Anda di halaman 1dari 97

RADD DALAM HUKUM WARIS ISLAM

DI INDONESIA DAN MESIR


HALAMAN JUDUL

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Hilmi Afif Arrifqi


NIM. 1112044100021

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
ABSTRAK

HILMI AFIF ARRIFQI, NIM : 1112044100021, RADD DALAM


HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA DAN MESIR. Konsentrasi Peradilan
Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2017 M.
Radd dalam hukum waris islam terjadi ketika adanya sisa harta sesudah
dibagikan kepada dzawil furudh, sedangkan ahli waris yang berhak atas sisa harta
(ashabah) tidak ada. Para fuqaha berbeda pendapat kepada siapa radd diberikan,
Zayd bin Tsabit, Imam Syafii, dan imam Maliki tidak mengenal konsep radd,
karena menurut mereka sisa harta yang telah dibagikan kepada dzawil furudl
diberikan kepada baitul mal. dalil yang mereka ambil dari pendapat mereka
adalah Q.S an-Nisa ayat 13-14. Sedangkan jumhur Ulama menyetujui dan
menerima Radd, namun mereka berikhtilaf tentang apakah suami atau istri berhak
mendapatkan radd. Jumhur ulama sepakat bahwa suami atau istri tidak
mendapatkan sisa harta (radd) karena radd hanya diberikan kepada dzawil furudh
sepertalian darah (al-anfal: 75), namun Utsman ibn Affan tidak memberikan
pengecualian kepada ahli waris penerima radd, termasuk suami atau istri.
Dalam perkembangan hukum waris islam di Negara-negara muslim, radd
memiliki bagian khusus dalam pasal yang tercantum dalam undang-undang
kewarisan Negara-negara tersebut. Di Mesir, Radd tercantum dalam pasal 30
UU No 77 tahun 1943. Sedangkan di Indonesia, radd tercantum dalam pasal 193
Kompilasi Hukum Islam.
Dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan jenis penelitian studi
pustaka dengan menggunakan metode normatif komparatif. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui perbedaan dan persamaan peraturan radd di
Indonesia dan Mesir, serta factor yang melatarbelakangi terjadinya pembagian
dengan system radd, dan pemikiran dari madzhab mana yang dominan terhadap
aturan radd yang berlaku di Indonesia dan Mesir.
Hasil dari kajian penulis menunjukan bahwa pembagian waris dengan
system radd di Indonesia dan Mesir adalah sama. Kedua Negara ini telah
melakukan perubahan dan keluar dari pendapat fuqaha mainstream yang
membatasi pembagian radd hanya diberikan kepada dzawil furudh sepertalian
darah. Dengan cara melakukan takhayyur, dan mengikuti pendapat utsman ibn
affan, radd di Indonesia dan Mesir memberikan hak kepada suami atau istri untuk
mendapatkan radd (sisa harta).

Kata kunci : Pembaharuan hukum waris islam di dunia muslim, radd di


Indonesia dan Mesir,

Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, M.A

Daftar pustaka : Tahun 1957 s.d. Tahun 2015

v
KATA PENGANTAR

    


Puji syukur Kehadirat Ilahi Robbi, Allah Swt., Tuhan semesta alam. Yang
telah memberikan nikmat-Nya kepada para makhluk-Nya tanpa ada batasan.
Kepada Nya kita menyembah dan berserah diri, dan kepada-Nya pula kita
meminta pertolongan terhadap perkara dunia maupun akhirat. Tidak ada kuasa
dan tiada daya upaya melainkan hanya pada-Nya. Dengan rahmat, kuasa dan
ridho-Nya penulis dapat menyelsaikan penulisan karya ilmiah ini.
Sholawat teriring salam tak uput kita panjatkan kepada junjungan alam,
makhluk yang paling sempurna sebagai suri tauladan umatnya, NAbi Muhammad
Saw, semoga kita semua mendapatkan syafaat dari beliau di yaumil hisab kelak.
Tidak lupa juga penulis sampaikan rasa erimakasih kepada orang-orang
yang turut membantu serta mendoakan penulis dalam penulisan skripsi ini, kepada
yang terhormat:
1. Ucapan terimakasih yang mendalam kepada kedua orangtua tercinta, ayahanda
Sayuti dan Ibunda Rohilah yang selalu memberikan nasihat, motivasi serta
doa yang tulus dan ikhlas. Semoga Allah Swt. Selalu melindungi beliau baik
di dunia maupun di akhirat kelak dan membalas segala jasa-jasa beliau yang
telah diberikan untuk anak-anaknya;
2. Teruntuk Aang (Syifaudin Salim, S.HI), Teteh Nong (Kholishoh, S.EI) Ang
Nas (Nasrudin), Emak Abang (Sulhah, S.PdI), Sebagai orangtua kedua penulis
yang telah memberikan dukungan kepada Penulis baik secara moril maupun
materiil, semoga Allah Swt. Membalas segala kebaikan yang beliau berikan
dengan balasan kebaikan yang berlimpah;
3. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga, Bapak
Arif Furqon, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga;
5. Ibunda Dr. Hj. Azizah, M.A, selaku dosen pembimbing, semoga apa yang
telah beliau berikan dapat bermanfaat bagi penulis dan dibalas dengan
kebanikan yang berlimpah.
6. Bapak Dr. JM Muslimin, Phd, selaku dosen penasihat akademik.
7. Staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan utama Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memfasilitasi penulis
dalam mencari referensi penelitian ini;
8. Teruntuk adik-adikku tercinta sebagai motivasi tertinggi, Udoh Mahfudzoh,
Wahyu Amin, Uwesul Hikam, Wardatul Husna, Keysha Najwa, Muhammad

vi
Rosyadi, dan Muhammad Shidqi Ramadhan yang selalu menjadi obat pelupur
lara di saat penulis mulai jenuh dengan penelitian ini.
9. Teman-teman seperjuangan, Rahmat Muhajir, M. Ziad Mubarok, Luthfan
Adly, Ilham Harsya, Alim, Hersyah alias Hermo, Humaidi, Ucok Abdul Qodir
Batubara, Rahmat Ramdani, Itmam Huda, Faiq, Martin, Syahul, Naufal H,
dkk Prodi Hukum Keluarga 2012, dan para senior keluarga besar Peradilan
Agama, terimakasih telah menjadi sahabat penulis selama menjalani
perkuliahan;
10. Teman-teman dan para senior Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat
Fakultas Syariah dan Hukum dan Keuarga Besar LKBHMI (Lembaga Kajian
dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam) Cabang Ciputat, terimakasih atas
saran, support dan dukungannya.
11. Kepala Sekolah serta rekan-rekan guru dan staf karyawan SDIT Al-Abrar
Benhil, terimakasih atas nasihat, bimbingan, serta pelajaran-pelajaran berharga
dalam kehidupan ini, semoga Allah Swt. Selalu melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua. Amin;
12. Warga Grand Residence Pondok Cabe dan Jamaah Mushalla al-Ikhlash Grand
Residence Pondok Cabe, terimakasih atas segala doa, nasihat, bimbingan,
serta arahan kepada Penulis, semoga Allah selalu melindungi dan memberikan
keberkahan hidup kepada kita semua;
13. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan
kepada penulis, baik secara moral maupun materril;

Semoga Amal dan kebaikan mereka semua dibalas Allah SWT dengan
balasan yang berlipat ganda dan penulis berharap semoga skripsi ini mampu
memberikan manfaat yang besar bagi penulis maupun bagi pembaca.

Ciputat, 17 April 2017

Hilmi Afif Arrifqi

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1
B. Identifikasi Masalah ..........................................................................9
C. Batasan dan Rumusan Masalah .........................................................9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................10
E. Review Studi Terdahulu. .................................................................10
F. Metode Penelitian ...........................................................................12
G. Sistematika Penulisan......................................................................14

BAB II HUKUM KEWARISAN ISLAM


A. Pengertian Waris .............................................................................15
B. Dasar Hukum Waris ........................................................................18
C. Rukun, Syarat, Sebab dan Penghalang Dalam Waris. .....................21
D. Ahli Waris dan Bagiannya ..............................................................27
E. Hijab Dalam Waris..........................................................................38
F. Cara Menentukan Dan Menyelesaikan Warisan ..............................41

BAB III PERATURAN RADD DI INDONESIA DAN MESIR


A. Pengertian Radd ..............................................................................44
B. Rukun dan Syarat Radd...................................................................46
C. Pendapat Para Ulama Tentang Radd ...............................................47
D. Radd Dalam KHI dan Fiqh Klasik ..................................................57

viii
E. Radd dalam Qanun Al-Mirats Al-Mishriy (UU No. 77 tahun 1943) 59
F. Penyelesaian Masalah Radd ............................................................61

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP PEMBAGIAN RADD


DI INDONESIA DAN MESIR
A. Perbandingan Aturan Konsep Radd di Indonesia dan Mesir dengan
Kitab Fiqih ......................................................................................64
1. Indonesia ....................................................................................64
2. Mesir ..........................................................................................71
B. Analisis Penulis ...............................................................................76

BAB V PENUTUP
A. Simpulan .........................................................................................78
B. Saran ...............................................................................................79

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 81

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan di zaman modern dan global sekarang telah jauh berbeda

dengan kehidupan di zaman Rasulullah SAW. Perubahan sosial dalam

berbagai aspek selalu melahirkan tuntutan agar perangkat hukum yang

menata masyarakat haruslah ikut berkembang bersamanya. 1

Indonesia adalah Negara hukum yang sangat majemuk akan segala

budaya. Dalam perkembangan hukum yang terjadi di Indonesia, hukum Islam

termasuk menjadi sumber hukum di Indonesia.2

Realitasnya, umat Islam merupakan jumlah mayoritas di negeri ini.

Karenanya wajar jika harapan umat Islam pada umumnya menjadikan hukum

Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Hal ini didasarkan

pada cara berpikir pandangan hidup dan karakter suatu bangsa tercermin

dalam kebudayaan dan hukumnya. 3

Menurut pakar hukum Islam di Indonesia,4 pembaharuan hukum Islam

yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : pertama,

untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam

kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat

1
M. Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Konsentrasi
Hukum Islam (Medan : Diktat Pasca Sarjana USU, 2002), h. 5
2
Suparman Usman, Hukum Islam : Asas-asas Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), h. 122
3
R. Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, cet.XII, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993),
h. 3
4
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), h. 153-154

1
2

terhadap hukum terhadap masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak

untuk ditetapkan. Kedua, pengaruh globalisasi ekonomi dan ilmu

pengetahuan dan teknologi sehingga perlu ada aturan hukum yang

mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya.

Ketiga, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang

kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum Nasional.

Keempat, pengaruh pembaharuan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan

oleh para mujtahid baik di tingkat Internasional maupun tingkat Nasional,

terutama hal-hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.5

Salah satu hukum Islam yang hingga sekarang masih berlaku dan

diberlakukan di Indonesia khususnya bagi umat Islam adalah Hukum Waris

atau yang disebut dengan Faraid. Hukum Waris Islam dianggap kewajiban

yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Ia dianggap sebagai compulsory

law (dwingent recht) yakni hukum yang berlaku secara mutlak dan baku.6

Konflik tentang hukum Waris Islam di Indonesia terutama antara

kelompok Klasik dengan kalangan yang menamakan dirinya kelompok

Modernis masih merupakan fenomena yang mengisi teks-teks hukum Waris

5
Dewi Kemalasari, Analisis yuridis penerapan KHI dalam penggantian Tempat ahli
waris/ahli waris pengganti pada Masyarakat kecamatan banda sakti Kota lhokseumawe, Premise
Law Jurnal, vol 3, Universitas Sumatera Utara, 2015 h. 2
6
Aminullah HM, Sekitar Formulasi Hukum Kewarisan dalam semangat Reaktualisasi
Ajaran Islam, dalam Munawir Sjadzali, dkk., Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta :
Pustaka Panjimas, 1998), h. 164
3

Islam, walaupun dapat dipastikan doktrin fikih waris sunni pro Syafi‟i yang

banyak dianut dalam masyarakat muslim Indonesia..7

Suatu terobosan yang dilakukan di Indonesia dengan tetap mendasari

kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta Ijtihad para ulama fikih terdahulu,

untuk dijadikan sebagai pedoman dan acuan dalam menyelesaikan suatu

masalah kewarisan disusunlah suatu buku Kompilasi Hukum Islam yang

berlaku dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991

tanggal 10 Juni 1991, dan Surat Keputusan Menteri Agama Republik

Indonesia No. 154 tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991.8

Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam tersebut, maka Indonesia

secara resmi telah memiliki aturan positif mengenai hukum keluarga

khususnya tentang kewarisan.9 Tidak hanya di Indonesia saja, Di beberapa

Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Faraidl telah menjadi

hukum positif meskipun hanya berlaku bagi warganegara yang beragama

Islam seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Meskipun begitu, tidak

dinafikan di beberapa Negara di Timur Tengah memberlakukan faraidl

sebagai hukum nasional di Negara mereka seperti yang ada di Saudi Arabia.10

7
Rahmat Djatnika, Sosialisasi Hukum Islam dan Kontroversi pemikiran Islam di
Indonesia, Cet II, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), h. 244.
8
Moh Muhibbin dan Abdul wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum
Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) cet-2, h.169-175
9
Meskipun memang KHI tidak termasuk peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud oleh TAPMPRS Nomor XX/MPRS/1968 Jo Ketetapan MPR NO V/MPR/1973 jo
Ketetapan MPR No IC/MPR/1978. Lihat Moh Muhibbin dan Abdul wahid, Hukum Kewarisan
Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) cet-2, h.
172-173
10
Amir Syarifudin, Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraid, Cet-1, (Padang; IAIN-IB
Press, 1999), h. 1
4

Dalam perkembangannya di dunia Islam modern, hukum waris Islam

telah menjadi sebuah sistem hukum yang sangat berpengaruh dalam tata

hukum negara-negara Islam.11 Peran penting hukum waris Islam ini

ditunjukkan dengan konsistensi masyarakat Muslim dalam menjaga sistem

faraidl ini. Hukum waris Islam menjadi salah satu aspek dalam hukum Islam

yang paling lama bertahan dari pembaharuan dibandingkan dengan hukum

Islam dalam bidang lain seperti perdagangan (bisnis), pidana dan perdata

umum.12 Bersama dengan hukum perkawinan, hukum waris Islam menjadi

aspek yang paling akhir dapat menerima proses pembaharuan perundang-

undangan.13

Dalam hukum keluarga sendiri, reformasi hukum waris Islam berjalan

lebih lambat dibandingkan dengan reformasi dalam hukum perkawinan dan

perceraian. Dalam catatan tata hukum di dunia Muslim modern, perundang-

undangan dalam hukum perkawinan telah mengalami pembaharuan sejak

tahun 1914 dengan keluarnya dekrit Raja Turki Usmani mengenai hak isteri

untuk menuntut suami. Sedangkan perundang-undangan dalam bidang waris

baru terjadi pada tahun 1921 dengan keluarnya surat edaran Mahkamah

Agung Sudan mengenai wewenang pengadilan mengatur kewarisan orang

yang hilang.14 Dilanjutkan dengan dikeluarkannya surat edaran Mahkamah

Mesir (Judicial Circular) No 28 tahun 1925. Isi surat edaran ini tentang hak

11
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim, Asy-
Syir‘ah Jurnal Ilmu Syari‘ah dan Hukum Vol. 48, No. 1, Juni 2014, h. 31
12
Anderson, Recent Reforms in the Islamic Law of Inheritance, h. 349.
13
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim, h. 31
14
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim, h. 31
5

janda untuk mendapatkan sisa harta waris jika tidak ada ashabah, ashabul

furudl, atau ahli waris yang lain dengan cara pengembalian sisa (radd).

Konsistensi masyarakat Muslim dan negara-negara Islam di dunia

modern dalam menerapkan hukum waris Islam bukan karena hukum waris

Islam tidak bisa mengalami perubahan. Dalam tradisi fiqh al-mawâriș atau

‘ilm al-farâidl, dan kajian akademik yang telah dilakukan mengenai

perkembangan awal hukum waris Islam, menunjukkan bahwa sejak periode

awal (periode Sahabat), hukum waris Islam telah mengalami perubahan.

Meskipun terdapat aturan yang sangat rinci mengenai pembagian waris dalam

ilmu faraid, seperti furudul muqaddarah dan dzawil furud (dzawi al-furûd),

așâbah, dan dzawi al-arhām, tetapi dalam sejarah praktek pembagian waris

Islam, hukum waris Islam telah mengalami perubahan semenjak periode awal

Islam (periode Sahabat).15

Sebagai akibat dari perkembangan sosial ekonomi, pada periode

Sahabat telah muncul sistem pembagian waris yang tidak sama dengan

ketentuan literal yang ada dalam teks suci (Al-Quran dan Hadis). Tuntutan

masyarakat pada periode Sahabat kepada pemuka masyarakat (al-khulafā‟ ar-

rāsyidûn) untuk mendapatkan hak waris yang dianggap lebih adil telah

memaksa generasi Sahabat melakukan interpretasi dan praktek pembagian

waris yang tidak sesuai dengan makna literal dari ayat-ayat waris. Pada

15
Sebagaimana dikutip oleh Bunyan Wahib, Op. cit. h. 32. lihat David S. Power, The
Islamic Inheritance System: A Socio-Historical Approach, Arab Law Quarterly, Vol. 8, No. 1
(1993), h.. 13-29. Tulisan ini juga dimuat dalam Chibli Mallat dan Jane Connors, Islamic Family
Law, (London/Dordrecht/Boston: Wolters Kluwer Academic Publishers Goup, 1990), h.. 11-29;
David S. Powers, Studies in Qur‟an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of Inheritance,
(Berkeley: University of California Press, 1986).
6

periode ini telah muncullah peristiwa-peristiwa pembagian warisan yang

kemudian melahirkan konsep-konsep dalam ilmu faraidl seperti „aul, radd,

akdariyah, himāriyah, dan minbariyah. Konsep-konsep pembagian warisan

ini berbeda dengan ketentuan yang ada dalam nash sebagai akibat

perkembangan sosial masyarakat.16

Salah satu contoh ijtihad ulama dalam masalah waris yang tidak ada

nash yang secara tegas menjelaskannya adalah mengenai radd. Radd

merupakan kebalikan dari ‗Aul, pertamakali dikenalkan pada masa Umar.

Radd adalah mengembalikan harta yang tersisa dari bagian dzawil furudh

nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka ketika
17
tidak ada lagi orang lain yang berhak menerimanya, tentunya dengan

syarat-syarat tertentu.

Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, mengapa hukum waris

Islam dapat bertahan dari modernisasi hukum dalam waktu yang lama? Salah

satu jawabannya mungkin dapat dikaitkan dengan alasan umum yang

digunakan dalam mempertahankan hukum keluarga, yaitu adanya keyakinan

di kalangan umat Islam mengenai sakralitas faraidl sebagai bagian dari

hukum keluarga. Sebagai sebuah sistem hukum yang sakral, bukan hukum

waris yang harus menyesuaikan dengan perubahan watak dan kebutuhan

masyarakat, tetapi masyarakat yang harus mengikuti cetak biru ketentuan

16
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim, Asy-
Syir‘ah Jurnal Ilmu Syari‘ah dan Hukum Vol. 48, No. 1, Juni 2014, h. 33
17
Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah, cet-3 (Daarul Fikri, 1981) h. 444
7

Tuhan.18 Namun, mengapa periode Sahabat terjadi perubahan praktek

pembagian waris? Jawabannya mungkin terletak pada keyakinan teologis

umat Muslim tentang keutamaan Periode Sahabat dibanding periode

selanjutnya. Terdapat sebuah riwayat dari al-Bukhari yang menyatakan

bahwa periode Sahabat adalah periode terbaik umat Islam sebagaimana dalam

sabda Rasulullah Saw.


19
‫خيس الناس قسني ثم اللرين يلىنهم ثم اللرين يلىنهم‬

Artinya: Sebaik-baik manusia adalah pada masaku, kemudian


setelahnya, dan kemudian setelahnya.

Dan keyakinan bahwa semua Sahabat Nabi adalah orang-orang yang

berintegritas.

‫كل اصحابي عدول‬

Artinya: “Semua sahabatku adalah orang yang adil”

Oleh karena itu, periode ini masih dianggap mempunyai otoritas yang

tinggi untuk membuat interpretasi hukum, termasuk dalam hukum waris.

Munculnya konsep-konsep baru pada periode Sahabat menunjukkan

bahwa hukum waris Islam sangat dinamis. Meskipun terdapat aturan yang

terperinci dalam sumber utama hukum Islam, tetapi perkembangan sosial

telah memaksa para Sahabat menemukan hukum baru yang lebih sesuai

18
Anderson, ‖Recent Reforms in the Islamic Law of Inheritance‖, h. 351. Lihat juga Noel
J. Coulson, The History of Islamic Law, (Edinburg: University Press, 1968), dalam Ahmad Bunyan
Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim, Asy-Syir‘ah Jurnal Ilmu Syari‘ah
dan Hukum Vol. 48, No. 1, Juni 2014, h. 34
19
Muhammad bin Isma‘il Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, dalam ―Kitab al-Syahadat,
hadits no. 2652 (Beirut: Dar ibn Katsir, 2002), h. 645.
8

dengan tuntutan masyarakat. Law in book diketepikan jika terdapat masalah

dalam penerapan hukum.20

Mesir merupakan Negara islam21 yang 90% penduduknya beragama


22
islam (sunni) . Negara ini merupakan negara pertama yang mengadakan

pembaharuan hukum keluarga di timur tengah, Pembaharuan hukum keluarga

di Mesir telah dimulai sejak tahun 1915 yang menghasilkan berbagai macam

UU tentang hukum keluarga, salah satunya adalah UU No. 77 tahun 1943

tentang waris. Salah satu hal yang termasuk dalam pembaharuan hukum

adalah tentang konsep radd pada hukum kewarisan Isalm di Mesir yang

membolehkan suami atau istri mendapatkan sisa harta waris (radd).

Lalu bagaimana dengan peraturan radd di Indonesia? Sebagai Negara

yang memiliki masyarakat muslim terbanyak di dunia, masyarakat muslim

Indonesia tentu menginginkan hukum islam sebagai hukum positif Negara,

tidak terkecuali dengan waris. Dalam sejarah hukum waris islam di Indonesia,

hukum waris islam menjadi hukum positif Negara terjadi pada tahun 1991

dengan lahirnya Instruksi Presiden no 1 tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam. Meskipun bukan sebagai undang-udnang, Kompilasi Hukum

Islam tetap menajadi rujukan penting bagi seorang hakim Peradilan Agama

dalam memutuskan perkara-perkara yang ada.

20
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim, h. 34
21
Pasal 2 UUD Repubik Arab Mesir, pada pasal ini menyeatakan bahwa agama resmi
Negara adalah agama islam, hal tersebut mempengaruhi produk-produk hukum yang selalu
menjadikan AL-Quran dan Sunnah sebagai landasan utama sebuah peraturan perundang-
undangan.
22
Kurniati, Hukum Keluarga di Mesir, Al-daulah Jurnal Fakultas Syari‘ah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar Vol. 3, No. 1, Juni 2014, h. 24
9

Dari permasalahan yang telah disebutkan di atas, penulis ingin

meneliti tentang modernisasi hukum waris Islam di Negara muslim, karena

hal ini sangat menarik untuk diteliti dengan judul: ―RADD DALAM

HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA DAN MESIR‖

B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana perkembangan peraturan perundang-undangan waris di

Indonesia dan Mesir?

2. Mengapa terjadi pembagian radd dalam waris Islam?

3. Pemikiran madzhab apa saja yang telah melatarbelakangi peraturan radd?

4. Apa persamaan dan perbedaan konsep radd di Indonesia dan Mesir?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Dalam penulisan ini, Penulis akan meneliti masalah tentang

modernisasi hukum waris Islam di dunia muslim. Agar masalah tidak

terlalu merluas, penulis akan membahas tentang perkembangan Radd di

Indonesia dan Mesir.

2. Rumusan Masalah

a. Apa yang melatarbelakangi terjadinya radd dalam pembangian waris

islam?

b. Apa persamaan dan perbedaan peraturan radd di Indonesa dan Mesir?

c. Pemikiran dari madzhab apa saja yang telah melatarbelakangi

terjadinya perubahan peraturan radd di Indonesia dan Mesir?


10

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui latarbelakang terjadinya radd dalam pembagian

waris Islam.

b. Untuk mengetahui Persamaan dan perbedaan peraturan radd di

Indonesia dan Mesir.

c. Untuk mengetahui Pemikiran dari madzhab apa saja yang telah

melatarbelakangi terjadinya perubahan peraturan radd di Indonesia

dan Mesir.

2. Manfaat Penelitian

a. Memberikan kontribusi positif terhadap wawasan keilmuan pembaca

pada umumnya dan mahasiswa UIN Jakarta pada khususnya.

b. Dengan selesainya penelitian ini, diharapkan mampu memberikan

manfaat sebagai bahan penelitian di kemudian hari.

E. Review Studi Terdahulu.

Berdasarkan hasil penelusuran yang penulis lakukan, ditemukan hasil

penulisan yang menyangkut tentang modernisasi hukum waris Islam. Diantaranya

adalah sebagai berikut:

1. Ahmad Bunyan Wahib, Dosen pada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, menulis

Jurnal tentang Reformasi Hukum Waris di Negara-Negara Muslim.

Penulis pada jurnal ini membahas tentang perubahan-perubahan hukum

waris yang terjadi pada negara-negara muslim di dunia. Dari jurnal ini
11

Penulis mendapatkan ide untuk membahas skripsi Penulis. Perbedaan

skripsi yang akan Penulis tulis dengan jurnal ini adalah bahwa jurnal ini

lebih luas membahas tentang reformasi waris di dunia Islam, sedangkan

penulis hanya memfokuskan di dua Negara dan fokus pembahasannya

hanya pada masalah radd saja.

2. Ahmad Saukani, adalah salah satu sarjana Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dalam skripsinya menulis tentang

Konsep Radd Dalam Perspektif Pembagian Kewarisan Islam (Studi

Analisis Terhadap Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Klasik).

Penulis pada skripsi ini mebandingkan konsep radd yang ada dalam KHI

dan konsep radd yang ada pada masa ulama fiqh klasik dahulu. Skripsi ini

menjadi salah satu referansi Penulis karena penulis dalam skripsi ini

membahas tentang radd dalam pandangan nasional dan fiqh klasik.

Perbedaan yang ada antara skripsi ini dan skripsi yang akan Penulis tulis

terletak pada objek komparasinya. Dalam skripsi yang akan Penulis tulis,

Penulis akan membandingkan peraturan radd yang ada di Indonesia, dan

Mesir.

3. Muayyat, mahasiswa lulusan Fakultas Syariah dan Hukum Maulana Malik

Ibrahim Malang yang menulis skripsi tentang Konsep Ahli Waris

Penerima Radd Menurut Ali As-Shabuni Dan Kompilasi Hukum Islam,

tidak jauh berbeda dengan skripsi yang ditulis oleh Ahmad Saukani, pada

skripsi ini juga dibahas tentang system radd yang ada di KHI

dibandingkan dengan system radd yang ada pada masa ulama fiqh klasik
12

dahulu, hanya saja dalam skripsi ini penulis mengkhususkan pemikiran

Muhammad Ali Al-Shabuni sebagai tolak ukur memabandingkan

peraturan radd di dalam KHI. Perbedaan skripsi ini dengan skripsi yang

akan penulis tulis adalah penulis akan membandingkan peraturan-

peraturan tentang radd di tiga Negara, apa yang melatarbelakangi tiga

perbedaan tersebut dan ulama apa yang menjadi sandaran suatu Negara

dalam membuat peraturan tentang seperti itu.

F. Metode Penelitian

Dalam pengumpulan data agar mengandung suatu kebenaran yang

obyektif, maka Penulis menggunakan metode penelitian ilmiah sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan jenis penelitian

Komparatif dengan menggunakan metode normatif. Penelitian hukum

normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan sebagai sebuah

bangunan sistem normra. Sistem norma yang dimaksud adalah

mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-

undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).23

2. Pendekatan

Dengan menggunakan pendekatan normatif, yaitu penelitian yang

hanya merupakan studi pustaka.

3. Sumber Data

23
Fahmi Muhammad Ahmad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian, 2010) h. 31
13

Sumber yang digunakan dalam Penelitian ini adalah berbagai sumber

tertulis yaitu:

a. Sumber Hukum Data Primer, yaitu sumber asli yang memuat

informasi atau data bahan-bahan hukum yang mengikat. Sumber

primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang No. 3 Tahun

2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam, undang-undang No. 77 Tahun

1943 tentang waris (qānûn al-mīrāș) Mesir, dan peraturan

perundang-undangan lain yang membahas tentang waris. Selain itu

juga penulis akan menjadikan kitab-kitab fiqh klasik yang

membahas tentang waris sebagai bahan rujukan atau Sumber

hukum primer.

b. Sumber Hukum Data Sekunder, yaitu sumber data yang

menjelaskan penjelasan mengenai bahan hukum primer tersebut.

Data sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

tersebut. Data sekunder dalam penelitian ini adalah studi

kepustakaan, buku-buku, artikel ilmiah, arsip-arsip yang

mendukung atau dokumen-dokumen.

4. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dengan studi pustaka, yaitu dengan

mengumpulkan data yang membahas tentang keberanjakan hukum

waris di dua Negara (Indonesia dan Mesir).


14

5. Analisis data

Dalam penelitian ini, analisis yang digunakan adalah analisis

komparatif, yaitu dengan membandingkan peraturan perundang-

undangan tentang waris di Negara Indonesia dan Mesir. Sementara

data yang diperoleh dari buku-buku artikel ilmiah, atau dokumen-

dokumen yang mendukung, diklarifikasi atau diinterpretasikan agar

mudah dipahami.

6. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku ―Pedoman Panduan

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN SYarif

Hidayatullah Jakarta‖ tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai

berikut:

BAB Pertama, dalam bab ini membahas tentang latar belakang masalah,

identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika

penulisan.

BAB Kedua, bab ini membahas tinjauan umum tentang waris, pengertian

dan dasar hukum waris, Rukun Syarat dan sebab-sebab mewariskan, ahli waris

dan bagiannya, seputar hijab dalam waris, cara menentukan dan

menyelesaikan warisan.
15

Bab Ketiga, membahas tentang Radd dalm kewarisan Islam di Indonesia

dan Mesir, pengertian radd, rukun dan syarat radd, pendapat para ulama

tentang radd, Radd dalam KHI dan fiqh klasik, Radd dalam qanun almirats

almishri, penyelesaian masalah radd

Bab Keempat, dalam bab ini penulis akan menjelaskan Analisis

Perbandingan Konsep Radd di Indonesia dan Mesir dengan Kitab Fiqh, serta

analisis penulis.

Bab Kelima, dalam bab ini penulis menjelaskan tentang penutup dan

kesimpulan serta kritik dan saran.


BAB II

HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Pengertian Waris

Kata waris berasal dari bahas Arab yang diambil dari kata

َ ―yaritsu‖ (‫)يَ ِسث‬, ―wirtsan‖ (‫) ِو ْزثًا‬, isim failnya ―waaritsun‖


َ ‫)و َز‬
―waratsa‖(‫ث‬

1
(‫)و ِازث‬
َ yang artinya ahli waris. Sedangkan Faraidl bentuk jamak dari

َ ‫― )فَ َس‬yafridhu‖
faridlah, berarti faraidl berasal dari kata ―faradha‖ (‫ض‬

(‫) َي ْف ِسض‬, ―Fardhan‖ (‫)فَ ْرضًا‬, yang artinya menentukan.2

Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk

menamakan hukum kewarisan Islam, seperti faraidl, fikih mawaris, dan hukm

al-Waris. Kata yang lazim digunakan adalah faraidl, kata ini digunakan oleh

an-Nawawi dalam kitab fiqih Minhaj al-Thalibin, oleh al-Mahally dalam

komentarnya atas matan minhaj, disebutkan alasan penggunaannya

dikarenakan lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan, oleh karena itu,

hukum ini dinamakan faraidl.3

Ilmu waris disebut juga fiqh al-Mawaris, fikih tentang warisan, dan tata

cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.4

Dengan demikian perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena

perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan.

1
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia,(Jakarta:Hidakarya Agung, 1990) Cet Ke-8. h.
496
2
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus arab-Indonesia (Surabaya: Pusat
Progressif, 1997) Cet ke-14, h.104. Lihat juga Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, h. 313.
3
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 5
4
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami (Mesir: Arrisalah Al-Dauliyyah. 2000) Terjemah H Addys Aldizar dan
Fathurrahman. Penulis (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004) h 13.

15
16

Dikatakan ilmu waris karena dalam ilmu waris ini dibahas hal-hal yang

berkaitan dengan harta peninggalan, dikatakan ilmu faraidl karena membahas

tentang bagian-bagian tertentu, yang sudah ditetapkan ukurannya bagi setiap

ahli waris.5

Di Indonesia penyebutan fiqh mawaris disebut juga hukum kewarisan

Islam, hukum warisan, hukum kewarisan dan hukum waris, yang sebenarnya

terjemahan bebas dari kata mawaris. Bedanya, fiqh mawaris menunjukkan

identitas hukum waris Islam, sementara hukum warisan mempunyai konotasi

umum, bisa mencakup hukum waris adat atau hukum waris yang diatur dalam

kitab undang-undang hukum perdata.6 Para ahli faraidl banyak memberikan

defenisi tentang ilmu faraidl atau fiqh mawaris. Walaupun defenisi-defenisi

yang mereka kemukakan secara redaksional berbeda, namun defenisi–

defenisi tersebut mempunyai pengertian sama. Faraidl secara etimologis

memiliki beberapa arti sebagai berikut )‫ )القطع‬artinya ketetapan atau kepastian

(‫ )التقدير‬suatu ketentuan (‫ )اإلنزال‬menentukan (‫ )التبيين‬penjelasan (‫)اإلحالل‬

menghalalkan (‫ )العطاء‬pemberian.

Sedangkan secara terminologi ialah penetapan kadar warisan bagi ahli

waris berdasarkan ketentuan syara‘ yang tidak bertambah, kecuali dengan

radd (mengembalikan sisa harta kepada penerima warisan) dan tidak

berkurang kecuali dengan aul.7

5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 5-6.
6
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001) h. 4
7
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami, h. 13
17

Menurut Ahmad Kamil al-Hudhuri., ilmu faraidl menurut etimologi

ialah: ―memindahkan sesuatu dari tempat ketempat yang lain‖ dan menurut

terminologi ialah: ―hak yang diterima ahli waris dari bagian-bagian yang

ditetapkan sesudah meninggal pewaris.‖8

Menurut Syekh Muhammad Umar al-Bakari, ilmu faraidl ialah: ―suatu

ilmu hitung untuk mengetahui bagian-bagian tertentu penerima waris dari

harta yang ditinggalkan pewaris.‖9

Menurut al-Syarbini, mendefenisikan ilmu faraidl yaitu: ―ilmu fiqh

yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang

dapat menyelesaikan pewarisan tersebut, dan pengetahuan tentang bagian-

bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli

waris).‖10 Menurut Amir Syarifuddin, ilmu faraidl ialah: ―hak-hak kewarisan

yang jumlahnya telah ditentukan secara pasti dalam Al-Quran dan Sunnah.‖11

Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy., mendefenisikan faraidl secara

etimologis adalah: ―bagian yang telah ditetapkan oleh syara‘ untuk waris

seperti ½ ¼.‖ sedangkan secara terminologis adalah : ―suatu ilmu dengan

dialah dapat kita mengetahui orang yang menerima pusaka, kadar yang

diterima oleh tiap-tiap waris dan cara membaginya.‖12

Dengan demikian ilmu faraidl mencakup 3 unsur didalamnya:

8
Ahmad Kamil al-Hudhuri, al-Mawarisu al-Islamiyyah. (Mesir: Lajnatu at-Taqrib, 1366
H/1966 M) h. 4
9
Syekh Muhammad Umar al-Bakri. Hasiyyah Matnu al-Ruhbiyyah (Semarang: Usaha
Keluarga, Tth ) h. 3
10
Muhammad al-Syarbini al- Khatib, Mughni al-Muhtaj, juz 3 (Kairo: Musthafa al-
Baby al-Haby,1958) h. 3
11
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, h. 39
12
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h. 4
18

1. Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris

2. Pengetahuan bagian setiap ahli waris

3. Pengetahuan cara menghitung yang dapat berhubungan dengan

pembagian harta warisan.

B. Dasar Hukum Waris

a. Al-Quran

Al-Quran menjelaskan ketentuan-ketentuan pembagian warisan secara

jelas, antara lain: ayat pertama, berbicara tentang bagian anak laki-laki

dan perempuan.

   


        

            
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak
bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(Q.S. al-
Nisa, 4:7)
Ayat kedua, berbicara tentang warisan anak laki-laki dan

perempuan serta ayah dan ibu (al-furu‘ dan al-ushul), seperti termaktub

dalam firman Allah Swt.

            
    
 

              

              

           
   
19

               

         


Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh
separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan
ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (Q.S. al-Nisa, 4:11)

Ayat ketiga, berbicara jika si mayyit tidak mempunyai keturunan

yang mewarisi adalah ushul.

             

            
 

              

             

        


      

                 
 
20

               
 



Artinya: “dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang


ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat
atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang , Maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).
(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar
dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.” (Q.S. al-
Nisa, 4: 12)

b. Al-Sunnah

Hadis yang menjadi ketentuan pembagian warisan antara lain:

‫حدثنا موىس ابن إسماعيل حدثنا وهيب حدثنا ابن طاوس عن ابيه عن ابن عباس‬

‫ ألحقوا الفرائض بأهلها بما ي‬:‫نب ملسو هيلع هللا ىلص قال‬
‫بق فهو الوىل رجل‬ ‫رض هللا عنه عن ال ي‬
‫ي‬
13
)‫ذكر (رواه البخاري‬

Artinya “Bercerita kepada kami Musa bin Ismail bercerita kepada


kami Wahib bin Thawus dari ayahnya dari Abdullah ibnu abbas semoga
Allah meridhoinya dari Nabi Saw bersabda: “Berikanlah harta warisan
kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya, untuk orang laki-
laki yang lebih utama.” (H.R. Bukhari)

13
Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Daar al-
Kutubal-Ilmiyyah. 2003) Juz 4, Cet Ke-2, h. 318.
21

c. Ijma‘ para shahabat, tabi‘in, generasi pasca shahabat dan tabi‘it tabi‘in,

generasi pasca tabi‘in telah berijma‘ tentang legalitas ilmu faraidl dan

tiada seorangpun yang menyalahi ijma‘ tersebut.

C. Rukun, Syarat, Sebab dan Penghalang Dalam Waris.

a. Rukun Waris

Rukun secara etimologi yaitu apabila posisinya kuat dijadikan

sandaran. Sedangkan menurut terminologi adalah keberadaan sesuatu

yang menjadi bagian atas keberadaan sesuatu yang lain. 14

Maka Rukun Waris Ada Tiga Macam:

1) Al-Muwarrits, yaitu orang yang meninggal dunia baik mati hakiki

(yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui

pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia) maupun mati

hukmi (yaitu kematian seseorang secara yuridis ditetapkan melalui

keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi

dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang tanpa diketahui dimana

dan bagaimana keadaannya, setelah dilakukan upaya-upaya tertentu.

Melalui keputusan hakim, orang tersebut dinyatakan meninggal

dunia). Dan mati taqdiri (yaitu perkiraan seseorang telah meninggal

dunia) misalnya seseorang yang diketahui ikut berperang.15

2) Al-Warits, yaitu adalah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan

kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab

perkawinan, atau karena akibat memerdekakan hamba sahaya.


14
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami. h. 27
15
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h.4
22

3) Al-Mauruts yaitu harta benda yang menjadi warisan

b. Syarat-Syarat Waris

Syarat menurut etimologi adalah tanda, sedangkan menurut

terminologi sesuatu karena ketiadaannya tidak akan ada hukum.16

Syarat Waris Ada Tiga Macam:

1) Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya, maupun secara hukum,

seperti keputusan hakim atas kematian orang yang mafqud (hilang)

2) Hidupnya ahli waris setelah kematian pewaris, walaupun secara hukum

seperti anak dalam kandungan.

3) Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang

pewarisan.17 Mengenai syarat yang ketiga (tidak adanya penghalang

pewarisan) diantara para ahli faraidl, ada yang menyatakan bahwa hal

tersebut tidak termasuk kedalam syarat pewarisan, yang menjadi syarat

pewarisan yang ketiga adalah: Mengetahui sebab-sebab yang mengikat

ahli waris dengan si mayyit, seperti garis kekerabatan, perkawinan dan

perwalian.18

c. Sebab-Sebab Waris

Sebab menurut etimologi adalah sesuatu yang menyampaikan

kepada sesuatu yang lain baik sesuatu tersebut bisa diraba seperti tali.

Sedangkan menurut terminologi adalah hal yang mengharuskan

keberadaan hal yang lain, sehingga hal yang lain itu menjadikan hal yang

16
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami. h. 28
17
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. (Semarang: Toha Putera, 1972) h. 426-427
18
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama,2002) Cet ke-2, h. 25
23

lain tidak ada secara substansial.19 Contoh api merupakan sebab

terjadinya kebakaran.

Sebab-sebab mewariskan yang disepakati ulama ada tiga macam

1) Kekerabatan

2) Pernikahan

3) Wala‘ (membebaskan budak)

Sebab-sebab mewariskan yang diperselisihkan ulama yaitu Baitul

Mal.20

d. Penghalang Mendapatkan Waris

Penghalang menurut etimologi adalah penghalang diantara dua hal.

Sedangkan menurut terminologi adalah sesuatu yang mengharuskan

ketiadaan sesuatu yang lain. Tentu saja ketiadaan sesuatu yang lain itu,

tidak serta merta bermakna secara substansial. Dengan demikian,

penghalang adalah keberadaannya, syarat adalah ketiadaannya, dan sebab

adalah keberadaan dan ketiadannya.21

Penghalang mewarisi yang disepakati ada tiga macam

1) Berlainan Agama yaitu berlainnya agama orang yang menjadi pewaris

dengan orang yang yang menjadi ahli waris. Mengenai kedudukan

berlainan agama sebagai penghalang warisan telah menjadi ijma‘

19
Muhammad Sabatul al-Maridini, Sarhu al-Matnu al-Ruhbiyyah (Semarang, Usaha
Keluarga, Tth) h. 10
20
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fi al-
Fiqh Al-Islami, h. 41.
21
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fi al-
Fiqh Al-Islami, h. 46
24

ulama.22 Namun demikian menurut Muadz, Muawiyyah, Ibnu al-

Musayyab, Masruq dan an-Nakha‘i berpendapat bahwa penghalang

warisan perbedaan agama, tidak termasuk bagi orang muslim untuk

mewarisi harta peninggalan ahli warisnya yang non muslim. 23

2) Perbudakan yaitu seorang budak tidak dapat mewarisi dan

mewariskanharta peninggalan dari dan kepada ahli warisnya. Ia tidak

dapat mewarisi karena dipandang tidak cakap mengurus harta milik,

dan status keluargannya terputus dengan ahli warisnya. Para ulama

telah sepakat bahwa perbudakan sebagai penghalang warisan.

3) Pembunuhan. Jumhur ulama telah sepakat dalam menetapkan

pembunuhan sebagai penghalang kewarisan adalah pembunuhan yang

disengaja dan disertai permusuhan. Hanya fuqaha dari golongan

khawarij saja yang membolehkannya. Mereka juga beralasan bahwa

ayat-ayat mawarits itu memberikan faedah yang umum, tidak

dikecualikan si pembunuh. Oleh keumumannya ayat tersebut harus

diamalkan.

Sedangkan selainnya masih diperselisihkan. Ulama Syafi‘i

berpendapat pembunuhan itu mutlak menjadi penghalang pewarisan, baik

dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, baik dilakukan karena

menjalankan hak maupun bukan, baik pembunuhnya orang yang baligh

maupun orang yang belum baligh. Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa

22
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
37
23
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
38
25

pembunuhan yang menjadi halangan adalah (1) pembunuhan yang

bersanksi qishas, yaitu yang dilakukan berdasarkan kesengajaan dengan

mempergunakan alat-alat yang dapat dianggap menghancurkan anggota

badan orang lain. (2) pembunuhan yang bersanksi kaffarat, yaitu

pembunuhan yang dituntut sebagai penebus kelalainnya dengan

membebaskan seorang budak wanita Islam atau kalau tidak mungkin, ia

dituntut menjalankan puasa dua bulan berturut-turut, seperti pembunuhan

mirip sengaja, atau pembunuhan yang dianggap silap. 24 Ulama Malikiyyah

berpendapat sesungguhnya pembunuhan yang menjadi penghalang

pewarisan ialah pembunuhan yang disengaja dan disertai permusuhan,

baik dilakukan langsung maupun tidak langsung. 25 Ulama Hanabilah

berpendapat pembunuhan yang menjadi penghalang pewarisan adalah

pembunuhan tanpa hak yang dibebani sanksi qishos, diyat dan kafarat.

Penghalang mewarisi yang tidak disepakati antara lain:

1) Riddah yaitu keluar dari Islam. Orang tersebut disebut murtad, baik dalam

keadaan dapat membedakan secara sadar, maupun dalam keadaan

bercanda. Yang diperselisihkan apakah kemurtadan menjadi penghalang

yang diiringi dengan kekafiran yang sesungguhnya? Dalam hal ini ada dua

pendapat, yaitu (1) Kebanyakan para Ulama berpendapat bahwa

kemurtadan menjadi penghalang untuk mewarisi bila diiringi dengan

kekufuran. Dengan demikian, tidak ada perbedaan antara kekafiran yang

datang secara tiba-tiba dengan kekafiran yang dilakukan sejak awal,


24
Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Maarif, 1975) Cet Ke-4, h. 86
25
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
35
26

keduanya tetap menjadi penghalang. Namun satu hal yang penting, makna

kekufuran sebenarnya secara hukum sudah mencakup bentuk-bentuk

kekufuran yang lainnya. (2) Kalangan mazhab Syafi‘iyyah berpendapat

bahwa kemurtadan merupakan penghalang mewarisi yang independen,

tidak bisa digabungkan dengan persoalan berlainan agama.26

2) Berlainan Negara yang dimaksud adalah berlainan atau perbedaan jenis

pemerintah antara dua Negara. Jumhur Ulama termasuk didalamnya Imam

Malik dan sebagian ulama-ulama Hanafiyyah, berpendapat bahwa

berlainan Negara antara orang-orang non muslim tidak menjadi

penghalang untuk saling mewarisi diantara mereka. Sebab nash tentang

penghalang itu bersipat umum dan dapat mencakup kepada mereka juga.

Nash yang melarang saling mewarisi antara dua orang ahli waris yang

sama agamanya itu dapat saling mewarisi, meskipun berlainan Negaranya.

Selama dalil yang bersifat umum ini tidak ada yang mentakhsisnya, maka

dalil tersebut wajib diamalkan. Sedangkan Imam Abu Hanafiyah dan

sebagian ulama Hanabilah menyatakan bahwa berlainan Negara antara

orang-orang non muslim menjadi penghalang pewarisan mereka, karena

terputusnya ismah (ikatan kekuasaan) dan tidak adanya hubungan

perwalian, justru terakhir ini menjadi dasar warisan.27

26
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami. h. 62
27
Fathurrahman, Ilmu Waris, h. 86
27

D. Ahli Waris dan Bagiannya

a. Golongan Ahli Waris

Golongan ahli waris yang telah disepakati hak warisnya terdiri atas

15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.28 mereka adalah:

Kelompok ahli waris laki-laki:

1) Anak laki-laki

2) Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya kebawah

3) Bapak

4) Kakek shohih dan seterusnya keatas

5) Saudara laki-laki kandung

6) Saudara laki-laki sebapak

7) Saudara laki-laki seibu

8) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung

9) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak

10) Paman sekandung

11) Paman sebapak

12) Anak laki-laki paman sekandung

13) Anak laki-laki paman sebapak

14) Suami

15) Orang laki-laki yang memerdekakan budak.

28
Muhammad Ibnu Hasan al-Ruhby, Matnu al-Ruhbiyyah (Surabaya: Maktabah Saqofah.
Tth) h. 3
28

Kelompok ahli waris perempuan

1) Anak perempuan

2) Cucu perempuan pancar laki- laki

3) Ibu

4) Nenek dari pihak bapak dan seterusnya keatas

5) Nenek dari pihak ibu dan seterusnya keatas

6) Saudara perempuan sekandung

7) Saudara perempuan sebapak

8) Saudara perempuan seibu

9) Isteri

10) Orang perempuan yang memerdekakan budak

Dari kedua puluh lima ahli waris tersebut sebagian mempunyai

bagian (fardh) tertentu, yakni bagian yang telah ditentukan kadarnya

(Furudhul muqaddarah), mereka disebut ahli waris ashabul furudl atau

dzawil furudh; sebagian lainnya tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi

mereka menerima sisa pembagian setelah diambil oleh ahli waris ashabul

furudl, mereka disebut ahli waris ashabah.29

Golongan ahli waris yang masih diperselisihkan hak warisnya adalah

keluarga terdekat (zul arham), yang tidak disebutkan didalam kitab Allah

tentang bagiannya (fardh) atau tentang usbhat, mereka dikenal dengan

sebutan ahli waris dzawil arham.

29
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
65
29

b. Bagian Ahli Waris

Bagian-bagian yang telah ditentukan dalam Al-Quran hanya ada

enam, yakni 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3 dan 1/6.30

Para ulama, dalam mengkaji pembahasan tentang bagian-bagian

yang telah ditentukan Al-Quran (fardh dan ash-habul furudnya)

menggunakan dua metode. Pertama, membahas setiap fardh secara

terperinci, misalnya menyebutkan bagian separuh (1/2), kemudian

menyebutkan ahli waris yang mendapatkan bagian separuh, menyebutkan

bagian seperempat (1/4) dengan menyertakan ahli waris yang

mendapatkan bagian itu, dan seterusnya. Kedua, menyebutkan ashabul

furudl beserta uraian seputar kondisi mereka satu persatu. Misalnya,

menyebutkan suami adakalanya mewarisi setengah (1/2) harta

peninggalan dan adakalanya mewarisi seperempat (1/4) bagian, atau

menyebutkan ibu pada satu kondisi dia mewarisi (1/3), adakalanya dia

mewarisi bagian (1/6), dan adakalanya pada kondisi yang lain, si ibu

dapat mewarisi satu pertiga (1/3) dari sisa harta waris.31

Dalam mengurutkan Bagian ahli waris ini, akan dipakai pada

metode yang kedua, sekaligus klasifikasi fardh dan ashabah.

1) Ahli waris dzawil furudh

Ahli waris dzawil furudh adalah para ahli waris yang mempunyai

bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara‘ (dalam Al-Quran)

30
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
66
31
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami, h. 106
30

yang bagiannya itu tidak akan bertambah atau berkurang kecuali dalam

masalah–masalah yang terjadi radd atau aul.

Ahli Waris tetap menjadi dzawil furudh dan tidak bisa menjadi

ashabah, Berjumlah 7 orang yaitu:

a) Ibu: seperenam (1/6) bila bersama keturunan si mayyit, juga

ketika ada dua orang saudara atau lebih, atau sepertiga (1/3) utuh

ketika tidak ada keturunan simayyit dan tidak ada saudara, atau

sepertiga (1/3) sisa jika orang yang ada bersama ibu dan bapak

adalah suami atau istri, dan hanya pada dua kelompok ahli waris

yang ditinggalkan, yang dikenal dengan umariyyatain atau al-

Gharrowain.

b) Nenek dari jalur ayah: seperenam (1/6), baik sendiri maupun

bersama-sama dengan ahli waris yang lainnya. Dengan syarat

tidak ada ayah.

c) Nenek dari jalur ibu: seperenam (1/6), baik sendiri maupun

bersama-sama dengan ahli waris yang lainnya. Dengan syarat

tidak ada ibu.

d) Saudara laki-laki seibu: seperenam (1/6), bila hanya seorang diri,

dan sepertiga (1/3), bila bersama –sama dengan ahli waris

lainnya.

e) Saudara perempuan seibu: seperenam (1/6), bila hanya seorang

diri, dan sepertiga (1/3), bila bersama-sama dengan yang lain.


31

f) Suami: setengah (1/2) bila tidak bersama dengan keturunan si

mayyit dan seperempat (1/4) bila bersama dengan keturunan

simayyit.

g) Istri: seperempat (1/4) bila tidak bersama keturunan simayyit dan

seperdelapan (1/8) bila bersama keturunan si mayyit. 32

Ahli Waris sewaktu-waktu bisa fardh dan ashobah yaitu:

a) Ayah

b) Kakek

Keduanya dapat mewarisi jalan fardh 1/6 ketika tidak ada

keturunan si mayyit. Namun, keduanya juga dapat mewarisi dengan

cara ashabah, yakni ketika mereka tidak bersama-sama keturunan

simayyit secara mutlak.

Keduanya juga dapat mewarisi secara fardh dan tashib, secara

bersama-sama dengan keturunan si mayyit. Dengan syarat sisa harta

waris yang telah dibagikan kepada ashabul furudl lebih dari

seperenam (1/6) bagian. Namun, jika sisa harta waris hanya

seperenam (1/6) bagian itu. Demikian pula, jika sisa harta waris tidak

mencapai seperenam (1/6) bagian. Jika kondinya demikian, asal

masalahnya dinaikkan untuk menyempurnakan bagian seperenam

(1/6). Tidak menutup kemungkinan, dalam satu kasus, harta waris

32
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami, h. 106
32

telah habis di bagikan atau tidak tersisa sama sekali. Dalam kondisi

ini, asal masalahnya di aulkan menjadi seperenam.33

Contoh:

1. Mewarisi hanya jalan fardh

Ayah 1/6

Anak laki-laki sisa

2. Mewarisi jalan Ashobah

Istri 1/4

Ayah Sisa

3. Mewarisi dengan jalan fardh dan tashib secara bersamaan

Anak perempuan ½ 3

Ibu 1/6 1

Ayah 1/6 + sisa 1 secara fardh+1secara

tashib=2

Ahli waris yang mewarisi jalan fardh pada suatu ketika dan

disaat lain mewarisi dengan jalan ashobah. Ahli waris semacam ini

ada 4 orang yaitu:

a) Seorang anak perempuan atau lebih

b) Seorang cucu perempuan dari seorang keturunan laki- laki atau

lebih

c) Seorang saudara perempuan sekandung atau lebih

d) Dan seorang saudara perempuan seayah atau lebih

33
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami, h. 99
33

Jika tidak, empat orang tadi disebut sebagai kelompok ahli waris

yang mendapatkan bagian separuh (1/2) dan dua pertiga (2/3). Mereka

dapat mewarisi harta peninggalan dengan jalan fardh, jika mereka

tidak bersama ahli waris yang mengashobahkan mereka. Sedangkan

bagian tetap mereka adalah adalah separoh (1/2) jika sendiri dan dua

pertiga (2/3) jika bersama-sama. Mereka juga mendapatkan bagian

hak waris secara lunak, jika terdapat ahli waris yang menyisakan

untuk mereka. Akan tetapi, mereka tidak menyatu dalam waris

mewarisi secara fardh dan waris mewarisi secara tashib.34

1. Contoh waris mewarisi secara fardh

1 anak perempuan ½

Paman kandung sisa

2. Contoh waris mewarisi secara tashib

Istri 1/8

1 anak perempuan sisa

1 orang anak laki-laki sisa

2) Ahli Waris Ashabah

Kata ashabah merupakan jama‘ dari tashib yang berarti kerabat

seorang dari pihak bapaknya. Dalam memberikan defenisi ashabah

atau tashib pada hakikatnya ulama faraidl mempunyai kesamaan

persepsi dan maksud, antar lain:

34
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami, h. 101.
34

Sebagaimana dikemukakan Rifa‘i Arief yang dikutip oleh Usman

Suparman dan Yusuf Soawinata yaitu: ―bagian yang tidak ditentukan

dengan kadar tertentu seperti mengambil seluruh harta atau menerima

seluruh harta atau menerima sisa setelah pembagian ashabul furudl”.35

Menurut Fathurrahman ashabah ialah: ―ahli waris yang tidak

mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah

disepakati oleh seluruh fuqaha. Seperti ashabul furudl dan yang belum

disepakati seperti dzawil arham”.36

Dalam kitab Matnur al-Ruhbiyyah ashabah adalah ahli waris yang

tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya, yang

telah disepakati oleh seluruh fuqoha (seperti ashabul furudl) dan yang

belum disepakati oleh mereka (seperti dzawil arham) serta mereka

mendapatkan sisa harta peninggalan setelah dikurangi bagian furudh.37

Sayid Sabiq membagi ashabah atas dua bagian, yakni ashabah

nasabiyyah yaitu berdasarkan kekerabatan dan ashabah sababiyyah

yaitu berdasarkan adanya sebab memerdekakan hamba sahaya.

Mengenai ashabah nasabiyyah para ahli faraidl membaginya menjadi

tiga bagian yaitu: Pertama, ashabah bil nafsi. Kedua, ashabah bil

ghair. Ketiga, Ashabah ma‘al ghair.38

Adapun rincian ashabah nasabiyyah sebagai berikut:

35
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
72
36
Fathurrahman, Ilmu Waris, h. 339
37
Muhammad Sabatul al-Maridini, Sarhu al-Matnu al-Ruhbiyyah, h. 23
38
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. h. 432
35

a) Ahabah bi an-Nafsi ialah tiap-tiap kerabat yang lelaki yang

tidak diselangi dalam hubungannya dengan yang meninggal

oleh seorang wanita.39 Orang- orang yang menjadi ahli waris

ashabah bi an-Nafsi berjumlah 12 orang. Yaitu: Anak laki-

laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki

sekandung, saudara laki-laki se ayah, anak laki-laki dari

saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-

laki seayah, paman sekandung, Paman seayah, anak laki-laki

dari paman sekandung, anak laki-laki dari paman seayah, laki-

laki yang memerdekakan budak, perempuan yang

memerdekakan budak.40

b) Ashabah bi al-Ghoir ialah tiap wanita yang mempunyai furudh

tapi dalam mawaris menerima ashabah, memerlukan orang

lain dan dia bersekutu dengannya untuk menerima ashabah.41

Orang-orang yang menjadi ashabah bi al-Ghoir adalah

sekelompok anak perempuan bersama seorang atau

sekelompok anak laki-laki, dan seorang atau sekelompok

saudara perempuan dengan seorang atau sekelompok saudara

39
Hasby ash-Shiddiqy, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) h. 167
40
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
75
41
Ahmad Kuzari, Sistem Ashabah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan,
h. 92
36

laki-laki, mana kala kelompok laki-laki tersebut menjadi waris

ashabah bi an-Nafsi.42

c) Ashabah ma‟a al-ghoir ialah tiap wanita yang memerlukan

orang lain dalam menerima ashabah, sedangkan orang lain itu

bersekutu menerima ashabah tersebut.43

3) Dzawil arham

Semula istilah dzawil arham mempunyai arti yang luas, yakni

mencakup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat

dengan orang yang meninggal.44 Para Ulama faraidl memberikan

definisi dzawil arham yaitu setiap kerabat yang bukan (tidak termasuk)

ashabul furud dan bukan (tidak termasuk) golongan ashabah.

Penyebutan ini dimaksudkan untuk membedakan orang-orang yang

termasuk dzawi al-arham dengan orang orang–orang yang termasuk

ash-habul furudh dan ashabah.45 Orang-orang yang kelompok dzawil

arham antara lain:46

a) Cucu perempuan pancar perempuan dan seterusnya kebawah.

b) Cucu laki-laki pancar perempuan dan seterusnya kebawah

c) Anak perempuan saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke

bawah

42
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
77
43
Hasby ash-Shiddiqy, Fiqh Mawaris, h. 179
44
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
79
45
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami, h. 339
46
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
80
37

d) Anak perempuan saudara laki-laki sebapak dan seterusnya

kebawah.

e) Anak laki-laki saudara perempuan sekandung dan seterusnya

kebawah.

f) Anak perempuan saudara perempuan sekandung da seterusnya

kebawah

g) Anak laki-laki saudara perempuan sekandung dan seterusnya

kebawah

h) Kakek dari pihak ibu dan seterusnya kebawah

Mengenai hak waris dzawil arham, para fuqaha masih berselisih

pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa dzawil arham sama

sekali tidak dapat menerima warisan, dan sebagian lainnya menyatakan

bahwa dalam keadaan tertentu, yakni mana kala tidak ada lagi

golongan ashabul furudl dan ashabah, dzawil arham dapat menerima

warisan. Golongan yang menyatakan bahwa dzawil arham sama sekali

tidak menerima warisan adalah, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, Sa‘id bin

Musayyab, Sufyan al-Tsauri, Imam Malik, Imam Syafi‘i dan ibn hazm.

Imam Malik dan Imam Syafi‘i berpendapat bahwa tidak ada hak waris

bagi dzawil arham dan harta warisan tersebut diberikan ke Baitul

Mal.47

47
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
81
38

Golongan yang menyatakan bahwa dzawil arham berhak menerima

warisan adalah Ali, Ibn Mas‘ud, Syuraih al-Qadhi, Ibnu Sirrin,‘Atho‘

Mujahid, Imam Abu Hanifah dan Imam Ibnu Hanbali.48

E. Hijab Dalam Waris

Hijab secara harfiah artinya satir, penutup atau penghalang. Dalam

fiqh Mawaris istilah hijab digunakan untuk menjelaskan ahli waris

hubungan kekerabatannya jauh, yang kadang-kadang atau seterusnya

terhalang hak-hak kewarisanya oleh ahli waris yag lebih dekat. Ahli waris

yang menghalangi disebut hajib, dan ahli waris yang terhalang disebut

dengan mahjub keadaan menghalangi disebut hijab.49

Hijab dilihat dari akibatnya, ada dua macam, pertama, Hijab

nuqsan, yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris

yang mahjub seperti suami yang seharusnya menerima bagian setengah

karena bersama anak laki-laki maupun perempuan, bagiannya terkurangi

menjadi 1/4. Ibu yang sedianya menerima bagian 1/3, karena bersama

dengan anak, atau saudara dua orang atau lebih, terkurangi bagiannya

menjadi 1/6. Kedua, Hijab hirman, yaitu menghalangi secara total.

Akibatnya hak-hak waris ahli waris yang termahjub tertutup sama sekali

dengan adanya ahli waris yang menghalangi. Misalnya saudara perempuan

48
Yusuf Musa, Al-Tirkah Wa al-Mirats Fi al-Islam, (Mesir: Daar al-Kitab al-Araby,
1959) h. 278
49
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h. 89
39

sekandung yang semula berhak menerima bagian 1/2, tetapi karena

bersama dengan anak laki-laki.50

50
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, h. 90
40

Berikut adalah daftar Hajib-Mahjub Hirman

NO Ahli waris Terhalang oleh adanya


1 Kakek Ayah
2 Garis dari ibu Ibu
3 Cucu Laki-laki Anak Lk
Saudara laki-laki / Anak laki- Cucu laki-
4 Ayah
perempuan kandung laki laki
5 Nenek garis ayah Ayah Iby
Saudara laki-laki Anak laki- Cucu laki- Saudara laki-laki
6 Ayah
seayah laki laki sekandung
Saudara perempuan Anak Laki- Cucu laki- Saudara laki-laki Saudara perempuan
7 Ayah
seayah laki laki sekandung seayah
Anak Cucu laki- Saudara laki-laki Saudara perempuan
8 Saudara Lk/Pr seibu Ayah Kakek
Laki-laki/pr laki/pr sekandung seayah
Anak lk. Saudara lk Anak Cucu laki- Saudara laki-laki Saudara perempuan
9 Ayah Kakek
sekandung Laki-laki laki sekandung seayah
Anak Cucu laki- Saudara laki-laki Saudara perempuan
10 Anak Lk sdr seayah Ayah Kakek
Laki-laki laki sekandung/ seayah seayah/ seayah
Anak Cucu laki- Saudara laki-laki Saudara perempuan
Kakek dan anak lk
11 Paman Sekandung Ayah
Laki-laki laki sekandung/ seayah seayah/ seayahsdr lk sekandung
Anak Cucu laki- Saudara laki-laki Saudara perempuan
Kakek dan paman
12 Paman Seayah Ayah
Laki-laki laki sekandung/ seayah sekandung/ seayah
sekandung
Anak laki-laki paman Anak Cucu laki- Saudara laki-laki Saudara perempuan
Kakek dan paman
13 Ayah
sekandung Laki-laki laki sekandung/ seayah sekandung/ seayah
sekandung/ seayah
Kakek dan paman
Anak Laki-laki Anak Cucu laki- Saudara laki-laki Saudara perempuan sekandung/seayah
14 Ayah
paman seayah Laki-laki laki sekandung/ seayah sekandung/ seayah dan anak laki-laki
paman sekandung
41

F. Cara Menentukan Dan Menyelesaikan Warisan

Jika kita ingin membagi harta waris kepada orang-orang yang berhak, kita

harus melihat mana yang disebut harta peninggalan (tirkah) dan membayar

lunas semua utang dan melaksanakan semua wasiat simayyit, yang tidak lebih

dari 1/3 harta waris, kita harus mengetahui siapa saja yang berhak

mendapatkan warisan. Dan harus diketahui siapa yang terlarang menerima

warisan. Kita harus mengikuti langkah-langkah berikut ini.

a. Menentukan bagian-bagian ash-habul furudh jika mereka ada

b. Menjelaskan asal masalah

c. Menentukan bagian setiap ahli waris

d. Harta Waris dibagi berdasarkan asal masalah.

e. Apabila kita telah mengetahui bagian untuk setiap ahli waris dan kadar

satu bagian dari harta waris, tinggal kita kalikan kadar bagian itu dengan

jumlah bagian ahli waris, dan hasilnya adalah kadar satu bagian dari harta

waris.

f. Semua ini diberikan, apabila para ahli warisnya dari dzawil furudh saja

atau sebagian lagi ashabah. Apabila ahli warisnya hanya ashabah dan

semuanya laki-laki, atau semuanya perempuan, asal masalahnya adalah

jumlah ahli warisnya. Namun apabila para ahli waris itu campuran, ada

laki-laki dan perempuan, asal masalahnya adalah jumlah laki-laki

dikalikan dua, ditambah jumlah perempuan.


42

Contoh Penyelesaiannya: Seseorang meninggal dunia dengan

meninggalkan seorang istri, bapak, ibu, kakek, seorang anak laki-laki dan

seorang cucu laki-laki. Harta peninggalannya sebesar Rp 48.000.000,00.

Maka penyelesaiannya sebagai berikut:

Kita harus menentukan siapa ahli waris yang mendapat warisan

Isteri 1/8

Bapak 1/6

Ibu 1/6

Kakek Terhalang oleh adanya Ayah

Seorang anak laki-laki Ashabah (sisa)

Seorang cucu laki-laki Terhalang oleh adanya anak

Sesudah kita menentukan siapa ahli waris, selanjutnya pembagiannya yaitu

Isteri 1/8 : 1/8 X 24 = 3

Bapak 1/6 }a.m 24 : 1/6 X 24 = 4

Ibu 1/6 : 1/6 X 24 = 4

Seorang Anak laki-laki Asabah (sisa) : (24-11) = 13

48.000.000 : 24 = 2.000.000

Isteri 3 X 2.000.000 = Rp 6.000.000.

Bapak 4 X 2.000.000 = Rp 8.000.000.

Ibu 4 X 2.000.000 = Rp 8.000.000.

Seorang Anak Laki-Laki 13 X 2.000.000 = Rp 26.000.000. +

Rp 48.000.000.00.,
43

Dalam pembagian waris ada disebut ahli waris inti yaitu tidak pernah

tertutup tapi tentu akan tampil sebagi yang mendapat bagian harta tinggalan

karena tidak terhijab hirman adalah: Suami atau Istri, Ibu, Ayah, Anak

Perempuan, dan Anak Laki-Laki. Mereka disebut ahli waris inti karena dalam

kenyataan bahwa kemungkinan yang mutlak mereka itu tentu menerima hak

kewarisannya, sementara ahli waris diluar mereka tertutup sama sekali selagi

masih ada anak, ayah dan ada ibu, sehingga mereka tidak bisa menikmati hak

kewarisan mereka, menerima bagian harta tinggalan. 1

SKEMA AHLI WARIS INTI

Istri Suami
(-) (+)

Yang Meninggal
Istri -/+ Suami

(-) (+)

Anak Perempuan Anak Laki-laki


(-) (+)
(-)

1
Ahmad Kuzari, Sistem Ashabah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan, h.
3
BAB III

PERATURAN RADD DI INDONESIA DAN MESIR

A. Pengertian Radd

Radd berasal dari kata ―radda‖ )‫― )رد‬yaruddu‖ (‫―(يسد‬raddan‖ (‫)زدا‬,

yang artinya kembali.1 Secara etimologi radd artinya ―al-‗awd‖ (‫― )العىد‬ar-

ruju‖ (‫ )السجىع‬artinya kembali, dan ―ash-sharf‖ (‫ )الصسف‬artinya

menghindarkan.2 Dan radd berarti juga dengan ―arrapashu‖ (‫)السفص‬, dan ―al-

Iadah‖ (‫ )اإلعادة‬artinya mengembalikan.3

Sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surah al-Ahzab ayat 25.

               

     

Artinya : “Dan Allah menghalau (mengembalikan) orang- orang yang


kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak
memperoleh keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang
mukmin dari peperangan dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
(Q.S. al-Ahzab, 33:25)
Menurut Hasanain Muhammad Mahluf, radd secara terminologi

adalah: ―adanya kelebihan pada kadar bagian ahli waris dan adanya

kekurangan pada jumlah sahamnya.‖4

1
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus arab-Indonesia (Surabaya: Pusat
Progressif, 1997) Cet ke-14, h. 486. Lihat juga . Abul Yazid Muhammad Abul Azmi, Maqosidu al-
Miraz Fi Douni Nususi al-Syariati Waqonuni al-Mawaris, (Mesir, Hukmu Attabi‘i Mahfuzatul
Lilmuallif, 1999) h. 84
2
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami (Mesir: Arrisalah Al-Dauliyyah. 2000) Terjemah H Addys Aldizar dan
Fathurrahman. Penulis (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004) h. 321
3
Ahmad Kamil al-Hudhuri, al-Mawaris al-Islamiyyah (Ttp, Lajnat Atta‘rif al-
Islamiyyah.1966) h. 54
4
Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawaris Fi al-Syariatil al-Islamiyyah. (Kairo:
Lajnah al-Bayyan al-Araby, 1958) h. 138

44
Dan menurut Ahmal Kamil al-khuduri., radd adalah: ―memberikan

harta yang tersisa kepada ashabul furud, sesudah diberikan bagian masing-

masing ashabul furud dan tidak bersama dengan ahli waris ashabah, dibagi

sesuai dengan nisbat bagian mereka.‖5

Menurut Sayid Sabiq, bahwa radd adalah: ―pengembalian apa yang

tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyyah kepada mereka sesuai dengan

besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang lain yang berhak untuk

menerimanya.‖6

Menurut Hasan Ahmad Khotib., Radd adalah: Adanya kekurangan

jumlah jumlah saham dari pada asal masalah, dan adanya kelebihan kadar

bagian para ahli waris.7 Menurut Fathurrahman., radd adalah: ―penambahan

pada bagian-bagian ahli waris dan pengurangan saham-sahamnya.‖8Dari

pengertian diatas dapat dipahami bahwa radd adalah suatu masalah kasus

pewarisan yang jumlah sahamnya lebih kecil daripada asal masalahnya. Dan

dengan sendirinya, terjadi penambahan kadar para ahli waris. Karena pada

masalah radd ini, ada penambahan kadar kepada para ahli waris. Masalah

Radd ada karena tidak ada ashabah dalam pembagian waris, maka sesudah

dibagikan bagian masing-masing ahli waris masih ada sisa, yaitu sisa kecil

5
Ahmad Kamil al-Hudhuri, al-Mawaris al-Islamiyyah h. 55
6
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah. (Ttp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah. t.th), jilid III, h. 306
7
Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqhul al-Muqaron, (Kairo: Darut at-Taklif. 1957) h 336
8
Fathurrahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Maarif, 1975) Cet Ke-4, h. 423
Hazairin menamakannya dengan Dzawu-Iqarabat.9 Dan Hasanain

Muhammad Makhluf menamakannya dengan al-Naqishah.10

B. Rukun dan Syarat Radd.

1. Rukun-Rukun Radd

a. Terwujudnya ashabul furudl

b. Terwujudnya kelebihan saham

c. Tidak ada ahli waris waris ashabah

Ketiga ini harus ada, sebab kalau salah satu dari rukun tersebut

tidak ada tentu tidak akan terjadi masalah radd. Misalnya jika para ahli

waris dari seseoarang yang mati semuanya terdiri dari ashabah maka harta

peninggalan asal masalahnya adalah sesuai jumlah bilangan ashabah

tersebut. Atau beberapa orang ashabul furudl dan seorang ashabah,

niscaya tidak akan ada sisa lebih atau kurang. Demikian juga apabila

jumlah saham-saham dari para ahli waris adalah sebesar jumlah asal

masalah, sehingga tidak ada kelebihan sedikitpun, tentu tidak akan terjadi

masalah radd.11

2. Syarat-Syarat Radd.12

a. Adanya Kelebihan harta dan kelebihan saham.

b. Tidak ada ahli waris ahabah.

9
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur‟an dan Hadis, (Jakarta: Tritamas,
1964) Cet ke-3, h. 45
10
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002) Cet ke-2, h. 119
11
Fathurrahman, Ilmu Waris, h. 423
12
Abul Yazid Muhammad Abul Azmi, Maqosidul al-Miraz Fi Dauni Nususi al-Syariati
Wa Qonuni al-Mawarisi, h. 84
Persoalan radd terjadi dalam hal ada suami atau istri , kedua, dalam hal

suami atau istri tidak ada13

C. Pendapat Para Ulama Tentang Radd

Tidak ada Nash yang khusus yang terdapat dalam kitab Allah Swt... Atau

dalam Sunnah Rasulullah saw tentang radd. Karena itulah, para Sahabat,

tabi‘in, dan para imam mazhab fiqih, berbeda pendapat tentangnya. Para

Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini pada prinsipnya, ada dua

pendapat yaitu radd itu tidak ada dan radd itu ada.14

1. Pendapat Para Sahabat dan Tabiin

a. Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khottab

Mereka berpendapat Pengembalian sisa harta diserahkan kepada

ashabul furudl, tidak boleh diberikan kepada suami atau istri. Karena

suami atau istri bukanlah kerabat nasab.15 Tidak boleh diserahkan ke

baitul mal, karena nasab lebih utama dibandingkan hubungan agama.

Dzul al-furudh mengumpulkan dua sebab, yaitu hubungan agama dan

hubungan nasab, sementara kaum muslimin (baitul mal) hanya

mempunyai satu sebab saja yakni hubungan agama. Maka radd

diserahkan kepada ashabul furudl kecuali kepada suami atau istri.

13
Suhwardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum waris Lengkap dan Praktis
(Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 165
14
Fathurrahman, Ilmu Waris, h. 423
15
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fi al-Syariati al-Islamiyyah
Ala al-Mazahibul Arbaah, (Beirut: Maktabah al-Azriyah. 1996), h. 172
Dalil yang dikemukakan adalah Surah al-Anfaal ayat 75

         

            
   



Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian


berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk
golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.” (Q.S. Al-Anfal,8:75)

Ayat ini menjelaskan bahwa suami atau istri tidak termasuk

pengertian umum ayat ini. Suami atau istri dapat mewarisi karena sebab

perkawinan, dan ini terputus bila salah seorang dari mereka wafat.

Karena itu, bagian warisan untuk suami atau istri hanya apa yang ada

dalam nash, dan tidak ada pengembalian untuk mereka karena hal itu

tidak ada dasarnya. Hubungan kekerabatan karena nasab akan tetap

kekal, walaupun ahli warisnya telah wafat. Oleh sebab itu, tidak ada

alasan untuk mencegah ash-habul furudh, yang memiliki ikatan

kekerabatan dengan simayyit, maka sisa harta sesudah pembagian waris,

ash-habul furud lebih berhak mendapatkan warisan daripada orang lain.16

b. Utsman bin Affan

Apabila ada sisa harta sesudah dibagikan kepada ashabul furudl

dan tidak ada ashabah karena nasab dan sebab, Pengembalian sisa harta

16
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islam, h. 322
diserahkan kepada seluruh ash-habul furudh, dengan kadar bagian

masing-masing tanpa terkecuali (radd boleh diberikan kepada siapa saja

tanpa ada pengecualian). bahwa radd dapat diberikan kepada seluruh

ahli waris dzul al furudh sekalipun kepada suami istri menurut bagian

mereka masing-masing.17

Dalil yang dikemukakan adalah bahwa suami atau istri

menanggung kekurangan pada bagian mereka ketika aul, maka mereka

juga wajib menerima tambahan ketika ada sisa lebih (radd). Alasan

lainnya bahwa dalam Al-Quran telah ditetapkan bahwa suami atau istri

adalah ahli waris dan tidak ada yang melarang dalam menambahi sisa

waris. Oleh sebab itu tiap-tiap yag ditetapkan oleh Nash menyalahi

qiyas maka wajib mendahulukan apa yang ditetapkan oleh nash.18

c. Pendapat Abdullah ibnu Mas’ud

Radd tidak boleh diberikan kepada enam ashabul furudl yaitu

suami, istri, nenek, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara

perempuan sebapak, dan saudara-saudara seibu. Dalil yang

dikemukakan adalah mewarisi sisa setelah ash-habul furudh, dengan

jalan pengembalian, sama hukumnya dengan jalan ashabah. Oleh

karena itu dahulukanlah yang lebih dekat kemudian yang agak dekat.

Tidak tetap radd itu bagi suami adan istri karena salah satu keduanya

tidak ada sipat qorabat. Dan tidak tetap mendapatkan radd cucu

17
Ibnu Qudamah. Al-Mughni, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah. t.th), Juz 7, h 46. Lihat
juga Hasan Yusuf Ghazali, al-Miras ala al-Mazahibul Arba‟ah dirasatan watatbikhan, (Ttp: Daar
al-Fikr, 2003), h. 113-116
18
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fi al-Syariati al-Islamiyyah
Ala al-Mazahibul Arbaah, h. 172
perempuan dari anak laki-laki bersama anak perempuan sulbi, saudara

perempuan sebapak bersama saudara perempuan sekandung, serta

saudara seibu bersama ibu dan nenek, karena salah satu dari yang tiga

ini ada orang yang lebih dekat dengan si mayyit daripada mereka.19

d. Pendapat Zaid bin Tsabit, Urwah ibnu Zubeir dan Sulaiman

ibnu Yasar.

Tidak ada radd dalam waris mewarisi dan harta yang tersisa setelah

bagian ash-habul furud dibagikan, tidak bisa dikembalikan kepada

mereka, tetapi harus diserahkan ke baitul mal. Dalil yang dikemukakan

adalah bahwa ALLAH SWT.. telah menjelaskan bagian ash-habul furudh

dalam masalah warisan. Oleh karena itu, tidak boleh ditambahkan

dengan sisa harta, karena perbuatan itu melampaui batas yang

ditentukan Allah Swt...20

Sebagaimana di dalam Al-Quran Surah an-Nisa‘ ayat 13-14

            

         

    


      

  

Artinya: ―(Hukum -hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan


dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya
Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya
19
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fi al-Syariati al-Islamiyyah
Ala al-Mazahibul Arbaah, h. 173
20
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami, h. 322
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah
dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. An-Nisa‟ 4:13-14)

Ayat ini turun sesudah menerangkan bagian ashabul-furudh, artinya

membatasi bagian yang telah ditentukan oleh ALLAH SWT... Maka

seluruh sisa harta itu diserahkan kepada baitul mal.21

e. Abdullah ibnu Abbas

Sisa harta diberikan kepada ash-habul furudh selain suami, istri dan

juga selain nenek, jika ia bersama ashabul furudl yang memiliki

hubungan kekerabatan karena nasab. Jika tidak ada, ia boleh

mendapatkan pengembalian. Dalil yang dikemukakan adalah Warisan

nenek merupakan makanan untuknya. Oleh karena itu nenek tidak boleh

mendapatkan bagian lebih dari apa yang telah ditetapkan, kecuali jika

tidak ada ashabul furudl, yang memiliki hubungan karena nasab.22

2. Pendapat para Imam Mazhab

a. Imam Syafi’i dan Imam Maliki

Menurut Imam Syafi‘i dan Imam Maliki Sisa harta yang

tersisa setelah bagian ashabul furudl dibagikan (radd), tidak bisa

dikembalikan kepada ashabul furud, tetapi harus diserahkan ke baitul

mal.23 Demikian juga tidak boleh diserahkan kepada dzawil arham,

21
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami, h. 323
22
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami, h. 327
23
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fissyariatil Islamiyyah Ala
Mazahibul Arbaah. h. 174
baik keadaan kas baitul mal teratur dalam melaksanakan tugasnya

maupun tidak. Sebab hak pusaka terhadap kelebihan tersebut adalah

di tangan orang-orang muslimin pada umumnya. Orang-orang

muslimin pada keadaan bagaimanapun tidak boleh dianggap sepi.

Biarpun nashir tersebut tidak melaksanakan amanat orang-orang

muslimin, tetapi hal itu tidak dapat menggugurkan hak mereka.24

Oleh karena itu Kelebihan harta setelah dibagi-bagikan

kepada ahli waris dzul al-furudh tidak dapat dimiliki oleh seorang

ahli waris karena tidak ada jalan untuk memilikinya dan harus

diserahkan ke baitulmal. Dalil yang menjadi landasan Imam Syafi‘i

dan Imam Maliki adalah Al-Quran surah An-Nisa ayat 13-14

Ayat ini menjelaskan bahwa tidak boleh melampaui batas

yang telah disyariatkan oleh Allah Swt., yang melampaui batas akan

mendapatkan sanksiyang keras. Karena bahwasanya Allah Swt. telah

menentukan bagian para dzawil furudh secar qoth‟iy besar kecilnya

secar pasti, tidak perlu ditambah atau dikurangi. Menambahi fardh

mereka berarti membuat ketentuan yang melampaui batas

ketentuan syariat. Orang-orang yang melampaui batas ketentuan

syariat, oleh tuhan diultimatum akan diabadikan dineraka.

Imam Syafi‘i berkata: apa makna radd? Apakah itu

merupakan sesuatu yang diperoleh melalui istihsan (anggapan baik)

walaupun demikian, apakah kita mensyariatkan sesuatu yang tidak

24
Muhammad Syarbini al-Khotib, Mughni al-Muhtaj (Mesir: Musthapa al-Baby al-Haby,
1958) Juz III, h. 6
disyariatkan Allah? Kalau boleh, kita bisa saja memberikan warisan

kepada tetangga atau nasab yang jauh. Kalau tidak boleh, mengapa

ada yang membolehkan radd?25 Berdasarkan dalil ini Imam Syafi‘

dan Imam Maliki berpendapat bahwa radd itu harus diberikan kepada

baitul mal, karena baitul mal merupakan ahli waris yang tidak

mempunyai ahli waris. Demikian Urwah dan Imam syafii

mengemukan hal yang sama dengan Zaid bin Tasbit.26

Kondisi dan situasi yang dialami oleh fuqaha syafi‘iyyah

dikemudian hari berlainan dengan suasana dan situasi yang dialami

Imam Syafi‘i. Sehingga mendorong pengikut-pengikutnya seperti

Imam Ibnu Saraqah, al-Qadhi al-Husain, al-Mutawally, al- Mazani

dan Ibnu Suraij, mempatwakan bahwa sisa harta itu tidak boleh

diserahkan kecuali kepada ash-habul furudh secara nasab dan tidak

boleh diberikan kepada suami atau istri, sama ada baitul mal

terorganisir dengan adil atau tidak terurus. Pendapat Imam Nawawi,

Imam al-Mawardi apabila baitul mal terorganisir dengan adil maka

tidak boleh diberikan kepada ashabul furud dan jika baitul mal itu

tidak terorganisir dengan baik diberikan kepada ashabul furud

kecuali suami atau istri.27

25
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami, h. 323
26
Muhamad Ibn Idris al-Syafii, Al-Umm, (Beirut : Dar al Kutub al Ilmiyah.1993), juz 4, h
100 Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al Maqtashid, (Ttp.: Maktabah al Kulliyah al
azhariyah. 1969), juz II, h. 380
27
Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqh al-Muqaran (Mesir: Darul Ta‘rif, 1957) h. 337
Pendapat Mazhab Maliki generasi berikutnya bahwa apabila

baitul mal tidak terorganisir dengan adil ketika ada kelebihan sisa

harta diberikanlah kepada ashabul furudl sesuai dengan nisbah

bagian mereka kecuali kepada suami atau istri.28

b. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah

Mereka berpendapat bahwa sisa harta sesudah dibagikan kepada

ashabul furudl (radd) diberikan kepada ashabul furudl senasab,

kecuali kepada suami atau istri, baik baitul mal terorganisir secara

adil atau tidak, wajib diberikan kepada ash-habul furudh.29

Penyingkiran suami dan istri dari menerima radd itu ialah karena

radd itu adalah hak para ahli waris yang mempunyai hubungan darah

dengan simati, sedang sebagaimana diketahui bahwa hak pusaka

suami dan istri tersebut bukan karena adanya sebab perhubungan

darah, tetapi karena adanya sebab perkawinan.30 Dalil yang

dikemukakan adalah surah al-Anfal ayat 75

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian


berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang -orang itu
termasuk golonganmu (juga ). orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat).” (Q.S. Al-Anfal, 8:75)
Ayat ini mempunyai makna umum, yaitu setiap orang yang terikat

dengan hubungan rahim lebih utama untuk menerima warisan

daripada yang lain. Dengan demikian, mereka berhak mengambil sisa

28
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1989) h.
358
29
Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqh al-Muqaran, h. 339
30
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta : Gunung Agung, 1984), h. 103
dari harta waris. Ayat ini juga tidak bertentangan dengan ayat waris-

mewarisi, sebab bagian yang telah ditetapkan sudah diberikan kepada

ash -habul furudh. Karena itu mengambil sisa bukanlah menambah

bagian yang telah ditetapkan ALLAH, namun karena ada sebab yang

lain, seperti orang yang mewarisi karena sebab kekerabatan melalui


31
dua jalur.

Selain berpegang pada firman Allah tersebut, mereka juga

mendasarkan pendapatnya pada hadits yang disampaikan oleh Sa‘ad

bin Abi Waqqash.

‫حدثنا الحميدي حدثنا سفيان حدثنا الزهري قال أخب ين عامر بن سعد بن‬
‫فأتان‬
‫ي‬ ‫أن وقاص عن أبيه قال مرضت بمكة مرضا فأشفيت منه عىل الموت‬ ‫ي‬
‫ابنب‬
‫ي‬ ‫إال‬ ‫يرثب‬
‫ي‬ ‫وليس‬ ‫ا‬
‫كثب‬
‫ر‬ ‫ماال‬ ‫ىل‬
‫ي‬ ‫إن‬ ‫هللا‬ ‫رسول‬ ‫يا‬ ‫فقلت‬ ‫يعودن‬
‫ي‬ ‫ملسو هيلع هللا ىلص‬ ‫النب‬
‫ي‬
‫ماىل قال ال قال قلت فالشطر قال ال قلت الثلث قال الثلث‬‫بثلب ي‬‫أفأتصدق ي‬
‫خب من أن تبكهم عالة يتكففون الناس‬ ‫كبب إنك إن تركت ولدك أغنياء ر‬ ‫ر‬
31
)‫ (رواه البخاري‬.................

Artinya: ―Bercerita kepada kami Hamidi bercerita kepada kami


Supyan bercerita kepada kami Zuhri, berkata ia, bercerita kepada
kami Amar bin Sa‟ad bin Abi Waqos dari ayahnya berkata ia, Pada
saat haji Wada‟ Rasulullah saw, mengunjungiku yang sedang sakit
keras. Aku bertanya kepadanya, „Wahai Rasulllah, aku adalah orang
yang memiliki harta yang banyak dan tidak ada yang mewarisi
hartaku, kecuali anak perempuanku satu-satunya. Jika demikian,
bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga (2/3)dari hartaku? Nabi
saw menjawab, tidak boleh. Aku bertanya lagi Bagaimana jika aku
sedekahkan separuh hartaku, ya Rasulallah? Nabi saw. Menjawab,
Juga tidak boleh, Aku kembali bertanya, kalau sepertiga (1/3)
mendengar itu, nabi saw. Bersabda „kalau sepertiga (1/30 boleh, dan
itupun sudah banyak. Sebab, seandainya kamu meninggalkan ahli

31
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matnul al-Bukhari Bi-Hasiyyatis al-
Sindi, (Beirut: Daar ibn al-Hizam, tth) Jilid ke-4, h. 165
warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu
meninggalkan mereka dalam keadaan papa, meminta-minta kepada
manusia, .…(H.R. Bukhari)

Bentuk argumentasi dari hadis diatas adalah Rasulallah SAW, tidak

melarang sa‘ad yang membatasi warisannya hanya untuk anak

perempuannya, namun beliau melarangnya berlebihan dalam memberi

sedekah, sehingga anaknya menjadi kaya dengan warisan. Jelasnya,

anak perempuan Sa‘ad tidak mewarisi seluruh harta, kecuali jika ia

mengambil bagian tetap yang setengahnya dan sisa menjadi

pengembalian.32

c. Syi’ah Zaidiyah dan Imamiyyah

Mereka berpendapat kelebihan harta diserahkan kepada ahli waris

yang ada sesuai dengan kadar masing-masing.

Sedang di kalangan Syi‘ah Imamiyah juga terdapat perbedaan

tentang memberikan sisa harta kepada suami isteri ketika ahli waris

yang lain tidak ada. Pertama, sisa harta diberikan kepada suami tidak

kepada isteri. Pandangan ini yang lebih mashur di kalangan mazhab

Imamiyah dan yang paling banyak diamalkan. Kedua, sisa harta

diserahkan kepada suami atau isteri secara mutlak dan dalam semua

keadaan. Ketiga, sisa harta diberikan kepada suami atau isteri

manakala tidak ada imam yang adil. Kalau ada imam yang adil maka

sisa harta diserahkan kepada suami.33

32
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-
Fiqh Al-Islami, h. 325
33
Muhamad Jawad Mughniyah. Fiqh Lima Mazhab, terj. Afif Muhamad,(Jakarta : Basri
Press, 1994), h. 357
D. Radd Dalam KHI dan Fiqh Klasik

1. Radd Dalam KHI

Dalam masalah radd ini, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

menyatakan bahwa apabila terjadi kelebihan harta, maka kelebihan

tersebut dikembalikan kepada seluruh ahli waris, tanpa terkecuali kepada

suami atau istri.34 Hal ini sebagaimana termaktub dalam pasal 193 KHI35

―Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris dzawil

furud menunjukkan pembilang lebih kecil daripada angka penyebut,

sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan

tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing

ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang diantara mereka‖

Sikap tegas yang diambil oleh Kompilasi Hukum Islam yang hanya

memberikan satu pilihan yaitu sisa harta yang sesudah dibagikan kepada

ashabul furudl (radd) boleh diberikan kepada semua ahli waris. Dalam

Kompilasi Hukum Islam Radd itu diserahkan kepada seluruh ashabul

furudl, termasuk kepada suami atau istri.

2. Radd Dalam Fiqh Klasik

Masalah radd timbul karena adanya sisa harta sesudah dibagikan

kepada dzawil furudh, sedangkan ahli waris yang berhak atas sisa harta
36
(ashabah) tidak ada. Mengenai radd para Ulama berbeda pendapat

tentang pengembailannya apakah diserahkan kepada ashabul furudl atau

34
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, h.
198
35
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007) h. 160
36
Lia Murlisa, Ahli Waris Penerima Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan
Relevansinya Dengan Social Kemasyarakatan, h. 283
kepada baitul mal (radd itu ada atau tidak ada). Kemudian para Ulama

juga berbeda pendapat tentang pengembalian kepada ashabul furud siapa

saja yang mendapatkan radd.37

Mengenai perbedaan ini para Ulama yang mengatakan radd itu ada

(diserahkan kepada ashabul furudl) adalah Ali bin Abi Thalib, Umar bin

Khattab, Usman bin Affan, Abdullah bin Mas‘ud, Abdullah bin Abbas,

Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Hanifah, Imam ibnu Saraqah, al-

Qadhi al-Husain, al-Mutawally, al-Mazani dan Ibnu Suraij.38

Para Ulama yang mengatakan radd itu tidak ada (diserahkan kepada

baitul mal) adalah Zaid bin Tzabit, Urwah ibnu Zubeir, Sulaiman ibnu

Yasar, Imam Syafi‘i, dan Imam Malik.39

Para ulama yang mengatakan radd itu ada atau diserahkan kepada

ashabul furudl masih berbeda pendapat tentang siapa saja ashabul furudl

yang mendapatkan radd, menurut kebanyakan para ulama yang

berpendapat radd itu diserahkan kepada ashabul furudl bahwa suami atau

istri tidak boleh mendapatkan radd, Alasan pembatasan ini adalah oleh

karena yang menjadi alasan adanya radd tersebut adalah hubungan

rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannya disebabkan hukum dan

bukan karena hubungan rahim.40

37
Lia Murlisa, Ahli Waris Penerima Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan
Relevansinya Dengan Social Kemasyarakatan, h. 285
38
Lia Murlisa, Ahli Waris Penerima Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan
Relevansinya Dengan Social Kemasyarakatan, h. 285
39
Lia Murlisa, Ahli Waris Penerima Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan
Relevansinya Dengan Social Kemasyarakatan, h. 284
40
Lia Murlisa, Ahli Waris Penerima Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan
Relevansinya Dengan Social Kemasyarakatan, Jurnal Ilmiah Islam Futura Vol. 14 No. 2. Februari
2015 h. 285
Hanya Usman bin Affan yang membolehkan suami atau istri

mendapatkan radd. Alasan yang dikemukakan adalah mereka menerima

hak yang sama dalam pengurangan waktu terjadi „aul tentu tidak ada

alasan untuk membedakannya pada waktu menerima kelebihan hak.41

Semua sisa harta yang ada dikembailkan kepada ahli waris dzawil furudh

yang ada berdasarkan kadar furudh masing-masing. Kalau furudnya 1/3

dari harta maka radd yang diterimanya adalah 1/3 dari sisa harta itu dan

begitu seterusnya.42

E. Radd dalam Qanun Al-Mirats Al-Mishriy (UU No. 77 tahun 1943)

Dalam upaya memecahkan permasalahan hukum-hukum

kontemporer, di mesir telah di bentuk Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah,

yaitu lembaga penelitian dan pengkajian Islam yang terdiri dari ulama-

ulama pilihan dari berbagai disiplin ilmu. Tujuan didirikannya lembaga ini

adalah untuk memecahkan segala problem yang terjadi dalam era

globalisasi yang tidak cukup penyelesaiannya jika didasarkan pada ilmu

syariah saja. Setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan

yang berwenang, harus terlebih dahulu dibahas oleh komisi Majma‟ al-

Buhuts al-Islamiyah secara mendalam dan seksama. Dalam melaksanakan

pekerjaannya, lembaga ini tidak perlu meminta izin kepada pengadilan,

asalkan pekerjaan itu tidak mendatangkan bahaya (dharar) kepada

masyarakat secara umum.43

41
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h. 108
42
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004) h. 107
43
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 35
Lembaga Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah ini merupakan lembaga

yang memproduksi pembaharuan hukum Islam dengan mengedepankan

ijtihad kolektif (jama‟i) ulama dan para cendikiawan. Dalam mengemban

tugasnya, lembaga ini selalu mengedepankan maqashid al-syar‟iyah dalam

berijtihad berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.44

Pembaruan hukum Islam di Mesir dalam bidang keluarga

(perkawinan) meliputi: pencatatan perkawinan, perkawinan antara beda

agama, perjanjian perkawinan untuk tidak dimadu bagi wanita, saksi

dalam perkawinan, poligami tanpa izin pengadilan, hadhanah dan waris.45

Hukum waris Islam di Mesir diatur khusus dalam undang-undang

No. 77 tahun 1943 tentang kewarisan. Undang-undang ini memiliki 8 bab

yang terdiri dari 48 pasal. bab pertama mengatur tentang hukum waris

secara umum; bab kedua mengatur tentang sebab-sebab mewarisi dan

macam-macamnya; bab ketiga mengatur tentang hijab; bab keempat

mengatur tentang radd, bab kelima mengatur tantang waris dzawil arham;

bab keenam mengatur tentang waris ashabah sababiyah; bab ketujuh

mengatur tentang hak tirkah denngan cara ikrar mayit; dan bab kedelapan

menerangkan tentang hukum waris yang beragam.46

Ketentutan tentang radd diatur khusus dalam bab tersendiri yaitu

pada bab keempat Pasal 30 UU No 77 Tahun 1943 tentang kewarisan

Mesir yang menyatakan:

44
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 35
45
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 35
46
Lihat UU Hukum waris Mesir No. 77 tahun 1943.
‫اذا ﱂ تﺴتﻐرق الفروض الﱰكة وﱂ توجد عصبة من النﺴب رد الباقﻰ علﻰ غﲑ‬
ّ
‫ ورد باﰱ الﱰكة اﱃ احد الزوجﲔ‬،‫الزوجﲔ من اﺻحاب الفروض بنﺴبة فروضهم‬

‫اذا ﱂ يوجد عصبة من النﺴب او احد اﺻحاب الفروض النﺴبﻴة او احد ذوى‬
47
‫االرحام‬

Artinya: “Apabila furud tidak dapat menghabiskan harta


peninggalan dan tidak terdapat „asabah nasab, sisanya dikembalikan
kepada selain suami/isteri dari golongan ashabul furud, menurut
perbandingan furud mereka. Dan sisa harta peninggalan dikembalikan
kepada salah seorang suami/isteri, bila tidak didapatkan seorang „asabah
nasab atau salah seorang ashabul furud nasabiyah atau seorang dhawil
arham”.48

F. Penyelesaian Masalah Radd

Sesuai dengan pendapat Imam Hanafi, Imam Hanbali, mazhab Syafi‘i

generasi berikutnya dan mazhab Maliki generasi berikutnya bahwa Cara

penyelesaian radd sesuai dengan perbedaan jumlah ash-habul furudh, ada

empat situasi, yaitu:

1. Ashabul furudl hanya satu orang atau beberapa orang sejenis, tanpa

suami atau istri. Dalam situasi ini, harta waris dibagikan berdasarkan

jumlah ahli waris.

Contoh:

a. Ahli warisnya terdiri dari ibu, harta waris Rp 6.000.000.‘

Ibu 1/3 x 6 = 2.‘2 x 6.000.000.‘ = Rp 2.000.000.‘ 6

Sisa 6.000.000 – 2.000.000.‘ = Rp 4.000.000.‘

47
Lihat Pasal 30 UU No. 77 Tahun 1943 Qanun Al-Mirats Al-Mishriy
48
Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT. Al-Ma‘arif, 1975), h. 427
Ini diberikan kepada ibu

b. Ahli warisnya terdiri beberapa orang sejenis yaitu, dua orang

saudari kandung, harta waris Rp 6.000.000.‘ Asal masalahnya jadi

dua, setiap ahli waris mendapat bagian yang sama, termasuk

bagian tetap fardh dan bagian pengembalian.

2. Ashabul-furudh terdiri dari beberapa ahli waris dan tidak ada suami

atau istri. Pada situasi ini, harta waris dibagi berdasarkan jumlah

bagian yang dibagikan, bukan brdasarkan jumlah orang.

Contoh: Seorang wafat meninggalkan ibu dan dua saudari seibu,

harta waris Rp 12.000.000.

Ahli Waris Fardh AM: 6


Ibu 1/6 x 6 = 1.‘ 1 x 12.000.000 = Rp 4.000.000.‘
3
2 Saudari seibu 1/3 x 6 = 2.‘ 2 x 12.000.000 = Rp 8.000.000.‘
3
3. Ahli waris ashabul-furud hanya satu orang tetapi bersama salah satu

suami atau istri, penyelesaiannya adalah menjadikan asal masalahnya

dari bagian tetap orang yang tidak mendapatkan pengembalian, dan

sisanya dibagikan sesuai jumlah ahli waris.

Contoh: Seorang wafat meninggalkan suami dan dua anak

perempuan, harta waris Rp 24.000.000.‘

Ahli Waris Fardh AM: 4


Suami 1/4 x 4 = 1.‘ 1 x 24.000.000.‘ = Rp 6.000.000.‘
4
2 Anak perempuan 3/4 x 4 = 3.‘ 3 x 24.000.000.‘ = Rp 18.000.000.‘
4
4. Ahli waris ash-habul-furudh lebih dari satu orang, bersama salah satu

dari suami atau istri, penyelesaiannya adalah menjadikan asal

masalahnya adalah hasil dari dari suami atau istri. Kemudian sisanya

dibagikan kepada ash-habu furudh, yang menerima pengembalian

sisa harta waris, sesuai nisbat mereka. Jika masalhnya memerlukan

tashih dilakukan tashih sesuai dengan kaidahnya.

Contoh: Seorang wafat meninggalkan Istri, ibu dan saudara seibu

Rp. 24.000.000

Ahli Waris Fardh AM: 12


Istri 1/4 x 12 = 3.‘3 x 24.000.000 = Rp 6.000.000.‘
12
Ibu 1/6 x 12 = 2.‘ 2 x 24.000.000 = Rp 4.000.000.‘
12
2 Saudara seibu 1/3 x 12 = 4.‘ 4 x 24.000.000 = Rp 8.000.000,‘
12 Rp 18.000.000.‘

24.000.000 – 18.000.000 = 6.000.000.‘Sisa harta ini diberikan

kepada Ibu dan saudara seibu. Yaitu

Ibu 1/6 x 6 = 1.‘1 x 6.000.000 = Rp 2.000.000.‘


3
2 Saudara se ibu 1/3 x 6 = 2.‘ X 6.000.000 = Rp 4.000.000.‘
3 Rp 6.000.000.‘
BAB IV

ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP PEMBAGIAN RADD DI

INDONESIA DAN MESIR

Pembaruan hukum dalam hukum keluarga, baik di Indonesia, maupun di

Mesir, adalah dalam rangka mengakomodasi tuntunan perubahan mayarakat

dengan perubahan zaman, sehingga diperoleh ketetapan-ketetapan hukum yang

berlaku bahkan mengikat di dalam masyarakat. Yang pada akhirnya akan

mengalami perubahan dari kitab-kitab fikih dengan menambahkan peraturan-

peraturan baru—keberanjakan vertical—dengan beberapa negara yang telah

mengalami pembaruan hukum dengan menggunakan metode regulatori dan

modifikasi yang sebelumnya didahului dengan metode pembaruan intra doctrinal

dengan mengambil doktrin dari berbagai mazhab fikih, baik metode takhayyur1

maupun talfiq2, dan pembaruan ekstradoctrinal.3

A. Perbandingan Aturan Konsep Radd di Indonesia dan Mesir dengan

Kitab Fiqih

1. Indonesia

Hukum Islam secara sempurna mengatur semua perilaku

pengikutnya baik dalam hal hubungan manusia dengan Khaliknya maupun

hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut dengan aturan

1
Takhayyur, yaitu menyeleksi berbagai pendapat mazhab secara eklektik melalui fatwa
(judicial direvtiveI). Lihat, Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara, Kritik atas Politik
Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta : LKiS, Februari, 2001), h. 90.
2
Talfiq, yaitu menggabungkan mazhab yang satu dengan mazhab yang lain.
3
Intra Doctrinal Reform, yaitu reformasi hukum keluarga Islam yang dilakukan dengan
menggabungkan pendapat dari beberapa madzab atau mengambil pendapat lain selain dari madzab
utama yang dianut sedangkan Extra Doctrinal Reform , yaitu pembaruan hukum dengan cara
memberikan penafsiran yangn sama sekali baru terhadap nas yang ada. Lihat M. Atho Mudzhar,
Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998),
h. 177.

64
‗ubudiyyah dan aturan mu‟amalah. Di dalam aturan mu‟amalah

disinggung di dalamnya tentang beberapa hal, salah satunya adalah al-

ahwal al-syakhsiyyah, yang mengatur tentang pernikahan, warisan, wasiat,

hibah dan wakaf. Keseluruhan dari setiap aturan dalam Islam adalah

menuntut adanya kemaslahatan bagi umat Islam. Hal ini tercermin dalam

pembagian warisan, yang bertujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi

masing-masing pihak dan adanya nilai-nilai tanggung jawab yang harus

diemban oleh mereka. Maka untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut,

setiap muslim dituntut untuk menjalankan aturan-aturan tersebut sesuai

dengan Al-Quran dan hadis serta kesepakatan ulama. Tidak terkecuali

dalam penyelesaian kasus waris yang dianggap krusial karena terkadang

menimbulkan persengketaan dan selisih paham dalam sebuah keluarga,

yang pada akhirnya tidak sesuai dengan tujuan aturan itu sendiri.

Hukum waris Islam meski secara umum telah dijelaskan dalam Al-

Quran dan hadis, namun tidak dapat disangkal masih ada perbedaan

pandangan ulama dalam memaknai dan memahami ayat-ayat serta hadis-

hadis tentang kewarisan tersebut. Perbedaan tersebut juga mempengaruhi

implementasi aturan kewarisan di dalam masyarakat. Ada kalanya mereka

cenderung menerapkan aturan dari salah satu ulama yang dianggap sangat

berpengaruh dalam kehidupan beragama mereka. Demikian halnya dengan

pemegang kekuasaan hukum atau hakim, yang merumuskan setiap

peraturan dalam suatu aturan yang dianggap sebagai aturan yang formal

dan legal sehingga menerapkannya dalam setiap putusan pengadilan.


Putusan-putusan yang dihasilkan tidak serta merta tanpa pertimbangan dan

tanpa merujuk kepada Al-Quran dan hadis serta kesepakatan ulama.

Mereka dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan dalam

memutuskannya, tidak terkecuali dengan salah satu kasus yang dianggap

kontroversial semenjak dari masa Sahabat, yaitu permasalahan radd.

Radd terjadi apabila dalam pembagian harta waris terdapat sisa

harta setelah ahli waris dzawil furudh4 memperoleh hak dan bagiannya

masing-masing.5 Cara radd ini ditempuh untuk mengembalikan sisa harta

tersebut kepada ahli waris dzawil furudh sesuai dengan bagian yang

diterima masing-masing secara proposional. Caranya adalah mengurangi

angka asal masalah, sehingga sama besarnya dengan jumlah bagian yang

diterima oleh mereka. Apabila tidak ditempuh dengan cara radd, persoalan

selanjutnya akan timbul yaitu siapa yang akan menerima sisa harta

tersebut sedangkan di dalam kasus ini tidak ada ‗asabah (penerima sisa

harta). Dengan demikian, masalah radd itu sendiri muncul karena adanya

harta yang lebih setelah dibagi dan tidak adanya ‗asabah.6 Sehingga

memunculkan permasalahan baru, kepada siapa sisa harta itu harus

diberikan.

Munculnya permasalahan tersebut dalam teori kewarisan juga

memunculkan permasalahan baru di kalangan para ulama. Mereka

4
Dzawil furudh adalah ahli waris yang mempunyai bahagian-bahagian yang telah
ditentukan pada harta peninggalan dengan nass atau dengan ijma‘. Mereka semuanya ada dua
belas orang, empat orang lelaki dan delapan wanita. Lihat: Teungku Muhammad Hasbi ash-
Shiddieqy, Fiqh Mawaris: Hukum Pembagian Warisan menurut Syariat Islam (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2010), h. 58
5
Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT. Al-Ma‘arif, 1975), h. 423
6
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 423
memperselisihkan masalah radd karena dianggap tidak ada nass yang

secara langsung menjelaskan permasalahan tersebut. Sehingga

menyebabkan adanya penolakan dan penerimaan terhadap radd. Ulama

yang menolak memiliki dalil tersendiri yang dianggap paling tepat dengan

pendapatnya. Demikian halnya dengan ulama yang menerima

permasalahan radd.

Adapun ulama yang menolak radd di antaranya adalah Zayd bin

Tsabit, Imam Malik dan Imam Syafi‘i. Mereka berpendapat bahwa sisa

harta yang telah dibagi untuk dhawil furud diberikan kepada baitul mal.

Mereka memperkuat dalilnya dengan surat al-Nisa ayat 13-14, bahwa

Allah Swt. telah menentukan bahagian para dhawil furud secara qat‘i dan

besar kecilnyapun secara pasti, tidak perlu ditambah apalagi dikurangi.

Menambahi bahagian mereka berarti membuat ketentuan yang melampaui

batas ketentuan syariat. Tidak hanya berlandaskan Al-Quran, para ulama

tersebut juga memperkuat kembali dengan hadis Rasulullah Saw. yang

dikeluarkan setelah turunnya ayat-ayat mawaris, dengan sabdanya:

‫حدثنا أبىعىانﺔ عن قﺘادة عن ﺷهس بن حىﺷﺐ عن‬: ‫أخﱪنا قﺘيﺒﺔ بن ﺳعيد قال‬

‫عﺒدالسﲪن بن ﻏنم عن عﻤسو بن خازجﺔ قال خطﺐ زﺳىل اﷲ صلﻰ اﷲ عليﻪ و‬

(7‫ان اﷲ قد اعطﻰ كل ذي حﻖ حﻘﻪ وﻻ وصيﺔ لىازث )زواﻩ النﺴاء‬: ‫ﺳلم فﻘال‬

Artinya: “Qutaybah bin Sa‟id telah mengabarkan kepada kami:


Abu „Awwanah telah meriwayatkan hadis dari Qutadah dari Syahr bin
Ḥausyab dari „Abd Rahman bin Ghanam dari „Amru bin Kharijah, ia
berkata : Rasulullah Saw. pernah berkhutbah, maka beliau bersabda,

7
An-Nasai, Sunan Nasai Juz V (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1995), h. 180
“Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada setiap yang berhak –
menerima – dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. al-Nasa‟i).8

Adapun jumhur ‗ulama‘ yang menyetujui dan menerima radd,

mereka berbeda pendapat mengenai ahli waris mana yang dapat menerima

radd atau menghabiskan sisa harta. Jumhur Sahabat berpendapat, sisa

warisan itu dibagikan kembali kepada dzawil furudh sepertalian darah

yang ada, sesuai dengan bagiannya masing-masing. Pendapat ini diikuti

oleh Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan ulama-ulama Zaydiyyah. Di

antara ulama yang menerima radd memperlihatkan perbedaan yang

menonjol dalam permasalahan apabila radd ini terjadi dalam kasus yang

suami atau isteri termasuk di dalamnya. Jumhur ‗ulama menetapkan

mereka tidak berhak menerima pengembalian. Hal ini disandarkan kepada

surah al-Anfal ayat 75 tentang kekerabatan, dengan maksud kekerabatan

itu adalah adanya hubungan sepertalian darah.9 Sedangkan hubungan

suami atau isteri itu adalah sababiyyah dengan adanya perkawinan. Dalil

selanjutnya yang dipegang jumhur ulama adalah al-Ahzab ayat 6 yang

menegaskan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa dhawil arham

(kerabat-kerabat mayit) adalah orang yang lebih berhak mendapatkan

tirkah daripada yang lain. Mereka lebih berhak dari baitul mal. Sebab itu

untuk seluruh umat muslim, orang yang mempunyai hubungan darah lebih

berhak daripada orang-orang asing berdasarkan Al-Quran. Tidak

8
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan an-Nasai, (Jakarta: Buku Islam
Rahmatan, 2006), h. 883
9
Al-Yasa‘ Abubakar, Rekonstruksi Fikih Kewarisan: Reposisi Hak Kewarisan, (Banda
Aceh: LKAS, 2012), h. 231
diragukan lagi bahwa orang yang paling dekat hubungan darah dengan si

mayit bukanlah suami atau isteri.10

Adapun Ibn Mas‘ud mengecualikan pemberian radd kepada suami

atau isteri, nenek, cucu perempuan bersama anak perempuan. Menurut

Ibnu Abbas dikembalikannya sisa harta tersebut kepada semua dhawil

furud kecuali suami atau isteri, dan nenek. Hanya Utsman bin Affan yang

tidak memberikan pengecualian kepada ahli waris penerima radd. Utsman

tidak menyinggung mengenai surah alAnfal ayat 75 tersebut, menurutnya

tidak ada perbedaan antara suami atau isteri dengan ahli waris lainnya.11

Berbeda halnya dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), di dalam

salah satu pasalnya yaitu Pasal 193 menjelaskan bahwa radd itu dibagi dan

diserahkan secara berimbang kepada setiap dhawil furud tanpa

pengecualian. Pasal tersebut merupakan satu-satunya pasal yang

membahas tentang radd ini, dan dari sini dapat ditarik suatu pengertian

bahwa suami/isteri pewaris tidak tertolak menerima kelebihan sisa harta

warisan disebabkan tidak adanya penjelasan lebih jauh tentang itu.

Dengan demikian operasional metode perhitungan radd versi KHI ini

adalah sama ketika menyelesaikan masalah ‗awl (sebagaimana ketentuan

yang terdapat dalam kita-bkitab faraidl). Atau dengan kata lain, tidak perlu

memperhatikan ketentuan cara-cara pemecahan radd dalam hal ashabul

furud bersama/tidak dengan salah seorang suami atau isteri pewaris.

Adapun isi Pasal 193 tersebut adalah sebagai berikut:

10
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 106-107
11
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 426
―Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli
waris dhawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih
kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris
asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara
radd, yaitu sesuai dengan hak masingmasing ahli waris, sedang
sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka‖.12

Meskipun sama-sama menyetujui adanya radd, namun mengenai

ahli waris yang berhak menerima sisa harta, terdapat perbedaan atau

kesenjangan antara jumhur ulama dan KHI. Sepertinya KHI tidak

mempertimbangkan konsep kekerabatan yang terdapat dalam nass.

Sehingga menjadikannya tidak hanya berbeda dengan ahli fara‘id Zayd bin

Tsabit dan Imam Syafi‘i, tetapi juga berbeda dengan pendapat jumhur

ulama. Dengan kata lain KHI mengikuti pendapat Utsman bin Affan yang

tidak mengecualikan suami atau istri untuk mendapatkan sisa harta (radd).

Hal tersebut juga dapat terlihat jelas pada putusan pengadilan-pengadilan

agama di Indonesia yang menyatakan bahwa suami atau istri berhak

mendapatkan sisa harta.13

Di dalam KHI masalah radd boleh diberikan kepada siapa saja

sesuai dengan kata-kata, “sisanya dibagi secara berimbang di antara

mereka‖, maksudnya sisa harta sesudah diberikan hak masing-masing ahli

waris, diberikan kepada ahli waris dhawil furud yang mendapat warisan.

Padahal apabila dilihat kepada pendapat Imam Syafi‘i, sisa harta tidak

12
Instruksi Presiden RI Nomor I Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
1999/2000, h. 88
13
Salah satu putusan pengadial agama mengenai radd adalah putusan pengadilan agama
Sukabummi dengan nomor perkara 0017/Pdt.P/2012/PA.Smi. pada putusan ini hakim memutuskan
untuk memberikan sisa harta (radd) kepada istri (pemohon) dengan pertimbangan hukum yang
mengacu terhadap pendapat Utsman bin Affan yang termaktub dalam undang-undang kewarisan
Mesir.
boleh diberikan kepada dhawil furud bahkan wajib diberikan kepada

baitul mal.

2. Mesir

Imunitas hukum waris Islam dari pengaruh kemodernan

(modernitas) bertahan hingga awal dekade ketiga abad keduapuluh. Pada

tahun 1925, Mahkamah Mesir mengeluarkan surat edaran Mahkamah

(Judicial Circular) No 28 tahun 1925. Isi surat edaran ini mengenai hak

janda untuk mendapatkan sisa harta waris jika tidak ada ashabah, ashabul

furudl, atau ahli waris yang lain dengan cara pengembalian sisa (radd).

Dalam perkembangan hukum waris Mesir, ketentuan mengenai hak

janda ini kemudian menjadi pasal 30 undang-undang No. 77 Tahun 1943

tentang waris (qānûn al-mīrāș).14 Undang-undang ini mengambil pendapat

jumhur dalam menetapkan adanya radd kepada dhawil furud selain

suami/isteri. Aturan tersebut tertuang dalam Kitab Undang-undang

Hukum Warisan Mesir dalam Pasal 30 dengan redaksi sebagai berikut:

‫اذا ﱂ تﺴتﻐرق الفروض الﱰكة وﱂ توجد عصبة من النﺴب رد الباقﻰ علﻰ غﲑ‬
ّ
‫ ورد باﰱ الﱰكة اﱃ احد الزوجﲔ‬،‫الزوجﲔ من اﺻحاب الفروض بنﺴبة فروضهم‬

‫اذا ﱂ يوجد عصبة من النﺴب او احد اﺻحاب الفروض النﺴبﻴة او احد ذوى‬
15
‫االرحام‬

Artinya: “Apabila furud tidak dapat menghabiskan harta


peninggalan dan tidak terdapat „asabah nasab, sisanya dikembalikan
kepada selain suami/isteri dari golongan ashabul furud, menurut
14
Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh: Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf,
Warisan, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 437
15
Lihat Pasal 30 Qanun Al Mirats Al Mishryi
perbandingan furud mereka. Dan sisa harta peninggalan dikembalikan
kepada salah seorang suami/isteri, bila tidak didapatkan seorang „asabah
nasab atau salah seorang ashabul furud nasabiyah atau seorang dhawil
arham”.16

Adanya radd kepada salah seorang suami/isteri setelah pemberian

warisan kepada dzawil arham disebabkan karena hubungan suami/isteri

dalam kehidupan menghendaki salah seorang dari keduanya, mereka

mempunyai hak terhadap harta pasangannya dari pada orang-orang berhak

lainnya. Dengan demikian, Kitab Undang-undang Hukum Warisan Mesir

mengambil pendapat mayoritas ulama dalam masalah radd kepada selain

suami/isteri. Namun, mengecualikan satu kasus yang diambil dengan

pendapat Utsman bin ‗Affan, yaitu untuk salah seorang suami/isteri ketika

tidak ada dhawil arham.

Fatchur Rahman menyimpulkan bahwa dzawil furudh yang berhak

menerima radd menurut Kitab Undang-undang Hukum Warisan Mesir, di

antaranya adalah ibu, nenek, anak perempuan, cucu perempuan pancar

laki-laki, saudari kandung, saudari seayah, saudari seibu, saudara seibu,

salah seorang suami/isteri dengan syarat tidak ada ‗asabah atau dhawil

arham.17 Ini bermakna bahwa, suami/isteri baru mendapatkan sisa harta

apabila tidak ada lagi ahli waris selain mereka. Dengan demikian, mereka

diakhirkan dalam penerimaan sisa harta.

Ketentuan mengenai radd bagi pasangan (suami/isteri) dalam

undang-undang Mesir mungkin hanya sebuah perubahan kecil dalam

16
Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: PT. Al-Ma‘arif, 1975), h. 427
17
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 431
sistem hukum waris Islam. Akan tetapi aturan ini mempunyai pengaruh

yang penting dalam peralihan harta warisan.

Pertama, dari segi pendapat hukum yang berkembang dalam fiqh,

aturan ini lebih memilih pada pendapat yang tidak populer di kalangan ahli

hukum Islam (fuqaha). Mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa

radd hanya diberikan kepada ahli waris sebab hubungan darah

(nasabiyyah). Suami atau isteri, sebagai ahli waris karena perkawinan

(sababiyyah), tidak berhak untuk menerima sisa harta dengan radd.

Bahkan pendapat lain yang merujuk kepada Zaid bin Tsabit, tidak

mengenal konsep radd. Bagi kelompok ini, harta sisa langsung masuk ke

dalam kas Negara untuk kepentingan umum.18

Pemberian hak radd untuk suami dan atau isteri merujuk kepada

pendapat Usman bin Affan. Utsman berpendapat bahwa semua ahli waris,

tidak terkecuali suami dan isteri berhak untuk mendapatkan sisa harta

dengan cara radd. Alasannya, ketika terjadi kekurangan harta waris dalam

peristiwa ‗aul, pasangan ikut menanggung kekurangan tersebut, sehingga

jika terjadi harta sisa, maka pasangan juga berhak untuk menikmati harta

sisa. Akan tetapi, pendapat seperti ini menjadi pendapat syadz/pinggiran

yang tidak popular di kalangan ulama fikih.19

Dari segi perubahan hukum Islam, secara formal Negara telah

melakukan takhayyur (pemilihan hukum alternatif) dengan berpindah dari

18
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim, h. 36
19
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim, h. 37
pendapat mainstream kepada pendapat yang tidak popular.20 Sedangkan

dari perspektif cara pandangan (worldview) umat Islam terhadap hukum

waris Islam, diakuinya ketentuan hukum tentang hak pasangan untuk

menerima radd telah merubah pandangan umat Islam mengenai sakralitas

hukum waris Islam dan watak kaku dalam ketentuan yang terdapat dalam

faraid. Ketentuan dalam hukum waris Islam yang dianggap sebagai

blueprint dari Tuhan dan tidak dapat diganggu gugat telah berubah untuk

menyelesaikan persoalan yang muncul dalam masyarakat.21

Reformasi hukum waris di Mesir berpengaruh penting terhadap

perkembangan reformasi hukum waris di dunia Islam, bukan hanya pada

spirit perubahan, tetapi juga dalam hal materi hukum.

Reformasi hukum waris Islam yang terjadi di berbagai negara Islam

sedikit banyak telah memberikan pengaruh penting terhadap watak dan

karakter hukum waris Islam, terutama hukum waris di kalangan Islam

sunni. Aturan-aturan dalam tradisi sunni telah banyak mengalami

perubahan. Adanya tuntutan masyarakat terhadap aturan baru menjadi

salah satu sebab terjadinya pembaharuan/reformasi hukum keluarga di

negara-negara Muslim. Ini dapat dilihat dari argumen hukum yang ada

dalam aturan-aturan hukum mengenai wasiat di Sudan (1945), dan Mesir

20
Takhayyur atau alternatif hukum juga menjadi tanda bagi perubahan yang terjadi pada
materi hukum perkawinan di dunia Islam. Dua dekrit khalifah Turki Usmani tahun 1914 tentang
hak isteri untuk mengajukan cerai gugat telah menandai masuknya mazhab malikiyah ke dalam
materi hukum keluarga Turki yang bermazhab Hanafiyah.
21
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim, h. 37
(1946) mengenai wasiat yang berbeda dengan aturan yang ada dalam

tradisi Sunni.22

Untuk melengkapi ketentuan dalam usaha memenuhi keadilan dalam

masyarakat, beberapa negara termasuk Mesir telah merubah ahli waris

yang berhak mendapatkan radd (pengembalian harta sisa).23

Secara normatif dalam fiqh klasik, radd terjadi jika terdapat harta

waris sisa setelah diberikan kepada semua ahli waris, dan tidak ada ahli

waris așabah. Jika terjadi kasus seperti ini, mayoritas ulama (jumhur)

berpendapat bahwa yang berhak mendapat radd adalah ahli waris

nasabiyyah yang terdiri dari dzawil furudl dan dzawil arhām/dzû al-arhām

dan Kas negara. Sedangkan ahli waris sababiyyah yang terdiri dari suami

atau isteri tidak berhak untuk mendapatkan pengembalian harta sisa.

Malahan, sebagian berpendapat hanya kas negara saja yang mempunyai

hak menerima harta radd.24 Sedangkan Usman bin ‗Affan berpendapat

bahwa radd boleh diberikan kepada semua ahli waris.

Pemberian harta lebih banyak kepada pasangan, baik dengan cara

radd maupun dengan wasiat dalam sistem keluarga inti (nuclear family)

menjadi penting untuk diperhatikan karena suami/isteri mempunyai

peranan inti dalam sistem keluarga ini. Dengan demikian, harta pusaka

sebagian besar tidak lagi beralih kepada ahli waris anggota keluarga lain

yang peranannya periferal dalam keluarga inti karena telah digantikan oleh

22
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim, h 40
23
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim,h. 46
24
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 434-435.
pasangan. Dengan begitu, harta pusaka tetap menjadi harta milik keluarga

inti.25

B. Analisis Penulis

Dari seluruh pembahasan yang telah dikemukakan di atas dapat

dipahami bahwa pemahaman konsep radd dalam pandangan ulama memiliki

perbedaan terkait dengan ahli waris penerima radd. Mereka memiliki dalil

tersendiri yang memperkuat argumen mereka. Dalam radd ulama terpecah

menjadi dua, ada ulama yang menerima radd dan juga ada yang secara

mentah menolak radd. Ulama yang menolak radd adalah Zayd bin Tsabit,

Imam Syafi‘i, Imam Malik. Menurut mereka radd diserahkan kepada baitul

mal sebagai perwakilan dari umat Islam, adapun dalil yang mereka gunakan

adalah surah al-Nisa‘ ayat 13 dan 14, dan juga hadis. Hak-hak secara pasti

telah ditetapkan Allah Swt. yang sudah tidak dapat diganggu gugat lagi atau

ditambah kurang begitu saja. Adapun ulama yang menerima konsep radd

memperkuat argumen mereka dengan dalil surah al-Anfal ayat 75 dan juga

hadis. Menurut mereka kekerabatan karena nasab jauh lebih berpengaruh

dalam kewarisan dibandingkan dengan hubungan agama saja. Karena

kekerabatan berdasarkan nasab dipandang lebih maslahah, sehingga dapat

membantu kehidupan keluarganya. Tidak hanya berhenti sampai perbedaan

ini saja, ternyata ulama-ulama yang menerima radd berbeda pula pendapat

tentang siapa saja ahli waris yang berhak menerima radd.

25
Ahmad bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim, h. 47
Penyelesaian radd yang dilakukan oleh jumhur ulama adalah

memberikan radd kepada semua dhawil furud kecuali kepada suami/isteri.

Karena menurut mereka, maksud dari surah al-Anfal ayat 75, kekerabatan

nasab lebih diutamakan dibandingkan dengan hubungan sebab seperti

perkawinan. Namun baik KHI dengan keumumannya, maupun UU waris

mesir No. 77 tahun 1943 mengikuti pendapat Utsman bin Affan yang

menyatakan bahwa radd diberikan kepada semua ahli waris tanpa kecuali,

termasuk suami/isteri. Alasan yang digunakan adalah pada saat terjadi

kekurangan harta (‗awl), suami/isteri ikut menanggungnya. Demi adanya

keadilan hukum dalam masyarakat, maka ketika ada harta yang tersisa,

suami/isteri juga diikut sertakan sebagaimana keikut sertaan mereka dalam

permasalahan ‗awl.

Dari berbagai macam pendapat ulama tentang radd, Penulis lebih

cenderung terhadap pendapatnya Utsman ibn Affan yang menyatakan bahwa

suami atau istri berhak mendapatkan radd. Selain karena alasan Utsman ibn

Affan yang menyatakan bahwa suami atau istri juga ikut serta dalam

permasalahan ‗awl, penulis juga mengutip Satu kaidah dalam hukum Islam

menyatakan bahwa sebab/alasan hukum menjadi pertimbangan penting dalam

pemberlakuan hukum, al-hukm yaduru ma‟a „illatih.


BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari serangkaian penelitian kepustakaan yang penulis susun di atas, maka

penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Yang melatarbelakangi terjadinya radd dalam pembagian waris islam

adalah:

a. Adanya sisa harta yang telah dibagi kepada ahli waris

b. Tidak adanya ashabah

2. Persamaan peraturan radd di Indonesia dan Mesir adalah kedua Negara

ini menyatakan bahwa suami atau istri berhak mendapatkan sisa harta

(radd) bila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Perbedaannya terletak

pada teks peraturan perundang-undangan. Peraturan radd di Indonesia

terdapat pada pasal 193 Kompilasi Hukum Islam tidak menyatakan secara

jelas bahwa suami atau istri berhak mendapatkan radd, sedangkan

peraturan radd di Mesir secara jelas menyebutkan suami/istri berhak

mendapatkan radd dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan, hal

tersebut dijelaskan dalam pasal 30 UU N0.77 tahun 1943. Namun

meskipun secara teks (baik secara jelas disebutkan maupun tidak)

berbeda, kedua negara ini menerapkan ketentuan yang sama mengenai

radd, bahwa suami atau istri berhak mendapatkan sisa harta (radd).

3. Dalalm hal pembagian sisa harta waris (radd), baik Indonesia maupun

mesir, keduanya mengikuti pendapat Utsman bin Affan yang menyatakan

78
79

bahwa suami atau istri berhak mendapatkan sisa harta waris (radd) karena

mereka juga diikutsertakan ketika terjadi kekurangan harta (‗aul). Hal itu

terlihat dalam peraturan perundang-undangan kedua Negara tersebut.

Indonesia misalnya, secara implisit dalam pasal 193 Kompilasi Hukum

Islam menjelaskan bahwa:

―Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli


waris dhawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih
kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris
asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara
radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang
sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka.”

Frase ―sedang sisanya dibagi secara seimbang di antara mereka”

ini mengindikasikan tidak adanya pengecualian untuk pasangan suami

atau istri untuk menerima harta sisa waris (radd). Selaras dengan aturan

radd di Indonesia, Mesir pun juga mengatur masalah radd dengan

ketentuan yang sama. Dalam pasal 30 UU No. 77 tahun 1943 tentang

waris secara tegas menjelaskan bahwa:

“Apabila furud tidak dapat menghabiskan harta peninggalan dan


tidak terdapat „asabah nasab, sisanya dikembalikan kepada selain
suami/isteri dari golongan ashabul furud, menurut perbandingan
furud mereka. Dan sisa harta peninggalan dikembalikan kepada
salah seorang suami/isteri, bila tidak didapatkan seorang „asabah
nasab atau salah seorang ashabul furud nasabiyah atau seorang
dhawil arham.”

B. Saran

Akhir kata dari penulis skripsi ini, penulis mengharapkan adanya

manfaat bagi kita semua. Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin

memberikan sedikit saran kepada para pihak yang berkompeten dalam


80

bidang ini, kepada para pembaca khususnya pada seluruh umat muslim.

Semoga dapat menjadi masukan yang membangun dan dapat diterima.

1. Konsep radd yang terdapat dalam kompilasi hukum islam sebaiknya

pemerintah menjelaskan kepada masyarakat agar tidak terjadi

kesalahpahaman, baik melalui seminar, workshop, maupun sosialisasi

secara umum.

2. Pemerintah seharusnya merubah atau menjelaskan secara rigit tentang

pasal radd yang ada di dalam kompilasi hukum islam serta

mempertegas kedudukan suami atau istri dalam kedudukannya

mendapatkan radd.

3. Kepada praktisi hukum, agar lebih memahami tentang konsep

pembagian radd yang berlaku di Indonesia.

4. Kepada peneliti selanjutnya, semoga skripsi ini dapat menjadi bahan

acuan dan tolak ukur terhadap penelitian selanjutnya.


81

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.

Abubakar, Al-Yasa‘, Rekonstruksi Fikih Kewarisan: Reposisi Hak Kewarisan


Banda Aceh: LKAS, 2012.

Abubakar, Fatum PEMBARUAN HUKUM KELUARGA: WASIAT UNTUK


AHLI WARIS (Studi Komparatif Tunisia, yria, Mesir dan Indonesia).

Ahmad, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,


Ciputat: Lembaga Penelitian, 2010.

al- Khatib, Muhammad al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Kairo: Musthafa al-Baby


al-Halaby,1958.

al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Shahih Sunan an-Nasai Jakarta: Buku Islam


Rahmatan, 2006.

al-Bakri, Syekh Muhammad Umar, Hasiyyah Matnu al-Ruhbiyyah, Semarang:


Usaha Keluarga, Tth.

al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Matnul al-Bukhari Bi-


Hasiyyatis al-Sindi, Berut: Daar ibn al-Hizam, tth.

_________, Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail, Shahih Bukhari, Berut: Daar
al-Kutubal-Ilmiyyah, 2003.

_________, Muhammad bin Isma‘il, Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar ibn Katsir,
2002.

al-Hudhuri, Ahmad Kamil, al-Mawaris al-Islamiyyah, Ttp, Lajnat Atta‘rif al-


Islamiyyah,1966.

al-Maridini, Muhammad Sabatul, Sarhu al-Matnu al-Ruhbiyyah Semarang, Usaha


Keluarga, Tth.

al-Ruhby, Muhammad Ibnu Hasan, Matnu al-Ruhbiyyah, Surabaya: Maktabah


Saqofah, Tth.

al-Syafii, Muhamad Ibn Idris, Al-Umm, Beirut : Dar al Kutub al Ilmiyah,1993.

al-Zuhayli, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh: Hak-hak Anak, Wasiat,


Wakaf, Warisan, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk Jakarta: Gema
Insani, 2011.
82

An-Nasai, Sunan Nasai Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1995.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Fiqh Mawaris: Hukum Pembagian


Warisan menurut Syariat Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2010.

___________, Hasby, Fiqh Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Azhariy, Muhammad Tahir, Negara Hukum : Suatu Studi tentang prinsip-


Prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada
Priode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.

Azmi, Abul Yazid Muhammad Abul, Maqosidul al-Miraz Fi Dauni Nususi al-
Syariati Wa Qonuni al-Mawarisi.

Djalil, Basiq, Peradilan Agama di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum


Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama
Pasang Surut lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan
Syariat Islam Aceh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Djatnika, Rahmat, Sosialisasi Hukum Islam dan Kontroversi pemikiran Islam di


Indonesia, Cet II, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Ensiklopedi Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ikhtiar baru van Hoever, 1994.

Fathurrahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Maarif) Cet Ke-4, 1975.

Ghazali, Hasan Yusuf, al-Miras ala al-Mazahibul Arba‟ah dirasatan


watatbikhan, Ttp: Daar al-Fikr, 2003.

Hamid, Muhammad Muhyidin Abdul, Ahkamul Mawaris Fi al-Syariati al-


Islamiyyah Ala al-Mazahibul Arbaah, Berut: Maktabah al-Azriyah,
1996.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur‟an dan Hadis, Jakarta:


Tritamas, 1964.

Instruksi Presiden RI Nomor I Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,


Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1999/2000.

Iqbal, Muhammad, Hukum Islam Indonesia Modern; Dinamika Pemikiran Dari


Fiqh Klasik Ke Fiqh Modern, Tangerang, Gaya Media Pratama, 2009.
83

Kemalasari, Dewi, Analisis Yuridis Penerapan Khi Dalam Penggantian Tempat


Ahli Waris/Ahli Waris Pengganti Pada Masyarakat Kecamatan Banda
Sakti Kota Lhokseumawe,

Khotib, Hasan Ahmad, al-Fiqhul al-Muqaron, Kairo: Darut at-Taklif. 1957

Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris


Fil-Fiqh Al-Islami, Mesir: Arrisalah Al-Dauliyyah, 2000. Terjemah H.
Addys Aldizar dan Fathurrahman. Penulis (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004.

Kuzari, Ahmad, Sistem Ashabah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta
Tinggalan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Lubis Suhwardi K. dan Komis Simanjuntak, Hukum waris Lengkap dan Praktis
Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

Makhluf, Hasanain Muhammad, Al-Mawaris FI al-Syari‟ al-Islamiyyah, Kairo:


Lajnah Al-Bayyan al-Araby, 1958.

Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2006.

Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

Mudzhar, M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi,


Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.

Mughniyah, Muhamad Jawad, Fiqh Lima Mazhab, terj. Afif Muhamad, Jakarta :
Basri Press, 1994

Muhibbin, Moh, dan Abdul wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus arab-Indonesia, Surabaya:


Pusat Progressif, 1997.

Musa, Yusuf Al-Tirkah Wa al-Mirats Fi al-Islam, Mesir: Daar al-Kitab al-Araby,


1959.

Musyarrafah, Atiyah Mustafa al-Qada fi al-Islam, Ttp., 1992.

Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, juz 7 Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th,

Rahman, Fatchur, Ilmu Waris Bandung: PT. Al-Ma‘arif, 1975.


84

Rasyid, Daud, Islam Dalam Berbagai Dimensi,(Jakarta:Gema Insani Press, 1998.

Rofiq,Ahmad Fiqh Mawaris Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Rusyd, Ibn, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al Maqtashid, Ttp.: Maktabah al


Kulliyah al azhariyah, 1969.

Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Semarang: Toha Putera, 1972.

__________, Fiqh Al Sunnah, cet-3, Daarul Fikri, 1981.

Subekti, R, Perbandingan Hukum Perdata, cet.XII, Jakarta : Pradnya Paramita,


1993.

Sukanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan dalam Kerangka Pembangunan di


Indonesia, Jakarta: UI Press, 1975.

Suparman, Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan


Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama,2002.

Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.

______________, Permasalahan dalam Pelaksanaan Faraid, Cet-1, Padang;


IAIN-IB Press, 1999.

Thaib, M.Hasballah, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam,


Konsentrasi Hukum Islam, Medan : Diktat Pasca Sarjana USU, 2002.

Usman, Suparman, Hukum Islam : Asas-asas Pengantar Studi Hukum Islam


dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001.

Wahib, Ahmad Bunyan, Reformasi Hukum Waris Di Negara-Negara Muslim,


Asy-Syir‘ah Jurnal Ilmu Syari‘ah dan Hukum Vol. 48, No. 1, Juni 2014

Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara, Kritik atas Politik Hukum
Islam di Indonesia, Yogyakarta : LKiS, Februari, 2001.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Cet Ke-8, Jakarta:Hidakarya Agung,


1990.

Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Damaskus: Daar al-Fikr, 1989.

Anda mungkin juga menyukai