11 TAHUN 2002
SYIAR ISLAM
Skripsi
Oleh :
M. Farid Wajdi Gumilang
1112043100020
Kesimpulan dari skripsi ini adalah. 1.Hasil kesimpulan tentang Analis Dari
Per UU Indonesia antara Qanun Aceh No. 11 Tahun 2002. Dasar hukum dan
pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh,. Maka dari itu
Penulis menyimpulkan Bahwa sesuai dengan keputusan pemerintah Indonesia
untuk mengizinkan Aceh membuat Perda Syariah adalah keputusan yang
berdasarkan pemberhentian konflik dan sudah tepat dikarenakan untuk
kesejahteraan masyarakat Aceh. Sehingga Qonun Aceh tentang wajib berjilbab
tidak bertentangan dengan UUD karena sudah sinkron dengan aturan yang berlaku
dan juga tidak bertentangan dengan UUD karena prosedur dalam aturan UUD
sudah dilaksanakan dengan baik.
2. Hasil Kesimpulan dari Analisis Hukum Islam tentang Qanun Aceh tentang
Jilbab Qanun yang mengatur tentang Jilbab adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2002
Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Jilbab masuk dalam Syiar Islam. Dalam hal ini hukum Islam mewajibkan semua
wanita untuk menutup auratnya dengan memakai Jilbab berdasarkan pada hukum
yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits namun tidak diwajibkan berhijab
atau bercadar. Fungsi dan tujuan dari pemakaian jilbab adalah agar terhindar dari
perbuatan jahat dan nafsu dari para pria. Karena menurut para jumhur ulama
bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali tangan dan wajahnya. Maka
penerapan Qanun pada Aceh sudah sesuai dengan hukum Islam yang di tentukan
berdasarakan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT. Rabb semesta alam, yang telah memberikan limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya kepada penulis,
terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘âlamin. Sesungguhnya hanya dengan
pertolongan-Nya lah akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat
beriringan salam disampaikan kepada baginda Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan
para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia.
Skripsi ini merupakan hasil dan upaya yang maksimal dari penulis. Dalam proses
penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat
terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun
materil, khususnya kepada:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan
III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Abah Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab
beserta Bapak Hidayatulloh, M.H. Sekertaris Program Studi Perbandingan Mazhab
yang telah banyak memberikan ilmu, pengalaman serta motivasi dan solusi kepada
penulis dalam kepentingan akademik maupun sosial.
3. Bu Dewi Sukarti, M.A. dan Bu Hotnidah Nasution M.Ag. sebagai dosen pembimbing
skripsi penulis yang telah sabar dan terus memberikan arahan, saran dan ilmunya
untuk membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini dengan sungguh-
sungguh dan penuh kecintaan.
4. Bu Dr. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag. Sebagai dosen penasehat akademik penulis yang
telah sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam
merumuskan desain judul skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan berbagai macam
disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang sangat berarti bagi perkembangan
pemikiran dan wawasan yang luas bagi penulis.
v
6. Segenap bagian administrasi dan tata usaha serta pengelola perpustakaan utama dan
perpustakaan Fakultas Syarian dan Hukum, sekaligus kepada seluruh staf dan
karyawan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan pelayanan secara
maksimal.
7. Teristimewa dan tersayang untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Ir. H. Ahmad
Akhmad Sanusi M.Pd. dan Dra. Hj. Siti Munajat S.Pd.I yang telah memberikan cinta
dan kasih sayangnya, memberikan dukungan secara formil dan materil dengan tak
pernah jenuh dan tanpa menyrerah untuk memberikan dukungan serta tak henti-
hentinya mendoakan penulis dalam menempuh pendidikan, serta saudara kandung
penulis yang telah memberikan dukungan baik dukungan spiritual maupun moril
dengan segenap hati yang tulus dan ikhlas.
8. Sahabat-sahabat seperjuangan Afif Arrahman, Ilham Fuadi, Adib Mubaroki, Fajri,
Rendi Prihartono . Yang telah memmberikan support selama berproses selama jadi
mahasiswa di UIN Syarief Hidayatullah.
9. Kawan-kawan seperjuangan di Program Studi Perbandingan Mazhab angkatan 2012
yang selalu membantu, mendukung dan menemani selama proses pendidikan strata
(S1) dari awal perkuliahan sampai akhir.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, pembaca pada umumnya
serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah SWT., Aamiin.
vi
.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK ..............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
vii
.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................61
B. Saran-saran .....................................................................................62
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Patriarkhi adalah suatu sitem yang ada di masyarakat, dimana semua hal berpusat pada
laki-laki dan lebih dominan dalam hal apapun. Perempuan disubordinat/second class.
2
Hal tersebut di atas merupakan kandungan dari QS. Al-Ahzab (33): 59 yang
terjemahannya adalah “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa. Itulah
yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,
Mudah- mudahan mereka selalu ingat”.
3
Saiful Amien Sholihun, “Menyorot Aurat dan Jilbab,” dalam Ijtihad Islam liberal:
Upaya Merumuskan Keberagaman Yang Dinamis (Jakarta: Jaringan Islam Libera (JIL), 2005), h.
135.
4
Ashghar Ali Enginerr, Pembebasan Perempuan, terj. Agus Nuryanto, (Yogyakarta:
LKiS, 2003), h. 83
5
Nasrudin Al-Bani, Jilbab dan Hijab Busana Wanita Menurut Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi, (Semarang: CV Toha Putra. 2000). h. 34
6
Abu Syuqqah, Busana dan Perhiasan Wanita Menurut al-Qur’an dan Hadits, (Bandung:
Mizan: 1998), h. 20. Hal tersebut merupakan cerminan dari hukum Islam yang sejatinya adalah
untuk menjamin terwujudnya kemaslahatan dalam kehidupan manusia, khususnya kaum
muslimah. Jilbab sebagai salah satu pakaian khas perempuan Islam mengindikasikan ajaran Islam
yang luhur dan mulia untuk menciptakan peradaban manusia yang bermartabat dan terhormat dari
sisi pakaian yang dikenakannya. Lihat Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan,
1994), h. 249
1
2
8
http://www.lintasnasional.com/2016/02/24/mendagri-sebut-perda-jilbab-aceh-melanggar-
ham-harus-dicabut di akse pada tanggal 20 januari 2019 pada pukul 08:30 WIB
5
9
Moh. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 213.
10
Jonathan Sarwono, Metodologi Penelitan Kuantitatif dan Kualitatif
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 123.
11
Winarno Surahmah, Metode Penelitian Survey (Jakarta: LP3S, 1993), h. 139.
7
sumber penelitian yang diperoleh dari kelompok subyek yang diteliti dan tidak
dimaksudkan pengujian hipotesis.12
E. Tinjauan Penelitian Terdahulu yang Relevan
Pernah ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Jilbab Muslimah
Perspektif Abu A’la Al Maududi dan Yusuf Al Qardhawi”yang disusun oleh Riki
Solpan, yang telah dipertahankan dalam persyaratan untuk mendapatkan gelar
Sarjana Ilmu Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
pada tahun 2009. Penelitian ini fokus membahas mengenai pendapat Jilbab
Muslimah Perspektif Abu A’la Al Maududi dan Yusuf Al Qardhawi.
Selanjutnya pernah juga ada yang meneliti Tentang Konsep Jilbab
dalam Hukum Islam (Studi Perbandingan K.H Husen Muhammad) yang
disusun oleh Qoidud Dual yang telah dipertahankan untuk mendapatkan gelar
sarjana Ilmu Hukum Islam Universitas Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta pada
tahun 2009. Peneltian ini lebih fokus dengan Jilbab Qanun Aceh tentang
penerapan Syariat dan sinkronisasi dengan UUD.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017” dengan
sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa
sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai
berikut:
BAB I Merupakan pendahuluan yang terdiri enam sub bab yang membahas
tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah dan Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Penelitian
Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II Pengertian Jilbab , Pada bab ini Penulis akan membahas mengenai
HAM tentang pakaian.
BAB III Peraturan Qanun Aceh. Penetapan Pemerintah Tentang Qanun Aceh
BAB IV Analisis Penetapan Hukum UUD dan Qonun Aceh Tentang Wajib
Menggunakan Jilbab, dalam hal ini penulis membahas mengenai
12
Saefudin Anwar, Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),
h. 126.
8
KAJIAN TEORITIS
A. Pengertian Jilbab
misalnya, Jilbāb itu adalah اyaitu ”” (pakain yang menutupi semua tubuh), atau
dengan redaksi lain “ (pakain luar yang digunakan diatas pakain rumah seperti
selimut), atau “Pakain luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh
wanita).
Mufassir dalam menafsirkan surat al-Ahzāb ayat 59, mereka merumuskan
tentang jilbāb dengan rumusan yang berbeda-beda. Abu Ja‟far Muhammad bin
Jarir al-Thabari (224-310 H) contohnya dalam tafsir Jāmi‟ al-Bayān yang ia
mengambi dari pendapat sebahagian ulama dan dari hadits rasul dari Ibnu „Abbās,
mengatakan bahwa: “Jilbāb itu adalah pakaian yang terletak di atas kepala dan
15
Dalam al-qur‟an istilah dari jilbab itu adalah hijab (surat al-ahzab ayat 53) istilāh lain adalah al-
Khumūr, terdapat dalam (Surat al-Nūr ayat 31) Khimār adalah Pakain yang menutup kepala,
jama‟nya Khumūr, lihat kitab al-Muwatha‟ jilid I, oleh Malik bin Anas (Dubai : Maktabah al-
Furqan, 2003) h.543
9
10
menutup muka kecuali yang nampak satu mata. Hadits lain dari Ibnu „Aun lebih
tegas mengemukakan bahwa Jilbāb itu adalah ( السداءpakaian)16
Tafsir al-Jāmi‟ li Ahkām al-Qur‟an (Tafsir al-Qurthūbiy), al-Qurtūby
(600-671.H/1204-1273.M) menjelaskan bahwa “Jilbāb itu pakain perempuan yang
ukurannya lebihbesar dari Khimār, Ibnu „Abbās dan Ibnu Mas‟ūd meriwayatkan
bahwa jilbāb itu adalah ( السداءselendang). Pendapat lain, jilbāb adalah “ “ القناع
(Kerudung kepala wanita atau cadar).17
pendapat lain yang mengatakan bahwa Jilbāb itu adalah pakaian yang
menutupi secara keseluruhan sehingga perempuan itu merasa gelap seperti malam
hari. Ikrimah mengatakan bahwa: “Jilbāb itu bentuknya adalah adanya pertemuan
sudut atau sisi-sisi Jilbāb dengan lainnya, namun pertemuan sisi-sisi tersebut tidak
kelihatan”.
Abu „Ubaidah al-Salmāniy ketika ditanya tentang Jilbāb, ia mengatakan,
bahwa: : “Jilbab itu berbentuk selendang (al-Rida‟) yang terletak diatas alis mata
kemudian diputar sehingga posinya berada diatas hidung perempuan”. 18
Menurut Ibnu Katsir (7 00-774 H) dalam tafsir al-Qur‟an al-„Azim
menjelaskan, bahwa: “Jilbāb itu adalah (pakaian wanita yang terletak diatas
khimār). Defenisi ini juga sama dengan apa yang dikatakan Ibnu Mas‟ūd,
Ubaidah, Qatādah, Hasan Basri, Sa‟id bin Jubair,Ibrahim an-Nakha‟i dan „Ata‟ al-
Kharsani serta lainnya.
Kemudian ada juga pendapat lain, jilbāb itu seperti ( )االءزاpakaian yang
dipergunakan sehari-hari Tetapi Jauhari mengatakan, jilbāb itu sama dengan
Milhafah (mantel atau selimut). Al-Marāghi (1883-1952 M) dalam tafsirnya
mengatakan bahwa jalabib itu bentuk mufradnya adalah jilbāb. Kemudia ia
merumuskan bahwa defenisi jilbāb itu adalah:(زpakaian luar yang menutupi
16
Ahmad Warson al-Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet.VII (Surabaya:
Pustaka
Progresif, 1997), h. 490.
17
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurtubi, al-Jāmi li Ahkāmil al-
Qur‟an(Tafsir al-Qurtūbi) Juz.13, cet.I, (Beirūt: Dār al-Kitāb al-„Arābi 1997), h. 217
18
Muhammad bin Yusuf almashur Abu Hayyan Andalusi, tafsir al-Bahru Al-Mukhit, Juz.
VII, (Beirūt::Dār al-Kitab al-„Ilmiyah, 2001), h. 240.
11
seluruh tubuh wanita yangposisinya terletak diatas pakaian rumah dan diatas
khimār, ).19
Tafsir ini juga dikemukan tentang hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin
Talhah dari Ibnu „Abbās, ia mengatakan, bahwa: “Jilbāb itu adalah pakaian yang
menutup seluruh badan wanita, bahkan muka sekalipun kecualisatu mata yang
kelihatan”.20
B. Dasar Hukum Jilbab menurut Al-Qur’an dan Hadist
Ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadist, pengalaman ,dan pembenaran Nabi
Muhammad Saw.(as-sunnah),kesemuanya turun dan terjadi dalam satu masyrakat
yang memiliki budayanya. Itu sebabnya para ulama berpesan kepada yang
bermaksud memahami kandungan dan pesan-pesan ayat al-qur‟an dan sunnah
bahwa di samping ilmu bahasa arab dan kaidah-kaidah keagamaan yang harus di
kuasai oleh mereka yang hendak mentapkan hukum,atau memahami pesan kedua
sumber ajaran agama islam itu,mereka juga hendaknya budaya masyarakat,
sejarah Nabi Muhammad Saw..
Ayat pertama yang menjadi dasar dalam penetapan aurat wanita dalam
firman Allah SWT dalam QS.al-ahzab (33):5321
19
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz.12-13, cet.I, (Beirūt: Dār al-Fikr,
2006), h. 23. Lihat juga Tafsir Ma‟alim al-Tanzil fi Tafsir wa al-Ta‟wil, oleh Abdullah bin Ahmad
bin „Ali al-Zaid, Juz IV, (Beirūt:Dār al-Fikr, 1985), h. 488
20
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Juz.12-13, cet.I, h. 23. Lihat juga Tafsir Ma‟alim al-
Tanzil fi Tafsir wa al-Ta‟wil, oleh Abdullah bin Ahmad bin „Ali al-Zaid, Juz IV, h. 24
21
Departemen Agama RI. 2008. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro
12
22
Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-
Mar‟ah al-Muslimah, ( Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), cet. I, hal. 50
23
Departemen Agama RI. 2008. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro
24
Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul Fiqh al-
Mar‟ah al-Muslimah, cet. I, h,. 51-52.
14
Ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib
menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi
menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi‟in sebagaimana yang tampak
jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak
daripadanya.” 25
25
Dr. Yusuf Qaradhawi , Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Drs. As‟ad Yasin), (Jakarta:
GIP, 1995), hal. 431-436.
26
M.Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004) ,
h. 175-176
15
َصلُ ْح أَنْ ُّ َسٍ ِم ْن َيا إِ ََّّل َى َرا ًَ َى َرا َ س َما ُء إِنَّ ا ْل َم ْسأَةَ إِ َذا بَلَ َغتْ ا ْل َم ِح
ْ ْض لَ ْم ت ْ َََُ ا أ
َ شة َ َاز إِلََ ًَ ْج ِي ِو ًَ َمفَّ ْْ ِو قَا َل أَبٌُ دَا ًُد َى َرا ُم ْس
َ ِس ٌل َخالِ ُد بْهُ د َُز ّْ ٍل لَ ْم ُّ ْد ِزكْ عَائ َ ًَأَش
َّ َِ ض
َّللاُ َع ْن َيا ِ َز
Artinya: “Wahai Asma‟, wanita yang sudah haid harus menutupi seluruh
tubuhnya, kecuali ini dan ini‟ sambil menunjuk wajah dan kedua telapak
tangannya.” (HR. Abu Dawud).27
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa aurat wanita yang sudah
baligh ialah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan. Hadits ini
dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani, seorang ulama ahli hadits yang otoritas
ilmunya tidak diragukan lagi.
Selain itu, ada hadits juga yang menunjukkan bahwa wanita pada zaman
Nabi berhasrat untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama mereka dengan
benar. Yakni, suatu hari istri Ibrahim bin Abdurrahman bin „Auf bertanya kepada
Ummu Salamah, “Aku sering berjalan di tempat-tempat kotor. Bagaimana
mungkin aku memanjangkan pakaianku?” Ummu salamah menjawab, “Rasulullah
bersabda:
Artinya: „Pakaian itu akan dibersihkan oleh apa yang mengenainya setelah
kotoran itu.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, dan Ad-
Darimi).
27
Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam tahqiqnya terhadap kitab Misykatul Mashabih,
karya At-Tabrizi, dalam Maktabah Asy-Syamilah. Dalam kitab Shahih at-Targhib wa at-Tarhib,
hadits ini dinilai hasan lighairihi oleh Al-Albani.
16
Sekali lagi, dua petunjuk Nabi tersebut menyimpulkan bahwa wanita harus
menutupi tubuh bagian atasnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sementara
tubuh bagian bawahnya sama sekali tidak boleh terlihat.
baru yang lebih longgar dari pada pandangan mayoritas ulama. Memikirkan
bukan menganjurkan untuk menerapkannya karena betapapun seperti tulis imam
al-Qurtubi, sebagaimana akan penulis kutip selengkapnya nanti memakai Jilbab
dengan hanya membuka wajah dan tangan adalah pandangan yang baik untuk
menjaga kehati-hatian.28
Pesan kedua sumber ajaran agama Islam itu, hendaknya mereka juga
memahami buday masyarakat, sejarah Nabi Muhammad S.a.w. serta sebab-sebab
turunnya satu ayat, atau tercetusnya ucapan dan sikap Nabi Muhammad S.a.w.
28
M.Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, , h. 64-66.
18
29
Departemen Agama RI. 2008. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro
19
Para ulama perpandangan bahwa seluruh badan wanita aurat walau wajah
dan tangannya memahami kata hijab dalam arti tabir. Namun mereka
berkesimpulan bahwa tujuannya adalah tertutupnya seluruh badan mereka
ini,karena tabir menutupi serta menghalangi terlihatnya sesuatu yang berada di
belakangnya. Pakar tafsir Al-Jashshash misalnya menulis bahwa.”Ayat ini
menunjukkan bahwa Allah telah mengizinkan untuk meminta kepada mereka
(istri-istriNabi) dari belakang tabir menyangkut suatu hajat yang di butuhkan atau
untuk mengajukan suatu pertanyaan yang memerlukan jawaban. Perempuan
semuanya aurat badannya dan bentuknya maka tidak boleh membukanya kecuali
bila dalam keadaan darurat atau kebutuhan seperti untuk menyampaikan
persaksian atau karena adanya penyakit di badannya (dalam rangka pengobatan).31
Wanita pada masa jahiliyah seperti yang terjadi pada masa modern saat ini
berjalan di hadapan laki-laki dengan membuka dada, atau dadanya sengaja
diperlihatkan untuk menunjukkan keindahan tubuh dan rambutnya untuk menarik
laki-laki. Mereka memakai kerudung pada bagian belakang, sementara dada
mereka tetap terbuka lebar. Maka dari itu, wanita-wanita mukminat diperintahkan
30
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakain Wanita Muslimah, h. 74.
31
Abu BakarMuhammmadIbn „Abdillah, Ibn Al-Arabyahkam al-Qur‟an, Mesir, al-Halabi,
cet. I, 1958, Jilid III, h.1567.
20
oleh Allah agar menutupi dada mereka dengan kerudung hingga dada mereka
tertutup rapat agar terjaga dari tangan-tangan jahil.32
a. Pemilik hak;
32
Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur‟an, Tafsir Tematik Surat An-Nur-Fathir,
(terj.) Munirul Abidin, MA, dari judul Qabasun min Nuril Qur‟anil Karim, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2002), cet. I, vol. 5, h. 42.
33
Suryadi Radjab, Dasar-dasar Hak Asasi Manusia , PBHI, Jakarta , 2002, hlm. 7,
21
kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya.
Karena itu ketika seseorang menuntut hak juga harus melakukan kewajiban.
John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang
diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya.
Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan
manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam
kehidupan manusia.
36
Mochtar Kasumatmaja dan Ety R Agoes, Hlm, 144-145
37
Jawahir Tantowi dan Pramoto Iskandar. Pengantar Hukum Internasional, Universitas
Indonesia ( UI-Press) Jakarta hlm, 64
23
30
Kamarusdiana, Qanun Jinayat Aceh Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia, Vol. XVI,
No. 2, (Juli 2016), h. 151.
31
Ibid, h. 1-2.
24
25
segala yang berbuat khianat akan segala raja-raja tak dapat tiada datang jua ke
atas mereka itu murka Allah Ta’ala fadhihat, hubaya-hubaya hal segala hamba
Allah, jangan kamu berbuat khianat akan segala raja-raja, tak dapat tiada pekerjaan
yang demikian itu dinyatakanAllah Ta’ala juga kepadanya.
Pada tanggal 9 Agustus 2001, Presiden Megawati Soekarno Putri
menandatangani UU Nomor 18 Tahun 2001, yang lebih dikenal dengan UU Otonomi
Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Terlepas dari plus minusnya UU tersebut, yang
terpenting mengenai penerapan syariat Islam adalah membenarkan pembentukan
Mahkamah Syar`iyah baik pada tingkat rendah (Sagoe) atau pun tingkat tinggi
(Nanggroe) yang wewenangnya dapat meliputi seluruh bidang syariat yang berkaitan
dengan peradilan. Untuk penerpan UU tersebut, sudah ditetapkan Qanun Nomor 43
Tahun 2001 Tentang Perubahan Pertama atas Qanun Nomor 3 Tahun 2000 Tentang
Pembentukan Oraganisasi dan Tatakerja MPU, Qanun Nomor 33 Tahun 2001
Tentang Pembentukan Susunan dan Tatakerja Dinas Syariat Islam Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam.
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah,
Ibadah dan Syi`ar Islam, dan Qanun Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan. 32
Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di
Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan: 33
1) Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan
Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
32
Amran Suadi, dan Mardi Candra, Politik Hukum Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam
Serta Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 418
33
Marzuki Abubakar, “Syariat Islam Di Aceh Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan
Beragama”, Vol. XIII, No. 1, (Januari-Juni 2011), h. 102.
26
34
Ibid
35
http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/P_ACEH_11_2002.pdf, Diakses pada: 12-07-
2018.
27
nilai Ibadah dan mengagungkan pelaksanaan Syariat Islam ialah bagaimana setiap
masyarakat baik instasi pemerintah wajib berbusana muslim baik itu wanita ataupun
pria. Seperti yang dikatakan bapak Farian: 36
Syi’ar Islam ada namanya razia tertib berbusana muslim, masyarkat yang melewati
jalan dan razia tertip busana muslim dilakukan dengan tim gabungan. Mengenai lokasi
razia ,itu ditentukan oleh Wilayatul Hisbah(WH) sendiri yang sesuka hati mereka
memilih lokasi.”
Penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa penerapan Qanun Nomor 11
Tahun 2002 tentang Syi’ar Islam belum terlaksana secara kaffah itu ditandai tidak
adanya kepastian dimana dan kapan saat melakukan aksi tentang penerapan Qanun ini.
37
36
Rozi Ramanda, Penerapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar
Islam di Kebupaten Aceh Barat Tahun 2013-2016, Vol. 5, No. 1. (April 2018), h. 5.
37
Ibid.
38
Muhibbuthabry, Kelembangaan Wilayat Al-Hisbah Dalam Konteks Penerapan Syariat Islam
Di Provinsi Aceh, Vol. II, No. 2, (Mei 2014), h. 64-65.
28
Menjelaskan bahwa perda Aceh tentang jilbab tertuang dalam Qanun Provinisi
Nanggroe Aceh Darussalam yaitu pada Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan
Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar Islam. Didalam Qanun Nomor 11
Tahun 2002 dalam Bab I menjelaskan bahwa syi`ar Islam adalah semua kegiatan yang
mengandung nilai-nilai ibadah untuk menyemarakan dan mengagungkan pelakasanaan
ajaran Islam. Lalu dalam Bab V Tentang Penyelenggaraan Syi`ar Islam yang jilbab
adalah salah satu dalam syi`ar Islam yang berada dalam Nanggroe Aceh Darussalam
maka, dalam pasal 13 Bab V pada Ayat 1 dan 2 adalah, Setiap orang Islam wajib
berbusana Islami dan Pimpinan institusi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha
dan atau intitusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.
Pernyataan dapat dijawab bila kita cermati kandungan makna pasal 29 UUD
1945 ayat 2 dimana negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Kata ”Menjamin” dalam pasal 29 UUD 1945 jelas bermakna imperatif. Artinya, Negara
berkewajiban melaksanakan upaya-upaya agar tiap penduduk memeluk agama dan
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Keaktifan Negara di sini adalah
memberikan jaminan bagaimana penduduk dapat memeluk dan menjalankan agamanya
Dalam konteks syariat Islam di Aceh Negara bukan hanya berperan memfasilitasi
kehidupan keagamaan, tetapi juga terlibat mendesai formulasi-formulasi hukum yang
bersumber pada ajaran agama Islam melalui kegiatan legislasinya. Keikut sertaan
Negara dalam menjalankan syariat Islam di Aceh sebagai kewajiban konstitusional.39
Pengakuan lebih lanjut terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh dalam
konteks hukum Negara terdapat UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dalam undang-undang ini syariat Islam sudah menjadi hukum nasional, baik dalam
proses penyusunan materi hukum, kelembagaan dan aparatur penagak hukum, maupun
peningkatan kesadaran akan hukum syariat. Pengaturan tentang Qanun yang bernuasan
syariat, Mahkamah Syariah, Kejaksaan, Kepolisian, Polisi Wilayatul Hisbah dan
berbagai pengaturan lainnya tentang syariat menandakan Undang-undang No 11 tahun
2006 sebagai payung hukum pelaksanaan syariat Islam di Aceh.Undang-undang No. 11
Tahun 2006 menghendaki adanya sejumlah peraturan perundang-undangan organik
lainnya, terutama Qanun Aceh dalam rangka melaksanakan syariat Islam. Qanun
39
Hasan Basri, Kedudukan Syariat Islam Di Aceh Dalam Sistem Hukum Indonesia, Vol. XIII,
No. 55, (Desember 2011), h. 88.
29
Untuk melihat penerapan syariat Islam di suatu negeri dalam lintasan sejarah,
ternyata bahwa tidak ada negeri yang telah dimasuki Islam yang tidak menerapkan
syariat Islam. Ukuran ada tidaknya Islam di suatu negeri terdahulu dapat dilihat dari
gambaran sistem hukum yang berlaku di negeri itu. Jika sistem hukum yang
dipergunakan berupa hukum syariat, berarti Islam pernah hidup, tumbuh dan
berkembang di negeri itu dan sebaliknya. Demikian halnya tentang ada tidaknya
penerapan syariat Islam di Indonesia seperti yang hidup dan berlaku pada berbagai
kerajaan Islam di Nusantara masa dahulu. Dalam catatan sejarah, Islam Masuk ke
Indonesia sejak abad pertama hijriah, tidak jauh berbeda dengan negeri-negeri lainnya
seperti Spanyol di Eropa. Dan disebutkan daerah pertama yang dimasuki Islam adalah
wilayah pesisir pantai Sumatera, lebih tepatnya kota Barus. Daerah ini adalah pintu
gerbang masuknya Islam ke bumi Nusantara. Dan dari sini Islam terus menyebar ke
40
Ibid, h. 89.
41
Rozi Ramanda, Penerapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Aqidah, Ibadah dan Syi`ar
Islam, h. 2
30
berbagai pulau seperti Jawa, Kalimantan dan seterusnya ke bagian Timur Indonesia.
Bahkan Islamlah yang pertama kali masuk di Irian Jaya (daerah Fakfak) sebelum
masuknya zending Kristen yang dibawa oleh Kolonial Belanda. Di antara data historis
yang memberikan informasi tentang penerapan syariat Islam di Nusantara tergambar
dari penjelasan Ibn Bathutah yang menyatakan bahwa, penerapan syariat Islam sudah
berlangsung jauh sebelum kedatangan penjajah kolonial ke Indonesia.42
Kedatangan kolonial ke Indonesia secara bertahap menghapuskan syariat Islam
dan kemudian menggantikannya dengan sistem hukum Belanda. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa penerapan syariat Islam di Nusantara mempunyai akar sejarah
yang kuat, bahkan dari rentangan waktunya jauh mendahului sejarah hukum Eropa itu
sendiri. Dalam konteks ini, jika dalam perkembangan dan perjalanan bangsa Indonesia
muncul kembali tuntutan untuk menerapkan syariat Islam, bukanlah hal yang baru dan
tanpa ada landasan historisnya. Bagi daerah Istimewa Aceh dan Rakyat Nanggroe Aceh
Darussalam pada umumnya, masalah penerapan syariat Islam bukan merupakan
persoalan yang baru, karena sejak abad VII H agama Islam telah masuk ke Aceh dan
telah tumbuh menjadi kerajaan Islam dan berkembang sampai abad XIV M. Hal itu
sejalan dengan yang dikemukakan oleh Daud Ali, bahwa “Dari penelitian sejarah,
Hukum Islam (syariat Islam) telah ada di Indonesia sejak bermukimnya orang-orang
Islam di Indonesia”. Dengan kata lain, keberadaan syariat Islam di Acehbersamaan
waktunya dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.
Meskipun ada di antara para ahli yang berpendapat bahwa masuknya Islam ke
Indonesia dari Arab, namun pada umumnya para ahli sejarah mengatakan bahwa
“masuknya Islam ke Indonesia bukan dari pusat lahirnya Agama Islam (Timur Tengah),
tetapi melalui Gujarat India” 43
Berbagai catatan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia
menyebutkan bahwa kerajaan Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Kerajaan ini berdiri sejak Raja Rajendra I dari India tidak berhasil menundukkan daerah
itu. Ketika raja Rajendra kehilangan dukungan dari penduduk setempat yang
menyebabkan kekalahannya, maka Malik al-Shalih menduduki tahta kerajaan. Malik al-
Shalih adalah raja yang pertama kali sebagai penguasa yang beragama Islam menduduki
42
Muhibbuthabry, Kelembangaan Wilayat Al-Hisbah Dalam Konteks Penerapan Syariat Islam
Di Provinsi Aceh, h. 67.
43
Ibid, h. 67-68.
31
Dua tahun setelah kunjungan Soekarno ke Aceh yang bertepatan dengan tanggal
17 Desember 1949 Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) mengumumkan
pembentukan Provinsi Aceh dan Daud Beureu’eh sebagai gubernurnya. Tetapi belum
genap setahun Pemerintahan Aceh berjalan, kebijakan Pemerintah Pusat kembali
berubah pada tahun 1950 Provinsi Aceh dilebur dan disatukan kedalam Provinsi
Sumatera Utara dan dijadikan keresidenan Aceh. Bagi para pejuang Aceh, dengan
44
Ibid, h. 68.
45
Ali Geno Berutu, Penerapan Syariat Islam Dalam Lintas Sejarah, Vol. 13, No. 2,
(November 2016), h. 167-168.
32
dijadikannya Aceh sebagai keresidenan, para pejuang tersebut merasa kecewa dan
menimbulkan kemarahan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan juga syariat Islam
yang dijanjikan tidak pernah direalisasikan oleh pusat (Jakarta). Masyarakat Aceh
bergejolak dan menutut dikembalikannya provinsi Aceh. 46
Kemerdekaan NKRI pada tahun 1945. Pada bulan Mei Tahun 1959 Pemerintah Pusat
mengutus Mr. Hardi untuk membawa misi perdamaian untuk Aceh. Komisi Hardi
selanjutnya melakukan pertemuan dengan Deleglasi Dewan Revolusi Darul Islam
(DDRDI) yang dipimpin oleh Ayah Gani Usman. Hasil penting dari perundingan ini
adalah bahwa Pemerintah Pusat akan memberikan status istimewa untuk Aceh dan
kemudian mengejewantahkannya dalam Keputusan Perdana Menteri RI No.
1/Missi/1959. Keputusan ini memberikan status istimewa kepada Aceh dalam artian
dapat melaksanakan otonomi daerah. Pemberontakan Darul Islam di Aceh pada
akhirnya dapat diselesaikan dengan kompromi politik dengan pemerintah Pusat. Bila
diamati pemberontakan ini sebenarnya dimulai dari Kongres Alim Ulama se–Indonesia
yang berlangsung di Medan pada bulan April 1953 dan Teungku Muhammad Daud
Beureu’eh sebagai ketua umumnya, dengan satu keputusan menyatakan bahwa,
“Memperjuangkan dalam pemilihan umum yang akan datang supaya Negara Republik
Indonesia menjadi Negara Islam Indonesia”. Dan pemberontakan itupun pada akhirnya
di akhiri dalam sebuah kongres Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA). Ini
berarti akhir yang sesungguhnya dari menegakkan negara Islam di Aceh, walaupun
tertunda, tapi telah mendapat akomodasi politik yang besar, sebuah pengakuan terhadap
jati diri bangsa Aceh dan merupakan peneguhan sikap dan keinginan untuk menerapkan
syariat Islam.48
48
Ibid, 171-173
34
Pada tanggal 7 Agustus 1998 pencabutan satus Darurat Militer terhadap Aceh resmi
dilakukan, hal ini ditandai dengan penarikan aparat militer dan kepolisian dan
permohonan maaf dari kepala angkatan bersejata Republik Indonesia Jendral Wiranto
atas pelanggaran HAM di Aceh selama sembilan tahun pelaksanaan Daerah Operasi
Militer – DOM (1989-1998).49
Pasca reformasi 1998 kemudian dilanjutkan dengan amandemen Undang-undang
Dasar (UUD) 1945, hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
mengalami perubahan pola yang signifikan, dimana sebelumnya menganut pola
sentralistik, tetapi setelah reformasi berubah menjadi pola desentralistik. 50
Inilah yang membuat harapan Aceh untuk menerpakan syariat Islam kembali
terbuka, hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 44 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang dimana
UU ini mengakomodasi kepentingan Aceh dalam bidang Agama, adat istiadat dan
penempatan peran ulama pada tataran yang sangat terhormat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.51
Sebagai upaya awal penerapan syariat Islam secara kaffah dan bentuk respon
terhadap lahirnya UU diatas, Aceh menerbitkan Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan syariat Islam. Qanun ini memiliki basis konstitusional sekalipun tidak
jelas, boleh dikatakan bahwa perda ini mendahului undang-undang yang memberikan
hak Otonomi Khusus bagi Pemerintahan Daerah Istimewa Aceh untuk menerapkan
syariat Islam di bumi Serambi Mekkah yang baru di undangkan dua tahun kemudian
(UU No. 18 Tahun 2001) setelah di undangkannya UU No. 44 Tahun 1999. Pada masa
Pemerintahan Abdurrahman Wahid upaya damai terus dilakukan, pendekatan dengan
jalur dialog ditempuh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Genewa Swis. Pada 11
April 2001 Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Intruksi Presiden No. 4 Tahun
2001 tentang perlakuan khusus terhadap situasi di Aceh. Agama tidak disebutkan
sebagai suatu masalah dalam Impres ini, hal ini dimungkinkan karena GAM tidak
49
Ibid, h. 176-177.
50
Muhammad Alim, Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya Dengan Konstitusi, No.1 Vol.
17, (Januari 2007), h. 120
51
Misran, Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum, Vol.1 No.2,
(Januari – Juni 2012), h. 155.
35
menjadikan Islam sebagai basis idiologi dalam melakukan aksinya dan negara Islam
bukanlah bagian dari platform formalnya.52
Pada akhirnya perjanjian penghentian permusuhan (Cessation of Hostilities
Agreement) mengalami kegagalan yaitu dengan tidak diterimanya kesepakatan yang
ditawarkan oleh pemerintah, khususnya mengenai integritas NKRI. Selanjutnya pada
saat pemerintahan Megawati Soekarno Putri, dikeluarkan Keputusan Presiden (Kepres)
No. 28 tahun 2003 tanggal 9 Mei 2003 yang memberikan status baru untuk Aceh yakni
Darurat Militer. Pemerintah melakukan Operasi Terpadu yang bersifat menegakkan
kembali kedaulatan NKRI dan kemudian diperpanjang melalui Kepres No. 97 tahun
2003 untuk periode 18 November 2003 sampai 19 Mei 2004. Selanjutnya pada tahun
2004 perubahan status Aceh dari Darurat Militer berubah menjadi Darurat Sipil melaui
Kepres No. 43 tahun 2004. Perubahan status ini didasarkan pada pertimbangan bahwa
perkembangan situasi keamanan di Aceh semakin kondusif. Dalam perjalananya Qanun
No. 5 Tahun 2000 ini tidak berjalan dengan efektif, sehingga terjadilah revisi terhadap
UU No. 44 Tahun 1999 menjadi UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan
sekaligus mengubah nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Didalam UU Otomi Khusus bagi Aceh yang ditanda tangani oleh
Presiden Megawati Soekarno Putri ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi dasar
pelaksanaan syariat Islam di Aceh diantaranya adalah Mahkamah Syar’iyah dan Qanun
Pemerintahan Aceh.53
52
Ali Geno Berutu, Penerapan Syariat Islam Dalam Lintas Sejarah, h. 178-179.
53
Ibid, h. 176-177.
54
Ibid, h. 180.
36
Formalisasi dan legalisasi syariat Islam konflik di Aceh memiliki akar politik yang
sangat dalam dan merentang sepanjang sejarah Aceh. Berbagai kebijakan dikeluarkan
oleh pemerintah pusat dalam merespon dan menyelesaikan konflik Aceh. Kebijakan
yang dianggap solusi bagi Aceh adalah diberlakukannya UU No. 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). UU Otsus
ini melengkapi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi NAD, yang
mencantumkan empat keistimewaan pokok bagi Aceh; 55
1. Keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan beragama dalam bentuk
pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya.
2. Keistimewaan dalam menyelenggarakan pendidikan.
3. Keistimewaan dalam menyelenggarakan kehidupan adat.
4. Keistimewaan menempatkan peran ulama dalam penetapan kebijakan.
Berdasarkan kedua undang-undang pokok soal Aceh itulah, otoritas legislasi Aceh
menyusun berbagai qanun sebagai aturan derivatifnya. UU No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh menunjukkan bahawa kewenangan pemerintah Aceh menjadi
bertambah dalam menjalankan roda pemerintahan, terutama dalam merealisasikan
perundang-undangan RI yang tidak terealisasikan sebelumnya. Bidang syariah dapat
terlihat pada Bab XVII Pasal 128-137, yang memberikan kewenangan bagi Pemerintah
Aceh dalam penerapan syariat di berbagai aspek (termasuk jinayat).56
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh secara formal dilakukan setelah keluarnya
UU No. 44/1999 dan UU No. 18/2001, hal mendasar dari dari undang-undang ini adalah
Aceh merupakan hasil dari konflik yang berkepanjangan anatara Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia, pemberian hak untuk
formalisasi syariat Islam di Aceh diberikan adanya pemberian kesempatan yang luas
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, meggali dan memberdayakan
sumber daya alam dan sumber daya manusia, meningkatkan peran serta masyarakat,
menggali dan mengimplementasikan tata kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan
nilai luhur kehidupan bermasyarakat di Aceh. Pengertian syariat Islam di Aceh menurut
UU No. 44/1999 adalah tuntutan ajaran Islam dalam semua aspekkehidupan, Syariat
Islam dipraktekkan secara luas mencakup aspek pendidikan, kebudayaan, politik,
55
Ibid, h. 180-181
56
Ibid, h. 181.
37
57
Ibid, h. 181-182.
58
Ibid, h. 182.
59
Elisa Lisdiyastuti, Jilbab Sebagai Identitas Diri Di Lingkungan Sekolah (Studi Fenomenologi
Tentang Alasan dan Dampak Pemakaian Jilbab Oleh Siswi Kelas XI SMA Negeri 3 Sragen), Vol. 5, No.
2, (November 2015), h. 1.
38
berbagai ranah aktivitas kehidupan masyarakat. Saat ini jilbab sudah menjadi
pemandangan yang umum kita lihat di ruang-ruang publik. Hampir tidak ada satupun
tempat, kalangan atau lembaga yang tidak tersentuh jilbab.60
Di Indonesia, Jilbab seringkali disama artikan dengan hijab. Pengertian umum
yang berlaku saat ini mengenai hijab adalah pakaian muslimah kerudung (simple
headscarf) atau pakaian longgar yang tak tembus cahaya. Sedangkan ketika berbicara
mengenai jilbab, seseorang biasanya mengacu kepada kerudung yang diikatkan pada
kepala, dan biasanya dikenakan perempuan muslimah. Menurut Mohamad Guntur
Romli mengatakan bahwa, Ada empat alasan perempuan Indonesia menggenakan
Jilbab yaitu :61
1. Jilbab atas alasan teologis, yaitu kewajiban agama. Mereka yang mengenakan
jilbab ini akan memahaminya sebagai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.
Bentuk jilbab pun sesuai dengan standar-standar syariat, tak hanya menutup
rambut dan kepala, tapi juga menurut sebagian dari mereka hingga sampai ke
dada. Jilbab yang lebar, bila perlu menutupi seluruh tubuh. Perempuan yang
mengenakan jilbab seperti ini juga akan berhati-hati bergaul di ruang publik.
2. Alasan psikologis Perempuan yang berjilbab atas motif ini sudah tidak
memandang lagi Jilbab sebagai kewajiban agama, tapi sebagai budaya dan
kebiasaan yang bila ditinggalkan akan membuat suasana hati tidak tenang. Kita
bisa menemukan muslimah yang progresif dan liberal masih mengenakan jilbab
karena motif kenyamanan psikologis tersebut. Bentuk Jilbab yang dikenakan
berbeda dengan model pertama, dan disesuaikan dengan konteks dan fungsinya.
Demikian juga dengan gaya hidup yang memakainya, jauh lebih terbuka, dan
pergaulan mereka sangat luas, berbeda dengan model pertama.
3. Jilbab alasan modis. Jilbab sebagai produk fashion. Saya memandang Jilbab
model ini sebagai jawaban terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab
dengan perempuan. Namun, di sisi lain, ada nilai-nilai agama yang berusaha
dipertahankan dan sebagai merek dagang. Munculnya outlet-outlet dan acara-
acara peragaan busana muslimah mampu menghadirkan model Jilbab dan busana
muslimah yang telah melampaui persoalan agama.
60
Ibid, h. 1-2.
61
Masnun Tahir dan Zusiana E-Triantini, Menakar Konteksrual Konsep Jilbab Dalam Islam,
Vol. 8, No. 1, (2014), h. 9
39
4. Jilbab alasan politis. Fenomena ini muncul dari berbagai kelompok Islam yang
menggunakan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. Dalam konteks ini,
Jilbab tidak lagi menjadi persoalan keimanan, kesalehan, dan kesadaran pribadi,
namun akan dipaksakan ke ruang publik. Inilah fenomena yang sebenarnya terjadi
di Aceh dan di beberapa daerah di Indonesia yang berdalih ingin menerapkan
syariat Islam.
Hal ini Indonesia dalam Undang-Undang 1945 tidak terdapat keterangan hukum
masalah Jilbab atau berpakaian yang secara Islam namun hanya ada dalam bentuk syi`ar
Islam dalam Qanun Aceh. Namun hanya ada hak atas kebebasan beragama dan
beribadah dalam Pasal 29 UUD 1945 dan Pasal 28 UUD 1945 yang didalam nya
terdapat hak asasi manusia. Hak asasi manusia adalah kebebasan individu dalam
menjalankan ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam agamanya dan menjalankannya
sesuai dengan aturan yang ditentukan agamanya. Dalam hal ini UUD 1945 hanya
memberikan kebebasan kepada muslimah Indonesia untuk berjilbab atau tidak. Namun
beda dengan peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah khususnya Aceh
yang menyatakan bahwa wajib berpakaian yang Islami serta mentaati perturan daerah
yang ditetapkan serta menjalankan syariat Islam dalam setiap perbuatannya. Dalam
Islam Jilbab termasuk bagian dari ibadah karena mentaati perintah Allah swt yang
tertera dalam Al-quran dan Alhadits serta termasuk syariat Islam yang harus dijalankan
oleh semua muslimah yang beragama Islam di seluruh dunia dengan tujuan terhidar dari
perbuatan-perbuatan yang tercela dan lebih menjaga dirinya dari pandangan syahwat.
Negara RI merupakan negara yang memberikan jaminan terhadap hak atas
kebebasan beragama dan beribadah sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD 1945,
yang mengatur sebagai berikut:62
a. Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu
Walaupun dalam Pasal 29 UUD 1945 tidak diatur secara tegas larangan
proselytism yang tidak etis,akan tetapi karena apa yang ada dalam Batang Tubuh
harus dijiwai oleh Pembukaan, maka nilai-nilai yang ada dalam Batang Tubuh
merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari Pembukaan sebagai Norma
62
Fatmawati, Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah Dalam Negara
Hukum Indonesia, Vol. 8, No. 4, (Agustus 2011), h. 499
40
63
Ibid, h. 500
64
Ibid, h. 500
65
Ibid, h. 500-501
BAB IV
Propinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang termasuk dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan bagian dari Propinsi Sumatera Timur, meliputi wilayah
Sumatera Utara dan Aceh. Aceh adalah salah satu dari sekian daerah yang
diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk menjalankan syariat Islam
dengan pembentukan Peraturan Daerah Aceh yang disebut Qanun. Dasar hukum
dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh, didasarkan
atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pelaksanaan Syari‟at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.
Hukum adalah sebuah sub sistem yang berdiri sendiri dan merupakan aturan
yang ditentukan dan disepakati bersama antara para anggotanya lalu dijalankan
bersama demi tercapainya tujuan dan kesejahteraan bersama. Indonesia dalam
hukum nya terdapat 4 hukum yang harus diperhatikan dan ditaati bersama demi
kesejahteraan bersama. Dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Jenis dan
hierarki Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 66
1) UUD 1945
2) UU/Perppu
3) Peraturan Pemerintah
4) Peraturan Presiden
5) Peratuaran Daerah
66
Misran, Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh: Analisis Kajian Sosiologi Hukum, h.. 4.
41
42
69
Aristo Evandy A. Barlian, Konsistensi Pembentukan Peraturan Daerah Berdasarkan
Hierarki Perundang-Undangan Dalam Presperktif Politik Hukum, Vol. 10, No. 4, (Oktober-
Desember 2016), h. 590-591
70
Ibid, h. 591.
45
71
Ibid, h. 594-595
72
Ibid, h. 595.
46
73
Kurniawan, Pembentukan Produk Hukum Daerah Dalam Rangka Penyelenggaraan
Pemerintahan, Vol. XV, No. 61, (Desember 2013), h. 520-521.
47
74
Ibid, h. 521.
75
Husni Jalil, dkk, Implementasi Otonomi Khusus Di Provinsi Aceh Berdasarkan
Undang-Undang 11 Tahun 2006, Vol. 1, No. 51, (Agustus 2010), h. 208
76
Ibid, h. 210.
48
orang islam. Perbedaan hukum publik dalam suatu wilayah tertentu dengan
wilayah lainnya membuat seorang warga negara tidak diperlakukan sama di mata
hukum, padahal ia masih dalam satu wilayah negara. Perumusan Qanun Aceh
sebagaimana telah disebutkan di atas didasarkan pada Al-Qur‟an dan hadis Nabi
S.A.W. dengan berpegang pada penafsiran/pemahaman atas Al-Qur‟an dan hadis
Nabi S.A.W. dengan tetap memakai ketentuan-ketentuan lama atau pendapat
mazhab-mazhab yang masih relevan serta berusaha untuk mencari dan
merumuskan ketentuan baru yang lebih baik dengan memperhatikan kebutuhan
lokal masyarakat Aceh dan dengan memperhatikan isu-isu hak asasi manusia.
Indonesia adalah negara yang memberikan kebebaasan dalam beragama
dan melakukan kegiatan bentuk ibadah apapun. Aceh dalam membentuk Perda
mengenai syiar Islam yang didalam terdapat masalah penyelenggaraan syi`ar
Islam yang dalam Qanunnya yaitu masalah kewajiban berbusana muslim agar
terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan. Memang tidak terdapat penjelasan
tentang Jilbab namun jilbab adalah termasuk busana muslim yang digunakan oleh
wanita.
Secara umum dapat dikatakan bahwa Qanun syariah atau Qanun berbasis
syariah sering dimaknai sebagai Qanun yang diambil dari ketentuan-ketentuan
legal. Syariat Islam baik yang bersifat tekstual maupun substansi ajarannya.
Qanun berbasis syariah merupakan bagian dari aspirasi masyarakat daerah,
sehingga setiap daerah berhak membuat peraturan perundang-undangan yang khas
daerahnya. Selain itu peraturan hukum yang ada dinilai belum bisa menjamin
penegakan keadilan di tengah masyarakat, sehingga tidak ada salahnya mencoba
pemberlakuan hukum Islam sebagai alternatif peraturan daerah yang selama ini
diklaim memiliki banyak kekurangan.77
Menyusun Qanun Aceh mengalami berbagai konflik dari masa awal
kemerdekaan, sampai pada masa reformasi. Dengan sepakatan para ulama di
Aceh, pemerintah Daerah Aceh dan penduduk ingin menjadikan Aceh sebagai
daerah dengan menerpakan syariat Islam atau serambi Mekkah. Dari
77
Hayatun, Na`imah, Perda Berbasis Syariah Dan Hubungan Negara-Agama Dalam
Prespektif Pancasila, Vol. XV, No. 2, (Desember 2016), h. 154.
50
pemberontakan DI/TII dan dari semua konflik dan perbincangan yang baik maka
dalam kepemrintahan Abdurrahman Wahid sampai Megawati terbentuklah UUD
perlakuan hukum khusus pada daerah Aceh. Indonesia dalam UUD 1945 tidak
mewajibkan untuk berbusana muslim atau berjilbab namun dalam pasal 28 dan 29
terdapat kebebasan Hak untuk setiap manusia untuk menganut dan beragama
dalam kepercayaan masing. Ini menjelaskan bahwa Islam diberikan kebebasan
untuk para penganutnya untuk menggunakan jilbab atau tidak.
Qanun berbasis syariah yang dihasilkan oleh pembuat Qanun. Paling tidak
ada 3 karakteristik Perda berbasis syariah yang dapat dikelompokan yaitu, bersifat
privasi atau publik, bersifat pilihan atau kewajiban, diskriminasi hukum atau
ketertiban umum. Sebelum mengelaborasikan beberapa karakteristik tersebut,
adalah penting untuk menyajikan lima level penerapan Syariat Islam yang
diadaptasi dari Price dan dikemukakan oleh Arskal Salim dan Azyumardi Azra.
Kaum Muslimin meyakini bahwa syariat adalah seperangkat norma dan nilai yang
total dan komprehensif yang mengatur kehidupan manusia hingga yang paling
detail. Dengan demikian, totalitas syariat dapat dibagi menjadi lima level berikut
ini :78
1. Masalah-masalah hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan
kewarisan
2. Urusan-urusan ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat
3. Praktik-praktik (ritual) keagamaan, seperti kewajiban mengenakan jilbab
bagi wanita Muslimah; ataupun pelarangan resmi hal-hal yang
bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol, perjudian, dan pelacuran
4. Penerapan hukum pidana Islam, terutama bertalian dengan jenis-jenis
sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggar
5. Penggunaan Islam sebagai dasar negara dan sistem pemerintahan.
Aceh adalah salah satu daerah yang diberikan kebebasan untuk menjalankan
syariat Islam namun tidak terlepas dari proses yang panjang dari pemberian UUD
khusus untuk daerah aceh untuk menerapakan syariat Islam. Jilbab dalam
peraturan Aceh yang disebut Qanun disebut sebagai syiar Islam. Qanun Aceh
78
Ibid, h. 163
51
tentang jilbab tertuang dalam Qanun Provinisi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu
pada Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah,
Ibadah dan Syi`ar Islam. Didalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 dalam Bab I
menjelaskan bahwa syi`ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-
nilai ibadah untuk menyemarakan dan mengagungkan pelakasanaan ajaran Islam.
Bab V Tentang Penyelenggaraan Syi`ar Islam yang Jilbab adalah salah satu
dalam syi`ar Islam yang berada dalam Nanggroe Aceh Darussalam maka, dalam
pasal 13 Bab V pada Ayat 1 dan 2 adalah, Setiap orang Islam wajib berbusana
Islami dan Pimpinan institusi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan
atau intitusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya.
Indonesia dalam UUD 1945 tidak termaktub dan tidak tertulis tentang
kewajiban berbusana muslim atau Jilbab yang tertulis hanya keterangan
kebebasan dalam beragama dan manganut ajaran yang sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan. Dalam UUD pada pasal 28E sampai pasal 29 yang mengandung
penjelasan bahwa kebebasan dalam beragama namun juga mengandung bahwa
kebebasan agama mengatur busana yang baik buat para pengikutnya. Jilbab hanya
busana kewajiban pada umat Islam namun tidak dengan agama lain. Jadi dalam
pengaturan Qanun Aceh tentang Jilbab merupakan pengaturan untuk yang
menganut agama Islam tidak dengan agama lain. Memang bersebrangan antara
UUD 1945 dengan Qanun Aceh maka Qanun Aceh hanya mengatur yang
beragama Islam bukan semua agama yang ada di Aceh namun untuk UUD 1945
mengatur seluruh kebebasan beragama untuk masyarakat Indonesia. Jilbab yang
diatur hanya untuk kepentingan umat Islam yang ada di Aceh bukan seluruh
cengkupan masyarakat di Indonesia. Namun ini menimbulkan dekriminatif untuk
masyarakat Aceh yang bukan beragama Islam di Aceh.
Maka keputusan pemerintah Indonesia untuk mengizinkan Aceh membuat
Perda Syariah adalah keputusan yang berdasarkan pemberhentian konflik dan
sudah tepat dikarenakan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh. Namun agama
lain selain Islam bisa menimbulkan konflik di Aceh karena diskriminatif yang
dilakukan pemerintah Aceh. Untuk mencegah ini maka pemerintah Aceh
memberikan kewenangan kepada penduduk non Islam untuk paling tidak menutup
52
auratnya walaupun tidak berjilbab atau berbusana muslim. Namun sekali lagi hal
ini bisa menimbulkan konflik antar agama dikarenakan Qanun Aceh yang semua
isinya untuk penganut agama Islam sedangkan untuk agama non muslim hanya
berpegang pada Qanun Aceh yang sudah ditetapkan tanpa ikut dalam adil dalam
pembentukan hukum tersebut.
Pada dasarnya Qanun Aceh yang sudah dibuat memang isinya untuk
kesejateraan masyarakat di Aceh dan keamanan masyarakat Aceh namun peran
non muslim terasa kurang dalam pembuatan Qanun Aceh ini sehingga UUD 1945
yang mengatur tentang kebebasan beragama tidak berfungsi dan tidak bermanfaat
di daerah Aceh. Maka pemerintah Aceh dan pemerintah pusat harus terus
memberikan penjelasan dan pengertian kepada penduduknya yang non muslim
bahwa Qanun Aceh yang dibuat bukan semata-mata untuk agama Islam namun
untuk semua agama yang ada di daerah Aceh. Lalu dalam membuat Qanun Aceh
diharapkan diikuti semua lapisan agama agar terjadinya keselarasaan dan
kesimbangan dalam isi yang tertulis.. Karena Islam diturunkan bukan untuk
kesejahteraan umat sendiri namun untuk kesejahteraan seluruh alam.
Sebagai peneliti saya setuju akan pembentukan Qanun Aceh Tentang busana
muslim termasuk jilbab, namun pemerintah Aceh harus membuat penyuluhan dan
sosalisasi kepada seluruh lapisan masyarakat atau seluruh agama bahwa Qanun
Aceh tentang berpakaian muslim termasuk jilbab dikhususkan agar terhindar dari
berbagai jenis tindak kejahatan dan perbuatan yang tidak diinginkan dari nafsu
manusia serta bagi non muslim diharuskan memakai pakaian yang tertutup agar
terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan. Antara Perda Aceh dan UUD 1945
tidak mengalamai benturan kerana dalam UUD 1945 tidak tersirat dengan jelas
tentang berpakaian atau berjilbab hanya untuk kebebasan menganut kepercayaan
masing-masing dalam kebaikan. Yang dikhawatirkan adanya diskriminatif yang
bisa menimbulkan konflik agama dan konflik sosial. Qanun Aceh dan UUD 1945
adalah sama-sama hukum yang dibuat berdasarkan kesepakatan maka harus
dilaksanakan dengan baik agar ketentraman dan keamanan bagi masayarakat dan
bangsa Indonesia.
53
Qanun berbasis syariah jika dihubungkan dengan negara dan agama dalam
persfektif Pancasila dapat dilihat dari kembalinya bangsa Indonesia ke UUD 1945
melalui Dekrit Presiden jika dikaitkan dengan Naskah Piagam Jakarta, memang
secara yuridis, belum bisa dijadikan landasan bagi berlakunya Syariat Islam di
Indonesia. Namun, hal itu telah memberikan tempat bagi kedudukan Syariat Islam
di Indonesia, atau setidaknya memberikan landasan bagi terbentuknya perundang-
undangan nasional yang berdasarkan pada Syariat Islam. Dengan kata lain ada
peluang yang diberikan oleh konstitusi untuk dimanfaatkan umat Islam dalam
pembentukan perundang-undangan nasional yang didasarkan kepada Sya‟riat
Islam sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perudang-undangan
diatasnya.
79
Ibid, h. 79-80.
54
ahkam (hukum) itu, sesuai ketentuan Alquran dan Hadis Nabi Muhammad S.A.W.
berdasarkan maksud dan tujuannya (maqashid as-syari‟ah).80
Para ulama fikih dan ushul fikih sepakat bahwa hukum islam diturunkan
untuk kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat Dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan itu berdasarkan penelitian para ahli ushul fikih ada 5
unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokok tersebut
adalah:81
1. Agama (hifzh al-din)
2. Jiwa (hifzh an-nafs)
3. Akal, (hifzh al-`aql)
4. Keturunan (hifzh an-nasb)
5. Harta. (hifzh al-mal)
Kelima hal ini yang selanjutnya lebih dikenal dengan Maqoshid Asyariah
yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan. Kemashlahatan yang akan
dicapai ini terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu 82
1. Dharuriyah adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya
kehidupan manusia, dalam arti apabila dharuriah tidak terwujud, maka
cederalah kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
2. Hajiyah adalah kebutuhan sekunder, dimana bila tidak terwujudkan tidak
sampai mengancam keselamatannya, namun manusia hanya akan
mengalami kesulitan.
3. Tahsiniyah adalah tingkat kebutuhan tersier, yang apabila tidak terpenuhi
tidak mengancam eksistensi dharuriyah dan tidak pula menimbulkan
kesulitan dengan kata lain tingkatan ketiga ini hanya mengacu pada
sesuatu yang memperindah keadaan dan menajdikannya sesuai dengan hak
yang dituntut oleh ahlak yang mulia.
Syariah (“cara” atau “jalan”) sering diartikan sebagai seperangkat standar
yang mengatur semua aspek kehidupan, dari kepatuhan agama, perbankan, hingga
80
Habib Muhsin Syafingi, Internalisasi Nilai-Nilai Hukum Islam Dalam Peraturan
Daerah Syariah di Indonesia, Vol. 7, No. 2, (Juli 2012), h. 141
81
Ibid
82
Ibid
56
tingkah laku sosial yang selayaknya, yang pada intinya bersumber dari Quran,
kitab utama agama Islam, dan hadit, kumpulan peribahasa dan penjelasan tentang
sunah, atau teladan dan aturan normatif, dari Nabi Muhammad S.A.W. Tetapi,
tidak ada penafsiran tunggal atas Syariah di antara umat Muslim di seluruh dunia:
terdapat berbagai perbedaan dalam penafsiran para ahli Islam tentang teladan
kenabian yang mana yang asli dan keabsahan atau kelayakan menerapkan ayat-
ayat tertentu secara harafiah di era modern ini. Pada awal tahun 1999, Pemerintah
Indonesia dan Aceh mengadopsi pendekatan penerapan Syariah yang menekankan
pada tanggung jawab Negara untuk menjamin bahwa semua orang memenuhi
kewajiban agamanya yang berasal dari Islam. Paska pengesahan UU Otonomi
Khusus pada tahun 2001, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan
serangkaian Qanun (“peraturan daerah,” terminologi Arab yang digunakan untuk
memberi ciri khas bagi semua peraturan daerah yang disahkan di Aceh, tidak
hanya terbatas pada peraturan yang terkait dengan Syariah) yang mengatur
tentang pelaksanaan Syariah. Lima (5) qanun disahkan antara tahun 2002-2004
yang berisi hukumann, pidana atas pelanggaran Syariah: Qanun No. 11/2002
tentang penerapan Syariah dalam aspek “kepercayaan (aqidah), ritual (ibadah),
dan penyebaran (syiar) Islam,” yang meliputi persyaratan busana Islami.83
Istilah tentang syariat Islam bukan hal yang langka dan bukan istilah yang
asing di kalangan umat Islam. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan
masih ada sebagian umat Islam yang belum mengerti tentang syarat Islam. Upaya
memperjelas tentang Istilah tersebut dan untuk memberikan penjelasan kepada
pembaca, berikut diuraikan secara detil tentang pengertian syariat Islam:84
1. Etimologi Syariat Secara etimologi istilah syariah berasal bahasa Arab
memiliki arti undang-undang. Selain itu, istilah Syariah juga disebut
Qānūn Islami adalah kode moral dan hukum Islam.
2. Selanjutnya, Syafaul merujuk pada penjelasan Irshad Abdal-Haqq bahwa
para ahli juga menjelaskan bahwa kata syariah berasal dari bahasa Arab
kuno yang berarti jalan yang harus diikuti, atau bagian menuju lubang air.
83
Human Right Watch, Menegakkan Moralitas Pelanggaran dalam Penerapan Syariah
Di Aceh Indonesia, (America: Printed in The United States Of America, 2101), h. 16
84
Sulaiman, Studi Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh: Madani Publisher, 2018), h.1
57
3. Lebih lanjut Syafaul merujuk pada penjelasan Weiss bahwa definisi yang
terakhir berasal dari fakta bahwa jalan menuju air adalah seluruh cara
hidup di lingkungan padang pasir gersang.
Sejalan dengan penjelasan tersebut, mengacu pada penjelasan Azman. Dkk,
setidaknya terdapat tiga istilah penting yang saling berhubungan dengan kata
syariat Islam, yaitu; Syaria‟ah fiqh, Tasyri‟ atau hukum Islam. Selanjutnya,
merujuk pada pendapat Syu,bah dan Kamil Musa, Jaih Mubarak dalam Azman.
Dkk, menjelaskan pengertian syariat Islam secara etimologi berarti al-„utbah
(lekuk-liku lembah), al-„atabah (ambang pintu dan tangga), mawrid al-syaribah
(jalan tempat mencari air munim), dan al-tharaqah al-mustaqimah (jalan yang
lurus). 85
Islam adalah agama rahmatan lil‟alamin dan panduan hidup terhadap umat
manusia. Syariat Islam di dalamnya terdapat pokok-pokok penting yang menjadi
panutan hidup bagi manusia. Muhibbuthabry merujuk pada penjelasan Syaltut,
dan Azyumardi Azra, dkk, bahwa syariat Islam memuat aturan-aturan Allah bagi
umat manusia yang tercermin-paling tidak pada aspek–aspek akidah, ibadah dan
mu‟amalat. 86
Sejalan dengan tiga aspek syariat Islam tersebut Muhibbuthabry
menjelaskan bahwa:87
1. Aspek pertama merupakan aspek yang paling prinsip yang harus dijiwai
oleh manusia sebagai pernyataan sikap dan komitmen terhadap Tuhannya.
2. Aspek kedua adalah realisasi dari sikap dan pernyataan manusia yang
berwujud pada kesediaan untuk melakukan pengabdian kepada Allah
melalui cara-cara atau amaliah yang telah mendapat justifikasinya dalam
syariat.
3. Aspek ketiga mu`amalat merupakan aspek yang paling luas, karena di
dalamnya berisikan tema-tema humanisme, seperti pentingnya
menciptakan rasa kemaslahatan bagi manusia dan perlunya menolak
85
Ibid, h. 2
86
Ibid, h.67
87
Ibid, h. 68
58
kemudaratan atau marabahaya dan tata cara lain yang berwujud pada
interaksi terhadap sesama manusia dan alam sekitarnya.
Pokok-pokok penerapan syariat Islam di provinsi Aceh merujuk pada Qanun
Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam. Bab II Ruang
Lingkup, Tujuan Dan Fungsi Pelaksanaan Syariat Islam, Pasal 2 menetapkan:88
1. Syariat Islam mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat dan aparatur di
Aceh yang pelaksanaannya meliputi:
a. Aqidah
b. Syariah
c. Akhlak.
2. Pelaksanaan Syariat Islam bidang Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. Ibadah
b. Ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga)
c. Muamalah (hukum perdata)
d. Jinayat (hukum pidana)
e. Qadha‟ (peradilan)
f. Tarbiyah (pendidikan)
g. Pembelaan Islam.
3. Pelaksanaan Syariat Islam bidang Akhlak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. Syiar
b. Dakwah.
Penerapan syariat Islam di provinsi Aceh mulai sejak kebijakan UU tersebut
diberikan oleh pemerintah pusat. Mulai sejak itu, penerapan syariat Islam di
provinsi Aceh telah melahirkan sejumlah qanun. Adapun qanun tersebut sebagai
berikut:89
88
Ibid, h. 71
89
Ibid, h. 86-87
59
berdasarakan Alquran dan Alhadits namun setiap penerapan yang baik akan
menimbulkan masalah kedepannya.
Al-Quran dan Al-Hadits adalah sumber hukum utama dalam Islam begitu
juga dengan Qanun Aceh tentang Jilbab atau busana untuk para wanita. Namun
tetap Aceh harus dalam cangkupan hukum Indonesia yaitu UUD 1945. Qanun
Aceh dan Hukum Islam selalu berdampingan namun yang berbeda hanya
penerapan hukuman untuk para pelaku kejahatan. Menurut penelti Qanun Aceh
adalah Qanun yang ditetapkan berdasarkan kepentingan seluruh umat manusia
bukan orang Islam saja begitu juga fungsi Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagai
petunjuk dan pedoman setiap manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan
daerah serta negara yang lebih baik untuk kesejahteran, kemamkmuran dan
keamanan masyarakat.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hasil kesimpulan tentang Analis Dari Per UU Indonesia antara Qanun Aceh
No. 11 Tahun 2002. Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan
Syari’at Islam di Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Maka dari itu Penulis menyimpulkan
Bahwa sesuai dengan keputusan pemerintah Indonesia untuk mengizinkan Aceh
membuat Perda Syariah adalah keputusan yang berdasarkan pemberhentian
konflik dan sudah tepat dikarenakan untuk kesejahteraan masyarakat Aceh.
Sehingga Qonun Aceh tentang wajib berjilbab tidak bertentangan dengan UUD
karena sudah sinkron dengan aturan yang berlaku dan juga tidak bertentangan
dengan UUD karena prosedur dalam aturan UUD sudah dilaksanakan dengan
baik.
2. Hasil Kesimpulan dari Analisis Hukum Islam tentang Qanun Aceh tentang
Jilbab Qanun yang mengatur tentang Jilbab adalah Qanun Nomor 11 Tahun 2002
Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
Jilbab masuk dalam Syiar Islam. Dalam hal ini hukum Islam mewajibkan semua
wanita untuk menutup auratnya dengan memakai Jilbab berdasarkan pada hukum
yang tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits namun tidak diwajibkan berhijab
atau bercadar. Fungsi dan tujuan dari pemakaian jilbab adalah agar terhindar dari
perbuatan jahat dan nafsu dari para pria. Karena menurut para jumhur ulama
bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali tangan dan wajahnya. Maka
penerapan Qanun pada Aceh sudah sesuai dengan hukum Islam yang di tentukan
berdasarakan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
61
62
B. SARAN-SARAN
1. Agar lebih melihat kepada adat kebiasaan pada suatu Negara yang mereka
tempati baru membulatkan pendapat dalam Menetapkan.
Afrizal Nur, “M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir”, Vol. XVIII, No.
1, (Januari, 2012).
Ahmad“Jihad Menurut Yusuf Qaradhawi”, Jakarta: Skripsi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, 200.
Al-Shairazi. Al- Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Kutub, 2007.
Al-„Araby, Abu Bakar Muhammmad Ibn „Abdillah, Ahkam al-Qur‟an, Mesir:
Al-Halabi. 1958.
Al-Albani, Nasrudin jilbab dan hijab busana wanita Menurut Al-Qur‟an dan
sunnah Nabi, Semarang: CV Toha Putra. 2000.
Al-Andalusy, Muhammad bin Yusuf almashur Abu Hayyan Andalusi, Tafsir
al-Bahr al-Muhith. Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah. 2001.
Al-Baghawi, Abu Muhammad al-Husain ibn Mas‟ud, Tafsir al-Baghawi:
Ma‟alim al-Tanzil, Riyadh: Dar Thayyibah. 1409 H.
Al-Diqr, Abd al-Ghani. Al-Imam al-Syafi‟i: Faqih al-Sunnah al-Akbar.
Damaskus: Dar al-Qalam, 1996.
Al-Husni, Taqiyuddin. Kifayat al-Akhyar. Beirut: Dar al-Kutub al-„Arabiyyah.
t.t.
Al-Jundi, „Abd al-Halim. Al-Imam al-Syafi‟i Nashir al-Sunnah wa Wadhi‟ al-
Ushul. Kairo: Dar al-Ma‟arif, t.t.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Juz.12-13, cet.I,. Lihat juga Tafsir Ma‟alim
al-Tanzil fi Tafsir wa al-Ta‟wil, oleh Abdullah bin Ahmad bin „Ali al-Zaid, Juz
IV.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Beirūt: Dār al-Fikr,
2006.
Al-Mukhit, Juz. VII, Beirūt::Dār al-Kitab al-„Ilmiyah
Al-Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet.VII
Surabaya: Pustaka Progresif, 1997
63
64
Fachrudin, Fuad, Mohd, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam,
Jakarta: CV pedoman ilmu jaya, 1991.
http://www.nu.or.id/post/read/67452/hukum-memakai-cadar, Diakses pada:
15-01-2018
http://www.nu.or.id/post/read/67452/hukum-memakai-cadar, Diakses pada
15-01-2018
https://www.alfachriyah.org/artikel-wanita-solehah/definisi-dan-batasan-
batasan-aurat-menurut-para-ulama-fiqih, Diakses pada: 14-01-2018
Husein Shahab, jilbab menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, Bandung: Mizan,
2002.
Jasmani, Hijab dan Jilbab Menurut Hukum Fikih, Vol.6, No. 2, Juli, (2013).
Moelong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2001.
Muhammad Mutawalli Sya‟rawi, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul
Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, cet. I.
Mukhlisin, Al-Ustadz Nurul, Ringkasan Aqidah dan Manhaj Imam Syafi‟I,
Jakarta: http://dear.to/abusalma, 14 April 2007.
Mutawalli, Sya‟rawi, Muhammad, Fiqih Wanita, (terj.) Ghozi. M, dari judul
Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.
Najitam, Fikriaa, Fiqh Jilbab (Membaca Dinamika Jilbab Dalam Hukum
Islam), (Yogyakarta: Jurnal Mahasiswa S3 Program Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dosen STAI Nahdltul Ulama (STAINU)
Kebumen
Nawawi, Hadi. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada
University. 1998.
66
Antara Imam Syafi‟I dan Imam Abu Hanifah, Riau: Skripsi Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, 2011,t.d. , “Pluralisme Agama Dan
Toleransi Dalam Islam Perspektif Yusuf Al-Qaradhawi”, Vol. 4, No. 2,
Oktober, 201.