Anda di halaman 1dari 139

UPAYA HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

DAN PENERAPANNYA PADA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Pada Fakultas Syari’ah

Oleh:

FAUZIAH RAHMAH
NIM. 1113.035

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI


FAKULTAS SYARI’AH JURUSAN AL-AHWAL AL SYAKHSIYAH
1438 H / 2017 M

i
ii
iii
ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Upaya Hukum dalam Perspektif Hukum Islam dan
Penerapannya Pada Peradilan Agama di Indonesia. Yang ditulis oleh Fauziah
Rahmah, NIM: 1113.035 pada Fakultas Syari’ah Jurusan Al-Ahwal Al-
Syakhsiyah (Hukum Keluarga Islam). Maksud judul skripsi ini adalah, melihat
keberadaan upaya hukum berdasarkan hukum Islam dan penerapannya di Peradilan
Agama.
Latar belakang penulis melakukan penelitian ini adalah ketika berperkara
di pengadilan, jika suatu putusan atau penetapan telah ditetapkan oleh hakim
adakalanya salah satu pihak merasa putusan atau penetapan itu belum mencapai
titik keadilan atau merasa dirugikan atas putusan atau penetapan yang telah
ditetapkan, maka undang-undang memberikan suatu langkah bagi para pihak
tersebut untuk tidak menerima atau melawan putusan hakim melalui upaya hukum.
Upaya hukum itu ada upaya hukum biasa yaitu verzet, banding, dan kasasi serta
upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Melihat keberadaan dan
penerapan upaya hukum yang ada dilembaga peradilan saat ini, maka timbul
keinginan penulis untuk membahas keberadaan atau eksistensi upaya hukum dalam
perspektif hukum Islam dan penerapannya di lembaga Peradilan Agama
Adapun data untuk bahan dalam penulisan karya ilmiah ini penulis peroleh
dengan metode library research atau penelitian kepustakaan dengan mencari
literatur-literatur yang terkait dengan pembahasan yang akan diteliti, seperti al-
Qur’an, Sunnah serta buku-buku yang terkait. Dari bahan-bahan yang telah
terkumpul tersebut, penulis bahas dengan pendekatan penelitian hukum Islam,
metode komparatif, dan metode historis.
Dari hasil pembahasan yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan
bahwa keberadaan atau eksistensi upaya hukum dalam perspektif hukum Islam itu
ada dan diperbolehkan. Meskipun dasar pemberlakuannya secara eksplisit tidak
terdapat di dalam nash, namun keberadaan upaya hukum berindikasi mewujudkan
keadilan bagi para pihak, sehingga terwujudlah keharmonisan dan kemaslahatan
yang mana hal tersebut sesuai dengan kebijaksanaan syari’at di dalam memelihara
maqashid al-syari’ah, maka maslahah dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya.
Dan penerapan upaya hukum di Indonesia khususnya Peradilan Agama telah
diterapkan sejak zaman penjajahan Belanda dengan menggunakan ketentuan
hukum Islam dan disusun menurut aturan yang ditetapkan oleh kolonial Belanda
dan hukum Nasional setelah merdeka.
.

iv
KATA PENGANTAR
ِ ‫الرِح‬
‫يم‬ َّ ‫بِ ْس ِم اللَّ ِه‬
َّ ‫الر ْح َم ِن‬
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan

rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

dengan judul “Upaya Hukum dalam Perspektif Hukum Islam dan Penerapannya

pada Peradilan Agama di Indonesia”. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada

Nabi Muhammad SAW yang telah meninggalkan dua pedoman hidup yang tidak

ternilai harganya menuju kehidupan yang dicintai oleh Allah SWT.

Dalam pembuatan skripsi ini, penulis menemukan banyak kendala dan

kesulitan, namun karena motivasi dan dukungan dari berbagai pihak akhirnya

penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Kemudian terima kasih yang tiada

terhingga kepada keluarga yaitu Ayahanda Alyunas Harapri dan Ibunda Nafia

yang telah memberikan semangat, cinta kasih, mengasuh, mendidik dan

memberikan motivasi kepada penulis dalam mencapai cita-cita yang diridhai oleh

Allah SWT di dunia dan di akhirat. Dan juga kepada Kakanda Annisa Hayati,

A.Md dan adinda Tri Halimah Putri serta kepada kawan-kawan yang tidak bisa

penulis sebutkan semuanya secara keseluruhan.

Selanjutnya kepada para pihak yang telah membantu dalam penulisan

skripsi ini, kepada yang terhormat:

1. Ibu Rektor, Bapak/Ibu Wakil Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Bukittinggi serta Bapak Dekan Fakultas Syari’ah dan Bapak Ketua Jurusan

Ahwal al-Syakhsiyah (HKI) yang telah memberikan fasilitas kepada penulis

dalam menambah ilmu pengetahuan di IAIN Bukittinggi ini.

v
2. Ibu Dra. Hj. Rahmiati, M.Ag dan Bapak Nofiardi, M.Ag selaku Pembimbing I

dan Pembimbing II. Yang telah memberikan arahan serta bimbingan kepada

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Elfiani, SH, M.Hum selaku Penasehat Akademik yang telah memberikan

dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di IAIN Bukittinggi.

4. Bapak-bapak / Ibu-ibu dosen dan asisten dosen yang telah bersusah payah

mendidik serta melimpahkan ilmu selama penulis berada di bangku perguruan

tinggi ini.

5. Pimpinan serta karyawan dan karyawati perpustakaan IAIN Bukittinggi yang

telah menyediakan fasilitas untuk menggali pengetahuan yang terdapat di

berbagai literatur yang ada.

6. Teman-teman Bp 2013 Jurusan Ahwal al-Syakhsiyah yang telah memberikan

motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, serta kepada para

sahabat yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu yang selalu

memotivasi dan memberikan bantuan baik moril maupun materil.

Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis memohon semoga bagi yang

telah disebutkan di atas dilimpahkan pahala yang berlipat ganda dan segala bantuan

yang telah diberikan dicatat sebagai ibadah di sisi-Nya. selanjutnya penulis

berharap kepada-Nya agar skripsi ini bermanfaat sebagai amal shaleh. Amin

Bukittinggi, Maret 2017


Penulis

FAUZIAH RAHMAH
NIM. 1113035

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ..................................................................... iii

ABSTRAK ........................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ......................................................................................... v

DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 8

C. Rumusan Masalah ......................................................................... 8

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................... 8

E. Penjelasan Judul ........................................................................... 9

F. Kajian Kepustakaan dan Sumber Penelitian............................... 10

G. Metodologi Penelitian ................................................................. 11

H. Sistematika Pembahasan ............................................................. 14

BAB II KONSEP PENEGAKAN KEADILAN ........................................ 15

A. Pengertian Peradilan dan Dasar Hukumnya ................................ 15

B. Fungsi dan Kedudukan Peradilan ............................................... 24

C. Prinsip dan Asas Hukum Acara Peradilan Agama ..................... 34

vii
D. Pertumbuhan dan Pembinaan Peradilan ..................................... 43

BAB III UPAYA HUKUM SECARA UMUM .......................................... 50

A. Pengertian Upaya Hukum .......................................................... 50

B. Bentuk-bentuk Upaya Hukum .................................................... 53

1. Upaya Hukum Verzet .......................................................... 54

2. Upaya Hukum Banding ....................................................... 55

3. Upaya Hukum Kasasi .......................................................... 63

4. Upaya Hukum Peninjauan Kembali .................................... 67

C. Mekanisme Upaya Hukum ......................................................... 72

1. Mekanisme Upaya Hukum Verzet ....................................... 72

2. Mekanisme Upaya Hukum Banding ................................... 74

3. Mekanisme Upaya Hukum Kasasi ...................................... 76

4. Mekanisme Upaya Hukum Peninjauan Kembali ................ 78

D. Deskripsi Historis Upaya Hukum .............................................. 81

1. Masa Rasulullah SAW ....................................................... 82

2. Masa Khulafa al-Rasyidin ................................................... 83

3. Masa Bani Umayyah ........................................................... 88

4. Masa Bani Abbasiyah .......................................................... 90

5. Masa Imperium Turki Usmani ............................................ 92

viii
BAB IV UPAYA HUKUM DALAM KAJIAN FIKIH ............................ 98

A. Eksistensi Upaya Hukum menurut Hukum Islam ...................... 98

B. Penerapan Upaya Hukum di Peradilan Agama ........................ 112

BAB V PENUTUP ........................................................................................ 125

A. Kesimpulan ............................................................................... 125

B. Kritik dan saran ........................................................................ 126

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keadilan merupakan salah satu dari nilai-nilai Islam yang tinggi. Keadilan

juga sebagai tujuan dari ketetapan Ilahi karena menegakkan keadilan dan kebenaran

adalah sarana penebar ketentraman, mengupayakan keamanan, mempererat

hubungan antar individu, memperkokoh kepercayaan antara penguasa dan rakyat,

menumbuhkan kekayaan, menambah kesejahteraan dan menegakkan norma dan

tradisi, sehingga norma dan tradisi itu tidak menumbuhkan kerusakan dan

kekacauan serta penguasa dan rakyat dapat menjalankan tugasnya secara baik.

Sesungguhnya wujud dari keadilan itu adalah menyampaikan hak atau

kebenaran kepada yang berhak menerimanya melalui perantaraan hukum yang telah

disyari’atkan Allah serta dengan menjauhkan keinginan hawa nafsu melalui

pembagian yang adil di antara sesama manusia sebagai payung hukum yang

melindungi manusia.

Mewujudkan keadilan itu merupakan tujuan utama dari lembaga peradilan

yang menyangkut hak Allah dan hak manusia dalam memberikan keputusan di

kalangan orang yang bersengketa, sekaligus melindungi kepentingan umum dan

mencegah orang berbuat semena-mena terhadap orang lain, sebagaimana firman

Allah dalam surat Shad ayat 26:

‫ك َع ْن َسبِ ِيل‬ ِ ‫اْل ِّق وََل تَتَّبِ ِع ا ْْلوى فَي‬


َ َّ‫ضل‬ ُ ََ
ِ ِ ‫ْي الن‬
َ َْ ‫َّاس ب‬ َ ْ َ‫اح ُك ْم ب‬
ْ َ‫ض ف‬ ِ ‫اك َخلِي َفةً ِِف ْاْل َْر‬
َ َ‫ود إِنَّا َج َعْلن‬
ُ ‫يَ َاد ُاو‬
ِ ‫اْلِس‬ ِ ِ ِ ِ ‫اللَِّه إِ َّن الَّ ِذ‬
)٢٦:٣٨/ ‫اب (ص‬ َ ْ ‫اب َشدي ٌد ِبَا نَ ُسوا يَ ْوَم‬ ٌ ‫ين يَضلُّو َن َع ْن َسبِ ِيل اللَّه َْلُْم َع َذ‬ َ

1
2

Artinya:“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di


muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan
adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan.” (QS. 38. Shad: 26)

Berbicara tentang lembaga peradilan yang ada saat ini (Peradilan dalam

hukum positif), ketika suatu putusan telah ditetapkan oleh majelis hakim di

pengadilan, adakalanya pihak penggugat dan tergugat atau pihak pemohon dan

termohon merasa putusan tersebut belum mencapai titik keadilan, maka umumnya

terhadap setiap keputusan pengadilan terdapat pranata upaya hukum. Maksudnya,

upaya apa yang dapat ditempuh oleh pemohon atau termohon terhadap penetapan;

atau oleh penggugat dan tergugat terhadap putusan pengadilan apabila yang

bersangkutan mendapati bahwa penetapan atau putusan itu tidak mencerminkan

keadilan. Upaya hukum itu dapat berupa upaya hukum biasa dalam bentuk

pengajuan perlawanan (verzet), banding (appel), dan kasasi. Di samping itu terbuka

kemungkinan berupa upaya hukum luar biasa dalam bentuk pengajuan permohonan

peninjauan kembali (PK).1

Jika ditelusuri menurut hukum Islam, secara teoritis dan konkrit dalam hukum

Islam belum ditemukan teori dan dasar upaya hukum karena institusi peradilan Islam

sangat sederhana dan belum adanya lembaga banding (Pengadilan Tinggi) ataupun

lembaga kasasi (Mahkamah Agung) di masa Rasulullah SAW. Namun dilihat dari sejarah

yang ada, orientasi ke arah upaya hukum itu telah terlihat cikal bakalnya meskipun masih

samar. Akan tetapi para ulama fikih belum merumuskannya secara konkrit.

1
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2000), Cet. ke-3, hal. 256
3

Sepertinya anggapan di atas perlu diteliti kemudian dibahas dalam bentuk

kajian ilmiah apalagi kalau dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan

upaya hukum dari masa ke masa yang terus berjalan dan bergulir sesuai dengan

tuntutan kemajuan seperti di Indonesia, lembaga upaya hukum itu telah dapat

diterima dengan baik oleh masyarakat pencari keadilan.

Kemudian Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 105:

ِ ِِ ِ ِ ِ ‫اْل ِّق لِتَح ُكم ب ْي الن‬ ِ َ ‫إِنَّا أَنْزلْنَا إِلَي‬


‫يما‬ َ ‫َّاس ِبَا أ ََر َاك اللَّهُ َوََل تَ ُك ْن ل ْل َخائن‬
ً ‫ْي َخص‬ َ ْ َ َ ْ َْ ِ‫اب ب‬ َ َ‫ك الْكت‬ ْ َ
)١٠٥ :٤/‫(النساء‬
Artinya:“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang
yang khianat.” (QS. 4. An-Nisa’ : 105)

Pelaksanaan hukum dan keadilan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari

mempunyai arti yang sangat penting, karena apa yang menjadi tujuan hukum,

ketertiban dan ketentraman justru terletak pada pelaksanaan hukum. Ketertiban dan

ketentraman hanya dapat diwujudkan dalam kenyataan kalau hukum itu dapat

dilaksanakan dengan baik.

Pelaksanaan hukum dapat berlangsung dalam masyarakat secara normal karena

tiap-tiap anggota menaati dengan kesadaran bahwa apa yang ditentukan hukum tersebut

sebagai suatu keharusan untuk ditaati. Taat hukum dan taat asas merupakan suatu usaha

mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi

kenyataan dan proses perwujudan itulah yang merupakan hakikat penegakan hukum.

Lembaga peradilan Islam merupakan salah satu institusi yang penting

dalam tata kehidupan masyarakat, khususnya umat Islam. Secara filosofis ia


4

dibentuk dan dikembangkan untuk memiliki tuntutan penegakan hukum dan

keadilan dalam pergaulan hidup masyarakat guna menata kehidupan. Secara yuridis

peradilan merupakan bagian dari supra struktur politik dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara, secara historis merupakan salah satu mata rantai peradilan Islam

yang berkembang sejak masa Rasulullah dan secara sosiologis ia lahir atas

dukungan dan usaha masyarakat yang merupakan bagian dari intensitas kebudayaan

Islam dalam kehidupan masyarakat Islam.2

Dari sekian banyak bagian sistim hukum dan peradilan, upaya hukum

merupakan bagian yang sangat penting dari sistim hukum peradilan Islam yaitu

merupakan tuntutan dan suatu kebutuhan seperti yang telah berkembang sekarang.

Namun lembaga dari upaya hukum itu tidak ditemukan di zaman Rasul karena

boleh jadi suatu perkara atau sengketa yang telah diputuskan di zaman Rasul

dianggap keputusan yang final. Di samping itu juga dianggap bahwa produk

peradilan (qadha) di masa Rasul dan sahabat merupakan hasil atau produk suatu

ijtihad, karena hakim waktu itu adalah mujtahid sehingga hasil ijtihad seseorang

tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang lain.

Bilamana suatu putusan atau produk peradilan di zaman Rasul dan sahabat

dihasilkan oleh mujtahid, maka berarti putusan itu sudah final dalam arti tidak dapat

dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain, kecuali bila ternyata menyalahi nash. Namun

untuk masa-masa selanjutnya pengangkatan hakim bisa terjadi di luar ulama

mujtahid karena jumlah ulama mujtahid tidak sesuai lagi dengan kebutuhan,

2
Rachmat Syafe’i, Yurisprudensi Peradilan Agama dari Pelaksanaan UUPA: Segi
Normatif dalam Kajian Fiqh, Alternatif Penyempurnaan Timbal Balik, dalam 10 Tahun Undang-
Undang Peradilan Agama, (Jakarta: Ditbinbapera dan Fakultas Hukum UI, 1999), hal. 29
5

sehingga dengan demikian kemungkinan salah atau keliru dalam putusan sangat

banyak dan pada kondisi seperti ini upaya hukum sangat dibutuhkan.

Pada sisi lain dasar hukum berlakunya upaya hukum sebagai bagian dari

Hukum Acara Peradilan Islam tidak dijelaskan secara konkrit. Hanya saja cikal

bakalnya terdapat dalam sebuah riwayat, bahwa Ali pernah dihadapkan pada suatu

kasus, lalu ia berkata “Aku akan putuskan hukum di antara kamu, kemudian kalau

kamu telah menerima (keputusanku itu) maka laksanakanlah, tetapi kalau kamu

tidak mau menerimanya, maka aku cegah sebagian kamu dari sebagian yang lain

(berbuat sesuatu), sampai kamu menghadap Rasulullah saw agar ia memutus di

antara kamu. Lalu setelah Ali memutuskan hukum di antara mereka itu, maka

mereka menolak dan tidak mau menerima keputusannya, dan pergilah mereka

menghadap Rasul SAW pada musim haji sedang beliau berada di maqam Ibrahim

dan berceritalah mereka kepada beliau tentang apa yang terjadi. Kemudian Nabi

saw membenarkan keputusan Ali dan bersabda: Begitulah keputusan Ali.” 3

Kata-kata “Begitulah keputusan Ali” bila dikaitkan dengan hukum kalimatnya

masih mentah dan belum punya indikasi hukum dan kekuatan dalil yang kuat. Namun

sejauh ini belum didapatkan dalil, baik dalam teks al-Qur’an maupun sunnah yang

melarang diperlakukannya upaya hukum dalam sistem peradilan Islam, begitu juga tidak

ada dalil yang memerintahkannya.

Logika pemikiran seperti ini mengarah kepada mencari titik

persentuhannya dengan istinbath hukum yang tidak jauh kajiannya dengan

3
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha’ fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah,
1964), hal. 23
6

mashlahah karena menyangkut kepentingan umum dalam memelihara maqashid

al-syari’ah. Yang dimaksud dengan maqashid al-syari’ah adalah

4
‫املقصد الىت يراد حفظها باالشرائع‬
Artinya:“Yaitu maksud-maksud yang ingin dipelihara oleh syara’ (untuk
menetapkan suatu hukum”

Tegasmya dalam hal ini adalah memelihara kebutuhan (hajjiyah) karena

dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan kesulitan (masyaqqah) dan

menolak kesulitan.5 Artinya maksud Allah SWT mensyari’atkan hukum secara

umum adalah mendatangkan kemaslahatan dalam kehidupan manusia dengan cara

meraih manfaat dan menolak kemudharatan bagi mereka.6

Maqashid al-Syari’ah yang dimaksudkan terbukanya kemungkinan bahwa hak

para pihak pencari keadilan dapat terlindungi dan mereka yang merasa dirugikan dapat

mengajukan permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan yang tingkatnya lebih

tinggi dengan tujuan utama mengoreksi dan meluruskan segala kesalahan dan kekeliruan

dalam penetapan hukum seperti tata cara mengadili, menilai fakta dan pembuktian. Di

Indonesia contohnya kewenangan Pengadilan Tinggi Agama.

Pada zaman Rasul keberadaan Pengadilan Tinggi (tingkat banding) belum

dibutuhkan, karena kasus-kasus yang sampai kepada Rasul telah dapat diselesaikan secara

baik dan tidak ada kasus yang tidak tuntas apalagi Rasul sendiri adalah sebagai Syari’.

Andaikata terdapat kekeliruan hukum di dalam kebijaksanaan Rasul di dalam memutuskan

perkara tentu akan mendapat teguran langsung dari Allah melalui wahyu.

4
Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971), hal. 296
5
Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami,..., hal. 297
6
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Islam, 1956), hal. 98
7

Pada hakikatnya kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadili

perkara perdata dalam tingkat banding adalah kewenangan memeriksa ulang

kembali suatu perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan Agama. Artinya

perkara di tingkat banding akan diperiksa secara keseluruhan, baik tentang fakta-

fakta maupun tentang bukti-bukti dan lain sebagainya seperti pemeriksaan

selengkapnya di muka pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama) dulunya.7

Putusan yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan Agama diteliti dan diperiksa ulang

mulai dari awal sampai dijatuhkan putusan oleh majelis hakim banding. Keadaan

ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung RI nomor 951.K/SIP/1973

tanggal 9 Oktober 1975.8

Melalui putusan dan penetapan hukum para hakim telah membuat hukum

berkenaan dalam berbagai kasus yang menjadi kompetensi absolutnya9 di

lingkungan Peradilan Agama.

Di samping upaya hukum merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi

hak-hak para pencari keadilan, juga perlu ditelusuri tentang eksistensinya dalam kajian

fikih serta dasar hukumnya yang kokoh dalam tataran operasionalnya sebagai salah satu

institusi yang berakar tunggang dari masa Rasulullah SAW, sampai dengan pelaksanaan

dari masa ke masa hingga saat ini. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas lebih

lanjut tentang upaya hukum dalam perspektif Islam dan penerapannya di Peradilan Agama.

7
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), Cet.
ke-16, hal. 12
8
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan al-Hikmah,2000), hal. 207
9
Kompetensi absolut adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara
atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau
tingkatan pengadilan lainnya. Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,..., hal. 27
8

B. Identifikasi Masalah

Dari pembahasan latar belakang di atas yang akan penulis bahas yaitu

eksistentsi upaya hukum dalam peradilan Islam masa dahulu sejak masa Rasulullah

SAW, berlanjut pada upaya hukum masa sekarang setelah keluarnya peraturan

perundang-undangan, lalu memperbandingkan antara upaya hukum pada masa

dahulu dengan sekarang, apakah terdapat kesamaan antara upaya pelaksanaan

upaya hukum dalam peradilan Islam dahulunya dengan peradilan sekarang.

C. Rumusan Masalah

Sebagaimana terlihat dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan

masalah yang dapat dirumuskan dalam permasalahan ini adalah:

1. Bagaimana eksistensi upaya hukum dalam kajian fikih / persepektif hukum

Islam?

2. Bagaimana penerapan upaya hukum di Peradilan Agama?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka

penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui eksistensi upaya hukum dalam perspektif hukum Islam.

2. Untuk mengetahui penerapan upaya hukum di Peradilan Agama.

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memperkaya ilmu penulis tentang eksistensi upaya hukum dalam kajian fikih

dan penerapannya di lembaga Peradilan Agama.


9

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan khazanah keilmuan,

khususnya dalam persoalan kajian hukum Islam mengenai upaya hukum dalam

perspektif hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.

3. Untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana program strata satu

(S1) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi Fakultas Syari’ah Jurusan

Hukum Keluarga Islam.

E. Penjelasan Judul

Dalam kajian ini digunakan beberapa term yang mempunyai makna khas

sebagai acuan dalam keseluruhan pembahasan. Istilah-istilah tersebut adalah:

Upaya Hukum, Hukum Islam, dan Peradilan Agama. Upaya Hukum adalah upaya

yang diberikan undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dan

dalam hal tertentu melawan putusan hakim.10

Hukum Islam berarti kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang

dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif, fakultatif, atau menempatkan

sesuatu sebagi sebab, syarat, dan penghalang.11 Amir Syarifuddin mengartikan

hukum syara’ atau hukum Islam dengan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu

Allah dan Rasul-Nya tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan

diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.12

10
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2008), Cet. ke-1, hal.
363
11
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Cet. ke-4, hal. 295
12
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa
Raya, 1993), hal.18
10

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

memberikan defenisi Peradilan Agama sebagai berikut: Peradilan Agama adalah salah

satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama

Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

ini.13

Dengan demikian yang penulis maksud dengan judul skripsi ini adalah

upaya hukum dari para pencari keadilan terhadap putusan hakim di Peradilan

menurut hukum Islam dan penerapannya di Indonesia.

F. Kajian Kepustakaan dan Sumber Penelitian

Sejauh pengamatan penulis tentang buku-buku sejarah Peradilan Islam dan upaya

hukum dalam tinjauan hukum Islam fikih klasik maupun kontemporer belum ada literatur

khusus yang membahas tentang upaya hukum dan dasar berlakunya serta belum pernah pula

diteliti secara komprehensif oleh para ilmuwan. Hal itu terbukti dengan tidak ditemuinya

karya tulis baik yang berbentuk tesis, disertasi, buku atau makalah. Di dalam suatu literatur

penulis menemukan kitab al-Qadha fi al-Islam yang ditulis oleh Muhammad Salam Madkur

tentang suatu kasus yang ditangani oleh Ali bin Abi Thalib

‫اقضى بينكم فإن رضيتم فهو القضاء وإَل حجزت بعدكم عن بعد حىت تأ توا رسول اهلل ليقضى‬
14
‫بينكم‬
Artinya: “Aku telah memutuskan perkara di antara kamu, apabila kamu ridha atau menerima maka
itulah keputusanku dan jika tidak, aku menangguhkan keputusan (untuk dilaksanakan)
kepada sebagian kamu terhadap sebagian yang lain hingga kamu menjumpai Rasulullah
SAW supaya ia memutuskan perkara di antrara kamu”.

13
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Pasal 2
14
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al-Islam,..., hal. 23
11

Kemudian di sisi lain memperhatikan salah satu poin dari isi surat Umar

bin Khathab kepada Abu Musa al-Asy’ari yang terkenal itu berbunyi:

‫َل مينعك قضاء قضيته اليوم فراجعت فيه عقلك وهديت فيه لرشدك ان ترجع اىل اْلق‬
15
‫فان اْلق قدمي و مراجعة اْلق خري من التمادى ىف الباطل‬
Artinya:“Janganlah sekali-kali menghalangi kepadamu, suatu keputusan yang
telah engkau jatuhkan pada hari ini, kemudian engkau tinjau kembali lalu
engkau memperoleh petunjuk agar engkau kembali kepada kebenaran,
karena sesungguhnya kebenaran itu harus didahulukan, tidak dapat
dibatalkan oleh apapun sedangkan kembali kepada kebenaran itu lebih
baik daripada terus bertahan dalam kebatilan”.

Pendapat sahabat itu sepertinya semacam arahan tentang adanya ide

mengenai upaya hukum pada masa khalifah Umar bin Khatab. Dari pernyataan

tersebut dapat dijadikan sebagai objek kajian sejarah hukum dan peradilan Islam

serta kajian fikih tentang dasar hukum operasionalya secara spesifik yang perlu

diteliti.

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitan

Jenis penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akurat adalah penelitian

kepustakaan (library research) yaitu penelitian dengan menggunakan studi pustaka dengan

mencari literatur-literatur yang terkait dengan pembahasan yang akan diteliti. Selain

menggunakan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan, penelitian ini juga

menggunakan pendekatan penelitian hukum Islam dan metode komparatif. Penggunaan metode

historis adalah menguji ketahanan upaya hukum dan eksistensinya menurut kajian fikih.16

Ibnu Qaiyim al-Jauziy, I’lan al-Muwaqqiin ‘an Rabbi al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr,
15

1977), Juz ke-3, hal. 58


16
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
hal. 54
12

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan yaitu menyelidiki dan menganalisa data secara

sistimatis dan objektif dengan pola trend hukum (justice trend) dengan penekanan pada trend

fikih berkaitan dengan teori legitimasi atau hukum Islam.17

3. Jenis data

Adapun jenis data yang penulis gunakan di dalam penelitian ini adalah jenis data

yang berasal dari dokumen sejarah,18 yakni berupa teks-teks sejarah yang menyangkut

tentang peradilan Islam

4. Sumber data

Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis,

yaitu kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan.19 Sumber data tertulis ini penulis peroleh

dari buku-buku (kitab) yang terdapat di perpustakaan.

5. Cara Kerja

Cara kerja dari penelitian ini dengan menggunakan teknik heuristik, yaitu mencari dan

mengumpulkan sumber data yang ada, dengan menggunakan katalog-katalog yang ada di perpustakaan

sebagai alat utama. Kemudian penulis mulai menemukan sebanyak mungkin jejak-jejak sejarah yang

ditemukan. Lalu peneliti memperhatikan setiap jejak itu dan bagian-bagiannya.20

17
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah,..., hal. 54
18
Dept. Agama R.I, Metode Peneltian Sejarah, (Ter. Manhaj Al-Baht Al Tarihi), (Jakarta:
Direktorat Jenderal pembinaan Agama Islam, 1986), hal. 17
19
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah,..., hal. 31
20
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah,..., hal. 55
13

6. Teknik pengumpulan data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari sumber primer dan

sekunder.

a. Bahan Primer

Berasal dari kitab-kitab sejarah hukum dan peradilan (al-qadha), yaitu Tarikhul

Qadha’. Di antaranya adalah al-Qadha fi al-Islam oleh Athiyah Masyrifah, Muhammad

Salam Madkur al Qadha’ fil Islam dan lain-lain yang berkaitan dengan sejarah hukum dan

peradilan.

b. Bahan Sekunder

Bahan sekunder yang digunakan seperti buku-buku yang membahas seputar

peradilan, artikel, dan lain-lain yang berkaitan dengan peradilan Islam.

7. Analisis Data

Dalam menganalisa data yang ada, penyusun menggunakan penelitian hukum

Islam dan metode komparatif. Penggunaan metode historis adalah menguji ketahanan upaya

hukum dan eksistensinya menurut kajian fikih.

Untuk mengetahui secara seksama tentang upaya hukum diperlukan metode

analisis data. Metode ini digunakan dalam rangka menyelidiki dan menganalisa data secara

sistematis dan objektif dengan pola penelitian trend hukum (justice trend) dengan penekanan

pada trend fikih berkaitan dengan teori legitimasi atau hukum Islam.
14

H. Sistematika Pembahasan

Untuk memperoleh gambaran yang utuh dan terpadu maka dalam bahasan ini

penulis akan mensistimatisir rangkaian analisa dan penelitian sebagai suatu kesatuan yang

utuh kemudian diperinci sebagai berikut:

BAB I terdiri dari 8 sub bab, akan menggambarkan latar belakang masalah,

identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penjelasan judul,

kajian kepustakaan dan metodologi penelitian serta sistematika pembahasan

BAB II berisi tentang konsep penegakan keadilan yang memuat pengertian

peradilan, fungsi dan kedudukan peradilan, prinsip dan asas hukum acara peradilan dan

pertumbuhan serta pembinaan peradilan

BAB III akan dibahas upaya hukum secara umum yang meliputi pengertian upaya

hukum, bentuk-bentuk upaya hukum, mekanisme upaya hukum dan deskripsi historis upaya

hukum

BAB IV memuat eksistensi upaya hukum dan analisis fikih terhadap dasar

berlakunya serta penerapannya di lembaga Peradilan Agama.

Akhirnya kesimpulan dan saran-saran dari penelitian ini dituangkan dalam BAB

V yang sekaligus merupakan penutup.


BAB II

KONSEP PENEGAKAN KEADILAN

A. Pengertian Peradilan (Qadha) dan Dasar Hukumnya

Peradilan (qadha) menurut bahasa memiliki beberapa arti, di antaranya21:

1. Al Faraagh artinya putus atau selesai, seperti firman Allah :

‫ْي َحَر ٌج ِِف أ َْزَو ِاج‬ِِ ِ ِ


َ ‫ضى َزيْ ٌد مْن َها َوطًَرا َزَّو ْجنَا َك َها ل َك ْي ََل يَ ُكو َن َعلَى الْ ُم ْؤمن‬ َ َ‫فَلَ َّما ق‬
)٣٧: ٣٣/ ‫ض ْوا ِمْن ُه َّن َوطًَرا َوَكا َن أ َْم ُر اللَّ ِه َم ْفعُ ًوَل (اَلحزاب‬ ِ ِ
َ َ‫أ َْدعيَائ ِه ْم إِ َذا ق‬
Artinya: “Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak
ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluan terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi." (QS.
33. Al-Ahzab: 37)

2. Al-Adaa’ artinya menunaikan atau membayar, seperti firman Allah :

‫ض ِل اللَّ ِه َواذْ ُك ُروا اللَّهَ َكثِ ًريا لَ َعلَّ ُك ْم‬


ْ َ‫ض َوابْتَ غُوا ِم ْن ف‬
ِ ‫الص ََلةُ فَانْتَ ِش ُروا ِِف ْاْل َْر‬
َّ ‫ت‬ِ ‫ضي‬
ِ ِ
َ ُ‫فَإ َذا ق‬
)١٠ : ٦٢/ ‫تُ ْفلِ ُحو َن (اجلمعة‬
Artinya: “Apabila shalat telah diselesaikan, maka bertebaranlah kamu di bumi;
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu
beruntung.” (QS. 62. Al-Jumu’ah: 10)

3. Al-Hukm artinya mencegah atau menghalangi. Dari kata inilah maka qadhi-qadhi

disebut sebagai hakim, karena mencegah terjadinya kezhaliman orang yang mau

berbuat zalim.

21
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal. 9

15
16

4. Arti lain dari kata qadha adalah memutuskan hukum atau membuat suatu

ketetapan. Dari beberapa pengertian peradilan (qadha) menurut bahasa yang

diungkapkan di atas, maka sebenarnya qadhi menurut bahasa artinya orang yang

memutuskan perkara dan menetapkannya.22

Peradilan (qadha) menurut istilah ada beberapa defenisi:

1. Qadha (peradilan) ialah23

‫الوَلية املعروفة‬
Artinya: “Kekuasaan yang dikenal (kekuasaan yang mengadili dan memutuskan
perkara).”

2. Qadha (peradilan) adalah.24

‫هو الفصل ىف اخلصومات محسا لتداعى وقطعا لنزاع با ْلحكام الشرعية املتلقاة من‬
‫الكتاب و السنة‬
Artinya:“Menyelesaikan perkara pertengkaran untuk melenyapkan gugat
menggugat dan untuk memutus pertengkaran dengan hukum-hukum
syara’ dari Al-Quran dan Sunnah.”

3. Menurut ‘Ukbary dalam Kulliatnya yang dimaksud dengan peradilan adalah25

‫قول ملزم صدر عن ذى وَلية عامة‬


Artinya:“Peraturan yang harus diikuti, yang terbit dari penguasa, yang
mempunyai kekuasaan umum.”

22
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam, )Kairo: Dar al Nahdhah al-‘Arabiyah,
1964), hal. 11
23
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 10
24
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 11
25
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 11
17

4. Al Qadha (peradilan) adalah.26

‫ او هو اإلخبار عن حكم شرعى على سبيل‬،‫القضاء قول ملزم يصدر عن وَلية عامة‬
‫اإللزام‬
Artinya:“Peradilan adalah ucapan yang memutus yang bersumber dari
pemerintah, atau menyampaikan hukum syar’i dengan jalan penetapan.”
5. Peradilan adalah27

‫القضاء فصل اخلصومة بْي خصمْي فأكثر حبكم اهلل‬


Artinya: “Peradilan adalah menyelesaikan sengketa antara dua pihak dengan hukum
Allah.”

6. Peradilan adalah28

.‫القضاء هو اْلكم بْي الناس با ْلق واْلكم ِبا أنزل اهلل‬


Artinya: “Peradilan adalah memutuskan hukum antara manusia dengan benar,
dan memutuskan hukum dengan apa yang diturunkan Allah.”

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peradilan adalah lembaga

yang mempunyai kekuasaan umum untuk mengadili dan memutuskan perkara

antara dua orang atau lebih dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis.29.

Tujuan akhir dari peradilan itu adalah menyelesaikan sengketa, sehingga

dengan demikian seluruh pengertian peradilan menurut defenisi-defensi yang telah

26
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam,..., hal.11
27
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam,..., hal.12
28
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam,..., hal.12
29
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 11
18

dikemukakan di atas dapat dipakai dan diterapkan dalam menggali makna dan

tujuan peradilan dalam penyelesaian suatu sengketa.

Di samping defenisi di atas ulama juga berbeda pendapat tentang

pengertian peradilan (qadha) menurut istilah karena mereka berbeda di dalam

mengambil pengertian tentang hakikat dari peradilan (qadha) itu, apakah suatu sifat

hukum yang mesti melekat pada peradilan (qadha) atau sekedar perbuatan yang

dilakukan oleh seorang qadhi (hakim) yang tidak berbentuk hukum.

1. Menurut golongan Hanafiyah:

‫فصل ا خلصومات و قطع املنازعات‬


Artinya: ”Peradilan (qadha) adalah menyelesaikan permusuhan dan
menghilangkan sengketa.”

2. Menurut golongan Malikiyah :


‫حقيقة القضاء اْلخبار عن حكم شرعى‬
Artinya: “Hakikat qadha adalah pernyataan tentang hukum syara’ dengan jalan
penetapan.”

3. Menurut Syafi’i

‫صل اخلصومة بْي خصمْي فأكثر حبكم اهلل تعاىل‬


Artinya: “Penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa atau lebih
dengan hukum Allah Ta’ala.”

4. Menurut Hanabilah

30
‫تبيينه و اَلالزام به و فصل اْلكومات‬
Artinya: “Penjelasan, penetapan dan penyelesaian oleh pemerintah.”

30
Abd. Rahman Ibrahim, Al-Qadha Wa Nizhamuhu fi al-Kitab wa al-Sunnah, (Mekkah: al-
Arabiyah al-Su’udiyah, t.th), hal. 34-35
19

Dari seluruh defenisi yang dikemukakan di atas pengertian peradilan

(qadha) dapat dirangkum dengan kalimat “penyelesaian suatu sengketa dengan

hukum Allah melalui penetapan yudikatif”, atau menyampaikan hukum syar’i

dengan produk penetapan atau putusan yudikatif.

Adapun dasar hukum tentang keberadaan dan eksistensi peradilan adalah

surat Shad ayat 26 :

ْ ِ‫َّاس ب‬
)٢٦: ٣٨/ ‫اْلَ ِّق (ص‬ ِ ‫ْي الن‬
َ ْ َ‫اح ُك ْم ب‬ ِ ‫اك َخلِي َفةً ِِف ْاْل َْر‬
ْ َ‫ض ف‬ َ َ‫ود إِنَّا َج َع ْلن‬
ُ ‫يَ َاد ُاو‬
Artinya: “Hai Daud sesungguhnya Kami menjadikan kamu sebagai khalifah
(penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia
dengan adil.” (QS. 38. Shad: 26)

Apabila seruan ini ditujukan kepada Daud a.s maka sebenarnya seruan itu

ditujukan kepada ulil amri (penguasa) karena Allah tidak menyebutkan hal itu

kecuali untuk menjelaskan contoh yang terbaik dalam menghukum dan karena

Daud adalah seorang Nabi yang maksum (terpelihara dari kesalahan) yang

merupakan manusia pilihan.31 Di sisi lain menunjukkan bahwa khalifah atau

penguasa itu adalah sebagai penguasa atau sebagai wakil Tuhan di muka bumi

untuk menyelamatkan dan mempertanggungjawabkan masalah peradilan itu bukan

hanya kepada manusia tetapi terlebih lagi kepada Allah SWT. Walaupun tugas

peradilan itu bukan secara langsung dilaksanakan oleh penguasa tertinggi akan

tetapi dengan menunjuk wakilnya seperti para hakim yang dapat dipercaya serta

memenuhi kriteria-kriteria yang pada lahirnya dapat menegakkan keadilan secara

31
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, penterjemah Yasin, Shafwatut Tafasir
Tafsir-tafsir Pilihan, (Jakarta: Pustaka Al Kausar, 2011), Jilid 4, Cet. ke-1, hal. 480
20

benar dan bertanggung jawab namun semua itu tidak terlepas dari tanggung jawab

penguasa.32 Surah al Maidah ayat 49 mengungkapkan:

)٤٩: ٥/‫وأن احكم بينهم ِبا أنزل اهلل (املائدة‬


Artinya: “Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah.” (QS. 5. Al-Maidah: 49)

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ka’ab bin Usaid mengajak

Abdullah bin Shuria dan Syasy bin Qais untuk menghadap Rasulullah SAW. Mereka

bermaksud untuk mempengaruhi Rasulullah SAW agar berpaling dari ajaran agamanya.

Mereka datang seraya berkata: “Wahai Muhammad, kamu telah memaklumi bahwa kami

adalah Ulama (cendekiawan) kaum Yahudi, bahkan tokoh ilmuan dan pembesar di

kalangan mereka. Jika kami mengikuti ajaran yang kamu bawa, tentu seluruh umat

Yahudi akan mengikuti jejak kami. Mereka sama sekali tidak akan membantah apa yang

menjadi kehendak kami. Kebetulan saat ini antara kami para pembesar dan para bawahan

sedang terjadi percekcokan. Oleh sebab itu kami bermohon kepadamu untuk memberikan

pengadilan terhadap masalah kami, dan hendaklah kamu memenangkan kami. Sebagai

konsekuensinya kami sesudah itu akan beriman kepadamu”. Rasulullah SAW secara

spontan menolak permintaan ilmuan Yahudi itu.33

Peristiwa ini telah melatarbelakangi turunnya ayat tersebut sebagai

ketegasan agar tetap berpegang teguh kepada hukum-hukum Allah SWT dan

berhati-hati menghadapi orang Yahudi yang berkeinginan untuk memalingkan diri

32
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Penerjemah Ahmadie, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hal. 268
33
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet. ke-1,
hal. 323
21

dari hukum-hukum Allah SWT. 34 Hal ini berarti hukum Allah dapat dijadikan

timbangan untuk mengukur suatu keadilan pada setiap kasus yang diselesaikan

peradilan mengingat banyaknya pengaruh-pengaruh yang mungkin akan merusak

citra keadilan. Maka dipandang perlu memedomani amanah ayat di atas guna

mengantisipasi semua pengaruh yang mungkin muncul tersebut.

Surat An-Nisa’ ayat 65 menyatakan pula,

) ٦٥: ٤/‫يما َش َجَر بَْي نَ ُه ْم (النساء‬ِ َ ‫فَ ََل وربِّك ََل ي ؤِمنو َن ح َّىت ُُي ِّكم‬
َ ‫وك ف‬ ُ َ َ ُ ُْ َ ََ
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan.” (QS. 4. An-Nisa’: 65)

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Zubair bin Awwam pernah

berselisih dengan seorang sahabat Anshar tentang masalah pengairan kebun.

Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Zubair, airilah lebih dahulu kebunmu, baru

sesudah itu alirkanlah air itu ke kebun tetanggamu!”. Mendengar perintah

Rasulullah SAW yang demikian seorang lelaki dari sahabat Anshar itu berkata:

“Wahai Rasulullah, kamu telah memerintahkan yang demikian karena Zubair

adalah anak bibimu?”. Mendengar kata-kata ini merah padamlah muka Rasulullah

SAW, karena beliau merasa sangat tersinggung. Selanjutnya beliau bersabda:

“Wahai Zubair, siramilah kebunmu hingga terbenam air pematangnya, baru

kemudian berikanlah air itu kepada tetanggamu!”. Akhirnya Zubair bin Awwam

dapat menggunakan air dengan leluasa dan sepuas hati. Sesudah itu mereka

34
A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul,..., hal. 323
22

menggunakan air dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh Rasulullah SAW.

Zubair bin Awwam mengemukakan pendapatnya, bahwa ayat ke-65 ini diturunkan

berkenaan dengan peristiwa yang menimpa dirinya tersebut.35

Sababun nuzul ayat di atas menunjukkan dan menegaskan bahwa orang

yang beriman hendaknya menaati putusan Allah dan Rasul dan tidak mudah

terpengaruh oleh kondisi apa saja untuk menyeleweng dan memutarbalikkan

hukum-hukum Allah untuk kepentingan pribadi atau keluarga dalam

penyelenggaraan tugas-tugas peradilan.36 Ini adalah suatu hal yang sangat prinsip

yang perlu ditegakkan karena konsekuensinya tidaklah dianggap beriman seseorang

yang ditugasi sebagai hakim yang tidak dapat menyelesaikan suatu kasus yang

dihadapkan kepadanya secara baik dalam arti tidak memenuhi tuntutan dan rasa

keadilan.

Rasulullah SAW bersabda

‫ إذا حكم اْلاكم‬: ‫عن عمرو بن العاص أنه مسع رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم قال‬
37
)‫فاجتهد مث أصاب فله أجران واذا حكم فاجتهد مث اخطأ فله أجر (رواه مسلم‬
Artinya: “Apabila seorang hakim berijtihad lalu ijtihadnya benar maka ia dapat
dua pahala dan jika ijtihadnya salah maka ia dapat pahala satu.” (HR.
Muslim)

35
A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul,..., hal. 240
36
A. Mudjab Mahalli, Asbabun Nuzul,..., hal. 240
37
Abi al-Husain Muslim Bin al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), hal. 13
23

Hadis ini menunjukkan bahwa seseorang hakim disyaratkan harus

mujtahid. Mujtahid itu adalah orang yang mempunyai kemampuan mengambil

hukum dari dalil-dalil syar’i. Setidak-tidaknya yang menjadi hakim hendaklah

seorang muttabi’ kepada para pendapat imam atau orang lain dengan syarat dia

mampu meneliti kebenaran dasar ijtihad imamnya dan dalil-dalilnya lalu

menetapkan hukum berdasarkan dalil-dalil tersebut tentang sesuatu yang tidak

dijumpai ketentuan nashnya.

Mengenai asbabul-wurud hadis di atas adalah bahwa ketika Nabi

mengutus Mu’adz ke Yaman untuk menjadi qadhi, sebelum Mu’adz berangkat,

beliau bertanya, “Bagaimana engkau akan memutuskan perkara yang dihadapkan

orang kepadamu?” Jawab Mu’adz, “Aku akan memutuskan dengan apa yang ada

di dalam al-Qur’an. Tanya Rasulullah, “Jika di dalam kitab tidak ditemukan”.

Jawab Mu’adz, “Dengan sunnah Rasulullah”. “Jika di dalam sunnah tidak

ditemukan”, tanya beliau. Mu’adz menjawab “Aku akan memutuskan dengan

pendapatku”.38 Rasul lalu menepuk dadanya seraya bersabda:

‫اْلمد هلل الذي وفق رسول اهلل ملا يرضى رسول اهلل‬
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan
Rasulullah tentang apa yang diridhai-Nya.”39

38
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi AD Damsyiqi, Asbab al-Wurud, penterjemah HM.
Suwarta Wijaya, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-hadis Rasul, (Jakarta: Kalam Mulia,
1996), hal. 313
39
Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi AD Damsyiqi, Asbab al-Wurud,..., hal. 313
24

Ini menandakan bahwa seorang hakim harus orang yang pintar dan

memenuhi syarat untuk membuat suatu hukum bila di dalam nash tidak ditemukan

hukumnya.

Kebenaran itu terkadang dicapai oleh orang sebagai hasil dari penggunaan

pikiran, penelitian dalil-dalil, di samping itu dia diberi taufiq oleh Allah untuk

mewujudkan suatu produk hukum. Dengan demikian dia mendapatkan dua pahala,

yaitu pahala ijtihad dan pahala kebenaran. Sedangkan yang mendapat satu pahala

itu ialah orang yang sudah berijtihad, lalu dia salah, maka ia mendapat pahala

ijtihadnya saja karena kemampuannya untuk menarik kesimpulan hukum dari suatu

yang belum diketahui dasarnya di al-Qur’an atau sunnah.

Kemudian Rasul bersabda pula,

‫ قال رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم من وىل القضاء‬،‫عن اىب هريرة رضى اهلل عنه قال‬
40
)‫فقد ذبح بغري سكْي (رواه أمحد واَلربعة وصححه ابن خزمية و ابن حبان‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata Rasulullah SAW bersabda
“Barang siapa yang diberi kekuasaan peradilan, maka sungguh dia telah
disembelih tanpa pisau” (HR. Ahmad dan al-Arba’ah serta dinilai shahih
oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).

Hadis tersebut menunjukkan peringatan keras terhadap orang-orang yang

mau menduduki jabatan peradilan supaya berhati-hati di dalam memutuskan

perkara berdasarkan kebenaran padahal dia mengetahuinya atau berdasarkan

kebodohannya. Yang dimaksud dengan penyembelihan diri itu adalah

Muhammad bin Ismail ash Shan’any, Subul al-Salam, (Bandung : Dahlan, t.th), hal. 116
40
25

menjerumuskan diri dalam kebinasaan dan menghancurkan diri dengan siksaan

neraka di akhirat kelak.

B. Fungsi dan Kedudukan Peradilan

Peradilan dalam pengertian sederhana sudah dikenal jauh sebelum Islam

datang. Hal ini didorong oleh kebutuhan dan keberadaan manusia itu sendiri

sehingga peradilan merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat. Tidak

mungkin suatu pemerintahan di dunia ini, apapun bentuknya, yang akan dapat

berdiri tanpa peradilan, karena dengan peradilan akan dapat diselesaikan aneka

ragam sengketa di antara manusia selaku anggota masyarakat.41

Tugas peradilan adalah tugas suci dan universal yang diakui oleh semua

bangsa-bangsa di masa lalu dalam berbagai tingkat kemajuan, baik bangsa yang

masih terbelakang maupun bangsa yang telah maju. Rasionya adalah penegakan

peradilan berarti memerintahkan kebaikan dan mencegah bahaya kezhaliman,

menyampaikan hak kepada yang punya, mencegah terjadinya kezhaliman dan

mengusahakan islah di antara manusia guna menyelamatkan dari kesewenang-

wenangan.42 Peradilan sebagai badan yudikatif menjalankan dan melaksanakan

undang-undang yang telah dibuat oleh badan legislatif bersama badan eksekutif

adalah sebagai alat dan sarana pengayom dan pelindung masyarakat dari

kesewenang-wenang dan perilaku yang tidak baik yang dapat merugikan pihak lain.

Peradilan Islam merupakan salah satu institusi yang memiliki landasan

yang kuat. Secara filosofis, peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk memenuhi

41
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam,..., hal. 19
42
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, ( Jakarta: Amzah, 2012), Cet. ke- 1, hal. 8
26

tuntutan penegakan hukum dan keadilan Allah dalam pergaulan hidup masyarakat.

Di samping itu peradilan merupakan perwujudan prinsip tauhid dalam hukum Islam

untuk menata kehidupan masyarakat.

Sebagai hukum materil yang menjadi acuan operasional peradilan di

zaman Rasul adalah wahyu (al-Qur’an) yang merupakan undang-undang yang

wajib dituruti dan diterapkan. Satu sisi Rasul sebagai hakim, di sisi lain sebagai

muballigh dan sebagai kepala negara. Semua kekuasaan itu tergenggam di tangan

Rasul dan belum dipisahkan. Dijadikannya al-Quran sebagai hukum dasar dalam

menyelesaikan segala jenis perkara tidak hanya memberikan kepuasan hukum

terhadap orang Islam yang bersengketa saja tetapi juga menjadi perhatian yang

menarik bagi non muslim ketika itu.

Sebagai acuan acara (hukum formil) ketika Rasul menyelesaikan suatu

sengketa adalah berasal dari ijtihad Rasul sendiri dan sudah barang tentu tidak

terlepas dari tuntunan dan ilham Allah SWT. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Rasul ketika menyelesaikan perkara kewarisan yang diadukan kepadanya

‫ قال رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم قال إمنا انا بشر‬،‫عن ام سلمة رضى اهلل عنها قالت‬
‫إنكم ختتصمون إىل فلعل بغضكم أن يكون اْلن حبجه من بعض فاقضى له على حنو‬
43
)‫ماامسع منه فمن قطعت له من حق أخيه شيأ فامنا اقطع له قطعة من النار (متفق عليه‬
Artinya:“Dari Ummu Salamah bahwa Nabi Saw bersabda: Sesungguhnya aku
hanyalah manusia biasa, sedangkan kamu datang kepadaku untuk
menyelesaikan persengketaan di antara kamu. Mungkin sebagian dari
kamu lebih pintar menyampaikan hujjahnya daripada sebagian yang lain,
lalu aku memutuskan baginya sesuai dengan apa yang aku dengar
darinya. Maka barang siapa yang aku putuskan baginya sebagian hak dari

Al Hafidz Taqiyuddin Abdul Ghaniy, ‘Umdat al-Ahkam, penterjemah Abdurrohim,


43

Hadits-Hadits Shahih Seputar Hukum, (Jakarta: Republika, 2011), hal. 319


27

saudaranya maka hendaklah dia itu tidak mengambilnya karena


sesungguhnya telah aku potongkan baginya sepotong dari api neraka.”
(HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hadis yang diriwayatkan dari Ummu Salamah dilengkapi dengan sanad

dan matan yang tidak cacat, sehingga hadis ini diriwayatkan oleh perawi-perawi

yang adil. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh al-Sunnah menyebutkan bahwa hadis

ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta seluruh pemilik sunan.44

Berdasarkan hadis ini, para ulama menetapkannya sebagai acuan hukum

acara (hukum formil). Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ini menegaskan

metode penyelesaian perkara yang diajarkan oleh Nabi SAW selanjutnya diajarkan

kepada para sahabat, akhirnya dijadikan sebagai dasar di dalam memproses perkara

di lingkungan Peradilan Islam yang disebut dengan Yurisprudensi yang didasari

dengan alat bukti seperti al-bayyinah, sumpah, saksi, surat, firasat dan lain-lain.

Apabila bukti yang diajukan oleh pendakwa palsu, misalnya saksi palsu,

namum hakim tetap memutuskan perkara berdasarkan hal itu, maka hukumnya

tidak mengubah kenyataan dan tidak diperbolehkan bagi orang yang mendakwakan

untuk mengambil hak yang didakwakannya itu sebab hak itu adalah milik dari yang

mempunyainya. Tidak seorangpun dari para fuqaha yang berbeda pendapat dalam

hal ini. Hanya saja imam Abu Hanifah berpendapat bahwa, “Sesungguhnya

44
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1983), Jilid III, hal. 410
28

peradilan dalam hal perjanjian dan pembatalannya dilaksanakan secara lahir dan

bathin.45

Beracara di depan pengadilan ditentukan oleh kebenaran formal. Apabila

seorang hakim dibohongi dengan keterangan dan sumpah palsu, selagi belum

terungkap yang sebenarnya, itulah kebenaran di waktu itu karena hakim hanya

dapat menilai yang zhahir, sedangkan yang bathinnya adalah di luar kemampuan

manusia biasa.

Al-Lahnu pada hadits di atas barangkali berarti lebih pintar memanipulasi alat

bukti agar menang berperkara, bahwa di antara pihak yang berperkara itu ada yang

mengetahui argumentasi dan lebih pintar dalam mengemukakan alasan dari yang lainnya.

Hadis tersebut menjadi dalil bahwa keputusan hakim tidak menghalalkan yang

dinyatakan menang apabila apa yang dia tuntut/gugat itu bathil (tidak benar) dalam perkara

itu dan bilamana kesaksian yang dia ajukan adalah dusta.46 Hakim boleh saja memutus

perkara berdasarkan alat-alat bukti yang ada dan sangkaan-sangkaan, tetapi putusan hakim

itu tidak menghalalkan yang haram atau sebaliknya walaupun saksi adalah orang yang

berdusta karena hakim memutus berdasarkan bukti lahiriyah.

Menurut Abu Hanifah, sesungguhnya putusan itu berlaku menurut lahir dan

bathinnya, dan seandainya hakim memutuskan perkara berdasarkan kesaksian palsu

45
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,..., hal. 411
46
Muhammad bin Ismail ash- Shan’any, Subul al Salam,..., hal. 121
29

bahwa wanita ini istri si Fulan, maka wanita itu halal bagi si Fulan (yang mengaku

suaminya) itu.47

Memutuskan perkara dengan bukti lahiriyah adalah karena sesungguhnya

Nabi SAW memberitahukan bahwa beliau memutus perkara sesuai dengan apa

yang beliau lihat, dan beliau dengan serta tidak menafikan putusan berdasarkan

ilmunya. Alasannya “Saya hanya memberikan kepadanya sepotong api neraka” hal

ini menunjukkan bahwa putusannya adalah berdasarkan apa yang dilihat dan

didengar.

Sebagai contoh apabila seseorang mendakwakan haknya pada orang lain

sedangkan dia mengajukan saksi-saksi untuk itu, dan hakim memutuskan hak itu

baginya maka sesungguhnya halal baginya untuk mengambil hak itu jika buktinya

itu bukti yang benar.

Apabila bukti yang diajukan oleh pendakwa itu bukti yang palsu seperti

saksinya, saksi-saksinya adalah palsu sedangkan hakim memutuskan baginya

berdasarkan persaksian ini maka hukumnya itu tidak mengubah kenyataan dan

tidak diperbolehkan bagi orang yang mendakwakan untuk mengambil hak yang

didakwakan sebab hak itu adalah hak bagi yang mempunyainya.48

Namun Abu Hanifah sesuai dengan pendapat Muhammad bin Ismail di

atas, membolehkan mengambil hak yang didakwakan karena putusan itu

dilaksanakan secara lahir dan bathin dan kesalahan hakim di sini tidak boleh

Muhammad bin Ismail ash- Shan’any, Subul al Salam,..., hal. 121


47
48
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,..., hal. 411
30

dinyatakan tertipu akan tetapi kesalahannya itu dikategorikan sebagai kesalahan

mujtahid dan bila hakim yang mujtahid itu salah maka dia juga mendapat satu

pahala.49

Untuk mengetengahi dua pendapat yang berbeda ini, perlu adanya

penggabungan antara bukti lahir dengan ilmu hakim karena hakim tidak boleh

memutuskan perkara berdasarkan ilmunya semata, begitu juga sebaliknya juga

tidak boleh memutuskan berdasarkan kasat mata saja tetapi kedua-duanya

merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan.

Untuk mengoreksi dan meluruskan kedua pendapat itu di sini terlihat

fungsi dan peranan upaya hukum untuk tidak harus bertahan dengan pendapat

masing-masing selagi bisa dikoreksi dan ditinjau ulang kembali sesuatu yang telah

diputuskan itu.

Apabila putusan itu bertentangan dengan kebenaran, maka kesalahan itu

tidak boleh dinyatakan tertipu akan tetapi kesalahannya itu dikategorikan sebagai

kesalahan mujtahid dan apabila hakim yang mujtahid itu salah, maka dia juga

mendapat satu pahala. Cara penilaian seperti itu dapat dijadikan patokan bagi

perkara yang serupa yang disebut dengan yurisprudensi yang didasari dengan alat

bukti seperti bayyinah (fakta kebenaran), sumpah, saksi, bukti surat, firasat, undian

dan lain-lain sebagaimana dinyatakan oleh Rasul dalam hadis:

49
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,..., hal. 411
31

‫عن ابن عباس رضى اهلل عنهما أن النيب صلى اهلل عليه و سلم قال البينة على املدعى‬
50
)‫واليمْي على من انكر (رواه البيهقى‬
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. sesungguhnya Nabi Saw bersabda pembuktian
dituntut kepada penggugat sedangkan sumpah dikenakan atas orang yang
mengingkari (tergugat).” (HR. Baihaqi)

Hadis tersebut menunjukkan bahwa tidak boleh diterima perkataan seseorang

tentang sesuatu yang dia akui dengan hanya berdasarkan pengakuan saja, tetapi dibutuhkan

bukti atau pembenaran dari pihak yang dituntut/digugat. Apabila dia meminta sumpah dari

pihak tergugat, maka dia berhak untuk itu.

Keharusan adanya bukti atas penggugat ialah karena sesungguhnya dia

pada pihak yang lemah, sebab dia mengakui atau menggugat sesuatu yang

bertentangan dengan kenyataannya. Oleh karena itu diwajibkan adanya hujjah yang

kuat. Sebaliknya tergugat di pihak yang kuat, dengan sendirinya ia lepas dari

tanggungan hujjah tersebut. Oleh karena itu dia dicukupkan, bersumpah yang

merupakan hujjah yang lemah.51

Menurut Malik dan Asy-Syafi’i bahwa ketidakberanian untuk bersumpah

tidak cukup untuk menghukum orang yang didakwa, sebab ketidakberanian untuk

bersumpah itu adalah hujjah yang lemah yang wajib diperkuat oleh sumpah orang

yang mendakwa bahwa dia betul dalam dakwaannya sekalipun sumpah itu tidak

Muhammad bin Ismail ash- Shan’any, Subul al Salam,..., hal. 132


50

Muhammad bin Ismail ash- Shan’any, Subul al Salam,..., hal. 132


51
32

diminta oleh orang yang didakwanya tadi. Apabila pendakwa mau bersumpah maka

dia dihukumi dengan dakwaannya itu. Akan tetapi bila dia tidak mau bersumpah

maka dakwaannya ditolak.52 Malik membatasi hukum yang demikian ini hanya

pada dakwaan mengenai harta benda saja, berbeda dengan asy-Syafi’i yang

berpendapat hal itu umum dalam semua dakwaan.53

Adapun ketidakberanian untuk bersumpah tidak boleh dijadikan alasan untuk

dihukumi sebab yang menjadi intinya ialah bahwa orang yang wajib bersumpah tidak

menerima atau tidak mau melaksanakannya. Tidak melakukan sumpah itu tidak berarti

bahwa dia mengakui hak yang didakwakan.54 Akan tetapi dia meninggalkan apa yang

diminta oleh syara’ untuk mengucapkannya. Tetapi sumpah bagi orang yang didakwa,

setelah dia tidak berani melakukannya, mewajibkan hakim untuk memutus satu di

antara dua perkara: dia harus bersumpah yang tadinya tidak mau melaksankannya atau

dia harus mengakui apa yang didakwakan oleh pendakwa. Apapun yang terjadi

sesudah itu, maka dapat dihukumkan.55

Dengan semakin luasnya daerah Islam ke berbagai daerah di jazirah Arab,

Rasulullah sudah merasa sulit untuk menangani kasus-kasus yang terjadi karena

jauhnya tempat. Maka Rasulullah SAW memberi wewenang kepada sebagian

52
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,..., hal. 451
53
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,..., hal. 452
54
Muhammad bin Ali Bin Muhammad al-Syaukani, Nail al Awthar, (t.tp, Iqomah al-Din, t.
th), hal. 219
55
Muhammad bin Ali Bin Muhammad al-Syaukani, Nail al Awthar,..., hal. 220
33

sahabat untuk menyelesaikan perkara yang mereka hadapi, bahkan diizinkan juga

di antara sahabatnya untuk memutuskan perkara di tempat sebagai pendidikan bagi

sahabatnya untuk berijtihad sebagaimana perkataan sahabat:

‫ قال و تعافيين يا أمري املؤمنْي؟‬،‫ إذهب فا قضى بْي الناس‬: ‫عن عبد اهلل ابن موهب أن عثمان قال اإلبن عمر‬
‫قال فما تكره من ذلك و قدكان أبوك يقضى؟ قال إىن مسعت رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم يقول من‬
56
)‫كان قاضيا فقضى بالعدل (رواه الرتمذى‬
Artinya: “Bahwa Khalifah Usman bin Affan pernah berkata kepada Abdullah bin
Umar : Pergilah! Kemudian putuskanlah perkara di antara manusia. Ia
menjawab : hendaklah engkau bebaskan aku hai amirul mukminin!
Khalifah berkata apakah gerangan yang menyebabkan engkau enggan
(melaksanakan) itu, padahal ayahmu pernah melaksanakannya, ia
menjawab sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa yang diserahi tugas hakim, maka hendaklah putuskan
dengan adil.” (HR. At-Tirmidzi)
Keengganan Abdullah bin Umar menjadi hakim menunjukkan bahwa

betapa beratnya tanggung jawab seorang hakim kepada manusia, terlebih lagi

kepada Allah SWT untuk berlaku adil. Dan dikhawatirkan ketidaksanggupannya

untuk melaksanakan tugas peradilan secara sempurna, sehingga para imam yang

lain juga menghindarkan diri dari keterlibatannya dalam peradilan.

Di antara riwayat yang paling menarik dalam hal ini ialah bahwa Hayat

bin Syuraih diminta untuk menjabat hakim di Mesir. Ketika Amir Mesir

menawarkan jabatan itu kepadanya, dia menolak sehingga Amir memaksanya

dengan pedang. Ketika Hayat melihat hal yang demikian, dia mengeluarkan kunci

Abi Isya Muhammad Ibn Isya, Syarh al-Turmudzi, al-Jami’ al Shahih wa Huwa Sunan
56

al-Turmudzi, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2000), jilid II, hal. 327
34

yang ada padanya dan dia berkata, “Inilah kunci pintu rumahku sungguh aku telah

merindukan pertemuan dengan Tuhanku”. Ketika Amir melihat tekadnya yang

demikian itu, dia membiarkannya.57

Menurut penulis sebab utama mengapa para imam menghindarkan diri dari

keterlibatan dalam peradilan adalah kekhawatirannya tidak sanggup melaksanakan

tugas peradilan secara sempurna, apalagi seseorang merasakan bahwa di dalam dirinya

ada suatu kelemahan yang akan membuat tidak percaya diri dengan tugas yang berat

itu.

Sebaliknya orang yang mempunyai kemampuan dan berlaku adil dalam

mengemban tanggung jawab dalam jabatan ini maka Allah pun tidak akan sia-sia

dengan pahala yang besar. Akan tetapi tugas-tugas hakim di lembaga peradilan

menghadapi banyak tantangan. Itulah sebabnya para tokoh dan ulama besar dahulu

menolak masuk dan melibatkan diri ke dalam kekuasaan itu seperti Imam Syafi’i,

menolaknya tatkala beliau diminta oleh Khalifah al-Ma’mun untuk melibatkan diri ke

dalam tugas peradilan.58 Begitu juga Abu Hanifah menolak tatkala diminta oleh

Khalifah al-Manshur untuk bertugas di bidang peradilan.59

Di samping itu Rasulullah SAW pernah berpesan kepada Ali

57
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, ..., hal. 395
58
K. Ali. Sejarah Islam, (Jakarta: Raya Grafindo Persada, 1997), hal. 231
59
Muhammad Ali Duraib al-Tanzim, al-Qadha’ fi Mamluqah al- ‘Arabiyah al- Syu’udiyah,
(Arabiyah: t.tp, 1983), hal. 241
35

‫ اذا جلس بْي يديك اخلصمان فَل‬،‫ قا ل رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم‬،‫عن على رضى اهلل عنه قال‬
‫تقضى حىت تسمعكَلم اَلخركما مسعت من اْل ول فانه أحرى أن يتبْي لك القضاء (رواه أمحد و ابو دود‬
60
)‫و الرتمذى‬
Artinya: “Dari Ali ra, Rasulullah Saw bersabda: Apabila dua pihak yang
berperkara duduk di hadapanmu, maka janganlah kamu tergesa-gesa
memutuskan hukum sebelum kamu mendengar dari orang yang kedua
seperti kamu mendengar dari orang yang pertama, karena sesungguhnya
bila kamu melakukan yang demikian itu, maka akan jelaslah bagimu
peradilannya.” (HR. Abu Dawud dan Turmudzi)

Hadis ini menjadi dalil bahwa wajib atas hakim mendengarkan gugatan

penggugat dan jawaban tergugat (kedua belah pihak yang berperkara) di muka

sidang. Bila sengaja mendengarkan satu pihak saja maka putusannya jadi batal dan

keadilannya tercela.

Apabila pihak tergugat itu hanya diam saja dari bantahan maka menurut

keterangan dalam kitab al-Bahru dari Imam Yahya dan Imam Malik yang dikutip

oleh ash-Shan’any, hakim boleh memutuskan kekalahan atasnya atau ditetapkan

kebenaran penggugat.61 Berarti hukumnya sama dengan orang yang tidak hadir

(verstek). Dengan dibolehkannya putusan mengalahkan pihak yang menolak

memberi jawaban di muka sidang berarti juga dibolehkan mengalahkan orang yang

tidak hadir di depan sidang (verstek) yang tentunya dengan syarat-syarat tertentu

pula.

60
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha fi al Islam,..., hal. 22
61
Muhammad Ismail ash-Shan’any, Subul al-Salam, ..., hal. 121
36

Dengan demikian terlihatlah dengan jelas bahwa fungsi dan kedudukan

peradilan dalam Islam adalah sebagai pemutus persengketaan dalam berbagai lintas

pergaulan umat manusia dengan tujuan akhir menata hubungan serta mengatur hak

perorangan kelompok atau golongan kepada posisi yang benar dan wajar.

C. Prinsip dan Asas Hukum Acara Peradilan

Perbenturan kepentingan dalam hidup bermasyarakat lumrah terjadi,

bahkan hal yang tidak terelakkan, baik di kalangan masyarakat terbelakang maupun

di kalangan masyarakat maju, masyarakat pedesaan maupun perkotaan,

kesemuanya itu punya kepentingan yang kadangkala berbenturan antara satu sama

lain yang didorong oleh corak tingkah laku dan watak yang berbeda-beda sesuai

dengan karakter manusiawinya. Tidak jarang terjadi di dalam mencari suatu

kepentingan itu terdapat perselisihan dan persengketaan yang berujung kepada

perselisihan yang tak kunjung terselesaikan karena mereka tidak memahami batas-

batas haknya. Dalam kepentingan ini peradilan berfungsi sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dari kebutuhan hidup bermasyarakat.

Maha suci Allah yang Agung yang telah menciptakan ketentuan syari’at

untuk menata kehidupan di dunia dan di akhirat tentang hak kepada siapa harus

diberikan dan kepada siapa kewajiban harus dibebankan sebagaimana dijelaskan

dalam firman Allah surat An-Nisa’ ayat 58 :

‫َّاس أَ ْن ََْت ُك ُموا بِالْ َع ْد ِل إِ َّن‬ ِ ِ


َ ْ َ‫إِ َّن اللَّهَ يَأْ ُم ُرُك ْم أَ ْن تُ َؤُّدوا ْاْل ََمانَات إِ َىل أ َْهل َها َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم ب‬
ِ ‫ْي الن‬
) ٥٨: ٤/‫ص ًريا (االنساء‬ ِ ‫اللَّه نِعِ َّما يعِظُ ُكم بِِه إِ َّن اللَّه َكا َن َِمسيعا ب‬
َ ً َ ْ َ َ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan
37

hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.


Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(QS. 4. An-Nisa: 58)

Tidak diragukan lagi bahwa pikiran dan motivasi untuk mewujudkan suatu

kekuasaan peradilan dalam Islam jelas dan gamblang sekali guna mengatur

kehidupan. Kalamullah tidak mungkin ditegakkan dan suatu ajaran tidak mungkin

dijelaskan tanpa ada kekuatan dan kekuasaan sebagai power penegak keadilan

karena agama Islam bukanlah agama yang semata-mata mengatur peribadatan saja

tetapi sebenarnya adalah agama dan kekuatan yang dilindungi oleh kekuasaan.

Kebutuhan dan kepentingan terhadap keberadaan peradilan dalam Islam

adalah tuntutan karena fungsi peradilan merupakan hal yang sangat penting dan

sangat diperlukan. Tanpa adanya wadah peradilan mustahil peraturan-peraturan

yang dibuat bisa dilaksanakan.

Kepentingan dan urgensi peradilan telah ditegaskan di dalam Islam yang

terbukti dengan banyaknya ayat-ayat dan hadits-hadits yang menyangkut

kebutuhan terhadap lembaga peradilan. Misalnya antara lain firman Allah dalam

surat al-Hadid ayat 24

‫َّاس بِالْ ِق ْس ِط (اْلديد‬


ُ ‫وم الن‬
ِ ِ
َ ‫اب َوالْم َيزا َن ليَ ُق‬
ِ ِ ِ
َ َ‫لََق ْد أ َْر َس ْلنَا ُر ُسلَنَا بالْبَ يِّ نَات َوأَنْ َزلْنَا َم َع ُه ُم الْكت‬
) ٢٤ : ٥٧ /
Artinya: “Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
(QS. 57. Al-Hadid: 24)
38

Menegakkan sistim peradilan adalah sarana penting untuk mewujudkan

keadilan yang hakikatnya adalah menjaga hak, memelihara darah, kehormatan dan

harta benda yang dijadikan bagian dari agama yang tidak dapat tidak harus ada.

‫عن أىب هريرة عن ا لنىب صلى ا هلل عليه و سلم قا ل من طلب قضاء املسلمْي حىت بناله‬
62
)‫مث غلب عدله جوره فله اجلنة و من غلب جوره عدله فله النار (رواه ابو دود‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: barang siapa mencari
peradilan bagi kaum muslimin sehingga dia mendapatkannya kemudian
keadilannya mengalahkan kecurangannya, maka baginya surga, dan
barang siapa yang kecurangannya mengalahkan keadilannya maka
baginya neraka.” (HR. Abu Daud)

Eksistensi lembaga peradilan merupakan kebutuhan yang harus ada guna

merealisir perlindungan hak, memelihara darah, harta dan kehormatan. Di sisi lain,

di samping nash-nash pembentukan lembaga peradilan, Rasulullah saw juga

melaksanakan sendiri, kemudian juga melimpahkan wewenang itu kepada para

sahabat. Begitu juga dilaksanakan oleh khalifah-khalifah sesudahnya yang

berlanjut kepada perhatian para fuqaha’ pada setiap masa dan generasi dengan bukti

telah terhimpunnya masalah peradilan di dalam kitab-kitab mereka.

Manusia tidak dapat hidup kecuali dengan kesatuan sosial dan saling

membantu. Jika mereka telah terorganisasi, situasi memaksa mereka supaya saling

memperhatikan, dan dengan demikian dapat memenuhi keperluan mereka.

62
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syawkani, Nail al Awthar,..., hal. 158
39

Setiap orang akan menggerakkan tangannya untuk memperoleh kebutuhan

dari orang lain karena sudah menjadi watak makhluk untuk berlaku agresif dan

terkadang zhalim. Maka orang yang dirugikan sudah tentu berusaha pula

menghalangi perbuatan demikian yang digerakkan oleh rasa amarah dan benci

sebagai reaksi manusia bila hak miliknya terancam.63

Dengan adanya peradilan, maka darah manusia dilindungi dan pada suatu

saat terpaksa ditumpahkan, dan dengan peradilan manusia diperjodohkan dan

perzinaan diharamkan, harta benda ditetapkan pemiliknya dan juga di suatu ketika

dicabut hak pemiliknya. Dengan hukum mu’amalat dapat diketahui mana yang

boleh mana yang dilarang, mana yang makruh dan mana yang disunatkan.

Kehidupan manusia pada setiap masa selalu membutuhkan peradilan sebab kalau

tidak, kehidupan mereka menjadi liar.64

Tidak mungkin satu pemerintahan di dunia ini, apapun bentuknya, akan

dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan karena tidak mungkin masyarakat atau

manusia menghindari persengketaan. Oleh karena itu pula peradilan dipandang suci

oleh semua bangsa dalam berbagai tingkat kemajuannya karena menegakkan

peradilan berarti memerintahkan kebaikan dan mencegah tindakan kezaliman,

mengusahakan ishlah di antara manusia, menyelamatkan mereka dari kesewenang-

63
Ibnu Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, penterjemah Ahmad Thaha, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hal. 228
64
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha’ fi al Islam, ..., Hal. 19
40

wenangan sebahagian yang lain. Karena itu manusia tidak mungkin memperoleh

kestabilan urusan mereka tanpa adanya peradilan.

Islam tidak sekedar mengajarkan tentang aqidah atau keimanan, ibadah,

serta moral. Tetapi Islam juga mengandung ajaran ajaran hukum sebagaimana

dimaksud oleh konsep hukum modern. Islam juga mengajarkan norma-norma yang

pelaksanaannya memerlukan kekuasaan negara. Oleh karena itu Islam

memerintahkan pembentukan badan peradilan untuk menegakkan hukum.

Penegakkan hukum sangat diperlukan karena sifat dasar manusia antara lain senang

kepada hawa nafsu dan berpotensi untuk saling bermusuhan.

Beracara di pengadilan menurut syari’at berlaku asas-asas seperti berikut:

1. Setiap orang yang cakap dapat bertindak hukum di pengadilan secara langsung

maupun dengan perantaraan wakilnya, seperti kasus dalam hadits Aisyah

berkata:

‫حدثين على بن حجر السعدى حدثين على بن مسحر عن حشام بن عروة عن أبيه‬
‫عن عائشة قالت دخلت هند بنت عتبة إمرأة أىب سفيان على رسول اهلل صلى اهلل عليه‬
‫و سلم فقالت يا ر سو ل اهلل إن أبا سفيان رجل شجيع َل يعطىن من النفقة ما يكفىن‬
‫و يكفى بين اَلما أخذت من ماله بغري علمه فهل على ىف ذلك من جناح؟ فقال‬
‫رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم خذى من ما له با ملعروف ماليكفيك و يكفى بينك‬
65
)‫(رواه مسلم‬
Artinya: “Aisyah ra. Meriwayatkan, “Suatu ketika, Hindun binti Utbah –istri Abu
Sufyan- menemui Rasulullah Saw, ia berkata: “Ya Rasulullah,

65
Abi al-Husain Muslim, Shahih Muslim,..., hal. 121
41

sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang kikir; tidak memberikan nafkah
yang cukup untukku dan anakku, kecuali yang aku ambil dari hartanya
tanpa spengetahuannya. Lantas, apakah aku berdosa karena melakukan
itu?” Rasulullah Saw. bersabda, “ Ambillah dari hartanya dengan baik-
baik; secukupnya untuk keperluanmu dan keperluan anakmu.” (HR.
Muslim)
Hadits ini menjadi dalil bahwa ketika seseorang merasa haknya telah

dirugikan dapat langsung menghadap dan mengadukan hal tersebut ke

pengadilan tanpa perantara orang lain kecuali kuasa hukum. Ini membuktikan

bahwa hukum tidak membeda-bedakan manusia. Semua sama di mata hukum,

baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin, pejabat ataupun rakyat

biasa.

Andaikata seseorang merasa kurang mampu untuk menghadap dan

mengadukan halnya kepada pengadilan secara langsung, hukum juga

memberikan peluang untuk mencari pembela sebagai kuasa hukum untuk

membela hak-haknya di depan sidang. Hal ini menggambarkan bahwa hukum

betul-betul bersifat mengatur, melindungi dan membela hak-hak individu dan

dan hak-hak kelompok.

Sebenarnya ketentuan hukum tidak mengatur bahwa pihak-pihak

terkait dalam suatu perkara harus mewakilkan kepada orang lain. Orang yang

langsung berkepentingan dapat aktif bertindak sendiri sebagai pihak di muka

sidang pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat. Akan

tetapi dalam keadaan tertentu pihak yang berperkara dapat mewakilkan kepada

pihak lain untuk berbicara di muka sidang pengadilan, yaitu penerima kuasa.
42

2. Penggugat dan tergugat harus hadir kedua-duanya serta didengar keterangan

masing-masing. Nabi bersabda saya hanya mengadili apa yang saya dengar.

Diriwayatkan dari Ali bahwa Nabi SAW bersabda ketika mengutusnya ke

Yaman, “Janganlah mengadili salah seorang dari dua orang yang bersengketa

sehingga kamu mendengar keterangan pihak lain”. Prinsip ini dapat dikecualikan

dalam hal tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya atau dengan sengaja

enggan untuk menghindari sidang pengadilan yang mengadili perkaranya.

3. Pemanggilan pihak-pihak yang berpekara harus dilakukan dengan patut dan resmi

sebagaimana diungkapkan oleh firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 125:

‫ادع إىل سبيل ربك باْلكمة واملوعظة اْلسنة وجادْلم باليت هي أحسن إن ربك هو أعلم ِبن‬
)١٢٥: ١٦/‫ضل عن سبيله وهو أعلم باملهتدين (النحل‬
Artinya: “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih
mengetahui siapa yang tersesat dari jalannya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 16. An-Nahl: 125)

Ayat ini menjadi dalil bahwa pemanggilan pihak-pihak ke depan sidang

harus dilakukan secara patut dan resmi. Hal ini berarti pemanggilan para pihak

dilakukan dengan jarak waktu yang wajar sehingga pihak dapat mempersiapkan

diri dan pengadilan itu harus ada bukti sampai ke tangan-tangan para pihak

bukan melalui orang lain yang dikhawatirkan terhalang sampainya kepada

pihak-pihak.

4. Perlakuan yang sama terhadap pihak-pihak yang berperkara. Berdasarkan surat

An-Nisa’ ayat 135


43

‫يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامْي بالقسط شهداء هلل ولو على أنفسكم أو الوالدين‬
‫واْلقربْي إن يكن غنيا أو فقريا فاهلل أوىل هبما فَل تتبعوا اْلوى أن تعدلوا وإن تلووا أو‬
)١٣٥:‫تعرضوا فإن اهلل كان ِبا تعملون خبريا (النساء‬
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau
miskin maka Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutarbalikkan kata atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

Ayat ini menjadi dasar bahwa semua orang sama kedudukannya di depan

hukum. Oleh karena itu, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang

peradilan harus berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang. Nabi SAW

Bersabda:

‫عن عبد اهلل بن الزبري قال قضى رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم ان اخلصمْي يقعدان بْي‬
66
)‫يدى اْلاكم (رواه امحد و ابو داود‬
Artinya:”Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata “Rasulullah SAW memutuskan bahwa
dua orang yang sedang bersengketa itu hendaknya sama-sama duduk di
depan hakim” (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Hadis tersebut menjadi dalil bahwa adanya keharusan dan ketentuan

bagi dua orang yang berperkara (penggugat dan tergugat) untuk sama-sama

duduk di depan hakim, dan disamakan antara keduanya oleh majelis hakim itu.

66
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syawkani, Nail al Awthar,..., hal. 180
44

5. Diusahakan agar para pihak yang bersengketa menyelesaikan perkara mereka

dengan cara damai. Dasarnya firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 128:

‫ص ْل ًحا‬ ِ ‫وإِ ِن امرأَةٌ خافَت ِمن ب علِها نُشوزا أَو إِعراضا فَ ََل جناح علَي ِهما أَ ْن ي‬
ُ ‫صل َحا بَْي نَ ُه َما‬ ْ ُ َ ْ َ َ َُ ً َْ ْ ً ُ َ ْ َ ْ ْ َ َ ْ َ
‫ُّح َوإِ ْن َُْت ِسنُوا َوتَتَّ ُقوا فَِإ َّن اللَّهَ َكا َن ِِبَا تَ ْع َملُو َن َخبِ ًريا‬
َّ ‫س الش‬ ِ ِ ‫الص ْلح خي ر وأ‬
ُ ‫ُحضَرت ْاْلَنْ ُف‬
ْ َ ٌ ْ َ ُ ُّ ‫َو‬
) ١٢٨: ٤/‫(النساء‬
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu
bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz
dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.. (QS. 4. An-Nisa’: 128)

Demikian juga perkataan Umar di dalam suratnya yang menyatakan

bahwa “Dan boleh mengadakan perdamaian di antara kaum Muslimin, kecuali

perdamaian yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal”.67

6. Peradilan diselenggarakan secara terbuka, kecuali yang menyangkut kehormatan

dan perkara keluarga. Hal ini berarti dalam mengadili suatu perkara, penegak

hukum (hakim) menyelenggarakan persidangan secara terbuka untuk umum.

Tetapi apabila perkara tersebut menyangkut masalah keluarga sudah barang

tentu akan membuka rahasia dan aib yang akan melecehkan kehormatan

seseorang, sehingga pemeriksaan perkaranya dilakukan secara tertutup.

67
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam,..., hal. 15
45

Hukum Islam sebenarnya belum memiliki hukum acara yang sistematik

baik perdata maupun pidana sebagaimana yang telah tertata dalam hukum umum

yang dikembangkan oleh Barat. Tetapi tidak berarti Islam tidak memiliki asas-asas

hukum untuk semua bidang hukum yang dikenal dalam ilmu hukum umum. Dalam

bidang hukum acara perdata pun Islam memiliki prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah

universal yang juga ditemui dalam hukum umum.

Hukum Islam tidak mengenal perbedaan hukum acara perdata dengan

hukum acara pidana. Hanya saja di dalam hukum pidana hakim harus menetapkan

vonis had dengan sangat hati-hati dan sangat bijaksana, terutama dalam masalah

saksi yang ditimpakan merupakan suatu alat agar orang menjadi jera dan tidak ingin

mengulang kesalahannya lagi, karena dia yakin setiap tindak pidana yang dilakukan

pasti akan dihukum setimpal. Namun dalam menetapkan vonis hukuman itu hakim

harus yakin bahwa tindakan pidana itu merupakan kejahatan-kejahatan yang pasti.

Bila ternyata ada unsur yang meragukan sedikitpun dalam peristiwa pidana itu,

maka dia harus menahan diri dan menunda penetapan vonis tersebut, dan sedapat

mungkin dihindarkan vonis hukuman pidana terhadap seorang muslim bila ternyata

terdapat unsur yang meragukan.

Salah satu prinsip hukum adalah lebih baik salah dalam membebaskan

tertuduh daripada membuat kesalahan dalam menjatuhkan hukuman karena

menghukum orang yang tidak bersalah lebih jelek di mata hukum ketimbang salah

dalam membebaskan tertuduh. Prinsip ini adalah suatu norma dalam rangka

menyuruh dan mengingatkan para hakim untuk bersifat hati-hati di dalam

menangani suatu kasus yang dihadapkan kepadanya.


46

D. Pertumbuhan dan Pembinaan Peradilan

Pertumbuhan dan perkembangan peradilan Islam sejalan dengan

pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Islam. Sedangkan masyarakat Islam

dapat diberi batasan awal, yaitu mulai dari masa tugas kerasulan Nabi Muhammad

SAW pada periode Madinah (622-632M). Pada masa itu mulai dilakukan penataan

kehidupan masyarakat sejalan dengan turunnya wahyu yang berisi pengaturan

kehidupan manusia (selain peribadatan, shalat, puasa, dan haji), yaitu pengaturan

keluarga, harta, pemerintahan, peradilan dan pengaturan antar pemeluk agama dan

antar manusia. Di mana pengaturan pelbagai pranata sosial tersebut mengacu

kepada wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW.

Oleh karena itu, pada masa permulaannya diyakini bahwa peradilan Islam

benar-benar agamis dalam menetapkan suatu ketetapan (putusan). Hal ini

disebabkan karena sumber yang digunakan berasal dari ajaran agama (wahyu),

sehingga memiliki kekuatan dan wibawa hukum dengan menerapkan tidak

membeda-bedakan orang di mata hukum sesuai dengan kondisi sosialnya. Tidak

ada yang ditakuti oleh para hakim kecuali murka Allah dan siksa-Nya. Bahkan para

penguasa pemerintahan pada suatu ketika dapat dihadapkan ke muka pengadilan

apabila mereka digugat atau didakwa oleh suatu pihak, dan merekapun memasuki

ruang pengadilan dengan penuh hormat, menanggalkan segala atribut kebesarannya

serta mengikuti dan menerima segala keputusan yang dijatuhkan terhadap mereka.
47

Sebagai contoh diantaranya adalah peristiwa yang terjadi pada diri

Khalifah al-Manshur tahun 137-159 H. Beliau digugat oleh sekelompok orang

tentang suatu hak di depan hakim Muhammad bin Umar at-Thalahi. Hakim

memanggil khalifah untuk menghadap sidang pengadilan, lalu beliau memenuhi

panggilan tersebut dan hadir di muka sidang. Setelah kedua pihak hadir maka

disamakan duduk mereka di hadapan sidang dan setelah diperiksa serta didengar

keterangan masing-masing pihak, maka diputuskan dengan kemenangan di pihak

penggugat. Setelah pulangnya khalifah ke rumahnya maka dipanggillah hakim

Muhammad untuk menghadapnya. Lalu pergilah hakim menghadap beliau dengan

diliputi rasa ketakutan akan murkanya. Tetapi setelah ia berada di hadapannya maka

beliau berkata kepadanya “Semoga Allah memberimu balasan yang sebaik-baiknya

karena agamamu, Nabimu, ketelitianmu dan karena khalifahmu”.68

Di antara pertumbuhan dan pembinaan peradilan adalah telah ditetapkan

oleh ulama syarat dan kriteria pengangkatan seorang hakim, karena syarat itu

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan dan pembinaan

peradilan dari waktu ke waktu guna menyeleksi kualitas para hakim dalam

mengemban tugas yang diamanatkan kepadanya.

Fuqaha’ berbeda pendapat tentang syarat bagi qadhi. Di antara mereka

ada yang mengatakan, bahwa seorang qadhi harus memenuhi lima belas syarat, dan

di antara mereka ada yang mengatakan tujuh syarat, dan ada yang menentukan 3

syarat. Meskipun terdapat perbedaan pendapat tentang jumlah syarat yang

68
Muhammad Salam Madkur, Al Qadha fi al-Islam,..., hal. 34
48

ditetapkan, akan tetapi beberapa syarat bisa dicakup oleh yang lain dan adakalanya

sejumlah syarat itu dapat tercakup dalam satu macam syarat.

Adapun yang menjadi pusat perhatian terhadap kriteria dan persyaratan

seorang hakim itu ada dua persoalan sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad

Salam Madkur:69

Pertama, kemampuan qadhi dan kebaikan akhlaknya. Seseorang tidak


bisa diangkat menjadi hakim apabila ia tidak memiliki kemampuan di bidang ini,
oleh karena itu akan diperhatikan pula tentang kecerdasan, kecerdikan dan
keluwesan atau kekuasaan ilmnya, begitu juga tentang segi-segi ketenangan hati,
kebersihan jiwa dan keluhuran budinya.
Kedua, bahwa hakim harus diliputi situasi yang tinggi kemajuan bangsa,
dapat menjamin kebebasan dirinya dalam melaksanakan tugas yang suci. Makin
besar pula jaminan kemerdekaan itu dapat diperoleh oleh para hakim.

Selanjutnya syarat-syarat yang lain adalah

1. Baligh, berakal dan merdeka.

Syarat ini disepakati dan tidak cukup hanya sekedar dipandang telah

mukallaf (terkena beban agama), karena berakal di sini harus benar-benar sehat

pikiran, cerdas dan dapat memecahkan masalah yang pelik dengan

kecerdasannya itu.70

2. Beragama Islam

Adapun ke-Islaman seseorang menjadi syarat seorang hakim, karena

berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 141

)١٤١: ٤ /‫ْي َسبِ ًيَل (النساء‬ِِ ِ ِ


َ ‫َولَ ْن ََْي َع َل اللَّهُ ل ْل َكاف ِر‬
َ ‫ين َعلَى الْ ُم ْؤمن‬

69
Muhammad Salam Madkur, Al- Qadha fi al Islam,..., hal. 20
70
Muhammad Salam Madkur, al Qadha fi al Islam,..., hal. 38
49

Artinya:”Allah sekali-kali tidak menjadikan jalan bagi orang kafir atas orang-
orang mukmin. (QS. 4. An-Nisa’: 141)

Menurut jumhur ulama, ke-Islaman adalah syarat menjadi saksi atas

seorang muslim, oleh karena itu, hakim non muslim tidak boleh memutus

perkara orang muslim.

Menurut mazhab Hanafi, diperbolehkan mengangkat qadhi non Muslim

karena keahlian mengadili itu ada hubungannya dengan keahlian menjadi saksi

padahal orang kafir Dzimmi boleh menjadi saksi terhadap Dzimmi lainnya.71

Menurut Syihabuddin al-Ramli dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj,

bahwa orang yang sah diangkat menjadi hakim adalah orang muslim, karena

orang kafir tidak pantas untuk memerintah dan diangkatnya orang kafir untuk

memerintah hanya semata-mata siyasah bukan untuk menetapkan hukum dan

keputusan. Oleh sebab itu syarat muslim merupakan syarat yang harus

diprioritaskan dalam mengangkat seorang hakim.72

3. Adil

Adil yaitu terhindar dari dosa besar dan tidak berkekalan dalam

melakukan dosa kecil serta menjaga kehormatan (muru’ah).73 Hal ini

menunjukkan bahwa seorang hakim tersebut harus benar dalam pembicaraan,

71
Muhammad Salam Madkur, al Qadha fi al Islam,..., hal. 38
72
Syihabuddin Ramli, Nihayah al Muhtaj, (Beirut: Dar al-Ihya, 1004), hal. 238
73
Abd Karim Zaidan, Nizham al-Qadha fi al Syari’ah al Islamiyah,..., hal. 38
50

dapat dipercaya, menjaga kehormatan diri dari segala yang dilarang, jujur dalam

keadaan marah atau suka.

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat antara mazhab Hanafi dan

Syafi’i. Golongan Hanafi berpendapat bahwa putusan hakim yang fasik adalah

sah bila sesuai dengan syara’ dan undang-undang. Sedang Syafi’i tidak

membolehkan mengangkat orang fasik menjadi hakim karena seorang fasik

tidak diterima sebagai saksi.74

4. Memiliki pengetahuan tentang pokok-pokok hukum agama, dan cabang-

cabangnya dan dapat membedakan yang haq dari yang bathil.75 Dalam hal ini,

Hanafi membolehkan mukalid menjadi hakim sesuai pendapat al-Ghazali karena

mencari orang yang adil dan ahli ijtihad sangat sulit dengan ketentuan yang telah

diangkat oleh penguasa.76

5. Mendengar, melihat, dan tidak bisu. Sebab orang bisu tidak mungkin dapat

menyampaikan putusan dengan ucapan, dan tidak semua orang paham isyarat-

isyaratnya, dan orang yang tuli tidak dapat mendengarkan pembicaraan pihak-

pihak yang berperkara, demikian juga orang buta tidak dapat menyingkap

(rahasia) persengketaan. Sebagian pengikut Syafi’i membolehkan orang buta

menjadi qadhi, tetapi mengakui lebih utama orang yang tegap dan sehat.77

6. Laki-laki

74
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam,..., hal. 25
75
Muhammad Salam Madkur, al Qadha fi al Islam,..., hal. 38
76
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam,..., hal. 25
77
A. Basiq Djalil, Peradilan Islam,..., hal. 25
51

Menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad, anak kecil dan wanita tidak

sah menjadi hakim. Namun, Hanafi membolehkan wanita menjadi hakim dalam

sengketa harta dan keuangan (al-qadhaa’ al-madani), alasannya karena dalam

masalah muamalah, kesaksian wanita dapat diterima. Adapun dalam masalah

hudud, qishash, atau hukum-hukum jinayah lainnya, wanita tidak boleh menjadi

hakim sebab kesaksiannya dalam masalah ini tidak diterima. Sebagaimana

diketahui, kompetensi dalam bidang menetapkan perkara berkaitan erat dengan

kompetensi menjadi saksi.78

Ibnu Jarir ath-Thabari membolehkan perempuan menduduki jabatan

qadhi secara mutlak dalam semua bentuk perkara. Alasannya, karena dia boleh

menjadi mufti, dia juga boleh menjadi qadhi.79

Dalam rangka pembinaan peradilan seharusnya calon hakim yang akan

diangkat oleh pemerintah adalah seeorang yang telah memenuhi kriteria dan

syarat-syarat di atas yang disertai dengan ilmu yang cukup tentang peradilan dan

dapat menyelesaikan sengketa dengan cara adil dan dapat dipercaya, bersih dari

pamrih, jauh dari hasrat yang hina serta taqarrub kepada Allah. Di samping itu

juga perlu diperhatikan gaji dan kesejahteraan hakim sehingga pusat

perhatiannya betul-betul tertumpu kepada tugas suci yang diamanahkan sebagai

wakil Allah di permukaan bumi yang bebas dan tidak terpengaruh oleh segala

78
Wahbah az Zuhaily, Fiqh Islam wa Adilatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Juz VI, hal.
482
79
Muhammad Salam Madkur, al Qadha fi al Islam,..., hal. 38
52

pamrih yang tidak benar serta bebas dari pengaruh dan lain-lain yang akan

merusak citra para hakim.


BAB III

UPAYA HUKUM SECARA UMUM

A. Pengertian Upaya Hukum

Secara bahasa, upaya hukum terdiri atas dua kata yaitu upaya dan hukum.

Upaya berarti usaha, akal dan ikhitar untuk mencapai suatu maksud, 80 sedangkan

hukum yang dimaksud dalam tulisan ini adalah keputusan atau pertimbangan yang

ditetapkan oleh hakim di pengadilan.81 Dengan demikian upaya hukum merupakan

suatu ikhitiar atau usaha yang dilakukan oleh seorang atau instansi maupun lembaga

untuk mencapai maksudnya dengan melakukan mosi tidak puas terhadap suatu

putusan hakim di lembaga peradilan.

Secara istilah, terdapat beberapa pengertian upaya hukum yang

dikemukakan oleh para pakar hukum, misalnya Sarwono mengungkapkan bahwa

upaya hukum adalah suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada

semua pihak yang sedang berperkara di pengadilan untuk mengajukan perlawanan

terhadap keputusan hakim.82 Selain itu, upaya hukum juga dapat dimaksudkan

dengan usaha setiap orang yang merasa dirugikan hak atau kepentingannya untuk

memperoleh keadilan dan perlindungan atau kepastian hukum dengan cara-cara

yang ditetapkan undang-undang.83 Sedangkan upaya hukum menurut Peradilan

80
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal.
1250
81
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia,..., hal. 410
82
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), Cet.
ke-4, hal. 350
83
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hal. 271

53
54

Agama adalah sama dengan pengertian upaya hukum yang diterangkan oleh

Sarwono di atas (menurut hukum acara perdata), karena upaya hukum adalah

bahagian dari hukum acara, sedangkan hukum acara yang berlaku pada Pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum (Pasal 54 Undang-undang Nomor

7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama).84

Upaya hukum dapat ditemukan dalam hukum acara perdata maupun dalam

hukum acara pidana. Dalam hukum acara pidana, upaya hukum memiliki

pengertian yang tidak jauh berbeda dengan pengertian upaya hukum yang terdapat

dalam hukum acara perdata. Upaya hukum dalam sistem hukum pidana merupakan

hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang

berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan

permohonan Peninjauan Kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

kitab undang-undang hukum acara pidana.85

Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, upaya hukum merupakan

hak para pihak yang sedang berperkara untuk mengajukan perlawanan terhadap

keputusan hakim, baik itu keputusan hakim di tingkat Pengadilan Negeri,

Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung. Perlawanan terhadap keputusan

hakim tersebut menunjukkan ketidakpuasan terhadap suatu putusan yang akan

memberi kesempatan dalam beberapa hal, yaitu:

84
Direktorat Jend. Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan di Lingkungan Peradilan Agama Edisi I 2012, hal. 268
6
Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Kencana, 2014), hal. 268. Selanjutnya
perumusan upaya hukum dicantumkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
55

1. Berhak memanfaatkan upaya hukum biasa, berupa permintaan pemeriksaan


kepada Pengadilan Tinggi atau permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung.
2. Berhak memanfaatkan upaya hukum luar biasa, berupa permintaan pemeriksaan
kembali
3. bali atau “peninjauan kembali” putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.86

Upaya hukum diberikan oleh Undang-Undang dimaksudkan untuk

mencegah adanya keputusan hakim yang salah. Hal ini disebabkan karena hakim

sebagai manusia dan sudah barang tentu juga tidak terlepas dari suatu kesalahan

atau kekhilafan.87 Dengan adanya upaya hukum yang diberikan oleh undang-

undang kepada setiap orang yang sedang berperkara di pengadilan memberikan

manfaat sebagai berikut:

1. Untuk mencegah adanya keputusan yang salah.

2. Untuk mencegah adanya hakim yang berpihak kepada salah satu pihak dalam

suatu perkara.

3. Untuk mencegah adanya kesewenang-wenangan hakim dalam menangani suatu

perkara.

4. Untuk memicu hakim dalam melaksanakan tugasnya agar dalam menangani

suatu perkara dapat bertindak bijaksana dan memberikan keputusan yang adil.

5. Untuk terciptanya asas peradilan yang dapat dilaksanakan dengan sederhana,

cepat, dan biaya ringan.

6. Untuk menjadi tumpuan akhir bagi para pencari keadilan.

7. Untuk mendidik para hakim menjadi hakim profesional.

86
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1988), hal. 359
8
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek,..., hal. 350
56

8. Untuk memperbaiki keputusan hakim yang salah.88

Selanjutnya dari beberapa pemikiran dan pengertian upaya hukum, dapat

dicermati kriteria-kriteria upaya hukum tersebut, yaitu:

1. Adanya putusan hakim di suatu pengadilan.

2. Adanya rasa ketidakpuasan salah satu pihak yang berperkara atau merasa

dirugikan dengan putusan hakim tersebut.

3. Para pihak yang merasa tidak mendapatkan keadilan atau merasa dirugikan

melakukan tindakan hukum yaitu meneruskan perkaranya ke lembaga peradilan

yang lebih tinggi.

4. Adanya pemeriksaan ulang terhadap perkara tersebut secara keseluruhan dalam

konteks penerapan hukum acara (hukum formil).

Hukum acara perdata mengenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya

hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa ialah perlawanan

terhadap putusan verstek (verzet), banding, dan kasasi. Sedangkan upaya hukum

luar biasa yang terdiri dari peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.89 Dengan demikian upaya hukum yang dibahas

dalam bab ini meliputi kedua jenis upaya hukum tersebut, yakni upaya hukum biasa

dan upaya hukum luar biasa.

B. Bentuk-bentuk Upaya Hukum

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa upaya hukum dalam

pengertian umum meliputi segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang maupun

88
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek,..., hal. 351
89
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Bukiittinggi Press,
2010), hal. 113
57

para pihak yang mengatasnamakan hukum dalam maksud untuk melanjutkan

perkaranya ke tingkat yang lebih tinggi karena merasa tidak puas terhadap putusan

yang dijatuhkan.

Akan tetapi pada prinsipnya, upaya hukum itu adalah suatu istilah khusus

terhadap suatu tindakan hukum yang diambil seseorang karena tidak puas dengan

putusan pengadilan. Tentu saja hal ini akan mengarah kepada bentuk upaya hukum

yang sesungguhnya yaitu upaya hukum verzet, upaya hukum banding, upaya

hukum kasasi, dan upaya hukum peninjauan kembali. Maka dalam pembahasan

selanjutnya, hanya empat bentuk upaya hukum ini yang akan dibahas dalam tulisan

ini.

1. Upaya Hukum Verzet

Verzet artinya perlawanan terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh

pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Agama), yang diajukan oleh tergugat yang diputus

verstek tersebut, dalam waktu tertentu, yang diajukan ke Pengadilan Agama yang memutus

perkara tersebut.90

Perlawanan terhadap putusan verstek dapat diajukan dalam waktu 14 hari sejak

pemberitahuan diterima Tergugat secara langsung (in person). Jika putusan verstek itu tidak

langsung diberitahukan kepada Tergugat, maka perlawanan masih dapat diajukan sampai

hari ke delapan setelah aanmaning (teguran) untuk melaksanakan putusan verstek itu; atau

90
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama,..., hal. 113
58

apabila Tergugat tidak datang menghadap pada saat aanmaning, perlawanan Tergugat dapat

diajukan sampai hari ke 14 (Pasal 153 ayat (2) R.Bg) sesudah putusan verstek dijalankan.91

Verzet (perlawanan) ini dapat menangguhkan eksekusi, terkecuali jika

dalam putusan verstek tersebut telah dijatuhkan putusan dengan serta merta yang

pelaksanaan putusannya dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun pihak

tergugat mengajukan permohonan banding atas putusan verstek.92

2. Upaya Hukum Banding

Banding atau apple adalah permintaan atau permohonan yang diajukan

oleh salah satu atau oleh pihak-pihak yang terlibat dalam perkara, agar penetapan

atau putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang dalam

pemeriksaan tingkat banding yaitu Pengadilan Tinggi Agama.93

Tujuan utama pemeriksaan tingkat banding adalah untuk mengoreksi, dan

meluruskan segala kesalahan dan kekeliruan penerapan hukum, tata cara mengadili,

penilaian fakta, dan pembuktian.94 Jadi pada hakikatnya, kewenangan Pengadilan

Tinggi Agama mengadili perkara perdata dalam tingkat banding adalah

kewenangan “memeriksa ulang ” suatu perkara yang telah diputus oleh Pengadilan

Agama sebagai peradilan tingkat pertama.

Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Agama adalah

pemeriksaan secara keseluruhan perkara yang dimintakan banding tersebut. Jika

12
Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009) hal. 128
92
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek,..., hal. 353
14
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia IKAHI, 2008), hal. 366
15
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), Cet. ke-3, hal. 337
59

sekiranya pengadilan tingkat banding berpendapat pemeriksaan sudah tepat

menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang dan amar putusannya sudah

sesuai dengan hukum yang berlaku dalam perkara yang bersangkutan, maka

pengadilan tingkat banding itu berwenang untuk menguatkan putusan tersebut

dengan cara mengambil alih seluruh pertimbangan dan putusan sebagai

pertimbangan dan putusannya sendiri. Sebaliknya jika pengadilan tingkat banding

berpendapat bahwa perkara yang diperiksa oleh pengadilan tingkat pertama

terdapat kesalahan dalam penerapan hukum atau kekeliruan cara mengadilinya,

maka pengadilan tingkat banding berwenang untuk membatalkannya dan mengadili

sendiri dengan putusan yang dianggap benar sebagai koreksi dari pada putusan

pengadilan tingkat pertama.95

Mengenai masalah banding ini antara perkara pidana dan perdata berbeda

dasar hukumnya. Banding dalam perkara pidana diatur dalam pasal 67, 87, 233-243

KUHP, sedangkan perkara perdata diatur dalam Undang-undang No. 20 tahun 1974

untuk Jawa dan Madura sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur

dalam R.Bg pasal 199 sampai dengan 205.96

Adapun perihal banding untuk perkara perdata agama telah diatur sejak

zaman penjajahan hindia Belanda, yaitu dengan keluarnya Staatblad 1937 Nomor

610 dengan didirikannya sebuah Pengadilan Agama Tinggi (Hof Voor Islamic Tishe

Zaken) atau Mahkamah Islam Tinggi pada tanggal 1 Januari 1938, yakni suatu

95
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama,..., hal. 337
96
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993),
Cet. ke-1, hal. 195
60

majelis Pengadilan Appel untuk memeriksa keputusan-keputusan Pengadilan

Agama yang diberlakukan untuk wilayah Jawa dan Madura.97

Selain di daerah Jawa dan Madura, pemerintah Hindia Belanda juga

membuat peraturan-peraturan mengenai Pengadilan Agama di daerah lain, seperti

di daerah Kalimantan Selatan. Di daerah ini berlaku peraturan pengadilan qadhi

yaitu Kerapatan Qadhi sebagai Pengadilan Agama tingkat pertama dan Kerapatan

Qadhi Besar sebagai Pengadilan Banding yang termuat dalam Staatblad Nomor

638 dan 639, dengan susunan dan kekuasaan yang sama dengan Pengadilan Agama

di Jawa dan Madura. Staatblad tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari 1938.98

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan mengenai perihal banding terlihat

dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, terdapat

tiga macam peraturan Peradilan Agama dengan kompetensi (kekuasaan) yang

berbeda yaitu:

1. Staatblad (selanjutnya ditulis stbl) 1882 nomor 152 jo stbl 1937 No 116 dan 610

untuk Jawa dan Madura, dengan nama Pengadilan Agama (priesteraad) untuk

pengadilan tingkat pertama, dan MIT (Mahkamah Islam Tinggi) untuk

pengadilan tingkat banding (yang berhubungan dengan perkawinan).

2. Stbl 1937 Nomor 638 dan 639 untuk daerah Kalimantan Selatan, dengan nama

Kerapatan Qadhi untuk pengadilan tingkat pertama dan Kerapatan Qadhi Besar

untuk pengadilan tingkat banding, kompetensinya sama dengan Peradilan

Agama di Jawa dan Madura.

18
Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada
Peradilan Agama,..., hal. 130
19
Rahmiati, Peradilan Islam, (Bukittinggi: STAIN Bukittinggi, 2004), hal. 101
61

3. PP Nomor 45 tahun 1957 untuk daerah-daerah selain Jawa, Madura dan

Kalimantan Selatan, kompetensinya lebih luas, selain perkara munakahat juga

perkara waris, wakaf, hibah, shadaqah, hadhanah, dan yang lainnya.99

Kemudian pada tanggal 28 Januari 1980 lahir Keputusan Menteri Agama

Nomor 6 Tahun 1980 penyeragaman nama-nama Peradilan Agama, yakni:

a. Pengadilan Agama untuk seluruh Pengadilan Agama tingkat pertama (Pengadilan

Agama, Kerapatan Qadhi, Mahkamah Syar’iyyah).

b. Pengadilan Tinggi Agama untuk seluruh Pengadilan Agama tingkat banding,

termasuk di dalamnya Mahkamah Islam Tinggi, Kerapatan Qadhi Besar dan

Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah Propinsi.100

Berdasarkan ketentuan di atas dapat dipahami pada masa ini sudah terlihat

usaha pemerintah untuk menyatukan nama-nama peradilan yang berbeda

sebelumnya. Namun demikian peraturan menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980

dirasa belum mencapai solusi dari permasalahan di lingkungan Peradilan Agama,

hal ini berlangsung hingga tahun 1989. Pada tahun 1989 ini terwujudlah Undang-

Undang tentang peradilan Agama, yakni Undang-undang nomor 7 tahun 1989

Tentang Peradilan Agama. Khusus mengenai banding diatur di dalam Pasal 61

Undang-undang nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama,

20
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 101
21
Rahmiati, Peradilan Islam, ..., hal. 109
62

yaitu “Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding

oleh yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan lain”.

Dengan adanya lembaga banding, dibuka kemungkinan bagi pihak-pihak

pencari keadilan yang merasa dirugikan dan atau dikalahkan mengajukan

pemeriksaan ulang kepada pengadilan tingkat banding. Permintaan yang diajukan

oleh satu pihak atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkara dimaksudkan agar

putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh

pengadilan tingkat banding secara keseluruhan, dari awal pemeriksaan sampai

putusan dijatuhkan.

Kekuasaan demikian seakan-akan mengambil alih kedudukan dan

kekuasaan atau kewenangan peradilan tingkat pertama dengan melalui prosedur dan

persyaratan formil dengan tujuan utama adalah mengoreksi dan meluruskan segala

kesalahan dan kekeliruan dalam penetapan hukum, tata cara mengadili, menilai

fakta dan pembuktian.

Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara-

perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama tidak bersifat otomatis. Pengadilan Tinggi

Agama sebagai peradilan tingkat banding terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan

Agama, baru bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak atau para pihak yang berperkara

mengajukan permintaan pemeriksaan banding. Pengadilan Tinggi Agama tidak berwenang

meminta kepada Pengadilan Agama untuk memeriksa suatu perkara dalam tingkat banding

tanpa ada permintaan dari salah satu pihak atau para pihak yang berperkara. Dengan adanya

permintaan banding maka terbukalah kewenangan pemeriksaan perkara dalam tingkat

banding. Pengadilan Agama yang bersangkutan, mengirimkan seluruh berkas yang


63

dimohon banding kepada Pengadilan Tinggi Agama. Yang harus dikirimkan termasuk

semua surat panggilan, surat pemberitahuan, akta permohonan banding, memori dan kontra

memori banding, berita acara pemeriksaan termasuk replik dan duplik, surat-surat bukti,

keterangan ahli, berita acara pemeriksaan setempat, surat gugatan, surat kuasa dan penetapan

atau putusan.101

Dengan diajukannya permohonan banding ke pengadilan tinggi, maka

perkara menjadi mentah kembali dan belum mempunyai kekuatan hukum yang

tetap, sehingga pelaksanaan dari putusan hakim belum dapat dilaksanakan oleh

pengadilan karena adanya upaya hukum lain berupa banding, terkecuali apabila

dalam keputusan pengadilan dikeluarkan dengan keputusan serta merta, pengadilan

dapat langsung melaksanakan keputusan tanpa harus menunggu adanya kekuatan

hukum yang tetap. Adanya pengajuan permohonan banding dalam suatu

persidangan umumnya dapat menangguhkan eksekusi, kecuali jika dalam

keputusan tersebut dapat dilaksanakan dengan serta merta tidak akan

menangguhkan eksekusi dan eksekusi dapat dilaksanakan sesuai dengan isi

keputusan pengadilan.102

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa yang bisa mengajukan permohonan

banding adalah para pihak yang berkepentingan. Hal ini berarti bahwa pihak yang dikalahkan

yaitu yang gugatannya ditolak atau dikabulkan sebahagian atau dinyatakan tidak dapat

diterima. Apabila permohonan banding diajukan oleh pihak yang menang seperti dalam hal

gugatan dinyatakan tidak dapat diterima atau gugatan ditolak berarti ketika itu tergugat

101
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama,..., hal. 337
23
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek,..., hal. 353
64

berada pada posisi yang menang. Dalam kondisi seperti itu lalu tergugat pula yang

mengajukan permohonan banding dengan niat yang tidak baik yaitu untuk menutup

kemungkinan pengajuan gugatan baru dalam waktu dekat, maka dalam hal seperti ini

menurut hemat penulis permohonan banding semacam itu harus dinyatakan tidak dapat

diterima karena diajukan oleh seorang yang tidak berkepentingan, maksudnya bukan

diajukan oleh pihak yang kalah.

Adapun yang menjadi syarat diajukannya permohonan banding adalah

sebagai berikut:

a. Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.


b. Diajukan masih dalam masa tenggang waktu banding.
c. Putusan tersebut menurut hukum boleh dimintakan banding.
d. Membayar panjar biaya banding kecuali dalam hal prodeo.
e. Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang putusannya dimohonkan
banding.103

Masa tenggang waktu pengajuan banding ditetapkan sebagai berikut:


a. Bagi pihak yang bertempat kediaman di daerah hukum Pengadilan Agama yang
putusannya dimohonkan banding tersebut maka bandingnya ialah 14 hari
terhitung mulai hari berikutnya dari hari pengumuman putusan kepada yang
bersangkutan.
b. Bagi pihak yang bertempat kediaman di luar daerah hukum Pengadilan Agama
yang putusannya dimohonkan banding tersebut, maka masa bandingnya adalah
30 hari terhitung mulai dari hari berikutnya dari hari pengumuman putusan
kepada yang bersangkutan (Pasal 7 UU No. 20 tahun 1947).
c. Dalam hal permohonan banding dengan prodeo, maka masa banding dihitung
mulai hari berikutnya dari hari pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi
Agama tentang izin berperkara secara prodeo tersebut diberitahukan kepada
yang bersangkutan oleh Pengadilan Agama (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) UU No.
20 tahun 1947).104

Berdasarkan Pasal 61 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3

103
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,..., hal. 273
25
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,..., hal. 274
65

Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yaitu “Atas Penetapan dan putusan

Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh yang berperkara, kecuali apabila

undang-undang menentukan lain”.105

Pengecualian yang disebutkan di atas dapat dilihat dari dua kategori.

Kategori pertama perkara yang bersifat finansial sebagaimana diatur dalam Pasal

49 huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

mengenai ekonomi syari’ah, maka perkara yang dapat diajukan banding mengacu

kepada nilai standar objek terperkara sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-

Undang Nomor 20 tahun 1947 Tentang Peradilan Ulang di Jawa dan Madura, yaitu

tidak boleh kurang dari seratus rupiah. Kategori kedua adalah bahwa perkara yang

dapat diajukan banding adalah perkara contentiosa, bukan voluntair. Jadi keputusan

Pengadilan Agama atas perkara Voluntair yang diformulasikan dalam bentuk

penetapan tidak dapat diajukan banding. Perkara di Peradilan Agama yang

tergolong voluntair adalah:

1. Penetapan ahli waris (Penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3


Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama).
2. Dispensasi Kawin (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
3. Izin Kawin (Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 15
ayat (2) Kompilasi Hukum Islam).
4. Permohonan penetapan wali adhal (Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam jo. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987).
5. Permohonan Penetapan perwalian (Pasal 50 s.d. 54 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 jo Pasal 107 s.d 112 Kompilasi Hukum Islam).
6. Penetapan asal usul anak (Pasal 55 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam).106

26
Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada
Peradilan Agama,..., hal. 130
106
Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada
Peradilan Agama,..., hal. 130
66

3. Upaya Hukum Kasasi

Lembaga kasasi berasal dari Perancis. Kata “Kasasi” (dalam bahasa Perancis cassation)

berasal dari bahasa Perancis casser yang berarti “memecahkan” atau “membatalkan”.107 Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia kata kasasi berarti pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah

Agung terhadap putusan atau tidak sesuai dengan Undang-Undang.108

Wirjono Prodjodikoro mengatakan, kasasi adalah salah satu tindakan

Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas putusan-putusan pengadilan

lain.Soerosomengemukakan bahwa kasasi adalah pembatalan oleh Mahkamah

Agung atas putusan Pengadilan tingkat tertinggi hakim yang tidak atau

bertentangan dengan hukum yang berlaku yang dilakukan oleh Mahkamah

Agung.109 Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa kasasi

merupakan pembatalan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Pada awalnya undang-undang yang mengatur kasasi bagi perkara yang

diputus peradilan agama tidak ada.110 Semula Mahkamah Agung dalam sejarahnya

hanya memutuskan perkara dalam lingkungan peradilan umum. Mahkamah Agung

dalam putusannya tanggal 7 Juni 1951 dan 9 Juni 1952 menetapkan bahwa kasasi

hanya mungkin dan diizinkan terhadap putusan yang diambil dalam lingkungan

peradilan umum biasa (rechterlijke beslissingen).111

107
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2004), Cet. ke-4, hal. 189
108
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata,..., hal. 189
109
Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2011), Cet. ke-2, hal. 145
31
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata,..., hal. 201

32
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata,..., hal. 190
67

Dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1977

tertanggal 26 November 1977 Mahkamah Agung membuka kesempatan bagi para

pencari keadilan untuk meneruskan ke tingkat kasasi perkara-perkara yang diputus

pengadilan di lingkungan peradilan agama.112

Dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor IV Tahun 1977 tertanggal

26 November 1977 yang ditujukan kepada Mahkamah Islam Tinggi, Pengadilan

Agama, Mahkamah Militer (Agung), Mahkamah Militer Tinggi, Mahkamah

Militer, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri seluruh Indonesia, Mahkamah

Agung memberitahukan bahwa permohonan kasasi dari pengadilan dalam

lingkungan peradilan agama dan militer sudah dapat diajukan kepada Mahkamah

Agung untuk dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.113

Hukum Acara yang berlaku untuk perkara kasasi adalah Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung serta Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.114

Kewenangan pengadilan kasasi sebagai tingkat peradilan sangat terbatas

meliputi hal-hal yang ditentukan dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1985 sepanjang mengenai:

33
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata,..., hal. 201
34
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata,..., hal. 201
35
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama,..., hal. 120
68

a. Memeriksa dan memutus tentang tidak berwenang atau melampaui batas


wewenang Pengadilan tingkat bawah dalam memeriksa dan memutus suatu
perkara (transgression, melampaui batas wewenang).
b. Memeriksa dan mengadili kesalahan penerapan atas pelanggaran hukum yang
dilakukan pengadilan bawahan dalam memeriksa dan memutus perkara
(misjudge, salah menerapkan hukum atau peraturan yang berlaku).
c. Memeriksa dan mengadili kelalaian tentang syarat-syarat wajib dipenuhi
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (negligent, lalai
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh ketentuan undang-undang dan
kelalaian itu dapat mengancam batalnya putusan).115

Dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa terhadap putusan pengadilan dalam

tingkat banding dapat dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pihak-pihak

yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. dalam Pasal 43 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung dinyatakan,

bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya

telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-

undang.116 Pengecualian itu terjadi menurut penjelasan Pasal 43 ayat (1), berupa

adanya putusan pengadilan tingkat pertama yang oleh undang-undang tidak dapat

dimohon banding. Umumnya hal itu dijumpai dalam perkara yang sifat gugatannya

permohonan (volunteer) yang keputusannya berbentuk penetapan.117

Pasal 43 ayat (2) menyatakan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan

hanya 1 (satu) kali. Penegasan ini penting agar tidak terjadi kesalahan penafsiran

yang menganggap permohonan kasasi dapat diajukan berulang-ulang. Tujuannya

untuk menegakkan kepastian hukum. Sekiranya yang mengajukan kasasi pihak

tergugat dan terhadap permohonan itu telah dijatuhkan putusan oleh Mahkamah

36
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 348
37
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama,..., hal. 119
117
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 348
69

Agung dalam tingkat kasasi, maka pengajuan kasasi untuk kedua kali bukan hanya

tertutup untuk pihak tergugat saja. Tetapi sekaligus tertutup untuk pihak penggugat.

Demikian asas yang yang ditentukan dalam Pasal 43 ayat (2) tersebut, sekali

perkara telah diputuskan dalam tingkat kasasi, gugur hak para pihak untuk

mengajukan permohonan kasasi tanpa mempersoalkan apakah yang bersangkutan

telah mempergunakan haknya untuk kasasi atau tidak.118

Syarat-syarat kasasi ialah :119

a. Diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi.


b. Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.
c. Putusan atau penetapan judex factie, menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
d. Membuat memori kasasi.
e. Membuat panjar biaya kasasi.
f. Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan Agama / Panitera Pengadilan Tingkat
Pertama yang bersangkutan.

Permohonan kasasi hanya dapat diajukan oleh pihak yang berperkara atau

wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Hal ini diatur dalam Pasal 44

ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.120

Permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam usaha tenggang waktu

kasasi, yaitu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan

kepada yang bersangkutan. Hal ini diatur dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 14 tahun 1985 dan apabila tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa

ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berperkara maka dianggap telah

menerima putusan Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.

118
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 349
119
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,..., hal. 285
41
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,..., hal. 285
70

Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan tingkat

banding atau tingkat akhir dari semua lingkungan peradilan. Hal ini diatur dalam

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Mahkamah Agung dalam tingkat

kasasi dapat membatalkan putusan atau penetapan dari semua lingkungan peradilan

karena:

a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.

b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan per undang-

undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang

bersangkutan.

4. Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Peninjauan Kembali (PK) adalah upaya hukum luar biasa. ketentuannya terdapat dalam Bab

IV, Bagian Keempat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, yang terdiri dari Pasal 66 sampai dengan

Pasal 76.121 Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Bagian

keempat, yang disebut adalah “pemeriksaan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap”.122

Disebutkan upaya hukum luar biasa karena upaya hukum peninjauan

kembali adalah suatu tindakan memeriksa kembali perkara yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap. Jadi, menyimpang dari ketentuan yang berlaku secara

umum, yakni setiap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap secara

42
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 361
43
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama...., hal. 125
71

mutlak mengikat asas “litis finin opperte” yaitu semua putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap sudah bersifat final, tidak diganggu gugat lagi.123

Peninjauan Kembali secara filosofi mengandung maksud untuk

mengantisispasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di kemudian hari.

Yakni:124

1. Unsur Manusiawi

Bahwa manusia adalah makhluk Tuhan, yang pada dirinya tidak luput dari

sifat salah dan khilaf, disamping itu jangkauan kemampuan manusia pun

terbatas, bagaimana jeli dan cermatnya seseorang, suatu saat bisa lalai dan khilaf.

Hakim juga manusia yang sudah pasti masih diliputi oleh segala keterbatasan

kemampuan suatu waktu bisa lalai dan khilaf dalam memutus perkara, sekalipun

suatu perkara telah melalui tahap pemeriksaan mulai dari pengadilan tingkat

pertama, tingkat banding maupun kasasi.

2. Unsur Kebohongan

Tidak tertutup kemungkinan, dimana pada saat perkara diputus,ternyata di

dalamnya terdapat suatu putusan yang penuh dengan kebohongan. Kemudian

kebohongan tersebut baru terbongkar dan dapat dibuktikan melalui putusan,

maka terhadap kemungkinan kebohongan pantaslah untuk diperbaiki kembali

pada tingkat upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali.

3. Unsur ditemukan alat bukti baru

45
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama...., hal. 126
72

Suatu ketika setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, barulah

pihak yang kalah menemukan alat bukti baru yang sangat menentukan, yang

pada saat proses pemeriksaan perkara berjalan, alat bukti yang sangat menetukan

tersebut tidak ditemukan, sekiranya alat bukti itu ditemukan pada saat proses

pemeriksaan, maka putusan yang akan dijatuhkan kemungkinan besar akan

bersandar pada alat bukti tersebut.

Suatu perkara disebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap apabila

terhadap perkara yang bersangkutan telah tertutup upaya hukum banding dan atau

kasasi. Inilah asas umum untuk menentukan suatu perkara telah memperoleh

kekuatan hukum tetap. Hal itu bisa terjadi melalui tiga kemungkinan. Kemungkinan

pertama, terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, tidak diajukan upaya

banding. Berarti pihak-pihak menerima putusan tingkat pertama. Kemungkinan

kedua, terhadap putusan pengadilan tingkat pertama salah satu pihak mengajukan

banding namun terhadap putusan tingkat banding pihak-pihak menerima dan tidak

ada yang mengajukan kasasi sampai habis masa tenggang kasasi.125

Kemungkinan ketiga merupakan kemungkinan yang paling umum

dijumpai masa sekarang, yaitu putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama

melalui proses tingkat banding dan kasasi. Maksudnya terhadap putusan tersebut

mula-mula diajukan permohonan banding. Setelah diputus oleh tingkat banding,

diajukan lagi permohonan kasasi oleh salah satu pihak yang berperkara. Kemudian

Mahkamah Agung menjatuhkan putusan. Maka sejak putusan Mahkamah Agung

45
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2005), Cet. Ke-3, hal. 360
125
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 363
73

diberitahukan secara resmi kepada para pihak, putusan perkara tersebut telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.126

Badan pengadilan yang berwenang memeriksa Peninjauan Kembali

hanya Mahkamah Agung. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 70 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Kewenangan tersebut bersifat

mutlak. Tidak bisa didelegasikan kepada badan pengadilan yang lain baik

putusan yang hendak di PK hanya sampai pada pengadilan tingkat pertama

ataupun pada tingkat banding. 127

Berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung ditegaskan bahwa yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali

adalah para pihak yang berperkara secara in person, ahli waris para pihak yang

berperkara, dan kuasa yang diberi kuasa khusus untuk keperluan Peninjauan

Kembali. Ahli waris dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kalau

pewaris yang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali meninggal dunia,

sedangkan perkara permohonan Peninjauan Kembali sedang dalam proses

pemeriksaan di Mahkamah Agung. Agar perkara permohonan Peninjauan Kembali

tidak dianggap gugur, segera setelah pewaris meninggal dunia para ahli warisnya

segera membuat pernyataan secara tegas bahwa permohonan Peninjauan Kembali

tetap akan dilanjutkan. Pernyataan ahli waris ini diajukan ke Mahkamah Agung

126
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 363
48
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 364
74

melalui Ketua Pengadilan Agama di mana permohonan Peninjauan Kembali

diajukan128

Syarat-syarat permohonan Peninjauan Kembali:129


a. Diajukan oleh pihak yang berperkara.
b. Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
c. Membuat permohonan Peninjauan Kembali yang memuat alasan-alasannya.
d. Diajukan dalam tenggang waktu menurut Undang-Undang.
e. Membayar panjar biaya Peninjauan Kembali.
f. Menghadap di kepaniteraan Pengadilan Agama yang mengurus perkara pada
tingkat pertama.

Permohonan Peninjauan Kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:130

a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui

setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana

dinyatakan palsu.

b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada

waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang

dituntut.

d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-

sebabnya.

49
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 364
50
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,..., hal. 295

51
Chatib Rasyid, Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek pada
Peradilan Agama,..., hal. 147
75

e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh

Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama

lain.

f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

C. Mekanisme Upaya Hukum

1. Mekanisme Upaya Hukum Verzet

Tuntutan verzet dibuat seperti gugatan biasa, yaitu tertulis dan ditandatangani oleh

Tergugat sendiri atau oleh kuasanya apabila ia telah menunjuk kuasa khusus untuk itu, atau

telah ditandatangani oleh hakim bagi yang tidak dapat membaca dan menulis, dengan

menunjuk nomor putusan verstek yang dilawan itu. Atau dengan kata lain, tata cara

pengajuan verzet sama dengan tata cara pengajuan surat gugatan pada umumnya.131

Surat tuntutan verzet dibuat sesuai dengan kebutuhan, atau setidaknya

dibuat dalam rangkap enam, yaitu tiga rangkap untuk Majelis, masing-masing satu

rangkap untuk Pelawan dan Terlawan serta satu rangkap untuk berkas.132

Surat tuntutan verzet dimasukkan di Kepaniteraan gugatan pada meja I

dengan membayar panjar biaya perkara. Petugas Meja I membuat Surat Kuasa

Untuk Membayar (SKUM) dan diserahkan kepada Kasir, lalu Kasir memberi

nomor perkara yang sama dengan nomor perkara yang dilawan itu. Kemudian Meja

II mencatat perlawanan tersebut dalam Buku Register Induk Perkara yang

bersangkutan, selanjutnya surat perlawanan tersebut diserahkan kepada Wakil

52
Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama,..., hal. 128
132
Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama,..., hal. 128
76

Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera.

Kemudian Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan penetapan Majelis Hakim yang

akan memeriksa verzet tersebut.133

Setelah Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan Penunjukkan Majelis

Hakim, maka Hakim Ketua Majelis menentukan hari sidang dalam sebuah

penetapan untuk pemeriksaan verzet tersebut. Kemudian Hakim Ketua Majelis

memerintahkan Juru Sita/ Juru Sita Pengganti agar memanggil para pihak untuk

hadir dalam persidangan. Tanggal sidang pemeriksaan perlawanan dicatat dalam

Buku Register Induk Perkara yang bersangkutan.134

Ketika perlawanan telah diajukan dan ternyata pada hari sidang yang telah

ditentukan Terlawan atau kuasanya tidak datang menghadap di persidangan,

Terlawan (semula Penggugat), dapat dipanggil sekali lagi sesuai dengan ketentuan

Pasal 126 HIR. Akan tetapi apabila Terlawan tidak juga datang menghadap pada

hari sidang berikutnya, dianggap bahwa Terlawan tidak hendak melawan atas

perlawanan yang telah diajukan terhadap putusan verstek tersebut. Karena itu

perlawanan ini akan diputus secara contradiktoir dengan membatalkan putusan

verstek yang semula serta mengadili lagi dengan menolak gugatan semula.

Terhadap putusan ini bahwa Terlawan masih tersedia jalan untuk dalam tenggang

waktu yang ditentukan mengajukan permohonan banding. Kejadian semacam ini

54
Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama,..., hal. 129
55
Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama,..., hal. 129
77

dalam praktik mungkin tidak pernah terjadi karena pihak yang sudah menang

lazimnya selalu akan datang untuk mempertahankan kemenangan yang telah

diperolehnya itu.135

2. Mekanisme Upaya Hukum Banding

Tata cara upaya hukum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20

Tahun 1947 tentang Peradilan-Peradilan Ulangan yaitu mulai dari Pasal 7 sampai

dengan Pasal 15.136

Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 hanya berlaku untuk Pulau

Jawa dan Madura. Tetapi dalam praktek sampai sekarang telah dijadikan aturan pedoman untuk

seluruh Indonesia berbarengan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam HIR dan RBg.

sehingga secara nyata aturan Banding yang terdapat dalam HIR dan RBg. tetap dipakai sebagai

rujukan. Hal ini terjadi dalam praktek karena aturan banding yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 1947 belum lengkap.137

Berpedoman kepada ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 1947 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 sampai Pasal 15,

menurut ketentuan Pasal 7 tata cara permohonan banding adalah:138

1) Pengajuan Permohonan Banding

Yang berhak mengajukan permohonan banding yaitu pihak yang berperkara atau

kuasa hukumnya. Surat permohonan banding disampaikan ke Pengadilan

56
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata,..., hal. 161
57
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 337

58
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,..., hal. 337
59
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), Cet. Ke-1, hal. 129
78

Agama memutus perkara yang hendak dibanding. Permohonan banding dapat

diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan dibacakan

atau diberitahukan. Bentuk permohonan banding bisa dengan lisan atau dapat

juga dengan lisan.

2) Pembayaran ongkos atau biaya banding kecuali dalam hal prodeo

Biaya banding dibebankan kepada Pemohon (Pembanding) bukan kepada

termohon (Terbanding). Permohonan banding selanjutnya dicatat oleh Panitera

dalam register induk perkara, dibuatkan akta banding dan lampiran berkas

perkara banding.

3) Pemberitahuan banding kepada terbanding (pihak lawan)

Pengadilan Agama melalui Juru Sita segera menyampaikan pemberitahuan

permohonan banding kepada pihak Terbanding (lawan) paling lama dalam

waktu seminggu.

4) Membaca dan mempelajari berkas perkara (inzage)

Pengadilan Agama melalui Juru Sita harus sudah memberi kesempatan kepada

pihak yang berperkara (paling lambat 14 (empat belas) hari dari tanggal

permohonan banding) untuk membaca dan mempelajari berkas perkara.

5) Memori dan kontra memori banding

Pihak pebanding dapat mengajukan memori banding ke Pengadilan Agama

dalam tenggang waktu selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan

banding didaftarkan. Dan terbanding dapat mengajukan kontra memori banding

ke Pengadilan Agama dalam tenggang waktu selama 30 (tiga puluh) hari sejak

pemberitahuan adanya memori banding.


79

6) Menyampaikan berkas banding ke Pengadilan Tinggi Agama

Berkas perkara banding yang terdiri dari Bundel A (terdiri atas surat-surat dan

Berita Acara dan segala sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan

perkara di Pengadilan Agama) dan Bundel B (terdiri dari surat-surat yang

berkaitan dengan adanya permohonan banding termasuk di dalamnya akta

banding, salinan putusan Pengadilan Agama yang bersangkutan, memori dan

kontra memori banding, dan surat-surat lain yang berhubungan dengan upaya

hukum banding dikirimkan ke Pengadilan Tinggi Agama disertai pula dengan

biaya bandingnya.

3. Mekanisme Upaya Hukum Kasasi

Tata cara atau prosedur pengajuan permohonan kasasi antara lain adalah
sebagai berikut:
1) Pemohon kasasi menyatakan kehendaknya di Pengadilan Agama yang memutus

perkara yang bersangkutan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 14 hari

sejak putusan banding diberitahukan kepada yang bersangkutan.139

2) Apabila permohonan kasasi diajukan setelah lewat waktu empat belas hari

setelah pemberitahuan putusan banding kepada yang bersangkutan, maka berkas

perkaranya tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung.

3) Pemohon kasasi menghadap di Meja I yang akan memberikan penjelasan dan

Menaksir panjar biaya kasasi kemudian dituangkan dalam Surat Kuasa Untuk

Membayar (SKUM).

139
Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
80

4) Pemohon kasasi menghadap pada Kasir dan membayar panjar biaya kasasi

sejumlah sesuai yang tercantum dalam SKUM.

5) Kasir menandatangani SKUM dan memberi cap lunas serta mencatatnya dalam

Jurnal permohonan kasasi.

6) Setelah biaya kasasi tersebut dibayar, panitera pada hari itu juga membuat Akta

Permohonan Kasasi.

7) Permohonan kasasi tersebut didaftar dan pada akta permohonan kasasi telah

diberi tanda terdaftar oleh Meja II, maka kepada Pemohon kasasi diserahkan

lembar pertama SKUM dan satu salinan Akta Permohonan Kasasi yang telah

didaftar tersebut.

8) Kemudian oleh Meja II, berkas kasasi tersebut diserahkan kepada Meja III yang

akan melaksanakan penyelesaian administrasi permohonan kasasi itu.

9) Selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari, panitera dengan perantaraan juru

sita/juru sita pengganti wajib memberitahukan kepada pihak lawan tentang

adanya permohonan kasasi tersebut dan selambat-lambatnya dalam tenggang

waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan kasasi tersebut didaftarkan di

kepaniteraan, maka pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi.

10) Selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya kontra

memori kasasi, maka panitera segera mengirimkan berkas kasasi ke Mahkamah

Agung.

11) Tanggal pengiriman berkas dicatat dalam register dan mengirimkan biaya

permohonan kasasi.140

140
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama...., hal. 1
81

4. Mekanisme Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Peninjauan Kembali adalah upaya hukum luar biasa merupakan upaya untuk memeriksa

kembali suatu putusan baik tingkat pertama, banding dan kasasi yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap guna membatalkannya. “Permohonan Peninjauan Kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi

atas putusan yang telah berketetapan hukum tetap.141

Disebutkan upaya hukum luar biasa karena upaya hukum Peninjauan Kembali adalah

merupakan suatu tindakan memeriksa lagi perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi

menyimpang dari ketentuan yang berlaku secara umum.142

Tenggang waktu mengajukan permohonan peninjauan kembali adalah 180

(seratus delapan puluh) hari sebagaimana diaturkan Pasal 69 Undang-Undang

Nomor 14 tahun 1985 yang dirinci sebagai berikut:

a. Batas tenggang waktu mengenai alasan kebohongan atau tipu muslihat.

Apabila kebohongan dan tipu muslihat itu baru diketahui lima belas tahun sesudah

putusan berkekuatan hukum tetap, maka tenggang waktu mengajukan permohonan

Peninjauan Kembali adalah 180 hari dari tanggal diketahui kebohongan dan tipu muslihat

itu.

b. Jika kebohongan atau tipu muslihat telah diproses dalam perkara pidana dan pihak lawan

yang bohong dan melakukan tipu muslihat sudah dijatuhi hukuman, harus tenggang

141
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 360
142
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 360
82

waktunya 180 hari dari tanggal putusan pidana tersebut memperoleh kekuatan hukum

yang tetap.

c. Batas tenggang waktu mengajukan alasan permohonan Peninjauan Kembali atas alasan

diketemukan “bukti baru” atau Novum sama dengan 180 hari dari tanggal diketemukan

surat-surat baru tersebut.

d. Mengenai alasan uang disebutkan pada pasal 67 huruf c, d dan f sama dengan 180 hari

dari tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, dalam artiputusan telah

diberitahukan kepada para pihak yang berperkara.

e. Dalam hal permohonan Peninjauan Kembali didasarkan atas alasan ada dua putusan yang

saling bertentangan sepeti yang disebut Pasal 67 huruf c sama dengan 180 hari dari

tanggal putusan yang terakhir berkekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada

pihak yang berperkara.

Menurut ketentuan Pasal 70 ayat (1) permohonan Peninjauan Kembali

diajukan kepada Mahkamah Agung melalui ketua pengadilan yang memutus

perkara dalam tingkat pertama, sebagaimana diuraikan di bawah ini:

a. Disampaikan di Kepaniteraan Pengadilan bukan langsung kepada ketua

Pengadilan.

b. Permohonan dalam bentuk tertulis dan menyebut alasan. Apabila pemohon tidak

pantai baca tulis, ia menguraikan permohonan secara lisan di hadapan Ketua

Pengadilan, atau di hadapan seorang hakim yang ditunjuk Ketua Pengadilan

untuk itu. Uraian lisan pemohon dicatat dan itulah yang menjadi surat

permohonan Peninjauan Kembali.


83

c. Membayar biaya perkara yang diperlukan. Dalam Pasal 70 ayat (1) ditegaskan

bahwa membayar biaya perkara dijadikan sebagai syarat formil permohonan

Peninjauan Kembali.

d. Mengirimkan salinan permohonan kepada pihak lawan. Hal ini diatur dalam

Pasal 72, dan tata cara ini baru dapat dilaksanakan panitera setelah pemohon

membayar biaya perkara kasasi. Pemberian atau pengiriman salinan

permohonan kepada pihak lawan menurut Pasal 72 ayat (1) adalah wajib

selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari dari tanggal penerimaan permohonan.

e. Jawaban.

Termohon kasasi berhak mengajukan jawaban terhadap permohonan Peninjauan

Kembali dalam tenggang waktu 30 hari dari tanggal penerimaan salinan

Peninjauan Kembali.

f. Pengiriman berkas perkara. Dalam Pasal 72 ayat (3) diatur sebagai berikut:

1. Yang dikirim kepada Mahkamah Agung ialah berkas perkara keseluruhan

secara lengkap.

2. Biaya perkara.

3. Tenggang waktu pengiriman selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30

hari.

Di sini tidak disebutkan 30 harinya dari mana, namun dapat dipahami

bahwa yang dimaksud dengan 30 hari disini adalah 30 hari dari tanggal habisnya

kesempatan termohon mengajukan jawaban dalam alasan Peninjauan Kembali.

Demikianlah bentuk-bentuk mekanisme upaya hukum yang telah diatur

dalam HIR, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok


84

Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung, dan KUHP yang semuanya itu adalah ruang lingkup hukum

acara secara umum yang di dalamnya juga termasuk Pengadilan Agama.

D. Deskripsi Historis Upaya Hukum

Deskripsi historis upaya hukum merupakan suatu langkah yang sangat

signifikan dalam mencermati upaya hukum dalam kajian fikih secara sistematis.

Hal ini dikarenakan upaya hukum merupakan bagian dari Hukum Acara (al-Hukm

al-Murafa’at) yang berfungsi menegakkan dan mewujudkan hukum materi.

Dengan demikian, Hukum Acara mesti selalu berkembang secara dinamis sesuai

dengan perkembangan zaman. Kemudian keberadaan lembaga peradilan dalam

konteks historis hukum Islam bukanlah merupakan lembaga yang langsung jadi

secara utuh dan sempurna, akan tetapi ia berkembang secara evolusi.

Dapat dipahami bahwa eksistensi dari peradilan itu baru kelihatan ketika

Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Di Madinah umat Islam telah memiliki

kedudukan yang baik dan merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Hal

ini sulit mereka dapatkan di Makkah karena mereka terus menerus diteror oleh

kaum musyrikin. Rasulullah SAW sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang

baru dibentuk tersebut dan akhirnya merupakan suatu negara.143

Selanjutnya penulis akan memaparkan upaya hukum menurut kajian fikih

dalam beberapa peristiwa hukum secara empirik.

143
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), hal.
88
85

1. Masa Rasulullah SAW

Pada dasarnya Hukum Acara Islam pada masa Rasulullah berkembang

dengan sangat sederhana dan belum mengenal upaya hukum baik secara teori

maupun secara praktek. Oleh karena itu seorang penulis (Martin Sophiro)

sebagaimana dikutip oleh M. Yahya Harahap berpendapat bahwa dalam struktur

peradilan Islam tidak mengenal adanya upaya hukum, karena menurutnya putusan

hakim dalam peradilan Islam bersifat “final and irrovocable”.144Namun apabila

dilihat kasus peradilan yang ditangani oleh Ali bin Abi Thalib pada zaman

Rasulullah SAW secara sekilas sepertinya ada isyarat upaya hukum yang dapat dari

kasus tersebut. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Salam

Madkur sebagai berikut

‫اقضى بينكم فان رضيتم فهوا لقضاء وإَل حجزت بعضكم عن بعض حىت تأتوا رسول اهلل‬
‫ليقضى بينكم فلما قضى بينهم أبوان يرتاضوا واتوا اىل رسول اهلل ايام اْلج و هو عند مقام ابراهيم‬
145
‫و قضى عليه ما حدث فأجر قضاء على و قال هو ماقضى بينكم‬
Artinya: “Aku akan putuskan hukum di antara kamu kemudian kalau kamu telah menerima
(keputusanku itu) maka laksanakanlah, tetapi kalau kamu tidak mau
menerimanya, maka aku cegah sebagian kamu dari sebagian yang lain (berbuat
sesuatu), sampai kamu sendiri menghadap kepada Rasulullah saw agar ia
memutus di antara kamu. Lalu setelah Ali memutuskan hukum di antara mereka
itu, maka mereka menolak dan tidak mau menerima keputusannya, dan pergilah
mereka menghadap Rasul saw pada musim haji sedang beliau berada di maqam
Ibrahim dan berceritalah mereka kepada beliau tentang apa yang telah terjadi.
Kemudian Nabi saw membenarkan keputusan Ali dan bersabda: itulah apa yang
telah ia putuskan di antara kamu.”

144
M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993), hal. 31
145
Muhammad Salam Madkur, al Qadha’ fi al Islam, (Kairo: Dar al- Nahdhah al-Arabiyah,
1964), hal. 23
86

Berdasarkan kejadian di atas menunjukkan bahwa di masa Nabi SAW

telah dikenal adanya peninjauan ulang terhadap suatu keputusan hukum yang telah

dijatuhkan dan hal itu secara praktis dilakukannya, karena apa yang terjadi itu

menggambarkan semacam adanya keputusan dari pengadilan tingkat rendah di

hadapan pengadilan yang lebih tinggi, sehingga ditinjau kembali perkara itu,

kemudian keputusan itu ada kemungkinan akan dibatalkan, atau dikukuhkan, atau

diganti dengan keputusan baru.146

Ketika perkara tersebut diajukan oleh para pihak yang merasa tidak puas

terhadap keputusan Ali kepada Rasul SAW, lalu beliau menjawab “itulah apa yang

telah diputuskan di antara kamu” menunjukkan bahwa adanya pengukuhan

keputusan hukum dari qadhi pada pengadilan tingkat rendah ke pengadilan yang

lebih tinggi.147 Dengan demikian, menurut penulis secara sederhana upaya hukum

telah ada pada masa Rasulullah SAW dengan melihat pernyataan Ali menyuruh

para pihak untuk menghadap sendiri kepada Rasulullah SAW apabila keputusan

yang ditetapkan olehnya tidak memuaskan para pihak, dan Rasul membenarkan

putusan itu.

2. Masa Khulafa’ al Rasyidin

Setelah Rasulullah SAW wafat, dimulailah masa sahabat dengan khalifah

pertama Abu Bakar ash Shiddiq. Pada masa khalifah kekuasaan peradilan berada di

67
Muhammad Salam Madkur, al Qadha’ fi al Islam,..., hal. 23
68
Muhammad Salam Madkur, al Qadha’ fi al Islam,..., hal. 23
87

tangan khalifah dan pada masa itu khalifah Abu Bakar belum mengangkat hakim

khusus selain dari khalifah. Hal ini berlanjut sampai kepada awal pemerintahan

Umar bin Khattab.148 Pada masa khalifah Umar diberlakukan pemisahan antara

kekuasaan peradilan dengan kekuasaan pemerintahan, dengan mengangkat hakim-

hakim di setiap wilayah. Beliau mengangkat Abu Darda’ sebagai hakim kota

Madinah, Syuraih bin Rais bin Abi al-Ash di Mesir dan Abu Musa al-Asy’ari untuk

hakim Kufah.149

Ketika Umar bin Khaththab menunjuk Abu Musa al-Asy’ari beliau telah

menulis surat yang terkenal berisikan hukum acara peradilan Islam untuk dapat

dipedomani ketika itu sebagai pedoman pelaksanaan peradilan, surat itu bunyinya

adalah:

‫أما بعد فإن القضاء فريضة حمكمة وسنة متبعة‬


‫فافهم إذا أدىل إليك فإنه َل ينفع تكلم حبق َل نفاذ له‬
‫وآس بْي الناس ىف وجهك وجملسك وقضائك حىت َل يطمع شريف ىف حيفك وَل ييأس‬
‫ضعيف من عدلك‬
‫ والص لح جائز بْي املس لمْي إَلص لحا أحل‬، ‫البينة على من ادعى واليمْي على من أنكر‬
‫حراما أو حرم حَلَل‬
، ‫ فإن جاء ببينة أعطيته حبقه‬، ‫ومن ادعى حقا غائبا أو بينة فاض رب له أمدا ينتهى إليه‬
‫فإن أعجزه ذلك استحللت عليه القضية فإن ذلك ابلغ ىف العذر وأجلى للعمى‬

69
Athiyah Musthafa Musyrifah, al Qadha’ fi al Islam, (t.t.: Syariqah al-Syarqawi al
Ausath), hal. 93
70
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Penerjemah Ahmadie, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hal. 267
88

‫وَل مينعك من قض اء قض يته اليوم فراجعت فيه لرأيك وهديت فيه لرش دك أن تراجع اْلق‬
، ‫ْلن اْلق ق دمي َل يبط ل اْلق ش ىء ومراجع ة اْلق خري من التم ادى ىف الب اط ل‬
‫واملس لمون عدول بعض هم على بعض ىف الش هادة إَل جملودا ىف حد أو جمربا عليه ش هادة‬
‫الزور أو ظنينا ىف وَلء أو قرابة فإن اهلل توىل من العباد الس رائر وس رت عليهم اْلدود إَل‬
‫ مث قايس‬، ‫ مث الفهم الفهم فيما أدىل إليك مما ليس ىف قرآن وَل س نة‬، ‫بالبينات واْلميان‬
‫ مث اعمد إىل أحبها إىل اهلل فيما ترى وأشبهها‬، ‫اْلمور عند ذلك واعرف اْلمثال واْلشباه‬
، ‫باْلق‬
‫وإياك والغض ب والقلق والض جر والتأذى بالناس عند اخلص ومة والتنكر فإن القض اء ىف‬
‫مواطن اْلق يوجب اهلل له اْلجر وُيس ن له الذخر فمن خلص ت نيته ىف اْلق ولو كان‬
‫ ومن تزين ْلم ِبا ليس ىف قلبه ش انه اهلل فإن اهلل‬، ‫على نفس ه كفاه اهلل ما بينه وبْي الناس‬
‫َل يقبل من العباد إَل ما كان له خالصا وما ظنك بثواب اهلل ىف عاجل رزقه وخزائن رمحته‬
150
‫والسَلم‬
Artinya:”Amma ba’du, sesungguhnya peradilan itu adalah fardhu (kewajiban)
yang sangat ditekankan dan Sunnah yang harus diikuti.

Maka pahamilah apabila diajukan kepadamu suatu perkara, dan


putuskanlah apabila jelas duduk permasalahannya, karena sesungguhnya
tidak ada artinya bicara soal keadilan tanpa ada pelaksanaannya.

Samakanlah manusia (pihak-pihak yang berperkara) dalam majlismu,


dalam pandanganmu, dan dalam keputusanmu, sehingga orang yang
terhormat tidak menginginkan aniayamu dan orang yang lemah tidak
berputus harapan terhadap keadilanmu.

Bukti itu wajib atas penggugat (pihak pendakwa), sementara sumpah itu
wajib diberikan oleh pihak yang menolak dakwaan (tergugat).
Perdamaian di kalangan umat Islam dibolehkan selama perdamaian
tersebut tidak menghalalkan perkara yang haram, atau mengharamkan
yang halal.

Barang siapa yang mendakwakan sesuatu hak yang tidak ada di


tempatnya, atau suatu bukti, maka berilah tempo kepadanya sampai ia
dapat membuktikannya maka berikanlah haknya, dan apabila ia tidak

Muhammad Salam Madkur, al Qadha’ fi al-Islam,..., hal. 27


150
89

mampu membuktikannya maka ia berhak dikalahkan. Karena yang


demikian itu lebih mantap bagi keuzurannya dan lebih menampakkan
barang yang tersembunyi.

Janganlah kamu merasa terhalangi oleh keputusamu yang telah kamu


tetapkan hari ini, kamu dapat merevisi (melakukan peninjauan kembali)
terhadap keputusan yang telah kamu ambil, apabila kamu memdapat
petunjuk (baru) yang dapat membawamu pada kebenaran. Karena
sesungguhnya kebenaran itu harus didahulukan dan tidak dapat
dibatalkan oleh apapun dan kembali kepada kebenaran lebih baik
daripada bergelimang pada kebatilan.

Orang-orang Islam itu dianggap adil sebagian mereka terhadap sebagian


yang lain, kecuali orang yang pernah memberikan kesaksian palsu, atau
orang yang pernah dijatuhi had, atau orang-orang yang diragukan asal-
usulnya. Sesungguhnya Allah mengetahui rahasia hamba-hamba-Nya,
dan menghindarkan hukuman atas mereka kecuali dengan adanya bukti-
bukti dan sumpah.

Kemudian pahamilah dengan sungguh-sungguh perkara yang diajukan


kepadamu yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam al-Qur’an dan
tidak pula dalam Sunnah, kemudian qiyaskanlah perkara-perkara itu dan
perhatikanlah perkara yang serupa hukumnya dengan perkara-perkara
itu. Lalu berpeganglah kepada sesuatu yang menurut pendapatmu lebih
diredhai Allah dan lebih mendekati kebenaran.

Jauhilah dirimu dari emosi, pikiran yang kacau, rasa jemu, menyakiti
orang yang berperkara, dan bersikap keras pada waktu menghampiri
mereka. Sesungguhnya memutuskan perkara di tempat yang benar akan
mendapat pahala dari Allah dan selalu dikenang. Barang siapa yang
niatnya tulus dalam kebenaran, walaupun merugikan dirinya sendiri,
maka Allah akan memberikan kecukupan. Dan barang siapa yang
berlagak memiliki keahlian yang tidak ada pada dirinya, maka Allah akan
mempermalukannya. Karena sesungguhnya Allah tidak akan menerima
amal dari hamba-Nya melainkan amal yang ikhlas. Maka ingatlah pahala
dari Allah, rezeki dan rahmat-Nya. Wassalam.”

Pada salah satu point di dalam surat Umar bin Khaththab kepada Abu

Musa al-‘Asy’ari di atas berbunyi “Janganlah kamu merasa terhalangi oleh

keputusanmu yang telah kamu tetapkan hari ini, kamu dapat merevisi (melakukan

peninjauan kembali) terhadap keputusan yang telah kamu ambil, apabila kamu

mendapat petunjuk (baru) yang dapat membawamu pada kebenaran. Karena


90

sesungguhnya kebenaran itu harus didahulukan dan tidak dapat dibatalkan oleh

apapun dan kembali keoada kebenaran lebih baik daripada bergelimang pada

kebatilan.”

Isi kalimat di atas menunjukkan bahwa pada masa khalifah al-Rasyidin

sudah ditegaskan oleh Umar untuk meninjau kembali suatu keputusan yang telah

dijatuhkan guna mencari suatu kebenaran yang mungkin saja terungkap belakangan

dari penyelesaian suatu kasus, walaupun hanya ditujukan kepada Abu Musa al-

‘Asy’ari namun dapat berlaku umum kepada seluruh hakim.

Sekilas dari apa yang disampaikan oleh Umar dalam suratnya

mengindikasikan bahwa upaya hukum diberlakukan ketika itu, yakni adanya upaya

hukum peninjauan kembali oleh hakim terhadap suatu keputusan. Namun

peninjauan kembali pada masa ini tidak sama maksudnya dengan upaya hukum

peninjauan kembali pada masa sekarang sehingga tidak dapat dijadikan sebagai

dasar upaya hukum, karena upaya hukum adalah datangnya dari pihak-pihak yang

berperkara.

Di sisi lain, menurut penulis kalaulah hal itu dianggap orang sebagai

bentuk dan ide upaya hukum, kenyataannya jauh berbeda dengan makna upaya

hukum yang sesungguhnya, karena bentuk dan mekanisme upaya hukum itu adalah

peninjauan keputusan oleh hakim lain dalam hal ini adalah hakim tingkat banding

bukan oleh hakim yang memutus, sedangkan isi surat Umar itu adalah ditujukan

kepada hakim yang memutus meninjau kembali keputusan yang dijatuhkan sendiri.
91

3. Masa Bani Umayyah

Pada masa Dinasti Bani Umayyah, al-qadha’ dikenal dengan al Nizham

al-Qadhaaiy (organisasi kehakiman) di mana kekuasaan pengadilan telah

dipisahkan dari kekuasaan politik. Ada dua ciri khas bentuk peradilan pada masa

Bani Umayyah, yaitu:

1. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-hal yang tidak

ada nash atau ijma’. Ketika itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi

keputusan-keputusan hakim. Pada waktu itu hakim hanya berpedoman kepada al-Qur’an

dan Sunnah.

2. Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim memiliki

hak otonom yang sempurna, tidak terpengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa.

Keputusan mereka tidak hanya berlaku pada rakyat biasa, tetapi juga pada penguasa-

penguasa sendiri. Dalam hal itu, khalifah selalu mengawasi gerak gerik hakim dan

memecat hakim yang menyeleweng dari garis yang ditentukan.151

Dalam prakteknya wilayah peradilan di masa Bani Umayyah terdiri dari

tiga wilayah:

1. Wilayah al-Qadha’, menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan al-

madaniyat, petugasnya dinamakan al-qadhi.

2. Wilayah al-Hisbah, menyelesaikan perkara yang berhubungan dengan

pelanggaran moral yang berfungsi untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar,

151
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 79
92

mengadakan pengawasan secara nyata terhadap moral masyarakat yang

menyimpang, seperti pemalsuan uang, kecurangan timbangan dan lain-lain.

Petugasnya dinamakan dengan al-Muhtasib atau Wali al-hisbah.

3. Waliyah al-Mazhalim, menyelesaikan perkara-perkara kezaliman

yangdilakukan oleh keluarga khalifah dan pejabat pemerintah, serta kasus-kasus

yang tidak dapat diselesaikan oleh al-qadhi dan oleh al-muhtasib, petugasnya

dinamakan wali al-malzhalim.152

Pada periode ini belum dikenal adanya pencatatan keputusan pengadilan,

dan teknis pengajuan perkara adalah dengan cara, mula-mula diajukan kepada

qadhi, lalu ditelitinya, kemudian kedua pihak yang berperkara ke muka sidang, lalu

qadhi menyampaikan putusannya. Dalam pada itu hakim Mesir di masa Muawiyah

yang bernama Salim ibn ‘Adz merasa perlu meregistrasikan keputusan yang telah

diputuskan, karena suatu ketika terjadi sengketa harta pusaka yang telah

diputuskan, kemudian dilain waktu pihak-pihak yang berperkara tersebut

mengingkari keputusan itu dan saling berselisih tentang keputusan itu. Kemudian

mereka mengulangi mengajukan perkara tersebut, lalu diputus, dan dicatat serta

dihimpun di dalam buku khusus.153 Sehingga dapat dikatakan bahwa permulaan

hakim yang mencatat putusannya serta dibukukan adalah hakim Mesir di masa

pemerintahan Mu’awiyah.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa peradilan pada masa Dinasti Bani

Umayyah telah berkembang, dilihat dari lembaga peradilan yang telah terstruktur

73
Rahmiati, Peradilan Islam, (Bukittinggi: STAIN Press,2004), Cet. ke-1, hal. 66
153
Rahmiati, Peradilan Islam,.., hal. 66
93

dan berdiri secara independent, yang mana dalam hal ini khalifah tidak lagi turut

campur dalam urusan peradilan, melainkan sebagai pengawas terhadap langkah

hakim dalam memutuskan perkara. Selain itu, pada masa ini telah diberlakukan

yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum yang mana pada masa sebelumnya

(Khulafa ar Rasyiddin) tidak memberlakukan hal yang demikian. Hanya saja dalam

periode ini tidak ditemukan langkah upaya hukum peradilan.

4. Masa Bani Abbasiyah

Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau Khilafah Abbasiyah melanjutkan

dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan

penguasa di dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad saw.

kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H/

750 M sampai dengan 656 H/1258 M.154 Dalam sejarah dinasti Bani Abbasiyah ini

dikenal dengan the golden age of Islam, yaitu zaman keemasan Islam. Kejayaan

dinasti ini tampak dengan semakin majunya ilmu pengetahuan, perekonomian,

kemasyarakatan dan peradaban pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas

(132 H – 232 H).

Perkembangan kekuasaan kehakiman (peradilan) pada masa Bani

Abbasiyah ini awalnya mengalami kemajuan. Tidak hanya pembenahan terhadap

sarana peradilan, akan tetapi sudah mulai disusun hukum materiil yang akan

digunakan oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusannya. Selain itu pada

75
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal.
49
94

masa Pemerintahan Harun al Rasyid dibentuknyajabatan penting dalam

pemerintahannya yang disebut dengan Qadhi al Qudhah (Hakim Agung).155

Qadhi al-Qudhah ini berkedudukan di ibukota negara. Qadhi al-Qudhah

yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim, penyusun kitab al-Kharraj.

Hal ini terjadi pada masa Harun al-Rasyid yang memang sangat memuliakan Abu

Yusuf dan memperhatikan keadaan hakim-hakim.156

Adapun tugas Qadhial-Qudhah ini adalah mengawasi, mengangkat, dan memecat

qadhi-qadhi, serta meninjau keputusan yang mereka keluarkan. Setelah beberapa daerah

memisahkan diri dari pusat pemerintahan di Baghdad, maka masing-masing daerah itu

memilii qadhi al qudhah sendiri, di Andalusia (Spanyol) disebut qadhi al-jama’ah.157

Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis dapatlah diketahui bahwa

ditemukan langkah upaya hukum dalam masa ini. Hal ini dapat dilihat dengan

dibentuknya jabatan Qadhi al Qudhah yang salah satu tugasnya yaitu meninjau

kembali keputusan yang dikeluarkan oleh para hakim pada masa itu. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa Qadhi al Qudhahsebagai Hakim Agung mampu

membatalkan ataupun menguatkan keputusan hakim yang telah ditetapkan

sebelumnya.

5. Masa Imperium Turki Usmani

Sejarah runtuhnya kerajaan Bani Abbasiyah di Baghdad dengan naiknya

bangsa Mongol dan Tartar, boleh dikatakan tidak ada lagi kerajaan Islam yang besar

dan dapat menjadi tumpuan harapan dunia Islam. Negeri-negeri Islam terpecah

76
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 121
77
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), hal. 24
78
Muhammad Salam Madkur, al Qadha’ fi al Islam,..., hal.31
95

belah, tetapi dengan timbulnya kerajaan Usmani atau Daulat Usmaniyah, dapatlah

Islam menunjukkan kegagahperkasaan yang luar biasa, dan dapat menyambung

usaha kemegahan yang yang lama.158

Pendiri kerajaan ini adalah Bangsa Turki dari kabilah Uqhuz yang mendiami

daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Mereka masuk Islam sekitar abad kesembilan

atau kesepuluh ketika mereka menetap di Asia Tengah. Pada abad ke 13 M mereka

melarikan diri ke daerah barat dan mencari tempat pengungsian di tengah-tengah saudara

mereka, orang-orang Turki Saljuk, di dataran tinggi Asia Kecil.159 Di bawah pimpinan

Ertoghrul, mereka mengabdikan diri kepada Sultan Alauddin II, Sultan Saljuk yang

kebetulan sedang berperang melawan Bizantium. Berkat bantuan mereka, Sultan Alauddin

mendapat kemenangan dan menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan

dengan Bizantium.160

Ertoghrul meninggal dunia tahun 1289 M, kepemimpinan dilanjutkan oleh

putranya Usman. Putera Ertoghrul inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan

Usmani. Pada tahun 1300 M bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan

Alauddin terbunuh, kerajaan Saljuk Rum ini kemudian terpecah-pecah dalam

beberapa kerajaan kecil. Usman menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas

daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Usmani dinyatakan berdiri,

penguasa pertamanya adalah Usman.161

79
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 73
80
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,..., hal. 130
81
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 74
82
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 74
83
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,..., hal. 84
96

Turki Usmani berkembang selama lebih kurang enam abad, dalamwaktu yang

cukup panjang tersebut berproses dengan dinamika yang membawa perubahan baru, baik

dalam masalah pemerintahan maupun dalam mengakhiri kekacauan dalam bidang hukum.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga

kerajaan besar yang membawa kemajuan Islam.162

Dalam perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa fase dan suksesi

kepemimpinan. Untuk mengetahui beberapa fase yang dilalui oleh kerajaan Turki Usmani

secara global akan dikemukakan sebagai berikut:

a. Fase pertama (1299-1402 M), masa Usman I sampai Bayazid I, merupakan awal

berdirinya kerajaan Turki Usmani dan penaklukan pertama hingga kekalahannya

atas Timur Lenk.

b. Fase kedua (1403-1556 M), masa Muhammad I sampai Sulaiman I, merupakan

masa kembalinya kekuasaan dari tangan Timur Lenk hingga mencapai puncak

kejayaan.

c. Fase ketiga(1566-1703 M), masa Sultan Salim sampai Mustafa II, ditandai

dengan terjadinya penaklukan-penaklukan dan jatuhnya Hongaria ke tangan

musuh.

d. Fase keempat (1703-1839 M), masa Ahmad III sampai Mahmud II, merupakan

masa kemunduran, yang ditandai dengan banyaknya perjanjian dengan para

penguasa diluar Islam.


97

e. Fase kelima (1839-1922 M), masa Abdul Majid I sampai Muhammad VI,

merupakan masa kebangkitan yang ditandai dengan bangkitnya kebudayaan dan

administrasi setelah terjadi kontrak dengan barat.163

Sehubungan dengan masalah qadha pada masa Turki Usmani ini pertama

kali adanya kodifikasi hukum dalam bidang mu’amalat dan masalah perkawinan.

Dalam perkembangan selanjutnya terjadi pergeseran dengan adanya kelompok

yang menginginkan pembaharuan dengan menetapkan hukum sekuler sejajar

dengan hukum Islam yang telah ada sebelumnya.

a. Peradilan sebelum Gerakan Tanzimat

Fase ini berawal dari berdirinya khalifah Usmaniyah sampai pertengahan

abad ke sembilan belas yaitu Sultan Abdul Majid (1299-1939 M) selama tiga

setengah abad. Secara umum kondisi peradilan sesuai dengan syari’at hingga

melemahnya kekuatan Daulah Usmaniyah di hadapan negara-negara Eropa.

Adapun bentuk-bentuk peradilan pada masa ini adalah:

1. Al-Juz’iyat (mahkamah biasa/ rendah). Wewenangnya adalah menyelesaikan

perkara-perkara pidana dan perdata.

2. Mahkamah al-Isti’naf (Mahkamah Banding). Wewenangnya adalah meneliti

dan mengkaji perkara yang berlaku.

3. Mahkamah al-Tamyizau al-Naqd wa al-Ibram (Mahkamah Tinggi).

Wewenagnya adalah memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan

dalam menerapkan hukum.

163
Asasriwarni, Sejarah Peradilan Islam, (Padang: IAIN Press, 2000), hal. 69
98

4. Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya (Mahkamah Agung). Mahkamah ini langsung

berada di bawah pengawasan sultan.164

Pada periode pertama ini syari’at Islam dijadikan satu-satunya

sumberpenetapan hukum di Turki Usmani. Sehubungan dengan basis

kekuasaannyaterdiri atas pengikut mazhab Hanafi, maka syari’at Islam yang

menjadi pegangan bagi pemerintah dalam menghadapi berbagai masalah peradilan

adalah Mazhab Hanafi, sehingga para qadhi utama harus ulama yang bermazhab

Hanafi.

b. Peradilan setelah gerakan Tanzimat

Tanzimat berasal dari kata Nazhama, yang berarti mengatur, menyusun dan

memperbaiki.165 Maksudnya mengadakan pembaharuan di segala aspek sosial, politik,

hukum, peradilan, kebudayaan, pendidikan dan sebagainya. Di zaman itu banyak diadakan

peraturan dan undang-undang baru. Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaharuan.

Fase ini berawal dari abad kesembilan belas sampai akhir Perang Dunia I yang

ditandai dengan pemisahan negara-negara Arab dari Turki Usmani dan Munculnya Kamal

at Taturk yang menghapus kekhalifahan tersebut. Pada fase ini terjadi dualisme peradilan

yang menetapkan syari’at dan memasukkan sistem dan perundang-undangan asing dalam

negara, selanjutnya didirikanlah peradilan-peradilan asing, Pengadilan Nizhamiyah dan

diakhiri dengan dihapusnya pengadilan-pengadilan syari’ah oleh Kamal at Taturk dan

fungsi-fungsinya dialihkan kepada pengadilan negara.166

164
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 150
165
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 79
166
Muhammad al-Zuhaili, Tarikh Qadha fi al Islam, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1995), hal.
440
99

Pada masa itu pemerintahan Usmaniyah sangatlah toleran terhadap orang-

orang non Islam dan melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh para fuqaha,

yaitu dengan memberikan keistimewaan kepada orang non Islam dan

mengharuskan orang-orang bukan Islam untuk tunduk di bawah peradilan Islam

dalam masalah kemasyarakatan. Hal ini mengakibatkan berkembangnya peradilan

yang dipimpin oleh hakim-hakim non muslim.167

Pada akhir periode Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan

sumber hukum tidak hanya syari’at Islam, tetapi memiliki sumber hukum yang

berbeda, yaitu:

1. Mahkamah al-Thawaif atau al-Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk

sekelompok (agama), sumbernya agama masing-masing kelompok.

2. Al-Qadha al-Qunshuli, yaitu pengadilan untuk warga asing, sumbernya undang-

undang warga asing tersebut.

3. Qadha mahkamah pidana, sumbernya undang-undang Eropa.

4. Qadha mahkamah al-Huquq (Ahwal al Madaniyah) mengadili perkara perdata,

sumbernya majalah al-Ahkam al-Adliyah.

5. Majlis al-Syar’i mengadili perkara kaum muslimin khusus masalah keluarga (al-

Ahwal al-Syakhsyiyyah), sumbernya adalah fikih Islami.168

Pemerintah Turki Usmani memerintahkan untuk membentuk panitia yang

bertugas mengumpulkan ketentuan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa yang

terjadi yang berkenaan dengan hukum mu’amalat (perdata). Penetapannya

167
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,..., hal.
28
168
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal.156
100

berpegang pada mazhab Hanafi dengan tidak mengabaikan pendapat mazhab-

mazhab lain yang lebih sesuai dengan kondisi saat itu. Maka ditunjuklah tujuh

ulama fikih untuk membuat undang-undang perdata Islam, yang tidak mengandung

ikhtilaf, memuat pendapat yang lebih rajih dan mudah untuk dipelajari. Ulama ini

merampungkan tugasnya selama tujuh tahun dengan melahirkan peraturan

”Majallah al-Ahkam al-Adliyah”. Diundangkan pada tanggal 26 Sya’ban 1293 H,

dan memerintahkan semua pengadilan di wilayah kekuasaan Turki Usmani untuk

melaksanakannya.169

Munculnya Majallah al-Ahkam al-Adliyah merupakan bentuk aplikasi dari

ide taqnin (kodifikasi) yang muncul pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-

Manshur ketika Daulah Abbasyiyah, atas inisiatif Ibnu Muqaffa’. Ide ini belum

terwujud karena penolakan dari para ulama seperti Imam Malik dengan alasan

bahwa perbedaan pendapat ulama dalam soal furu’ merupakan suatu hal yang

positif.

Dengan demikian jelaslah bahwa istilah upaya hukum itu terlembaga

secara baik sejak masa Turki Usmani yang dibuktikan dengan adanya lembaga

banding dan lembaga kasasi, karena sudah merupakan kebutuhan hukum dan

keadilan.

169
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 157
BAB IV

UPAYA HUKUM DALAM KAJIAN FIKIH

A. Eksistensi Upaya Hukum Menurut Hukum Islam

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hal yang prinsip dalam peradilan

adalah suatu putusan itu harus dapat menyelesaikan sengketa dan menimbulkan

ketentraman bagi masyarakat, karena itulah yang diartikan dengan keadilan di dalam proses

pengadilan.

Keadilan itu adalah hak seseorang, sedangkan menegakkan keadilan adalah

perintah kepada manusia terutama kepada para perangkat hukum dan misi para Nabi,

sehingga dalam berbagai ayat al-Qur’an Allah memerintahkan manusia untuk bersikap dan

berlaku adil sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nahl ayat 90:

‫ان َوإِيتَ ِاء ِذي الْ ُق ْرَىب َويَْن َهى َع ِن الْ َف ْح َش ِاء َوالْ ُمْن َك ِر َوالْبَ ْغ ِي‬
ِ ‫اإلحس‬ِ ِ ِ َّ ِ
َ ْ ْ ‫إ َّن اللهَ يَأْ ُم ُر بالْ َع ْدل َو‬
)٩٠: ١٦/ ‫يَعِظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّك ُرو َن (النحل‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.” (QS. 16. An-Nahl:90)

Kandungan ayat di atas berisi tentang perintah menegakkan keadilan sehingga

memperjelas dan mendorong supaya cita-cita keadilan itu berlaku secara aplikatif dalam

peradaban dan realitas kehidupan manusia.

Upaya mewujudkan keadilan berarti memberikan hak kepada yang berhak

menerimanya, sedangkan memberikan hak kepada yang berhak menerimanya itu

hukumnya adalah wajib sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 58

‫َّاس أَ ْن ََْت ُك ُموا بِالْ َع ْد ِل إِ َّن‬ ِ ِ


َ ْ َ‫إِ َّن اللَّهَ يَأْ ُم ُرُك ْم أَ ْن تُ َؤُّدوا ْاْل ََمانَات إِ َىل أ َْهل َها َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم ب‬
ِ ‫ْي الن‬
)٥٨ : ٤/ ‫ص ًريا (النساء‬ ِ ‫اللَّه نِعِ َّما يعِظُ ُكم بِِه إِ َّن اللَّه َكا َن َِمسيعا ب‬
َ ً َ ْ َ َ

101
102

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang


berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 4. An-Nisa’: 58)

Menunaikan amanah itu di antaranya adalah tugas para pemimpin (pemerintah).

Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 59:

ٍ ِ ِ ‫َطيعوا اللَّه وأ‬ ِ ِ َّ


ُ‫ُوِل ْاْل َْم ِر مْن ُك ْم فَِإ ْن تَنَ َاز ْعتُ ْم ِِف َش ْيء فَ ُرُّدوه‬
ِ ‫ول َوأ‬
َ ‫الر ُس‬
َّ ‫َطيعُوا‬ َ َ ُ ‫ين َآمنُوا أ‬ َ ‫يَاأَيُّ َها الذ‬
ِ ِ
/ ‫َح َس ُن تَأْ ِو ًيَل (النساء‬ ْ ‫ك َخْي ٌر َوأ‬ َ ‫ول إِ ْن ُكْنتُ ْم تُ ْؤِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالْيَ ْوم ْاْل ِخ ِر َذل‬
ِ ‫الرس‬ ِ ِ
ُ َّ ‫إ َىل اللَّه َو‬
)٥٩:\٤
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. 4. An-Nisa’: 59)

Surah an-Nisa’ ayat 58 diturunkan untuk para pemimpin yakni agar mereka

senantiasa berlaku amanah kepada yang berhak menerimanya dan bila mereka

menjatuhkan hukuman antar sesama manusia agar mereka berlaku adil. Sedangkan ayat 59

ditujukan kepada rakyat, mereka wajib menaati pemimpin yang bertindak adil dalam

menjalankan tugas dan ide-ide mereka, kecuali bila pemimpin-pemimpin itu

memerintahkan perbuatan maksiat karena sekali-kali tidak boleh taat kepada makhluk

dalam hal-hal yang membuat durhaka kepada Allah.170

Kepemimpinan juga suatu amanah yang wajib ditunaikan. Mewujudkan keadilan

pada prinsipnya adalah tugas khalifah atau ulil amri namun tugas itu dipercayakan kepada

orang lain karena kesibukan dengan urusan umum dan tugas-tugas jihad, oleh karena itu

mereka mewakilkan sendiri kepada orang yang dianggap mampu untuk melaksanakan

Ibnu Taimiyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah wa al-Ra’iyyah, (Riyadh: Wizaratu


170

asy-Syu’uni al-Islamiyah, 1418), hal. 6


103

jabatan hakim.171 Hal ini merupakan pemaduan dua elemen kekuasaan pemerintahan dan

kebijaksanaan yudikatif. Dengan demikian tanggung jawab mewujudkan keadilan dan

menyampaikan kepada yang berhak menerimanya adalah tugas pemimpin yang meliputi

keadilan bagi pribadi dan kelompok serta kaum.

Perangkat yang diserahi tugas peradilan untuk mewujudkan keadilan itu bertugas

menyampaikan hak kepada yang berhak menerimanya sedangkan mereka itu adalah

manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan dalam arti kesalahan pada

putusan-putusan yang dijatuhkan oleh hakim itu selalu ada sehingga perlu adanya suatu

lembaga peninjauan putusan yang disebut dengan upaya hukum.

Untuk peninjauan putusan itu adakalanya dengan cara membatalkan putusan yang tidak benar dalam

penerapan hukum formil dan materil, kemudian diganti dengan putusan yang benar. Jika putusan itu ternyata telah

benar, maka ditetapkan sebagaimana adanya dalam arti dikukuhkan dan adakalanya dengan mengoreksi keputusan

kemudian mengadili sendiri.

Namun ketika berbicara mengenai dasar hukum berlakunya upaya hukum, tidak ada nash

yang tegas untuk menyuruh ataupun membolehkannnya. Hal ini akan mengundang sikap pro dan

kontra di kalangan praktisi hukum seperti pendapat Martin Sophiro yang dikutip oleh Yahya Harahap

“bahwa dalam struktur peradilan Islam tidak mengenal adanya upaya hukum, karena menurutnya

putusan hakim dalam peradilan Islam bersifat final and irrovocable”.172

Di samping Martin Sophiro ada lagi yang menganggap bahwa putusan hukum itu

adalah merupakan hasil suatu ijtihad. Konsekuensinya hasil suatu ijtihad tidak dapat

dibatalkan oleh ijtihad lain sebagaimana disebutkan dalam kaedah ushul

171
Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Penerjemah Ahmadi Thaha, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000), hal. 266
172
M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993), hal. 31
104

173
‫اإلجتهاد َل ينقض باإلجتهاد‬
Artinya: “Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad”

Di samping tidak ada nash yang tegas tentang menyuruh/ membolehkan upaya

hukum, juga tidak terdapat nash yang tegas tentang larangan atau yang tidak

membolehkannya. Lajunya perkembangan zaman membuat persoalan yang dihadapi

manusia semakin kompleks sementara kemajuan ilmu pengetahuan hakim sangat terbatas

sehingga wajar terjadi kesalahan dan kekeliruan dalam putusan.

Dengan kemungkinan selalu adanya kesalahan-kesalahan seperti itu, upaya hukum sangat

dibutuhkan kendatipun tidak ada dasar hukum berlakunya secara spesifik, namun eksistensinya dapat

mewujudkan keadilan sebagai salah satu bentuk yang dapat memelihara maqashid al-syari’ah karena

pembentukan hukum itu tidak dimaksudkan kecuali merealisir kemaslahatan umat manusia. Artinya

mendatangkan keuntungan bagi mereka, menolak mudharat serta menghilangkan kesulitan

daripadanya. Sehingga para mujtahid dituntut jangan hanya terpaku kepada bentuk formal suatu

persoalan dan bersikap jumud dalam menghadapi berbagai fenomena sosial karena syari’at Islam

didasarkan atas pondasi kemaslahatan bagi seluruh manusia baik di dunia maupun di akhirat.174

Bertitik tolak dari asas manfaat yang disebutkan itu dapat dipahami bahwa upaya

hukum itu berkaitan erat dengan mashalih al-mursalah yang mengkaji tentang asas manfaat

di dalam mewujudkan maqasid al-syari’ah. Tujuan dari upaya hukum itu adalah

mewujudkan mashlahah umat sehingga dengan demikian upaya hukum menjadi bagian

yang penting dalam kehidupan. Alasannya adalah apabila kebenaran formil tidak dapat

173
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), Cet.
ke-1, hal. 105
174
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam Muwaqqi’in, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), Jilid III, hal.
175
105

diwujudkan maka kebenaran materilpun tidak bisa diterapkan karena antara hukum formil

dan materil adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Dengan adanya asas manfaat dan mashlahah upaya hukum itu, maka dasar

hukumnya dapat dirujuk dari dasar-dasar hukum mashlahah dalam kajian fikih seperti

berikut ini:

Menurut Abdul Wahhab Khallaf mendefenisikan kemashlahatan itu adalah

sebagai berikut:

175
‫املصلحة الىت مل يشرح الشارع حكما لتحقيقها و مل يدل شرعى اعتبارها او الفائها‬
Kemaslahatan suatu yang tidak ditetapkan oleh syara’ tentang hukum untuk
mewujudkannya dan tidak pula terdapat dalil syara’ yang meriwayatkan untuk
memperhatikannya atau mengabaikannya.

Sedangkan al-Syatibi mendefenisikan kemashlahatan itu adalah sebagai berikut:

‫املصلحة الىت مل يشهد ْلا نص معْي و لكنها مَلئمة لتصرفات الشرع و مأخذ معناه من‬
176
‫ادلة‬
Kemaslahatan yang tidak didukung oleh nash secara spesifik tapi manfaat itu
mempunyai keterkaitan dengan tujuan syara’ yang diambil dari logika dalil.

Ketiadaan nash yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah bermaksud untuk

membedakannya dengan qiyas yang mengharuskan adanya ashl (hukum asal berdasarkan

dalil nash) dan furu’ (maslahah yang belum ada ketentuan hukumnya).177 Berarti ketiadaan

nash di sini dipahami sebagai ketiadaan nash yang menunjuk secara langsung, karena teori

al-maslahat al-mursalah sangat terikat dengan konsep bahwa syari’ah ditujukan untuk

kepentingan masyarakat dan berfungsi memberi manfaat serta mencegah kemudharatan.

175
Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah,
1990), hal. 84
176
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2004), hal. 39
177
Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh,..., hal. 60
106

Teori maslahat ini sangat tepat jika dihubungkan dengan upaya hukum yang

terikat dengan konsep bahwa syari’ah ditujukan untuk kepentingan umum dan mashlahat

berfungsi untuk mewujudkan kemashlahatan umum manusia. Artinya mendatangkan

keuntungan bagi mereka dan menolak mudharat serta menghilangkan kesulitan

daripadanya.

Yang dimaksud dengan kemashlahatan di sini adalah sebagaimana yang

diungkapkan oleh al-Ghazali adalah segala maksud (objek) hukum syara’ yang meliputi

lima hal yaitu pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Segala

sesuatu yang menjamin lima hal tersebut adalah mashlahat sedangkan yang menghilangkan

lima hal tersebut adalah mafsadah.178

Dalam hal ini upaya hukum sebagai salah satu objek mashlahah yang melindungi

kepentingan umum sekurang-kurangnya dapat dikategorikan ke dalam pemeliharaan

agama, jiwa, keturunan dan harta yang kebaikannya akan muncul dalam merealisasikan

tujuan-tujuan manusia dalam memelihara hak-haknya.

Mashlahat yang terkandung di dalam upaya hukum tersebut adalah mashlahat

yang diakui oleh syari’at secara umum meskipun tidak ada dalil yang secara tegas dan

spesifik untuk itu. Pengakuan syari’at ini dapat diketahui dengan indikasi adanya

keserasian dan keharmonisan suatu mashlahat dengan kebijaksanaan syari’at di dalam

memelihara maqashid al-syari’ah, dalam arti mewujudkan kemashlahatan hidup baik di

dunia maupun di akhirat. Wujud dari indikasi adanya keserasian dan keharmonisan di

dalam upaya hukum adalah melindungi kehidupan manusia di dalam memelihara hak asasi

dan hak-hak kebendaan dari kelalaian dan kekhilafan hakim yang mengadili.

178
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet, ke-5, hal. 346
107

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa upaya hukum merupakan tuntutan dan

keinginan nurani manusia di dalam membela haknya, oleh karena itu upaya hukum relevan

dengan ajaran Islam karena memiliki tujuan yang sama yaitu memelihara hak seseorang.

Upaya hukum merupakan bahagian dari keadilan, oleh karena itu eksistensinya perlu

dipertahankan karena mengandung salah satu ajaran Islam dan dijadikan sebagai

kebutuhan. Di dalam kaidah ushul dinyatakan:

179
‫اْلاجة تنزل منزلة الضرورة عامةكانت او خاصة‬
Artinya: “Kebutuhan itu ditempatkan pada tempat darurat baik kebutuhan itu umum
ataupun khusus.”

Berdasarkan kaidah di atas, dapat dipahami bahwa upaya hukum dijadikan

sebagai kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi maka akan menimbulkan kerugian ataupun

kerusakan yang menyangkut dengan kemashlahatan umum atau kehidupan orang banyak.

Kemashlahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang tetapi bisa

berbentuk kepentingan mayoritas atau kebanyakan umat. Misalnya para ulama

membolehkan membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak akidah umat, karena

menyangkut kepentingan orang banyak.180

Berdasarkan uraian di atas bahwa hukum menerapkan upaya hukum itu menjadi

mubah (boleh) bila dikaitkan dengan kebutuhan dan hajat manusia karena ditopang oleh

kemashlahatan guna mewujudkan keadilan. Karena keadilan itu bagian dari agama. Lebih

jauh Ibnu Qayyim mengungkapkan :

181
‫فأي طريق استخرج هبا العدل والقسط فهي من الدين وليست خمالفة له‬
Artinya: “Metode apapun yang dapat mewujudkan keadilan, maka metode itu merupakan
bagian dari agama, bukan (yang seperti itu) dikatakan menentang agama.”

179
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah,..., hal. 79
180
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), hal. 116
181
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Mesir:
Mathba’ah al-Madany, 1985), hal. 17
108

Pembicaraan tentang keadilan dalam Peradilan Islam pada hakikatnya adalah

menghilangkan sengketa serta menimbulkan ketentraman masyarakat. Pentingnya


182
mewujudkan prinsip keadilan dalam Islam adalah kebutuhan setiap masyarakat.

Sehingga dalam konteks ini upaya hukum harus menjadi bagian penting dalam usaha

mewujudkan keadilan dan kepuasan para pencari keadilan.

Adapun penyebab dari lahirnya upaya hukum dikarenakan adanya ketidakpuasan

dari pihak yang berperkara terhadap putusan atau penetapan yang telah ditetapkan oleh

hakim, sehingga perlu ditinjau ulang kembali. Apabila suatu putusan telah final dalam arti

putusan itu telah dilaksanakan oleh masing-masing pihak, tetapi ternyata kemudian terlihat

kesalahannya oleh pihak tergugat misalnya penggugat memalsukan alat bukti maka ganti

rugi akibat pemalsuan itu dibebankan kepada pihak-pihak penggugat yang dimenangkan

dalam perkara itu dan kalau putusan itu adalah putusan hukuman qishash maka kepada

pihak yang dimenangkan wajib membayar diyat (denda).183

Kemudian selanjutnya bagi pihak yang kontra dengan pendapat ini yang

mengatakan bahwa putusan dalam peradilan Islam itu merupakan putusan yang final yang

siap untuk dieksekusi atau dijalankan. Hal ini adalah biasa dan lumrah terjadi karena

berbedanya sudut pandang mereka. Munculnya pendapat ini barangkali dilatarbelakangi

oleh kepercayaan dan rasa simpatik terhadap muru’ah ulama. Mereka memandang bahwa

ulama itu adalah wakil para Nabi dengan semboyan “al-‘ulama waratsatu al-anbiya’”.

Prediket ini bagi mereka tidak perlu dicurigai kekuasaannya sehingga apa-apa yang

diputuskan oleh hakim yang berprediket ulama mujtahid merupakan keputusan sempurna

dan final sehingga tidak ada celah untuk tempat dikoreksi.

182
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Nahdhah al
‘Arabiyyah, 1964), hal. 57
183
Muhammad Salam Madkur, al-Qadha’ fi al-Islam,..., hal. 61
109

Di awal-awal Islam barangkali bisa terjadi dualisme putusan dalam perkara yang

sama karena ketidakpuasan pihak-pihak dengan hasil putusan yang diputus oleh hakim

pertama, lalu dia mengajukan lagi perkara yang sama kepada hakim lain dengan putusan

yang berbeda dengan putusan hakim yang pertama, hal ini tidak menimbulkan masalah

karena sama-sama putusan hakim karena tidak saling membatalkan. Namun setelah Islam

mulai berkembang apalagi di zaman sekarang administrasi sudah cukup baik, hal seperti

itu tidak mungkin terjadi lagi karena wilayah hukum masing-masing pengadilan

(yurisprudensinya) telah ditata sehingga tidak mungkin terjadi tumpang tindih kekuasaan,

dan bila terjadi juga maka berlakulah hukum nebis in idem yaitu putusan kedua harus

mengikuti putusan pertama apabila diajukan berdasarkan alasan yang sama pula.

Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh yang membantah atau tidak

menerima upaya hukum itu adalah : pertama, putusan tersebut telah final karena diputus

oleh ulama mujtahid. Kedua, ulama mujtahid itu adalah orang yang sudah dapat dipercaya

dan tidak perlu dicurigai lagi. Dan alasan yang ketiga keputusan itu adalah hasil ijtihad,

ijtihad tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain.

Alasan pertama, putusan hakim itu sudah final, hal ini dapat diakui dan diterima

kebenarannya bilamana pihak-pihak yang berperkara sudah merasa puas dengan hasil

keputusan itu karena telah menyentuh rasa keadilan. Puas di sini dapat diartikan bahwa

pihak-pihak tidak merasa dirugikan berarti hakim telah memberikan hak kepada yang

berhak menerimanya sehingga putusan dapat dijalankan dengan baik. Akan tetapi lain

halnya jika salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak dapat menerima isi putusan hakim

tersebut karena merasa haknya dirugikan dalam arti putusan hakim belum lagi memberikan

hak kepada yang berhak menerimanya. Dalam hal ini putusan itu belum lagi menyentuh

rasa keadilan, maka dalam kondisi seperti ini putusan itu belum lagi dapat diartikan sebagai
110

putusan yang final karena mengingat masih ada proses berikutnya dalam rangka menuntut

haknya yaitu keadilan. Menuntut hak inilah yang dinamakan upaya hukum.

Bagaimanapun juga memaksakan diri untuk dapat menerima suatu putusan hakim

karena itu dianggap sudah final maka akan memunculkan persoalan batin bagi para pihak,

yang cepat atau lambat akan muncul ke permukaan apalagi kalau ditemukan bukti-bukti

baru yang melemahkan suatu keputusan karena yang memutus itu tetap manusia biasa yang

tidak luput dari kesalahan, kekhilafan dan kekeliruan di dalam menetapkan hukum.

Alasan kedua, hakim dikategorikan ke dalam kelompok mujtahid. Dalam konsep

Islam memang hakim itu disyaratkan ulama mujtahid, tetapi setelah umat Islam

berkembang apalagi dengan telah menyebarnya penduduk, syarat itu tidak terpenuhi lagi

sesuai kebutuhan. Di samping itu ulama mujtahid sudah semakin langka sementara laju

perkembangan penduduk Islam sudah pesat sehingga untuk menempatkan ulama mujtahid

pada suatu pengadilan sudah sangat sulit.

Andaikata ulama mujtahid cukup banyak dan dapat ditempatkan di seluruh posisi

peradilan namun dengan kemujtahidannya itu bukanlah suatu jaminan pasti ia tahu semua

persoalan keadilan dan tidak tertutup kemungkinan ditipu oleh alat bukti saksi yang

memalsukan keterangan. Bahkan sekarang ini demi memenuhi kepentingan dunia orang

tidak segan-segan berbohong dan memanipulasi serta merekayasa kejadian guna

meloloskan kehendak dan keinginan menangnya di pengadilan. Dan tidak sedikit para

pihak melakukan praktik suap kepada hakim agar dapat memutarbalikkan fakta sehingga

yang menjadi korban adalah para pihak pencari keadilan juga.

Alasan ketiga adalah keputusan pengadilan itu adalah merupakan hasil suatu

ijtihad, sehingga hasil ijtihad tidak dapat membatalkan hasil ijtihad yang lain, sebagaimana

dalam qaidah ushul dikatakan:


111

184
‫اإلجتهاد َل ينقض با إلجتهاد‬
Artinya: “Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad .”

Penerapan kaidah ini pada prinsipnya adalah seorang mujtahid berijtihad tentang

suatu masalah hukum, kemudian mujtahid lain melakukan ijtihad terhadap kasus yang

sama, maka hasil ijtihad yang pertama sebagaimana halnya ijtihad yang dilakukan orang

lain terhadap masalah itu tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang kedua. Sebab ijtihad

yang kedua itu tidak dianggap lebih kuat daripada ijtihad yang pertama.185

Dalam membuat kaidah ini para ulama mengambil sumber dari ijma’ al- Sahabat.

Mereka merumuskan berdasarkan suatu peristiwa sejarah Abu Bakar yang pernah

memberikan keputusan hukum pada beberapa masalah yang kemudian diperselisihkan oleh

Umar, tetapi beliau tidak membatalkan keputusan Abu Bakar tersebut dan tetap

mengakuinya. Misal dalam memberikan sanksi kepada tawanan perang Badar, Abu Bakar

mengambil keputusan agar membayar tebusan. Sedangkan menurut Umar bin Khattab agar

mereka mengambil tindakan keras yaitu dihabisi nyawanya. Ijtihad Umar ini setelah

mendapat penguat (dibenarkan wahyu), surat al-Anfal ayat 67 maka dijalankan tanpa

membatalkan keputusan Abu Bakar ra yang berdasarkan ijtihadnya.186

Konsep di atas menurut penulis tidak relevan dengan konteks upaya hukum karena produk

hukum yang dihasilkan oleh hakim saat ini bukanlah suatu ijtihad akan tetapi adalah putusan pengadilan

yang tidak tertutup kemungkinan salah dan keliru di dalam menetapkan atau menjatuhkan hukum.

Walaupun pada dasarnya atau hukum asal upaya hukum itu merupakan hal yang mubah

karena tidak ada dalil secara khusus atau spesifik untuk menyuruh dan begitu pula melarangnya, tetapi

merupakan hajat dan kepentingan yang didasari oleh maslahat, maka ketika itu mashlahat wajib

184
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah,..., hal. 105
185
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah,..., hal. 106
186
Imam Musbikin, Qawa’id al-Fiqhiyah,..., hal.108
112

diwujudkan karena bila tidak dilakukan maka sudah barang tentu mafsadat akan timbul bagi seseorang

yang tidak diperlakukan secara adil. Hal ini sejalan dengan ungkapan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

sebagai berikut:

‫ واهلل سبحانه‬، ‫ فثم شرع اهلل ودينه‬، ‫فإذا ظهرت أمارات العدل وأسفر وجهه بأي طريق كان‬
‫ مث ينفي ما هو‬، ‫ وأعدل أن خيص طرق العدل وأماراته وأعَلمه بشيء‬، ‫أعلم وأحكم‬
‫ وَل ُيكم عند وجودها وقيامها‬، ‫فَل َيعله منها‬. ‫ وأبْي أمارة‬، ‫أظهر منها وأقوى دَللة‬
187
‫ِبوجبها‬
Apabila terlihat indikator keadilan dalam bentuk atau cara apapun maka di
sanalah hukum dan agama Allah. Allah lebih bijaksana dan lebih adil dalam
menentukan bentuk, tanda dan indikator keadilan tetapi tidak dizhahirkan
padahal itu yang lebih kuat dilalahnya dan lebih jelas indikatornya namun tidak
mewujudkan keadilan melalui cara itu dan tidak menjadikan cara itu dalam
menetapkan hukum.

Berdasarkan uraian di atas, akan memperkuat posisi dan kedudukan upaya hukum

sebagai salah satu cara yang penting, diperhitungkan dalam menegakkan hukum dan

keadilan serta menghilangkan kesamaran dan rasa keragu-raguan dalam menerima dan

menerapkan upaya hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perwujudan

keadilan. Keadilan di dalam Islam bukanlah sekedar teori-teori mati tetapi telah terbukti

dalam kenyataan hidup sehari-hari.

Secara logika keadilan yang terdapat dalam berbagai produk hukum Islam bisa

dinalar, misalnya dengan argumentasi dari sudut hikmah al-tasyri’, maqashid al-syari’ah

dan bukti konkrit efektifitas penerapan hukum tersebut adalah untuk ketentraman

masyarakat. Jika keadilan berhasil ditegakkan, maka konsekuensi logisnya adalah

munculnya tatanan kehidupan yang aman, tentram dan sejahtera.

187
Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah,..., hal.
17
113

Keadilan dapat diwujudkan oleh suatu cara atau teori yang bernama upaya hukum

yang pada dasarnya adalah suatu upaya dan usaha untuk memperoleh kekuatan hukum yang

dihasilkan oleh tingkatan-tingkatan produk peradilan mulai tingkatan pertama sampai

tingkat terakhir. Sampai sejauh ini upaya hukum masih ada di dalam mewujudkan keadilan

yang merupakan hak bagi para pencari keadilan yang harus dikembalikan kepada yang

berhak menerimanya.

Upaya hukum tidak mutlak dapat menjamin tegaknya keadilan, tetapi pada

prinsipnya mampu memenuhi rasa keadilan para pihak yang berperkara. Selain itu, lebih

menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengambil suatu keputusan hukum dalam rangka

upaya mewujudkan keadilan.

Persoalan dan wacana keadilan menempati posisi yang sangat penting dalam

keseluruhan sistem Islam dan hukum. Penting bukan hanya karena ia merupakan tuntutan

kewajiban dari Allah saja untuk setiap individu, tetapi juga karena di dalam keadilan itu

terdapat nilai positif yang membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.

B. Penerapan Upaya Hukum di Peradilan Agama

Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia adalah salah satu institusi Islam yang

memiliki berbagai landasan yang sangat kuat. Secara filosofis Peradilan Agama dibentuk

dan dikembangkan untuk memenuhi tuntutan penegakan hukum dan keadilan Allah dalam

pergaulan hidup masyarakat. Secara yuridis Peradilan Agama mengacu kepada konstitusi

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, di samping itu merupakan bagian dari

supra struktur politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara historis

merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam yang berkembang secara
114

berkesinambungan sejak masa Rasulullah SAW hingga kini. Secara sosiologis didukung

dan dikembangkan oleh masyarakat Islam di Indonesia.188

Dalam perjalanannya Peradilan Agama mengalami pertumbuhan dan

perkembangan dalam rentang waktu yang sangat panjang telah mampu menunjukkan

bahwa hukum Islam merupakan salah satu bagian dari hukum yang berlaku di Indonesia.

Peradilan Agama diyakini telah berproses di Indonesia sejak Islam memasuki bumi

Nusantara, hal ini dibuktikan dengan adanya kerajaan Islam di Indonesia dan

berkembangnya Islam secara kaffah, dan pada saat itu pelaksanaan peradilan dilakukan

dalam tiga bentuk yaitu tauliyah (pelimpahan wewenang), tauliyah dari Ahlu al-Halli wal

Aqdi, dan tahkim (penunjukkan seorang hakim dalam bersengketa).

Kemudian Peradilan Agama dibentuk sebagai lembaga peradilan negara oleh

pemerintah kolonial Belanda melalui Staatblad 1882 Nomor 152. Hal ini dilandasi oleh

pendapat ahli hukum Belanda sendiri bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang

Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka yakni Hukum Islam, yang dikenal

dengan Teori Receptio In Complexu yang dicetuskan oleh L.W.C. Van Deen Berg.189

Secara Yuridis formal Peradilan Agama sebagai salah satu Badan Peradilan yang

terkait dengan sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura)

pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini merupakan suatu keputusan Raja Belanda

(Konninklijk Besluit) yakni Raja William III tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang

dimuat dalam Staatsblad 1882 Nomor 152. Badan Peradilan ini bernama Priesterraden

188
Rachmat Syafe’i, Yurisprudensi Peradilan Agama dari Pelaksanaan UUPA: Segi
Normatif dalam Kajian Fiqh, Alternatif Penyempurnaan Timbal Balik, dalam 10 Tahun Undang-
Undang Peradilan Agama, (Jakarta: Ditbinbapera dan Fakultas Hukum UI, 1999), hal. 29
189
Rahmiati, Peradilan Islam, (Bukittinggi: STAIN Press,2004), Cet. ke-1, hal. 96
115

yang kemudian lazim disebut dengan Rapat Agama atau Raat Agama dan terakhir dengan

Peradilan Agama.190

Keputusan Raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Agustus 1882 yang dimuat

Staatsblad 1882 Nomor 153, sehingga dengan demikian dapatlah dikatakan tanggal kelahiran Badan

Peradilan Agama di Indonesia adalah tanggal 1 Agustus 1882.191

Berkaitan dengan penerapan upaya hukum di Indonesia khususnya Peradilan

Agama sudah diterapkan sejak masa penjajahan Belanda, yaitu dengan didirikannya

Pengadilan Agama Tinggi (Hof Voor Islamic Tische Zaken) atau Mahkamah Islam Tinggi

pada tanggal 1 Januari 1938, yakni suatu majlis Pengadilan Appel yang memeriksa

keputusan-keputusan Pengadilan Agama. Mahkamah Islam Tinggi ini didirikan

berdasarkan Staatblad 1937 Nomor 610 yang berlaku untuk di daerah Jawa dan Madura.192

Dibentuknya Mahkamah Islam Tinggi oleh Pemerintah Hindia Belanda

dikarenakan terdapatnya sanggahan dan protes dari masyarakat terhadap Staatblad 1937

Nomor 116. Aturan ini mengatur tentang pembatasan kekuasaan Pengadilan Agama,

terutama pencabutan masalah waris yang menimbulkan perasaan tidak senang di kalangan

umat Islam umumnya serta di kalangan kepenghuluan khususnya. Maka untuk

menentramkan keadaan, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Mahkamah Islam Tinggi

tersebut berlandaskan Staatblad 1937 Nomor 610.193

Selain di daerah Jawa dan Madura, Pemerintah Hindia Belanda juga membuat

peraturan-peraturan mengenai Pengadilan Agama di daerah lain, seperti halnya di daerah

190
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 218
191
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam,..., hal. 218
192
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 101
193
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 99
116

sebagian Kalimantan Selatan. Di daerah ini berlaku peraturan pengadilan qadhi yaitu

Kerapatan Qadhi sebagai Pengadilan Agama tingkat pertama, dan Kerapatan Qadhi Besar

sebagai Pengadilan Banding yang termuat dalam Staatblad Nomor 638 dan 639, dengan

susunan dan kekuasaan yang sama dengan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura.

Staatblad tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari tahun 1938.194

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerapan upaya hukum di Indonesia

khususnya Peradilan Agama sudah diterapkan sejak masa penjajahan Belanda, yang

ketentuan hukumnya didasarkan kepada ketentuan hukum Islam sekalipun dalam

pelaksanaan atau sistemnya masih mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Belanda

sebagai negara penjajah.

Meskipun penerapan upaya hukum di Indonesia khususnya Peradilan Agama disusun

menurut aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi bila ditinjau dari isi

(substansi) maka pelaksanaan upaya hukum itu juga didasarkan menurut ketentuan hukum Islam. Hal

ini menandakan bahwa sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan Sunnah diakui dipergunakan dalam

menetapkan upaya hukum ketika itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketentuan peradilan Islam juga

menjadi sumber rujukan dalam hukum yang ditetapkan Peradilan Agama di Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, mulailah diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor

45 Tahun 1957 Tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah di luar

Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan. Dan kemudian pada tanggal 28 Januari 1980 lahir

Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980 Tentang penyeragaman nama-nama

Peradilan Agama sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya.

Terkait pelaksanaan atau penerapan upaya hukum di lembaga Peradilan Agama

tergantung dari segi jenis perkara yang diajukan. Adapun jenis perkara itu terdiri dari 2

194
Rahmiati, Peradilan Islam,..., hal. 101
117

macam, yakni contentius (gugatan) dan voluntair (permohonan). Sebagaimana yang

disebutkan dalam Pasal 61 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undnag Nomor 3 tahun 2006 tentang

Peradilan Agama yaitu “Atas penetapan dan putusan pengadilan Agama dapat dimintakan

banding oleh yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan lain”.

Pengecualian yang disebutkan di atas dapat dilihat dari dua kategori. Kategori

pertama perkara yang bersifat finansial sebagaimana diatur dalam Pasal 49 huruf i

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama mengenai ekonomi syari’ah,

maka perkara yang dapat diajukan banding mengacu kepada nilai standar objek terperkara

sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947 Tentang

Peradilan Ulang di Jawa dan Madura, yaitu tidak boleh kurang dari seratus rupiah. Kategori

kedua adalah bahwa perkara yang dapat diajukan banding adalah perkara contentiosa,

bukan voluntair. Jadi keputusan Pengadilan Agama atas perkara Voluntair yang

diformulasikan dalam bentuk penetapan tidak dapat diajukan banding.

Adapun yang termasuk klasifikasi perkara voluntair yang tidak dapat diajukan

banding di antaranya seperti: permohonan penetapan ahli waris, dispensasi Nikah,

permohonan Isbat Nikah, permohonan penetapan wali adhal, permohonan penetapan

perwalian, penetapan asal usul anak dan lain-lain. Jikalau terdapat ketidakpuasan dalam

hasil penetapan yang ditetapkan, maka para pihak dapat menggunakan upaya hukum kasasi

yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Sementara yang termasuk perkara contensius yang dapat diajukan upaya hukum

banding di antaranya adalah: gugat cerai, cerai talak, sengketa waris, sengketa harta

bersama, izin poligami, sengketa perbankan syari’ah, dan lain-lain. jika putusan yang
118

ditetapkan menurut salah satu pihak belum mencapai keadilan atau mungkin merasa

dirugikan, maka pihak tersebut dapat mengajukan upaya hukum banding terlebih dahulu.

Adapun Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah Hukum Acara

yang berlaku pada Peradilan Umum termasuk mengenai ketentuan dan mekanisme upaya

hukum, karena upaya hukum adalah bagian dari Hukum Acara itu sendiri. Sedangkan

kepentingan terhadap Hukum Acara adalah untuk kepentingan hukum materil karena

kebenaran materil tergantung kepada kebenaran formil.

Mencermati sumber-sumber Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Agama

sangat relevan dalam memahami upaya hukum dalam Hukum Acara Peradilan Agama.

Sebab upaya hukum sangat erat kaitannya dengan Hukum Acara yang berlaku, khususnya

Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama. Upaya hukum bukanlah merupakan ketentuan

lain yang diatur secara khusus. Sumber Hukum Acara tentang upaya hukum yang berlaku

di lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku di Peradilan Umum,

kecuali hal-hal yang telah disebutkan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang terdapat dalam Pasal 54.

Adapun sumber Hukum Acara yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum

diberlakukan juga untuk lingkungan peradilan Agama adalah sebagai berikut:

1. Burgerlijke Wetbook Voor Indonesia (BW)

Burgerlijke Wetbook Voor Indonesia yang dalam bahasa Indonesia dikenal

dengan kitab Undang-Undang Hukum Perdata, memuat juga sumber Hukum Acara Perdata

khususnya buku ke-empat tentang pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 sampai

dengan Pasal 1993.195

2. Inlandsch Reglement (IR)

195
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2005), Cet. ke-3, hal. 9
119

Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk Golongan Bumi Putra dan

Timur Asing yang berada di Jawa dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan

penambahan ketentuan Hukum Acara ini diubah namanya menjadi Het Herzience

Indonesie Reglement (HIR) atau dikenal juga dengan Reglement Indonesia Diperbaharui

(RIB) yang diberlakukan dengan Staatblad 1848 Nomor 16 dan Staatblad 1941 Nomor

44.196

3. Rechtsreglement Voor de Buitengewesten (R.Bg)

Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk Golongan Bumi Putra dan

Timir Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.

R.Bg ditetapkan berdasarkan Ordonansi tanggal 11 Mei 1927 dan berlaku berdasarkan

Staatblad 1927 tanggal 1 Juli 1927, dikenal juga dengan “Reglement Daerah Seberang”.197

Pada Bab II R.Bg memuat bagian Hukum Acara Perdata yang terdiri dari 7 (tujuh)

Titel, yang masih dipergunakan sebagai Hukum Acara Perdata untuk daerah seberang

adalah Titel IV dan V, sedangkan Titel I, II, III, VI dan VII tidak dipergunakan lagi seiring

dengan dihapusnya Pengadilan Districgerecht, Magistraadgerecht, Residentiegerecht, dan

Raad van Justitie.

4. Wetbook Van Koophandel (WVK)

Wetbook Van Koophandel (WVK) yang dalam istilah Indonesia disebut dengan

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, juga memuat sumber Hukum Acara Perdata yang

diatur dalam Failissements Verordering. (Aturan Kepailitan) yang diatur dalam Staatblad

1906 Nomor 348.198

5. Reglement op de Burgerlijks Rechtsvordering (B.Rv)

196
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 8
197
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 9
198
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 9
120

Pada prinsipnya Reglement op de Burgerlijks Rechtsvordering tidak berlaku lagi

dengan dihapusnya Raad van Justitie dan Hoogerechtshof. Namun karena hal-hal yang

diatur dalam B.Rv banyak yang masih relevan dengan perkembangan hukum saat ini, dan

untuk mengisi kekosongan hukum maka ketentuan-ketentuan tersebut dalam B.Rv masih

banyak dipakai dalam pelaksanaan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Umum

yang dengan sendirinya berlaku juga di lingkungan Peradilan Agama, seperti tentang

formulasi surat gugatan, perubahan surat gugatan, (upaya hukum) Intervensi dan beberapa

ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya.199

6. Peraturan Perundang-undangan

Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan dalam hukum positif yang

mendasari Hukum Acara di lingkungan peradilan di Indonesia, di antaranya adalah:

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tentang

Perkawinan dan Pelaksanannya.

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

f. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

199
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 8
121

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun

2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama.

7. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan

Sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama, doktrin atau ilmu pengetahuan hukum banyak dipergunakan

oleh hakim di Peradilan Agama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara,

terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut dalam kitab -kitab fikih. 200

Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama Nomor

B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 45

Tahun 1957 tentang pembentukan pengadilan luar Jawa dan Madura dikemukakan bahwa

untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus perkara maka para

hakim Pengadilan Agama dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman hukum acara

yang bersumber dalam kitab fikih sebagai berikut:

a. Al Bajuri;

b. Fathul Mu’in;

c. Syarqawi ‘alat-Tahrir;

d. Qalyubi/Mahalli;

e. Fathul Wahhab dan Syarahnya;

f. Tuhfah;

200
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 12
122

g. Targhibul Musytaq;

h. Qawaninus Syar’iyah Lis Sayyid bin Yahya;

i. Qawaninus Syar’iyah Lis Sayyid Sadaqah Dachlan;

j. Syamsuri Fil Faraidh;

k. Bughyatul Musytarsyidin;

l. Alfiqhu alaa Madzabihil Arba’ah;

m. Mughnil Muhtaj;201

Dengan menetapkan beberapa buah kitab fikih di atas diharapkan hakim

Peradilan Agama dapat mempergunakan sebagai rujukan dalam mengambil keputusan. Hal

ini berlaku sampai lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI) pada tahun 1991

(Inpres Nomor 1 tahun 1991). Di mana KHI dijadikan pedoman dalam mengadili dan

menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya di lingkungan Peradilan Agama.

8. Yurisprudensi

Dalam menerapkan Yuripridensi sebagai sumber-sumber Hukum Acara di

Indonesia perlu ditegaskan bahwa hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi.

Hal ini disebabkan karena negara Indonesia tidak menganut asas “the binding force of

precedent”, yaitu bebas memilih antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakainya

dalam suatu perkara yang sejenis dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus

berani meninggalkan yurisprudensi kalau sekiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak

sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak ada salahnya untuk

201
Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama,..., hal. 7
123

tetap dipakai kalau yurisprudensi itu masih sesuai dengan keadaan zaman dan sesuai

dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.202

9. Surat Edaran Mahkamah Agung

Tentang Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI sepanjang menyangkut

Hukum Acara Perdata dan Hukum Perdata Materil dapat dijadikan Hukum Acara dalam

praktik peradilan terhadap suatu persoalan hukum yang dihadapi oleh hakim. Surat Edaran

dan Instruksi Mahkamah Agung RI tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-Undang.

Menurut Sudikno Mertokusumo Surat Edaran dan Instruksi Mahkamah Agung RI itu

bukanlah hukum, tetapi merupakan sumber hukum, bukan dalam arti tempat ditemukan

hukum melainkan tempat hakim dapat menggali hukum.203

Dengan memahami sumber-sumber Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan

Agama di atas, maka dapat ditegaskan bahwa Hukum Acara yang berlaku di lingkungan

Peradilan Agama bukanlah Hukum Acara yang bersumberkan dari Hukum Islam secara

mutlak, akan tetapi juga berasal dari produk hukum Nasional dan kolonial Belanda. Akan

tetapi ada suatu jaminan bahwa minimal Hukum Acara tersebut tidak akan bertentangan

dengan hukum Islam.

Dengan demikian, upaya hukum sebagai bagian dari Hukum Acara yang berlaku

di lingkungan Peradilan Agama juga tidak bersumberkan kepada hukum Islam secara

keseluruhan, namun masih mengakomodasi hukum acara lainnya sebagai sumber hukum

dalam pelaksanaan proses peradilan.

202
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 12
203
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,...,
hal. 12
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah berlalu, maka pada bab penutup ini

Penulis hanya mengemukakan kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah

yang ditulis pada bab pendahuluan:

1. Eksistensi upaya hukum dalam perspektif hukum Islam adalah sebuah kebolehan

karena tidak terdapat larangan dan halangan untuk diterapkan sebagai bagian

yang tidak terpisahkan dari kegiatan Peradilan Islam dan umumnya semua

peradilan yang ada di Indonesia. Sebagai dasar diperlakukannya upaya hukum

dalam praktek peradilan Islam tidak ditemukan secara eksplisit dan spesifik

dalam teks al-Qur’an maupun sunnah, namun karena adanya indikasi

keharmonisan dan keserasian maslahahnya dengan kebijaksanaan syari’at di

dalam memelihara maqashid al-syari’ah, maka maslahah dapat dijadikan

sebagai dasar hukumnya.

2. Mengenai penerapan upaya hukum di Indonesia khususnya pada Lembaga

Peradilan Agama sudah diterapkan sejak masa penjajahan Belanda dengan

keluarnya Staatblad 1937 Nomor 610 dengan mendirikan sebuah Pengadilan

Agama Tinggi atau Mahkamah Islam Tinggi yakni suatu majelis Pengadilan

Appel untuk wilayah Jawa dan Madura. Sedangkan untuk wilayah di luar Jawa

dan Madura (seperti Kalimantan Selatan) berlaku Staatblad 1937 Nomor 638

dan 639 dengan dibentuknya Kerapatan Qadhi sebagai Pengadilan Agama

124
125

Tingkat Pertama, dan Kerapatan Qadhi Besar sebagai Pengadilan Banding,

kemudian setelah Indonesia merdeka dengan keluarnya Peraturan Pemerintah

Nomor 45 Tahun 1957 yaitu pengaturan untuk daerah luar Jawa/Madura dan

Kalimantan Selatan, dengan sebutan untuk tingkat pertama disebut Pengadilan

Agama/ Mahkamah Syar’iyah dan tingkat banding disebut dengan Pengadilan

Agama/ Mahkamah Syar’iyah Propinsi. Pada dasarnya pelaksanaan upaya

hukum yang berlaku di Peradilan Agama sama dengan pelaksanaan upaya

hukum di lembaga peradilan lain yang ada di Indonesia ini, hanya saja perkara

yang dihadapi berdasarkan kompetensi Absolut dari suatu lembaga peradilan.

B. Saran-saran

1. Lembaga upaya hukum sebagai salah satu sarana untuk mewujudkan keadilan

hukum dalam Peradilan Islam perlu dipelihara dan dikembangkan dengan

sebaik-baiknya guna meluruskan jalannya proses hukum yang didambakan oleh

masyarakat Islam khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya.

2. Kepada badan eksekutif perlu mengawasi dan meluruskan jalannya upaya

hukum sehingga dapat dimanfaatkan sedemikian rupa oleh masyarakat pencari

keadilan.

3. Kepada badan yudikatif sangat diperlukan adanya itikad baik dan sempurna guna

menjalankan amanah keadilan sesuai dengan status seorang hakim sebagai

bayang-bayang Tuhan di permukaan bumi.

4. Kepada para kuasa hukum yang berprofesi sebagai pengacara, disarankan agar

para pencari keadilan tidak dijadikan sebagai lahan yang empuk untuk mencari

materi dan keuntungan duniawi semata akan tetapi diharapkan dapat meluruskan
126

suatu kekeliruan, sehingga eksistensi upaya hukum dalam Peradilan Islam yang

sekarang yang telah dikemas dalam Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia

diharapkan betul-betul bersifat mengayomi umat bukan sebaliknya sebagai alat

permainan mencari keuntungan di atas sengketa orang lain.

5. Kepada lembaga peradilan tertinggi dalam hal ini Mahkamah Agung RI

diharapkan perlu penambahan dan pembenahan kinerja personil yang terlibat di

setiap tingkat peradilan guna melancarkan jalannya proses peradilan dan upaya

hukum serta menghindarkan bertumpuknya sisa perkara baik di tingkat banding

apalagi di tingkat kasasi dari tahun ke tahun.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghaniy, Al Hafidz Taqiyuddin, ‘Umdat al-Ahkam, penterjemah


Abdurrohim, Hadits-Hadits Shahih Seputar Hukum, Jakarta: Republika,
2011

Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2004

AD Damsyiqi, Ibnu Hamzah al-Husaini al-Hanafi, Asbab al-Wurud, penterjemah


HM. Suwarta Wijaya, Latar Belakang Historis Timbulnya Hadis-hadis
Rasul, Jakarta: Kalam Mulia, 1996

Ali, K. Sejarah Islam, Jakarta: Raya Grafindo Persada, 1997

al-Jauziy, Ibnu Qaiyim, I’lan al-Muwaqqiin ‘an Rabbi al-‘Alamin, Beirut: Dar al-
Fikr, 1977, juz ke-3

_________, al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, Mesir: Mathba’ah


al-Madany, 1985

Al-Naisaburi, Abi al-Husain Muslim Bin al-Hajjaj al-Qusyairy Shahih Muslim,


Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th

Al-Syaukani, Muhammad bin Ali Bin Muhammad, Nail al Awthar, t.tp, Iqomah al-
Din, t. th

Al-Tanzim, Muhammad Ali Duraib, al-Qadha’ fi Mamluqah al- ‘Arabiyah al-


Syu’udiyah, Arabiyah: t.tp, 1983

A l-Zuhaili, Muhammad, Tarikh Qadha fi al Islam, Damaskus: Dar al-Fikr, 1995

Arto, A. Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 1996

Ash Shan’any, Muhammad bin Ismail, Subul al-Salam, Bandung : Dahlan, t.th

Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwatut Tafasir, penterjemah Yasin, Shafwatut


Tafasir Tafsir-tafsir Pilihan, Jakarta: Pustaka Al Kausar, 2011

Ash-Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam,


Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997

Az Zuhaily, Wahbah, Fiqh Islam wa Adilatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1997


Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2000

Chatib Rasyid, Syaifudin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik pada
Peradilan Agama, Yogyakarta: UII Press, 2009

Dept. Agama R.I, Metode Peneltian Sejarah, Ter. Manhaj Al-Baht Al Tarihi,
Jakarta: Direktorat Jenderal pembinaan Agama Islam, 1986

Direktorat Jend. Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Himpunan Peraturan


Perundang-undangan di Lingkungan Peradilan Agama Edisi I 2012

Djalil, A. Basiq, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,


1999

Harahap, M. Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Pengadilan Agama,


Jakarta: Sinar Grafika, 2005

_________, Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan Agama,


Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 1993

_________, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Pustaka


Kartini, 1988

Haroen, Nasrun Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Publishing House, 1996,

Hasaballah, Ali, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971

Ibn Isya, Abi Isya Muhammad, Syarh al-Turmudzi, al-Jami’ al Shahih wa Huwa
Sunan al-Turmudzi, Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 2000

Ibrahim, Abd. Rahman, Al-Qadha Wa Nizhamuhu fi al-Kitab wa al-Sunnah,


Mekkah: al-Arabiyah al-Su’udiyah, t.th

Khaldun, Ibn, Muqaddimah Ibn Khaldun, Penerjemah Ahmadie, Jakarta: Pustaka


Firdaus, 2000

Khallaf, Abd. Wahab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Dakwah al-
Islamiyah, 1990

Koto, Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2011

Madkur, Muhammad Salam, Al-Qadha’ fi al-Islam, Kairo: Dar al-Nahdhah al-


Arabiyah, 1964
Mahalli, A. Mudjab, Asbabun Nuzul, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002

Makarao, Moh. Taufik, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: PT Rineka


Cipta, 2004

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,


Jakarta: Kencana, 2005

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah,


Jakarta: Sinar Grafika, 2009

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,


1993

Moeliono, Anton M. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002

Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan


Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia
IKAHI, 2008

Musbikin, Imam, Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001

Musyrifah, ‘Athiyah Musthafa, al Qadha’ fi al Islam, t.t.: Syariqah al-Syarqawi al


Ausath

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985

Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama, Bukittinggi: STAIN Bukiittinggi Press,


2010

Rahmiati, Peradilan Islam, Bukittinggi: STAIN Bukittinggi, 2004

Rasyid , Roihan A., Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta:Rajawali Pers, 2015,
Cet. Ke-16

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1983

Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2014

Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan,
Jakarta: Sinar Grafika, 2011

Sofyan, Andi, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Kencana, 2014

Syafe’i, Rachmat, Yurisprudensi Peradilan Agama dari Pelaksanaan UUPA: Segi


Normatif dalam Kajian Fiqh, Alternatif Penyempurnaan Timbal Balik,
dalam 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama, Jakarta:
Ditbinbapera dan Fakultas Hukum UI, 1999

_________, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2010

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2009

_________, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang: Angkasa Raya,


1993

Taimiyah, Ibnu, al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah wa al-Ra’iyyah, Riyadh:


Wizaratu asy-Syu’uni al-Islamiyah, 1418

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000

Anda mungkin juga menyukai