Anda di halaman 1dari 76

JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO.

11 TAHUN 2002

TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN

SYIAR ISLAM

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum


untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :
M. Farid Wajdi Gumilang
1112043100020

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/1440 H
ABSTRAK

M. Farid Wajdi Gumilang, 1112043100020, JILBAB DALAM PASAL 13


AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11 TAHUN 2002 TENTANG PELAKSANAAN
SYARIAT ISLAM BIDANG AQIDAH, IBADAH DAN SYIAR ISLAM
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk menjawab rumusan
masalah penelitian, yaitu : 1.Analisis UUD terkait Qanun Aceh No 11 tahun 2002.
2. Analisis Hukum Islam Qanun Aceh tentang Jilbab.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library Research)
dengan pendekatan Deskriptif Analitis. Sumber Data dalam penelitian ini terbagi
ke dalam dua kategori, yaitu: sumber data primer yang berkaitan dengan Jilbab
dan sekunder yang merupakan sumber data yang diangkat dalam skripsi ini.
Kemudian, data-data tersebut dikumpulkan dengan teknik membaca, memahami,
mengidentifikasi, menganalisis dan membandingkan data yang satu dengan data
lainnya. Teknik yang digunakan untuk menganalisis adalah Metode Deskriptif,
Analisis Konten dan Metode Induktif.

Kesimpulan dari skripsi ini adalah. 1.Hasil kesimpulan tentang Analis Dari
Per UU Indonesia antara Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002. Dasar hukum dan
pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh,. Maka dari itu
Penulis menyimpulkan Bahwa sesuai dengan keputusan pemerintah Indonesia
untuk mengizinkan Aceh membuat Perda Syariah adalah keputusan yang
berdasarkan pemberhentian konflik dan sudah tepat dikarenakan untuk
kesejahteraan masyarakat Aceh. Sehingga Qonun Aceh tentang wajib berjilbab
tidak bertentangan dengan UUD karena sudah sinkron dengan aturan yang berlaku
dan juga tidak bertentangan dengan UUD karena prosedur dalam aturan UUD
sudah dilaksanakan dengan baik.

2. Hasil Kesimpulan dari Analisis Hukum Islam tentang Qanun Aceh tentang
Jilbab Qanun yang mengatur tentang Jilbab adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2002
Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Jilbab masuk dalam Syiar Islam. Dalam hal ini hukum Islam mewajibkan semua
wanita untuk menutup auratnya dengan memakai Jilbab berdasarkan pada hukum
yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits namun tidak diwajibkan berhijab
atau bercadar. Fungsi dan tujuan dari pemakaian jilbab adalah agar terhindar dari
perbuatan jahat dan nafsu dari para pria. Karena menurut para jumhur ulama
bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali tangan dan wajahnya. Maka
penerapan Qanun pada Aceh sudah sesuai dengan hukum Islam yang di tentukan
berdasarakan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Keyword : Jilbab, Qonun Aceh , HukumY Islam, UUD

iv
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا ال ّرحمن ال ّرحيم‬

Segala puji bagi Allah SWT. Rabb semesta alam, yang telah memberikan limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya kepada penulis,
terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘âlamin. Sesungguhnya hanya dengan
pertolongan-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat
beriringan salam disampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan
para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.

Skripsi ini merupakan hasil dan upaya yang maksimal dari penulis. Dalam proses
penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat
terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun
materil, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan
III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Abah Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab
beserta Bapak Hidayatulloh, M.H. Sekertaris Program Studi Perbandingan Mazhab
yang telah banyak memberikan ilmu, pengalaman serta motivasi dan solusi kepada
penulis dalam kepentingan akademik maupun sosial.
3. Bu Dewi Sukarti, M.A. dan Bu Hotnidah Nasution M.Ag. sebagai dosen pembimbing
skripsi penulis yang telah sabar dan terus memberikan arahan, saran dan ilmunya
untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini dengan sungguh-
sungguh dan penuh kecintaan.
4. Bu Dr. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag. Sebagai dosen penasehat akademik penulis yang
telah sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam
merumuskan desain judul skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam
disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan
pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.

v
6. Segenap bagian administrasi dan tata usaha serta pengelola perpustakaan utama dan
perpustakaan Fakultas Syarian dan Hukum, sekaligus kepada seluruh staf dan
karyawan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan secara
maksimal.
7. Teristimewa dan tersayang untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Ir. H. Ahmad
Akhmad Sanusi M.Pd. dan Dra. Hj. Siti Munajat S.Pd.I yang telah memberikan cinta
dan kasih sayangnya, memberikan dukungan secara formil dan materil dengan tak
pernah jenuh dan tanpa menyrerah untuk memberikan dukungan serta tak henti-
hentinya mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan, serta saudara kandung
penulis yang telah memberikan dukungan baik dukungan spiritual maupun moril
dengan segenap hati yang tulus dan ikhlas.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan Afif Arrahman, Ilham Fuadi, Adib Mubaroki, Fajri,
Rendi Prihartono . Yang telah memmberikan support selama berproses selama jadi
mahasiswa di UIN Syarief Hidayatullah.
9. Kawan-kawan seperjuangan di Program Studi Perbandingan Mazhab angkatan 2012
yang selalu membantu, mendukung dan menemani selama proses pendidikan strata
(S1) dari awal perkuliahan sampai akhir.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya
serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah SWT., Aamiin.

Jakarta, 28 November 2018


20 Rabiul Awal 1440 H

M. FARID WAJDI GUMILANG

vi
.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN BIMBINGAN ............................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................ii

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................iii

ABSTRAK ..............................................................................................................iv

KATA PENGANTAR ...........................................................................................v

DAFTAR ISI .........................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..............................................................1

B. Pembatasa Masalah ......................................................................4

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ...................................................4

D. Metode Penelitian ........................................................................5

E. Review Studi Terdahulu ..............................................................7

F. Sistematika Penulisan …………………………………………...7

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM JILBAB DAN HAM


TENTANG PAKAIAN

A. Pengertian Jilbab .........................................................................9

B. Jilbab Menurut Al-Qur’an dan Hadist …....................................11

C. Batasan-batasan Aurat Menurut Para Ulama Tentang Jilbab …16

D. HAM Tentang Pakaian ………………………………………...20

vii
.

BAB III TINJAUAN UMUM QANUN ACEH NO. 11 TAHUN 2002


TENTANG HUKUM JILBAB

A. Qanun Aceh Tentang Jilbab …………………………………..24

B. Sejarah Qanun Aceh ……………………….…………………29

C. Perpu Tentang Jilbab …………… ………………..…………..37

BAB IV QANUN ACEH NO. 11 TAHUM 2002 TENTANG HUKUM


JILBAB DAN PROBLEMATIKA PENERAPANNYA

A. Analisis Dari Sisi Per UU Indonesia ………………………….41

B. Analisis Hukum Islam ………………………………………….53

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................61

B. Saran-saran .....................................................................................62

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................63

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Selama ini Jilbab diyakini banyak pihak telah menjadi simbol keislaman.
Alasannya, selain termasuk model busana perempuan yang diperintahkan agama,
juga diyakini sebagai wujud ketegaran sikap perempuan Islam dalam menghadapi
penindasan patriarkhi,1 kapitalisme, dan globalisasi. Peneliti melihat, makna
Jilbab telah disalahpamahi banyak pihak, baik kalangan Islam maupun di luar
Islam. Di kalangan Islam sendiri, sering dijumpai keyakinan tentang superioritas
ketakwaan.2 Di sisi lain, kalangan di luar Islam memandang perempuan berjilbab
sebagai representasi dari fundamentalisme Islam yang militan, radikal, dan anti
barat,3 bahkan dianggap sebagai produk budaya yang aneh.4
Jilbab merupakan pakaian yang lebar dan digunakan rangkap oleh wanita di
atas pakaian.5 Islam mewajibkan kaum wanitanya untuk menutup aurat, karena
tiga hal: Pertama, untuk menutup aurat dan menjaga jangan sampai terjadi fitnah.
Kedua, untuk membedakan dari wanita lain dan sebagai penghormatan bagi
muslimah tersebut. Ketiga, sebagai perlindungan atas kesucian kehormatan dan
kemuliaan sebagai perempuan muslimah.6

1
Patriarkhi adalah suatu sitem yang ada di masyarakat, dimana semua hal berpusat pada
laki-laki dan lebih dominan dalam hal apapun. Perempuan disubordinat/second class.
2
Hal tersebut di atas merupakan kandungan dari QS. Al-Ahzab (33): 59 yang
terjemahannya adalah “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah
yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
Mudah- mudahan mereka selalu ingat”.
3
Saiful Amien Sholihun, “Menyorot Aurat dan Jilbab,” dalam Ijtihad Islam liberal:
Upaya Merumuskan Keberagaman Yang Dinamis (Jakarta: Jaringan Islam Libera (JIL), 2005), h.
135.
4
Ashghar Ali Enginerr, Pembebasan Perempuan, terj. Agus Nuryanto, (Yogyakarta:
LKiS, 2003), h. 83
5
Nasrudin Al-Bani, Jilbab dan Hijab Busana Wanita Menurut Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi, (Semarang: CV Toha Putra. 2000). h. 34
6
Abu Syuqqah, Busana dan Perhiasan Wanita Menurut al-Qur’an dan Hadits, (Bandung:
Mizan: 1998), h. 20. Hal tersebut merupakan cerminan dari hukum Islam yang sejatinya adalah
untuk menjamin terwujudnya kemaslahatan dalam kehidupan manusia, khususnya kaum
muslimah. Jilbab sebagai salah satu pakaian khas perempuan Islam mengindikasikan ajaran Islam
yang luhur dan mulia untuk menciptakan peradaban manusia yang bermartabat dan terhormat dari
sisi pakaian yang dikenakannya. Lihat Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan,
1994), h. 249

1
2

Proses masuknya agama Islam ke Indonesia menurut para sarjana dan


peneliti sepakat bahwa Islam itu berjalan secara damai. Meskipun ada juga
penggunaan kekuatan oleh penguasa Indonesia untuk menguasai rakyat atau
masyarakat. Secara umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan
kepercayaan dan praktek keagamaan yang lama. Hal ini sering dilakukan oleh juru
dakwah di jawa adalah Walisongo.7
Aceh merupakan satu-satunya Provinsi yang menerapkan Syariat Islam,
tepatnya semenjak dideklarasikan syariat Islam pada tanggal 1 Muharram 1423 H
bertepatan dengan tanggal 15 Maret 2002. Tujuh belas tahun berlalu umur
penerapan syariat Islam diaceh yang tidak menyurutkan semangat kaum
cendikiawan untuk terus memperbincangkannya di ranah publik. Banyak
kalangan cendikiawan menilai implementasi syariat Islam terkesan biasa saja
sehingga tidak membawa perubahan signifikan bagi Aceh, daerah yang
menerapkan syariat Islam tidak berbeda dengan daerah yang tidak menerapkan
syariat baik dari aspek indentitas karakter dan keunggulannya.
Padahal, perangkat legalitas, formal penerapan Syariat Islam Aceh telah
memiliki kekuatan hukum Tetap dalam undang-undang dan peraturan daerah
(Qanun). Dalam system hukum Islam terdapat dua jenis sanksi : yaitu sanksi yang
bersifat ukhrawi, yang akan diterima di akhiran kelak, dan sanksi bersifat duniawi
yang diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif.
Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada
ketentuan hukum. Dalam banyak hal penegakan hukum menuntut peranan
Negara. Hukum tidak memiliki arti bila tidak ditegakkan oleh Negara, disisi lain
suatu Negara tidak akan tertib bila hukum tidak ditegakkan.
Upaya legislasi pelaksanaan syariat islam dibidang aqidah, ibadah (shalat
dan puasa Ramadhan) serta syiar Islam bukanlah upaya untuk mengatur subtansi
telah di atur oleh nash dan telah dikembangkan para ulama dalam berbagai
disiplin ilmu ke-Islaman. Dengan demikian upaya legislasi pelaksanaan Syari’at
Islam sebagaimana diatur dalam Qanun ini hanya diancam bagi setiap orang yang
menyebarkan paham dan atau aliran sesat. Sedangkan ancaman hukuman bagi
setiap orang dengan sengaja keluar dari aqidah Islam dan atau menghina atau
7
Muadzirin yusuf, dkk., Sejarah Peradaban Islam di Indonesia , ( Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2006 ), hlm.33
3

melecehkan Agama Islam, ancaman hukumannya diatur dalam Qanun tersendiri


tentang Hudud. Demikian pula dengan pengaturan aspek ibadah, baik sholat
fardhu jum’at maupun puasa Ramadhan di maksudkan untuk mendorong,
menggalakkan orang Islam melaksankan dan meningkatkan kualitas iman dan
serta intensitas ibadah sebagai wujud pengabdiannya yang hanya diperuntukan
kepada Allah semata. Upaya tersebut perlu didukung oleh kondisi dan situasi
syi’ar Islam, namun masih dalam lingkup ibadah.
Adanya sanksi cambuk di depan umum, disamping sanksi penjara atau
denda serta sanksi administratif, dimaksudkan sebagai upaya pendidikan dan
pembinaan sehingga sipelaku akan menyadari dan menyesal kesalahan yang
dilakukan dan mengantarkannya untuk memposisikan diri dalam Taubat Nasuha.
Pelaksanaan cambuk di depan umum dimaksudkan sebagai upaya preventif dan
pendidikan sehingga orang berupaya menghindari pelanggar hukum lainnya untuk
tidak melakukan pelanggaran terhadap Qonun ini khususnya terhadap ketentuan
Syari’at Islam pada umumnya.
Bentuk ancaman hukuman cambuk bagi pelaku tindak pidana, di
maksudkan untuk memberi kesadaran bagi sipelaku dan sekaligus menjadi
peringatan bagi masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana. Hukuman
cambuk diharapkan akan lebih efektif karena terpidana merasa malu dan tidak
menimbulkan resiko bagi keluarganya, jenis hukuman cambuk juga menjadi biaya
yang harus ditanggung oleh pemerintah lebih murah dibandingkan dengan
hukuman lainnya seperti yang dikenal dengan KUHP sekarang ini.
Berdasarkan dengan adanya Qanun Aceh No. 11 tahun 2002 ini,
penggunaan berpakaian menjadi kewajiban bagi masyarakat muslim Aceh,
dimana terdapat masyarakat yang melanggar aturan tersebut akan dikenakan
sanksi berupa sanksi ta’zir. Karena dalam pasal 13 dan pasal 23 tersebut,
bahwasanya kriteria pemakaian busana islami yang sesuai dengan pasal 13 yaitu
menggunakan pakaian yang menutup aurat, baik, sopan, tidak menunjukkan lekuk
tubuh, serta tidak menimbulkan syahwat bagi yang melihat. Penerapan sanksi
yang diberikan bagi pelanggar yang tercantum dalam pasal 23 tersebut dapat
dimulai dari yang terendah hingga tertinggi, yaitu cambuk, denda, penjara,
perampasan barang-barang, pencabutan hak dan konpensasi, dengan penerapan
4

Perda Aceh tentang Jilbab banyak memakai problematika khususnya pelanggaran


HAM dalam pernyataan dari kementerian dalam negeri mengancam serta
memangkas Perda Aceh yang dinilai bertentangan dengan Undang-undang.”
Pernyataan Tjahjo kontra menganggap perda kewajiban Jilbab bagi wanita di
Aceh melanggar HAM, mengingat tidak semua wanita Aceh beragama Islam.8
Menurut HAM ada pemaksaan didalam penerapannya, Pernyataan tersebut tentu
mengundang polemik di masyarakat Aceh itu sendiri.
Pandangan Aceh dan problematika maka dari itu penulis sangat tertarik untuk
membahasanya tentang Jilbab Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002 Tentang
Hukum Jilbab yang sangat membuat penulis tertarik atas perbedaan pendapatnya
dan memberikan penulis untuk membahasanya. Dengan demikian penulis tertarik
mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam skripsi dengan
judul “JILBAB DALAM PASAL 13 AYAT 1 QANUN ACEH NO. 11
TAHUN 2002 TENTANG PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM BIDANG
AQIDAH, IBADAH DAN SYIAR ISLAM”
B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Melihat luasnya ruang lingkup pembahasan serta agar pembahasan dalam
skripsi ini terarah dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka untuk
itu penulis membatasi masalah pada cakupan yang sebenarnya. Begitu banyak
pembahasan yang berkaitan dengan Jilbab, baik dari segi makna maupun hukum
penggunaannya, begitu juga efektifitas penerapan yang ada pada Qanun Aceh.
Oleh karena itu penulis, membatasinya dengan Jilbab dalam cakupan Qanun
Aceh.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah diatas maka
penulis mengajukan rumus masalah sebagai berikut:
a. Analisis Dari Sisi Per UU Indonesia Qanun Aceh Tentang Jilbab ?
b. Analisis Dari Sisi Hukum Islam Qanun Aceh Tentang Jilbab ?

8
http://www.lintasnasional.com/2016/02/24/mendagri-sebut-perda-jilbab-aceh-melanggar-
ham-harus-dicabut di akse pada tanggal 20 januari 2019 pada pukul 08:30 WIB
5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Penulisan penelitian skripsi ini secara umum bertujuan untuk mengetahui
tentang Jilbab dan hukumnya, namun secara khusus tujuan tujuan dari skripsi ini
adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui Sinkronisasi Antara Per UU Indonesia dan Qanun Aceh
Tentang Jilbab
b. Untuk mengetahui Anlisis Hukum Islam Dan Qanun Aceh Tentang Jilbab
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca
untuk mengetahui apa itu Qanun Aceh dan Jilbab, beserta batasan dan
hukumnya menurut pendapat ulama.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, peneliti berharap penelitian ini dapat menjadi
referensi yang bermanfaat bagi yang membutuhkan, dan juga dapat
membantu pembaca, mengetahui tentang Qanun Aceh No. 11 tahun 2002
tentang hukum Jilbab.
D. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan langkah yang harus ditempuh dalam
perencanaan dan pelaksanaan penelitian, yang terdiri atas:
a. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Normatif. Penelitian
hukum normatif atau penelitian perpustakaan ini merupakan penelitian
yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data
sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan,
teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.
b. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian
kepustakaan (library research) dengan menelaah buku-buku yang
6

berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan dari analisis literatur ini


dihasilkan data yang dikehendaki untuk ditelaah secara mendalam.9
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa sumber data, kategori
sumber data tersebut berdasarkan isinya ada dua macam:
a. Sumber Data Primer
Data primer merupakan data yang hanya bisa didapatkan darin sumber
otentik (asli) atau pertama.10 Dalam penelitin ini, sumber primer buku-buku,
UUD, UU Qanun Aceh.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data. Data sekunder ini mempunyai
kegunaan untuk mendukung dan memberikan informasi tambahan kepada data
primer. Data sekunder dalam penelitian ini penulis dapatkan dari buku-buku dan
karya-karya ilmiah terutama yang terkait dengan Qanun Aceh .
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data baik primer maupun sekunder dilakukan dengan
membaca, memahami, mengidentifikasi, menganalisis dan membandingkan data
yang satu dengan data lainnya yang terdapat dalam sumber data. Setelah data
terhimpun, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan sifat dalam bab-bab tertentu
supaya mempermudah analisis.11 Adapun dalam penelitian ini, penulis
mengumpulkan data dengan membaca, memahami, mengidentifikasi,
menganalisis, dan membandingkat teori-teori yang berkaitan dengan hukum
Jilbab.
4. Teknik Analisis Data
Berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka teknik analisis
data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengn tujuan
untuk memberikan gambaran tentang subyek penelitian berdasarkan data dari

9
Moh. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 213.
10
Jonathan Sarwono, Metodologi Penelitan Kuantitatif dan Kualitatif
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 123.
11
Winarno Surahmah, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3S, 1993), h. 139.
7

sumber penelitian yang diperoleh dari kelompok subyek yang diteliti dan tidak
dimaksudkan pengujian hipotesis.12
E. Tinjauan Penelitian Terdahulu yang Relevan
Pernah ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Jilbab Muslimah
Perspektif Abu A’la Al Maududi dan Yusuf Al Qardhawi”yang disusun oleh Riki
Solpan, yang telah dipertahankan dalam persyaratan untuk mendapatkan gelar
Sarjana Ilmu Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
pada tahun 2009. Penelitian ini fokus membahas mengenai pendapat Jilbab
Muslimah Perspektif Abu A’la Al Maududi dan Yusuf Al Qardhawi.
Selanjutnya pernah juga ada yang meneliti Tentang Konsep Jilbab
dalam Hukum Islam (Studi Perbandingan K.H Husen Muhammad) yang
disusun oleh Qoidud Dual yang telah dipertahankan untuk mendapatkan gelar
sarjana Ilmu Hukum Islam Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta pada
tahun 2009. Peneltian ini lebih fokus dengan Jilbab Qanun Aceh tentang
penerapan Syariat dan sinkronisasi dengan UUD.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017” dengan
sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa
sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai
berikut:
BAB I Merupakan pendahuluan yang terdiri enam sub bab yang membahas
tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Penelitian
Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II Pengertian Jilbab , Pada bab ini Penulis akan membahas mengenai
HAM tentang pakaian.
BAB III Peraturan Qanun Aceh. Penetapan Pemerintah Tentang Qanun Aceh
BAB IV Analisis Penetapan Hukum UUD dan Qonun Aceh Tentang Wajib
Menggunakan Jilbab, dalam hal ini penulis membahas mengenai

12
Saefudin Anwar, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),
h. 126.
8

Analisis tentang Qanun Aceh dan Sinkronisasi dengan UUD tentang


Jilbab.
BAB V Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, di samping
itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian.
Selanjutnya, penulis menyajikan beberapa saran yang diangggap
perlu.
BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Pengertian Jilbab

Jilbab merupakan istilah yang terkenal di Indonesia, juga terdapatdalam al-


qur‟an . Namun dalam literatur Arab para penulis memakai istilah yang berbeda-
beda yang menggunakan istilah hijāb, ada pula yang menggunakan istilah jilbāb
secara langsung, dan ada juga penulis yang tidak konsisten dalam menggunakan
istilah, termasuk yang diakui dan dilakukan oleh al-Bāniy sendiri. Namun kadang-
kadang ia menggunakan istilah hijab, kadang-kadang ia menggunakan istilah
jilbāb. Pendek kata, dua hal tersebut memiliki tujuan dan arti yang sama dan tidak
akan menimbulkan permasalahan dengan dua terminologi tersebut. 15
Permasalahan justru tentang batasan-batasannya dan kapan dipergunakan
oleh perempuan muslimah mengenai pengertiannya, para ulama dan mufassirin
telah mengemukakan berbagai defenisi tentang Jilbāb. Dalam Mu‟jam al-Wasith

misalnya, Jilbāb itu adalah ‫ ا‬yaitu ”” (pakain yang menutupi semua tubuh), atau

dengan redaksi lain “ (pakain luar yang digunakan diatas pakain rumah seperti
selimut), atau “Pakain luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh
wanita).
Mufassir dalam menafsirkan surat al-Ahzāb ayat 59, mereka merumuskan
tentang jilbāb dengan rumusan yang berbeda-beda. Abu Ja‟far Muhammad bin
Jarir al-Thabari (224-310 H) contohnya dalam tafsir Jāmi‟ al-Bayān yang ia
mengambi dari pendapat sebahagian ulama dan dari hadits rasul dari Ibnu „Abbās,
mengatakan bahwa: “Jilbāb itu adalah pakaian yang terletak di atas kepala dan

15
Dalam al-qur‟an istilah dari jilbab itu adalah hijab (surat al-ahzab ayat 53) istilāh lain adalah al-
Khumūr, terdapat dalam (Surat al-Nūr ayat 31) Khimār adalah Pakain yang menutup kepala,
jama‟nya Khumūr, lihat kitab al-Muwatha‟ jilid I, oleh Malik bin Anas (Dubai : Maktabah al-
Furqan, 2003) h.543

9
10

menutup muka kecuali yang nampak satu mata. Hadits lain dari Ibnu „Aun lebih
tegas mengemukakan bahwa Jilbāb itu adalah ‫( السداء‬pakaian)16
Tafsir al-Jāmi‟ li Ahkām al-Qur‟an (Tafsir al-Qurthūbiy), al-Qurtūby
(600-671.H/1204-1273.M) menjelaskan bahwa “Jilbāb itu pakain perempuan yang
ukurannya lebihbesar dari Khimār, Ibnu „Abbās dan Ibnu Mas‟ūd meriwayatkan
bahwa jilbāb itu adalah ‫( السداء‬selendang). Pendapat lain, jilbāb adalah “ ‫“ القناع‬
(Kerudung kepala wanita atau cadar).17
pendapat lain yang mengatakan bahwa Jilbāb itu adalah pakaian yang
menutupi secara keseluruhan sehingga perempuan itu merasa gelap seperti malam
hari. Ikrimah mengatakan bahwa: “Jilbāb itu bentuknya adalah adanya pertemuan
sudut atau sisi-sisi Jilbāb dengan lainnya, namun pertemuan sisi-sisi tersebut tidak
kelihatan”.
Abu „Ubaidah al-Salmāniy ketika ditanya tentang Jilbāb, ia mengatakan,
bahwa: : “Jilbab itu berbentuk selendang (al-Rida‟) yang terletak diatas alis mata
kemudian diputar sehingga posinya berada diatas hidung perempuan”. 18
Menurut Ibnu Katsir (7 00-774 H) dalam tafsir al-Qur‟an al-„Azim
menjelaskan, bahwa: “Jilbāb itu adalah (pakaian wanita yang terletak diatas
khimār). Defenisi ini juga sama dengan apa yang dikatakan Ibnu Mas‟ūd,
Ubaidah, Qatādah, Hasan Basri, Sa‟id bin Jubair,Ibrahim an-Nakha‟i dan „Ata‟ al-
Kharsani serta lainnya.
Kemudian ada juga pendapat lain, jilbāb itu seperti ( ‫ )االءزا‬pakaian yang
dipergunakan sehari-hari Tetapi Jauhari mengatakan, jilbāb itu sama dengan
Milhafah (mantel atau selimut). Al-Marāghi (1883-1952 M) dalam tafsirnya
mengatakan bahwa jalabib itu bentuk mufradnya adalah jilbāb. Kemudia ia
merumuskan bahwa defenisi jilbāb itu adalah:‫(ز‬pakaian luar yang menutupi

16
Ahmad Warson al-Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet.VII (Surabaya:
Pustaka
Progresif, 1997), h. 490.
17
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jāmi li Ahkāmil al-
Qur‟an(Tafsir al-Qurtūbi) Juz.13, cet.I, (Beirūt: Dār al-Kitāb al-„Arābi 1997), h. 217
18
Muhammad bin Yusuf almashur Abu Hayyan Andalusi, tafsir al-Bahru Al-Mukhit, Juz.
VII, (Beirūt::Dār al-Kitab al-„Ilmiyah, 2001), h. 240.
11

seluruh tubuh wanita yangposisinya terletak diatas pakaian rumah dan diatas
khimār, ).19
Tafsir ini juga dikemukan tentang hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin
Talhah dari Ibnu „Abbās, ia mengatakan, bahwa: “Jilbāb itu adalah pakaian yang
menutup seluruh badan wanita, bahkan muka sekalipun kecualisatu mata yang
kelihatan”.20
B. Dasar Hukum Jilbab menurut Al-Qur’an dan Hadist
Ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadist, pengalaman ,dan pembenaran Nabi
Muhammad Saw.(as-sunnah),kesemuanya turun dan terjadi dalam satu masyrakat
yang memiliki budayanya. Itu sebabnya para ulama berpesan kepada yang
bermaksud memahami kandungan dan pesan-pesan ayat al-qur‟an dan sunnah
bahwa di samping ilmu bahasa arab dan kaidah-kaidah keagamaan yang harus di
kuasai oleh mereka yang hendak mentapkan hukum,atau memahami pesan kedua
sumber ajaran agama islam itu,mereka juga hendaknya budaya masyarakat,
sejarah Nabi Muhammad Saw..
Ayat pertama yang menjadi dasar dalam penetapan aurat wanita dalam
firman Allah SWT dalam QS.al-ahzab (33):5321

              

              

             

              

                

19
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz.12-13, cet.I, (Beirūt: Dār al-Fikr,
2006), h. 23. Lihat juga Tafsir Ma‟alim al-Tanzil fi Tafsir wa al-Ta‟wil, oleh Abdullah bin Ahmad
bin „Ali al-Zaid, Juz IV, (Beirūt:Dār al-Fikr, 1985), h. 488
20
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Juz.12-13, cet.I, h. 23. Lihat juga Tafsir Ma‟alim al-
Tanzil fi Tafsir wa al-Ta‟wil, oleh Abdullah bin Ahmad bin „Ali al-Zaid, Juz IV, h. 24
21
Departemen Agama RI. 2008. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro
12

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki


rumah- rumah nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak
menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka
masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik
memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu
nabi lalu nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak
malu (menerangkan) yang benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan)
kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara yang
demikian itu lebih Suci bagi hatimu dan hati mereka. dan tidak boleh kamu
menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-
lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar
(dosanya) di sisi Allah”.

Maksudnya, pada masa Rasulullah s.a.w pernah terjadi orang-orang yang


menunggu-nunggu waktu makan Rasulullah s.a.w. lalu turun ayat Ini melarang
masuk rumah Rasulullah s.a.w. untuk makan sambil menunggu-nunggu waktu
makannya Rasulullah. Maksud ayat tersebut lebih kurang sebagai berikut: Hai
oarang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi
kecuali bila di izinkan, yakin di undang oleh yang berwenang untuk datang
kehidangan dengan tidak tinggal berlama-lama menunggu-nunggu waktu
masaknya makanan yag akan di hidangkan, tetapi jika kamu di undang oleh yang
berhak maka masuklah berdasarkan undangan itu serta tepat waktu dan bila kamu
selesai makan dan minum, bertebaranlah keluar menuju tempat lain sesuka kamu
tanpa duduk lebih lama asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang
belama-lama di rumah Nabi menggaggu Nabi, sehingga beliau bermaksud
meminta kamu pulang lalu dia, yakni Nabi Muhammad Saw. malu kepada kamu
untuk menyuruh kamu keluar, dan Allah tidak malu, yakni tidak ada yang dapat
menghalanginya menegur kamu menyangkut kebenaran.
Ayat ini mengandung dua tuntunan pokok: Yang pertama, menyangkut
etika mengunjungi Nabi Muhammad S.a.w. dan yang kedua menyangkut Hijab.
Bagian pertama ayat ini menurut sahabat Nabi, Anas bin Malik ra..,‟Turun
berkaitan dengan perkawinan Nabi Saw .dengan zainab binti jahsy. Ketika itu
Nabi menyiapkan makanan untuk para undangan. Namun setelah mereka makan,
sebagian undangan dalam riwayat ini di katakan tiga orang masih duduk
berbincang-bincang Nabi Saw. masuk ke kamar Aisyah
13

Menurut Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, para ulama sepakat bahwa


seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangannya. Abu
Hanifah menambah pengecualian itu dengan kedua kaki hingga mata kaki.22

Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa maksud kerudung dalam ayat di atas


adalah kain yang menutupi kepala. Kata dada juga meliputi leher. Dengan
demikian, kerudung itu wajib menutupi kepala, leher, dan dada. Itulah batas
bagian atas dari hijab. Lalu di mana batas bagian bawahnya? Jawabannya terdapat
dalam bagian ayat berikutnya:

              

             

              

               

                 

    

Artinya: “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui


perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur [24]:
31)23

Perhiasan kaki adalah gelang-gelang kaki. Karena para wanita menutupi


tubuh mereka sampai ke kaki, maka mereka mengentakkan kaki untuk
menunjukkan perhiasan yang ada di balik pakaian yang menutupi pergelangan
kaki mereka. Ayat ini menunjukkan bahwa wanita harus menutupi kaki mereka
sampai tumit.24

22
Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-
Mar‟ah al-Muslimah, ( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet. I, hal. 50
23
Departemen Agama RI. 2008. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro
24
Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-
Mar‟ah al-Muslimah, cet. I, h,. 51-52.
14

Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan


tentang masalah „aurat wanita yang boleh ditampakkan‟. Ketika membahas makna
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa
tampak daripadanya” (QS. 24:31), menurut Yusuf Qaradhawi, para ulama sudah
sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu‟, menyatakan, bahwa: “Aurat wanita


adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Di antara ulama
mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad
menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja.

Ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib
menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi
menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi‟in sebagaimana yang tampak
jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak
daripadanya.” 25

Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan ulama Sunni. Di


kalangan ulama Syiah juga ada kesimpulan, bahwa “apa yang biasa tampak
daripadanya‟‟ ialah “wajah dan telapak tangan‟‟ dan perhiasan yang ada di bagian
wajah dan telapak tangan. Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, M. Quraish
Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa: “Para ulama besar, seperti Said bin
Jubair, Atha, dan Al-Auza‟iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah
wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya.26 (hal. 175-176).

25
Dr. Yusuf Qaradhawi , Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Drs. As‟ad Yasin), (Jakarta:
GIP, 1995), hal. 431-436.
26
M.Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004) ,
h. 175-176
15

Hadits, Rasulullah bersabda tentang batas aurat wanita yang wajib


ditutup:

‫َصلُ ْح أَنْ ُّ َسٍ ِم ْن َيا إِ ََّّل َى َرا ًَ َى َرا‬ َ ‫س َما ُء إِنَّ ا ْل َم ْسأَةَ إِ َذا بَلَ َغتْ ا ْل َم ِح‬
ْ ‫ْض لَ ْم ت‬ ْ َ‫ََُ ا أ‬
َ ‫شة‬ َ ‫َاز إِلََ ًَ ْج ِي ِو ًَ َمفَّ ْْ ِو قَا َل أَبٌُ دَا ًُد َى َرا ُم ْس‬
َ ِ‫س ٌل َخالِ ُد بْهُ د َُز ّْ ٍل لَ ْم ُّ ْد ِزكْ عَائ‬ َ ‫ًَأَش‬
َّ َِ ‫ض‬
‫َّللاُ َع ْن َيا‬ ِ ‫َز‬

Artinya: “Wahai Asma‟, wanita yang sudah haid harus menutupi seluruh
tubuhnya, kecuali ini dan ini‟ sambil menunjuk wajah dan kedua telapak
tangannya.” (HR. Abu Dawud).27

Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa aurat wanita yang sudah
baligh ialah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Hadits ini
dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani, seorang ulama ahli hadits yang otoritas
ilmunya tidak diragukan lagi.

Selain itu, ada hadits juga yang menunjukkan bahwa wanita pada zaman
Nabi berhasrat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama mereka dengan
benar. Yakni, suatu hari istri Ibrahim bin Abdurrahman bin „Auf bertanya kepada
Ummu Salamah, “Aku sering berjalan di tempat-tempat kotor. Bagaimana
mungkin aku memanjangkan pakaianku?” Ummu salamah menjawab, “Rasulullah
bersabda:

‫ّ ُ َطيِّ ُسه ُ َما ب َ ْعدَه‬

Artinya: „Pakaian itu akan dibersihkan oleh apa yang mengenainya setelah
kotoran itu.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, dan Ad-
Darimi).

27
Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam tahqiqnya terhadap kitab Misykatul Mashabih,
karya At-Tabrizi, dalam Maktabah Asy-Syamilah. Dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib,
hadits ini dinilai hasan lighairihi oleh Al-Albani.
16

Sekali lagi, dua petunjuk Nabi tersebut menyimpulkan bahwa wanita harus
menutupi tubuh bagian atasnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sementara
tubuh bagian bawahnya sama sekali tidak boleh terlihat.

C. Batas-Batasan Aurat Menurut Para Ulama

Para ulama berusaha menemukan batas-batas aurat karena di dalam Al-


qur‟an tidak menentukan secara jelas dan rinci batasan aurat sehingga terjadilah
ijtihad para ulama tentang batas aurat wanita dan hokum tentang jilbab seperti
(bagian badan yang tidak boleh kelihatan karena rawan rangsangan Seandainya
ada ketentuan yang pasti dan batas yang jelas, maka dapat dipastikan pula bahwa
kaum muslim termasuk ulama-ulama tedahulu hingga kini tidak akan berbeda
dalam menafsirkan hadist-hadist Rasul S.a.w..

Tetapi tidak jarang di temukan perbedaan pendapat menyangkut nilai


keshahihan suatu hadist, sebagaimana juga lahir perbedaan interprestasi
menyangkut nash keagamaan yang di sepakati keshahihannya. Kalau kita merujuk
pendapat ulama terdahulu, ditemukan bahwa mereka membedakan aurat pria dan
wanita, dan aurat seorang merdeka serta hamba sahaya. Mereka membedakan pula
antara aurat wanita shalat dan di luar shalat serta aurat muslimah terhadap wanita
non muslimah.

Tentu saja masing-masing memiliki alasan-alasannya. Dalam kontek sini


perlu di garis bawahi bahwa dalam pandangan-pandangan yang berbeda itu
ditemukan sekian pertimbangan logika, adat istiadat dan pertimbangan kerawanan
terhadap rangsangan syahwat, di samping teks-teks keagamaan.

Terlebih dahulu penulis memaparkan pandangan para ulama masa lampau


yang hingga kini masih merupakan panutan mayoritas ulama. Bagian pertama
menampilkan ayat-ayat yang di jadikan dasar menepatkan aurat wanita.
Selanjutnya pada bagian kedua, penulis memaparkan sekian banyak hadist-hadist
Nabi S.a.w. yang dijadikan dasar dalam penetapan itu. Lalu pada bagian ketiga
sebelum penutup, penulis mengajak untuk memikirkan pandangan-pandangan
17

baru yang lebih longgar dari pada pandangan mayoritas ulama. Memikirkan
bukan menganjurkan untuk menerapkannya karena betapapun seperti tulis imam
al-Qurtubi, sebagaimana akan penulis kutip selengkapnya nanti memakai Jilbab
dengan hanya membuka wajah dan tangan adalah pandangan yang baik untuk
menjaga kehati-hatian.28

Sehingga aneka pendapat yang berbeda menyangkut batasan aurat wanita,


terlebih dahulu perlu digaris bawahi bahwa ayat-ayat Al-Qur‟an lebih-lebih sabda
Nabi S.a.w. (as-sunnah), kesumua yang turun dan terjadi dalam satu masyarakat
yang memiliki budayanya. Itu sebabnya para ulama berpesan kepada yang
bermaksud memahami kandungan dan pesan-pesan ayat Al-Qur‟an dan Sunnah
bahwa samping ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidah keagamaan yang harus di
kuasai oleh mereka yang hendak menetapkan hukum, atau memahami.

Pesan kedua sumber ajaran agama Islam itu, hendaknya mereka juga
memahami buday masyarakat, sejarah Nabi Muhammad S.a.w. serta sebab-sebab
turunnya satu ayat, atau tercetusnya ucapan dan sikap Nabi Muhammad S.a.w.

Disisi lain, perlu kita garis bawahi bahwa pemahaman seseorang


menyangkut suatu nash termasuk Al-Qur‟an dan Hadist tidak terlepas dari
pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya masyarakatnya, disamping
kecerdasan dan kecenderungan pribadinya. Karena itu, tidak mustahil jika sahabat
Nabi Muhammad S..aw. hidup pada masa kita sekarang.

               

               

                

               

          

28
M.Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, , h. 64-66.
18

Artinya: “Wahai orang-orang Yang beriman, janganlah kamu masuk ke Rumah


Nabi (menunggu makanan masak kerana hendak makan bersama), kecuali kamu
dijemput untuk menghadiri jamuan, bukan Dengan menunggu-nunggu masa
sajiannya; tetapi apabila kamu dijemput maka masuklah (pada waktu Yang
ditetapkan); kemudian setelah kamu makan maka hendaklah masing-masing
bersurai dan janganlah duduk bersenang-senang Dengan berbual-bual.
Sesungguhnya Yang demikian itu menyakiti dan menyusahkan Nabi sehingga ia
merasa malu (hendak menyatakan hal itu) kepada kamu, sedang Allah tidak malu
daripada menyatakan kebenaran. dan apabila kamu meminta sesuatu Yang harus
diminta dari isteri-isteri Nabi maka mintalah kepada mereka dari sebalik tabir.
cara Yang demikian lebih suci bagi hati kamu dan hati mereka. dan kamu tidak
boleh sama sekali menyakiti Rasul Allah dan tidak boleh berkahwin Dengan
isteri-isterinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya Segala Yang
tersebut itu adalah amat besar dosanya di sisi Allah”. (QS.Al Ahzab 33:53)29
Ayat ini mengandung dua tuntutan pokok. Yang pertama menyangkut
etika mengunjungi Nabi Muhammad S.a.w. dan Yang kedua menyangkut hijab.
Bagian pertama ayat ini menurut sahabat Nabi, Anas bin Malik ra., “ turun
berkaitan dengan perkawinan Nabi S..aw. dengan Zainab binti Jahsy. ketika itu
Nabi S.a.w. menyiapkan makanan untuk para undangan. Namun setelah mereka
makan, sebagian undangan dalam riwayat ini di katakana tiga orang masih tetap
berbincang-bincang di dalam. Nabi S.a.w. masuk kekamar Aisyah lalu keluar,
dengan harapan para tamu yang masih tinggal itu, telah pulang, tetapi ternyata
belum juga maka beliau masuk lagi kekamar istri yang lain, demikian seterusnya,
silih berganti masuk dan keluar kekamar semua istri beliau. Akhirnya mereka
keluar juga setelah sekian Rasul S.a.w. menanti.

”Anas bin Malik menuturkan kisah ini berkata : „‟Maka aku


menyampaikan hal tersebut kepada Nabi S.a.w. maka beliau masuk. Aku pun
ketika itu akan masuk tetapi telah di pasang hijab antara aku dengan beliau, lalu
turunlah ayat ini.(HR. Bukhari melalui Anas Ibn Malik).

Untuk yang pertama kita menemukan bahwa bahasa pada mulanya


menggunakan kata hijab dalam arti sesuatu yang menghalngi antara dua lainnya.
Seseoarang yang menghalangi orang lain sehingga tidak dapat bertemu dengan
siapa yang diinginkannya untuk diatemui, dinamai hajib. Kata ini juga berarti

29
Departemen Agama RI. 2008. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro
19

penutup. Tim departemen agama yang menyusun Al-Qur‟an dan Terjemahannya,


menerjemahkannya kata tersebut dengan tabir. Dalam perkembangan lebih jauh
wanita yang menutupi diri atau seluruh badannya dengan pakaian, dinamai
mutahajjibah.30

Para ulama perpandangan bahwa seluruh badan wanita aurat walau wajah
dan tangannya memahami kata hijab dalam arti tabir. Namun mereka
berkesimpulan bahwa tujuannya adalah tertutupnya seluruh badan mereka
ini,karena tabir menutupi serta menghalangi terlihatnya sesuatu yang berada di
belakangnya. Pakar tafsir Al-Jashshash misalnya menulis bahwa.”Ayat ini
menunjukkan bahwa Allah telah mengizinkan untuk meminta kepada mereka
(istri-istriNabi) dari belakang tabir menyangkut suatu hajat yang di butuhkan atau
untuk mengajukan suatu pertanyaan yang memerlukan jawaban. Perempuan
semuanya aurat badannya dan bentuknya maka tidak boleh membukanya kecuali
bila dalam keadaan darurat atau kebutuhan seperti untuk menyampaikan
persaksian atau karena adanya penyakit di badannya (dalam rangka pengobatan).31

Menurut Ali Ash-Shabuni Dalam menafsirkan surat An-Nur ayat 31


menjelaskan bahwa kata khumur adalah jama‟ dari kata khimar yang berarti
sesuatu yang menutupi kepala wanita dan menutupinya dari pandangan laki-laki.
Sedangkan kata juyub adalah jama‟ dari kata jaib yang artinya dada. Maknanya,
hendaklah para wanita muslimah memakai kerudung hingga menutupi dada
mereka, agar dada mereka tidak kelihatan sama sekali.

Wanita pada masa jahiliyah seperti yang terjadi pada masa modern saat ini
berjalan di hadapan laki-laki dengan membuka dada, atau dadanya sengaja
diperlihatkan untuk menunjukkan keindahan tubuh dan rambutnya untuk menarik
laki-laki. Mereka memakai kerudung pada bagian belakang, sementara dada
mereka tetap terbuka lebar. Maka dari itu, wanita-wanita mukminat diperintahkan

30
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakain Wanita Muslimah, h. 74.
31
Abu BakarMuhammmadIbn „Abdillah, Ibn Al-Arabyahkam al-Qur‟an, Mesir, al-Halabi,
cet. I, 1958, Jilid III, h.1567.
20

oleh Allah agar menutupi dada mereka dengan kerudung hingga dada mereka
tertutup rapat agar terjaga dari tangan-tangan jahil.32

D. HAM Tentang Pakaian

Hak asasi (fundamental Untuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia,.


Secara definitif “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman
berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang
bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya.33

Hak sendiri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:2

a. Pemilik hak;

b. Ruang lingkup penerapan hak;

c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.

Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak.


Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan
hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan
instansi.

Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitannya dengan


pemerolehan hak ada dua teori yaitu teori McCloskey dan teori Joel Feinberg.
Menurut teori McCloskey dinyatakan bahwa pemberian hak adalah untuk
dilakukan, dimiliki, atau sudah dilakukan. Sedangkan dalam teori Joel Feinberg
dinyatakan bahwa pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim yang
absah (keuntungan yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan
kewajiban). Dengan demikian keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan hak
bila disertai dengan pelaksnaan kewajiban. Hal itu berarti anatara hak dan

32
Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur‟an, Tafsir Tematik Surat An-Nur-Fathir,
(terj.) Munirul Abidin, MA, dari judul Qabasun min Nuril Qur‟anil Karim, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2002), cet. I, vol. 5, h. 42.
33
Suryadi Radjab, Dasar-dasar Hak Asasi Manusia , PBHI, Jakarta , 2002, hlm. 7,
21

kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya.
Karena itu ketika seseorang menuntut hak juga harus melakukan kewajiban.

John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya.
Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan
manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam
kehidupan manusia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1


disebutkan bahwa : “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.34

Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, diperoleh suatu


kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang
bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang harus
dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara.
Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah
menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan
yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara
kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.35

Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM, menjadi


kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah, bahkan
negara. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan
kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan
34
Jawahir Tantowi dan Pronoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Rafika
Aditama, Bandung, 2006, hlm 51.
35
Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi
Manusia ( Memahami Proses Konsilidasi Sistem Demikrasi Di Indonesia), Yogyakarta, 2003, hlm
266-267
22

perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan


umum). Karena itu pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM
harus diikuti dengan kewajiban asas manusia dan tanggung jawab asasi manusia
dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, dan bernegara.

Dasar negara kita Pancasila mengandung pemikiran bahwa manusia


diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa mengandung dua aspek, yaitu aspek
individualis (pribadi) dan aspek sosialis (bermasyarakat). Oleh karena itu
kebebasan setiap orang dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti setiap orang
mengemban kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain.
Kewajiban ini juga berlaku bagi setiap organisasi pada tataran manapun, terutama
Negara dan Pemerintah. Dengan demikian negara dan pemerintah bertanggung
jawab untuk menghormati, melindungi, membela, dan menjamin hak manusia.36

Frans Magnis-Suseno menekankan dua unsur utama dalam pengertian


HAM. Pertama, bahwa hak-hak itu mendahului penetapan negara. Dalam hal ini
tidak jauh berbeda dengan apa yang dipaparkan Donelly di muka. Kedua, bahwa
hak-hak itu bersifat universal. Universalitas HAM merujuk pada maksud bahwa
HAM berlaku untuk seluruh ras manusia, tanpa melihat apa warna kulitnya, dalam
latar etnis atau suku apa ia lahir, apa agamanya, bagaimana asal-usul
keturunannya, dan sebagainya.37

Hasil amandemen UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa


Indonesia semakin memperhatikan dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia
(HAM) yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari Pemerintah.
Amandemen kedua bahkan telah menelurkan satu Bab khusus mengenai Hak
Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita telaah menggunakan
perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini merupakan prestasi
tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak banyak negara di dunia

36
Mochtar Kasumatmaja dan Ety R Agoes, Hlm, 144-145
37
Jawahir Tantowi dan Pramoto Iskandar. Pengantar Hukum Internasional, Universitas
Indonesia ( UI-Press) Jakarta hlm, 64
23

yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM dalam


konstitusinya.
BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG QANUN ACEH NO. 11 TAHUN 2002


TENTANG HUKUM JILBAB

A. Qanun Aceh Tentang Hukum Jilbab

Indonesia sebagai Negara hukum dalam sejarah penerapan hukumnya mengenal


3 (tiga) sumber hukum yaitu sumber hukum yang berasal dari barat, hukum Islam
dan Hukum adat. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia ternyata tidak saja yang
berlaku secara yuridis formal, yakni menjadi hukum positif berdasarkan atau karena
ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, namun juga yang berlaku secara
normatif seperti hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Kedua
norma tersebut telah menjadi hukum yang hidup (living law) di dalam masyarakat.
Hal ini meng ingat, bukan saja karena hukum Islam merupakan entitas agama yang
dianut oleh mayoritas penduduk hingga saat ini, akan tetapi dalam dimensi
amaliahnya di beberapa daerah telah menjadi bagian tradisi (adat) masyarakat yang
terkadang dianggap sakral seperti di Sumatera Barat dikenal adanya istilah “adat
bersendi syara, Syara bersendi kitabullah”. Hukum Islam sebagai salah satu sumber
hukum serta tetap hidup di masyarakat Indonesia, telah mengalami pasang surut
sesuai dengan kondisi politik yang ada. Syariat Islam telah menjadi sejarah yang
panjang. 30
Semenjak zaman kerajaan-kerajaan bahkan sampai pada masa kemerdekaan
penegakan Syariat Islam terus di perjuangkan khususnya di Aceh. Kekuasaan tidak
terbatas yang dimiliki Sultan dalam m elaksanakan hukum Islam menyebabkan
hukum Islam yang ada di Aceh berubah menjadi adat. Sebagai adat ia terkadang
melangkah jauh melebihi hukum Islam itu sendiri bahkan cenderung menjadi
“hukum Sultan”. Dalam konteks ini maka Sultan seolah memiliki hak yang tidak
terbatas dalam melaksanakan hukum kepada orang yang bersalah, terutama orang
yang tidak taat kepada sultan. Dalam Bustan al-Salatin. Nuruddin ar-Raniry
mengatakan:31

30
Kamarusdiana, Qanun Jinayat Aceh Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia, Vol. XVI,
No. 2, (Juli 2016), h. 151.
31
Ibid, h. 1-2.

24
25

segala yang berbuat khianat akan segala raja-raja tak dapat tiada datang jua ke
atas mereka itu murka Allah Ta’ala fadhihat, hubaya-hubaya hal segala hamba
Allah, jangan kamu berbuat khianat akan segala raja-raja, tak dapat tiada pekerjaan
yang demikian itu dinyatakanAllah Ta’ala juga kepadanya.
Pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri
menandatangani UU Nomor 18 Tahun 2001, yang lebih dikenal dengan UU Otonomi
Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Terlepas dari plus minusnya UU tersebut, yang
terpenting mengenai penerapan syariat Islam adalah membenarkan pembentukan
Mahkamah Syar`iyah baik pada tingkat rendah (Sagoe) atau pun tingkat tinggi
(Nanggroe) yang wewenangnya dapat meliputi seluruh bidang syariat yang berkaitan
dengan peradilan. Untuk penerpan UU tersebut, sudah ditetapkan Qanun Nomor 43
Tahun 2001 Tentang Perubahan Pertama atas Qanun Nomor 3 Tahun 2000 Tentang
Pembentukan Oraganisasi dan Tatakerja MPU, Qanun Nomor 33 Tahun 2001
Tentang Pembentukan Susunan dan Tatakerja Dinas Syariat Islam Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam.
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah,
Ibadah dan Syi`ar Islam, dan Qanun Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan. 32
Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di
Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan: 33
1) Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan
Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

32
Amran Suadi, dan Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam
Serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 418
33
Marzuki Abubakar, “Syariat Islam Di Aceh Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan
Beragama”, Vol. XIII, No. 1, (Januari-Juni 2011), h. 102.
26

2) Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang menyangkut kewenangan


Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang berkaitan
dengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian Undang-undang menetapkan Qanun Provinsi sebagai peraturan pelaksanaan
untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang menjadi wewenang Pemerintah provinsi.
Untuk membuat Qanun, Pemerintah Provinsi tidak perlu menunggu peraturan
pemerintah atau peraturan lainnya dari Pemerintah Pusat. Qanun adalah peraturan
daerah untuk melaksanakan otonomi khusus yang dapat mengeyampingkan peraturan
perundang-undangan yang lain berdasarkan asas “peraturan khusus dapat
mengenyampingkan peraturan umum” . Dengan kata lain, Qanun adalah peraturan
daerah yang setingkat dengan peraturan pemerintah untuk melaksanakan otonomi
khusus di Aceh.34
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 yang berisi
tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar Islam merupakan
sumber yang digunakan untuk peraturan tentang Jilbab. Jilbab dalam Islam termasuk
syi`ar Islam. Sebagaimana yang dikemukan dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Bab I
Tentang Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat 5 dan Bab V Penyelenggaraan Syi`ar Islam
pasal 13 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: 35
Pasal I Ayat 5 Bab 1 Ketentuan Umum : “Dalam Qanun ini yang dimaksud
dengan, Syi`ar Islam adala semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah untuk
menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.”
Pasal 13 ayat 1 dan ayat 2 Bab V Penyelenggaraan Syi`ar Islam: Ayat 1, “Setiap
orang Islam wajib berbusana Islami”, Ayat 2, “Pimpinan instansi pemerintah, lembaga
pendidikan, badan usaha, dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana
Islami di lingkungan.”
Syi’ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah untuk
menyemarakkan dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam. Didalam penerapan
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Syi.ar Islam kegiatan yang mengandung nilai-

34
Ibid
35
http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_11_2002.pdf, Diakses pada: 12-07-
2018.
27

nilai Ibadah dan mengagungkan pelaksanaan Syariat Islam ialah bagaimana setiap
masyarakat baik instasi pemerintah wajib berbusana muslim baik itu wanita ataupun
pria. Seperti yang dikatakan bapak Farian: 36
Syi’ar Islam ada namanya razia tertib berbusana muslim, masyarkat yang melewati
jalan dan razia tertip busana muslim dilakukan dengan tim gabungan. Mengenai lokasi
razia ,itu ditentukan oleh Wilayatul Hisbah(WH) sendiri yang sesuka hati mereka
memilih lokasi.”
Penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa penerapan Qanun Nomor 11
Tahun 2002 tentang Syi’ar Islam belum terlaksana secara kaffah itu ditandai tidak
adanya kepastian dimana dan kapan saat melakukan aksi tentang penerapan Qanun ini.
37

Secara konsepsional, masalah pengawasan terhadap pelaksanaan syariat Islam di


Provinsi Aceh dimasukkan ke dalam Qanun Nomor: 11 Tahun 2002 tentang
Penyelenggaraan Syariat Islam yang diatur dalam Bab VI pasal 14 ayat 1-5. Dalam
Kumpulan Qanun Syariat Islam, pasal-pasal tersebut menyatakan secara eksplisit
bahwa:38
1. Untuk terlaksananya syari’at Islam di bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam,
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota membentuk Wilāyat al-Ĥisbah yang
berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini.
2. Wilāyat al-Ĥisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong, kemukiman, kecamatan
atau wilayah/lingkungan lainnya.
3. Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh Wilāyat al-Ĥisbah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini terdapat cukup alasan telah
terjadinya pelanggaran terhadap qanun ini, maka pejabat pengawas (Wilāyat al-
Ĥisbah) diberi wewenang untuk menegur/ menasehati pelanggar.
4. Setelah upaya menegur/menasehati dilakukan sesuai dengan ayat (3) di atas,
ternyata prilaku pelanggar tidak berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan
kasus pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik.

36
Rozi Ramanda, Penerapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar
Islam di Kebupaten Aceh Barat Tahun 2013-2016, Vol. 5, No. 1. (April 2018), h. 5.
37
Ibid.
38
Muhibbuthabry, Kelembangaan Wilayat Al-Hisbah Dalam Konteks Penerapan Syariat Islam
Di Provinsi Aceh, Vol. II, No. 2, (Mei 2014), h. 64-65.
28

Menjelaskan bahwa perda Aceh tentang jilbab tertuang dalam Qanun Provinisi
Nanggroe Aceh Darussalam yaitu pada Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan
Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar Islam. Didalam Qanun Nomor 11
Tahun 2002 dalam Bab I menjelaskan bahwa syi`ar Islam adalah semua kegiatan yang
mengandung nilai-nilai ibadah untuk menyemarakan dan mengagungkan pelakasanaan
ajaran Islam. Lalu dalam Bab V Tentang Penyelenggaraan Syi`ar Islam yang jilbab
adalah salah satu dalam syi`ar Islam yang berada dalam Nanggroe Aceh Darussalam
maka, dalam pasal 13 Bab V pada Ayat 1 dan 2 adalah, Setiap orang Islam wajib
berbusana Islami dan Pimpinan institusi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha
dan atau intitusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.
Pernyataan dapat dijawab bila kita cermati kandungan makna pasal 29 UUD
1945 ayat 2 dimana negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Kata ”Menjamin” dalam pasal 29 UUD 1945 jelas bermakna imperatif. Artinya, Negara
berkewajiban melaksanakan upaya-upaya agar tiap penduduk memeluk agama dan
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Keaktifan Negara di sini adalah
memberikan jaminan bagaimana penduduk dapat memeluk dan menjalankan agamanya
Dalam konteks syariat Islam di Aceh Negara bukan hanya berperan memfasilitasi
kehidupan keagamaan, tetapi juga terlibat mendesai formulasi-formulasi hukum yang
bersumber pada ajaran agama Islam melalui kegiatan legislasinya. Keikut sertaan
Negara dalam menjalankan syariat Islam di Aceh sebagai kewajiban konstitusional.39
Pengakuan lebih lanjut terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh dalam
konteks hukum Negara terdapat UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dalam undang-undang ini syariat Islam sudah menjadi hukum nasional, baik dalam
proses penyusunan materi hukum, kelembagaan dan aparatur penagak hukum, maupun
peningkatan kesadaran akan hukum syariat. Pengaturan tentang Qanun yang bernuasan
syariat, Mahkamah Syariah, Kejaksaan, Kepolisian, Polisi Wilayatul Hisbah dan
berbagai pengaturan lainnya tentang syariat menandakan Undang-undang No 11 tahun
2006 sebagai payung hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh.Undang-undang No. 11
Tahun 2006 menghendaki adanya sejumlah peraturan perundang-undangan organik
lainnya, terutama Qanun Aceh dalam rangka melaksanakan syariat Islam. Qanun
39
Hasan Basri, Kedudukan Syariat Islam Di Aceh Dalam Sistem Hukum Indonesia, Vol. XIII,
No. 55, (Desember 2011), h. 88.
29

berfungsi sebagai peraturan perundang-undangan operasional dalam rangka


menjalankan amanat Pemerintah Aceh. Dalam rangka menjadikan hukum syaraiat
sebagai materi hukum positif harus melalui proses legislasi yang menghasilkan Qanun
Aceh. Qanun-qanun inilah yang akan menjadikan hukum materi dan hukum formil
syariat Islam di Aceh. 40
Berdasarkan Qanun yang telah disahkan tersebut, maka peneliti memfokuskan
penelitian pada Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam.
Qanun ini diberlakukan bagi seluruh masyarakat Aceh tanpa terkecuali. Hal ini
bertujuan agar dapat merubah perilaku masyarakat dari yang tidak baik menjadi baik,
perilaku, perbuatan dan pergaulan masyarakat harapannya sesuai dengan ajaran dan
tuntunan Islam, oleh karena itu diperlukan dukungan dan partisipasi dari masyarakat
Aceh agar terwujud penerapan Syariat Islam yang secara Kaffah. Disamping itu pula
yang harus dimiliki dalam penerapan Syariat Islam adalah kesiapan masyarakat dan
aparat penegak hukum yaitu Wilayahtul Hisbah sehingga tidak terjadi penyimpangan
dan pelanggaran oleh masyarakat dalam pelaksanaan Syariat Islam.41

B. Sejarah Qanun Aceh

Untuk melihat penerapan syariat Islam di suatu negeri dalam lintasan sejarah,
ternyata bahwa tidak ada negeri yang telah dimasuki Islam yang tidak menerapkan
syariat Islam. Ukuran ada tidaknya Islam di suatu negeri terdahulu dapat dilihat dari
gambaran sistem hukum yang berlaku di negeri itu. Jika sistem hukum yang
dipergunakan berupa hukum syariat, berarti Islam pernah hidup, tumbuh dan
berkembang di negeri itu dan sebaliknya. Demikian halnya tentang ada tidaknya
penerapan syariat Islam di Indonesia seperti yang hidup dan berlaku pada berbagai
kerajaan Islam di Nusantara masa dahulu. Dalam catatan sejarah, Islam Masuk ke
Indonesia sejak abad pertama hijriah, tidak jauh berbeda dengan negeri-negeri lainnya
seperti Spanyol di Eropa. Dan disebutkan daerah pertama yang dimasuki Islam adalah
wilayah pesisir pantai Sumatera, lebih tepatnya kota Barus. Daerah ini adalah pintu
gerbang masuknya Islam ke bumi Nusantara. Dan dari sini Islam terus menyebar ke

40
Ibid, h. 89.
41
Rozi Ramanda, Penerapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar
Islam, h. 2
30

berbagai pulau seperti Jawa, Kalimantan dan seterusnya ke bagian Timur Indonesia.
Bahkan Islamlah yang pertama kali masuk di Irian Jaya (daerah Fakfak) sebelum
masuknya zending Kristen yang dibawa oleh Kolonial Belanda. Di antara data historis
yang memberikan informasi tentang penerapan syariat Islam di Nusantara tergambar
dari penjelasan Ibn Bathutah yang menyatakan bahwa, penerapan syariat Islam sudah
berlangsung jauh sebelum kedatangan penjajah kolonial ke Indonesia.42
Kedatangan kolonial ke Indonesia secara bertahap menghapuskan syariat Islam
dan kemudian menggantikannya dengan sistem hukum Belanda. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa penerapan syariat Islam di Nusantara mempunyai akar sejarah
yang kuat, bahkan dari rentangan waktunya jauh mendahului sejarah hukum Eropa itu
sendiri. Dalam konteks ini, jika dalam perkembangan dan perjalanan bangsa Indonesia
muncul kembali tuntutan untuk menerapkan syariat Islam, bukanlah hal yang baru dan
tanpa ada landasan historisnya. Bagi daerah Istimewa Aceh dan Rakyat Nanggroe Aceh
Darussalam pada umumnya, masalah penerapan syariat Islam bukan merupakan
persoalan yang baru, karena sejak abad VII H agama Islam telah masuk ke Aceh dan
telah tumbuh menjadi kerajaan Islam dan berkembang sampai abad XIV M. Hal itu
sejalan dengan yang dikemukakan oleh Daud Ali, bahwa “Dari penelitian sejarah,
Hukum Islam (syariat Islam) telah ada di Indonesia sejak bermukimnya orang-orang
Islam di Indonesia”. Dengan kata lain, keberadaan syariat Islam di Acehbersamaan
waktunya dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.
Meskipun ada di antara para ahli yang berpendapat bahwa masuknya Islam ke
Indonesia dari Arab, namun pada umumnya para ahli sejarah mengatakan bahwa
“masuknya Islam ke Indonesia bukan dari pusat lahirnya Agama Islam (Timur Tengah),
tetapi melalui Gujarat India” 43
Berbagai catatan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia
menyebutkan bahwa kerajaan Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Kerajaan ini berdiri sejak Raja Rajendra I dari India tidak berhasil menundukkan daerah
itu. Ketika raja Rajendra kehilangan dukungan dari penduduk setempat yang
menyebabkan kekalahannya, maka Malik al-Shalih menduduki tahta kerajaan. Malik al-
Shalih adalah raja yang pertama kali sebagai penguasa yang beragama Islam menduduki

42
Muhibbuthabry, Kelembangaan Wilayat Al-Hisbah Dalam Konteks Penerapan Syariat Islam
Di Provinsi Aceh, h. 67.
43
Ibid, h. 67-68.
31

kerajaanyang bernama Samudera Pasai. Di samping kerajaan Samudera Pasai sebagai


kerajaan pertama, sejarah juga mencatat kerajaan Islam Aceh sebagai kerajaan yang
menerapkan syariat Islam dengan kuat, sehingga wilayah kerajaan Islam Aceh, baru
dapat ditaklukkan oleh penjajah secara keseluruhan setelah mengalami peperangan yang
panjang yang amat sulit.44

1. Pemberlakuan Syariat Islam di Aceh


a. Pada Masa Awal Kemerdekaan (sampai dengan tahun 1959)
Upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh, dapat dikatakan bahwa pemimpin Aceh
sejak awal kemerdekaan sudah meminta izin kepada Pemerintah Pusat untuk
melaksanakan syariat Islam di Aceh. Pada tahun 1947, Presiden Soekarno mengunjungi
Aceh untuk memperoleh dukungan masyarakat dalam memperjuangkan pengakuan
indepedensi Indonesia, pada pertemuan ini dihadiri oleh beberapa komponen di Aceh,
salah satunya adalah Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida). Pada
akhirnya Gasida menyanggupi permintaan Presiden Soekarno dan kemudian
membentuk panitia pengumpulan dana dan T.M Ali Panglima Polem ditunjuk sebagai
ketuanya. Pada akhirnya dana yang dibutuhkan terkumpul dan digunakan untuk
pembelian dua pesawat Dakota yang kemudian diberi nama Seulawah I dan Seulawah
II. Setelah berhasil menghimpun sejumlah dana untuk perjuangan Republik Indonesia,
Daud Beureu’eh (1899-1987) memohon kepada Presiden Soekarno meminta agar
diizinkan pemberlakuan syariat Islam di Aceh, hal ini dilakukan karena Aceh
merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Presiden Soekarno setuju,
akan tetapi tidak bersedia menandatangani surat persetujuan yang disodorkan oleh
Beureu’eh kepadanya.45

Dua tahun setelah kunjungan Soekarno ke Aceh yang bertepatan dengan tanggal
17 Desember 1949 Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengumumkan
pembentukan Provinsi Aceh dan Daud Beureu’eh sebagai gubernurnya. Tetapi belum
genap setahun Pemerintahan Aceh berjalan, kebijakan Pemerintah Pusat kembali
berubah pada tahun 1950 Provinsi Aceh dilebur dan disatukan kedalam Provinsi
Sumatera Utara dan dijadikan keresidenan Aceh. Bagi para pejuang Aceh, dengan

44
Ibid, h. 68.
45
Ali Geno Berutu, Penerapan Syariat Islam Dalam Lintas Sejarah, Vol. 13, No. 2,
(November 2016), h. 167-168.
32

dijadikannya Aceh sebagai keresidenan, para pejuang tersebut merasa kecewa dan
menimbulkan kemarahan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan juga syariat Islam
yang dijanjikan tidak pernah direalisasikan oleh pusat (Jakarta). Masyarakat Aceh
bergejolak dan menutut dikembalikannya provinsi Aceh. 46

Pada taggal 21 September 1953 terjadilah pemberontakan pertama DI/TII di Aceh


pasca kemerdekaan Indonesia yang dipimpin langsung oleh Daud Beureu’eh,
pembrontakan ini merupakan bentuk kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah
Pusat di Jakarta. Pemberontakan ini sebenarnya dimulai dari Kongres Alim Ulam se
Indonesia yang dilangsungkan di Istana Maimun al-Rasyid di Medan. Kongres ini
dihadiri kurang lebih 540 ulama dari seluruh Indonesia. Terbentukya kongres ini
merupakan bentuk kegelisahan para ulama melihat kurang terakomodasinya peran
ummat Islam dalam mempertahankan kemmerdekaan pasca lepas dari penjajahan
Belanda. Kekecewaan rakyat Aceh ini ditangkap secara cerdas oleh Imam NII S.M
Karto Suwiryo di Jawa Barat dan segera mengirim Abdul Fatah Wira Nanggapati alias
Mustafa sebagai utusan ke Aceh guna untuk mendekati para pemimpin Aceh pada awal
tahun 1952, melalui Abdul Fatah, Karto Suwiryo mengirimkan beberapa tulisan dan
maklumat NII tentang Darul Islam dan mengajak para pemimpin Aceh untuk
bergabung. Maklumat Karto Suwiryo ini mendapat respon yang positif dari pemimpin
Aceh, pada tanggal 23 September 1955 diadakan kongres di Batee Kureng yang dihadiri
oleh 87 tokoh yang menghasilkan program Batee Kureng. Daud Beureu’eh mengajukan,
syarat pengajuan unsur-unsur syariat Islam bagi masyarakat Aceh untuk mengakhiri
pembrontakan DI/TII34 dibawah kepemimpinannya, maka sejak saat itu dihasilkan
maklumat konsepsi pelaksanaan unsur-unsur syariat Islam bagi daerah Istimewa Aceh.
Sehingga konflik yang berlangsung dari tahun 1953 dapat diakhir pada tahun 1959
dengan jalan damai, Daud Breu’eh beserta kaum ulama dan pengikutnya pun turun
gunung dan kembali kepangkuan ibu pertiwi secara tulus.47

b. Pada Masa Kemerdekaan (1959-1998)


Bagi rakyat dan elite Aceh, pemberlakuan syariat Islam dengan status Aceh
sebagai daerah istimewa merupakan hal yang wajar mengingat sejarah dan besarnya
jasa masyarakat Aceh terhadap pembentukan Negara Kesatuan Indonesia dan
46
Ibid, 168-169.
47
Ibid, h. 168-170
33

Kemerdekaan NKRI pada tahun 1945. Pada bulan Mei Tahun 1959 Pemerintah Pusat
mengutus Mr. Hardi untuk membawa misi perdamaian untuk Aceh. Komisi Hardi
selanjutnya melakukan pertemuan dengan Deleglasi Dewan Revolusi Darul Islam
(DDRDI) yang dipimpin oleh Ayah Gani Usman. Hasil penting dari perundingan ini
adalah bahwa Pemerintah Pusat akan memberikan status istimewa untuk Aceh dan
kemudian mengejewantahkannya dalam Keputusan Perdana Menteri RI No.
1/Missi/1959. Keputusan ini memberikan status istimewa kepada Aceh dalam artian
dapat melaksanakan otonomi daerah. Pemberontakan Darul Islam di Aceh pada
akhirnya dapat diselesaikan dengan kompromi politik dengan pemerintah Pusat. Bila
diamati pemberontakan ini sebenarnya dimulai dari Kongres Alim Ulama se–Indonesia
yang berlangsung di Medan pada bulan April 1953 dan Teungku Muhammad Daud
Beureu’eh sebagai ketua umumnya, dengan satu keputusan menyatakan bahwa,
“Memperjuangkan dalam pemilihan umum yang akan datang supaya Negara Republik
Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia”. Dan pemberontakan itupun pada akhirnya
di akhiri dalam sebuah kongres Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA). Ini
berarti akhir yang sesungguhnya dari menegakkan negara Islam di Aceh, walaupun
tertunda, tapi telah mendapat akomodasi politik yang besar, sebuah pengakuan terhadap
jati diri bangsa Aceh dan merupakan peneguhan sikap dan keinginan untuk menerapkan
syariat Islam.48

c. Pada Masa Reformasi (1999 Sampai Dengan Sekarang)


Konflik vertikal antara Pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) telah berlangsung cukup lama, berbagai cara sebenarnya telah ditempuh oleh
Pemerintah Pusat di Jakarta untuk mengeluarkan Aceh dari konflik yang
berkepanjangan, namun sampai pada akhir Pemerintahan Orde Baru, kondisi Aceh
belum menunjukkan adanya tanda-tanda kedamaian, Aceh masih tetap dilanda konflik
yang tak berkesudahan. Setelah rezim Orde Baru jatuh dan tampuk pimpinan kekuasaan
jatuh kepada B.J Habibie (Mei 1998 – Oktober 1999) jalan damai di Aceh memasuki
babak baru. Hal ini merupakan sebuah penalaran dari para elite politik Pemerintah Pusat
di jakarta dan elite politik daerah di Aceh guna untuk mengakhiri konflik yang
berkepanjangan, pelanggaran HAM dan eksploitasi ekonomi yang seolah tiada henti.

48
Ibid, 171-173
34

Pada tanggal 7 Agustus 1998 pencabutan satus Darurat Militer terhadap Aceh resmi
dilakukan, hal ini ditandai dengan penarikan aparat militer dan kepolisian dan
permohonan maaf dari kepala angkatan bersejata Republik Indonesia Jendral Wiranto
atas pelanggaran HAM di Aceh selama sembilan tahun pelaksanaan Daerah Operasi
Militer – DOM (1989-1998).49
Pasca reformasi 1998 kemudian dilanjutkan dengan amandemen Undang-undang
Dasar (UUD) 1945, hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
mengalami perubahan pola yang signifikan, dimana sebelumnya menganut pola
sentralistik, tetapi setelah reformasi berubah menjadi pola desentralistik. 50
Inilah yang membuat harapan Aceh untuk menerpakan syariat Islam kembali
terbuka, hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 44 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang dimana
UU ini mengakomodasi kepentingan Aceh dalam bidang Agama, adat istiadat dan
penempatan peran ulama pada tataran yang sangat terhormat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.51
Sebagai upaya awal penerapan syariat Islam secara kaffah dan bentuk respon
terhadap lahirnya UU diatas, Aceh menerbitkan Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan syariat Islam. Qanun ini memiliki basis konstitusional sekalipun tidak
jelas, boleh dikatakan bahwa perda ini mendahului undang-undang yang memberikan
hak Otonomi Khusus bagi Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh untuk menerapkan
syariat Islam di bumi Serambi Mekkah yang baru di undangkan dua tahun kemudian
(UU No. 18 Tahun 2001) setelah di undangkannya UU No. 44 Tahun 1999. Pada masa
Pemerintahan Abdurrahman Wahid upaya damai terus dilakukan, pendekatan dengan
jalur dialog ditempuh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Genewa Swis. Pada 11
April 2001 Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Intruksi Presiden No. 4 Tahun
2001 tentang perlakuan khusus terhadap situasi di Aceh. Agama tidak disebutkan
sebagai suatu masalah dalam Impres ini, hal ini dimungkinkan karena GAM tidak

49
Ibid, h. 176-177.
50
Muhammad Alim, Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi, No.1 Vol.
17, (Januari 2007), h. 120
51
Misran, Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum, Vol.1 No.2,
(Januari – Juni 2012), h. 155.
35

menjadikan Islam sebagai basis idiologi dalam melakukan aksinya dan negara Islam
bukanlah bagian dari platform formalnya.52
Pada akhirnya perjanjian penghentian permusuhan (Cessation of Hostilities
Agreement) mengalami kegagalan yaitu dengan tidak diterimanya kesepakatan yang
ditawarkan oleh pemerintah, khususnya mengenai integritas NKRI. Selanjutnya pada
saat pemerintahan Megawati Soekarno Putri, dikeluarkan Keputusan Presiden (Kepres)
No. 28 tahun 2003 tanggal 9 Mei 2003 yang memberikan status baru untuk Aceh yakni
Darurat Militer. Pemerintah melakukan Operasi Terpadu yang bersifat menegakkan
kembali kedaulatan NKRI dan kemudian diperpanjang melalui Kepres No. 97 tahun
2003 untuk periode 18 November 2003 sampai 19 Mei 2004. Selanjutnya pada tahun
2004 perubahan status Aceh dari Darurat Militer berubah menjadi Darurat Sipil melaui
Kepres No. 43 tahun 2004. Perubahan status ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
perkembangan situasi keamanan di Aceh semakin kondusif. Dalam perjalananya Qanun
No. 5 Tahun 2000 ini tidak berjalan dengan efektif, sehingga terjadilah revisi terhadap
UU No. 44 Tahun 1999 menjadi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan
sekaligus mengubah nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Didalam UU Otomi Khusus bagi Aceh yang ditanda tangani oleh
Presiden Megawati Soekarno Putri ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi dasar
pelaksanaan syariat Islam di Aceh diantaranya adalah Mahkamah Syar’iyah dan Qanun
Pemerintahan Aceh.53

Peluang ini berusaha untuk diaktualisasikan masyarakat Aceh melalui Pemerintah


Daerah dan Perwakilan Rakyat di DPRD. Pemerintah Daerah melalui Gubernur Aceh
telah mendeklarasikan pemebrlakuan syariat Islam di Aceh secara kaffah pada tanggal 1
Muharram 1423 H dan pembentukan Dinas Syariat Islam (DSI) ditingkat provinsi yang
kemudian diikuti oleh kabupaten – kota di provinsi Aceh berikutnya. DPRD Aceh
kemudian mengeluarkan qanun sebagai landasan hukum pelaksanaanya. Mahkamah
Agung juga ikut mengambil peran satu tahun berselang, yaitu pada tanggal 1 Muharram
1424 H, Mahkamah Agung membentuk Mahkamah Syar’iyah di Aceh sebagai
pengganti Pengadilan Agama.54

52
Ali Geno Berutu, Penerapan Syariat Islam Dalam Lintas Sejarah, h. 178-179.
53
Ibid, h. 176-177.
54
Ibid, h. 180.
36

Formalisasi dan legalisasi syariat Islam konflik di Aceh memiliki akar politik yang
sangat dalam dan merentang sepanjang sejarah Aceh. Berbagai kebijakan dikeluarkan
oleh pemerintah pusat dalam merespon dan menyelesaikan konflik Aceh. Kebijakan
yang dianggap solusi bagi Aceh adalah diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). UU Otsus
ini melengkapi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi NAD, yang
mencantumkan empat keistimewaan pokok bagi Aceh; 55
1. Keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan beragama dalam bentuk
pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya.
2. Keistimewaan dalam menyelenggarakan pendidikan.
3. Keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan adat.
4. Keistimewaan menempatkan peran ulama dalam penetapan kebijakan.
Berdasarkan kedua undang-undang pokok soal Aceh itulah, otoritas legislasi Aceh
menyusun berbagai qanun sebagai aturan derivatifnya. UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh menunjukkan bahawa kewenangan pemerintah Aceh menjadi
bertambah dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam merealisasikan
perundang-undangan RI yang tidak terealisasikan sebelumnya. Bidang syariah dapat
terlihat pada Bab XVII Pasal 128-137, yang memberikan kewenangan bagi Pemerintah
Aceh dalam penerapan syariat di berbagai aspek (termasuk jinayat).56
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh secara formal dilakukan setelah keluarnya
UU No. 44/1999 dan UU No. 18/2001, hal mendasar dari dari undang-undang ini adalah
Aceh merupakan hasil dari konflik yang berkepanjangan anatara Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia, pemberian hak untuk
formalisasi syariat Islam di Aceh diberikan adanya pemberian kesempatan yang luas
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, meggali dan memberdayakan
sumber daya alam dan sumber daya manusia, meningkatkan peran serta masyarakat,
menggali dan mengimplementasikan tata kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan
nilai luhur kehidupan bermasyarakat di Aceh. Pengertian syariat Islam di Aceh menurut
UU No. 44/1999 adalah tuntutan ajaran Islam dalam semua aspekkehidupan, Syariat
Islam dipraktekkan secara luas mencakup aspek pendidikan, kebudayaan, politik,

55
Ibid, h. 180-181
56
Ibid, h. 181.
37

ekonomi dan aspek-aspek lainnya. Pemerintah Provinsi Aceh memiliki beberapa


instrumen untuk mengkodifikasi peraturan syariat Islam secara formal, instrumen
hukum tersebut terdiri dari qanun yang membahas masalah-masalah spesifik seputar
pemberlakuan syariat Islam.57
Qanun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut kanun yang artiya
undang-undang atau peraturan, sedangkan pengertian qanun dalam kamus bahasa Arab
adalah undang-undang, kebiasaan atau adat. Teungku Di Mulek As Said Abdullah
mengatakan:58
“Hukum Qanun empat perkara, yang pertama hukum, ke dua adat, ketiga qanun,
keempat resam. Tempat terbitnya yaitu pada Qur’an dan Hadist dan daripada Ijmak
ulama Ahlul Sunnah Waljamaah dan daripada Qiyas”
C. Per UU Tentang Jilbab

Di Indonesia sebelum era reformasi, perempuan yang mengenakan jilbab masih


jarang ditemui. Karena pada masa itu penggunaan jilbab masih dianggap tabu oleh
masyarakat. Kemudian pada awal tahun 1990-an, disertai dengan pemahaman agama
yang semakin meningkat, kesadaran wanita muslim untuk mengenakan Jilbab sebagai
penutup aurat juga semakin meningkat. Pada awal tahun 2000 trend Jilbab mulai
menjamur di Indonesia. Fenomena pemakaian jilbab kini tidak hanya di kalangan
perempuan-perempuan muslim yang taat beragama saja, namun semakin merambah ke
seluruh lapisan masyarakat, baik yang aktif mengikuti kegiatan keagamaan maupun
tidak, baik kalangan atas maupun kalangan menengah ke bawah. Jika dulu jilbab identik
dengan kampungan, kini tidak lagi karena banyak sekali model-model jilbab dengan
desain baru dan menawan. Jilbab menjadi trend baru yang begitu digandrungi oleh
masyarakat semua kalangan. 59
Pada masa sekarang bermunculan banyak fonemena tentang jilbab (kerudung)
khususnya pada kalangan pelajar. Banyak opini yang terlontar mengenai perlu atau
penting dan tidaknya sebuah kerudung bagi kaum hawa. Kini Jilbab tidak hanya
dikenakan pada saat menghadiri acara-acara keagamaan saja namun merambah ke

57
Ibid, h. 181-182.
58
Ibid, h. 182.
59
Elisa Lisdiyastuti, Jilbab Sebagai Identitas Diri Di Lingkungan Sekolah (Studi Fenomenologi
Tentang Alasan dan Dampak Pemakaian Jilbab Oleh Siswi Kelas XI SMA Negeri 3 Sragen), Vol. 5, No.
2, (November 2015), h. 1.
38

berbagai ranah aktivitas kehidupan masyarakat. Saat ini jilbab sudah menjadi
pemandangan yang umum kita lihat di ruang-ruang publik. Hampir tidak ada satupun
tempat, kalangan atau lembaga yang tidak tersentuh jilbab.60
Di Indonesia, Jilbab seringkali disama artikan dengan hijab. Pengertian umum
yang berlaku saat ini mengenai hijab adalah pakaian muslimah kerudung (simple
headscarf) atau pakaian longgar yang tak tembus cahaya. Sedangkan ketika berbicara
mengenai jilbab, seseorang biasanya mengacu kepada kerudung yang diikatkan pada
kepala, dan biasanya dikenakan perempuan muslimah. Menurut Mohamad Guntur
Romli mengatakan bahwa, Ada empat alasan perempuan Indonesia menggenakan
Jilbab yaitu :61
1. Jilbab atas alasan teologis, yaitu kewajiban agama. Mereka yang mengenakan
jilbab ini akan memahaminya sebagai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.
Bentuk jilbab pun sesuai dengan standar-standar syariat, tak hanya menutup
rambut dan kepala, tapi juga menurut sebagian dari mereka hingga sampai ke
dada. Jilbab yang lebar, bila perlu menutupi seluruh tubuh. Perempuan yang
mengenakan jilbab seperti ini juga akan berhati-hati bergaul di ruang publik.
2. Alasan psikologis Perempuan yang berjilbab atas motif ini sudah tidak
memandang lagi Jilbab sebagai kewajiban agama, tapi sebagai budaya dan
kebiasaan yang bila ditinggalkan akan membuat suasana hati tidak tenang. Kita
bisa menemukan muslimah yang progresif dan liberal masih mengenakan jilbab
karena motif kenyamanan psikologis tersebut. Bentuk Jilbab yang dikenakan
berbeda dengan model pertama, dan disesuaikan dengan konteks dan fungsinya.
Demikian juga dengan gaya hidup yang memakainya, jauh lebih terbuka, dan
pergaulan mereka sangat luas, berbeda dengan model pertama.
3. Jilbab alasan modis. Jilbab sebagai produk fashion. Saya memandang Jilbab
model ini sebagai jawaban terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab
dengan perempuan. Namun, di sisi lain, ada nilai-nilai agama yang berusaha
dipertahankan dan sebagai merek dagang. Munculnya outlet-outlet dan acara-
acara peragaan busana muslimah mampu menghadirkan model Jilbab dan busana
muslimah yang telah melampaui persoalan agama.

60
Ibid, h. 1-2.
61
Masnun Tahir dan Zusiana E-Triantini, Menakar Konteksrual Konsep Jilbab Dalam Islam,
Vol. 8, No. 1, (2014), h. 9
39

4. Jilbab alasan politis. Fenomena ini muncul dari berbagai kelompok Islam yang
menggunakan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. Dalam konteks ini,
Jilbab tidak lagi menjadi persoalan keimanan, kesalehan, dan kesadaran pribadi,
namun akan dipaksakan ke ruang publik. Inilah fenomena yang sebenarnya terjadi
di Aceh dan di beberapa daerah di Indonesia yang berdalih ingin menerapkan
syariat Islam.
Hal ini Indonesia dalam Undang-Undang 1945 tidak terdapat keterangan hukum
masalah Jilbab atau berpakaian yang secara Islam namun hanya ada dalam bentuk syi`ar
Islam dalam Qanun Aceh. Namun hanya ada hak atas kebebasan beragama dan
beribadah dalam Pasal 29 UUD 1945 dan Pasal 28 UUD 1945 yang didalam nya
terdapat hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah kebebasan individu dalam
menjalankan ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam agamanya dan menjalankannya
sesuai dengan aturan yang ditentukan agamanya. Dalam hal ini UUD 1945 hanya
memberikan kebebasan kepada muslimah Indonesia untuk berjilbab atau tidak. Namun
beda dengan peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah khususnya Aceh
yang menyatakan bahwa wajib berpakaian yang Islami serta mentaati perturan daerah
yang ditetapkan serta menjalankan syariat Islam dalam setiap perbuatannya. Dalam
Islam Jilbab termasuk bagian dari ibadah karena mentaati perintah Allah swt yang
tertera dalam Al-quran dan Alhadits serta termasuk syariat Islam yang harus dijalankan
oleh semua muslimah yang beragama Islam di seluruh dunia dengan tujuan terhidar dari
perbuatan-perbuatan yang tercela dan lebih menjaga dirinya dari pandangan syahwat.
Negara RI merupakan negara yang memberikan jaminan terhadap hak atas
kebebasan beragama dan beribadah sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD 1945,
yang mengatur sebagai berikut:62
a. Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu
Walaupun dalam Pasal 29 UUD 1945 tidak diatur secara tegas larangan
proselytism yang tidak etis,akan tetapi karena apa yang ada dalam Batang Tubuh
harus dijiwai oleh Pembukaan, maka nilai-nilai yang ada dalam Batang Tubuh
merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Pembukaan sebagai Norma
62
Fatmawati, Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah Dalam Negara
Hukum Indonesia, Vol. 8, No. 4, (Agustus 2011), h. 499
40

Fundamental Negara Republik Indonesia. Yusril Ihza menjelaskan bahwa,


Berkaitan dengan Pasal 29 UUD 1945 dilihat dari sudut teologi keagamaan,
kebebasan untuk memeluk agama itu bersifat transeden (bersumber dari Tuhan)
yang memberikan kebebasan pada manusia untuk memeluk agama-agama secara
bebas tanpa paksaan dari siapa pun, selain itu Pasal 29 mengatur dengan tegas
kebebasan memeluk agama, bukan kebebasan untuk tidak menganut agama.63
Ismail Suny mengemukakan hubungan antara 2 (dua) ayat dalam Pasal 29
yaitu bahwa “ Agama dan kepercayaan yang boleh diberi hak hidup di negara Republik
Indonesia adalah agama dan kepercayaan yang tidak bertentangan atau membahayakan
dasar negara Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedang paham atheisme secara tegas
membahayakan terhadap sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena faham tidak ber-Tuhan
itu bertujuan menghapuskan kepercayaan terhadap Tuhan.”64
Perubahan UUD 1945 tidak mengubah Pasal 29 UUD 1945, sehingga jaminan
terhadap hak atas kebebasan beragama dan beribadah tetap dijamin. Jaminan terhadap
hak atas kebebasan beragama dan beribadah, setelah perubahan UUD 1945, diatur pula
dalam Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, yaitu: “Setiap orang bebas
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya .” Konsep hak
atas kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia adalah didasarkan pada Sila
Pertama dari Pancasila “ke-Tuhanan YME”, yang kemudian menjiwai dan Pasal 28E
ayat (1) dan Pasal 9 UUD 1945. Tidak ada pemisahan antara negara dan agama karena
Pancasila merupakan dasar falsafah negara, dengan “ke-Tuhanan YME” sebagai sila
pertama, yang mengandung arti bahwa ke-Tuhanan YME menjadi jiwa dan dasar dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. 65

63
Ibid, h. 500
64
Ibid, h. 500
65
Ibid, h. 500-501
BAB IV

ANALISIS QANUN ACEH NO. 11 TAHUN 2002 TENTANG HUKUM


JILBAB DAN SINKRONISASI ANTARA PER UU INDONESIA

A. Analisis Dari Sisi Per UU Indonesia

Propinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang termasuk dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan bagian dari Propinsi Sumatera Timur, meliputi wilayah
Sumatera Utara dan Aceh. Aceh adalah salah satu dari sekian daerah yang
diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk menjalankan syariat Islam
dengan pembentukan Peraturan Daerah Aceh yang disebut Qanun. Dasar hukum
dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh, didasarkan
atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.
Hukum adalah sebuah sub sistem yang berdiri sendiri dan merupakan aturan
yang ditentukan dan disepakati bersama antara para anggotanya lalu dijalankan
bersama demi tercapainya tujuan dan kesejahteraan bersama. Indonesia dalam
hukum nya terdapat 4 hukum yang harus diperhatikan dan ditaati bersama demi
kesejahteraan bersama. Dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Jenis dan
hierarki Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 66
1) UUD 1945
2) UU/Perppu
3) Peraturan Pemerintah
4) Peraturan Presiden
5) Peratuaran Daerah

66
Misran, Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum, h.. 4.

41
42

Dengan demikian, keberadaan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 telah


berhasil melakukan pemilahan dan pembedaan secara tegas antara peraturan dan
keputusan/ketetapan. Sesuatu yang dapat disebut sebagai peraturan hanyalah yang
bersifat regeling (mengatur), sedangkan yang bersifat beschiking (ketetapan) tidak
dapat disebut sebagai peraturan. Berdasarkan ketentuan ini, produk hukum yang
dikeluarkan MPR yang bersifat regeling tetap diakui sebagai bentuk peraturan
perundang-undangan, sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Adapun proses pembentukan pun harus memenuhi
dua hal pokok, yaitu kegiatan pembentukan isi peraturan dan kegiatan
menyangkut pemenuhan bentuk peraturan. Kegiatan tersebut idealnya
dilaksanakan serentak, meskipun setiap bagian kegiatan tersebut harus memenuhi
persyaratan-persyaratan. Sementara persyaratan yang dimaksud, adanya landasan
yuridis, filosofis, dan sosiologis. Landasan yuridis adalah landasan hukum yang
menjadi dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-undangan. Landasan
yuridis ini memuat aspek yang berkenaan dengan kehendak hukum, artinya suatu
peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan hukum atau legalitas
yang terdapat dalam ketentuan lain yang lebih tinggi. Landasan yuridis dapat
dibedakan menjadi dua hal berikut:67
a. Landasan yuridis yang beraspek formal berupa ketentuan yang memberikan
wewenang kepada semua lembaga untuk membentuknya.
b. Landasan yuridis yang beraspek material berupa ketentuan tentang masalah
atau persoalan yang harus diatur.
Dalam perkembangannya formalisasi syariah Islam di era reformasi ini dapat
digambarkan melalui tiga kondisi, Diantarnya: 68
1. Dalam bidang Politik, adanya upaya partai-partai politik islam, misalnya Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) dalam Sidang
Tahunan MPR pada bulan Agustus tahun 2002 untuk mengamandemen pasal
29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan
memasukkan tujuh kata, yaitu (“dengan kewajibanmenjalankan syariah Islam
67
Ibid, h. 5.
68
Ahmad Mudhar, dkk, Analisis Peraturan Daerah Berperspektif Syariah Islam Di
Indonesia Ditinjau Dari Konsep Hak Asasi Manusia, Vol. 1, No. 1, (2013), h. 2-3.
43

bagi pemeluk-pemeluknya”) dalam Piagam Jakarta agar formalisasi syariah


mempunyai landasan konstitusional yang jelas di Indonesia. Namun pada
akhirnya menjelang detik-detik akhir proses amandemen Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR telah bersepakat untuk
tidak memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta di detik-detik akhir proses
perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Di bidang otonomi daerah, adanya formalisasi syariah Islam di beberapa
produk hukum daerah di Indonesia. Misalnya di Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam; di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan; Bima, Nusa
Tenggara Barat; Indramayu, Cianjur, dan Tasikmalaya, Jawa Barat; Kota
Tangerang, Banten, dan beberpa daerah lain. Fenomena ini bisa dilihat dari
munculnya peraturan daerah yang berperspektif syariah islam, artinya
memuat syariat islam sebagai materi muatan peraturan daerah, baik di tingkat
propinsi maupun kabupaten/kota. Formalisasi syariah islam dalam materi
muatan peraturan daerah sangat beragam dari kadar syariahnya yang paling
rendah yang hanya mengatur masalah ibadah seperti pelacuran, minuman
keras, mengenai persoalan Jum‟at khusyuk, pemberdayaan ZIS (Zakat, Infak,
dan Sedekah), dan keharusan bisa baca tulis al-Qur‟an, serta keharusan
berbusana Muslim.
3. Di kalangan organisasi kemasyarakatan, adanya seruan dan kampanye untuk
mengajak masyarakat untuk memformalisasikan syariah Islam dalam segala
aspek kehidupan dan juga sampai pada tingkat system ketatanegaraan, seperti
yang dilakukan beberapa kelompok dan gerakan Islam, misalnya Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), dan Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI).
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Peraturan Daerah dikenal dengan
istilah Qanun. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
provinsi/ kabupaten/kota dan tugas pembantuan. Perda merupakan penjabaran
lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Perda tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
44

tinggi. Qanun dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-


undangan. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis
dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Qanun. Persiapan
pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada
peraturan perundang-undangan. Qanun berlaku setelah diundangkan dalam
lembaran daerah. Perda disampaikan kepada Pemerintah pusat paling lama 7
(tujuh) hari setelah ditetapkan. Perda yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan
oleh Pemerintah pusat. Untuk melaksanakan Qanun dan atas kuasa peraturan
perundang-undangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau
keputusan kepala daerah. Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala
daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Qanun, dan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Qanun diundangkan dalam Lembaran
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah diundangkan dalam Berita Daerah.
Pengundangan Qanun dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
dalam Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah. 69
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam kaitan ini maka sistem hukum
nasional memberikan kewenangan atributif kepada daerah untuk menetapkan
Qanun dan peraturan daerah lainnya, dan Qanun diharapkan dapat mendukung
secara sinergis program-program Pemerintah di daerah. Perda sebagaimana PUU
lainnya memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid,
legal certainty). Untuk berfungsinya kepastian hukum PUU harus memenuhi
syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana dalam PUU
yang sama harus terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya,
kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya hubungan harmonisasi antara berbagai
peraturan perundang-undangan antara satu sama lain.70

69
Aristo Evandy A. Barlian, Konsistensi Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan
Hierarki Perundang-Undangan Dalam Presperktif Politik Hukum, Vol. 10, No. 4, (Oktober-
Desember 2016), h. 590-591
70
Ibid, h. 591.
45

Materi muatan Peraturan Daerah telah diatur dengan jelas dalam UU


No.12/2011 dan UU No.22/2014. Pasal 14 UU No.10/2004 menyatakan:“Materi
muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten adalah
seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Pasal 6 UU
No.12/2011 jo Pasal 237 UU No.23/2014, menentukan materi Perda harus
memperhatikan asas materi muatan PUU antara lain asas keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan dan yang terpenting ketentuan Pasal 250 ayat (1) dan
(2) UU No.23/2014 bahwa materi Qanun dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan /atau peraturan PUU yang lebih tinggi. Dalam penjelasan
Pasal 250 ayat (2) UU No.23/2014 dijelaskan bahwa ”bertentangan dengan
kepentingan umum” adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan
antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya
ketentraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.71
Sesuai ketentuan Pasal ini Qanun yang telah ditetapkan bersama Pemda dan
DPRD wajib disampaikan kepada Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri
paling lama 7 hari setelah ditetapkan. Pemerintah harus telah memberikan
keputusan atas Qanun tersebut paling lama 60 hari sejak Perda diterima. Dalam
hal Perda Provinsi dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
PUU yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Menteri sedangkan Perda
Kabupateen/kota dapat dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil dari Pemerintah
Pusat. Selanjutnya paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan, kepala
daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan bersama DPRD mencabut
Qanun dimaksud. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan,
Gubernur dapat mengajukan keberatan pada Presiden dan Bupati/walikota dapat
mengajukan keberatan pada Menteri dalam waktu 14 hari sejak pembatalan
diterima. 72

71
Ibid, h. 594-595
72
Ibid, h. 595.
46

Secara konseptual, otonomi merupakan hak, wewenang, dan kewajiban


daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Titik berat otonomi di bawah rezim hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah pada peran dan tanggung jawab
(kewajiban) disamping juga secara bersamaan adanya hak dan wewenang yang
dimiliki oleh daerah. Hakikat pemberian otonomi kepada daerah adalah dalam
rangka menciptakan kemandirian bukan sebagai sebuah satuan pemerintah yang
merdeka. Sementara tujuan otonomi itu sendiri adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang ditempuh melalui peningkatan hak dan
tanggungjawab pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur urusan rumah
tangganya sendiri. Kemandirian penyelenggaraan suatu pemerintahan
mengandung arti bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus rumah tangga
pemerintahannya sendiri. Kewenangan mengatur dalam hal ini termasuklah
kewenangan daerah untuk membuat produk hukum berupa Peraturan Daerah
(Qanun) dan juga peraturan Kepala Daerah. Sehinggga karenanya, keberadaan
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah merupakan salah satu ciri daerah
yang mempunyai hak dan kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri. Urusan rumah tangga yang dimiliki oleh daerah, hakikatnya bersumber
dari 2 hal yaitu, dari otonomi dan dari tugas pembantuan (medebewind). Atas
dasar itu, maka peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah dapat berupa
peraturan daerah dan peraturan kepala daerah di bidang otonomi; serta peraturan
daerah dan peraturan kepala daerah di bidang tugas pembantuan.73
Meskipun daerah otonom memiliki wewenang untuk membuat peraturan
daerah dan peraturan kepala daerah, namun demikian Pemerintah memiliki peran
untuk melaksanakan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah-
daerah yang meliputi pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah
dan pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 218 ayat (1) huruf a dan huruf b

73
Kurniawan, Pembentukan Produk Hukum Daerah Dalam Rangka Penyelenggaraan
Pemerintahan, Vol. XV, No. 61, (Desember 2013), h. 520-521.
47

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Keberadaan


Pasal 218 ayat 1 tersebut dialakukan dalam rangka menghindari penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh daerah otonom di era otonomi. Pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap pelaksanaan pemerintahan di daerah
dilaksanakan oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai peraturan perundang-
undangan sebagaimana dimanatkan Pasal 218 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara dalam rangka
melaksanakan peran pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, maka Pemerintah melalui Kementerian Dalam
Negeri bersama dengan Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian
terkait, berhak melakukan klarifikasi tehadap berbagai peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah.74
Pasca reformasi Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri, yang di dalamnya terkandung 3 (tiga) hal
utama yaitu :75
1. Pemberian tugas dan kewenangan untuk melaksanakan sesuatu yang sudah
diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
2. Pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan, mengambil inisiatif
dan menetapkan sendiri cara-cara pelaksanaan tugas tersebut.
3. Dalam upaya memikirkan, mengambil inisiatif dan mengambil keputusan
tersebut, mengikut sertakan masyarakat baik secara langsung maupun melalui
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Menurut Pasal 7 UU No. 11 Tahun 2006 ditetapkan:76
1. Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

74
Ibid, h. 521.
75
Husni Jalil, dkk, Implementasi Otonomi Khusus Di Provinsi Aceh Berdasarkan
Undang-Undang 11 Tahun 2006, Vol. 1, No. 51, (Agustus 2010), h. 208
76
Ibid, h. 210.
48

2. Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi


urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan
tertentu dalam bidang agama.
3. Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat:
a. Melaksanakan sendiri
b. Menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.
c. Melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah
dan/atau instansi Pemerintah.
d. Menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas
pembantuan.
Pengaturan mengenai otonomi khusus bagi daerah tertentu dalam negara
kesatuan Republik Indonesia, mencakup segala segi, sehingga setiap daerah dapat
menuntut suatu kekhususan, semata-mata berdasarkan faktor-faktor tertentu tanpa
suatu kriteria umum yang ditetapkan dalam undang-undang. Apalagi jika
kekhususan itu mengandung muatan tertentu yang tidak dimiliki daerah lain. Hal
ini disebabkan aspirasi masyarakat di daerah itu beragam, karena potensi, situasi
dan keadaan di setiap daerah tidak sama atau satu dengan yang lainnya. Oleh
karena itu, pandangan yang menggeneralisasikan dan menyamaratakan
kemampuan potensial, situasi dan keadaan terhadap setiap daerah merupakan hal
yang salah kaprah.
Indonesia telah menjamin kebebasan beragama yang termaktub dalam
konstitusi serta berbagai perundang-undangan. Seperti dalam Pasal 28E UUD
1945 ayat 1, dan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Tidak hanya kebebasan beragama,
konstitusi Indonesia pun melindungi setiap agama dari perlakuan diskriminatif
agama tertentu atas dasar apapun dan berhak untuk mendapatkan perlindungan
atas sikap diskriminatif tersebut seperti yang tercantum dalam Pasal 28I UUD
1945 ayat 2. Peraturan daerah berperspektif syariah islam hanya berlaku kepada
49

orang islam. Perbedaan hukum publik dalam suatu wilayah tertentu dengan
wilayah lainnya membuat seorang warga negara tidak diperlakukan sama di mata
hukum, padahal ia masih dalam satu wilayah negara. Perumusan Qanun Aceh
sebagaimana telah disebutkan di atas didasarkan pada Al-Qur‟an dan hadis Nabi
S.A.W. dengan berpegang pada penafsiran/pemahaman atas Al-Qur‟an dan hadis
Nabi S.A.W. dengan tetap memakai ketentuan-ketentuan lama atau pendapat
mazhab-mazhab yang masih relevan serta berusaha untuk mencari dan
merumuskan ketentuan baru yang lebih baik dengan memperhatikan kebutuhan
lokal masyarakat Aceh dan dengan memperhatikan isu-isu hak asasi manusia.
Indonesia adalah negara yang memberikan kebebaasan dalam beragama
dan melakukan kegiatan bentuk ibadah apapun. Aceh dalam membentuk Perda
mengenai syiar Islam yang didalam terdapat masalah penyelenggaraan syi`ar
Islam yang dalam Qanunnya yaitu masalah kewajiban berbusana muslim agar
terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan. Memang tidak terdapat penjelasan
tentang Jilbab namun jilbab adalah termasuk busana muslim yang digunakan oleh
wanita.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Qanun syariah atau Qanun berbasis
syariah sering dimaknai sebagai Qanun yang diambil dari ketentuan-ketentuan
legal. Syariat Islam baik yang bersifat tekstual maupun substansi ajarannya.
Qanun berbasis syariah merupakan bagian dari aspirasi masyarakat daerah,
sehingga setiap daerah berhak membuat peraturan perundang-undangan yang khas
daerahnya. Selain itu peraturan hukum yang ada dinilai belum bisa menjamin
penegakan keadilan di tengah masyarakat, sehingga tidak ada salahnya mencoba
pemberlakuan hukum Islam sebagai alternatif peraturan daerah yang selama ini
diklaim memiliki banyak kekurangan.77
Menyusun Qanun Aceh mengalami berbagai konflik dari masa awal
kemerdekaan, sampai pada masa reformasi. Dengan sepakatan para ulama di
Aceh, pemerintah Daerah Aceh dan penduduk ingin menjadikan Aceh sebagai
daerah dengan menerpakan syariat Islam atau serambi Mekkah. Dari

77
Hayatun, Na`imah, Perda Berbasis Syariah Dan Hubungan Negara-Agama Dalam
Prespektif Pancasila, Vol. XV, No. 2, (Desember 2016), h. 154.
50

pemberontakan DI/TII dan dari semua konflik dan perbincangan yang baik maka
dalam kepemrintahan Abdurrahman Wahid sampai Megawati terbentuklah UUD
perlakuan hukum khusus pada daerah Aceh. Indonesia dalam UUD 1945 tidak
mewajibkan untuk berbusana muslim atau berjilbab namun dalam pasal 28 dan 29
terdapat kebebasan Hak untuk setiap manusia untuk menganut dan beragama
dalam kepercayaan masing. Ini menjelaskan bahwa Islam diberikan kebebasan
untuk para penganutnya untuk menggunakan jilbab atau tidak.
Qanun berbasis syariah yang dihasilkan oleh pembuat Qanun. Paling tidak
ada 3 karakteristik Perda berbasis syariah yang dapat dikelompokan yaitu, bersifat
privasi atau publik, bersifat pilihan atau kewajiban, diskriminasi hukum atau
ketertiban umum. Sebelum mengelaborasikan beberapa karakteristik tersebut,
adalah penting untuk menyajikan lima level penerapan Syariat Islam yang
diadaptasi dari Price dan dikemukakan oleh Arskal Salim dan Azyumardi Azra.
Kaum Muslimin meyakini bahwa syariat adalah seperangkat norma dan nilai yang
total dan komprehensif yang mengatur kehidupan manusia hingga yang paling
detail. Dengan demikian, totalitas syariat dapat dibagi menjadi lima level berikut
ini :78
1. Masalah-masalah hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan
kewarisan
2. Urusan-urusan ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat
3. Praktik-praktik (ritual) keagamaan, seperti kewajiban mengenakan jilbab
bagi wanita Muslimah; ataupun pelarangan resmi hal-hal yang
bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol, perjudian, dan pelacuran
4. Penerapan hukum pidana Islam, terutama bertalian dengan jenis-jenis
sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggar
5. Penggunaan Islam sebagai dasar negara dan sistem pemerintahan.
Aceh adalah salah satu daerah yang diberikan kebebasan untuk menjalankan
syariat Islam namun tidak terlepas dari proses yang panjang dari pemberian UUD
khusus untuk daerah aceh untuk menerapakan syariat Islam. Jilbab dalam
peraturan Aceh yang disebut Qanun disebut sebagai syiar Islam. Qanun Aceh

78
Ibid, h. 163
51

tentang jilbab tertuang dalam Qanun Provinisi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu
pada Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah,
Ibadah dan Syi`ar Islam. Didalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dalam Bab I
menjelaskan bahwa syi`ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-
nilai ibadah untuk menyemarakan dan mengagungkan pelakasanaan ajaran Islam.
Bab V Tentang Penyelenggaraan Syi`ar Islam yang Jilbab adalah salah satu
dalam syi`ar Islam yang berada dalam Nanggroe Aceh Darussalam maka, dalam
pasal 13 Bab V pada Ayat 1 dan 2 adalah, Setiap orang Islam wajib berbusana
Islami dan Pimpinan institusi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan
atau intitusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.
Indonesia dalam UUD 1945 tidak termaktub dan tidak tertulis tentang
kewajiban berbusana muslim atau Jilbab yang tertulis hanya keterangan
kebebasan dalam beragama dan manganut ajaran yang sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Dalam UUD pada pasal 28E sampai pasal 29 yang mengandung
penjelasan bahwa kebebasan dalam beragama namun juga mengandung bahwa
kebebasan agama mengatur busana yang baik buat para pengikutnya. Jilbab hanya
busana kewajiban pada umat Islam namun tidak dengan agama lain. Jadi dalam
pengaturan Qanun Aceh tentang Jilbab merupakan pengaturan untuk yang
menganut agama Islam tidak dengan agama lain. Memang bersebrangan antara
UUD 1945 dengan Qanun Aceh maka Qanun Aceh hanya mengatur yang
beragama Islam bukan semua agama yang ada di Aceh namun untuk UUD 1945
mengatur seluruh kebebasan beragama untuk masyarakat Indonesia. Jilbab yang
diatur hanya untuk kepentingan umat Islam yang ada di Aceh bukan seluruh
cengkupan masyarakat di Indonesia. Namun ini menimbulkan dekriminatif untuk
masyarakat Aceh yang bukan beragama Islam di Aceh.
Maka keputusan pemerintah Indonesia untuk mengizinkan Aceh membuat
Perda Syariah adalah keputusan yang berdasarkan pemberhentian konflik dan
sudah tepat dikarenakan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh. Namun agama
lain selain Islam bisa menimbulkan konflik di Aceh karena diskriminatif yang
dilakukan pemerintah Aceh. Untuk mencegah ini maka pemerintah Aceh
memberikan kewenangan kepada penduduk non Islam untuk paling tidak menutup
52

auratnya walaupun tidak berjilbab atau berbusana muslim. Namun sekali lagi hal
ini bisa menimbulkan konflik antar agama dikarenakan Qanun Aceh yang semua
isinya untuk penganut agama Islam sedangkan untuk agama non muslim hanya
berpegang pada Qanun Aceh yang sudah ditetapkan tanpa ikut dalam adil dalam
pembentukan hukum tersebut.
Pada dasarnya Qanun Aceh yang sudah dibuat memang isinya untuk
kesejateraan masyarakat di Aceh dan keamanan masyarakat Aceh namun peran
non muslim terasa kurang dalam pembuatan Qanun Aceh ini sehingga UUD 1945
yang mengatur tentang kebebasan beragama tidak berfungsi dan tidak bermanfaat
di daerah Aceh. Maka pemerintah Aceh dan pemerintah pusat harus terus
memberikan penjelasan dan pengertian kepada penduduknya yang non muslim
bahwa Qanun Aceh yang dibuat bukan semata-mata untuk agama Islam namun
untuk semua agama yang ada di daerah Aceh. Lalu dalam membuat Qanun Aceh
diharapkan diikuti semua lapisan agama agar terjadinya keselarasaan dan
kesimbangan dalam isi yang tertulis.. Karena Islam diturunkan bukan untuk
kesejahteraan umat sendiri namun untuk kesejahteraan seluruh alam.
Sebagai peneliti saya setuju akan pembentukan Qanun Aceh Tentang busana
muslim termasuk jilbab, namun pemerintah Aceh harus membuat penyuluhan dan
sosalisasi kepada seluruh lapisan masyarakat atau seluruh agama bahwa Qanun
Aceh tentang berpakaian muslim termasuk jilbab dikhususkan agar terhindar dari
berbagai jenis tindak kejahatan dan perbuatan yang tidak diinginkan dari nafsu
manusia serta bagi non muslim diharuskan memakai pakaian yang tertutup agar
terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan. Antara Perda Aceh dan UUD 1945
tidak mengalamai benturan kerana dalam UUD 1945 tidak tersirat dengan jelas
tentang berpakaian atau berjilbab hanya untuk kebebasan menganut kepercayaan
masing-masing dalam kebaikan. Yang dikhawatirkan adanya diskriminatif yang
bisa menimbulkan konflik agama dan konflik sosial. Qanun Aceh dan UUD 1945
adalah sama-sama hukum yang dibuat berdasarkan kesepakatan maka harus
dilaksanakan dengan baik agar ketentraman dan keamanan bagi masayarakat dan
bangsa Indonesia.
53

Qanun berbasis syariah jika dihubungkan dengan negara dan agama dalam
persfektif Pancasila dapat dilihat dari kembalinya bangsa Indonesia ke UUD 1945
melalui Dekrit Presiden jika dikaitkan dengan Naskah Piagam Jakarta, memang
secara yuridis, belum bisa dijadikan landasan bagi berlakunya Syariat Islam di
Indonesia. Namun, hal itu telah memberikan tempat bagi kedudukan Syariat Islam
di Indonesia, atau setidaknya memberikan landasan bagi terbentuknya perundang-
undangan nasional yang berdasarkan pada Syariat Islam. Dengan kata lain ada
peluang yang diberikan oleh konstitusi untuk dimanfaatkan umat Islam dalam
pembentukan perundang-undangan nasional yang didasarkan kepada Sya‟riat
Islam sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perudang-undangan
diatasnya.

B. Analisis Hukum Islam


Ada dua sumber hukum yang yang dipakai para ulama dalam menentukan
batas aurat wanita serta inplikasinya dengan hukum memakai Jilbab, yaitu Al-
Qur‟an dan Hadis-hadis Nabi S.A.W. Kedua sumber hukum tersebut ditafsirkan
oleh para ulama masa lalu sebagai perintah untuk menutup aurat bagi wanita
muslimah, akan tetapi para ulama kontemporer memiliki penafsiran yang berbeda
dari para pendahulunya. Ayat pertama ini dipakai oleh para ulama sebagai dasar
dalam menetapkan batas aurat wanita.
Adapun sumber hukum dari hadis (tentang batas aurat wanita) yang
diperdebatkan para ulama diantaranya adalah hadis berikut:79
1. Hadis dari Aisyah r.a., ia berkata:
“Bahwa Asma‟ putri Abu Bakar r.a. datang menemui Rasulullah saw
dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka Rasulullah saw berpaling
enggan melihatnya dan bersabda, “Hai Asma‟, sesungguhnya perempuan jika
telah haid maka tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini” (sambil beliau
menunjuk ke arah wajah dan kedua telapak tangan beliau) (Abu Dawud. kitab al-
Libas,hadis no.4104)

79
Ibid, h. 79-80.
54

2. Hadis dari Abdullah bia Abbas r.a., ia berkata:


“Rasulullah saw membonceng al-Fadhl putra al-Abbas r.a. pada hari an-
Nahr (lebaran Haji) di belakang kendaraan (unta) beliau. Al-Fadhl adalah seorang
pria yang berseri (gagah). Nabi saw berdiri memberi fatwa pada khalayak. Lalu
datang seorang perempuan dari suku Khats‟am, berseri (cantik) dan bertanya
kepada Rasulullah saw. al-Fadhl terus-menerus memandangnya dan kecantikan
wanita itu menakjubkannya, maka Nabi menoleh sedang al-Fadhl melihat kepada
wanita itu, lalu Nabi memalingkan dengan tangan beliau dagu al-Fadhl, beliau
memalingkan wajah al-Fadhl dari pandangan kepada wanita itu. lalu wanita itu
berkata, “Sesungguhnya kewajiban yang ditetapkan Allah atas hamba-hamba-
Nya adalah haji, tetapi saya mendapatkan ayah saya dalam keadaan tua tidak
mampu duduk di atas kendaraan, maka apakah boleh saya menghajikan
untuknya?” Nabi menjawab, “Ya.” (Bukhari, kitab al-Maghazi, hadis no.4048.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Nasa‟i, dan lain-lain)
Hukum Islam bertujuan untuk memudahkan umat dalam melaksanakan
ibadah kepada Allah.Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengatur
hubungan manusia dengan Allah (Hablumminallah), hubungan antarsesama
manusia (Hablumminannas), dan hubungan manusia dengan alam (Hablumminal
„alam). Dalam hubungan itu, Allah menetapkan aturan-aturan hukum yang harus
diikuti, ditaati, dan dipatuhi oleh umat Islam. Aturan hukum itu bertujuan agar
manusia hidup teratur, damai, dan adil. Semua hukum itu telah dijelaskan secara
lengkap dalam Al-Qur‟an. Mulai dari hukum ibadah, pernikahan (munakahat),
Peraturan perdagangan (muamalah), pidana (jinayah), dan lain sebagainya.
Hukum-hukum tersebut bertujuan untuk memudahkan umat dalam melaksanakan
kewajibannya terhadap Allah ataupun hubungannya dengan sesama manusia dan
alam. Hukum-hukum itu ada yang dijelaskan secara perinci dan jelas (qath‟i), ada
pula yang bersifat samar (zhanny). Di sinilah dibutuhkan peran ulama untuk
melakukan penggalian hukum (istimbath al-hukm) dan menjelaskan ayat-ayat
55

ahkam (hukum) itu, sesuai ketentuan Alquran dan Hadis Nabi Muhammad S.A.W.
berdasarkan maksud dan tujuannya (maqashid as-syari‟ah).80
Para ulama fikih dan ushul fikih sepakat bahwa hukum islam diturunkan
untuk kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat Dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan itu berdasarkan penelitian para ahli ushul fikih ada 5
unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokok tersebut
adalah:81
1. Agama (hifzh al-din)
2. Jiwa (hifzh an-nafs)
3. Akal, (hifzh al-`aql)
4. Keturunan (hifzh an-nasb)
5. Harta. (hifzh al-mal)
Kelima hal ini yang selanjutnya lebih dikenal dengan Maqoshid Asyariah
yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan. Kemashlahatan yang akan
dicapai ini terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu 82
1. Dharuriyah adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya
kehidupan manusia, dalam arti apabila dharuriah tidak terwujud, maka
cederalah kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
2. Hajiyah adalah kebutuhan sekunder, dimana bila tidak terwujudkan tidak
sampai mengancam keselamatannya, namun manusia hanya akan
mengalami kesulitan.
3. Tahsiniyah adalah tingkat kebutuhan tersier, yang apabila tidak terpenuhi
tidak mengancam eksistensi dharuriyah dan tidak pula menimbulkan
kesulitan dengan kata lain tingkatan ketiga ini hanya mengacu pada
sesuatu yang memperindah keadaan dan menajdikannya sesuai dengan hak
yang dituntut oleh ahlak yang mulia.
Syariah (“cara” atau “jalan”) sering diartikan sebagai seperangkat standar
yang mengatur semua aspek kehidupan, dari kepatuhan agama, perbankan, hingga

80
Habib Muhsin Syafingi, Internalisasi Nilai-Nilai Hukum Islam Dalam Peraturan
Daerah Syariah di Indonesia, Vol. 7, No. 2, (Juli 2012), h. 141
81
Ibid
82
Ibid
56

tingkah laku sosial yang selayaknya, yang pada intinya bersumber dari Quran,
kitab utama agama Islam, dan hadit, kumpulan peribahasa dan penjelasan tentang
sunah, atau teladan dan aturan normatif, dari Nabi Muhammad S.A.W. Tetapi,
tidak ada penafsiran tunggal atas Syariah di antara umat Muslim di seluruh dunia:
terdapat berbagai perbedaan dalam penafsiran para ahli Islam tentang teladan
kenabian yang mana yang asli dan keabsahan atau kelayakan menerapkan ayat-
ayat tertentu secara harafiah di era modern ini. Pada awal tahun 1999, Pemerintah
Indonesia dan Aceh mengadopsi pendekatan penerapan Syariah yang menekankan
pada tanggung jawab Negara untuk menjamin bahwa semua orang memenuhi
kewajiban agamanya yang berasal dari Islam. Paska pengesahan UU Otonomi
Khusus pada tahun 2001, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan
serangkaian Qanun (“peraturan daerah,” terminologi Arab yang digunakan untuk
memberi ciri khas bagi semua peraturan daerah yang disahkan di Aceh, tidak
hanya terbatas pada peraturan yang terkait dengan Syariah) yang mengatur
tentang pelaksanaan Syariah. Lima (5) qanun disahkan antara tahun 2002-2004
yang berisi hukumann, pidana atas pelanggaran Syariah: Qanun No. 11/2002
tentang penerapan Syariah dalam aspek “kepercayaan (aqidah), ritual (ibadah),
dan penyebaran (syiar) Islam,” yang meliputi persyaratan busana Islami.83
Istilah tentang syariat Islam bukan hal yang langka dan bukan istilah yang
asing di kalangan umat Islam. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan
masih ada sebagian umat Islam yang belum mengerti tentang syarat Islam. Upaya
memperjelas tentang Istilah tersebut dan untuk memberikan penjelasan kepada
pembaca, berikut diuraikan secara detil tentang pengertian syariat Islam:84
1. Etimologi Syariat Secara etimologi istilah syariah berasal bahasa Arab
memiliki arti undang-undang. Selain itu, istilah Syariah juga disebut
Qānūn Islami adalah kode moral dan hukum Islam.
2. Selanjutnya, Syafaul merujuk pada penjelasan Irshad Abdal-Haqq bahwa
para ahli juga menjelaskan bahwa kata syariah berasal dari bahasa Arab
kuno yang berarti jalan yang harus diikuti, atau bagian menuju lubang air.
83
Human Right Watch, Menegakkan Moralitas Pelanggaran dalam Penerapan Syariah
Di Aceh Indonesia, (America: Printed in The United States Of America, 2101), h. 16
84
Sulaiman, Studi Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh: Madani Publisher, 2018), h.1
57

3. Lebih lanjut Syafaul merujuk pada penjelasan Weiss bahwa definisi yang
terakhir berasal dari fakta bahwa jalan menuju air adalah seluruh cara
hidup di lingkungan padang pasir gersang.
Sejalan dengan penjelasan tersebut, mengacu pada penjelasan Azman. Dkk,
setidaknya terdapat tiga istilah penting yang saling berhubungan dengan kata
syariat Islam, yaitu; Syaria‟ah fiqh, Tasyri‟ atau hukum Islam. Selanjutnya,
merujuk pada pendapat Syu,bah dan Kamil Musa, Jaih Mubarak dalam Azman.
Dkk, menjelaskan pengertian syariat Islam secara etimologi berarti al-„utbah
(lekuk-liku lembah), al-„atabah (ambang pintu dan tangga), mawrid al-syaribah
(jalan tempat mencari air munim), dan al-tharaqah al-mustaqimah (jalan yang
lurus). 85
Islam adalah agama rahmatan lil‟alamin dan panduan hidup terhadap umat
manusia. Syariat Islam di dalamnya terdapat pokok-pokok penting yang menjadi
panutan hidup bagi manusia. Muhibbuthabry merujuk pada penjelasan Syaltut,
dan Azyumardi Azra, dkk, bahwa syariat Islam memuat aturan-aturan Allah bagi
umat manusia yang tercermin-paling tidak pada aspek–aspek akidah, ibadah dan
mu‟amalat. 86
Sejalan dengan tiga aspek syariat Islam tersebut Muhibbuthabry
menjelaskan bahwa:87
1. Aspek pertama merupakan aspek yang paling prinsip yang harus dijiwai
oleh manusia sebagai pernyataan sikap dan komitmen terhadap Tuhannya.
2. Aspek kedua adalah realisasi dari sikap dan pernyataan manusia yang
berwujud pada kesediaan untuk melakukan pengabdian kepada Allah
melalui cara-cara atau amaliah yang telah mendapat justifikasinya dalam
syariat.
3. Aspek ketiga mu`amalat merupakan aspek yang paling luas, karena di
dalamnya berisikan tema-tema humanisme, seperti pentingnya
menciptakan rasa kemaslahatan bagi manusia dan perlunya menolak

85
Ibid, h. 2
86
Ibid, h.67
87
Ibid, h. 68
58

kemudaratan atau marabahaya dan tata cara lain yang berwujud pada
interaksi terhadap sesama manusia dan alam sekitarnya.
Pokok-pokok penerapan syariat Islam di provinsi Aceh merujuk pada Qanun
Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. Bab II Ruang
Lingkup, Tujuan Dan Fungsi Pelaksanaan Syariat Islam, Pasal 2 menetapkan:88
1. Syariat Islam mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat dan aparatur di
Aceh yang pelaksanaannya meliputi:
a. Aqidah
b. Syariah
c. Akhlak.
2. Pelaksanaan Syariat Islam bidang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. Ibadah
b. Ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga)
c. Muamalah (hukum perdata)
d. Jinayat (hukum pidana)
e. Qadha‟ (peradilan)
f. Tarbiyah (pendidikan)
g. Pembelaan Islam.
3. Pelaksanaan Syariat Islam bidang Akhlak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. Syiar
b. Dakwah.
Penerapan syariat Islam di provinsi Aceh mulai sejak kebijakan UU tersebut
diberikan oleh pemerintah pusat. Mulai sejak itu, penerapan syariat Islam di
provinsi Aceh telah melahirkan sejumlah qanun. Adapun qanun tersebut sebagai
berikut:89

88
Ibid, h. 71
89
Ibid, h. 86-87
59

1. Peraturan daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan syariat


Islam di provinsi Daerah Istimewa Aceh.
2. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam
3. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam
bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
4. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan
Sejenisnya.
5. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Mesir (Perjudian).
6. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
7. Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
8. Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional Kepolisian
Daerah Nanggroe Aceh Darussalam.
9. Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun.
10. Qanun nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.
11. Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
12. Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam.
13. Qanun Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Yang Berkaitan Dengan Syariat Islam Antara Pemerintahan Aceh Dan
Pemerintahan Kabupaten/Kota.
14. 14. Qanun Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Qanun
Aceh Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Qanun yang mengatur tentang Jilbab adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2002
Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Jilbab masuk dalam Syiar Islam. Dalam hal ini hukum Islam mewajibkan semua
wanita untuk menutup auratnya dengan memakai Jilbab berdasarkan pada hukum
yang tertera dalam Alquran adan Alhadits namun tidak diwajibkan berhijab atau
berjadar. Fungsi dan tujuan dari pemakaian jilbab adalah agar terhindar dari
perbuatan jahat dan nafsu dari para pria. Karena menurut para jumhur ulama
bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali tangan dan wajahnya. Maka
penerapan Qanun pada Aceh sudah sesuai dengan hukum Islam yang di tentukan
60

berdasarakan Alquran dan Alhadits namun setiap penerapan yang baik akan
menimbulkan masalah kedepannya.
Al-Quran dan Al-Hadits adalah sumber hukum utama dalam Islam begitu
juga dengan Qanun Aceh tentang Jilbab atau busana untuk para wanita. Namun
tetap Aceh harus dalam cangkupan hukum Indonesia yaitu UUD 1945. Qanun
Aceh dan Hukum Islam selalu berdampingan namun yang berbeda hanya
penerapan hukuman untuk para pelaku kejahatan. Menurut penelti Qanun Aceh
adalah Qanun yang ditetapkan berdasarkan kepentingan seluruh umat manusia
bukan orang Islam saja begitu juga fungsi Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagai
petunjuk dan pedoman setiap manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan
daerah serta negara yang lebih baik untuk kesejahteran, kemamkmuran dan
keamanan masyarakat.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hasil kesimpulan tentang Analis Dari Per UU Indonesia antara Qanun Aceh
No. 11 Tahun 2002. Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan
Syari’at Islam di Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Maka dari itu Penulis menyimpulkan
Bahwa sesuai dengan keputusan pemerintah Indonesia untuk mengizinkan Aceh
membuat Perda Syariah adalah keputusan yang berdasarkan pemberhentian
konflik dan sudah tepat dikarenakan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh.
Sehingga Qonun Aceh tentang wajib berjilbab tidak bertentangan dengan UUD
karena sudah sinkron dengan aturan yang berlaku dan juga tidak bertentangan
dengan UUD karena prosedur dalam aturan UUD sudah dilaksanakan dengan
baik.

2. Hasil Kesimpulan dari Analisis Hukum Islam tentang Qanun Aceh tentang
Jilbab Qanun yang mengatur tentang Jilbab adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2002
Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Jilbab masuk dalam Syiar Islam. Dalam hal ini hukum Islam mewajibkan semua
wanita untuk menutup auratnya dengan memakai Jilbab berdasarkan pada hukum
yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits namun tidak diwajibkan berhijab
atau bercadar. Fungsi dan tujuan dari pemakaian jilbab adalah agar terhindar dari
perbuatan jahat dan nafsu dari para pria. Karena menurut para jumhur ulama
bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali tangan dan wajahnya. Maka
penerapan Qanun pada Aceh sudah sesuai dengan hukum Islam yang di tentukan
berdasarakan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

61
62

B. SARAN-SARAN

1. Agar lebih melihat kepada adat kebiasaan pada suatu Negara yang mereka
tempati baru membulatkan pendapat dalam Menetapkan.

3. Agar penerapan ini bisa di kembangkan di seluruh wilayah Indonesia


terutama wilayah mayoritas Muslim.
DAFTAR PUSTAKA

Afrizal Nur, “M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, Vol. XVIII, No.
1, (Januari, 2012).
Ahmad“Jihad Menurut Yusuf Qaradhawi”, Jakarta: Skripsi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, 200.
Al-Shairazi. Al- Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Kutub, 2007.
Al-„Araby, Abu Bakar Muhammmad Ibn „Abdillah, Ahkam al-Qur‟an, Mesir:
Al-Halabi. 1958.
Al-Albani, Nasrudin jilbab dan hijab busana wanita Menurut Al-Qur‟an dan
sunnah Nabi, Semarang: CV Toha Putra. 2000.
Al-Andalusy, Muhammad bin Yusuf almashur Abu Hayyan Andalusi, Tafsir
al-Bahr al-Muhith. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah. 2001.
Al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husain ibn Mas‟ud, Tafsir al-Baghawi:
Ma‟alim al-Tanzil, Riyadh: Dar Thayyibah. 1409 H.
Al-Diqr, Abd al-Ghani. Al-Imam al-Syafi‟i: Faqih al-Sunnah al-Akbar.
Damaskus: Dar al-Qalam, 1996.
Al-Husni, Taqiyuddin. Kifayat al-Akhyar. Beirut: Dar al-Kutub al-„Arabiyyah.
t.t.
Al-Jundi, „Abd al-Halim. Al-Imam al-Syafi‟i Nashir al-Sunnah wa Wadhi‟ al-
Ushul. Kairo: Dar al-Ma‟arif, t.t.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Juz.12-13, cet.I,. Lihat juga Tafsir Ma‟alim
al-Tanzil fi Tafsir wa al-Ta‟wil, oleh Abdullah bin Ahmad bin „Ali al-Zaid, Juz
IV.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Beirūt: Dār al-Fikr,
2006.
Al-Mukhit, Juz. VII, Beirūt::Dār al-Kitab al-„Ilmiyah
Al-Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet.VII
Surabaya: Pustaka Progresif, 1997

63
64

Al-Qurthubi, Abdullah Muhammad. Al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an. Beirut: Dar


al-Kutub al-„Aliyah. 1993.
Al-Rafi‟i, Abu al-Qasim „abd al-Karim ibn Muhammad ibn „Abd al-Karim al-
Qazwini al-Syafi‟i. Al-„Aziz Syarh al-Wajiz al-Ma‟ruf bi al-Syarh al-
Kabir. Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyyah. 1997.
Al-Syaasyiy, Haliyat al-'Ulama, juz, 2, (Beirut: Dar al-Kutub, 2005).

Al-Syafi‟i, Muhammad ibn Idris. Al-Umm. T.tp: Dar al-Wafa‟ wa al-Nasyr wa


al-Tauzi‟. 2001.
Al-Syarwani, Abd al-Hamid. Hasyiyah al-Syarwani „ala Tuhfat al-Muhtaj.
.Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Thabari, Muhammad ibn Jarir. Tafsir al-Thabari: Jami‟ al-Bayan „An
Ta‟wil al-Qur‟an. Kairo: Maktabah Ibn Taimiyyah. T.t
Al-Wizaratul Awuaf wa al-Syu‟un. Al-Mawsu‟atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
Kuwait: Wizaratul Awuaf wa al-Syu‟un al-Islamiyyah. 1983.
Al-Zaid, Abudllah bin Ahmad bin „Ali. Tafsir Ma‟alim al-Tanzil fi Tafsir
wa al-Ta‟wi. Beirūt:Dār al-Fikr. 1985.
Amina, Siti h, “Pengaruh Pemikiran Fiqh Yusuf Al-Qardhawi Di Indonesia”,
Vol. V, No. 1, (Maret, 2015).
Anis, Ibrahim, „Abd al-Halim Muntashir, „Athiyyah al-Shawalihi dan
Muhammad Khalafullah Ahmad, Al-Mu‟jam al-Wasith. T.tp: Majma‟ al-
Lughah al-„Arabiyyah-Maktabah al-Syuruq al-Dauliyyah. 2004.
Anwar, Saefudin. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Ardiansyah, Konsep Aurat Menurut Ulama, Vol 16, No.2, (2014).
Ash-Shabuny, Muhammad Ali, Cahaya Al-Qur‟an, Tafsir Tematik Surat An-
Nur-Fathir, (terj.) Munirul Abidin, MA, dari judul Qabasun min Nuril
Qur‟anil Karim, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002, cet. I, vol. 5.
Asy Syafi‟i, Imam, Mawqi‟ Ya‟sub, Kitab Al Ummcet 1, Al Majmu‟, Yahya
bin Syarf An Nawawi, Mawqi‟ Ya‟sub
65

Badi, Husna, , Identitas Sosial Pengguna Jilbab Dalam Kelompok Mahasiswi,


Inkafa, Rohis Universitas Brawijaya dan Komunitas Hijaber Malang, 5
Mei 2015.
Basori, Jilbab, Hijab dan Aurat Perempuan, (Antara Tafsir Kontemprer dan
Pandangan Muslim Feminis), Vol. 3, No. 1, (Maret 2013).

Fachrudin, Fuad, Mohd, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam,
Jakarta: CV pedoman ilmu jaya, 1991.
http://www.nu.or.id/post/read/67452/hukum-memakai-cadar, Diakses pada:
15-01-2018
http://www.nu.or.id/post/read/67452/hukum-memakai-cadar, Diakses pada
15-01-2018
https://www.alfachriyah.org/artikel-wanita-solehah/definisi-dan-batasan-
batasan-aurat-menurut-para-ulama-fiqih, Diakses pada: 14-01-2018
Husein Shahab, jilbab menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Bandung: Mizan,
2002.
Jasmani, Hijab dan Jilbab Menurut Hukum Fikih, Vol.6, No. 2, Juli, (2013).
Moelong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2001.
Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul
Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, cet. I.
Mukhlisin, Al-Ustadz Nurul, Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi‟I,
Jakarta: http://dear.to/abusalma, 14 April 2007.
Mutawalli, Sya‟rawi, Muhammad, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul
Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Najitam, Fikriaa, Fiqh Jilbab (Membaca Dinamika Jilbab Dalam Hukum
Islam), (Yogyakarta: Jurnal Mahasiswa S3 Program Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen STAI Nahdltul Ulama (STAINU)
Kebumen
Nawawi, Hadi. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada
University. 1998.
66

Nizar, M.. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1998.


Patriarkhi adalah suatu sitem yang ada di masyarakat, dimana semua hal
berpusat pada laki-laki dan lebih dominan dalam hal apapun. Perempuan
disubordinat/ second class
Qordhowi, Yusuf, Larangan Berjilbab, Studi Kasus di Perancis. terj. Abdul
Hayyi al-Katanie, Jakarta: Gamma Insami, 2004.
Ridwan, Muhammad, Kamus Ilmiah Populer, Jakarta: Pustaka Indonesia1999
Saropah, Faisal. Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
1994.
Sarwono, Jonathan. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Yogyakarta: Graha Ilmu. 2006.
Shihab, M.Quraish, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Jakarta: Lentera Hati,
2004.
Sholihun, Saiful, Amien, “Menyorot Aurat dan Jilbab,” dalam Ijtihad islam
liberal: Upaya Merumuskan Keberagaman Yang Dinamis (Jakarta:
Jaringan Islam Libera JIL, 2005.
Surahmah, Winarno. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3S. 1993.
Sya‟ra, Muhammad Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-Mar‟ah
al-Muslimah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet. I.
Thohari , Chamim, Konstruks Pemikiran Quraish Shihab Tentang Hukum
Jilbab (Kajian Hermeneutika Kritis, Vol. 14, No. 1, (Januari-Juni 2011.
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Ter. Drs.As‟adYasin, Jakarta:
GIP, 1995.
Yusuf, Dr. Qaradhawi, , Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terj. Drs. As‟ad Yasin),
Jakarta: GIP, 1995.
Zahrah, Abu, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyyah. Kairo: Dar al-Fikr, t.t.
Zahrah, Muhammad Abu. Al-Syafi‟i: Hayatuh wa „Ashruh-„Arauh wa Fiqhuh.
Kairo: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1978.
Zarkasyi, Ahmad, Nikah Muhalil Menurut Imam Hanafi, Riau: Skripsi
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, 2011, t.d, Dian Dwi Ok
Putra, Hukuman Bagi Pelaku Tindak Pidana Bughat (Studi Komperatif
67

Antara Imam Syafi‟I dan Imam Abu Hanifah, Riau: Skripsi Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, 2011,t.d. , “Pluralisme Agama Dan
Toleransi Dalam Islam Perspektif Yusuf Al-Qaradhawi”, Vol. 4, No. 2,
Oktober, 201.

Anda mungkin juga menyukai