SKRIPSI
Oleh:
FAUZIAH RAHMAH
NIM. 1113.035
i
ii
iii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Upaya Hukum dalam Perspektif Hukum Islam dan
Penerapannya Pada Peradilan Agama di Indonesia. Yang ditulis oleh Fauziah
Rahmah, NIM: 1113.035 pada Fakultas Syari’ah Jurusan Al-Ahwal Al-
Syakhsiyah (Hukum Keluarga Islam). Maksud judul skripsi ini adalah, melihat
keberadaan upaya hukum berdasarkan hukum Islam dan penerapannya di Peradilan
Agama.
Latar belakang penulis melakukan penelitian ini adalah ketika berperkara
di pengadilan, jika suatu putusan atau penetapan telah ditetapkan oleh hakim
adakalanya salah satu pihak merasa putusan atau penetapan itu belum mencapai
titik keadilan atau merasa dirugikan atas putusan atau penetapan yang telah
ditetapkan, maka undang-undang memberikan suatu langkah bagi para pihak
tersebut untuk tidak menerima atau melawan putusan hakim melalui upaya hukum.
Upaya hukum itu ada upaya hukum biasa yaitu verzet, banding, dan kasasi serta
upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Melihat keberadaan dan
penerapan upaya hukum yang ada dilembaga peradilan saat ini, maka timbul
keinginan penulis untuk membahas keberadaan atau eksistensi upaya hukum dalam
perspektif hukum Islam dan penerapannya di lembaga Peradilan Agama
Adapun data untuk bahan dalam penulisan karya ilmiah ini penulis peroleh
dengan metode library research atau penelitian kepustakaan dengan mencari
literatur-literatur yang terkait dengan pembahasan yang akan diteliti, seperti al-
Qur’an, Sunnah serta buku-buku yang terkait. Dari bahan-bahan yang telah
terkumpul tersebut, penulis bahas dengan pendekatan penelitian hukum Islam,
metode komparatif, dan metode historis.
Dari hasil pembahasan yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan
bahwa keberadaan atau eksistensi upaya hukum dalam perspektif hukum Islam itu
ada dan diperbolehkan. Meskipun dasar pemberlakuannya secara eksplisit tidak
terdapat di dalam nash, namun keberadaan upaya hukum berindikasi mewujudkan
keadilan bagi para pihak, sehingga terwujudlah keharmonisan dan kemaslahatan
yang mana hal tersebut sesuai dengan kebijaksanaan syari’at di dalam memelihara
maqashid al-syari’ah, maka maslahah dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya.
Dan penerapan upaya hukum di Indonesia khususnya Peradilan Agama telah
diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda dengan menggunakan ketentuan
hukum Islam dan disusun menurut aturan yang ditetapkan oleh kolonial Belanda
dan hukum Nasional setelah merdeka.
.
iv
KATA PENGANTAR
ِ الرِح
يم َّ بِ ْس ِم اللَّ ِه
َّ الر ْح َم ِن
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
dengan judul “Upaya Hukum dalam Perspektif Hukum Islam dan Penerapannya
pada Peradilan Agama di Indonesia”. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah meninggalkan dua pedoman hidup yang tidak
kesulitan, namun karena motivasi dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya
penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Kemudian terima kasih yang tiada
terhingga kepada keluarga yaitu Ayahanda Alyunas Harapri dan Ibunda Nafia
memberikan motivasi kepada penulis dalam mencapai cita-cita yang diridhai oleh
Allah SWT di dunia dan di akhirat. Dan juga kepada Kakanda Annisa Hayati,
A.Md dan adinda Tri Halimah Putri serta kepada kawan-kawan yang tidak bisa
1. Ibu Rektor, Bapak/Ibu Wakil Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Bukittinggi serta Bapak Dekan Fakultas Syari’ah dan Bapak Ketua Jurusan
v
2. Ibu Dra. Hj. Rahmiati, M.Ag dan Bapak Nofiardi, M.Ag selaku Pembimbing I
dan Pembimbing II. Yang telah memberikan arahan serta bimbingan kepada
3. Ibu Elfiani, SH, M.Hum selaku Penasehat Akademik yang telah memberikan
4. Bapak-bapak / Ibu-ibu dosen dan asisten dosen yang telah bersusah payah
tinggi ini.
motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kepada para
sahabat yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu yang selalu
Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis memohon semoga bagi yang
telah disebutkan di atas dilimpahkan pahala yang berlipat ganda dan segala bantuan
berharap kepada-Nya agar skripsi ini bermanfaat sebagai amal shaleh. Amin
FAUZIAH RAHMAH
NIM. 1113035
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
vii
D. Pertumbuhan dan Pembinaan Peradilan ..................................... 43
viii
BAB IV UPAYA HUKUM DALAM KAJIAN FIKIH ............................ 98
DAFTAR PUSTAKA
ix
BAB I
PENDAHULUAN
Keadilan merupakan salah satu dari nilai-nilai Islam yang tinggi. Keadilan
juga sebagai tujuan dari ketetapan Ilahi karena menegakkan keadilan dan kebenaran
tradisi, sehingga norma dan tradisi itu tidak menumbuhkan kerusakan dan
kekacauan serta penguasa dan rakyat dapat menjalankan tugasnya secara baik.
kebenaran kepada yang berhak menerimanya melalui perantaraan hukum yang telah
pembagian yang adil di antara sesama manusia sebagai payung hukum yang
melindungi manusia.
yang menyangkut hak Allah dan hak manusia dalam memberikan keputusan di
1
2
Berbicara tentang lembaga peradilan yang ada saat ini (Peradilan dalam
hukum positif), ketika suatu putusan telah ditetapkan oleh majelis hakim di
pengadilan, adakalanya pihak penggugat dan tergugat atau pihak pemohon dan
termohon merasa putusan tersebut belum mencapai titik keadilan, maka umumnya
upaya apa yang dapat ditempuh oleh pemohon atau termohon terhadap penetapan;
atau oleh penggugat dan tergugat terhadap putusan pengadilan apabila yang
keadilan. Upaya hukum itu dapat berupa upaya hukum biasa dalam bentuk
pengajuan perlawanan (verzet), banding (appel), dan kasasi. Di samping itu terbuka
kemungkinan berupa upaya hukum luar biasa dalam bentuk pengajuan permohonan
Jika ditelusuri menurut hukum Islam, secara teoritis dan konkrit dalam hukum
Islam belum ditemukan teori dan dasar upaya hukum karena institusi peradilan Islam
sangat sederhana dan belum adanya lembaga banding (Pengadilan Tinggi) ataupun
lembaga kasasi (Mahkamah Agung) di masa Rasulullah SAW. Namun dilihat dari sejarah
yang ada, orientasi ke arah upaya hukum itu telah terlihat cikal bakalnya meskipun masih
samar. Akan tetapi para ulama fikih belum merumuskannya secara konkrit.
1
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2000), Cet. ke-3, hal. 256
3
upaya hukum dari masa ke masa yang terus berjalan dan bergulir sesuai dengan
tuntutan kemajuan seperti di Indonesia, lembaga upaya hukum itu telah dapat
mempunyai arti yang sangat penting, karena apa yang menjadi tujuan hukum,
ketertiban dan ketentraman justru terletak pada pelaksanaan hukum. Ketertiban dan
ketentraman hanya dapat diwujudkan dalam kenyataan kalau hukum itu dapat
tiap-tiap anggota menaati dengan kesadaran bahwa apa yang ditentukan hukum tersebut
sebagai suatu keharusan untuk ditaati. Taat hukum dan taat asas merupakan suatu usaha
mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi
kenyataan dan proses perwujudan itulah yang merupakan hakikat penegakan hukum.
keadilan dalam pergaulan hidup masyarakat guna menata kehidupan. Secara yuridis
peradilan merupakan bagian dari supra struktur politik dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, secara historis merupakan salah satu mata rantai peradilan Islam
yang berkembang sejak masa Rasulullah dan secara sosiologis ia lahir atas
dukungan dan usaha masyarakat yang merupakan bagian dari intensitas kebudayaan
Dari sekian banyak bagian sistim hukum dan peradilan, upaya hukum
merupakan bagian yang sangat penting dari sistim hukum peradilan Islam yaitu
merupakan tuntutan dan suatu kebutuhan seperti yang telah berkembang sekarang.
Namun lembaga dari upaya hukum itu tidak ditemukan di zaman Rasul karena
boleh jadi suatu perkara atau sengketa yang telah diputuskan di zaman Rasul
dianggap keputusan yang final. Di samping itu juga dianggap bahwa produk
peradilan (qadha) di masa Rasul dan sahabat merupakan hasil atau produk suatu
ijtihad, karena hakim waktu itu adalah mujtahid sehingga hasil ijtihad seseorang
Bilamana suatu putusan atau produk peradilan di zaman Rasul dan sahabat
dihasilkan oleh mujtahid, maka berarti putusan itu sudah final dalam arti tidak dapat
dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain, kecuali bila ternyata menyalahi nash. Namun
mujtahid karena jumlah ulama mujtahid tidak sesuai lagi dengan kebutuhan,
2
Rachmat Syafe’i, Yurisprudensi Peradilan Agama dari Pelaksanaan UUPA: Segi
Normatif dalam Kajian Fiqh, Alternatif Penyempurnaan Timbal Balik, dalam 10 Tahun Undang-
Undang Peradilan Agama, (Jakarta: Ditbinbapera dan Fakultas Hukum UI, 1999), hal. 29
5
sehingga dengan demikian kemungkinan salah atau keliru dalam putusan sangat
banyak dan pada kondisi seperti ini upaya hukum sangat dibutuhkan.
Pada sisi lain dasar hukum berlakunya upaya hukum sebagai bagian dari
Hukum Acara Peradilan Islam tidak dijelaskan secara konkrit. Hanya saja cikal
bakalnya terdapat dalam sebuah riwayat, bahwa Ali pernah dihadapkan pada suatu
kasus, lalu ia berkata “Aku akan putuskan hukum di antara kamu, kemudian kalau
kamu telah menerima (keputusanku itu) maka laksanakanlah, tetapi kalau kamu
tidak mau menerimanya, maka aku cegah sebagian kamu dari sebagian yang lain
antara kamu. Lalu setelah Ali memutuskan hukum di antara mereka itu, maka
mereka menolak dan tidak mau menerima keputusannya, dan pergilah mereka
menghadap Rasul SAW pada musim haji sedang beliau berada di maqam Ibrahim
dan berceritalah mereka kepada beliau tentang apa yang terjadi. Kemudian Nabi
masih mentah dan belum punya indikasi hukum dan kekuatan dalil yang kuat. Namun
sejauh ini belum didapatkan dalil, baik dalam teks al-Qur’an maupun sunnah yang
melarang diperlakukannya upaya hukum dalam sistem peradilan Islam, begitu juga tidak
3
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha’ fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah,
1964), hal. 23
6
4
املقصد الىت يراد حفظها باالشرائع
Artinya:“Yaitu maksud-maksud yang ingin dipelihara oleh syara’ (untuk
menetapkan suatu hukum”
para pihak pencari keadilan dapat terlindungi dan mereka yang merasa dirugikan dapat
tinggi dengan tujuan utama mengoreksi dan meluruskan segala kesalahan dan kekeliruan
dalam penetapan hukum seperti tata cara mengadili, menilai fakta dan pembuktian. Di
dibutuhkan, karena kasus-kasus yang sampai kepada Rasul telah dapat diselesaikan secara
baik dan tidak ada kasus yang tidak tuntas apalagi Rasul sendiri adalah sebagai Syari’.
perkara tentu akan mendapat teguran langsung dari Allah melalui wahyu.
4
Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), hal. 296
5
Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami,..., hal. 297
6
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Islam, 1956), hal. 98
7
kembali suatu perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan Agama. Artinya
perkara di tingkat banding akan diperiksa secara keseluruhan, baik tentang fakta-
Putusan yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Agama diteliti dan diperiksa ulang
mulai dari awal sampai dijatuhkan putusan oleh majelis hakim banding. Keadaan
Melalui putusan dan penetapan hukum para hakim telah membuat hukum
Di samping upaya hukum merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi
hak-hak para pencari keadilan, juga perlu ditelusuri tentang eksistensinya dalam kajian
fikih serta dasar hukumnya yang kokoh dalam tataran operasionalnya sebagai salah satu
institusi yang berakar tunggang dari masa Rasulullah SAW, sampai dengan pelaksanaan
dari masa ke masa hingga saat ini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas lebih
lanjut tentang upaya hukum dalam perspektif Islam dan penerapannya di Peradilan Agama.
7
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), Cet.
ke-16, hal. 12
8
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan al-Hikmah,2000), hal. 207
9
Kompetensi absolut adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara
atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau
tingkatan pengadilan lainnya. Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,..., hal. 27
8
B. Identifikasi Masalah
Dari pembahasan latar belakang di atas yang akan penulis bahas yaitu
eksistentsi upaya hukum dalam peradilan Islam masa dahulu sejak masa Rasulullah
SAW, berlanjut pada upaya hukum masa sekarang setelah keluarnya peraturan
C. Rumusan Masalah
Islam?
1. Untuk memperkaya ilmu penulis tentang eksistensi upaya hukum dalam kajian fikih
khususnya dalam persoalan kajian hukum Islam mengenai upaya hukum dalam
3. Untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana program strata satu
(S1) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi Fakultas Syari’ah Jurusan
E. Penjelasan Judul
Dalam kajian ini digunakan beberapa term yang mempunyai makna khas
Upaya Hukum, Hukum Islam, dan Peradilan Agama. Upaya Hukum adalah upaya
yang diberikan undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dan
dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif, atau menempatkan
hukum syara’ atau hukum Islam dengan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu
Allah dan Rasul-Nya tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
10
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2008), Cet. ke-1, hal.
363
11
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Cet. ke-4, hal. 295
12
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa
Raya, 1993), hal.18
10
memberikan defenisi Peradilan Agama sebagai berikut: Peradilan Agama adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
ini.13
Dengan demikian yang penulis maksud dengan judul skripsi ini adalah
upaya hukum dari para pencari keadilan terhadap putusan hakim di Peradilan
Sejauh pengamatan penulis tentang buku-buku sejarah Peradilan Islam dan upaya
hukum dalam tinjauan hukum Islam fikih klasik maupun kontemporer belum ada literatur
khusus yang membahas tentang upaya hukum dan dasar berlakunya serta belum pernah pula
diteliti secara komprehensif oleh para ilmuwan. Hal itu terbukti dengan tidak ditemuinya
karya tulis baik yang berbentuk tesis, disertasi, buku atau makalah. Di dalam suatu literatur
penulis menemukan kitab al-Qadha fi al-Islam yang ditulis oleh Muhammad Salam Madkur
tentang suatu kasus yang ditangani oleh Ali bin Abi Thalib
اقضى بينكم فإن رضيتم فهو القضاء وإَل حجزت بعدكم عن بعد حىت تأ توا رسول اهلل ليقضى
14
بينكم
Artinya: “Aku telah memutuskan perkara di antara kamu, apabila kamu ridha atau menerima maka
itulah keputusanku dan jika tidak, aku menangguhkan keputusan (untuk dilaksanakan)
kepada sebagian kamu terhadap sebagian yang lain hingga kamu menjumpai Rasulullah
SAW supaya ia memutuskan perkara di antrara kamu”.
13
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Pasal 2
14
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al-Islam,..., hal. 23
11
Kemudian di sisi lain memperhatikan salah satu poin dari isi surat Umar
bin Khathab kepada Abu Musa al-Asy’ari yang terkenal itu berbunyi:
َل مينعك قضاء قضيته اليوم فراجعت فيه عقلك وهديت فيه لرشدك ان ترجع اىل اْلق
15
فان اْلق قدمي و مراجعة اْلق خري من التمادى ىف الباطل
Artinya:“Janganlah sekali-kali menghalangi kepadamu, suatu keputusan yang
telah engkau jatuhkan pada hari ini, kemudian engkau tinjau kembali lalu
engkau memperoleh petunjuk agar engkau kembali kepada kebenaran,
karena sesungguhnya kebenaran itu harus didahulukan, tidak dapat
dibatalkan oleh apapun sedangkan kembali kepada kebenaran itu lebih
baik daripada terus bertahan dalam kebatilan”.
mengenai upaya hukum pada masa khalifah Umar bin Khatab. Dari pernyataan
tersebut dapat dijadikan sebagai objek kajian sejarah hukum dan peradilan Islam
serta kajian fikih tentang dasar hukum operasionalya secara spesifik yang perlu
diteliti.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitan
Jenis penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akurat adalah penelitian
kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan menggunakan studi pustaka dengan
mencari literatur-literatur yang terkait dengan pembahasan yang akan diteliti. Selain
menggunakan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan, penelitian ini juga
menggunakan pendekatan penelitian hukum Islam dan metode komparatif. Penggunaan metode
historis adalah menguji ketahanan upaya hukum dan eksistensinya menurut kajian fikih.16
Ibnu Qaiyim al-Jauziy, I’lan al-Muwaqqiin ‘an Rabbi al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr,
15
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan yaitu menyelidiki dan menganalisa data secara
sistimatis dan objektif dengan pola trend hukum (justice trend) dengan penekanan pada trend
3. Jenis data
Adapun jenis data yang penulis gunakan di dalam penelitian ini adalah jenis data
yang berasal dari dokumen sejarah,18 yakni berupa teks-teks sejarah yang menyangkut
4. Sumber data
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis,
yaitu kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan.19 Sumber data tertulis ini penulis peroleh
5. Cara Kerja
Cara kerja dari penelitian ini dengan menggunakan teknik heuristik, yaitu mencari dan
mengumpulkan sumber data yang ada, dengan menggunakan katalog-katalog yang ada di perpustakaan
sebagai alat utama. Kemudian penulis mulai menemukan sebanyak mungkin jejak-jejak sejarah yang
17
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah,..., hal. 54
18
Dept. Agama R.I, Metode Peneltian Sejarah, (Ter. Manhaj Al-Baht Al Tarihi), (Jakarta:
Direktorat Jenderal pembinaan Agama Islam, 1986), hal. 17
19
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah,..., hal. 31
20
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah,..., hal. 55
13
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari sumber primer dan
sekunder.
a. Bahan Primer
Berasal dari kitab-kitab sejarah hukum dan peradilan (al-qadha), yaitu Tarikhul
Salam Madkur al Qadha’ fil Islam dan lain-lain yang berkaitan dengan sejarah hukum dan
peradilan.
b. Bahan Sekunder
7. Analisis Data
Islam dan metode komparatif. Penggunaan metode historis adalah menguji ketahanan upaya
analisis data. Metode ini digunakan dalam rangka menyelidiki dan menganalisa data secara
sistematis dan objektif dengan pola penelitian trend hukum (justice trend) dengan penekanan
pada trend fikih berkaitan dengan teori legitimasi atau hukum Islam.
14
H. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh gambaran yang utuh dan terpadu maka dalam bahasan ini
penulis akan mensistimatisir rangkaian analisa dan penelitian sebagai suatu kesatuan yang
BAB I terdiri dari 8 sub bab, akan menggambarkan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penjelasan judul,
peradilan, fungsi dan kedudukan peradilan, prinsip dan asas hukum acara peradilan dan
BAB III akan dibahas upaya hukum secara umum yang meliputi pengertian upaya
hukum, bentuk-bentuk upaya hukum, mekanisme upaya hukum dan deskripsi historis upaya
hukum
BAB IV memuat eksistensi upaya hukum dan analisis fikih terhadap dasar
Akhirnya kesimpulan dan saran-saran dari penelitian ini dituangkan dalam BAB
3. Al-Hukm artinya mencegah atau menghalangi. Dari kata inilah maka qadhi-qadhi
disebut sebagai hakim, karena mencegah terjadinya kezhaliman orang yang mau
berbuat zalim.
21
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal. 9
15
16
4. Arti lain dari kata qadha adalah memutuskan hukum atau membuat suatu
diungkapkan di atas, maka sebenarnya qadhi menurut bahasa artinya orang yang
الوَلية املعروفة
Artinya: “Kekuasaan yang dikenal (kekuasaan yang mengadili dan memutuskan
perkara).”
هو الفصل ىف اخلصومات محسا لتداعى وقطعا لنزاع با ْلحكام الشرعية املتلقاة من
الكتاب و السنة
Artinya:“Menyelesaikan perkara pertengkaran untuk melenyapkan gugat
menggugat dan untuk memutus pertengkaran dengan hukum-hukum
syara’ dari Al-Quran dan Sunnah.”
22
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam, )Kairo: Dar al Nahdhah al-‘Arabiyah,
1964), hal. 11
23
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 10
24
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 11
25
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 11
17
او هو اإلخبار عن حكم شرعى على سبيل،القضاء قول ملزم يصدر عن وَلية عامة
اإللزام
Artinya:“Peradilan adalah ucapan yang memutus yang bersumber dari
pemerintah, atau menyampaikan hukum syar’i dengan jalan penetapan.”
5. Peradilan adalah27
6. Peradilan adalah28
antara dua orang atau lebih dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis.29.
26
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam,..., hal.11
27
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam,..., hal.12
28
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam,..., hal.12
29
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 11
18
dikemukakan di atas dapat dipakai dan diterapkan dalam menggali makna dan
mengambil pengertian tentang hakikat dari peradilan (qadha) itu, apakah suatu sifat
hukum yang mesti melekat pada peradilan (qadha) atau sekedar perbuatan yang
3. Menurut Syafi’i
4. Menurut Hanabilah
30
تبيينه و اَلالزام به و فصل اْلكومات
Artinya: “Penjelasan, penetapan dan penyelesaian oleh pemerintah.”
30
Abd. Rahman Ibrahim, Al-Qadha Wa Nizhamuhu fi al-Kitab wa al-Sunnah, (Mekkah: al-
Arabiyah al-Su’udiyah, t.th), hal. 34-35
19
ْ َِّاس ب
)٢٦: ٣٨/ اْلَ ِّق (ص ِ ْي الن
َ ْ َاح ُك ْم ب ِ اك َخلِي َفةً ِِف ْاْل َْر
ْ َض ف َ َود إِنَّا َج َع ْلن
ُ يَ َاد ُاو
Artinya: “Hai Daud sesungguhnya Kami menjadikan kamu sebagai khalifah
(penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil.” (QS. 38. Shad: 26)
Apabila seruan ini ditujukan kepada Daud a.s maka sebenarnya seruan itu
ditujukan kepada ulil amri (penguasa) karena Allah tidak menyebutkan hal itu
kecuali untuk menjelaskan contoh yang terbaik dalam menghukum dan karena
Daud adalah seorang Nabi yang maksum (terpelihara dari kesalahan) yang
penguasa itu adalah sebagai penguasa atau sebagai wakil Tuhan di muka bumi
hanya kepada manusia tetapi terlebih lagi kepada Allah SWT. Walaupun tugas
peradilan itu bukan secara langsung dilaksanakan oleh penguasa tertinggi akan
tetapi dengan menunjuk wakilnya seperti para hakim yang dapat dipercaya serta
31
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, penterjemah Yasin, Shafwatut Tafasir
Tafsir-tafsir Pilihan, (Jakarta: Pustaka Al Kausar, 2011), Jilid 4, Cet. ke-1, hal. 480
20
benar dan bertanggung jawab namun semua itu tidak terlepas dari tanggung jawab
Abdullah bin Shuria dan Syasy bin Qais untuk menghadap Rasulullah SAW. Mereka
bermaksud untuk mempengaruhi Rasulullah SAW agar berpaling dari ajaran agamanya.
Mereka datang seraya berkata: “Wahai Muhammad, kamu telah memaklumi bahwa kami
adalah Ulama (cendekiawan) kaum Yahudi, bahkan tokoh ilmuan dan pembesar di
kalangan mereka. Jika kami mengikuti ajaran yang kamu bawa, tentu seluruh umat
Yahudi akan mengikuti jejak kami. Mereka sama sekali tidak akan membantah apa yang
menjadi kehendak kami. Kebetulan saat ini antara kami para pembesar dan para bawahan
sedang terjadi percekcokan. Oleh sebab itu kami bermohon kepadamu untuk memberikan
pengadilan terhadap masalah kami, dan hendaklah kamu memenangkan kami. Sebagai
konsekuensinya kami sesudah itu akan beriman kepadamu”. Rasulullah SAW secara
ketegasan agar tetap berpegang teguh kepada hukum-hukum Allah SWT dan
32
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Penerjemah Ahmadie, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hal. 268
33
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet. ke-1,
hal. 323
21
dari hukum-hukum Allah SWT. 34 Hal ini berarti hukum Allah dapat dijadikan
timbangan untuk mengukur suatu keadilan pada setiap kasus yang diselesaikan
citra keadilan. Maka dipandang perlu memedomani amanah ayat di atas guna
) ٦٥: ٤/يما َش َجَر بَْي نَ ُه ْم (النساءِ َ فَ ََل وربِّك ََل ي ؤِمنو َن ح َّىت ُُي ِّكم
َ وك ف ُ َ َ ُ ُْ َ ََ
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan.” (QS. 4. An-Nisa’: 65)
Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Zubair, airilah lebih dahulu kebunmu, baru
Rasulullah SAW yang demikian seorang lelaki dari sahabat Anshar itu berkata:
adalah anak bibimu?”. Mendengar kata-kata ini merah padamlah muka Rasulullah
kemudian berikanlah air itu kepada tetanggamu!”. Akhirnya Zubair bin Awwam
dapat menggunakan air dengan leluasa dan sepuas hati. Sesudah itu mereka
34
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul,..., hal. 323
22
menggunakan air dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW.
Zubair bin Awwam mengemukakan pendapatnya, bahwa ayat ke-65 ini diturunkan
yang beriman hendaknya menaati putusan Allah dan Rasul dan tidak mudah
penyelenggaraan tugas-tugas peradilan.36 Ini adalah suatu hal yang sangat prinsip
yang ditugasi sebagai hakim yang tidak dapat menyelesaikan suatu kasus yang
dihadapkan kepadanya secara baik dalam arti tidak memenuhi tuntutan dan rasa
keadilan.
إذا حكم اْلاكم: عن عمرو بن العاص أنه مسع رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم قال
37
)فاجتهد مث أصاب فله أجران واذا حكم فاجتهد مث اخطأ فله أجر (رواه مسلم
Artinya: “Apabila seorang hakim berijtihad lalu ijtihadnya benar maka ia dapat
dua pahala dan jika ijtihadnya salah maka ia dapat pahala satu.” (HR.
Muslim)
35
A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul,..., hal. 240
36
A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul,..., hal. 240
37
Abi al-Husain Muslim Bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), hal. 13
23
seorang muttabi’ kepada para pendapat imam atau orang lain dengan syarat dia
orang kepadamu?” Jawab Mu’adz, “Aku akan memutuskan dengan apa yang ada
اْلمد هلل الذي وفق رسول اهلل ملا يرضى رسول اهلل
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan
Rasulullah tentang apa yang diridhai-Nya.”39
38
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi AD Damsyiqi, Asbab al-Wurud, penterjemah HM.
Suwarta Wijaya, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-hadis Rasul, (Jakarta: Kalam Mulia,
1996), hal. 313
39
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi AD Damsyiqi, Asbab al-Wurud,..., hal. 313
24
Ini menandakan bahwa seorang hakim harus orang yang pintar dan
memenuhi syarat untuk membuat suatu hukum bila di dalam nash tidak ditemukan
hukumnya.
Kebenaran itu terkadang dicapai oleh orang sebagai hasil dari penggunaan
pikiran, penelitian dalil-dalil, di samping itu dia diberi taufiq oleh Allah untuk
mewujudkan suatu produk hukum. Dengan demikian dia mendapatkan dua pahala,
yaitu pahala ijtihad dan pahala kebenaran. Sedangkan yang mendapat satu pahala
itu ialah orang yang sudah berijtihad, lalu dia salah, maka ia mendapat pahala
ijtihadnya saja karena kemampuannya untuk menarik kesimpulan hukum dari suatu
قال رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم من وىل القضاء،عن اىب هريرة رضى اهلل عنه قال
40
)فقد ذبح بغري سكْي (رواه أمحد واَلربعة وصححه ابن خزمية و ابن حبان
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata Rasulullah SAW bersabda
“Barang siapa yang diberi kekuasaan peradilan, maka sungguh dia telah
disembelih tanpa pisau” (HR. Ahmad dan al-Arba’ah serta dinilai shahih
oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Muhammad bin Ismail ash Shan’any, Subul al-Salam, (Bandung : Dahlan, t.th), hal. 116
40
25
datang. Hal ini didorong oleh kebutuhan dan keberadaan manusia itu sendiri
mungkin suatu pemerintahan di dunia ini, apapun bentuknya, yang akan dapat
berdiri tanpa peradilan, karena dengan peradilan akan dapat diselesaikan aneka
Tugas peradilan adalah tugas suci dan universal yang diakui oleh semua
bangsa-bangsa di masa lalu dalam berbagai tingkat kemajuan, baik bangsa yang
masih terbelakang maupun bangsa yang telah maju. Rasionya adalah penegakan
undang-undang yang telah dibuat oleh badan legislatif bersama badan eksekutif
adalah sebagai alat dan sarana pengayom dan pelindung masyarakat dari
kesewenang-wenang dan perilaku yang tidak baik yang dapat merugikan pihak lain.
yang kuat. Secara filosofis, peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi
41
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam,..., hal. 19
42
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, ( Jakarta: Amzah, 2012), Cet. ke- 1, hal. 8
26
tuntutan penegakan hukum dan keadilan Allah dalam pergaulan hidup masyarakat.
Di samping itu peradilan merupakan perwujudan prinsip tauhid dalam hukum Islam
wajib dituruti dan diterapkan. Satu sisi Rasul sebagai hakim, di sisi lain sebagai
muballigh dan sebagai kepala negara. Semua kekuasaan itu tergenggam di tangan
Rasul dan belum dipisahkan. Dijadikannya al-Quran sebagai hukum dasar dalam
terhadap orang Islam yang bersengketa saja tetapi juga menjadi perhatian yang
sengketa adalah berasal dari ijtihad Rasul sendiri dan sudah barang tentu tidak
terlepas dari tuntunan dan ilham Allah SWT. Hal ini sesuai dengan pernyataan
قال رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم قال إمنا انا بشر،عن ام سلمة رضى اهلل عنها قالت
إنكم ختتصمون إىل فلعل بغضكم أن يكون اْلن حبجه من بعض فاقضى له على حنو
43
)ماامسع منه فمن قطعت له من حق أخيه شيأ فامنا اقطع له قطعة من النار (متفق عليه
Artinya:“Dari Ummu Salamah bahwa Nabi Saw bersabda: Sesungguhnya aku
hanyalah manusia biasa, sedangkan kamu datang kepadaku untuk
menyelesaikan persengketaan di antara kamu. Mungkin sebagian dari
kamu lebih pintar menyampaikan hujjahnya daripada sebagian yang lain,
lalu aku memutuskan baginya sesuai dengan apa yang aku dengar
darinya. Maka barang siapa yang aku putuskan baginya sebagian hak dari
dan matan yang tidak cacat, sehingga hadis ini diriwayatkan oleh perawi-perawi
yang adil. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah menyebutkan bahwa hadis
ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta seluruh pemilik sunan.44
acara (hukum formil). Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ini menegaskan
metode penyelesaian perkara yang diajarkan oleh Nabi SAW selanjutnya diajarkan
kepada para sahabat, akhirnya dijadikan sebagai dasar di dalam memproses perkara
dengan alat bukti seperti al-bayyinah, sumpah, saksi, surat, firasat dan lain-lain.
Apabila bukti yang diajukan oleh pendakwa palsu, misalnya saksi palsu,
namum hakim tetap memutuskan perkara berdasarkan hal itu, maka hukumnya
tidak mengubah kenyataan dan tidak diperbolehkan bagi orang yang mendakwakan
untuk mengambil hak yang didakwakannya itu sebab hak itu adalah milik dari yang
mempunyainya. Tidak seorangpun dari para fuqaha yang berbeda pendapat dalam
hal ini. Hanya saja imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, “Sesungguhnya
44
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1983), Jilid III, hal. 410
28
peradilan dalam hal perjanjian dan pembatalannya dilaksanakan secara lahir dan
bathin.45
seorang hakim dibohongi dengan keterangan dan sumpah palsu, selagi belum
terungkap yang sebenarnya, itulah kebenaran di waktu itu karena hakim hanya
dapat menilai yang zhahir, sedangkan yang bathinnya adalah di luar kemampuan
manusia biasa.
Al-Lahnu pada hadits di atas barangkali berarti lebih pintar memanipulasi alat
bukti agar menang berperkara, bahwa di antara pihak yang berperkara itu ada yang
mengetahui argumentasi dan lebih pintar dalam mengemukakan alasan dari yang lainnya.
Hadis tersebut menjadi dalil bahwa keputusan hakim tidak menghalalkan yang
dinyatakan menang apabila apa yang dia tuntut/gugat itu bathil (tidak benar) dalam perkara
itu dan bilamana kesaksian yang dia ajukan adalah dusta.46 Hakim boleh saja memutus
perkara berdasarkan alat-alat bukti yang ada dan sangkaan-sangkaan, tetapi putusan hakim
itu tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya walaupun saksi adalah orang yang
Menurut Abu Hanifah, sesungguhnya putusan itu berlaku menurut lahir dan
45
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,..., hal. 411
46
Muhammad bin Ismail ash- Shan’any, Subul al Salam,..., hal. 121
29
bahwa wanita ini istri si Fulan, maka wanita itu halal bagi si Fulan (yang mengaku
suaminya) itu.47
Nabi SAW memberitahukan bahwa beliau memutus perkara sesuai dengan apa
yang beliau lihat, dan beliau dengan serta tidak menafikan putusan berdasarkan
ilmunya. Alasannya “Saya hanya memberikan kepadanya sepotong api neraka” hal
ini menunjukkan bahwa putusannya adalah berdasarkan apa yang dilihat dan
didengar.
sedangkan dia mengajukan saksi-saksi untuk itu, dan hakim memutuskan hak itu
baginya maka sesungguhnya halal baginya untuk mengambil hak itu jika buktinya
Apabila bukti yang diajukan oleh pendakwa itu bukti yang palsu seperti
berdasarkan persaksian ini maka hukumnya itu tidak mengubah kenyataan dan
tidak diperbolehkan bagi orang yang mendakwakan untuk mengambil hak yang
dilaksanakan secara lahir dan bathin dan kesalahan hakim di sini tidak boleh
mujtahid dan bila hakim yang mujtahid itu salah maka dia juga mendapat satu
pahala.49
penggabungan antara bukti lahir dengan ilmu hakim karena hakim tidak boleh
fungsi dan peranan upaya hukum untuk tidak harus bertahan dengan pendapat
masing-masing selagi bisa dikoreksi dan ditinjau ulang kembali sesuatu yang telah
diputuskan itu.
tidak boleh dinyatakan tertipu akan tetapi kesalahannya itu dikategorikan sebagai
kesalahan mujtahid dan apabila hakim yang mujtahid itu salah, maka dia juga
mendapat satu pahala. Cara penilaian seperti itu dapat dijadikan patokan bagi
perkara yang serupa yang disebut dengan yurisprudensi yang didasari dengan alat
bukti seperti bayyinah (fakta kebenaran), sumpah, saksi, bukti surat, firasat, undian
49
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,..., hal. 411
31
عن ابن عباس رضى اهلل عنهما أن النيب صلى اهلل عليه و سلم قال البينة على املدعى
50
)واليمْي على من انكر (رواه البيهقى
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. sesungguhnya Nabi Saw bersabda pembuktian
dituntut kepada penggugat sedangkan sumpah dikenakan atas orang yang
mengingkari (tergugat).” (HR. Baihaqi)
tentang sesuatu yang dia akui dengan hanya berdasarkan pengakuan saja, tetapi dibutuhkan
bukti atau pembenaran dari pihak yang dituntut/digugat. Apabila dia meminta sumpah dari
pada pihak yang lemah, sebab dia mengakui atau menggugat sesuatu yang
bertentangan dengan kenyataannya. Oleh karena itu diwajibkan adanya hujjah yang
kuat. Sebaliknya tergugat di pihak yang kuat, dengan sendirinya ia lepas dari
tanggungan hujjah tersebut. Oleh karena itu dia dicukupkan, bersumpah yang
tidak cukup untuk menghukum orang yang didakwa, sebab ketidakberanian untuk
bersumpah itu adalah hujjah yang lemah yang wajib diperkuat oleh sumpah orang
yang mendakwa bahwa dia betul dalam dakwaannya sekalipun sumpah itu tidak
diminta oleh orang yang didakwanya tadi. Apabila pendakwa mau bersumpah maka
dia dihukumi dengan dakwaannya itu. Akan tetapi bila dia tidak mau bersumpah
maka dakwaannya ditolak.52 Malik membatasi hukum yang demikian ini hanya
pada dakwaan mengenai harta benda saja, berbeda dengan asy-Syafi’i yang
dihukumi sebab yang menjadi intinya ialah bahwa orang yang wajib bersumpah tidak
menerima atau tidak mau melaksanakannya. Tidak melakukan sumpah itu tidak berarti
bahwa dia mengakui hak yang didakwakan.54 Akan tetapi dia meninggalkan apa yang
diminta oleh syara’ untuk mengucapkannya. Tetapi sumpah bagi orang yang didakwa,
setelah dia tidak berani melakukannya, mewajibkan hakim untuk memutus satu di
antara dua perkara: dia harus bersumpah yang tadinya tidak mau melaksankannya atau
dia harus mengakui apa yang didakwakan oleh pendakwa. Apapun yang terjadi
Rasulullah sudah merasa sulit untuk menangani kasus-kasus yang terjadi karena
52
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,..., hal. 451
53
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,..., hal. 452
54
Muhammad bin Ali Bin Muhammad al-Syaukani, Nail al Awthar, (t.tp, Iqomah al-Din, t.
th), hal. 219
55
Muhammad bin Ali Bin Muhammad al-Syaukani, Nail al Awthar,..., hal. 220
33
sahabat untuk menyelesaikan perkara yang mereka hadapi, bahkan diizinkan juga
قال و تعافيين يا أمري املؤمنْي؟، إذهب فا قضى بْي الناس: عن عبد اهلل ابن موهب أن عثمان قال اإلبن عمر
قال فما تكره من ذلك و قدكان أبوك يقضى؟ قال إىن مسعت رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم يقول من
56
)كان قاضيا فقضى بالعدل (رواه الرتمذى
Artinya: “Bahwa Khalifah Usman bin Affan pernah berkata kepada Abdullah bin
Umar : Pergilah! Kemudian putuskanlah perkara di antara manusia. Ia
menjawab : hendaklah engkau bebaskan aku hai amirul mukminin!
Khalifah berkata apakah gerangan yang menyebabkan engkau enggan
(melaksanakan) itu, padahal ayahmu pernah melaksanakannya, ia
menjawab sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang diserahi tugas hakim, maka hendaklah putuskan
dengan adil.” (HR. At-Tirmidzi)
Keengganan Abdullah bin Umar menjadi hakim menunjukkan bahwa
betapa beratnya tanggung jawab seorang hakim kepada manusia, terlebih lagi
untuk melaksanakan tugas peradilan secara sempurna, sehingga para imam yang
Di antara riwayat yang paling menarik dalam hal ini ialah bahwa Hayat
bin Syuraih diminta untuk menjabat hakim di Mesir. Ketika Amir Mesir
dengan pedang. Ketika Hayat melihat hal yang demikian, dia mengeluarkan kunci
Abi Isya Muhammad Ibn Isya, Syarh al-Turmudzi, al-Jami’ al Shahih wa Huwa Sunan
56
al-Turmudzi, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2000), jilid II, hal. 327
34
yang ada padanya dan dia berkata, “Inilah kunci pintu rumahku sungguh aku telah
Menurut penulis sebab utama mengapa para imam menghindarkan diri dari
tugas peradilan secara sempurna, apalagi seseorang merasakan bahwa di dalam dirinya
ada suatu kelemahan yang akan membuat tidak percaya diri dengan tugas yang berat
itu.
mengemban tanggung jawab dalam jabatan ini maka Allah pun tidak akan sia-sia
dengan pahala yang besar. Akan tetapi tugas-tugas hakim di lembaga peradilan
menghadapi banyak tantangan. Itulah sebabnya para tokoh dan ulama besar dahulu
menolak masuk dan melibatkan diri ke dalam kekuasaan itu seperti Imam Syafi’i,
menolaknya tatkala beliau diminta oleh Khalifah al-Ma’mun untuk melibatkan diri ke
dalam tugas peradilan.58 Begitu juga Abu Hanifah menolak tatkala diminta oleh
57
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, ..., hal. 395
58
K. Ali. Sejarah Islam, (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 1997), hal. 231
59
Muhammad Ali Duraib al-Tanzim, al-Qadha’ fi Mamluqah al- ‘Arabiyah al- Syu’udiyah,
(Arabiyah: t.tp, 1983), hal. 241
35
اذا جلس بْي يديك اخلصمان فَل، قا ل رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم،عن على رضى اهلل عنه قال
تقضى حىت تسمعكَلم اَلخركما مسعت من اْل ول فانه أحرى أن يتبْي لك القضاء (رواه أمحد و ابو دود
60
)و الرتمذى
Artinya: “Dari Ali ra, Rasulullah Saw bersabda: Apabila dua pihak yang
berperkara duduk di hadapanmu, maka janganlah kamu tergesa-gesa
memutuskan hukum sebelum kamu mendengar dari orang yang kedua
seperti kamu mendengar dari orang yang pertama, karena sesungguhnya
bila kamu melakukan yang demikian itu, maka akan jelaslah bagimu
peradilannya.” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi)
Hadis ini menjadi dalil bahwa wajib atas hakim mendengarkan gugatan
penggugat dan jawaban tergugat (kedua belah pihak yang berperkara) di muka
sidang. Bila sengaja mendengarkan satu pihak saja maka putusannya jadi batal dan
keadilannya tercela.
Apabila pihak tergugat itu hanya diam saja dari bantahan maka menurut
keterangan dalam kitab al-Bahru dari Imam Yahya dan Imam Malik yang dikutip
kebenaran penggugat.61 Berarti hukumnya sama dengan orang yang tidak hadir
memberi jawaban di muka sidang berarti juga dibolehkan mengalahkan orang yang
tidak hadir di depan sidang (verstek) yang tentunya dengan syarat-syarat tertentu
pula.
60
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam,..., hal. 22
61
Muhammad Ismail ash-Shan’any, Subul al-Salam, ..., hal. 121
36
peradilan dalam Islam adalah sebagai pemutus persengketaan dalam berbagai lintas
pergaulan umat manusia dengan tujuan akhir menata hubungan serta mengatur hak
perorangan kelompok atau golongan kepada posisi yang benar dan wajar.
bahkan hal yang tidak terelakkan, baik di kalangan masyarakat terbelakang maupun
kesemuanya itu punya kepentingan yang kadangkala berbenturan antara satu sama
lain yang didorong oleh corak tingkah laku dan watak yang berbeda-beda sesuai
perselisihan yang tak kunjung terselesaikan karena mereka tidak memahami batas-
batas haknya. Dalam kepentingan ini peradilan berfungsi sebagai bagian yang tidak
Maha suci Allah yang Agung yang telah menciptakan ketentuan syari’at
untuk menata kehidupan di dunia dan di akhirat tentang hak kepada siapa harus
Tidak diragukan lagi bahwa pikiran dan motivasi untuk mewujudkan suatu
kekuasaan peradilan dalam Islam jelas dan gamblang sekali guna mengatur
kehidupan. Kalamullah tidak mungkin ditegakkan dan suatu ajaran tidak mungkin
dijelaskan tanpa ada kekuatan dan kekuasaan sebagai power penegak keadilan
karena agama Islam bukanlah agama yang semata-mata mengatur peribadatan saja
tetapi sebenarnya adalah agama dan kekuatan yang dilindungi oleh kekuasaan.
adalah tuntutan karena fungsi peradilan merupakan hal yang sangat penting dan
kebutuhan terhadap lembaga peradilan. Misalnya antara lain firman Allah dalam
keadilan yang hakikatnya adalah menjaga hak, memelihara darah, kehormatan dan
harta benda yang dijadikan bagian dari agama yang tidak dapat tidak harus ada.
عن أىب هريرة عن ا لنىب صلى ا هلل عليه و سلم قا ل من طلب قضاء املسلمْي حىت بناله
62
)مث غلب عدله جوره فله اجلنة و من غلب جوره عدله فله النار (رواه ابو دود
Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: barang siapa mencari
peradilan bagi kaum muslimin sehingga dia mendapatkannya kemudian
keadilannya mengalahkan kecurangannya, maka baginya surga, dan
barang siapa yang kecurangannya mengalahkan keadilannya maka
baginya neraka.” (HR. Abu Daud)
merealisir perlindungan hak, memelihara darah, harta dan kehormatan. Di sisi lain,
berlanjut kepada perhatian para fuqaha’ pada setiap masa dan generasi dengan bukti
Manusia tidak dapat hidup kecuali dengan kesatuan sosial dan saling
membantu. Jika mereka telah terorganisasi, situasi memaksa mereka supaya saling
62
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syawkani, Nail al Awthar,..., hal. 158
39
dari orang lain karena sudah menjadi watak makhluk untuk berlaku agresif dan
terkadang zhalim. Maka orang yang dirugikan sudah tentu berusaha pula
menghalangi perbuatan demikian yang digerakkan oleh rasa amarah dan benci
Dengan adanya peradilan, maka darah manusia dilindungi dan pada suatu
perzinaan diharamkan, harta benda ditetapkan pemiliknya dan juga di suatu ketika
dicabut hak pemiliknya. Dengan hukum mu’amalat dapat diketahui mana yang
boleh mana yang dilarang, mana yang makruh dan mana yang disunatkan.
Kehidupan manusia pada setiap masa selalu membutuhkan peradilan sebab kalau
dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan karena tidak mungkin masyarakat atau
manusia menghindari persengketaan. Oleh karena itu pula peradilan dipandang suci
63
Ibnu Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, penterjemah Ahmad Thaha, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hal. 228
64
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha’ fi al Islam, ..., Hal. 19
40
wenangan sebahagian yang lain. Karena itu manusia tidak mungkin memperoleh
serta moral. Tetapi Islam juga mengandung ajaran ajaran hukum sebagaimana
dimaksud oleh konsep hukum modern. Islam juga mengajarkan norma-norma yang
Penegakkan hukum sangat diperlukan karena sifat dasar manusia antara lain senang
1. Setiap orang yang cakap dapat bertindak hukum di pengadilan secara langsung
berkata:
حدثين على بن حجر السعدى حدثين على بن مسحر عن حشام بن عروة عن أبيه
عن عائشة قالت دخلت هند بنت عتبة إمرأة أىب سفيان على رسول اهلل صلى اهلل عليه
و سلم فقالت يا ر سو ل اهلل إن أبا سفيان رجل شجيع َل يعطىن من النفقة ما يكفىن
و يكفى بين اَلما أخذت من ماله بغري علمه فهل على ىف ذلك من جناح؟ فقال
رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم خذى من ما له با ملعروف ماليكفيك و يكفى بينك
65
)(رواه مسلم
Artinya: “Aisyah ra. Meriwayatkan, “Suatu ketika, Hindun binti Utbah –istri Abu
Sufyan- menemui Rasulullah Saw, ia berkata: “Ya Rasulullah,
65
Abi al-Husain Muslim, Shahih Muslim,..., hal. 121
41
sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang kikir; tidak memberikan nafkah
yang cukup untukku dan anakku, kecuali yang aku ambil dari hartanya
tanpa spengetahuannya. Lantas, apakah aku berdosa karena melakukan
itu?” Rasulullah Saw. bersabda, “ Ambillah dari hartanya dengan baik-
baik; secukupnya untuk keperluanmu dan keperluan anakmu.” (HR.
Muslim)
Hadits ini menjadi dalil bahwa ketika seseorang merasa haknya telah
pengadilan tanpa perantara orang lain kecuali kuasa hukum. Ini membuktikan
baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin, pejabat ataupun rakyat
biasa.
terkait dalam suatu perkara harus mewakilkan kepada orang lain. Orang yang
tetapi dalam keadaan tertentu pihak yang berperkara dapat mewakilkan kepada
pihak lain untuk berbicara di muka sidang pengadilan, yaitu penerima kuasa.
42
masing-masing. Nabi bersabda saya hanya mengadili apa yang saya dengar.
Yaman, “Janganlah mengadili salah seorang dari dua orang yang bersengketa
sehingga kamu mendengar keterangan pihak lain”. Prinsip ini dapat dikecualikan
dalam hal tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya atau dengan sengaja
3. Pemanggilan pihak-pihak yang berpekara harus dilakukan dengan patut dan resmi
sebagaimana diungkapkan oleh firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125:
ادع إىل سبيل ربك باْلكمة واملوعظة اْلسنة وجادْلم باليت هي أحسن إن ربك هو أعلم ِبن
)١٢٥: ١٦/ضل عن سبيله وهو أعلم باملهتدين (النحل
Artinya: “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih
mengetahui siapa yang tersesat dari jalannya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 16. An-Nahl: 125)
harus dilakukan secara patut dan resmi. Hal ini berarti pemanggilan para pihak
dilakukan dengan jarak waktu yang wajar sehingga pihak dapat mempersiapkan
diri dan pengadilan itu harus ada bukti sampai ke tangan-tangan para pihak
pihak-pihak.
يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامْي بالقسط شهداء هلل ولو على أنفسكم أو الوالدين
واْلقربْي إن يكن غنيا أو فقريا فاهلل أوىل هبما فَل تتبعوا اْلوى أن تعدلوا وإن تلووا أو
)١٣٥:تعرضوا فإن اهلل كان ِبا تعملون خبريا (النساء
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau
miskin maka Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan kata atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menjadi dasar bahwa semua orang sama kedudukannya di depan
hukum. Oleh karena itu, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang
peradilan harus berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang. Nabi SAW
Bersabda:
عن عبد اهلل بن الزبري قال قضى رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم ان اخلصمْي يقعدان بْي
66
)يدى اْلاكم (رواه امحد و ابو داود
Artinya:”Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata “Rasulullah SAW memutuskan bahwa
dua orang yang sedang bersengketa itu hendaknya sama-sama duduk di
depan hakim” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
bagi dua orang yang berperkara (penggugat dan tergugat) untuk sama-sama
duduk di depan hakim, dan disamakan antara keduanya oleh majelis hakim itu.
66
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syawkani, Nail al Awthar,..., hal. 180
44
dengan cara damai. Dasarnya firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 128:
ص ْل ًحا ِ وإِ ِن امرأَةٌ خافَت ِمن ب علِها نُشوزا أَو إِعراضا فَ ََل جناح علَي ِهما أَ ْن ي
ُ صل َحا بَْي نَ ُه َما ْ ُ َ ْ َ َ َُ ً َْ ْ ً ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ
ُّح َوإِ ْن َُْت ِسنُوا َوتَتَّ ُقوا فَِإ َّن اللَّهَ َكا َن ِِبَا تَ ْع َملُو َن َخبِ ًريا
َّ س الش ِ ِ الص ْلح خي ر وأ
ُ ُحضَرت ْاْلَنْ ُف
ْ َ ٌ ْ َ ُ ُّ َو
) ١٢٨: ٤/(النساء
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu
bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.. (QS. 4. An-Nisa’: 128)
dan perkara keluarga. Hal ini berarti dalam mengadili suatu perkara, penegak
tentu akan membuka rahasia dan aib yang akan melecehkan kehormatan
67
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam,..., hal. 15
45
baik perdata maupun pidana sebagaimana yang telah tertata dalam hukum umum
yang dikembangkan oleh Barat. Tetapi tidak berarti Islam tidak memiliki asas-asas
hukum untuk semua bidang hukum yang dikenal dalam ilmu hukum umum. Dalam
bidang hukum acara perdata pun Islam memiliki prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah
hukum acara pidana. Hanya saja di dalam hukum pidana hakim harus menetapkan
vonis had dengan sangat hati-hati dan sangat bijaksana, terutama dalam masalah
saksi yang ditimpakan merupakan suatu alat agar orang menjadi jera dan tidak ingin
mengulang kesalahannya lagi, karena dia yakin setiap tindak pidana yang dilakukan
pasti akan dihukum setimpal. Namun dalam menetapkan vonis hukuman itu hakim
harus yakin bahwa tindakan pidana itu merupakan kejahatan-kejahatan yang pasti.
Bila ternyata ada unsur yang meragukan sedikitpun dalam peristiwa pidana itu,
maka dia harus menahan diri dan menunda penetapan vonis tersebut, dan sedapat
mungkin dihindarkan vonis hukuman pidana terhadap seorang muslim bila ternyata
Salah satu prinsip hukum adalah lebih baik salah dalam membebaskan
menghukum orang yang tidak bersalah lebih jelek di mata hukum ketimbang salah
dalam membebaskan tertuduh. Prinsip ini adalah suatu norma dalam rangka
dapat diberi batasan awal, yaitu mulai dari masa tugas kerasulan Nabi Muhammad
SAW pada periode Madinah (622-632M). Pada masa itu mulai dilakukan penataan
kehidupan manusia (selain peribadatan, shalat, puasa, dan haji), yaitu pengaturan
keluarga, harta, pemerintahan, peradilan dan pengaturan antar pemeluk agama dan
Oleh karena itu, pada masa permulaannya diyakini bahwa peradilan Islam
disebabkan karena sumber yang digunakan berasal dari ajaran agama (wahyu),
ada yang ditakuti oleh para hakim kecuali murka Allah dan siksa-Nya. Bahkan para
apabila mereka digugat atau didakwa oleh suatu pihak, dan merekapun memasuki
serta mengikuti dan menerima segala keputusan yang dijatuhkan terhadap mereka.
47
tentang suatu hak di depan hakim Muhammad bin Umar at-Thalahi. Hakim
panggilan tersebut dan hadir di muka sidang. Setelah kedua pihak hadir maka
disamakan duduk mereka di hadapan sidang dan setelah diperiksa serta didengar
diliputi rasa ketakutan akan murkanya. Tetapi setelah ia berada di hadapannya maka
oleh ulama syarat dan kriteria pengangkatan seorang hakim, karena syarat itu
peradilan dari waktu ke waktu guna menyeleksi kualitas para hakim dalam
ada yang mengatakan, bahwa seorang qadhi harus memenuhi lima belas syarat, dan
di antara mereka ada yang mengatakan tujuh syarat, dan ada yang menentukan 3
68
Muhammad Salam Madkur, Al Qadha fi al-Islam,..., hal. 34
48
ditetapkan, akan tetapi beberapa syarat bisa dicakup oleh yang lain dan adakalanya
seorang hakim itu ada dua persoalan sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad
Salam Madkur:69
Syarat ini disepakati dan tidak cukup hanya sekedar dipandang telah
mukallaf (terkena beban agama), karena berakal di sini harus benar-benar sehat
kecerdasannya itu.70
2. Beragama Islam
69
Muhammad Salam Madkur, Al- Qadha fi al Islam,..., hal. 20
70
Muhammad Salam Madkur, al Qadha fi al Islam,..., hal. 38
49
Artinya:”Allah sekali-kali tidak menjadikan jalan bagi orang kafir atas orang-
orang mukmin. (QS. 4. An-Nisa’: 141)
seorang muslim, oleh karena itu, hakim non muslim tidak boleh memutus
karena keahlian mengadili itu ada hubungannya dengan keahlian menjadi saksi
padahal orang kafir Dzimmi boleh menjadi saksi terhadap Dzimmi lainnya.71
bahwa orang yang sah diangkat menjadi hakim adalah orang muslim, karena
orang kafir tidak pantas untuk memerintah dan diangkatnya orang kafir untuk
keputusan. Oleh sebab itu syarat muslim merupakan syarat yang harus
3. Adil
Adil yaitu terhindar dari dosa besar dan tidak berkekalan dalam
71
Muhammad Salam Madkur, al Qadha fi al Islam,..., hal. 38
72
Syihabuddin Ramli, Nihayah al Muhtaj, (Beirut: Dar al-Ihya, 1004), hal. 238
73
Abd Karim Zaidan, Nizham al-Qadha fi al Syari’ah al Islamiyah,..., hal. 38
50
dapat dipercaya, menjaga kehormatan diri dari segala yang dilarang, jujur dalam
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara mazhab Hanafi dan
Syafi’i. Golongan Hanafi berpendapat bahwa putusan hakim yang fasik adalah
sah bila sesuai dengan syara’ dan undang-undang. Sedang Syafi’i tidak
cabangnya dan dapat membedakan yang haq dari yang bathil.75 Dalam hal ini,
mencari orang yang adil dan ahli ijtihad sangat sulit dengan ketentuan yang telah
5. Mendengar, melihat, dan tidak bisu. Sebab orang bisu tidak mungkin dapat
menyampaikan putusan dengan ucapan, dan tidak semua orang paham isyarat-
isyaratnya, dan orang yang tuli tidak dapat mendengarkan pembicaraan pihak-
pihak yang berperkara, demikian juga orang buta tidak dapat menyingkap
menjadi qadhi, tetapi mengakui lebih utama orang yang tegap dan sehat.77
6. Laki-laki
74
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam,..., hal. 25
75
Muhammad Salam Madkur, al Qadha fi al Islam,..., hal. 38
76
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam,..., hal. 25
77
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam,..., hal. 25
51
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad, anak kecil dan wanita tidak
sah menjadi hakim. Namun, Hanafi membolehkan wanita menjadi hakim dalam
hudud, qishash, atau hukum-hukum jinayah lainnya, wanita tidak boleh menjadi
qadhi secara mutlak dalam semua bentuk perkara. Alasannya, karena dia boleh
diangkat oleh pemerintah adalah seeorang yang telah memenuhi kriteria dan
syarat-syarat di atas yang disertai dengan ilmu yang cukup tentang peradilan dan
dapat menyelesaikan sengketa dengan cara adil dan dapat dipercaya, bersih dari
pamrih, jauh dari hasrat yang hina serta taqarrub kepada Allah. Di samping itu
wakil Allah di permukaan bumi yang bebas dan tidak terpengaruh oleh segala
78
Wahbah az Zuhaily, Fiqh Islam wa Adilatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Juz VI, hal.
482
79
Muhammad Salam Madkur, al Qadha fi al Islam,..., hal. 38
52
pamrih yang tidak benar serta bebas dari pengaruh dan lain-lain yang akan
Secara bahasa, upaya hukum terdiri atas dua kata yaitu upaya dan hukum.
Upaya berarti usaha, akal dan ikhitar untuk mencapai suatu maksud, 80 sedangkan
hukum yang dimaksud dalam tulisan ini adalah keputusan atau pertimbangan yang
suatu ikhitiar atau usaha yang dilakukan oleh seorang atau instansi maupun lembaga
untuk mencapai maksudnya dengan melakukan mosi tidak puas terhadap suatu
upaya hukum adalah suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada
terhadap keputusan hakim.82 Selain itu, upaya hukum juga dapat dimaksudkan
dengan usaha setiap orang yang merasa dirugikan hak atau kepentingannya untuk
80
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal.
1250
81
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia,..., hal. 410
82
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), Cet.
ke-4, hal. 350
83
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hal. 271
53
54
Agama adalah sama dengan pengertian upaya hukum yang diterangkan oleh
Sarwono di atas (menurut hukum acara perdata), karena upaya hukum adalah
bahagian dari hukum acara, sedangkan hukum acara yang berlaku pada Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
Upaya hukum dapat ditemukan dalam hukum acara perdata maupun dalam
hukum acara pidana. Dalam hukum acara pidana, upaya hukum memiliki
pengertian yang tidak jauh berbeda dengan pengertian upaya hukum yang terdapat
dalam hukum acara perdata. Upaya hukum dalam sistem hukum pidana merupakan
hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang
berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
hak para pihak yang sedang berperkara untuk mengajukan perlawanan terhadap
84
Direktorat Jend. Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan di Lingkungan Peradilan Agama Edisi I 2012, hal. 268
6
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 268. Selanjutnya
perumusan upaya hukum dicantumkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
55
mencegah adanya keputusan hakim yang salah. Hal ini disebabkan karena hakim
sebagai manusia dan sudah barang tentu juga tidak terlepas dari suatu kesalahan
atau kekhilafan.87 Dengan adanya upaya hukum yang diberikan oleh undang-
2. Untuk mencegah adanya hakim yang berpihak kepada salah satu pihak dalam
suatu perkara.
perkara.
suatu perkara dapat bertindak bijaksana dan memberikan keputusan yang adil.
86
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1988), hal. 359
8
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek,..., hal. 350
56
2. Adanya rasa ketidakpuasan salah satu pihak yang berperkara atau merasa
3. Para pihak yang merasa tidak mendapatkan keadilan atau merasa dirugikan
Hukum acara perdata mengenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya
hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa ialah perlawanan
terhadap putusan verstek (verzet), banding, dan kasasi. Sedangkan upaya hukum
luar biasa yang terdiri dari peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.89 Dengan demikian upaya hukum yang dibahas
dalam bab ini meliputi kedua jenis upaya hukum tersebut, yakni upaya hukum biasa
pengertian umum meliputi segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang maupun
88
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek,..., hal. 351
89
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Bukiittinggi Press,
2010), hal. 113
57
perkaranya ke tingkat yang lebih tinggi karena merasa tidak puas terhadap putusan
yang dijatuhkan.
Akan tetapi pada prinsipnya, upaya hukum itu adalah suatu istilah khusus
terhadap suatu tindakan hukum yang diambil seseorang karena tidak puas dengan
putusan pengadilan. Tentu saja hal ini akan mengarah kepada bentuk upaya hukum
yang sesungguhnya yaitu upaya hukum verzet, upaya hukum banding, upaya
hukum kasasi, dan upaya hukum peninjauan kembali. Maka dalam pembahasan
selanjutnya, hanya empat bentuk upaya hukum ini yang akan dibahas dalam tulisan
ini.
Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh
pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama), yang diajukan oleh tergugat yang diputus
verstek tersebut, dalam waktu tertentu, yang diajukan ke Pengadilan Agama yang memutus
perkara tersebut.90
Perlawanan terhadap putusan verstek dapat diajukan dalam waktu 14 hari sejak
pemberitahuan diterima Tergugat secara langsung (in person). Jika putusan verstek itu tidak
langsung diberitahukan kepada Tergugat, maka perlawanan masih dapat diajukan sampai
hari ke delapan setelah aanmaning (teguran) untuk melaksanakan putusan verstek itu; atau
90
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama,..., hal. 113
58
apabila Tergugat tidak datang menghadap pada saat aanmaning, perlawanan Tergugat dapat
diajukan sampai hari ke 14 (Pasal 153 ayat (2) R.Bg) sesudah putusan verstek dijalankan.91
dalam putusan verstek tersebut telah dijatuhkan putusan dengan serta merta yang
oleh salah satu atau oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan
atau putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang dalam
meluruskan segala kesalahan dan kekeliruan penerapan hukum, tata cara mengadili,
kewenangan “memeriksa ulang ” suatu perkara yang telah diputus oleh Pengadilan
12
Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009) hal. 128
92
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek,..., hal. 353
14
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2008), hal. 366
15
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), Cet. ke-3, hal. 337
59
menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang dan amar putusannya sudah
sesuai dengan hukum yang berlaku dalam perkara yang bersangkutan, maka
sendiri dengan putusan yang dianggap benar sebagai koreksi dari pada putusan
Mengenai masalah banding ini antara perkara pidana dan perdata berbeda
dasar hukumnya. Banding dalam perkara pidana diatur dalam pasal 67, 87, 233-243
KUHP, sedangkan perkara perdata diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 1974
untuk Jawa dan Madura sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur
Adapun perihal banding untuk perkara perdata agama telah diatur sejak
zaman penjajahan hindia Belanda, yaitu dengan keluarnya Staatblad 1937 Nomor
610 dengan didirikannya sebuah Pengadilan Agama Tinggi (Hof Voor Islamic Tishe
Zaken) atau Mahkamah Islam Tinggi pada tanggal 1 Januari 1938, yakni suatu
95
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama,..., hal. 337
96
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993),
Cet. ke-1, hal. 195
60
yaitu Kerapatan Qadhi sebagai Pengadilan Agama tingkat pertama dan Kerapatan
Qadhi Besar sebagai Pengadilan Banding yang termuat dalam Staatblad Nomor
638 dan 639, dengan susunan dan kekuasaan yang sama dengan Pengadilan Agama
di Jawa dan Madura. Staatblad tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari 1938.98
berbeda yaitu:
1. Staatblad (selanjutnya ditulis stbl) 1882 nomor 152 jo stbl 1937 No 116 dan 610
untuk Jawa dan Madura, dengan nama Pengadilan Agama (priesteraad) untuk
2. Stbl 1937 Nomor 638 dan 639 untuk daerah Kalimantan Selatan, dengan nama
Kerapatan Qadhi untuk pengadilan tingkat pertama dan Kerapatan Qadhi Besar
18
Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada
Peradilan Agama,..., hal. 130
19
Rahmiati, Peradilan Islam, (Bukittinggi: STAIN Bukittinggi, 2004), hal. 101
61
Berdasarkan ketentuan di atas dapat dipahami pada masa ini sudah terlihat
hal ini berlangsung hingga tahun 1989. Pada tahun 1989 ini terwujudlah Undang-
20
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 101
21
Rahmiati, Peradilan Islam, ..., hal. 109
62
yaitu “Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding
oleh satu pihak atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkara dimaksudkan agar
putusan dijatuhkan.
kekuasaan atau kewenangan peradilan tingkat pertama dengan melalui prosedur dan
persyaratan formil dengan tujuan utama adalah mengoreksi dan meluruskan segala
kesalahan dan kekeliruan dalam penetapan hukum, tata cara mengadili, menilai
perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama tidak bersifat otomatis. Pengadilan Tinggi
Agama sebagai peradilan tingkat banding terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan
Agama, baru bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak atau para pihak yang berperkara
meminta kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding
tanpa ada permintaan dari salah satu pihak atau para pihak yang berperkara. Dengan adanya
dimohon banding kepada Pengadilan Tinggi Agama. Yang harus dikirimkan termasuk
semua surat panggilan, surat pemberitahuan, akta permohonan banding, memori dan kontra
memori banding, berita acara pemeriksaan termasuk replik dan duplik, surat-surat bukti,
keterangan ahli, berita acara pemeriksaan setempat, surat gugatan, surat kuasa dan penetapan
atau putusan.101
perkara menjadi mentah kembali dan belum mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, sehingga pelaksanaan dari putusan hakim belum dapat dilaksanakan oleh
pengadilan karena adanya upaya hukum lain berupa banding, terkecuali apabila
keputusan pengadilan.102
banding adalah para pihak yang berkepentingan. Hal ini berarti bahwa pihak yang dikalahkan
yaitu yang gugatannya ditolak atau dikabulkan sebahagian atau dinyatakan tidak dapat
diterima. Apabila permohonan banding diajukan oleh pihak yang menang seperti dalam hal
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atau gugatan ditolak berarti ketika itu tergugat
101
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama,..., hal. 337
23
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek,..., hal. 353
64
berada pada posisi yang menang. Dalam kondisi seperti itu lalu tergugat pula yang
mengajukan permohonan banding dengan niat yang tidak baik yaitu untuk menutup
kemungkinan pengajuan gugatan baru dalam waktu dekat, maka dalam hal seperti ini
menurut hemat penulis permohonan banding semacam itu harus dinyatakan tidak dapat
diterima karena diajukan oleh seorang yang tidak berkepentingan, maksudnya bukan
sebagai berikut:
103
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,..., hal. 273
25
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,..., hal. 274
65
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yaitu “Atas Penetapan dan putusan
Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh yang berperkara, kecuali apabila
Kategori pertama perkara yang bersifat finansial sebagaimana diatur dalam Pasal
mengenai ekonomi syari’ah, maka perkara yang dapat diajukan banding mengacu
kepada nilai standar objek terperkara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-
Undang Nomor 20 tahun 1947 Tentang Peradilan Ulang di Jawa dan Madura, yaitu
tidak boleh kurang dari seratus rupiah. Kategori kedua adalah bahwa perkara yang
dapat diajukan banding adalah perkara contentiosa, bukan voluntair. Jadi keputusan
26
Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada
Peradilan Agama,..., hal. 130
106
Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada
Peradilan Agama,..., hal. 130
66
Lembaga kasasi berasal dari Perancis. Kata “Kasasi” (dalam bahasa Perancis cassation)
berasal dari bahasa Perancis casser yang berarti “memecahkan” atau “membatalkan”.107 Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia kata kasasi berarti pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah
Agung atas putusan Pengadilan tingkat tertinggi hakim yang tidak atau
diputus peradilan agama tidak ada.110 Semula Mahkamah Agung dalam sejarahnya
dalam putusannya tanggal 7 Juni 1951 dan 9 Juni 1952 menetapkan bahwa kasasi
hanya mungkin dan diizinkan terhadap putusan yang diambil dalam lingkungan
107
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2004), Cet. ke-4, hal. 189
108
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata,..., hal. 189
109
Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), Cet. ke-2, hal. 145
31
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata,..., hal. 201
32
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata,..., hal. 190
67
lingkungan peradilan agama dan militer sudah dapat diajukan kepada Mahkamah
Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan
33
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata,..., hal. 201
34
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata,..., hal. 201
35
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama,..., hal. 120
68
bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya
telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang.116 Pengecualian itu terjadi menurut penjelasan Pasal 43 ayat (1), berupa
adanya putusan pengadilan tingkat pertama yang oleh undang-undang tidak dapat
dimohon banding. Umumnya hal itu dijumpai dalam perkara yang sifat gugatannya
hanya 1 (satu) kali. Penegasan ini penting agar tidak terjadi kesalahan penafsiran
tergugat dan terhadap permohonan itu telah dijatuhkan putusan oleh Mahkamah
36
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 348
37
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama,..., hal. 119
117
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 348
69
Agung dalam tingkat kasasi, maka pengajuan kasasi untuk kedua kali bukan hanya
tertutup untuk pihak tergugat saja. Tetapi sekaligus tertutup untuk pihak penggugat.
Demikian asas yang yang ditentukan dalam Pasal 43 ayat (2) tersebut, sekali
perkara telah diputuskan dalam tingkat kasasi, gugur hak para pihak untuk
Permohonan kasasi hanya dapat diajukan oleh pihak yang berperkara atau
wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Hal ini diatur dalam Pasal 44
kepada yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1985 dan apabila tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa
ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berperkara maka dianggap telah
118
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 349
119
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,..., hal. 285
41
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,..., hal. 285
70
banding atau tingkat akhir dari semua lingkungan peradilan. Hal ini diatur dalam
kasasi dapat membatalkan putusan atau penetapan dari semua lingkungan peradilan
karena:
bersangkutan.
Peninjauan Kembali (PK) adalah upaya hukum luar biasa. ketentuannya terdapat dalam Bab
IV, Bagian Keempat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, yang terdiri dari Pasal 66 sampai dengan
Pasal 76.121 Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Bagian
keempat, yang disebut adalah “pemeriksaan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kembali adalah suatu tindakan memeriksa kembali perkara yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Jadi, menyimpang dari ketentuan yang berlaku secara
umum, yakni setiap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap secara
42
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 361
43
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama...., hal. 125
71
mutlak mengikat asas “litis finin opperte” yaitu semua putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap sudah bersifat final, tidak diganggu gugat lagi.123
Yakni:124
1. Unsur Manusiawi
Bahwa manusia adalah makhluk Tuhan, yang pada dirinya tidak luput dari
sifat salah dan khilaf, disamping itu jangkauan kemampuan manusia pun
terbatas, bagaimana jeli dan cermatnya seseorang, suatu saat bisa lalai dan khilaf.
Hakim juga manusia yang sudah pasti masih diliputi oleh segala keterbatasan
kemampuan suatu waktu bisa lalai dan khilaf dalam memutus perkara, sekalipun
suatu perkara telah melalui tahap pemeriksaan mulai dari pengadilan tingkat
2. Unsur Kebohongan
45
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama...., hal. 126
72
pihak yang kalah menemukan alat bukti baru yang sangat menentukan, yang
pada saat proses pemeriksaan perkara berjalan, alat bukti yang sangat menetukan
tersebut tidak ditemukan, sekiranya alat bukti itu ditemukan pada saat proses
terhadap perkara yang bersangkutan telah tertutup upaya hukum banding dan atau
kasasi. Inilah asas umum untuk menentukan suatu perkara telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Hal itu bisa terjadi melalui tiga kemungkinan. Kemungkinan
kedua, terhadap putusan pengadilan tingkat pertama salah satu pihak mengajukan
banding namun terhadap putusan tingkat banding pihak-pihak menerima dan tidak
dijumpai masa sekarang, yaitu putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama
melalui proses tingkat banding dan kasasi. Maksudnya terhadap putusan tersebut
diajukan lagi permohonan kasasi oleh salah satu pihak yang berperkara. Kemudian
45
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Ke-3, hal. 360
125
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 363
73
diberitahukan secara resmi kepada para pihak, putusan perkara tersebut telah
hanya Mahkamah Agung. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 70 ayat (2)
mutlak. Tidak bisa didelegasikan kepada badan pengadilan yang lain baik
adalah para pihak yang berperkara secara in person, ahli waris para pihak yang
berperkara, dan kuasa yang diberi kuasa khusus untuk keperluan Peninjauan
tidak dianggap gugur, segera setelah pewaris meninggal dunia para ahli warisnya
tetap akan dilanjutkan. Pernyataan ahli waris ini diajukan ke Mahkamah Agung
126
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 363
48
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 364
74
diajukan128
Permohonan Peninjauan Kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui
setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu.
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut.
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
sebabnya.
49
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 364
50
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,..., hal. 295
51
Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada
Peradilan Agama,..., hal. 147
75
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh
Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama
lain.
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Tuntutan verzet dibuat seperti gugatan biasa, yaitu tertulis dan ditandatangani oleh
Tergugat sendiri atau oleh kuasanya apabila ia telah menunjuk kuasa khusus untuk itu, atau
telah ditandatangani oleh hakim bagi yang tidak dapat membaca dan menulis, dengan
menunjuk nomor putusan verstek yang dilawan itu. Atau dengan kata lain, tata cara
pengajuan verzet sama dengan tata cara pengajuan surat gugatan pada umumnya.131
dibuat dalam rangkap enam, yaitu tiga rangkap untuk Majelis, masing-masing satu
rangkap untuk Pelawan dan Terlawan serta satu rangkap untuk berkas.132
dengan membayar panjar biaya perkara. Petugas Meja I membuat Surat Kuasa
Untuk Membayar (SKUM) dan diserahkan kepada Kasir, lalu Kasir memberi
nomor perkara yang sama dengan nomor perkara yang dilawan itu. Kemudian Meja
52
Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama,..., hal. 128
132
Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama,..., hal. 128
76
Hakim, maka Hakim Ketua Majelis menentukan hari sidang dalam sebuah
memerintahkan Juru Sita/ Juru Sita Pengganti agar memanggil para pihak untuk
Ketika perlawanan telah diajukan dan ternyata pada hari sidang yang telah
Terlawan (semula Penggugat), dapat dipanggil sekali lagi sesuai dengan ketentuan
Pasal 126 HIR. Akan tetapi apabila Terlawan tidak juga datang menghadap pada
hari sidang berikutnya, dianggap bahwa Terlawan tidak hendak melawan atas
perlawanan yang telah diajukan terhadap putusan verstek tersebut. Karena itu
verstek yang semula serta mengadili lagi dengan menolak gugatan semula.
Terhadap putusan ini bahwa Terlawan masih tersedia jalan untuk dalam tenggang
54
Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama,..., hal. 129
55
Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama,..., hal. 129
77
dalam praktik mungkin tidak pernah terjadi karena pihak yang sudah menang
diperolehnya itu.135
Tahun 1947 tentang Peradilan-Peradilan Ulangan yaitu mulai dari Pasal 7 sampai
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 hanya berlaku untuk Pulau
Jawa dan Madura. Tetapi dalam praktek sampai sekarang telah dijadikan aturan pedoman untuk
seluruh Indonesia berbarengan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam HIR dan RBg.
sehingga secara nyata aturan Banding yang terdapat dalam HIR dan RBg. tetap dipakai sebagai
rujukan. Hal ini terjadi dalam praktek karena aturan banding yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1947 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 sampai Pasal 15,
Yang berhak mengajukan permohonan banding yaitu pihak yang berperkara atau
56
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata,..., hal. 161
57
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 337
58
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 337
59
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-1, hal. 129
78
diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan dibacakan
atau diberitahukan. Bentuk permohonan banding bisa dengan lisan atau dapat
dalam register induk perkara, dibuatkan akta banding dan lampiran berkas
perkara banding.
waktu seminggu.
Pengadilan Agama melalui Juru Sita harus sudah memberi kesempatan kepada
pihak yang berperkara (paling lambat 14 (empat belas) hari dari tanggal
ke Pengadilan Agama dalam tenggang waktu selama 30 (tiga puluh) hari sejak
Berkas perkara banding yang terdiri dari Bundel A (terdiri atas surat-surat dan
Berita Acara dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan
kontra memori banding, dan surat-surat lain yang berhubungan dengan upaya
biaya bandingnya.
Tata cara atau prosedur pengajuan permohonan kasasi antara lain adalah
sebagai berikut:
1) Pemohon kasasi menyatakan kehendaknya di Pengadilan Agama yang memutus
2) Apabila permohonan kasasi diajukan setelah lewat waktu empat belas hari
Menaksir panjar biaya kasasi kemudian dituangkan dalam Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM).
139
Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
80
4) Pemohon kasasi menghadap pada Kasir dan membayar panjar biaya kasasi
5) Kasir menandatangani SKUM dan memberi cap lunas serta mencatatnya dalam
6) Setelah biaya kasasi tersebut dibayar, panitera pada hari itu juga membuat Akta
Permohonan Kasasi.
7) Permohonan kasasi tersebut didaftar dan pada akta permohonan kasasi telah
diberi tanda terdaftar oleh Meja II, maka kepada Pemohon kasasi diserahkan
lembar pertama SKUM dan satu salinan Akta Permohonan Kasasi yang telah
didaftar tersebut.
8) Kemudian oleh Meja II, berkas kasasi tersebut diserahkan kepada Meja III yang
10) Selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya kontra
Agung.
11) Tanggal pengiriman berkas dicatat dalam register dan mengirimkan biaya
permohonan kasasi.140
140
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama...., hal. 1
81
Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa merupakan upaya untuk memeriksa
kembali suatu putusan baik tingkat pertama, banding dan kasasi yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap guna membatalkannya. “Permohonan Peninjauan Kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi
Disebutkan upaya hukum luar biasa karena upaya hukum Peninjauan Kembali adalah
merupakan suatu tindakan memeriksa lagi perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi
Apabila kebohongan dan tipu muslihat itu baru diketahui lima belas tahun sesudah
Peninjauan Kembali adalah 180 hari dari tanggal diketahui kebohongan dan tipu muslihat
itu.
b. Jika kebohongan atau tipu muslihat telah diproses dalam perkara pidana dan pihak lawan
yang bohong dan melakukan tipu muslihat sudah dijatuhi hukuman, harus tenggang
141
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 360
142
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 360
82
waktunya 180 hari dari tanggal putusan pidana tersebut memperoleh kekuatan hukum
yang tetap.
c. Batas tenggang waktu mengajukan alasan permohonan Peninjauan Kembali atas alasan
diketemukan “bukti baru” atau Novum sama dengan 180 hari dari tanggal diketemukan
d. Mengenai alasan uang disebutkan pada pasal 67 huruf c, d dan f sama dengan 180 hari
dari tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam artiputusan telah
e. Dalam hal permohonan Peninjauan Kembali didasarkan atas alasan ada dua putusan yang
saling bertentangan sepeti yang disebut Pasal 67 huruf c sama dengan 180 hari dari
tanggal putusan yang terakhir berkekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada
Pengadilan.
b. Permohonan dalam bentuk tertulis dan menyebut alasan. Apabila pemohon tidak
untuk itu. Uraian lisan pemohon dicatat dan itulah yang menjadi surat
c. Membayar biaya perkara yang diperlukan. Dalam Pasal 70 ayat (1) ditegaskan
Peninjauan Kembali.
d. Mengirimkan salinan permohonan kepada pihak lawan. Hal ini diatur dalam
Pasal 72, dan tata cara ini baru dapat dilaksanakan panitera setelah pemohon
permohonan kepada pihak lawan menurut Pasal 72 ayat (1) adalah wajib
e. Jawaban.
Peninjauan Kembali.
f. Pengiriman berkas perkara. Dalam Pasal 72 ayat (3) diatur sebagai berikut:
secara lengkap.
2. Biaya perkara.
hari.
bahwa yang dimaksud dengan 30 hari disini adalah 30 hari dari tanggal habisnya
Mahkamah Agung, dan KUHP yang semuanya itu adalah ruang lingkup hukum
signifikan dalam mencermati upaya hukum dalam kajian fikih secara sistematis.
Hal ini dikarenakan upaya hukum merupakan bagian dari Hukum Acara (al-Hukm
Dengan demikian, Hukum Acara mesti selalu berkembang secara dinamis sesuai
konteks historis hukum Islam bukanlah merupakan lembaga yang langsung jadi
Dapat dipahami bahwa eksistensi dari peradilan itu baru kelihatan ketika
Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Di Madinah umat Islam telah memiliki
kedudukan yang baik dan merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Hal
ini sulit mereka dapatkan di Makkah karena mereka terus menerus diteror oleh
kaum musyrikin. Rasulullah SAW sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang
143
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), hal.
88
85
dengan sangat sederhana dan belum mengenal upaya hukum baik secara teori
maupun secara praktek. Oleh karena itu seorang penulis (Martin Sophiro)
peradilan Islam tidak mengenal adanya upaya hukum, karena menurutnya putusan
dilihat kasus peradilan yang ditangani oleh Ali bin Abi Thalib pada zaman
Rasulullah SAW secara sekilas sepertinya ada isyarat upaya hukum yang dapat dari
kasus tersebut. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Salam
اقضى بينكم فان رضيتم فهوا لقضاء وإَل حجزت بعضكم عن بعض حىت تأتوا رسول اهلل
ليقضى بينكم فلما قضى بينهم أبوان يرتاضوا واتوا اىل رسول اهلل ايام اْلج و هو عند مقام ابراهيم
145
و قضى عليه ما حدث فأجر قضاء على و قال هو ماقضى بينكم
Artinya: “Aku akan putuskan hukum di antara kamu kemudian kalau kamu telah menerima
(keputusanku itu) maka laksanakanlah, tetapi kalau kamu tidak mau
menerimanya, maka aku cegah sebagian kamu dari sebagian yang lain (berbuat
sesuatu), sampai kamu sendiri menghadap kepada Rasulullah saw agar ia
memutus di antara kamu. Lalu setelah Ali memutuskan hukum di antara mereka
itu, maka mereka menolak dan tidak mau menerima keputusannya, dan pergilah
mereka menghadap Rasul saw pada musim haji sedang beliau berada di maqam
Ibrahim dan berceritalah mereka kepada beliau tentang apa yang telah terjadi.
Kemudian Nabi saw membenarkan keputusan Ali dan bersabda: itulah apa yang
telah ia putuskan di antara kamu.”
144
M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993), hal. 31
145
Muhammad Salam Madkur, al Qadha’ fi al Islam, (Kairo: Dar al- Nahdhah al-Arabiyah,
1964), hal. 23
86
telah dikenal adanya peninjauan ulang terhadap suatu keputusan hukum yang telah
dijatuhkan dan hal itu secara praktis dilakukannya, karena apa yang terjadi itu
hadapan pengadilan yang lebih tinggi, sehingga ditinjau kembali perkara itu,
kemudian keputusan itu ada kemungkinan akan dibatalkan, atau dikukuhkan, atau
Ketika perkara tersebut diajukan oleh para pihak yang merasa tidak puas
terhadap keputusan Ali kepada Rasul SAW, lalu beliau menjawab “itulah apa yang
keputusan hukum dari qadhi pada pengadilan tingkat rendah ke pengadilan yang
lebih tinggi.147 Dengan demikian, menurut penulis secara sederhana upaya hukum
telah ada pada masa Rasulullah SAW dengan melihat pernyataan Ali menyuruh
para pihak untuk menghadap sendiri kepada Rasulullah SAW apabila keputusan
yang ditetapkan olehnya tidak memuaskan para pihak, dan Rasul membenarkan
putusan itu.
pertama Abu Bakar ash Shiddiq. Pada masa khalifah kekuasaan peradilan berada di
67
Muhammad Salam Madkur, al Qadha’ fi al Islam,..., hal. 23
68
Muhammad Salam Madkur, al Qadha’ fi al Islam,..., hal. 23
87
tangan khalifah dan pada masa itu khalifah Abu Bakar belum mengangkat hakim
khusus selain dari khalifah. Hal ini berlanjut sampai kepada awal pemerintahan
Umar bin Khattab.148 Pada masa khalifah Umar diberlakukan pemisahan antara
hakim di setiap wilayah. Beliau mengangkat Abu Darda’ sebagai hakim kota
Madinah, Syuraih bin Rais bin Abi al-Ash di Mesir dan Abu Musa al-Asy’ari untuk
hakim Kufah.149
Ketika Umar bin Khaththab menunjuk Abu Musa al-Asy’ari beliau telah
menulis surat yang terkenal berisikan hukum acara peradilan Islam untuk dapat
dipedomani ketika itu sebagai pedoman pelaksanaan peradilan, surat itu bunyinya
adalah:
69
Athiyah Musthafa Musyrifah, al Qadha’ fi al Islam, (t.t.: Syariqah al-Syarqawi al
Ausath), hal. 93
70
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Penerjemah Ahmadie, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hal. 267
88
وَل مينعك من قض اء قض يته اليوم فراجعت فيه لرأيك وهديت فيه لرش دك أن تراجع اْلق
، ْلن اْلق ق دمي َل يبط ل اْلق ش ىء ومراجع ة اْلق خري من التم ادى ىف الب اط ل
واملس لمون عدول بعض هم على بعض ىف الش هادة إَل جملودا ىف حد أو جمربا عليه ش هادة
الزور أو ظنينا ىف وَلء أو قرابة فإن اهلل توىل من العباد الس رائر وس رت عليهم اْلدود إَل
مث قايس، مث الفهم الفهم فيما أدىل إليك مما ليس ىف قرآن وَل س نة، بالبينات واْلميان
مث اعمد إىل أحبها إىل اهلل فيما ترى وأشبهها، اْلمور عند ذلك واعرف اْلمثال واْلشباه
، باْلق
وإياك والغض ب والقلق والض جر والتأذى بالناس عند اخلص ومة والتنكر فإن القض اء ىف
مواطن اْلق يوجب اهلل له اْلجر وُيس ن له الذخر فمن خلص ت نيته ىف اْلق ولو كان
ومن تزين ْلم ِبا ليس ىف قلبه ش انه اهلل فإن اهلل، على نفس ه كفاه اهلل ما بينه وبْي الناس
َل يقبل من العباد إَل ما كان له خالصا وما ظنك بثواب اهلل ىف عاجل رزقه وخزائن رمحته
150
والسَلم
Artinya:”Amma ba’du, sesungguhnya peradilan itu adalah fardhu (kewajiban)
yang sangat ditekankan dan Sunnah yang harus diikuti.
Bukti itu wajib atas penggugat (pihak pendakwa), sementara sumpah itu
wajib diberikan oleh pihak yang menolak dakwaan (tergugat).
Perdamaian di kalangan umat Islam dibolehkan selama perdamaian
tersebut tidak menghalalkan perkara yang haram, atau mengharamkan
yang halal.
Jauhilah dirimu dari emosi, pikiran yang kacau, rasa jemu, menyakiti
orang yang berperkara, dan bersikap keras pada waktu menghampiri
mereka. Sesungguhnya memutuskan perkara di tempat yang benar akan
mendapat pahala dari Allah dan selalu dikenang. Barang siapa yang
niatnya tulus dalam kebenaran, walaupun merugikan dirinya sendiri,
maka Allah akan memberikan kecukupan. Dan barang siapa yang
berlagak memiliki keahlian yang tidak ada pada dirinya, maka Allah akan
mempermalukannya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima
amal dari hamba-Nya melainkan amal yang ikhlas. Maka ingatlah pahala
dari Allah, rezeki dan rahmat-Nya. Wassalam.”
Pada salah satu point di dalam surat Umar bin Khaththab kepada Abu
keputusanmu yang telah kamu tetapkan hari ini, kamu dapat merevisi (melakukan
peninjauan kembali) terhadap keputusan yang telah kamu ambil, apabila kamu
sesungguhnya kebenaran itu harus didahulukan dan tidak dapat dibatalkan oleh
apapun dan kembali keoada kebenaran lebih baik daripada bergelimang pada
kebatilan.”
sudah ditegaskan oleh Umar untuk meninjau kembali suatu keputusan yang telah
dijatuhkan guna mencari suatu kebenaran yang mungkin saja terungkap belakangan
dari penyelesaian suatu kasus, walaupun hanya ditujukan kepada Abu Musa al-
mengindikasikan bahwa upaya hukum diberlakukan ketika itu, yakni adanya upaya
peninjauan kembali pada masa ini tidak sama maksudnya dengan upaya hukum
peninjauan kembali pada masa sekarang sehingga tidak dapat dijadikan sebagai
dasar upaya hukum, karena upaya hukum adalah datangnya dari pihak-pihak yang
berperkara.
Di sisi lain, menurut penulis kalaulah hal itu dianggap orang sebagai
bentuk dan ide upaya hukum, kenyataannya jauh berbeda dengan makna upaya
hukum yang sesungguhnya, karena bentuk dan mekanisme upaya hukum itu adalah
peninjauan keputusan oleh hakim lain dalam hal ini adalah hakim tingkat banding
bukan oleh hakim yang memutus, sedangkan isi surat Umar itu adalah ditujukan
kepada hakim yang memutus meninjau kembali keputusan yang dijatuhkan sendiri.
91
dipisahkan dari kekuasaan politik. Ada dua ciri khas bentuk peradilan pada masa
1. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak
ada nash atau ijma’. Ketika itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi
keputusan-keputusan hakim. Pada waktu itu hakim hanya berpedoman kepada al-Qur’an
dan Sunnah.
2. Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim memiliki
Keputusan mereka tidak hanya berlaku pada rakyat biasa, tetapi juga pada penguasa-
penguasa sendiri. Dalam hal itu, khalifah selalu mengawasi gerak gerik hakim dan
tiga wilayah:
pelanggaran moral yang berfungsi untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar,
151
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 79
92
yang tidak dapat diselesaikan oleh al-qadhi dan oleh al-muhtasib, petugasnya
dan teknis pengajuan perkara adalah dengan cara, mula-mula diajukan kepada
qadhi, lalu ditelitinya, kemudian kedua pihak yang berperkara ke muka sidang, lalu
qadhi menyampaikan putusannya. Dalam pada itu hakim Mesir di masa Muawiyah
yang bernama Salim ibn ‘Adz merasa perlu meregistrasikan keputusan yang telah
diputuskan, karena suatu ketika terjadi sengketa harta pusaka yang telah
mengingkari keputusan itu dan saling berselisih tentang keputusan itu. Kemudian
mereka mengulangi mengajukan perkara tersebut, lalu diputus, dan dicatat serta
hakim yang mencatat putusannya serta dibukukan adalah hakim Mesir di masa
pemerintahan Mu’awiyah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa peradilan pada masa Dinasti Bani
Umayyah telah berkembang, dilihat dari lembaga peradilan yang telah terstruktur
73
Rahmiati, Peradilan Islam, (Bukittinggi: STAIN Press,2004), Cet. ke-1, hal. 66
153
Rahmiati, Peradilan Islam,.., hal. 66
93
dan berdiri secara independent, yang mana dalam hal ini khalifah tidak lagi turut
hakim dalam memutuskan perkara. Selain itu, pada masa ini telah diberlakukan
yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum yang mana pada masa sebelumnya
(Khulafa ar Rasyiddin) tidak memberlakukan hal yang demikian. Hanya saja dalam
dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan
penguasa di dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw.
kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H/
750 M sampai dengan 656 H/1258 M.154 Dalam sejarah dinasti Bani Abbasiyah ini
dikenal dengan the golden age of Islam, yaitu zaman keemasan Islam. Kejayaan
sarana peradilan, akan tetapi sudah mulai disusun hukum materiil yang akan
digunakan oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusannya. Selain itu pada
75
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal.
49
94
yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim, penyusun kitab al-Kharraj.
Hal ini terjadi pada masa Harun al-Rasyid yang memang sangat memuliakan Abu
qadhi-qadhi, serta meninjau keputusan yang mereka keluarkan. Setelah beberapa daerah
memisahkan diri dari pusat pemerintahan di Baghdad, maka masing-masing daerah itu
ditemukan langkah upaya hukum dalam masa ini. Hal ini dapat dilihat dengan
dibentuknya jabatan Qadhi al Qudhah yang salah satu tugasnya yaitu meninjau
kembali keputusan yang dikeluarkan oleh para hakim pada masa itu. Dengan
sebelumnya.
bangsa Mongol dan Tartar, boleh dikatakan tidak ada lagi kerajaan Islam yang besar
dan dapat menjadi tumpuan harapan dunia Islam. Negeri-negeri Islam terpecah
76
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 121
77
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hal. 24
78
Muhammad Salam Madkur, al Qadha’ fi al Islam,..., hal.31
95
belah, tetapi dengan timbulnya kerajaan Usmani atau Daulat Usmaniyah, dapatlah
Pendiri kerajaan ini adalah Bangsa Turki dari kabilah Uqhuz yang mendiami
daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan
atau kesepuluh ketika mereka menetap di Asia Tengah. Pada abad ke 13 M mereka
melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara
mereka, orang-orang Turki Saljuk, di dataran tinggi Asia Kecil.159 Di bawah pimpinan
Ertoghrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Saljuk yang
kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin
mendapat kemenangan dan menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan
dengan Bizantium.160
putranya Usman. Putera Ertoghrul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan
Usmani. Pada tahun 1300 M bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan
beberapa kerajaan kecil. Usman menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas
79
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 73
80
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,..., hal. 130
81
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 74
82
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 74
83
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,..., hal. 84
96
Turki Usmani berkembang selama lebih kurang enam abad, dalamwaktu yang
cukup panjang tersebut berproses dengan dinamika yang membawa perubahan baru, baik
dalam masalah pemerintahan maupun dalam mengakhiri kekacauan dalam bidang hukum.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga
kepemimpinan. Untuk mengetahui beberapa fase yang dilalui oleh kerajaan Turki Usmani
a. Fase pertama (1299-1402 M), masa Usman I sampai Bayazid I, merupakan awal
masa kembalinya kekuasaan dari tangan Timur Lenk hingga mencapai puncak
kejayaan.
c. Fase ketiga(1566-1703 M), masa Sultan Salim sampai Mustafa II, ditandai
musuh.
d. Fase keempat (1703-1839 M), masa Ahmad III sampai Mahmud II, merupakan
e. Fase kelima (1839-1922 M), masa Abdul Majid I sampai Muhammad VI,
Sehubungan dengan masalah qadha pada masa Turki Usmani ini pertama
kali adanya kodifikasi hukum dalam bidang mu’amalat dan masalah perkawinan.
abad ke sembilan belas yaitu Sultan Abdul Majid (1299-1939 M) selama tiga
setengah abad. Secara umum kondisi peradilan sesuai dengan syari’at hingga
163
Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, (Padang: IAIN Press, 2000), hal. 69
98
adalah Mazhab Hanafi, sehingga para qadhi utama harus ulama yang bermazhab
Hanafi.
Tanzimat berasal dari kata Nazhama, yang berarti mengatur, menyusun dan
hukum, peradilan, kebudayaan, pendidikan dan sebagainya. Di zaman itu banyak diadakan
Fase ini berawal dari abad kesembilan belas sampai akhir Perang Dunia I yang
ditandai dengan pemisahan negara-negara Arab dari Turki Usmani dan Munculnya Kamal
at Taturk yang menghapus kekhalifahan tersebut. Pada fase ini terjadi dualisme peradilan
yang menetapkan syari’at dan memasukkan sistem dan perundang-undangan asing dalam
164
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 150
165
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 79
166
Muhammad al-Zuhaili, Tarikh Qadha fi al Islam, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1995), hal.
440
99
orang non Islam dan melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh para fuqaha,
sumber hukum tidak hanya syari’at Islam, tetapi memiliki sumber hukum yang
berbeda, yaitu:
5. Majlis al-Syar’i mengadili perkara kaum muslimin khusus masalah keluarga (al-
167
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,..., hal.
28
168
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal.156
100
mazhab lain yang lebih sesuai dengan kondisi saat itu. Maka ditunjuklah tujuh
ulama fikih untuk membuat undang-undang perdata Islam, yang tidak mengandung
ikhtilaf, memuat pendapat yang lebih rajih dan mudah untuk dipelajari. Ulama ini
melaksanakannya.169
ide taqnin (kodifikasi) yang muncul pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-
Manshur ketika Daulah Abbasyiyah, atas inisiatif Ibnu Muqaffa’. Ide ini belum
terwujud karena penolakan dari para ulama seperti Imam Malik dengan alasan
bahwa perbedaan pendapat ulama dalam soal furu’ merupakan suatu hal yang
positif.
secara baik sejak masa Turki Usmani yang dibuktikan dengan adanya lembaga
banding dan lembaga kasasi, karena sudah merupakan kebutuhan hukum dan
keadilan.
169
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 157
BAB IV
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hal yang prinsip dalam peradilan
adalah suatu putusan itu harus dapat menyelesaikan sengketa dan menimbulkan
ketentraman bagi masyarakat, karena itulah yang diartikan dengan keadilan di dalam proses
pengadilan.
perintah kepada manusia terutama kepada para perangkat hukum dan misi para Nabi,
sehingga dalam berbagai ayat al-Qur’an Allah memerintahkan manusia untuk bersikap dan
berlaku adil sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 90:
ان َوإِيتَ ِاء ِذي الْ ُق ْرَىب َويَْن َهى َع ِن الْ َف ْح َش ِاء َوالْ ُمْن َك ِر َوالْبَ ْغ ِي
ِ اإلحسِ ِ ِ َّ ِ
َ ْ ْ إ َّن اللهَ يَأْ ُم ُر بالْ َع ْدل َو
)٩٠: ١٦/ يَعِظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرو َن (النحل
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.” (QS. 16. An-Nahl:90)
memperjelas dan mendorong supaya cita-cita keadilan itu berlaku secara aplikatif dalam
hukumnya adalah wajib sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 58
101
102
Surah an-Nisa’ ayat 58 diturunkan untuk para pemimpin yakni agar mereka
senantiasa berlaku amanah kepada yang berhak menerimanya dan bila mereka
menjatuhkan hukuman antar sesama manusia agar mereka berlaku adil. Sedangkan ayat 59
ditujukan kepada rakyat, mereka wajib menaati pemimpin yang bertindak adil dalam
memerintahkan perbuatan maksiat karena sekali-kali tidak boleh taat kepada makhluk
pada prinsipnya adalah tugas khalifah atau ulil amri namun tugas itu dipercayakan kepada
orang lain karena kesibukan dengan urusan umum dan tugas-tugas jihad, oleh karena itu
mereka mewakilkan sendiri kepada orang yang dianggap mampu untuk melaksanakan
jabatan hakim.171 Hal ini merupakan pemaduan dua elemen kekuasaan pemerintahan dan
menyampaikan kepada yang berhak menerimanya adalah tugas pemimpin yang meliputi
Perangkat yang diserahi tugas peradilan untuk mewujudkan keadilan itu bertugas
menyampaikan hak kepada yang berhak menerimanya sedangkan mereka itu adalah
manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan dalam arti kesalahan pada
putusan-putusan yang dijatuhkan oleh hakim itu selalu ada sehingga perlu adanya suatu
Untuk peninjauan putusan itu adakalanya dengan cara membatalkan putusan yang tidak benar dalam
penerapan hukum formil dan materil, kemudian diganti dengan putusan yang benar. Jika putusan itu ternyata telah
benar, maka ditetapkan sebagaimana adanya dalam arti dikukuhkan dan adakalanya dengan mengoreksi keputusan
Namun ketika berbicara mengenai dasar hukum berlakunya upaya hukum, tidak ada nash
yang tegas untuk menyuruh ataupun membolehkannnya. Hal ini akan mengundang sikap pro dan
kontra di kalangan praktisi hukum seperti pendapat Martin Sophiro yang dikutip oleh Yahya Harahap
“bahwa dalam struktur peradilan Islam tidak mengenal adanya upaya hukum, karena menurutnya
Di samping Martin Sophiro ada lagi yang menganggap bahwa putusan hukum itu
adalah merupakan hasil suatu ijtihad. Konsekuensinya hasil suatu ijtihad tidak dapat
171
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Penerjemah Ahmadi Thaha, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hal. 266
172
M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993), hal. 31
104
173
اإلجتهاد َل ينقض باإلجتهاد
Artinya: “Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad”
Di samping tidak ada nash yang tegas tentang menyuruh/ membolehkan upaya
hukum, juga tidak terdapat nash yang tegas tentang larangan atau yang tidak
manusia semakin kompleks sementara kemajuan ilmu pengetahuan hakim sangat terbatas
Dengan kemungkinan selalu adanya kesalahan-kesalahan seperti itu, upaya hukum sangat
dibutuhkan kendatipun tidak ada dasar hukum berlakunya secara spesifik, namun eksistensinya dapat
mewujudkan keadilan sebagai salah satu bentuk yang dapat memelihara maqashid al-syari’ah karena
pembentukan hukum itu tidak dimaksudkan kecuali merealisir kemaslahatan umat manusia. Artinya
daripadanya. Sehingga para mujtahid dituntut jangan hanya terpaku kepada bentuk formal suatu
persoalan dan bersikap jumud dalam menghadapi berbagai fenomena sosial karena syari’at Islam
didasarkan atas pondasi kemaslahatan bagi seluruh manusia baik di dunia maupun di akhirat.174
Bertitik tolak dari asas manfaat yang disebutkan itu dapat dipahami bahwa upaya
hukum itu berkaitan erat dengan mashalih al-mursalah yang mengkaji tentang asas manfaat
di dalam mewujudkan maqasid al-syari’ah. Tujuan dari upaya hukum itu adalah
mewujudkan mashlahah umat sehingga dengan demikian upaya hukum menjadi bagian
yang penting dalam kehidupan. Alasannya adalah apabila kebenaran formil tidak dapat
173
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), Cet.
ke-1, hal. 105
174
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam Muwaqqi’in, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), Jilid III, hal.
175
105
diwujudkan maka kebenaran materilpun tidak bisa diterapkan karena antara hukum formil
dan materil adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dengan adanya asas manfaat dan mashlahah upaya hukum itu, maka dasar
hukumnya dapat dirujuk dari dasar-dasar hukum mashlahah dalam kajian fikih seperti
berikut ini:
sebagai berikut:
175
املصلحة الىت مل يشرح الشارع حكما لتحقيقها و مل يدل شرعى اعتبارها او الفائها
Kemaslahatan suatu yang tidak ditetapkan oleh syara’ tentang hukum untuk
mewujudkannya dan tidak pula terdapat dalil syara’ yang meriwayatkan untuk
memperhatikannya atau mengabaikannya.
املصلحة الىت مل يشهد ْلا نص معْي و لكنها مَلئمة لتصرفات الشرع و مأخذ معناه من
176
ادلة
Kemaslahatan yang tidak didukung oleh nash secara spesifik tapi manfaat itu
mempunyai keterkaitan dengan tujuan syara’ yang diambil dari logika dalil.
Ketiadaan nash yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah bermaksud untuk
membedakannya dengan qiyas yang mengharuskan adanya ashl (hukum asal berdasarkan
dalil nash) dan furu’ (maslahah yang belum ada ketentuan hukumnya).177 Berarti ketiadaan
nash di sini dipahami sebagai ketiadaan nash yang menunjuk secara langsung, karena teori
al-maslahat al-mursalah sangat terikat dengan konsep bahwa syari’ah ditujukan untuk
175
Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah,
1990), hal. 84
176
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2004), hal. 39
177
Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,..., hal. 60
106
Teori maslahat ini sangat tepat jika dihubungkan dengan upaya hukum yang
terikat dengan konsep bahwa syari’ah ditujukan untuk kepentingan umum dan mashlahat
daripadanya.
diungkapkan oleh al-Ghazali adalah segala maksud (objek) hukum syara’ yang meliputi
lima hal yaitu pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Segala
sesuatu yang menjamin lima hal tersebut adalah mashlahat sedangkan yang menghilangkan
Dalam hal ini upaya hukum sebagai salah satu objek mashlahah yang melindungi
agama, jiwa, keturunan dan harta yang kebaikannya akan muncul dalam merealisasikan
yang diakui oleh syari’at secara umum meskipun tidak ada dalil yang secara tegas dan
spesifik untuk itu. Pengakuan syari’at ini dapat diketahui dengan indikasi adanya
dunia maupun di akhirat. Wujud dari indikasi adanya keserasian dan keharmonisan di
dalam upaya hukum adalah melindungi kehidupan manusia di dalam memelihara hak asasi
dan hak-hak kebendaan dari kelalaian dan kekhilafan hakim yang mengadili.
178
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet, ke-5, hal. 346
107
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa upaya hukum merupakan tuntutan dan
keinginan nurani manusia di dalam membela haknya, oleh karena itu upaya hukum relevan
dengan ajaran Islam karena memiliki tujuan yang sama yaitu memelihara hak seseorang.
Upaya hukum merupakan bahagian dari keadilan, oleh karena itu eksistensinya perlu
dipertahankan karena mengandung salah satu ajaran Islam dan dijadikan sebagai
179
اْلاجة تنزل منزلة الضرورة عامةكانت او خاصة
Artinya: “Kebutuhan itu ditempatkan pada tempat darurat baik kebutuhan itu umum
ataupun khusus.”
sebagai kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kerugian ataupun
kerusakan yang menyangkut dengan kemashlahatan umum atau kehidupan orang banyak.
Kemashlahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang tetapi bisa
membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena
Berdasarkan uraian di atas bahwa hukum menerapkan upaya hukum itu menjadi
mubah (boleh) bila dikaitkan dengan kebutuhan dan hajat manusia karena ditopang oleh
kemashlahatan guna mewujudkan keadilan. Karena keadilan itu bagian dari agama. Lebih
181
فأي طريق استخرج هبا العدل والقسط فهي من الدين وليست خمالفة له
Artinya: “Metode apapun yang dapat mewujudkan keadilan, maka metode itu merupakan
bagian dari agama, bukan (yang seperti itu) dikatakan menentang agama.”
179
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah,..., hal. 79
180
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hal. 116
181
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Mesir:
Mathba’ah al-Madany, 1985), hal. 17
108
Sehingga dalam konteks ini upaya hukum harus menjadi bagian penting dalam usaha
dari pihak yang berperkara terhadap putusan atau penetapan yang telah ditetapkan oleh
hakim, sehingga perlu ditinjau ulang kembali. Apabila suatu putusan telah final dalam arti
putusan itu telah dilaksanakan oleh masing-masing pihak, tetapi ternyata kemudian terlihat
kesalahannya oleh pihak tergugat misalnya penggugat memalsukan alat bukti maka ganti
rugi akibat pemalsuan itu dibebankan kepada pihak-pihak penggugat yang dimenangkan
dalam perkara itu dan kalau putusan itu adalah putusan hukuman qishash maka kepada
Kemudian selanjutnya bagi pihak yang kontra dengan pendapat ini yang
mengatakan bahwa putusan dalam peradilan Islam itu merupakan putusan yang final yang
siap untuk dieksekusi atau dijalankan. Hal ini adalah biasa dan lumrah terjadi karena
oleh kepercayaan dan rasa simpatik terhadap muru’ah ulama. Mereka memandang bahwa
ulama itu adalah wakil para Nabi dengan semboyan “al-‘ulama waratsatu al-anbiya’”.
Prediket ini bagi mereka tidak perlu dicurigai kekuasaannya sehingga apa-apa yang
diputuskan oleh hakim yang berprediket ulama mujtahid merupakan keputusan sempurna
182
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nahdhah al
‘Arabiyyah, 1964), hal. 57
183
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam,..., hal. 61
109
Di awal-awal Islam barangkali bisa terjadi dualisme putusan dalam perkara yang
sama karena ketidakpuasan pihak-pihak dengan hasil putusan yang diputus oleh hakim
pertama, lalu dia mengajukan lagi perkara yang sama kepada hakim lain dengan putusan
yang berbeda dengan putusan hakim yang pertama, hal ini tidak menimbulkan masalah
karena sama-sama putusan hakim karena tidak saling membatalkan. Namun setelah Islam
mulai berkembang apalagi di zaman sekarang administrasi sudah cukup baik, hal seperti
itu tidak mungkin terjadi lagi karena wilayah hukum masing-masing pengadilan
(yurisprudensinya) telah ditata sehingga tidak mungkin terjadi tumpang tindih kekuasaan,
dan bila terjadi juga maka berlakulah hukum nebis in idem yaitu putusan kedua harus
mengikuti putusan pertama apabila diajukan berdasarkan alasan yang sama pula.
menerima upaya hukum itu adalah : pertama, putusan tersebut telah final karena diputus
oleh ulama mujtahid. Kedua, ulama mujtahid itu adalah orang yang sudah dapat dipercaya
dan tidak perlu dicurigai lagi. Dan alasan yang ketiga keputusan itu adalah hasil ijtihad,
Alasan pertama, putusan hakim itu sudah final, hal ini dapat diakui dan diterima
kebenarannya bilamana pihak-pihak yang berperkara sudah merasa puas dengan hasil
keputusan itu karena telah menyentuh rasa keadilan. Puas di sini dapat diartikan bahwa
pihak-pihak tidak merasa dirugikan berarti hakim telah memberikan hak kepada yang
berhak menerimanya sehingga putusan dapat dijalankan dengan baik. Akan tetapi lain
halnya jika salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak dapat menerima isi putusan hakim
tersebut karena merasa haknya dirugikan dalam arti putusan hakim belum lagi memberikan
hak kepada yang berhak menerimanya. Dalam hal ini putusan itu belum lagi menyentuh
rasa keadilan, maka dalam kondisi seperti ini putusan itu belum lagi dapat diartikan sebagai
110
putusan yang final karena mengingat masih ada proses berikutnya dalam rangka menuntut
haknya yaitu keadilan. Menuntut hak inilah yang dinamakan upaya hukum.
Bagaimanapun juga memaksakan diri untuk dapat menerima suatu putusan hakim
karena itu dianggap sudah final maka akan memunculkan persoalan batin bagi para pihak,
yang cepat atau lambat akan muncul ke permukaan apalagi kalau ditemukan bukti-bukti
baru yang melemahkan suatu keputusan karena yang memutus itu tetap manusia biasa yang
tidak luput dari kesalahan, kekhilafan dan kekeliruan di dalam menetapkan hukum.
Islam memang hakim itu disyaratkan ulama mujtahid, tetapi setelah umat Islam
berkembang apalagi dengan telah menyebarnya penduduk, syarat itu tidak terpenuhi lagi
sesuai kebutuhan. Di samping itu ulama mujtahid sudah semakin langka sementara laju
perkembangan penduduk Islam sudah pesat sehingga untuk menempatkan ulama mujtahid
Andaikata ulama mujtahid cukup banyak dan dapat ditempatkan di seluruh posisi
peradilan namun dengan kemujtahidannya itu bukanlah suatu jaminan pasti ia tahu semua
persoalan keadilan dan tidak tertutup kemungkinan ditipu oleh alat bukti saksi yang
memalsukan keterangan. Bahkan sekarang ini demi memenuhi kepentingan dunia orang
meloloskan kehendak dan keinginan menangnya di pengadilan. Dan tidak sedikit para
pihak melakukan praktik suap kepada hakim agar dapat memutarbalikkan fakta sehingga
Alasan ketiga adalah keputusan pengadilan itu adalah merupakan hasil suatu
ijtihad, sehingga hasil ijtihad tidak dapat membatalkan hasil ijtihad yang lain, sebagaimana
184
اإلجتهاد َل ينقض با إلجتهاد
Artinya: “Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad .”
Penerapan kaidah ini pada prinsipnya adalah seorang mujtahid berijtihad tentang
suatu masalah hukum, kemudian mujtahid lain melakukan ijtihad terhadap kasus yang
sama, maka hasil ijtihad yang pertama sebagaimana halnya ijtihad yang dilakukan orang
lain terhadap masalah itu tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang kedua. Sebab ijtihad
yang kedua itu tidak dianggap lebih kuat daripada ijtihad yang pertama.185
Dalam membuat kaidah ini para ulama mengambil sumber dari ijma’ al- Sahabat.
Mereka merumuskan berdasarkan suatu peristiwa sejarah Abu Bakar yang pernah
memberikan keputusan hukum pada beberapa masalah yang kemudian diperselisihkan oleh
Umar, tetapi beliau tidak membatalkan keputusan Abu Bakar tersebut dan tetap
mengakuinya. Misal dalam memberikan sanksi kepada tawanan perang Badar, Abu Bakar
mengambil keputusan agar membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin Khattab agar
mereka mengambil tindakan keras yaitu dihabisi nyawanya. Ijtihad Umar ini setelah
mendapat penguat (dibenarkan wahyu), surat al-Anfal ayat 67 maka dijalankan tanpa
Konsep di atas menurut penulis tidak relevan dengan konteks upaya hukum karena produk
hukum yang dihasilkan oleh hakim saat ini bukanlah suatu ijtihad akan tetapi adalah putusan pengadilan
yang tidak tertutup kemungkinan salah dan keliru di dalam menetapkan atau menjatuhkan hukum.
Walaupun pada dasarnya atau hukum asal upaya hukum itu merupakan hal yang mubah
karena tidak ada dalil secara khusus atau spesifik untuk menyuruh dan begitu pula melarangnya, tetapi
merupakan hajat dan kepentingan yang didasari oleh maslahat, maka ketika itu mashlahat wajib
184
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah,..., hal. 105
185
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah,..., hal. 106
186
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah,..., hal.108
112
diwujudkan karena bila tidak dilakukan maka sudah barang tentu mafsadat akan timbul bagi seseorang
yang tidak diperlakukan secara adil. Hal ini sejalan dengan ungkapan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
sebagai berikut:
واهلل سبحانه، فثم شرع اهلل ودينه، فإذا ظهرت أمارات العدل وأسفر وجهه بأي طريق كان
مث ينفي ما هو، وأعدل أن خيص طرق العدل وأماراته وأعَلمه بشيء، أعلم وأحكم
وَل ُيكم عند وجودها وقيامها، فَل َيعله منها. وأبْي أمارة، أظهر منها وأقوى دَللة
187
ِبوجبها
Apabila terlihat indikator keadilan dalam bentuk atau cara apapun maka di
sanalah hukum dan agama Allah. Allah lebih bijaksana dan lebih adil dalam
menentukan bentuk, tanda dan indikator keadilan tetapi tidak dizhahirkan
padahal itu yang lebih kuat dilalahnya dan lebih jelas indikatornya namun tidak
mewujudkan keadilan melalui cara itu dan tidak menjadikan cara itu dalam
menetapkan hukum.
Berdasarkan uraian di atas, akan memperkuat posisi dan kedudukan upaya hukum
sebagai salah satu cara yang penting, diperhitungkan dalam menegakkan hukum dan
keadilan serta menghilangkan kesamaran dan rasa keragu-raguan dalam menerima dan
menerapkan upaya hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perwujudan
keadilan. Keadilan di dalam Islam bukanlah sekedar teori-teori mati tetapi telah terbukti
Secara logika keadilan yang terdapat dalam berbagai produk hukum Islam bisa
dinalar, misalnya dengan argumentasi dari sudut hikmah al-tasyri’, maqashid al-syari’ah
dan bukti konkrit efektifitas penerapan hukum tersebut adalah untuk ketentraman
187
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah,..., hal.
17
113
Keadilan dapat diwujudkan oleh suatu cara atau teori yang bernama upaya hukum
yang pada dasarnya adalah suatu upaya dan usaha untuk memperoleh kekuatan hukum yang
tingkat terakhir. Sampai sejauh ini upaya hukum masih ada di dalam mewujudkan keadilan
yang merupakan hak bagi para pencari keadilan yang harus dikembalikan kepada yang
berhak menerimanya.
Upaya hukum tidak mutlak dapat menjamin tegaknya keadilan, tetapi pada
prinsipnya mampu memenuhi rasa keadilan para pihak yang berperkara. Selain itu, lebih
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengambil suatu keputusan hukum dalam rangka
Persoalan dan wacana keadilan menempati posisi yang sangat penting dalam
keseluruhan sistem Islam dan hukum. Penting bukan hanya karena ia merupakan tuntutan
kewajiban dari Allah saja untuk setiap individu, tetapi juga karena di dalam keadilan itu
terdapat nilai positif yang membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia adalah salah satu institusi Islam yang
memiliki berbagai landasan yang sangat kuat. Secara filosofis Peradilan Agama dibentuk
dan dikembangkan untuk memenuhi tuntutan penegakan hukum dan keadilan Allah dalam
pergaulan hidup masyarakat. Secara yuridis Peradilan Agama mengacu kepada konstitusi
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, di samping itu merupakan bagian dari
supra struktur politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara historis
merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam yang berkembang secara
114
berkesinambungan sejak masa Rasulullah SAW hingga kini. Secara sosiologis didukung
perkembangan dalam rentang waktu yang sangat panjang telah mampu menunjukkan
bahwa hukum Islam merupakan salah satu bagian dari hukum yang berlaku di Indonesia.
Peradilan Agama diyakini telah berproses di Indonesia sejak Islam memasuki bumi
Nusantara, hal ini dibuktikan dengan adanya kerajaan Islam di Indonesia dan
berkembangnya Islam secara kaffah, dan pada saat itu pelaksanaan peradilan dilakukan
dalam tiga bentuk yaitu tauliyah (pelimpahan wewenang), tauliyah dari Ahlu al-Halli wal
pemerintah kolonial Belanda melalui Staatblad 1882 Nomor 152. Hal ini dilandasi oleh
pendapat ahli hukum Belanda sendiri bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang
Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka yakni Hukum Islam, yang dikenal
dengan Teori Receptio In Complexu yang dicetuskan oleh L.W.C. Van Deen Berg.189
Secara Yuridis formal Peradilan Agama sebagai salah satu Badan Peradilan yang
terkait dengan sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura)
pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini merupakan suatu keputusan Raja Belanda
(Konninklijk Besluit) yakni Raja William III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang
dimuat dalam Staatsblad 1882 Nomor 152. Badan Peradilan ini bernama Priesterraden
188
Rachmat Syafe’i, Yurisprudensi Peradilan Agama dari Pelaksanaan UUPA: Segi
Normatif dalam Kajian Fiqh, Alternatif Penyempurnaan Timbal Balik, dalam 10 Tahun Undang-
Undang Peradilan Agama, (Jakarta: Ditbinbapera dan Fakultas Hukum UI, 1999), hal. 29
189
Rahmiati, Peradilan Islam, (Bukittinggi: STAIN Press,2004), Cet. ke-1, hal. 96
115
yang kemudian lazim disebut dengan Rapat Agama atau Raat Agama dan terakhir dengan
Peradilan Agama.190
Keputusan Raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882 yang dimuat
Staatsblad 1882 Nomor 153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan tanggal kelahiran Badan
Agama sudah diterapkan sejak masa penjajahan Belanda, yaitu dengan didirikannya
Pengadilan Agama Tinggi (Hof Voor Islamic Tische Zaken) atau Mahkamah Islam Tinggi
pada tanggal 1 Januari 1938, yakni suatu majlis Pengadilan Appel yang memeriksa
berdasarkan Staatblad 1937 Nomor 610 yang berlaku untuk di daerah Jawa dan Madura.192
dikarenakan terdapatnya sanggahan dan protes dari masyarakat terhadap Staatblad 1937
Nomor 116. Aturan ini mengatur tentang pembatasan kekuasaan Pengadilan Agama,
terutama pencabutan masalah waris yang menimbulkan perasaan tidak senang di kalangan
Selain di daerah Jawa dan Madura, Pemerintah Hindia Belanda juga membuat
190
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 218
191
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 218
192
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 101
193
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 99
116
sebagian Kalimantan Selatan. Di daerah ini berlaku peraturan pengadilan qadhi yaitu
Kerapatan Qadhi sebagai Pengadilan Agama tingkat pertama, dan Kerapatan Qadhi Besar
sebagai Pengadilan Banding yang termuat dalam Staatblad Nomor 638 dan 639, dengan
susunan dan kekuasaan yang sama dengan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura.
khususnya Peradilan Agama sudah diterapkan sejak masa penjajahan Belanda, yang
pelaksanaan atau sistemnya masih mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Belanda
menurut aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi bila ditinjau dari isi
(substansi) maka pelaksanaan upaya hukum itu juga didasarkan menurut ketentuan hukum Islam. Hal
ini menandakan bahwa sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan Sunnah diakui dipergunakan dalam
menetapkan upaya hukum ketika itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketentuan peradilan Islam juga
menjadi sumber rujukan dalam hukum yang ditetapkan Peradilan Agama di Indonesia.
Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan. Dan kemudian pada tanggal 28 Januari 1980 lahir
tergantung dari segi jenis perkara yang diajukan. Adapun jenis perkara itu terdiri dari 2
194
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 101
117
Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undnag Nomor 3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yaitu “Atas penetapan dan putusan pengadilan Agama dapat dimintakan
Pengecualian yang disebutkan di atas dapat dilihat dari dua kategori. Kategori
pertama perkara yang bersifat finansial sebagaimana diatur dalam Pasal 49 huruf i
Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama mengenai ekonomi syari’ah,
maka perkara yang dapat diajukan banding mengacu kepada nilai standar objek terperkara
Peradilan Ulang di Jawa dan Madura, yaitu tidak boleh kurang dari seratus rupiah. Kategori
kedua adalah bahwa perkara yang dapat diajukan banding adalah perkara contentiosa,
bukan voluntair. Jadi keputusan Pengadilan Agama atas perkara Voluntair yang
Adapun yang termasuk klasifikasi perkara voluntair yang tidak dapat diajukan
perwalian, penetapan asal usul anak dan lain-lain. Jikalau terdapat ketidakpuasan dalam
hasil penetapan yang ditetapkan, maka para pihak dapat menggunakan upaya hukum kasasi
Sementara yang termasuk perkara contensius yang dapat diajukan upaya hukum
banding di antaranya adalah: gugat cerai, cerai talak, sengketa waris, sengketa harta
bersama, izin poligami, sengketa perbankan syari’ah, dan lain-lain. jika putusan yang
118
ditetapkan menurut salah satu pihak belum mencapai keadilan atau mungkin merasa
dirugikan, maka pihak tersebut dapat mengajukan upaya hukum banding terlebih dahulu.
Adapun Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah Hukum Acara
yang berlaku pada Peradilan Umum termasuk mengenai ketentuan dan mekanisme upaya
hukum, karena upaya hukum adalah bagian dari Hukum Acara itu sendiri. Sedangkan
kepentingan terhadap Hukum Acara adalah untuk kepentingan hukum materil karena
sangat relevan dalam memahami upaya hukum dalam Hukum Acara Peradilan Agama.
Sebab upaya hukum sangat erat kaitannya dengan Hukum Acara yang berlaku, khususnya
Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama. Upaya hukum bukanlah merupakan ketentuan
lain yang diatur secara khusus. Sumber Hukum Acara tentang upaya hukum yang berlaku
di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku di Peradilan Umum,
kecuali hal-hal yang telah disebutkan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang terdapat dalam Pasal 54.
dengan kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memuat juga sumber Hukum Acara Perdata
khususnya buku ke-empat tentang pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 sampai
195
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2005), Cet. ke-3, hal. 9
119
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk Golongan Bumi Putra dan
Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan
penambahan ketentuan Hukum Acara ini diubah namanya menjadi Het Herzience
Indonesie Reglement (HIR) atau dikenal juga dengan Reglement Indonesia Diperbaharui
(RIB) yang diberlakukan dengan Staatblad 1848 Nomor 16 dan Staatblad 1941 Nomor
44.196
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk Golongan Bumi Putra dan
Timir Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.
R.Bg ditetapkan berdasarkan Ordonansi tanggal 11 Mei 1927 dan berlaku berdasarkan
Staatblad 1927 tanggal 1 Juli 1927, dikenal juga dengan “Reglement Daerah Seberang”.197
Pada Bab II R.Bg memuat bagian Hukum Acara Perdata yang terdiri dari 7 (tujuh)
Titel, yang masih dipergunakan sebagai Hukum Acara Perdata untuk daerah seberang
adalah Titel IV dan V, sedangkan Titel I, II, III, VI dan VII tidak dipergunakan lagi seiring
Wetbook Van Koophandel (WVK) yang dalam istilah Indonesia disebut dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, juga memuat sumber Hukum Acara Perdata yang
diatur dalam Failissements Verordering. (Aturan Kepailitan) yang diatur dalam Staatblad
196
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 8
197
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 9
198
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 9
120
dengan dihapusnya Raad van Justitie dan Hoogerechtshof. Namun karena hal-hal yang
diatur dalam B.Rv banyak yang masih relevan dengan perkembangan hukum saat ini, dan
untuk mengisi kekosongan hukum maka ketentuan-ketentuan tersebut dalam B.Rv masih
banyak dipakai dalam pelaksanaan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Umum
yang dengan sendirinya berlaku juga di lingkungan Peradilan Agama, seperti tentang
formulasi surat gugatan, perubahan surat gugatan, (upaya hukum) Intervensi dan beberapa
6. Peraturan Perundang-undangan
f. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah
199
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 8
121
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama.
oleh hakim di Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara,
terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab -kitab fikih. 200
Tahun 1957 tentang pembentukan pengadilan luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa
untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara maka para
hakim Pengadilan Agama dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman hukum acara
a. Al Bajuri;
b. Fathul Mu’in;
c. Syarqawi ‘alat-Tahrir;
d. Qalyubi/Mahalli;
f. Tuhfah;
200
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 12
122
g. Targhibul Musytaq;
k. Bughyatul Musytarsyidin;
m. Mughnil Muhtaj;201
Peradilan Agama dapat mempergunakan sebagai rujukan dalam mengambil keputusan. Hal
ini berlaku sampai lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) pada tahun 1991
(Inpres Nomor 1 tahun 1991). Di mana KHI dijadikan pedoman dalam mengadili dan
8. Yurisprudensi
Indonesia perlu ditegaskan bahwa hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi.
Hal ini disebabkan karena negara Indonesia tidak menganut asas “the binding force of
dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus
berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak
sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak ada salahnya untuk
201
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama,..., hal. 7
123
tetap dipakai kalau yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai
Hukum Acara Perdata dan Hukum Perdata Materil dapat dijadikan Hukum Acara dalam
praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim. Surat Edaran
Menurut Sudikno Mertokusumo Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI itu
bukanlah hukum, tetapi merupakan sumber hukum, bukan dalam arti tempat ditemukan
Agama di atas, maka dapat ditegaskan bahwa Hukum Acara yang berlaku di lingkungan
Peradilan Agama bukanlah Hukum Acara yang bersumberkan dari Hukum Islam secara
mutlak, akan tetapi juga berasal dari produk hukum Nasional dan kolonial Belanda. Akan
tetapi ada suatu jaminan bahwa minimal Hukum Acara tersebut tidak akan bertentangan
Dengan demikian, upaya hukum sebagai bagian dari Hukum Acara yang berlaku
di lingkungan Peradilan Agama juga tidak bersumberkan kepada hukum Islam secara
keseluruhan, namun masih mengakomodasi hukum acara lainnya sebagai sumber hukum
202
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 12
203
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 12
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah berlalu, maka pada bab penutup ini
1. Eksistensi upaya hukum dalam perspektif hukum Islam adalah sebuah kebolehan
karena tidak terdapat larangan dan halangan untuk diterapkan sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari kegiatan Peradilan Islam dan umumnya semua
dalam praktek peradilan Islam tidak ditemukan secara eksplisit dan spesifik
Agama Tinggi atau Mahkamah Islam Tinggi yakni suatu majelis Pengadilan
Appel untuk wilayah Jawa dan Madura. Sedangkan untuk wilayah di luar Jawa
dan Madura (seperti Kalimantan Selatan) berlaku Staatblad 1937 Nomor 638
124
125
Nomor 45 Tahun 1957 yaitu pengaturan untuk daerah luar Jawa/Madura dan
hukum di lembaga peradilan lain yang ada di Indonesia ini, hanya saja perkara
B. Saran-saran
1. Lembaga upaya hukum sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan keadilan
keadilan.
3. Kepada badan yudikatif sangat diperlukan adanya itikad baik dan sempurna guna
4. Kepada para kuasa hukum yang berprofesi sebagai pengacara, disarankan agar
para pencari keadilan tidak dijadikan sebagai lahan yang empuk untuk mencari
materi dan keuntungan duniawi semata akan tetapi diharapkan dapat meluruskan
126
suatu kekeliruan, sehingga eksistensi upaya hukum dalam Peradilan Islam yang
sekarang yang telah dikemas dalam Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia
setiap tingkat peradilan guna melancarkan jalannya proses peradilan dan upaya
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2004
al-Jauziy, Ibnu Qaiyim, I’lan al-Muwaqqiin ‘an Rabbi al-‘Alamin, Beirut: Dar al-
Fikr, 1977, juz ke-3
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali Bin Muhammad, Nail al Awthar, t.tp, Iqomah al-
Din, t. th
Ash Shan’any, Muhammad bin Ismail, Subul al-Salam, Bandung : Dahlan, t.th
Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009
Dept. Agama R.I, Metode Peneltian Sejarah, Ter. Manhaj Al-Baht Al Tarihi,
Jakarta: Direktorat Jenderal pembinaan Agama Islam, 1986
Ibn Isya, Abi Isya Muhammad, Syarh al-Turmudzi, al-Jami’ al Shahih wa Huwa
Sunan al-Turmudzi, Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2000
Khallaf, Abd. Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Dakwah al-
Islamiyah, 1990
Moeliono, Anton M. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985
Rasyid , Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta:Rajawali Pers, 2015,
Cet. Ke-16
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2014
Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000