan subsidi
terhadap mereka. Tandzîm al-nasl dalam makna ini bertujuan untuk
menolak kemudharatan, dan menciptakan keturunan yang saleh dan
kuat.132
Sebagaimana yang telah disebutkan Mahmud Syaltut, tahdîd al-nasl
dianggap telah keluar dari wasiat-wasiat yang telah ditentukan, yakni
wasiat untuk memperbanyak keturunan, dan membunuh anak karena takut

131
Yusuf Qaradhawi, Al-Halal wa Al-Haram fii al-Islam, 22 ed. (Kairo: Maktabah Wahbah,
1997), h. 176-177.
132
Mahmud Syaltut, Al-Fatawa : Dirasah al-Musykilaat al-Muslim al-Mu’ashir fii Hayatih al-
Yaumiyah wa al-’Amah, 12 ed. (Kairo: Dar al-Syuruq, 2001), h. 296.

67
miskin. Dalam hal ini dapatlah penulis qiyas-kan bahwa childfree dengan
membatasi keturunan karena keinginan ego pribadi serta takut akan
kemiskinan dan biaya yang pemeliharaan anak yang mahal merupakan
sesuatu yang telah keluar dari batas yang ditentukan syara’.
Sedangkan tandzîm al-nasl tidaklah bertentangan dengan wasiat-
wasiat yang telah ditetapkan Rasulullah ‫ ﷺ‬tentang memperbanyak
keturunan. Sayyid Thanthawi berpendapat bahwa yang dimaksud
banyaknya umat dalam hadis tersebut adalah banyaknya orang-orang yang
beriman, saleh, kuat dan produktif. Nabi ‫ ﷺ‬tidak membanggakan dengan
banyaknya orang yang fâsiq, gemar bermaksiat, lemah, lapar, terbelakang,
bodoh, dan menggantungkan sebagian besar kebutuhan hidupnya dari
yang lain. Melainkan Nabi ‫ ﷺ‬membanggakan banyaknya umat istiqâmah
dalam jalan-Nya, kuat, suka mengasihi, dan kaya; yakni mereka yang
selalu berderma.133
Dengan demikian, tahdîd al-nasl dan tandzîm al-nasl merupakan
sesuatu yang berbeda dari sisi niat pelakunya. Perbedaan niat dalam
keduanya perlu dilakukan agar tidak terjerumus dalam niat yang salah
sehingga melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah
Swt. dan rasul-Nya. Maka, tandzîm al-nasl sebaiknya diniatkan untuk
kemaslahatan yang telah disebutkan di atas, dan harus disesuaikan dengan
kapabilitas orang tua dalam mendidik dan memelihara anak-anaknya. Hal
itu dilakukan guna mencapai umat yang kuat, beriman, dan berkualitas
sebagai penopang tegaknya agama Islam hingga hari kiamat. Dengan
kualitas umat yang baik dan terampil, diharapkan dapat mengentaskan
masalah-masalah umat, salah satunya adalah masalah yang diakibatkan
oleh kepadatan penduduk.

133
Organisasi Konferensi Islam, Majalah Majma’ al-Fiqh al-Islami, h. 94.

68
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Childfree merupakan fenomena masyarakat yang berasal dari Barat


yang menyuarakan untuk tidak memiliki anak keturunan. Childfree atau
dalam hal ini merupakan voluntary childless adalah mereka yang secara
sadar dan sukarela memilih untuk tidak memiliki keturunan ataupun
berusaha memilikinya dengan jalan adopsi maupun yang lainnya. Banyak
faktor yang mendorong seseorang memilih untuk childfree, di antaranya
adalah faktor personal, medis dan psikologis, filosofis, ekonomi dan kultur
serta lingkungan.

Childfree dengan niat untuk membatasi keturunan (tahdîd al-nasl)


adalah bertentangan dengan syariat Islam dan tujuan pernikahan. Syariat
Islam yang agung menganjurkan umatnya untuk menikah dan
memperbanyak keturunan. Banyaknya keturunan tersebut tentunya harus
disertai dengan kualitas umat yang baik demi menunjang tegaknya agama
Islam hingga hari kiamat. Sakînah, mawaddah dan rahmah sebagai tujuan
pernikahan dapat digapai dengan hadirnya anak dalam kehidupan rumah
tangga, meskipun anak merupakan rezeki dari Allah Swt., akan tetapi
patutnya sebagai hamba yang taat senantiasa berusaha memilikinya. Selain
itu, berusaha memiliki keturunan merupakan sesuatu yang bernilai ibadah,
dan sunah para nabi. Juga, anak yang saleh yang dihasilkan dari
pernikahan merupakan maksud syariat bagi mukallaf. Oleh sebab itu, jika
melihat banyaknya keutamaan yang didapat dengan hadirnya anak, maka
membatasi keturunan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’
merupakan sesuatu yang tidak sejalan dengan tujuan pernikahan.

Syariat Islam telah memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan


memiliki keturunan dalam Al-Qur’an, hadis, dan ijtihad para ulama.

69
Dalam hal ini penulis menyebutnya sebagai konsep tanâsul. Childfree
dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas telah keluar dari
konsep tanâsul Islam. Sebagai contoh, 1) praktik childfree yang
membatasi keturunan secara permanen dengan metode vasektomi dan
tubektomi dilarang oleh hadis Rasulullah ‫ ﷺ‬yang melarang sahabatnya
untuk mengebiri diri sendiri. 2) Childfree karena takut akan biaya yang
mahal dan kemiskinan dilarang oleh Al-Qur’an. 3) Childfree karena
khawatir akan masalah lingkungan dikarenakan banyaknya jumlah
penduduk dapat dicapai dengan cara yang lebih manusiawi seperti tandzîm
al-nasl. Dengan demikian, Childfree dengan alasan-alasan tersebut tidak
sesuai dengan konsep tanâsul Islam.

B. Saran

Bagi masyarakat umum, melakukan childfree mempunyai banyak sisi


negatif. Selain karena tidak sesuainya dengan prinsip Islam untuk
memperbanyak keturunan, ia juga dapat menimbulkan cemooh baik dari
keluarga maupun masyarakat dalam lingkungan pro-natalis. Selain itu,
memiliki anak akan melengkapi kebahagiaan antara suami dan istri. Maka,
bagi ia yang dalam keadaan normal tanpa adanya darurat maupun masalah
kesehatan, lebih baik baginya untuk mengharapkan anak dalam
pernikahannya. Menikah dan memiliki anak juga merupakan sunah
Rasulullah ‫ ﷺ‬dan rasul-rasul terdahulu sejak nabi Adam. Dengan menikah
dan memiliki anak ia dapat menjalankan sunah Rasulullah ‫ ﷺ‬dan sunah
rasul-rasul terdahulu.

Bagi pemangku jabatan dan pemerintahan, sebaiknya memberikan


pendidikan dan kesehatan yang baik bagi warga masyarakatnya. Karena
hal tersebut dapat membuat warga masyarakat menjadi lebih aman ketika
memiliki momongan. Karena masalah-masalah kehidupan yang demikian
pelik menyebabkan para orang tua enggan memiliki anak. Dengan
kesejahteraan yang meningkat, tentunya kekhawatiran tersebut dapat
hilang. Dan tujuan pernikahan dapat tercapai.

70
Bagi Kementerian Agama, hendaknya memberikan pelatihan-
pelatihan maupun seminar yang berkaitan dengan pernikahan. Pelatihan
tersebut diharapkan dapat memberikan edukasi kepada warga masyarakat
agar memahami konsep dan tujuan pernikahan supaya menjadikan
keluarganya menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Teruntuk para Ulama hendaknya senantiasa memberikan arahan, motivasi
dan ceramah yang menjunjung tinggi sunah-sunah Rasulullah ‫ ﷺ‬terutama
yang berkaitan dengan keturunan. Dengan motivasi dan ceramah tersebut
diharapkan dapat menggugah semangat umat agar senantiasa
mengharapkan keturunan dan menjaganya, guna mencapai umat Muslim
yang baik secara kuantitas dan kualitas.

71
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an

Agrillo, Christian, dan Cristian Nelini. “Childfree by choice: A review.”


Journal of Cultural Geography 25, no. 3 (2008): 347–63.
https://doi.org/10.1080/08873630802476292.

Al-’Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Diedit oleh
Abd al-Aziz bin Baz dan Muhibuddin Al-Khatib. Vol. 9. Madinah: Dar al
Ma’rifah, t.t.

Al-Bayanuni, Muhammad Abu al-Fath. Memahami Hakikat Hukum Islam terj.


Ali Mustafa Yaqub. 2 ed. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Sahih Al-Bukhari. Vol. 7. Mesir: Dar al-
Thuq al-Najah, 1422.

Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulum al-Din. Vol. 2. Beirut: Dar al Ma’rifah,
t.t.

Al-Hakim, Muhammad bin Abdillah. Mustadrak ’Ala Al-Shahihain. Diedit


oleh Musthafa Abdul Qadir ’Atha. 1 ed. Vol. 2. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1990.

Al-Ibad, Abd Al-Muhsin bin Hamd. Syarh Sunan Abi Dawud. Vol. 236.
Maktabah Syamilah, 1432.

Al-Jazairi, Abdurrahman. Al-Fiqh ’ala al-Mazahib al-Arba’ah. 2 ed. Kairo: Al-


Dar al-’Alamiyyah li al-Nasyr wa al-Tajlid, 2016.

Al-Khin, Mustafa, dan Mustafa Dib Al-Bugha. al-Fiqh al-Manhaji. 4 ed. Vol.
4. Damaskus: Dar al Qalam, 1992.

Al-Maghribi, Husain bin Muhammad. Al-Badr al-Tamam Syarh Bulugh al-


Maram. Diedit oleh Ali bin Abdullah Al-Zibn. 1 ed. Vol. 6. Dar Hijr,
2007.

Al-Munawi, Abd al-Ra’uf bin Taj al-Arifin. Fayd al-Qadir Syarh al-Jami’ al-
Shagir. 1 ed. Vol. 3. Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1356.

Al-Nawawi, Muhyiddin. al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj. Vol.


11. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1392.

Al-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim bin al-Hajjaj.
4 ed. Vol. 5. Kairo: Dar al-Hadith, 2001.

Al-Qurthubi, Muhammad. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Diedit oleh Ahmad

72
Al-Barduni dan Ibrahim Atfisy. 3 ed. Vol. 14. Kairo: Darul Kutub al-
Mishriyyah, 1964.

Al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman. Sunan Abi Daud. Diedit oleh Muhammad
Muhyiddin Abdul Hamid. Vol. 2. Beirut: Maktabah al-Ashriyah, t.t.

———. Sunan Abi Daud. Diedit oleh Syu’aib Al-Arnauth. 1 ed. Vol. 3. Dar
al-Risalah al-Alamiyah, 2009.

Al-Suyuthi, Jalaluddin. Jam’ul Jawami’. 2 ed. Vol. 2. Kairo: Al-Azhar Al-


Syarif, 2005.

Al-Tirmidzi, Abu Isa. al-Jami’ al-Kabir. Diedit oleh Basyar Awaad Ma’ruf. 1
ed. Vol. 2. Beirut: Dar al Garb al Islamy, 1996.

Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu. Vol. 9. Damaskus: Dar


al Fikr, 1433.

Altman, Daniel, Åsa Ekström, Catharina Gustafsson, Annika López, Christian


Falconer, dan Jan Zetterström. “Risk of Urinary Incontinence After
Childbirth.” Obstetrics & Gynecology 108, no. 4 (2006): 873–78.
https://doi.org/10.1097/01.aog.0000233172.96153.ad.

Amrullah, Abdul Malik Karim. Tafsir Al-Azhar. Vol. 7. Singapura: Pustaka


Nasional PTE LTD Singapura, t.t.

Baiquni, M. “Revolusi Industri, Ledakan Penduduk Dan Masalah


Lingkungan.” Jurnal Sains &Teknologi Lingkungan 1, no. 1 (2009): 38–
59. https://doi.org/10.20885/jstl.vol1.iss1.art3.

Biro Umum dan Humas. “Setelah 33 Tahun Perjuangan, BKKBN Kembali


Raih Penghargaan Tertinggi Dunia Bidang Kependudukan The 2022
United Nation Population Award.” Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional, 2022. https://www.bkkbn.go.id/berita-setelah-33-
tahun-perjuangan-bkkbn-kembali-raih-penghargaan-tertinggi-dunia-
bidang-kependudukan-the-2022-united-nation-population-award.

Blackstone, Amy, dan Mahala Dyer Stewart. “Choosing to be childfree:


Research on the decision not to parent.” Sociology Compass 6, no. 9
(2012): 718–27. https://doi.org/10.1111/j.1751-9020.2012.00496.x.

Bodin, Maja, Lars Plantin, dan Eva Elmerstig. “A wonderful experience or a


frightening commitment? An exploration of men’s reasons to (not) have
children.” Reproductive Biomedicine and Society Online 9 (2019): 19–27.
https://doi.org/10.1016/j.rbms.2019.11.002.

Cain, Sian. “Why a generation is choosing to be child-free.” The Guardian,


2020. https://www.theguardian.com/books/2020/jul/25/why-a-

73
generation-is-choosing-to-be-child-free.

Cambridge Dictionary. “‘Childfree.’” Diakses 2 Juni 2022.


https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/child-free.

Chrastil, Rachel. How to Be Childless: a History and Philosophy of Life


Without Childreen. New York: Oxford university Press, 2020.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. 7 ed. Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve, 2006.

Davis, Nicola. “Postnatal depression: fathers can suffer similar issues to


women, say experts.” The Guardian, 2018.
https://www.theguardian.com/science/2018/aug/09/new-fathers-suffer-
similar-rates-of-depression-as-mothers-experts-warn.

Diamant, Jeff. “The countries with the 10 largest Christian populations and the
10 largest Muslim populations.” Pew Research Center, 2019.
https://www.pewresearch.org/fact-tank/2019/04/01/the-countries-with-
the-10-largest-christian-populations-and-the-10-largest-muslim-
populations/.

Dictionary, Meriam-Webster. “‘Childfree.’” Diakses 24 September 2022.


https://www.merriam-webster.com/dictionary/child-free#h1.

DP3KB. “9 Manfaat KB Bagi Keluarga.” Dinas Pemberdayaan Perempuan,


Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana,
2017. http://dp3kb.brebeskab.go.id/9-manfaat-kb-bagi-
keluarga/#:~:text=Adapun tujuan umum dari perencanaan,dengan jalan
mengendalikan jumlah kelahiran.

BBC. “Emma Gannon: I’m made to feel guilty for not having children.”
Diakses 27 September 2022.
https://www.bbc.co.uk/programmes/articles/3fr3mLYZGl4YPdPDQrvG
NjK/emma-gannon-i-m-made-to-feel-guilty-for-not-having-children.

Frejka, Tomas. “Childlessness in the United States.” Demographic Research


Monographs, no. November 2016 (2017): 159–79.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-44667-7_8.

Hajjaj, Muslim bin. Sahih Muslim. Diedit oleh Muhammad Fu’ad Abd Al-
Baqi. Vol. 2. Kairo: Mathba’ah Isa al-Babi al-Hilbi wa Syirkah, 1955.

———. Sahih Muslim. Diedit oleh Muhammad Fuad Abd Al-Baqi. Vol. 3.
Kairo: Mathba’ah Isa al-Babi al-Hilbi wa Syirkah, 1955.

———. Sahih Muslim. Vol. 4. Kairo: Mathba’ah Isa al-Babi al-Hilbi wa


Syirkah, 1955.

74
Quest. “Hoeveel kost een kind tot zijn achttiende?,” 2019.
https://www.quest.nl/maatschappij/cultuur/a25777504/kosten-kind-tot-
achttiende/.

Houseknecht, Sharon K. “Voluntary Childlessness.” Journal of Family Issues


3, no. 4 (1982): 459–71. https://doi.org/10.1177/019251382003004003.

Indah, Dania Nalisa, dan Syaifuddin Zuhdi. “The Childfree Phenomenon in the
Perspective of Human Rights and Maqashid Al-Shari’ah.” Proceedings of
the International Conference on Community Empowerment and
Engagement (ICCEE 2021) 661, no. Iccee 2021 (2022): 222–31.
https://doi.org/10.2991/assehr.k.220501.025.

Irfan, M, Farraz Haecal, Hidayatul Fikra, Wahyudin Darmalaksana, Jurusan


Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Sunan Gunung, et al.
“Analisis Fenomena Childfree di Masyarakat: Studi Takhrij dan Syarah
Hadis dengan Pendekatan Hukum Islam.” Conferences.Uinsgd.Ac.Id 8,
no. 2 (2022): 219–33.
http://conferences.uinsgd.ac.id/index.php/gdcs/article/view/566.

Kellie Scott. “Undecided about having kids? Reading this might help.” ABC
Everyday, 2020. https://www.abc.net.au/everyday/stories-for-those-
undecided-about-having-kids/12506732.

Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait. al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-


Kuwaitiyyah. Vol. 39. Kuwait: Kementrian Wakaf dan Urusan Islam
Kuwait, 1427.

Kementrian Kesehatan RI. “Situasi Keluarga Berencana di Indonesia.” Buletin


Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Jakarta, 2013.

Khitab, Hasan Sayyid Hamid. Maqâsidun Nikâh wa Atsarihâ Dirâsatan


Fiqhiyyatan Muqâranatan. Madinah, 2009.

Leenaert, Tobias. “Kindvrij vs kinderloos.” Mondiaal Nieuws, 2015.


https://www.mo.be/column/kindvrij.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2014.

May, Todd. “Would Human Extinction Be a Tragedy?” New York Times,


2018. https://www.nytimes.com/2018/12/17/opinion/human-extinction-
climate-change.html.

Muhaimin. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University Press,


2020.

Munzhir, Ibnu. Lisan al-Arab. 3 ed. Vol. 11. Beirut: Dar al-Shadir, 1414.

75
Nugroho, Dhimas Adi, Fitri Alfarisy, Afizal Nuradhim Kurniawan, dan Elin
Rahma Sarita. “Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat
Jepang.” COMSERVA Indonesian Jurnal of Community Services and
Development 1, no. 11 (2022): 1023–30.
https://doi.org/10.36418/comserva.v1i11.153.

Nursaniyah, Fitri. “Bukan karena Ingin Punya Anak, Ternyata Ini Alasan Gita
Savitri dan Paul Andre Menikah.” 16 Agustus, 2021.
https://www.kompas.com/hype/read/2021/08/16/175912066/bukan-
karena-ingin-punya-anak-ternyata-ini-alasan-gita-savitri-dan-paul.

Organisasi Konferensi Islam. Majalah Majma’ al-Fiqh al-Islami. Vol. 5.


Jeddah: Organisasi Konferensi Islam, t.t.

Oxford Learner’s Dictionaries. “‘child-less.’” Diakses 2 Juni 2022.


https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/childless?
q=childless.

Patnani, Miwa, Bagus Takwin, dan Winarini Wilman Mansoer. “Bahagia tanpa
anak? Arti penting anak bagi involuntary childless.” Jurnal Ilmiah
Psikologi Terapan 9, no. 1 (2021): 117.
https://doi.org/10.22219/jipt.v9i1.14260.

Patrajaya, Rafik. “Implementasi Penjaminan Hak Anak Dan Istri Perspektif


Hukum Positif Di Indonesia.” SANGAJI: Jurnal Pemikiran Syariah dan
Hukum 1, no. 2 (2017): 143–57.
https://doi.org/10.52266/sangaji.v1i2.200.

Priyanti, Sari, dan Agustin Dwi Syalfina. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi dan
Keluarga Berencana. Surakarta: CV Kekata Group, 2017.

Qaradhawi, Yusuf. Al-Halal wa Al-Haram fii al-Islam. 22 ed. Kairo: Maktabah


Wahbah, 1997.

Rizka, Muliya, Kurnita Yeniningsih, Mutmainnah, dan Yuhasriati. “Childfree


Phenomenon in Indonesia.” The 11th AIC on Social Science, Syiah Kuala
University 11 (2021): 336–41.

Rohim, Sabrur. “Argumen Program Keluarga Berencana (Kb) Dalam Islam.”


Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum 2, no. 2 (2017).
https://doi.org/10.22515/al-ahkam.v2i2.501.

Ryan, Calen P., M. Geoffrey Hayes, Nanette R. Lee, Thomas W. McDade,


Meaghan J. Jones, Michael S. Kobor, Christopher W. Kuzawa, dan Dan
T.A. Eisenberg. “Reproduction predicts shorter telomeres and epigenetic
age acceleration among young adult women.” Scientific Reports 8, no. 1
(2018): 1–9. https://doi.org/10.1038/s41598-018-29486-4.

76
Schneider-Mayerson, Matthew, dan Kit Ling Leong. “Eco-reproductive
concerns in the age of climate change.” Climatic Change 163, no. 2
(2020): 1007–23. https://doi.org/10.1007/s10584-020-02923-y.

Shihab, M. Quraish. Perempuan. Diedit oleh Qamarudin SF. Tangerang


Selatan: Lentera Hati, 2018.

Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.


Tangerang: Lentera Hati, 2005.

———. Tafsir al-Misbah. 13 ed. Jakarta: Lentera Hati, 2004.

Son, Trung, dan Nguyen Quy. “Overworked Saigon women have no time to
have babies.” VN Express, 2020.
https://e.vnexpress.net/news/news/overworked-saigon-women-have-no-
time-to-have-babies-4038257.html.

Spivack, Carla. “The Law of Surrogate Motherhood in the United States.”


American Journal of Comparative Law 58, no. 1 (2010): 97–114.
https://doi.org/10.5131/ajcl.2009.0042.

Syaltut, Mahmud. Al-Fatawa : Dirasah al-Musykilaat al-Muslim al-Mu’ashir


fii Hayatih al-Yaumiyah wa al-’Amah. 12 ed. Kairo: Dar al-Syuruq, 2001.

Syamsudin, M. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2007.

Badan Pusat Statistik. “Total Fertility Rate (TFR).” Diakses 14 Oktober 2022.
https://sirusa.bps.go.id/sirusa/index.php/indikator/1156.

Walker, Ellen. “Childfree Trend on the Rise: Four Reasons Why!” Psychology
Today, 2014. https://www.psychologytoday.com/intl/blog/complete-
without-kids/201401/childfree-trend-the-rise-four-reasons-why.

Wolf, Chion. “You Didn’t Ask To Be Here: Adventures In Antinatalism.”


WNPR, 2022. https://www.ctpublic.org/environment/2020-07-09/you-
didnt-ask-to-be-here-adventures-in-antinatalism.

Worldometers.info. “Japan Population (LIVE),” 2022.


https://www.worldometers.info/world-population/japan-population/.

———. “Saudi Arabia Population (LIVE),” 2022.


https://www.worldometers.info/world-population/saudi-arabia-
population/.

———. “World Population (LIVE),” 2022.


https://www.worldometers.info/watch/world-population/.

77
Zacharek, Stephanie. “Why I Have Zero Regrets About My Childless Life.”
Time, 2019.
https://web.archive.org/web/20201211015631/https://time.com/5492622
/stephanie-zacharek-childless-life/.

78

Anda mungkin juga menyukai