Anda di halaman 1dari 98

MEMAKNAI KONSEP HUKUM, FIKIH,

SYARIAH, DAN HUKUM ISLAM

MAKALAH
Dipresentasikan dalam Seminar Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Hukum Islam
Program Studi Syariah Hukum Islam

Oleh:
MUHAMMAD
NIM: 80100221149

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Prof. Dr. Kasjim Salenda, M.Th.I.

PROGRAM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

A. Konsep Hukum dan Syariat..........................................................................3

B. Konsep Fikih dan Usul Fikih........................................................................7

BAB III PENUTUP...............................................................................................13

A. Kesimpulan.................................................................................................13

B. Implikasi......................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsekuensi dari kemurnian ajaran Islam adalah disempurnakannya

seluruh aspek yang berkaitan dengannya. Komitmen akan kebenaran tersebut

telah disinggung oleh Allah swt. dalam QS. Al-Maidah/5: 3.

‫يت لَ ُك ُم ٱِإْل ْس ٰلَ َم ِدينًا‬


ُ ‫ض‬ ُ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْم َوَأ ْت َم ْم‬
ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِى َو َر‬ ُ ‫ْٱليَوْ َم َأ ْك َم ْل‬

Terjemahnya:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.1

Termasuk di dalam kesempurnaan yang dimaksud ialah hukum yang

menyangkut setiap pengikut ajaran mulia ini. Tujuan pembuatan, penetapan, dan

pembebanan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup bagi

umatnya, sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS. an-Nahl/16: 90.

‫ِإ َّن ٱهَّلل َ يَْأ ُم ُر بِ ْٱل َع ْد ِل َوٱِإْل حْ ٰ َس ِن َوِإيتَٓاِئ ِذى ْٱلقُرْ بَ ٰى َويَ ْنهَ ٰى َع ِن ْٱلفَحْ َشٓا ِء َو ْٱل ُمن َك ِر‬
َ‫َو ْٱلبَ ْغ ِى ۚ يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُون‬

Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberikan bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan)
perbuatan keji, kemunkaran, dan permusuhan. Dia memberikan pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. 2
1
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an & Terjemah (Jakarta Timur: Penerbit Ummul Qura,
2019), h. 53
2
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an & Terjemah, h. 123
4

Namun yang menjadi persoalan dikemudian hari, tidak semua persoalan

dibahas secara terperinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah dikarenakan perbedaan

antara adat dan budaya yang dimiliki oleh bangsa-bangsa dan juga pada persoalan

berkembangnya zaman dari waktu ke waktu. Dari situ kemudian diperlukan suatu

kajian untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berkambang sebagai sumber

pedoman dan panduan hukum bagi umat manusia utamanya umat Islam itu

sendiri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti menarik beberapa rumusan

masalah dalam makalah ini, yaitu:

1. Bagaimana konsep hukum dan syariah?

2. Bagaimana fikih dan uṣūl al-fiqh?


5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Hukum dan Syariat

1. Hukum

Saat berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam

pikiran peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku

manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan

yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma

yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya

mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga

berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum barat.

Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855)

berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum

yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri

dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum perundang-undangan (barat),

yang diatur hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia lain dan benda

dalam masyarakat.1

Hukum secara bahasa adalah berarti ‫ المنع‬yaitu mencegah atau menahan.

Dalam peradilan “ḥukm” kadang pula disebutkan sebagai pelarangan terhadap

sesuatu selain apa-apa yang telah diputuskan dalamnya. Adapun secara istilah,

hukum ialah:

1
Nurhayati, “Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum dan Ushul FIkih”, Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah 2, no. 2 (2018), h. 129.
6

‫إثبات أمر ألمر أو نفيه عنه‬2

Artinya:
Menetapkan sebuah perkara untuk perkara yang lain, atau menafikan
sebuah perkara dari perkara itu.

Definisi di atas merupakan arti hukum secara umum karena hukum secara

penelitian itu dapat terbagi menjadi tiga:3

a. Ḥukmu ‘Aqly; yaitu apa-apa diketahui oleh akal di dalamnya memutuskan

sebuah perkara untuk perkara yang lain, atau menafikan sebuah perkara dari

perkara itu. Seperti: keseluruhan lebih besar dari sebagian, dan sebagian tidak

lebih besar dari keseluruhan.

b. Ḥukmu ‘Ādy; yaitu sebuah hukum yang diketahui dengan adat kebiasaan.

Seperti: Air minum mengenyangkan dahaga.

c. Ḥukmu Syar’i; dan inilah yang dimaksud dari pembahasan hukum di sini

yang didifinisikan oleh para ulama dengan:

4
‫خطاب هللا المتعلق بالمكلف من حيث إنه مكلف به‬

Artinya:
Ucapan/perintah dari Allah yang berkaitan dengan mukallaf dari sisi orang
yang dibebani hukum tersebut.

2. Syariah

Secara etimologi (bahasa), syariah berarti jalan ke tempat pengairan atau

tempat aliran air disungai. Kata Syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an

yang mengandung arti jalan jelas yang membawa kepada kemenangan. Dalam
2
Muḥammad bin Ḥusaīn bin Ḥasan al-Jaīzāny, “Ma’ālim Usūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu al-
Sunnah wa al-Jamā’ah”, (Cet. VII; Dammām: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’ūdiyyah, 1429
H), h. 286
3
Muḥammad bin Ḥusaīn bin Ḥasan al-Jaīzāny, “Ma’ālim Usūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu al-
Sunnah wa al-Jamā’ah”, , h. 286
4
Muḥammad bin Ḥusaīn bin Ḥasan al-Jaīzāny, “Ma’ālim Usūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu al-
Sunnah wa al-Jamā’ah”, , h. 286
7

pengertian ini dapat disebut juga bahwa agama yang ditetapkan untuk manusia

disebut syariah. Bentuk kesamaan syariat Islam dengan jalan air adalah siapa yang

mengikuti syariat, ia akan bersih jiwanya. Allah menjadikan air penyebab

kehidupan berbagai makhluk, sebagaimana menjadikan Syariah sebagai penyebab

kehidupan yang insani.5

Menurut istilah, syariat adalah segala khiṭāb allah yang berhubungan

dengan tindak tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang diatur

tersendiri. Dengan demikian, syariat itu adalah nama bagi hukum-hukum yang

bersifat amaliah. Hasbi Al-Syiddiqy memberi arti bahwa syariat adalah hukum-

hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan allah untuk hambanya agar diikuti

dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia.

Istilah dalam konteks hukum islam lebih menggambarkan kumpulan

norma yang merupakan hasil dari proses tasyri’. Menurut Jamaluddin di dalam

buku pembaruan hukum islam di Indonesia, kata tasyri’ merupakan bentuk

mashdar dari kata syaira’a, yang berarti menciptakan dan menetapkan Syariah.

Bila syariah itu merupakan kata aturan yang ditetapkan Allah yang menyangkut

tindak tanduk manusia, maka tasyri’ adalah penetapan hukum dan tata aturan

tersebut. Pengetahuan tentang tasyri’ adalah pengetahuan tentang cara, proses,

dasar dan tujuan Allah menetapkan hukum bagi tindak tunduk manusia dalam

kehidupan keagaman dan keduniaan mereka. Adapun pengetahuan syriah adalah

pengetahuan tentang hakikat dan rahasia dari hukum-hukum syara’ yang telah

ditetapkan oleh Allah swt.

5
Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: angkasa Raya;
1993), h. 11
8

Mahmoud syaltut mengartikan syariah adalah ketentuan-ketentuan yang

ditetapkan allah, atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut untuk

dijadikan pegangan oleh umat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,

dengan umat manusia lainnya, orang Islam dengan non-Islam, dengan alam

maupun dalam menata kehidupan ini. Pengertian yang dikemukakan Mahmoud

Syaltut ini relative lebih akomodati, karena dapat mewakili dua jenis syariah,

yaitu ketentuan-ketentuan yang diturunkan serta dikeluarkan oleh Allah dan

Rasul-Nya, juga norma-norma hukum hasil kajian para ulama mujtahid, baik

melalui qiyas maupun melalui maslahah.6

Melihat definisi syariah sebagaimana tersebut, syariah dalam konotasi

hukum Islam terbagi kepada dua macam, yaitu syariah ilahi atau dikenal juga

dengan istilah tasyri’ samawi dan syari’ah wadh’i atau dikenal juga dengan istilah

tasyri’ waḍ’i. Syariah ilahi (tasyri’ samawi) adalah ketentuan-ketentuan hukum

yang langsung dinyatakan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah.

Norma-norma hukum tersebut berlaku secara universal untuk semua waktu dan

tempat, tidak bisa berubah karena tidak ada yang kompeten untuk mengubahnya.

Adapun yang dimaksud dengan syari’ah wadh’i adalah ketentuan hukum yang

dilakukan para mujtahid. Kajian hukum para mujtahid ini tidak memiliki sifat

keabadian dan bisa berubah sesuai dengan kondisi tempat dan waktu. Hasil kajian

mujtahid ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman keilmuan mereka dan juga

sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan dinamika kultur ke masyarakatnya.

Produk pemikiran yang termasuk dalam syari’ah wadh’i ini tetap diakui sebagai

6
Abdul Mannan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Depok: PT Fajar Interpratama
Mandiri; 2017), h. 28
9

syariah jika hal-hal yang dikaji itu merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah, baik

melalui qiyas maupun maslahah.

B. Konsep Fikih dan Usul Fikih

Secara umum, fikih dan usul fikih merupakan suatu kesatuan yang tidak

dapat dipisahkan. Usul merupakan kajian tersendiri yang melibatkan fikih, dan

fikih adalah objek yang sama dengan usul. Fikih secara bahasa bermakna paham

atau mengerti tentang sesuatu.1 Penggunaan kata fikih dengan pengertian

"paham", juga disebutkan dalam QS. al-Taubah/9: 122.

ْ ‫َو َما َكانَ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ لِيَنفِر‬


ْ ‫ُوا َكٓافَّ ۚة فَلَ ۡواَل نَفَ َر ِمن ُك ِّل فِ ۡرقَة ِّم ۡنهُمۡ طَٓاِئفَةً لِّيَتَفَقَّه‬
‫ُوا فِي‬

َ‫ُوا قَ ۡو َمهُمۡ ِإ َذا َر َجع ُٓو ْا ِإلَ ۡي ِهمۡ لَ َعلَّهُمۡ يَ ۡح َذرُون‬


ْ ‫ِّين َولِيُن ِذر‬
ِ ‫ٱلد‬

Artinya:
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan
perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak
pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka
dapat menjaga dirinya.2

Juga dinukilkan dari perkataan Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan

oleh Ibnu ‘Abbas, disebutkan:

‫من يرد هللا به خيرا يفقهه في الدين‬


Artinya:
Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah sebagai orang yang baik, maka
Allah akan menjadikan orang tersebut paham tentang ajaran agama.

1
Abu Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam, Cet. Ke-27 (Beirut : Dar
alMasyriq, 1987), hlm. 591
2
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an & Terjemah, h. 123
10

Kalau dihubungakan dengan kata ilmu, maka pengertian dapat dirumuskan

yaitu, ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-

norma hukum dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an dan ketentuan-ketentuan

umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalm kitab-kitab hadis.

Dengan kata lain ilmu fikih adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-

hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw.

untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya

yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam. Hasil pemahaman tentang hukum

Islam itu disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fikih dan disebut hukum

fikih.

Al-Ghazali berpendapat bahwa secara literal, fikih (fiqh) bermakna al-‘Ilm

wa al-Fahm (ilmu dan pemahaman). Juga secara literal, fikih dapat bermakna

pemahaman (al-fahm). Sementara itu, secara istilah, para ulama mendefinisikan

fikih sebagai berikut:

3
‫العلم باألحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية‬
Artinya:
Ilmu tentang hukum syara` tentang perbuatan manusia (amaliah) yang
diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat digaris bawahi bahwa fikih

bukanlah hukum syara' itu sendiri, tetapi interpretasi terhadap hukum syara'.

Fikih hanya merupakan interpretasi yang bersifat ẓannī (dugaan) yang senantiasa

berubah seiring perkembangan zaman, waktu, dan tempat. Adapun hakikat fikih

juga dapat dipahami sebagai:


3
Muḥammad bin Ḥusaīn bin Ḥasan al-Jaīzāny, “Ma’ālim Usūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu al-
Sunnah wa al-Jamā’ah”, h. 22
11

1. Fikih adalah ilmu yang menerangkan hukum syara dari setiap pekerjaan

mukallaf, baik yang wajib, haram, makruh, mandub dan mubah.

2. Objek kajian fikih adalah hal-hal yang bersifat amaliah, karena itu masalah

akidah tidak termasuk dalam kajian fikih.

3. Pengetahuan hukum Syariah itu didasarkan kepada dalil tafsili

4. Fikih itu digali dan ditemukan melalui penalaran tan ta’āmul yang

diistinbatkan dari ijtihad.

Sedangkan kata “uṣūl fiqh” terdiri dari dua kata, yaitu “uṣūl” dan “al-fiqh”

yang dipakai menjadi nama sesuatu tertentu dan kata-kata tersebut tidak terlepas

dari makna dasar setiap kata sebelum disatukan menjadi nama sesuatu tertentu

itu.4 Dilihat dari sudut tata bahasa Arab, rangkaian kata uṣūl dan fikih tersebut

dinamakan tarkīb iḍāfī, sehingga dua kata itu memberi pengertian uṣūl bagi fikih,

uṣūl (‫ )أصول‬adalah bentuk jamak dari kata aṣl (‫ )اصو‬yang menurut bahasa

diartikan dengan dasar suatu bangunan atau tempat suatu bangunan.5 Aṣl berarti

dasar, seperti dalam kalimat “Islam didirikan atas lima uṣūl (dasar atau fondasi)”.

Masih banyak pengertian yang dapat diambil dari kata aṣl seperti cabang yang

kuat, fondasi suatu bangunan dan seterusnya. Jadi uṣūl fikih berarti sesuatu yang

dijadikan dasar bagi fikih. Akan tetapi pengertian yang lazim digunakan dalam

ilmu usul fikih adalah dalil, yang berarti usul fikih adalah dalil-dalil bagi fikih.

Sedang menurut istilah, aṣl dapat berarti dalil (landasan hukum), seperti dalam

ungkapan “aṣl dari wajibnya salat adalah firman Allah dan sunnah Rasul”.

4
Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut : Dar
alKutub al-Arabi, 1404 H.) h. 9
5
Muhammad Abu Zahrah, Malik Hayatuh wa `Ara`uh wa Fiqhuh, (Kairo: Dar al-Fikr al-
`Araby, tt.), h. 7
12

Maksudnya ialah bahwa dalil yang menyatakan salat itu wajib adalah ayat Al-

Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Berdasarkan pengertian tiga kata (ilmu uṣūl fiqh) di atas, maka

pengertiannya sebagai rangkaian kata adalah mengetahui dalil-dalil bagi hukum

syara’ mengenai perbuatan dan aturan-aturan untuk pengambilan hukum-hukum

dari dalil-dalil yang terperinci. Maka dapat diambil pengertian uṣūl fiqh sebagai

berikut:

6
‫ وحال المستفيد‬،‫ وكيفية االستفادة منها‬،ً‫معرفة أدلة الفقه إجماال‬
Artinya:
Mengetahui dalil-dalil fiqih secara ijmal, cara memanfaatkan dalil tersebut,
dan keadaan orang yang memanfaatkan dalil.

Melalui istilah uṣūl al-fiqh di atas, maka dapat dipahami bahwa tujuan

utama dari uṣūl al-fiqh adalah untuk mendapatkan tiga pokok penting, yaitu dalil,

cara pengambilan dalil (istinbāṭ), dan mujtahid selaku orang yang mengambil

langkah-langkah ijtihad.7

Lalu kemudian dari uraian di atas terlihat perbedaan yang nyata antara

ilmu fikih dan ilmu uṣūl al-fiqh. Kalau ilmu fikih berbicara tentang hukum dari

sesuatu perbuatan, maka ilmu uṣūl al-fiqh bicara tentang metode dan proses

bagaimana menemukan hukum itu sendiri. Atau dilihat dari sudut aplikasinya,

fikih akan menjawab pertanyaan “apa hukum dari suatu perbuatan”, dan uṣūl al-

fiqh akan menjawab pertanyaan “bagaimana proses atau cara menemukan hukum

yang digunakan sebagai jawaban permasalahan yang dipertanyakan tersebut”.


6
Muḥammad bin Ḥusaīn bin Ḥasan al-Jaīzāny, “Ma’ālim Usūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu al-
Sunnah wa al-Jamā’ah”, h. 21
7
Muḥammad bin Ḥusaīn bin Ḥasan al-Jaīzāny, “Ma’ālim Usūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu al-
Sunnah wa al-Jamā’ah”, h. 21
13

Oleh karena itu, fikih lebih bercorak produk sedangkan uṣūl al-fiqh lebih

bermakna metodologis. Dan oleh sebab itu, fikih terlihat sebagai koleksi produk

hukum, sedangkan uṣūl al-fiqh merupakan koleksi metodis yang sangat

diperlukan untuk memproduk hukum.8

Untuk mengetahui perbedaan mendasar antara uṣūl al-fiqh dengan fikih,

maka terlebih dahulu dikemukakan ruang lingkup fikih. Adapun ruang lingkup

pembahasan fikih meliputi semua perbuatan mukallaf, yakni perbuatan-perbuatan

yang menyangkut hubungannya dengan Tuhan, dengan keluarga dengan

masyarakat dan negara, baik berupa ketaatan maupun pelanggaran. Untuk

menetapkan hukum perbuatan mukallaf tersebut, baik menyangkut ibadah,

mu’amalah, munakahat maupun jinayah, ulama fikih menyesuaikan atau

mengembalikannya kepada hukum kullī yang ditetapkan oleh uṣūl al-fiqh. Begitu

juga dalil yang digunakan oleh ulama fikih sebagai dalil juz`ī, harus disesuaikan

dengan dalil-dalil yang dibuat oleh ulama uṣūl al-fiqh.9

Dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup uṣūl al-fiqh adalah sumber-

sumber atau dalil-dalil hukum, jenis-jenis hukum, cara istinbat hukum dan ijtihad

dengan berbagai permasalahannya. Dalam kaitan ini uṣūl al-fiqh membahas dalil

kullī yang menghasilkan hukum kullī. Sedang fikih, ruang lingkupnya adalah

semua perbuatan mukallaf dari segi hukum syara’. Dalam hubungan ini fikih

membahas dalil juz`i yang menghasilkan hukum juz`i. Cukup jelas bahwa uṣūl al-

fiqh menjadi dasar hukum fikih.


8
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah Pengantar), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 4-5.
9
M.Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: P.T. Bina Ilmu,
1990), h. 3
14

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari makalah ini antara lain:

1. Hukum secara bahasa adalah berarti ‫ المنع‬yaitu mencegah atau menahan.

Dalam peradilan “ḥukm” kadang pula disebutkan sebagai pelarangan

terhadap sesuatu selain apa-apa yang telah diputuskan dalamnya. Hukum

ialah menetapkan sebuah perkara untuk perkara yang lain, atau menafikan

sebuah perkara dari perkara itu. Kemudian di antara macam-macam

hukum, terdapat hukum syar’i yaitu yang berarti Ucapan/perintah dari

Allah yang berkaitan dengan mukallaf dari sisi orang yang dibebani

hukum tersebut.

2. Ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan

norma-norma hukum dasar yang terdapat dalam Al-Qur’an dan ketentuan-

ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalm

kitab-kitab hadis. Menurut para ulama fikih adalah Ilmu tentang hukum

syara` tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-

dalilnya yang terperinci. Sedangkan uṣūl al-fiqh merupakan langkah untuk

mengetahui suatu hukum. Para ulama mengartikan uṣūl al-fiqh sebagai

Mengetahui dalil-dalil fiqih secara ijmal, cara memanfaatkan dalil tersebut,

dan keadaan orang yang memanfaatkan dalil.


15

B. Implikasi

Implikasi dari makalah ini adalah:

1. Mengetahui tentang proses terjadinya hukum dalam Islam

2. Menjadikan syariat Islam sebagai rujukan dalam semua persoalan hidup yang

dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mannan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Depok: PT Fajar


Interpratama Mandiri; 2017) h. 28

Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut
: Dar alKutub al-Arabi, 1404 H.) h. 9

Abu Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam, Cet. Ke-27 (Beirut : Dar
alMasyriq, 1987), hlm. 591

Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah Pengantar), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 4-5.

Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: angkasa


Raya; 1993), h. 11

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an & Terjemah. Jakarta Timur: Penerbit Ummul
Qura, 2019.

M.Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: P.T. Bina
Ilmu, 1990), h. 3

Muhammad Abu Zahrah, Malik Hayatuh wa `Ara`uh wa Fiqhuh, (Kairo: Dar al-
Fikr al-`Araby, tt.), h. 7

Muḥammad bin Ḥusaīn bin Ḥasan al-Jaīzāny, “Ma’ālim Usūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu
al-Sunnah wa al-Jamā’ah”, (Cet. VII; Dammām: al-Mamlakah
al-‘Arabiyyah al-Su’ūdiyyah, 1429 H), h. 286

Nurhayati, “Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum dan Ushul FIkih”, Jurnal
Hukum Ekonomi Syariah 2, no. 2 (2018), h. 129.
MENELUSURI KONSEP AHL AL-HADI>S\ DAN AHL AL-RA’YI

MAKALAH

Sejarah Pemikiran Hukum Islam

Oleh:

Ali Imran Sabalino


NIM : 80100221151

Dosen Pengampu

Prof. Dr. H. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.

Prof. Dr. Kasjim Salenda, M.Th.I.

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDINMAKASSAR

2022

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakng Masalah

Islam merupakan agama yang sempurna, Islam sangat memahami bahwa

manusia merupakan makhluk sosial dinamis yang selalu melakukan inovasi

dan menciptakan perubahan serta perkembangan dalam segala aspek

kehidupan di sekitarnya. Semua hal yang berhubungan dengan kemajuan dan

perkembangan kehidupan manusia tersebut tidaklah terlepas dari hasil

pemikirannya. Karena manusia dikarunia oleh Allah swt. berupa kecerdasan

akal yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya, dengan kalebihan ini manusia

menjadi makhluk yang paling istimewa di muka bumi, karena dengan adanya

potensi akal yang di miliki, manusia bisa terus mengembangkan ide,

melakukan berbagai inovasi, dan kreasi.1

Suatu pemikiran dan aliran hukum yang berkembang di suatu masa

tidaklah bisa dikatakan berdiri sendiri tanpa dihubungkan dengan masa

sebelumnya karena masa sekarang ini sangatlah berkaitan erat dengan proses

sejarah dan keadaan sosio-kultural tempat dimana aliran-aliran tersebut dilahirkan.

Berbagai aliran-aliran hukum Islam yang berkembang yang kemudian membentuk

mazhab yang tersistematiskan itu memiliki hubungan erat dengan aliran yang

berkembang sebelumnya.2

Choiri, Muttaqin, Posisi Ra’yu dalam Pembentukan Hukum Islam, Al-Adalah, Vol. XII,
1

no. 4, (April 2015), h. 1-2.

2
Amir Syarifuddin, Usul Fikih, Jilid 2, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 247.
Dalam perkembangannya, terdapat dua aliran dalam mengistinbatkan

hukum Islam yaitu ahl al-Hadi>s\ dan ahl al-Ra’yi. Hal ini dipengaruhi oleh oleh

guru, sosial-kultur, geografis dan lain sebagainya. Ahl al-Hadi>s\ sendiri

merupakan kelompok sahabat yang sangat berpedoman terhadap sunah Rasul.

Kemudian kelompok yang kedua lebih mendasarkan pada persoalan yang akan

datang kemudian serta juga didasarkan pada pemikiran maupun ijtihad dikenal

dengan ahl al-Ra’yi.3 Dalam tulisan ini, akan menguraikan dinamika dua aliran itu

di dalam sejarah pembentukan hukum Islam dan kontribusinya bagi pembentukan

hukum Islam.

B. Rumusan Masalah

Dalam penulisan makalah ini penulis mengangkat beberapa sub masalah,

sebagai berikut:

1. Apa pengertian ahl al-Hadi>s\ dan ahl al-Ra’yi

2. Bagaimana latar belakang lahir dan berkembangnya ahl al-Hadi>s\

dan ahl al-Ra’yi

3. Bagaimana pengaruh ahl al-Hadi>s\ dan ahl al-Ra’yi terhadap hukum

Islam

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahl al-Hadi>S\ dan Ahl al-Ra’yi

3
Choiri, Muttaqin, Posisi Ra’yu dalam Pembentukan Hukum Islam, Al-Adalah, h. 5.
1. Pengertian ahl al-Hadi>s\

Secara bahasa ahl al-Hadi>s\ adalah mereka yang mempunyai

perhatian terhadap hadis baik riwayat maupun dirayah. Sedangkan

menurut istilah ahl al-Hadi>s\ adalah mereka yang bersungguh-sungguh

dalam mempelajari hadis-hadis Nabi saw. dan menyampaikannya serta

mengamalkannya, tidak mendahulukan akal dibanding al-Qur’an dan

sunah .4

2. Pengertian ahl al-Ra’yi

Secara bahasa al-Ra’yu memiliki arti pendapat dan pertimbangan,

bisa juga berarti mengetahui dengan keyakinan hati. Akan tetapi, yang

paling lazim adalah makna awalnya, al-Ra’yu digunakan untuk

menyebutkan pertimbangan yang matang dari akal manusia. Oleh karena

itu, tradisi arab menyebut zu> ra’yi bagi orang-orang yang mempunyai

pertimbangan dan kematangan mental.5 Secara istilah adalah mereka para

fukaha yang dalam metode ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode

berfikir sahabat Umar bin Khattab dan Abdullah bin Mas’ud yang

keduanya terkenal banyak menggunakan al-Ra’yu dalam menetapkan

hukum Islam.6

Secara umum, yang dimaksud dengan istilah ahl al-Ra’yi adalah

aliran ijtihad yang berpandangan bahwa hukum syara merupakan sesuatu

4
Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh Maza>hib al-Islamiyyah, Jilid 2, (t.tp: Da>r al-Fikr
al-‘Arabi>, t.th), h. 30.
5
Muhammad Rawwa>s Qal’a>Ji>, Mu’jam Lugah al-Fuqaha>, (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-
Nafa>is, 1985 M/1404 H), h. 94.
6
Manna> al-Qatta>n, al-Tasyri>’ wa al-Fiqh al-Islami> Ta>ri>khan wa Minha>jan,
(Cet. III; t.tp: Maktabah Wahbah, 1984 M/1404 H), h. 205.
yang dapat ditelaah esensi-esensi yang mendasari ketentuan-ketentuan

doktrinnya yang mengacu pada kemaslahatan kehidupan manusia. Dalam

hal ini, para mujtahid berusaha mengkaji illat pada setiap hukum sehingga

dalam menetapkan hukum mereka dapat leluasa demi kemaslahatan

masyarakat secara umum.

B. Latar Belakang Lahir dan Berkembangnya Ahl al-Hadi>S\ dan Ahl al-

Ra’yi

1. Sejarah kemunculan ahl al-Hadi>s\ dan ahl al-Ra’yi

Perkembangan Ilmu pengetahuan yang begitu pesat pada masa

Abbasiyyah telah berhasil mempengaruhi cara berfikir masyarakat Islam

saat itu dengan timbulnya keberanian-keberanian menentang cara-cara

berfikir lama.7 Akibat adanya kemajuan-kemajuan di bidang ilmu

pengetahuan dan filsafat yang dialami pada masa pemerintahan

Abbasiyyah, maka itu telah berhasil memberikan pengaruh yang besar

pula kemajuan-kemajuan dalam bidang-bidang lain, termasuk di dalamnya

bidang pemikiran hukum Islam. Kristalisasi yang berkembang saat itu

mengambil dua bentuk mazhab kedaerahan yang paling popular, yaitu

mazhab ahl al-Ra’yi dan mazhab ahl al-Hadi>s\. Mazhab ahl al-Hadi>s\

tumbuh dan berkembang di daerah Madinah. Imam Syafi’i menamakan

kedua kelompok tersebut dengan istilah ahl al-Hadi>s\ dan ahl al-

Qiy>as.8

7
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, (Cet. V: Jakarta: UI Press,
1985), h. 70.
8
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; bandung: Mizan,
1996), h. 127.
Kedua mazhab itu timbul ke permukaan menurut keterangan

Ahmad Amin terjadi pada akir masa kekuasaan Bani Umayyah dan masuk

ke awal pemerintahan Bani Abbas.9 Mazhab ahl al-Hadi>s\

diproklamirkan oleh orang-orang Hijaz dan Madinah dengan pemuka

pimpinannya orang paling terkenal Malik ibn Anas, sedangkan Mazhab

ahl al-Ra’yi diperkenalkan leh orang-orang Irak. Mazhab ini secara kusus

berkembang pesat di daerah kufah dengan pemuka pemimpinnya yang

paling terkenal Abu Hanifah.10

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi ulama Hijaz menjadi ahl al-

Hadi>s\\\

Ada beberapa faktor yang melatar belakangi sehingga ulama Hijaz,

menjadi penganut mazhab ahl al-Hadi>s\\\, berikut disebutkan secara

ringkas:11

a. Mereka terpengaruh oleh jalan pikiran guru mereka yang terlalu sangat

berpegang pada nas-nas dan sangat teliti dalam menggunakan ijtihad bi al-

Ra’yi. misalnya Ibnu Abbas, Zubair, Abdullah bin Umar bin Khattab, dan

Abdullah bin Amr bin Ash.

b. Mereka banyak menghafal hadis-hadis Nabi muhammad saw. dan fatwa

sahabat, serta masa itu sedikit terjadi peristiwa baru yang tidak terdapat

bandingannya di masa sahabat.

9
Ahmad Amin, Duha> al-Islam, Jilid II,(Cet. V; Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyyah,
t.th), h. 151.
10
Hasbi al-Sidiqi, Pengantar Ilmu Fikih, (Jakarta: Bulan Bintang 1993), h. 55.
11
Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh Maza>hib al-Isla>miyyah, Jilid 2, (t.tp: Da>r al-
Fikr al-‘Arabi>, t.th), h. 25-26
c. Mereka hidup dalam keadaan permulaan perkembangan Islam, dimana pada

saat itu mereka diminta berfatwa tentang suatu masalah, maka terlebih dahulu

mereka memeriksa kitabullah, kemudian hadis Nabi saw. kemudian fatwa

sahabat. Mereka baru menggunakan al-Ra’yu jika tidak ditetapkan hukumnya

dalam al-Qur’an dan hadis.

d. Terpencarnya domisili para ulama di berbagai kota pusat pemerintahan

(Madinah). Faktor inilah yang menyebabkan munculnya dua aliran fikih yang

berbeda, yaitu ahl al-Hadi>s\\\ yang mengutamakan hadis daripada akal,

sedangkan ahl al-Ra’yi yang menolak hadis jika dinilainya hadis tersebut tidak

kuat (daif).

3. Faktor penyebab ulama Irak menjadi ahl al-Ra’yi

Ada beberapa faktor yang melatar belakangi sehingga ulama Irak,

menjadi penanut mazhab ahl al-Ra’yi, berikut disebutkan secara ringkas:12

a. Terpengaruh sudut pandang guru mereka, yakni para sahabat seperti Abdullah

bin Mas’ud yang sangat terkenal terpengaruh oleh sudut pandang Umar bin

Khattab.

b. Di Irak merupakan tempat banyak terjadinya dan ditemukan hadis-hadis palsu,

karena di sana memang tempat basis masa Syiah dan Khawarij. Para ahli fikih

Irak sudah menyaksikkan aksi pemalsuan hadis. oleh karena itu, para ahli fikih

Irak sangatlah ketat dan berhati-hati dalam menerima suatu hadis dan hadis

yang diterima itu biasanya yang benar-benar sudah populer di kalangan ahli

fikih saja.

12
Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh Maza>hib al-Isla>miyyah, h. 30-31
c. Situasi kondisi di Irak berbeda dengan di Hijaz yang, lebih cenderung

menggunakan analisis rasional ketika menetapkan suatu persoalan.

d. Karena faktor lingkungan hidup yang berbeda. Irak pernah lama dikuasai

bangsa Persia, hal tersebut juga yang bisa mempengaruhi hubungan adat

kebiasaan orang Irak, yang sama sekali tidak dikenal di Hijaz. Faktor tersebut,

juga pada gilirannya mempengaruhi sudut pandang para Imam mazhab dalam

menetapkan suatu hukum.

4. Metode istinbat hukum ahl al-Hadi>s\

Dalam mengisthinbatkan suatu hukum syar’i, ahl al-Hadi>s\

membuat patokan terlebih dahulu, kepada nas, (kitabullah dan sunnah

mutawatir), zahir nas, dalil nas (mafhu>m mukha>lafah), amalan

(perbuatan ahl al-Madinah), khabar ahad, ijmak, fatwa salah seorang

sahabat, qiyas, istihsan, saddu zara’i, mura’ah al-Khilaf (menghormati

perbedaan pendapat), istishab, maslahah mursalah, serta syariah sebelum

Islam.13

Di antara patokan-patokan tersebut, yang tidak ditempuh oleh

mujtahid lain adalah :14

a. Ahl al-Hadi>s\ membuat syarat yang berat untuk menerima sebuah hadis. Ahl

al-Hadi>s\ dapat menerima khabar ahad walaupun berlawanan dengan qiyas

atau amal perbuatan perawi asalkan sanadnya sahih atau hasan.

13
Djoko Hartono, Pengembangan Ilmu Agama Islam dalam Perpektif Filsafat Ilmu (Studi
Islam di Era Kontemporer), (Surabaya: MQA Surabaya, 2015), h. 35-36.
14
Manna> al-Qatta>n, al-Tasyri>’ wa al-Fiqh al-Islami> Ta>ri>khan wa minha>jan,
(Cet. III; t.tp: Maktabah Wahbah, 1984 M/1404 H) h. 205-207.
b. Imam Malik memandang bahwa amal perbuatan ahl al-Hadi>s\ ialah hujjah,

yang bisa dijadikan dalil. Bahwa ia mendahulukannya atas qiyas dan khabar

ahad. Hal ini, karena menurut beliau, amal perbuatan masyarakat Madinah

menduduki riwayat orang banyak atau berjamaah.

c. Ahl al-Hadi>s\ memandang qaulu s}aha>bi (fatwa seorang sahabat)

didahulukan atas qiyas, bukan hanya dapat dijadikan dalil saja. Hal ini berlaku

untuk qaulu s}aha>bi yang sah sanadnya, sahabat tersebut terkenal dari

kalangan sahabat, dan fatwa yang disampaikan tidak bertentangan dengan

sunah rasulullah saw. yang sahih.

d. Maslahah mursalah merupakan sifat yang diduga dapat membawa maslahat

bagi umat. Namun ketegasan dari al-Qur'an tidak ada untuk menerima atau

menolak maslahah mursalah. Sehingga mursalah ini diartikan dengan terlepas.

5. Metode istinbat hukum ahl al-Ra’yi

Dalam mengistinbatkan hukum syara, ahl al-Ra’yi mengambil

patokan sebagai berikut:15

a. Tentang al-Qur’an

1) Qiraat syaz (bacaan al-Qur’an yang tidak mutawatir adalah hujjah),

yaitu dapat dijadikan dalil.

2) Dalalah lafaz ‘a>m (umum) statusnya qat’i, selama belum

ditakhsiskan.

3) Larangan (al-Nahyu) tidak mengakibatkan batalnya pekerjaan yang

dilarang.

15
Manna al-Qatta>n, al-Tasyri>’ wa al-Fiqh al-Islami> Ta>ri>khan wa minha>jan, h.
210-212.
4) Mafhum mukhalafah tidak dipandang sebagai hujjah.

5) Mutlaq dan muqayyad yang berbeda sebab hukumnya, masing-masing

mempunyai dalalah tersendiri.

b. Sunah dianggap hujjah manakala

1) Diriwayatkan oleh jamaah (orang banyak) dari jamaah (mutawatir),

2) Diriwayatkan oleh seorang sahabat dihadapan sekelompok sahabat,

dan tidak seorangpun dari kalangan mereka mereka yang

menyanggahnya. Kenyataan seperti ini dipandang sebagai pembenaran

mereka yang seolah-olah mereka turut meriwayatkan hadis tersebut.

3) Khabar ahad (hadis yang diriwayatkan oleh seorang) dapat dipandang

sebagai hujjah jika rawinya seorang ahli fikih.

4) Memandang istihsan sebagai salah satu dalil yang mu’tabar setelah al-

Qur’an, sunah, ijmak, dan qiyas.

C. Pengaruh Ahl al-Hadi>S\ dan Ahl al-Ra’yi Terhadap Hukum Islam

1. Pengaruh madrasah ahl al-Hadi>s\ terhadap hukum Islam

Madrasah ahl al-Hadi>s\ memegang kajian hadis dan mengumpulkannya,

namun menjadi sebab yang tidak langsung timbulnya hadis-hadis palsu.

penyebabnya ialah karena para pemuka ahl al-Hadi>s\ ini, tidak memecahkan

persoalan yang tidak ada nas-nya (hadisnya), maka sebagian masyarakat yang

tidak merasa keberatan membuat hadis palsu, dengan tujuan untuk menguatkan

pendapatnya. Akan tetapi hal seperti itu tidak mempengaruhi fikih sama sekali
dikarenakan para ulama ahl al-Hadi>s\ sangat meneliti mana hadis yang sahih

dan mana yang tidak sahih (palsu).16

Adanya faktor sosio kultural yang mempengaruhi, ahl al-Hadi>s\ sangat

berpegang pada tradisi yang ada dan berkembang dalam masyarakat Madinah. Hal

ini tergambar dari sikap yang menolak periwayatan hadis yang dinisbahkan

kepada Nabi Muhammad saw. yang dinilainya tidaklah sahih, karena bertentangan

dengan adat tradisi masyarakat Madinah. Ia juga mengritik periwayatan hadis

yang bertentangan dengan nas al-Qur’an. Misalnya, ia menolak hadis-hadis yang

menjelaskan tentang membasuh tujuh kali bekas jilatan anjing, adanya khiyar

majlis.17

Dalam melakukan ijtihad, Imam Malik sangat banyak menggunakan hadis

dibandingkan dengan Imam Hanafi. Hal ini dikarenakan kota Madinah menjadi

tempat tinggal Imam Malik yang juga menjadi tempat tinggal Rasulullah saw.

sehingga tidaklah mengherankan jika dalam masyarakat Madinah banyak beredar

hadis. Imam Malik sendiri memiliki kitab hadis yang terkenal dengan nama kitab

al-Muwatta.18

Perbedaan antara ahl al-Hadi>s\ dan ahl al-Ra’yi adalah cara menerima

dan menyikapi suatu hadis. sebagian ada yang berhujjah dengan suatu hadis,

sebagian lagi tidak melakukan hujjah. Sebagian memandang bahwa hadis tersebut

kualitasnya kuat dan dan bagus, sebagian lainnya menganggapnya lemah.

Abdurrahman Dahlan, Ushul Fikih. (Jakarta; Amzah, 2010), h. 85.


16

17
Abdurrohman Dahlan, Usul Fikih. h. 90.
18
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 56.
Perbedaan-perbedaan seperti ini menyebabkan hukum-hukum yang mereka

tetapkan juga berbeda-beda.

Adapun cara ahli fikih Hijaz dalam menetapkan hukum Islam ialah dengan

memahami hadis-hadis sesuai dengan tekstualnya tanpa menganalisis mengenai

illat hukum dan prinsip-prinsipnya. Kalau mereka mendapati apa yang mereka

pahami dari nas itu tidak sesuai dengan kehendak akal pikiran, maka mereka tidak

memperdulikan hal tersebut dan mereka mengatakan itu adalah nas. Mereka tidak

memakai analisis rasional kecuali pada waktu darurat saja.19

2. Pengaruh madrasah ahl al-Ra’yi terhadap hukum Islam

Adanya perbedaan istinbat hukum antara ahl al-Hadi>s\ dan ahl

al-Ra’yi tentu mempengaruhi penetapan hukum suatu masalah. adapun

pengaruh ahl al-Ra’yi terhadap hukum Islam, dalam hal ini usul fikih dan

fikih, misalnya dalam penggunaan istihsan. Abu Hanifah terlalu maju

melangkah ke depan dalam menetapkan suatu hukum Islam. Contoh kasus

seperti dibawah ini:20

Kasus, zakat 40 ekor kambing adalah 1 ekor kambing, pendapat

ahl al-Hadi>s\ harus mebayar zakatnya dengan wujud 1 ekor kambing

sesuai konteks hadis, adapun pendapat ahl al-Ra’yi muzakki dapat

membayar 1 ekor kambing atau dengan harga yang senilai dengan 1ekor

kambing.

19
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, h. 60.
20
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, h. 63.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Ahl al-Hadi>s\ adalah mereka yang bersungguh-sungguh dalam

mempelajari hadis-hadis Nabi saw. dan menyampaikannya serta

mengamalkannya, tidak mendahulukan akal dibanding al-Qur’an dan

sunah sedangkan ahl al-Ra’yi adalah para fukaha yang dalam metode

ijtihadnya banyak dipengaruhi oleh metode berfikir sahabat Umar bin

Khattab dan Abdullah bin Mas’ud yang keduanya terkenal banyak

menggunakan al-Ra’yu dalam menetapkan hukum Islam.

2. Latar belakang muncul dan berkembangnya mazhab ahl al-Hadi>s\

dan ahl al-Ra’yi, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, guru, sosial-

kultur, dan kodisi geografis.

3. Mazhab ahl al-Hadi>s\ dan ahl al-Ra’yi telah memberikan pengaruh

yang sangat besar dalam pembentukan hukum Islam.

B. Implikasi

Implikasi dari penulisan makalah ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang konsep, prinsip dan pandangan serta

kemunculan dua mazhab terbesar dalam sejarah hukum Islam.

2. Kemunculan dua mazhab ini, telah meberikan warna baru dalam

sejarah pembentukan hukum Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Ta>ri>kh Maza>hib al-Isla>miyyah. Jilid 2, (t.tp:


Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, t.th).

Abu Zahrah, Muhammad. Ta>ri>kh Maza>hib al-Islamiyyah. Jilid 2, (t.tp: Da>r


al-Fikr al-‘Arabi>, t.th).

Amin, Ahmad. Duha> al-Islam. Jilid II,(Cet. V; Beiru>t: Da>r al-Kutub


al-‘Arabiyyah, t.th).

Dahlan, Abdurrahman. Ushul Fikih. (Jakarta; Amzah, 2010).

Hartono, Djoko. Pengembangan Ilmu Agama Islam dalam Perpektif Filsafat Ilmu
(Studi Islam di Era Kontemporer). (Surabaya: MQA Surabaya, 2015).

Khallaf, Abdul Wahab.Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam.


(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).

Muttaqin, Choiri. Posisi Ra’yu dalam Pembentukan Hukum Islam. Al-Adalah,


Vol. XII, no. 4, (April 2015).

Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya. (Cet. V: Jakarta: UI


Press, 1985).

Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. (Cet. IV; bandung:
Mizan, 1996).

Qal’a>Ji>, Muhammad Rawwa>s. Mu’jam Lugah al-Fuqaha>. (Cet. I; Beiru>t:


Da>r al-Nafa>is, 1985 M/1404 H).

Al-Qatta>n, Manna>. al-Tasyri>’ wa al-Fiqh al-Islami> Ta>ri>khan wa


Minha>jan. (Cet. III; t.tp: Maktabah Wahbah, 1984 M/1404 H).

Al-Sidiqi, Hasbi. Pengantar Ilmu Fikih. (Jakarta: Bulan Bintang 1993).

Syarifuddin, Amir. Usul Fikih. Jilid 2, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999)
MEMBEDAH KONSEP THURUQ AL-ISTINBATH DAN
DIFERENSIASINYA DENGAN MASADIR AL-AHKAM DAN
AL-ADILLAH AL- SYARI’AH

MAKALAH

Dipresentasikan dalam Seminar Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam

Program Studi Dirosah Islamiyah Jurusan Syariah Hukum Islam

OLEH

HARUN, S.Ag

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Prof. Dr. Kasjim Salenda, M.Th.I.

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

PROGRAM STUDI SYARIAH HUKUM ISLAM

2022

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Problematika dalam memahami nash al-Qur’an dan Hadis bukan hanya

dialami oleh mereka yang bukan bangsa Arab. 0 Bahasa yang dipergunakan nash

Alqur’an maupun Hadis terkadang bisa difahami sesuai makna teks (manthuq),

namun tidak sedikit nash yang harus difahami secara makna konteks (mafhum).0

Alqur’an dan Hadis mempunyai spesifikasi dan keunggulan dalam kosa kota baik

dari segi lafaz (teks) maupun dari segi makna (konteks). Kosa kata yang terdapat

pada keduanya ada yang besifat umum, khusus, dan ada juga yang memiliki

banyak arti (musytarak). Ada yang bermakna zahir, mufassar, muhkam, dan ada

juga yang khafy, musykil, mujmal dan mutashabih. Disamping itu ada yang

mengandung makna mutlak dan mukayyad.

Dalam bidang hukum Islam, aspek ijtihad sangat diperlukan dalam proses

kajian dan penelitian untuk menghasilkan konklusi hukum terhadap banyak

persoalan. Usaha menggali hukum dari Alqur’an dan Hadis sangat membutuhkan

kecermatan dan ketelitian. Dibutuhkan pendekatan khusus dan metode-metode

untuk sampai kepada pemahaman yang komprehensif terhadap nash. Usaha

pemahaman, penggalian dan perumusan hukum dengan jalan ijtihad dari kedua

sumber tersebut di kalangan ulama disebut istinbath (usaha atau cara

mengeluarkan hukum dari sumbernya).0

Dalam proses istinbath ada sumber pokok kajian ulama yang menjadi

rujukan utama dalam menggali hukum Islam yang oleh ulama kontenporer

menyebutnya dengan istilah mashadir al-ahkam yang diterjemahkan menjadi

0
Imam al-Syafi’i, al-Risalah (Cet. III; Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2014), h. 79, 84.
0
Muhammad Khudhari Beyk, Ushul Fiqhi ( Cairo, Maktabah al-Istiqamah, 1938), h.121
0
Satria Efendi, Ushul Fiqhi, (Cet ke-1; Jakarta: Kencana, 2005), h.177
sumber-sumber Hukum Islam. Istilah tersebut sebenarnya tidak populer dalam

literatur hukum Islam klasik maupun ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti

sumber hukum Islam periode klasik ulama menggunakan istilah al-adillah al-

syar'iyyah. Sedangkan yang dikehendaki dengan mashadir al-ahkam yang

digunakan oleh ulama kontemporer sekarang ini juga sesuai dengan istilah al-

adillah al-syar’iyah. Meskipun keduanya memiliki makna dan cakupan yang

berbeda.0

Uraian selanjutnya dalam makalah ini dijelaskan tentang konsep thuruq al-

istinbath dan diferensiasinya dengan mashadir al-ahkam dan al-adillah al-

syar’iyah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ini dijelaskan mengenai

konsep thuruq al-Istinbāth dan diferensiasinya dengan masadir al-ahkam dan

adillah al-syarī’ah dengan membatasi persoalan tentang hal tersebut pada

beberapa pokok pembahasan, yaitu:

1. Bagaimana bentuk turuq al-istinbāth, mashadir al-ahkam dan adillah al-

syarī’ah ?

2. Bagaimana memaknai konsep turuq al-Istinbath dan diferensiasinya

dengan masadir al-ahkam dan adillah al-syarī’ah?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Turuq Al-Istinbāth

0
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid.II (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 1.
Kata ٌ ‫طُ ُر‬
‫ق‬ merupakan jamak dari ٌ‫طَ ِر ْيقَة‬ yang bermakna cara, jalan,

metode atau sistem.0 Sedangkan kata istinbāth dilihat dari sudut etimologi berasal

dari kata َ‫ نَبَط‬atau ُ‫ نَبُط‬dengan kata kerja ُ‫ يَ ْنبُط‬,َ‫نَبَط‬, yang berarti air yang mula-
mula keluar dari sumur yang digali. Kata kerja tersebut, kemudian dijadikan

bentuk transitif, sehingga menjadi َ‫ اَ ْنبَط‬dan َ‫اِ ْستِ ْنباَط‬, yang berarti mengeluarkan
air dari sumur (sumber tempat air tersembunyinya). Jadi, kata istinbath pada

asalnya berarti ‘usaha mengeluarkan air dari sumber tempat persembunyiannya.

Kata tersebut dipakai sebagai istilah fiqih, yang berarti upaya mengeluarkan

hukum dari sumbernya yaitu dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Istilah tersebut identik

dengan istilah ijtihad dalam ushul fiqih.0

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa istinbaṭh merupakan usaha

untuk mengeluarkan hukum dari Alqur’an dan Sunah. Sedangkan Alqur’an dan

Sunah sebagai dalil hukum Islam yang asasi dalam menunjukkan hukum

menggunakan berbagai cara, ada yang tegas dan ada yang tidak tegas, ada yang

melalui arti bahasa dan ada juga yang melalui maksud hukumnya. Di sisi lain,

terdapat pula perbedaan antara satu dalil dengan dalil lainnya yang tentunya

memerlukan penyelasaian. Oleh karena itu, agar bisa mendapatkan hukum yang

tepat dibutuhkan metode yang tepat pula, dan para ulama ushul fikih telah

membahas dan merumuskan metode-metode yang dapat digunakan untuk

melakukan istinbat hukum dari Alqur’an dan sunnah.

Upaya istinbath akan optimal dengan menempuh metodologi dan

pendekatan yang tepat. Secara garis besar metode dan kaidah yang digunakan

untuk melakukan istinbāṭ hukum diklasifikasi menjadi dua, yaitu melalui

0
A.W.Munawir, Kamus al-Munawir Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif,
1967), h. 49.
0
Al-Raghib al-Ishfahani, Mu’jam Mufradāt Alfāzh Alqur’an (Beirut; Dar al-Fikr, 1329
H/1992 M), h. 502.
pendekatan kebahasaan (istinbath lafẓi) dan dan pendekatan makna atau ruh nash

(istinbath ma’nawi).0

B. Macam-macam Metode Istinbat

Para ulama telah menyusun seperangkat metodologi untuk menafsirkan

ayat- ayat dan hadis-hadis dalam upaya lebih mendekatkan kepada maksud-

maksud pensyariatan hukum dan upaya lebih memudahkan mereka untuk menarik

konklusi hukum untuk memecahkan berbagai persoalan. Metodologi istibath

yang menjadi pedoman ulama dapat dibagi ke dalam tiga pola, yaitu:

1. Metode Istinbat Lafzi (Segi Kebahasaan)

Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber asasi hukum Islam tertuang dalam

bahasa Arab. Hal ini menjadi perhatian para ahli ushul fiqhi dalam aspek

kebahasaan dengan menggali dan menyusun formulasi untuk membawa kepada

pengertian lafaz nash. Hal ini bertujuan untuk mempermudah mereka dalam

memahami nash dan menarik kesimpulan hukum dari nash tersebut. Para ulama

membahas secara mendalam bahkan membuat klasifikasi dalam beberapa

kelompok uraian. Wahbah al-Zuhaili, ‘Abd al-Wahhab Khallaf dan lain-lain

mencoba mengelompokan dalam beberapa kategori yaitu:

a) lafaz dilihat dari cakupan maknanya,

b) lafaz dilihat dari segi penggunaannya terhadap suatu makna

c) lafaz dilihat dari segi petunjuknya dalam hal kejelasan dan kesamaran

d) lafaz dari segi cara mengungkapkannya dalam kaitan makna yang dikandung.

1) Lafaz dari segi cakupan maknanya

Dari segi cakupan maknanya, lafaz dapat dibedakan menjadi:

a) Lafaz khas

0
Abu Zahrah, Usūl al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arābi, 1958), h. 115.
Lafaz Khas adalah suatu lafaz yang mengandung satu pengertian secara

tunggal.0 Sedangkan ulama' ushul mendefinisikan :

‫واح ٍد َعلَي َسبِی ِل اِإل نفِ َرا ِد‬ ِ ‫ھ َو الَلفظُ ال ِذ ى ُو‬0 "
ِ ‫ض َع لِ َمعنَي‬
Terjemahnya:
“Lafaz yang dari segi kebahasaan ditentukan untuk satu arti secara
mandiri".
b) Mutlaq

Secara bahasa mutlaq berarti bebas tanpa ikatan, secara istilah lafaz mutlaq

adalah kata yang khusus yang tidak dikaitkan dengan kata lain yang dapat

mempersempit kandungannya.0 Salah satu contoh lafaz mutlaq adalah surah al-

Maidah/5: 89, yaitu:

‫اَل یَُؤ ا ِخ¼¼ ُذ ُك ُم ٱهَّلل ُ بِ¼¼ٱللَّ ۡغ ِو فِ ۤی َأ ۡی َم ٰـنِ ُكمۡ َولَ ٰـ ِكن یَُؤ ا ِخ¼¼ ُذ ُكم بِ َم¼¼ا َعقَّدتُّ ُم ٱَأۡل ۡی َم ٰـ ۖ َن‬
ۡ‫¼ون َأ ۡهلِی ُكمۡ َأ ۡو ِك ۡس ¼ َوتُهُم‬ َ ¼‫ین ِم ۡن َأ ۡو َس ِط َم¼¼ا تُ ۡط ِع ُم‬ َ ‫فَ َكفَّ ٰـ َرتُ ۤۥهُ ِإ ۡط َعا ُم َع َش َر ِة َم َس ٰـ ِك‬
ۚۡ‫¼ك َكفَّ ٰـ َرةُ َأ ۡی َم ٰـنِ ُكمۡ ِإ َذا َحلَ ۡفتُم‬
َ ¼ِ‫صیَا ُم ثَلَ ٰـثَ ِة َأیَّا ࣲۚم َذ ٰل‬
ِ َ‫َأ ۡو تَ ۡح ِری ُر َرقَبَ ࣲۖة فَ َمن لَّمۡ یَ ِج ۡد ف‬
َ ‫ك یُبَی ُِّن ٱهَّلل ُ لَ ُكمۡ َءایَ ٰـتِِۦه لَ َعلَّ ُكمۡ تَ ۡش ُكر‬
‫ُون‬ َ ِ‫ٱحفَظُ ۤو ۟ا َأ ۡی َم ٰـنَ ُكمۡۚ َك َذ ٰل‬
ۡ ‫َو‬

Terjemahnya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah
itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang
demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya).0
c) Muqayyad

0
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I (Jakarta: Kencana, 2008), h. 83
0
Muhammad Khudhari Beyk, Ushul Fiqhi, h.30 Lihat juga dalam Amir Syarifuddin,
Ushul Fiqhi, h. 83
0
Ali Hasballah, Ushul al-tasyri’ al-Islami (Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1971), h.225
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 162
Muqayyad secara etimologi berarti terbatas, tertentu. Secara terminologi

adalah lafaz yang menunjuk pada satuan yang tidak tertentu tetapi lafaz itu

dibarengi dengan sifat yang membatasi maksudya.0 . Lafaz yang muqayyad adalah

kata khusus yang dikaitkan dengan kata lain yang dapat mempersempit

kandungannya.0 Wajib mengerjakan yang muqayyad kecuali jika ada dalil yang

membatalkannya. Contohnya yang terdapat dalam al-Quran surah

al-Mujadalah/58: 4

‫صیَا ُم َش ۡه َر ۡی ِن ُمتَتَابِ َع ۡی ِن ِمن قَ ۡب ِل َأن یَتَ َم ۤاس َّۖا‬


ِ َ‫فَ َمن لَّمۡ یَ ِج ۡد ف‬
Terjemahnya:
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya)
berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur”.0
d) Al-Amr

Al-Amr secara etimologi berarti perintah, lawan kata larangan. Imam al-

Ghazali mendefinisikan al-amr sebagai ucapan atau tuntutan-yang secara

substansial agar mematuhi perintah dengan mewujudkan apa yang menjadi

tuntutannya dalam perbuatan.0Contohnya terdapat dalam al-Quran surah Al-

Nisa/4: 4
۟ ُ‫َو َءات‬
َ ‫وا ٱلنِّ َس ۤا َء‬
‫ص ُدقَ ٰـتِ ِه َّن نِ ۡحلَ ࣰۚة فَِإن ِط ۡب َن لَ ُكمۡ َعن َش ۡی ࣲء ِّم ۡنهُ نَ ۡف ࣰسا فَ ُكلُوهُ هَنِ ۤی ࣰٔـا‬
‫َّم ِر ۤی ࣰٔـا‬
Terjemahnya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan”.0
e) Al-Nahy

0
Muhammad Khudhari Beyk,Al-tarikh al-tasyrik al-Islami, h.298
0
Muhammad Khudhari Beyk,Al-tarikh al-tasyrik al-Islami, h. 298
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.791
0
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 175
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 100.
Al-Nahy secara etimologi adalah lawan dari al-amr0 berarti larangan atau

cegahan. Banyak ulama yang mendefinisikan makna al-nahy, di antaranya Imam

Abu Zahrah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-nahy adalah tuntutan

yang berisi larangan atau cegahan untuk melakukan perbuatan:0 Contohnya ada di

surah Al-Isra’/17:32

َ ‫ٱلزنَ ٰۤىۖ ِإنَّهۥُ َك‬


‫ان فَ ٰـ ِح َش ࣰة َو َس ۤا َء َسبِی ࣰل‬ ۟ ُ‫اَل ت َۡق َرب‬
ِّ ‫وا‬
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu dekati zina, karena perbuatan zina itu adalah hal
yang keji dan seburuk-buruk jalan”.0
f) Musytarak

Musytarak adalah lafaz yang mempunyai dua makna atau lebih. Lafaz

musytarak adalah lafaz yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan

yang banyak yang dapat menunjukkan artinya secara bergantian.0 Misalnya firman

Allah swt QS. Al-Hajj/22:18

ِ ‫ت َو َمن فِی ٱَأۡل ۡر‬


َّ ‫ض َو‬
ُ‫ٱلش¼¼¼مۡ س‬ ِ ٰ ‫ ُج ُد لَهۥُ َمن فِی ٱل َّس َم ٰـ َو‬III‫َألَمۡ تَ¼¼¼ َر َأ َّن ٱهَّلل َ یَ ۡس‬
ۤ ۡ ۡ
ِ ۖ َّ‫َوٱلقَ َم ُر َوٱلنُّجُو ُم َوٱل ِجبَا ُل َوٱل َّش َج ُر َوٱل َّد َوابُّ َو َكثِی ࣱر ِّم َن ٱلن‬
‫اس‬
Terjemahnya:
“Apakah kamu tiada mengetahui, kepada Allah bersujud apa yang ada di
langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang, yang
melata dan sebagian besar daripada manusia”0
2) Lafaz dari Segi Penggunaan Maknanya

Lafaz dilihat dari segi penggunaan maknanya terbagi ke dalam empat

bagian yaitu haqiqi, majazi, sharih dan kinayah.

0
Mustafa said al-Khin, Asr al-Ikhtilaf Fi al-Qawaid al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf al-fuqaha’
(Kairo: Muassasahal-Risalah, 1969), h. 328.
0
Muhammad Abu Zahrah, Us{ul al-Fiqh, h.278. lihat juga dalam Romli SA, Muqaranah
Mazahib fil Ushul, h. 187
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.388
0
Hanafi, Ushul Fiqhi (Bandung: al-Ma’arif, 1989), h. 87. Juga baca Beni Ahmad Saebani,
Fiqhi Ushul fiqhi, (Bandung, Pustaka Setia, 2008), h.285
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 465
a) Haqiqi dan Majazi

Haqiqi adalah lafaz yang menunjukan arti yang sebenarnya tanpa

membutuhkan kepada qarinah-qarinah tertentu. Sedangkan majazi adalah lafaz

yang digunakan bukan menurut arti yang sebenarnya karena qarinah yang

memalingkannya atau karena kesesuaian antara makna baru dengan makna yang

sebenarnya.0 Contoh haqiqi dapat dilihat dalam QS. al- Hajj /22: 77 sebagai

berikut;
۟ ُ‫وا َربَّ ُكمۡ َو ۡٱف َعل‬
۟ ‫ٱعبُ¼ ُد‬ ۟ ‫ٱس¼ ُج ُد‬ ۟ ‫وا ۡٱر َكع‬
۟ ُ‫ین َءامن‬
ۡ‫¼وا ۡٱل َخ ۡی¼ َر لَ َعلَّ ُكم‬ ۡ ‫وا َو‬ ۡ ‫ُوا َو‬ َ َ ‫ي ٰۤـَأیُّهَا ٱلَّ ِذ‬
َ ‫تُ ۡفلِح‬
‫ُون‬
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan”.0
Sedangkan contoh majazi dapat kita lihat dalam Surah Yusuf /12 : 36

ِ ‫ِإنِّ ۤی َأ َر ٰىنِ ۤی َأ ۡع‬


ۖ‫ص ُر َخمۡ ࣰرا‬
Terjemahnya:
"Sesungguhnya Aku bermimpi, bahwa Aku memeras anggur”0
b) Sharih dan Kinayah

Yang dimaksud dengan lafaz sharih adalah lafaz yang maknanya tidak

tersembunyi karena sering digunakan baik dengan arti haqiqi atau arti majazi.

Sedangkan yang dimaksud dengan kinayah adalah lafaz yang tersembunyi

maksudnya baik secara haqiqi atau majazi. Lafaz yang sarih berakibat hukum

secara langsung tanpa bergantung kepada yang lain. Misalnya ada seorang suami

berkata kepada istrinya, “Engkau aku cerai”. Dengan perkataan tersebut cerai dari

suami terhadap istri telah terjadi talak satu meskipun tidak disertai niat. Berbeda

0
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-
Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), h. 24 dan Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-
Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986),h. 296
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.474
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
dengan lafaz sarih, keberlakuan lafaz kinayah sangat bergantung pada niat.

Misalnya seorang suami berkata kepada istrinya, “pulanglah ke rumah orang

tuamu”. Ucapan ini bergantung pada niat suami ketika mengatakannya. Jika ia

bermaksud mencerai istrinya dengan perkataan itu berarti telah jatuh talak. Jika

suami tidak meniatkan untuk menceraikan, maka ceraipun tidak terjadi.0

3) Lafaz dari segi kejelasan dan kesamaran petunjuknya

Dilihat dari segi kejelasan penunjukannya, lafadz dibedakan menjadi dua

yaitu lafadz yang jelas penunjukannya (waḍih al-dalālah) dan lafadz yang tidak

jelas penunjukannya (gair waḍih ad-dalālah).

a) Waḍih al-dilalah

Lafaz yang jelas penunjukannya (wadih al-dalalah), adalah lafaz yang

menunjuk kepada suatu makna dengan menggunakan lafaznya sendiri tanpa

membutuhkan hal-hal lain yang bersifat eksternal.0 Lafaz dalam jenis ini terbagi

kedalam empat bagian yaitu zahir, nas, mufassar, dan muhkam.0

1) Zahir

Yang dimaksud dengan lafaz zahir adalah lafaz yang menunjukan terhadap

sesuatu makna dengan shigatnya sendiri tanpa membutuhkan qarinah hal yang

bersifat khariji (external), akan tetapi makna itu bukanlah makna yang sebenarnya

yang dikehendaki dari susunan kalimatnya dan ia mengandung kemungkinan

ta’wil.0 Contohnya adalah Q.S. al-Baqarah (2): 275 :

‫َوَأ َح َّل ٱهَّلل ُ ۡٱلبَ ۡی َع َو َح َّر َم ٱل ِّربَ ٰو ۟ا‬


Terjemahnya:
“Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.0

0
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, h. 308-309
0
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, h.312
0
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dār al-Kalām, 1983), h. 162
0
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 162
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 58
2) Nas

Adapun nas adalah lafaz yang menunjukan terhadap makna yang

dikehendaki melalui sighatnya sendiri, namun ia mengandung kemungkinan untuk

ditakwilkan. Contoh lain firman Allah QS. al-Hasyr /59:7


۟ ‫َوم ۤا َءاتَ ٰى ُك ُم ٱل َّرسُو ُل فَ ُخ ُذوهُ َوما نَهَ ٰى ُكمۡ َع ۡنهُ فَٱنتَه‬
‫ُوا‬ َ َ
Terjemahnya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.0
Lafaz nash tersebut menyatakan keharusan mengikuti petunjuk Rasul

tentang pembagian harta rampasan, baik yang dibolehkan maupun yang tidak

dibolehkan. Namun ayat ini difahami secara umum bahwa segala yang bersumber

dari Rasul berupa perkataan, perbuatan dan taqrir, maka harus diterima dan

diikuti. Yang dijadikan sebagai dasar pemahaman adalah keumuman lafaz, bukan

kekhususan sebab. Meskipun ayat ini memiliki kandungan makna khusus.

3) Mufassar

Adapun mufassar adalah sesuatu yang menunjukan dengan dirinya sendiri

kepada maknanya yang terperinci dengan suatu perincian yang tidak lagi tersisa

kemungkinan ta’wil.0 Contohnya terdapat dalam QS. al-Nur /24:4

َ ِ‫ٱجلِ ¼ ُدوهُمۡ ثَ َم ٰـن‬


‫ین‬ ۟ ُ‫ت ثُ َّم لَمۡ یَ¼ ۡ¼أت‬
ۡ َ‫وا بَِأ ۡربَ َع¼ ِة ُش¼هَ َد ۤا َء ف‬ ِ ‫صنَ ٰـ‬ َ ‫ون ۡٱل ُم ۡح‬
َ ‫ین یَ ۡر ُم‬ َ ‫َوٱلَّ ِذ‬
َ ُ‫ك هُ ُم ۡٱلفَ ٰـ ِسق‬
‫ون‬ ۟ ُ‫َج ۡل َد ࣰة َواَل تَ ۡقبَل‬
َ ‫وا لَهُمۡ َشهَ ٰـ َدةً َأبَ ࣰد ۚا َوُأ ۟ولَ ٰۤـ ِٕى‬
Terjemahnya:
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (ber
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-
orang yang fasik”.0
4) Muhkam

0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.797
0
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilm al-Ushul Fiqh, h. 166
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.488
Dalam istilah, Amir Syarifuddin berpendapat: suatu lafaz yang dari

sigatnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya sesuai dengan pembentukan

lafaznya secara penunjukan yang jelas, sehingga tidak menerima kemungkinan

pembatalan, penggantian maupun ta’wil.0 Contohnya ada dalam QS.

Al-Ahzab/33: 53

‫ ًد ۚا ِإ َّن‬IIIَ‫ُول ٱهَّلل ِ َواَل ۤ َأن تَن ِكح ُۤو ۟ا َأ ۡز َو ٰ َجهۥُ ِم ۢن بَ ۡع ِدِۦه َأب‬
َ ‫وا َرس‬ ۟ ‫ان لَ ُكمۡ َأن تُ ۡؤ ُذ‬
َ ‫َو َما َك‬
‫ان ِعن َد ٱهَّلل ِ َع ِظی ًما‬َ ‫َذ ٰلِ ُكمۡ َك‬

Terjemahnya:
“... dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula)
mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.0
Kata ‫( اب¼¼دا‬selama-lamanya) yang tersebut dalam ayat itu menunjukan

bahwa tidak diterima atau haram mengawini janda Rasulullah untuk selamanya.

b) Gair wadih al-dalalah

Dari segi kesamaran penunjukannya (ghair wadih al-dalalah), lafaz ini

terbagi ke dalam empat bagian yaitu khafiy,musykil, mujmal dan mutasyabih.

1) Khafi

Khafi adalah lafadz yang mempunyai ketidak jelasan yang bukan

disebabkan oleh bentuk lafadz, tetapi disebabkan oleh penerapan makna lafaz

tersebut pada kasus yang serupa.0 Misalnya ayat dalam QS. Al-Maidah/5: 38

ُ ‫َّارقَةُ فَ ۡٱقطَ ُع ۤو ۟ا َأ ۡی ِدیَ ُه َما َج َز ۤا ۢ َء بِ َما َك َسبَا نَ َك ٰـ ࣰلا ِّم َن ٱهَّلل ۗ ِ َوٱهَّلل‬
ِ ‫ق َوٱلس‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫َوٱلس‬
‫َع ِزی ٌز َح ِكی ࣱم‬
Terjemahnya:
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan

0
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid II, h.11
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 601
0
Abu Zahrah, Usūl al-Fiqh, h. 124.
dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.0
2) Musykil

Musykil adalah lafaz yang sigahnya sendiri tidak menunjukan kepada

makna yang dikehendaki, dan untuk mendapatkan makna yang dikehendaki harus

ada qarinah lain yang menerangkannya. Contohnya terdapat dalam QS. al-

Baqarah /2: 228

ٌ ࣲۚ‫َّص َن بَِأنفُ ِس ِه َّن ثَلَ ٰـثَةَ قُ ُر ۤوء‬ ُ ‫َو ۡٱل ُمطَلَّقَ ٰـ‬
ۡ ‫ت یَتَ َرب‬
Terjemahnya:
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu)
tiga kali quru'”.0
3) Mujmal

Mujmal dari segi bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut

istilah adalah lafaz yang tidak bisa difahami, kecuali bila ada penafsiran dari

pembuat syariat.0 Misalnya firman Allah QS. Al-Qari’ah /101 :1-5 sebagai

berikut:

1.Hari kiamat, 2. Apakah hari kiamat itu? 3. Tahukah kamu apakah hari kiamat

itu? 4. Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran, 5. Dan

gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur- hamburkan.0

4) Mutasyābih

Mutasyābih adalah lafadz yang bentuknya sendiri tidak menunjukkan

kepada makna yang dimaksud, tidak ada indikasi yang menerangkannya, dan

syāri’ sendiri tidak menjelaskan maknanya.0 Seperti pada ayat QS. Al-Fath /48:10

0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.151
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.4
0
Abu Bakar as-Sarakhsi, Ushul al-Saraksi, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah), h. 168
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.911
0
Abu Zahrah, Usūl al-Fiqh, h. 135.
ۚۡ‫ق َأ ۡی ِدی ِهم‬
َ ‫ق َأ ۡی ِدی ِهمۡۚ یَ ُد ٱهَّلل ِ فَ ۡو‬
َ ‫یَ ُد ٱهَّلل ِ فَ ۡو‬
Terjemahnya:
“….. tangan Allah di atas tangan mereka….”
4) Lafaz dari segi cara menemukan arti yang dimaksudkan oleh teks.

Lafadz dilihat dari cara pengungkapannya terhadap makna ada empat,

yaitu ibarat al-nas, isyarat al-nas, dalalah an-nas, dan iqtida’ al-nas.

a) ‘Ibarat al-Nas

Ibarat al-nash sering juga disebut dilalat al-‘ibarat atau al-mantuq al-

sharih ialah penunjukan lafaz kepada makna yang segera dipahami dan makna itu

memang dikehendaki oleh siyagul kalam, baik maksud itu asli maupun tidak.

Misalnya ayat dalam QS. An-Nisa /4:3 sebagai berikut:


۟ ُ‫ث َو ُربَ ٰـ ۖ َع فَ¼ ۡن ِخ ۡفتُمۡ َأاَّل تَ ۡع¼ ِدل‬
‫وا‬ َ ‫اب لَ ُكم ِّم َن ٱلنِّ َس ۤا ِء َم ۡثنَ ٰى َوثُلَ ٰـ‬ َ َ‫ُوا َما ط‬ ۟ ‫فَٱن ِكح‬
‫ِإ‬
۟ ُ‫ك َأ ۡدنَ ٰۤى َأاَّل تَعُول‬
‫وا‬ َ ِ‫فَ َو ٰ ِح َدةً َأ ۡو َما َملَ َك ۡت َأ ۡی َم ٰـنُ ُكمۡۚ َذ ٰل‬
Terjemahnya:
“maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (Q.S. an-
Nisa; 3)0
Ibarat al-nash yang dapat diperoleh dari ayat di atas, terdapat tiga

pengertian yaitu: diperbolehkan mengawini wanita-wanita yang disenangi,

membatasi jumlah istri sampai empat orang saja dan wajib hanya mengawini

seorang wanita saja jika dikhawatirkan berbuat khianat lantaran mengawini

banyak wanita.

b) Isyarat al-Nas

Isyarat al-Nas adalah lafaz yang penunjukan maknanya tidak dimaksudkan

dari teks nas karena ia mengandung makna yang tersirat, namun makna itu tidak

0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.115.
bisa dipisahkan dari makna yang dimaksud oleh teks. Contoh ayat QS. al-Baqarah

/2: 236 sebagai berikut:


۟ ¼‫ض‬
َ ‫وا لَه َُّن فَ ِر‬
‫یض ¼ࣰۚة‬ ُ ‫طلَّ ۡقتُ ُم ٱلنِّ َس ¼ ۤا َء َم¼¼ا لَمۡ تَ َم ُّس ¼وهُ َّن َأ ۡو تَ ۡف ِر‬
َ ‫ال ُجنَا َح َعلَ ۡی ُكمۡ ِإن‬
‫ُوف َحقًّ¼¼ا‬
ِ ۖ ‫¼ٱل َم ۡعر‬ ۡ ¼ِ‫وسع قَ¼ َد ُرهۥُ َو َعلَى ۡٱل ُم ۡقتِ¼¼ر قَ¼ َد ُرهۥُ َمتَ ٰـ ۢ َعا ب‬
ِ
ۡ
ِ ِ ‫َو َمتِّعُوهُ َّن َعلَى ٱل ُم‬
َ ِ‫َعلَى ۡٱل ُم ۡح ِسن‬
‫ین‬
Terjemahnya:
“Tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu
sebelum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. dan
hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang
demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan”.0
Ibarat nas ayat tersebut terdapat dua pengertian yang diperoleh yaitu

kebolehan mentalak istri sebelum dicampuri dan kebolehan cerai sebelum

menentukan jenis dan jumlah mahar itu. Sedangkan makna yang diperoleh

melalui isyarat nash adalah sahnya akad nikah walaupun maharnya tidak

ditentukan. Kesahan nikah tanpa menentukan mahar adalah makna yang tidak

terpisahkan dari izin menjatuhkan talak sebelum menentukan mahar. Sebab talak

tidak akan terjadi sebelum adanya akad nikah yang sah.

c) Dalalah al-Nas

Dalalah al-nas adalah apabila ada nas yang secara tekstual menunjukkan

hukum suatu kasus dan kemudian hukum tersebut dapat diterapkan pada kasus

lain karena adanya faktor penyebab hukum yang sama.0 Misalnya ayat 10 dalam

QS. al-Nisa’/4:

َ ُ‫ون َأمۡ¼¼ َو ا َل ۡٱلیَتَ ٰـ َم ٰى ظُ ۡل ًم¼¼ا ِإنَّ َم¼¼ا یَ ۡ¼¼أ ُكل‬


‫ون فِی بُطُ¼¼ونِ ِهمۡ نَ¼¼ا ࣰر ۖا‬ َ ُ‫ین یَ ۡ¼¼أ ُكل‬
َ ‫ِإ َّن ٱلَّ ِذ‬
‫صلَ ۡو َن َس ِعی ࣰرا‬
ۡ َ‫َو َسی‬
Terjemahnya:

0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.48
0
Wahbah al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh al-Islami., h. 353
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.0
Pengertian dalalah al-nas bahwa segala perbuatan menghabiskan dan

menghambur-hamburkan harta anak yatim dikategorikan sama dengan

memakannya dengan cara zalim.

d) Iqtida’ al-Nas

Iqtida’ al-nas adalah dilalah lafadz terhadap suatu makna yang tidak dapat

berdiri sendiri kecuali dengan mentakdirkan (menyisipkan) lafazh yang lain.0

Misalnya QS. Al-Maidah /5:3


ۡ ۡ
.. ‫یر‬ ِ ‫حُرِّ َم ۡت َعلَ ۡی ُك ُم ٱل َم ۡیتَةُ َوٱل َّد ُم َولَ ۡح ُم ٱل ِخ‬
ِ ‫نز‬
Terjemahnya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi..”0
Ibarat nash dalam teks di atas adalah diharamkan bagi kamu bangkai,

darah dan daging babi. Pengertian ini baru jelas bila ditambahkan kata misalnya

makan atau memanfaatkan.

Dalam proses istinbat atau mengeluarkan hukum dari nas, maka ulama

memberikan interpretasi dengan pendekatan bayani. Teks Alquran sendiri

menurut Imam al-Syafi’i dalam proses bayan dibagi kepada 4 (empat) kategori

yaitu :

1. Secara tekstual; yaitu Alquran difahami sesuai dengan teksnya seperti

perintah shalat.

2. Penjelasan Nabi saw. tentang hukum dari Alquran misalnya dengan

menjelaskan tata cara shalat.

0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.101
0
Abu Zahrah, Usūl al-Fiqh, h. 143.
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.142
3. Pengungkapan melalui Rasul, tanpa menyebutkan status hukumnya dalam

al-Qur’an.

4. Pengungkapannya sangat tersembunyi sehingga mesti dilakukan dengan

analisis yang mendalam dengan cara ijtihad karena hukum tersebut

diperlukan adanya penggalian yang serius dan maksimal.0

Adapun ulama ushul dari kalangan Hanafiyah juga mencoba

mensistematisir bentuk-bentuk bayan yang lebih khas dan sepesifik ke dalam 5

(lima) bentuk0 yaitu:

1. Bayan taqrir, yaitu; menguatkan makna suatu lafaz menuju kepastian

yang mengandung kemungkinan majaz atau khusus.

2. Bayan tafsir, yaitu; memberikan penjelasan terhadap lafaz yang

mengandung makna yang tersembunyi dari lafaz musytarak, mujmal dan

sejenisnya.

3. Bayan tagyir, yaitu; memberikan penjelasan terhadap perubahan makna

zahir kepada yang lain seperti adanya syarat atau istitsna (pengecualian).

4. Bayan tabdil, yaitu; menasakh hukum yang telah ada, yang datang lebih

dahulu. Perbedaannya dengan bayan tagyir adalah bahwa bayan tabdil

sifatnya menghapus hukum yang pernah ada sebelumnya. Sedangkan pada

bayan tagyir merupakan penjelasan yang bersambung dengan lafaz-lafaz

yang menunjukan adanya ketentuan sesuatu hukum.

5. Bayan dharurah disebut juga dalalah al-sukut, yaitu; bayan yang

berwujud lafaz yang berlaku hanya dalam keadaan darurat.

2. Istinbath segi maknawi (pemahaman ruh tasyri’/rasionil dan pilosofis)

Para ulama ushul fiqh berpandangan bahwa metode istinbath disamping

dilihat dari segi kebahasaan, juga melalui pemahaman terhadap ruh tasyri’
0
Imam al-Syafi’i, al-Risalah, h. 21,22.
0
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 199.
dengan memperhatikan mashadir al-hukm, adillah al-syari’ah dan aspek maqasid

al- syari’ah. Melalui metode inilah ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang secara

kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab

permasalahan-permasalahan secara kebahasaan tidak tertampung al-Qur’an dan

Sunnah. Pemahaman terhadap mashadir al-hukm, adillah al-syari’ah dan

maqashid al-syari’ah, sangat penting menjadi instrumen memahami redaksi

ALQur’an dan Hadits dan menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan.0

Maqashid al-syari’ah dari segi bahasa berarti maksud atau tujuan

disyari’atkannya hukum Islam. Sedangkan menurut istilah berarti tujuan Allah

dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan tersebut dapat

ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis

bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat

manusia.0

Adapun penetapan hukum melalui Maqashid al-syari’ah dapat dilakukan

melalui metode istinbath ta’lili (rasionil) dan metode istinbath istislahi (pilisofis)

a) Metode istinbath ta’lili

Metode istinbath ta’lili adalah metode istinbath yang bertumpu pada ‘illah

disyariatkannya suatu ketetuan hukum.0 Ketentuan ini telah dirumuskan dalam

sebuah qaidah kulliyah yaitu:

‫الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما‬


Terjemahnya:
”Hukum itu tergantung dengan ada atau tidak adanya ‘illat”

0
Abd al-wahhab Khallaf, Ilmu us{ul al-Fiqh, cet ke-15, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1984),
h.205
0
Fathurrahman Djamil, filsafat hukum Islam, cet. Ke-4 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 123
0
Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi, al-Madkhal ila ‘ilm Ushul al-Fiqh, (Damaskus,:
Jami’ah Damaskus, t.th.), h.1959
b) Metode Istinbath Istishlahi

Metode istinbath istishlahi merupakan perpanjangan dari penalaran ta’lili,

karena sama-sama didasarkan pada anggapan bahwa Allah swt menurunkan

aturan dan ketentuannya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.

Syariat atau hukum Allah diturunkan menjamin manusia untuk terpenuhinya

kebutuhan-kebutuhan manusia baik yang bersifat dharuriyat (kebutuhan primer)

yaitu :

1) terpeliharanya agama,

2) terpeliharanya jiwa,

3) terpeliharanya akal,

4) terpeliharanya kehormatan dan

5) terpeliharanya harta kekayaan,

maupun yang bersifat hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (komplementer).0

C. Pengertian Masadir Al-Ahkam

Istilah sumber hukum biasa dipakai dalam hukum umum dalam pengertian

segala yang menimbulkan aturan-aturan, yang apabila dilanggar mengkibatkan

sanksi yang tegas. Sumber, dalam bahasa arab disebut masdar kata jamaknya

ialah masādir. Kata masdar sendiri, menurut pengertian kebahasaan mengandung

pengertian antara lain: asal atau permulaan sesuatu, sumber, tempat munculnya

sesuatu.0 Al-Raghib, pakar leksikografi Alqur`an mengatakan bahwa kata masdar

dapat bermakna ‘tempat dimana air muncul, atau sumber air yang biasa disebut

mata air. Mata air disebut sebagai masdar, karena sebagai sumber munculnya

air. Wacana tersebut kemudian dipakai sebagai istilah ushul fiqih, sehingga

0
Abd al-wahhab Khallaf, Ilmu ushul al-Fiqh., h.159
0
Ibn Manzur al-Ifriqi, Lisān al-Arāb Jilid III (Beirut: Dār Sadir, t.th.), h. 448-449.
menjadi masdar al-hukm (sumber hukum) atau dalam bentuk jamak masadir al-

ahkām (sumber- sumber hukum).

Jika kata masdar (sumber) ditempatkan dalam lapangan hukum, maka

dalam pengertian ini, hanya Alqur`an dan Sunnah yang menjadi masādir al-

Ahkām. Pengertian demikian didukung oleh adanya kesepakatan pendapat

dikalangan para ulama bahwa Allah adalah sebagai Syari’ (pencipta atau penentu

syariat) atau Hakim (pencipta atau penentu hukum) satu- satunya. Untuk itu,

mereka membuat suatu rumusan (kaidah):

‫ِإ ِن ْال ُح ْك ُم اِالَّ هللا‬


Terjemahnya:
“menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (Al an`am :57)”
Jadi, sebenarnya segenap hukum itu berasal dari Allah. Dengan demikian,

yang menjadi rujukan segenap dalil hukum adalah Alqur`an. Sunnah Rasulullah

hanya berfungsi sebagai penjelas dan pemberi keterangan atas Alqur`an. Dengan

demikian, yang menjadi sumber hukum dalam Islam ialah Al-Quran dan Sunnah.

D. Pengertian Al-‘Adillah Asy-Syarī’ah

Istilah dalil berasal dari kata dasar dalil, dan jamaknya adillah. Menurut

pengertian kebahasaan mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku

petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi. Ringkasnya ialah

dalil merupakan petunjuk kepada sesuatu, baik yang material maupun yang non

material.0

Menurut kebiasaan para fuqaha istilah dalil diartikan dengan ‘sesuatu yang

mengandung petunjuk (dalālah) atau bimbingan (Irsyad).0 Pengertian demikian

secara lebih jelas terlihat pada kandungan kitab-kitab fikih dimana dalam

0
Abdu al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, h. 15.
0
Saif al-Din al-Amidi, Al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.) h. 13.
membicarakan sesuatu, para penulis kitab- kitab itu merujuk kepada ayat-ayat

ataupun hadis-hadis, karena didalam ayat ataupun hadis itu terkandung suatu

petunjuk atau bimbingan, yang akan dijadikan acuan dalam menyelesaikan

masalah tersebut.

Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada landasan hukum ialah

yang dikemukakan oleh Abd al- Wahhab Khallaf bahwa yang dikatakan dalil

adalah “sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh

hukum syara’ yang bersifat praktis“. Jadi, dalil merupakan landasan bagi para

pakar hukum Islam dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan

secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan itu bisa saja bersifat

qat’i (pasti) atau zanni (tidak pasti).0

Berdasarkan pengertian seperti diatas, ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ketika

membicarakan maslahah menurut pandangan al- Thufi, menghitung adanya

sembilan belas dalil syara’, yaitu: Alqur`an, sunnah, ijma` umat, ijma’

penduduk Madinah, qiyas, qaul sahabi, maslahah mursalah, istishab, bara`ah

ashliyyah, ‘awa’id, istiqra`, sadd al-zara`i`, istidlal, istihsan, mengambil yang

paling ringan, `ishmah, ijma` penduduk Kufah, ijma` ahl al-bait, dan ijma`

khalifah yang keempat.0 Akan tetapi, umumnya para ulama bisa menempatkan

sebelas dalil, yang menjadi landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Alqur`an,

sunnah, ijma`, qiyās, istihsan, istislah, istishab, sadd al-zarī`ah, ‘urf, syar`un

man qablana, dan mazhab al-sahabi. Dalam hal ini seperti akan dilihat para

ulama sepakat menempatkan Alqur`an dan sunnah sebagai dalil dan berbeda

pendapat tentang dalil-dalil selebihnya ada yang menerimanya sebagai dalil dan

0
Abdul Wahab al-Khalaf, Ushūl Fiqh, h. 20.
0
Abd al-Wahab Khallaf, Masādir al-Tasyrī’ al-Islāmi fī mā lā Nassa fīh (Kuwait: Dar al-
Qalam, 1982), h. 109.
ada yang menolaknya atau ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang

selebihnya.

Pada kalangan mazhab ushul, dalam melakukan instinbāth hukum telah

menyusun macam-macam dalil secara sistematik. Dan dalam kenyatannya,

macam-macam sumber dalil tersebut ada yang disepakati dan tidak disepakati.

Dengan kata lain terdapat perbedaan-perbedaan di kalangan mazhab dalam

menyusun al-adillah asy-syarī’ah baik pada segi intensitas dan otoritas

penggunaan suatu dalil, maupun pada keberadaan suatu dalil.

E. Konsep turuq al-Istinbath dan diferensiasinya dengan masadir al-Ahkam

dan adillah al- Syarī’ah.

Terhadap dalil hukum, memang di kalangan ulama ushul terdapat

beberapa sebutan yang berbeda satu sama lainnya.‘Abdul Wahab Khalaf

misalnya, mengatakan bahwa pengertian dalil al-hukm atau adillah al-ahkām ini

identik dengan ushūl al-ahkām (dasar-dasar hukum) dan masadir al-ahkām

(sumber-sumber hukum). Karenanya, para ulama ushul fiqh adakalanya

menggunakan adillah al-ahkam untuk menunjukkan masadir al-ahkām dan

sebaliknya. Sementara Asy-Syatibi menyebutnya dengan adillah asy-Syarī’ah

(dalil-dalil syari’at), asas al-Tasyrī’ (Dasar-dasar penetapan hukum syara’) dan

ushūl asy-Syarī’ah (Pokok-pokok hukum syara’).

Akan tetapi, dari segi pengertian bahasa, kedua pengertian itu sebenarnya

terdapat perbedaan. Masdar dalam pengertian bahasa adalah rujukan utama,

tempat dikembalikannya segala sesuatu. Dalam pengertian bahasa Indonesia,

sumber biasa diartikan sebagai “asal sesuatu”, seperti sumber air adalah tempat

memancarnya air yang sering disebut dengan mata air. Dalam pengertian ini,

maka masādir al-ahkām dalam Islam itu hanya Alquran dan Sunnah. Pengertian

ini didukung oleh pengertian Allah sebagai al-Syari’ (Penentu atau Pencipta
hukum Islam). Para ulama ushul fiqh pun sebenarnya menyatakan bahwa hukum

Islam itu seluruhnya berasal dari Allah. Rasul hanya berfungsi sebagai penegas

dan penjelas (al-mu’akkid wa al mubayyīn) hukum-hukum yang disampaikan

Allah melalui wahyu-Nya, sekalipun terkadang Rasulullah saw. menetapkan

hukum tertentu melalui Sunnahnya, ketika wahyu turun dari Allah. Akan tetapi,

ketetapan Rasulullah saw. ini juga tidak terlepas dari bimbingan wahyu.

Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh kontemporer lebih cenderung

memilih bahwa yang menjadi sumber utama hukum Islam (masādir al-Ahkām al-

Syar’iyyah) tersebut adalah Alquran dan Sunnah. Karena Alquran dan Sunnah

disepakati seluruh ulama ushul fiqh klasik dan kontemporer sebagai sumber

primer hukum Islam.

Karena itu, dari sisi ini, apa yang dikemukakan ‘Abdul Wahhab Khalaf di

atas, bahwa adillah al-ahkām identik dengan masadir al-ahkam adalah benar.

Tetapi, dalil lain, seperti ijma’, qiyās, istihsan, mashlahah al-mursalah, dan

sebagainya, tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum Islam, karena dalil-dalil

ini hanya bersifat al-kasyf wa al-izhar li al-hukm (menyingkap dan memunculkan

hukum) yang ada dalam Alquran dan Sunnah.

Suatu dalil yang membutuhkan dalil lain untuk dijadikan hujjah tidaklah

dapat dikatakan sumber, karena yang dinamakan sumber adalah bersifat berdiri

sendiri. Di samping itu, keberadaan suatu dalil, seperti ijma’, qiyās, istihsān dan

lain sebagainya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada

dalam Alquran dan Sunnah. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh juga sering

menyebut adillah al-ahkām, seperti ijma’, qiyas, istihsan, istishab dan lain

sebagainya sebagai turuq al-Istinbāth al-Ahkām (metode dalam menetapkan

hukum).
Akan tetapi, dalam perkembangan pemikiran ushul fiqh kontemporer,

istilah sumber hukum dan dalil hukum dalam kegiatan istinbāth hukum keduanya

tidak dibedakan. Sebab, baik istilah sumber hukum maupun dalil hukum

merupakan istilah-istilah teknis yang diapakai oleh para ulama ushul untuk

menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan atau dasar dalam istinbāth

hukum dan dalam prakteknya mencakup Alquran, Sunnah dan dalil-dalil atau

sumber-sumber selain keduanya.


55

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai kesimpulan dari pembahasan di atas kami susun sebagai berikut.

1. Pengertian Turuq al-Istinbāth, masadir al-ahkām dan adillah al-syarī’ah: a.

Istinbāth adalah upaya seseorang ahli fikih dalam menggali hukum Islam

dari sumber- sumbernya. Upaya demikian tidak akan membuahkan hasil

yang memadai, melainkan dengan menempuh cara- cara pendekatan yang

tepat, yang ditopang oleh pengetahuan yang memadai terutama

menyangkut sumber hukum. Yang termasuk dalam kategori ini adalah:

Ijma’, qiyās, istihsān, istislāh, istishāb, ‘urf, sadd az-Zarī’ah, syar’un man

qablanā dan mazhab sahābi. Dana metodologi bayani yan dipergunakan

ulama untuk memberikan interpretasi terhadap ragam nas. b. Istilah

sumber hukum biasa dipakai dalam hukum umum dalam pengertian

‘segala yang menimbulkan aturan- aturan, yang apabila dilanggar

mengkibatkan sanksi yang tegas. Sumber, dalam bahasa arab disebut

masdar kata jamaknya ialah Masādir. Kata masdar sendiri, menurut

pengertian kebahasaan mengandung pengertian antara lain: Asal atau

permulaan sesuatu, sumber, tempat munculnya sesuatu. Alquran dan

Sunnah merupakan dua sumber hukum yang menjadi kajian utama ulama.

c. Adillah asy-Syarī’ah merupakan landasan bagi para pakar hukum Islam

dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis

oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan itu bisa saja bersifat qat’i

(pasti) atau zhanni (tidak pasti). Seluruh dalil hukum yang sebelas

termasuk dalam pengertian ini.


56

2. Dalam istinbāth hukum persoalan yang paling mendasar yang harus

diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil atau pijakan yang

dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syari’ dan sesuatu

persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara’ harus

didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan

dalil dan pijakan (sumber) yang jelas. Turuq al-Istinbāth merupakan

metode dalam penggalian sebuah hukum dari masādir al-Ahkām yakni

sumber hukum yang selanjutnya menjadi adillah asy-Syarī’ah yakni dalil-

dalil hukum dalam berhujjah.

B. Saran

Demikianlah makalah kami ini semoga dapat menambah wawasan dan

pengetahuan pembaca. Selanjutnya penulis juga mengharapkan kritik dan saran

guna peningkatan kualitas dalam penulisan makalah ini. Kami minta maaf apabila

ada kesalahaan dalam penulisan dan isi makalah ini. Semoga bermanfat bagi kita

semua.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim

al-Amidi, Saif al-Din. Al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām. Beirut: Dār al-Fikr, t.th.

A. W. Munawir. Kamus al-Munawir Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka


Progressif, 1967.

Beyk, Muhammad Khudhari. Ushul Fiqhi. Cairo, Maktabah al-Istiqamah, 1938.

al-Dawalibi, Muhammad Ma’ruf. al-Madkhal ila ‘ilm Ushul al-Fiqh. Damaskus,:


Jami’ah Damaskus, t.th.

Djamil, Fathurrahman. filsafat hukum Islam, cet. Ke-4. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997.

Efendi, Satria. Ushul Fiqhi. Cet ke-1; Jakarta: Kencana, 2005.

Hanafi, Ushul Fiqhi. Bandung: al-Ma’arif, 1989.


57

Hasballah, Ali. Ushul al-tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1971.

al-Ifriqi, Ibn Manzur. Lisān al-Arāb. Beirut: Dār Sadir, t.th.

al-Ishfahani, Al-Raghib. Mu’jam Mufradāt Alfāzh Alqur’an. Beirut; Dar al-Fikr,


1329 H/1992 M.

Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: t.p., 2019.

Khallaf, Abd al-Wahab. Masādir al-Tasyrī’ al-Islāmi fī mā lā Nassa fīh. Kuwait:


Dar al-Qalam, 1982.

-------. Ilmu Ushul al-Fiqh. Kuwait: Dār al-Kalām, 1983.

al-Khin, Mustafa said. Asr al-Ikhtilaf Fi al-Qawaid al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf al-


fuqaha’. Kairo: Muassasahal-Risalah, 1969.

Romli SA. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Saebani, Beni Ahmad. Fiqhi Ushul fiqhi. Bandung, Pustaka Setia, 2008.

as-Sarakhsi, Abu Bakar. Ushul al-Saraksi. Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah.

al-Syafi’i. al-Risalah. Cet. III; Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2014.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

al-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwāfaqāt fī Ushūl Asy-Syarī’ah. Beirut: Dār al-


Ma’rīfah, 1973.

al-Syaukani, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa. Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min
‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994.

Zahrah, Abu. Usūl al-Fiqh. Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arābi, 1958.

al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al- Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
58

MENGENAL MAZHAB-MAZHAB DALAM FIKIH SUNI

MAKALAH
Dipresentasikan pada Seminar Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Hukum Islam
Program Studi Dirasah Islamiyah Konsentrasi Syariah Hukum Islam

Oleh:
Muhammad Najib
NIM: 80100221152

Dosen Pengampu:

Prof. H. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.

Prof. Dr. Kasjim Salenda, M.Th.I.

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR

2022
59

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan hukum Islam tidak bisa dipisahkan dari pertumbuhan dan

perkembangan mazhab-mazhab fikih. Pembahasan tentang mazhab-mazhab fikih

juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah awal kemunculan mazhab fikih itu sendiri.

Sebagaimana diketahui daerah Hijaz (Mekah dan Madinah) merupakan awal di

mana Islam hadir. Nas al-Qur’an dan sunah semuanya diturunkan pada kehidupan

sosial dua kawasan tersebut. Proses penyebaran fikih Islam pasca generasi sahabat

nabi saw. terus berkembang hingga muncul berbagai mazhab fikih. Mazhab-

mazhab itu tentu tidak bernasib sama, beberapa dari mazhab itu kemudian tidak

tersebar dan berkembang. Namun sebagian mazhab seperti al-mazāhib al-arba’ah

atau mazhab fikih suni yang empat ternyata masih bertahan dan eksis hingga

sekarang bahkan sejarah mencatat beberapa Daulah Islam pernah menjadikan

mazhab tertentu sebagai mazhab resmi negara. Penyebaran mazhab itu seiring

dengan semakin tersebarnya Islam ke berbagai penjuru dunia. Pengetahuan

tentang mazhab fikih suni menjadi penting untuk dibahas agar mengetahui

bagaimana peranan dan sumbangsih mazhab-mazhab fikih suni bagi hukum Islam.
60

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dari makalah yang

berjudul “Mengenal Mazhab-Mazhab dalam Fikih Suni” dapat dirumuskan beberapa

pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah penyebaran fikih suni?

2. Bagaimana konsep dasar fikih suni?

3. Bagaimana peranan fikih suni dalam hukum Islam?


61

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Penyebaran Fikih Suni

Mazhab fikih suni adalah metode yang dilalui oleh ahli fikih suni mujtahid

yang menjadi kekhususan mereka dibanding ahli fikih mujtahid yang lain yang

mengantarkan pada pemilihan hukum ijtihadi yang bersifat amalan pada perkara-

perkara cabang yang diperoleh dari dalil-dalil yang mu’tabar.0 Mazhab fikih yang

paling masyhur secara umum terbagi dua, yaitu mazhab fikih yang masih eksis

hingga saat ini dan mazhab fikih yang telah punah. Mazhab fikih yang masih eksis

hingga hari ini adalah mazhab Abū Ḥanῑfah (150 H), mazhab Mālik bin Anas (179

H), mazhab al-Syāfi’ῑ (204), dan mazhab Aḥmad bin Ḥanbal (254 H). Adapun

mazhab fikih yang telah punah di antaranya adalah mazhab al-Ḥasan al-Baṣrῑ (110

H) di Basrah, mazhab ‘Abdullah bin Syubrumah (144 H) di Yaman dan Kufah,

mazhab al-Auzā’i (157 H) di Syam dan Andalus, mazhab Sufyān al-Ṣaurῑ (161

H) di Kufah dan selainnya, mazhab al-Laῑṡ bin Sa’d (175 H) di Mesir.0

1) Sejarah Penyebaran Mazhab Ḥanafῑ

Berdirinya mazhab ḥanafi dimulai di masa Abū Ḥanῑfah hingga wafatnya

salah satu murid senior Abū Ḥanῑfah yaitu al-Ḥasan bin Ziyād al-Lu’lu’i. Setelah

0
Muḥammad bin Muḥammad al-Ṭarablisῑ, Mawāhib al-Jalῑl, Juz 1 (Dimasyq: Dār al-Fikr,
1992), h. 24.
0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, (Riyad: Jāmi’ah al-Imām Muḥammad
bin Su’ud, 1437 H), h. 43-44.
62

itu mazhab ḥanafῑ dikembangkan oleh dua sahabat Abū Ḥanῑfah yaitu Abū Yūsuf

dan Muḥammad bin al-Ḥasan.0 Mazhab ḥanafῑ menjadi mazhab fikih yang paling

banyak tersebar, mazhab ini tersebar di Irak, Afganistan, Bukhara, Khurasan,

Pakistan, dan India. Saat Daulah ‘Uṡmāniyyah berkuasa, mereka membatasi

masalah peradilan hanya dengan menggunakan mazhab ḥanafῑ pada semua

wilayah yang menjadi kekuasaan Daulah ‘Uṡmāniyyah. Sebab terpenting luasnya

penyebaran mazhab ḥanafῑ adalah mahzab tersebut adalah mazhab fikih yang

paling pertama muncul, beberapa khalifah Daulah ‘Abbasiyah menjadikannya

sebagai rujukan, seperti ketika mereka menjadikan Abū Yūsuf sebagai qāḍῑ di

Bagdad dan pada saat itu ia diberi gelar qāḍῑ al-quḍāt, juga ketika Daulah

‘Uṡmāniyyah menjadikan mazhab tersebut sebagai mazhab resmi negara.0

2) Sejarah Penyebaran Mazhab Mālikῑ

Berdirinya mazhab mālikῑ dimulai dari Mālik bin Anas yang duduk

memberi fatwa hingga orang-orang memberikannya gelar “imam” pada tahun 110

H, periode pembentukan mazhab ini berakhir pada abad ke-3 Hijriah. Pada abad

ke-4 hingga abad ke- 6 Hijriah adalah periode perkembangan mazhab mālikῑ, pada

periode ini ulama mazhab mālikῑ mulai melakukan proses tafrῑ’, taṭbῑq, dan tarjῑḥ.

Kitab ringkas yang masyhur yang muncul di periode ini di antaranya adalah kitab

al-tafrῑ’ karya Ibnul Jallāb.0 Mazhab mālikῑ tersebar pertama kali di daerah Hijaz

yang merupakan tempat menetapnya Mālik bin Anas, kemudian tersebar di Mesir

dan bagian utara dari Afrika, umumnya di ujung daerah Magrib dan Andalus,
0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 70-71.
0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 82.
0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 86.
63

bahkan dahulu mazhab mālikῑ menjadi mazhab yang paling menonjol di Andalus

dikarenakan para pemimpin Magrib dan Andalus menjadikannya rujukan utama.

3) Sejarah Penyebaran Mazhab Syāfi’ῑ

Pembentukan mazhab syāfi’ῑ dimulai dari ziarah kedua al-Syāfi’ῑ ke

Bagdad pada tahun 195 H hingga beliau wafat tahun 204 H. Pada tahun 195-199

H ketika al-Syāfi’i bermukim di Irak terbentuk mazhab qadῑm, dan pada tahun

199-204 H ketika ia bermukim di Mesir terbentuk mazhab jadῑd di mana al-

Syāfi’ῑ mengubah beberapa hasil ijtihadnya dan mengoreksi beberapa

pendapatnya lalu dituangkan dalam kitab fikihnya yang bernama al-umm. Al-

Syāfi’ῑ beberapa kali melakukan rihlah antara Mekah, Madinah, Irak, dan Yaman

sebelum kemudian ia menetap di Mesir dan menyebarkan mahzabnya di negara

tersebut. Kebanyakan murid dan pengikutnya pun berada di Mesir. Mazhab syāfi’ῑ

tersebar di Mesir, selatan dan timur Afrika, Yaman, Syam, Asia Tenggara.0

4. Sejarah Penyebaran Mazhab Ḥanbalῑ

Pembentukan mazhab ḥanbalῑ dimulai ketika Aḥmad bin Ḥanbal mengajar

dan memberi fatwa pada tahun 204 H. Aḥmad bin Ḥanbal memulainya ketika

berusia 40 tahun karena sebelum itu ia fokus untuk memperdalam ilmu sebelum

disibukkan untuk berfatwa dan mengajar. Keluasan ilmu dan riwayat yang

dimilikinya pun membuat para penuntut ilmu mendatanginya, maka tersebarlah

ilmu Aḥmad bin Ḥanbal di tengah-tengah manusia, terlebih dengan ditulisnya

masalah ilmu dan fatwa Aḥmad bin Ḥanbal oleh murid-muridnya. Mazhab

0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 116.
64

ḥanbalῑ pada awalnya tersebar di Irak, kemudian setelah abad ke-4 H tersebar di

Syam, Palestina, dan Mesir. Pada masa kontemporer saat ini mazhab ḥanbalῑ

tersebar di Jazirah Arab disebabkan para ulama bahkan Arab Saudi yang

menjadikannya rujukan utama. Sebagian kecil pengikut mazhab ḥanbali juga ada

di Mesir, Syam dan Irak.0

C. B. Konsep Dasar Fikih Suni

1. Konsep Dasar Fikih Ḥanafῑ

Fikih mazhab ḥanafῑ berpegang pada enam dalil dasar, yaitu kitab, sunah, ijmak,

qaul al-ṣaḥābῑ, kias, dan istihsan.

a) Kitab

Kitab yaitu al-Qur’an adalah pegangan utama dari fikih ḥanafῑ yang merupakan

sumber utama dari segala sumber yang ada, tak ada satu sumber pun dalam mazhab ini

kecuali pasti merujuk kepada al-Qur’an.

b) Sunah

Sunah merupakan sumber kedua dari sumber pensyariatan yang merupakan

penjelas dan berfungsi menafsirkan al-Qur’an. Abū Ḥanῑfah mengambil hadis yang sahih

dari nabi saw. Para ulama mazhab ḥanafῑ merinci penerimaan hadis jika ia merupakan

khabar al-āḥād yang menyelisihi kias.0

c) Ijmak

0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 145.
0
Muḥammad Abū Zuhrah, Abū Ḥanῑfah: Ᾱrā’uhu wa Fiqhuhu (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabῑ,
2008), h. 337
65

d) Qaul al-Ṣaḥābῑ

Jika terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat maka akan dipilih

pendapat yang dianggap rajih dan mazhab ḥanafῑ tidak akan mengambil pendapat selain

dari para sahabat.

e) Kias

Jika tidak ditemukan dalil dari al-Qur’an, sunah, ijmak, dan qaul al-ṣaḥābῑ, maka

mazhab ḥanafῑ akan beralih ke dalil kias jika memungkinkan.

f) Istihsan

Dalil istihsan digunakan jika kias tidak memungkinkan dilakukan. Istihsan bagi

mazhab ḥanafῑ bukanlah sebuah pendapat yang didasari hawa nafsu, juga bukan beramal

dengan istihsan tanpa ada dalil yang menjadi dasar dalam syariat, mazhab ḥanafῑ hanafi

sangat berhati-hati dalam melakukan hal tersebut. Istihsan yang dimaksud adalah

sebagaimana yang diungkapkan oleh Abū al-Ḥasan al-Kurkhῑ bahwa istihsan adalah

mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa

dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam

pandangan mujtahid.0

2. Konsep Dasar Fikih Mazhab Māliki

0
‘Abdul ‘Azῑz Aḥmad bin Muḥammad ‘Alauddῑn, Kasyf al-Asrār, Juz 4 (Istanbul: Maṭba’ah
al-Syarikah al-‘Uṡmāniyyah, 2008), h. 4.
66

Fikih mazhab mālikῑ berpegang pada sebelas dalil dasar, yaitu kitab, sunah,

ijmak, kias, amalan penduduk Madinah, qaul al-ṣaḥābῑ, syar’u man qablanā, al-maṣāliḥ

al-mursalah, istihsan, sadd al-żarā’i, dan istiṣḥāb.

a) Kitab (al-Qur’an)

b) Sunah

Baik itu sunah yang mutawatir, masyhur, dan āḥād. Mazhab mālikῑ terkenal

dengan penerimaannya terhadap hadis mursal dan bolehnya berhujah dengannya jika

hadis tersebut diriwayatkan dari seorang yang ṡiqah dan mengetahui hadis mursal yang

diriwayatkannya.

c) Ijmak

d) Kias

Imam Malik dan para sahabatnya termasuk yang menggunakan dalil kias dengan

cukup luas di mana mereka tidak membatasi kias hanya pada hukum-hukum yang ada

nasnya, akan tetapi mereka juga mengkiaskan sesuatu dengan sesuatu yang telah

ditetapkan dengan kias.0

e) Amalan penduduk Madinah

Dalil ini menjadi kekhususan dari mazhab mālikῑ yang tidak digunakan oleh

mazhab-mazhab fikih yang lain, yang dimaksud dari amalan penduduk Madinah adalah

0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 88.
67

kesepakatan ahli ilmu di Madinah atau kebanyakan dari mereka dari kalangan sahabat

dan tabiin terhadap suatu permasalahan.0

f) Qaul al-Ṣaḥābῑ

Qaul al-ṣaḥābῑ adalah pendapat dari sahabat nabi saw. yang berasal dari

ijtihadnya dan tidak ada seorang pun dari sahabat lain yang menyelisihinya dan pendapat

tersebut bukan pendapat yang masyhur.0

g) Syar’u man qablanā

Syar’u man qablanā adalah hukum yang ditetapkan dalam syariat salah seorang

rasul terdahulu dengan nas al-Qur’an, atau sunah yang sahih, dan tidak ada dalil dalam

syariat kita yang menghapuskan dan menetapkan hukum tersebut.

h) Al-Maṡāliḥ Al-Mursalah

Al-maṣāliḥ al-mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ditetapkan dalam syariat

dan tidak pula dinafikan oleh syariat. Penggunaan dalil ini memiliki syarat-syarat yang

harus terpenuhi.

i) Istihsan

Istihsan yang menjadi sandaran Imam Malik dalam fikih dan fatwanya adalah

pendapat yang lebih kuat dari dua dalil yang ada.0

j) Sadd al-Żarā’i

0
‘Abdurraḥmān bin ‘Abdillāh Al-Sya’lān, Uṣūl Fiqh al-Imām Mālik, Juz 2 (Riyad: Jāmi’ah al-
Imām Muḥammad bin Su’ud, 1437 H), h. 1037.
0
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’ῑn, Juz 4 (Beiru: Dāl al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1991), h. 120.
0
Ibrāhῑm bin ‘Alῑ bin Farḥūn al-Ya’marῑ, Kasyf al-Niqāb al-Ḥājib (Cet. I; Beirut: Dār al-Garb
al-Islāmῑ, 1999), h. 125.
68

Sadd al-żarā’i adalah mencegah sesuatu yang diperbolehkan agar tidak menjadi

wasilah kepada sesuatu yang tidak diperbolehkan.

k) Istiṣḥāb

Istiṣḥāb terbagi dua, yaitu istiṣḥāb al-‘adam al-aṣlῑ dan istiṣḥāb al-ḥukm al-

syar’ῑ. Istiṣḥāb al-‘adam al-aṣlῑ adalah ketetapan pada tidak adanya hukum sampai ada

dalil yang menunjukkan adanya hukum tersebut. Istiṣḥāb al-ḥukm al-syar’ῑ adalah

tetapnya sesuatu di atas sesuatu sampai adanya dalil yang menyelisihinya. 0

3. Konsep Dasar Fikih Mazhab Syāfi’ῑ

Fikih mazhab syāfi’ῑ berpegang pada lima dalil dasar, yaitu kitab, sunah, ijmak,

qaul al-ṣaḥābῑ, serta kias.

a) Kitab (al-Qur’an)

b) Sunah

Al-Syāfi’i menentang dengan tegas kelompok yang mengingkari bolehnya

berhujah dengan sunah dan menisbatkan dirinya kepada Islam. 0

c) Ijmak

Ijmak (konsensus) dari para ulama pada permasalahan yang tidak terdapat dalam

al-Qur’an dan sunah. Al-Syafi’i menetapkan bolehnya berhujah dengan dalil ijmak dan

dalil ini berada di urutan ketiga setelah al-Qur’an dan sunah.

0
Syihāb al-Dῑn Al-Qarrāfῑ, Al-Furūq, Juz 2 (Mekah: Wizārah al-Awqāf al-Su’ūdiyyah, 2010),
h. 60.
0
Muḥammad bin Idrῑs Al-Syāfi’ῑ, Al-Umm, Juz 7 (Kairo: Dār al-Wafā’, 2001), h. 250.
69

d) Qaul al-Ṣaḥābῑ

Pendapat sahabat akan dipilih jika tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya,

perkataan sahabat adalah hujah jika suatu masalah tidak ditemukan dalam al-Qur’an,

sunah, serta ijmak.

e) Kias

Syāfi’ῑ telah menetapkan bahwa seorang ahli fikih ketika tidak menemukan

jawaban dari keempat dalil yang ada sebelumnya maka baginya untuk berijtihad untuk

mengetahui hukum masalah tersebut. Ijtihad dan kias adalah dua nama yang memiliki

makna yang sama.

4. Konsep Dasar Fikih Mazhab Ḥanbalῑ

Fikih mazhab ḥanbalῑ berpegang pada delapan dalil dasar, yaitu nas, ijmak, qaul

al-ṣaḥābῑ, hadis mursal dan daif, kias, istihsan, istiṣḥāb, serta sadd al-żarā’i.

a) Nas

Nas yang dimaksud adalah adalah nas al-Qur’an dan sunah yang sahih, keduanya

berada di satu tingkatan yang sama bagi Aḥmad dalam hal penjelasan hukum syariat.

Walaupun nas al-Qur’an lebih diutamakan dari nas sunah dalam hal i’tibār. Mazhab

ḥanbalῑ dianggap sebagai mazhab yang paling sering mengkompromikan di antara nas-

nas yang ada.0

0
Ibnu Badrān, Al-Madkhal ilā Mażhab al-Imām Aḥmad (Beirut: Mu’assasah al-Risālah,
1981), h. 31.
70

b) Ijmak

Ijmak merupakan di antara dalil rujukan dalam mazhab ḥanbalῑ walau dalam

penerapannya Aḥmad bin Ḥanbal sangat ketat dalam menetapkan ijmak.

c) Qaul al-Ṣaḥābῑ

Fatwa sahabat nabi saw. menjadi dalil selanjutnya dalam mazhab ḥanbalῑ.

Pendapat sahabat yang diambil oleh Aḥmad bin Ḥanbal adalah pendapat yang tidak ada

yang menyelisihinya dari kalangan sahabat. Jika didapati beberapa fatwa dari para

sahabat dalam satu masalah maka akan dipilih pendapat yang dianggap paling dekat pada

al-Qur’an dan sunah.

d) Hadis mursal dan daif

Syarat berhujah dengan hadis mursal dan daif di antaranya adalah hadis tersebut

bukanlah hadis yang sangat lemah, tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat

darinya seperti ijmak, serta hadis tersebut didukung oleh beberapa indikator seperti

perkataan sahabat, kias, pendapat dari mayoritas tabiin. 0

d) Kias

Mazhab hanbalῑ tidak beralih pada kias dalam istinbat hukum kecuali dalam

keadaan darurat, yaitu ketika tidak adanya nas dalam suatu permasalahan, baik itu dalam

al-Qur’an, sunah, atau perkataan sahabat, maupun hadis mursal dan daif.

e) Istihsan

0
Ibnu Badrān, Al-Madkhal ilā Mażhab al-Imām Aḥmad, h. 31.
71

Istihsan menurut Aḥmad bin Ḥanbal adalah meninggalkan kias menuju dalil yang

lebih kuat menurut padangan pandangan mujtahid.0

f) Istiṣḥāb

Istiṣḥāb menjadi hujah bagi Aḥmad bin Ḥanbal ketika tidak adanya dalil dari nas,

ijmak, perkataan atau fatwa para sahabat, atau dari kias.

g) Sadd al-Żarā’i

Sadd al-żarā’i mencegah sesuatu yang secara zahir hukumnya boleh jika sesuatu

itu menjadi wasilah terjadinya perkara yang diharamkan.

C. Peran Fikih Suni dalam Hukum Islam

Perbedaan dari fikih suni mengantarkan pada terbentuknya kaidah-kaidah yang

menjadi dasar bagi perbedaan pendapat yang ada. Munculnya ilmu uṡūl al-fiqh dan ilmu-

ilmu lainnya seperti ilmu al-munāẓarāt, penelitian tentang maqāṣid al-syarῑ’ah, metode

istidlal serta adab-adab silang pendapat, semuanya merupakan buah dari perbedaan yang

terjadi di antara fikih suni. Tanpa adanya silang pendapat dari fikih suni akan

menyebabkan seseorang bisa saja menolak suatu kebenaran yang belum diketahuinya,

atau fanatik hanya pada satu pendapat yang ada, oleh sebab itu Qatādah pernah

mengatakan, “Barang siapa yang belum mengetahui silang pendapat yang ada maka ia

belum mencium fikih dengan hidungnya”. ‘Umar bin ‘Abdul Azῑz pernah mengatakan,

“Aku tidak suka jika sahabat rasulullah saw. tidak berbeda pendapat karena jika hanya

ada satu pendapat maka manusia akan berada dalam kesulitan”. 0 Munculnya berbagai

0
Ibnu Badrān, Al-Madkhal ilā Mażhab al-Imām Aḥmad, h. 39.
0
Ibnu ‘Abdil Barr al-Mālikῑ, Jāmi’ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlihi, Juz 2 (Dammam: Dār Ibnul Jauzῑ,
1994), h, 902.
72

mazhab fikih suni yang ada menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang dapat terus

berkembang dan sesuai untuk setiap waktu dan tempat.


73

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdirinya mazhab ḥanafi dimulai di masa Abū Ḥanῑfah, setelah itu mazhab

ḥanafῑ dikembangkan oleh dua sahabat Abū Ḥanῑfah yaitu Abū Yūsuf dan

Muḥammad bin al-Ḥasan. Mazhab ḥanafῑ menjadi mazhab fikih yang paling

banyak tersebar, mazhab ini tersebar di Irak, Afganistan, Bukhara, Khurasan,

Pakistan, dan India. Berdirinya mazhab mālikῑ dimulai dari Mālik bin Anas

yang duduk memberi fatwa. Mazhab mālikῑ tersebar pertama kali di daerah

Hijaz yang merupakan tempat menetapnya Mālik bin Anas, kemudian tersebar

di Mesir dan bagian utara dari Afrika, umumnya di ujung daerah Magrib dan

Andalus. Pembentukan mazhab syāfi’ῑ dimulai dari ziarah kedua al-Syāfi’ῑ ke

Bagdad pada tahun 195 H hingga beliau wafat tahun 204 H. Pada tahun 195-

199 H ketika al-Syāfi’i bermukim di Irak terbentuk mazhab qadῑm, dan pada

tahun 199-204 H ketika ia bermukim di Mesir terbentuk mazhab jadῑd di mana

al-Syāfi’ῑ mengubah beberapa hasil ijtihadnya dan mengoreksi beberapa

pendapatnya. Mazhab syāfi’ῑ tersebar di Mesir, selatan dan timur Afrika,

Yaman, Syam, Asia Tenggara. Pembentukan mazhab ḥanbalῑ dimulai ketika

Aḥmad bin Ḥanbal mengajar dan memberi fatwa pada tahun 204 H. Mazhab

ḥanbalῑ pada awalnya tersebar di Irak, kemudian setelah abad ke-4 H tersebar
74

di Syam, Palestina, dan Mesir. Pada masa kontemporer saat ini mazhab ḥanbalῑ

tersebar di Jazirah Arab.

2. Mazhab ḥanafῑ berpegang pada enam dalil dasar, yaitu kitab, sunah, ijmak, qaul

al-ṣaḥābῑ, kias, dan istihsan. Fikih mazhab mālikῑ berpegang pada sebelas dalil

dasar, yaitu kitab, sunah, ijmak, kias, amalan penduduk Madinah, qaul al-

ṣaḥābῑ, syar’u man qablanā, dan al-maṣāliḥ al-mursalah, istihsan, sadd al-

żarā’i, dan istiṣḥāb. Fikih mazhab syāfi’ῑ berpegang pada lima dalil dasar, yaitu

kitab, sunah, ijmak, qaul al-ṣaḥābῑ, serta kias. Fikih mazhab ḥanbalῑ berpegang

pada delapan dalil dasar, yaitu nas, ijmak, qaul al-ṣaḥābῑ, hadis mursal dan

daif, kias, istihsan, istiṣḥāb, serta sadd al-żarā’i.

3. Perbedaan dari fikih suni mengantarkan pada terbentuknya kaidah-kaidah yang

menjadi dasar bagi perbedaan pendapat yang ada. Munculnya ilmu uṡūl al-fiqh

dan ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu al-munāẓarāt, penelitian tentang maqāṣid

al-syarῑ’ah, metode istidlal serta adab-adab silang pendapat, semuanya

merupakan buah dari perbedaan yang terjadi di antara fikih suni. Tanpa adanya

silang pendapat dari fikih suni akan menyebabkan seseorang bisa saja menolak

suatu kebenaran yang belum diketahuinya, atau fanatik hanya pada satu

pendapat hukum yang ada.

B. Implikasi

Kesimpulan di atas mempunya implikasi antara lain:

1. Memberi pengetahuan tentang sejarah penyebaran mazhab fikih suni

2. Mengetahui konsep dasar setiap mazhab fikih suni


75

3. Memberikan pelajaran besarnya peranan para ulama terkhusus ulama mazhab

fikih suni dalam perkembangan hukum Islam


76

DAFTAR PUSTAKA

‘Alauddῑn. ‘Abdul ‘Azῑz Aḥmad bin Muḥammad. Kasyf al-Asrār, Juz 4. Istanbul:
Maṭba’ah al-Syarikah al-‘Uṡmāniyyah, 2008.

al-Gudayyān. ‘Umar bin ‘Abdul Azῑz. Tārῑkh al-Fiqh. Riyad: Jāmi’ah al-Imām
Muḥammad bin Su’ud, 1437 H.

Ibnu Badrān. Al-Madkhal ilā Mażhab al-Imām Aḥmad. Beirut: Mu’assasah al-
Risālah, 1981.

al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. I’lām al-Muwaqqi’ῑn, Juz 4. Beirut: Dāl al-Kutub


al-‘Ilmiyyah, 1991.

al-Mālikῑ, Ibnu ‘Abdil Barr. Jāmi’ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlihi, Juz 2. Dammam:
Dār Ibnul Jauzῑ, 1994.

Al-Qarrāfῑ, Syihāb al-Dῑn. Al-Furūq, Juz 2. Mekah: Wizārah al-Awqāf al-


Su’ūdiyyah, 2010.

Al-Syāfi’ῑ, Muḥammad bin Idrῑs. Al-Umm, Juz 7. Kairo: Dār al-Wafā’, 2001.

Al-Sya’lān, ‘Abdurraḥmān bin ‘Abdillāh. Uṣūl Fiqh al-Imām Mālik, Juz 2. Riyad:
Jāmi’ah al-Imām Muḥammad bin Su’ud, 1437 H.

al-Ṭarablisῑ, Muḥammad bin Muḥammad. Mawāhib al-Jalῑl, Juz 1. Dimasyq: Dār


al-Fikr, 1992.

al-Ya’marῑ, Ibrāhῑm bin ‘Alῑ bin Farḥūn. Kasyf al-Niqāb al-Ḥājib. Cet. I; Beirut:
Dār al-Garb al-Islāmῑ, 1999.

Zuhrah, Muḥammad Abū. Abū Ḥanῑfah: Ᾱrā’uhu wa Fiqhuhu. Kairo: Dār al-Fikr
al-‘Arabῑ, 2008.
MENGKAJI KONSEP QAṬ’Ī DAN ẒANNĪ
DALAM NAS

MAKALAH
Dipresentasikan dalam Seminar Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam
Jurusan Dirasat Islamiyah Program Studi Syariah Hukum Islam

Oleh:
Muh. Ihsan Dahri
NIM: 80100221156

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Kasjim Salenda, M.Th.I.
Prof. Dr. H. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan sebuah agama sekaligus pedoman dalam menjalani

perikehidupan. Bahkan Islam mengantur seluruh sendi kehidupan manusia, dari

hal terbesar hingga hal yang paling sederhana. Aturan tersebut termuat dalam

kitab suci pedoman umat Islam yaitu Al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah kitab samawi yang terakhir diturunkan oleh Allah swt.

kepada Nabi Muḥammad saw. untuk menuntun jalan manusia dari kegelapan

zaman menuju cahaya kebaikan yang paripurna. Sebagai kitab samawi yang

merupakan Kalam Allah, tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat

Islam terkait validitas sumbernya. Al-Qur’an tak diragukan lagi akan

keautentikannya yang terjaga hingga akhir zaman.0

Sebagai pedoman yang paripurna, Al-Qur’an senantiasa digandengkan

dengan hadis-hadis nabi saw. Jika Al-Qur’an sendiri tidak terdapat lagi keraguan

akan kesahihannya, maka berbeda dengan hadis nabi. Hadis nabi dalam hal ini ada

yang bersifat mutawatir, artinya diriwayatkan oleh banyak perawi di setiap

tabaqat sehingga disepakati akan kesahihannya, dan ada pula yang bersifat ahad

yang perlu melalui proses validasi kembali untuk menetapkan kebenaran

periwayatannya.

Dalam kaitannya tentang validitas sebuah dalil atau nas, maka para ulama

menggunakan istilah qaṭ’ī dan ẓannī. Dua peristilahan tersebut sangat penting

kaitannya dalam istinbat hukum oleh para ulama. Olehnya pembahasan terkait dua

istilah tersebut dan relevansinya dengan realita fikih kontemporer sangat

diperlukan. Apalagi dalam realita kekinian, umat Islam dibuat bimbang dalam

kenyataan tatkala diperhadapkan dengan berbagai perselisihan dan perbedaan


0
Lihat QS. al-Hijr/15: 9.
ulama dalam memahami hukum fikih. Memahami konteks qaṭ’ī dan ẓannī akan

membawa masyarakat dalam ketenangan dan kedamaian serta saling memahami

perbedaan yang ada tanpa harus saling menyalahkan dan menyesatkan jika

perbedaan tersebut masih dalam ranah yang diakomodir oleh syariat.

Dari segi etimologi/bahasa kata qaṭ’ī berasal dari bahasa Arab, yaitu al-

qaṭ’u, yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja ‫ قطع‬yang berarti memotong,

tajam, menjadikan sesuatu dengan yang lainnya jelas. 0 Dalam bahasa lain, qaṭ’ī

secara etimologi bermakna yang definitive (pasti). 0 Secara terminologi, qaṭ’ī

bermakna sesuatu yang tidak ada keraguan tentangnya, apa yang pasti dan tidak

perlu lagi pengujian akan validitasnya.0

Adapun istilah ẓannī secara etimologi berasal dari kata kerja ‫يظن‬-‫ ظن‬yang

bermakna ragu, sangkaan, atau sesuatu yang bersifat spekulatif. Secara istilah,

ẓannī merupakan nas yang menunjukkan atas makna, dimana makna tersebut

memungkinkan untuk ditakwilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada

makna yang lain.0

Kedua istilah tersebut akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah

ini, dan lebih jauh bagaimana perkembangannya dari masa ke masa serta

interpretasi keduanya dalam masalah fikih termutakhir.

B. Rumusan Masalah

0
Ibn Fāris, Mu’jam Maqāyῑs al-Lugah, Juz 2 (Dimasyq; Maktabah Dār al-Fikr, 1979 M),
h. 101.
0
Firdaus. “Konsep Qath’i dan Zhanni al-Dalalah dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran
Al-Qur’an”. Jurnal Hukum Diktum 11, 1 (2013), h. 25.
0
Ahmad Muktar Abdul Hamid, Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyyah al-Mu’āṣirah, Juz 3 (Cet
I; Riyad: ‘Ālam al-Kutub, 1429 H/2008 M), h. 1837.
0
Abdul Wahhab Khallaf. ‘Ilmu Usūl al-Fiqhi. (Kuwait: Dar al-Kuwaitiyah, 1968), h. 46.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka pemakalah akan mengemukakan

beberapa permasalahan berikut:

1. Bagaimana sejarah perkembangan qaṭ’ī dan ẓannī di era klasik?

2. Bagaimana bentuk-bentuk qaṭ’ī dan ẓannī dalam nas?

3. Bagaimana perkembangan qaṭ’ī dan ẓannī di era modern?


81

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah perkembangan qaṭ’ī dan ẓannī di era klasik

Konsep qaṭ’ī dan ẓannī merupakan teori pokok yang dikembangkan ulama

untuk memahami teks Al-Qur'an dan hadis dalam rangka penalaran fikih. Qaṭ’ī

dan ẓannī sendiri merupakan istilah yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an maupun

hadis. Dengan demikian, kategorisasi ini adalah konsep yang dicetuskan oleh para

ulama fikih. Teori ini tidak pernah digugat karena kemiripannya yang kuat dengan

konsep muhkamat dan mutasyabihat yang dikenal dalam ilmu Al-Qur'an.

Keduanya sama-sama berangkat dari sudut semantik (bahasa) bukan ide

(subtansi). Bedanya, qaṭ’ī dan ẓannī digunakan untuk memahami ayat-ayat

hukum, sedangkan muhkamat dan mutasyabihat untuk ayat-ayat non-hukum.0

Sebagai suatu konsep, para ulama dalam mendefinisikan qaṭ’ī dan ẓannī

memakai dua sudut pandang, yaitu segi dalālah (penunjukan/maksud) dan segi

wurūd (kedatangan/sumber) suatu dalil. Dari dua sudut pandang ini, maka dikenal

adanya qaṭ’ī al-wurūd dan ẓannī al-wurūd, juga qaṭ’ī al-dalālah dan ẓannī al-

dalālah. Semua kategori ini dipergunakan untuk konsep analisis dalam memahami

Al-Qur'an dan hadis.0

Kategorisasi ini merupakan kunci pembuka bagi seluruh bangunan

pemahaman terhadap wahyu, yang berarti pemahaman terhadap syariat secara

0
Iqbal Abdul Rauf Saimima, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1998), h. 182.
0
Taufiq Adnan Amal, Tafsir kontekstual al-Qur'an (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994), h.
30-31.
82

menyeluruh. Sebelum ulama menentukan sikapnya terhadap suatu dalil, maka

yang dilihat terlebih dahulu adalah apakah dalil itu qaṭ’ī atau ẓannī. Bila qaṭ’ī

berarti dijalankan sebagaimana mestinya, dan bila ẓannī berarti dilakukan analisis

lebih jauh sesuai dengan kebutuhan.

Tidak ada catatan sejarah yang pasti terkait sejak kapan konsep ini

diperkenalkan secara lugas. Imam Syafi'i dalam al-Risālah belum menggunakan

kedua istilah ini. Ia menggunakan istilah al-bayān, zāhir, mafhūm, dll. Jika ditarik

mundur, maka di zaman sahabat pun belum ada petunjuk bahwa mereka telah

menggunakan konsep ini dalam penalaran fikih mereka. Karenanya Al Yasa Abu

Bakar menganggap konsep ini berkembang sesudah masa empat imam mazhab.0

Berbeda dengan pendapat di atas, menurut penelitian al-Ṣallābī0, benih

pembagian ini telah ada sejak masa khulafaurasyidun dan sahabat besar, yaitu

sejak wafatnya Rasululah saw. (11 H) sampai pertengahan abad IV H. Di masa

para sahabat itu telah berkembang pemikiran tentang kepastian dan

ketidakpastian, ketika memperdebatkan khabar ahad (tunggal), apakah

menghasilkan kepastian atau tidak. Terbukti Ali pernah berkata, "Perkataan satu

orang pasti aku tolak, kecuali orang itu Abu Bakar al-Siddiq". Dalam hal ini, Ali

telah mengakui dan memastikan kebenaran khabar ahad dari Abu Bakar, yang

hanya seorang.0

0
Muhyar Fannani. "Sejarah Perkembangan Konsep Qath'iy-Zhanniy: Perdebatan Ulama
tentang Kepastian dan Ketidakpastian dalil Syari'at". Jurnal Al-Jami’ah 39, 2 (2001), h. 440-441
Firdaus. “Konsep Qath’i dan Zhanni al-Dalalah dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran
Al-Qur’an”, h. 25.
0
ʿAlī Muḥammad Muḥammad aṣ-Ṣallābī, seorang sejarawan, fakih, dan politikus asal
Libya kelahiran 1963.
0
Muhyar Fannani. "Sejarah Perkembangan Konsep Qath'iy-Zhanniy: Perdebatan Ulama
tentang Kepastian dan Ketidakpastian dalil Syari'at", h. 441
83

Pendapat Shalabiy ini, lebih banyak didukung oleh fakta historis dari pada

pendapat pertama. Walaupun demikian, pemikiran qaṭ’ī dan ẓannī pada masa

sahabat belum berbentuk suatu konsepsi yang formal dan tegas sebagaimana pada

periode sebelumnya. Dalam periode Imam Syāfi’ī (767-820 M), benih pemikiran

qaṭ’ī dan ẓannī juga telah ada. Bahkan ada yang berpendapat Imam Syāfi’ī orang

pertama yang menggagas konsep qaṭ’ī dan ẓannī itu, walaupun ia belum

mempunyai istilah khusus untuk menampung konsep tersebut.

Pendapat ini didukung oleh bukti-bukti yang akurat. Dalam al-Risālah,

Imam Syāfi’ī menggambarkan ide tentang qaṭ’ī dan ẓannī pada dua tempat;

pertama, ketika menjelaskan pengetahuan hukum yang diperoleh berdasarkan

khabar ahad; dan kedua, ketika menjelaskan otoritas qiyas. Khabar ahad

menurutnya tidak menghasilkan kepastian (ihātah), sebagaimana kepastian yang

dihasilkan oleh nas Al-Qur'an dan khabar mutawatir. Dalil yang berupa al-Qur'an

dan sunnah yang diriwayatkan secara mutawatir menghasilkan kebenaran lahir

batin, sedangkan dalil yang berupa khabar ahad menghasilkan kebenaran pada

lahirnya saja, seperti kebenaran yang disimpulkan oleh hakim berdasarkan adanya

keterangan saksi yang mungkin saja berbohong dan juga kebenaran qiyas.0

Lebih jauh menurut Syafi'i, dalālah Al-Qur'an dan hadis itu bertingkat-

tingkat. Dalālah itu memiliki kedudukan berbeda-beda dalam istidlāl. Ayat yang

ṣarīh (jelas) dalam al-Qur'an tidak menerima takwil. Ketika para ulama periode

Syāfi’ī banyak berdebat tentang khabar ahad, apakah qaṭ’ī dan ẓannī, Syafi'i

mengambil sikap bahwa khabar ahad itu ẓannī tapi bisa sebagai hujjah. Benih

0
Muhyar Fannani. "Sejarah Perkembangan Konsep Qath'iy-Zhanniy: Perdebatan Ulama
tentang Kepastian dan Ketidakpastian dalil Syari'at", h. 441-442
84

pemikiran qath'iy-zhanniy ini kemudian berkembang di tangan ulama-ulama

periode selanjutnya.0

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pencetus utama konsep ini

adalah Imam Syafi'i (w. 204 H/820 M). Walaupun demikian, benih dari konsep ini

telah ada sejak masa khulafaurasyidun. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh

para ulama sesudah Syafi'i dan mencapai wujudnya yang lebih tegas di tangan

Imam al-Haramain (w.478 H/ 1085 M), walaupun ia belum menggunakan istilah

qaṭ’ī dan ẓannī. Istilah qaṭ’ī dan ẓannī baru dipopulerkan oleh ulama usul fikih

muta’akhkhir seperti Abd ‘Aziz al-Bukhārī 0dan Kamāl bin Hamām.00

B. Bentuk-bentuk qaṭ’ī dan ẓannī dalam nas

Pembahasan qaṭ’ī dan ẓannī di kalangan ulama khususnya ulama di bidang

usul fikih umumnya mengklasifikasi nas menjadi empat bagian. Masing-masing

qaṭ’ī dan ẓannī terdiri atas dua bagian, yaitu qaṭ’ī al-wurūd atau qaṭ’ī al- ṡubūt

(kepastian kebenaran sumber), qaṭ’ī al-dalālah (kepastian kandungan makna) dan

ẓannī al-wurūd atau ẓannī al- ṡubūt (ketidakpastian sumber) dan ẓannī al-dalālah

(mengandung takwil).0 Adapun pembagian berdasarkan nas, maka Al-Qur’an

seluruhnya qaṭ’ī al-wurūd, namun kandungan maknanya sebagian merupakan

qaṭ’ī al-dalālah dan sebagian lainnya ẓannī al-dalālah.


0
Muhyar Fannani. "Sejarah Perkembangan Konsep Qath'iy-Zhanniy: Perdebatan Ulama
tentang Kepastian dan Ketidakpastian dalil Syari'at", h. 442.
0
‘Abdul ‘Azīz bin Ahmad bin Muḥammad ‘Alāuddīn al- Bukhārī (wafat tahun 730
H/1330 M), seorang ulama usul fikih kenamaan. Diantara buku beliau ialah Kasyfu al-Asrar syarh
Usul Fiqhi li al-Barzawi dan Al-Tahqiq fi Syarh al-Muntakhab fi Usul al-Mazhab.
0
Muḥammad bin ‘Abdul Wahid bin Abdul Hamid bin Mas;ud al-Siwasi Kamaluddin
yang dikenal juga sebagai Ibnu al Hamam (790-861 H/1388-1457 M), merupakan seorang ulama
hanafiyah yang berasal dari daerah Sivas, Turki. Diantara buku beliau ialah Al-Tahrīr fi Usūl al-
Fiqhi dan Fath al-Qadīr fi Syarhi al-Hidāyah
0
Muhyar Fannani. "Sejarah Perkembangan Konsep Qath'iy-Zhanniy: Perdebatan Ulama
tentang Kepastian dan Ketidakpastian dalil Syari'at", h. 445.
0
Ali Yasa Abu Bakar, Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya dalam Hukum
Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991), h. 173.
85

Hadis atau sunah nabawi diantaranya merupakan qaṭ’ī al-wurūd yaitu

hadis mutawatir baik lafzī maupun maknawi. Ini karena derajat periwayatannya

yang kuat sebagaimana Al-Qur’an. Namun, hadis ini kebanyakannya bersifat

ẓannī al- ṡubūt yaitu hadis-hadis ahad, dimana periwayatannya tidak sampai

derajat mutawatir dan sebagiannya diperselisihkan kevalidannya oleh para ulama

muḥaddiṡīn.

Dar pengklasifikasian nas berdasarkan qaṭ’ī dan ẓannī, berikut diuraikan

contoh dari masing-masing bagian :

1. Qaṭ’ī al-wurūd dan qaṭ’ī al-dalālah

Misalnya firman Allah tentang warisan dalam QS. Al-Nisa/ 4:11.

‫ك َأ ۡز ٰ َو ُج ُكمۡ ِإن لَّمۡ يَ ُكن لَّه َُّن َولَ ۚد فَِإن َكانَ لَه َُّن َولَد فَلَ ُك ُم ٱلرُّ بُ¼¼ ُع ِم َّما‬ َ ‫ف َما ت ََر‬ ُ ‫ص‬ ۡ ِ‫َولَ ُكمۡ ن‬
‫صينَ بِهَٓا َأ ۡو د َۡي ۚن َولَه َُّن ٱلرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ۡكتُمۡ ِإن لَّمۡ يَ ُكن لَّ ُكمۡ َولَ ۚد‬
ِ ‫صيَّة يُو‬ ِ ‫ت ََر ۡك ۚنَ ِم ۢن بَ ۡع ِد َو‬
‫صيَّة تُوصُونَ بِهَٓا َأ ۡو د َۡين‬
0 ۗ
ِ ‫فَِإن َكانَ لَ ُكمۡ َولَد فَلَه َُّن ٱلثُّ ُم ُن ِم َّما ت ََر ۡكتُمۚ ِّم ۢن بَ ۡع ِد َو‬
Terjemahnya:
Dan bagian kamu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
mereka (istri-istrimu) mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka
buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat
atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu.

Dalam ayat tersebut amat jelas bagian warisan yang didapatkan oleh suami

jika istrinya wafat ialah seperdua jika mereka tidak memiliki anak, dan

seperempat jika keduanya memiliki anak. Adapun istri mendapatkan seperempat

bagian jika suaminya wafat dalam kondisi mereka tidak memiliki anak, dan

0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an & Terjemah, Cet. I (Jakarta Timur: Penerbit Ummul
Qura, 2019), h. 79.
86

seperdelapan jika memiliki anak. Maka ayat tersebut termasuk qaṭ’ī al-dalālah

karena tidak ada ruang untuk ditafsirkan dan dibelokkan ke arah lain.

Contoh lainnya terdapat dalam QS. Al-Maidah/ 5:89.

‫ط َعا ُم‬ ِ ‫اخ ُذ ُك ُم هَّللا ُ بِاللَّ ْغ ِو فِي َأ ْي َمانِ ُك ْم َو ٰلَ ِك ْن يَُؤ‬


ْ ‫اخ ُذ ُك ْم بِ َما َعقَّ ْدتُ ُم اَأْل ْي َمانَ ۖ فَ َكفَّا َرتُهُ ِإ‬ ِ ‫اَل يَُؤ‬
‫ط ِع ُمونَ َأ ْهلِي ُك ْم َأوْ ِك ْس َوتُهُ ْم َأوْ تَحْ ِري ¼ ُر َرقَبَ ¼ ٍة ۖ فَ َم ْن لَ ْم‬ ْ ُ‫َع َش َر ِة َم َسا ِكينَ ِم ْن َأوْ َس ِط َما ت‬
‫ك َكفَّا َرةُ َأ ْي َمانِ ُك ْم ِإ َذا َحلَ ْفتُ ْم ۚ َواحْ فَظُ¼¼وا َأ ْي َم¼¼انَ ُك ْم ۚ َك¼ ٰ َذلِكَ يُبَي ُِّن‬ َ ِ‫صيَا ُم ثَاَل ثَ ِة َأي ٍَّام ۚ ٰ َذل‬
ِ َ‫يَ ِج ْد ف‬
0
َ‫هَّللا ُ لَ ُك ْم آيَاتِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون‬
Terjemahnya:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah
itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang
demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya).

Dalam ayat tersebut diterangkan mengenai kafarat sumpah, yaitu

memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka (dengan

jumlah yang semisal) atau memerdekakan seorang budak, atau berpuasa selama

tiga hari. Dalam ayat ini, bilangan-bilangan yang disebutkan (10 orang miskin,

berpuasa 3 hari) merupakan dalil yang bersifat qaṭ’ī al-dalālah karena tidak ada

celah untuk ditambahkan atau dikurangi kadar yang telah disebutkan dalam nas

tersebut.

2. Qaṭ’ī al-wurūd dan ẓannī al-dalālah

Yaitu nas-nas yang dari sisi kevalidannya tidak terdapat keraguan akan

validitasnya, namun dari segi maknanya masih terbuka ruang untuk ditafsirkan

0
Kementerian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 122.
87

dengan beragam penafsiran. Contohnya ialah ayat tentang masa idah wanita yang

ditalak dalam QS. al-Baqarah/2:228.

0
ۚ ‫ات يَت ََربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬
ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬
Terjemahnya:
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
qurū'.

Dalam ayat ini terjadi silang pendapat di antara ulama mengenai makna

dari kata quru’. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa makna quru’

dalam ayat ini ialah suci. Artinya wanita yang ditalak oleh suaminya, masa

iddahnya ialah tiga kali suci. Pendapat ini juga diutarakan oleh sebagian sahabat

nabi saw. Dintaranya Aisyah ra., Abdullah bin Umar ra. dan Zaid bin Sabit ra.

Pendapat kedua mengenai makna dari kata quru’ diriwayatkan dari

sebagian sahabat diantaranya ‘Umar bin Khattāb ra., ‘Abdullāh bin Mas’ūd ra.

Abū Mūsā al-Asy’arī ra. dan Abū al-Dardā’ ra., dan pendapat ini juga yang

dikemukakan oleh Imam Abū Hanīfah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut

mereka, kata quru’ berarti haid, yang bermakna bahwa wanita yang ditalak oleh

suaminya, masa iddahnya ialah tiga kali haid.0

Oleh karenanya, lafaz quru’ dalam ayat merupakan lafaz musytarak dalam

artian mengandung dua makna, sehingga ayat tersebut digolongkan ayat yang

Qaṭ’ī al-wurūd namun ẓannī al-dalālah.

Contoh lainnya ialah terdapat dalam QS. al-Maidah/ 5:31.

ٰ ۟
ِ ‫َّارقَةُ فَٱ ْقطَع ُٓوا َأ ْي ِديَهُ َما َجزَٓا ۢ ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكاًل ِّمنَ ٱهَّلل ِ ۗ َوٱهَّلل ُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوٱلس‬ ِ ‫َوٱلس‬
Terjemahnya:

0
Kementerian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 36.
0
Muḥammad ‘Ali al-Sābūnī, Rawā’i’ al-Bayān Tafsir āyāt al-Ahkām, Juz 2 (Cet. III;
Beirut: Mu’assasah Manāhil al-‘Irfān, 1400 H/1980 M), h. 328.
88

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan


keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat ini, kata tangan bisa dimaknai tangan kanan ataupun tangan

kiri, selain juga mengandung kemungkinan tangan sampai siku atau sampai

pergelangan tangan saja. Jadi kekuatan hukum kata tangan pada ayat ini para

ulama fikih sepakat bahwa itu bersifat zanni. oleh sebab itu para mujtahid boleh

memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh

dalil lain.0

3. Ẓannī al-wurūd dan qaṭ’ī al-dalālah

Yaitu nas-nas nas yang jelas dan tertentu yang hanya memiliki satu makna

dan tidak terbuka untuk makna lain, atau hanya memiliki satu penafsiran dan tidak

terbuka untuk penafsiran lain. Namun dari sisi sumbernya belum pasti akan

kevalidannya. Contohnya ialah hadis tentang warisan, dimana Nabi saw bersabda.

0 ُ ‫ َواَل يَ ِر‬،‫ث ال ُمْؤ ِم ُن ال َكافِ َر‬


َ‫ث ال َكافِ ُر ال ُمْؤ ِمن‬ ُ ‫‌اَل ‌يَ ِر‬
Artinya:
Orang beriman tidak mewarisi (harta) dari orang kafir, dan orang kafir
tidak mewarisi (harta) dari orang beriman.

Dalam hadis ini jelas bahwasanya orang beriman tidak memiliki hak waris

dari orang kafir, sekalipun itu ayah atau ibunya dan berlaku sebaliknya. Namun

hadis ini merupakan hadis ahad sehingga para ulama kembali menelaah dan

mengkaji tentang validitas sumbernya.

4. Ẓannī al-wurūd dan ẓannī al-dalālah

0
Khoirizi H Dasir. Qath’i dan Zhanni Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam Proses
Pengembangan Dakwah. Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 3, 3 (2018), h. 9.
0
Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 5 (Cet. I; Kairo. Dār Ṭauq al-
Najāh, 1422 H), h. 147
89

Yaitu nas-nas nas makna dan sumbernya belum pasti akan kevalidannya.

Contohnya ialah hadis tentang warisan, dimana Nabi saw bersabda.

0
َ ‫ فَاَل يَ ْق َربَ َّن ُم‬، ِّ‫ُضح‬
‫صاَّل نَا‬ َ ‫ َولَ ْم ي‬،ٌ‫‌ َم ْن‌ َكانَ ‌لَهُ‌ َس َعة‬
Artinya:
Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rizki) dan tidak berqurban, maka
janganlah ia mendekati tempat salat kami.

Dalam hadis ini terdapat pertengtangan ulama terkait maknanya, apakah ia

mengisyaratkan akan kewajiban ibadah kurban atau hanya sunah muakadah.

Hadis ini juga merupakan hadis ahad bahkan para ulama berbeda pendapat akan

derajatnya, dimana sebagian ulama menghukuminya sebagai hadis hasan seperti

Syaikh al-Albani, dan tidak sedikit ulama yang menganggapnya sebagai hadis

daif.

Menurut al-Syātibī, dalil ẓannī ini dibagi dalam 3 (tiga) kategori:0

1. Dalil ẓannī yang dinaungi oleh suatu prinsip universal yang qaṭ’ī (aṣl

qaṭ’ī).

Dalil ini tidak diragukan lagi keabsahannya untuk dipegangi. Misalnya

hadis Nabi saw.

‫ار‬ ِ ‌ ‫‌واَل‬
َ ‫ض َر‬ َ ‌ ‫‌اَل‬
َ ‫ض َر َر‬
Artinya:
Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun
orang lain
Hadits ini adalah ẓannī karena keshahihan asal-usul historisnya (al-

wūrud) tidak mencapai derajat mutawatir, akan tetapi hadits ini dinaungi oleh

prinsip universal (syariah), yaitu segala yang merugikan (mudarat) dihindari.


0
Abu Abdillah Muḥammad bin Yazid bin Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz 2 (Cet. I; Kairo.
Dār Ihyā’ al-Kutub al-Arabiyah, 1431 H), h. 1044.
0
Khoirizi H Dasir. Qath’i dan Zhanni Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam Proses
Pengembangan Dakwah, h. 4-5.
90

Prinsip ini disimpulkan dalil sejumlah dalil juz'ī atau kasus-kasus detail, seperti

larangan bertindak merugikan dan berbuat mudarat terhadap istri (QS. al-Talāq/

65:6), terhadap mantan istri yang dirujuk (QS. al-Baqarah/ 2:233), larangan

bertindak merugikan dalam penulisan dan pemberian saksi hutang piutang (QS.

al-Baqarah/ 2:282), dan larangan agar ibu dan ayah jangan sampai menderita

karena anaknya (QS. al-Baqarah/ 2:233). Dari sinilah disimpulkan prinsip di atas

dan prinsip tersebut memperkuat dan menaungi hadits zhanni di atas.

2. Dalil ẓannī yang bertentangan dengan suatu prinsip yang qaṭ’ī (aṣl qaṭ’ī).

Dalil ini secara umum ditolak, karena segala yang bertentangan dengan

dasar-dasar syariah adalah tidak sah dan tidak dapat dipegangi. Contoh yang

biasanya dikemukakan mengenai hal ini adalah penggunaan pertimbangan

maslahat oleh beberapa ulama untuk memberi fatwa seorang raja yang menggauli

istrinya di siang hari bulan Ramadlan, bahwa hukumnya adalah membayar kifarat

berupa puasa 2 (dua) bulan berturut-turut. Sebenarnya menurut hadits Rasulullah

saw., hukuman tersebut bersifat fakultatif , yaitu orang yang menggauli istrinya di

siang hari bulan Ramadlan harus membayar kifarat berupa; membebaskan budak,

jika tidak ada budak, maka berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut, dan jika tidak

mampu maka memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin.

Para ulama tersebut mempertimbangkan kemashlahatan, yaitu tujuan

hukuman yang dimaksud adalah untuk mencegah seseorang agar jangan

mengulangi perbuatannya. Menurut para ulama tersebut, apabila seorang raja

dihukum dengan kifarat' membebaskan budak, hal itu tidak memenuhi tujuan

hukuman, yaitu mencegah pengulangan perbuatan, sebab raja itu kaya dan
91

berapapun harga budak dapat dibelinya, untuk kemudian dibebaskannya. Oleh

karena itu, demi kemashlahatan raja tersebut diberi hukuman kifarat puasa 2 (dua)

bulan berturut-turut agar dia merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya

karena puasa 2 (dua) bulan berturut-turut adalah berat. Cara berargumentasi

(istidlāl) demikian menurut al-Gazālī merupakan istidlāl batil, karena

bertentangan dengan nash yang menegaskan bahwa hukumannya adalah

membebaskan budak, baru kalau tidak ada, kifarat puasa 2 (dua) bulan berturut-

turut diterapkan.

Argumentasi para ulama yang diwakili oleh al-Syātibī dengan menghukum

raja tersebut dengan puasa 2 bulan berturut-turut berlandaskan kemaslahatan

untuk pribadi raja itu sendiri, karena kalau hukumannya membebaskan budak itu

dapat mudah dilaksanakan oleh seorang raja. Sedangkan argumentasi al-Gazālī

terlihat sangat tradisionalis (tektual) terhadap pemahaman nash, sehingga ia

membatalkan seandainya hukuman bagi raja itu puasa selama 2 bulan berturut-

turut menurutnya karena tidak mengikuti urutan hukuman dalam nash tersebut di

atas.

3. Ketiga, dalil ẓannī yang tidak bertentangan dengan suatu prinsip yang

qaṭ’ī, tetapi tidak pula dinaungi oleh suatu prinsip yang qaṭ’ī. Menurut al-Syātibī,

dalil ini dapat diterima atas dasar bahwa pada dasarnya segala yang berada pada

tingkat ẓannī dalam syari'ah dapat diterima. Nas-nas Al-Qur’an seluruhnya

bersifat qaṭ’ī (pasti) dari segi kehadirannya, ketetapannya, dan

A. Perkembangan teori qaṭ’ī dan ẓannī di era modern


92

Pada masa lalu konsepsi terhadap teori qaṭ’ī dan ẓannī tidak pernah

digugat, karena keserupaannya yang kuat dengan teori muhkamat dan

mutasyabihat yang dintrodusir langsung oleh al-Qur'an. Akan tetapi, di era

modern sekarang, konsep dari teori ini telah mulai digugat. Masdar F.Mas'udi

menganggap bahwa konsep yang ada dari konsep ini hanya berpijak pada teks

(simbol) bukan pada substansi dari suatu ayat. Konsekuensi dari konsepsi yang

hanya berpijak pada teks (simbol) ini adalah kekakuan dan tidak bisa operasional

dalam era modern. Seharusnya, konsepsi itu harus berpijak pada subtansi yang

dikandung oleh ayat.

Para pemikir Islam era modern ini memandang bahwa kaidah:

0 ْ َ‫الَ َم َسا َغ لِاْل ِ جْ تِهَا ِد فِ ْي َما فِ ْي ِه‌نَصٌّ ق‬


‫ط ِع ٌّي‬
Artinya:
Tidak ada ruang ijtihad pada perkara yang terdapat nas yang bersifat qaṭ’ī

Merupakan sebuah kaidah yang menjadi senjata bagi ulama usuliyyun

dalam melarang ijtihad pada nash qaṭ’ī sifatnya sangat subjektif dan tanpa dasar

yang kuat serta mengingkari realitas. Mereka berpandangan bahwa penerapan

hukum di era Rasulullah saw. Sangat bergantung dengan kondisi sosio-kultur

mereka dan kondisi geografis.0 Celakanya, pandangan ini membuka ruang

sebesar-besarnya bagi mereka untuk menolak dan mengalihkan penafsiran

sekehendak mereka.

Contoh kasus dalam hal ini adalah Masdar F. Mas’udi yan

mengklasifikasikan bahwa dalil yang qaṭ’ī adalah ayat yang berisi prinsip-prinsip

0
Muḥammad Mustafa Zuhaili, Al-Wajiz fi Usul al-Fiqhi al-Islami, Juz 2 (Cet. II;
Damaskus. Dār al-Khaīr, 1427 H), h. 312.
0
Khoirizi H Dasir. Qath’i dan Zhanni Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam Proses
Pengembangan Dakwah, h. 13.
93

dasar yang kebenarannya bersifat universal. Seperti ayat yang menunjukkan pada

prinsip keesaan Tuhan, keadilan, persamaan hak dasar kemanusiaan, kesetaraan

manusia, hukum kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan musyawarah.

Sedangkah yang ẓannī adalah yang membicarakan soal ontologi dan aksiologi dari

nilai dasar yang universal. Seperti ayat tentang potong tangan atas pencuri.0

Jika yang dimaksudkan oleh Mas’udi bahwa ayat potong tangan bagi

pencuri bersifat ẓannī dari sisi cara atau kaifiatnya, maka ini memang tepat. Hal

ini dikarenakan terjadi perebatan dikalangan ulama terkait batasan tangan yang

dimaksud dalam ayat tersebut. Namun, jika yang dimaksud bahwa ayat tersebut

masih bisa diijtihadkan sehingga hukuman yang diberikan kepada pencuri juga

akan berbeda, maka ini merupakan bentuk kekeliruan yang fatal. Sebab, hukuman

ini sudah merupakan ijmak para ulama terdahulu pasca wafatnya Rasulullah saw.,

bahkan didukng oleh dalil-dalil dari sunah yang sahih.

Contoh lainnya yang dikemukakan Munawir Sjadzali 0 bahwa pembagian

warisan umat Islam Indonesia memberikan bagian yang sama terhadap anak laki-

laki dan perempuan (1:1). Alasan Munawir Sjadzali memberikan bagian yang

sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan adalah “dahulu pada masa

sebelum Islam wanita sama sekali tidak mendapat bagian warisan”. Setelah Islam

datang, wanita diberi bagian warisan meskipun hanya setengah dari bagian laki-

laki. Ini berarti secara sadar Islam hendak meningkatkan hak dan derajat wanita.

Kenapa tidak sekaligus saja wanita diberi bagian yang sama dengan laki-laki.

0
Muhyar Fannani. "Sejarah Perkembangan Konsep Qath'iy-Zhanniy: Perdebatan Ulama
tentang Kepastian dan Ketidakpastian dalil Syari'at", h. 452-453.
0
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (7 November 1925 – 23 Juli 2004) adalah Menteri
Agama Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan III dan IV. Diantara bukunya ialah Ijtihad
Kemanusiaan, Kontekstualisasi Ajaran Islam, dan Islam dan Tata Negara
94

Memang tidak jelas, tetapi ajaran Islam itu memang sering diberlakukan secara

bertahap (ingat penetapan minuman keras). Karena itu dapat dipahami bahwa jiwa

dari ayat waris tersebut ialah bahwa pada dasarnya usaha meningkatkan hak dan

derajat wanita itu harus terus dilakukan dan tidak boleh terhenti. Kemudian

kehidupan modern sekarang ini telah memberikan kewajiban yang lebih besar

kepada wanita dibanding pada masa lalu sehingga wanita kini juga dapat

memberikan peran yang sama dengan laki-laki dalam masyarakat, maka logis saja

hak-haknya dalam warisan juga ditingkatkan agar sama dengan laki-laki.0

Pendapat tersebut sepenuhnya terbantah oleh dalil-dalil yang qaṭ’ī.

Pertama, bahwasanya agama ini telah sempurna saat wafatnya Rasulullah saw.

Maka kias antara dalil warisan dan dalil pengharaman minuman keras secara

bertahap itu kias batil. Karena pengharaman minuman keras secara bertahap itu di

masa masih turunnya wahyu, sedangakan di masa sekarang wahyu sudah terputus.

Kedua, bahwasanya konsep warisan itu sesuai dengan konsep peran laki-laki dan

perempuan dalam rumah tangga, dimana laki-laki memiliki tanggungjawab lebih

sebagai qawwām dalam biduk rumah tangga, sehingga wajarlah jika laki-laki

mendapatkan dua bagian dari wanita sebagai konsekuensi dari tanggungjawab

yang besar tersebut.

0
M. Atho Muzhar, “Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di
Dunia Islam dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam”, (Cet. I; Jakarta: IPHI, t.th.), h. 311-313.
95

BAB III
A. Kesimpulan

1. Konsep qaṭ’ī dan ẓannī merupakan teori pokok yang dikembangkan ulama

untuk memahami teks Al-Qur'an dan hadis dalam rangka penalaran fikih.

Teori ini sejatinya telah dikenal sejak zaman khulafaurasyidun, namun

belum berbentuk sebuah teori tekstual. Imam Syafi’i juga selaku

penggagas ilmu usul fikih belum menyebutkan konsep ini dalam kita-

kitabnya. Istilah qaṭ’ī dan ẓannī baru dipopulerkan oleh ulama usul fikih

muta’akhkhir seperti Abd ‘Aziz al-Bukhārī dan Kamāl bin Hamām.

2. Pembahasan qaṭ’ī dan ẓannī di kalangan ulama khususnya ulama di bidang

usul fikih umumnya mengklasifikasi nas menjadi empat bagian. Masing-

masing qaṭ’ī dan ẓannī terdiri atas dua bagian, yaitu qaṭ’ī al-wurūd atau

qaṭ’ī al- ṡubūt (kepastian kebenaran sumber), qaṭ’ī al-dalālah (kepastian

kandungan makna) dan ẓannī al-wurūd atau ẓannī al- ṡubūt

(ketidakpastian sumber) dan ẓannī al-dalālah (mengandung takwil).

3. Pada masa lalu konsepsi terhadap teori qaṭ’ī dan ẓannī tidak pernah

digugat. Barulah di era modern sekarang, konsep dari teori ini telah mulai

digugat. Ini karena para pemikir Islam mulai memperluas ranah ijtihad

seiring berkembangnya zaman dan kemajuan peradaban. Namun sebagian

justru cenderung menggugat nas yang sifatnya sudah qaṭ’ī al-dalālah

sehingga terjatuh pada takwil yang tidak sejalan dengan prinsip syariah.
96

B. Saran

Tak dipungkiri perkembangan zaman menuntut para ulama dan

cendekiawan muslim untuk terus mengembangkan keimuan dan menerapkan

kaidah syariah sesuai dengan kondisi saat ini. Namun semestinya ini tidak

melegalkan para pemikir untuk menggugat nas yang sudah qaṭ’ī al-dalālah

sehingga terjatuh pada perkara yang diharamkan oleh Allah, yakni mengubah-

ubah syariat sesuai hawa nafsu.


97

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid, Ahmad Muktar. Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyyah al-Mu’āṣirah, Juz

3. Cet I; Riyad: ‘Ālam al-Kutub. 1429 H/2008

al-Alūsῑ, Syihāb al-Dῑn. Rūḥ al-Ma’ānῑ fῑ Tafsῑr al-Qur’ān al-‘Aẓῑm, Juz 2. Cet. I;

Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah. 1415 H.

Amal, Taufiq Adnan. Tafsir kontekstual al-Qur'an . Cet. IV; Bandung: Mizan,

1994.

Bakar, Ali Yasa Abu. Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya dalam

Hukum Islam di Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1991.

Bin Majah, Abu Abdillah Muḥammad bin Yazid. Sunan Ibnu Majah, Juz 2. Cet. I;

Kairo. Dār Ihyā’ al-Kutub al-Arabiyah. 1431 H.

al-Bukhārī, Muḥammad bin Ismā’īl. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 5. Cet. I; Kairo. Dār

Ṭauq al-Najāh. 1422 H.

Dasir, Khoirizi H. Qath’i dan Zhanni Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam Proses

Pengembangan Dakwah. Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam

3, 3. (2018)

Fannani, Muhyar. Sejarah Perkembangan Konsep Qath'iy-Zhanniy: Perdebatan

Ulama tentang Kepastian dan Ketidakpastian dalil Syari'at. Jurnal Al-

Jami’ah 39, 2. (2001)

Firdaus. “Konsep Qath’i dan Zhanni al-Dalalah dan Pengaruhnya Terhadap

Penafsiran Al-Qur’an”. Jurnal Hukum Diktum 11, 1. (2003).

Fāris, Ibn. Mu’jam Maqāyῑs al-Lugah, Juz 2. Dimasyq; Maktabah Dār al-Fikr.

1979.
98

Kementerian Agama Republik Indonesia. al-Qur’an dan Terjemahnya. Cet

I;Bandung: PT Cordoba Internasional Indonesia. 2016.

Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilmu Usūl al-Fiqhi. Kuwait: Dar al-Kuwaitiyah. 1968.

Muzhar, M. Atho. Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali

di Dunia Islam dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam. Cet. I; Jakarta: IPHI,

t.th.

Ṣābūnī, Muḥammad ‘Ali. Rawā’i’ al-Bayān Tafsīr āyāt al-Ahkām, Juz 2. Cet. III;

Beirut: Mu’assasah Manāhil al-‘Irfān. 1400 H/1980.

Saimima, Iqbal Abdul Rauf. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Cet. I; Jakarta:

Pustaka Panjimas. 1998.

Zuhaili, Muḥammad Mustafa. Al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqhi al-Islāmī, Juz 2 (Cet. II;

Damaskus. Dār al-Khaīr. 1427 H

Anda mungkin juga menyukai