Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

“HUKUM SYARA”
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad., M.Si.
Arif Nursihah, S.TH.I.,M.A

Disusun oleh:
Kelompok 3
Alisya Raynisa Sutisna 1222060008
Amelia Putri 1222060009
Aulia Hasna Rashifa 1222060014
Fajwah Nurchalijah Zahra 1222060026
Ferra Yunita 1222060118
Gilman Syuhada 1222060031
Imelda Anjani 1222060039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat, hidayah, karunia serta
kehendak-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul "Hukum
Syara’" yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih, yang sudah kami
upayakan untuk diselesaikan dengan semaksimal mungkin dan sesuai dengan waktu
yang telah yang ditentukan.
Shalawat dan salam tidak lupa senantiasa kami panjatkan kepada Nabi akhir
zaman, Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita umatnya dari zaman
jahiliyah menuju zaman islamiyah, dari zaman penuh kegelapan menuju zaman terang
benderang ini. Tak lupa kami ucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. H.
Endang Soetari Ad., M.Si. selaku dosen pengampu satu dan Bapak Arif Nursihah
S.TH.I.,M.A selaku dosen pengampu dua yang telah membingbing kami guna
menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat serta wawasan yang
lebih luas kepada pembaca. Sebagai seorang yang masih dalam tahap belajar, kami
menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan kami nantikan demi penyajian makalah yang lebih baik lagi
kedepannya.

Bandung, 8 Maret 2023

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................
A. Latar Belakang.....................................................................................................................
B. Rumusan Masalah................................................................................................................
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................
A. Pengertian Hukum Syara’...................................................................................................
B. Unsur-Unsur Hukum Syara’...............................................................................................
1. Hakim (Pencifta Hukum).................................................................................................
2. Mahkum Fih (Objek Hukum).........................................................................................
3. Mahkum ‘Alaih (Subjek Hukum)...................................................................................
C. Pembagian Hukum Syara’.................................................................................................
1. Hukum Taklifi................................................................................................................
2. Hukum Wadh’i...............................................................................................................
BAB III PENUTUP........................................................................................................................
A. Kesimpulan.........................................................................................................................
B. Saran...................................................................................................................................
DAFTAR PUSAKA........................................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap amal perbuatan manusia di muka bumi ini terutama umat Islam diatur
dengan hukum-hukum Allah SWT. Dalam agama Islam, hukum-hukum Allah SWT
tersebut biasa dikenal dengan hukum syara. Hukum syara’ atau yang lebih populer
disebut dengan hukum syari’at merupakan sejumlah aturan Allah Swt yang
mengatur berbagai persoalan manusia yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf
(orang yang terbebani hukum), aturan-aturan hukum syara’ ini diciptakan dan
ditetapkan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia
maupun di akhirat nanti.
Dengan adanya hukum-hukum ini, diharapkan umat Islam di muka bumi ini
dapat beribadah sesuai dengan syari’at atau tuntunan Islam yang benar yaitu sesuai
dengan dasar hukum Islam yang berlaku yakni Al-Qur’an, Al-Hadits maupun
sumber hukum Islam yang lain seperti Ijma, Qiyas, Istihsan, Istishab dan yang
lainnya.
Hukum Syara’ ini sangat penting untuk dipelajari karena peraturannya yang
bersifat mengikat bagi seluruh umat Islam di dunia terutama bagi mereka yang
sudah mampu untuk dikenai kewajiban menunaikan Ibadah sesuai dengan syari’at
Islam (baligh).
Untuk itu, sebagai umat Islam supaya amal Ibadah kita diterima oleh Allah
SWT hendaknya kita mau belajar untuk lebih memahami tentang hukum-hukum
Islam yang berlaku. Agar kita termasuk ke dalam hamba Allah SWT yang
senantiasa bertaqwa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dapat dirumuskan
masalah-masalah berikut:
a. Apa yang dimaksud dengan hukum syara’?
b. Bagaimana unsur-unsur hukum syara’?
c. Bagaimana pembagian hukum syara’?

1
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan dari makalah ini
yaitu:
a. Mengetahui pengertian dari hukum syara’
b. Mengetahui unsur-unsur hukum syara’
c. Mengetahui pembagian hukum syara’

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syara’
Menurut etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau
“memutuskan”. Menurut terminology ushul fiqh, hukum berarti:
‫ير َأ ِو ْال َوضْ ع‬
ِ ِ‫ضا ِء َأ ِو التَّحْ ي‬
َ ِ‫ق بَِأ ْف َعا ِل ْال ُم َكلَّفِينَ بِا ِال ْقت‬
ُ ِّ‫ِخطَابُ هللاِ ْال ُمتَ َعل‬
Artinya: “Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf,
baik berupa iqtidha (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran
untuk meninggalkan), Takhyir (kebolehan untuk orang mukalaf memilih antara
melakukan dan tidak melakukan), atau Wadl (ketentuan yang menetapkan
sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani' (penghalang).”
Dalam ushul fiqh juga terdapat hukum syara. Hukum syara’ merupakan
acuan dalam tindakan manusia tentunya seorang mukallaf yang beragama Islam
yang di tugasi untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Swt sesuai dengan kitab
Allah yaitu Al-quran. Adanya perbedaan pendapat dalam pengertian hukum
syara’ antara ahli ushul fiqh dengan ahli fiqh tidak membuat kita bingung untuk
menentukan suatu perbuatan yang dihukumi semestinya. Pengertian hukum
syara’ dengan dua versi yang berbeda. Pertama pendapat ahli ushul fiqh dan
kedua pendapat ahli fiqh dalam mengartikan hukum syara’.
Pertama, menurut kalangan ahli Ushul fiqh, hukum syara’ adalah
“Khitab (titah) Allah yang menyangkut tindak tanduk mukallaf dalam bentuk
tuntutan, pilihan berbuat atau dalam bentuk ketentuan ketentuan. Contoh:
“Kerjakanlah Shalat”, Janganlah kamu memakan harta orang lain secara bathil.
Ahli ushul memandang tentang pengetahuan kitab Allah yang menyangkut
perbuatan manusia fungsinya adalah menegeluarkan hukum dari dalil
memandangnya dari segi nash syara’ yang harus dirumuskan menjadi hukum
yang terinci secara detail. Karenanya mengaggap hukum itu sebagai kitab Allah
yang mengandung aturan tingkah laku atau perbuatan.
Kedua, menurut kalangan ahli fiqh, pengertian hukum syara’ adalah
“Sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yg timbul dari titah Allah terhadap
orang mukallaf itu. “Dalam bentuk ini yang disebut hukum syara adalah

3
“wajibnya shalat” sebagai pengaruh dari titah Allah yang menyuruh shalat atau
haramnya memakan harta orang secara bathil sebagai akibat dari larangan Allah
memakan harta orang secara bathil (Dr. Hasbiyallah, 2017).
Dalam memandang pengertian hukum syara’ ini kalangan ahli fiqh yang
fungsinya menjelaskan hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi
ketentuan syara’ yang sudah terperinci dan sudah baku menjadi suatu aturan
tertentu. Karenanya ia menganggap hukum itu adalah wajib, sunah, mubah,
haram dan lainnya yang melekat pada perbuatan mukallaf (yang dikenai hukum)
itu. Dapat kita lihat dalam memandang perbedaan definisi tentang hukum syara
nampaknya berbeda, jika ahli ushul fiqh bahwa kitab Allah secara langsung
dilihat dari fungsinya hukum-hukum nya belum terperinci dan harus di jelaskan
secara detail sedangkan ahli fiqih mendefinisikan hukum syara’, mereka
menjelaskan hukum yang dirumuskan telah menjadi hukum yang sudah detail
dan rinci (Prof. Dr. Alaidin Koto, 2004).

B. Unsur-Unsur Hukum Syara’


1. Hakim (Pencifta Hukum)
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”.
Dalam istilah fiqhi kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan
hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian
Ushul Fiqh. Kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat
secara hakiki.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat
hakiki dari hukum syariat adalah Allah SWT. Hukum-hukum ini diberikan
Allah adakalanya secara langsung berupa nash-nash yang diwahyukan kepada
Rasul-Nya dan adakalanya dengan perantara petunjuk yang diberikan kepada
ulama mujtahid untuk mengistinbathkan hukum terhadap perbuatan mukallaf,
dengan bantuan dalil-dalil dan tanda-tanda yang disyari’atkan. Sudah
masyhur di kalangan ulama bahwa pembuat hukum itu adalah Allah SWT.,
sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an:

ِ َ‫ق ۖ َوهُ َو خَ ْي ُر ْٱل ٰف‬


َ‫صلِين‬ َّ ‫…ِإ ِن ْٱل ُح ْك ُم ِإاَّل هَّلِل ِ ۖ يَقُصُّ ْٱل َح‬.

4
“….Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang
sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”.
(QS.Al-An’am/6 : 57).

Dengan kata lain, pengertian ini mengisyaratkan bahwa kewenangan


penciptaan hukum syara’ itu adalah Allah Swt. sendiri. Oleh karena itu, Allah
Swt. disebut pula dengan istilah syari’ (‫)الش~~ارع‬. Persoalan yang muncul
kemudian adalah bagaimana dengan peran Rasulullah Saw. dan para mujtahid
dalam melahirkan hukum syara’? Di sini timbul perbedaan pendapat di
kalangan para ulama ushul. Golongan pertama mengatakan, bahwa pembuat
atau pencipta hukum syara’ itu adalah Allah semata.

Pembuat hukum hanya Allah saja, sedangkan Rasul sebagai penyampai


dan penggali hukum-hukum syara’ yang diciptakan oleh Allah Swt (yang
tampak) dari penuturan nash baik perintah maupun laangan. Mazhab ini tidak
membahas masalah ‘illat hukum dan tidak mengakui qiyas sebagai dalil atas
sumber hukum.

Sementara itu, pendapat kedua mengatakan bahwa di samping Allah Swt.


sebagai pembuat hukum, Rasul dan mujtahid juga mempunyai peran sebagai
penyampai hukum-hukum Allah serta melahirkan hukum-hukum syara’ yang
tidak dijelaskan oleh Allah secara tekstual dalam wahyu-Nya. Atas dasar ini,
maka Rasulullah dan para mujtahid mempunyai peran yang cukup besar
dalam penetapan hukum syara’ yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an.
Banyak ketentuan hukum syara’ yang ditetapkan langsung oleh Rasulullah
sendiri lewat Sunnahnya. Salah satu di antaranya ketentuan hukum syara’
tentang pelaksanaan shalat jenazah. Ketentuan penyelenggaraan jenazah,
termasuk kaifiat shalatnya, ditetapkan oleh Rasulullah lewat Sunnahnya, tidak
lewat al-Qur’an. Lebih-lebih lagi, setelah Rasulullah wafat peran mujtahid
hingga sekarang bahkan sampai akhir zaman sangat besar dalam melahirkan
hukum-hukum syara’.

5
Banyak kasus baru yang tidak dijelaskan sama sekali, baik dalam al-
Qur’an maupun Sunnah yang menuntut adanya jawaban hukum syar’i. Di
sinilah peran para mujtahid sangat dituntut untuk menetapkan status hukum
atas berbagai kasus baru yang terus bermunculan. Namun demikian, dapat
dipahami bahwa peran para mujtahid pada hakikatnya bukan pencipta hukum,
melainkan hanya melahirkan dan menggali hukum (istinbath hukum) dengan
memperhatikan dalil-dalil dan isyarat-isyarat yang dapat dijadikan patokan
dalam penetapan suatu ketetapan hukum. Dengan kata lain, sekalipun Rasul
dan para mujtahid memiliki peran yang cukup besar dalam menetapkan
hukum, tetapi pada hakikatnya pencipta hukum itu (al-Hakim) hanya Allah
Swt. Semata (Ma & Xii, n.d.).

2. Mahkum Fih (Objek Hukum)

Mahkum Fih merupakan obyek dari hukum, dimana secara etimologi


mahkum fih artinya suatu perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan
hukum syara’. Sedangkan secara istilah, mahkum fih adalah baik itu
perbuatan atau pekerjaan seorang mukalaf yang dapat dinilai hukumnya. Jadi,
mahkum fih adalah perbuatan mukalaf yang menjadi objek dari hukum
syara’.
Setiap hukum dari syara’ harus berhubungan dengan perbuatan
mukallaf baik itu sebuah tuntutan, pilihan, atau penetapan. Namun, menurut
fuqaha, tidak semua perbuatan hukum dapat disebut sebagai mahkum fih.
Jadi, untuk mengetahui perbuatan mukallaf tersebut mahkum fih atau tidak,
para fuqaha menetapkan beberapa syarat.
a. Syarat Mahkum Fih
a) Perbuatan itu harus diketahui oleh mukallaf secara sempurna. Sempurna
yang dimaksudkan yaitu mengetahui tentang rukun, syarat, dan
sebagainya. Berdasarkan hal ini, nash nash yang mujmal tidak sah
mentaklifikannya pada mukallaf, kecuali jika telah dijelaskan rasulullah
kita dapat melanjutkannya.

6
b) Diketahui bahwa tuntutan itu datang dari otoritas yang berwenang
dalam hukum dan dari orang yang wajib diikuti pentaklifannya. Yang
dimaksud pengetahuan mukallaf terhadap yang ditaklifinnya adalah
kemungkinan untuk mengetahuinnya, bukan pengetahuan secara
langsung.
c) Perbuatan itu memungkinkan dikerjakan /ditinggalkan,
konsekuensinya:
1. Tidak boleh ada taklif yang mustahil. Baik itu mustahil secara
substansinya atau mustahil karena sesuatu lainnya (menurut adat).
Mustahil secara substansi adalah sesuatu yang tidak masuk akal,
yaitu sesuatu yang tidak bisa terbayangkan oleh akal tentang
kebaradaannya. Misalnya, pewajiban dan pengharaman dalam satu
waktu, satu tempat, dan satu masalah. Sedangkan mustahil karena
sesuatu lainnya (menurut adat) adalah sesuatu yang terbayangkan
oleh akal namun tidak diterima oleh adat dan hukum alam. Misalnya,
adanya tanaman tanpa ada bibitnya.
2. Tidak sah melaksanakan perbuatan atas nama orang lain karena itu
bukan taklif untuknya, sehingga tidak ada pertanggungjawaban
terhadap perbuatannya. Segala sesuatu yang ditaklifkan pada
manusia yang dikhususkan pada orang lain adalah nasehat, amar
ma’ruf dan melarang yang munkar.
b. Macam-macam Mahkum Fih
a) Jika ditinjau dari keberadaan materialnya dan syara’ Mahkum Fih
dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Perbuatan material yang tidak termasuk perbuatan dengan syara‟.
Misalnya, makan minum dan lain lain.
2) Perbuatan secara material dan menjadi hukum syara‟. Misalnya
pencuri, perzinaan dan lain lain
3) Perbuatan secara material ada dan diakui syara‟ serta mengakibatkan
hukum syara‟ yang lainnya. Misalnya, pernikahan, jual beli, dan lain
lain.

7
b) Jika dilihat dari hak yang terdapat didalam perbuatan itu, terdapat 4
jenis Mahkum Fih, yaitu:
1) Semata mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut pada
kemaslahatan umum.
2) Semata mata hak hamba, yaitu yang menyangkut hak pribadi
seseorang, seperti ganti rugi barang yang rusak. Seperti hukuman
qazaf.
3) Kompromi antara hak Allah dan hak Hamba, tetapi hukum Allah
lebih menonjol.
4) Kompromi antara hak Allah dan hak Hamba, seperti hukuman qisas
(Prof. Dr. M. Noor Harisudin, 2013).

3. Mahkum ‘Alaih (Subjek Hukum)

Menurut ulama ushul fiqh, mahkum ‘alaih adalah seseorang yang


perbuatanya dikenai khitab Allah Ta’ala yang disebut mukallaf. Secara
etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah
mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Orang mukalaf adalah
orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan
dengan perintah Allah maupun dngan larangannya. Seseorang dikatakan
mukalaf jika telah memenuhi syarat-syarat berikut (Ma & Xii, n.d.):
1) Mukalaf dapat memahami dalil taklif(pembebanan hukum) baik itu berupa
nas-nas al Quran atau sunah secara langsung maupun melalui perantara.
Orang yang tidak mengerti taklif , maka ia tidak dapat melaksanakan
dengan benar apa yang diperintahkan. Dan alat yang dapat memahami
dalil itu adalah akal.
2) Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan
kepadanya.
Seorang manusia belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum
ia mampu untuk bertindak hukum. Untuk itu, ulama mengatakan bahwa
bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Diangkatkan pembebanan hukum

8
dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai
dia baligh, orang gila sampai ia sembuh.” ( H.R Bukhari , Abu Daud, a-
Tirmidzi, dll ).
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai
taklif apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Orang itu telah mampu memahami khitab syari’ (tuntutan syara) yang
terkandung dalam Al.Quran dan Sunnah , baik secara langsung maupun
melalui orang lain. Selain akal sebagai patokan seseorang , penentu
konkrit lain adalah balighnya seseorang. Implikasi dari syarat pertama
ini adalah anak kecil, orang gila, orang lupa, orang terpaksa, orang tidur
dan orang tersalah , tidak dikenakan taklif , karena dalam keadaan
status mereka masing-masing belum mampu memahami dalil syara.
2) Seseorang harus mampu bertindak hukum dengan baik ( ahliyyah ).
Artinya jika seseorang belum atau tidak pandai bertindak hukum, maka
seluruh perbuatan yang ia lakukan belum dapat dipertanggung
jawabkan.
a) Pengertian Ahliyyah
Secara etimologi ahliyyah berarti kecapakan menangani suatu
urusan . Maksudnya adalah sifat yang menunjukan seseorang itu
telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya
dapat dinilai oleh syara’. Apabila seseorang telah mempunya sifat
ini, maka ia dianggap telah sah melakukan tindakan hukum, seperti
pemindahan hak milik kepada orang lain. Para ulama ushul fiqih,
membagi ahliyyah sesuai dengan perkembangan jasmani dan
akalnya.
b) Pembagian Ahliyyah
1) Ahliyyah Ada’
Merupakan sifat kecakapan bertindak hukum seseorang
yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan
seluruh perbuatannya. Apabila ia mengerjakan perbuatan yang

9
dituntut syara’ , maka ia wajib mengerjakannya dan memperoleh
pahala bila mengerjakan dan berdosa jika tidak mengerjakannya.
Para ulama menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam
menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah aqil,
baligh dan cerdas. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-
Nisa ayat 6:
‫اح فَِإ ْن َءانَ ْستُم ِّم ْنهُ ْم ُر ْشدًا فَٱ ْدفَع ُٓو ۟ا ِإلَ ْي ِه ْم َأ ْم ٰ َولَهُ ْم‬ ۟ ‫وا ْٱليَ ٰتَم ٰى َحتَّ ٰ ٓى َذا بَلَ ُغ‬
َ ‫وا ٱلنِّ َك‬ ‫ِإ‬ َ
۟ ُ‫ۖ َوٱ ْبتَل‬

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada
mereka harta-hartanya….”
2) Ahliyyah al- wujub
Merupakan sikap kecakapan seseorang untuk menerima
hak-hak yang menjadi haknya., tetapi belum cakap dibebani
seluruh kewajiban, misalnya seorang anak laki-laki berhak
menerima warisan dari keluarganya yang meninggal dunia. Para
ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ukuran yang digunakan
dalam menentukan ahliyyah al-wujub adalah sifat
kemanusiaannya yang tidak dibatasi umur, baligh atau tidak , dan
cerdas atau tidak. Setiap seseorang yang lahir telah memiliki sifat
itu, dan hanya akan hilang apabila nyawanya sudah hilang.
Ahliyyah al-wujub dibagi menjadi dua bagian:
a. Ahliyyah al-wujub al-naqhishah
Yaitu orang yang dianggap layak untuk mendapatkan hak
tetapi tidak layak untuk dibebankan kewajiban atau sebaliknya.
Contohnya janin yang berada dalam dalam perut ibunya, ia
berhak mendapatkan warisan, wasiat dan hibah tetapi tidak
dapat dibebani kewajiban pada dirinya atas orang lain seperti
memberi nafkah.
b. Ahliyyah al-wujub al-kamilah

10
Yaitu orang yang layak untuk mendapatkan hak dan layak
untuk menjalankan kewajiban. Kelayakan menerima hak bagi
seseorang ialah sejak ia lahir ke dunia, sampai ia dinyatakan
balligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang ( gila ).
Dalam status ahliyyah al-wujub (sempurna atau tidak) ,
seseorang tidak dibebani tuntutan syara’ baik berupa ibadah
maupun tindakan hukum duniawi.
c) Larangan Ahliyah
Para ulama fiqih sepakat bahwa seseorang dinyatakan cakap atau
tidaknya dalam bertindak hukum dlihat dari akalnya, namun para
ulama juga sepakat sesuai hukum biologis, akal seseorang juga
dapat berubah, kurang atau hilang sehingga mereka dianggap tidak
cakap dalam bertindak hukum. Kecakapan dalam bertindak hukum
dapat berubah disebabkan oleh :
a) awaridh al-samawiyah yaitu halangan yang datang dari Allah
bukan dari manusia seperti, gila, dungu, perbudakan, mardh maut
(sakit yang berkelanjutan dengan kematian) dan lupa.
b) awaridh al- mukhtasabah yaitu halangan akibat manusia seperti
mabuk, terpaksa, dibawah pengampunan dan bodoh. (Prof. Dr. M.
Noor Harisudin, 2013)

C. Pembagian Hukum Syara’


1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk
melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan
meninggalkan (Mahmudah et al., 2021). Secara umum, pendapat ulama bentuk-
bentuk hukum ada lima yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah, dan tahrim.

1) Al-Ijab (Wajib)
Al-Ijab adalah tuntutan Syar'i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu
dengan tuntutan yang keras dan tegas. Pada umumnya, karena tuntutan itu
keras, maka ada sanksi yang juga keras pada orang yang meninggalkan.

11
Atau dalam pengertian lain Al-Ijab adalah Hukum yang mengandung
tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan pasti (Ma & Xii, n.d.).
Misalnya, dalam surat An-Nur: 56
۟ ُ‫صلَ ٰوةَ َو َءات‬
َ‫وا ٱل َّز َك ٰوة‬ ۟ ‫َوَأقِي ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬
Artinya: "Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat..."
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, bahwa yang dimaksud sholat di
atas adalah sholat lima waktu. Perintah lima waktu menjadi sangat keras
karena ada ancaman bagi yang tidak sholat, sebagaimana firman Allah
Swt: ‚Apa yang menyebabkan kalian masuk ke dalam neraka saqar.
Mereka menjawab: kami tidak termasuk orang yang sholat, juga tidak
termasuk orang yang memberi makan orang-orang miskin‛(Prof. Dr. M.
Noor Harisudin, 2013).
2) An-Nadb (Sunah)
An-Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang
tidak keras dan tidak tegas. Atau dalam pengertian lain An-Nadb adalah
Hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan
tidak pasti. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah: 282, Allah SWT.
Berfirman:
ُ‫ۚ ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ۟ا ِإ َذا تَدَايَنتُم بِ َدي ٍْن ِإلَ ٰ ٓى َأ َج ٍل ُّم َس ّمًى فَٱ ْكتُبُوه‬
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya...".
Lafal faktububu (maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu pada dasarnya
mengandung perintah (wujub), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan
perintah itu kepada An-Nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat
tersebut (Al-Baqarah: 283):
ُ‫ض ُكم بَ ْعضًا فَ ْليَُؤ ِّد ٱلَّ ِذى ٱْؤ تُ ِمنَ َأ ٰ َمنَتَ ۥه‬
ُ ‫فَِإ ْن َأ ِمنَ بَ ْع‬
Artinya:"Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya ..."
Tuntutan wujub dalam ayat itu, berubah menjadi Nadb, Indikasi yang
membawa perubahan ini adalah lanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika

12
ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu
penting. Demikian pula, tidak ancaman bagi orang yang tidak menuliskan
hutang piutang tadi. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengan Nadb (Prof.
Dr. M. Noor Harisudin, 2013).
3) At-Tahrim (Haram)
Tahrim adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu dengan tuntutan yang
keras dan tegas. Atau dalam pengertian lain At-Tahrim adalah Hukum
yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan pasti (Ma
& Xii, n.d.). Misalnya, firman Allah dalam surat Al-An’am : 151:
‫ۖ قُلْ تَ َعالَوْ ۟ا َأ ْت ُل َما َح َّر َم َربُّ ُك ْم َعلَ ْي ُك ْم‬
Artinya: "Katakanlah ‘Jangan kamu membunuh jiwa yang telah
diharamkan Allah kepada kalian"
Khithab (ayat) ini disebut dengan tahrim. Karena ada kata-kata ‘allati
harramallahu‛ maka perintah ini menjadi sangat keras. Konklusi ayat di
atas adalah keharaman membunuh jiwa tanpa hak (sesuatu yang
dibenarkan secara syar’i) (Prof. Dr. M. Noor Harisudin, 2013).
Atau dalam Surat Al-Isra ayat 32 Allah berfirman:
‫ٱلزن ٰ َٓى ۖ ِإنَّ ۥهُ َكانَ ٰفَ ِح َشةً َو َسٓا َء َسبِياًل‬ ۟ ‫َواَل تَ ْق َرب‬
ِّ ‫ُوا‬
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al-
Isra’ [17]:32)
4) Al-Karahah (Makruh)
Al-Karahah adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang tidak tegas dan tidak keras. Atau dalam pengertian lain Al-
Karahah adalah Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan
dengan tuntutan tidak pasti (Ma & Xii, n.d.). Misalnya dalam Hadits Nabi
Muhammad SAW
ُ ‫َأ ْبغَضُ ْال َحاَل ِل ِإلَى هَّللا ِ تَ َعالَى الطَّاَل‬
‫ق‬
Artinya: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak. "
Khithab hadis ini disebut karahah. Demgan kata ‘halal tapi dibenci‛, ini
menunjukkan perintah meinggalkan talak pada satu sisi, tapi tidak ada

13
ancaman kalau melakukan bahkan dikatakan sesuatu yang halal. Oleh
karena itu, konklusi yang diambil dari ayat ini adalah hukum makruhnya
talaq (Prof. Dr. M. Noor Harisudin, 2013).
5) Al-Ibahah (Mubah)
Al-Ibahah adalah khithab Allah yang bersifat mengandung pilihan antara
berbuat atau tidak berbuat secara sama. Atau dalam pengertian lain Al-
Ibahah adalah Hukum yang mengandung tuntutan memilih antara
mengerjakan dan meninggalkan (Ma & Xii, n.d.). Misalnya,dalam Surat
Al-Araf ayat 31 Allah SWT berfirman:
‫ْرفُ ٓو ۟ا‬ ۟ ۟
ِ ‫ۚ َو ُكلُوا َوٱ ْش َربُوا َواَل تُس‬
Artinya: "Dan makan dan minumlah. Janganlah berlebih-lebihan.”
Ayat ini mengandung perintah yang bersifat ibahah. Karena perintah
makan dan minum pada asalnya adalah bersifat memilih: boleh dikerjakan
dan boleh ditinggalkan (Prof. Dr. M. Noor Harisudin, 2013).

2. Hukum Wadh’i
Kata al-wadh` merupakan masdar dari wadha`a, dapat diartikan dengan
penurunan, penjatuhan, pukulan, pemalsuan, atau rekayasa, pengarangan dan
peletakan. Dalam definisi hukum syara’, kata al-wadh`yang mewakili hukum
wadh`I berarti peletakan, yakni peletakan sesuatu menjadi hukum syara’
Berbagai literatur usul fikih berbahasa Indonesia menerjemahkan al-wadh`
dengan kata “ketetapan” (Siregar, 2017). Dr. Abdul Karim Ibnu Ali An-nam
berpendapat dalam karyanya yang berjudul Al-Jaamiu Limasili Usulil Fiqh,
bahwasanya hukum wadh’i sebagaimana Allah berfirman yang berhubungan
dengan menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu yang lainnya, syaratnya,
larangannya, kemudahannya, hukum asal yang telah ditetapkan oleh syari’
(Allah). Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut
terdapat hal yang saling berhubungan dan berkaitan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum wadh’i adalah hukum yang
berkaitan dengan dua hal, yaitu sebab yang disebabkan. Seperti orang yang
junub menyebabkan orang tersebut harus mandi, dan adanya orang yang
memiliki harta yang sudah mencapai Nisab menyebabkan orang tersebut

14
harus berzakat, demikian juga halnya yang mampu untuk naik haji
(Syamsarina, 2016), Firman Allah QS. Ali Imran: 97):
‫هّٰلِل‬ ٌ ۢ ‫فِ ْي ِه ٰا ٰي‬
‫ت َم ِن ا ْستَطَا َع اِلَ ْي ِه َسبِ ْياًل ۗ َو َم ْن‬ ِ َّ‫ت َّمقَا ُم اِب ْٰر ِه ْي َم ەۚ َو َم ْن َد َخلَهٗ َكانَ ٰا ِمنًا ۗ َو ِ َعلَى الن‬
ِ ‫اس ِحجُّ ْالبَ ْي‬ ٌ ‫ت بَيِّ ٰن‬
‫َكفَ َر فَا ِ َّن هّٰللا َ َغنِ ٌّي َع ِن‬
َ‫ْال ٰعلَ ِم ْين‬
Artinya: “Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam
Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara)
kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke
Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan
kesana.Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa
Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”.
Adapun pembagian hukum wadh’i terbagi menjadi tiga macam yaitu;
Sebab, Syarat, dan Mani’ Penghalang. Namun sebagian ulama memasukkan
sah dan batal, azimah dan rukhshah ke dalam hukum wadh’i.
1) Sebab
Secara etimologi, sebab adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada
sesuatu yang lain. Secara istilah, sebab adalah suatu sifat yang dijadikan
syari' sebagai tanda adanya hukum. Sebab adalah, sesuatu hal tertentu yang
dijadikan sebagai pangkal adanya hukum, artinya dengan adanya sebab
maka terwujudlah hukum. Sebab adalah sesuatu hal yang nyata lagi pasti
yang dijadikan sebagai pertanda hukum syara’ yang merupakan akibatnya.
Pengertian ini menunjukkan bahwa sebab sama dengan illat, walaupun
sebenarnya ada perbedaan antara sebab dengan illat tersebut. Oleh karena
itu adanya sebab mewajibkan adanya akibat, dan tiada akibat tanpa diawali
oleh sebab, Misalnya firman Allah dalam surah Al-Isra’ ayat 78:

‫ق اللَّ ْي ِل‬ َّ ‫َأ قِ ِم ال‬


ِ ‫صالَ ةَ لِ ُدلُو‬
ِ ‫ك ال َّش ْم‬
ِ ‫س ِإل ٰ َى َغ َس‬
Artinya: “Dirikanlah Shalat setelah matahari tergelincir sampai gelap”.
(Q.S. Al-Isra’ :78)
Ayat tersebut menjelaskan tentang waktu shalat zuhur. Kewajiban
melaksanakan shalat zuhur manakala matahari telah condong ke barat.

15
Condongnya matahari adalah merupakan sebab, dan kewajiban
melaksanakan shalat zuhur adalah akibatnya (musabbab).
Atau dalam surat Al-Baqarah ayat 185 Allah SWT berfirman:
‫ۗ َو َمن َكانَ َم ِريضًا َأوْ َعلَ ٰى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِّم ْن َأي ٍَّام ُأ َخ َر‬
Artinya:” dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain.”
Ayat tersebut menjelaskan sakit atau bepergian menjadi sebab
diperbolehkannya tidak berpuasa dibulan Ramadhan.
Sebab itu sendiri menurut Abu Zahrah terbagi menjadi dua. Pertama,
sebab yang bukan merupakan hasil perbuatan manusia, atau dengan kata
lain sebab yang dijadikan Allah sebagai tanda adanya hukum. Seperti
waktu shalat telah tiba menjadi sebab wajibnya melaksanakan shalat.
Kedua, sebab yang merupakan hasil perbuatan manusia, maksudnya
timbulnya suatu sebab dikarenakan perbuatan manusia, seperti perjalanan
(jauh) pada bulan puasa menimbulkan sebab bolehnya berbuka puasa
(Razin, 2014).
2) Syarat
Syarat adalah sesuatu yang berada di luar hukum syara’ tetapi
keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada,
hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya
hukum syara'. Oleh sebab itu, suatu hukum taklifi tidak dapat diterapkan,
kecuali bila telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara'. Misalnya,
wudhu' adalah salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan
tanpa wudhu'. Akan tetapi, apabila seseorang berwudhu', ia tidak harus
melaksanakan shalat (Prof. Dr. M. Noor Harisudin, 2013).
Pengertian lain, yang dimaksud dengan Syarat adalah suatu yang
karenanya baru ada hukum dan dengan ketiadaannya tidak ada hukum.
Misalnya haul (genap satu tahun) adalah syarat wajibnya zakat harta
perniagaan. Tidak ada haul tidak ada pula kewajiban zakat.
Syarat ada dua macam :

16
1) Syarat wajib, contohnya nisab zakat sebagai syarat wajib zakat.
2) Syarat sah, contohnya suci dari hadats besar dan kecil (thaharah)
menjadi syarat sah shalat. Untuk lebih jelasnya, bersuci dari hadats
besar dan kecil (thaharah) merupakan syarat sah shalat, maka keadaan
tidak suci dari hadats besar dan kecil (thaharah) menjadikan tidak
sahnya shalat.

Kita dapat mengetahui bahwa secara garis besarnya syarat merupakan


pelengkap bagi sebab atau pelengkap bagi musabab (Razin, 2014).

3) Mani’ (Penghalang)
Mani’ ialah sifat zahir yang pasti yang karena adanya mengharuskan
tidak adanya hukum atau membatalkan sebab hukum. Dari pengertian ini
dapatlah diketahui bahwa mani’itu ada dua macam, yaitu:
1) Mani’ terhadap hukum, dalam hal ini ada dua bagian:
a. Mani’ (halangan) yang membebaskan hukum taklifi. Misalnya orang
gila, sebab orang yang gila bukanlah orang yang mukallaf. Selama
ini ia dalam keadaan gila. Karena itu,ia tidak wajib mengqadha
hukum-hukum taklifi yang tidak dikerjakannya.
b. Mani’ yang membebaskan hukum taklifi, sekalipun masih mungkin
untuk melakukan hukum taklifi. Misalnya seorang wanita yang
sedang menstruasi atau setelah melahirkan bayi maka tidak wajib
shalat, bahkan dilarang shalat selakipun fisik dan mentalnya
memungkinkan orang yang bersangkutan melakukan shalat (Razin,
2014).
2) Mani’ terhadap sebab hukum
Dalam hal ini yaitu mani’ yang mempengaruhi atau menghalangi sebab.
Misalnya seseorang telah berkewajiban membayar zakat akan tetapi ia
mempunyai huntang sampai mengurangi nisab zakat makai ia tidak
wajib membayar zakat karena harta miliknya tidak sampai nisab lagi.
Memiliki harta sampai nisab adalah sebab wajibnya zakat. Dalam hal

17
keadaan ia mempunyai banyak hutang menjadi penghalang terhadap
sebab adanya hukum wajib zakat (Razin, 2014).
Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani' sangat erat. Penghalang itu
ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syari'
menetapkan bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang
ada sebabnya, memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang
(mani') dalam melaksanakannya. Sebaliknya, hukum tidak ada, apabila
sebab dan syarat-syaratnya tidak ada, atau adanya halangan untuk
mengerjakannya.
Sebagai misal, shalat Dhuhur wajib dikerjakan apabila telah tergelincir
matahari (sebab) dan telah berwudhu’ (syarat), Tetapi, karena orang yang
akan mengerjakan itu sedang haid (mani'), maka shalat Dhuhur itu tidak
sah dikerjakan (Prof. Dr. M. Noor Harisudin, 2013).
4) Azimah dan Rukhsah
Azimah adalah hukum-hukum yang disyari’atkan oleh Allah kepada
seluruh Hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hukum sebelum
hukum yang disyari’atkan Allah, sehingga seluruh mukallaf wajib
mengikuti sejak hukum tersebut disyarti’atkan. Imam Al-Badhawi (ahli
ushul syafi’iyah), mengatakan bahwa azimah itu adalah “Hukum yang
ditetapkan tidak berbeda dengan dalil yang ditetapkan karena ada udzur”
(Uman, 2013).. Misalnya, jumlah rakaat shalat Zuhur adalah empat rakaat.
Jumlah raka'at ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya tidak ada
hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat Dhuhur. Hukum tentang
rakaat shalat Dhuhur adalah empat rakaat disebut dengan 'azimah.
Apabila ada dalil lain yang menunjukan bahwa orang-orang tetentu boleh
mengerjakan shalat zuhur dua rakaat, seperti orang musafir, maka hukum
itu disebut sebagai Rukhsah. Dengan demikian, para ahli ushul fiqh
mendefinisikan rukhsah dengan “Hukum yang ditetapkan berbeda dengan
dalil yang ada karena ada udzur syar’i sebagai bentuk keringanan atau
dispensasi dari Allah Swt.”(Prof. Dr. M. Noor Harisudin, 2013).
5) Sah dan batal

18
Sah dan batal adalah sesuatu yang dituntut oleh Allah dari para mukallaf
berupa perbuatan dan apa yang ditetapkan-Nya untuk mereka berupa
syarat dan sebab, apabila mukallaf melaksanakannya terkadang
menghukuminya sah dan terkadang menghukuminya tidak sah, sebab dan
syarat tersebut (Prof. Dr. M. Noor Harisudin, 2013).
Lafal sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di
dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan
sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan
akan mendatangkan pahala di akhirat. Sebaliknya lafal batal dapat
diartikan dapat diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak
menggugurkan kewajiban didunia dan di akhirat tidak memperoleh pahala
(Uman, 2013).
Kalau perbuatan yang dituntut syara’ dikatakan sah, maka orang yang
melaksanakannya dikatakan telah menunaikan tuntutan, lepaslah dari
tanggung jawab, tidak dituntut hukuman, baik di akhirat kelak. Sebalik nya
perbuatan yang tidak memenuhi persyaratan dan rukun serta bertentangan
dengan ketentuan syara’ tidak dapat menghapuskan kewajiban, yang
melakukannya pun dituntut, naik di dunia maupun di akhirat. Para ulama
berpendapat, setiap perbuatan apakah ibadah maupun muamalah bertujuan
untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan diakhirat.
Dalam hal ini termasuk semua macam perjanjian yang mengandung dua
tujuan pokok, yaitu memenuhi tuntutan syara’ dan mencapai mewujudkan
kemaslahatan hidup (Mahmudah et al., 2021).

19
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
A. Pengertian Hukum Syara’
Menurut etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau
“memutuskan”. Menurut terminology ushul fiqh, hukum berarti:
‫ير َأ ِو ْال َوضْ ع‬
ِ ِ‫ضا ِء َأ ِو التَّحْ ي‬
َ ِ‫ق بَِأ ْف َعا ِل ْال ُم َكلَّفِينَ بِا ِال ْقت‬
ُ ِّ‫ِخطَابُ هللاِ ْال ُمتَ َعل‬
Artinya: “Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf,
baik berupa iqtidha (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau
anjuran untuk meninggalkan), Takhyir (kebolehan untuk orang mukalaf
memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wadl (ketentuan yang
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani' (penghalang).”
Hukum syara’ merupakan acuan dalam tindakan manusia tentunya
seorang mukallaf yang beragama Islam yang di tugasi untuk melaksanakan
ibadah kepada Allah Swt sesuai dengan kitab Allah yaitu Al-quran.
B. Unsur-unsur Hukum Syara’
a. Hakim (Pencifta Hukum)
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”.
Dalam kajian Ushul Fiqh. Kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat
hukum syariat secara hakiki. Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang
menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum syariat adalah Allah SWT.

20
b. Mahkum Fih (Objek Hukum)
Mahkum Fih merupakan obyek dari hukum, dimana secara etimologi
mahkum fih artinya suatu perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan
hukum syara’. Sedangkan secara istilah, mahkum fih adalah baik itu
perbuatan atau pekerjaan seorang mukalaf yang dapat dinilai hukumnya.
c. Mahkum Alaih (Subjek Hukum)
Menurut ulama ushul fiqh, mahkum ‘alaih adalah seseorang yang
perbuatanya dikenai khitab Allah Ta’ala yang disebut mukallaf. Secara
etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam ushul fiqh, istilah
mukallaf disebut juga mahkum ‘alaih (subjek hukum). Orang mukalaf
adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum.
C. Pembagian Hukum Syara’
a. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk
melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan
meninggalkan. Secara umum, pendapat ulama bentuk-bentuk hukum ada
lima yaitu:
1) Al-Ijab (Wajib)
2) An-Nadb (Sunah)
3) At-Tahrim (Haram)
4) Al-Karahah (Makruh),
5) Al-Ibahah (Mubah),
b. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah hukum yang berkaitan dengan dua hal, yaitu
sebab yang disebabkan. Adapun pembagian hukum wadh’i terbagi menjadi:
1) Sebab
2) Syarat
3) Mani’
4) Azimah dan Rukhsah
5) Sah dan Bathal

21
B. Saran
Penulis menyadari jika dalam penyusunan dan penulisan makalah ini
masih banyak kesalahan, kekurangan serta jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, untuk memperbaiki makalah ini penulis meminta dan mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca.

DAFTAR PUSAKA

Dr. Hasbiyallah, M. A. (2017). Ushul Fiqh (E. Kuswandi (ed.)). PT. REMAJA ROSDAKARYA.
Ma, F., & Xii, K. (n.d.). Fikih ma peminatan ipa, ips, bahasa dan ma kejuruan kelas xii.
Mahmudah, N., Muhammad Syakir Alkautsar, Fatmawati, M., & Neralis, K. (2021). Hukum
Wadh’I Dalam Sinkronisasinya Dengan Hukum Taklif. El-Ahli : Jurnal Hukum Keluarga
Islam, 1(2), 82–100. https://doi.org/10.56874/el-ahli.v1i2.118
Prof. Dr. Alaidin Koto, M. (2004). Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Raja Grasindo Persada.
Prof. Dr. M. Noor Harisudin, M. F. I. (2013). Pengantar Ilmu Fiqih (M. Dr. KH. Ahmad Imam
Mawardi (ed.)). CV. Salsabila Putra Pratama.
Razin, M. (2014). Ushul Fiqh. STAIN Jurai Siwo Metro Lampung.
Siregar, A. S. (2017). Al-Wadh’i Dan Tekstualnya dalam Al-Qur’an. AL-QADHA Jurnal Islam Dan
Perundang-Undangan, 4, 56.
Syamsarina. (2016). Eksistensi Hukum Wadh’I Dalam Syari’at. Jurusan Syari’ah Dan Ekonomi
Islam SekolahTinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kerinci Al-Qishthu, Vol 14 No, 50.
Uman, C. (2013). Ushul Fiqih. Pustaka Setia.

22
23

Anda mungkin juga menyukai