Anda di halaman 1dari 18

MODEL DAN TEORI PENERAPAN HUKUM ISLAM DI

SEJUMLAH NEGARA MUSLIM

Makalah
disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Siyasah Dusturiyah
Dosen Pengampu Dr. H. Nurrohman, M. A

oleh:
Gaffar Ally NIM 1223030045
M. Iqbal Sudrajat NIM 1223030076

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
BANDUNG
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan ke jungjunan kita Nabi
Muhammad saw kepada para tabiin tabiat hingga kepada kita umatnya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir
Siyasah Dusturiyah. Adapun yang dibahas dalam makalah ini yaitu Hubungan
Agama dan Negara Menurut Pemikiran Modern Khumaini.
Penulis sadar bahwa masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
yang dimiliki penulis. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk kebaikan dan kebermanfaatan makalah ini. Meskipun
demikian, besar harapan kami agar makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca.

Bandung, 4 Desember 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.................................................................................................................. 3

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 4

A. Latar Belakang .................................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5

C. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 5

D. Metode Penelitian............................................................................................... 5

BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................................. 6

A. Penerapan Syari’ah Pada Negara-Negara Muslim Modern ............................ 6

B. Teori-Teori Penerapan Hukum IslaM Di Indonesia ........................................ 12


BAB 3 PENUTUP ........................................................................................................ 17

A. Simpulan .......................................................................................................... 17

B. Saran ................................................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 18

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama adalah suatu sistem kepercayaan dan pengetahuan yang sampai
saat ini masih mendominasi dan mengatur eksistensi kehidupan umat
manusia (masyarakat). Agama dipandang sebagai ‘instrumen ilahiah’
untuk memahami dan mengatur dunia. Karena itulah, negara sekuler
sekalipun, tidak bisa menafikan peran dan fungsi agama. Negara-negara
Barat yang berlandaskan pada prinsip sekulerisme yang sering diartikan
bahwa negara harus dipisahkan dari pengaruh agama, dalam kenyataan
historisnya tidaklah demikian.
Pada titik ini dapat dimengerti apa yang dinyatakan oleh Bernard Lewis,
Bahwa sekulerisme memang tidak ditujukan untuk memapankan dan
menguatkan agama sebagai sebuah doktrin kenegaraan baru, melainkan
lebih untuk (1) membatasi campur tangan negara dalam mengurusi doktrin
keagamaan; dan (2) menjaga para pemimpin agama dari penyalahgunaan
kekuasaan negara.
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling
mayoritas. Bahkan dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam
Indonesia dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang
berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu, menjadi
sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di
tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-
pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin
Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air, misalnya,
dapat dijawab dengan memaparkan teori-teori tentang pemberlakuan
hukum Islam yang pernah diberlakukan di Indonesia.
Topik ini akan selalu menarik karena kajian tentang teori-teori
pemberlakuan hukum Islam di Indonesia dapat dijadikan sebagai salah satu
pijakan (bagi umat Islam secara khusus) untuk menentukan strategi yang
4
tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini
dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai
“benturan” atara hukum Islam dengan tradisi yang sebelumnya berlaku,
maupun juga dengan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan, serta
tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh (ulama’) Islam Indonesia
terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa sekarang
maupun masa yang akan datang. Sejarah telah menunjukkan bahwa proses
“Islamisasi” sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai
sekejap.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, kami menyusun
beberapa pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimana model penerapan Syariah pada negara-negara muslim
modern?
2. Bagaimana teori-teori penerapan hukum islam di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui model penerapan syariah pada negara-negara muslim
modern
2. Mengetahui teori-teori hukum islam di Indonesia

D. Metode Penelitian
Adapun dalam penulisan makalah ini, metode penulisan yang
digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif kepustakaan atau
penelitian bibliografis, karena menggunakan teori-teori dari buku dan jurnal
sebagai literatur.

5
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Model penerapan Syariah pada negara-negara Muslim Modern


Dalam praktik kehidupan negara modern, hubungan antara agama
(syariah) dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni
integratif (penyatuan antara agama dan negara), intersectional
(persinggungan antara agama dan negara), dan sekularistik (pemisahan
antara agama dan negara). 41 Dalam konteks kedudukan syariah dan
penerapannya, ketiga model tersebut dijelaskan pada studi kasus pada empat
negara modern dengan penduduk mayoritas Muslim, sebagai berikut:

1. Model Integratif: Kerajaan Arab Saudi (KSA) dan Republik Islam


Iran

Kerajaaan Arab Saudi dibangun melalui suatu persekutuan antara


politik dan agama yang direpresentasikan oleh kepada suku Najd,
Muhammad Ibn alSaud dan keluarganya di pihak politik dengan
Muhammad bin Abdul Wahab dan Wahabisme-nya di pihak agama. 42
Wujud dari persekutuan ini adalah dukungan kaum Wahabi terhadap
perluasan pengaruh atau kekuasaan keluarga al-Saud di satu pihak.
Penguasa dan ulama Wahabi bertekad menjadikan Arab Saudi sebagai
kerajaan yang didasarkan pada syariat Islam di mana negara
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan syariat Islam tersebut dalam
masyarakat dan politik. Persekutuan politik ini pun menuai sukses,
sebagaimana dinyatakan al-Fahad: “The Wahhabi campaigns were
ultimately successful with the formation of the modern Saudi state in the
early twentieth century.

Dalam struktur Kerajaan, otoritas agama - yakni ulama - menjadi


penasihat bidang syariat Islam di kerajaan. Hubungan antara dua otoritas
ini, otoritas agama dan otoritas publik, tidak dirumuskan ke dalam suatu
konstitusi yang kepadanya penguasa tunduk dalam melaksanakan
6
kekuasaannya. Hubungan tersebut lebih didasarkan atas komitmen personal
keluarga kerajaan terhadap pendapat-pendapat atau nasihat ulama. Dalam
kerajaan Arab Saudi, syariat Islam yang mencakup hukum kriminal
dilaksanakan, dan kerajaan bertanggung jawab atas pelaksanaanya: “The
State shall protect the Islamic Creed and shall cater to the application of
Shari'ah.”

Selain menggunakan sistem hukum syariat, hukum yang


dilaksanakan Pemerintah Saudi juga menerapkan peraturan-peraturan serta
membangun lembaga-lembaga untuk menangani kasus-kasus yang tidak
dicakup oleh syariat. Ini dirancang supaya sesuai dengan prinsip-prinsip
syariat dan melengkapinya, bukan malah menggantinya. Hasilnya adalah
sebuah sistem hukum ganda.

Selain Arab Saudi, model integratif agama dengan negara juga


ditunjukkan oleh Republik Islam Iran. Pada tahun 1979, Revolusi Iran yang
dipimpin Ayatollah Imam Khomeini mendirikan sebuah Republik Islam
teokratis dengan nama Republik Islam Iran. Dalam konstitusi Iran
dinyatakan bahwa semua keputusan politik harus didasarkan pada atau tidak
boleh bertentangan dengan syariat Islam yang ditafsirkan oleh otoritas
politik keagamaan, yakni Wilā yat al-Faqīh.

Konsep ini merupakan modernisasi-revisionistik Khomaeni


terhadap paham Imamah. Dalam hal ini, mayoritas kaum Syiah meyakini
̣
keberadaan dua belas (12) Imam yang ma’sum (suci) sebagai pemegang
otoritas-kekuasaan pengganti Nabi. Berturut-turut dari mulai Ali ibn Abu
Thalib sampai keturunannya yang ke-11, yakni Muhammad ibn Hasan (ahlu
bait). Setelah ‘ghaib’-nya Imam terakhir, al Mahdi, kaum Syi’ah meyakini
bahwa “al-Mahdi bersembunyi dari dunia fisik dan mewakilkan
kepemimpinannya”. Imam al-Mahdi ini diyakini akan muncul kembali pada
waktu yang akan ditentukan (al-Muntadzar). ‘Imamah’ pun masih tetap
berlangsung-hidup dengan dipimpin oleh ‘empat duta alMahdi’ yang
diyakini menyampaikan keputusan ‘sang imam’ itu sendiri.

Melalui konsep ini, kekuasaan tertinggi di tangan seorang ulama


yang takwa, adil, mampu memimpin serta disetujui mayoritas umat.
7
Lembaga politik keagamaan ini merupakan kekuatan utama bagi legitimasi
setiap kebijakan yang harus dijalankan oleh pemerintah. Seorang Waly al-
Faqī h tidak duduk dalam jajaran dewan eksekutif, melainkan lebih bersifat
sebagai pembimbing atau pengontrol.49 Untuk jajaran eksekutif, kekuasaan
tertinggi berada di tangan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.
Dalam konteks ini, Republik Islam Iran bereksperimen untuk memadukan
antara sistem demokrasi Barat dengan Islam. Apalagi sejak era Presiden
Khatami yang dikenal sebagai figur moderat, terbuka terhadap dunia luar,
dan lebih mengedepankan cara-cara dialogis dalam merespon aspirasi
rakyat yang menuntut politik yang lebih terbuka. Di bawah kepemimpinan
Presiden Khatami pula kaum perempuan kemudian semakin mendapatkan
hakhaknya sebagai waga negara yang setara dengan kaum laki-laki. Begitu
juga pada presiden selanjutnya, baik pada masa Mahmoud Ahmadinejad,
maupun Presiden Hassan Rouhani.

Sebagaimana dijelaskan Esposito, dalam konteks sistem politik dan


praktiknya di wilayah Teluk Persia, tingginya tingkat partisipasi rakyat
patut dicatat.50 Dalam hal ini, kecenderungan kontemporer menunjukkan
bahwa di kedua negara model ini juga mengarah kepada sistem politik yang
demokratis, walaupun dengan skala yang minimal.

2. Model Sekularistik: Republik Turki

Setelah keruntuhan kekhalifahan Utsmaniyah, Mustafa Kamal


Attartuk sebagai bapak Turki modern berusaha menoleh dan meniru ke
Barat. Perubahan fundamental yang pertamatama dilakukan Mustafa Kemal
adalah membentuk Turki sebagai negara yang sekuler, dimana
pemerintahan harus dipisahkan dari agama dan kedaulatan terletak di tangan
rakyat. Ide ini telah diterima dalam sidang Majelis Nasional Agung (MNA)
pada tahun 1920. Pada tahun 1921 disusunlah satu konstitusi yang
menjelaskan bahwa kedaulatan adalah milik rakyat. Dengan demikian, yang
berdaulat di Turki bukan lagi Sultan, tetapi rakyat. Dalam sidang MNA
tahun 1922 kekuasaan khalifah dan sultan berangsur-angsur dikurangi
dengan memisahkan keduanya, yang kemudian satu persatu dihapus dan
mendirikan sebuah negara yang berbentuk Republik pada tanggal 23
8
oktober 1923.

Reformasi politik Mustafa kemal di bidang hukum yang merupakan


kebijakan untuk memisahkan Islam dari urusan keagamaan, mulai
menghilangkan institusi keagamaan yang ada dalam pemerintahan, seperti
dihapuskannya Biro Syaikh alIslām dan Mahkamah Syariat pada tanggal 18
April 1924, dan hukum syariat dalam soal perkawinan digantikan oleh
hukum Swiss. Dengan demikian perkawinan tidak lagi dilakukan menurut
syariat, tetapi menurut hukum sipil. Dalam masalah perceraian, wanita
mendapat hak yang sama dengan pria. Demikian pula dalam hukum dagang,
hukum pidana, hukum laut, dan hukum obligasi digunakan hukum Barat
yang disesuaikan dengan kebutuhan rakyat Turki. Pada tahun 1928, artikel
tambahan dari konstitusi 1921 itu pun dihilangkan dan diganti dengan
prinsip sekularisasi yang dimasukkan dalam konstitusi 1937. 53 Dengan
demikian, Turki resmi menjadi negara sekuler. Konstitusi Turki tahun 1982
pun kembali menegaskan hal tersebut.

Pada Pasal 2 Konstitusi Republik Turki Tahun 1982 disebutkan


bahwa “Republic of Turkey as a democratic, secular and social state,
governed by the rule of law and respecting fundamental human rights and
freedoms.” 54 Dalam hal ini, sistem hukum Turki merupakan kombinasi
sistem hukum Eropa: Hukum sipil dan perdagangan didasarkan atas hukum
Swiss; Hukum administratif mengambil model sistem Perancis; sedangkan
hukum pidana merujuk sistem pidana Italia. 55 Tentang Konstitusi Tahun
1982 ini, Ilkay Sunar berkomentar: “Yang dibayangkan dalam konstitusi
1982 adalah sebuah negara yang dipisahkan dari perpolitikan dan suatu
masyarakat yang didepolitisasi.”

Namun, sekularisasi politik di Turki yang “meninggalkan Islam”


cenderung disruptif dan gagal memajukan Turki, yang selama berpuluh-
puluh tahun tetap menjadi “negara terbelakang” di kawasan Eropa.
Berulang kali terjadi kudeta oleh militer atas nama menjaga sekularisme ala
Attartuk yang menyebabkan pemerintahan tidak stabil. Sekularisme Turki
bisa disebut sebagai sekularisme yang keras di mana hak-hak warga negara
untuk mengekspresikan keyakinannya di publik dilarang seperti pelarangan
9
menggunakan jilbab bagi perempuan di tempat-tempat publik. Padahal
sementara di negara-negara sekuler Barat, malah melindungi dan memberi
hak bagi Muslim untuk menjalankan syariatnya.

Namun demikian sekularisasi yang berlaku secara langsung tidak


mampu ditantang oleh para kelompok Islam. Hal inilah yang menyebabkan
ketegangan antara sekularisasi dan kesepakatan back to Islam menjadi
masalah yang berkepanjangan. Meskipun Turki merupakan negara sekuler,
namun pertumbuhan keagamaannya sangat mencolok bagi sebagian besar
warga Turki. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya penduduk yang menjadi
anggota kelompok-kelompok keagamaan, seperti gerakan Nur yang
didirikan oleh Said Nursi sampai beranggotakan sekitar 300.000 orang.
Dalam bidang sarana keagamaan, Turki saat ini memiliki tidak kurang dari
62.000 masjid dan pembangunan masjid mencapai 1.500 buah per tahun.
Selain itu telah dibangun lebih dari 2.000 unit sekolah Al-Qur’an.

Perubahan signifikan terjadi setelah para aktivis Muslim melalui


Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), meskipun tetap menggunakan
baju partai sekuler, mengambil alih pemerintahan secara demokratis melalui
pemilihan umum. Pemerintahan ini sukses secara ekonomi dan
bidangbidang lain sehingga Turki semakin disegani di Eropa atau menjadi
rujukan bagi dunia Islam lain. AKP kemudian meredefinisi ulang hak-hak
Muslim untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, di antaranya
pencabutan larangan berjilbab di tempat publik.

Perubahan signifikan terjadi setelah para aktivis Muslim melalui


Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), meskipun tetap menggunakan
baju partai sekuler, mengambil alih pemerintahan secara demokratis melalui
pemilihan umum. Pemerintahan ini sukses secara ekonomi dan
bidangbidang lain sehingga Turki semakin disegani di Eropa atau menjadi
rujukan bagi dunia Islam lain. AKP kemudian meredefinisi ulang hak-hak
Muslim untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, di antaranya
pencabutan larangan berjilbab di tempat publik.

10
3. Model Simbiosistik-Interseksional: Republik Indonesia

Dalam konteks kedudukan syariah di dalam sistem ketatanegaraan di


Indonesia, pelaksanaan hukum agama (syariah Islam) sering kali menjadi
perdebatan yang berlanjut, baik ketika masa persiapan kemerdekaan dengan
adanya Piagam Jakarta, bahkan sampai saat ini. Polemik tersebut tidak
hanya berkutat pada perkara teknis juridis. Ia menyentuh perkara politik
yang sangat peka, terkait hubungan formal antara agama di satu pihak
dengan negara di pihak lain. Modus Vivendi di Negara Indonesia adalah
dengan disepakatinya negara berdasar pada Pancasila sebagai jalan tengah
antara aspirasi yang menginginakn negara agama versus negara sekular.

ara sekular.58 Sejarah menunjukkan, solusi dari tarik menarik ini


menyuguhkan modus vivendi yang menarik, yakni sektor publik diurus oleh
negara dan sektor privat diberikan kepada agama. Dalam konteks ini, logika
hukumnya seperti yang dijelaskan oleh Yusril Ihza Mahendra:

“Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang


majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum
Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sebagaimana
juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri
di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum
perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan
kaidahkaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai
bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang
syariat Islam itu sendiri hanya memberikan aturanaturan pokok, atau asas-
asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam
merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.”

Di era reformasi, dalam amandemen UU 1945 pada tahun 1999,


2000, 2001 dan 2002, muncul kembali aspirasi sebagian kelompok Islam
untuk memberlakukan Piagam Jakarta atau syariat Islam secara
keseluruhan. Namun aspirasi itu tidak didukung oleh mayoritas anggota
MPR dalam pembahasan amandemen UUD 1945, terutama pasal 29.
Bahkan ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan
11
Muhammadiyah pun tidak setuju dengan apirasi itu. Apirasi itu dianggap
dapat menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan, yang bisa
menimbulkan perselisihan dan konflik antara pendukung dan penentang
pelakanaan syariat Islam secara keseluruhan, dan pada ujungnya bisa
menjadi ancaman bagi integrasi nasional.

Di sisi lain, pelaksanaan syariah secara substanstif atau esensial


diupayakan melalui integrasi atau penyerapan prinsip-prinsip hukum Islam
ke dalam hukum nasional atau kebijakan publik (public policy) secara
umum. Pada prinsipnya peraturan hukum yang baik dalam sebuah negara
adalah peraturan yang dapat diterima oleh seluruh pihak, dan bukan hanya
karena terpaksa mengikuti kelompok mayoritas.

Dengan demikian, berbeda dengan bentuk pelaksanaan yang


pertama yang hanya khusus umat Islam, bentuk pelaksanaan kedua dan
ketiga menjadikan hukum Islam terintegrasiatau terserap ke dalam hukum
nasional yang notebene menjadi peraturan hukum bagi seluruh rakyat.
Sebagaimana ditegaskan Nadirsyah Hosen, pengalaman Indonesia
dalammempraktikan pendekatan substantif syari’ah, berdampak positif.

B. Teori-Teori Penerapan Hukum Islam di Indonesia


Dalam formulasi yang sederhana dapat dinyatakan bahwa pada
hakikatnya hukum Islam di Indonesia adalah norma-norma hukum yang
bersumber dari syari’at Islam yang tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat sepanjang bentangan sejarah Indonesia. Bentuk
hukum Islam di Indonesia lahir dari hasil perkawinan antara hukum Islam
normatif (syari’ah) dengan muatan-muatan lokal Indonesia. Oleh karenanya,
untuk melihat hukum Islam di Indonesia secara utuh, penggunaan perspektif
historis sangatlah penting.
1. Teori Kredo
sebagian besar umat Islam sepakat bahwa sebagai agama, Islam
mengatur seluruh aspek kehidupan sosial dengan seperangkat norma,
termasuk norma hukum. Nabi SAW sejak awal telah membentuk struktur
hukum dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian,
penerimaan Islam sebagai agama, termasuk makna di dalamnya adalah
12
penerimaan terhadap hukum Islam. 1 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dinyatakan bahwa keberadaan hukum Islam di Indonesia adalah bersamaan
dengan keberadaan Islam di Indonesia.Oleh karena itu, ketika masyarakat
Indonesia menyatakan masuk Islam, maka secara otomatis berarti mengakui
otoritas hukum Islam atas dirinya. Inilah yang disebut dengan teori kredo
atau syah dah, teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang
mengatakan bahwa apabila masyarakat Indonesia mengatakan dua kalimat
syahadat maka secara otomatis mengakui otoritas hukum Islam atas dirinya.
Teori kredo atau syah dah ini juga disebut oleh H.A.R Gibb
sebagai teori penerimaan otoritas hukum, yaitu teori yang mengharuskan
pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimat
syahadat sebagai konsekuensi logis dari pernyataanya. Jadi, dengan
pernyataan ikrar atas “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya”, setiap muslim diwajibkan untuk mengikuti seluruh perintah
Allah yang termaktub dalam al-Qur’an dan sekaligus taat kepada Rasulullah
melalui Sunnahnya.Dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang dapat
dijadikan pijakan berlakunya teori kredo atau syahādah tersebut, seperti:
ayat yang menjelaskan bahwa orang Islam pada dasarnya diperintahkan
untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya (an-Nis ’: 49 dan anN r: 51), orang
Islam tidak dibenarkan mengambil pilihan lain, jika Allah dan Rasul- Nya
telah menetapkan hukumnya secara pasti (al-Ahz b: 36), jika mengambil
pilihan hukum lain selain dari Allah dalam kitab-Nya, maka diberikan
stigma dalam al-Qur’an sebagai orang yang zalim, kafir, dan fasiq (al-M
’idah: 44, 45, dan 47). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dari segi
ajaran Islam sendiri tanpa dikaitkan dengan hukum atau kenyataan yang lain
dalam masyarakat, secara otomatis berlaku prinsip bahwa bagi orang Islam
berlaku hukum islam.
2. Teori Teritorial dan Non-Teritorial
Terkait dengan pemberlakuan hukum Islam ini, Imam Malik,
Imam as-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal ketika membahas tentang
lingkungan berlakunya aturan- aturan pidana Islam, mereka berpendapat

1
Siti Nurkaerah, “Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional”, Bilancia,Vol. 2,
No. 2 (Juli-Desember, 2008), 207
13
bahwa hukum Islam diterapkan terhadap setiap jar mah (tindak pidana) yang
dilakukan di dalam negera Islam maupun negara yang bukan Islam. Jadi,
hukum pidana Islam tidak mengenal batas-batas wilayah.
Teori ini kemudian dikenal dengan teori non-teritorial. Selain teori
non-teritorial, dikenal juga teori teritorial yang dikemukakan oleh Imam
Hanafi, beliau menyatakan bahwa hukum Islam hanya dapat diberlakukan di
negara-negara yang secara resmi menjadi negara Islam. Dalam konteks
hukum pidana Indonesia sendiri, juga dikenal asas teritorialitas,yaitu suatu
asas yang memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
bagi semua orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah
Indonesia. 2
Asas ini merupakan asas pokok dan dianggap asas yang paling tua
karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Ketentuan asas teritorialitas di
Indonesia termaktub dalam KUHP Pasal 2, yang berbunyi: “Aturan pidana
dalam perundang-undangan, berlaku bagi setiap orang yang melakukan
perbuatan pidana di dalam Indonesia”. 3Berdasarkan ketentuan tersebut,
maka Hukum Pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, baik itu Warga
Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang melakukan tindak
pidana di wilayah Indonesia.
3. Teori Receptio in Complexu
Kehadiran organisasi perdagangan Belanda di Hindia Timur, atau
yang lebih dikenal dengan sebutan VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) adalah cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan
Indonesia. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC memiliki peran yang
melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Kerajaan Belanda
memang menjadikan VOC sebagai perpanjangan tangannya di kawasan
Hindia Timur, disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga
mewakili Kerajaan Hindia Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi
pemerintahan,tentu saja dengan memberlakukan hukum Belanda yang
mereka bawa4. Dalam kenyataannya, penerapan hukum Belanda itu

2
5 Suhaya S. Praja, Pilar-Pilar Hukum Islam (Bandung : UNINUS 1995), 133.
3
hmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), 97.
4
. M.Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia (Jakarta: Risalah,
1984), 12
14
menemukan kesulitan disebabkan penduduk pribumi merasa berat untuk
menerima hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun
membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini
telah mereka jalankan. Dalam fase ini, kemudian dikenal teori receptio in
complexu yang dikemukakan oleh Salomon Keyzer dan Lodewijk Willem
Christian Van Den Berg (1845–1927). Teori ini menyatakan bahwa ”bagi
setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing. Jika orang itu
memeluk Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, demikian juga
bagi pemeluk agama lain.” Namum demikian, hukum Islam yang berlaku
tetaplah hanya dalam masalah hukum keluarga (perkawinan dan kewarisan)
saja.
Teori ini berlaku sejak adanya kerajaan Islam sampai awal masa
VOC, yakni ketika Belanda masih belum mencampuri semua persoalan
hukum yang berlaku di masyarakat.Pengaruh teori receptio in complexu
pada kebijakan kolonial terlihat jelas dengan diundangkannya beberapa
peraturan, seperti Resolusi Pemerintah Hindia Belanda (Resolutie der
Indische Regeering) tanggal 25 Mei 1670, resolusi ini berisi kompilasi
hukum Islam mengenai perkawinan dan kewarisan yang diaplikasikan di
pengadilan- pengadilan VOC, Koleksi Hukum Jawa Primer yang
diambilkan dari Kitab Hukum Islam Mugarrar untuk pengadilan-pengadilan
umum di Semarang, dan peraturan- peraturan lain yang berisi hukum Islam
yang diberlakukan di Cirebon, Goa, dan di beberapa wilayah lainnya.
4. Teori Recepite
Ketika Peradilan Agama yang dibentuk oleh pemerintah Belanda
telah berjalan dengan semestinya, pemerintah Belanda malah merasa bahwa
hukum Islam benar- benar telah diberlakukan oleh umat Islam di Indonesia
dan mereka merasa terancam dengan itu karena mereka menganggap bahwa
Islam adalah satu-satunya kekuatan paling mengancam dan dapat
menggoyahkan kekuasaan mereka atas Indonesia. Untuk mengantisipasi hal
itu, pemerintah kolonial mengintrodusir istilah het indische adatrecht atau
hukum adat Indonesia. Gagasan ini disponsori oleh seorang penasehat
pemerintah Hindia Belanda tentang masalah-masalah Islam dan anak negeri
jajahan, Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) dan Kemudian
15
dikembangkan oleh Cornelis Van Vallenhoven (1874-1933) dan Ten Haar
(1892-1941), mereka mempunyai latar belakang keahlian di bidang hukum
adat.5
Dalam gagasan mereka, intinya bahwa hukum yang berlaku bagi
orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat
berlaku apabila telah diresepsi atau diterima oleh hukum adat. Jadi, dalam
hal ini hukum adatlah yang menentukan ada atau tidaknya hukum IsIam.
Dari sinilah kemudian lahir teori receptie yang menyatakan, “tidak semua
bagian dari hukum agama dapat diterima dalam hukum adat, hukum islam
hanyalah beberapa bagian tertentu saja dari hukum adat,” yakni terutama
bagian dari hidup manusia yang sifatnya sangat pribadi yang berhubungan
erat dengan kepercayaan batin, misalnya hukum kekeluargaan, hukum
perkawinan dan hukum waris. Teori receptie ini terlihat jelas dalam
beberapa kebijakan kolonial seperti dalam Staatblad No. 116 tahun 1937
yang menyatakan juridiksi masalah kewarisan dipindah dari Pengadilan
Agama kepada Pengadilan Umum, dimana perkara yang muncul tidak
diputuskan menurut hukum Islam tetapi menurut hukum adat.

5
Suparman Usman, Hukum Islam: Asas-asas dan Pengantar Studi Islam dalam Tata Hukum
Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 113.
16
BAB 3

PENUTUP

A. Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah:
Berdasarkan paparan di atas dapatlah diketahui, bahwa pemberlakuan
hukum Islam di Indonesia selama ini acapkali tidaklah semata-mata
didasarkan pada apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat dan sebagai
suatu bentuk pencerminan dari apa yang sebenarnya dikehendaki oleh
sebagian besar masyarakat, akan tetapi lebih banyak
memperlihatkan wujudnya sebagai suatu hasil konstruksi sosial yang
diciptakan oleh sebagian orang, dengan maksud untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu. Upaya-upaya “penyisihan’ terhadap eksistensi hukum Islam
dalam tata hukum Hindia Belanda dan Indonesia, tidaklah semata-mata
didasarkan pada pertimbangan baik buruknya sistem hukum itu bila
digunakan untuk mengatur kehidupan rakyat, akan tetapi lebih banyak
memperlihatkan sisi-sisi politis dan pertimbangan-pertimbangan
ekonomisnya.
Dalam perjalanannya, hukum Islam mengalami perkembangan yang
signifikan.Dalam perkembangannya, masih banyak peluang hukum Islam
masuk dalam perundang-undangan di Indonesia. Saat ini telah tampak
adanya fenomena perkembangan yang positif dalam penerimaan
masyarakat, elit penguasa, dan legislatif terhadap legislasi hukum Islam.
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah
dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Di
samping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya
tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi
seperti yang dianut Indonesia saat ini, daya tawar politis menjadi sangat
menentukan sukses tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambahkan pengetahuan
untuk para pembaca. Semoga kalian masuk surga.
17
DAFTAR PUSTAKA

Baqer Moin, Aytullah Khomeini mencari Kesempurnaan: Teori dan Praktek,


dalam Para Perintis Zaman Baru Islam, Mizan, Bandung, 1998.
Hujjatul Islam Muahammad Ali Anshari, Imam Khomeini, Hidup dan Karyanya
dalam Sekilas Tentang Khomeini. Ed. Musa Kashim, Rausyan Fikr,
Yogyakarta, 2001.
Imam Khomeini, Pandangan, Hidup, dan Perjuangan. Tim Al-Huda, Jakarta,
2013.
Jannah, I. (2018). Praktik Demokrasi Menurut Imam Khomeini dalam Republik
Islam Iran (1979-1989). Skripsi-UIN Raden Fatah Palembang. Khomeini,
I. A. (1981). Islam and Revolution, Writings and Declaration of Imam
Khomeini, Terj. Hamid Aghar. Bandung: Mizan Press.
Juwita, J. (2021). Pemikiran Ayatullah Khomeini dan Relevansi Wilayatul Faqih
Terhadap Relasi Agama dan Demokrasi di Iran (Doctoral dissertation,
UIN AR-RANIRY).
Riza Syahbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, Gramedia Pustaka, Jakarta,
1996.
Satori, A. Sistem Pemerintahan Iran Modern: Konsep Wilayatul Faqih Imam
Khomeini sebagai Teologi dalam Relasi Agama dan Demokrasi.
Deepublish. Jakarta, 2018
Yamani, Wasiat Sufi Ayatullah Khomeini: Aspek Sufistik Ayatullah Khomeinin
Yang Tak Banyak Diketahui, Mizan, Bandung, 2001.
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam. Cet. I. Mizan,
Bandung, 2002.

18

Anda mungkin juga menyukai