Anda di halaman 1dari 43

ADVOKAT DAN

BANTUAN HUKUM
Oleh : KAIRUL ANWAR, SH, MH
DEFINISI ADVOKAT
 Perkataan Advocat secara etimologis berasal dari bahasa Latin, yaitu Advocare
yang berarti to defend, to call to one’s aid to vouch or warrant. Sedang dalam
bahasa Inggris Advocate berarti: to speak in favour of or depend by argument, to
support, indicate, or recommended publicly. Advokat secara terminologis, berarti
seorang ahli hukum yang memberikan bantuan atau pertolongan dalam soal-soal
hukum. Bantuan atau pertolongan ini bersifat memberi nasihat-nasihat sebagai jasa-
jasa baik, dalam perkembangannya kemudian dapat diminta oleh siapapun yang
memerlukan, membutuhkannya untuk beracara dalam hukum. Sedangkan dalam
bahasa Inggris advocate berarti: to speak in favour of or depend by argument, to
support, indicate, or recommended publicly (Abdul Manan, 1995 : 308).
Kemudian, oleh Sukris Sarmadi, Advokat dalam bahasa inggris disebut dengan
advocate adalah person who does the professionally in a court of law yakni
seorang yang berprofesi sebagai seorang ahli hukum di Pengadilan (H.A.
Sukris Samardi, 2009 : 11). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan
WJS. Poerwadarminta terbitan PN Balai Pustaka 1976 disebutkan, “Advokat adalah
Pengacara atau ahli hukum yang berwenang bertindak sebagai penasehat atau
pembela perkara dalam pengadilan.”
Kode Etik Advokat menyebutkan pengertian dari Advokat dalam Pasal 1, yaitu
“Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun
diluar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-Undang yang
berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara Praktek
ataupun sebagai Konsultan Hukum.”
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Pasal 1 Ayat (1), “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di
dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang ini”. Pengertian lengkap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Pasal 1 mengenai Advokat, antara lain:
 Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun
di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang ini.
 Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi
hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela,
dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
DEFINISI DAN JENIS BANTUAN HUKUM

Bantuan hukum mempunyai beragam definisi. Menurut Robet Concepcion,


Advokat dari Filipina mengatakan “ bantuan hukum adalah pengungkapan yang
biasanya digunakan untuk merujuk kepada segala bentuk dari jasa hukum yang
ditawarkan atau diberikan kepada masyarakat. Ini dapat terdiri dari pemberian
informasi atau pendapat yang diberikan mengenai hak, kewajiban dan
tanggungjawab dalam situasi tertentu, sengketa, litigasi, atau proses hukum
yang dapat berupa peradilan.

Menurut Clarence J. Dias mengemukakan arti bantuan hukum: “ bantuan


hukum merujuk pada peraturan jasa profesi hukum untuk memastikan bahwa
tidak ada seorangpun yang dapat dihalangi haknya untuk menerima nasihat
hukum atau diwakili dihadapan Pengadilan oleh karena tidak mampu secara
financial”
Adnan Buyung Nasution, dalam sebuah makalahnya tahun 1980, mengatakan
“bantuan hukum pada hakikatnya adalah sebuah program yang tidak hanya
merupakan aksi cultural yang diarahkan pada perubahan tatanan masyarakat
yang tidak adil menuju tatanan masyarakat yang lebih mampu memberikan
nafas yang nyaman bagi golongan mayoritas.

Menurut UU No 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

“Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi


Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum”

Menurut UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

“Bantuan hukum adalah jasa yang diberikan oleh advokat secara cuma-
cuma kepada klien yang tidak mampu”
Menurut PP No. 83 Tahun 2008 tentang Pemberian Bantuan Hukum Secara
Cuma-Cuma

Bantuan Hukum Secara cuma-cuma adalah jasa hukum yang diberikan


Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian
konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,
membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari
keadilan yang tidak mampu”

Dari berbagai definisi bantuan hukum dapat ditarik kesimpulan bahwa bantuan
hukum merupakan jasa hukum yang diberikan kepada setiap orang yang
memerlukan pembelaan baik diluar maupun didalam pengadilan secara
perdata, pidana, tata usaha Negara dari seseorang yang mengerti seluk-beluk
pembelaan hukum, asas hukum, dan kaidah hukum, serta hak asasi manusia.
Oleh karena itu bantuan hukum bukanlah masalah sederhana. Ia merupakan
rangkaian tindakan guna pembebasan masyarakat dari belenggu struktur
politik, ekonomi, social yang sarat dengan penindasan.
Dalam artikel yang berjudul “Legal Aid Modern Themes and Variations”
Cappellettri dan Gordley yang mengembangkan model bantuan hukum yaitu:

1. Bantuan hukum Yuridis-Individuan: bantuan hukum merupakan hak


yang diberikan kepada warga masyarakat untuk melindungi
kepentingan-kepentingan individual.

2. Bantuan hukum kesejahteraan: bantuan hukum merupakan hak akan


kesejateraan yang menjadi bangian dari kerangka perlindungan social
yang diberikan oleh welfare state.
Konsep tersebut berbeda dengan Schuyt, Groenendijk, dan Slot yang
membedakan 5 jenis bantuan hukum yaitu:

1. Bantuan hukum preventif: pemberian keterangan dan penyuluhan


hukum kepada masyarakat sehingga mereka mengerti hak dan
kewajiban mereka sebagai warga Negara.

2. Bantuan hukum diagnostik: pemberian hasihat-nasihat hukum atau


yang dikenal dengan konsultasi hukum.

3. Bantuan hukum mengendalikan konflik: mengatasi secara aktif


masalah-masalah hukum konkret yang terjadi dimasyarakat.

4. Bantuan hukum pembentukan hukum: untuk memancing yurisprudensi


yang lebih tegas, tepat, jelas dan benar.

5. Bantuan hukum pembaharuan hukum: untuk mengadakan


pembaharuan hukum, baik melalui hakim maupun melalui
pembentukan undang-undang.
HAK-HAK HUKUM WARGANEGARA

Seluruh aspek hehidupan manusia diatur dalam tatanan hukum. Sehingga


hukum yang berlaku sangatlah banyak sekali. Sehingga sangatlah tidak
mungkin manusia itu dapat mengetahui semua aturan hukum yang
berlaku tersebut. Misalnya pasal 19 (2) UU No. 39/1999 tentang hak asasi
manusia mengatur bahwa seorang tidak boleh dihukum pidana karena
tidak mampu membayar utang.

Namun demikian, aturan hukum berlaku bagi semua orang. Tidak ada
alasan, atau tidak dapat dibenarkan jika seseorang dapat atau melanggar
hukum, karena ia belum atau tidak tahu hukum, sehingga ia tidak akan
bebas dari ancaman hukum. Karenanya muncul orang yang khusus
mendalami aturan hukum tersebut. Secara professional mereka disebut
ahli hukum, advokat, atau penasihat hukum (lawyer). Profesi inilah yang
akan memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan akan
nasihat hukum, atau biasa disebut dengan klien.
Negara telah memberikan jaminan untuk mendapatkan bantuan hukum dalam
konstitusi, UU, serta peraturan pelaksananya. Semuanya mengatur mengenai
Advokat, syarat-syarat mendapatkan bantuan hukum, serta aturan bagaimana
melaksanakannya dan akibatnya apabila tidak dilaksanakan. Jelas dijamin oleh
UUD 1945 pasal 27 ayat 1 berbunyi: “segala warganegara bersamaan
kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat dalam pasal 22 mewajibkan Advokat


memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang
tidak mampu. Pelaksanaannya diatur dalam PP No. 83 tahun 2008 tetang
persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum cuma-cuma. Dijabarkan
pula didalam Kode Etik Adovat Indonesia, pada pasal 7 (h), bahwa advokat
mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
(prodeo) bagi orang yang tidak mampu.
Dengan demikian setiap orang berhak untuk mendapatkan bantuan hukum, dalam
setiap hal yang berhubungan degan apa saja, tidak ada larangan bagi siapa saja
meminta bantuan hukum kepada Advokat. Orang buta hukum atau orang
miskinpun berhak memilih advokat yang cocok dan bersedia memberikan jasa
hukum baginya. Bantuan hukum dapat dimintakan kapan saja, sehingga tidak
hanya ketika menghadapi persolan hukum dengan polisi, jaksa, hakim, atau
pengadilan, dan/atau berhadapan dengan sesama warga Negara lainnya. Bantuan
hukum dapat dimintakan untuk perkara pidana, perdata, administrasi Negara,
perburuan, dan sebagainya. Tidak ada larangan sama sekali untuk mendapatkan
bantuan hukum mengenai apa saja, kapan saja dan dimana saja.
FUNGSI ADVOKAT DALAM BANTUAN HUKUM

Bantuan hukum akan sangat bermanfaat apabila diberikan oleh orang yang
memahami hukum dan menjunjung tinggi rasa keadilan. Kegunaan dari advokat
selaku Penasihat Hukum bagi seorang warga Negara diantaranya adalah:

• Pelaksanaan Hak Konstitusional

Dalam UUD 1945 pasal 27 dinyatakan segala warga negara bersamaan


kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Karena dalam
masyarakat terdapat kedudukan social dan ekonomi, terdapat ketidakadilan,
pelaksanaan jaminan “bersamaan kedudukanya didalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya” (equality before the law), perlu diimbangi
dengan bantuan kepada orang-orang yang kurang mampu, baik dari sudut
ekonomi, penetahuan, dan apalagi mereka terlebih bagi korban ketidak adilan
dan perlakukan yang kurang adil.
Karena hukum yang berlaku mengatur seluruh kehidupan manusia, kadang
kalah hak –hak yang telah diatur oleh hukum tidak dilaksanakan. Baik
karena di sengaja tidak dilakukan, maupun karena tidak di ketahui adanya
hak-hak tersebut.

• Hukum berlaku bagi semua orang tanpa kecuali

Keterbatasan pengertian dan pengetahuan hukum yang terurai dalam


undang-undang belum semua orang memilikinya dengan tepat dan benar.
Terlebih bagi orang yang “buta hukum” sehingga advokat yang telah
mempelajari hukum secara khusus atau profesional, memiliki kewajiban
memberi bantuan secara cuma-cuma. Sehingga bantuan hukum itu bukan
merupakan belas kasihan bagi orang miskin.
• Sebagai upaya standarisasi pelaksanaan fungsi dan peran
penegak hukum dari Advokat

Advokat diwajibkan memberikan bantuan hukum bagi orang yang tidak


mampu atau korban ketidakadilan. Adakalanya, mereka yang tidak tahu dan
mengerti, seringkali tunduk dan patuh atas kemauan advokat yang nakal,
baik terhadap klien maupun terhadap aparat penegak hukum lainnya. Paling
tidak memberikan kesatuan atau tafsiran atas adanya pandangan hukum
yang selama ini disalah mengerti, “ada dua sarjana hukum maka ada tiga
pendapat (dwie ministeer tree miningen)”. Serta agar terhindarkan
pandangan hukum diatas kertas (law in books) berbeda dengan hukum
dalam praktek (law in practice).
BANTUAN HUKUM DALAM PRAKTEK

PERADI sebagai organisasi advokat dengan jumlah anggota lebih dari


15.000 di seluruh Indonesia telah berupaya mengambil inisiatif penting
sesaat setelah diundangkannya PP No 83 Tahun 2008. Inisiatif penting yang
diambil PERADI adalah dengan membentuk Pusat Bantuan Hukum pada 11
Mei 2009 sebagai unit kerja yang secara khusus mengelola pelaksanaan
bantuan hukum oleh anggota PERADI. Pembentukan Pusat Bantuan Hukum
ini maka diharapkan adanya keterlibatan aktif 15 ribu anggota dalam
program bantuan hukum. Titik pembedanya dengan organisasi bantuan
hukum lainnya adalah unit kerja bantuan hukum ini bersandar pada 15 ribu
anggota PERADI dan tidak mempekerjakan advokat dalam memberikan
layanan bantuan hukum. PBH Peradi didirikan oleh anggota Peradi baik di
tingkat Nasional maupun Daerah untuk melakukan kegiatan bantuan hukum
sebagai bentuk kewajiban advokat.
Sebagian advokat lain memberikan bantuan hukum melalui LBH atau
Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) yang melakukan kegiatan
pendampingan kasus, tetapi mereka memliki advokat yang terbatas atau
bahkan tidak memiliki advokat sama sekali. Advokat-advokat ini bersedia
membantu kasus-kasus yang dirujukkan oleh LBH atau LSM tanpa
memungut biaya.

Pos Bantuan Hukum (Posbakum) DPC Peradi Semarang dalam menjalankan


program kerjanya, Pos Bantuan Hukum menjalin kerjasama dengan
Pengadilan negeri Semarang. Pengadilan negeri merespon kerjasama tersebut
dengan memberikan satu ruangan khusus di Pengadilan Negeri Semarang
sebagai tempat Posbakum.
Pasal 57 ayat (1) Undang-undang No 48 TH 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.

“Pada setiap P.N. dibentuk POSBAKUM kepada pencari keadilan yang


tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum”

SEMA Nomor 10 Tahun 2010, PSL 6 Setiap Pengadilan Negeri segera


membentuk Pos Bantuan Hukum yang pembentukannya dilakukan secara
betahap.

“Ketua Pengadilan Negeri menyediakan ruangan dan sarana yang


dibutuhkan untuk digunakan sebagai Pos Bantuan Hukum, berdasarkan
kemampuan masing-masing”
SYARAT DAN TATA CARA
PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
A. Syarat Pemberian Bantuan Hukum

1. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi paling sedikit


identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan
yang dimohonkan bantuan hukum;

2. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara;

3. Melampirkan surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala Desa atau


pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon bantuan hukum.
Pemberian bantuan hukum diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang memenuhi syarat:
1. Berbadan hukum;
2. Terakreditasi;
3. Memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
4. Memiliki pengurus;
5. Memiliki program bantuan hukum.
B. Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum
Pemohon bantuan hukum mengajukan permohonan bantuan hukum secara tertulis kepada
Pemberi Bantuan Hukum paling sedikit memuat:
1. Identitas Pemohon bantuan hukum dibuktikan dengan KTP dan/atau dokumen lain yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Dalam hal Pemohon bantuan hukum tidak
memiliki identitas, Pemberi bantuan hukum membantu Pemohon bantuan hukum dalam
memperoleh surat keterangan alamat sementara dan/atau dokumen lain dari instansi yang
berwenang sesuai domisili Pemberi bantuan hukum.
2. Uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimintakan bantuan hukum.
Permohonan bantuan hukum sebagaimana dimaksud harus melampirkan:
1. Surat keterangan miskin dari Lurah, Kepala Desa atau pejabat yang
setingkat di tempat tinggal Pemohon.
2. Dokumen yang berkenaan dengan perkara.
C. Pemberian Bantuan Hukum Secara Litigasi
Litigasi adalah proses penanganan perkara hukum yang dilakukan melalui
jalur pengadilan untuk menyelesaikannya. Pemberian bantuan hukum
secara litigasi dilakukan dengan cara:
1. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa yang dimulai dari tingkat
penyidikan dan penuntutan.
2. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa dalam proses pemeriksaan
di persidangan.
3. Pendampingan dan/atau menjalankan kuasa terhadap Penerima
Bantuan Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
D. Pemberian Bantuan Hukum Secara Non Litigasi

Non Litigasi adalah proses penanganan perkara hukum yang dilakukan di luar jalur
pengadilan untuk menyelesaikannya. Pemberian bantuan hukum secara non litigasi
meliputi kegiatan :

1. Penyuluhan hukum.

2. Konsultasi hukum.

3. Investigasi perkara, baik secara elektronik maupun non elektronik.

4. Penelitian hukum.

5. Mediasi.

6. Negosiasi.

7. Pemberdayaan masyarakat.

8. Pendampingan di luar pengadilan.

9. Drafting dokumen hukum.


E. Tata Cara Penyaluran Dana Bantuan Hukum

Sumber pendanaan penyelenggaraan bantuan hukum dibebankan pada APBN.


Selain APBN, sumber pendanaan dapat berasal dari:Penyuluhan hukum.

1. Hibah atau sumbangan.

2. Sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.

Daerah juga dapat mengalokasikan Anggaran Penyelenggaraan Bantuan Hukum


dalam APBD. Daerah melaporkan penyelenggaraan bantuan hukum yang
sumber pendanaannya berasal dari APBD kepada Menteri dan Menteri Dalam
Negeri. Ketentuan mengenai pengalokasian Anggaran Penyelenggaraan
Bantuan Hukum diatur dalam Peraturan Daerah. Pemberian Bantuan Hukum
per perkara hanya dapat dibiayai oleh APBD dan APBN. Pendanaan dari hibah
atau bantuan lain yang tidak mengikat dapat diberikan bersamaan dengan
sumber dana dari APBN atau APBD.
F. Tata Cara Pengajuan Anggaran

Pemberi Bantuan Hukum mengajukan rencana Anggaran Bantuan Hukum kepada


Menteri pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran pelaksanaan Bantuan
Hukum. Pengajuan rencana Anggaran Bantuan Hukum paling sedikit memuat:

1. Identitas Pemberi bantuan hokum.

2. Sumber pendanaan pelaksanaan bantuan hukum, baik yang bersumber dari


APBN maupun non APBN.

3. Rencana pelaksanaan bantuan hukum litigasi dan non litigasi sesuai dengan
misi dan tujuan Pemberi bantuan hukum.

Dalam hal Pemberi bantuan hukum mengajukan rencana anggaran bantuan hukum
non litigasi, Pemberi bantuan hukum harus mengajukan paling sedikit 4 kegiatan
dalam satu paket dari kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) PP
Nomor 42 tahun 2013. Mengenai tata cara pengajuan rencana anggaran bantuan
hukum diatur dengan Peraturan Menteri.
G. Pelaksanaan Anggaran Bantuan Hukum
Pemberi bantuan hukum melaksanakan bantuan hukum Litigasi dan Non Litigasi sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian pelaksanaan bantuan hukum dan ketentuan
perundang – undangan.
Penyaluran dana bantuan hukum Litigasi dilakukan setelah Pemberi bantuan hukum
menyelesaikan perkara pada setiap tahap proses beracara dan menyampaikan laporan yang
disertai bukti pendukung.
Tahapan proses beracara merupakan tahapan penanganan perkara dalam :
1. Kasus pidana, meliputi penyidikan dan persidangan di Pengadilan Tingkat I, banding,
kasasi dan peninjauan kembali.
2. Kasus perdata, meliputi upaya perdamaian atau putusan pengadilan tingkat I, banding,
kasasi dan peninjauan kembali.
3. Kasus tata usaha negara, meliputi pemeriksaan pendahuluan dan putusan pengadilan
tingkat I, banding, kasasi dan peninjauan kembali.
Penyaluran dana bantuan hukum Non Litigasi dilakukan setelah Pemberi bantuan hukum
menyelesaikan paling sedikit 1 kegiatan dalam paket kegiatan Non Litigasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) PP No. 42 tahun 2013 dan menyampaikan laporan yang
disertai dengan bukti pendukung.
H. Pertanggungjawaban

Pemberi bantuan hukum wajib melaporkan realisasi pelaksanaan anggaran bantuan


hukum kepada Menteri secara triwulan, semesteran dan tahunan. Dalam hal
Pemberi Bantuan Hukum menerima sumber pendanaan selain dari APBN, Pemberi
Bantuan Hukum melaporkan realisasi penerimaan dan penggunaan dana tersebut
kepada Menteri.

Laporan realisasi penerimaan dan penggunaan dana selain dari APBN dilaporkan
secara terpisah dari laporan realisasi pelaksanaan Anggaran Bantuan Hukum
sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1) PP Nomor 42 tahun 2013 .
Untuk Perkara Litigasi, laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, harus
melampirkan paling sedikit:

1. Salinan putusan Perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

2. Perkembangan Perkara yang sedang dalam proses penyelesaian.

Untuk kegiatan Nonlitigasi, laporan realisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 PP


Nomor 42 tahun 2013, harus melampirkan laporan kegiatan yang telah dilaksanakan. 
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan pelaksanaan Anggaran Bantuan
Hukum diatur dengan Peraturan Menteri.
KODE ETIK & PROFESI
 Yang dimaksud dengan profesi adalah pekerjaan tetap sebagai pelaksanaan
fungsi kemasyarakatan berupa karya pelayanan yang pelaksanaannya
dijalankan secara mandiri dengan komitmen dan keahlian berkeilmuan
dalam bidang tertentu yang pengembangannya dihayati sebagai panggilan
hidup dan terikat pada etika umum dan etika khusus (etika profesi) yang
bersumber kepada semangat pengabdian terhadap martabat manusia.
 Tiap profesi termasuk profesi Advokat menggunakan sistem etika terutama
untuk menyediakan struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja,
dan menyediakan garis batas tata nilai yang bisa dijadikan acuan para
profesional untk menyelesaikan dilema etika yang dihadapi saat
menjalankan fungsi pengembangan profesinya sehari-hari.
 Oleh karena itu, Kode Etik Profesi adalah seperangkat kaidah
perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam
mengambang suatu profesi.
 Dalam pembentukan Kode Etik, pada dasarnya terkandung
“maksud” mengenai hal-hal:
1. Menjaga dan meningkatkan kualitas moral pengemban
profesi.
2. Menjaga dan meningkatkan kualitas keterampilan teknis
pengemban profesi.
3. Melindungi kesejahteraan materiil para pengemban
profesi.
MAKSUD & TUJUAN KODE ETIK
 Maksud dan tujuan Kode Etik ialah untuk mengatur dan
memberi kualitas kepada pelaksana profesi serta untuk
menjaga kehormatan dan nama baik profesi serta melindungi
publik yang memerlukan jasa-jasa profesinya.
 Bertens menyatakan bahwa Kode Etik ibarat kompas yang
memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan
sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di dalam
masyarakat atau anggotanya dengan mengadakan larangan-
larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan
merugikan kesejahteraan materiil para anggotanya.
 Senada dengan Bertens, Sidharta berpendapat bahwa
Kode Etik Profesi adalah seperangkat kaedah
perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam
mengemban suatu profesi.
 Subektimenilai bahwa fungsi dan tujuan Kode Etik
adalah untuk menjunjung martabat profesi dan
menjaga atau memelihara kesejahteraan para
anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan
merugikan kesejahteraan materiil para anggotanya.
FUNGSI, MAKNA & PERAN
KODE ETIK
1) Fungsi Kode Etik adalah sebagai kontrol untuk membatasi
kebebasan profesional untuk melindungi kepentingan hukum
dan tentu kepentingan masyarakat yang dilayani pengemban
profesi.
2) Makna Kode Etik dapat digariskan :
a. Kode Etik untuk menjaga dan meningkatkan tanggung
jawab moral.
b. Kebebasan dibatasi kriteria-kriteria yang diatur dalam
Kode Etik.
3) Peranan Kode Etik dapat digariskan :
a. Kode Etik ditujukan untuk melindungi anggota-
anggotanya dalam menghadapi tindakan-tindakan yang
tidak jujur.
b. Kode Etik mengatur hubungan antar anggota.
c. Kode Etik sebagai pelindung dari campur tangan pihak luar
atau perlakuan yang tidak adil.
d. Kode Etik meningkatkan pengembangan kualitas profesi
dalam praktek, yang sesuai dengan cita-cita masyarakat.
e. Kode Etik mengatur hubungan antara profesi dengan
pelayanan yang memang dibutuhkan oleh masyarakat umum.

Maksud, fungsi, makna dan peran tersebut akan dituangkan


dalam suatu Kode Etik Profesi yang pada dasarnya mengatur
tentang Kepribadian dan Cita-cita yang luhur sebagai profesi
yang bebas dan mandiri yang bermartabat dan terhormat
(Officium Nobile).
Kode Etik Advokat Indonesia adalah hukum
tertinggi dalam menjalankan profesi, yang selain
menjamin dan melindungi namun juga membebankan
kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan
bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik
kepada klien, pengadilan, negara, atau masyarakat,
dan terutama kepada dirinya sendiri (Kelik Pramudya
& Ananto Widiatmoko : 98).
Kode etik ini bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh
mereka yang menjalankan profesi Advokat sebagai
pekerjaannya. Kode etik tersebut diatur dalam Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan
Kode Etik Advokat Indonesia.
Menurut Sumaryono pembentukan kode etik memiliki tujuan tersendiri, yaitu :
1. Sebagai sarana kontrol sosial
Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan,
sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru
maupun calon anggota kelompok profesi. Dengan demikian dapat dicegah
kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara sesama anggota kelompok
profesi, atau antara anggota kelompok profesi dan masyarakat. Anggota kelompok
profesi atau anggota masyarakat dalam melakukan kontrol melalui rumusan kode
etik profesi, apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi kewajiban
profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi.
2. Sebagai pencegah campur tangan pihak lain
Kode etik profesi telah menentukan standarisasi kewajiban profesional anggota
kelompok profesi. Dengan demikian, pemerintah atau masyarakat tidak perlu lagi
campur tangan untuk menentukan bagaimana seharusnya anggota kelompok
profesi melaksanakan kewajiban profesionalnya.
3. Sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik
Kode etik profesi pada dasarnya adalah norma perilaku yang sudah dianggap
benar atau yang sudah mapan dan tentunya akan lebih efektif lagi apabila norma
perilaku tersebut dirumuskan sedemikian baiknya sehingga memuaskan pihak –
pihak yang berkepentingan. Kode etik profesi merupakan kristalisasi perilaku
yang dianggap benar menurut pendapat umum karena berdasarkan pertimbangan
kepentingan profesi yang bersangkutan.
KETENTUAN TENTANG BERLAKUNYA KODE ETIK
DAN KEWENANGAN DEWAN KEHORMATAN
1. Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).
a. Pasal 1 huruf a, b dan c UU Advokat, tentang Pengertian Advokat,
Klien dan Teman Sejawat.
b. Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8 UU Advokat, tentang Tindakan yang
Dikenakan oleh Dewan Kehormatan.
c. Pasal 26 dan Pasal 27 UU Advokat, tentang kewenangan organisasi
Advokat dan Dewan Kehormatan.
d. Pasal 29 ayat (1) UU Advokat, tentang ditetapkan dan dijalankannya
Kode Etik bagi para anggotanya.
2. Kode Etik Advokat
Berlakunya Kode Etik sebagaimana diatur Undang-undang Advokat, yaitu
:
a. Pasal 33 UU Advokat mengatur bahwa Kode Etik dan Ketentuan
tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang ditetapkan pada tgl
23 Mei 2002, dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis
mutandis menurut Undang-undang ini sampai ada ketentuan yang
baru yang dibuat oleh organisasi Advokat.
b. Pasal 27 ayat (5) UU Advokat mengatur bahwa Ketentuan lebih
lanjut mengenai susunan, tugas dan kewenangan Dewan Kehormatan
organisasi Advokat diatur dalam Kode Etik.
c. Pasal 26 ayat (2) UU Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik
Profesi Advokat dan Ketentuan tentang Dewan Kehormatan
Organisasi Advokat.
3. Keputusan Dewan Kehormatan
a. Pasal 26 ayat (5) UU Advokat mengatur bahwa Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan
mengadili pelanggaran Kode Etik Profesi Advokat
berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi
Advokat.
b. Pasal 26 ayat (7) mengatur ketentuan mengenai tata cara
memeriksa dan mengadili pelanggaran Kode Etik Profesi
Advokat diatur lebih lanjut dengan keputusan Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat.
c. Pasal 20 KEAI mengatur Dewan Kehormatan berwenang
menyempurnakan hal-hal yang telah diatur tentang
Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan atau
menentukan hal-hal yang belum diatur di dalamnya....dst.
4. Keputusan Organisasi Advokat (PERADI)
Pasal 26 ayat (1) UU Adokat mengatur :
Untuk menjaga martabat dan kehormatan
profesi Advokat, disusun kode etik profesi
Advokat oleh Organisasi Advokat.
KEPATUHAN & KETAATAN
ADVOKAT TERHADAP KODE ETIK

Sebagaimana diuraikan bahwa Advokat harus tunduk dan patuh


terhadap organisasi, maka Advokat juga harus mematuhi Kode
Etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan :
1. Setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan
profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan
Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan
Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah
dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi
profesi mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat
mengucapkan Sumpah Profesinya tersirat pengakuan dan
kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku
(Kode Etik, Pembukaan, aline ke-4)
2. Pasal 26 ayat (2) UU Advokat mengatur : “Advokat wajib tunduk dan
mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan tentang Dewan
Kehormatan.
3. Pasal 9 butir a. KEAI, mengatur : “Setiap Advokat wajib tunduk dan
mematuhi Kode Etik Advokat ini”.
4. Pasal 9 butir b. KEAI, mengatur : “Pengawasan atas pelaksanaan Kode
Etik Advokat ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan”.
5. Pasal 10 ayat (1) KEAI, mengatur : “Dewan Kehormatan berwenang
memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan
oleh Advokat”.
Pasal 22 KEAI ayat (1), Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite
Kerja Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat
Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat
Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat
Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan
Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan
berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia
tanpa terkecuali.
HUBUNGAN ANTARA ADVOKAT
DENGAN KLIEN
1. Pertama, advokat dalam perkara-perkara perdata harus
mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai, (Pasal 4
huruf a).
Advokat di sini punya kontribusi mendorong para pihak
yang bersengketa untuk membuat kesepakatan damai.
2. Kedua, advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya
bahwa perkara yang ditanganinya akan menang, ( Pasal 4
huruf c).
Janji kemenangan itu merupakan hal yang sangat dilarang.
HUBUNGAN ANTARA ADVOKAT
DENGAN KLIEN
3. Ketiga, advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut
keyakinannya tidak ada dasar hukumnya (Pasal 4 huruf g).
Advokat wajib secara jujur dan terus terang menyampaikan pendapat
hukumnya terhadap suatu perkara yang diajukan klien bahwa perkara
tersebut tidak memiliki dasar hukum.
4. Keempat, advokat berupaya mengindari benturan kepentingan atau
conflict of interest (Pasal 4 huruf j).
Benturan kepentingan terjadi apabila advokat yang mengurus kepentingan
bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya
dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila kemudian hari
timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai