Anda di halaman 1dari 101

TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN

FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT


(Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Dhurifah Nur Utami


NIM: 1111048000043

KONSENTRASI HUKUM BISNIS


PROGRAM STUDI I L M U HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ABSTRAK

Dhurifah Nur Utami. NIM 1111048000043. TANGGUNG JAWAB DEBITUR


ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM
PERJANJIAN KREDIT (Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001).
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015 M. ix
+ 79 halaman + 12 halaman lampiran. Skripsi ini membahas tentang tanggung
jawab debitur atas muanhanya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit jika dilihat
dari kasus Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001. Hal ini dilatarbelakangi oleh
musnahnya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit mungkin saja terjadi
mengingat posisi pihak kreditur jika hal ini terjadi. Sementara dalam Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia tidak memberi gambaran
yang jelas mengenai tanggung jawab debitur selaku pemberi fidusia dan
perlindungan kreditur selaku penerima fidusia terkaitnya musnahnya benda
jaminan fidusia. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang
mengkaji berbagai dokumen terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan
penulis adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case
approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan non-hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kasus menenai musnahnya benda
jaminan fidusi tidak melepaskan tanggung jawab debitur selaku pemberi fidusia
untuk tetap membayar sisa cicilan kredit kepada pihak kreditur meskipun dalam
UUJF tidak mengaturnya lebih rinci. Dalam Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001
Majelis Hakim menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi
dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar sisa tanggungan kredit kepada
Termohon Kasasi, putusan tersebut menurut penulis sudah sesuai dimana
Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah mengikat diri dalam suatu perjanjian
kredit yang berkuatan hukum dan Pemohon Kasasi wajib bertanggung jawab atas
benda yang berada dalam penguasaannya.

Kata Kunci : Tanggung Jawab Debitur, Jaminan Fidusia, Perjanjian


Kredit.

Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.,

Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d. Tahun 2011

iv
KATA PENGANTAR

‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬

Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia-Nya yang tak terkira, terucap dengan tulus dan iklas Alhamdulillahi

Robbil ‘alamin tiada henti karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Sholawat

serta salam semoga selalu tercurah limpahkan atas insan pilihan Tuhan khatamul

anbiya’i walmursalin Muhammad SAW.

Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh

dari kesempurnaan, tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang

maksimal. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak

hal yang tidak dapat dihadirkan didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan

waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam

penulisan.

Penulis sangat berterimakasih, tanpa dorongan dari pembimbing dan semua

pihak yang mendukung penelitian ini, tidak akan selesai. Pada kesempatan ini,

izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, serta para

wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H. MA., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan

Arip Purkon, MA., sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.

v
3. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dosen Pembimbing

yang telah bersedia membimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh

kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta meluangkan

waktunya untuk memberikan bimbingan hingga skripsi ini selesai.

4. Bapak Deddy Nursyamsi S.H. M.Hum. Dosen pembimbing akademik dari

semester satu hingga akhir perkuliahan.

5. Keluarga besar dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta khususnya dosen program studi ilmu hukum yang telah memberikan

ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang

diajarkan dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga

Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa mereka serta menjadikan semua

kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk mereka semua.

6. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna

menyelesaikan skripsi ini.

7. Orangtua tercinta bapak Kusmin Hidayat dan ibu Fatimah Hidayati serta adik

penulis Al-Raihan Rafi berkat doa, motivasi, dan kasih sayang yang telah

diberikan dengan tulus sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada

jenjang Perguruan Tinggi Negeri.

8. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis 2011,

khususnya untuk Icha sahabat penulis yang selalu ada tanpa melihat waktu dan

para perempuan-perempuan cantik Kiya, Endang, Ida, Shinta, Tami, Hilda,

vi
Fanny, Novita, Sri, Ummu dan lainnya yang tidak bisa disebutkan, yang telah

memberikan segala dukungan dan hiburan kepada penulis, sehingga penulis

selalu optimis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya, atas jasa dan bantuan semua pihak berupa moril dan materiil

sampai detik ini penulis panjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan yang

berlipat dan menjadikannya amal jari’ah yang tidak pernah berhenti mengalir

hingga yaumul al-akhir. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat

bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Semoga Allah

senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok.

Amin.

Jakarta, 27 April 2015

Dhurifah Nur Utami

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING………………………...................i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ………………………………………..ii

LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………….............iii

ABSTRAK………………………….....................................................................iv

KATA PENGANTAR…………………………………………….…..................v

DAFTAR ISI………………………………………………...............................viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………...............1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah……………………………….............6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………............7

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu.............................................................8

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual...............................................…............9

F. Metode Penelitian..................................................………………….........11

G. Sistematika Penulisan................................…………………….................14

BAB II JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

A. Perjanjian Kredit............................................……………………............16

B. Tinjauan Umum tentang Jaminan..............................................................23

C. Pengikatan Jaminan Kredit........................................................................28

D. Hubungan Perjanjian Kredit dengan Jaminan............................................34

viii
BAB III TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA BENDA

JAMINAN FIDUSIA

A. Jaminan Fidusia..........................................................................................37

B. Definisi Musnahnya Benda Jaminan dalam Perjanjian Kredit..................43

C. Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur atas Benda Jaminan yang

Musnah dalam Perjanjian Kredit................................................................47

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3192

K/Pdt/2012

A. Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2914K/Pdt/2001………................54

B. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 2914K/Pdt/2001........................64

C. Perlindungan Hukum bagi Para Pihak atas Musnahnya Benda Jaminan

Fidusia dalam Perjanjian Kredit ...............…………………...........…......70

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………..……......................74

B. Saran………………………………………………...………....................76

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................77

LAMPIRAN

ix
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kegiatan pinjam meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam

kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran.

Dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan

pinjam meminjam uang sebagai alat sesuatu yang sangat diperlukan untuk

mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk

meningkatkan taraf kehidupannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa pihak

peminjam meminjam uang kepada pihak pemberi pinjaman untuk membiayai

kebutuhan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau untuk memenuhi

keperluan dana guna pembiayaan kegiatan usahanya.1

Dalam mewujudkan pembangunan di bidang ekonomi, pemerintah telah

memberikan berbagai kebijakan, di antaranya adalah peningkatan taraf hidup

masyarakat dengan jalan pemberian kredit yang dilakukan oleh perbankan,

baik Bank pemerintah maupun Bank swasta nasional sebagai salah satu sumber

mendapatkan dana atau modal kerja. Dengan adanya pemberian kredit,

diharapkan penerima kredit dapat mengembangkan usahanya dengan lebih

maksimal. Akan tetapi, dalam pelaksanaan pemberian kredit tersebut harus

dilakukan berdasarkan syarat-syarat tertentu, di antaranya terdapat agunan atau

jaminan serta adanya perjanjian.

1
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta : PT Raja
Grafindo, 2007), h. 1.

1
2

Perjanjian Kredit (PK) menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan

salah satu dari bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku

Ketiga KUH Perdata. Dalam bentuk apa pun, pemberian kredit itu diadakan

pada hakikatnya merupakan salah satu perjanjian pinjam-meminjam

sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata.

Namun, dalam praktik perbankan yang modern, hubungan hukum dalam kredit

bukan lagi semata-mata berbentuk perjanjian pinjam-meminjam, melainkan

adanya campuran dengan bentuk perjanjian yang lainnya, seperti perjanjian

pemberian kuasa dan perjanjian lainnya.2

Lembaga perbankan sebagai penyedia dana memiliki peranan yang

strategis dalam membantu mensukseskan pembangunan nasional. Bank sebagai

lembaga keuangan mempunyai usaha untuk menghimpun dana dari masyarakat

dan menyalurkan dana kepada masyarakat melalui kegiatan perkreditan

memegang peranan yang tidak kecil. Sebagaimana disebutkan pada Pasal 3

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa fungsi utama

perbankan di Indonesia adalah menghimpun dan penyalur dana masyarakat.

Jaminan adalah suatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk

menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat

di nilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.3 Sehubungan dengan

jaminan utang, pemahaman tentang hukum jaminan sebagaimana yang terdapat


2
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2006),
h.502
3
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Yogyakarta: Liberty,
1984), h. 50.
3

dalam berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku sangat

diperlukan agar pihak-pihak yang berkaitan dengan penyerahan jaminan kredit

dapat mengamankan kepentingannya, antara lain bagi bank sebagai pihak

pemberi kredit.

Pada dasarnya, pemberian kredit oleh bank diberikan kepada siapa saja

yang memiliki kemampuan untuk membayar kembali dengan syarat melalui

suatu perjanjian utang piutang di antara kreditur dan debitur. 4 Perjanjian kredit

merupakan ikatan antara kreditur dan debitur yang isinya menentukan dan

mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian

kredit.

Jasa perbankan dalam membantu bidang perekonomian bukanlah tanpa

resiko. Resiko usaha yang terjadi di kalangan perbankan justru terutama

menyangkut pemberian kredit. Pemberian kredit oleh bank pada dasarnya harus

dilandasi keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk

melunasi utangnya.

Jaminan adalah merupakan sarana perlindungan bagi keamanan kreditur,

yaitu kepastian atas pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi

oleh debitur atau oleh penjamin debitur. Keberadaan jaminan merupakan

persyaratan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit.

Terhadap barang atau benda milik debitur yang dijadikan jaminan, akan

dibuat perjanjian pembebanannya yang disebut perjanjian jaminan. Perjanjian

jaminan ini timbul karena adanya perjanjian pokok, yang berupa perjanjian

4
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Jaminan Fidusia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2000),h.1.
4

pinjam meminjam atau perjanjian kredit. Tidak ada perjanjian jaminan tanpa

adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri,

melainkan selalu mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokok

berakhir, maka perjanjian jaminan juga akan berakhir atau hapus. Sifat

perjanjian jaminan adalah merupakan perjanjian asesor (accessoir). Perjanjian

jaminan merupakan perjanjian khusus yang dibuat oleh kreditur dengan debitur

atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu

atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan

kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok.5

Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa

Indonesia. Undang-undang yang khusus mengatur tentang hal ini, yaitu

Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 juga menggunakan istilah “fidusia.”

Dengan demikian, istilah “fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia

hukum kita. Akan tetapi, kadang-kadang dalam bahasa Indonesia untuk fidusia

ini disebut juga dengan istilah “Penyerahan Hak Milik secara Kepercayaan”.6

Pengalihan hakkepemilikan dimaksud semata-mata sebagai jaminan bagi

pelunasanutang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh penerima fidusia.7

“Rekayasa hukum tersebut dilakukan lewat bentuk globalnya yang


disebut dengan Constitutum Posessorium (penyerahan kepemilikan benda
tanpa menyerahkan fisik benda sama sekali)”.8

5
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat pada
Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan Horizontal, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), h.
236.

6
Munir Fuady, Jaminan Fidusia Cetakan ke-2 Revisi, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2003), h.3
7
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT, (Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, 2008), h.35
8
Munir Fuady, Jaminan Fidusia Cetakan ke-2 Revisi, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 2003), h.3
5

Perjanjian kredit yang terjadi antara pihak bank dengan pihak debitur

dalam prakteknya kadangkala terjadi tidak sesuai dengan keinginan para pihak.

Perjanjian kredit tersebut dapat menimbulkan masalah yang tidak diinginkan.

Benda jaminan yang diberikan oleh pihak debitur kepada pihak bank terutama

pada benda jaminan seperti kendaraan bermotor, peralatan mesin yang dibebani

jaminan fidusia ternyata musnah dan nilai dari benda bergerak tersebut setiap

tahun akan menyusut. Musnahnya benda jaminan dapat disebabkan karena

terjadi pencurian, kebakaran, dan lain-lain.

Dalam praktek pelaksanaan pemberian kredit oleh Bank dengan

mempergunakan fidusia sebagai lembaga jaminan kredit kepada pengusaha

guna mengembangkan usahanya, maka tidak tertutup kemungkinan akan

muncul permasalahan-permasalahan hukum karena objek fidusianya tetap

berada dalam tangan debitor. Seperti pada kasus yang telah diputus dalam

putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001. Dalam putusan tersebut

diselesaikan sengketa antara PT. MULTI MAKMUR MATARI selaku pemberi

jaminan (debitur) dengan PT. BANK EKSPOR IMPORT CABANG

PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI selaku peneriman jaminan

(kreditur) yang mewajibkan pihak debitur tetap membayar sisa hutangnya

kepada kreditur meskipun objek jaminannya telah musnah akibat kebakaran.

Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001 permohonan kasasi oleh PT. Multi

Makmur Matari di tolak oleh Mahkamah Agung dikarenakan tidak melunasi

hutang (kreditnya) karena keadaan memaksa (overmacht) tidak dapat


6

dibenarkan. Terbakarnya stock barang dagangan Penggugat tidak terkait

dengan perjanjian kredit dan karenanya tidak menghapus atau mengurangi

kewajiban Penggugat seperti diatur dalam perjanjian kredit. Penerima kredit

tetap terkait dengan perjanjian kredit walaupun barang jaminan terbakar,

karena menurut hukum seluruh kekayaan Penggugat merupakan jaminan utang.

Dalam undang-undang telah di atur mengenai musnahnya benda jaminan

sebagai salah satu sebab hapusnya perjanjian, namun tidak mengapus klaim

asuransi. Tetapi pada prakteknya pihak debitur selaku pemberi fidusia tidak

mengetahui secara jelas isi polis asuransi yang dilakukan pihak kreditur dengan

perusahaan asuransi. Hal ini mengakibat jika terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan terhadap benda jaminan di luar isi polis asuransi yang dibuat maka

debitur harus bertanggungjawab penuh terhadap sisa hutangnya. Seperti pada

kasus sengketa antara PT. MULTI MAKMUR MATARI selaku pemberi

jaminan (debitur) dengan PT. BANK EKSPOR IMPORT CABANG

PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI selaku peneriman jaminan

(kreditur). Oleh karena itu penulis tertarik untuk menganalisis putusan tersebut

dalam sebuah karya ilmiah dengan judul: “TANGGUNG JAWAB DEBITUR

ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN FIDUSIA DALAM

PERJANJIAN KREDIT (Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001).”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pokok pembahasan skripsi ini hanya menyangkut mengenai

penyelesaian mengenai objek jaminan fidusia yang musnah.


7

2. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah yang akan menjadi pokok pembahasan di dalam

penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan

fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit?

b. Bagaimana perlindungan para pihak dalam Putusan MA Nomor

2914K/Pdt/2001 terkait musnahnya benda jaminan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang harus di capai oleh penulis dalam melakukan

analisis dan pengkajian tentang judul topik tersebut di atas adalah sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui pengaturan tanggungjawab debitur terhadap

musnahnya benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian

kredit.

b. Untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis mengenai

perlindungan para pihak atas musnahnya benda jaminan fidusia dalam

perjanjian kredit.

2. Manfaat Penelitian

Pemelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat

secara teoritis maupun praktis.


8

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat

positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang hukum

jaminan fidusia yang keberadaannya sangat dibutuhkan berkaitan dengan

aktivitas lembaga keuangan bank.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun lembaga

perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, terutama ketentuan yang

menyangkut tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan

fidusia dalam kredit perbankan.

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Agar tidak terjadi kesamaan antara penulisan skripsi ini dengan

penelitian tentang jaminan fidusia lainnya, maka penulis melakukan

penelusuran terhadap beberapa penelitian terdahulu. Penelitian-penelitian

tersebuat diantaranya:

1. Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR

ATAS NILAI OBJEK JAMINAN FIDUSIA YANG MENYUSUT

(Tinjauan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia)” yang disusun oleh Reza Adriansyah, Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2013. Skripsi


9

ini membahas mengenai perlindungan hukum kreditur dan penyelesaiannya

akibat menyusutnya nilai objek jaminan fidusia.

2. Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR

ATAS RUSAK DAN/ ATAU MUSNAHNYA BENDA JAMINAN

FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT PADA PD. BPR BANK

PURWOREJO” yang disusun oleh Efi Handayani, Fakutas Hukum

Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2014. Skripsi ini membahas mengenai

perlindungan hukum terhadap kreditur atas jaminan fidusia yang rusak dan atau

musnah dalam perjanjian kredit.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih,

atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan

sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.9

Tanggungjawab debitur terhadap musnahnya jaminan fidusia dalam

perjanjian tidak terlepas dari peranan bank sebagai lembaga intermediasi, memiliki

fungsi sebagai perantara keuangan. Dalam peranannya, terdapat hubungan antara

bank dan nasabah didasarkan pada dua unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan

kepercayaan. Suatu bank hanya dapat melakukan kegiatan dan mengembangkan

banknya, apabila masyarakat ”percaya” untuk menempatkan uangnya dalam

produk-produk perbankan yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan

masyarakat tersebut, bank dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk

ditempatkan di banknya dan menyalurkan kembali dalam bentuk kredit serta

memberikan jasa-jasa perbankan.

9
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 19.
10

Bank sebagai lembaga keuangan adalah badan usaha yang menghimpun

dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian dana yang dihimpun

tersebut disalurkan kembali dalam bentuk pemberian kredit atau pembiayaan

dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan demikian, fungsi

konvensional dari bank adalah di samping menghimpun dana dari masyarakat,

juga memberi pinjaman (menyalurkan kredit) kepada masyarakat.10

Sutan Remmy Syahdeini memberikan batasan bahwa perjanjian kredit

memiliki pengertian secara khusus, yaitu perjanjian antara bank sebagai kreditur

dengan nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan

yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah nasabah debitur

untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu dengan jumlah bunga, imbalan,

atau pembagian hasil keuntungan.11

Sutarno berpendapat bahwa perjanjian kredit dibuat untuk kepastian hukum

akan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Lahirnya perjanjian kredit

memberi konsekuensi kepada kreditur mengenai kepastian hukum bagi kreditur

apabila debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya kepada kreditur.12

Dalam memberikan kredit kepada warga masyarakat, bank menerapkan

prinsip The Five ”C” yaitu watak (character), kemampuan (capacity), modal

(capital), situasi ekonomi (condition of economic) dan agunan (collateral).

Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas

10
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung: Alumni, 2000), h. 8.
11
Sutan Remmy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993),h. 34.
12
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2001), h. 246-250.
11

itikad dan kemampuan serta kesanggupan masyarakat (debitur) bahwa yang

bersangkutan akan dapat melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian.

Sebelum Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia diberlakukan, pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan

fidusia hanya terhadap benda-benda bergerak yang terdiri dari benda dalam

persediaan inventory, benda dagangan, piutang (tagihan), peralatan mesin dan

kendaraan bermotor. Sedangkan dengan diberlakukannya Undang-Undang

tersebut, pengertian jaminan fidusia diperluas dalam arti benda bergerak yang

berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat

dibebani dengan hak tanggungan menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun

1996.13

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan

permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil penelitian yang

mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat

dipertanggungjawabkan.

1. Tipe Penelitian

Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah suatu

proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun

doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai

dengan karakter preskriptif ilmu hukum.14

13
Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum Jaminan Fidusia Pedoman Praktis Cetakan ke-1,
(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1999), h.7
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media,2005), h. 35
12

Tipe penelitian yang digunakan adalah normatif. Penelitian jenis ini di

konsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan

atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan

patokan berperilaku manusia yang di anggap pantas.15

2. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan

mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti.

Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case

approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan

konseptual (conceptual approach).16

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual

(conceptual approach). pendekatan perundang-undangan yang meliputi

penelitian terhadap hukum, sumber-sumber hukum, atau peraturan perindang-

undangan yang bersifat teoritis dan dapat digunakan untuk menganalisa

permasalahan yang akan di bahas secara benar. Pendekatan konseptual

dipergunakan untuk memahami konsep-konsep asal mula adanya jaminan

fidusia dalam lingkup kredit perbankan. Di harapkan adanya pemahaman

terhadap konsep jaminan fidusia beserta aturan-aturannya yang mengikat para

pihak terutama debitur agar tidak terjadi perbuatan melawan

hukum/pelanggaran hukum.

15
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,2004), h. 118
16
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media,2005),h.93.
13

3. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan. Bahan hukum

primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan-bahan hukum

primer dalam penelitian ini terdiri dari:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;

3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Meliputi buku-buku teks,

kamus-kamus hukum, bahan hukum yang bersumber dari literatur-literatur,

jurnal ilmiah, dan lain-lain terkait dengan persoalan yang sementara dikaji.

4. Analisis Bahan Hukum

Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer

maupun bahan hukum sekunder di klasifikasikan sesuai isu hukum yang

akan di bahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk

mendapatkan penjelasan yang sistematis.


14

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini penulis menggunakan metode

penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku

Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian yang diperoleh setelah dilakukan analisis kemudian

disusun dalam bentuk laporan akhir dengan sistematika penulisannya sebagai

berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan yang berisi uraian tentang Latar Belakang

Permasalahan, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan

Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu,

Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode Penelitian, dan

Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN DALAM

PERJANJIAN KREDIT

Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit, Tinjauan Umum

tentang Jaminan, Pengikatan Jaminan Kredit, Hubungan Perjanjian

Kredit dengan Jaminan.

BAB III TANGGUNGJAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA

JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT


15

Dalam bab ini dibahas mengenai Tinjauan Umum tentang Jaminan

Fidusia, Definisi Musnahnya Benda Jaminan dalam Perjanjian

Kredit, dan Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur atas

Benda Jaminan yang Musnah dalam Perjanjian Kredit.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

2914K/Pdt/2001

Pada bab ini akan dibahas mengenai Studi Putusan MA No.

2914K/Pdt/2001, Analisis Putusan MA No. 2914K/Pdt/2001, dan

Perlindungan Hukum bagi Para Pihak atas Musnahnya Benda

Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Kredit.

BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan yang telah diuraikan

dan disertakan pula saran-saran sebagai rekomendasi berdasarkan

temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian.


16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN DALAM

PERJANJIAN KREDIT

A. Perjanjian Kredit

1. Pengertian Perjanjian Kredit

Secara umum dapatlah dikatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu

peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua

orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu

timbullah suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan

antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa

suatu rangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan

yang diucapkan atau ditulis.1

Antara bagian umum dan bagian khusus ini ada hubungannya satu

sama lain, yaitu suatu hubungan dimana asas-asas bagian umum dari

perikatan berlaku juga bagi perjanjian tertentu sebagaimana yang

tercantum/diisyaratkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menentukan

syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam hukum perjanjian yang

didasarkan pada KUHPerdata berlaku suatu asas yang dinamakan asas

konsensualisme yang artinya bahwa perjanjian itu sudah sah dan mengikat

apabila kedua belah pihak sudah sepakat mengenai hal yang pokok dan

tidak diperlukan suatu formalitas. Asas konsensualisme yang terdapat dalam

1
R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1985), hal.25.

16
17

buku perjanjian lazimnya disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata

menyebutkan:

1. Adanya kesepakatan

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian

3. Mengenai hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Pasal 1320 ini, merupakan pasal yang sangat populer karena

menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu

perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian

atau biasa disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu

sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut syarat objektif.2

Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “credere” yang berarti

“kepercayaan”. Kata “kredit” dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan

sebagai kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan

mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau

jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak.3

Pasal 1 Angka 11 UU Perbankan menyebutkan definisi dari kredit

yaitu:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat


dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga”.

2
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h.67
3
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung :PT.Citra Aditya Bakti, 1996) hal. 6.
18

Sutan Remy Syahdeini mengartikan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur


mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan
atau pembagian hasil keuntungan”.4

Menurut H. Salim HS yang diartikan dengan perjanjian kredit adalah:

”Perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur, di mana kreditur


berkewajiban untuk memberikan uang atau kredit kepada debitur, dan
debitur berkewajiban untuk membayar pokok dan bunga, serta biaya-
biaya lainnya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati antara
keduanya”.5

Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara pihak bank dengan pihak

nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya perjanjian

kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian pinjam

pengganti. Meskipun adanya, namun perjanjian kredit tetap merupakan

perjanjian khusus karena didalamnya terdapat adanya kekhususan, dimana

pihak Kreditor adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian berupa uang.6

2. Dasar Hukum dan Bentuk Perjanjian Kredit

Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau

tertulis, yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata.

Namun dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan

4
Sutan Remmy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), h. 14.
5
Salim, HS, Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), h. 80.

6
Gatot Supramono, Perbankan dan Permasalahan Kredit : Suatu Tinjauan Yuridis (Jakarta:
Djambatan, 1996), hal. 62.
19

sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat

bukti bagi para pihak yang membuatnya.

Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada

Pasal 1 ayat (11) UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun

1992 tentang perbankan. Dalam pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan

uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam

meminjam antara Bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan

bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu

tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun

menurut pendapat Sutarno dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka

untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan

pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum

menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis.7

Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis

adalah instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1966 tanggal 10

Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut ditegaskan “Dilarang melakukan

pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara Bank

dengan Debitur atau antara Bank Sentral dan Bank-Bank lainnya. Surat

Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No.

03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang

berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit.

7
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Bandung : Alfabeta, 2003), h. 99.
20

Dengan keputusan-keputusan tersebut, maka pemberian kredit oleh Bank

kepada nasabah harus diiniat secara tertulis.

Secara yuridis, ada 2 (dua) jenis perjanjian atau pengikatan kredit

yang digunakan oleh bank dalam memberikan kreditnya, yaitu:

a. Perjanjian atau pengikatan kredit dibawah tangan, yang disebut akta

dibawah tangan.

b. Perjanjian atau pengikatan kredit yang dibuat oleh dan dihadapan

Notaris, yang disebut akta otentik.

Perjanjian kredit yang dibuat baik dibawah tangan maupun dengan

akta otentik, pada umumnya dibuat dengan bentuk perjanjian baku yaitu

dengan cara kedua belah pihak (pihak bank dan pihak nasabah)

menandatangani suatu perjanjian yang sebelumnya telah disiapkan isi atau

klausul-klausulnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak. Dalam hal

perjanjian kredit bank yang dibuat dengan akta otentik, maka bank akan

meminta Notaris berpedoman pada model perjanjian kredit dari bank yang

bersangkutan.

Antara perjanjian kredit yang dibuat dengan Akta di bawah tangan

dengan perjanjian kredit dengan akta otentik sudah barang tentu ada

perbedaannya. Bila dilihat dari segi pembuktiannya, antara akta di bawah

tangan dengan akta otentik memang berbeda. Akta otentik mempunyai

kekuatan pembuktian sempurna, artinya akta otentik itu dianggap sah dan

benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan

pihak-pihak tersebut.
21

3. Lahirnya Perjanjian Kredit

Dalam praktek perbankan terdapat prinsip commanditer ingsverbod,

yaitu : “adanya larangan bagi bank bahwa dengan adanya pemberian kredit,

bank ikut menanggung resiko dari usaha nasabah”.8 Hal tersebut sesuai

dengan asas tiada kredit tanpa jaminan. Dengan adanya prinsip atau asas

tersebut di atas, menunjukkan pada kita bahwa di dalam perjanjian kredit

akan selalu terkait dengan adanya perjanjian jaminan.

Dalam praktek, penandatanganan perjanjian jaminan dilakukan

bersamaan pada saat penandatanganan perjanjian kreditnya. Adanya

perjanjian jaminan tersebut adalah karena adanya perjanjian kredit. Hal ini

sesuai dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan. Di samping terkaitnya

perjanjian jaminan di dalam perjanjian kredit, juga tidak akan terlepas dari

kewajiban membayar bunga kredit.

Di dalam praktek perbankan, bahwa dengan ditandatanganinya

perjanjian kredit tidak berarti akan disertai dengan realisasi kredit atau

pencairan kredit.9 Pemohon (calon nasabah) tidak akan dapat melakukan

penarikan kredit, bila tidak ada pernyataan dari bank bahwa pemohon sudah

boleh menarik kreditnya.

Jadi pada saat dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit,

perjanjian kredit belum lahir. Apabila perjanjian kredit telah lahir pada saat

dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, sedag pihak pemohon

belum menerima kreditnya, maka hal ini adalah suatu kejanggalan, suatu

8
Edy Putra Tje'Aman, Kredit Perbankan–Suatu Tinjauan Yuridis, (Yogyakarta: Liberty, 1989),h. 35.
9
Ibid, h.36
22

ketidakadilan yang nyata. Sebab bila perjanjian kredit telah lahir pada saat

dilakukannya penandatanganan perjanjian kredit, berarti perjanjian

jaminannya pun telah lahir. Sedangkan pada saat itu pemohon belum

menerima kreditnya, yang berarti pula belum mempunyai hutang. Hal ini

adalah bertentangan dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan.

Demikian pula halnya bila dikaitkan dengan kewajiban membayar

bunga kredit. Bagaimana mungkin pemohon atau calon nasabah diwajibkan

membayar bunga apabila ia sendiri belum menerima kreditnya.

4. Hapusnya Perjanjian Kredit

Pasal 1319 BW (KUH Perdata) menetapkan semua perjanjian baik

yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu

nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat di

dalam bab kedua BW (KUH Perdata). Ini berarti perjanjian kredit yang

merupakan perjanjian yang tidak dikenal di dalam KUH Perdata, juga harus

tunduk pada ketentuan-ketentuan umum yang termuat di dalam Buku III

KUH perdata.

Karenanya Pasal 1381 BW (KUH Perdata) yang mengatur cara

hapusnya perikatan dapat diberlakukan pula pada perjanjian kredit bank.

Dari sepuluh cara yang disebutkan pada Pasal 1381 tadi, umumnya

perjanjian kredit bank harus hapus atau berakhir karena hal-hal di bawah ini:

1. Pembayaran

2. Subrograsi (subrogatie)

3. Pembaharuan utang (novasi)


23

4. Perjumpaan utang atau kompensasi.

B. Tinjauan Umum tentang Jaminan

1. Pengertian Jaminan

Jaminan berasal dari kata jamin yang berarti tanggung, sehingga

jaminan dapat diartikan tanggungan, tanggungan yang dimaksud dalam

Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata),

dirumuskan:

“Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun tidak


bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada kemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan.”

Adanya jaminan dalam suatu perjanjian jaminan sangat diperlukan

oleh kreditur, karena kreditur mempunyai kepentingan bahwa akan benar-

benar memenuhi kewajibannya yaitu untuk membayar utang. Perjanjian

jaminan merupakan perjanjian tambahan atau accessoir yaitu perjanjian

yang muncul akibat adanya perjanjian pokoknya. Perjanjian kredit

merupakan perjanjian pokok, sehingga menimbulkan adanya perjanjian

tambahan yang berupa perjanjian tambahan, karena dalam perjanjian kredit

disyaratkan adanya jaminan.10

Jaminan yang lahir karena Undang-undang tidak memerlukan

perjanjian antara kreditur dan debitur. Perwujudan dari jaminan berdasarkan

ketentuan Pasal 1131 BW menentukan bahwa semua harta kekayaan debitur

baik benda bergerak ataupun tidak bergerak, baik yang ada ataupun akan

ada menjadi jaminan atas seluruh hutangnya.

10
Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan Edisi Keempat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
1995), h. 69.
24

2. Syarat dan Manfaat Jaminan

Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga

perbankan atau lembaga keuangan non bank, namun benda yang dapat

dijaminkan adalah benda-benda yang memenuhi syarat-syarat benda

jaminan yang baik adalah:11

a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit oleh pihak yang

memerlukan;

b. Memberikan kedudukan mendahulukan kepada pemegangnya;

c. Mengikuti objek yang dijaminkan;

d. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas;

e. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk

melakukan atau meneruskan usahanya;

f. Memberikan kepastian kepada si kreditur, dalam arti bahwa barang

jaminan setiap waktu tersedia untuk di eksekusi, bila perlu mudah

diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil)

kredit.

Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam

menunjang pembangunan ekonomi. Keberadaan lembaga jaminan dapat

memberikan manfaat bagi kreditur dan debitur. Manfaat bagi kreditur

adalah:12

a. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup;

11
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 27
12
Ibid, h. 28
25

b. Memberikan kepastian hukum bagi kreditur untuk menerima

pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitur.

Sedangkan manfaat benda jaminan bagi debitur adalah:

a. Dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank dan tidak

khawatir dalam pengembangan usahanya (adanya kepastian

dalam berusaha);

b. Memberikan kepastianbagi debitur untuk mengembalikan

pokok kredit dan bunga yang ditentukan.

3. Bentuk Jaminan

Bentuk jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

a. Jaminan yang timbul dari Undang-undang

Jaminan yang timbul dari Undang-undang dimaksudkan adalah

bentukbentuk jaminan yang adanya telah ditentukan oleh suatu Undang-

undang. Tergolong jaminan yang timbul dari Undang-undang ialah Pasal

1311 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai

berikut:

“Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang


tidak bergerak, baik yang sudah maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan.”

Dengan ketentuan Undang-undang seperti itu berarti seseorang

kreditur telah diberikan jaminan yang berupa harta benda dari milik

debitur tanpa khusus diperjanjikan terlebih dahulu. Namun dengan

jaminan semacam itu kedudukan kreditur hanyalah merupakan kreditur

konkuren saja terhadap seluruh kekayaan debitur.


26

b. Jaminan yang timbul dari atau perjanjian.

Bentuk jaminan yang timbul karena perjanjian yang dibuat khusus

dengan debitur dan kreditur dapat dibedakan antara bentuk jaminan yang

bersifat kebendaan dan yang bersifat perorangan.

1) Jaminan Perorangan

Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht, ada juga yang

menyebutkan dengan istilah jaminan imateriil. Sri Soedewi Masjchoen

Sofwan mengartikan jaminan imateriil (perorangan) adalah jaminan

ynag menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu,

hanya dapat di pertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta

kekayaan debitur umumnya.13 Jaminan perorangan atau jaminan

pribadi (personal guaranty), yaitu jaminan seseorang pihak ketiga

yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si

debitur. Jaminan ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan debitur.

Menurut Soebekti, jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara

seorang berpiutang atau kreditur dengan seorang ketiga yang

menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau

debitur.14 Dengan demikian jaminan perorangan merupakan jaminan

yang menimbulkan hubungan langsung dengan orang tertentu atau

pihak ketiga, artinya tidak memberikan hak untuk didahulukan pada

benda-benda tertentu karena harta kekayaan pihak ketiga tersebut

13
Ibid, h.28
14
Frieda Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Jaminan Jilid II,
(Jakarta: Ind-Hill-Co, 2005), h.12
27

hanyalah merupakan jaminan bagi terselenggaranya suatu perikatan.

Ciri-ciri jaminan perseorangan adalah:15

a) Mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu;

b) Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;

c) Seluruh harta kekayaan debitur menjadi jamina pelunasan

hutang;

d) Menimbulkan hak perseorangan yang mengandung asas

kesamaan atau keseimbangan (konkuren);

e) Jika suatu saat terjadi kepailitan, maka hasil penjualan dari

benda-benda jaminan dibagi antara para kreditur seimbang

dengan besarnya piutang masing-masing (Pasal 1136

KUHPerdata).

2) Jaminan Kebendaan

Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada kreditur

hak untuk memanfaatkan suatu kebendaan milik debitur jika debitur

melakukan wanprestasi. Benda milik debitur yang dijaminkan dapat

berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Untuk benda bergerak

dapat dijaminkan dengan gadai atau fidusia, sedangkan untuk benda

tidak bergerak dapat dijaminkan dengan hak tanggungan ataupun

hipotik atas kapal laut dan pesawat terbang serta helikopter.

Jika debitur melakukan wanprestasi, maka dalam jamina kebendaan,

kreditur mempunyai hak didahulukan dalam pemenuhan piutangnya

15
Ibid, h. 16
28

diantara kreditur-kreditur lainnya dari hasil penjualan harta benda

milik debitur. Dengan demikian jaminan kebendaan mempunyai ciri-

ciri, yaitu:16

a) Merupakan hak mutlak atau absolut atas suatu benda;

b) Kreditur mempunyai hubungan langsung dengan benda-benda

tertentu milik debitur;

c) Dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh siapapun;

d) Selalu mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu

berada (droit de suite);

e) Mengandung asas prioritas, yaitu hak kebendaan yang lebih

dulu terjadi akan lebih diutamakan daripada yang terjadi

kemudian (droit de preference);

f) Dapat diperalihkan;

g) Bersifat perjanjian tambahan (accessoir).

C. Pengikatan Jaminan Kredit

Dalam praktik perbankan seharusnya suatu objek jaminan kredit diikat

melalui suatu lemabaga jaminan yang berlaku, kelihatannya banyak pula objek

jaminan kredit yang tidak diikat dengan lembaga jaminan atau melakukan

pengikatan yang tidak sepenuhnnya mengikuti ketentuan suatu lembaga

jaminan. Perbedaan perlakuan tersebut tidak hanya di antara bank sebagaimana

disebutkan diatas, tetapi juga terjadi di dalam intern masing-masing bank.17

16
Ibid, h. 17
17
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h.143.
29

1. Pengikatan melalui Lembaga Jaminan

Cara pengikatan objek jaminan kredit yang secara umum akan

mengamankan kepentingan bank adalah bila dilakukan melalui suatu

lembaga jaminan. Sebagaimana dikemukakan terdapat 5 lembaga yang

dapat digunakan untuk mengikat jaminan utang yaitu gadai, hipotik, hak

tanggungan, jaminan fidusia dan resi gudang. Dalam praktiknya keharusan

untuk melakukan pengikatan objek jaminan kredit melalui suatu lembaga

jaminan sering kali hanya dilakukan untuk jenis tertentu karena alasan-

alasan tertentu dari masing-masing bank. Besarnya nilai kredit, jangka

waktu kredit, jenis atau bentuk jaminan kredit merupakan sebagian dari hal-

hal yang dipertimbangkan bank untuk mengikat atau tidak mengikat objek

jaminan kredit melalui suatu lembaga jaminan.18 Lembaga jaminan yang

dapat digunakan dalam rangka pengikatan jaminan kredit terdiri dari:

a. Lembaga Jaminan Kebendaan

Lembaga jaminan kebendaan terdiri dari lembaga jaminan

kebendaan tidak bergerak dan lembaga kebendaan bergerak. Lembaga

jaminan tidak bergerak terdiri dari hipotik dan hak tanggungan,

sedangkan lembaga jaminan barang bergerak terdiri dari gadai, jaminan

fidusia, dan resi gudang.

1) Gadai atau Pand

Dasar hukum dari Pand adalah terdapat di dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata Buku II tentang Pasal 1150 sampai dengan

18
Ibid, h. 135
30

Pasal 1160 butir ke-20. Pengertian Pand sebagaimana dirumuskan di

dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah

sebagi berikut:

“Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang


(kreditur) atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya
oleh seorang berutang (debitur) atau oleh seorang lain atas
namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang
untuk mengambil pelunasan barang-barang bergerak tersebut
secara didahulukan dari ada orang-orang berpiutang lainnya
dengan perkecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan
biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara barang itu
(biaya-biaya mana yang harus didahulukan).”

2) Fidusia

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 bahwa

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya

dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

3) Hak Tanggungan

Dalam Pasal 1 Undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan disebutkan pengertian dari Hak Tanggungan yaitu hak

jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud

dalam Undang-undang No.5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain

yang merupakan kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.


31

4) Hipotik

Hipotik adalah hak jaminan yang dibebankan pada benda tidak

bergerak untuk pekunasan utang tertentu yang memberikan

kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur-kreditur lain. Sebelum

berlakunya UUHT, ketentuan hipotik berlaku untuk benda tidak

bergerak berupa hak atas tanah. Namun sejak berlakunya UUHT,

hipotik hanya berlaku untuk benda bergerak berupa kapal dan pesawat

terbang atau helikopter.

5) Resi Gudang

Resi gudang adalah dokumen bukti kepemilikan (surat berharga)

atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh Pengelola

Gudang. Hak jamina atas resi gudang adalah hak jaminan yang

dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan suatu hutang yang

memberikan kedudukan diutamakan bagi penerima hak jaminan

terhadap kreditur lain. Objek jaminan resi gudang adalah setiap benda

bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan

diperdagangkan secara umum yang disimpan dalam gudang. Setiap

resi gudang yang diterbitkan hannya dapat dibebani satu jaminan

utang.19

b. Lembaga Jaminan Perorangan

Jaminan perorangan atau di kenal juga penanggungan merupakan

suatu persetujuan dimana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si

19
Resi Gudang beserta penjaminannya diatur dalam UU No.9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi
Gudang.
32

berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berhutang

apabila si berhutang tidak memenuhinya. Dalam praktik penanggungan,

dikenal istilah personal guarantee untuk penanggungan oleh orang

perorangan, corporate guarantee untuk penanggungan oleh perusahaan

atau badan hukum, dan bank garansi untuk penanggungan oleh bank.

Jaminan perorangan hanya memberikan kedudukan konkuren bagi para

pemegangnya.

2. Pengikatan yang tidak Memenuhi Ketentuan Lembaga Jaminan

Dalam praktik perbankan banyak ditemukan mengenai penerimaan

objek jaminan kredit yang pengikatannya oleh bank melalui suatu lembaga

jaminan, tetapi tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan-ketentuannya.

Pengikatan yang demikian dapat dikatankan sebagai pengikatan yang tidak

sempurna dan dapat menimbulkan permasalahn pada saat pencairan objek

jaminan yang bersangkutan.20 Pertimbangan bank untuk tidak mematuhi

sepenuhnya ketentuan-ketentuan lembaga jaminan yang digunakannya

tersebut dapat beraneka ragam. Akan tetapi secara umum pertimbangan

yang sering dikemukakan bank untuk mengikat objek jaminan kredit yang

diterimanya secara tidak sempurna adalah sebagi berikut:21

a. Terdapatnya pengecualian oleh peraturan perundang-undangan.

b. Terdapatnya kebijaksanaan bank untuk melakukan pengecualian.

20
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h. 139
21
Ibid, h.139-141
33

3. Pengikatan yang tidak Menggunakan Lembaga Jaminan

Dari praktik perbankan dapat diketahui mengenai adanya objek

jaminan kredit yang sama sekali tidak diikat dengan melalui suatu lembaga

jaminan. Bank tetap mensyaratkan adanya penyerahan objek jaminan kredit

dari debitur dan menerimanya, tetapi tidak melakukan pengikatan melalui

lembaga jaminan yang berkaitan dengan objek jaminan tersebut. Bank tidak

melakukan pengikatan objek jaminan berdasarkan pertimbangan tertentu

antara lain karena berkaitan dengan pemberian kredit mikro dan kecil yang

nilai kreditnya relatif kecil, jangka waktu kredit pendek, dokumen jaminan

kredit tidak memenuhi persyaratan, beban biaya pengikatan yang tidak

seimbang dengan jumlah kredit yang disetujui dan sebagainya. 22 Terhadap

objek jaminan yang tidak diikat melalui suatu lembaga jaminan, bank

bisanya menempuh kebijaksanaan antara llain berupa tindakan sebagai

berikut:23

a. Pencantuman klausula jaminan kredit dalam perjanjian kredit;

b. Penguasaan dokumen objek jaminan kredit oleh bank;

c. Penyerahan surat kuasa menjual oleh debitur kepada bank;

d. Penyerahan surat pernyataan dari pihak ketiga;

e. Penyerahan surat pernyataan dari pihak debitur kepada bank;

f. Pembuatan cessie dan standing indtruction;

g. Penerimaan aksep (surat berharga).

22
Ibid, h.142
23
Ibid h. 142-145
34

D. Hubungan Perjanjian Kredit dengan Jaminan

Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta

benda) antara dua orang, yang member hak pada yang satu untuk menuntut

barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yng lainnya ini diwajibkan

memenuhi tuntutan itu.24 Salah satu kegiatan usaha perbankan adalah berupa

perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan perjanjian antara pihak bank

dengan pihak nasabah. Dengan melihat bentuk perjanjiannya, maka sebenarnya

perjanjian kredit merupakan perjanjian yang tergolong dalam jenis perjanjian

pinjam pengganti. Meskipun demikian adanya, namun perjanjian kredit tetap

merupakan perjanjian khusus karena di dalamnya terdapat kekhususan, dimana

pihak kreditur adalah pihak bank sedangkan objek perjanjian adalah uang.

Perjanjian kredit ini dibuat secara tertulis tujuannya ialah untuk bukti lengkap

mengenai apa yang mereka perjanjikan.25

Sebelum mengajukan kredit, seorang calon debitur haruslah terlebih

dahulu mengajukan surat permohonan kredit. Setelah permohonan kredit calon

debitur dianggap layak untuk disetujui, bank akan memberikan tanda

persetujuannya yang disebutnya Sebagai Surat Persetujuan Prinsip, yaitu surat

kepada pemohon yang memberitahukan setuju secara prinsip pemberian

kredit.26 Pemberian Kredit merupakan pemberian pinjaman uang oleh bank

kepada anggota masyarakat yang umumnya disertai dengan penyerahan

24
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa, 2003), h. 122.
25
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2000),h. 226
26
H. R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi,(Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2005),h. 133
35

jaminan kredit oleh debitur (peminjam). Terhadap penerimaan jaminan kredit

tersebut terkait dengan berbagai ketentuan hukum jaminan.27

Banyak hal mengenai perjanjian kredit yang dapat dikaitkan dengan

ketentuan hukum jaminan. Salah satu contoh adalah tentang penerapan

ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang mengatur tentang kedudukan harta

seorang yang berutang untuk menjamin utangnya. Bank pemberi kredit

hendaknya sepenuhnya memahami dan mematuhi ketentuan Pasal 1131

KUHPerdata tersebut untuk mengamankan kepentingannya sebagai pihak yang

berpiutang. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata seharusnya dipatuhi pada

waktu bank melakukan penilaian calon nasabah dan ketika melakukan

penanganan kredit bermasalah debitur. Pada waktu melakukan penilaian calon

debitur yang mengajukan permohonan kepadanya, bank seharusnya

berdasarkan kepada ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata dapat meyakini harta

yang dimiliki oleh calon debitur untuk menjamin pelunasan kredit di kemudian

hari.

Harta calon debitur adalah semua hartanya yang berupa barang bergerak

dan barang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di

kemudian hari, sepenuhnya merupakan jaminan atas kredit yang bersangkutan.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut,

jaminan atas kredit yang diterima debitur tidak terbatas pada harta debitur yang

telah dikuasai bank atau yang diikat melalui sesuatu lembaga jaminan. Semua

harta debitur adalah jaminan atas kredit yang diterimanya dari bank, dan dalam

27
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), h. 70.
36

praktik perbankan mengenai harta debitur sebagaimana yang dimaksud oleh

ketentuan KUHPerdata tersebut sering dicantumkan dengan ketentuan

perjanjian kredit. Sehubungan dengan itu hukum jaminan sangat berkaitan

dengan kegiatan perbankan, terutama dalam perjanjian kredit yang

dilakukannya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan

perekonomian saat ini penerapan hukum jaminan lebih banyak ditemukan

dalam kegiatan perjanjian kredit perbankan.


37

BAB III

TANGGUNG JAWAB DEBITUR ATAS MUSNAHNYA BENDA JAMINAN

FIDUSIA DALAM PERJANJIAN KREDIT

A. Jaminan Fidusia

1. Pengertian Jaminan Fidusia

Fidusia menurut asal katanya berasal dari “fides” yang berarti

kepercayaan. Maka hubungan hukum antara pemberi fidusia (debitor) dan

penerima fidusia (kreditor) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan

kepercayaan. Debitor percaya bahwa kreditor mau mengembalikan hak

milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya,

kreditor percaya bahwa debitor tidak akan menyalahgunakan barang

jaminan yang berada dalam kekuasaannya.

Bentuk jaminan fidusia itu sendiri ada 2 (dua), yaitu “fidusia cum

creditore” yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor,

bahwa debitor akan mengalihkan kepemilikannya atas suatu benda kepada

kreditor sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa

kreditor akan mengambil alih kembali kepemilikan tersebut kepada debitor

apabila utangnya sudah dibayar lunas dan “fidusia cum amico.” Keduanya

timbul dari perjanjian yang disebut “pactum fidusiae”, yang kemudian

diikuti dengan penyerahan hak atau “in iure cessio.”1

1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
h.119.

37
38

Undang-undang yang khusus mengatur hal ini adalah Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, namun dalam bahasa

Indonesia untuk fidusia sering pula disebut sebagai “Penyerahan Hak

Milik secara Kepercayaan.2 Pengertian fidusia menurut UUJF Pasal 1 butir

(1) adalah:

“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar


kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya
dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.”

Jaminan fidusia ini adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang

berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak

khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hak Tanggungan yang

tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia. Sebagai agunan bagi

pelunasan utang tertentu, memberikan kedudukan yang diumumkan

kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Berdasarkan definisi diatas, dapat dikatakan bahwa dalam jaminan

fidusia terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu terjadi atas

dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan,

tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pengalihan hak kepemilikan

tersebut dilakukan dengan cara constitutum possesorium. Ini berarti

pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkan

penguasaan atas benda tersebut dimaksudkan untuk kepentingan penerima

2
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.3
39

fidusia. Bentuk pengalihan seperti ini sebenarnya sudah dikenal luas sejak

abad pertengahan di Perancis.3

2. Subjek dan Objek Jaminan Fidusia


a. Subjek Jaminan Fidusia

Subjek jaminan fidusia adalah pemberi fidusia dan penerima

fidusia. Pemberi fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi

pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia (Pasal 1 butir (5)

UUF). Penerima fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang

mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan

fidusia (Pasal 1 butir (6) UUF).

Dalam Pasal 8 UUF disebutkan bahwa jaminan fidusia dapat

diberikan kepada lebih dari satu penerima fidusia atau kepada kuasa

atau wakil dari penerima fidusia tersebut. Dalam penjelasannya,

ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai pemberi fidusia kepada lebih

dari satu penerima fidusia dalam rangka pembiayaan kredit konsorsium,

yang disebut kuasa adalah orang yang mendapat kuasa khusus dari

penerima fidusia untuk mewakili kepentingannya dalam penerimaan

jaminan fidusia dari pemberi fidusia. Wakil adalah orang yang secara

hukum dianggap mewakili penerima fidusia dalam penerimaan jaminan

fidusia.

Perlu diperhatikan bahwa pemberi fidusia dilarang melakukan

fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang

sudah terdaftar. Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitor


3
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
h.128.
40

maupun penjamin pihak ketiga tidak dimungkinkan atas benda yang

menjadi objek jaminan fidusia. Sedangkan syarat bagi sahnya jaminan

fidusia adalah bahwa pemberi fidusia mempunyai hak kepemilikan atas

benda yang dijadikan objek jaminan fidusia pada waktu ia memberi

jaminan fidusia.

b. Objek Jaminan Fidusia

Dalam hukum Islam diatur mengenai benda yang menjadi objek

jaminan fidusia, tertulis dalam firman Allah SWT yang berbunyi:

...‫اَّلل لَ ُ ُْك ِق َي ًم َّاو ْار ُز ُق ْو ُ ُْه ِف ْْيَا‬


ُ َّ ‫الس َفهَآ ٓ َء َا ْم َوالَ ُ ُُك ال َّ ِ ِْت َج َع َل‬
ُّ ‫َو َالت ُْؤتُوا‬
﴾)٥( ٤: ‫﴿ ال ِن ّس َاء‬
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan...”. (An-
Nisa ayat 5).

Ayat diatas mengatur tentang kejelasan benda yang menjadi objek

jaminan fidusia, sedangkan objek jaminan fidusia diatur secara lebih

rinci dalam Pasal 1 butir (4) UUF yaitu segala sesuatu yang dapat

dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun

yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan

atau hipotik.

Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus

jelas dalam akta jaminan fidusia baik identitas benda tersebut maupun

penjelasan surat bukti kepemilikannya, dan bagi benda inventory yang


41

selalu berubah-ubah dan atau tetap, harus dijelaskan jenis bendanya,

merek benda dan kualitasnya. Jaminan fidusia dapat diberikan kepada

satu atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang yang diperoleh

kemudian tidak perlu dilakukan dengan perjanjian tersendiri.

Pasal 10 UUF menyebutkan bahwa kecuali diperjanjikan lain,

yaitu:

1) Jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek


jaminan fidusia.
2) Jaminan fidusia meliputi klaim asuransi dalam hal benda yang
menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan.

Maksud kedua hal tersebut adalah bahwa hasil benda yang menjadi

objek jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang diperoleh dari benda

yang dibebani jaminan fidusia. Klaim asuransi merupakan hak

penerima fidusia dalam hal jaminan tersebut musnah dan mendapat

penggantian dari perusahaan asuransi.

3. Eksekusi dan Hapusnya Jaminan Fidusia

a. Eksekusi Jaminan Fidusia

Pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan ketentuan

pasal 29 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yaitu

Apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap

benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara:

1. Melaksanakan titel eksekutorial oleh penerima fidusia;


42

2. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan

penerima fidusia melalui pelelangan umum serta mengambil

pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan

pemberi fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga

tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Pelaksanaan eksekusi sesuai dengan Pasal 29 tersebut pada intinya

dilaksanakandengan cara melalui pelelangan di depan umum atau dengan

cara penjualan di bawah tangann disesuaikan dengan perkiraan

memperoleh hasil penjualan yang lebih tinggi. Untuk penjualan di bawah

tangan harus dengan persetujuan dari pemberi dan penerima fiduisia serta

dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara

tertulis oleh pemberi dan penerima fidusia kepada pihak-pihak yang

berkepentingan serta diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar

yang beredar di daerah yang bersagkutan. Selanjutnya pasal 30

menyatakan pemberi fidusia diwajibkan memyerahkan objek jamina

fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jamina fidusia, apabila objek

jaminan fidusia tidak diserahkan oleh pemberi fidusia, maka pemberi

fidusia berhak mengambil objek jaminan dan bila perlu meminta bantuan

pihak yang berwenang.

Dalam prakteknya, pelaksanaan eksekusi objek jamina fidusia

kebayakan dilakukan dengan penjualan di bawah tangan. Cara

penyelesaian ini lebih menguntungan debitur/pemberi fidusia dan


43

kreditur, sebab penyelesaian bisa lebih cepat dan biaya-biaya jauh lebih

ringan, seperti biaya perkara, dan bea lelang tidak dikenakan dengan cara

ini.dengan penjualan di bawah tangan dapat diharapkan harga akan

mencapai nilai yang sewajarnya, sehingga piutang kreditor dapat dilunasi

dan apabila masih tersisa dari harga jual itu maka sisa pembayaran akan

menjadi milik debitur.

b. Hapusnya Jaminan Fidusia

Menurut Pasal 25 UUF, hapusnya jaminan fidusia dapat

diakibatkan dari hal-hal sebagai berikut:

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia,

b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia.

c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Jika objek jaminan musnah sedangkan objek tersebut

diasuransikan, maka klaim asuransi tersebut tidak hapus dan menjadi

jaminan pengganti dari objek yang musnah tersebut.4

Dan penerima fidusia segera memberitahukan kepada KPF

mengenai hapusnya jaminan fidusia secara tertulis dalam waktu 7

(tujuh) hari setelah hapusnya jaminan fidusia dengan melampirkan

pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak atau musnahnya

benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut. Kemudian KPF

akan mencoret pencatatan jaminan fidusia tersebut dari Buku Daftar

4
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000),
h. 149.
44

Fidusia dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan bahwa

Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut tidak berlaku lagi.

B. Definisi Musnahnya Benda Jaminan dalam Perjanjian Kredit

Dalam praktek perkreditan yang sesungguhnya, ternyata jaminan

merupakan hal yang sangat diutamakan oleh bank daripada sekedar jaminan

berupa keyakinan bahwa debiturnya akan membayar kembali kredit tersebut.

Bank dalam rangka mengamankan kepentingannya selaku kreditur tidak

dilarang untuk meminta jaminan kepada pihak debitur, hal tersebut mempunyai

dasar hukum yang sangat kuat sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal

1131 KUH Perdata, yaitu bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan

jaminan bagi pelunasan piutang seluruh krediturnya. Dengan demikian, maka

hampir setiap bentuk aktiva perusahaan atau aktiva pribadi dapat digunakan

sebagai jaminan untuk kredit.

Perjanjian kredit dengan meminta jaminan dari debitur dimaksudkan

untuk mengurangi resiko yang timbul dari perjanjian kredit tersebut, akan

tetapi tidak semua perjanjian kredit yang dilakukan oleh pihak bank dengan

debitur dapat berjalan sebagaimana mestinya. Resiko yang dapat terjadi dengan

penggunaan benda jaminan bergerak memiliki resiko yang sangat besar karena

pihak debitur bisa saja melakukan perjanjian ulang dengan mengalihkan hak

kepemilikan benda jaminan bergerak kepada pihak lain tanpa sepengetahuan

kreditur sebagai penerima jaminan.

Resiko lain yang dapat terjadi adalah dengan musnahnya barang jaminan.

Dalam peraturan yang mengatur tentang fidusia, tidak ditemukan defenisi


45

dalam aturan tersebut tentang istilah ”musnahnya” barang jaminan. Namun,

sejauhmana mengartikan musnahnya barang jaminan dalam penelitian ini perlu

dipertegas. Berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapatlah

diartikan bahwa yang dimaksudkan dengan ”musnah” adalah lenyap, binasa

atau hilang.5 Dengan demikian, musnahnya barang jaminan dalam penulisan

ini adalah barang yang dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit telah lenyap

atau hilang.

Sebelum lebih jauh menjelaskan tentang resiko terhadap musnahnya

benda jaminan, maka dapatlah dikaji dengan memperhatikan pendapat Subekti,

yaitu resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh

suatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa

barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian.6 Resiko merupakan suatu

akibat dari suatu keadaan yang memaksa (Overmacht) sedangkan ganti rugi

merupakan akibat dari wanprestasi. Sebagai contoh, pembebanan risiko

terhadap obyek sewa didasarkan terjadinya suatu peristiwa di luar dari

kesalahan para pihak yang menyebabkan musnahnya barang atau obyek sewa.

Musnahnya barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa dapat dibagi

menjadi dua macam yaitu :

1. Musnah secara total (seluruhnya)

Jika barang yang menjadi oyek perjanjian sewa-menyewa musnah yang

diakibatkan oleh peristiwa di luar kesalahan para pihak maka perjanjian

5
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2005),

h. 767.
6
Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1975), hal. 92
46

tersebut gugur demi hukum. Pengertian musnah di sini berarti barang yang

menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa tidak lagi bisa digunakan

sebagaimana mestinya, meskipun terdapat sisa atau bagian kecil dari barang

tersebut masih ada. Ketentuan tersebut diatur di dalam pasal 1553 KUH

Perdata yang menyatakan jika musnahnya barang terjadi selama sewa-

menyewa berlangsung yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang tidak bisa

dipertanggungjawabkan pada salah satu pihak maka perjanjian sewa-

menyewa dengan sendirinya batal.

2. Musnah sebagian

Barang yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa disebut musnah

sebagian apabila barang tersebut masih dapat digunakan dan dinikmati

kegunaannya walaupun bagian dari barang tersebut telah musnah. Jika

obyek perjanjian sewa-menyewa musnah sebagian maka penyewa

mempunyai pilihan, yaitu :

a. Meneruskan perjanjian sewa-menyewa dengan meminta pengurangan

harga sewa.

b. Meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa.

Terkait dengan musnahnya barang jaminan sebagaimana yang

dipaparkan pada bagian sebelumnya ini, telah memberikan gambaran bahwa

yang dimaksudkan dengan musnah yang dapat terjadi pada sebuah barang

khususnya yang menjadi jaminan ada dua yaitu musnah secara total dan

musnah sebagian. Kedua hal tersebut tentunya membawa konsekuensi-

konsekuensinya secara sendiri.


47

Dengan demikian, tergambar secara jelas bahwa Undang-Undang Nomor 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dalam pengaturan norma-normanya masih

belum dapat menjawab permasalahan dalam hal jaminan fidusia, khususnya

mengartikan musnahnya barang jaminan. Sehingga diartikan dengan berpedoman

pada kamus bahwa yang dimaksudkan dengan musnah dalam pengkajian ini

adalah hilangnya, rusaknya barang yang dijadikan sebagai jaminan dalam

perjanjian kredit.

C. Pengaturan tentang Tanggung Jawab Debitur atas Benda Jaminan yang

Musnah Dalam Perjanjian Kredit

Terkait dengan musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit tidak

diuraikan yang dimaksud dengan musnahnya benda jaminan. Namun, pada

bagian sebelumnya pada bab ini telah dipertegas bahwa yang dimaksudkan

dengan musnahnya barang jaminan adalah lenyap atau hilang. Kondisi

musnahnya barang jaminan dapat diklasifikasikan pada musnah seluruhnya

atau musnah sebagian. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Buku

ketiga tentang Perikatan tidak secara rinci menjelaskan tentang sebab akibat

dari musnahnya barang jaminan.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tidak

secara rinci menjelaskan tentang sebab akibat dari musnahnya barang jaminan.

Terkait dengan musnahnya barang jaminan hanyalah disebutkan bahwa

musnahnya benda yang menjadi objek jaminan adalah salah satu bagian atau

alasan dari hapusnya jaminan fidusia. Hal tersebut sebagaimana dikaji secara rinci

pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia pada Pasal

25 ayat (1) mengatur bahwa Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut:
48

a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;

b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau

c. musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Pada ayat (2) ditambahkan bahwa musnahnya benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 huruf b. Sehingga tidak nampak secara rinci yang dimaksudkan

dengan musnahnya benda jaminan yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut.

Namun berdasarkan penafsiran yang dilandasi pada pengertian secara umum dari

kata ”musnah”, maka diartikan sebagai lenyap atau hilangnya barang yang

menjadi objek jaminan.

Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia

dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda

persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia yang dikenal dengan prinsip ”droit

de suite” yaitu hak mutlak atas kebendaan. Pemberi fidusia dilarang mengalihkan,

menggadaikan atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi obyek

jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan

persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia. Benda persediaan adalah

benda yang telah ada selain dari benda pokok jaminan yang dijadikan jaminan

fidusia. Benda persediaan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) boleh dialihkan oleh

debitur tetapi wajib diganti dengan benda yang setara, kecuali apabila telah terjadi

cidera janji oleh debitur dan atau Pemberi Fidusia pihak ketiga.

Tanggung jawab debitur terhadap musnahnya barang jaminan dalam

perjanjian kredit adalah sebuah konsekuensi dari peristiwa yang terjadi. Di sini

akan muncul perbedaan antara tanggung jawab dan kewajiban. Terkait dengan
49

penelitian ini, maka dapatlah dijelaskan bahwa istilah ”tanggung jawab”

diartikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal

tersebut) bertanggungjawab atau sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan.7

”Kewajiban” adalah sesuatu yang harus dikerjakan, sesuatu yang harus

dilaksanakan, sesuatu yang berkenaan dengan tugas atau pekerjaan. Dengan

demikian dapat disimpulkan secara ringkas bahwa tanggungjawab lebih luas

maknanya dibandingkan kewajiban. Sebab tanggung jawab berisiko pada

akibat dari sesuatu atau sesuatu yang dilaksanakan dengan mempertegas pada

konsekuensi, sedangkan kewajiban hanya terfokus pada sesuatu yang harus

dilaksanakan tanpa menekankan pada konsekuensi. Penelitian ini mengkaji

sejauhmana tanggungjawab dari salah satu pihak (debitur) terhadap musnahnya

barang jaminan.

Terkait dengan suatu perjanjian pada dasarnya akan menimbulkan

kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi prestasi. Jika debitur tidak

melakukan apa yang dijanjikannya, maka ia disebut wanprestasi. Jika pihak

kreditur yang lalai akan kewajibannya, maka ia disebut mora creditor.

Wanprestasi dari seorang debitur dapat berupa :

1. Tidak melakukan prestasi sama sekali;

2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan;

3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

7
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 739.
50

Risiko merupakan suatu akibat dan suatu keadaan yang memaksa

(Overmacht) sedangkan ganti rugi merupakan akibat dari wanprestasi. Apabila

debitur atau pemberi fidusia cidera janji, tidak dapat mengembalikan kredit

tepat pada waktunya, maka mekanisme atau prosedur pelaksanaan eksekusi

atas barang yang menjadi jaminan adalah pihak bank harus memberitahukan

secara tertulis kepada mereka agar segera menyerahkannya kepada bank.

Setelah barang dikuasai oleh bank, maka tindakan selanjutnya melaksanakan

eksekusi terhadap jaminan tersebut.

Terhadap risiko tersebut di atas, maka beberapa usaha yang dilakukan

oleh manusia untuk mengatasi risiko, yaitu :

1. Menerima risiko, apabila suatu risiko yang dihadapi oleh seseorang

diperkirakan tidak begitu besar atau usaha untuk menghindari, mencegah,

memperalihkan itu diperhitungkan lebih besar daripada keuntungannya,

maka orang yang menghadapi risiko itu mungkin akan mengambil sikap,

bahwa ia akan menerima saja risiko itu. Dengan kata lain ia akan pasrah

saja.

2. Menghindari risiko, menghindari atau menjauhi adalah suatu cara

menghadapi masalah yang penuh dengan risiko. Seseorang yang

menghindari atau menjauh dari suatu pekerjaan, suatu benda yang penuh

risiko, berarti dia berusaha menghindari risiko itu sendiri.

3. Mencegah risiko, dengan cara melakukan beberapa usaha sehingga akibat

yang tidak diharapkan, yang mungkin timbul akan dapat diatasi atau

dihindari.
51

4. Mengalihkan risiko, bahwa seseorang yang menghadapi risiko meminta

orang lain untuk menerima risiko tersebut. Ini dilakukan dengan

memperalihkan risiko tersebut berdasarkan suatu perjanjian. Beberapa cara

mengatasi risiko maka pengalihan risiko merupakan cara yang paling

efektif, karena dengan cara mengalihkan risiko kepada pihak lain yang telah

disepakati tentunya pihak tersebut bersedia mengambil alih risiko.

Hal demikian berarti bahwa jika risiko atau peristiwa yang tidak pasti

benar-benar terjadi maka pihak yang bersedia menanggung peralihan risiko

tersebut adalah lembaga pertanggungan yaitu perusahaan asuransi. Besarnya

uang pertanggungan yang diterima tidak akan pernah sebanding dengan akibat

yang ditimbulkan karena kecelakaan, kerusakan, kehilangan, dan cacat.

Namun, setidaknya uang pertanggungan yang diterima, dapat meringankan

beban ganti rugi.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992

tentang Usaha Perasuransian, pengertian Asuransi atau Pertanggungan adalah

perjanjian dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan

diri kepada pihak tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk

memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau

kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggungjawab hukum kepada

pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu

peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang

didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang

dipertanggungkan.
52

Dari pengertian tersebut, manusia dalam mengarungi kehidupannya dan

dalam setiap kegiatannya selalu berhadapan dengan risiko. Setiap orang yang

ingin memperkecil risiko yang akan terjadi karena peristiwa yang tidak pasti

dapat dilakukan dengan mengasuransikan segala sesuatu yang dapat

menimbulkan risiko. Perusahaan asuransi tidak memberikan ganti rugi

sepenuhnya atas benda jaminan yang musnah tersebut, yang mengakibatkan

bank masih mengalami kerugian maka bank meminta kepada debitur untuk

menutup sisa kerugian yang timbui dengan beberapa cara :

1. Dengan cara pengembalian langsung sisa kerugian yang tidak diganti

sepenuhnya oleh perusahaan asuransi.

2. Jika debitur belum dapat mengembalikan sepenuhnya kerugian yang timbul

tanpa melalui perusahaan asuransi karena benda jaminan tidak

diasuransikan maka debitur meminta kebijakan kepada kreditur untuk

diberikan tenggang waktu pengembalian dari tenggang waktu yang telah

ditentukan dalam perjanjian, dan juga keringanan terhadap nilai pinjaman

yang harus dilunasi oleh debitur.

Tanggung jawab debitur terhadap jaminan benda bergerak yang hilang

adalah tetap mengembalikan pinjaman kredit kepada kreditur. Jika benda

bergerak yang diasuransikan hilang maka debitur tetap

mempertanggungjawabkan pengembalian pinjaman kredit melalui perusahaan

asuransi kepada kreditur, walaupun tidak dibayar sepenuhnya oleh perusahaan

asuransi dimana benda jaminan diasuransikan. Sisa dari pinjaman kredit yang

belum lunas tetap dilunasi oleh pihak debitur. Tetapi jika benda jaminan
53

bergerak tidak diasuransikan ternyata musnah maka debitur bertanggung jawab

penuh dalam pengembalian pinjaman kredit kepada kreditur. Hal ini

dikarenakan debitur telah terikat dalam perjanjian kredit dengan pihak bank.

Pada dasarnya setiap perjanjian kredit yang dilaksanakan tidak merugikan

pihak bank, walaupun dalam pelaksanaan perjanjian kredit itu benda jaminan

musnah. Mengenai perpindahan atau pengalihan hak milik dimaksud haruslah

tetap mengacu kepada sistem hukum jaminan yang berlaku, yaitu bahwa pihak

penerima jaminan atau kreditur tidak dibenarkan menjadi pemilik yang penuh

atas benda tersebut, artinya kewenangan kreditur hanyalah kewenangan yang

berhak atas benda jaminan dalam hal ini hanya hak kepemilikan yang beralih

sedangkan benda jaminan masih dikuasai oleh pemberi fidusia.

Konsekuensi hukum jika timbul masalah atau gugatan karena kesalahan

(kesengajaan atau kekuranghati-hatian) dari debitur sehubungan dengan

penggunaan atau pengalihan benda jaminan, maka pihak kreditur dibebaskan

dari tanggung jawab. Dengan demikian di dalam setiap peijanjian kredit yang

dilakukan adanya pengikatan atau perlindungan terhadap benda jaminan

debitur melalui perusahaan asuransi khususnya terhadap benda jaminan

bergerak merupakan syarat penting yang bertujuan untuk mengantisipasi

peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan di kemudian hari. Sehingga dengan

demikian pihak bank dapat menuntut ganti rugi kepada perusahan asuransi,

dimana benda jaminan itu diasuransikan walaupun tidak dibayar sepenuhnya

oleh perusahaan asuransi tersebut.


54

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 2914K/Pdt/2001

A. Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001

1. Para Pihak

Putusan ini merupakan kasus antara Tjong Kwet Khiong alias Atung

selaku direktur dari PT. MULTI MAKMUR MATARI (selanjutnya disebut

sebagai PT. MMM) sebuah perusahaan yang bergerak dibidang usaha

pengelolaan kertas khususnya pembuatan buku tulis yang berkantor di Jalan

Waspada Buntu No. 19 RT.004 RW.012 Kelurahan Tmbora, Jakarta Utara

selaku Pemohon Kasasi dahulu Penggugat dengan BANK EKSPOR IMPOR

CABANG JAKARTA PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI

(selanjutnya disebut sebagi PT. BM) yang berkantor di Gedung Graha

Bukaka, Jalan Raya Pasar Minggu No. 17 A. Jakarta Selatan selaku

Termohon Kasasi I dahulu Tergugat II dan ASURANSI WAHANA TATA

CABANG JAKARTA PONDOK INDAH (selanjutnya disebut sebagai

ASWATA) yang berkantor di Jalan Sultan Iskandar Muda No. 8 B. Jakarta

Selatan selaku Termohon Kasasi II dahulu Tergugat I.

2. Kasus Posisi

Terjadinya kasus ini berawal dari adanya perjanjian kredit dengan No.

001/KMK-Umum/X/97 pada 23 Oktober 1997, dimana PT. MMM telah

mendapat pinjaman uang dari PT. BM sebesar Rp.1.120.000.000,- dan

54
55

sebesar Rp.740.000.000,- dengan memberikan jamina terhadap

pengembalian kredit tersebut berupa penyerahan hak milik secara fidusia,

pemindahan dan penyerahan hak sebagai jaminan pribadi yang kesemuanya

dimuat dalam bentuk Akta Notaris. Barang jaminan tersebut telah di

asuransikan kepada ASURANSI WAHANA TATA CABANG JAKARTA

PONDOK INDAH dengan polis asuransi No. 02-18-22000246 dan No. 01-

18-22000247.

Pada tanggal 14 Mei 1998 telah terjadi kebakaran pada pabrik PT.

MULTI MAKMUR MATARI yang telah mengakibatkan musnahnya

barang yang menjadi jaminan kreditnya dengan BANK EKSPOR IMPOR

CABANG JAKARTA PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI. Atas

kejadian tersebut, maka ia meminta kepada PT. BANK MANDIRI

membantu melakukan klaim asuransi. Namun pada saat mengajukan klaim

tersebut, ASURANSI WAHANA TATA CABANG JAKARTA PONDOK

INDAH menolak membayar dengan alasan resiko yang diderita tersebut

tidak dijamin oleh polis standar kebakaran.

Akibat tidak dibayarkan klaim asuransi oleh pihak asuransi, maka PT.

MULTI MAKMUR MATARI sangat merasa dirugikan mengajukan

gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Tergugat I

ASURANSI WAHANA TATA CABANG PONDOK INDAH dan Tergugat

II PT. BANK MANDIRI.


56

Penggugat (PT. MULTI MAKMUR MATARI) menuntut kepada

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memberikan putusan dalam

perkara ini sebagai berikut :

-. DALAM PROVISI :
-. Memerintahkan kepada Tergugat II untuk tidak melakukan
penagihan pembayaran kredit terhadap Penggugat selama dalam
proses pemeriksaan perkara sampai dengan diperolehnya putusan
Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti, dengan
ketentuan Tergugat II akan dikenakan uang paksa (dwangsom)
sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya apabila
melalaikan putusan provisi ini ;
-. DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;
2. Menyatakan sah dan berharga terhadap sita jaminan yang telah
diletakkan;
3. Menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan ingkar janji
(wanprestasi) ;
4. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran klaim
asuransi kepada Penggugat dengan jumlah keseluruhannya sebesar
Rp.1.600.000.000,- (satu milyar enam ratus juta rupiah) dan DEM
1.800.000.00- ;
5. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran penggantian
biaya kerugian dan bunga sebesar Rp.1.152.000.000,- (satu milyar
seratus lima puluh dua juta rupiah) dan DEM 1.296.000.00,- ;
6. Menyatakan secara hukum uang hasil pembayaran klaim asuransi
oleh Tergugat I kepada Penggugat adalah untuk kepentingan
pelunasan pinjaman kredit Penggugat kepada Tergugat II dan
apabila terdapat sisa kelebihan maka menjadi hak Penggugat ;
7. Menghukum Tergugat II untuk tidak melakukan penagihan
pelunasan pinjaman kredit yang sudah jatuh tempo berikut bunga-
bunganya kepada Penggugat sampai dilunasinya pembayaran klaim
asuransi oleh Tergugat I kepada Penggugat ;
8. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun
ada bantahan,banding maupun kasasi ;
9. Menghukum Para Tergugat supaya membayar biaya perkara ;
-. ATAU :
-. Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya ;

Di persidangan, pihak Tergugat I mengajukan eksepsi Penggugat tidak

berhak mengajukan gugatan kepada Tergugat I dalam perkara a quo, karena


57

polis asuransi yang disengketakan dalam perkara a quo adalah polis asuransi

yang memuat klausula Bank (Bankers Clause) maka yang berhak

mengajukan claim atas asuransi terhadap Tergugat I adalah Tergugat II (PT.

Bank Ekspor Impor Indonesia).

Bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat II telah

mengajukan gugatan Rekonvensi yang pada pokoknya telah mengemukakan

bahwa menunjuk kepada jangka waktu perjanjian kredit ternyata masa

perjanjian kredit tersebut saat ini telah berakhir. Bahwa dengan demikian

telah terbukti bahwa Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam

Konvensi telah ingkar janji (wanprestasi) dalam melaksanakan kewajiban

pembyaran atas fasilitas kredit yang telah diterimanya dari Penggugat dalam

Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi. Bahwa atas prbuatan Tergugat

dalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi tersebut, Penggugat dalam

Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi telah mengalami kerugian sebesar

Rp.2.497.726.037,67,-.

Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah

mengambil putusan, yaitu dengan putusannya Nomor :

175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 yang amarnya

berbunyi sebagai berikut :

-. DALAM KONVENSI :
-. DALAM PROVISI :
-. Menolak gugatan provisi ;
-. DALAM EKSEPSI :
-. Menolak eksepsi Tergugat I Konvensi ;
-. DALAM POKOK PERKARA :
1. Menolak gugatan Penggugat Konvensi seluruhnya;
58

2. Membebankan biaya perkara pada Penggugat Konvensi sebesar


Rp.200.000,-(dua ratus ribu rupiah) ;
-. DALAM REKONVENSI :
-. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya ;
-. Membebankan biaya dalam gugatan Rekonvensi pada Penggugat
Rekonvensi yang hingga kini ditaksir nihil.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut telah dikuatkan

oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya

No.1076/Pdt/1999/PT.DKI. tanggal 16 Mei 2000.

Sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada

Penggugat/Pembanding/Terbanding dan Tergugat II/Terbanding

I/Pembanding pada tanggal 21 Pebruari 2001 dan tanggal 02 Maret 2001

kemudian terhadapnya oleh Penggugat / Pembanding / Terbanding dan

Tergugat II / Terbanding I / Pembandingdengan perantaraan masing-masing

kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus masing-masing tanggal 02 Maret

2001 dan tanggal 02 Nopember 1999 diajukan permohonan kasasi secara

lisan masing-masing 02 Maret 2001 dan tanggal 02 Maret 2001

sebagaimana ternyata dari Akte Permohonan Kasasi No.

175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel.

Setelah itu oleh Para Termohon Kasasi yang masing-masing pada

tanggal 05 April 2001 dan 27 Maret 2001 telah diberitahukan tentang

memori kasasi dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II, dan telah

diajukan jawaban memori kasasi oleh Para Termohon Kasasi yang diterima

dikepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masing-masing pada

tanggal 05 April 2001 dan tanggal 17 April 2001.


59

3. Pertimbangan Majelis Hakim

Keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I (PT.

MMM) dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:

a. Bahwa Judex Facti dalam putusannya telah salah dalam menerapkan

hukum, karena telah mengambil alih pertimbangan dan putusan Hakim

Tingkat Pertama dan dijadikan pertimbangan sendiri oleh Judex Facti

tanpa memberikan pertimbangan dan alsan yang cukup;

b. Bahwa pertimbangan Hakim Tingkat Pertama yang telah diambil alih

oleh Judex Facti yang menyatakan kebakaran yang diderita oleh

Penggugat akibat adanya kejadian kerusuhan sosial tanggal 14 Mei 1998,

sehingga dikecualikan dari pertanggungan asuransi, jelas merupakan

pertimbangan yang keliru, karena peristiwa tanggal 14 Mei 1998 adalah

merupakan peristiwa criminal murni, sehingga Tergugat harus membayar

klaim asuransi terhadap Penggugat;

c. Bahwa adalah tidak adil dan tidak patut apabila Tergugat II tidak

dihukum untuk ikut menanggung akibat hukum distopnya pembayaran

klaim asuransi Penggugat oleh Tergugat I, padahal ditunjuknya Tergugat

I sebagai penanggung adalah atas perintah Tergugat II, sehingga dengan

tidak dihukumnya Tergugat II untuk ikut menanggung akibat hukum

ditolaknya klaim asuransi Penggugat jelas pertimbangan tersebut tidak

adil.

Menimbang bahwa, atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh

Pemohon Kasasi I tersebut Mahkamah Agung berpendapat :


60

Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti

tidak salah menerapkan hukum, sebab Judex Facti dapat mengambil alih

pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama dan dijadikan

pertimbangan sendiri apabila putusan tersebut telah tepat dan benar, lagi

pula keberatan-keberatan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian

yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat

dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena

pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan

ketidakwenangan atau melampaui batas wewenang, atau salah menerapkan

atau melanggar hukum yang berlaku, atau lalai memenuhi syarat-syarat

yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam

kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan, sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung No.14 tahun

1985 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No.5

tahun 2004 ;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut

diatas, lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam

perkara ini bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka

permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I : PT. MULTI

MAKMUR MATARI tersebut harus ditolak.

Keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II (PT.

BM) dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :


61

a. Bahwa Judex Facti telah salah dalam menerapkan ketentuan mengenai

keadaan memaksa (overmacht) yaitu Pasal 1245 KUHPerdata. Sesuai

dengan pertimbangan hukumnya yang menyatakan Termohon Kasasi

I/semula Penggugat tidak beralasan untuk membayar kewajibannya pada

Pemohon Kasasi/semula Tergugat II seketika karena terjadinya keadaan

memaksa berupa kebakaran stock barang dagangan Termohon Kasasi

I/semula Penggugat akibat kerusuhan massa tanggal 14 Mei 1998;

Hal tersebut bukanlah merupakan alasan agar Termohon Kasasi I/semula

Penggugat tidak melunasi hutangnya kepada Pemohon Kasasi II/semula

Tergugat II, karena peristiwa kebakaran tersebut hanyalah keadaan

memaksayang bersifat relatif/tidak mutlak dan kejadian tersebut

bukanlah hal-hal yang menyebabkan berakhirnya perjanjian seperti yang

diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata. Hal inipun telah diakui oleh Judex

Facti pada pertimbangan hukumnya dibagian konvensi yang menyatakan

bahwa tidak diperoleh ketentuan bahwa Tergugat II tidak diperbolehkan

menagih pelunasan dari Penggugat ;

Oleh karena itu, Termohon Kasasi I/semula Penggugat harus tetap

memenuhi kewajiban hutangnya kepada Pemohon Kasasi sesuai

perjanjian yang disepakati dan klaim asuransi yang tidak disetujui oleh

Termohon Kasasi II, bukanlah merupakan alasan untuk tidak melunasi

hutangnya kepada Pemohon Kasasi ;

b. Bahwa pertimbangan Judex Factie yang menyatakan bahwa Termohon

Kasasi I/semula Penggugat belum melunasi hutangnya karena alasan


62

overmacht sebagaimana tersebut diatas adalah pertimbangan yang keliru

dan tidak adil karena hutang Penggugat sudah jatuh tempo. Apabila

Termohon Kasasi I/semula Penggugat tidak memenuhi kewajibannya

dengan baik sedangkan hutangnya sudah jatuh tempo, maka demi hukum

Pemohon Kasasi berwenang untuk melelang agunan kredit yang telah

diserahkan kepada Termohon Kasasi I.

Mengenai keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon

Kasasi I tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan, karena Judex Facti

telah salah menerapkan hukum.

Bahwa Termohon Kasasi/Penggugat tidak melunasi hutang

(kreditnya) karena keadaan terpaksa (overmacht) tidak dapat dibenarkan.

Terbakarnya stock barang dagangan Penggugat tidak terkait dengan

perjanjian kredit dan karenanya tidak menghapus atau mengurangi

kewajiban Penggugat seperti diatur dalam perjanjian kredit. Penerima kredit

tetap terkait dengan perjanjian kredit walaupun barang jaminan terbakar,

karena menurut hukum seluruh kekayaan Penggugat merupakan jaminan

utang.

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, menurut pendapat

Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan

kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II : PT. BANK EKSPOR

IMPOR CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI tersebut

dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta


63

No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal 16 Mei 2000 yang telah menguatkan

putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel.

tanggal 20 Oktober 1999.

4. Putusan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan amar

putusannya seperti tersebut dibawah ini :

Menimbang bahwa, oleh walaupun permohonan kasasi dari Pemohon


Kasasi II dikabulkan, namun karena permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi I ditolak, maka Pemohon Kasasi I dihukum untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini ;

Memperhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004,

Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan

ditambah dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 1985 serta peraturan

perundangundangan lain yang bersangkutan ;

MENGADILI:
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : PT. MULTI
MAKMUR MATARI tersebut ;
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II : : PT.
BANK EKSPOR IMPOR CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK
MANDIRI tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal 16 Mei 2000 yang telah menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel.
tanggal 20 Oktober 1999 ;
MENGADILI SENDIRI :
-. DALAM KONVENSI :
-. DALAM PROVISI :
-. Menolak gugatan provisi ;
-. DALAM EKSEPSI :
-. Menolak eksepsi Tergugat I ;
-. DALAM POKOK PERKARA :
1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya ;
-. DALAM REKONVENSI :
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Rekonvensi dari Para Penggugat
Rekonvensi untuk seluruhnya ;
64

2. Menyatakan Tergugat I dalam rekonvensi telah wanprestasi dalam


melaksanakan kewajiban pembayaran hutangnya kepada Penggugat
Rekonvensi ;
3. Menghukum Tergugat I Rekonvensi untuk membayar secara seketika dan
sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi
yang hingga tanggal 15 Juni 1999 mencapai jumlah
Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar empat ratus sembilan puluh tujuh juta
tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh tujuh rupiah enam puluh tujuh
sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 1%) dan
bunga kredit KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 0,50 %) sampai dengan
pelunasan hutang ;
Menghukum Pemohon Kasasi I/Penggugat dalam Konvensi
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar
Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah) ;

B. Analisis Putusan MA Nomor 2914K/Pdt/2001

Pembebanan kebendaan dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan Jaminan

Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia yang merupakan

akta Jaminan Fidusia. (Pasal 5 ayat (1) UUJF). Sifat akta notaris tersebut

adalah memaksa, sehingga seluruh akta jaminan fidusia harus berupa akta

notariil. Dimana akta itu sendiri merupakan perjanjian yang bukan perjanjian

yang bersifat berdiri sendiri, sehingga Jaminan Fidusia merupakan assesoir

dari perjanjian kredit itu sendiri.1

Kemudian, Undang-Undang Jaminan Fidusia juga menganut prinsip

pendaftaran jaminan fidusia, yang diatur dari Pasal 11 sampai dengan Pasal 18

UUJF. Sekalipun dalam pasal 11 Undang-Undang Jaminan fidusia disebutkan

bahwa yang didaftar tersebut adalah benda yang dibebani jaminan fidusia akan

tetapi harus diartikan jaminan fidusia tersebut yang didaftarkan. Tujuan

pendaftaran dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada pihak

yang berkepentingan, serta untuk memenuhi asas publisitas dengan maksud


1
A. A. Andi Prajitno, Hukum Fidusia : Problematika Yuridis Pemberlakuan Undang-Undang No. 42
Tahun 1999 Cetakan I, (Malang : Bayumedia Publishing, 2009), h. 205.
65

masyarakat dapat mengakses informasi dan mengetahui adanya dan keadaan

benda yang merupakan objek fidusia juga untuk memberikan kepastian

terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani dengan jaiman

fidusia, hal ini mencegah terjadinya fidusia ulang sebagaimana yang dilarang

oleh pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan

fidusia.2 Kewajiban pendaftaran ini tentu bukan tanpa alasan. Menurut Pasal 37

ayat 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia, jika dalam jangka waktu dimaksud

tidak dilakukan penyesuaian, maka perjanjian Jaminan Fidusia tersebut bukan

merupakan hak agunan atas kebendaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang ini. Berdasarkan ketentuan ayat ini, maka perjanjian Jaminan Fidusia

yang tidak didaftar tidak mempunyai hak yang didahulukan (preferen) baik di

dalam maupun diluar kepailitan dan atau likuidasi.

Didalam kasus penelitian ini, bahwa perjanjian kredit oleh PT. MMM

dengan PT. BM telah dibuat secara akta notariil sebagaimana layaknya

praktek-praktek pada bank seperti biasanya. Dimana jaminan fidusia tersebut

merupakan assesoir dari Perjanjian Kredit PT. MMM dengan PT. BM

(Perjanjian Kredit No. 001/KMK-Umum/X/97 pada 23 Oktober 1997).

Dalam kasus ini sebenarnya tidak dijelaskan jenis jaminan yang

digunakan, akan tetapi di lihat dari bentuk jaminan perjanjian tambahan berupa

stok barang dagangan tersebut bisa di ambil kesimpulan bahwa jaminan dalam

dalam kasus ini termasuk dalam jaminan fidusia. Hanya saja tidak diikat pada

2
Oey Hoey Tiong, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, (Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 1983), h. 5.
66

lembaga jaminan fidusia seperti yang sudah di jelaskan pada bab sebelumnya

mengenai pengikatan jaminan kredit.

Kemudian jika dilihat dari tahun pembuatan perjanjian kredit yaitu tahun

1997, dimana pada tahun tersebut hanya ada KUHPerdata dan juga UU Rumah

Susun yang sedikit mengatur mengenai jaminan fidusia. Belum ada undang-

undang yang mengatur secara lebih spesifik seperti Undang-Undang No. 42

Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, karena undang-undang tersebut mengatur

kewajiban mengenai pendaftaran perjanjian kredit menggunakan jaminan

fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia.

Perjanjian kredit secara fidusia dalam perkara ini hanya dibuat berupa

akta otentik yang dibuat dihadapan notaris tanpa melakukan pendaftaran ke

Kantor Pendaftaran Fidusia, akan tetapi akta notaris tersebut tetap memiliki

kekuatan hukum.

Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001, sebelumnya

terdapat beberapa pertimbangan dari Judex Facti yang menurut penulis sudah

benar dalam putusannya. Karena jika dilihat dari kronologis kasusnya pihak

PT. Multi Makmur Matari (Penggugat) telah melakukan wanprestasi dengan

tidak membayar sisa pinjaman kredit tehadap Bank Ekspor Impor Cabang

Jakarta Pancoran sekarang PT. Bank Mandiri dengan alasan bahwa benda

jaminan telah musnah akibat kebakaran.

Selanjutnya dalam hukum jaminan fidusia, persoalan wanprestasi

merupakan yang menjadi hal utama, terutama karena hukum jaminan sebagai

pembayaran atas hutang. Mengenai objek jaminan fidusia berupa stok barang
67

ditentukan bahwa penerima fidusia (Bank) mempunyai hak untuk

menempatkan tanda-tanda identifikasi pada objek jaminan fidusia, yang

memperlihatkan bahwa penerima fidusia adalah pemilik objek jaminan fidusia

dan pemberi fidusia berkewajiban memelihara tanda tersebut.3

Menurut beberapa yurispudensi jaminan fidusia, dapat disimpulkan

bahwa fidusia diartikan sebagai penyerahan hak milik secara kepercayaan atas

benda bergerak sebagai jaminan, yang ditekankan adalah segi ”penyerahan hak

milik”. Dalam Undang-Undang Rumah Susun, fidusia diartikan sebagai hak

jaminan yang berupa penyerahan hak atas benda berdasarkan kepercayaan

yang disepakati sebagai jaminan bagi pelunasan piutang kreditur, yang

ditekankan adalah ”penyerahan hak”. Dengan demikian yang diserahkan

kepada kreditur penerima fidusia bukan terbatas pada hak milik atas benda

melainkan juga hak-hak lainnya atas benda. Baik pengertian fidusia menurut

yurispudensi maupun Undang-Undang Rumah Susun, keduanya mempunyai

hakikat penyerahan yang sama yakni debitur pemberi fidusia menyerahkan hak

milik atas benda adalah dalam fungsinya sebagai jaminan.4

Sedangkan menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) sendiri,

fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan

dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut

tetap dalam penguasaan pemilik benda.

3
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia : Suatu Kebutuhan Yang Didambakan Cetakan II, (Bandung:
PT. Alumni, 2010), h. 200.
4
Ibid, h. 265.
68

Dalam rangka kasus penelitian ini adalah, menganalisa dalam hal terjadi

musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit (dalam hal ini PT.MMM)

yang dijaminkan kepada PT. BM.

Pada dasarnya dalam KUHPerdata Pasal 1381 sudah disebutkan bahwa

salah satu sebab hapusnya perikatan adalah musnahnya barang terutang.

Kemudian pada UUJF Pasal 25 (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia menjelaskan hapusnya Jaminan Fidusia disebabkan

peristiwa-peristiwa sebagai berikut yaitu:

1) Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;


2) Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (kreditur);
3) Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

Hapusnya jaminan fidusia karena lunasnya hutang yang dijamin dengan

jaminan fidusia adalah konsekuensi logis dari karakter perjanjian assessoir.

Jadi, jika perjanjian hutang piutangnya tersebut hapus karena sebab apapun

maka jaminan fidusia tersebut menjadi hapus pula. Sementara itu hapusnya

jaminan fidusia karena pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima

jaminan fidusia adalah wajar karena sebagai pihak yang mempunyai hak ia

bebas untuk mempertahankan atau melepaskan haknya tersebut. Hapusnya

jaminan fidusia karena musnahnya barang jaminan fidusia tersebut dapat

dibenarkan karena tidak ada manfaat lagi fidusia itu dipertahankan, jika barang

objek jaminan fidusia tersebut sudah tidak ada akan tetapi jika ada asuransi

maka hal tersebut menjadi hak dari penerima fidusia dan pemberi fidusia
69

tersebut harus membuktikan bahwa musnahnya barang yang menjadi objek

jaminan fidusia tersebut adalah diluar dari kesalahannya.5

Menurut penulis, aturan-aturan yang sudah ada dalam KUHPerdata dan

UUJF mengenai hapusnya perjanjian jaminan akibat benda jaminan musnah

belum dijelakan secara rinci tentang solusi akibat kejadian tersebut. Hal ini bisa

mengakibatkan kesalahan dan kerugian baik untuk pihak kreditur maupun

debitur. Dalam hal ini, pihak debitur (PT. MMM) telah melakukan perbuatan

yang merugikan terhadap kreditur (PT. BM) karena telah melakukan

wanprestasi dengan tidak membayar sisa pinjaman kredit. Dengan adanya

perbuatan wanprestasi diatas, dapat dijadikan pertimbangan putusan yang

kemudian ditetapkan oleh Majelis Hakim dalam perkara ini.

Penulis setuju dengan Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan

bahwa tindakan yang dilakukan oleh Penggugat (PT. MMM) merupakan

tindakan wanprestasi karena tidak membayarkan sisa pinjaman kredit hingga

jatuh tempo. Musnahnya benda jaminan tidak menghilangkan kewajiban

debitur untuk membayar sisa pinjaman kredit kepada kreditur. Maka dari itu

sangat diperlukan adanya asuransi sebagai cara untuk menghindari kerugian

yang terjadi dikemudian hari.

Musnahnya benda jaminan tidak menghilangkan kewajiban debitur untuk

membayar sisa pinjaman kredit kepada kreditur. Maka dari itu sangat

diperlukan adanya asuransi sebagai cara untuk menghindari kerugian yang

terjadi dikemudian hari.

5
Munir Fuady, Jaminan Fidusia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), h. 50.
70

Dalam KUHPerdata dan UUJF tidak diatur secara lebih rinci mengenai

musnahnya benda jaminan, tetapi hal tersebut tidak menutup kewajiban

debitur untuk membayar sisa pinjaman kredit. Karena itu seharusnya pihak

bank dalam melakukan perjanjian kredit menggunakan asuransi dan

memperhatikan polis asuransi tentang kemungkinan resiko yang terjadi

dikemudian hari. Dengan menggunakan cara tersebut, pihak bank dapat

meminimalisir adanya kerugian yang dialami oleh debitur dalam

menyelesaikan kasus musnahnya benda jaminan dalam perjanjian kredit.

C. Perlindungan Hukum bagi Para Pihak atas Musnahnya Benda Jaminan

Fidusia

Prinsip hukum bahwa dalam Undang-Undang melalui ketentuannya

adalah hendak melindungi pihak atau orang tertentu, maka Undang-Undang

memberikan suatu hak tertentu kepada orang atau pihak yang bersangkutan dan

dalam peristiwa demikian, maka terserah kepada pihak atau orang yang hendak

dilindungi untuk menggunakan atau tidak hak tersebut. Perlindungan hukum

yang dimaksudkan dalam pengkajian ini adalah terkait dengan pihak pemberi

fidusia (debitur) dan penerima jaminan fidusia (kreditur).

Persoalan perlindungan hukum para pihak dalam jaminan fidusia adalah

mengenai eksekusi. Sertifikat jaminan fidusia ini merupakan salinan dari Buku

Daftar Fidusia yang memuat catatan tentang hal-hal yang dimuat dalam

pernyataan pendaftaran. Sertifikat jaminan fidusia tersebut mempunyai

kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini berarti apabila pemberi fidusia
71

(debitur) ingkar janji, kreditur dapat langsung meminta eksekusi tanpa melalui

gugatan.

Masalah perlindungan hukum terletak pada perlindungan penerima

fidusia dalam menghadapi pemberi fidusia yang beritikad buruk. Terkait

dengan jaminan fidusia sebagaimana telah diuraikan pada bagian-bagian

sebelumnya dari penelitian ini, maka untuk merealisasikan asas publisitas dan

asas spesialitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia menggunakan sistem pendaftaran. Sistem pendaftaran ini pun

diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan kepada penerima fidusia

dan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap benda tersebut.

Pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris merupakan akta

otentik yang memiliki kekuatan pembuktian secara sempurna tentang apa yang

dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta ahli warisnya atau para

pengganti haknya. Itulah sebabnya mengapa penting menetapkan perjanjian

fidusia harus dibuat dengan akta notaris. Apalagi mengingat obyek jaminan

fidusia pada umumnya adalah barang bergerak yang tidak terdaftar, maka

bentuk akta otentik dianggap menjamin kepastian hukum berkenaan dengan

obyek jaminan fidusia.

Sedangkan untuk memenuhi asas spesialitas, maka dalam akta jaminan

fidusia yang dibuat oleh notaris memuat mengenai uraian mengenai benda

yang menjadi obyek jaminan fidusia. Uraian mengenai benda yang menjadi

obyek jaminan fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasi benda

tersebut dan dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Kalau benda


72

yang menjadi obyek jaminan fidusia merupakan benda dalam persediaan

(inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap, maka dalam akta

jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merek, kualitas dari benda

tersebut.

Demi memenuhi asas publisitas, maka Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur hal baru yaitu mengenai pendaftaran

jaminan fidusia guna memberikan kepastian hukum tidak saja kepada para

pihak tetapi juga kepada pihak ketiga serta menimbulkan hak untuk

didahulukan bagi penerima fidusia terhadap kreditur lainnya. Berdasarkan asas

droit de suit, maka jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi obyek

jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali

pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut

tetap melekat.

Perlindungan hukum jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh debitur

pemberi fidusia, maka pendaftaran ikatan jaminan atas benda tidak terdaftar

sesungguhnya tidak cukup melindungi kepentingan kreditur terhadap pihak

ketiga. Dalam hal yang dijaminkan adalah benda persediaan atau inventory,

maka kedudukan kreditur sangat lemah karena barang jaminan baik jumlah,

perpindahan maupun kedudukan atau keberadaan barang tersebut sulit

terdeteksi sehingga pemenuhan terhadap asas publisitas hanyalah sebuah

pemenuhan dekoratif terhadap suatu aturan hukum.

Pada putusan MA No. 2914K/Pdt/2001 memuskan bahwa

debiturdiwajibkan membayar sisa pinjaman kepada kreditur, karena dengan


73

musnahnya benda jaminan tidak menhilangkan kewajiban debitur untuk

melunasi hutangnya. Disini pihak debitur sangat dirugikan akibat terbakarnya

pabriknya yang menjadi jaminan dan juga mengenai ditolaknya klaim asuransi

karena tidak ada standar polis yang mengatur kebakaran akan tetapi pihak

debitur tidak dapat melakukan apapun karena semua sudah sesuai dengan

aturan yang ada.

Jadi, menurut uraian diatas perlindungan hukum terhadap kreditur dan

debitur atas musnahnya benda jaminan adalah dengan menggunakan asuransi

dan memperhatikan isi polis asuransi mengenai kemungkinan resiko yang akan

terjadi dikemudian hari. Hal ini dilakukan agar apabila terjadi hal yang tidak

terduga, pihak asuransi dapat menyelesaikan dengan adanya klaim asuransi.

Kemudian yang terpenting adalah memdaftarkan perjanjian kredit dengan

jaminan fidusia tersebut ke Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF).


74

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Musnahnya benda jaminan fidusia secara normatif telah diatur pada

pasal 1381 KUHPerdata dan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia yang termasuk dalam salah satu sebab

hapusnya perjanjian terutama perjanjian kredit secara fidusia. Dalam

hal musnahnya benda jaminan fidusia yang dilakukan oleh pihak

debitur selaku pemberi fidusia terdapat tanggung jawab yang harus

dipenuhi atas barang yang dalam penguasaannya tersebut, karena

perjanjian kredit dengan jaminan fidusia ini pihak kreditur selaku

kreditur hanya mempunyai hak kepemilikan saja, pengusaan barang

masih berada ditangan debitur. Maka dari itu pihak debitur harus

bertanggungjawab penuh atas kondisi barang jaminan tersebut, agar

tidak merugikan pihak kreditur.

2. Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2914K/Pdt/2001, Majelis

Hakim menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh

Pemohon Kasasi yaitu PT. MULTI MAKMUR MATARI yang

membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta

No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal 16 Mei 2000 yang telah

menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

No.175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober, menyatakan

tergugat I dalam rekonvensi (PT. MMM) telah wanprestasi dalam

74
75

melaksanakan kewajiban pembayaran hutangnya kepada penggungat

rekonvensi (PT. BM) dan menghukum PT. MMM untuk membayar

secara seketika dan sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada PT.

BM selaku kreditur sebesar Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar empat

ratus sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga

puluh tujuh rupiah enam puluh tujuh sen) ditambah bunga kredit

KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 1%) dan bunga kredit KMK-

Umum sebesar 6% (+ provisi 0,50 %) sampai dengan pelunasan

hutang.

3. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit baik

terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia dilakukan dengan

melakukan asuranasi terhadap benda jaminan tersebut serta

mendaftaranan ke Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia sesuai

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Jika

terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, perlindungan

hukum tidak berhalang secara efektif bagi pihak-pihak yang

dirugikan.

B. Saran

1. Setiap benda yang menjadi objek jaminan fidusia seharusnya

diasuransikan terlebih dahulu. Dalam melakukan asuransi juga harus

diperhatikan polis mengenai resiko-resiko apa saja yang mungkin akan

terjadi di kemudian hari. Hal ini untuk mengantisipasi musnahnya

benda jaminan, dimana dengan musnahnya benda jaminan tersebut


76

tidak menghapuskan piutang yang belum dihapus. Walaupun

perusahaan asuransi tidak membayar sepenuhnya, tetapi perusahaan

asuransi dapat meringankan beban debitur untuk mengembalikan sisa

pinjaman kredit.

2. Bagi pihak bank dalam menyalurkan dana melalui perjanjian kredit

kepada masyarakat, seharusnya bisa lebih selektif lagi dalam

melakukan perjanjian kredit dengan mendaftarkan jaminan fidusia ke

Kantor Pendaftaran Fidusia. Dan bagi pihak masyarakat(debitur),

seharusnya bisa lebih teliti dan berhati-hati lagi dalam mencermati

perjanjian yang diajukan oleh pihak bank sebelum menandatangani

perjanjian kreditnya.

3. Adanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia sebagai dasar dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia,

sebenarnya sudah cukup membantu apabila terjadi suatu permasalahan

tetapi akan lebih baik pihak lembaga legislatif (DPR-RI) untuk

merevisi undang-undang ini karena undang-undang tersebut hanya

memenuhi aspek yuridis saja, aspek lainnya belum terpenuhi guna

tercapainya pelindungan dan kepastian hukum dalam masyarakat.


77

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet. I. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 2004.

Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 2004.

Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta:


PT Raja Grafindo. 2007.

Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005.

Djumhana,Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya


Bakti. 2006.

Fuady, Munir. Jaminan Fidusia Cetakan ke-2 Revisi. Bandung: Citra Aditya
Bakti. 2003.

____________. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: PT.Citra Aditya


Bakti. 1996.

Hadisoeprapto,Hartono. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan.


Yogyakarta: Liberty. 1984.

Hasan, Djuhaendah. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain
yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Azas Pemisahan
Horizontal. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1996.

Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi


Jaminan Jilid II. Jakarta: Ind-Hill-Co. 2005.

HS, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada. 2006.

Kamelo, Tan. Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan Yang Didambakan


Cetakan II. Bandung: PT. Alumni. 2010.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenda Media. 2005.

Miru, Ahmadi dan Sakka Pati. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW. Jakarta: Rajawali Pers. 2011.

77
78

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya


Bakti. 2000.
Naja, H. R. Daeng. Hukum Kredit dan Bank Garansi. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. 2005.

Patrik, Purwahid dan Kashadi. Hukum Jaminan Edisi Revisi dengan UUHT.
Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. 2008.

Prajitno, A. A. Andi. Hukum Fidusia : Problematika Yuridis Pemberlakuan


Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Cetakan I. Malang: Bayumedia
Publishing. 2009.

Sembiring, Sentosa. Hukum Perbankan. Bandung: Alumni. 2000.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT. Intermasa. 2003.

______. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa. 1985.

______. Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni, 1975.

Supramono, Gatot. Perbankan dan Permasalahan Kredit : Suatu Tinjauan


Yuridis. Jakarta: Djambatan. 1996.

Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank. Bandung : Alfabeta. 2003.

Suyatno, Thomas. Dasar-Dasar Perkreditan Edisi Keempat. Jakarta: PT.


Gramedia Pustaka Utama. 1995.

Syahdeini, Sutan Remmy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang


Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank. Jakarta: Institut
Bankir Indonesia. 1993.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. 2005.

Tiong, Oey Hoey. Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan. Jakarta:


Penerbit Ghalia Indonesia. 1983.

Tje'Aman, Edy Putra. Kredit Perbankan–Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta:


Liberty. 1989.

Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama. 2001.

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. Jaminan Fidusia. Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada. 2000.
79

Widyadharma, Ignatius Ridwan. Hukum Jaminan Fidusia Pedoman Praktis


Cetakan ke-1. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1999.

PERUNDANG-UNDANGAN:

Soebekti, R. dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 2003.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.


am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
PUTUSAN
Nomor : 2914 K / Pdt / 2001

ne
ng
DEMI KEDILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

do
gu MAHKAMAH AGUNG
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan sebagai

In
berikut dalam perkara :
A
PT. MULTI MAKMUR MATARI, berkedudukan di Jakarta, dalam
hal ini diwakili oleh Direkturnya : TJONG KWET KHIONG alias
ah

lik
ATUNG, berkantor di Jalan Waspada Buntu No.19 Rt.004. Rw.
012. Kelurahan Tambora, Jakarta Utara, dalam hal ini diwakili oleh
m

ub
kuasanya : MOHAMAD ASSEGAF, SH. & Associate, berkantor di
Jalan H. Samali No.29 Pasar Minggu Jakarta Selatan,
ka

berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 02 Maret 2001 ;


ep
Pemohon Kasasi I juga sebagai Termohon Kasasi dahulu
ah

Penggugat/Pembanding juga Terbanding ;


R

si
MELAWAN:
1. BANK EKSPOR IMPOR CABANG JAKARTA PANCORAN,

ne
ng

sekarang PT. BANK MANDIRI, berkantor di Gedung Graha


Bukaka, Jalan Raya Pasar Minggu No.17 A. Jakarta Selatan,

do
gu

dalam hal ini diwakili oleh : DARMAWAN EFFENDI, SH. Group


Head Bagian Litigasi Divisi Legal Kontor Pusat PT. Bank Mandiri,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus 02 Nopember 1997 ;
In
A

Termohon Kasasi I juga sebagai Pemohon Kasasi II dahulu


Tergugat II/Pembanding/Terbanding I;
ah

lik

2. ASURANSI WAHANA TATA CABANG JAKARTA PONDOK


INDAH, berkantor di Jalan Sultan Iskandar Muda No.8 B. Jakarta
m

ub

Selatan ;
Termohon Kasasi II/Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat
ka

I/Terbanding II ;
ep

Mahkamah Agung tersebut ;


ah

Membaca surat-surat yang bersangkutan ;


R

Menimbang bahwa, dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang


s
Pemohon Kasasi I juga sebagai Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah
M

ne
ng

do
gu

Hal.1 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001


In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
menggugat sekarang Para Termohon Kasasi I dan II juga sebagai Pemohon Kasasi
II dan Turut Termohon Kasasi dahulu sebagai Tergugat I dan II dimuka persidangan

ne
ng
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada pokoknya atas dalil- dalil :
Bahwa Penggugat adalah Perusahaan yang bergerak dibidang usaha

do
pengelolaan kertas khususnya pembuatan buku-buku tulis ;
gu Bahwa Tergugat I adalah Perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis jasa
asuransi sedangkan Tergugat II adalah perusahaan perbankan ;

In
A
Bahwa berdasarkan perjanjian kredit No.001/KMK-Umum/X/97 tertanggal 23
Oktober 1997 Penggugat telah mendapat pinjaman uang dari dari Tergugat II
ah

lik
sebesar Rp.1.120.000.000,- (satu milyar seratus dua puluh juta rupiah) dan sebesar
Rp. 740.000.000,- (tujuh ratus empat puluh juta rupiah) oleh karenanya Tergugat II
mewajibkan Penggugat untuk memberikan jaminan terhadap pengembalian kredit
m

ub
tersebut berupa penyerahan hak milik secara fiducia, pemindahan dan penyerahan
ka

hak sebagai jaminan pribadi yang kesemuanya itu diruangkan dalam bentuk Akta
ep
Notaris ;
Bahwa berdasarkan Pasal 2 dalam perjanjian, Tergugat II telah
ah

mengasuransikan barang jaminan tersebut kepada Tergugat I dengan polis asuransi


R

si
No. 02-18-22000246 dan No.02-18-22000247 ;
Bahwa barang-barang yang dijaminkan dalam penutupan polis tersebut

ne
ng

adalah sebagaimana tertuang dalam point a dan b dalam gugatan ;


Bahwa pada tanggal 14 Mei 1998 telah terjadi kebakaran pada pabrik

do
gu

Penggugat dan telah mengakibatkan musnahnya barang yang menjadi jaminan


kredit Penggugat kepada Tergugat II tersebut ;
In
Bahwa atas kejadian tersebut diatas, maka Penggugat meminta kepada
A

Tergugat II membantu melakukan proses klaim asuransi, namun pada saat hal
tersebut diajukan kepada Tergugat I, Tergugat I menolak membayar dengan alasan
ah

lik

resiko yang diderita oleh Penggugat tersebut tidak dijamin oleh polis standar
kebakaran ;
m

ub

Bahwa dengan tidak dilaksanaknnya pembayaran klaim asuransi oleh


Tergugat I, maka Tergugat II tidak dapat melakukan penagihan pembayaran kredit
ka

yang telah jatuh tempo berikut segala bunga-bunganya sejak telah terjadinya
ep

kebakaran tersebut sampai dengan dilaksanakannya pembayaran klaim asuransi


ah

oleh Tergugat I ;
R

Bahwa dengan tidak dibayarnya klaim asuransi oleh Tergugat I tersebut,


s
maka Tergugat II telah ingkar janji (wanprstasi) yang menimbulkan kerugian bagi
M

ne
ng

do

Hal.2 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001


gu

In
A

Disclaimer
2
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
Penggugat yang jumlah kesleuruhannya adalah sebesar Rp.3.600.000.000,- (tiga
milyar enam ratus juta rupiah) sebagaimana perincian dalam gugatan ;

ne
ng
Bahwa untuk menjamin agar gugatan Penggugat tidak sia-sia, maka
Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk meletakkan sita

do
jaminan (Conservatoir Beslag) terlebih dahulu atas harta benda milik Tergugat I
gu sebagaimana tertuang dalam point 1 dan 2 dalam gugatan ;
Bahwa oleh karena gugatan Penggugat ini didasarkan pada bukti-bukti yang

In
A
otentik, maka Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar
putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu (Uitvoerbaar bij Voorraad)
ah

lik
walaupun ada upaya hukum verzet, banding maupun kasasi dari pihak Tergugat ;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka Penggugat
menuntut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk memberikan putusan
m

ub
dalam perkara ini sebagai berikut :
ka

-. DALAM PROVISI :
ep
-. Memerintahkan kepada Tergugat II untuk tidak melakukan penagihan
pembayaran kredit terhadap Penggugat selama dalam proses pemeriksaan
ah

perkara sampai dengan diperolehnya putusan Pengadilan yang memperoleh


R

si
kekuatan hukum yang pasti, dengan ketentuan Tergugat II akan dikenakan uang
paksa (dwangsom) sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya

ne
ng

apabila melalaikan putusan provisi ini ;


-. DALAM POKOK PERKARA :

do
gu

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya ;


2. Menyatakan sah dan berharga terhadap sita jaminan yang telah diletakkan ;
In
3. Menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi) ;
A

4. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran klaim asuransi kepada


Penggugat dengan jumlah keseluruhannya sebesar Rp.1.600.000.000,- (satu
ah

lik

milyar enam ratus juta rupiah) dan DEM 1.800.000.00- ;


5. Menghukum Tergugat I untuk melakukan pembayaran penggantian biaya
m

ub

kerugian dan bunga sebesar Rp.1.152.000.000,- (satu milyar seratus lima puluh
dua juta rupiah) dan DEM 1.296.000.00,- ;
ka

6. Menyatakan secara hukum uang hasil pembayaran klaim asuransi oleh Tergugat
ep

I kepada Penggugat adalah untuk kepentingan pelunasan pinjaman kredit


ah

Penggugat kepada Tergugat II dan apabila terdapat sisa kelebihan maka menjadi
R

s
M

ne
ng

do

Hal.3 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001


gu

In
A

Disclaimer
3
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
hak Penggugat ;
7. Menghukum Tergugat II untuk tidak melakukan penagihan pelunasan pinjaman

ne
ng
kredit yang sudah jatuh tempo berikut bunga-bunganya kepada Penggugat
sampai dilunasinya pembayaran klaim asuransi oleh Tergugat I kepada

do
Penggugat ;
gu 8. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada bantahan,
banding maupun kasasi ;

In
A
9. Menghukum Para Tergugat supaya membayar biaya perkara ;
-. ATAU :
ah

lik
-. Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ;
Bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat I telah mengajukan
eksepsi yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
m

ub
Bahwa Penggugat tidak berhak mengajukan gugatan kepada Tergugat I
ka

dalam perkara a quo, karena polis asuransi yang disengketakan dalam perkara a quo
ep
adalah polis asuransi yang memuat klausula Bank (Bankers Clause) maka yang
berhak mengajukan claim atas asuransi terhadap Tergugat I adalah Tergugat II (PT.
ah

Bank Ekspor Impor Indonesia) ;


R

si
Bahwa terhadap gugatan Penggugat tersebut, Tergugat II telah mengajukan
gugatan Rekonvensi yang pada pokoknya telah mengemukakan dalil-dalil sebagai

ne
ng

berikut :
Bahwa berdasarkan perjanjian kredit No.001/KMK-Umum/X/97 tanggal 23

do
gu

Oktober 1997 dan No.001/KMK/Umum/IV/98 tanggal 03 April 1998 Tergugat


Rekonvensi telah menerima fasilitas kredit dari Penggugat Rekonvensi/Tergugat II
In
dalam Konvensi yang besarnya sebagaimana tersebut dalam gugatan ;
A

Bahwa jaminan yang diletakkan oleh Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat


dalam Konvensi atas fasilitas kredit yang diterbitkan diatas, terdiri dari jaminan
ah

lik

jaminan pokok dan jaminan tambahan masing-masing sebagaimana tersebut dalam


point a, b dan c dalam gugatan ;
m

ub

Bahwa jaminan pokok pada huruf a dan jaminan tambahan pada huruf a
diatas, telah diikat menjadi satu secara notariil sebagaimana ternyata paa akta
ka

pemberian jaminan dengan menyerahan hak milik secara fiducia No.19 tanggal 24
ep

Oktober 1997, sedangkan jaminan pokok pada huruf b telah diikat secara notariil
ah

dengan akta pemindahan dan penyerahan hak (cessie) sebagai jaminan No.20
R

tanggal 24 Oktober 1997, dan begitu pula halnya dengan jaminan tambahan huruf b
s
dan c berturut – turut telah diikat pula secara notariil dengan APHT No.6569/1997
M

ne
ng

do
gu

Hal.4 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001


In
A

Disclaimer
4
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
tanggal 21 Nopember 1997 dan akta pemberian jaminan pribadi (Bongtocht) No.21
tanggal 24 Oktober 1997 ;

ne
ng
Bahwa menunjuk kepada jangka waktu perjanjian kredit ternyata masa
perjanjian kredit tersebut saat ini telah berakhir ;

do
Bahwa dengan demikian telah terbukti bahwa Tergugat dalam Rekonvensi/
gu Penggugat dalam Konvensi telah ingkar janji (wanprestasi) dalam melaksanakan
kewajiban pembyaran atas fasilitas kredit yang telah diterimanya dari Penggugat

In
A
dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi ;
Bahwa atas prbuatan Tergugat dalam Rekonvensi/Penggugat dalam Konvensi
ah

lik
tersebut, Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi telah mengalami
kerugian sebesar Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar empat ratus sembilan puluh
tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh tujuh rupiah enam puluh tujuh
m

ub
sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar 25 % (+ provisi 1%) dan bunga
ka

kredit KMK-Umum sebesar 17 % (+ provisi 0,50 %) sampai dengan pelunasan


ep
hutang ;
Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka Penggugat dalam
ah

Rekonvensi/ Tergugat II dalam Konvensi mohon kepada Pengadilan Negeri Jakarta


R

si
Selatan untuk menghukum Tergugat dalam Rekonvensi/ Penggugat dalam Konvesi
untuk membayar seluruh hutang berikut bunganya tersebut kepada Penggugat

ne
ng

dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam Konvensi ;


Bahwa karena gugatan Penggugat dalam Rekonvensi/Tergugat II dalam

do
gu

Konvensi ini didasarkan atas bukti-bukti yang otentik, maka mohon kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar putusan dalam perkara ini dapat dijalankan
In
terlebih dahulu (Uitvoerbaar bij voorraad) meskipun ada upaya hukum verzet,
A

banding maupun kasasi dari pihak lawan ;


Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, maka Penggugat dalam
ah

lik

Rekonvensi/ Tergugat II dalam Konvensi menuntut kepada Pengadilan Negeri


Jakarta Selatan agar memberikan putusan dalam perkara ini sebagi berikut :
m

ub

1. Menerima dan mengabulkan gugatan Rekonvensi dari Para Penggugat


Rekonvensi untuk seluruhnya ;
ka

2. Menyatakan Tergugat I dalam rekonvensi telah wanprestasi dalam melaksanakan


ep

kewajiban pembayaran hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi ;


ah

3. Menghukum Tergugat I Rekonvensi untuk membayar secara seketika


R

dan sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi yang


s
M

ne
ng

do

Hal.5 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001


gu

In
A

Disclaimer
5
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
hingga tanggal 15 Juni 1999 mencapai jumlah Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar
empat ratus sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh

ne
ng
tujuh rupiah enam puluh tujuh sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar
25 % (+ provisi 1%) dan bunga kredit KMK-Umum sebesar 17 % (+ provisi 0,50

do
%) sampai dengan pelunasan hutang ;
gu 4. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun ada
bantahan, banding maupun kasasi ;

In
A
5. Biaya perkara menurut hukum ;
Menimbang bahwa, terhadap gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta
ah

lik
Selatan telah mengambil putusan, yaitu dengan putusannya Nomor :
175/Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 yang amarnya berbunyi
sebagai berikut :
m

ub
-. DALAM KONVENSI :
ka

-. DALAM PROVISI :
ep
-. Menolak gugatan provisi ;
-. DALAM EKSEPSI :
ah

-. Menolak eksepsi Tergugat I Konvensi ;


R

si
-. DALAM POKOK PERKARA :
1. Menolak gugatan Penggugat Konvensi seluruhnya ;

ne
ng

2. Membebankan biaya perkara pada Penggugat Konvensi sebesar Rp.200.000,-


(dua ratus ribu rupiah) ;

do
gu

-. DALAM REKONVENSI :
-. Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya ;
In
-. Membebankan biaya dalam gugatan Rekonvensi pada Penggugat Rekonvensi
A

yang hingga kini ditaksir nihil ;


Menimbang bahwa, putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan
ah

lik

Penggugat I/Pembanding/Terbanding dan Tergugat II/Terbanding I/Pembantah


putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut telah dikuatkan oleh
m

ub

Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya No.1076/Pdt/1999/PT.DKI. tanggal


16 Mei 2000 ;
ka

Menimbang bahwa, sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada


ep

Penggugat/Pembanding/Terbanding dan Tergugat II/Terbanding I/Pembanding pada


ah

tanggal 21 Pebruari 2001 dan tanggal 02 Maret 2001 kemudian terhadapnya oleh
R

Penggugat / Pembanding / Terbanding dan Tergugat II / Terbanding I / Pembanding


s
M

ne
ng

do

Hal.6 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001


gu

In
A

Disclaimer
6
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
dengan perantaraan masing-masing kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus
masing-masing tanggal 02 Maret 2001 dan tanggal 02 Nopember 1999 diajukan

ne
ng
permohonan kasasi secara lisan masing-masing 02 Maret 2001 dan tanggal 02
Maret 2001 sebagaimana ternyata dari Akte Permohonan Kasasi No. 175/Pdt.G/

do
1999/PN.Jkt.Sel. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
gu permohonan mana kemudian disusul oleh memori kasasi yang memuat alasan-
alasan yang diterima dikepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut masing-masing

In
A
pada 14 Maret 2001 dan tanggal 27 Maret 2001 ;
Menimbang bahwa, setelah itu oleh Para Termohon Kasasi yang masing-
ah

lik
masing pada tanggal 05 April 2001 dan 27 Maret 2001 telah diberitahukan tentang
memori kasasi dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II, dan telah diajukan
jawaban memori kasasi oleh Para Termohon Kasasi yang diterima dikepaniteraan
m

ub
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan masing-masing pada tanggal 05 April 2001 dan
ka

tanggal 17 April 2001 ;


ep
Menimbang bahwa, permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama diajukan dalam tenggang waktu
ah

dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu
R

si
permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang bahwa, keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon

ne
ng

Kasasi I dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :


-. Bahwa Judex Facti dalam putusannya telah salah dalam menerapkan hukum,

do
gu

karena telah mengambil alih pertimbangan dan putusan Hakim Tingkat Pertama
dan dijadikan pertimbangan sendiri oleh Judex Facti tanpa memberikan
In
pertimbangan dan alsan yang cukup ;
A

-. Bahwa pertimbangan Hakim Tingkat Pertama yang telah diambil alih oleh Judex
Facti yang menyatakan kebakaran yang diderita oleh Penggugat akibat adanya
ah

lik

kejadian kerusuhan sosial tanggal 14 Mei 1998, sehingga dikecualikan dari


pertanggungan asuransi, jelas merupakan pertimbangan yang keliru, karena
m

ub

peristiwa tanggal 14 Mei 1998 adalah merupakan peristiwa criminal murni,


sehingga Tergugat harus membayar klaim asuransi terhadap Penggugat ;
ka

-. Bahwa adalah tidak adil dan tidak patut apabila Tergugat II tidak dihukum untuk
ep

ikut menanggung akibat hukum distopnya pembayaran klaim asuransi Penggugat


ah

oleh Tergugat I, padahal ditunjuknya Tergugat I sebagai penanggung adalah atas


R

perintah Tergugat II, sehingga dengan tidak dihukumnya Tergugat II untuk ikut
s
M

ne
ng

do

Hal.7 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001


gu

In
A

Disclaimer
7
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
menanggung akibat hukum ditolaknya klaim asuransi Penggugat jelas
pertimbangan tersebut tidak adil ;

ne
ng
Menimbang bahwa, atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh
Pemohon Kasasi I tersebut Mahkamah Agung berpendapat :

do
Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak
gu salah menerapkan hukum, sebab Judex Facti dapat mengambil alih pertimbangan
dan putusan Hakim Tingkat Pertama dan dijadikan pertimbangan sendiri apabila

In
A
putusan tersebut telah tepat dan benar, lagi pula keberatan-keberatan tersebut
mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
ah

lik
kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat
kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan ketidak
wenangan atau melampaui batas wewenang, atau salah menerapkan atau
m

ub
melanggar hukum yang berlaku, atau lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
ka

oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya


ep
putusan yang bersangkutan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-
Undang Mahkamah Agung No.14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dan
ah

ditambah dengan Undang-Undang No.5 tahun 2004 ;


R

si
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas,
lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan Judex Facti dalam perkara ini

ne
ng

bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang, maka permohonan kasasi


yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I : PT. MULTI MAKMUR MATARI tersebut

do
gu

harus ditolak ;
Menimbang bahwa, keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon
In
Kasasi II dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
A

1. Bahwa Judex Facti telah salah dalam menerapkan ketentuan mengenai keadaan
memaksa (overmacht) yaitu Pasal 1245 KUHPerdata. Sesuai dengan
ah

lik

pertimbangan hukumnya yang menyatakan Termohon Kasasi I/semula


Penggugat tidak beralasan untuk membayar kewajibannya pada Pemohon
m

ub

Kasasi/semula Tergugat II seketika karena terjadinya keadaan memaksa berupa


kebakaran stock barang dagangan Termohon Kasasi I/semula Penggugat akibat
ka

kerusuhan massa tanggal 14 Mei 1998 ;


ep

Hal tersebut bukanlah merupakan alasan agar Termohon Kasasi I/semula


ah

Penggugat tidak melunasi hutangnya kepada Pemohon Kasasi II/semula


R

Tergugat II, karena peristiwa kebakaran tersebut hanyalah keadaan memaksa


s
M

ne
ng

do

Hal.8 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001


gu

In
A

Disclaimer
8
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
yang bersifat relatif/tidak mutlak dan kejadian tersebut bukanlah hal-hal yang
menyebabkan berakhirnya perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1381

ne
ng
KUHPerdata. Hal inipun telah diakui oleh Judex Facti pada pertimbangan
hukumnya dibagian konvensi yang menyatakan bahwa tidak diperoleh ketentuan

do
bahwa Tergugat II tidak diperbolehkan menagih pelunasan dari Penggugat ;
gu Oleh karena itu, Termohon Kasasi I/semula Penggugat harus tetap memenuhi
kewajiban hutangnya kepada Pemohon Kasasi sesuai perjanjian yang disepakati

In
A
dan klaim asuransi yang tidak disetujui oleh Termohon Kasasi II, bukanlah
merupakan alasan untuk tidak melunasi hutangnya kepada Pemohon Kasasi ;
ah

lik
2. Bahwa pertimbangan Judex Factie yang menyatakan bahwa Termohon Kasasi
I/semula Penggugat belum melunasi hutangnya karena alasan overmacht
sebagaimana tersebut diatas adalah pertimbangan yang keliru dan tidak adil
m

ub
karena hutang Penggugat sudah jatuh tempo. Apabila Termohon Kasasi I/semula
ka

Penggugat tidak memenuhi kewajibannya dengan baik sedangkan hutangnya


ep
sudah jatuh tempo, maka demi hukum Pemohon Kasasi berwenang untuk
melelang agunan kredit yang telah diserahkan kepada Termohon Kasasi I ;
ah

Mengenai keberatan-keberatan ad. 1 dan ad. 2 dari Pemohon Kasasi II tersebut :


R

si
Bahwa keberatan-keberatan ini dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah
salah menerapkan hukum ;

ne
ng

-. Bahwa Termohon Kasasi/Penggugat tidak melunasi hutang (kreditnya) karena


keadaan terpaksa (overmacht) tidak dapat dibenarkan. Terbakarnya stock barang

do
gu

dagangan Penggugat tidak terkait dengan perjanjian kredit dan karenanya tidak
menghapus atau mengurangi kewajiban Penggugat seperti diatur dalam
In
perjanjian kredit. Penerima kredit tetap terkait dengan perjanjian kredit walaupun
A

barang jaminan terbakar, karena menurut hukum seluruh kekayaan Penggugat


merupakan jaminan utang ;
ah

lik

Menimbang bahwa, berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, menurut


pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan
m

ub

kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi II : PT. BANK EKSPORT IMPOR
CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI tersebut dan membatalkan
ka

putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal 16 Mei 2000


ep

yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/Pdt.G/


ah

1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 serta Mahkamah Agung akan mengadili


R

s
M

ne
ng

do

Hal.9 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001


gu

In
A

Disclaimer
9
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
sendiri perkara ini dengan amar putusannya seperti tersebut dibawah ini :
Menimbang bahwa, oleh walaupun permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi

ne
ng
II dikabulkan, namun karena permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I ditolak,
maka Pemohon Kasasi I dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat

do
kasasi ini ;
gu Memperhatikan Pasal-Pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004,
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah

In
A
dengan Undang-Undang No.5 Tahun 2004 1985 serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan ;
ah

lik
MENGADILI :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : PT. MULTI MAKMUR
m

ub
MATARI tersebut ;
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II : : PT. BANK
ka

EKSPORT IMPOR CABANG PANCORAN sekarang PT. BANK MANDIRI tersebut ;


ep
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.1076/Pdt/1999/PT.DKI tanggal
16 Mei 2000 yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.175/
ah

Pdt.G/1999/PN.Jkt.Sel. tanggal 20 Oktober 1999 ;


R

si
MENGADILI SENDIRI :

ne
-. DALAM KONVENSI :
ng

-. DALAM PROVISI :
-. Menolak gugatan provisi ;

do
gu

-. DALAM EKSEPSI :
-. Menolak eksepsi Tergugat I ;
In
-. DALAM POKOK PERKARA :
A

1. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya ;


-. DALAM REKONVENSI :
ah

lik

1. Menerima dan mengabulkan gugatan Rekonvensi dari Para Penggugat


Rekonvensi untuk seluruhnya ;
m

ub

2. Menyatakan Tergugat I dalam rekonvensi telah wanprestasi dalam melaksanakan


kewajiban pembayaran hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi ;
ka

ep

3. Menghukum Tergugat I Rekonvensi untuk membayar secara seketika dan


sekaligus lunas atas hutang-hutangnya kepada Penggugat Rekonvensi yang
ah

hingga tanggal 15 Juni 1999 mencapai jumlah Rp.2.497.726.037,67,- (dua milyar


R

s
M

ne
ng

do
gu

Hal.10 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001


In
A

Disclaimer
10
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
empat ratus sembilan puluh tujuh juta tujuh ratus dua puluh enam ribu tiga puluh
tujuh rupiah enam puluh tujuh sen) ditambah bunga kredit KMK-Umum sebesar

ne
ng
6% (+ provisi 1%) dan bunga kredit KMK-Umum sebesar 6% (+ provisi 0,50 %)
sampai dengan pelunasan hutang ;

do
Menghukum Pemohon Kasasi I/Penggugat dalam Konvensi membayar biaya
gu perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu
rupiah) ;

In
A
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung
pada hari Kamis tanggal 31 Januari 2008 dengan Bagir Manan Ketua Mahkamah
ah

lik
Agung sebagai Ketua Majelis, Andar Purba, SH. dan Prof.DR.H. Kaimuddin Salle,
SH.MH. Hakim-Hakim Agung sebagai Hakim-Hakim Anggota dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut, dengan
m

ub
dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh Reza Fauzi, SH.CN.
ka

Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak ;


ep
Hakim-Hakim Anggota : Ketua:
ah

ttd/ ttd/
R

si
Andar Purba, SH. Bagir Manan
ttd/
Prof.DR.H. Kaimuddin Salle, SH.MH.

ne
ng

Biaya-Biaya : Panitera Pengganti :


1. M e t e r a i. Rp. 6.000,- ttd/

do
gu

2. R e d a k s i. Rp. 1.000,- Reza Fauzi, SH.CN.


3. Administrasi Kasasi. Rp. 193.000
Jumlah Rp. 200.000,-
In
A

UNTUK SALINAN
ah

lik

MAHKAMAH AGUNG RI
a/n. P A N I T E R A
PANITERA MUDA PERDATA
m

ub
ka

ep

( MUH. DAMING SUNUSI, SH.MH. )


NIP. 040 030 169
ah

s
M

ne
ng

Hal.11 dari 11 Hal.Put.No.2914 K/Pdt/2001


do
gu

In
A

Disclaimer
11
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

si
ne
ng

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
12
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12

Anda mungkin juga menyukai