Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH CABANG KEKUASAAN YUDIKATIF

(SIYASAH QADHAIYYAH)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tata Negara

Islam

Dosen Pengampu: Dr. H. Suis Qaim Abdullah, M.Fil.I.

Tim Pengajar: Burhan Robith Dinaka, S.H., M.H.

Disusun oleh:

Rochmalia Faizah Arifin 05020621035

PROGRAM STUDI ILMU FALAK

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberi

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini

dengan baik. Kemudian, sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada

Nabi Muhammad Saw., sang lentera hati yang telah membawa umat Islam

menuju zaman yang terang benderang dan penuh dengan keberkahan.

Sebagai mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, penting bagi penulis

untuk dapat memahami terkait hukum tata negara Islam, lebih spesifik lagi

pada pembahasan mengenai cabang kekuasaan yudikatif (siyasah

qadhaiyyah) yang menjadi topik utama pada makalah ini. Dengan adanya

pembagian beberapa cabang kekuasaan dalam suatu susunan tata negara,

sekiranya dapat memperjelas pembagian tugas dan wewenang yang harus

dijalankan oleh masing-masing pihak yang telah diberi amanat.

Sudah menjadi kesadaran umum bahwa tiada satupun kesalahan yang

dapat terlepas dari diri setiap manusia. Dengan begitu, penulis menyadari

sejatinya dalam penulisan makalah ini tentu masih terdapat kekurangan yang

harus dibenahi, sehingga penulis berharap agar para pembaca dapat

memberikan kritik dan saran yang membangun demi tersusunnya makalah

yang lebih baik dengan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya.

Surabaya, 17 September 2023

Penulis

1
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. 1


DAFTAR ISI .............................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 3
A. Latar Belakang Penelitian .............................................................................. 3
B. Pokok Permasalahan ..................................................................................... 4
C. Maksud dan Tujuan Penelitian ....................................................................... 4
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 5
E. Metode Penelitian .......................................................................................... 7
F. Sistematika Penelitian .................................................................................... 7
BAB II POLITIK PERADILAN DALAM HUKUM TATA NEGARA ISLAM ................. 9
A. Pengertian Siyasah Qadhaiyyah .................................................................... 9
B. Dasar Hukum Qadha’iyyah ...........................................................................11
C. Fungsi dan Peran Siyasah Qadha’iyyah ....................................................... 14
D. Prinsip-prinsip Peradilan Islam ..................................................................... 15
BAB III PRAKTIK SIYASAH QADHA’IYYAH DI INDONESIA ................................ 21
A. Lembaga Yudikatif dalam Fikih Siyasah ....................................................... 21
B. Elemen Lembaga Yudikatif di Indonesia ....................................................... 24
C. Prinsip Peradilan Umum di Indonesia........................................................... 27
D. Mekanisme Peradilan Islam di Indonesia ..................................................... 30
E. Fungsi dan Peran Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara ............... 32
BAB IV SISTEM PENGANGKATAN HAKIM PADA SIYASAH QADHA’IYYAH DAN
DI INDONESIA ....................................................................................................... 35
A. Pengangkatan Qadhi pada Siyasah Qadha’iyyah......................................... 35
B. Hakim Pengadilan Agama di Indonesia ........................................................ 37
C. Persamaan dan Perbedaan Antara Siyasah Qadha’iyyah dan Sistem di
Indonesia ............................................................................................................ 39
BAB V PENUTUP .................................................................................................. 41
A. Kesimpulan .................................................................................................. 41
B. Saran ........................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ iii
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Hukum tata negara Islam dalam ruang lingkupnya memuat berbagai

macam pokok bahasan yang perlu diperhatikan urgensinya. Dalam sejarah

ketatanegaaran, dikenal istilah trias politica, yang membagi kekuasaan negara

menjadi 3 bagian, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Perlu

diingat kembali bahwa kekuasaan leigislatif berperan sebagai pembuat

undang-undang, kekuasaan eksekutif sebagai pelaksana undang-undang

tersebut sekaligus roda pemerintahan, dan kekuasaan yudikatif yang biasa

disebut sebagai kekuasaan kehakiman.

Suatu negara dengan sistem pemerintahan yang berdaulat harus

dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas. Hal ini dilakukan

untuk mencegah adanya kekuasaan negara yang bersifat absolut. Kekuasaan

yudikatif yang bersifat merdeka dengan artian bebas dari campur tangan

kekuasaan lain, menjadi bahan kajian yang sangat penting terlebih pada

ketatanegaraan Islam. Hukum Islam yang dikenal dengan sebutan fikih

memiliki beberapa cabang bidang studi, salah satunya terkait peradilan. Trias

politica dalam ketatanegaraan Islam disebut sebagai sulthah tanfiziyah,

sulthah tasyri’iyah, dan sulthah qadha’iyyah.1 Ketiga hal tersebut tidak jauh

1
Lomba Sultan, “Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam Dan Aplikasinya Di Indonesia,” Al-Ulum
13, no. 2 (2013): 436.
4

berbeda dengan praktiknya pada tata negara Indonesia, hanya saja

berdasarkan syariat Islam.

Peradilan sebagai salah satu pilar yang fundamental, menunjukkan

bahwa hukum Islam dapat diimplememtasikan ke seluruh aspek kehidupan

termasuk politik. Karena dalam Islam menjunjung tinggi keadilan agar dapat

terlindungi hak-hak setiap individu di bawahnya. Dalam hukum tata negara

Islam, muncul istilah siyasah qadha’iyyah yang lebih spesifik membahas

tentang kekuasaan kehakiman, yang sebagai gambaran umum mencakup hal

terkait lembaga penegak hukum beserta fungsi dan perannya. Penelitian ini

secara khusus akan membahas tentang kekuasaan yudikatif tersebut dalam

hukum tata negara Islam, kemudian dikaitkan dengan penerapannya di

Indonesia. Sehingga, nantinya dapat diketahui apakah sistem peradilan Islam

ini dapat diimplementasikan dengan baik dalam ketatanegaraan Indonesia.

B. Pokok Permasalahan

Agar dapat tersusunnya makalah dengan baik dan sesuai yang

diharapkan, penulis merinci beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana penjelasan terkait politik peradilan dalam hukum tata

negara Islam?

2. Bagaimana siyasah qadha’iyyah dalam praktiknya di Indonesia?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Dengan mengetahui pokok permasalahan yang diangkat, maka

diperoleh tujuan penelitian sebagai berikut:


5

1. Dapat mendeskripsikan politik peradilan dalam hukum tata negara

Islam

2. Dapat menganalisis praktik siyasah qadha’iyyah di Indonesia

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam pengertian secara umum merupakan bahan-

bahan bacaan yang berkaitan dengan topik penelitian yang digunakan penulis

sebagai panduan untuk memecahkan sebuah masalah dalam penelitian yang

sedang dilakukan.2 Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan, terdapat

beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan dengan topik ini, diantaranya:

Pertama, skripsi tahun 2022 yang disusun oleh Ali Imbron dengan judul

“Tinjauan Siyasah Qadha’iyyah Perspektif Imam Al-Mawardi terhadap Peran

dan Fungsi Lembaga Pengadilan Agama Jember dalam Mengadili Sengketa

Waris pada Tahun 2020-2021”.3

Kedua, Jurnal Syariati: Studi Al-Qur’an dan Hukum Vol. II No. 02, tahun

2016 oleh A. Saiful Aziz yang berjudul “Posisi Lembaga Peradilan dalam

Sistem Pengembangan Hukum Islam”4.

2 Sitti Astika Yusuf and Uswatun Khasanah, “Kajian Literatur Dan Teori Sosial Dalam
Penelitian” (Sorong, n.d.), https://osf.io/thw3j/download/?format=pdf.
3 Ali Imbron, “Tinjauan Siyasah Qadha’iyyah Perspektif Imam Al-Mawardi Terhadap Peran Dan

Fungsi Lembaga Pengadilan Agama Jember Dalam Mengadili Sengketa Waris Pada Tahun
2020-2021” (Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, 2022),
http://digilib.uinkhas.ac.id/16171/.
4 A. Saiful Aziz, “Posisi Lembaga Peradilan Dalam Sistem Pengembangan Hukum Islam,”

Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum II, no. 02 (2016),


https://doi.org/https://dx.doi.org/10.32699/syariati.v2i02.1134.
6

Ketiga, Jurnal Al-Ulum Vol. 13 No. 2, tahun 2013 oleh Lomba Sultan

yang berjudul “Kekuasaan Kehakiman dalam Islam dan Aplikasinya di

Indonesia”.5

Keempat, Jurnal Kajian Manajemen Pendidikan Islam dan Studi Sosial

Vol. 5 No. 2, tahun 2021 karya Mohamad Bagas Rio R., Rahma Kemala Dewi,

dan Sely Agustina yang berjudul “Tinjauan Fikih Siyasah terhadap Lembaga

Yudikatif di Indonesia”.6

Kelima, Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 1 Edisi II, tahun 2021 yang

berjudul “Peradilan Islam” karya Haris.7 Ia adalah mahasiswa pascasarjana

UIN Alauddin Makassar.

Keenam, karya tulis Dr. H. M. Zakaria, M.H. yang berjudul “Peradilan

dalam Politik Islam (Al-Qadhaiyyah fis Siyasah Assyari’yyah)”.8 Beliau

merupakan hakim Pengadilan Agama Pekanbaru Klas I A.

Ketujuh, Journal of Islamic Family Law Vol. 1 No. 1, tahun 2022 yang

berjudul “Peradilan dan Pengadilan dalam Konsep Dasar, Perbedaan dan

Dasar Hukum”.9 Jurnal tersebut merupakan karya Ahmad Asif Sardari, seorang

5 Sultan, “Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam Dan Aplikasinya Di Indonesia,” 435–52.


6 Mohamad Bagas Rio R, Rahma Kemala Dewi, and Sely Agustina, “Tinjauan Fiqh Siyasah
Terhadap Lembaga Yudikatif Di Indonesia,” Cakrawala: Jurnal Kajian Manajemen Pendidikan
Islam Dan Studi Sosial 5, no. 2 (2021),
https://doi.org/https://doi.org/10.33507/cakrawala.v5i2.371.
7 Haris, “Peradilan Islam,” ’Aainul Haq: Jurnal Hukum Keluarga Islam 1, no. II (2021): 85–101,

http://www.ejournal.an-nadwah.ac.id/.
8 M. Zakaria, “Peradilan Dalam Politik Islam (Al-Qadhaiyyah Fis Siyasah Assyar’iyyah),” n.d.,

1–21.
9 Ahmad Asif Sardari and Ja’far Shodiq, “Peradilan Dan Pengadilan Dalam Konsep Dasar,

Perbedaan Dan Dasar Hukum,” JIFLAW: Journal Of Islamic Family Law 1, no. 1 (2022): 11–
23, http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah.
7

mahasiswa IAIN Sultan Amai Gorontalo dan ditulis bersama Ja’far Shodiq,

mahasiswa Universitas Islam Lamongan.

Kedelapan, Jurnal terbitan Universitas Dharmawangsa Vol. 17 No. 2,

tahun 2023 yang berjudul “Hubungan Islam dengan Sistem Peradilan di

Indonesia”.10 Jurnal tersebut merupakan karya Ahmad Fasial yang berasal dari

Sekolah Tinggin Agama Islam Negeri Mandailing Natal.

Kesembilan, buku yang berjudul “Peradilan Agama di Indonesia”, yang

ditulis oleh Prof. Dr. H. Pagar, M.Ag dan diterbitkan pada tahun 2015 juga

merupakan salah satu literatur yang dijadikan penulis sebagai sumber dalam

penulisan makalah hukum tata negara Islam.11

E. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian kualitatif dengan teknik

analisis data deskriptif, yang berarti menguraikan semua data yang telah

diperoleh. Pengumpulan data dilakukan penulis melalui beberapa literatur,

seperti buku dan jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian. Data yang

diperoleh tersebut kemudian dikaji dan diolah oleh penulis sehingga dapat

tersusun hasil penelitian sesuai yang diharapkan.

F. Sistematika Penelitian

Sistematika penelitian merupakan sebuah urutan dalam penyusunan

laporan penelitian yang disusun dalam bentuk narasi singkat dari masing-

10 Ahmad Faisal, “Hubungan Islam Dengan Sistem Peradilan Di Indonesia,” Warta


Dharmawangsa 17, no. 2 (2023): 632–49, https://doi.org/10.46576/wdw.v17i2.3177.
11 Pagar, Peradilan Agama Di Indonesia (Medan: Perdana Publishing, 2015).
8

masing bab. Adanya sistematika penelitian ini dapat memudahkan penulis

dalam menyajikan hasil penelitian yang akan tersusun secara sistematis dan

logis. Sistematika penelitian secara garis besar disusun oleh penulis dalam tiga

bab.

Bab Pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari beberapa subbab,

yakni latar belakang penelitian, pokok permasalahan, maksud dan tujuan

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab Kedua berisi pembahasan terkait politik peradilan dalam hukum

tata negara Islam, yang terbagi menjadi empat subbab, meliputi pengertian

siyasah qadha’iyyah, dasar hukum qadha’iyyah, fungsi dan peran siyasah

qadha’iyyah, dan prinsip-prinsip peradilan Islam.

Bab Ketiga membahas kajian tentang praktik siyasah qadha’iyyah di

Indonesia, yang terbagi menjadi lima subbab, yakni lembaga yudikatif dalam

fikih siyasah, elemen lembaga yudikatif di Indonesia, prinsip peradilan umum

di Indonesia, mekanisme peradilan Islam di Indonesia, serta fungsi dan peran

peradilan agama dalam penyelesaian perkara.

Bab Keempat merupakan subbab yang membahas terkait analisis

persamaan dan perbedaan sistem serta proses pengangkatan hakim, baik di

Indonesia dengan sistem siyasah qadha’iyyah.

Bab Kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran

yang berkaitan dengan kajian tentang siyasah qadha’iyyah, baik dalam

pengertiannya maupun penerapannya.


BAB II

POLITIK PERADILAN DALAM HUKUM TATA NEGARA ISLAM

A. Pengertian Siyasah Qadhaiyyah

Siyasah qadha’iyyah merupakan politik peradilan yang memiliki tujuan

untuk menyelesaikan perkara-perkara dengan berlandaskan syariat Islam.

Dalam fikih, dikenal istilah qadha yang memiliki arti selesai dan sempurnanya

sesuatu atau menetapkan. Sehingga, dapat dipahami juga bahwa maksud dari

qadha adalah menetapkan atau memutuskan suatu hukum.12 Kemudian, para

ahli fikih juga memberikan pengertian yang lebih lengkap terkait qadha.

Wahbah az-Zuhaili, seorang ulama fikih kontemporer yang terkenal dari Syria

mengungkapkan bahwa al-qadha merupakan memutuskan pertentangan yang

terjadi dan mengakhiri permasalahan tersebut dengan cara menetapkan

hukum syara’ bagi pihak yang bersangkutan. Hal serupa juga dijelaskan oleh

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhu As-Sunnah, yakni yang dimaksud dengan

qadha’ adalah memutuskan pertikaian untuk menghindari perselisihan dan

memutuskan permasalahan dengan menggunakan hukum yang telah

disyari’atkan oleh Allah.

Disamping para ahli fikih, terdapat pula pendapat dari ahli hukum

mengenai makna peradilan dalam pandangan hukum positif di Indonesia.

Menurut H. Mohammad Daud Ali, peradilan merupakan suatu proses

pemberian keadilan pada badan atau lembaga hukum dengan tugas

12 Haris, “Peradilan Islam,” 87.

9
10

menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang

telah diajukan kepada lembaga tersebut.13 Cik Hasan Basri memberi

kesimpulan dari pengertian tentang peradilan yakni kewenangan suatu

lembaga dalam menyelesaikan perkara untuk hukum dan atas nama hukum

demi tegaknya keadilan.14 Dari beberapa pengertian yang telah dijelaskan di

atas, dapat dipahami bahwa qadha’ atau peradilan dalam fikih adalah suatu

lembaga hukum yang wajib dipatuhi oleh seluruh orang yang dilindungi di

bawahnya dengan tugas mengakhiri persengketaan para pihak yang

bersangkutan berdasarkan syari’at Islam.

Setelah memahami pengertian siyasah qadha’iyyah, perlu diketahui

bahwa dalam pelaksanaan sistem peradilan, terdapat beberapa unsur sebagai

berikut:

1. Hakim (qadhi), yakni orang yang diangkat oleh kepala negara dengan

pembebanan tugas untuk dapat menyelesaikan perkara atau

perselisihan yang terjadi di masyarakat. Hal ini dilakukan karena

penguasa (pemimpin) suatu negara tentu tidak mampu menjalankan

sendiri semua tugas-tugas peradilan.

2. Hukum (qadha’), merupakan putusan hakim yang ditetapkan untuk

menyelesaikan perselisihan. Terdapat 2 keputusan yang dimiliki oleh

hakim, yakni:

13 Muhammad Daud Ali, “Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di
Indonesia, Cet. Ke-19,” in Jakarta: Raja Grafindo, 2013, 48–50.
14 Cik Hasan Basri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, 1st ed. (Bandung:

Remaja Rosdakarya, 1997), 3.


11

a) Qadha ilzam, yaitu menentukan hak hukuman pada salah satu

pihak dengan pembagian secara paksa

b) Qadha’ istiqaq, yaitu penetapan penolakan, seperti ucapan qadhi

kepada penggugat, “kamu tidak berhak menuntut dari tergugat,

karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah

tergugat”.

3. Al-Mahkum bih (objek hukum), merupakan perbuatan seorang

mukallaf yang berkaitan dengan pembebanan (taklif). Para ulama

ushul fikih memberi pengertian bahwa mahkum bih sebagai

perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan perintah syar’i, baik yang

bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan, memilih suatu

pekerjaan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah,

rukhshah, sah, dan batal.

4. Al-Mahkum ‘alaih (tergugat), yaitu subjek hukum yang dikenai

putusan untuk diambil haknya

5. Al-Mahkum lahu (penggugat), merupakan penggugat suatu hak yang

harus melakukan sendiri gugatan atas haknya atau dengan perantara

orang yang diberi kuasa olehnya.15

B. Dasar Hukum Qadha’iyyah

Pada dasarnya, hukum peradilan adalah fardhu kifayah. Hal ini

disebabkan oleh peradilan yang termasuk ke dalam amar ma’ruf nahi munkar

15 Basiq Djalil, Peradilan Islam (Jakarta: Amzah, 2012), 23.


12

yang mengharapkan terjaganya stabilitas kehidupan manusia yang baik,

disamping untuk menegakkan keadilan dan memelihara hak setiap individu.16

Dalam hukum Islam, telah disyariatkan terkait peradilan berdasarkan firman

Allah dalam Al-Qur’an, juga melalui Hadits Nabi serta ijma’ umat Islam. Berikut

penjelasan lebih rinci pada masing-masing sumber hukum (dalil):

1. QS. Al - Ma’idah: 49

َََ‫للاَإَلَيَك‬
َ ََ‫آَأَنزَل‬
َ ‫ضَ َم‬
َ َ‫عنََبَع‬
َ َ‫ك‬
َ َ‫نََيفََتنَو‬
َ َ‫للاَ َولََتََتبَ َعَأَ َهوَآءَ َهمََوَاحَ َذرَهَ َمَأ‬
َ َ‫نَاحَكَ َمََبيَن َه َمَبَمَآَأَنَزَ َل‬
َ َ‫وَأ‬

‫ن‬
َ َ‫اسَلَفَسََقو‬
َ َ‫اَمنََالن‬
َ َ‫نَكََثيَر‬
َ َ‫ضَ َذَنوَبَ َه َمََۗوَإ‬
َ َ‫صيَبَ َه َمََببَع‬
َ َ‫نَي‬
َ َ‫للاَأ‬
َ َ‫فَإَنََتَوََلوَاَفَاعَلَ َمَأَنَمَاَيَرَيَ َد‬

Artinya: “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut

apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.

Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak

memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah

kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah),

maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan

musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan

sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-

Ma’idah: 49)17

2. QS. Shaad: 26

ََ‫نَسََبيَل‬
َ َ‫ياداوودَإناَجعلنكَخليفةَفيَاْلرضَفاحكمَبينَالناسَبالحقَولَتتبعَالهوىَفَيَضَلَكََع‬

‫اب‬
َ َ‫اَنسَوَ َايوَ َمَالَحَس‬
َ َ‫ابَشَ َديَ َدَبَم‬
َ ‫للاَلَهَ َمَعَ َذ‬
َ َ‫سبَيَ َل‬
َ ََ‫عن‬
َ ََ‫نََيضَلَ َون‬
َ َ‫نَالَ َذي‬
َ َ‫للاَََإ‬

16 Haris, “Peradilan Islam,” 90.


17 Al-Qur’an, Al-Ma’idah (5): 49, n.d.
13

Artinya: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa)

di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan

adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan

kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah

akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

(QS. Shaad: 26)18

3. Hadits riwayat al-Arba’ah yang dishohihkan oleh al-Hakim

ََ‫َاََثنان‬:َ‫لثَة‬
َ َ‫اةَث‬
َ‫ض‬ َ َ‫َاَلَق‬:‫–َصَلَىَللاََعَلَيَ َهَوَسَلَ َم‬
َ َ‫للا‬
َ ََ‫سول‬
َ َ‫الَر‬
َ َ‫َق‬:‫ال‬
َ َ‫يَللاََتَعَالَىَ–َق‬
َ َ‫َرَض‬-َ ََ‫نَبَ َريَ َدة‬
َ َ‫ع‬

ََ‫َوَ َرجَلََعَ َرفََالَحَق‬,َ‫قَفَقَضَىَبَهََفَ َهوََفَيَالَجََنة‬


َ َ‫فَالَح‬
َ َ‫َوَرَجَ َلَعَر‬,َ‫جنَ َة‬
َ َ‫َوَوَاحَ َدَفَيَال‬,‫ار‬
َ َ‫فَيَالن‬

َ‫َورجلَلمَيعرفَالحقَفقضىَللناسَعلىَجه ٍلَفهو‬,‫ضَبهَوجارَفيَالحكمَفهوَفيَالنار‬
َ َ‫فَلَمَََيق‬

.ََ‫حاكَ َم‬
َ َ‫َرواهَاْلربعةَوصَححَ َهَال‬.َ‫فيَالنار‬

Dari Buraidah radhiyallahu ta’ala berkata bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa

sallam bersabda: “Hakim ada tiga (macam): dua di neraka, satu di surga. (1)

seorang qadhi yang mengetahui kebenaran lalu ia mengambil keputusan

dengannya, maka ia akan masuk surga; (2) seorang qadhi yang mengetahui

kebenaran lalu ia tidak memutuskan dengannya dan meyimpang (dari

kebenaran itu), maka dia pasti masuk neraka; (3) seorang qadhi yang tidak

mengetahui kebenaran lalu (mengambil keputusan) hukum bagi manusia (atas

dasar) kebodohannya, maka dia pasti masuk neraka” Diriwayatkan oleh al-

Arba’ah dan dishohihkan oleh al-Hakim.19

18 Al-Qur’an, Shaad (38): 26, n.d.


19 Al-Hafidz Ibnu Hajar, “Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam,” n.d.
14

4. Hadits yang diriwayatkan oleh Amr bin Ash20

ََ‫َإَ َذاَحَ َكم‬:َ‫سوَلََللاََصََلىَللاََعَلَيَ َهَوَسَلَ َمََيقَ َول‬


َ َ‫للاَعَنَ َهَأََن َهَسَ َمعََر‬
َ ََ‫ضي‬
َ َ‫اصَر‬
َ َ‫نَعَمَرَ َوََبنََالع‬
َ َ‫ع‬

‫َمتفقَعلي َه‬.َ‫َوَإَ َذاَحَ َك َمَفاجتهدَثمَاخطأَفلهَأجر‬,َ‫ابَفَلَ َهَأَجَرَان‬


َ َ‫اجتَهَ َدَثَ َمَأَص‬
َ َ‫الَحَاكَمََف‬

Dari Amr bin al-Ash ra. meriwayatkan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah

Saw. bersabda: “Bila seorang hakim hendak memutuskan perkara lalu dia

berijtihad kemudian benar (keputusannya), maka baginya dua pahala. Dan bila

dia hendak memutuskan perkara lalu berijtihad kemudian (ternyata) salah

(keputusannya), maka baginya satu pahala” Muttafaqun ‘alaih.

Kemudian, para fuqaha dalam kitabnya menjelaskan adanya

kesepakatan ulama yang berdasar pada Al-Qur’an dan peristiwa maupun

perbuatan Nabi serta para sahabat.21 Hal ini kemudian disepakati dan diikuti

oleh umat Islam untuk mengangkat hakim yang bertugas menetapkan sebuah

putusan hukum terhadap perkara yang terjadi di masyarakat. Dengan dasar

bahwa adanya lembaga pengadilan, maka hak dan kebenaran dapat

ditegakkan.22

C. Fungsi dan Peran Siyasah Qadha’iyyah

Dalam sistem pemerintahan Islam, fungsi qadhi atau hakim terbagi

menjadi 3 hal, yakni: 1) mengurus masalah muamalat dan ‘uqubat, 2)

menangani pelanggaran yang berdampak pada kepentingan umum, 3)

20 Islam House, “Ensiklopedia Terjemahan Hadis-Hadis Nabi: Hukum Melaksanakan


Pengadilan, Keutamaan Dan Bahayanya,” HadeethEnc.Com, 2023,
https://hadeethenc.com/id/browse/hadith/64682.
21 Siska Lis Sulistiani, Peradilan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2020), 6–7.
22 Haris, “Peradilan Islam,” 85–101.
15

menyelesaikan pertentangan yang terjadi antara pejabat dengan rakyat.23

Sedangkan peran peradilan diantaranya menegakkan hukum dan memelihara

ketentraman dan ketertiban. Sebagai pemilik wewenang untuk menegakkan

hukum Islam dalam melayani kepentingan umum, terdapat beberapa tugas

pokok pada peradilan Islam sebagai berikut:

1. Mendamaikan dua pihak yang sedang berperkara

2. Menetapkan dan menerapkan sanksi kepada pihak yang melanggar

hukum24

D. Prinsip-prinsip Peradilan Islam

Dalam peradilan Islam, setidaknya terdapat delapan prinsip-prinsip

penting, di antaranya:25

1. Kemerdekaan Kehakiman (Istiqlal al-Qada’)

Kekuasaan kehakiman sebgaai lembaga yang berdiri sendiri atau

merdeka bertujuan untuk menjaga peradilan agar terhindar dari pengaruh

dan turut campurnya kekuasaan lain (legislatif dan eksekutif).

2. Kesamaan di Hadapan Hukum (Al-Musawah Amama al-Qada’)

Sejak zaman Rasulullah Saw., telah dikenal prinsip kemerdekaan

dan persamaan hak, beliau selalu bersikap sama dalam mengadili pihak-

pihak yang berselisih. Hal ini kemudian terus dilakukan oleh para

23 Zakaria, “Peradilan Dalam Politik Islam (Al-Qadhaiyyah Fis Siyasah Assyar’iyyah).”


24 Imbron, “Tinjauan Siyasah Qadha’iyyah Perspektif Imam Al-Mawardi Terhadap Peran Dan
Fungsi Lembaga Pengadilan Agama Jember Dalam Mengadili Sengketa Waris Pada Tahun
2020-2021,” 22–23.
25 Aziz, “Posisi Lembaga Peradilan Dalam Sistem Pengembangan Hukum Islam,” 285–98.
16

khulafa’ur rosyidin dan umat Islam hingga saat ini. Umar bin Khattab

pernah memberi nasihat kepada seorang qodli, yakni “bersikaplah sama

di antara manusia di hadapanmu dalam pernyataan dan keputusan.

Sehingga orang yang mulia tidak berharap kemenangan perkara dalam

keculasanmu dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu”.

3. Peradilan Gratis (Majjiniyat al-Qada’)

Sudah berlaku sejak lama bahwa di negara-negara Islam tidak

pernah ada qadhi yang diperbolehkan memungut biaya dari orang yang

berperkara ke pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan tidak

adanya sikap tamak pada diri qadhi dan karena mereka telah digaji oleh

pemerintahan Islamiah, bukan sekedar alasan.

4. Upaya Hukum Naik Banding (Al-Taqadi ‘ala Darajatain au al-Isti’naf)

Berdasarkan prinsip ini, orang yang berperkara yang telah

mendapatkan hasil keputusan atas kasusnya di pengadilan tingkat

pertama, diperbolehkan mengajukan kasus tersebut ke pengadilan yang

lebih tinggi tingkatannya, atau dpaat dikatakan sebagai naik banding.

Pengadilan yang lebih tinggi tersebut memiliki kebebasan dalam

menentukan apakah keputusan hukum sebelumnya dikukuhkan, diganti,

ataupun dibatalkan. Dengan adanya prinsip ini, mendorong hakim untuk

berhati-hati dalam menangani setiap kasus yang diajukan kepadanya.

Selain itu, juga untuk mengantisipasi apabila di kemudian hari ditemukan

kasus yang sama dan mencegah adanya kekeliruan dalam keputusannya

tersebut, agar hukum yang telah diputuskan tidak diganti atau dibatalkan.
17

5. Kehakiman Islam Menerapkan Aturan Hakim Tunggal (Al-Qada’ fil

Islam Yaqumu ‘ala Nizam al-Qadi al-Fard)

Dalam sistem peradilan Islam, yang memiliki wewenang untuk

memutuskan perkara di antara orang berperkara adalah seorang qadhi

saja, sehingga dikatakan sebagai hakim tunggal. Namun, pada beberapa

kondisi yang terdapat kebutuhan tersendiri, seorang hakim diperbolehkan

untuk didampingi oleh ulama yang akan memberikan pendapat terkait

kasus yang ditangani. Tidak serta-merta ikut memutuskan, adanya

pendapat dari ulama tersebut hanya dijadikan sebagai pertimbangan

hakim saja, tetapi yang memutuskan tetaplah sang hakim itu sendiri.

6. Sidang peradilan yang Terbuka (‘Alaniyat Majlis al-Qada’)

Suatu persidangan dapat dilakukan secara terbuka untuk umum,

dengan melihat perkara yang disidangkan. Hal ini juga telah disepakati

oleh para ahli fikih, sebagaimana pada masa Rasulullah Saw. yang

menyelenggarakan perisdangan di masjid.

7. Mempertemukan Pihak yang Berselisih (Husul al Ijra’at fi Muwajahat

al-Khusum)

Sebelum hakim memutuskan hukum, para pihak yang

bersangkutan terlebih dahulu dipertemukan untuk dapat saling

mengetahui dan didengarkan pendapatnya masing-masing. Namun, bagi

pihak berperkara yang tidak hadir dalam persidangan (ghaib) berlaku

aturan tersendiri yang mengaturnya, sehingga hak masing-masing tetap

terjaga.
18

8. Kekuasaan Kehakiman dalam Fikih Islam (Sulthotul Qodli fil Fiqhi al-

Islamiy)

Seorang hakim dalam berijtihad menggali hukum untuk

menyelesaikan suatu perkara, tentu memperhatikan karakteristik produk

pemikiran hukum Islam, yang terbagi menjadi 4, yaitu:

a. Fikih, dalam konteks ini dapat dipahami sebagai hasil ijtihad

para ulama yang kemudian disetujui bersama, seperti Kompilasi

Hukum Islam (KHI). Keberadaan fikih sebagai respons terhadap

problematika hukum yang secara umum berkembang di

masyarakat. Sehingga, pada fikih dapat diberlakukan apabila

terdapat kesesuaian dengan produk hukum, seperti di negara

Indonesia yang berkiblat pada fikih Madzhab Syafi’i. Kemudian,

apabila ada suatu masalah yang tidak ditemukan ketentuan

hukumnya dalam fikih tersebut, barulah diperlukan fatwa.

b. Fatwa, merupakan hasil ijtihad dari seorang mufti yang

berhubungan dengan peristiwa hukum dan bersifat dinamis.

Sehingga, jika ada persoalan baru yang belum jelas kedudukan

hukumnya, maka diperlukan fatwa. Pemberian fatwa tersebut

dapat dilakukan secara individu ataupun kolektif.

c. Yurisprudensi, adalah putusan hakim terdahulu terhadap

perkara yang belum pernah diatur dalam undang-undang, yang

kemudian digunakan para hakim sebagai pedoman untuk

menangani perkara yang sama di masa mendatang. Kemudian,


19

Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia merupakan putusan

Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung Indonesia yang telah

memiliki kekuatan hukum tetap yang berisi kaidah yang

diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara di lingkup

yang telah ditentukan.26

d. Perundang-undangan, merupakan suatu peraturan yang dibuat

oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan apabila

dilanggar akan mendapatkan sanksi. Undang-undang dinilai

lebih mencerminkan kesadaran hukum masyarakat, karena

dirumuskan dengan pertimbangan yang lebih komprehensif.

Namun, perundang-undangan ini cenderung tidak dinamis.27

Sementara itu, Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islam wa

Adillatuhu, menyebutkan bahwa prinsip peradilan Islam harus berdasarkan

beberapa hal, diantaranya:

1. Tuduhan harus dipandang secara objektif dan hakim tidak boleh

condong kepada salah satu pihak.

2. Berpegang teguh pada hukum-hukum syariat Islam, yakni pada

aturan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk melindungi berbagai

hak ataupun menetapkan beberapa kewajiban.

26 Pengadilan Agama Sumber Kelas IA, “Yurisprudensi,” 2019, https://web.pa-


sumber.go.id/yurisprudensi-2/.
27 Aziz, “Posisi Lembaga Peradilan Dalam Sistem Pengembangan Hukum Islam,” 294–96.
20

3. Seorang hakim harus memiliki perasaan bahwa selalu ada

pengawasan dari Allah Swt., agar senantiasa berhati-hati dalam

memutuskan sebuah perkara.

4. Tujuan pemrosesan hukum dalam Islam tidak lain adalah mengharap

ridha Allah Swt. melalui penetapan hak-hak orang yang memang

berhak dan melindungi orang yang terzalimi

5. Keputusan yang diambil oleh hakim harus terikat pada prosedur

pengambilan keputusan, bukan berdasarkan keinginan pribadinya.

6. Keputusan diambil berdasarkan ketentuan (nash) yang terdapat

dalam Al-Qur’an maupun hadits dengan penafsiran dan ijtihad yang

kuat berkenaan dengan nash tersebut, baik melalui pendapat

madzhab fikih, pendaoat pakar tafsir, maupun pandangan pen-syarah

hadits.

7. Proses peradilan harus berdasarkan kesadaran keagamaan dengan

tujuan menegakkan keadilan untuk setiap lapisan masyarakat.28

28 Haris, “Peradilan Islam,” 89–90.


BAB III

PRAKTIK SIYASAH QADHA’IYYAH DI INDONESIA

A. Lembaga Yudikatif dalam Fikih Siyasah

Dalam ilmu politik, yang disebut sebagai yudikatif adalah kekuasaan

yang memiliki hubungan dengan tugas dan wewenang peradilan. Dengan

konsep fikih siyasah, dikenal istilah sulthah qadha’iyyah yang berarti

kekuasaan kehakiman. Adanya hal tersebut adalah untuk menyelesaikan

perkara-perkara permusuhan dan perbantahan, pidana dan penganiayaan,

perselisihan antar warga yang mengambil hak satu sama lain, mengawasi

harta wakaf dan beberapa persoalan lain yang dapat diperkarakan di

pengadilan, seta menerapkan perundang-undangan yang mendasarinya.

Selanjutnya, tujuan kekuasaan kehakiman yakni menegakkan kebenaran dan

memberi jaminan atas terlaksananya keadilan, serta menstabilkan kedudukan

hukum kepala negara dan menguatkan negara.

Kekuasaan kehakiman atau penegak hukum pada masa pemerintahan

Islam terdapat 3 macam, yaitu:

1. Al-Qadha atau lembaga peradilan yang memiliki ptpritas dalam

menyelesaikan masalah-masalah keperdataan serta masalah hukum

keluarga dan pidana (jinayah). Kekuasaan ini disebut dengan

wilayatul qadha’.

21
22

2. Al-Hisbah atau lembaga resmi negara yang berwewenang

menyelesaikan perkara-perkara ringan, seperti penimbunan,

pemalsuan, dan pengurangan takaran.

3. Al-Mazhalim atau lembaga yang dikhususkan untuk membela hak-

hak rakyat yang teraniaya akibat kebijakan negara yang dipandang

tidak memihaknya atau penyalahgunaan kekuasaan negara, seperti

adanya tindak korupsi atau penyuapan. Kekuasaan ini kemudian

disebut dengan wilayatul mazhalim.29

Dalam konteks negara Indonesia, kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi

terselenggaranya Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman menjadi

kekuasaan yang sangat fundamental dengan fungsi menegakkan keadilan

juga berkedudukan sebagai kekuasaan yang mandiri dan bebas dari campur

tangan kekuasaan lain. Pada susunan kekuasaan negara Republik Indonesia,

kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), badan-

badan peradilan di bawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha

Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Agama), serta Mahkamah Konstitusi.

Hal ini tercantum dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.30

29 Yusuf Faisal Ali, “Distribusi Kekuasaan Politik Dalam Kajian Fiqh Siyasah,” Untirta Civic
Education Journal 2, no. 1 (2017): 214–35,
https://doi.org/https://dx.doi.org/10.30870/ucej.v2i2.2811.
30 R, Dewi, and Agustina, “Tinjauan Fiqh Siyasah Terhadap Lembaga Yudikatif Di Indonesia,”

245.
23

Perubahan UUD 1945 membawa perubahan dalam kehidupan

ketatanegaraan, terlebih pada pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yang

ditegaskan sebagai berikut:

1. Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah mahkamah dan

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam Lingkungan

Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara, Lingkungan Peradilan Agama, serta

sebuah Mahkamah Konstitusi.

2. Mahkamah Agung memiliki wewenang untuk mengadili pada tingkat

kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-

Undang terhadap Undang-Undang (judicial review), dan wewenang

lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.

3. Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menguji Undang-

Undang terhadao Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan memutuskan sengketa kewenangan lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945

4. Komisi Yudisial berwenang memberi usulan pengangkatan hakim

agung dan memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluruhan martabat, serta perilaku hakim.

Pada dasarnya, UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman telah sesuai dengan perubahan UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 di atas, namun substansi UU tersebut belum mengatur secara


24

komprehensif tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yang mana

merupakan kekuasaan yang merdeka. Kekuasaan tersebut dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya

dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah

Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan agar hukum dan keadilan dapat

ditegakkan.

B. Elemen Lembaga Yudikatif di Indonesia

Di Indonesia, yang berwenang pada bidang peradilan atau dalam hal ini

disebut memiliki kekuasaan yudikatif terdapat 3 lembaga khusus, yakni

Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).

Berikut merupakan penjelasan terkait ketiga lembaga tersebut dengan

terperinci.

1. Mahkamah Agung (MA)

Mahkamah Agung merupakan salah satu lembaga tinggi negara

dalam sistem tata negara Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang

berwenang untuk mengadili perkara di tingkat kasasi dipegang oleh

Mahkamah Agung. Yakni yang bertugas menangani permohonan

peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang sebelumnya telah

mendapatkan kekuatan hukum tetap oleh pihak yang mengajukan. Selain


25

itu, MA juga berwenang untuk menguji semua peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang.31

Sebagai lembaga tinggi negara, MA juga memiliki fungsi untuk

melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan pada semua

lingkup peradilan, termasuk pada kinerja yang berkaitan dengan tugas

pokok kekuasaan kehakiman. Hal ini ditujukan agar sistem peradilan di

Indonesia dapat terselenggara sesuai dengan azas-azas yang berlaku,

yakni peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, namun tanpa

membatasi kebebasan hakim dalam memeriksa serta memutuskan suatu

perkara.32

2. Mahkamah Konstitusi (MK)

Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah

Agung, Mahkamah Konstitusi juga memiliki peran penting dalam upaya

penegakan konstitusi dan prinsip negara hukum yang berdasar pada

tugas dan wewenangnya sesuai yang tercantum dalam UUD 1945. Jika

MA sebelumnya dijelaskan bahwa berwenang untuk menguji semua

peraturan di bawah undang-undang, sedangkan Mahakamah Konstitusi

memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD

1945. MK sebagai lembaga negara yang merdeka memiliki beberapa

31
Dian Aries Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara (Yogyakarta: STPN Press, 2017), 104,
http://repository.stpn.ac.id/510/1/Pengantar-Hukum-Tata-Negara.pdf.
32
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Tugas Pokok Dan Fungsi,” n.d.,
https://www.mahkamahagung.go.id/id/tugas-pokok-dan-fungsi.
26

tugas dan kewenangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD

1945.33

Keanggotaan MK yang terdiri dari sembilan orang hakim

konstitusi, yang mana diajukan oleh DPR, Presiden, dan Mahkamah

Agung masing-masing tiga orang hingga kemudian ditetapkan dengan

Keputusan Presiden. Lebih lanjut, susunan organisasinya terdiri dari

ketua dan wakil ketua yang juga merangkap anggota, serta tujuh anggota

hakim konstitusi. Dalam menjalankan tugasnya, MK dibantu oleh

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan sebagaimana diatur berdasarkan

Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi. Keterlibatan ketiga

lembaga negara dalam pengajuan anggota MK menunjukkan adanya

keseimbangan kekuatan antar cabang kekuasaan negara, sehingga

diharapkan dapat menjamin netralitas dan imparsialitas lembaganya

dalam mengadili perkara sengketa.34

3. Komisi Yudisial (KY)

Komisi Yudisial atau KY merupakan sebuah lembaga negara yang

mandiri, memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim

agung dan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran

martabat sekaligus perilaku hakim. Hal ini sebagaimana tercantum dalam

33
Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, 102.
34
Jimly Asshiddiqie, “Koordinasi, Konsultasi, Evaluasi Implementasi MOU Helsinki Dan UU No. 11
Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Serta Penyelenggaraan Pemilukada Aceh 2011 Yang Aman,
Tertib, Dan Damai” (Jakarta, 2011).
27

Pasal 24B UUD 1945. Dalam melaksanakan kewenangannya, KY

terbebas dari campur tangan maupun pengaruh dari cabang kekuasaan

lain. Susunan keanggotaan Komisi Yudisial beserta kedudukan dan

kewenangannya sejatinya telah diatur dalam UU No. 22 Tahun 2004

Tentang Komisi Yudisial, yang mana anggotanya diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.35

C. Prinsip Peradilan Umum di Indonesia

1. Peradilan Negara yang Berdasarkan Pancasila

Pada dasarnya, sistem peradilan yang berjalan di Indonesia

berpedoman pada Pancasila, yang berkedudukan sebagai dasar negara.

Dalam hal ini dapat dipahami bahwa seorang hakim ketika mengadili

harus memperhatikan kembali nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-

sila Pancasila. Dengan adanya kata “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tercantum pada setiap putusan hakim

menunjukkan bahwa setiap putusan yang dibuat tersebut harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada Tuhan selain pada para pihak yang

sedang diadili. Di samping itu, terdapat nilai-nilai seperti kemanusiaan,

persatuan, kerakyatan, serta keadilan yang sudah selayaknya untuk

dijunjung tinggi pada saat proses peradilan berlangsung. Dengan begitu,

35
Mujiburohman, Pengantar Hukum Tata Negara, 104–5.
28

peradilan yang diharapkan dapat mewujudkan ketertiban masyarakat

dapat tercapai.

2. Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan

Suatu peradilan yang sederhana dapat dimaknai dengan proses

beracara yang tidak berbelit-belit atau jelas. Jika dapat meminimalisir

formalitas yang diwajibkan dalam beracara di hadapan pengadilan, maka

dapat dinilai prosesnya berjalan dengan sederhana dan baik. Namun

sebaliknya, terlalu rumit sebuah proses beracara, dapat menyebabkan

hilangnya kepastian hukum sebagai akibat dari munculnya banyak

penafsiran yang menunjukkan keengganan lagi untuk beracara di suatu

pengadilan tersebut. Selanjutnya, peradilan yang cepat tidak jauh

berbeda dengan makna peradilan yang sederhana, yakni bahwa tidak

ada hambatan dalam melakukan proses beracara. Sehingga, suatu

perkara dapat segera ditangani dan diselesaikan oleh hakim beserta

jajarannya. Kemudian, biaya ringan menunjukkan bahwa proses

peradilan yang ada di Indonesia haruslah tidak memberatkan para pihak

yang berperkara dalam hal membayar biayanya. Hal ini dimaksudkan

agar masyarakat tidak merasa dirugikan atau bahkan enggan untuk

beracara di muka pengadilan.36

36
Prianter Jaya Hairi, “Antara Prinsip Peradilan Sederhana, Cepat Dan Berbiaya Ringan Dan Gagasan
Pembatasan Perkara Kasasi,” Jurnal NEGARA HUKUM Vol. 2, no. No. 1 (2011): 154,
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/08/09/brk,20040809-28,id.html,.
29

3. Peradilan yang Berkepastian, Adil dan Manusiawi

Prinsip peradilan yang berkepastian menghendaki adanya usaha

pengaturan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang dapat

menjamin sebuah kepastian hukum bahwa hukum itu telah berfungsi

dengan baik sebagai peraturan yang harus dipatuhi dan ditegakkan

dengan tegas. Kemudian, dalam menegakkan hukum, seluruh badan

peradilan sudah sepatutnya untuk memperhatikan dan menjunjung nilai

keadilan. Dengan maksud bahwa pelaksanaan peradilan tidak

melibatkan unsur diskriminatif atau memihak salah satu di dalamnya,

sehingga harus benar-benar netral. Lalu, prinsip peradilan yang

manusiawi memberi gambaran bahwa penegakan hukum yang tegas

tidaklah menjadi sebab untuk mengesampingkan harkat dan martabat

kemanusiaan. Dalam arti, sebuah hukum dilaksanakan kemudian

ditegakkan pula dengan tujuan memberi perlindungan kepada

masyarakat hingga terciptanya ketertiban umum tanpa mencederai hak

asasi manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa prinsip peradilan yang

ada mengharapkan agar proses beracara bagi pihak yang bersangkutan

tidak dilakukan sewenang-wenang oleh pihak yang mengemban

amanah.37

37
Arfiani et al., “Penegakan Hukum Sesuai Prinsip Peradilan Yang Berkepastian, Adil Dan Manusiawi:
Studi Pemantauan Proses Penegakan Hukum Tahun 2020,” Riau Law Journal 6, no. 1 (2022): 51,
https://doi.org/10.30652/rlj.v6i1.7938.
30

4. Kesamaan Kedudukan di Hadapan Hukum

Equality before the law atau persamaan kedudukan di muka

hukum merupakan salah satu prinsip yang ada dalam suatu peradilan.

Prinsip kesamaan di muka hukum ini berlaku secara umum dan tunggal,

dengan arti bahwa hanya dalam ranah hukumlah setiap individu memiliki

kedudukan yang dianggap sama satu sama lain. Berangkat dari prinsip

ini, dijadikan sebagai acuan bagi penegak hukum agar tidak bertindak

sewenang-wenang terhaadap para pihak yang melakukan perbuatan

hukum. Memperlakukan sama atau tidak membeda-bedakan baik secara

ras, budaya, maupun etnis secara tidak langsung menyatakan bahwa

setiap individu yang menjadi subjek hukum memiliki hak dan kedudukan

yang sama ketika menghadap di persidangan atau proses peradilan.38

D. Mekanisme Peradilan Islam di Indonesia

Dalam pembangunan lembaga peradilan Indonesia yang berkaitan

dengan Islam khususnya dilihat dengan diakuinya keberadaan lembaga

peradilan agama. Peradilan agama tersebut merupakan peradilan bagi umat

Islam di Indonesia. Hal ini didasari oleh beberapa faktor, yakni keberadaan

lembaga tersebut dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan di

lingkungan umat Islam, eksistensi peradilan agama berkembang sesuai

dengan peraturan yang diakui di Indonesia secara hukum, serta lembaga

38
Julita Melissa Walukow, “Perwujudan Prinsip Equality Before The Law Bagi Narapidana Di Dalam
Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia,” Lex et Societatis 1, no. 1 (2013): 166,
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/viewFile/1320/1071.
31

peradilan agama muncul dari hubungan elite Islam dan elite politik secara

sosiologis. Peradilan agama di Indonesia merupakan peradilan khusus yang

mengadili perkara keperdataan bagi umat Islam saja. Namun, hukum Islam

belum sepenuhnya berkontribusi sebagai sumber hukum di lingkungan

peradilan, karena cakupannya masih seputar perdata saja, sedangkan dalam

Islam pelanggaran pidana sebenarnya juga diatur.

Berbeda dengan lembaga peradilan agama yang berada di Provinsi

Aceh. Terdapat Mahkamah Syar’iyah yang memiliki kewenangan yang

dikelompokkan ke dalam tiga hal, yakni: hukum keluarga (al-ahwal as-

syakhshiyyah), muamalah, dan jinayat. Selain dalam hal perdata, wewewnang

Mahkamah Syar’iyyah dalam perkara pidana (jinayat) antara lain: hudud (zina,

khasaf, minuman keras, dan lain-lain), qishash (pembunuhan dan

penganiayaan), dan ta’zir (pelanggaran syari’at di luar hudud dan ta’zir). Dari

sini dapat terlihat bahwa peradilan agama di Aceh menunjukkan

perkembangan yang baik dengan kontribusi hukum Islam yang besar dalam

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di sana.39

Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, budaya, dan agama

menunjukkan bahwa kita hidup berdampingan dengan manusia dan segala

perbedaannya. Dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam tidak serta-

merta menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Hal ini dikarenakan adanya

semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang mengajarkan untuk saling menghargai

39 Faisal, “Hubungan Islam Dengan Sistem Peradilan Di Indonesia,” 632–49.


32

perbedaan. Sehingga, semua hukum berdasarkan masing-masing agama

dapat diberlakukan terhadap pemeluk agama itu sendiri. Di sinilah letak

kebebasan dalam beragama. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa

peradilan agama yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung hanya

menangani perkara perdata saja, tidak dengan jinayah karena

mempertimbangkan kemaslahatan umat secara umum. Sebagai negara

hukum, menunjukkan bahwa segala peraturan yang ada di dalamnya bersifat

mengikat dan harus dipatuhi serta diterapkan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Berbeda dengan Mahkamah Syar’iyyah yang ada di Provinsi Aceh. Melihat

wilayah Aceh yang termasuk daerah istimewa, menjadikan mereka memiliki

kewenangan khusus untuk dapat mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat di wilayahnya sendiri, dengan

tetap berdasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Fungsi dan Peran Peradilan Agama dalam Penyelesaian Perkara

Peradilan agama termasuk kedalam salah satu lingkungan Mahkamah

Agung merupakan pelaku kekuasaan kehakiman yang menjunjung tinggi asas-

asas hukum dan keadilan bagi rakyat, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat

(2) UUD NRI 1945. Menurut Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan

Agama tersebut berkedudukan pada Pengadilan Negeri yang mempunyai

tanggung jawab serta wewenang untuk memeriksa, memutus, dan


33

menyelesaikan perkara pada tingkat pertama, yakni pada bidang perkawinan,

wasiat, waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, sodaqoh, dan ekonomi syariah.40

Struktur pada Pengadilan Agama terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua PA,

Jurusita, Sekretaris, Panitera, dan Hakim Anggota.41 Berikut beberapa tugas

pokok Pengadilan Agama berdasarkan fungsinya:

1. Fungsi Mengadili (judicial power)

Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 49 UU No. 50 Tahun

2009, disebutkan bahwa Peradilan Agama tingkat pertama bertugas

memeriksa, memutus, dan mengadili perkara.

2. Fungsi Pembinaan

Fungsi ini secara khusus memberi arahan dan perintah kepada

pejabat fungsional dan struktural yang berkaitan dengan teknis

administrasi peradilan, keuangan, kepegawaian, administrasi umum, dan

pembangunan, sebagaimana yang termuat dalam Pasal 53 ayat 1

sampai 5 UU No. 50 Tahun 2009 Jo. Penunjukan KMA

KMA/080/VIII/2006.

3. Fungsi Pengawasan

Fungsi pengawasan yang dimiliki Pengadilan Agama adalah

melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan perilaku

hakim, sekretaris, panitera, panitera pengganti, dan jurusita agar

40 Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Tugas Pokok Dan Fungsi Pengadilan Agama
Sumber Kelas 1A,” 2022, https://web.pa-sumber.go.id/tugas-pokok-fungsi/.
41 Suparman Jassin, Sejarah Peradilan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2015), 155–56.
34

peradilan dapat terlaksana secara menyeluruh. Selain itu, juga berfungsi

mengawasi pelaksanaan administrasi, kesekretariatan umum, dan

pembangunan.

4. Fungsi Nasehat

Fungsi ini merupakan pemberian saran dan pertimbangan terkait

hukum Islam kepada instansi pemerintah pada bidang hukumnya

masing-masing, sebagaimana tercantum dalam Pasal 52 ayat 1 UU No.

50 Tahun 2009.

5. Fungsi Administratif

Fungsi ini berlaku pada pengelolaan kepegawaian, keuangan, dan

umum atau perlengkapan, serta peradilan (terkait teknis dan peradilan).

Pengadilan Agama memiliki fungsi dan peran dalam penyelesaian

sengketa administrasi tepatnya pada sengketa waris. Peradilan Agama

memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam pada bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,

zakat, infaq, sodaqoh, dan ekonomi Islam. Hal ini kemudian menjadi poin

kajian kewarisan yang terkait dengan Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam

(KHI) huruf (a), (b), (c), (d), dan (e) tentang ketentuan umum ahli waris,

yang menjadi landasan dalam menentukan hak para ahli waris.42

42Imbron, “Tinjauan Siyasah Qadha’iyyah Perspektif Imam Al-Mawardi Terhadap Peran Dan
Fungsi Lembaga Pengadilan Agama Jember Dalam Mengadili Sengketa Waris Pada Tahun
2020-2021,” 29–31.
BAB IV

SISTEM PENGANGKATAN HAKIM PADA SIYASAH QADHA’IYYAH DAN DI

INDONESIA

A. Pengangkatan Qadhi pada Siyasah Qadha’iyyah

Dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintahan tidak serta merta

dapat melaksanakannya sendiri tanpa bantuan dari pihak lain. Dalam hal ini

terdapat pembagian kekuasaan yang terbagi dalam beberapa bidang, yakni

legislatif dengan fungsinya sebagai lembaga yang membentuk peraturan

perundang-undangan, pemerintahan yang berkedudukan sebagai lembaga

eksekutif, serta terdapat lembaga yudikatif yang berwenang pada bidang

pengawas pelaksanaan pemerintahan itu sendiri. Lebih lanjut pembahasan ini

akan berfokus pada lembaga yudikatif yang merupakan suatu lembaga dengan

fungsinya yang mengawasi jalannya pemerintahan, tepatnya pada bidang

peradilan.

Proses pengangkatan qadhi yang bermula ketika pemerintah atau

dalam Islam seorang pemimpin yang disebut sebagai khalifah telah

mengangkat dan melantiknya untuk dapat melaksanakan amanat dari

pemerintahan. Hal tersebut dilmaksudkan agar seorang qadhi dapat dikatakan

sah untuk mengemban tugas dari negara kepada rakyatnya. Terdapat

beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi seorang qadhi yang sah. Dengan

demikian, diharapkan seorang qadhi tersebut tidak menyalahgunakan jabatan

yang telah diampunya dan akan berdampak pada kerugian bagi masyarakat.

35
36

Secara umum, seorang qadhi yang ditunjuk haruslah memenuhi kriteria

muslim, berakal, baligh, adil dan mampu, serta merdeka.43 Terdapat juga

ketentuan seperti, seorang qadhi harus memiliki sikap yang tegas namun tidak

kasar, lembut namun tidak lemah, tidak terkecoh dalam memutuskan suatu

perkara, menjaga wara’, jauh dari sifat rakus, bijaksana, dan cerdas.44 Di

samping itu, mereka yang telah diagkat dan dilantik oleh khalifah tidak boleh

menyibukkan dirinya dengan berbagai hal yang mengganggu aktivitasnya

sebagai seorang qadhi, atau bahkan hingga melalaikan tugasnya dan tergoda

dengan materi yang ditawarkan padanya. Termasuk di dalamnya adalah dalam

hal melakukan bisnis.

Dalam Islam, tidak dibenarkan bagi qadhi untuk menerima hadiah atau

hibah dari orang lain yang memiliki kepentingan terhadap tugas qadhi, hal ini

biasa disebut dengan sogok atau suap. Qadhi yang bertugas pada bidang

peradilan, sudah semestinya untuk memiliki akhlak yang baik, yakni

mempunyai wibawa, dapat menjaga harga dirinya (muru’ah), membatasi

interaksi dengan orang lain yang dimaksudkan untuk menjaga ucapan dan

perilakunya.45 Sehingga, dapat terbukti bahwa hakim atau qadhi yang diangkat

dalam peradilan Islam telah layak dan merupakan ahli takwa sesuai kriteria

yang telah disebutkan sebelumnya, serta diharapkan mampu untuk dapat

43
Al-Kasani, Bada’i as-Shana’i, n.d., Juz VII/2-4.
44
Ibn Qudamah, Al-Mughni, n.d., Juz IX/21.
45
Abd al-Karim Zaidan, Nidzam Al-Qadha’, n.d., 55.
37

bertindak dengan adil dengan selalu berpedoman pada dasar hukum dalam

Isla, yakni Al-Qur’an dan Hadis.46

B. Hakim Pengadilan Agama di Indonesia

Dalam menangani perkara yang diajukan pada pengadilan agama,

ditentukan seorang hakim yang terlebih dahulu diangkat dan ditetapkan

sebagai orang yang berwenang dalam menjalankan tugas di dalamnya. Pada

Pasal 13 UU No. 50 tahun 2009, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi

seseorang untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan agama,

diantaranya:

1. Warga negara Indonesia

2. Beragama Islam

3. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

4. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

5. Sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang

menguasai hukum Islam

6. Lulus pendidikan hakim

7. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan

kewajiban

8. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakukan tidak tercela

9. Berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun

46
Zakaria, “Peradilan Dalam Politik Islam (Al-Qadhaiyyah Fis Siyasah Assyar’iyyah),” 5.
38

10. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

Sementara pada aturan sebelumnya, yakni Pasal 13 UU No. 7 Tahun

1989 secara keseluruhan hampir sama dengan ketentuan yang ada pada

peraturan baru. Perbedaannya terletak pada dihilangkannya syarat “bukan

bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk

organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun

tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI atau organisasi

terlarang yang lain”. Selain itu, juga ditambahkan terkait usia maksimal

seorang hakim, yakni 40 tahun, karena sebelumnya hanya mencantumkan

usia minimal saja.47

Setelah seluruh persyaratan tersebut terpenuhi, maka hakim akan

diangkat oleh Presiden selaku kepala negara. Pengangkatan hakim tersebut

merupakan atas usul Ketua Mahkamah Agung. Diangkatnya seorang hakim

tentu dengan pembebanan tugas-tugas yang sesuai dengan yang telah

dinyatakan dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 sebagai berikut:

1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang

(pasal 5 ayat 1)

47 Pagar, Peradilan Agama Di Indonesia, 84–85.


39

2. Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya

mengatasi segala hambatan dan rintangan demi terciptanya

peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (pasal 5 ayat 2)

3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara

yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang

jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (pasal 14 ayat 1)

4. Memberi keterangan, pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang

soal-soal hukum kepada lembaga negara lainnya apabila diminta

(pasal 25)

5. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.48

C. Persamaan dan Perbedaan Antara Siyasah Qadha’iyyah dan Sistem

di Indonesia

Melihat penjelasan terkait pengangkatan hakim atau qadhi, baik pada

siyasah qadha’iyyah maupun dalam sistem peradilan di Indonesia,

menunjukkan adanya persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.

Dapat dipahami bahwa pada dasarnya seorang hakim yang diangkat untuk

mengemban amanah dalam mengadili pihak yang berperkara terlebih dahulu

harus dilantik oleh pemimpin atau khalifah agar dapat dinyatakan sebagai

seorang hakim yang sah, baik secara hukum maupun agama. Pada praktiknya

di ranah hukum, hakim yang menjadi pemutus perkara di antara para pihak

48 Pagar, 103.
40

yang bersangkutan setidaknya menunjukkan bahwa dinilai telah siap untuk

menerima konsekuensi atas perbuatan yang dilakukan nantinya.

Selain itu, perbedaan yang nampak di antara keduanya yakni pada

dasar peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait qadhi atau

hakim. Jika dalam siyasah qadha’iyyah, hakim yang diangkat harus memenuhi

beberapa kriteria tertentu yang telah disebutkan sebagaimana sebelumnya.

Namun, hal itu tidak berdasarkan pada aturan tersendiri sebagai acuannya,

melainkan selalu berpedoman pada Al-Qur’an ataupun Hadis. Sedangkan di

Indonesia tentu terdapat peraturan perundang-undangan yang khusus untuk

mengatur terkait hal tersebut, tepatnya pada UU No. 50 Tahun 2009.

Selanjutnya, dalam siyasah qadha’iyyah, yang dinilai patut untuk

menjadi seorang hakim hanyalah dari kalangan laki-laki. Dalam hal ini

perempuan tidak boleh menjadi seorang hakim, sekalipun ia telah memenuhi

persyaratan secara umum. Sedangkan di Indonesia, ditemukan hakim yang

merupakan seorang perempuan. Jadi, boleh-boleh saja bagi seorang

perempuan untuk menjadi hakim dan mengadili perkara yang diajukan

kepadanya. Hal ini berbanding terbalik dengan yang ada di sistem peradilan

dalam Islam. Dengan demikian, dipahami bahwa pengangkatan hakim, baik di

Indonesia maupun dalam siyasah qadha’iyyah selalu melewati masa

pelantikan agar dapat diakui secara sah. Sedangkan perbedaannya terletak

pada sistem atau beberapa kriteria tertentu yang harus dipenuhi bagi seorang

hakim. Dengan catatan, tidak ada tindak diskriminatif di dalam penegakkan

hukumnya.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan terkait cabang kekuasaan yudikatif dalam hukum tata

negara Islam di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Politik peradilan dalam hukum tata negara Islam dikenal dengan

istilah siyasah qadha’iyyah, yang dimaknai sebagai suatu lembaga

hukum yang wajib dipatuhi oleh seluruh orang yang dilindungi di

bawahnya dengan tugas mengakhiri persengketaan para pihak yang

bersangkutan berdasarkan syari’at Islam. Peradilan ini telah

disyariatkan, baik dalam Al-Qur’an, Hadits, maupun Ijma’ para ulama,

sehingga harus diterapkan dan dipatuhi oleh seluruh umat Islam.

2. Adanya kekuasaan kehakiman ini memiliki beberapa peran dan tugas

pokok, yakni menegakkan keadilan dan menjaga ketertiban dan

ketentraman, termasuk di dalamnya adalah mendamaikan pihak-

pihak yang saling berselisih dan menjatuhkan sanksi terhadap

pelanggar hukum. Pelaksanaan fungsi dan peran tersebut tentu

didasarkan pada prinsip-prinsip peradilan yang telah diajarkan dalam

syari’at Islam.

3. Terkait praktik siyasah qadha’iyyah di Indonesia, dapat dilihat melalui

adanya badan hukum Peradilan Agama yang berada di bawah

Mahkamah Agung. Namun, pada Peradilan Agama tersebut terbatas

pada perkara perdata saja, yakni terkait perkawinan dan kewarisan,

41
42

tidak pada perkara pidana. Berbeda halnya dengan peradilan agama

yang ada di Provinsi Aceh, yang disebut dengan Mahkamah

Syar’iyyah, yang mengadili perkara perdata juga pidana.

4. Dengan demikian, diketahui bahwa hukum Islam tidak secara

menyeluruh berkontribusi dalam perkembangan penyelenggaraan

kekuasaan kehakiman di Indonesia.

B. Saran

Setelah menyusun makalah terkait cabang kekuasaan yudikatif hukum

tata negara Islam (siyasah qadha’iyyah) ini, penulis menyadari terdapat

beberapa hal yang perlu ditinjau kembali, salah satunya adalah pada

penerapan sistem peradilan di Indonesia berdasarkan hukum Islam yang lebih

terstruktur dan benar-benar mempertimbangkan kemaslahatan umat Islam,

sekalipun tidak secara menyeluruh karena Indonesia merupakan negara

dengan berbagai macam suku dan agama, bukan hanya Islam saja. Dengan

demikian, penulis berharap agar para pembaca dapat memberi kritik dan saran

yang membangun demi tersusunnya makalah yang lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Kasani. Bada’i as-Shana’i, n.d.

Ali, Yusuf Faisal. “Distribusi Kekuasaan Politik Dalam Kajian Fiqh Siyasah.”

Untirta Civic Education Journal 2, no. 1 (2017): 214–35.

https://doi.org/https://dx.doi.org/10.30870/ucej.v2i2.2811.

Arfiani, Khairul Fahmi, Beni Kharisma Arrasuli, Indah Nadilla, and Miftahul Fikri.

“Penegakan Hukum Sesuai Prinsip Peradilan Yang Berkepastian, Adil

Dan Manusiawi: Studi Pemantauan Proses Penegakan Hukum Tahun

2020.” Riau Law Journal 6, no. 1 (2022): 48.

https://doi.org/10.30652/rlj.v6i1.7938.

Asshiddiqie, Jimly. “Koordinasi, Konsultasi, Evaluasi Implementasi MOU

Helsinki Dan UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Serta

Penyelenggaraan Pemilukada Aceh 2011 Yang Aman, Tertib, Dan

Damai.” Jakarta, 2011.

Aziz, A. Saiful. “Posisi Lembaga Peradilan Dalam Sistem Pengembangan

Hukum Islam.” Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum II, no. 02

(2016). https://doi.org/https://dx.doi.org/10.32699/syariati.v2i02.1134.

Basri, Cik Hasan. Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. 1st

ed. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.

Djalil, Basiq. Peradilan Islam. Jakarta: Amzah, 2012.

Faisal, Ahmad. “Hubungan Islam Dengan Sistem Peradilan Di Indonesia.”

Warta Dharmawangsa 17, no. 2 (2023): 632–49.

https://doi.org/10.46576/wdw.v17i2.3177.

iii
iv

Hairi, Prianter Jaya. “Antara Prinsip Peradilan Sederhana, Cepat Dan Berbiaya

Ringan Dan Gagasan Pembatasan Perkara Kasasi.” Jurnal NEGARA

HUKUM Vol. 2, no. No. 1 (2011): 151-178,.

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/08/09/brk,20040809-

28,id.html,.

Hajar, Al-Hafidz Ibnu. “Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam,” n.d.

Haris. “Peradilan Islam.” ’Aainul Haq: Jurnal Hukum Keluarga Islam 1, no. II

(2021): 85–101. http://www.ejournal.an-nadwah.ac.id/.

House, Islam. “Ensiklopedia Terjemahan Hadis-Hadis Nabi: Hukum

Melaksanakan Pengadilan, Keutamaan Dan Bahayanya.”

HadeethEnc.Com, 2023. https://hadeethenc.com/id/browse/hadith/64682.

IA, Pengadilan Agama Sumber Kelas. “Yurisprudensi,” 2019. https://web.pa-

sumber.go.id/yurisprudensi-2/.

Imbron, Ali. “Tinjauan Siyasah Qadha’iyyah Perspektif Imam Al-Mawardi

Terhadap Peran Dan Fungsi Lembaga Pengadilan Agama Jember Dalam

Mengadili Sengketa Waris Pada Tahun 2020-2021.” Universitas Islam

Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, 2022.

http://digilib.uinkhas.ac.id/16171/.

Indonesia, Mahkamah Agung Republik. “Tugas Pokok Dan Fungsi Pengadilan

Agama Sumber Kelas 1A,” 2022. https://web.pa-sumber.go.id/tugas-

pokok-fungsi/.

Jassin, Suparman. Sejarah Peradilan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia,

2015.
v

Mahkamah Agung Republik Indonesia. “Tugas Pokok Dan Fungsi,” n.d.

https://www.mahkamahagung.go.id/id/tugas-pokok-dan-fungsi.

Muhammad Daud Ali. “Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum

Islam Di Indonesia, Cet. Ke-19.” In Jakarta: Raja Grafindo, 48–50, 2013.

Mujiburohman, Dian Aries. Pengantar Hukum Tata Negara. Yogyakarta: STPN

Press, 2017. http://repository.stpn.ac.id/510/1/Pengantar-Hukum-Tata-

Negara.pdf.

Pagar. Peradilan Agama Di Indonesia. Medan: Perdana Publishing, 2015.

Qudamah, Ibn. Al-Mughni, n.d.

R, Mohamad Bagas Rio, Rahma Kemala Dewi, and Sely Agustina. “Tinjauan

Fiqh Siyasah Terhadap Lembaga Yudikatif Di Indonesia.” Cakrawala:

Jurnal Kajian Manajemen Pendidikan Islam Dan Studi Sosial 5, no. 2

(2021). https://doi.org/https://doi.org/10.33507/cakrawala.v5i2.371.

Sardari, Ahmad Asif, and Ja’far Shodiq. “Peradilan Dan Pengadilan Dalam

Konsep Dasar, Perbedaan Dan Dasar Hukum.” JIFLAW: Journal Of

Islamic Family Law 1, no. 1 (2022): 11–23.

http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/samarah.

Sulistiani, Siska Lis. Peradilan Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2020.

Sultan, Lomba. “Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam Dan Aplikasinya Di

Indonesia.” Al-Ulum 13, no. 2 (2013): 435–52.

Walukow, Julita Melissa. “Perwujudan Prinsip Equality Before The Law Bagi

Narapidana Di Dalam Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia.” Lex et

Societatis 1, no. 1 (2013): 116–21.


vi

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/viewFile/132

0/1071.

Yusuf, Sitti Astika, and Uswatun Khasanah. “Kajian Literatur Dan Teori Sosial

Dalam Penelitian.” Sorong, n.d. https://osf.io/thw3j/download/?format=pdf.

Zaidan, Abd al-Karim. Nidzam Al-Qadha’, n.d.

Zakaria, M. “Peradilan Dalam Politik Islam (Al-Qadhaiyyah Fis Siyasah

Assyar’iyyah),” n.d., 1–21.

Al-Qur’an, Al-Ma’idah (5): 49, n.d.

Al-Qur’an, Shaad (38): 26, n.d.

Anda mungkin juga menyukai