Anda di halaman 1dari 89

PENETAPAN MAHAR DALAM PERKAWINAN ADAT JAMBI

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


(Studi Kasus Desa Muara Panco Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten

Merangin-Jambi)

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh
ITMAM HUDA. Z
NIM: 1113044000108

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1438 H
ABSTRAK

ITMAM HUDA Z, NIM : 1113044000108, PENETAPAN MAHAR


DALAM PERKAWINAN ADAT JAMBI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi Kasus Desa Muara Panco Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten
Merangin-Jambi), Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017 M / 1348 H.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian mengenai tinjauan hukum Islam
terhadap mahar dalam perkawinan adat Jambi. Penelitian ini bertujuan untuk
menjawab bagaimana landasan yang digunakan oleh masyarakat Desa Muara Panco
dalam menetapkan mahar.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), yang bersifat


analitik merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif yang bertujuan bukan
hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi juga menganalisa dan
menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi. Kriteria data yang didapatkan
berupa data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
observasi, wawancara, dokumentasi, dan studi pustaka.
Dalam penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa landasan yang digunakan
dalam menetapkan jumlah mahar yang harus dibayarkan tidak lain adalah untuk
kesetaraan mengingat status sosial masyarakat yang berbeda-beda maka ditetapkan
jumlah mahar agar hal tersebut tidak memberatkan bagi masyarakat. Ketetapan adat
ini tidak bertentangan dengan syariat karena tidak ada penegasan dalam syariat
mengenai jumlah mahar dan juga tidak ada larangan dalam menetapkan jumlah
mahar.

Kata Kunci : Mahar Dalam Perkawinan Adat Jambi


Pembimbing : Dr. Azizah. MA
Daftar Pustaka : Tahun 1990 s.d Tahun 2014

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat, hidayah serta nikmat-Nya, baik jasmani maupun rohani sehingga penulis

mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik. Sholawat serta salam semoga

Allah SWT selalu melimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW selaku

pemimpin dari seluruh pemimpin. Sehingga dengan segala perjuangan Beliau

dalam menegakkan agama Islam kita semua dapat menjadikan perjuangan beliau

sebagai suri tauladan bagi kita semua.

Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan rintangan yang

penulis hadapi, tetapi dengan izin Allah SWT, kerja keras serta usaha dan do’a dari

orang tua, guru dan teman-teman seperjuangan saya mampu menyelesaikan skripsi

dengan baik dan semoga skripsi ini mampu memberi manfaat bagi penulis dan

pembaca.

Oleh karena itu sudah sewajarnya penulis pada kesempatan ini ingin

mengungkapkan rasa terima kasih yang begitu mendalam kepada :

1. Ucapan terimakasih yang mendalam kepada kedua orang tua tercinta,

Ayahanda & Ibunda tercinta (Drs. H. Zulkifli, M.Pdi dan Ibunda Hj.

Nurhayati, S.Pdi) sebagai motivasi tertinggi, selaku pemberi semangat, do’a

dan support, baik materi maupun non materi kepada penulis. Semoga selalu

diberi perlindungan oleh Allah S.W.T

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

vi
3. Dr. H. Abdul Halim, M,Ag dan Arif Furqon. MA selaku Ketua dan

Sekretaris Program Studi Ahwal As-Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Dr. Hj. Azizah, MA selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan

segala perhatiannya kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. Semoga

apa yang telah ibu berikan bermanfaat bagi penulis dan dibalas dengan

kebaikan yang berlipat

5. Rosdiana, MA., selaku dosen akademik yang telah memberikan pengaruh

serta dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi

6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pada lingkungan Program Studi Ahwal As-

Syakhsiyyah Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan banyak ilmu kepada penulis

selama menjadi mahasiswa.

7. Teruntuk keluargaku tercinta, kakakku : Fairoza Humairati, adikku :

Muhammad Haikal, neneku : Ra’iyah, dan keponakanku : Syifa Salsabilla

8. Kepada guruku Ustad Dede Hasyim ‘Asyari yang selalu membimbing dan

menasehati, terimakasih banyak

9. Teman-teman seperjuangan, Fadli, Momon, Habib, Lutfan, Hilmi,

Miftahullah, Ade Hidayat, Adi Septian, Rivaldi, Wafi, Ziyad, Faiq, Ache,

Fiyan, Martin dkk kelas Peradilan Agama yang selalu memberikan bantuan

dan motivasi, semoga sukses selalu

10. Teman-teman SLAMDUNK dan teman-teman KKN MISAKI yang saling

memberi dukungan dan motivasi

vii
11. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan

kepada penulis baik secara moral dan materil

Semoga Amal dan kebaikan mereka semua dibalas Allah SWT dengan

balasan yang berlipat ganda dan penulis berharap semoga skripsi ini mampu

memberikan manfaat yang besar bagi penulis maupun bagi pembaca.

Ciputat, 14 Juni 2017

Itmam Huda. Z

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... ii

LEMBAR PEMBIMBING ............................................................................ iii

PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................................... iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................ 1


B. Identifikasi Masalah ......................... ....................................... 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah ... ............................................ 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 8
E. Review Studi Terdahulu .......................................................... 9
F. Metode Penelitian .................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 13

BAB II MAHAR DALAM PERKAWINAN ISLAM

A. Pengertian Mahar Menurut Hukum Islam ............................... 15


B. Dasar Hukum Mahar ................................................................ 18
C. Syarat dan Jenis-jenis Mahar .................................................. 21
D. Kadar dan Batsan Mahar ......................................................... 25
E. Hikmah Disyariatkannya Mahar ............................................. 30

BAB III GAMBARAN UMUM DESA MUARA PANCO

A. Gambaran dan Lokasi Penelitian.............................................. 35


B. Kondisi Sosial Masyarakat ...................................................... 39

ix
C. Fungsi dan Kedudukan Adat Desa Muara Panco .................... 45

BAB IV MAHAR ADAT MUARA PANCO DALAM PERSPEKTIF


HUKUM ISLAM
A. Konsep Mahar Dalam Adat Muara Panco................................ 49
B. Praktik Pemberian Mahar Dalam Adat ................................... 56
C. Tinjauan Hukum Islam Tentang Mahar
di Desa Muara Panco ..................................................... ........ 60

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... ........................................................................... 67
B. Saran… ..................................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragaman, baik itu

etnik, budaya, adat maupun agama. Untuk yang terakhir, agama di Indonesia lahir

dan berkembang dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnya.

Masyarakat muslim, diatur prilakunya oleh hukum Islam. Baik itu yang berkaitan

dengan hubungan horizontal, maupun hubungan vertikal (hubungan dengan sang

khalik). Titik fungsional hukum Islam terus menerus membentuk struktur sosial
1
masyarakat muslim dalam menjalani kehidupan sosialnya. Usaha untuk

mengaplikasikan Islam dalam tiap usur kehidupan masyarakat tidak terlepas dari

budaya, kebiasaan, dan hukum adat yang masih dipertahankan di sebagian daerah.

Setiap suku (dalam konteks Indonesia) memiliki adat istiadat atau kebiasaan

tersendiri yang berbeda-beda. Salah satu perbuatan dimana negara juga

mewajibkannya untuk melakukannya menurut agama dan kepercayaannya masing-

masing ialah perkawinan.

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu

untuk segera melaksanakannya, Karena perkawinan dapat mengurangi

kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.

Orang yang berkeinginan untuk melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai

persiapan bekal (fisik maupun non fisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW

1
Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam hukum
Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012) h. 11

1
2

untuk berpuasa. Orang berpuasa akan memilki kekuatan atau penghalang dari

berbuat tercela, yaitu perzinaan. 2 Perkawinan juga merupakan sunnatullah yang

umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun

tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan

bagi makhluk-Nya untuk berkembang dan melestarikan kehidupannya. 3 Definisi

lain tentang perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntutan agama. Ada juga yang

mengartikan suatu perjanjian atau aqad (ijab dan qabul) antara seorang laki-laki dan

perempuan untuk menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami istri yang

sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun-rukan yang ditentukan oleh syariat

Islam.4

Jika kita merujuk pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membantuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 5 Oleh karena itu

perkawinan harus dipertahankan oleh kedua pihak agar mencapai tujuan tersebut.

Perkawinan menurut ajaran Islam terdapat beberapa hal yang harus

dipenuhi diantaranya kewajiban memberikan mahar oleh suami kepada isteri. (QS.

An-Nisa’ (4) 3). Ayat tersebut menjelaskan bahwa pemberian itu ialah maskawin

yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak. Berdasarkan

2
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafik, 2009), h. 7
3
Tihami, Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat, Ed, I, Cet-3, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) h.6
4
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas,
2008) h. 3-4
5
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3

ayat itu dapat kita pahami bahwa mahar adalah sesuatu yang diberikan pleh pihak

suami kepada isteri unutk dimiliki sebagai penghalal hubungan mereka dan juga

bentuk kesetiaan dan cintanya kepada sang isteri.

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang

menyangkut sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam suatu

acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam

arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Dalam nikah

lebih baik ditentukan maskawinnya, meskipun masalah ini (maskawin)

diperselisihkan. Ada yang berpendapat bahwa maskawin tidak termasuk rukun

nikah, namun menurut ulama kalangan Malikiyah menempatkan mahar sebagai

rukun nikah yang ada, tetapi tidak mewajibkan penyebutannya ketika akad

dilangsungkan. Berbeda dengan jual beli yang menyebutkan harga merupakan salah

satu rukunnya. Sedang yang dimaksud pernikahan adalah bersatunya suami istri,

berbeda dengan jual beli, yang dimaksudkan adalah ganti dari barang yang dijual.6

Mengenai pernikahan, memang banyak adat yang mengatur di setiap

daerah, baik itu yang bertentangan dengan syariat Islam maupun tidak. Tidak dapat

kita pungkiri bahwa pernikahan harus mengikuti adat yang berlaku di daerah

tersebut. Pernikahan memanglah salah satu adat yang berkembang mengikuti

berkembangnya masyarakat, namun kepercayaan untuk berpegang teguh kepada

hukum adat masih berlaku di dalam sebuah adat pernikahan tersebut. Karena

6
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta : PT. RINEKA CIPTA,
2004). H. 143
4

hukum akan efektif apabila mempunyai basis sosial yang relatif kuat. Artinya

hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat secara sukarela.7

Sifat dan kebudayaan yang terjadi di masyarakat mewujudkan aturan-aturan

yang berbeda. Tidak menutup kemungkinan perbedaan itu terjadi terhadap aturan

adat dan aturan agama. Perbedaan yang sering kita jumpai di masyarakat adalah

dalam hal perkawinan. Walaupun agama Islam telah memberikan aturan yang jelas

tentang perkawinan, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak yang ditemukan

dalam pelaksanaan dan praktik perkawinan yang berbeda dikalangan umat Islam.

Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat

melangsungkan perkawinan. Pada prinsipnya cara paling umum dilakukan oleh

masyarakat adalah melalui peminangan. Dalam hal peminangan pada tiap

masyarakat (hukum adat) yang ada di Indonesia melakukan pelamaran atau

peminangan pada hakikatnya terdapat kesamaan, namun perbedaan-perbedaanya

hanyalah terdapat pada suatu alat atau sarana pendukung proses peminangan

tersebut.8 Dalam saat ini kondisi masyarakat mempunyai tingkatan berbeda-beda

maka sepantasnya menempuh perkawinan sesuai ekonomi yang ada. Selayaknyalah

dalam pemberian mahar, hendaklah memberikan mahar itu sesuai dengan

kemampuannya.9

Terkait dengan pemberian mahar seorang laki-laki terhadap perempuan

yang akan dinikahinya, Islam tidak menetapkan batasan terendah secara rinci

7
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.
340
8
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberti, 2007), h. 107
9
Abdul Qodir Jaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 120
5

jumlahnya. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa bagi maskawin tidak ada

batasan terendahnya, segala sesuatu yang berharga dapat dijadikan maskawin.

Namun menurut Imam Hanafi jumlah mahar yang harus dibayar sesuai dengan

kebiasaan setempat, dan jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham.10 Agama

Islam tidak menentukan suatu kadar dan bentuk mahar yang mengikat, namun

diserahkan sesuai dengan kesepakatan antara pihak wanita dengan pihak laki-laki

dengan syarat kepatutan, bermanfaat serta mahar itu mencakup pengertian yang

dapat dimiliki dan mempunyai nilai, juga halal menurut syariat Islam. 11 Seperti

halnya yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, yaitu mahar berupa sebentuk

cincin besi, sepasang sendal, mengucapkan kalimat syahadatain dan mengajarkan

al-Quran12

Disunnahkan meringankan mahar dan tidak terlalu tinggi dalam

menetapkannya. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW.13

‫ " إِ َّن ِم ْن أ َْعظَِم النِ َس ِاء بََرَكةً أَيْ َسَرُهن‬:‫ال‬


َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َّ ‫َع ْن َعائِ َشةَ َر ِضي هللاُ َعْن َها أ‬
َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َِّب‬ َ
‫ص َداقًا‬
َ
Artinya : Diriwayatkan ‘Aisyah r.a bahwasanya nabi bersabda :
“Sesungguhnya keberkahan pernikahan yang paling besar adalah orang yang
maharnya paling rendah”.

10
Ibnu Rusyd, Bida Yatul Mujtahid wa Nihyatul Mujqtashid, Penerjemah Ghazali dan A.
Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007) h. 432
11
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Alih Bahasa Maskur A.B dkk.
Cet ke-15 (Jakarta: Lentera, 2005), h. 367-368
12
Muslim, Shahih Muslim, Jilid I (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-‘Arbiyah) h. 596
13
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 9, Penerjemah Abdul hayyie al-Kattani,
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 230
6

Dari beberapa aturan Islam dan sabda Rasulullah sangat jelas bahwa Islam

tidak menetapkan batasan terendah secara rinci jumlahnya bahkan Islam memberi

aturan mahar dalam sebuah pernikahan sangatlah dipermudah. Namun pada realita

yang terjadi, sebagian masyarakat ada yang menyalahi aturan dan anjuran tersebut.

Mereka lebih menyukai kebiasaan-kebiasaan yang ada di masyarakat dan menjadi

tradisi keseluruhan masyarakat setempat. Interaksi antara hukum Islam dan Hukum

Adat merupakan suatu keniscayaan. Namun yang menjadi persoalan adalah

manakala ada aturan-aturan tertentu dalam hukum Adat yang membatasi atau

bertolak belakang dengan ketntun hukum Islam.

Hal demikian yang terjadi pada masyarakat Desa Muara Panco Kecamatan

Renah Pembarap ini, bahwa bagi setiap masyarakat yang ingin melangsungkan

pernikahan haruslah memenuhi semua syarat yang telah ditentukan, salah satunya

yaitu tentang jumlah mahar. Di dalam aturan Adat Desa Muara Panco kadar jumlah

mahar ditetapkan sebanyak satu mayam emas atau sebanyak 3,3 gram emas. Setiap

laki-laki yang ingin menikahi seorang wanita harus mampu membayar mahar

berupa satu mayam emas tanpa memandang status sosial, baik bagi masyarakat

yang kaya maupun yang miskin. Jika tidak mampu maka pernikahan tidak dapat

dilaksanakan, boleh dilaksanakannya pernikahan dengan catatan adanya jaminan

bahwa mahar tersebut akan dilunaskan, atau dijadikan sebagai hutang. Dalam

praktik Adat di Desa Muara Panco, bagi setiap laki-laki yang tidak mampu

membayar mahar yang telah ditentukan akan menggantikannya dengan suatu benda

yang mempunyai nilai yang sama, seperti praktik kebiasaan mayoritas masyarakat

Desa Muara Panco yang tidak mampu membayar jumlah mahar yang telah
7

ditentukan menggantikannya dengan satu pohon duku yang disamakan nilainya

dengan nilai mahar.

Dari latar belakang masalah di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti

dan mengkaji dalam bentuk skripsi yang berjudul, “Penetapan Mahar dalam

Perkawinan Adat Jambi Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Desa Muara

Panco, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin-Jambi)”.

B. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan

dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam latar

belakang di atas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu :

1. Seperti apa mahar dalam perkawinan adat di Desa Muara Panco Kecamatan

Renah Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi?

2. Apa yang menjadi dasar ditetapkannya mahar dalam perkawinan adat di

Desa Muara Panco Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin-

Jambi?

3. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap mahar dalam perkawinan adat

di Desa Muara Panco Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin-

Jambi?

4. Adakah kontradiksi antara hukum positif yang berlaku di Indonesia dengan

aturan adat tersebut?


8

5. Bagaimana penetapan mahar dalam perkawinan adat di Desa Muara Panco

Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi menurut Hukum

Islam?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah.

Agar penelitian ini dapat lebih terarah, jelas dan tidak meluas, maka penulis

memberikan batasan penyusunan skripsi ini pada hal-hal yang berkaitan dengan

standarisasi penetapan mahar di Desa Muara Panco Kecamatan Renah Pembarap

Kabupaten Merangin-Jambi dilihat dari hukum Islam.

2. Rumusan Masalah.

1. Bagaimana mahar dalam perkawinan adat di Desa Muara Panco Kecamatan

Renah Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi?

2. Bagaimana perspektif hukum Islam tentang penetapan mahar di Desa Muara

Panco Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan di atas maka yang menjadi

tujuan dari kegiatan penilitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui mahar dalam perkawinan adat di Desa Muara Panco

Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi.


9

2. Untuk mengetahui mahar dalam perkawinan adat di Desa Muara Panco

Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi dalam kajian

hukum Islam.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sebagai sumbangsih kepustakaan bagi para mahasiswa Fakultas Syariah

dan Hukum serta masyarakat luas pada umumnya.

2. Sebagai kontibusi ilmiah dalam memperkaya khazanah kepustakaan

Islam, khususnya dalam bidang studi Hukum Keluarga Islam.

3. Masyarakat, memberikan gambaran pengetahuan tentang penentuan

mahar yang benar dalam sebuah masyarakat, khususnya masyarakat

Desa Muara Panco Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin-

Jambi.

E. Review Studi Terdahulu

Untuk menemukan pembahsan dan penulisan skripsi ini penulis menelaah

literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis kemukakan dalam

penulisan skripsi.

1. Ismayudin bin H. Mohamed Shahid Tahun 2009, dengan judul “Kadar

Mahar Suami Meninggal Sebelum Dukhul (Analisis Terhadap Pemikira

Mazhab Maliki)”. Menjelaskan tentang jumlah mahar suami meninggal

sebelum dukhul menurut Mazhab Maliki. Perbedaan skripsi ini dengan

penulis bahwa skripsi ini lebih menekankan pada kadar mahar suami
10

meninggal berdasarkan pemikiran Mazhab Maliki. Sedangkan pembahasan

penulis adalah penetapan mahar di Desa Muara Panco Kecamatan Renah

Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi.

2. Eva Fatimah Tahun 2004, dengan judul “Konsep Mahar Menurut Empat

Imam Mazhab”. Membahas tentang mahar menurut Imam Mazhab yaitu

Imam Hanafiah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahamd bin Hambal.

Membahas tentang syarat-syarat, diwajibkannya mahar, macam-macam

mahar dan hikmah pemberian mahar. Perbedaan skripsi dengan penulis

bahwa skripsi ini lebih menekankan pada kajian mahar menurut Empat

Mazhab, sedangkan pembahasan penulis adalah tradisi standarisasi

penetapan mahar di Desa Muara Panco Kecamatan Renah Pembarap

Kabupaten Merangin-Jambi.

3. Luqman Hakim Tahun 2014, dengan judul “Analisis Hukum Islam

Terhadap Kadar Mahar (Studi Kasus Bagi Pelaut di Desa Sepuluh

Kecamatan Sepuluh Kabupaten Bangkalan). Membahas tentang

peningkatan kadar mahar bagi para pelaut di Desa Sepuluh Kecamatan

Sepuluh Kabupaten Bangkalan. Perbedaan skripsi ini dengan penulis bahwa

skripsi ini lebih menekankan pada peningkatan kadar mahar bagi para

pelaut, sedangkan pembahasan penulis adalah penetapan mahar di Desa

Muara Panco Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi.


11

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam pembahasan skripsi ini

adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penilitian

Penelitian tentang penetapan mahar di Desa Muara Panco

Kecamatan Renah Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi ini dikategorikan

sebagai penelitian kualitatif (field research). Penelitian lapangan ini adalah

penelitian yang bersumber datanya diambil dari objek penelitian

(masyarakat atau komunitas sosial) secara langsung di daerah penelitian.14

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penlitian

deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik

tertentu, tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana


15
hal itu terjadi. Data-data tersebut selanjutnya dianalisis meneurut

persfektif hukum Islam.

3. Metode Pengumpulan Data

Guna memperoleh data dalam penelitian ini penulis menggunakan

metode sebagai berikut:

14
Yayan Sopyan, Metode Penelitian, (Jakarta:tp, 2009), h. 28
15
Yayan Sopyan, Metode Penelitian, (Jakarta: tp, 2009), h. 20
12

a. Observasi, yakni mengamati langsung ke lapangan dalam

hubungannya dengan masalah yang akan diteliti untuk dianalisa dan

dikumpulkan.

b. Interview (wawancara) adalah cara pengumpulan data yang akan

dilakukan dengan bertanya dan mendengarkan jawaban langsung

dari sumber utama data. 16 Dalam hal ini penulis menggunakan

wawancara terpimpin, ini akan memberi kemudahan baik dalam

mengemukakan pertanyaan maupun dalam menganalisa untuk

mengambil kesimpulan. Di samping itu juga menggunakan

wawancara bebas, karena hal ini akan memudahkan diperolehnya

data secara mendalam. Wawancara dilakukan pada informan, tokoh

agama, tokoh adat dan masyarakat setempat.

c. Dokumentasi, yaitu yang dimaksud dengan dokumentasi adalah

teknik pengumpulan data dengan cara meneliti dokumentasi-

dokumentasi yang ada dan mempunyai relevansi dengan tujuan

penelitian.

4. Kriteria dan Sumber Data

a. Data primer, data yang didapat dari hasil observasi, wawancara

langsung dengan masyarakat, tokoh adat, tokoh masyarakat dan

tokoh agama setempat

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara mengambil

beberapa bacaan yang berkaitan dengan tema. Sumber data sekunder

16
Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (ttp: PPM, 2007)
h. 186
13

biasanya telah tersusun dalam bentuk dokumen ataupun buku-buku

yang dikumpulkan melalui studi pustaka. Data sekunder menjadi

pelengkap untuk membantu penulisan skripsi ini. Diantaranya al-

Quran dan Hadis, kitab-kitab fiqh, dan data lain yang terkumpul

yang mempunyai hubungan dengan tema ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam pengkajian masalah penulisan skripsi ini,

maka penulis membagi pokok-pokok bahasan sebagai berikut :

Bab pertama tentang pendahuluan yang meliputi pokok-poko permasalahan,

yaitu Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan

dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan.

Bab kedua tentang kajian teoritis mengenai syarat sahnya pernikahan. Bab

ini berisikan Pengertian Mahar, Dasar Hukum Mahar, Syarat dan Macam-macam

Mahar, Kadar dan Batasan Mahar, serta Tujuan dan Hikmah disyariatkannya

Mahar.

Bab ketiga tentang potret wilayah Desa Muara Panco Kecamatan Renah

Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi. Dalam bab ini dipaparkan mengenai

Gambaran Lokasi Penelitian, Kedudukan Hukum Adat, Kondisi sosial masyarakat,

dan Prosesi Perkawinan Adat masyarakat Desa Muara Panco Kecamatan Renah

Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi.


14

Bab keempat tetang subtansi dari penelitian ini. Dalam bab ini dipaparkan

tentang bagaimana penetepan mahar di Desa Muara Panco Kecamatan Renah

Pembarap Kabupaten Merangin-Jambi dan tinjauan Hukum Islam mengenai hal

tersebut.

Bab kelima tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok-pokok

permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, dan ditutup dengan saran-saran.
BAB II
MAHAR DALAM PERKAWINAN ISLAM

A. Pengertian Mahar Menurut Hukum Islam

Salah satu dari keistimewaan Islam adalah memperhatikan dan menghargai

kedudukan wanita, yaitu berupa memberi hak untuk wanita memegang urusannya,

salah satunya ialah hak mahar. Mahar secara bahasa diambil dari kata bahasa arab

yang bentuk mufradnya yaitu mahrun sedangkan bentuk jamaknya yaitu mahurun

yang secara bahasa mempunyai arti maskawin. 1 Menurut Wahbah Zuhaili, ada

beberapa nama untuk penyebutan mahar, yaitu : Mahar, Shaddaq, Faridhah, Nihlah,

Ajrun, ‘Uqrun, ‘Aalaiqun, Thaulun.2 Kata mahar dalam al-Qur’an tidak ditemukan,

yang digunakan adalah kata shaduqah sebagaimana dalam al-Qur’an surat an-Nisa’

[4]:4.

)4: ‫ فَِإ ْن ِطْب نَا لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِمْنهُ نَ ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِْي ئًا َم ِريْئًا (النساء‬،ً‫ص َدقَتِ ِه َّن ِ ِْنلَة‬ ِ
َ َ‫َوأَتُ ْوا الن َساء‬

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu


nikahi)sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagai dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya (an-
Nisa’:4)

Istilah mahar ditemukan dalam hadis nabi, diantaranya :

‫استُ ِح َّل بِِه فَ ْر ُج‬ ِ


ْ ‫ " َما‬:‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ ُّ ِ‫ال الن‬
َ ‫َِّب‬ َ َ‫ ق‬:‫ت‬ ِ ِ
ْ َ‫َع ْن َعائ َش َة َرض َي هللاُ َعْن َها قَال‬
ٍ ‫الْمرأَةِ ِمن مه ٍر أَو ِعد‬
‫َّة فَ ُه َو ََلَا‬ ْ ْ َ ْ َْ

1
M.A. Tihami dan sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), h. 36
2
Wahbah az-Zuhailiy, Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Daar al-fikr Damsiq, tt) juz 6 h. 6578

15
16

Artinya : “Dari ‘Aisyah r.a ia berkata : telah bersabda nabi SAW : Sesuatu
yang dituntut untuk menghalalkan farj (hubungan suami isteri) yaitu dari mahar
atau ‘iddah, maka itu adalah hak untuknya” (HR. Baihaqi).3
Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar

adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati

calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih kepada calon istri.4 Kata mahar

ini berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa Indonesia, akan tetapi

digunakan dengan istilah shaduqoh.5 Mahar atau shadaq dalam hukum perkawinan

Islam merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh seorang pengantin laki-

laki kepada pengantin perempuan.6

Mahar menurut istilah ialah suatu pemberian yang disampaikan oleh pihak

mempelai laki-laki kepihak mempelai perempuan dikarenakan adanya ikatan

perkawinan.7 Menurut Sayyid Sabiq, Pemberian mahar ini bersifat wajib, sekalipun

mahar tidak termasuk dalam rukun perkawinan di dalam Islam, akan tetapi karena

sebab seorang laki-laki memberi mahar pada wanita tersebut sesuai dengan

keinginan wanita dan kemampuan laki-laki tersebut, mahar akan menjadikan istri

berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya. 8 Imam

3
Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, Juz 7 (Libanon: Darul Kutub Ilmiyah,
tt), h. 384
4
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka setia, 1999,
cet ke-1), h. 105
5
Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 77
6
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, (Jakarta: UI
,Press, 1986), h. 68
7
Mustafa Kamal, Fiqh Islam, Cet III, (Jogjakarta: Citra Karya Mandiri, 2002), h. 263
8
Sayyid Sabbiq, Fiqih Sunnah Jilid II , (Bandung: Alma’arif, 1990), h. 53
17

Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang

laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.9

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mahar adalah pemberian dari calon

mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau

jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.10 Adapun mahar dalam istilah

ulama fiqh disebut nihlah, sadaq, faridah dan ajrun yang di dalam bahasa Indonesia

memiliki arti yang sama yaitu mahar atau maskawin. Menurut istilah syara’ mahar

ialah suatu pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada istri dengan sebab

pernikahan.11

Dalam tradisi Arab, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh, mahar

itu meskipun wajib, namun tidak mesti diserahkan waktu berlangsungnya akad

nikah dan boleh pula sesudah berlangsungnya akad nikah. Oleh karena itu, definisi

yang dapat mencakup dua kemungkinan itu adalah “pemberian khusus yang bersifat

wajib berupa uang yang diserahkan mempelai laki-laki kepada perempuan ketika

atau akibat berlangsungnya akad nikah.12

Mahar bukan hanya sejumlah uang, harta dan barang-barang lainnya,

sebagaimana lahirnya, tetapi mahar adalah suatu pertanda kebenaran dan

kesungguhan cinta seorang laki-laki, karena itulah mahar juga dinamakan dengan

shidaq (kebenaran). Wanita tidak menjual dirinya dengan mahar, tetapi dengan ini

9
Abd Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta : Kencana 2003), h. 85
10
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia, (Jakarta : Gema Insani Press, 1994)
11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 84
12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 85
18

ia dapat mengetahui ketulusan hati seorang laki-laki, yang mampu menciptakan

sebuah sarana yang sesuai bagi wanita agar wanita tersebut dapat melaksanakan

kewajibankewajibannya. Inilah salah satu falsafah mahar.13

B. Dasar Hukum Mahar

Laki-laki yang ingin mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan

mahar kepada istrinya itu dan berdosa suami yang tidak menyerahkan mahar kepada

istrinya.14

Perintah pembayaran mahar ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat

An-Nisa ayat 4 :

)4: ‫ فَِإ ْن ِطْب نَا لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِمْنهُ نَ ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِْي ئًا َم ِريْئًا (النساء‬،ً‫ص َدقَتِ ِه َّن ِ ِْنلَة‬ ِ
َ َ‫َوأَتُ ْوا الن َساء‬

Artinya : ”Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu


nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan yang sedap lagi baik
akibatnya”. (QS. An-Nisaa’ : 4)

Dan firman Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 24 :

‫اَّللِ َعلَْي ُك ْم َوأ ُِح َّل لَ ُك ْم َما َوَراءَ َذلِ ُك ْم‬ ِ ِ ِ ِ ‫والْمحصن‬
َّ ‫اب‬َ َ‫ت أَْْيَانُ ُك ْم كت‬ ْ ‫ات م َن الن َساء إََِّّل َما َملَ َك‬ ُ ََ ْ ُ َ
ِِ ِِ ِِ ِ
‫اح‬ َ ‫ورُه َّن فَ ِر‬
َ َ‫يض ًة َوََّل ُجن‬ َ ‫ُج‬
ُ ‫وه َّن أ‬ُ ُ‫استَ ْمتَ ْعتُ ْم بِه مْن ُه َّن فَآت‬
ْ ‫ني فَ َما‬ َ ‫ني َغْي َر ُم َسافح‬ َ ‫أَ ْن تَْب تَ غُوا ِِب َْم َوال ُك ْم ُُْمصن‬
ِ ِ ِ ِ َ ‫اضْي تُم بِِه ِمن ب ْع ِد الْ َف ِر‬ ِ
)44 :‫يما (النساء‬ ً ‫يما َحك‬ ً ‫يضة إ َّن ا ََّّللَ َكا َن َعل‬ َ ْ ْ َ ‫يما تَ َر‬ َ ‫َعلَْي ُك ْم ف‬

13
Ibrahim Amini, Kiat Memilih Jodoh : Menurut al-Quran dan Sunnah, Pnerjemah :
Muhammad Taqi, (Jakart : Lentera, 1994), Cet Ke-I, h. 157
14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h. 85
19

Artinya : “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,


kecuali budak-budak yang kamu milik (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kwajiban; dan
tidaklah mengapa bagi kamu terhadap sasuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sudah menentukan mahari itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha bijaksana”. (QS An-Nisaa’ 24)

Selain di dalam Al-Quran, mahar juga disebutkan dalam sabda Nabi SAW,

diantaranya :

1. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, yang berbunyi :

‫ صلى هللا‬- ‫اَّلل‬ َِّ ‫ول‬ ُ ‫ال لَهُ َر ُس‬ ِ َ‫ لَ َّما تَزَّوج علِي ف‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬.َ‫اط َمة‬ َّ ‫ َر ِض َي‬- ‫اس‬
َ َ‫ ق‬-‫اَّللُ َعْن ُه َما‬ ٍ َّ‫َو َع ِن ابْ ِن َعب‬
ٌّ َ َ َ
,‫ َرَواهُ أَبُو َد ُاوَد‬.?ُ‫ك احلُطَ ِميَّة‬ ِ َ َ‫ ق‬.ٌ‫ َما ِعْن ِدي َش ْيء‬:‫ قَا َل‬.‫َ ْع ِط َها َشْي ئًا‬:‫عليه وسلم‬
َ ُ‫ فَأَيْ َن د ْرع‬:‫ال‬
‫احلَاكِ ُم‬
ْ ُ‫ص َّح َحه‬ ِ ‫والن‬
َ ‫ َو‬,‫َّسائ ُّي‬
َ َ

Artinya : Dari Ibnu Abbas r.a beliau berkata : tatkala mengawinkan


Fatimah r.a maka Rasul bersabda kepadanya : “Berilah Fatimah itu sesuatu”, Ali
menjawab : “Saya tidak mempunyai sesuatu”, Rasul bertanya : “Mana baju
Hutamiyyahmu?” (HR. Abu Daud dan Nasa’i, dan disahihkan oleh Hakim)15

2. Hadis yang berasal dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi

‫ا ٍ ِم ْن َح ِديد‬
ٍَ َ‫ «تَ َزَّو ْج ولَ ْو ِب‬:‫ال لِر ُج ٍل‬
َ َّ ِ َّ َ ‫َِّب‬
َ َ َ‫صلى هللاُ َعلَْيه َو َسل َم ق‬ َّ ‫ أ‬،‫َع ْن َس ْه ِل بْ ِن َس ْع ٍد‬
َّ ِ‫َن الن‬

Artinya : Dari Sahal bin Sa’di bahwa Nabi bersabda : “Hendaklah seorang
menikah meskipun (hanya dengan mahar) sebuah cincin yang terbuat dari besi.”
(HR. Bukhari).16

15
Ahmad al-Asqalani, Bulughul Maram, cet ke-VII (Riyadh : Daar al-falq, 1424 H)
16
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Bait al-
Afkar ad-Dauliyah, 1998) Juz VII h. 20
20

3. Hadis yang diriwayatkan ‘Aisyah :

‫ " إِ َّن ِم ْن أ َْعظَِم النِ َس ِاء بََرَكةً أَيْ َسَرُهن‬:‫ال‬


َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َّ ‫َع ْن َعائِ َش َة َر ِضي هللاُ َعْن َها أ‬
َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َِّب‬ َ
‫ص َداقًا‬
َ
Artinya : Diriwayatkan ‘Aisyah r.a bahwasanya nabi SAW bersabda :
“bahwa pernikahan yang paling diberkahi adalah pernikahan yang paling mudah
(maharnya)”.17
Mengenai status hukum mahar, para ulama berbeda pendapat. Menurut

Imam Malik mahar merupakan hukum nikah. Sebagai konsekuensinya jika

memakai sighat nikah, maka mahar harus disebutkan ketika akad nikah, jika tidak

maka nikahnya tidak sah. Sedangkan menurut ketiga imam lainnya yaitu Imam

Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali, bahwa mahar termasuk syarat sahnya

nikah. Oleh karena itu tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya.

Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa mahar bukanlah hukum dan syarat sahnya

nikah, tetapi hanya merupakan konsekuensi logis yang harus dibayarkan dengan

adanya akad nikah.18

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mahar diatur dalam beberapa

pasal, yaitu :

Pasal 30, menjelaskan bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar

kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, jenisnya disepakati oleh kedua

belah pihak.

17
Abu Bakar Ahmad al-baihaqi, al-Sunan al-Kubro Juz VII (Libanon: Darul Kutub Ilmiah,
tt) h. 384
18
Wahbah az-Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, juz 4 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 6761
21

Pasal 31, menjelaskan bahwa penentuan mahar berdasarkan atas

kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh Islam.

Pasal 32, menjelaskan bahwa mahar diberikan langsung kepada calon

mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33, menjelaskan bahwa penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.

Apabila calon wanita menyetujui, penyerahan boleh ditangguhkan baik seluruhnya

atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon

mempelai pria.19

C. Syarat dan Jenis-jenis Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon isteri harus memenuhi beberapa syarat,

yaitu :20

1. Harta berharga, tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun

tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya, mahar sedikit tapi bernilai

tetap sah disebut mahar.

2. Barangnya suci dan bermanfaat, tidak sah mahar dengan barang yang

diaktegorikan haram oleh Islam, seperti khamar, babi atau darah dan lain

sebagainya..

19
Instruksi Presidem No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 31-33
20
M.A. Tihami dan sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), h. 39-40
22

3. Bukan barang ghasb, yaitu mengambil barang milik orang lain tanpa

seizinnya namun tidak bermaksud memilikinya. Jika memberikan mahar

dengan barang hasil ghasb tidak sah, tetapi akadnya sah.

4. Bukan barang yang tidak sah keadaannya, maksudnya tidak sah mahar

dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaanya, atau tidak

disebutkan jenisnya.

Dari segi jenisnya mahar dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang sudah disebut atau dijanjikan

kadar dan besarnya pada saat akad nikah berlangsung. Atau, mahar yang

disebutkan bentuk, wujud atau nilainya secara jelas dalam akad. Inilah

mahar yang umum berlaku dalam suatu perkawinan. Selanjutnya kewajiban

suami untuk memenuhi selama hidupnya atau selama berlangsungnya

perkawinan. Suami wajib membayar mahar tersebut yang wujud atau

nilainya sesuai dengan apa yang disebutkan dalam akad perkawinan itu.21

Ulama fikih sepakat bahwa, dalam pelaksanaannya, mahar

musamma harus diberikan secara penuh apabila terpenuhi syarat-syarat

berikut ini:22

a). Telah bercampur (bersenggama). Berdasarkan firman Allah SWT :

21
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, h. 89
22
M.A. Tihami dan sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), h. 45-46
23

ِ ِ ِ ٍ ُ ‫وإِ ْن أَرْد‬
ُ‫استْب َد َال َزْو ٍج َم َكا َن َزْو ٍج َوآتَْي تُ ْم إِ ْح َد ُاه َّن قْنطَ ًارا فَ ََل ََتْ ُخ ُذوا مْنهُ َشْي ئًا أ َََتْ ُخ ُذونَه‬
ْ ُ َ َ
)42( ‫اًن َوإِْْثًا ُمبِينًا‬
ً َ‫بُ ْهت‬
Artinya : “Dani jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri
yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari
padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambil kembali dengan
jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata” (QS.
An-Nisaa’ : 20).
b). Salah satu dari suami istri meninggal, demikian menurut ijma’. Mahar

musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur

dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti sang

isteri adalah mahramnya sendiri, atau istri sudah hamil dari bekas suami

lama. Akan tetapi jika istri diceraikan sebelum bercampur, hanya wajib

bayar setengahnya, berdasarkan firman Allah SWT

‫ضتُ ْم إََِّّل أَ ْن يَ ْع ُفو َن‬ ِ ‫ضتُم ََل َّن فَ ِر‬ ِ ‫وإِ ْن طَلَّ ْقتُم‬
ْ ‫ف َما فَ َر‬ ُ ‫ص‬ ْ ‫يضةً فَن‬َ ُ ‫وه َّن م ْن قَ ْب ِل أَ ْن َتََ ُّس‬
ُ ْ ْ ‫وه َّن َوقَ ْد فَ َر‬ ُ ُ َ
َّ ‫ض َل بَْي نَ ُك ْم إِ َّن‬ ِ ‫اح وأَ ْن تَع ُفوا أَقْ ر‬ ِ ِِ ِ ِ
َ‫اَّلل‬ ُ َ ْ َ ِ ‫أ َْو يَ ْع ُف َو الَّذي بيَده ُع ْق َدةُ الن َك‬
ْ ‫ب للتَّ ْق َوى َوََّل تَْن َس ُوا الْ َف‬
)432( ٌ‫صري‬ ِ ‫ِِبَا تَعملُو َن ب‬:
َ َْ
Artinya : “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah
kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-ieterimu itu memaafkan atau
dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu
itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Al-Baqarah : 237).
2. Mahar Mitsil
24

Mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan jenis dan

jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar

sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya.23

Menurut Hanafi, mahar mitsil ditetapkan berdasarkan keadaan

wanita yang serupa dari pihak suku ayah, bukan suku ibunya. Tetapi

menurut Maliki, mahar ditetapkan berdasarkan keadaan wanita tersebut baik

dari segi fisik maupun moralnya. Sedangkan Syafi’i menganalogikannya

dengan isteri dari anggota keluarga, yaitu isteri saudara dan paman,

kemudian saudara perempuan, dan seterusnya. Dan bagi Hambali, hakim

harus menentukan mahar mitsil dengan menganalogikannya pada wanita-

wanita yang menjadi kearabat wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi.

Sementara itu Imamiyah mengatakan bahwa, mahar mitsil tidak mempunyai

ketentuan dalam syara’. Untuk itu, nilainya ditentukan oleh ‘urf yang paham

ihwal wanita, baik dalam keadaan nasab maupun kedudukan, juga

mengetahui keadaan yang dapat menambah atau berkurangnya mahar,

dengan syarat tidak melebihi mahar yang berlaku menurut ketentuan

sunnah, yaitu senilai 500 dirham.24

Mahar mitsil dapat terjadi apabila dalam keadaan sebagai berikut :25

23
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, h. 89
24
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta : Lentera Baristama, 2002) h. 368
25
M.A. Tihami dan sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), h. 47
25

a) Bila tidak disebutkan kadar dan besarnya mahar ketika berlangsung akad

nikah, kemudian suami telah bercampur (bersenggama) dengan istri atau

meninggal sebelum bercampur.

b) Dan jika mahar musamma belum dibayar, sedangkan suami telah bercampur

dengan isteri.

c) Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak

memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti

maharnya adalah minuman keras.

d) Suami menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami isteri

berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak dapat

diselesaikan.

D. Kadar dan Batasan Mahar

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah

maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan

kemampuan manusia dalam memberinya. Orang kaya mempunyai kemampuan

untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya.

Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya.26

Mahar adalah pemberian sesuatu dari pihak pria sesuai dengan permintaan

perempuan dengan batas-batas yang ma’ruf. Besarnya mahar tidak dibatasi. Islam

memberikan prinsip pokok yaitu “secara ma’ruf”. Artinya dalam batas yang wajar

26
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), h. 40
26

sesuai kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan oleh isteri. 27

Syariat tidak menetapkan batasan minimal, tidak pula maksimal atas mahar (yang

harus diberikan kepada pihak perempuan). Sebab, manusia memiliki keberagaman

dalam tingkat kekayaan dan kemiskinan. Manusia pun berbeda-beda dari segi

kondisi sulit dan lapang, serta masing-masing komunitas memilliki kebiasaan dan

tradisi yang berbeda-beda. Dari itu, syariat tidak memberi batasan tertentu atas

mahar, agar masing-masing memberi sesuai dengan kondisi serta kebiasaan

tradisinya. Dari semua teks syariat yang ada, tidak ada syariat terkait jenis mahar

selain berupa sesuatu yang memiliki nilai tanpa memandang seidikit maupun

banyak. Dengan demikian, mahar boleh hanya berupa cincin dari besi, atau berupa

semangkuk korma, atau berupa jasa pengajaran kitab Allah, dan atau semacamnya,

jika kedua belah pihak yang melaksanakan akad nikah saling meridhainya.28

Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat Islam, melainkan

menurut kemampuan suami beserta keridaan isteri. Suami hendaklah benar-benar

sanggup membayarnya, karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya

menjadi hutang atas suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya hutang kepada

orang lain. Kalau tidak dibayar, akan dimintai pertanggungjawabannya. Janganlah

terpedaya dengan kebiasaan bermegah-megah dengan banyak mahar sehingga si

27
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 19991), h. 78-
79
28
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Kairo : Dar al-Fath Li I’lam al-‘ Arabi, 1999), h.
101-102
27

laki-laki menerima perjanjian itu karena hutang, sedangkan dia tidak ingat akibat

yang akan menerima dirinya.29

Para ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalam mahar

tersebut karena adanya firman Allah SWT QS. An-Nisaa’ (4) 20 yang berbunyi :

ِ
ً َ‫استِْب َد َال َزْو ٍج َم َكا َن َزْو ٍج َوآتَْي تُ ْم إِ ْح َد ُاه َّن قْنطَ ًارا فَ ََل ََتْ ُخ ُذوا ِمْنهُ َشْي ئًا أ َََتْ ُخ ُذونَهُ بُ ْهت‬
‫اًن َوإِْْثًا‬ ْ ٍُ ُ ‫َوإِ ْن أ ََرْد‬
)42( ‫ُمبِينًا‬
Artinya : “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun”.
Tetapi mereka berbeda pendapat tentang batas minimalnya, Imam Syafi’i, Imam

Hambali dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas minimal dalam mahar.

Segala sasuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli boleh dijadikan mahar.

Sementara itu Imam Hanafi mengatakan bahwa jumlah mahar yang harus dibayar

disesuaikan dengan kebiasaan tempat di mana mereka melaksanakan akad nikah.30

Dan jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Jika suatu akad dilakukan

dengan mahar kurang dari sepuluh dirham, maka akad tetap sah, dan wajib

membayar sepuluh dirham. Imam Maliki mengatakan, jumlah minimal mahar

adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan dengan mahar kurang dari jumlah

tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka suami harus membayar tiga dirham.

Tetapi bila belum mencampuri, dia boleh memilih antara tiga dirham (dengan

29
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994), Cet Ke 27, h. 393-
394
30
Khiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: Academia 2005), H. 142
28

melanjutkan perkawinan) atau fasakh akad, lalu membayar separuh mahar

musamma.31

Dalam syariat Islam hanya ditetapkan bahwa maskawin harus berbentuk dan

bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Walau tidak ada batas minimal dan maksimal

namun hendaknya berdasarkan pada kesanggupan dan kemampuan suami. Islam

tidak menyukai mahar yang berlebihan,32 berdasarkan sabda Nabi SAW :

‫ص ُد ِق النِ َس ِاء فَِإن ََّها‬ ِ


ُ ‫ال أَََّل ََّل تُغَالُوا ب‬ َّ ُ‫ال َخطَبَ نَا عُ َم ُر َرِِحَه‬
َ ‫اَّللُ فَ َق‬ ُّ ‫َع ْن أَِِب الْ َع ْج َف ِاء‬
َ َ‫السلَ ِم ِي ق‬
ِ َّ ‫اَّلل لَ َكا َن أَوََّل ُكم ِِبا النَِِّب صلَّى‬ َِّ ‫لَو َكانَت مكْرمةً ِِف الدُّنْيا أَو تَ ْقوى ِعْن َد‬
‫ص َد َق‬ ْ َ‫اَّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َما أ‬ َ ُّ َ ْ ْ َ ْ َ َُ َ ْ ْ
‫ت ْامَرأَةٌ ِم ْن بَنَاتِِه أَ ْكثَ َر ِم ْن ِِْن َ َْ َع ْشَرَة‬ ِ ‫اَّلل علَي ِه وسلَّم امرأًَة ِمن نِسائِِه وََّل أ‬ َِّ ‫ول‬
ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ َُّ ‫صلَّى‬
ْ َ‫ُصدق‬ َ ‫اَّلل‬ ُ ‫َر ُس‬
ً‫أُوقِيَّة‬
Artinya : Diriwayatkan oleh Abu Al Ajfa As-Sulami, dia berkata, "Umar bin
Khaththab telah berbicara kepada kami, 'Janganlah kalian menjadikan mahar
wanita-wanita kalian mahal, karena seandainya mahalnya mahar itu adalah
sebuah bentuk penghormatan di dunia, atau dianggap bagus di akhirat, maka
Nabilah yang lebih utama untuk mengerjakan hal tersebut, tetapi Nabi SAW tidak
pernah memberikan mas kawin kepada istri-istrinya dan mas kawin anak-anaknya
lebih dari dua belas uqiyyah.33
Berkaitan dengan pembayaran mahar, Syafi’i, Malik, dan Dawud

berpendapat suami tidak wajib memberikan mahar seluruhnya, kecuali jika telah

diawali dengan persetubuhan, dan jika (belum melakukan persetubuhan) maka

hanya wajib membayar setengahnya. 34 Allah berfirman dalam Al-quran QS. Al-

Baqarah (2) 237 yang berbunyi :

31
Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur A.B., Afif
Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta : Lentera Baristama, 2002) h. 364-365
32
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h.
301
33
Abu Dawud, Shahih Sunan Abu Dawud, (Jakarta : Pustaka Azzam 2010) Juz I h. 776
34
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta : Kencana Grup, 2010), h. 305
29

‫ضتُ ْم إََِّّل أَ ْن يَ ْع ُفو َن أ َْو يَ ْع ُف َو‬ ِ ‫ضتُم ََل َّن فَ ِر‬ ِ ‫وإِ ْن طَلَّ ْقتُم‬
ْ ‫ف َما فَ َر‬
ُ ‫ص‬
ْ ‫يضةً فَن‬ َ ُ ‫وه َّن م ْن قَ ْب ِل أَ ْن َتََ ُّس‬
ُ ْ ْ ‫وه َّن َوقَ ْد فَ َر‬ ُ ُ َ
ِ ‫اَّلل ِِبَا تَعملُو َن ب‬ ِ ِ ‫اح وأَ ْن تَع ُفوا أَقْ ر‬ ِ ِِ ِ ِ
‫ص ٌري‬ َ َ ْ ََّ ‫ض َل بَْي نَ ُك ْم إ َّن‬ ُ َ ْ َ ِ ‫الَّذي بيَده ُع ْق َدةُ الن َك‬
ْ ‫ب للتَّ ْق َوى َوََّل تَْن َس ُوا الْ َف‬
)432(
Artinya : “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka
bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-
isterimu itu memaafkan atau dimaakan oleh orang yang memegang ikatan nikah,
dan peamaafan kamu itu lebih dekat kepada taqwa. Dan janganlah kamu
melupakan keutamaan diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala
apa yang kamu kerjakan.”

Jika jumlah mahar belum ditentukan dan isteri belum pernah dicampuri,

maka isteri hanya berhak mendapatkan pemberian menurut keadaan suaminya.

Pemberian ini sebagai ganti rugi dari apa yang diberikan oleh mantan isterinya. 35

Berdasarkan firman Allah SWT QS. Al-Baqarah (2) 236 yang berbunyi :

ِ ِ ِ
ُ‫وه َّن َعلَى الْ ُموس ِع قَ َد ُره‬ َ ‫ضوا ََلُ َّن فَ ِر‬
ُ ُ‫يضةً َوَمتع‬ ُ ‫اح َعلَْي ُك ْم إِ ْن طَلَّ ْقتُ ُم الن َساءَ َما ََلْ َتََ ُّس‬
ُ ‫وه َّن أ َْو تَ ْف ِر‬ َ َ‫ََّل ُجن‬
ِِ ِ
)432( ‫ني‬ َ ‫اعا ِِبلْ َم ْع ُروف َحقًّا َعلَى الْ ُم ْحسن‬ ً َ‫َو َعلَى الْ ُم ْقِ ِِت قَ َد ُرهُ َمت‬
Artinya : “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum bercampur dengan mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah
(pemberian) kepada mereka. Orang yang mamppu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian yang patut.
Yang demikian itu ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa nabi SAW mengawinkan puteri-puteri

beliau dengan mahar yang paling mudah, tidak beratus-ratus apalagi beribu-ribu.

Demikian pula yang dilakukan oleh para salafus salih, mereka tidak pernah

menanyakan kekayaan calon menantu dan tidak menanyakan apa yang akan

35
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia, h.
305
30

diberikannya kepada anaknya, karena anaknya bukan barang dagangan yang

diperjualbelikan. Mereka adalah manusia, karena itu si ayah atau wali hendaklah

mencarikan manusia yang sepadan untuk anak puterinya, yaitu manusia mulia,

yakni mulia agamanya mulia akhlaknya, dan mulia tabi’atnya. Apa arti perkawinan

dan apa arti mahar yang tinggi bagi seorang gadis jika ia kawin dengan orang yang

tidak berakhlak dan tidak beragama.36

E. Hikmah Disyariatkannya Mahar

Mahar atau maskawin merupakan hak perempuan yang wajib diberikan oleh

seorang laki-laki. Mahar bukanlah sebagai pembelian atau ganti rugi. Karena itu,

jika ia telah menerimanya, hal itu berarti ia suka dan rela dipimpin oleh laki-laki

yang baru saja mengawininya.37 Hal ini sekaligus membuktikan bahwa mahar itu

adalah lambang atau tanda cinta suami terhadaap calon isterinya, sekaligus

berfungsi sebagai pertanda ketulusan niat dari calon suami untuk membina

kehidupan berumah tangga bersama calon isterinya. Pada masa Jahiliyah, hak

perempuan (berupa mahar) ini disia-siakan bahkan dihilangkan, sehingga mahar

yang seharusnya menjadi milik dari seorag perempuan malah diserahkan kepada

ayahnya (walinya) yang lalu menggunakannya dengan semena-mena sesuai dengan

36
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Komtemporer jilid I, (Jakarta : Gema Insani, 1995) h. 559
37
http://e-jurnal.stain-sorong.ac.id, mengutip dari buku Ibrahim Muhammad al-Jamal,
Fiqh al-Mar’a al-Muslimah, (Semarang : asy-Syifa’, 1986), h. 373
31

keinginannya. Lalu Islam datang menggugurkan kebiasaan tersebut yang sangat

tidak patut dan salah.38

Mahar adalah merupakan bukti bahwa Islam sangat menghormati derajat

kaum perempuan, dengan memberikannya hak penuh mahar untuk dimilikinya.

Karena dimasa sebelum masuknya Islam hak-hak bagi perempuan sangat dibatasi,

sehingga semua harta benda dikuasi oleh walinya dan tidak diberi hak untuk

memilki dan menguasinya sedikitpun. Maka Islam menghilangkan kebiasaan-

kebiasaan yang seperti itu, dan mewajibkan mahar sebagai hak perempuan, dan juga

mewajibkan bagi seseorang untuk memberikan mahar kepada perempuan bukan

kepada orangtuanya, dan tidak membenarkan bagi kaum kerabatnya untuk

mengambil sedikitpun dari mahar kecuali dia meridhainya.39

Sebagai bentuk pemeliharaan Islam terhadap kaum perempuan, yaitu sangat

melarang siapapun mengambil atau menguasai mahar yang telah diberikan suami

kepada isterinya meskipun suaminya sendiri yang mengambilnya. Sebagaimana

firman Allah :

ِ ِ ِ ٍ ُ ‫وإِ ْن أَرْد‬
ُ‫استْب َد َال َزْو ٍج َم َكا َن َزْو ٍج َوآتَْي تُ ْم إِ ْح َد ُاه َّن قْنطَ ًارا فَ ََل ََتْ ُخ ُذوا مْنهُ َشْي ئًا أ َََتْ ُخ ُذونَه‬
ْ ُ َ َ
)42( ‫ني‬ ً ِ‫اًن َوإِْْثًا ُمب‬
ً َ‫بُ ْهت‬
Artinya : “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang seikitpun.
Apakah kalian akan mengambilnya dengan kebohongan dan dosa yang nyata”.

38
http://e-jurnal.stain-sorong.ac.id, mengutip dari Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munir al-
‘Aqidah wa Syariah wa Manhaj, juz III (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991), h. 235
39
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid ke-II, h. 135
32

Islam juga mewajibkan seorang laki-laki bukan kepada seorang perempuan

untuk membayar mahar. Sebagaimana firman Allah :

:‫ض َوِِبَا أَنْ َف ُقوا ِم ْن أ َْم َواَلِِ ْم (النساء‬


ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬ ِِ ِ ِ
َ ‫اَّللُ بَ ْع‬
َّ ‫َّل‬
َ ‫ال قَ َّو ُامو َن َعلَى الن َساء ِبَا فَض‬
ُ ‫الر َج‬
)34
Artinya : “laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberi nafkah dari hartanya”.
(An-Nisaa : 34)

Dari ayat-ayat di atas, dapat dipahami bahwa mahar merupakan

penghargaan Islam terhadap kaum perempuan yang menjadi hikmah dalam suatu

perkawinan.

Disisi lain menurut Wahbah al-Zuhaily, salah satu hikmah pemberian mahar

dalam prosesi pernikahan pihak perempuan ialah sebagai tanda akan adanya

mawaddah yang akan ditegaskan secara bersama oleh suami isteri.40 Mawaddah

berarti rasa yang menghiasi perkawinan antara laki-laki dan perempuan bukan

sekedar cinta, sebagaimana kecintaan orangtua kepada anak-anaknya. Sebab rasa

cinta disini akan mendorong pemiliknya untuk mewujudkan cintanya sehingga

menyatu.41Dengan adanya kewajiban calon suami memberikan mahar kepada calon

isterinya merupakan indikasi bahwa setelah usai ijab qabul, maka seluruh beban

keluarga termasuk memberi nafkah lahir batin kepada isteri adalah sudah menjadi

tanggungjawab suami. Juga dalam hal memberikan perlindungan dan rasa aman

40
http://e-jurnal.stain-sorong.ac.id
41
Al-Ashafahani, al-Mufradat, pada term wadada, (t.t: t.p t.th) h. 516
33

kepada pendamping hidupnya, dengan segala kelebihan dan kekurangan, adalah

juga dibebankan kepada suami.

Sesuai dengan Quran maupun hadis, ada tiga tujuan umum dari perkawinan,

yaitu :

Pertama, untuk mengembangbiakkan umat manusia (reproduksi) di bumi.

Diantara ayat yang mengisyaratkan hal tersebut adalah al-Quran surat al-Syua’ara

ayat 11, Ar-Rumm ayat 21, An-Nahl ayat 72 dan An-Nisaa’ ayat 1. Menurut

Quraish Shihab, Al-Quran membedakan ayat yang berbicara pengembangbiakan

dalam konteks kehidupan manusia dan binatang. Dalam konteks kehidupan

manusia, pengembangbiakan itu dilakukan dengan mawaddah wa rahmah. Hal ini

menunjukkan bahwa tujuan akhir perkawinan itu adalah kehidupan keluarga

sakinah mawaddah wa rahmah.

Kedua, pemenuhan kebutuhan seksual. Dasar tujuan kedua ini berdasarkan

pada Al-Quran surat al-Mu’minun ayat 5-7, al-Baqarah ayat 223, dan An-Nur ayat

33.

Ketiga, memperoleh ketenangan (sakinah), cinta (mawaddah), dan kasih

sayang (rahmah) seperti yang dikemukakan dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 21.

Pada dasarnya ketiga tujuan di atas bermuara pada tujuan utama perkawinan

dalam Islam yakni membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.42

42
http://ejurnal.stainparpare.ac.id
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA MUARA PANCO

A. Gambaran dan Lokasi Penelitian


1. Historis

Dalam sejarah perkembangan desa Muara Panco selama ini, penulis mendapat

penjelasan dari beberapa sumber, bahwa nama desa Muara Panco diambil dari nama

sebuah sungai kecil yang berada disekitar desa. Yang pada mulanya sungai tersebut

menjadi maskot desa dikarenakan di sungai tersebut terdapat pertemuan dua muara

sungai. Pertemuan dua muara tersebut lah yang dinamakan air panco. Dengan

demikian oleh pemuka desa di masa silam dijadikanlah itu sebagai sebuah nama

desa yang ada sekarang.1

Untuk lebih jelas tentang sejarah berdirinya desa ini penulis diarahkan oleh

kepala desa untuk melihat salah satu dokumen desa yang berisikan penjelasan

penjelasan sejarah desa sebagai mana isi dokumen tersebut berikut ini:

“Desa Muara Panco berasal dari nama “Muara Panco”, yaitu sebuah sungai

yang berada disebelah Utara Desa. Sungai yang bernama sungai panco, “Panco”

berarti pertemuan antara dua hulu sungai” .2

Dari apa yang terdapat dalam dokumen tersebut dapat di pahami bahwa

penamaan desa ini merupapakan dasar yang jelas dengan mengambil kejadian alam

yang jarang terjadi terutaama di daerah sekitar wilayah desa ini. Di sisi lain desa ini

1
Wawancara dengan Kepala Desa Jumat 13 Januari 2016
2
Dokumentasi, Desa Muara Panco. Tahun 2016

34
35

juga dikelilingi oleh dua sungai, sungai yang pertama mengalir ke Sungai Mesumai

dan diberi nama Sungai Panco, sedangkan sungai yang kedua mengalir ke sungai

Ketapang dan diberi nama Sungai Paung.

Desa Muara Panco dipimpin oleh kepala kampung. Setelah lahirnya UUD No 5

Tahun 1979 tentang Desa, maka Muara Panco dan Tanah Renah digabung menjadi

satu desa yaitu, Desa Muara Panco dan dipimpin oleh seorang kepala desa yang

dipilih secara demokratis.

2. Geografis

Secara geografis, desa Muara Panco terletak pada titik koordinat

101.98993” Bujur Timur dan 2.11104” Lintang Selatan, dengan luas 10 Km².dalam

mendukung jalannya roda pemerintahan, pusat pemerintahan Muara Panco Barat

berada di Desa Muara Panco dengan jarak dari :

- Ibu Kota Kecamatan : 6 Km

- Ibu Kota Kabupaten ;;;:32


4

- Ibu Kota Provinsi : 260 Km

Desa Muara Panco berbatas langsung dengan :

- Sebelah Barat : Desa Benteng Kecamatan Sungai Manau.

- Sebelah Timur : Desa Durian Betakuk Kecamatan Renah Pembarap.

- Sebelah Utara : Desa Nalo Gedang Kecamatan Nalo Tantan.

- Sebelah Selatan : Sungai Merangin Desa Parit Ujung Tanjung

Kecamatan Renah Pembarap.


36

Secara administrasi pemerintahan, desa Muara Panco meliputi 10 wilayah

pemerintahan dusun. Pemerintahan desa Muara Panco juga telah menetapkan

kebijakan dengan meniadakan RT dan RW, karena dapat memperpendek birokrasi

pemerintahan dan efisiensi anggaran keuangan, dan diganti dengan dusun dengan

dipimpin oleh seorang kepala dusun. Hingga sekarang jumlah dusun yang berada

di Desa Muara Panco berjumlah sepuluh dusun. Dengan demikian pelaksanaan

pemerintahan Desa tetap berjalan sebagaimana Desa yang memakai sistim Rukun

Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), dan disamping itu pemerintahan desa

dalam pelaksanaan pembangunannya juga dibantu oleh Badan Permusyawaratan

Desa (BPD).

Untuk lebih jelasnya berikut ini deskripsi tentang desa Muara Panco dimuat

pada tabel dibawah ini :


37

TABEL. I

Nama Dusun dan luas wilayah administrasi Tahun 20161

Luas Wilayah
No Dusun (%)
(Km²)

1 2 3 4

1 Kampung Harapan 2 33,3

2 Surau Tengah 2 19,4

3 Kampung Masjid 2,5 19,4

4 Durian Hijau Timur 1,5 14,2

5 Durian Hijau Barat 1.5 14,2

Jumlah 10

3. Struktur Organisasi Pemerintahan

Desa Muara Panco di kepalai oleh H. Jammatul Muslimin dan menjalani

tugas sehari-harinya dibantu oleh beberapa staf, yang membantu dalam

pelaksanaan kegiatan administrasi Desa. Untuk lebih jelasnya mengenai struktur

pemerintahan Desa Muara Panco dapat dilihat pada tabel berikut ini :

1
Dokumentasi Desa Muara Panco 2016
38

Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Muara Panco Barat2


KEPALA DESA

H. JAMATUL MUSLIMIN

BPD SK 10-12-2014

1. FAHRURROZI (KETUA)
2. A.RAHMAN (WAKIL KETUA)
3. MATHUR (SEKRETARIS)
4. IYARUDIN (ANGGOTA) SEKRETARIS DESA
5. SYAFRAWI (ANGGOTA)
MAULANA IQBAL
6. M. SALIK (ANGGOTA)
7. M. RASID.P (ANGGOTA)

KAUR KAUR KAUR

PEMERINTAH PEMBANGUN
UMUM
AN AN

HAPIZ HANIPI KASASI

KADUS KADUS KADUS KADUS KADUS


KAMPUNG SURAU KAMPUNGM DURIAN HIJAU DURIAN HIJAU
HARAPAN ASJID TIMUR BARAT
TENGAH

MUALIMIN MUHAMMAD HALIB MUSLAINI MATSUR


MAWARDI

2
Dokumentasi, Desa Muara Panco Tahun 2016
39

B. Kondisi Sosial Masyarakat

Kependudukan di desa Muara Panco selama kurun waktu 5 (lima)

tahun terakhir tidak mengalami pertumbuhan yang tidak begitu berarti, pada

tahun 2009 adalah : 1540 jiwa, pada januari 2015 adalah : 1.580 jiwa.

Pertumbuhannya sekitar 2,56%/tahun. Program KB di Muara Panco sudah

menjadi kebutuhan dimana peran ibu rumah tangga sangat dibutuhkan untuk

membantu suami dalam menambah pendapatan keluarga.

TABELl II

Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Tahun 20163

Jenis Kelamin
Sex
No Dusun Jumlah
Laki-laki Perempuan Retio

1 2 3 4 5 6

1 Kampung Harapan 207 198 405 L>9

2 Surau Tengah 175 165 340 L>10

3 Kampung Masjid 186 176 362 L>10

4 Durian Hijau Timur 109 97 206 L>12

5 Durian Hijau Barat 140 127 267 L>13

Jumlah 817 763 1580 L>54

Untuk jumlah penduduk Desa Muara Panco berdasarkan kelompok

umur untuk tahun 2016 dapat di lihat pada tabel berikut ini :

3
Dokumentasi, Desa Muara Panco Tahun 2016
40

TABEL III

Data Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2016

Kelompok Penduduk
No Umur
Laki-laki Perempuan Jumlah

1 2 3 4 5

1 0-2 55 49 104

2 5-9 60 56 116

3 10-14 69 59 128

4 15-19 86 90 176

5 20-24 86 76 162

6 25-29 64 48 112

7 30-34 52 48 100

8 35-39 55 45 100

9 40-44 65 55 120

10 45-49 33 27 60

11 50-55 29 25 54

12 55-59 30 26 56

13 60-64 20 16 36

14 65-69 29 29 58

15 70-74 34 26 60

16 75+ 50 88 138

Jumlah 2016 817 763 1580


41

Dari tabel di atas terlihat jumlah penduduk menurut kelompok umur pada tahun

2016 yang mendominasi pada umur 15-19 Tahun dengan komposisi 176 jiwa

penduduk laki-laki 86 dengan 90 penduduk perempuan. Sedangkan yang terendah

jumlah penduduk pada kelompok umur 60-64 tahun, Dengan komposisi 36

penduduk laki-laki 20 dan 16 penduduk perempuan. Untuk kepadatan dan

pertumbuhan penduduk di desa Muara Panco dari tahun 2013 hingga tahun 2016

dapat dilihat pada tabel berikut ini :

TABEL IV

Pertumbuhan Penduduk4

Tahun Penduduk Luas Kepadatan Pertumbuhan


No (Jiwa) (Km²) (Jiwa/Km) Penduduk
(%)

1 2 3 4 5 6

1 2010 1494 21 69 3,60%

2 2012 1519 21 72 3,73%

3 2013 1529 21 72 1,51%

4 2014 1546 21 73 2,62%

5 2015 1562 21 74 2,47%

6 2016 1580 21 75 2,81%

4
Dokumentasi, Desa Muara panco Tahun 2016
42

1. Keadaan Mata Pencarian

Mata Pencarian atau sumber utama pendapatan warga desa Muara

Panco sangat menentukan tingkat kesejahteraanya disamping produktifitas

yang di hasilkan. Berikut ditampilkan beberapa item indicator :

TABEL V

Klasifikasi Mata Pencarian dan Profesi5

No Mata Pencarian/Profesi LK PR Jumlah Keterangan

1 Petani/Pekebun 228 200 428

2 Pengusaha/Pedagang 26 29 55

3 Karyawan Swasta/Honorer 15 16 31

4 Imigran 61 4 65

5 PNS/TNI/POLRI/Pensiunan 7 8 15

6 Jasa 64 21 85

7 Serabutan 10 3 13

8 Tidak/Belum Kerja 406 482 888

Jumlah 817 763 1580

2. Keadaan Agama

Sebagaimana negara kita Indonesia yang mayoritas Islam, begitu juga

halnya dengan penduduk yang ada di Desa Muara Panco.

5
Dokumentasi, Desa Muara panco Tahun 2016
43

Untuk meningkatkan pelaksanaan peribadatan bagi masyarakat Desa Muara

Panco terdapat satu Masjid dan satu Musholla di tiap-tiap dusunnya. Dan rutin

diadakan pengajian-pengajian di masing-masing dusun, seperti contoh : pengajian

Al-Quran bagi anak-anak diantara waktu solat Maghrib dan Isya setiap hari, berdoa

bersama atau yasiinan bersama yang diadakan sekali dalam seminggu

3. Keadaan Pendidikan

Adapun keadaan tingkat pendidikan di Desa Muara Panco dapat dilihat di

tabel berikut ini :

TABEL VI

Keadaan Tingkat Pendidikan penduduk Desa Muara Panco6

No Tingkat Pendidikan Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Tamat Perguruan Tinggi 114 48 162

2 Tamat SMA/Sederajat 140 111 251

3 Tamat SMP/Sederajat 157 70 227

4 Tamat SD/Sederajat 70 137 207

5 Tidak Tamat SD 60 112 172

6 Masih Sekolah 220 168 388

7 Belum Sekolah 59 56 115

8 Tidak Sekolah 28 30 58

Jumlah 848 732 1580

6
Dokumentasi, Desa Muara panco Tahun 2016
44

Dan sarana pendidikan di Desa Muara Panco dapat dilihat pada tabel

berikut :

TABEL VII

Sarana Pendidikan di Desa Muara Panco.7

No Sarana Pendidikan Tempat Jumlah

1 TK 1

2 SD Negeri/MIN 2/1

3 SMP 1

4 Jumlah 5

Dari tabel di atas dapat diketahui tentang keadaan sarana pendidikan yang

dipergunakan dalam proses belajar mengajar bagi masyarakat setempat. Ada lima

sarana pendidikan di Desa Muara Panco, TK, SD, MIN,dan SMP. Sedangkan untuk

Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi dan sebagainya, masyarakat

Desa Muara Panco melanjutkannya di tempat-tempat atau di Desa yang berdekatan

dengan Desa Muara Panco.

7
Dokumentasi, Desa Muara panco Tahun 2016
45

C. Fungsi dan Kedudukan Adat Desa Muara Panco

Sebelum mengetahui lebih jauh tentang fungsi adat, penulis kemukakan

terlebih dahulu apa yang disebut dengan adat. Adat yang biasa disebut dengan

tradisi adalah kebiasaan masyarakat, baik berupa perkataan maupun perbuatan yang

dilakukan secara kontinu dan seakan-akan merupakan hukum tersendiri, sehingga

jiwa merasa tenang dalam melakukannya karena sejalan akal dan diterima oleh

tabiat yang sejahtera. Nilai-nilai tradisi dapat mempertahankan diri sejauh di dalam

diri mereka terdapat nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai tradisi yang tidak lagi

mencerminkan nilai kemanusiaan, maka manusia akan kehilangan martabatnya.8

Jauh sebelum manusia menganut agama, mereka telah berpedoman hidup

kepada Adat dan Kebudayaan. Adat telah berhasil secara umum menghantar

mereka ke pintu gerbang kehidupan yang harmonis, saling terkait, rukun damai,

aman makmur. Adat amat penting bagi kehidupan manusia, ia merupakan sistem

dan tata nilai yang dihayati dan dianut seseorang atau masyarakat, ia merupakan

unsur utama dalam proses pembangunan diri manusia dan masyarakat. Logikanya

manusia dalam proses pembangunan diri dan masyarakatnya tidak mungkin dapat

melepaskan diri dari unsur adatnya.9

Di dalam bermasyarakat, berkampung dan bersuku bangsa mempunyai adat

dan kebiasaan sebagaimana yang dikatakan oleh seorang ulama : “tiap-tiap negeri

itu berdiri di atas kebiasaan”, tujuannya tak lain adalah menciptakan masyarakat

yang damai, tentram dan patuh, sebagaimana pantun selako adat mengatakan

8
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, cet ke-I (Jakarta : Kencana, 2006) h. 42
9
Ikhtisar Adat Melayu Kota Jambi, cet-II, h.17
46

“Kedarat memikat burung, jangan ditebang kayu berduri. Adat seumpama payung,

untuk memayung anak negeri”.10

Dari pantun selako di atas jelas bahwa adat tidak lain bertujuan untuk

memberi perlindungan kepada masyarakat. Sebagaimana adat yang ada di wilayah

Jambi, umumnya diterapkan di tiap-tiap wilayah yang tercakup di seluruh bagian

propinsi Jambi, termasuk juga adat yang berlaku di Desa Muara Panco. Hanya saja

ada bagian-bagian tertentu yang berbeda, seperti masalah prosesi pernikahan dan

lain sebagainya.

1. Pembagian Adat

Adat secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian yaitu :11

a. Adat Secara Umum

Adat secara umum ini mempunyai tujuan untuk membina peradaban

masyarakat secara umum, hal ini sering juga kita sebut dengan istilah “ Ico

pakai dalam negeri “, adat umum ini membina, menyusun, membentuk semua

peradaban dalam :

- Hidup bermasyarakat

- Hidup Berumah Tangga

- Hidup Berhalaman Bertepian

- Hidup Berkarang Berkampung

10
Ikhtisar Adat Melayu Kota Jambi, cet-II, h.19

11
Ikhtisar Adat Melayu Kota Jambi, cet-II, h.20
47

- Hidup Beranak Bernegeri

- Hidup Bernegara

b . Adat Perdata

Adat perdata ini dikenal dengan sebutan silang seketo atau disebut juga

perselisihan dalam masyarakat. Adat ini takluk kepada undang-undang Hak Kullah

atau disebut juga kuasa pemerintah.12

c. Adat Pidana

Adat pidana dalah suatu perbuatan melakukan kejahatan dan pelanggaran

(berbuat salah). Adat ini takluk kepada Hukum Islam atau undang-undang Syarak,

dan juga kepada undang-undang pemerintah.

2. Istilah Dalam Adat

Dalam kehidupan masyarakat Jambi khususnya di Desa Muara Panco

terdapat istilah-istilah dalam adat, dan istilah yang dipakai dalam sebutan adat itu

ada empat macam :13

a. Adat Yang Teradat

Adat yang teradat adalah suatu kebiasaan yang tidak dapat dihindari

atau ditinggalkan, sebab telah lapuk dek dipakai, telah usang dek disesah,

dan telah kumal pulo dek lamo dari zaman kezaman. Sebagai contoh :

12
Ikhtisar Adat Melayu Kota Jambi, cet-II h.21
13
Ikhtisar Adat Melayu Kota Jambi, cet-II, h.22
48

seperti aturan-aturan yang dibuat oleh pemimpin yang lalu tetapi masih di

berlakukan hingga sekarang.

b. Adat Yang Diadatkan

Adat yang diadatkan adalah suatu kebiasaan yang berjalan menurut

masanya, kemudian kebiasaan itu diteliti oleh cerdik pandai alim ulama,

mana yang cocok atau baik dipakai dan mana yang mana yang tidak cocok

atau tidak baik dibuang. Untuk memakai adat yang baik yaitu yang sudah

dimufakati oleh nenek-mamak, alim ulama, cerdik pandai, serta pemimpin

kampung, kemudian dituruti dan diadatkanlah kebiasaan baik tersebut.

Sebagai contoh : Sebelum Islam masuk ke Daerah Jambi, semua jenis

binatang itu halal, namun setelah masuknya agama Islam, diteliti kembali

mana binatang yang boleh dan halal dimakan dan mana binatang yang

diharamkan untuk dimakan.

c. Adat Istiadat

Menurut R. H Ahmad Syatif Dewan Lembaga Adat Sumatera

Tengah, Istiadat asal katanya terdiri dari dua suku kata yaitu setia dan adat

yang dijadikan satu kalimat dengan istilah Istiadat, secara harfiah diartikan

suatu kebiasaan yang telah diapakai dari ninek moyang kita dahulu dan setia

pula untuk menerapkannya hingga sekarang. Disamping itu ada juga yang

mengartikan “Adat yang dicari-cari aturan didalak-dalak”, artinya hal-hal

yang dianggap baik dan patut untuk dipakai oleh ninek moyang dahulu dan

dijadikan ico pakai oleh orang kemudian, seperti pantun seloko adat
49

“Berlayar ke pulau tujuh, sampai kesano naik ke darat, berjalan malam

dijadikan suluh, berjalan siang dijadikan tongkat”.

Dari semua sistim adat desa yang dikemukakan di atas bisa dan dapat

dilaksanakan oleh penduduk desa khususnya desa muara panco dengan mengambil

standar adat yang tidak melanggar ketentuan Islam secara umum, yang dengan

istilah adat Syark membuat adat memakai dengan istilah yang baku yaitu Adat

basendi syarak syarak basedikitabullah”14. Tujuan dari kata-kata adat ini adalah

selama masyarakat adat, berbuat dan bertindak harus tunduk dibawah ketentuan

syariat islam, seperti memberlakukan ketentuan hukum adat dalam pelanggaran

adat harus merujuk kepada ketetapan syariat islam sebagai contoh memberi denda

bagi pemuda yang sedang berduaan dengam pemudi yang bukan muhrim dengan

seekor ayam dan alat masak scukupnya kepada pemerintah desa. Hal ini secara

syariat Islam memang dilarang berhalwat dengan yang bukan muhrim.

Sebagaimana di dalam ketentuan adat “tegak mengintai lengang duduk mengintai

kelam “15 artinya dianggap salah dalam adat jika seseorang berduaan dengan lawan

jenis ditempat yang sepi (lengang) yang bukan muhrim apa lagi yaang

melakukannya adalah antara jejaka dengan seorang gadis

14
Ikhtisar Adat Melayu Kota Jambi, cet-II, h.4
15
Ikhtisar Adat Melayu Kota Jambi, cet-II, h.35
BAB IV
MAHAR ADAT MUARA PANCO DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM

A. Konsep Mahar Dalam Adat Muara Panco

Perkawinan menurut hukum adat sangat bersangkutan dengan urusan

keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi. Bagi masyarakat adat Jambi

perkawinan bukanlah urusan kedua belah pihak calon penganten, tetapi

merupakan kewajiban kedua belah pihak orang tua, tengganai nenek mamak

mereka, seperti dijelaskan menjadi hutang bagi orang tua, terutama bagi ayah dan

ibunya masing-masing untuk mengantar anaknya naik ke jenjang rumah tangga.

Sesuai dengan pepatah adat “Adat setapi lembago data, ico pakai lain-lain setiap

anak batino balaki/bersuami dibagih seko”. Makasudnya nenek mamak yang

mempunyai anak perempuan dan anak keponakan, mereka lah yang akan

mewujudkan perkawinan anak atau keponakannya. Dan di dalam perkawinan

tidak terlepas dari pemberitahuan seko (mahar), namun setiap desa di propinsi

jambi berlainan dalam pelaksaan perkawinan tersebut.

Di samping itu dalam pandangan adat, perkawinan adalah suatu ikatan

sakral (suci) yang mengikat kedua belah pihak penganten lahir dan batin dengan

jalan memenuhi ketentuan adat dan memenuhi ketentuan syarak. Persyaratan

menurut adat mendapat porsi terbesar, akan tetapi bagaimanapun besar pentingnya

50
51

ketentuan adat harus dilalui, perkawinan itu baru shah apabila telah dilakukan

menurut ketentuan syarak.1

1. Pengertian Mahar Menurut Adat Desa Muara Panco

Mahar menjadi syarat sahnya sebuah pernikahan baik menurut hukum Islam

maupun adat. Dalam adat Jambi mahar disebut dengan seko (maskawin) yang

berupa uang, emas, seperangkat alat solat. Mahar sama pentingnya bahkan wajib

diberikan kepada yang menerima yaitu istri dan hal tersebut juga termasuk dalam

syarat nikah, dan hal itu pun (mahar) bisa dirundingkan antara kedua mempelai, dan

mahar tersebut sama halnya awal seorang suami memberikan nafkah wajib kepada

seorang istri.2

Menurut adat Desa Muara Panco mahar adalah maskawin, sedangkan

pengertian maskawin adalah Seko, dan seko adalah pemberian barang (emas) cincin

atau kalung yang diberikan calon suami kepada calon isterinya saat akad nikah yang

disaksikan oleh seluruh pemangku adat, tokoh agama, serta keluarga. Sehingga

bagi suami membolehkan untuk menggauli istrinya.3

Berkaitan dengan seko, ada lagi pemberian yang disebut lembago. Pepatah

adat mengatakan “adat di isi lembago dituang”, maksudnya segala peraturan adat

harus ditaati. Lembago merupakan satu tuntutan adat yang tidak kalah pentingnya

dalam adat perkawinan, sama halnya dengan seko (mahar) dan merupakan suatu

ketetapan adat setempat. Sebagaimana istilah adat mengatakan “tuang punyo anak

1
Ikhtisar Melayu Adat Kota Jambi, Cet ke-II, h. 47
2
Khidir.Lembaga Adat Melayu Jambi Propinsi Jambi.cet.Ke-1 (Jambi: tp, 2009), ,h.1
3
Wawancara pribadi dengan Hilmi (pakar adat) 28 Januari 2017
52

batino, balaki wajib diberi seko dengan lembago”. Maksudnya setiap anak batino

(perempuan) yang akan dilangsungkan pernikahannya, maka seko (mahar) dan

lembago mesti ada.4

2. Dasar Penetapan Mahar Adat Desa Muara Panco

Di Desa Muara Panco persoalan mahar telah ada aturannya sejak dahulu,

dikarenakan setiap individu yang berbeda-beda status sosialnya dan juga

permintaan-permintaan dari masyarakat akan mahar yang berbeda-beda pula,

ditetapkanlah bahwa jumlah mahar yang harus dibayarkan yaitu ada yang duo tail,

setail, dan setengah tail, setail seharga satu ekor kerbau atau sapi.5 Dan fenomena

yang terjadi pada masyarakat waktu itu mereka berlomba-lomba meninggikan

mahar yang berdampak buruk bagi masyarakat dan merasa terbebani dengan

persoalan mahar.

Pada Tahun 1992, kembali para tokoh adat, tokoh agama, alim ulama

beserta Kepala Desa, duduk bersama bermusyawarah dalam menyelesaikan

persoalan mahar, dikarenakan pada waktu itu terjadi perselisihan tentang mahar

antara kalangan atas (kaya) dan kalangan bawah (miskin). Menyikapi perselisihan

tersebut, mereka bersepakat dan menetapkan bahwa jumlah mahar yang harus

dibayarkan satu mayam emas.6

Hal itulah yang mendasari penetapan mahar yang diberlakukan dalam

perkawinan adat Desa Muara Panco Kecamatan Renah Pembarap, tidak lain untuk

4
Wawancara Pribadi dengan Mahzur (Tokoh Adat), Muara Panco 24 Januari 2017
5
Wawancara Pribadi dengan Sibawaihi (Tokoh Adat), Muara Panco 18 Februari 2017
6
Wawancara Pribadi dengan Sibawaihi (Tokoh Adat), Muara Panco 24 Januari 2017
53

kesetaraan bagi setiap masyarakat yang ingin menikah, agar tidak ada lagi

masyarakat yang terbeban oleh status sosial yang berdampak pada besar kecilnya

sebuah mahar dalam perkawinan.

Satu mayam sama banyaknya dengan 3,3 gram emas. Ditetapkannya kadar

batasan mahar itu tidak lain untuk kemaslahatan, mengingat status sosial masyarkat

yang beragam maka ditetapkanlah untuk kesetaraan, agar memudahkan bagi setiap

masyarakat yang mempunyai niat untuk melangsungkan pernikahan, nilai satu

mayam atau 3,3 gram emas itu tidak membebankan bagi kalangan masyarakat

bawah dan juga masyarakat kalangan atas.7

3. Macam-macam Mahar dalam Adat

Di dalam masyarakat Desa Muara Panco, mahar sering juga disebut dengan

seko, yaitu pemberian satu mayam atau 3,3 gram emas yang disebut dalam akad

nikah dan diberikan kepada calon isteri. Di sisi lain seko juga berarti pemberian

dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang diterima oleh nenek mamak

pihak perempuan, sebagaimana dijelaskan tokoh adat bahwa seko ada dua macam,

ada seko yang berarti mahar yang disebut juga dengan seko gedang (besar), dan

seko lembago yang berarti pemberian dari pihak calon mempelai laki-laki kepada

nenek mamak pihak perempuan yang disebut dengan seko kecik (kecil).8

a. Seko Kecik

Di dalam aturan adat, seko kecik ini terdiri dari :

7
Wawancara Pribadi dengan Zulkifli (Tokoh Agama), Muara Panco 26 Januari 2017
8
Wawancara Pribadi dengan Mahzur (Tokoh Adat), Muara Panco 24 Januari 2017
54

1) Gagang duo kayu, kain segabung empat ito, kain sekayu empat gabung, duo

kayu delapan gabung. Kain Duo kayu ini terbagi duo.

a) Sekayu untuk urang kurung punyo badan, yaitu gentian kain basah.

b) Sekayu untuk meman duo belah pihak, memen belah bapak, memen

belah induk, tugasnyo ka air nan batungkat bumbung, kadarat nan

batungkat sepai. Artinyo lalok tukang jago, lupo tukang ingat.

Maksud dari seluko adat di atas ialah, seko kecik (kecil) yang

pertama yaitu bahan dasar kain yang terdiri dari dua potong, satu potong

delapan hasta, yang diberikan kepada calon isteri dan satunya lagi untuk

saudara perempuan dari orangtua mempelai wanita atau yang disebut

dengan bibi. Kegunaannya ialah sebagai lambang bahwa saudara

perempuan dari orangtua mempelai wanita atau bibi akan diberi tugas

untuk membimbing rumah tangga si mempelai perempuan yang dalam

istilah adat “lalok tukang jago, lupo tukang ingat”. Maksudnya seorang

bibi harus membimbing calon isteri dalam kehidupan rumah tangganya.

2) Pedang Satu bilah, itu adolah senjato mamak,. Seko kecik (kecil) yang

kedua yaitu sebilah pedang yang diberikan kepada mamak ialah saudara

laki-laki dari orangtua mempelai wanita atau yang disebut dengan paman.

Ini sebagai lambang kesiap-siagaan untuk menjaga kelestarian rumah

tangga keponakannya sehari-hari. Sebagaimana dalam istilah adat “runcing

tanduk untuk pamapek, gedang kalaso untuk panimpeh”. Artinya andai kata

kedua mempelai setelah berumah tangga berlaku sombong, tidak sopan, dan
55

diluar ketentuan adat yang berlaku, maka paman yang berhak menegur dan

menyelesaikan permasalahan dalam rumah tangga mereka.

3) Keris satu bilah, itu senjato sanak jantan, tugasnyo. Artinyo kusut nan

tukang usai, keruh nan tukang jenih. Seko kecik yang ketiga yaitu sebilah

keris yang diberikan kepada saudara laki-laki tertua dari mempelai wanita

Untuk menjaga rumah tangga saudarinya dari gangguan yang datang baik

dari dalam maupun dari luar. Sesuai dengan istilah adat “terjun nan idak

batanggo, jalan nan idak badito” Artinya cepat tanggap dalam menghadapi

permasalahan yang datang baik dari luar maupuan dari dalam rumah tangga

yang akan mengancam jiwa saudari perempuannya. Maka dia dibekali

dengan sebilah keris.

4) Tumbak satu batang, ini adalah senjato urang sumendo. Seko kecik yang

keempat yaitu tombak yang diperuntukkan kepada mempelai laki-laki

sendiri. Gunanya ialah seandainya terdapat hal-hal yang mengancam

keselamatan jiwa isteri atau masyarakat sekampung, maka suami tidak

boleh berdiam diri saja maka dia dibekali dengan sebuah tombak. Sesuai

dengan seluko adat “ayam nan takiok kambing nan takembek, di dalam

kurung kampong itulah senjatonyo, kelam nan jadi suluh, licin menjadi

tungkat”. Maksudnya andai kata ada gangguan yang akan mengancam

ketentraman rumah tangga dan keamanan di dalam kampungnya maka

suami lah yang di amandatkan untuk mencari tahu dan menyelesaikan

permasalah tersebut. Maka ia dibekali dengan sebuah tombak.


56

5) Ayam satu ekor, beras satu gantang, serto selemak semanisnyo ini adolah

tango jalan kerajo, titin jalan kejenang tanggo batu, titin teras artinyo,

pakaian kito dalam adat mulai dari nenek moyang sampai ke kito sekarang,

ini adalah untuk orang memegang adat, di dalam kurung kampong, seperti

Kepala Desa, Kepalo Dusun, Bapak Mamak, apa tempat bertitip, gedung

tempat bicaro, kusut tempat berusai, keruh tempat berjenih, inilah tempat

malamnyo. Maksudnya seko kecik yang terakhir diperuntukkan kepada

nenek-mamak, tokoh adat, tokoh agama, kepala dusun dan kepala desa yang

hadir dalam malam baunding (berunding).Sebagai lambang tugas adat yang

di emban pemimpin setempat baik Kepala Desa ataupun Kepala Dusun dan

tokoh adat untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dari rumah

tangga tersebut.9

b. Seko Gedang

Sedangkan Seko gedang (besar) berupa satu mayam emas yang sudah

ditetapkan dalam aturan adat Desa Muara Panco, untuk sang calon isteri yang

dinyatakannya pada saat akad berlangsung. 10 Senada dengan itu, bahwa Seko

Gedang diartikan sesuatu yang terucap dan teriqrar dalam akad nikah.11

Sesuai dengan hasil survey penulis dalam beberapa pernikahan di

masyarakat Desa Muara Panco, bahwa benar jumlah mahar atau Seko Gedang

(besar) yang dibayarkan berjumlah satu mayam atau setara dengan 3,3 gram emas

9
Wawancara Pribadi dengan Abbas (Tokoh Adat), Muara Panco, 12 Februari 2017
10
Wawancara Pribadi dengan Mahzur (Tokoh Adat), Muara Panco 24 Januari 2017
11
Wawancara Pribadi dengan Sibawaihi (Tokoh Adat), Muara Panco 24 Januari 2017
57

Dari beberapa keterangan di atas dapat dipahami bahwa Seko Kecik (kecil)

dan Seko Gedang (besar) wajib ada dalam pelaksanaan perkawinan adat Desa

Muara Panco dan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam adat. Jika

pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan adat, maka perkawinan tersebut

terancam batal. Seperti aturan yang terdapat dalam pelaksanaan Seko Kecik harus

merupakan alat atau barang yang telah diatur dengan jelas oleh adat. Namun sekitar

tahun 2010 kembali pelaksanaan seko kecik dibahas dalam lembaga adat bahwa

alat atau barang yang terdapat pada seko kecik dapat diganti dengan uang berjumlah

Rp 350.000 (tiga ratus lima puluh ribu), yang dibagi rata kepada pihak yang telah

disebutkan dalam aturan adat di atas. Meskipun telah dinominalkan namun pesan

adat tetap tertanam dalam kuat dalam jiwa individu masyarakat.12

B. Praktik Pemberian Mahar Dalam Adat

Syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Jika syarat-

syarat terpenuhi, maka perkawinannya sah dan menimbulkan adanya segala

kewajiban dan hak-hak perkawinan. Tidak terkecuali dalam Adat, terdapat hal-hal

yang harus dipenuhi dan menjadi syarat dalam mewujudkan sebuah perkwinan, jika

syarat-syarat yang telah ditentukan dalam adat tidak terpenuhi maka dipastikan

perkawinan tersebut batal menurut adat. Begitu juga dengan hal pembayaran mahar

yang menjadi syarat sahnya perkawinan dalam aturan adat. Namun di dalam adat

12
Wawancara Pribadi dengan Abbas (Tokoh Adat), Muara Panco, 12 Februari 2017
58

terdapat beberapa cara atau bentuk dalam memenuhi tuntutan mahar yang telah

ditetapkan.

a. Kontan atau lunas

Seperti pada umumnya, pembayaran mahar secara langsung atau kontan

dilakukan pada saat prosesi akad nikah, begitu juga di dalam adat penyerahan mahar

atau seko gedang (besar) ini dilaksanakan saat akad berlangsung yang disaksikan

oleh pihak-pihak yang berkaitan, seperti wali atau yang mewakilkan, tokoh agama,

tokoh adat, dan pejabat dari pihak pemerintah. Sebagaimana prosesi akad nikah

lainnya, penyerahan mahar disimboliskan dengan pemakaian barang emas, cincin

dan lain sebagainya didepan pihak-pihak yang berkaitan dan masyarakat yang hadir

pada waktu itu, dan menjadi tanda bahwa kedua mempelai telah resmi menjadi

pasangan suami dan isteri. Sedangkan seko kecik (kecil) penyerahannya dilakukan

pada malam seusai pesta pernikahan mempelai, sekaligus acara pelepasan

mempelai laki-laki oleh nenek mamaknya kepada nenek mamak pihak

perempuan.13

b. Hutang

Sebagaimana yang dijelaskan oleh tokoh adat, bahwa di dalam aturan adat

yang berlaku apabila dalam perkawinan calon suami belum mampu membayar

mahar yang telah di tentukan, maka dibolehkan untuk membayar mahar dalam hal

ini yang dimaksud ialah Seko Gedang (besar) yang berjumlah satu mayam emas,

13
Wawancara Pribadi dengan Sibawaihi (Tokoh Adat), Muara Panco, 18 Februari 2017
59

dalam bentuk hutang atau berjangka waktu. 14 Dalam aturan adat dijelaskan ada

beberapa macam pembayaran mahar dalam bentuk hutang :

1) Baunggu bagudang

Pembayaran mahar dalam bentuk hutang yang pertama yaitu

“Baunggu bagudang”. Maksudnya andai kata calon suami belum mampu

untuk membayar mahar, maka ia atau keluarganya boleh menggantikannya

dengan sesuatu yang lain yang bernilai tanpa ada kesepakatan waktu.

Seperti contoh kejadian yang telah ada dalam masyarakat, seseorang yang

belum mampu melunasi maharnya oleh ia atau kelurganya seperti nenek-

mamaknya menggantikannya dengan sebidang sawah atau kebun karet,

maka sawah atau kebun karet tersebut menjadi milik calon isteri tanpa

keterangan waktu tertentu sebelum calon suami menebus atau melunasi

maharnya.

2) Berciri beralamat, behinggo bebateh

Yang kedua “berciri beralamat, behinggo bebateh”. Yaitu

pembayaran mahar dalam bentuk hutang dengan menggantikannya dengan

sesuatu yang lain yang ditetapkan tempo atau waktunya. Namun apabila

dalam tenggang waktu yang ditentukan calon suami belum melunasi

maharnya, maka itu dinyatakan sebagai maharnya. Seperti contoh yang

terjadi di dalam masyarakat, seseorang menggantikan maharnya dengan

sebuah pohon duku sebagai jaminnanya, dengan kesepakatan ia akan

14
Wawancara Pribadi dengan Sibawaihi (Tokoh Adat), Muara Panco, 18 Februari 2017
60

melunasi mahar tersebut dalam waktu dua tahun, apabila melebihi waktu

yang telah ditetapkan maka sesuatu yang dijadikan jaminan tersebut

menjadi mahar bagi isteri.

3) Belalang masuk panduk

Yang ketiga yaitu seseorang yang belum mampu membayar mahar

dan tidak mampu menggantikannya dengan sesuatu yang lain. Dan untuk

masa sekarang hal ini sangat jarang terjadi, menurut fenomena yang terjadi

di masyarakat, biasanya hal seperti ini terjadi pada seseorang yang numpang

hidup dalam keluarga tertentu, kemudian ia menikahi anak perempuan dari

keluarga tersebut, karena ia hidup sebatang kara tidak tahu asal-usul

keluarganya dan belum mampu membayar mahar yang ditentukan, terlebih

lagi tidak ada nenek mamak atau pihak keluarga yang lain yang bisa

menjaminkan sesuatu sebagai ganti maharnya. Maka ditetapkan di dalam

adat, bahwa hasil kerja atau penghasilan hidupnya sepanjang ia masih

menjalani kehidupan rumah tangga bersama anak perempuan dari keluarga

tersebut menjadi milik si isteri sebagai ganti dari maharnya. Apabila mereka

berdua sudah tidak lagi hidup dalam satu rumah atau bercerai, maka tidak

satupun harta yang bisa dibawa oleh si suami karena semua penghasilan

yang ia dapatkan selama hidup bersama menjadi ganti dari maharnya.15

Dalam tradisi adat perkawinan bukan hanya kebahagiaan bagi pasangan

mempelai saja, namun juga dirasakan oleh keluarga dari kedua belah pihak terlebih

15
Wawancara Pribadi dengan Sibawaihi (Tokoh Adat), Muara Panco, 18 Februari 2017
61

bagi para nenek mamak yang begitu penting peranannya dalam mewujudkan

pernikahan bagi anak kemenakannya. Disini yang termasuk nenek mamak ialah :

a. Nenek : Ialah keluarga dekat dari suami atau isteri yang dituakan dalam

perundingan dan tidak menutup kemungkinan bisa juga dari pemangku adat

Desa Muara Panco itu sendiri

b. Mamak : Ialah juga keluarga dekat kedua mempelai yaitu menempati

saudara ibu dan ayah dari suami dan isteri, boleh juga orang lain yang

ditunjuk sebagai gantinya.

Jadi apabila nenek mamak yang telah ditentukan dari pihak isteri atau pihak

suami sudah mengadakan kesepakatan atau dalam bahasa adat disebut dengan

“baunding” (berunding), maka calon isteri dan calon suami hanya menerima apa

saja yang diputuskan dalam perundingan itu, baik dalam masalah penentuan waktu

pernikahan atau yang lain sebagainya.16

C. Tinjauan Hukum Islam Tentang Mahar di Desa Muara Panco

Dalam konteks tradisi adat, masing-masing masyarakat muslim memiliki

corak tradisi unik, yang berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat yang

lain. Sekalipun memiliki kesamaan agama, tapi dalam hidup bermasyarakat akan

membentuk ciri unik. Karena alasan seperti ini, maka ada sebutan Islam universal

dan Islam lokal. Islam universal adalah Islam yang diajarkan oleh Allah dan rasul-

Nya sebagaimana adanya yang diberlakukan untuk semua lapisan, misalnya

16
Wawancara pribadi dengan Hilmi (pakar adat) 28 Januari 2017
62

menutup aurat bagi muslim, dan muslimah. Sedangkan Islam lokal adalah Islam

yang adaptif terhadap tradisi budaya masyarakat setempat, sebagai hasil pengakuan

Islam universal, seperti bagaimana menutup aurat itu, apa memakai celana, kebaya,

jubah, kain sarung dan lain sebagainya.

Pelaksanaan ketentuan adat Jambi umumnya dan khususnya di desa Muara

Panco tentang penetapan maskawin bukan merupakan rekayasa yang tanpa alasan,

namun sudah ditentukan secara seksama dalam ketentuan adat yang berlaku dari

nenek moyang, sebagaimana asal adat Jambi yang dipakai di Muara Panco yaitu

”Adat Lamo Pusako Usang “17. artinya adat yang sesuai dengan agama Hindu dan

Budha sebelum masuknya Islam, dan secara perlahan adat itu berubah dengan

masuknya agama Islam ke Jambi yang dibawa oleh salah seorang pedagang Arab

yang bernama A.Salim yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Jambi.

Untuk memadukan atau mempertemukan dengan prisnip Islam, pemuka

adat Jambi dengan teliti membuang adat budaya yang tidak baik atau yang

bertentangan dengan hukum Islam dengan penegasan dalam kata adat “Adat

bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”. Ketetapan ini disebut dengan adat

Teliti, artinya teliti adalah nama undang-undang Jambi yang mempunyai arti norma

atau aturan khusus yang berasal dari kesepakatan tokoh masyarakat yang terdiri dari

para penghulu, alim ulama, cerdik pandai dan tuo-tuo tengganai. 18 Dengan

demikian dapat dipahami bahwa penetapan adat di Desa Muara Panco mengikuti

alur pemikiran para pendahulu sehingga di semua sisi ketetapan adat yang

17
Ikhtisar Adat Melayu Kota Jambi cet-II h.9
18
Ikhtisar Adat Melayu Kota Jambi cet-II h.13
63

diberlakukan di tengah masyarakat tetap mengacu terpenuhinya hukum adat yang

bersendi syarak.

Di dalam Islam adat yang diberlakukan oleh masyarakat adalah adat yang
tidak bertentangan syariat, di dalam Islam disebut dengan kaidah “‫محك َمة‬ ‫” ْال َعادة‬
Adat ( dapat dipertimbangkan) dalam penetapan hukum “.

Dari uraian di atas apa yang telah ditetapkan melalui adat, oleh Islam tetap

dianggap sah dan berlaku untuk kemaslahatan masyarakat. Sebagaimana halnya

penetapan mahar di Desa Muara Panco mempunyai dasar yang kuat untuk

diberlakukan karena tidak bertentangan dengan syariat Islam.

1. Persamaan

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita

dengan memberi hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima mahar

(maskawin) yang diberikan oleh calon suami kepada calon isteri, bukan kepada

walinya atau kerabatnya. Selain isteri tidak satupun yang boleh menggunakannya

meskipun suaminya sendiri, kecuali izin dari dirinya. Sebagaimana firman Allah :

)4: ‫ فَِإ ْن ِطْب نَا لَ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء ِمْنهُ نَ ْف ًسا فَ ُكلُ ْوهُ َهنِْي ئًا َم ِريْئًا (النساء‬،ً‫ص َدقَتِ ِه َّن ِ ِْنلَة‬ ِ
َ َ‫َوأَتُ ْوا الن َساء‬

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)


sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagai dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (an-Nisa’:4)
Abdul Rahman Ghozali dalam bukunya Fiqh Munakahat mengutip

pendapat dari Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib
64

diberikan oleh seseorang laki-laki kepada perempuan untuk menguasi seluruh

anggota badannya.

Jika isteri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu

ia memberikan sebagian maharnya maka boleh menerima dan tidak disalahkan.

Akan tetapi, bila isteri dalam memberikan maharnya karena malu, atau takut, maka

tidak halal menerimanya. Allah berfirman :

ِ
ً َ‫استِْب َد َال َزْو ٍج َم َكا َن َزْو ٍج َوآتَْي تُ ْم إِ ْح َد ُاه َّن قْنطَ ًارا فَ ََل ََتْ ُخ ُذوا ِمْنهُ َشْي ئًا أ َََتْ ُخ ُذونَهُ بُ ْهت‬
‫اًن َوإِْْثًا‬ ْ ٍُ ُ ‫َوإِ ْن أ ََرْد‬
)42( ‫ُمبِينًا‬
Artinya : “Dani jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambil kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata” (QS. An-Nisaa’ : 20).
Mahar di dalam Islam adalah wajib, meskipun bukan bagian dari salah satu

rukun perkawinan, namun mahar menjadi syarat sahnya sebuah perkawinan. Jika

sebuah perkawinan dilakukan tanpa ada ketentuan mahar di dalamnya, maka

perkawinan tersebut tidak sah. Jumhur ulama mengatakan bahwa mahar wajib ada

di dalam suatu perkawinan walaupun berbeda-beda dalam jumlahnya.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Islam telah mewajibkan mahar

dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam suatu akad pernikahan

siehingga jelas ketentuan mahar tersebutut menjadi hak perempuan tidak

dibolehkan siapapun yang memanfaatkannya selain izin darinya, Islam juga sangat

memperhatikan kedudukan perempuan dalam masyarakat sehingga ia diberi hak

untuk menentukan kehidupan sendiri seperti peruntukan baginya masalah harta dari

maskawin tersebut berarti melalui pemberian maskawin ini sekali gus islam
65

mengangkat derajat kaum perempuan. Dalam perspektif adat Muara Panco tentang

mahar sama halnya dengan apa yang telah dilakukan secara Islam sebab penulis

melihat dan mengamati dengan seksama pelaksanaan pemberian mahar olah

masyarakat desa Muara Panco ini persis sama apa yang dilakukan dalam Islam

seperti tidak akan terlaksana suatu akad dalam perkawinan itu tanpa adanya mahar

(maskawin) dan juga cara pemberiannya sama halnya dengan Islam yaitu tidak

dibenarkan pihak lain yang menerimanya.

Mahar dalam syariat Islam mempunyai banyak ragam dalam teknis dan cara

pemberiannya seperti dengan dibayar kontan dan tangguh sebagaimana yang

dikemukakan sebda Nabi berikut

‫ فقال رسول هللا صلى هللا‬،‫فعن عامر بن ربيعة أن امرأة من بين فزارة تزوجت على نعلني‬
‫ فأجازه‬.‫ نعم‬:‫ " أرضيت عن نفسك ومالك بنعلني؟ فقالت‬:‫" عليه وسلم‬.
)‫ وصححه‬،‫ والِتمذي‬،‫ وابن ماجه‬،‫)رواه أِحد‬

Artinya : Diriwayatkan dari Amar bin Rabi’ah menjelaskan bahwa


perempuan dari Bani Pajarah dinikahkan dengan sepasang sandal, maka nabi
bersabda : “Apakah kamu rela dirimu dimiliki dengan sepasang sandal?” Maka ia
menjawab, Ya, “maka Nabi membolehkannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan
Turmuzi, dan disahihkannya)
Apa yang dijelaskan nabi di dalam hadist tersebut, bahwa pembayaran

mahar boleh dengan mahar dan dibayar secara tunai, sehingga perkawinan tersebut

diperkenankan dalam Islam.

Hal ini sama dengan yang ditetapkan di dalam adat Desa Muara Panco,

karena terbukti di dalam suatu akad dalam perkawinan di Desa ini penghulu
66

menyebutkan jumlah dan benutk mahar yang dibayarkan saat akad berlangsung.

Berarti hal ini tidak bertentangan dengan apa yang telah disyariatkan oleh Islam.

2. Perbedaan

Di dalam Islam tidak ditetapkan batasan tertentu tentang jumlah mahar yang

harus dibayarkan, segala sesuatu yang bernilai dapat dijadikan sebagai mahar.

Dikatakan dalam hadis nabi

ٍَ َ‫ «تَ َزَّو ْج ولَ ْو ِب‬:‫ال لِر ُج ٍل‬


‫ا ٍ ِم ْن َح ِديد‬ َ َّ ِ َّ َ ‫َِّب‬
َ َ َ‫صلى هللاُ َعلَْيه َو َسل َم ق‬ َّ ‫ أ‬،‫َع ْن َس ْه ِل بْ ِن َس ْع ٍد‬
َّ ِ‫َن الن‬
)‫)رواه البخاري‬
Artinya : Dari Sahal bin Sa’di, bahwa Nabi mengatakan kepada
seorang laki-laki : “Nikahilah sekalipun dengan cincin dari besi”.

Di dalam hadis di atas, bahwa nabi menganjurkan seseorang untuk menikah

walaupun dengan mahar sebentuk cincin dari besi. Hal ini menggambarkan bahwa

Islam tidak membatasi nilai dan jumlah suatu maskawin yang harus dibayarkan.

Lain halnya di dalam aturan adat, jumlah mahar atau seko telah ditetapkan

batasannya yaitu senilai satu mayam atau 3,3 gram emas sebagaimana yang telah

penulis ungkapkan di awal pembahasan ini. Meskipun berbeda dalam batasan,

namun tidak bertentangan karena di dalam Islam tidak ada penegasan tentang batas

dan jumlah maksimal dan minimal serta bentuk barang yang dijadikan mahar, dan

tidak terdapat larangan dalam pembatasan mahar, yang terpenting mahar wajib ada

di dalam suatu akad pernikahan. Penetapan jumlah mahar ini tidak lain hanya untuk

kemaslahatan masyarakat Desa, mengingat status sosial masyarakat yang beragam

maka dibuatlah ketetapan untuk kesetaraan dalam adat. Ketetapan secara adat ini
67

telah diakui oleh syariat Islam, sebagaimana diatur dalam kaidah fiqh ‫حمكمة‬
َ ‫ال َْعادة‬

yaitu adat dapat menjadi pertimbangan hukum.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan yang terdapat pada bab sebelumnya maka penulis

dapat menyimpulkan sebagai berikut, diantaranya :

1. Mahar dalam adat Desa Muara Panco disebut dengan Seko yang berarti

maskawin. Dan seko ini terbagi menjadi dua macam, ada seko kecik (kecil)

dan ada seko gedang (besar). Seko kecik disebut dengan lemago yang

diperuntukkan bagi nenek-mamak mempelai wanita, sedangkan seko

gedang yaitu barang yang menjadi mahar dalam akad nikah yang diberikan

kepada isteri.

2. Di dalam aturan adat, kadar jumlah mahar yang harus dibayarkan telah

ditetapkan sebanyak satu mayam atau 3,3 gram emas. Penetapan ini tidak

lain hanya untuk kemaslahatan bagi masyarakat, mengingat status sosial

yang beragam maka ditetapkanlah jumlah untuk kesetaraan dalam adat.

Penetapan mahar dalam adat Desa Muara Panco ini tidak bertentangan

dengan apa yang telah disyariatkan oleh Islam. Karena di dalam Islam tidak

ada batasan maksimal dan minimal tentang jumlah mahar, dan juga tidak

terdapat larangan dalam menetapkan mahar. Di dalam kaidah fiqh

dijelaskan bahwa adat dapat dipertimbangkan dalam menetapkan hukum

sesuai dengan kaidah fiqh ‫حمكمة‬


َ ‫ال َْعادة‬

68
69

B. Saran-saran

- Bagi masyarakat khususnya di Desa Muara Panco, untuk lebih

meningkatkan lagi kajian-kajian adat, terlebih dalam persoalan

perkawinan. Dikarenakan masih minimnya pemahaman masyarakat

akan aturan-aturan adat yang berlaku di Desa Muara Panco ini.

- Perlunya sosialisasi dan kepedulian pemerintah akan lembaga-lembaga

adat demi menjaga eksistensinya di masyarakat

- Dan kepada peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian

dengan tema yang sejenis diharapkan untuk meneliti dengan

pembahasan lebih mendalam tentang penetapan mahar dalam

pernikahan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Tertulis

1. Buku

Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1994.

Abidin, Slamet dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, cet ke-1, Bandung: CV.
Pustaka setia, 1999.

Ahmad al-baihaqi Abu Bakar, al-Sunan al-Kubro Libanon : Darul Kutub Ilmiah

t.t

Al-Ashafahani, al-Mufradat, pada term wadada t.t: t.p t.th

al-Asqalani, Ahmad, Bulughul Maram, cet ke-VII, Riyadh : Daar al-falq, 1424 H.
Wahbah az-Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, juz 4, Beirut: Dar
al-Fikr, tt

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafik, 2009

As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid ke-II(Kairo : Dar al-Fath Li I’lam al-‘
Arabi, 1999)

Az-Zuhaili Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu 9, Penerjemah Abdul hayyie al-


Kattani, dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011.

Dokumentasi, Desa Muara Panco. Tahun 2016

Ghozali, Abd Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana 2003.

Ibrahim Amini, Kiat Memilih Jodoh : Menurut al-Quran dan Sunnah, Cet Ke-I
Pnerjemah : Muhammad Taqi, Jakart : Lentera, 1994.

Idris, Abdul Fatah dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, Jakarta: PT. RINEKA
CIPTA, 2004.

Ikhtisar Adat Melayu Kota Jambi cet-II h.17

Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 31-33

Jaelani, Abdul Qodir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995.

Kamal, Mustafa, Fiqh Islam, Cet III, Jogjakarta: Citra Karya Mandiri, 2002.

70
71

Kountur, Ronny, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta :
PPM, 2007

Mughniyyah, Muhammad Jawwad, Fiqh Lima Mazhab, Alih Bahasa Maskur A.B
dkk. Cet ke-15, Jakarta: Lentera, 2005.

Muhammad bin Ismail al-Bukhari Abu Abdullah, Shahih al-Bukhari, Riyadh : Bait

al-Afkar ad-Dauliyah 1998

Muhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan


Bintang, 1974.

Mujib Abdul, Ilmu Pendidikan Islam, cet ke-I (Jakarta : Kencana, 2006)

Muslim, Shahih Muslim, Jilid I, Jakarta: Dar Al-Kutub Al-‘Arbiyah.

Nasution, Khiruddin, Hukum Perkawinan I, Yogyakarta : ACAdeMIA 2005.

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Komtemporer jilid I, Jakarta: Gema Insani, 1995.

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Cet Ke27, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994.

Rusyd , Ibnu, Bida Yatul Mujtahid wa Nihyatul Mujqtashid, Penerjemah Ghazali


dan A. Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

Sabbiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Jilid II , Bandung: Alma’arif, 1990.

Sholeh, Asrurn Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta:


Elsas, 2008.

Shomad, Abd., Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum


Indonesia, Jakarta : Kencana Grup, 2010.

Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Sopyan, Yayan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam


hukum Nasional, Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012.

Sopyan, Yayan, Metode Penelitian, Jakarta: t.t.p. 2009

Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 19991.

Sudiyat, Imam, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberti, 2007.


72

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat


dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006.

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, Jakarta
: UI ,Press, 1986.

Tihami, Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010.

Wahbah Zuhailiy, Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, juz 6, Daar al-fikr Damsiq, tt.

2. Artikel
http://ejurnal.stainparpare.ac.id

http://e-jurnal.stain-sorong.ac.id

http://e-jurnal.stain-sorong.ac.id, mengutip dari buku Ibrahim Muhammad al-


Jamal, Fiqh al-Mar’a al-Muslimah, (Semarang : asy-Syifa’, 1986)

http://e-jurnal.stain-sorong.ac.id, mengutip dari Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-


Munir al-‘Aqidah wa Syariah wa Manhaj, juz III (Beirut: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir, 1991)

B. Sumber Lisan
Wawancara dengan Kepala Desa Jumat 13 Januari 2016

Wawancara Pribadi dengan Abbas (Tokoh Adat), Muara Panco, 12 Februari 2017

Wawancara pribadi dengan Hilmi (pakar adat) 28 Januari 2017

Wawancara Pribadi dengan Mahzur (Tokoh Adat), Muara Panco 24 Januari 2017

Wawancara Pribadi dengan Sibawaihi (Tokoh Adat), Muara Panco 24 Januari 2017

Wawancara Pribadi dengan Zulkifli (Tokoh Agama), Muara Panco, 12 Februari

2017
LAMPIRAN
Nama : Adi
Umur : 32 Tahun
Pekerjaan : Petani
Tempat : Rumah Narasumber
Waktu : 20 Februari 2017

1. Pertanyaan : Tahun berapa anda menikah ?


Jawab : 24 September 2009
2. Pertanyaan : Isteri anda berasal dari daerah mana ?
Jawab : Masih satu desa, Desa Muara Panco
3. Pertanyaan : Waktu menikah menggunakan adat mana ?
Jawab : Adat desa kita Muara Panco
4. Pertanyaan : Apakah anda tahu aturan-aturan pernikahan yang didalam
adat?
Jawab : Hanya beberapa saja
5. Pertanyaan : Apakah anda tahu bahwa mahar dalam pernikahan adat
ditetapkan sebanyak satu mayam emas?
Jawab : Iya saya tahu
6. Pertanyaan : Apakah anda keberatan mengenai hal tersebut?

Jawab : Tidak sama sekali, itu adalah ukuran yang paling ringan
untuk masa sekarang

7. Pertanyaan : Bagaimana pendapat anda mengenai mahar didalam adat


ditetapkan sebanyak satu mayam emas?
Jawab : Sebagai masyarakat saya setuju dan menerima saja apa
yang telah diatur dan ditetapkan didalam adat, selagi itu masih hal yang
positif. Dan saya yakin pemuka adat dan pemuka agama mempunyai alasan
yang baik dalam menetapkan perkara tersebut
Nama : KH. Dede Hasyim ‘Asyari
Jabatan : Tokoh Agama
Umur : 39 Tahun
Tempat : Pesantren al-As’ariyah
Waktu : 09 Maret 2017

1. Pertanyaan : Didalam adat mahar telah ditetapkan jumlahnya,


bagaimana pandangan bapak tentang penetapan mahar ini, apakah ini
bertentangan dengan syariat Islam?
Jawab : Sejauh ini ulama-ulama terdahulu kan tidak melarang, dan
juga ulama-ulama yang ada di Desa ini juga tidak melarang
dengan penetapan mahar adat ini, mahar adat ini termasuk
standaritas, sebagaimana keterangan hadis “sebaik-baik
mahar ialah yang paling ringan”. Kalau dilihat dari keadaan
ekonomi masyarakat sekarang ini, satu mayam itu termasuk
ringan, dari setiap pemuda insha Allah mudah mencari bekal
untuk mahar ini. Makanya tidak bertentangan dengan hadis,
kalau untuk daerah kita untuk mencari mahar satu mayam
atau 3,3 gram emas ini tidak susah, dengan begitu para ulama
di daerah sini secara adat menetapkan untuk Muara Panco
mahar ditetapkan sebanyak satu mayam emas, makanya
tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dan ini dikatakan
didalam Ushul Fiqh al-‘adah muhakkamah, adat yang tidak
bertentangan dengan hukum syari’at dapat dijadikan hukum,
walaupun tidak qoth’i ini nisby, bisa berubah-rubah. Tetapi
karena standaritas emas itu sama dari tahun-ketahun
makanya tidak jadi masalah, kalau distandarkan rupiah bisa
berubah-rubah, tapi jika standarnya emas tidak akan merasa
berat. Jadi menurut saya ini sama sekali tidak bertentangan
dengan syari’at Islam karena jumlah mahar yang ditetapkan
ringan sesuai dengan keterangan hadis.
2. Pertanyaan : Jika ada seseorang yang ingin menikah tetapi tidak sanggup
membayar mahar satu mayam emas, apakah hal tersebut tidak menimbulkan
masalah?
Jawab : Hukum adat ini nisby bukan qoth’i bisa berubah-rubah, bisa
jadi suatu saat terjadi panceklik di daerah kita, kelaparaan
atau kemarau panjang bisa jadi satu mayam akan menjadi
berat, itu bisa terjadi. Makanya hukum adat ini nisby bisa
dihapus hukumnya jika memberatkan masyarakat, tetapi
untuk saat ini tidak ada seorangpun yang merasa keberatan
dengan ketentuan adat ini. Dan untuk sekarang hukum adat
ini masih dipakai dan masih berlaku karena tidak
memberatkan.
3. Pertanyaan : Jika ada yang mengatakan bahwa ketentuan adat ini
menjadi penghalang seseorang untuk menikah, bagaimana?
Jawab : Untuk sementara kita sebagai penyuluh agama disini
mengatakan tidak menjadi penentang atau penghalang.
Karena penentaangan suatu masalah terjadi karena
pengaduan-pengaduan dari masyarakat, namun sejauh belum
ada keluhan apapun mengenai ketetapan adat ini, makanya
tidak menjadi masalah ataupun penghalang.
4. Pertanyaan : Jadi ketentuan adat ini sama sekali tidak bertentangan
dengan syari’at Islam?
Jawab : Tidak, sama sekali tidak bertentangan hukum Islam.
Nama : Drs. Sibawaihi, SH
Jabatan : Tokoh Adat
Umur : 67 Tahun
Tempat : Rumah Kediaman Beliau
Waktu : 18 Februari 2017

1. Pertanyaan : Bagaimana konsep mahar didalam adat Desa Muara Panco,


dan bagaimana sejarahnya ?
Jawab : Tentang mahar di Desa kita ini, ada mahar yang duo tail
sebuah paho, ada yang setail, dan ada yang setengah tail, jadi
dulu mahar yang setail itu sama nilainya dengan satu ekor
sapi atau satu kerbau. Namun setelah diadakan musyawarah
pada tahun 1992, waktu itu yang menjadi Kepala Desa ialah
almarhum Abdullah, bertempat di surau Dusun Kampung
Harapan, kita menelaah kembali ketentuan mengenai mahar,
dan ditetapkanlah aturan adat bahwa mahar itu semayam
emas, dan berlaku hingga saat ini.
2. Pertanyaan : Bagaimana praktik pemberian mahar didalam adat ?
Jawab : Didalam adat mahar boleh dibayarkan secara tunai dan
boleh juga ditangguhkan atau hutang, untuk pembayaran
mahar yang ditangguhkan itu ada beberapa jenis atau cara
pembayarannya, ada yang baunggu bagudang, berciri
beralamat behinggo bebateh, dan belalang masuk panduk.
Pertama, baunggu bagudang yaitu membayar mahar yang
satu mayam emas dengan menggantikannya dengan sesuatu
yang lain yang dianggap senilai dengan satu mayam emas,
seperti menggantikan mahar dengan kebun, sebidang sawah
dan lain-lain. Hasil dari itu menjadi milik isteri selama mahar
yang satu mayam tadi belum ditebus oleh suami. Kedua,
berciri beralamat behinggo bebateh yaitu sama dengan yang
pertama bedanya ditentukan tempo waktunya, misalkan
digantikan mahar dengan sebidang sawah tetapi berjangka
waktu selama dua bulan. Ketiga, belalang masuk panduk
yaitu seorang yang tidak sanggup membayar mahar satu
mayam emas dan tidak mampu menggantikannya dengan
sesuatu yang lain, maka dijadikanlah hasil dari mata
pencaharannya sehari-hari sebagai mahar tanpa batas waktu
tertentu sesuai kesepakatan antara suami dan isteri.
3. Pertanyaan : Bagaimana ketentuan mahar ini didalam adat, apa
kesamaan dan perbedaannya dengan ketentuan syari’at ?
Jawab : Didalam Islam mahar itu diwajibkan tetapi tidak ada
batasan tertentu mengenai jenis dan jumlahnya, yang jelas
mahar wajib ada di setiap pernikahan, walau sebentuk cincin
dari besi kata rasulullah. Begitu juga dengan ketentuan yang
ada didalam adat, bahwa mahar diwajibkan hanya saja
ditentukan jumlahnya, sehingga tidak ada lagi perbedaan-
perbedaan yang memberatkan masyarakat dalam
permasalahan mahar, baik bagi yang kaya maupun yang
miskin. Itulah fungsi adat menyamaratakan agar tidak
memberatkan dengan hal-hal yang demikian demi
kepentingan bersama.
4. Pertanyaan : Apakah perbedaan mengenai jumlah mahar bertentangan
dengan syari’at ?
Jawab : Tidak, itulah al-‘adah muhakkamah, jadi duduk
musyawarah saat itu ialah duduknya para nenek mamak,
tokoh adat, tokoh agama, didkaji tuntas apakah penetapan ini
akan bersinggungan dengan hukum syari’at, demi
kemaslahatan agar tidak ada kesenjangan sosial dalam
perkara ini maka ditetapkanlah hal tersebut.
5. Pertanyaan : Yang dimaksud mahar didalam adat itu seperti apa ?
Jawab : Dalam bahasa adat atau bahasa dusun mahar itu disebut
Seko yang artinya sama yaitu maskawin. Ada Seko Gedang
dan ada Seko Kecik. Seko Gedang ialah maskawin yaitu
yang teriqrar dalam akad nikah. Sedangkan Seko Kecik itu
pinta-pinto untuk nenek mamak yang banyak macamnya.
Sebagai tanda hormat kepada nenek mamak yang bertugas
menjaga anak kemenakannya baik disaat belum menikah
maupun sesudah menikah
Wawancara bersama tokoh adat

Anda mungkin juga menyukai