Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.HI)
Oleh :
DEDE SAEPULOH
204043203076
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.HI)
Oleh :
DEDE SAEPULOH
204043203076
Di Bawah Bimbingan
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
Jakarta.
Dede Saepulloh
KATA PENGANTAR
Segala puji sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan alam Baginda Besar Nabi
Muhammad SAW.
Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk sekripsi ini merupakan salah satu bagian
syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana
Syariah (S.HI) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat
mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orangtua, seluruh keluarga dan pihak-
pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas
Jakarta.
Studi yang telah membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan
Skripsi ini.
iii
3. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA Ketua Program Non Reguler dan Drs. H.
4. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Dosen pembimbing yang telah meluangkan
yang tak bosan-bosanya melayani penulis dalam proses penulisan sekripsi ini.
diperlukan.
7. Rasa ta`dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda dan Ibunda
atas dukungan moril dan materiil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta
yang tak henti-hentinya siang dan malam kepada Allah SWT. Penulis
8. Kakak dan adikku yang telah memberikan dukungan semangat. Terima kasih
Dan akhirnya penulis akhiri dengan rasa Syukur kepada Allah SWT, Raja dari
segala Raja, pencipta Jagad Raya dan penguasa Ilmu Pengetahuan, Dengan segala
kelemahan dan kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
iv
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa
Dede Saepulloh
v
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Pengertian Zina................................................................ 15
POSITIF
vi
D. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan ..................................... 46
HUKUM POSITIF
Perkawinan ...................................................................... 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 72
B. Saran-Saran ..................................................................... 73
vii
BAB I
PENDAHULUAN
dengan adanya akal pikiran dan nafsu seksual sehingga bisa memilih mana
yang benar dan mana yang salah. Allah menciptakan manusia juga dengan
saling berpasangan dengan adanya ikatan tali pernikahan yang sah melalui
1
2
perempuan adalah sudah menjadi ketentuan Allah SWT. Rasa ingin mencintai
dan ingin dicintai oleh pasangan jenis sudah menjadi Kodrat Iradat-Nya,
karena manusia diciptakan oleh Allah bukan hanya sekedar diciptakan saja
tetapi disertai dengan akal pikiran beraneka ragam sifat dan karakteristiknya.
Rasa kasih sayang antar kedua jenis manusia yang diaplikasikan melalui jalan
Adapun yang disebut wali secara umum adalah seseorang yang karena
lain.1 Mengenai kedudukan wali nikah itu sendiri sebagai unsur akad nikah,
menurut Imam Syafi’i wali itu sebagai unsur nikah kapanpun dan dalam
sah dan karenanya batal demi hukum. Demikian pula menurut Imam Malik
:
Artinya : Tidak sah nikah kecuali dengan wali
naluri Ilahiyah untuk berkembang biak dan melakukan regenerasi yang akan
khalifah dimuka bumi ini yang akan terus menerus hingga akhir jaman3.
menjelaskan bahwa ridhonya Allah ada pada ridhonya orang tua. Dengan
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat
dan UU Perkawinan), (Jakarta: Prenada Mudia, 2006), cet, ke-1, h. 69.
2
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
cet, ke-1,h.44
3
Abbas Ahmad Sudirman, pengantar pernikahan (analisa perbandingan madzhab),
(Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006), Cet, ke-1, h. 2
4
proses modernisasi ini juga menyebabkan tidak patuhnya atau tidak taatnya
untuk hidup lebih bermoral dan beradab yang membedakan manusia dengan
semua keakraban antara dua anak manusia, dua pribadi yang bertekad untuk
hidup bersama. Bersama dalam suka maupun duka (karena itulah muncul
istilah bersetubuh – menjadi satu tubuh), ia adalah milik saya dan saya adalah
miliknya, ia adalah saya dan saya adalah dia. 4 Perzinahan merupakan salah
kepuasaan keinginannya, bahkan ada juga yang sudah lanjut usia pun ikut-
Hubungan biologis atau hubungan badan antara lawan jenis yang tidak
didahului dengan akad nikah yang sah merupakan suatu perbuata dosa besar
4
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan Keluarga, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia,1991), Cet, ke– 1, h. 92
5
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
perbuatan zina. Menurut KUHP Pasal 284 Zina adalah persetubuhan yang
dilakukan oleh laki-laki yang bukan dengan istrinya atau suaminya dengan
dasar suka-sama suka. Sedangkan menurut para Fuqaha (ahli hukum Islam)
zakar (kelamin pria) kedalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan
: .
( )
Artinya: “diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata : aku pernah
bertanya kepada Rasulullah Saw : “Wahai Rasullulah Saw apakah
dosa yang paling besar disisi Allah Swt?, Raullulah Saw kemudian
bersabda : “engkau menjadikan sesuatu atau beranggapan bahwa
5
Ali Zainudin, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), cet. Ke-1, hal.
37
6
Menurut para ulama bahwa hukuman bagi pelaku zina yang belum kawin
adalah 100 kali dera. Sesuai dengan firman Allah SWT (Qs. An-Nur: 23/2)
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman. (Qs. An-Nur: 23/2)
norma asusila di masyarakat. Tetapi hal tersebut acap kali masih sering
dilakukan oleh kaum muda mudi yang sedang dimabuk asmara, kendati orang
tua dari salah satu pihak atau kedua-duanya tidak menyetujui hubungan
mereka dikarenakan berbagai hal, baik itu karena faktor usia mereka yang
masih di bawah umur untuk menikah ataupun ketidak inginan orang tua
memiliki suami atau istri dari anaknya ataupun karena adat setempat yang
7
dari orang tuanya dan pihak pengadilan bahkan dari adat pun sekalian
sudah lama menjadi trend. Pernikahan semacam ini disebut sebagai nikah
Permasalahan seperti ini sering terjadi dan sudah tidak asing lagi, mereka
angkat. Yaitu golongan yang menganggap ringan terhadap had zina dari
hukum Islam atau tidak mengetaui tentang hukum Islam, khususnya tentang
had zina sehingga banyak dari mereka yang menggunakan cara ini untuk
Dari uraian diatas maka penulis memilih judul “Tinjauan Fiqih Dan
1. Pembatasan masalah
pasangan muda mudi ini telah direstui oleh kedua orang tuanya, maka
terjadilah pernikahan yang sah yaitu adanya pelamar dan yang dilamar dan
8
sampai ke akad pernikahan. Tetapi tidak jarang pasangan muda mudi yang
diantaranya :
orang tua.
2. Perumusan masalah
perkawinan?
9
meikah?
imam mazhab?
1. Tujuan penelitian
dengan zina
melakukan perkawinan.
meikah dan
2. Manfaat penelitian
a. Secara Akademis
penjelasan bagi masyarakat pada umumnya dan bagi para remaja pada
10
khususnya tentang restu nikah dari orang tua akibat zina dengan calon
b. Secara Praktis
perjinahan dan hukum orang tua yang memberikan restu nikah yang
D. Metode Penelitian
1. Sumber data primer yang meliputi KUHP (Perdata), UU No.1 tahun 1974
dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) serta dalil-dalil yang terdapat dalam
3. Selain itu penulis juga mengambil data dari media masa maupun artikel-
Islam dan Hukum Positif yang membahas tentang permasalahn yang ada.
Sedangkan metode indukatif yaitu suatu cara dalam menganalisa data yang
bertitik tolak dari data yang bersifat khusus, kemudian ditarik atau diambil
kepada buku: “Pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi UIN syarif
E. Studi Pustaka
yang hampir sama dengan penulis buat, tetapi ada beberapa masalah yang
belum tersentuh atau belum diangkat dari judul-judul terdahulu. Untuk lebih
jelasnya penulis coba sebutkan beberapa judul yang hampir sama dengan
“Sanksi hukum menyetubuhi wanita di luar nikah menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif”.
fakultas syari’ah dan hukum menulis tentang tema tersebut, tetapi mengenai
hukum dan sanksi tentang cara mendapatkan restu nikah dan wali yang
memberikan restu nikah menurut Hukum Positif dan Hukum Islam belumlah
semacam ini sering kali terjadi sepeti di kota-kota besar bahkan di pelosok-
pelosok pedesaan. Sehingga penulis merasa perlu untuk mengangkat tema ini
tulisan ini.
13
F. Sistematika Penulisan
Hukum Positif terhadap zina sebagai alasan menikah. Pada Bab ini membahas
dan Hukum Positif yang terdiri dari pengertian perkawinan, hikmah dan
perkawinan
sebelum meikah dan status perkawinan wanita hamil dalam KHI dan pendapat
imam mazhab.
14
BAB Kelima, bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran yang
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Zina
(menyetubuh) faraj yang bukan miliknya secara sah dan dilakukan dengan
memasukan zakar ke faraj yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri
hukum Islam ialah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan
1
Risalah Nasikun, Tafsir Ahkam; Beberapa Perbuatan Pidana Dalam Hukum Islam,
(Yogyakarta:CV Bina Ilmu, 1984), h.44.
2
A. Djazli, Fiqih Zinayah (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), h.35.
15
16
yang sah, bukan karena pernikahan yang meragukan (subhat) dan bukan
bahasa dan hukum adalah sama, yaitu persetbuhan seorang laki-laki dengan
subhat.4
berikut ; Zina ialah memasukan hasafah dalam faraj dilakukan di luar nikah
atau tanpa akad, dan itu melanggar aturan dan norma agama dan hukum yang
sah, syafi’i mengatakan sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang
Artinya : Yang haram itu tidak bisa mengharamkan (membuat haram) sesuatu
yang halal
dan dengan tidak adanya nikah yang syah. Al-‘Amil artinya seorang yang
Alaih artinya, alat fital yang digunakan untuk berzina, baik milik laki-laki
istri bagi masing-asing pihaknya atau dengan kata lain melakukan senggama
diluar perkawinan. 6
zina tetapi mereka sepakat terhadap unsur yaitu wathi’ haram dan sengaja atau
ada i’tikad jahat. Adapun kadar perstubuhan yang dianggap zina ialah wathi’
persetubuhan.
perzinaan. 7
6
Asyhari Abul Ghafar, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil,
(Jakarta: Andes Utama 1996), Cet III, h.13.
7
Muhamad Wahyuni Nafsi dkk, ed, Kontektualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: IUPHI dan Paramadina, 1995), h.405.
18
Seks ialah fitrah alamiyah bagi setiap manusia baik laki-laki ataupun
perempuan. 8
Tetapi setelah usia remaja dimana organ-organ seksualitas ini telah mulai
matang maka kebutuhan seks itu merupakan kebutuhan yang alami, yaitu
sebagai kebutuhan semangat kebutuhan dasar seks yang pada saat itu
perbuatan zina. Perilaku ini sangat melanggar hukum yang tentu saja dan
Lain lagi dengan hubungan (free sex) dan segala bentuk hubungan
8
Dari diskusi publik tentang Cinta Menurut Erik From,
9
Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung
Agung), h.27.
19
Sebagaimana dalam firman allah swt, pada surat al-Isra ayat 32:17
( )
faktor yang melatar belakangi timbulnya perbuatan jahat, ini berarti sudah
pergaulan bebas ini hasil dari dampak dari faktor-faktor diatas. Disamping
diantaranya:10
10
Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h.27.
20
Berbeda jika seserang memiliki keimanan pada dirinya. Ini sesuai yang
11
Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h.27.
21
pada dunia khayalan, bahkan sekarang lebih marak lagi dengan adanya
d. Melalui media surat kabar. Berita-berita surat kabar mulai dari gosip
merupakan rahmat tuhan yang tidak ternilai. Bagi makhluk selain manusia
12
Zakiyah Darajat,. Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, h. 33.
22
apabila tidak melalui jalan yang semestinya karena ada akibat hukum yang
dihasilkan. 13
itu harus di awali dari perkawinan itu, baik laki-laki dan perempuan
ulcusmole.
yang baik atau perempuan yang mulia yang bisa merelakan begitu saja
13
Sayyid Sabiq,. Fiqih Sunah, (Bairut: Daar Fikr. 1983), h.150.
23
ini tak kurang menyebabkan sang anak sering memilih jalan yang
hasil perzinaan)
menyadarinya.
Dalam Islam zina dikenal dua ketentuan yaitu; pertama, zina muhson
kedua, zina gair muhson. Zina muhsn ialah pezina yang pelakunya telah
memenuhi syarat; pezina telah dewasa, pezina orang yang berakal sehat,
zina goir muhson ialah; pezina yang pelakunya tidak mencukupi persyarataan
muhson. 15
14
Sayyid Sabiq,. Fiqih Sunah, h.37.
15
Asyari Abdul Ghafar,. Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah
Hamil (Jakarta: Andres Utama 1996). Cet III, h.13.
25
Pada sanksi pezina bagi pelaku zina baik laiki-laki maupun perempuan
dibedakan menjadi dua macam, yakni; rajam dan dera ditambah dengan
1. Rajam
demi sedikit agar berlangsung lama rasa sakit dari penyiksaan tersebut.
hukuman rajam ini hanya di peruntukan kepada para pelaku pezina yang
16
Wardi Muslich Ahmad, Hukum Pidana Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2005) Cet. Ke.
2, h. 29
17
Imron Abu Amar, Fat-hul Qarib Jilid II (Kudus: Menara Kudus,1983), h.138
26
( )
Artinya: dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-
baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan
empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah
orang-orang yang fasik.
Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Al-Qurtubi dan lain-
lain bahwa berlaku bagi para pezina yang bukan muhson. Sedangkan
18
Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu rusy, Bidayatul
Mujatahid wa Nihayatul Muqtashid, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad
Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani,2002), Cet. Ke-2, h.608
19
Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.101.
27
hukuman dera.
menangani perkara.
hukuman dera dan pengasingan bagi para pelaku yang tidak muhson.
Melihat dari penjelasan di atas yang diberikan oleh para fuqaha maka
20
Muhammad bin Ismail Al- Bukhari,. Saheh Bukhori (Bairut Daar wa Mathlabi as-
syu’ab), jilid III, h.177
21
Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.103.
28
pernyataan seorang baik berupa ucapan atau tulisan dan lain sebagainya
bahwa orang lain mempunyai hak atas sesuatu yang berada dalam diri atau
( )
Artinya: Dan ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi:
"Sungguh, apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab
dan Hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang
membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan
sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya".
Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima
perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka
menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu
saksikanlah (hai Para Nabi) dan aku menjadi saksi (pula)
bersama kamu".
22
Fathur Rahman,. Hadis Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997),
h.17.
29
( )
luar perkawinan yang penulis bahas dalam skripsi ini. Syyaid sabiq
pidana yakni:
23
Fathur Rahman,. Hadis Tentang Peradilan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,
1997),h.20.
30
e. Zina hanya ssekedar hubungan bersifat sementara, dan tidak ada masa
depan dan kelanjutannya sebab hakikat dari perbuatan zina sama saja
24
Sayyid Sabiq,. Fikih Sunnah (Beirut: Daar Fikr, 1983),h.340-341.
BAB III
PERKAWINAN MENURUT
A. Pengertian Perkawinan
Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara
anragik atau tidak ada aturan. Allah SWT mengadakan hukum sesuai dengan
pernikahan. 1
rangka itu, Allah pun telah menciptakan segala sesuatu yang ada secara
berjodoh-jodohan. Ada siang ada malam, ada besar ada kecil, ada bumi ada
langit, ada surga ada neraka dan ada pria dan wanita. Dalam kaitannya tentang
1
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta:CV. Haji Masagung, 1991), Cet. II, H.10
31
32
{ : }
Artinya: Dan Allah menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari air
mani, Kemudian dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki
dan perempuan). dan tidak ada seorang perempuanpun
mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan
sepengetahuan-Nya. dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur
seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi
umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh
mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah
mudah. (al-Fathir : 11)
kalangan manusia tidak selamanya berjalan dengan sesuai tuntunan Allah. Hal
ini ada kalanya memang belum sempat atau tidak mendapatkan dakwah
sendiri, di mana nafsu kebinatangan menguasai dirinya. Dari sini lalu ada
manusia yang yang mempunyai puluhan istri atau gundik (selir). Siapa yang
mulia.
Waktu terus berjalan hingga datang Rasul terakhir, yaitu Muhammad saw.
Hukum perkawinan telah berkembang lebih jauh. Bukan hanya umat manusia
muhrim diharamkan untuk dinikahi atau dikawini oleh laki-laki. Begitu juga
jumlah istri dibatasi, di mana jumlah maksimal hanya empat orang serta harus
Pengertian nikah atau ziwaj dalam bahasa arab diartikan dengan kawin.
Jarizi dalam kitab Al-Fiqh ‘Ala Mazahibil Arba’ah menyebutkan ada tiga
2
Abdul Aziz Syaikh bin Abdurahman, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta, Pustaka
Al Kautsar,1993), h. 17
3
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang, Dina Utama Semarang,1993), Cet I, h. 2-3
34
Para ulama berbeda pendapat tentang makna ushuli dan makna syar’i.
menemui kalimat nikah dalam al-qur’an atau hadist itu berarti watha atau
4
Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan.t.t), Jilid 3, h.
109. lihat pula al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjaniy, Kitab al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1998), cet ke 3. h. 249
35
Pengertian pendapat kedua ini dapat kita jumpai dalam Al-Qur’an Surat
{ : }
Artinya :“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang
kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang
lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya
(bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada
kaum yang (mau) Mengetahui”(Q.S Al-Baqarah 230).
musytarak atau gabungan dari pengertian akad dan watha’. Sebab untuk
Para ulama ahli fiqh juga berbeda pendapat tentang makna nikah ini.
fiqh berarti: “akad nikah yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seorang suami
dan seluruhnya”.
memandang nikah hanya dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum antara
5
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3
6
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3
7
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3.
8
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3.
37
dilarang. Mereka tidak memperhatikan tujuan nikah tersebut terhadap hak dan
unsur hak dan kewajiban suami istri kedalam pengertian nikah. Muhammad
“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. 10
Dan pada pasal 5 KHI sebagai berikut :
”Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah allah dan
melaksanakannnya merupakan ibadah.” 11
9
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, h. 2-3.
10
Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia ..., Op.Cit, h.141
11
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ..., Op.Cit, h. 114
38
sarana legal yang diperkenankan oleh negara dengan tata cara yang sudah
tercipta kehidupan yang harmonis, tentram dan sejahtera lahir batin yang
dan Hadits. Dasar hukum perkawinan dalam Al-Qur’an dan Hadits antara lain
{ : }
Artinya :Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (Al-Nisa’: 21)
{ }
Artinya: Nikah adalah sunahku barang siapa yang benci pada sunahku
bukanlah termasuk golongan umatku. (H.R Muslim)12
12
Imam Bukhari, SOHIH AL-BUKHARI, (Maktabah al-Rusyd, Nasyirun, al-Riyadh,
Jami’ al-Huquq, Mahfudhah, 2004 M/1425 H), Cet. I, h. 725. lihat juga Djamaan Nur, Fiqh
Munakahat, (Semarang, Dina Utama Semarang,1993), Cet I, h. 7
40
Dari dasar hukum perkawinan di atas baik dari Al-Quran maupun Hadits
sunatullah dan sunah Rasul. Sunatullah berarti menurut qudrah dan iradah
Allah dalam pencaiptaan alam ini, sedangkan Rasul berarti suatu tradisi yang
telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri maupun untuk umatnya.
Rukun berarti adalah kata mufrad dari kata jama’ “arkaan”, artinya asas
atau sendi atau tiang. Yaitu sesuatu yang menentukan sah (apabila dilakukan)
dan tidaknya apabila ditinggalkan sesuatu pekerjaan ibadah dan sesuatu itu
termasuk di dalam pekerjaan itu. Lain dengan “syarat” yang menentukan sah
atau tidaknya suatu pekerjaan ibadah, tetapi sesuatu itu tidak termasuk di
dalamnya13.
ini terpenuhi, amal pernikahan itu sah dan akan menimbulkan hak-hak dan
Islam adalah :
13
M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), Cet. III, h.
300-301
41
3. Wali nikah
pria adalah beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, tidak terkena halangan
luar iddah (bagi janda), tidak sedang mengerjakan haji atau umarah. 15
Adapun syarat bagi seorang wali adalah laki-laki, baligh, waras akalnya,
tidak dipidana, tidak dipaksa, adil, tidak sedang dalam ihram atau haji. 16
Sedangkan menurut Zuhdi Muhdhor syarat untuk wali adalah beragama Islam,
14
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah:Hukum Perkawinan Islam (Jakarta, Pustaka Amani,
1989), Cet III, h.30, Lihat juga Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan -Nikah,
Talak, Cerai Dan Rujuk-, Menurut Hukum Islam, UU Tentang Perkawinan, Uu Peradilan
Agama Dan Kompilasi Hukum Islam. (Bandung, Mizan, 1994), Cet III, h. 52.
15
Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan -Nikah, Talak, Cerai Dan Rujuk-,
Menurut Hukum Islam, UU Tentang Perkawinan, UU Peradilan Agama Dan Kompilasi
Hukum Islam, (Bandung, Mizan, 1994), Cet. III, h. 52. Menurut Alhamdani, Syarat-syarat
bagi calon suami adalah bukan mahram dari calon istri, Tidak terpaksa atau atas kemauan
sendiri, Orangnya tertentu jelas orangnya, Tidak sedang menjalankan ihram haji, Dan syarat
bagi calom istri, Tidak ada halangan syar’i yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang
dalam masa iddah, Merdeka atas kemauan sendiri, Jelas orangnya, Tidak sedang dalam
berihram, lihat juga H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah ..., Op.Cit, h.30
16
H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah ..., Op.Cit, h.30
42
laki-laki, adil (tidak fasiq), mempunyai hak atas perwaliannya, tidak terkena
halangan untuk menjadi wali, tidak sedang mengerjakan haji atau umrah.17
Para ulama sepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam
Syafi’i berpendapat jika wanita baligh dan berakal sehat ingin menikah
dan masih gadis maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi
jika ia janda maka hak mengawinkan itu ada pada keduanya wali tidak boleh
boleh mengawinkan dirinya tanpa restu wali. Namun pengucapan akad adalah
hak wali.
Akad yang diucapkan oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali,
mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih
sendiri suaminya dan boleh pela melakukan akad nikah sendiri, baik dia
17
Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ..,Op.Cit, h. 52.
18
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab –Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali- (Jakarta, Lentera, 2001), Cet. VII, h. 318. Tentang hal baligh, para ulama mahzab
sepakat bahwa haid dan hamil merupakan bukti kebalighan seorang wanita. Sebab hamil
hanya akan bisa terjadi oleh karena pembuahan ovum oleh sperma, sedangkan haid
kedudukannya sama dengan mengeluarkan sperma dalam laki-laki. Imamiyah, maliki, syafi’i
43
akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, bebas atau tidak dipaksa, tidak
untuk ijab qabul. Menurut Zuhdi Muhdar syarat seorang saksi adalah dua
Untuk saksi akad nikah, Syafi’i berpendapat bahwa pernikahan tidak sah
tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua
orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa
disyaratkan harus adil. Namun mereka (Syafi’i dan Hanafi) bersepakat bahwa
pernikahan dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan
kabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau seperti
pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali. Dan dianggap tidak sah
hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa disertai adanya akad.
dan hambali mengatakan tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti baligh-nya seseorang.
Sedangkan hanafi menolaknya, sebab menurut beliau bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya
dengan bulu-bulu lain diseluruh tubuh.
Syafi’i dan Hambali mensyaratkan usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan
adalah lima belas tahun, sedangkan Maliki menetapkan tujuh belas tahun sementara itu Hanafi
menetapkan usia baligh bagi anak laki-laki adalah delapan belas tahun, sedangkan bagi
perempuan tujuh belas tahun. Pendapat hanafi daam usia baligh adalah batas usia maksimal
sedangkan usia minimalnya adalah dua belas tahun untuk anak laki-laki dan sembilan tahun
untuk enak perempuan. Sebab menurut imam hanafi pada usia tersebut seorang anak laki-laki
dapat mengeluarkan sperma, menghamili atau meneluarkan mani (diluar mimpi), sedangkan
bagi perempuan dapat mimpi keluar sperma, hamil atau haid.
19
Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ..., Op.Cit.,h. 52
44
Para ulama mahzab juga sepakat bahwa akad nikah itu sah bila dilakukan
dengan redaksi atau lafadz “aku mengawinkan” atau “aku menikahkan” dari
pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan redaksi “aku terima”
atau “aku setuju” dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya 20.
merupakan kata bentukan dari lafal al-tazwij dan al-nikah saja, selain itu
menurut beliau tidak sah22. Berbeda dengan pendapat dari imam Abu
20
Jawad Mughniyah Muhammad, Fiqih Lima Mazhab, ( Jakarta, Lentera Basritama,
1999), h.309
21
Munculnya mazhab Imam Syafi’i di mulai pada tahun 198 H/ 815 M, yaitu pada saat
beliau berusia 48 tahun (setelah belajar kurang lebih 40 tahun). Imam Syafi’i mendapat izin
dari gurunya – Imam Malik – untuk berfatwa sendiri dalam Ilmu Fiqh dan tidak berfatwa atas
dasar aliran Imam Malik dan Imam Hanafi (sic). Imam Malik memberikan izin kepada Imam
Syafi’i untuk berfatwa sendiri karena dengan ilmu yang dimilikinya ia telah dianggap mampu
untuk itu. Dengan izin tersebut, Imam Syafi’i mulai berfatwa pada tahun 198 H, diawali
dengan menyusun kitab-kitab yang dikarangnya sendiri. Lihat : Siradjuddin Abbas, Sejarah
dan Keagungan Mazhab Syafi’i, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1986), Cet. ke-6, h. 13. Imam
Syafi’i mengatakan yang menjadi sumber (pokok) adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau
tidak ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah barulah qiyas kepada keduanya. Kalau sebuah
hadits dari Rasulullah SAW sudah shahih sanadnya maka itulah Sunnah. Ijma’ lebih besar
dari kabar dari orang seorang. Hadits-hadits itu diartikan menurut dzahir lafadznya, tetapi
kalau artinya banyak, maka yang dekat kepada yang dzahir itulah yang pantas. Kalau
bersamaan dengan banyak hadits, maka yang paling shahih sanadnya itulah yang
didahulukan. Hadits Munqathi’ (yang tidak sampai sanadnya kepada Rasulullah SAW) tidak
diterima, kecuali munqathi’ yang dikatakan oleh Sahabat Said Ibnu Al-Musayyab. “Asal”
tidak diqiyaskan kepada “asal”. Asal tidak ditanya “Kenapa dan bagaimana ?”. Hal ini boleh
ditanyakan kepada Furu’ “Kenapa ?”. Kalau sudah ada qiyas furu’ kepada asal maka itu
adalah suatu dalil (hujjah).
Pengetahuan untuk beristinbat Imam Asy-Syafi’i itu adalah dari Kitab Suci (Al-Qur’an),
Sunnah Rasul, Ijma’ dan Qiyas”. Lihat : Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Mazhab
Syafi’i, (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1986), Cet. VI, h.120.
22
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab ..., Op.Cit., h. 309
23
Abu Hanifah yang nama lengkapnya adalah Al-Nu’man Ibn Tsabit Ibn Zuthi (80-150
H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun
80H; artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abd Al-
Malik ibn Marwan. Beliau meninggal pada kekuasaan Abbasiah.
45
melakukan akad itu harus pasti dan tentu orangnya, sehingga dipandang tidak
sah akad nikah dalam kalimat yang berbunyi, ”saya mengawinkan kamu
dengan salah seorang di antar kedua wanita ini,” atau “saya nikahkan diri
saya dengan salah satu diantara kedua laki-laki ini” tanpa ada kepastian yang
Cara ijtihad yang pokok dapat diringkas sebagai berikut: “Aku (Abu Hanifah) merujuk
kepada Al-Quran apabila aku mendapatkannya; apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku
merujuk kepada sunah Rasulullah saw dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang-
orang tsiqah. Apabila tidak mendapatkannya dalam Al-Quran. Apabila tidak mendapatkan
dalam Al-Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada qaul sahabat, (apabila sahabat
ikhtilaf), aku mengambil pendapat yang mana saja yang aku kehendaki, aku tidak akan pindah
dari sahabat yang satu kesahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat ibrahim, al-sya’bi,
dan ibn al-Musayyab, serta yang lainnya, akau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Lihat : (Thaha Jabir Fayadl al-Ulwani, 1987:91)
24
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahzab ..., Op.Cit., h. 309.
25
Ibid., h. 312. Terdapat perbedaan antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi mengenai
syarat untuk menyegerakan akad. Imam Syafi’i mensyaratkan untuk menyegerakan akad,
artinya qabul harus segera dilakukan segera setelah akad secara langsung dan tidak terpisah.
Sedangkan Hanafi tidak mensyaratkan kesegeraan. Menurut Hanafi, kalau ada laki-laki yang
mengirim surat lamaran kepada seorang perempuan lalu si perempuan tadi menghadirkan para
saksi dan membacakan surat itu kepada mereka, kemudian mengatakan,”saya nikahkan diri
saya kepadanya”, padahal lelaki yang melamarnya tersebut tidak ada di tempat maka akad
tersebut menurut Imam Hanafi adalah sah.
26
Aspek kerelaan atau tidak adanya intervensi dari luar bagi pihak calon pasangan suami
istri juga penting karena perkawinan adalah bagian dari urusan pihak calon suami istri, bukan
46
Dalam hal salah seorang dari orang tua telah meninggal atau tidak dapat
Allah swt menciptakan alam tentu mempunyai tujuan tertentu, begitu juga
halnya dengan tingkah laku manusia. Dua faktor yang mempengaruhi tingkah
laku manusia, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
niat atau motifasi, sedangkan faktor eksternal adalah tujuan. Berbicara tujuan
Kepentingan hidup manusia secara sosiologis ada yang bersifat primer dan
ada yang bersifat sekunder. Kepentingan yang bersifat primer (daruriyyat) ini
urusan orang tua. Orang tua yang bijaksana tidak akan memaksakan kehendaknya. Karena itu
meskipun orangtua mempunyai hak untuk mengawinkan anak-anaknya ia perlu meminta
pertimbangan anaknya tentang pilihannya bahkan lebih bijaksana jika ia menanyakan terlebih
dahulu apakah si anak sudah mempunyai calon pendamping hidup bagi dirinya. Hal ini karena
anak-anaklah yang akan menjalani pernikahan itu. Di sisi lain sang anak juga perlu meminta
pertimbangan kepada orang tua tentang pilihannya. Semua adalah bagian untuk mencapai
kehidupan yang harmonis antara anak menantu dan mertua serta sebaliknya. Kerelaan
merupakan faktor dominan yang cukup penting.
47
agar pemeliharaan kemurnian darah dapat terus terjaga dan kelanjutan umat
adalah29 :
27
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. X, h. 56
28
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Islam Di Indonesia, h. 56
29
Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ...,Op.Cit., h.15-16
48
: :
,
30{ }.
Artinya: “Dari abdullah bin mas’ud r.a. Ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda“ Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu
telah sanggup untuk kawin, maka hendaklah ia kawin karena
sesuungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap
hal-hal yang dilarang agama), dan memelihara kemaluan
(farj). Barang siapa tidak sanggup maka berpuasalah, karena
puasa itu sebagaia perisai bagi dirinya” (H.R Muslim)
3. Untuk mendapatkan keturunan.
Beliau bersabda:
31
{ }.
Artinya :“Kawinilah yang beranak (bibitnya banyak sehingga dapat
mempunyai banyak anak) lagi penyayang , karena aku bangga
dihadapan para nabi dengan banyaknya kamu diakhirat” (H.R
riwayat Ahmad dari Anas Bin Malik).
30
Imam Muslim, SAHIH MUSLIM, (Maktabah al-Rusyd, Nasyirun, al-Riyadh, Jami’ al-
Huquq, mahfudhah 2001 M/1422 H), h. 343
31
Imam al-Shon’ani, Subulus Salam: Syarah Bulugh al-Maram, (Daru al-Fikr, Bairut
Lebanon, 1991 M/1411 H), Juz III, h. 214 - 215
49
kekal.
3. Asas monogami, yaitu seorang suami beristri satu orang, kecuali jika
4. Bahwa calon suami-istri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat
perceraian.
6. Hak dan kedudukan suami istri yang seimbang, baik dalam kehidupan
32
Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan ...,Op.Cit., h. 20-21
50
memberikan kabar gembira yang positif kepada orang yang hendak kawin.
menjadi baik.
hikmah nikah antara lain : menyalurkan naluri sex, jalan untuk mendapatkan
untuk bekerja keras, pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan
menghubungkan tali silahturahmi antara dua keluraga besar dari suami dan
istri33.
manusia di bumi. Menurut al-Ghazali tujuan ini adalah maksud paling utama
33
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat ..., Op.Cit., h. 10
51
seksual dan menjaga alat kelamin. Al-Ghazali kemudian merujuk poin ini
pada hadis Rasulullah yang artinya, siapa yang nikah, dia telah menjaga
Menurut Imam Al-Ghazali yang dimaksud agama dalam hadis ini adalah
menjaga alat-alat produksi agar menjadi tetap sehat dan tidak disalurkan
34
http://www.rahima.or.id/SR/14-05/Tafsir.htm, Rabu, 25 April 2007
BAB IV
undang-undang alami yang berlaku bagi seluruh alam, dan merupakan sunnah
dari makhluk Tuhan yang memberikan kepada hidup ini nilai dan harga.
Perkawinan merupakan tempat memadu kasih dan cinta yang benar, dan
wadah tolong menolong dalam hidup dan tempat kerja sama membina
sungguh, minta ampun kepada Allah, menyesal, membersihkan diri dari dosa
dan mulai dengan hidup yang bersih lagi menjauhkan diri dari dosa, maka
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2008), cet, 3 h. 125
52
53
Artimya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan
yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas oran-orang yang mukmin (Annur Ayat: 3)
Berdasarkan isi dari surat an-nuur diatas, orang yang berzina tentu
hanya bisa menikah dengan ornag yang berzina juga atau dengan orang
musyrik. Jika orang yang berzina tidak dinikahkan tentu semakin terbuka
pelaku yang sama atau dengan orang lain lagi. 2 Dalam hadis yang artinya
“Dari Abu Hurairah r.a dia berkata, rasulullah SAW telah bersabda: laki-
laki yang berzina yang dijatuhi hukuman cambuk tidak boleh menikah kecuali
kawin dengan perempuan zina dan sebaliknya perempuan zina boleh kawin
dengan laki-laki zina. Zina menurut mereka tidak menghalangi sahnya akad
nikah (perkawinan). 4
2
M. Abduh Malik, Perilaku Zina; Pandangan Hokum Islam Dan Kuhp, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2003), h. 164.
3
As-San’ani, Subul Al-Salam Jilid III, h. 127-128
4
M. Bukhari,. Hubungan Seks Menurut Islam, (Jakarta: Bumi Aksara: 1994),. Cet.
Ke-1 h. 67
54
yang dilakukan oleh orang yang bukan pelaku zina. Karena tidak terdapat
larangan yang nyata dari al-qur’an dan hadis mengenai hal itu. Dari sudut
berikut:
5
M. Bukhari,. Hubungan Seks Menurut Islam, , , h. 67
55
Dalam surat an-nisa’ ayat 23-24 perempuan hamil karena zina tidak
2. Hadis Aisyah Binti Abu Bakar R.A, ketika Rasulullah SAW ditanyakan
3. Seperma zina itu tidak dihargai karena dengan alasan tidak ditetapkannya
ketentuan anak zina kepada ayah, tetapi hanya kepada ibunya saja. Sebda
Tirmidzi).6
Dari pembahasan diatas, telah jelas bahwa pria yang berzina tidak ada
larangan untuk menikahi wanita yang berzina, sehingga tidak ada sesuatu
zina dengan pria yang menzinahinya hingga ia hamil, dan akad nikah yang
6
Abi Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh, Sunah Al-Tirmidzi, (Beirut : Dar al-Fikr,
1994), Jilid II, h.385.
56
mereka.
Yang di maksud di sini adalah apabila kedua pelaku zina yang salah
satu atau keduanya sudah beristri atau bersuami sesuai dengan pasal 284
terdapat pasal yang mengatur secara khusus tentang status perkawinan yang
dilaksanakan oleh pelaku zina. Hal ini berarti undang-undang No. 1 tahun
oleh kedua pelaku zina, karena dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974
7
R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serata Komentar-
Komentarnyalenkap pasal demi pasal (Bogar, Politeria 1983), h.284
57
kepercayaannya itu8.
1) seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dinikahkan dan boleh tidak. Jika kedua pelaku zina tersebut bujang dan gadis
dan mereka melakukan perbuatan zina tersebut atas dasar suka sama suka
sepanjang tidak ada halangan syar’I mereka dinikahkan dalam keadaan biasa
perkawinan wanita hamil akibat perbuatan zina, maka dapat kita ambil
8
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan &
kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007),
9
M. Abduh Malik, Perilaku Zina : Pandangan Hokum Islam dan KUHP, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2003), h.168.
58
menghamilinya.
b. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebutkan pada ayat (1) dapat
iddah, oleh karena itu tidak mengakibatkan adanya masa iddah. Namun
10
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2008), cet, 3 h. 128
59
disaksikan oleh empat orang saksi. Pembuktian itu semakin sulit apabila
kepada formalitasnya safa, yaitu karena wanita hamil tersebut belum perah
menikah. maka ketentuan yang berlaku bagin^i adalah hak kegadisan, walau
aspirasi terdahulu, yaitu wanita hamil itu hanya boleh dikawinkan dengan
laki-laki yang menghamilinya. Pada hal wanita yang dihukumkan gadis itu,
dia boleh dikawinkan dengan setiap laki-laki yang diingininya sccara bebas.
perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawinan ulang
tersebut tidak perlu di ulangi lagi, maka menjadi isyarat bahwa perkawinan
11
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan &
kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 245-246
60
53 ayat 1, 2 dan 3 KHI, maka timbul satu masalah penting, yakni pada
"anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah", bahwa pasal
ini berarti mengakui kawin hamil. Pemahaman ini diambil dari teks Pasal
tersebut "anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam", ini memberikan
isyarat bahwa ada wanita hamil. Kemudian dalam masa hamilnya dia kawin
dengan laki-laki, lalu dalam masa perkawinan tersebut lahir anak, anak
Mengenai status nasab anak yang lahir juga dapat menjadi anak yang sah
dari laki-laki yang mengawimnya, Hal ini dipahami dari teks "anak yang sah"
yaitu anak sah dari suami ibunya. Jika demikian, berarti anak tersebut
Status nasab anak dalam perkawinan juga telah diatur dalam Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 92. Undang-
12
Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan No 1 / 1974, ( Jakarta: Tinta Mas,
1996), h. 125
61
Indonesia.
Indonesia tampak keduanya masih bias dikatakan se^alan. Hal ini apabila
mengambil pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi'i. Inti pendapat tersebut
Adapun status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil
dalam KHI dinasabkan kepada suami ibunya hal ini sejalan dengan pendapat
Imam Hanafi yang mengaitkan nasab anak kepada pemilik bibit secara
umum. Perbedaannya adalah, apabila ternyata pemilik bibit itu bukan orang
hatian, terikat sepenuhnya dengan hokum Islam, tetapi tidak mengacu kepada
13
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan &
kompilasi hukum islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 263
62
fiqh mazhab tertentu. Jika melihat kepada pendapat imam mazhab dan KHI
yang berlaku di Indonesia, maka dalam hal status perkawinan wanita hamil
tua, maka pendapat Imam Syafi'i lebih menyelematkan kepada status anak.
Karena menurut Imani Syafi'i bahwa pengakuan status anak itu ditentukan
apabila perkawmannya itu adalah enam bulan, lalu anak lahir, maka anak
berarti bahwa apabila seorang wanita hamil kemudian kawin dengan laki-laki
mengawininya. Ini berarti KHI sejalan dengan pendapat Imam Hanafi yang
mengajLtkan nasab anak kepada pemilik bibitnya. Hanya saja Imam Hanafi
perkawinan wanita hamil, terutama bagi Imam Hanafi dan Imam Syafi'i, yaitu
memahami AIquran pada surah An-Nur ayat 2. Sedangkan Imam Malik dan
anak maupun akibat hukum yang timbul. Baik Imam Hanafi dan Syafi'I
mereka menggunakan dalil atau alasan dari hadis-hadis Nabi SAW. Tetapi
kesimpulan hukumnya.
memahami lafaz "nikah" dalam ard secara istilahi sedangkan Imam Hanafi
pendapat dan nya itu sesuai dengan dasar-dasar istinbath hukum Islam
alasan yang dipergunakan oleh para ulama dan KHI, maka pendapat ulama
para ulama dan KHI. hanya memberikan jalan keluar bagi mereka yang
Dalam kehidupan keluarga setiap anak yang lahir dari ikatan perkawinan,
dari kedua orang tua yang sama, sebutlah si istri seorang janda dan ia
membawa anak dari suami pertama. Atau sebaliknya si pria seorang duda
membawa anak dari istri terdahulu, dan dari perkawinan itu terjadilah
hubungan antara anak yang bersaudara kandung disamping anak saudara tiri.
Kedudukan anak demikian pada umumnya tidak sama dimata kedua orang
tua, baik dalam curahan kasih sayang juga kelak dengan pembagian harta
waris.
ini. Anak seperti itu sering disebut “ anak haram jaddah”. Sebutan yang tidak
sia anak tanpa hubungan perkawinan yang menjadi sebab adalah “orang
tuanya”. 14
Menurut ajaran Islam bahwa setiap anak mempunyai hubungan yang erat
dengan ibu dan bapaknya ( double unilateral / bilateral), sehingga kalau salah
satunya meninggal dunia maka yang satu akan menjadi ahli waris terhadap
yang lainnya. 15Sejak lahir, anak mempunyai hak nasab pada orang tua sebagai
{٢٣٣ :} اﻟﺒﻘﺮة
Menurut pandangan Islam anak yang lahir dari rahim seorang perempuan
melahirkannya itu tanpa melihat kepada cara bagaimana perempuan itu hamil,
baik dalam perkawinan atau dalam perzinaan. Kalau kita menggunakan kata
“anak sah’ sebagai ganti “nasab” maka bagi seorang ibu, setiap anak yang
dilahirkannya adalah anak sah; karena hubungan nasab antara ibu dengan
14
Mulyana W. Kusumah (penyuting), Hukum Dan Hak-Hak Anak, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1986),. Cet., h.5.
15
H. Asyhari Abdul Ghoffar, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan
Muda Mudi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), Cet. Ke-1, h.46.
66
Oleh karena itu, para ulama telah sepakat bahwa anak yang dilahirkan
karena hubungan suami istri didalam perkawinan yang sah, maka nasab atau
Untuk masalah anak zina hokum Islam tidak membatasinya apakah pelaku
zina itu salah satunya atau kedua-keduanya terikat perkawinan dengan orang
lain atau tidak. Karen setiap anak yang lahir diluar perkawinan yang sah maka
hukum dari anak tersebut juga tidak sah. Karena dalam Islam yang dinamakan
zina adalah hubungan seks antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh
Para ulama telah sepakat, bahwa anak yang lahir karena perzinaan tetap
tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki. Dalam arti si anak itu tidak
yang dikandung itu adalah anaknya. Tetap pengakuan ini tidak sah, karena
anak tersebut hasil hubungan diluar nikah. Karena dalam hokum perdata Islam
setatus anak tersebut abadi dan permanent tidak bisa diubah karena
Untuk anak yang lahir dari perempuan akibat perbuatan zina, mempunyai
yang berhubungan nasab dengan ibu itu, sedangkan dengan laki-laki yang
16
H. Asyhari Abdul Ghoffar, Islam dan Problematika Sosial Sekitar Pergaulan
Muda Mudi,, h.46.
67
sedikit batas usia kandungan adalah enam bulan. Ukuran tersebut di ambil
kedua di terangkan bahwa masa sapih saja lamanya dua tahun. Jadi, di
kurangi, lalu di peroleh hasilnya, bahwa masa hamil saja berlangsung dalam
Ini berarti jika ada anak yang di lahirkan tiga bulan setelah orang tuanya
akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat di nisbatkan kepada ayahnya
waktu enam bulan itu di hitung sejak akad nikah atau sejak berkumpul.
pernah, dalam waktu kurang dari enam bulan, kemudian wanita itu
17
Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam, alih Bahasa Dra.
Chadijah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h.18.
18
Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1994), Cet. Ke-III,h.221.
68
melahirkan anak setelah enam bulan dari akad perkawinannya, maka anak
menyebabkannya lahir:
Jadi menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’I perhitungan enam bulan itu
2) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap
anak sah. 20 Imam Abu Hanaifah memandang masalah tersebut dari segi
setelah enam bulan dari akad nikah wanita tersebut melahirkan, maka anak
pasal 42-44.
Pasal 42 : Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau
sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
19
bnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (cairo: Dar Al-Kutub Al-Hadis, 1975), Juz II, h. 268.
20
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h.269.
69
Tahun 1974 tentang perkawinan adalah anak yang lahir dalam atau sebagai
akaibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seornag wanita yang telah
mengandung karena berbuat zina, kemudian dia kawin sah dengan pria yang
menzinainya, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak sah dari
D. Analisis Penulis
khazanah fiqhiyah Indonesia adalah hal yang baru. Model pernikahan seperti
ini sebelumnya tidak ada. Mereka yang beragama Islam yang hendak kawin
21
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Pandangan Hukum
Adat, Hukum Agama. (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.133-134.
70
kebijakan publik, yang erat kaitannya dengan kepentingan umum (dalam hal
Hal ini kembali ditegaskan oleh ketua MUI, K.H.Ali Yafie yang
masalah yang penting dalam undang-undang. Meski hal itu tidak bersumber
dalam perkawinan adalah bermanfaat bagi manusia. Hal ini kembali diperkuat
dengan fatwa resmi MUI yang yang termaktub dalam himpunan fatwa
22
Ratna Batara Munti, Hindun Anisah, Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam
Indonesia, (Jakarta LBH APIK, 2005), Cet. I, h. 38
71
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam hal ini termasuk soal pencatatan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
permasalahan diantaranya:
berpengaruh adalah tidak ada restunya dari pihak orang tua untuk melakukan
pernikahan secara syah, namun selain itu kurang kuatnya dasar pengetahuan
2. Tentang status nasab anak yang lahir dalam perkawinan wanita hamil, para
imam mazhab berbeda pendapat, Imam Svafi'i menetapkan bahwa anak itu
atas enam bulan, tetapi jika lama kehamilan di bawah dari enam bulan, maka
anak tersebut diakui dalam perkawinan, karena lahir dalam perkawinan yang
sah
3. Tentang status perkawinan wanita hamil, KHI sejalan dengan pendapat Imam
Hanafi dan Imam Syafi'i yang membolehkan perkawinan wanita hamil dengan
72
73
laki-laki. Namun kebolehan perkawinan dalam KHI itu khusus dengan laki-
B. Saran-saran
hubungan perzinaan sebagai alasan untuk restu orang tua adalah sebagai berikut:
karena terjadi ketidak teraturan nasab bagi anak. Keresahan masyarakat juga
bisa terjadi akibat problem ekonomi seorang istri dari perzinaan yang
seperti ini, pezina perempuan akan menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-
anaknya dan tentu saja hal ini akan menjadi masalah sosial karena konstruksi
kerusakan nilai moral dan etika dalam sosial sehingga tidak mempunyai
dan juga supaya menjadi boemerang tersendiri bagi muda-mudi yang hendak
penyelesaian hukum. Dan perempuan akan selalu divonis sebagai pihak yang
Al-Qur’an Al-Karim
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
Cet IV
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada Media Group, 2006),
edisi I, Cet II
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. I,
Juz I
Bakri A. Rahman dan Drs. Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam,
Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT.
Hidakarya Agung, 1993)
Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007
Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. III
edisi 2,
Ghazaly, Abd Rahman, Fiqih Munakahat (Jakarta: Pranada Media Group, 2006), Cet
II,
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996),
Cet. I
75
76
Muhammad bin Ismail Al-Kahlaniy, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.t), jilid 3,
Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1989 tentang Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah Pasal 4 ayat (3)
UU No. 1 Tahun1974 juga telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, UU No. 32 1954 tentang Penetapan Berlakunya UU No.
22 Tahun 1946
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Cet
III
Zakiah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid, 2
Bab X
Nilai perkawinan
Dinegara republik Indonesia yang tercinta ini, berdasarkan data statistik perkawinan, tahun yang
tertinggi jumlah perkaranya adalah pada tahun 1979, dimana tercatat 289.000 perkara pada data
statistic pengadilan agama, pada direktorat pembinaan badan peradilan agama – departemen agama RI.
Dari data tersebut dapat kita perkirakan, kira-kira setelah dikurangi perkara waris, wakaf dan hibah,
maka tnggal 250.000,-perkara yang menyangkut perceraian karena umumnya perkara di Pengadilan
Agama memang yang dominan adalah perkara perceraian.
Nah kalau kita asumsikan tiap pasangan yang bercerai itu mempunyai anak dua saja. Maka berarti tiap
dua tahun terdapat satu juta anak yang hancur lahir batinya akibat bapak ibunya bercerai. Imbas jumlah
tersebut, kalau kita coba menghitungnya sejak tahun 1979 saja, maka berarti sekarang tahun 2007
sudah muncul ke permukaan sebagai berikut :
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga. Kenapa nikah harus
dilakukan atau dilaksanakan, karena nikah salah satu yang harus di lakukan manusia untuk mencapai
tujuan syari’at yakni kemaslahatan dalam kehidupan.
Bila kita urutkan, ada tiga sumber alasan pokok kenapa pernikahan harus di lakukan.pertama,
menurut alquran ; kedua, menurut hadist, ketiga menurut akal.
Menurut Qur’an
Ada dua ayat yang menonjol tentang hal pernikahan ini, pertama dalam surat al-A’raf : 189.
Menyatakan bahwa tujuaan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang. Dari ayat ini tampaknya
kita tidak juga di larang bersenang-senang (tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting
karenanya, karena memang di akui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat
rohani dan jasmani. Dan kedua,dalam surat Al-Ruum : 21 terkandung makna ada tiga yang dituju, satu
perkawinan yakni :
a. Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunu dan yang sepertinya adalah
sakana, sukun, sikin. Yang semuanya berarti diam. Itulah sebab pisau di namakan sikin, karena
bila di arahkan keleher hewan ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam ;
b. Mawaddah, membina rasa cinta, akar kata mawaddah adalah wadda yang berarti meluap tiba-
tiba, terkadang tidak terkendali, karena itulah pasangan-pasangan muda di mana rasa cintanya
sangat tinggi, termuat kandungan cemburu, sedang rahma/sayangnya masih rendah, banyak
terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang memang terkadang sulit
dikontrol. Karena intensitasnya tinggi dan sering meluap luap.
c. Rahmah yang berarti saying. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedang
yang tinggi pada mereka adalah rasa cinta/mawaddah. Dalam perjalanan hidupnya, semakin
bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedang mawadahnya semakin
turun. Itulah sebabnya kita lihat kakek-kakek dan nenek-nenek kelihatan mesra berduan, itu
bukanlah gejolak ujud cinta (mawaddah) yang ada pada mereka, tetapi rahmah (sayang).
Dimana rasa sayang tidak ada kandungan cemburunya, karenanya ia tidak bisa termakan gosip,
sedang cinta (mawadah) yang syarat dengan cemburu karenanya gampang termakan gossip.
Menurut Hadist
Ada dua hal yang di tuju perkawinan menurut hadist. Pertama, untuk menundukan
pandangan dan menjaga faraj (kemaluan). Itulah makanya Nabi Muhamad mengajurkan
berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materiil belum memungkinkan. Kedua,
sebagai kebanggan Nabi di hari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan umat Islam melalui
perkawinan yang jelas, secara tekstual Nabi menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi
harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun
demikian, walau jumlah besar jika kwalitas rendah tetap saja Nabi mencelanya. Disitulah
kandungan makna bahwa kwalitas itu sangat diperlukan.
Menurut Akal
Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju suatu perkawinan :
pertama, bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau
diameternya ada 12.500 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus di urus oleh orang
banyak, karena bumi ini Allah nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit
tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus
dengan perkawinan/pernikahan.
Kedua, bila manusia banyak tentunya harus di wujudkan ketertiban atau keteraraturan,
terutama yang berkaitan,dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib tentu akan terjadi
kekacauan karena tidak di ketahui si A anak siapa dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata
rapih tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besar bencana.
Ketiga, untuk ketertiban kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang
atau benda yang di perlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau sehelai kain. Ketika
manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta
peninggalan tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus di lakukan prosedur
yang tertib pula, yakni dengan pernikahan.