Anda di halaman 1dari 31

PRINSIP-PRINSIP DASAR DALAM PEMBAGIAN

HUKUM SYARA’

Untuk memenuhi tugas mata kuliah : pengantar fiqih dan ushul fiqih
Dosen pengampu : Dr. Indry Nirma Yunizul Pesha, S.Pd.I.,M.Ag

Di susun oleh:
Nama : Chofifha Intan Hornariswari
NPM : 231105010204
Kelas/Semester : 1B/1

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS IBN KHLADUN BOGOR
TAHUN AJARAN 2023-2024

i
KATA PENGANTAR
Assalamualikum warahmatullahi wabarakatuh.
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat limpahan
Rahmat dan karunia nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Prinsip-Prisip Dasar Dalam Pembagian Hukum Syara’” Sholawat beserta
salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga dan
para sahabatnya hingga akhir zaman.

Saya dengan rendah hati ingin menyampaikan kata pengantar ini sebagai
bagian dari makalah ini. Makalah ini adalah hasil Upaya dalam memahami
prinsip-prinsip dasar dalam pembagian hukum syara’.

Karya ini tidak akan menjadi kenyataan tanpa dukungan dari berbagai
pihak. Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada semua yang telah
memberikan inspirasi, dan dukungan dalam pembuatan makalah ini. Terima kasih
kepada keluarga, teman-teman dan khususnya kepada dosen pengampu:
Dr. Indry Nirma Yunizul Pesha, S.Pd.I.,M.Ag atas bimbingan nya yang sudah
mengajar dengan tulus, semoga segala yang di ajarkan di beri balasan oleh Allah
SWT di akhirat nanti.

Makalah ini tentunya tidak sempurna, dan saya sangat menghargai segala
saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Semoga makalah ini dapat
memberi pemahaman yang lebih baik tentang prinsip-prinsip dasar dalam
pembagian hukum syara’.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat
menjadi inspirasi untuk pemahaman yang lebih luas tentang islam dan pembagian
hukum syara’.

Wassalamu’alikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bogor , 16 Oktober 2023

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................1

DAFTAR ISI.............................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................3

A. Latar Belakang Masalah.........................................................................3


B. Rumusan Masalah ...................................................................................4
C. Tujuan Penelitian.....................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................5

A. Pinsip-prinsip Dasar Hukum syara’...............................................5


B. Cara Penerapan Hukum Syara’...................................................12
C. Macam-Macam Hukum Syara’....................................................14
1. Hukum Taklifi..…………………………………………………...16
2. Hukum Wadh’i…………………………………………………..…21
D. Unsur-Unsur Hukum Syara’…………………………………….….23

BAB III PENUTUP..…………………………………………………..26

Simpulan..................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...29

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum syara’ atau hukum islam merupakan salah satu dari beberapa objek kajian
ushul fiqih, bahkan tujuan utama dari studi ushul fiqih adalah bagaiman menyimpulkan
hukum syara’ dari sumber-sumbernya. Oleh karena itu hukum syara’ sangat penting untuk
dipelajari. Sumber utama hukum syara’ adalah Al-Qur’an dan di dasarkan pada hadist.

Menurut istilah hukum syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari syari’at
Islam. Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah”atau “memutuskan”. Dan
menurut terminologi berarti :

‫خطاب هللا المتعلق بافعال المكلفين باالقتضاء أوالتخيير أوالوضع‬


Artinya: Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa
iqtidha (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan),
Takhyir (kebolehan untuk orang mukalaf memilih antara melakukan dan tidak melakukan),
atau Wadi’ (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’
(penghalang).1 Maksud dari kutipan diatas adalah hukum syara’ merupakan hukum atau
aturan yang dilakukan oleh setiap orang, hukum syara’ adalah perkataan Allah SWT kepada
para hambanya, hukum syara’ mencakup tentang perintah,larangan,anjuran melakukan atau
anjuran untuk tidak melakukan, dan kebebasan sesorang memilih antara melakukan atau tidak
melakukannya.

Sesungguhnya ilmu-ilmu yang berkenaan dengan hukum islam , khususnya fiqih dan
ushul fiqih sudah ada pada zaman Rasulullah SAW, sudah berakar pada pribadi beliau sendiri
menurut Prof. Dr. H. Abuddin Nata,M.A.2 Penjelasan dari kalimat ini adalah hukum islam
atau hukum syara’ yang terdapat pada fiqih dan ushul fiqih sudah ada sejak zaman Rasulullah
SAW dan itu semua ada pada diri beliau, karena Allah SWT menyampaikan segala perintah
dan larangannya melalui perantara Rasulullah SAW dan diterapkan oleh beliau baik dalam
bentuk perkataan maupun perbuatan.

Tujuan mengambil judul makalah yang berjudul “Prinsip-prinsip dasar dalam


pembagian hukum syara’” karena mencakup berbagai aspek kehidupan umat Muslim. Oleh
1
Misbahuddin ,Ushul Fiqih 1, Universitas Islam Negri Alaudin, Makassar,2013,hlm. 24
2
Prof. Dr. H. Abuddin Nata,M.A.(ed), Masail Al-fiqhiyah, Prenadamedia Group, Jakarta, 2003, hlm.8

3
karena itu pentingnya untuk mempelajari tentang prisip dasar dalam pembagian hukum syara’
upaya untuk menciptakan sistem hukum yang adil, sesuai dengan ajaran agama Islam, dan
dapat beradaptasi dengan perubahan sosial dan kebutuhan umat Muslim.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang, Rumusan Masalah yang akan di bahas di dalam makalah
sebagai berikut:

a. Apa saja prinsip-prinsip dasar dalam pembagian hukum syara’ ?

b. Bagaimana cara menerapkan prinsip dasar pembagian hukum syara’?

c. Apa macam-macam hukum syara’?

d. Apa unsur-unsur hukum syara’?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Latar Belakang diatas, Tujuan Penelitian Adalah untuk memberikan


informasi dan menjawab rumusan masalah di atas sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan memahami prinsip-prinsip dasar dalam pembagaian hukum

syara’.

b. Untuk mengetahui bagaimana prilaku kita sebagai umat Muslim menerapakan

prinsip-prinsip dasar yang telah di tetapkan .

c. Untuk mengetahui berbagai macam yang terkait dalam hukum syara’ .

d. Untuk mengetahui apa saja unsur-unsur dalam hukum syara’.

BAB II

4
PEMBAHASAN

A. PRINSIP-PRINSIP DALAM PEMBAGIAN HUKUM SYARA’

Kata prinsip dapat berarti asas, yakni kebenaran yang menjadi pokok dasar orang
berfikir, bertindak dan sebagainya.3 Penjelasan dari kalimat ini adalah menyatakan bahwa
prinsip adalah dasar atau kebenaran yang menjadi fondasi pemikiran seseorang, prinsip ini
mencerminkan nilai-nilai atau keyakinan yang membimbing seseorang dalam mengambil
Keputusan dan berperilaku dalam berbagai situasi. Dalam kata lain,prinsip-prinsip ini
memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan etika seseorang.

Hukum syara’ adalah bagian dari hukum islam, jadi keduanya memiliki hubungan
erat. Hukum islam mengacu pada seluruh sistem nilai, etika, dan peraturan yang dijelaskan
dalam Al-Qur’an dan Hadist. Sementara hukum syara’ adalah bagian dari hukum islam yang
berfokus pada peraturan hukum yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari umat islam.
Adapun berbagai prinsip dasar yang di terapkan dalam hukum islam dan hukum syara’ adalah
sebagai berikut:

1. Meniadakan Kepicikan dan Tidak Memberatkan

Tabiat manusia tidak menyukai beban yang membatasi kebebasannya, manusia tidak
akan tertarik dengan suatu perintah atau larangan kecuali peraturan itu tidak memberatkan
baginya. Oleh karena itu Agama Islam mengkaitkan perintah kepada akal manusia, itulah
sebabnya akal perlu dipelihara. Dan Agama Islam memang untuk manusia yang memiliki
akal. Oleh karena itu Allah SWT membebani hambanya sesuai dengan kemampuannya.
Seperti firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah:286 :

‫ال يكلف هللا نفسا اال وسعها‬


Artinya: “Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
Kesanggupannya”

Pesan moral dari firman Allah SWT yang diatas adalah:

a. Allah SWT berlaku adil terhadap hambanya dalam memberikan beban sesuai dengan
kemampuannya
b. Ayat ini menginggatkan manusia bahwa Allah SWT memahami keterbatasan dan
kapasitas semua hambanya.
3
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2014), hlm.113

5
c. Mengajarkan untuk bersyukur atas keadilan yang Allah SWT tetapkan. Karena setiap
ujian pasti ada hikmahnya.

2. Menyedikitkan Beban

Nabi melarang para sahabat memperbanyak pertanyaan tentang hukum yang belum
ada yang nantinya memberatkan mereka sendiri. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang hukum hanya
sedikit, yang sedikit itulah yang memberikan lapangan yang luas bagi manusia untuk
4
berijtihad. Dengan begitu hukum tidaklah kaku, keras, dan berat bagi ummat manusia.
Penjelasan dari kalimat diatas bahwa Rasulullah melarang para sahabat bertanya sebelum
wahyu diturunkan, larangan ini mencerminkan prinsip bahwa para sahabat diminta untuk
bersabar menunggu wahyu Allah SWT yang belum diungkapkan. Tujuannya adalah agar
Keputusan dan petunjuk hukum yang diberikan bersumber langsung dari Allah SWT.

Dugaan-dugaan tidak boleh dijadikan dasar penetapan hukum. Allah SWT berfirman
dalam QS.Al-Maidah/5:101:

‫َٰٓيَأُّيَها ٱ ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا اَل َتْس َٔـُلو۟ا َع ْن َأْش َيٓاَء ِإن ُتْبَد َلُك ْم َتُس ْؤ ُك ْم َو ِإن َتْس َٔـُلو۟ا َع ْنَها ِح يَن ُيَنَّز ُل ٱْلُقْر َء اُن‬
‫ُتْبَد َلُك ْم َع َفا ٱُهَّلل َع ْنَهاۗ َو ٱُهَّلل َغ ُفوٌر َحِليم‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman “jangan lah kamu bertanya-tanya tentang sesuatu
yang kalau di terangkan kepadamu akan menyusahkanmu, tetapi kalau kamu
tanyakan( tentang ayat-ayat itu ) pada waktu turunnya, akan di terangkan kepadamu: Allah
SWT memaafkan kamu dan Allah Maha Pengampun lagi maha pemurah.

Pesan moral dari firman Allah SWT yang diatas adalah:

a. Memberi Pelajaran agar orang beriman tidak seharusnya terlalu banyak bertanya tentang
hal-hal yang mungkin tidak relevan atau tidak perlu diketahui, terutama jika pertanyaan
tersebut dapat menimbulkan kesulitan atau ketidaknyamanan.
b. Menunjukkan pentingnya memahami waktu yang tepat untuk bertanya, terutama Ketika
Al-Qur’an di wahyukan. Memberi pemahaman bahwa ada saat-saat tertentu yang lebih
pantas untuk menanyakan hal-hal tertentu.

4
Fathurrahman Djamil,Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999),hlm 68

6
c. Menekankan bahwa jika seorang hamba melanggar aturan ini, Allah SWT maha
pengampun dan pemurah.

3. Ditetapkan Secara Bertahap

Setiap masyarakat tentu memiliki adat kebiasaan, baik tradisi yang baik maupun
tradisi yang dapat membahayakan mereka sendiri. Bangsa arab, ketika Islam datang
mempunyai tradisi dan kesenangan yang sukar dihilangkan dalam sekejap saja. Apabila
dihilangkan sekaligus, akan menyebabkan timbulnya konflik, kesulitan dan ketegangan batin.

Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa “suatu masyarakat (tradisional atau
tingkat intelektualnya masih rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru atau
sesuatu yang datang kemudian dalam kehidupannya, lebih-lebih apabila sesuatu yang baru
tersebut bertentangan dengan tradisi yang ada”. 5 Kutipan ini muncul dari pemikiran Ibn
Khaldun, seorang ilmuan Muslim abad ke-14. Ibn Khaldun mengamati bahwa Masyarakat
tradisional cenderung menentang perubahan. Hal ini disebabkan oleh keterikatan yang kuat
terhadap tradisi dan nilai-nilai yang telah terbentuk dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan
dianggap sebagai gangguan terhadap keseimbangan yang telah ada. Oleh karena itu melalui
pemahaman yang bijaksana dan kerjasama, Masyarakat akan senantiasa memberikan respon
apabila timbul sesuatu di tengah-tengah mereka. Sebagaimana Al-Qur’an di turunkan tidak
diturunkan langsung akan tetapi secara bertahap, demikian pula dengan hukum di tetapkan
secara bertahap agar tidak menjadi konflik terhadap manusia.

Contohnya Islam mengharamkan minuman keras dengan berangsur-angsur.


Sebagaimana firman Allah dalam surah Al- Baqarah/2:219

۞‫َيْس َٔـُلوَنَك َع ِن ٱْلَخ ْم ِر َو ٱْلَم ْيِس ِر ۖ ُقْل ِفيِهَم ٓا ِإْثٌم َك ِبيٌر َو َم َٰن ِفُع ِللَّناِس َو ِإْثُم ُهَم ٓا َأْك َبُر ِم ن‬
‫َّنْفِع ِهَم اۗ َو َيْس َٔـُلوَنَك َم اَذ ا ُينِفُقوَن ُقِل ٱْلَع ْفَو ۗ َك َٰذ ِلَك ُيَبِّيُن ٱُهَّلل َلُك ُم ٱْل َء اَٰي ِت َلَع َّلُك ْم َتَتَفَّك ُروَن‬
Artinya : “mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah “pada
keduanya terhadap dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia., tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya”.

Pesan moral dari firman Allah SWT diatas adalah:

a. Hati-hati dalam menilai manfaat suatu perbuatan. Terkadang, sesuatu yang tampak
menguntungkan bisa memiliki dampak buruk yang tidak terlihat secara langsung.
5
Darmawati, Filsafat Hukum Islam, Fuf Uin Alauddin, Makassar, 2019, hlm 109

7
b. Waspada terhadap konsekuensi dan Tindakan-tindakan tertentu dalam kehidupan sehari-
hari.
c. Ayat ini memperingatkan terhadap bahaya minuman keras dan judi. Menjauhi hal-hal
yang dapat merusak individu dan Masyarakat.

Kita bisa mengambil inti sari dari firman Allah bahwasanya tidak semua yang
bermanfaat itu baik untuk diri kita.

4. Memerhatikan Kemaslahatan Manusia

Tujuan umum pensyari’atan hukum Islam dalam menetapkan hukum-hukumnya


adalah mewujudkan kemaslahatan-kemaslahtan manusia dengan menjamin hal-hal yang
menjadi kebutuhan pokok mereka (dharuri) dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan skunder
(haijiyat), serta kebaikan-kebaikan mereka (tahsiniyah). Setiap hukum islam sangat
dipengaruhi oleh salah satu dari tiga hal tersebut, karena salah satu dari tiga hal tersebutlah
yang menjadi penyebab terwujudnya kebutuhan manusia. 6 Menurut penulis bahwa setiap
hukum islam diarahkan untuk mencapai salah satu dari tiga tujuan tersebut, karena melalui
pemenuhan aspek-aspek ini, diharapkan Masyarakat dapat mencapai kesejahteraan dan
kemaslahatan secara menyeluruh. Yang dimaksud tiga disini adalah :

a. Kebutuhan pokok (dharuri) kebutuhan dasar manusia seperti agama, akal, harta, jiwa,
dan keturunan.
b. Kebutuhan skunder (hajiyat) menyediakan kerangka hukum untuk memenuhi kebutuhan
yang bersifat skunder, tidak langsung mendukung kelangsungan hidup tetapi penting
untuk meningkatkan kesejahteraan, seperti ekonomi dan sosial.
c. Kebaikan-kebaikan (tahsiniyah) mendorong kebaikan yang bersifat moral, etis, dan
spiritual.
Dengan demikian prinsip-prinsip hukum islam tidak hanya berfokus pada aspek
keharusan (dharuri), tetapi juga pada aspek pengembangan dan kemajuan kehidupan
manusia (tahsiniyah).

Hubungan sesama manusia merupakan menifestasi dari hubungan hamba dengan


penciptanya. jika hubungan kita baik dengan manusia lainnnya maka baik pula hubungan
dengan penciptanya. Oleh karena itu, islam sangat menekankan kemaslahatan.

5. Mewujudkan Keadilan Yang Merata

6
Juhay S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Universitas Islam Bandung, Bandung, 1995, hlm.101

8
Syari’at Islam yang diturunkan dari Allah SWT, telah menanamkan dasar keadilan
dalam Masyarakat muslim yang tidak ada duanya, yang tidak dikenal oleh Masyarakat
manusia dalam Sejarah meraka dahulu, dan tidak sampai kepadanya dalam sejarahnya
sekarang. Hal ini karena ia mengaitkan terelisasinya keadilan dengan Allah SWT, Allah SWT
lah yang memerintahkan untuk berbuat adil, dan Allah SWT lah yang mengawasi
pelaksanaannya dalam kehidupan nyata, Allah SWT yang memberi pahala bagi yang
melaksanakannya, dan menjatuhkan siksa bagi yang mengabaikannya dalam segala situasi
dan kondisi.7 Maksud dari kutipan diatas adalah bahwa Syari'at Islam sebagai panduan
hukum, menetapkan fondasi keadilan yang tak tertandingi dalam masyarakat Muslim. Prinsip
ini didasarkan pada keyakinan bahwa keadilan berasal langsung dari Allah SWT. Dalam
kerangka ini, setiap perintah untuk bertindak adil berasal dari petunjuk langsung Allah SWT.
Selain itu, Allah SWT diyakini secara aktif mengawasi pelaksanaan keadilan dalam
kehidupan sehari-hari. Pentingnya keadilan dalam Islam ditekankan dengan jelas, dengan
ancaman siksaan bagi mereka yang melanggar prinsip keadilan. Sebaliknya, pahala dijanjikan
bagi mereka yang mematuhi perintah adil. Keseluruhan sistem ini dianggap unik dan tak
tertandingi dalam sejarah manusia, mengingat keterlibatan langsung Allah SWT dalam
menegakkan dan memerintahkan keadilan. Sebagai hasilnya, masyarakat Muslim diharapkan
untuk menerapkan keadilan dalam segala situasi dan kondisi sebagai bentuk ketaatan kepada
Allah SWT.

1) Prinsip-Prinsip Dalam Hukum Islam Menurut Juhay S.Paradja

a) Prinsip Tauhidullah, mengesakan Allah SWT (Tauhid) dan menolak menyekutukannya


(Syirik) adalah doktrin penting dalam islam, dan semua ini disepakati oleh seluruh umat
muslim. Tauhidullah atau tauhid dalam zat Allah SWT adalah Allah yang maha esa,
tidak ada yang mampu menyamainya. 8 Maksud dari kutipan ini adalah merinci
pentingnya doktrin tauhid dalam Islam, yang mencakup mengesakan Allah (Tauhid)
dan menolak segala bentuk penyekutuan (Syirik). Tauhidullah, atau tauhid dalam zat
Allah, menegaskan bahwa Allah adalah Maha Esa, tidak ada yang mampu menyamai-
Nya.
Doktrin tauhid mencakup tiga aspek utama. Pertama, Tauhid Rububiyyah menekankan
bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan pengatur alam semesta. Kedua, Tauhid
Uluhiyyah menyatakan bahwa segala bentuk ibadah dan pengabdiahanya boleh
7
Heru Haruman, Keadilan Menurut Sayyid Qutb Dalam Tafsir FI ZILALIL QUR’AN, UIN Sunan Gunung Djati,
Bandung, 2013, hlm. 1
8
Samidi Khalim, Tauhid Benteng Moral Umat Beriman, Robar Bersama, Semarang, 2011, hlm.7

9
ditujukan kepada Allah. Ketiga, Tauhid Asma' wa Sifat menegaskanbahwa nama dan
sifat Allah tidak ada yang menyamainya. Pentingnya tauhidtercermin dalam kalimat
syahadat Islam, "La ilaha illallah" (Tiada Tuhan selain Allah), yang menegaskan
keyakinan terhadap keesaan Allah. Penolakan terhadap syirik adalah prinsip mendasar
yang diakui oleh seluruh umat Muslim, menciptakan kesatuan keyakinan dalam agama
Islam. Keseluruhan konsep tauhid memberikan landasan untuk hubungan yang
mendalam dengan Allah dan membentuk dasar etika serta moral umat Islam.
b) Prinsip Insaniyah atau Prinsip Kemanusiaan, bahwa akal manusia yang dijadikan
rujukan dalam prilaku sosial maupun sistem budaya harus bertitik tolak dari nilai- nilai
kemanusiaan dan memberikan manfaat serta menghilangkan kemudaratan bagi
manusia.9 Maksud dari kutipan ini bahwa Prinsip Insaniyah, atau Prinsip Kemanusiaan,
menekankan bahwa akal manusia harus menjadi pedoman dalam perilaku sosial dan
sistem budaya. Titik tolaknya adalah nilai-nilai kemanusiaan yang menuntut agar
tindakan manusia memberikan manfaat dan menghilangkan kemudaratan bagi sesama
manusia.Dalam kerangka ini, prinsip ini mendorong manusia untuk mengedepankan
empati, keadilan, dan kebaikan dalam interaksi sosialnya. Penggunaan akal untuk
merumuskan kebijakan dan tata nilai budaya harus selaras dengan prinsip ini, sehingga
masyarakat dapat berkembang secara adil dan bermanfaat bagi semua individu.Prinsip
Kemanusiaan juga mencakup tanggung jawab terhadap lingkungan dan keberlanjutan,
karena tindakan yang merugikan alam dapat berdampak negatif pada kesejahteraan
manusia. Dengan mengakui nilai-nilai kemanusiaan sebagai pedoman, diharapkan
masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan manusia
secara holistik dan berkelanjutan.
c) Prinsip Tasamuh atau Prisip Toleransi, sebagai titik tolak pengamalan hukum islam,
karena cara berfikir manusia brbeda-beda satu sama lain, maka harus saling menghargai
dan mengakui bahwa kebenaran adalah hasil pemikiran manusia yang bersifat relatif.
Pada umumnya, istilah tasamuh atau toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan
kepada sesama manusia untuk menjalankan dan menentukan sikapnya, selama itu tidak
melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat asas-asas terciptanya ketertiban dan
perdamaian dalam bermasyarakat.10 Maksud dari kutipan diatas adalah dalam masyarakat
yang toleran setiap individu dihormati dan diberikan ruang untuk mengamalkan

9
Mustofa Hasan & Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Pustaka Setia, Bandung, 2013,
hlm.184
10
Bashori dan Mulyono, Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Sayid Sabiq, Jawa Barat, 2010, hlm.114-115

10
keyakinan, nilai, dan praktek hidupnya tanpa adanya diskriminasi atau penindasan.
Akan tetapi, batasan tetap diberlakukan agar kebebasan tersebut tidak merugikan orang
lain atau merusak ketertiban sosial.Toleransi menciptakan kerangka kerja di mana
perbedaan diterima dan dihargai, menciptakan ruang untuk dialog dan pemahaman
antarindividu atau kelompok yang berbeda. Dengan demikian, tasamuh berperan
penting dalam membangun masyarakat yang inklusif, beragam, dan damai.
d) Prinsip Ta’awun atau Tolong menolong, setiap manusia sejatinya tidaklah dapat
berdiri sendiri sebagai pribadi yang terpisah. Melainkan membentuk Masyarakat dan
komunitas.11 Kutipan ini menjelaskan bahwa sebagai titik tolak kehidupan manusia
sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan. Ketergantungan antarindividu
menciptakan kebutuhan akan kehidupan Bersama suatu Masyarakat. Maka prisip ini
sangan penting dalam penetapan hukum islam.
e) Prinsip Silaturrahmi baina nas, sebagai titik tolak bahwa setiap individu lainnya akan
melakukan interaksi karena manusia adalah human relation yang secara fitrahnya
menjadikan silaturrahmi sebagai embrio terciptanya masyarakat.
Silaturrahmi adalah mendekatkan diri kepada orang lain setelah selama ini jauh dan
menyambung Kembali komunikasi setelah selama ini terputus dengan penuh kasih
sayang diantara mereka. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Bahwa orang yang menyambung bukanlah orang yang membalas kebaikan orang akan
tetapi ia adalah orang yang apabila hubungan kerabatnya diputuskan maka ia
menyambungnya.12 Kutipan ini menggambarkan konsep silaturrahmi dalam islam,
Dimana seseorang tidak hanya bersikap baik padanya, tetapi lebih dari itu, ia aktif
menjalin dan mempertahankan hubungan baik meskipun terputus. Ini mencerminkan
ajaran Nabi Muhammad SAW untuk menjaga dan memperkuat ikatan keluarga serta
hubungan sosial dengan penuh kasih sayang, bahkan Ketika pihak lain tidak
membalas kebaikan. Dengan kata lain seseorang yang benar- benar menyambung
silaturrahmi adalah berinisiatif untuk menjaga dan mendekatkan diri kepada orang
lain tanpa memandang balasan yang diterima.
f) Prinsip Keadilan, Adil adalah salah satu sifat yang harus dimiliki oleh manusia dalam
rangka menegakkan kebenaran kepada siapapun tanpa terkecuali, walaupun akan

11
Nurchalis Majid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat,
Paramadina, Jakarta, 2000, hlm.3
12
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Mughiro Al-Bukhori, Al-Adab Al-Mufrad, juz 1, Dar Al Basyair Al-
Islamiyah, Bairut, 1409 H/1989 M, hlm.37

11
merugikan dirinya sendiri.13 Maksud dari kutipan ini adalah bahwa keadilansebagai
titik tolak kesadaran setiap manusia terhadap hak-hak orang lain dan kewajiban
dirinya sendiri. Kalimat ini mmenyiratkan kualitas penting yang harus dimiliki
manusia. Sifat ini menuntut keberanian untuk menegakkan kebenaran tanpa
memandang siapa yang terlibat, bahkan jika itu berarti mengorbankan kepentingan
pribadi. Artinya, seseorang yang benar-benar adil tidak memihak secara sembrono
atau berdasarkan kepentingan pribadi, melainkan mengutamakan kebenaran dan
keadilan untuk semua, tanpa terkecuali.
g) Prinsip Kemaslahatan, yakni bertitik tolak dari kaidah penyusunan argumentasi
dalam berperilaku, bahwa meninggalkan kerusakan lebih di utamakan daripada
mengambil manfaatnya.14 Maksud dari kutipan ini adalah dalam mengambil
Keputusan atau membuat Keputusan, penting untuk mempertimbangkan dampak
negatif dan memprioritaskan mencegah atau mengurangi kerusakan daripada sekedar
mencari manfaat tanpa memperhatikan konsekuensinya. Prinsip ini mencerminkan
perhatian terhadap kesejahteraan umum dan keberlanjutan, Dimana keseluruhan
Masyarakat atau lingkungan diutamakan daripada kepentingan individu yang bersifat
egois.

B. CARA-CARA PENERAPAN HUKUM SYARA’

Menerapkan hukum-hukum syara’ adalah suatu proses yang melibatkan berbagai


aspek dalam kehidupan. Langkah- langkah umum menerapkan hukum-hukum syara’ adalah
sebagai berikut:

1. Pemahaman: pemahaman sangat penting dalam menerapkan hukum-hukum yang di


tetapkan, termasuk Al-Qur’an dan Hadist. Pemahaman adalah kemampuan seseorang
untuk mengerti dan memahami setelah sesuatu itu diketahui dan di ingat, dengan kata
lain memahami adalah mengerti tentang sesuatu dan dapat melihatnya dalam berbagai
segi, apabila seseorang dapat memberikan penjelasan atau memberikan uraian yang
lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-kata sendiri, pemahaman
merupakan jenjang kemampuan berfikir yang lebih tinggi dari ingatan atau hafalan. 15
Menurut Anas Sudijono bahwa pemahaman adalah kemampuan untuk memahami

13
Anonim, Ensiklopedia Hukum Islam, Penerpib PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996,hlm.50
14
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam,Pustaka setia, Bandung, 2011, hlm.234-236
15
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Raja Grafindo, Jakarta, 2008, hlm.50

12
sesuatu setelah diketahui dan diingat. Pemahaman bukan hanya sekedar mengingat
informasi, tetapi juga mencakup kemampuan untuk melihat sesuatu dari berbagai
sudut pandang. Jika seseorang dapat memberikan penjelasan atau uraian yang lebih
rinci menggunakan kata-kata sendiri, itu menandakan bahwa mereka telah mencapai
Tingkat pemahaman yang lebih tinggi daripada sekedar menghafal. Dengan kata lain,
pemahaman melibatkan kemampuan berfikir secara mendalam, mampu mengaitkan
informasi, dan memiliki pandangan yang komprehensif terhadap suatu konsep atau
topik.
2. Kepemimpinan: Islam harus mempunyai pemimpin yang bertugas menjaga dan
memelihara ajaran-ajarannya.16 Menurut Sa’id Hawwa bahwa dalam islam diperlukan
kepemimpinan yang kompeten, seperti Ulama’ atau Qadi’ (hakim islam), untuk
menerapkan, menjaga, dan memelihara hukum-hukum syara’ dan ajaran-ajarannya.
Pemimpin diharapkan menjadi penjaga kestabilan dan penegak nilai-nilai islam,
pengawasan terhadap pelaksanaan hukum islam, serta mempromosikan nilai-nilai
moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
3. Pengadilan: sistem pengadilan harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum islam atau
hukum syara’ yang harus didirikan.
4. Legislasi: pemerintah atau badan legislasi harus mengadopsi hukum-hukum syara’ ke
dalam perundang-undangan nasional jika negara tersebut berdasarkan hukum islam.
5. Penerapan Pribadi: Individu Muslim juga memiliki kewajiban untuk menerapkan
hukum syara’ dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam beribadah.
6. Pendidikan: pendidikan tentang hukum syara’ dan etika islam harus tersedia dalam
diri seorang umat dan memastikan tentang pemahaman dan penerapan yang benar.
Pendidikan merupakan sarana yang menentukan Dimana titik optimal kemampuan-
kemampuan tersebut dapat dicapai.17 Kutipan diatas menyatakan bahwa Pendidikan
tentang hukum syara’ dan etika islam seharusnya ada dalam diri seorang individu, dan
penting untuk memastikan pemahaman dan penerapannya yang benar. Pendidikan
dianggap sebagai sarana untuk mencapai titik optimal dalam mengembangkan
kemampuan tersebut.
7. Pengawasan: pengawasan harus ada untuk memastikan penegakan hukum syara’ yang
adil dan benar.

16
Sa’id Hawwa, Al-Islam, Gema Insani, Jakarta, 2004, hlm.425
17
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm.156

13
8. Penyesuaian Kontemporer: Terkadang, hukum syara’ perlu diseseuaikan dengan
realitas sosial.

Penerapan hukum syara’ akan berbeda-beda di berbagai negara dan budaya, tergantung
pada interpretasi dan tingkat penerimaan masyarakat terhadap hukum tersebut.

C. MACAM-MACAM HUKUM SYARA’

Secara garis besar para ulama’ ushul fiqih membagi hukum menjadi dua macam,
yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. menurut ahli ushul fiqih hukum taklifi adalah:

‫هومااقتضي طلب الفعل من المكلف أو كفه عن فعل أو تخييره بين الفعل و الكف عنه‬

Artinya : ketentuan- ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung
dengan perbuatan mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan,
anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk
berbuat atau tidak berbuat.18 Kutipan ini menjelaskan bahwa aturan-aturan Allah SWT dan
Rasul-Nya terkait langsung dengan Tindakan individu yang memiliki tanggung jawab moral
(mukalaf). Ini mencakup perintah, anjuran, larangan, dan memberikan kebebasan untuk
memilih antara bertindak atau tidak bertindak. Adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur
prilaku individu dalam kerangka ajaran islam.

Sedangkan yang dimaksud hukum wadh’i adalah :

‫َم ااْقَتَض ى َو ْض ُع َشْيٍئ َسَبًباِلَش ٍئ َأْو َشْر ًطاَلُه َأْو َم اِنًعاَم ْنه‬
Artinya : ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan mani’
(sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan taklifi). 19 Syekh Abdul
Wahab Kallaf menjelaskan bahwa hukum wadh’i merujuk pada ketentuan yang ditetapkan
secara buatan yang mengaitkan suatu hal sebagai sebab, syarat, atau penghalang terhadap hal
lain.

Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat diketahui
perbedaan diantara keduanya. Ada pun perbedaanya adalah :

1. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah Allah SWT yang berbentuk
tuntutan dan pilihan. Karena perintah disini langsung mengenai perbuatan orang yang
18
Misbahuddin, Ushul Fiqih 1, Alauddin University press, Makassar, 2013,hlm.28
19
Syekh Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushulil Fiqih, Al-Madani, Kairo, 2001, hlm.99

14
sudah mukalaf. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat 5 waktu wajib
dikerjakan umat muslim.
Seperti dalam firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Isra’ ayat 78 :

‫َاِقِم الَّص ٰل وَة ِلُد ُلْو ِك الَّش ْم ِس ِاٰل ى َغ َس ِق اَّلْيِل َو ُقْر ٰا َن اْلَفْج ِۗر ِاَّن ُق ْر ٰا َن اْلَفْج ِر َك اَن َم ْش ُهْو ًدا‬
Artinya: "Dirikanlah sholat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan
(laksanakan pula sholat) Subuh. Sesungguhnya sholat Subuh itu disaksikan (oleh
malaikat)”.
Pesan Moral dari firman Allah SWT diatas adalah :
a. Menegaskan pentingnya mendirikan sholat sepanjang rentang waktu dari
matahari tergelincir hingga malam tiba, serta sholat subuh sebagai bukti
kesaksian dan ketaatan.
b. Mengajarkan kedisiplinan dalam menjalani ibadah, menekankan pelaksanaan
sholat pada waktu-waktu tertentu sebagai bentuk ketaatan dan tanggung jawab.
c. Pengakuan bahwa sholat subuh disaksikan oleh malaikat, menggambarkan
penghargaan dan keagungan ibadah tersebut, memberikan motivasi ekstra untuk
melaksanakannya dengan khusyu’.
2. Hukum Wadh’i adalah perintah Allah SWT yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan
Allah SWT. Tidak langsung mengatur perbuatan mukalaf, tetapi berkaitan dengan
perbuatan mukalaf itu. Contohnya menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda
bagi masuknya shalat zuhur.20 Maksud dari kutipan diatas adalah ada perbedaan
diantara 2 hukum ini. Hukum taklifi hukum yang mengandung perintah dan larangan
yang berkaitan langsung kepada mukalaf sedangkan hukum wadh’i adalah penjelasan
atau ketentuan yang berkaitan tentang hukum taklifi. Contohnya sholat lima waktu
hukumnya wajib bagi semua umat islam, dan Allah SWT menetapkan tergelincirnya
matahari di Tengah hari sebagai waktu sholat zuhur.

1. Hukum Taklifi

Hukum taklifi terbagi menjadi lima bentuk :


a. Wajib
1. Pengertian wajib
jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapatkan dosa.
20
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid 1, Kencana-Pernada Media Group, Jakarta, 2011, Hlm.333

15
2. Pembagian Wajib
Hukum wajib dibagi menjadi dua macam:
a) Wajib ‘Aini

kewajiban untuk seseorang yang sudah baligh tanpa terkecuali.


Kewajiban ini tidak akan gugur kecuali dilakukan sendiri. Seperti sholat 5
waktu,puasa pada bulan ramadhan,melaksanakan haji bagi yang mampu. 21
Maksud dari kutipan ini adalah bahwa beberapa kewajiban ibadah, seperti
sholat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah
haji bagi yang mampu, adalah tanggung jawab yang harus dilaksanakan
oleh setiap individu yang sudah baligh. Kewajiban-kewajiban tersebut
tidak dapat digantikan oleh orang lain atau diwakilkan kepada orang lain.
Setiap individu diharapkan untuk secara pribadi melaksanakan dan
memenuhi kewajiban-kewajiban ibadah tersebut sesuai dengan
kemampuannya.

b) Wajib kifa’i (wajib kifayah)

Kewajiban yang di bebankan kepada seluruh mukalaf,namun jika


telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah di
anggap mencukupi sehingga seseorang yang belum melaksanakannya di
perbolehkan untuk tidak mengerjakannya. Misalnya, pelaksanaan sholat
jenazah, menjawab salam sesama muslim.22 Maksud dari kutipan ini
adalah kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf dapat
dianggap telah terpenuhi jika sudah dilaksanakan oleh Sebagian umat
islam. Contohnya seperti Ketika sholat jenazah dan menjawab salam
sesama muslim telah dilakukan oleh Sebagian umat, maka kewajiban
tersebut telah mencukupi bagi seluruhnya. Dan orang yang belum
melaksanakannya tidak diwajibkan untuk melakukannya.

b. Mandub
1. Pengertian mandub
Kata mandub berasal dari segi bahasa berarti “anjuran untuk
melakukan” mandub jika dikerjakan mendapat pahala,tapi jika tidak
dikerjakan tidak mendapat dosa. Dengan kata lain menurut Dr. Abdul Hayy
21
Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M.A., Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, PT Raja Granfindo Persada, Jakarta, 2004, hlm.36
22
Misbahuddin , Ushul Fiqih 1, University Press, Makassar, 2013,hlm.33

16
Abdul ‘Al bahwa mandub adalah perintah Allah SWT yang mengandung
perintah yang tidak harus dikerjakan, hanya merupakan anjuran
melaksanakannya.23 Dalam pandangan Dr. Abdul Hayy Abdul ‘Al menyiratkah
bahwa mandub adalah perintah Allah SWT yang bersifat anjuran tetapi tidak
wajib dilaksanakan. Ini berarti tindakan tersebut dianjurkan untuk dilakukan,
namun tidak diwajibkan, sehingga seseorang tidak akan berdosa jika tidak
melaksanakannya. Mandub disebut juga sunnah, nafilah, mustahab,
tathawwu’,ihsan dan adilah.
Salah satu contoh sunnah sholat adalah mengangkat kedua tangan
Ketika akan rukuk, Ketika berdiri dari rukuk,dan tatkala berdiri dari tasyahud
awal dengan cara yang telah diterangkan pada takbiratul ihram. 24 Kutipan
diatas mencontohkan sunnah dalam sholat yaitu mengangkat tangan Ketika
akan rukuk, berdiri dari rukuk, dan berdiri dari tasyahud awal sebagaimana
telah diterangkan Ketika takbiratul ihram. Seperti yang telah diriwayatkan
dalam hadist :
‫ َر َأْيُت َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم ِإَذ ا َقاَم ِفي الَّصالِة‬: ‫َحِد يُث َع ْبِد ِهَّللا ْبِن ُع َم َر َقاَل‬
‫َر َفَع َيَد ْيِه َح َّتى َتُك وَنا َح ْذ َو َم ْنِكَبْيِه َو َك اَن َيْفَع ُل َذ ِلَك ِح يَن ُيَك ِّبُر ِللُّر ُك وِع َو َيْفَع ُل َذ ِلَك ِإَذ ا َر َفَع‬
‫أخرجه‬- ‫ َسِمَع ُهَّللا ِلَم ْن َحِم َد ُه َو اَل َيْفَع ُل َذ ِلَك ِفي الُّسُجوِد‬:‫َر ْأَس ُه ِم َن الُّر ُك وِع َو َيُقوُل‬
‫البخاري‬
Artinya: Abdullah bin Umar berkata: "Aku pernah melihat Rasulullah jika
berdiri shalat beliau mengangkat kedua tangan di depan bahunya ketika
takbiratul ihram, ruku, dan ketika bangkit dari ruku' (i'tidal) sambil
membaca: 'Sami'a Allahu liman hamidahu' (Allah mendengar siapa yang
memuji kepada-Nya) dan tidak mengangkat kedua tangannya ketika
bersujud.
Pesan moral dari hadist diatas adalah :
a. Hadist ini mengajarkan untuk mengikuti tuntunan dan tata cara
sholat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Ini menekankan
kepatuhan pada sunnah Nabi.
b. Rasulullah menunjukkan langsung cara yang benar untuk
memimpin ibadah sholat.

23
Dr. Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Pustaka AL-KAUTSAR, Jakarta, 2014, hlm.37
24
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2023, hlm.88

17
c. Hal ini menujukkan pentingnya memahami dan melaksanakan
setiap Gerakan dengan cermat.
2. Pembagian Mandub
Perkara mandub dibagi 3 bagian :
a) Sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan)
Suatu perbuatan yang apabila dilakukan maka menjadi penyempurna
perkara yang wajib, perkara tersebut selalu dilakukan oleh Rasulullah
SAW dan hampir tidak pernah ditinggalkan. Seperti sholat sunnah
sebelum sholat subuh.
b) Sunnah ghairu muakkad (sunnah biasa)
Sesuatu yang pernah dilakukan Rasulullah SAW untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT tapi Nabi tidak melazimkan dirinya untuk
melakukan yang demikian. Seperti memberikan sedekah kepada orang
miskin.
c) Sunnah al-zawid
Perbuatan yang biasa dilakukan Rasulullah SAW dilihat dari sisi
kemanusiaan, seperti makan, minum. Hal ini dikatakan sebagai
anjuran, etika dan keutamaan Ketika mukallaf melakukan. Contoh
seperti makan dengan tangan kanan. 25Maksud dari kutipan ini adalah
bahwa mandub dibagi menjadi 3 bagian: sunnah muakkadah (sangat
dianjurkan, sunnah ghairu muakkadah , dan Sunnah muakkadah
bersifat menyempurnakan perkara wajib, sunnah ghairu muakkad
adalah Tindakan mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa kewajiban,
dan sunnah Al-Zawid mencangkup Tindakan sehari-hari.
c. Haram (melarang)
1. Pengertian Haram

Menurut Dr. Yusuf Al-Qaradawi haram adalah sesuatu yang Allah


SWT melarang untuk dilakukan dengan larangan yang tegas, setiap orang
yang menentangnya akan berhadapan dengan siksaan Allah SWT di Akhirat.
Bahkan terkadang ia juga terancam sanksi syariat di dunia. 26 Dr. Yusuf Al-
Qaradawi menyatakan bahwa haram merujuk pada larangan Allah SWT yang

25
Hikmatullah & Mohammad Hifni, Hukum Islam Dalam Formulasi Hukum Indonesia, A-Empat, Serang, 2021,
hlm.19
26
Dr. Yusuf Al-Qaradawi, Al Halal wa Haram fi Islam, Al-Maktabah Wahbah, Kairo, 1993, hlm.31

18
sangat jelas. Melakukan tindakan yang diharamkan bisa berujung pada
konsekuensi serius di akhirat, dan kadang-kadang mendapatkan sanksi syariat
didunia. Jadi, menghindari pelanggaran larangan haram sangat penting untuk
menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan baik di dunia maupun di
akhirat.

Contoh larangan Allah adalah mengadu domba sesama manusia,


Adapun yang termasuk adu domba adalah sebagai berikut :

a) Mengadukan atau mengatakan suatu berita atau aib yang terjadi


kepada orang lain sehingga orang tersebut timbul prasangka atau
bisa jadi menimbulkan kebencian terhadap orang yang dibicarakan.
b) Memprovokasi maupun menghasut pihak tertentu sehingga
muncuk konflik antara pihak yang dibicarakan dengan pihak yang
diajak bicara.
c) Berita tersebut merupakan berita yang diada-adakan, bisa juga
benar terjadi akan tetapi dibumbui dengan kata-kata orang yang
mengadukan.
d) Berita yang disebarkan atau diadukan tersebut dapat menimbulkan
konflik antara orang satu dengan yang lainnya. 27 Maksud dari
kutipan diatas, Adu domba dapat mencangkup berbagai Tindakan
seperti menyebarkan berita atau aib dengan tujuan menimbulkan
prasangka, kebencian, atau konflik antara individu mengadukan
sesuatu dengan niat memprovokasi, menghasut, atau menyebarkan
informasi yang dapat menimbulkan konflik antara orang-orang.
Larangan ini bertujuan untuk memelihara hubungan yang baik dan
menghindari fitnah serta pertentangan dalam Masyarakat.
2. Pembagian Haram
Abdul Karim Zaidan membagi haram menjadi beberapa macam yaitu:
a) Al-muharram li Dzatihi
Seuatu yang di haramkan oleh syari’at islam karena esensinya
mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia,dan kemudaratan
itu tidak bisa terpisah dari zatnya. Misalnya berzina.
b) Al-muharram li Ghairihi
27
Imam Ghazali, Bahaya Lisan Dan Cara Mengatasinya, Tiga Dua, Surabaya, 1995, Hlm.200-201

19
Sesuatu yang dilarang bukan disebabkan oleh esensinya karena secara
esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam kondisi
tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang
akan membawa kepada yang di larang secara esensial. Misalnya,
melakukan jual beli pada waktu shalat jum’at.
d. Makruh
1. Pengertian makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci” perbuatan
yang dianjurkan untuk ditinggalkan.
2. Pembagian Makruh
Menurut kalangan hanafiyah, makruh terbagi menjadi 2 macam :
a) Makruh Tahrim
Sesuatu yang dilarang oleh syari’at, tetapi dalil yang melarang itu
bersifat zhanni al-wurud (kebenaran yang datang dari Rasulullah SAW.
Hanya sampai ke dugaan keras).
b) Makruh Tanzih
Sesuatu yang di anjurkan untuk meninggalkannya. Misalnya, memakan
daging kuda dan meminum susunya.
e. Mubah
1. Pengertian Mubah
Dalam bahasa mubah berarti “sesuatu yang dibolehkan atau di izinkan”
mubah adalah sesuatu yang diberikan oleh syar’i kepada mukallaf untuk
28
memilih antara mengerjakan dan meninggalkannya. maksud dari kutipan ini
adalah bahwa syari’ tidak menuntut mukallaf untuk mengerjakannya dan tidak
menuntut pula untuk meninggalkannya.
1. Pembagian Mubah
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi ushul al-syariah
membagi mubah menjadi 3 macam :
a) Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu
hal yang wajib dilakukan. Misalnya, makan dan minum.
b) Sesuatu yang di anggap mubah jika dilakukan sekali-sekali, tapi
haram hukumnya jika dilakukan setiap hari. Misalnya, bermain dan

28
Ramli, Ushul Fiqih, Nuta Media, Yogyakarta, 2021, Hlm.29

20
mendengar musik, jika menghabiskan waktu hanya untuk bermain
dan mendengar musik.
c) Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai
sesuatu yang mubah. Misalnya, membeli kebutuhan untuk
kepentingan kesenangan, karena senang hukumnya mubah.29 Maksud
dari penjelasan diatas adalah mubah di bagi menjadi 3 macam : yang
pertama contohnya makan dan minum dianggap mubah karena
mendukung kewajiban dalam Kesehatan. Yang kedua contohnya
mendengar musik dianggap mubah jika dilakukak sesekali dan tidak
berlebihan. Dan yang ketiga contohnya menyenangkan diri sendiri
karena kesenangan dianggap mubah.
2. Hukum Wadh’i

Hukum Wadh’i terbagi menjadi tiga macam yaitu ;

a. Sebab
1. Pengertian Sebab

Sebab menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan


seseorang kepada sesuatu yang lain”.

2. Pembagian Sebab
para ulama’ fiqih membagi sebab menjadi 2 macam :
a) Sebab yang merupakan perbuatan mukalaf dan berada di luar
kemampuannya. Sebab memiliki hubungan dengan hukum taklifi karna
syari’at menjadikan sebab sebagai alasan adanya kewajiban. Misalnya,
tergelincir matahari sebagai sebab masuknya waktu zuhur.
b) Sebab yang merupakan perbuatan mukalaf dan dalam batas
kemampuannya. Misalnya, musafir yang di perbolehkan untuk
membatalkan puasa pada bulan ramdhan.
b. Syarat
1. Pengertian Syarat

Menurut bahasa syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya


sesuatu yang lain” atau “sebagai tanda” .

29
Moh.bahrudin,ilmu ushul fiqih, aura cv.anugra utama raharja,bandar lampung 2019, hlm 96

21
2. Pembagian Syarat
Ulama’ fiqih membagi syarat menjadi dua macam :
a) Syarat syar’i

Syarat yang datang langsung dari syari’at sendiri. Misalnya,


keadaan rusyd (mengatur pembelanjaan agar tidak berlebihan dan menjadi
mubazir).

b) Syarat Ja’ly
Syarat yang datang dari kemauan seorang mukalaf itu sendiri. Misalnya,
pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia membayar hutang si fulan
dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar hutang itu.
c. Mani’
1. Pengertian Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari sesuatu”. 30 Maksud dari
kutipan ini bahwa mani’ berarti penghalang dari sesuatu.
Dalam konteks agama islam, istilah ini sering digunakan dalam konteks
hukum syara’ terutama berkaitan dengan Najis dan hal-hal yang menghalangi
kesucian. Jadi, kutipan ini mungkin merujuk pada konsep bahwa mani’
digunakan sebagai penghalang atau penghambat terhadap sesuatu yang
dianggap suci atau bersih dalam kerangka norma agama islam.

2. Pembagian Mani’
Para ahli ushul fiqih membagi Mani’ dalam dua macam :
a) Mani’ al-hukm
Sesuatu yang ditetapkan syari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum.
Misalnya, keadaan haid bagi wanita yang menjadi penghalang untuk
beribadah.
b) Mani’ al-sebab
Sesuatu yang ditetapkan syarat sebagai penghalang bagi berfungsinya
suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai
akibat hukum. Misalnya, sampainya harta minimal satu nisab, menjadi
sebab wajib mengeluarkan zakat harta karena termasuk orang kaya.

30
Moh.Bahruddin,Ilmu Ushul Fiqih, Aura cv.Anugrah Utama Raharja, Bandar Lampung 2019,
Hlm.103

22
D. UNSUR-UNSUR HUKUM SYARA’

Unsur-unsur hukum syara adalah sebagai berikut :

1. Hakim

Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum” Dalam
istilah fiqih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hukum di
pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi.31 Maksud dari kutipan ini adalah dari
segi etimologi, hakim berarti orang yang memutuskan hukum. Dalam konteks istilah
fiqih, hakim digunakan sebagai orang yang memutuskan hukum dipengadilan, dan
maknanya sejalan dengan qadhi’. Artinya dalam kedua konteks tersebut, hakim
merujuk pada individu yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan
menjalankan hukum, terutama dalam konteks pengadilan atau system hukum islam.

Secara hakikat hakim adalah Allah SWT. Semata, tidak ada yang lain. Para
utusan Allah SWT hanya sekedar menyampaikan risalah dan hukum-hukumnya saja.
Mereka semua tidak menciptakan atau menetapkan hukum. Sementara para mujtahid
Cuma sekedar menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka juga bukan pencipta hukum
syariat, sekalipun acara adat mereka juga terkadang disebut hakim. 32 Maksud dari
kutipan ini adalah menyatakan bahwa hakikat hakim sejadi adalah Allah SWT, oara
utusan hanya menyampaikan hukum nya dan mujtahid hanya menyingkap tabir
hukum yang sudah ada. Meskipun disebut hakim dalam konteks adat, esensinya
adalah pengakuan bahwa otoritas hakim tertinggi adalah milik Allah SWT.

2. Mahkum Fih

Mahkum Fih berarti “perbuatan orang mukalaf sebagai tempat


menghubungkan hukum syara’.

Dilihat dari segi keberadaannya secara material dan syara’, mahkum fih terdiri
dari 4 macam :

a. Perbuatan yang ada secara material, tapi tidak terkait dengan syara’ (tidak
menimbulkan akibat hukum syara’), seperti makan dan minum.
b. Perbuatan yang ada secara material, tetapi menjadi sebab adanya hukuman, seperti
pembunuhan menjadi sebab adanya hukum qisas.

31
Misbahuddin, Ushul Fiqih 1,Alauddin University Press, Makassar, 2013, hlm.55
32
Abdullah bin Yusuf Al-Judai’, Tasyir ‘Ilm Ushul Al-Fiqh, Muassah Ar-Rayyan, Bairut, 1997, hlm.71

23
c. Perbuatan yang ada secara material, dan baru bernilai syara’ apabila memenuhi
rukun dan syarat, seperti sholat dan haji.
d. Perbuatan yang ada secara material dan diakui syara’, serta mengaitkan
munculnya hukum syara’ yang lain, seperti nikah mengakibatkan halalnya
hubungan badan, kewajiban nafkah.33 Penjelasan tentang kutipan diatas bahwa
mahkum fih mencangkup empat kategori perbuatan dalam hukum syara’ : pertama
perbuatan yang tidak terkait dengan hukum syara’. Kedua perbuatan yang menjadi
penyebab hukuman. Ketiga perbuatan yang memiliki nilai syariah jika memenuhi
rukun dan syarat. Dan keempat, perbuatan yang diakui syariah dan memunculkan
hukum syara’ yang lain. misalnya dalam ayat 1 surat al- Maidah Allah berfirman:

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا َاْو ُفْو ا ِباْلُع ُقْو ِۗد ُاِح َّلْت َلُك ْم َبِهْيَم ُة اَاْلْنَع اِم ِااَّل َم ا ُيْتٰل ى َع َلْيُك ْم َغْيَر‬
‫ُمِح ِّلى الَّصْيِد َو َاْنُتْم ُحُر ٌۗم ِاَّن َهّٰللا َيْح ُك ُم َم ا ُيِر ي‬
Artinya :” Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak
dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah).
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.

Pesan moral dari firman Allah SWT diatas adalah :

a. Diperintahkan untuk memenuhi janji dan perjanjian dengan sesama. Ini


mencerminkan pentingnya integritas dan kepercayaan dalam hubungan.
b. Menunjukkan ketaatan terhadap peraturan hukum yang ditetapkan oleh Allah.
Ketaatan ini melibatkan pemahaman dan patuh terhadap ketentuan-ketentuannya.
c. Allah SWT menetapkan hukum sesuai dengan kehendaknya. Ini menggambarkan
keadilan dan kebijaksanaan Allah dalam menentukan norma dan aturan bagi umat
nya.
3. Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘Alaih, yaitu perbuatan mukallaf yang menyangkut hukum. 34
Maksud dari kutipan diatas adalah mahkum ‘alaih merujuk pada perbuatan
atau kewajiban yang dijatuhkan atau dikenakan hukum kepada seorang
mukallaf, yaitu seseorang yang memiliki kewajiban atau tanggung jawab
syar’i.
33
Muhammad Sulaiman Abdullah, Al-Wadhih Fi Ushul Al-Fiqh, Dar As-Salam, 2004, Hlm.72
34
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Masail Al-Fiqhiyah, Kencana, Jakarta, 2003, hlm. 114

24
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Hukum syara’ adalah hukum-hukum yang digali dari syari’at islam.

Adapun prinsip-prinsip dalam pembagian hukum syara’ adalah :

1. Meniadakan kepicikan dan tidak memberatkan


2. Menyedikitkan beban
3. Diperhatikan secara bertahap
4. Memrhatikan kemaslahatan manusia
5. Mewujudkan keadilan yang merata

25
Adapun menurut Juhay S.Paradja adalah :

1. Prinsip Tauhidullah
2. Prinsip Insaniyah
3. Prinsip Tasamuh
4. Prinsip Ta’awun
5. Prinsip Silaturrahmi bain nas
6. Prinsip Keadilan
7. Prinsip Kemaslahatan.

Cara menerapkan hukum-hukum syara’ adalah :

1. Pemahaman
2. Kepemimpinan
3. Pengadilan
4. Legislasi
5. Penerapan pribadi
6. Pendidikan
7. Pengawasan
8. Penyesuaian kontemporer.

Hukum syara’ dibagi menjadi dua :

1. Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah ketentuan-ketentuan Allah SWT dan rasulnya baik dalam bentuk
perintah,larangan,anjuran dan memberikan kebebasan memberikan pilihan antara
melakukan atau tidak dilakukan. Hukum taklifi dibagi menjadi 5 bentuk :
a. Wajib
Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika di tinggalkan mendapat dosa.wajib
dibagi menjadi 2 :
1. Wajib Ai’ni
2. Wajib Kifa’i
b. Mandub
Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika tidak dikerjakan tidak mendapat apa-
apa. Mandub dibagi menjadi 3 tingkatan :

26
1. Sunnah muakkadah (sangat dianjurkan)
2. Sunnah ghairu muakkadah (sunnah biasa)
3. Sunnah al-zawid
c. Haram
Jika dikerjakan mendapat dosa dan jika di tinggalkan mendapat pahala. Haram
dibagi menjadi 2 :
1. Haram li dzatihi
2. Haram li ghairihi
d. Makruh
Jika ditinggalkan mendapat pujian dan jika di kerjakan tidak mendapat dosa,tapi
dianjurkan untuk di tinggalkan. Makruh dibagi menjadi 2 :
1. Makruh Tahrim
2. Makruh Tanzih
e. Mubah
Perbuatan yang di perbolehakan untuk dilakukan. Mubah di bagi menjadi 3:
1. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan kepada suatu hal yang wajib.
2. Mubah yang jika di kerjakan sesekali tapi haram jika menghabiskan waktu
melakukannya setiap hari.
3. Mubah yang berfungsi menjadi sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah.
2. Hukum Wadh’I
Hukum wadh’I terbagi menjadi 3 :
a. Sebab
Hukum wadh’I adalah sesuatu yang menyampaikan sesuatu kepada hal yang lain.
Sebab dibagi menjadi 2 :
1. Sebab yang di luar kemampuan.
2. Sebab yang di dalam kemampuan.
b. Syarat
Sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu. Syarat di bagi menjadi 2 macam:
1. Syarat Syar’i
2. Syarat Ja’ly
c. Mani’
Penghalang dari sesuatu. Mani’ dibagi menjadi 2 :
1. Mani’ al-hukm
2. Mani’ al-sebab
27
Adapun unsur-unsur hukum syara ada tiga :

1. Hakim
2. Mahkum fih
3. Mahkum A’laihi

DAFTAR PUSTAKA

Misbahuddin ,Ushul Fiqih 1, Universitas Islam Negri Alaudin, Makassar, 2013


Abuddin Nata, Masail Al-fiqhiyah, Prenadamedia Group, Jakarta, 2003
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, 2014

Fathurrahman Djamil,Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999

Darmawati, Filsafat Hukum Islam, Fuf Uin Alauddin, Makassar, 2019

Juhay S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Universitas Islam Bandung, Bandung, 1995

Heru Haruman, Keadilan Menurut Sayyid Qutb Dalam Tafsir FI ZILALIL QUR’AN, UIN
Sunan Gunung Djati, Bandung, 2013

Samidi Khalim, Tauhid Benteng Moral Umat Beriman, Robar Bersama, Semarang, 2011
28
Mustofa Hasan & Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Pustaka Setia,
Bandung, 2013

Bashori dan Mulyono, Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Sayid Sabiq, Jawa Barat, 2010

Nurchalis Majid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan


Masyarakat, Paramadina, Jakarta, 2000

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Mughiro Al-Bukhori, Al-Adab Al-Mufrad, juz 1, Dar
Al Basyair Al-Islamiyah, Bairut, 1409 H/1989 M

Anonim, Ensiklopedia Hukum Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996

Beni Ahmad Saebani Filsafat Hukum Islam,Pustaka setia, Bandung, 2011

Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Raja Grafindo, Jakarta, 2008

Sa’id Hawwa, Al-Islam, Gema Insani, Jakarta, 2004

M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991

Misbahuddin, Ushul Fiqih 1, Alauddin University press, Makassar, 2013

Syekh Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushulil Fiqih, Al-Madani, Kairo, 2001

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid 1, Kencana-Pernada Media Group, Jakarta, 2011

Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih, PT Raja Granfindo Persada, Jakarta, 2004

Misbahuddin , Ushul Fiqih 1, University Press, Makassar, 2013

Abdul Hayy Abdul ‘Al, Pengantar Ushul Fikih, Pustaka AL-KAUTSAR, Jakarta, 20014

Hikmatullah & Mohammad Hifni, Hukum Islam Dalam Formulasi Hukum Indonesia, A-
Empat, Serang, 2021

Yusuf Al-Qaradawi, Al Halal wa Haram fi Islam, Al-Maktabah Wahbah, Kairo, 1993

Ramli, Ushul Fiqih, Nuta Media, Yogyakarta, 2021

Moh.bahrudin,ilmu ushul fiqih, aura cv.anugrah utama raharja,bandar lampung 2019

Moh.Bahruddin,Ilmu Ushul Fiqih, Aura cv.Anugrah Utama Raharja, Bandar Lampung 2019

Misbahuddin, Ushul Fiqih 1,Alauddin University Press, Makassar, 2013

29
Abdullah bin Yusuf Al-Judai’, Tasyir ‘Ilm Ushul Al-Fiqh, Muassah Ar-Rayyan, Bairut, 1997

Muhammad Sulaiman Abdullah, Al-Wadhih Fi Ushul Al-Fiqh, Dar As-Salam, 2004

H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2023

Imam Ghazali, Bahaya Lisan Dan Cara Mengatasinya, Tiga Dua, Surabaya, 1995

Abuddin Nata, Masail Al-Fiqhiyah, Kencana, Jakarta, 2003

30

Anda mungkin juga menyukai