MAKALAH
Dipresentasikan dalam Seminar Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Hukum Islam
Program Studi Syariah Hukum Islam
Oleh:
MUHAMMAD
NIM: 80100221149
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Prof. Dr. Kasjim Salenda, M.Th.I.
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Kesimpulan.................................................................................................13
B. Implikasi......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................15
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terjemahnya:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.1
menyangkut setiap pengikut ajaran mulia ini. Tujuan pembuatan, penetapan, dan
umatnya, sesuai dengan firman Allah swt. dalam QS. an-Nahl/16: 90.
ِإ َّن ٱهَّلل َ يَْأ ُم ُر بِ ْٱل َع ْد ِل َوٱِإْل حْ ٰ َس ِن َوِإيتَٓاِئ ِذى ْٱلقُرْ بَ ٰى َويَ ْنهَ ٰى َع ِن ْٱلفَحْ َشٓا ِء َو ْٱل ُمن َك ِر
ََو ْٱلبَ ْغ ِى ۚ يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُون
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberikan bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan)
perbuatan keji, kemunkaran, dan permusuhan. Dia memberikan pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. 2
1
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an & Terjemah (Jakarta Timur: Penerbit Ummul Qura,
2019), h. 53
2
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an & Terjemah, h. 123
4
antara adat dan budaya yang dimiliki oleh bangsa-bangsa dan juga pada persoalan
berkembangnya zaman dari waktu ke waktu. Dari situ kemudian diperlukan suatu
pedoman dan panduan hukum bagi umat manusia utamanya umat Islam itu
sendiri.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hukum
manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma
yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya
mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga
Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 (1855)
berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum
yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia sendiri
yang diatur hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia lain dan benda
dalam masyarakat.1
sesuatu selain apa-apa yang telah diputuskan dalamnya. Adapun secara istilah,
hukum ialah:
1
Nurhayati, “Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum dan Ushul FIkih”, Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah 2, no. 2 (2018), h. 129.
6
Artinya:
Menetapkan sebuah perkara untuk perkara yang lain, atau menafikan
sebuah perkara dari perkara itu.
Definisi di atas merupakan arti hukum secara umum karena hukum secara
sebuah perkara untuk perkara yang lain, atau menafikan sebuah perkara dari
perkara itu. Seperti: keseluruhan lebih besar dari sebagian, dan sebagian tidak
b. Ḥukmu ‘Ādy; yaitu sebuah hukum yang diketahui dengan adat kebiasaan.
c. Ḥukmu Syar’i; dan inilah yang dimaksud dari pembahasan hukum di sini
4
خطاب هللا المتعلق بالمكلف من حيث إنه مكلف به
Artinya:
Ucapan/perintah dari Allah yang berkaitan dengan mukallaf dari sisi orang
yang dibebani hukum tersebut.
2. Syariah
tempat aliran air disungai. Kata Syariah muncul dalam beberapa ayat Al-Qur’an
yang mengandung arti jalan jelas yang membawa kepada kemenangan. Dalam
2
Muḥammad bin Ḥusaīn bin Ḥasan al-Jaīzāny, “Ma’ālim Usūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu al-
Sunnah wa al-Jamā’ah”, (Cet. VII; Dammām: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’ūdiyyah, 1429
H), h. 286
3
Muḥammad bin Ḥusaīn bin Ḥasan al-Jaīzāny, “Ma’ālim Usūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu al-
Sunnah wa al-Jamā’ah”, , h. 286
4
Muḥammad bin Ḥusaīn bin Ḥasan al-Jaīzāny, “Ma’ālim Usūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu al-
Sunnah wa al-Jamā’ah”, , h. 286
7
pengertian ini dapat disebut juga bahwa agama yang ditetapkan untuk manusia
disebut syariah. Bentuk kesamaan syariat Islam dengan jalan air adalah siapa yang
dengan tindak tanduk manusia di luar yang mengenai akhlak yang diatur
tersendiri. Dengan demikian, syariat itu adalah nama bagi hukum-hukum yang
bersifat amaliah. Hasbi Al-Syiddiqy memberi arti bahwa syariat adalah hukum-
hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan allah untuk hambanya agar diikuti
norma yang merupakan hasil dari proses tasyri’. Menurut Jamaluddin di dalam
mashdar dari kata syaira’a, yang berarti menciptakan dan menetapkan Syariah.
Bila syariah itu merupakan kata aturan yang ditetapkan Allah yang menyangkut
tindak tanduk manusia, maka tasyri’ adalah penetapan hukum dan tata aturan
dasar dan tujuan Allah menetapkan hukum bagi tindak tunduk manusia dalam
pengetahuan tentang hakikat dan rahasia dari hukum-hukum syara’ yang telah
5
Amir Syarifuddin, Pembaruan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: angkasa Raya;
1993), h. 11
8
ditetapkan allah, atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut untuk
dengan umat manusia lainnya, orang Islam dengan non-Islam, dengan alam
Syaltut ini relative lebih akomodati, karena dapat mewakili dua jenis syariah,
Rasul-Nya, juga norma-norma hukum hasil kajian para ulama mujtahid, baik
hukum Islam terbagi kepada dua macam, yaitu syariah ilahi atau dikenal juga
dengan istilah tasyri’ samawi dan syari’ah wadh’i atau dikenal juga dengan istilah
Norma-norma hukum tersebut berlaku secara universal untuk semua waktu dan
tempat, tidak bisa berubah karena tidak ada yang kompeten untuk mengubahnya.
Adapun yang dimaksud dengan syari’ah wadh’i adalah ketentuan hukum yang
dilakukan para mujtahid. Kajian hukum para mujtahid ini tidak memiliki sifat
keabadian dan bisa berubah sesuai dengan kondisi tempat dan waktu. Hasil kajian
mujtahid ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman keilmuan mereka dan juga
Produk pemikiran yang termasuk dalam syari’ah wadh’i ini tetap diakui sebagai
6
Abdul Mannan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Depok: PT Fajar Interpratama
Mandiri; 2017), h. 28
9
syariah jika hal-hal yang dikaji itu merujuk kepada Al-Qur’an dan sunnah, baik
Secara umum, fikih dan usul fikih merupakan suatu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Usul merupakan kajian tersendiri yang melibatkan fikih, dan
fikih adalah objek yang sama dengan usul. Fikih secara bahasa bermakna paham
Artinya:
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan
perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak
pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka
dapat menjaga dirinya.2
1
Abu Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam, Cet. Ke-27 (Beirut : Dar
alMasyriq, 1987), hlm. 591
2
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an & Terjemah, h. 123
10
yaitu, ilmu fikih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-
umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalm kitab-kitab hadis.
Dengan kata lain ilmu fikih adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-
hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw.
untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya
Islam itu disusun secara sistematis dalam kitab-kitab fikih dan disebut hukum
fikih.
wa al-Fahm (ilmu dan pemahaman). Juga secara literal, fikih dapat bermakna
3
العلم باألحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
Artinya:
Ilmu tentang hukum syara` tentang perbuatan manusia (amaliah) yang
diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.
bukanlah hukum syara' itu sendiri, tetapi interpretasi terhadap hukum syara'.
Fikih hanya merupakan interpretasi yang bersifat ẓannī (dugaan) yang senantiasa
berubah seiring perkembangan zaman, waktu, dan tempat. Adapun hakikat fikih
1. Fikih adalah ilmu yang menerangkan hukum syara dari setiap pekerjaan
2. Objek kajian fikih adalah hal-hal yang bersifat amaliah, karena itu masalah
4. Fikih itu digali dan ditemukan melalui penalaran tan ta’āmul yang
Sedangkan kata “uṣūl fiqh” terdiri dari dua kata, yaitu “uṣūl” dan “al-fiqh”
yang dipakai menjadi nama sesuatu tertentu dan kata-kata tersebut tidak terlepas
dari makna dasar setiap kata sebelum disatukan menjadi nama sesuatu tertentu
itu.4 Dilihat dari sudut tata bahasa Arab, rangkaian kata uṣūl dan fikih tersebut
dinamakan tarkīb iḍāfī, sehingga dua kata itu memberi pengertian uṣūl bagi fikih,
uṣūl ( )أصولadalah bentuk jamak dari kata aṣl ( )اصوyang menurut bahasa
diartikan dengan dasar suatu bangunan atau tempat suatu bangunan.5 Aṣl berarti
dasar, seperti dalam kalimat “Islam didirikan atas lima uṣūl (dasar atau fondasi)”.
Masih banyak pengertian yang dapat diambil dari kata aṣl seperti cabang yang
kuat, fondasi suatu bangunan dan seterusnya. Jadi uṣūl fikih berarti sesuatu yang
dijadikan dasar bagi fikih. Akan tetapi pengertian yang lazim digunakan dalam
ilmu usul fikih adalah dalil, yang berarti usul fikih adalah dalil-dalil bagi fikih.
Sedang menurut istilah, aṣl dapat berarti dalil (landasan hukum), seperti dalam
ungkapan “aṣl dari wajibnya salat adalah firman Allah dan sunnah Rasul”.
4
Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut : Dar
alKutub al-Arabi, 1404 H.) h. 9
5
Muhammad Abu Zahrah, Malik Hayatuh wa `Ara`uh wa Fiqhuh, (Kairo: Dar al-Fikr al-
`Araby, tt.), h. 7
12
Maksudnya ialah bahwa dalil yang menyatakan salat itu wajib adalah ayat Al-
dari dalil-dalil yang terperinci. Maka dapat diambil pengertian uṣūl fiqh sebagai
berikut:
6
وحال المستفيد، وكيفية االستفادة منها،ًمعرفة أدلة الفقه إجماال
Artinya:
Mengetahui dalil-dalil fiqih secara ijmal, cara memanfaatkan dalil tersebut,
dan keadaan orang yang memanfaatkan dalil.
Melalui istilah uṣūl al-fiqh di atas, maka dapat dipahami bahwa tujuan
utama dari uṣūl al-fiqh adalah untuk mendapatkan tiga pokok penting, yaitu dalil,
cara pengambilan dalil (istinbāṭ), dan mujtahid selaku orang yang mengambil
langkah-langkah ijtihad.7
Lalu kemudian dari uraian di atas terlihat perbedaan yang nyata antara
ilmu fikih dan ilmu uṣūl al-fiqh. Kalau ilmu fikih berbicara tentang hukum dari
sesuatu perbuatan, maka ilmu uṣūl al-fiqh bicara tentang metode dan proses
bagaimana menemukan hukum itu sendiri. Atau dilihat dari sudut aplikasinya,
fikih akan menjawab pertanyaan “apa hukum dari suatu perbuatan”, dan uṣūl al-
fiqh akan menjawab pertanyaan “bagaimana proses atau cara menemukan hukum
Oleh karena itu, fikih lebih bercorak produk sedangkan uṣūl al-fiqh lebih
bermakna metodologis. Dan oleh sebab itu, fikih terlihat sebagai koleksi produk
maka terlebih dahulu dikemukakan ruang lingkup fikih. Adapun ruang lingkup
mengembalikannya kepada hukum kullī yang ditetapkan oleh uṣūl al-fiqh. Begitu
juga dalil yang digunakan oleh ulama fikih sebagai dalil juz`ī, harus disesuaikan
sumber atau dalil-dalil hukum, jenis-jenis hukum, cara istinbat hukum dan ijtihad
dengan berbagai permasalahannya. Dalam kaitan ini uṣūl al-fiqh membahas dalil
kullī yang menghasilkan hukum kullī. Sedang fikih, ruang lingkupnya adalah
semua perbuatan mukallaf dari segi hukum syara’. Dalam hubungan ini fikih
membahas dalil juz`i yang menghasilkan hukum juz`i. Cukup jelas bahwa uṣūl al-
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
ialah menetapkan sebuah perkara untuk perkara yang lain, atau menafikan
Allah yang berkaitan dengan mukallaf dari sisi orang yang dibebani
hukum tersebut.
ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang direkam dalm
kitab-kitab hadis. Menurut para ulama fikih adalah Ilmu tentang hukum
B. Implikasi
2. Menjadikan syariat Islam sebagai rujukan dalam semua persoalan hidup yang
dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut
: Dar alKutub al-Arabi, 1404 H.) h. 9
Abu Luwis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam, Cet. Ke-27 (Beirut : Dar
alMasyriq, 1987), hlm. 591
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah Pengantar), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 4-5.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an & Terjemah. Jakarta Timur: Penerbit Ummul
Qura, 2019.
M.Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: P.T. Bina
Ilmu, 1990), h. 3
Muhammad Abu Zahrah, Malik Hayatuh wa `Ara`uh wa Fiqhuh, (Kairo: Dar al-
Fikr al-`Araby, tt.), h. 7
Muḥammad bin Ḥusaīn bin Ḥasan al-Jaīzāny, “Ma’ālim Usūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu
al-Sunnah wa al-Jamā’ah”, (Cet. VII; Dammām: al-Mamlakah
al-‘Arabiyyah al-Su’ūdiyyah, 1429 H), h. 286
Nurhayati, “Memahami Konsep Syariah, Fikih, Hukum dan Ushul FIkih”, Jurnal
Hukum Ekonomi Syariah 2, no. 2 (2018), h. 129.
MENELUSURI KONSEP AHL AL-HADI>S\ DAN AHL AL-RA’YI
MAKALAH
Oleh:
Dosen Pengampu
2022
BAB I
PENDAHULUAN
akal yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya, dengan kalebihan ini manusia
menjadi makhluk yang paling istimewa di muka bumi, karena dengan adanya
sebelumnya karena masa sekarang ini sangatlah berkaitan erat dengan proses
mazhab yang tersistematiskan itu memiliki hubungan erat dengan aliran yang
berkembang sebelumnya.2
Choiri, Muttaqin, Posisi Ra’yu dalam Pembentukan Hukum Islam, Al-Adalah, Vol. XII,
1
2
Amir Syarifuddin, Usul Fikih, Jilid 2, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 247.
Dalam perkembangannya, terdapat dua aliran dalam mengistinbatkan
hukum Islam yaitu ahl al-Hadi>s\ dan ahl al-Ra’yi. Hal ini dipengaruhi oleh oleh
Kemudian kelompok yang kedua lebih mendasarkan pada persoalan yang akan
datang kemudian serta juga didasarkan pada pemikiran maupun ijtihad dikenal
dengan ahl al-Ra’yi.3 Dalam tulisan ini, akan menguraikan dinamika dua aliran itu
hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
sebagai berikut:
Islam
BAB II
PEMBAHASAN
3
Choiri, Muttaqin, Posisi Ra’yu dalam Pembentukan Hukum Islam, Al-Adalah, h. 5.
1. Pengertian ahl al-Hadi>s\
sunah .4
bisa juga berarti mengetahui dengan keyakinan hati. Akan tetapi, yang
itu, tradisi arab menyebut zu> ra’yi bagi orang-orang yang mempunyai
berfikir sahabat Umar bin Khattab dan Abdullah bin Mas’ud yang
hukum Islam.6
4
Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh Maza>hib al-Islamiyyah, Jilid 2, (t.tp: Da>r al-Fikr
al-‘Arabi>, t.th), h. 30.
5
Muhammad Rawwa>s Qal’a>Ji>, Mu’jam Lugah al-Fuqaha>, (Cet. I; Beiru>t: Da>r al-
Nafa>is, 1985 M/1404 H), h. 94.
6
Manna> al-Qatta>n, al-Tasyri>’ wa al-Fiqh al-Islami> Ta>ri>khan wa Minha>jan,
(Cet. III; t.tp: Maktabah Wahbah, 1984 M/1404 H), h. 205.
yang dapat ditelaah esensi-esensi yang mendasari ketentuan-ketentuan
hal ini, para mujtahid berusaha mengkaji illat pada setiap hukum sehingga
B. Latar Belakang Lahir dan Berkembangnya Ahl al-Hadi>S\ dan Ahl al-
Ra’yi
mazhab ahl al-Ra’yi dan mazhab ahl al-Hadi>s\. Mazhab ahl al-Hadi>s\
kedua kelompok tersebut dengan istilah ahl al-Hadi>s\ dan ahl al-
Qiy>as.8
7
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, (Cet. V: Jakarta: UI Press,
1985), h. 70.
8
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Cet. IV; bandung: Mizan,
1996), h. 127.
Kedua mazhab itu timbul ke permukaan menurut keterangan
Ahmad Amin terjadi pada akir masa kekuasaan Bani Umayyah dan masuk
ahl al-Ra’yi diperkenalkan leh orang-orang Irak. Mazhab ini secara kusus
Hadi>s\\\
ringkas:11
a. Mereka terpengaruh oleh jalan pikiran guru mereka yang terlalu sangat
berpegang pada nas-nas dan sangat teliti dalam menggunakan ijtihad bi al-
Ra’yi. misalnya Ibnu Abbas, Zubair, Abdullah bin Umar bin Khattab, dan
sahabat, serta masa itu sedikit terjadi peristiwa baru yang tidak terdapat
9
Ahmad Amin, Duha> al-Islam, Jilid II,(Cet. V; Beiru>t: Da>r al-Kutub al-‘Arabiyyah,
t.th), h. 151.
10
Hasbi al-Sidiqi, Pengantar Ilmu Fikih, (Jakarta: Bulan Bintang 1993), h. 55.
11
Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh Maza>hib al-Isla>miyyah, Jilid 2, (t.tp: Da>r al-
Fikr al-‘Arabi>, t.th), h. 25-26
c. Mereka hidup dalam keadaan permulaan perkembangan Islam, dimana pada
saat itu mereka diminta berfatwa tentang suatu masalah, maka terlebih dahulu
(Madinah). Faktor inilah yang menyebabkan munculnya dua aliran fikih yang
sedangkan ahl al-Ra’yi yang menolak hadis jika dinilainya hadis tersebut tidak
kuat (daif).
a. Terpengaruh sudut pandang guru mereka, yakni para sahabat seperti Abdullah
bin Mas’ud yang sangat terkenal terpengaruh oleh sudut pandang Umar bin
Khattab.
karena di sana memang tempat basis masa Syiah dan Khawarij. Para ahli fikih
Irak sudah menyaksikkan aksi pemalsuan hadis. oleh karena itu, para ahli fikih
Irak sangatlah ketat dan berhati-hati dalam menerima suatu hadis dan hadis
yang diterima itu biasanya yang benar-benar sudah populer di kalangan ahli
fikih saja.
12
Muhammad Abu Zahrah, Ta>ri>kh Maza>hib al-Isla>miyyah, h. 30-31
c. Situasi kondisi di Irak berbeda dengan di Hijaz yang, lebih cenderung
d. Karena faktor lingkungan hidup yang berbeda. Irak pernah lama dikuasai
bangsa Persia, hal tersebut juga yang bisa mempengaruhi hubungan adat
kebiasaan orang Irak, yang sama sekali tidak dikenal di Hijaz. Faktor tersebut,
juga pada gilirannya mempengaruhi sudut pandang para Imam mazhab dalam
Islam.13
a. Ahl al-Hadi>s\ membuat syarat yang berat untuk menerima sebuah hadis. Ahl
13
Djoko Hartono, Pengembangan Ilmu Agama Islam dalam Perpektif Filsafat Ilmu (Studi
Islam di Era Kontemporer), (Surabaya: MQA Surabaya, 2015), h. 35-36.
14
Manna> al-Qatta>n, al-Tasyri>’ wa al-Fiqh al-Islami> Ta>ri>khan wa minha>jan,
(Cet. III; t.tp: Maktabah Wahbah, 1984 M/1404 H) h. 205-207.
b. Imam Malik memandang bahwa amal perbuatan ahl al-Hadi>s\ ialah hujjah,
yang bisa dijadikan dalil. Bahwa ia mendahulukannya atas qiyas dan khabar
ahad. Hal ini, karena menurut beliau, amal perbuatan masyarakat Madinah
didahulukan atas qiyas, bukan hanya dapat dijadikan dalil saja. Hal ini berlaku
untuk qaulu s}aha>bi yang sah sanadnya, sahabat tersebut terkenal dari
bagi umat. Namun ketegasan dari al-Qur'an tidak ada untuk menerima atau
a. Tentang al-Qur’an
ditakhsiskan.
dilarang.
15
Manna al-Qatta>n, al-Tasyri>’ wa al-Fiqh al-Islami> Ta>ri>khan wa minha>jan, h.
210-212.
4) Mafhum mukhalafah tidak dipandang sebagai hujjah.
4) Memandang istihsan sebagai salah satu dalil yang mu’tabar setelah al-
penyebabnya ialah karena para pemuka ahl al-Hadi>s\ ini, tidak memecahkan
persoalan yang tidak ada nas-nya (hadisnya), maka sebagian masyarakat yang
tidak merasa keberatan membuat hadis palsu, dengan tujuan untuk menguatkan
pendapatnya. Akan tetapi hal seperti itu tidak mempengaruhi fikih sama sekali
dikarenakan para ulama ahl al-Hadi>s\ sangat meneliti mana hadis yang sahih
berpegang pada tradisi yang ada dan berkembang dalam masyarakat Madinah. Hal
ini tergambar dari sikap yang menolak periwayatan hadis yang dinisbahkan
kepada Nabi Muhammad saw. yang dinilainya tidaklah sahih, karena bertentangan
menjelaskan tentang membasuh tujuh kali bekas jilatan anjing, adanya khiyar
majlis.17
dibandingkan dengan Imam Hanafi. Hal ini dikarenakan kota Madinah menjadi
tempat tinggal Imam Malik yang juga menjadi tempat tinggal Rasulullah saw.
hadis. Imam Malik sendiri memiliki kitab hadis yang terkenal dengan nama kitab
al-Muwatta.18
Perbedaan antara ahl al-Hadi>s\ dan ahl al-Ra’yi adalah cara menerima
dan menyikapi suatu hadis. sebagian ada yang berhujjah dengan suatu hadis,
sebagian lagi tidak melakukan hujjah. Sebagian memandang bahwa hadis tersebut
17
Abdurrohman Dahlan, Usul Fikih. h. 90.
18
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 56.
Perbedaan-perbedaan seperti ini menyebabkan hukum-hukum yang mereka
Adapun cara ahli fikih Hijaz dalam menetapkan hukum Islam ialah dengan
illat hukum dan prinsip-prinsipnya. Kalau mereka mendapati apa yang mereka
pahami dari nas itu tidak sesuai dengan kehendak akal pikiran, maka mereka tidak
memperdulikan hal tersebut dan mereka mengatakan itu adalah nas. Mereka tidak
pengaruh ahl al-Ra’yi terhadap hukum Islam, dalam hal ini usul fikih dan
membayar 1 ekor kambing atau dengan harga yang senilai dengan 1ekor
kambing.
19
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, h. 60.
20
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan perkembangan Hukum Islam, h. 63.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
sebagai berikut:
sunah sedangkan ahl al-Ra’yi adalah para fukaha yang dalam metode
dan ahl al-Ra’yi, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu, guru, sosial-
B. Implikasi
Hartono, Djoko. Pengembangan Ilmu Agama Islam dalam Perpektif Filsafat Ilmu
(Studi Islam di Era Kontemporer). (Surabaya: MQA Surabaya, 2015).
Nasution, Harun. Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran. (Cet. IV; bandung:
Mizan, 1996).
Syarifuddin, Amir. Usul Fikih. Jilid 2, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999)
MEMBEDAH KONSEP THURUQ AL-ISTINBATH DAN
DIFERENSIASINYA DENGAN MASADIR AL-AHKAM DAN
AL-ADILLAH AL- SYARI’AH
MAKALAH
OLEH
HARUN, S.Ag
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
Prof. Dr. Kasjim Salenda, M.Th.I.
PROGRAM PASCASARJANA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
dialami oleh mereka yang bukan bangsa Arab. 0 Bahasa yang dipergunakan nash
Alqur’an maupun Hadis terkadang bisa difahami sesuai makna teks (manthuq),
namun tidak sedikit nash yang harus difahami secara makna konteks (mafhum).0
Alqur’an dan Hadis mempunyai spesifikasi dan keunggulan dalam kosa kota baik
dari segi lafaz (teks) maupun dari segi makna (konteks). Kosa kata yang terdapat
pada keduanya ada yang besifat umum, khusus, dan ada juga yang memiliki
banyak arti (musytarak). Ada yang bermakna zahir, mufassar, muhkam, dan ada
juga yang khafy, musykil, mujmal dan mutashabih. Disamping itu ada yang
Dalam bidang hukum Islam, aspek ijtihad sangat diperlukan dalam proses
persoalan. Usaha menggali hukum dari Alqur’an dan Hadis sangat membutuhkan
pemahaman, penggalian dan perumusan hukum dengan jalan ijtihad dari kedua
Dalam proses istinbath ada sumber pokok kajian ulama yang menjadi
rujukan utama dalam menggali hukum Islam yang oleh ulama kontenporer
0
Imam al-Syafi’i, al-Risalah (Cet. III; Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2014), h. 79, 84.
0
Muhammad Khudhari Beyk, Ushul Fiqhi ( Cairo, Maktabah al-Istiqamah, 1938), h.121
0
Satria Efendi, Ushul Fiqhi, (Cet ke-1; Jakarta: Kencana, 2005), h.177
sumber-sumber Hukum Islam. Istilah tersebut sebenarnya tidak populer dalam
literatur hukum Islam klasik maupun ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti
sumber hukum Islam periode klasik ulama menggunakan istilah al-adillah al-
digunakan oleh ulama kontemporer sekarang ini juga sesuai dengan istilah al-
berbeda.0
Uraian selanjutnya dalam makalah ini dijelaskan tentang konsep thuruq al-
syar’iyah.
B. Rumusan Masalah
syarī’ah ?
BAB II
PEMBAHASAN
0
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid.II (Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 1.
Kata ٌ طُ ُر
ق merupakan jamak dari ٌطَ ِر ْيقَة yang bermakna cara, jalan,
metode atau sistem.0 Sedangkan kata istinbāth dilihat dari sudut etimologi berasal
dari kata َ نَبَطatau ُ نَبُطdengan kata kerja ُ يَ ْنبُط,َنَبَط, yang berarti air yang mula-
mula keluar dari sumur yang digali. Kata kerja tersebut, kemudian dijadikan
bentuk transitif, sehingga menjadi َ اَ ْنبَطdan َاِ ْستِ ْنباَط, yang berarti mengeluarkan
air dari sumur (sumber tempat air tersembunyinya). Jadi, kata istinbath pada
Kata tersebut dipakai sebagai istilah fiqih, yang berarti upaya mengeluarkan
hukum dari sumbernya yaitu dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Istilah tersebut identik
untuk mengeluarkan hukum dari Alqur’an dan Sunah. Sedangkan Alqur’an dan
Sunah sebagai dalil hukum Islam yang asasi dalam menunjukkan hukum
menggunakan berbagai cara, ada yang tegas dan ada yang tidak tegas, ada yang
melalui arti bahasa dan ada juga yang melalui maksud hukumnya. Di sisi lain,
terdapat pula perbedaan antara satu dalil dengan dalil lainnya yang tentunya
memerlukan penyelasaian. Oleh karena itu, agar bisa mendapatkan hukum yang
tepat dibutuhkan metode yang tepat pula, dan para ulama ushul fikih telah
pendekatan yang tepat. Secara garis besar metode dan kaidah yang digunakan
0
A.W.Munawir, Kamus al-Munawir Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif,
1967), h. 49.
0
Al-Raghib al-Ishfahani, Mu’jam Mufradāt Alfāzh Alqur’an (Beirut; Dar al-Fikr, 1329
H/1992 M), h. 502.
pendekatan kebahasaan (istinbath lafẓi) dan dan pendekatan makna atau ruh nash
(istinbath ma’nawi).0
ayat- ayat dan hadis-hadis dalam upaya lebih mendekatkan kepada maksud-
maksud pensyariatan hukum dan upaya lebih memudahkan mereka untuk menarik
yang menjadi pedoman ulama dapat dibagi ke dalam tiga pola, yaitu:
Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber asasi hukum Islam tertuang dalam
bahasa Arab. Hal ini menjadi perhatian para ahli ushul fiqhi dalam aspek
pengertian lafaz nash. Hal ini bertujuan untuk mempermudah mereka dalam
memahami nash dan menarik kesimpulan hukum dari nash tersebut. Para ulama
c) lafaz dilihat dari segi petunjuknya dalam hal kejelasan dan kesamaran
d) lafaz dari segi cara mengungkapkannya dalam kaitan makna yang dikandung.
a) Lafaz khas
0
Abu Zahrah, Usūl al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arābi, 1958), h. 115.
Lafaz Khas adalah suatu lafaz yang mengandung satu pengertian secara
واح ٍد َعلَي َسبِی ِل اِإل نفِ َرا ِد ِ ھ َو الَلفظُ ال ِذ ى ُو0 "
ِ ض َع لِ َمعنَي
Terjemahnya:
“Lafaz yang dari segi kebahasaan ditentukan untuk satu arti secara
mandiri".
b) Mutlaq
Secara bahasa mutlaq berarti bebas tanpa ikatan, secara istilah lafaz mutlaq
adalah kata yang khusus yang tidak dikaitkan dengan kata lain yang dapat
mempersempit kandungannya.0 Salah satu contoh lafaz mutlaq adalah surah al-
اَل یَُؤ ا ِخ¼¼ ُذ ُك ُم ٱهَّلل ُ بِ¼¼ٱللَّ ۡغ ِو فِ ۤی َأ ۡی َم ٰـنِ ُكمۡ َولَ ٰـ ِكن یَُؤ ا ِخ¼¼ ُذ ُكم بِ َم¼¼ا َعقَّدتُّ ُم ٱَأۡل ۡی َم ٰـ ۖ َن
ۡ¼ون َأ ۡهلِی ُكمۡ َأ ۡو ِك ۡس ¼ َوتُهُم َ ¼ین ِم ۡن َأ ۡو َس ِط َم¼¼ا تُ ۡط ِع ُم َ فَ َكفَّ ٰـ َرتُ ۤۥهُ ِإ ۡط َعا ُم َع َش َر ِة َم َس ٰـ ِك
ۚۡ¼ك َكفَّ ٰـ َرةُ َأ ۡی َم ٰـنِ ُكمۡ ِإ َذا َحلَ ۡفتُم
َ ¼ِصیَا ُم ثَلَ ٰـثَ ِة َأیَّا ࣲۚم َذ ٰل
ِ ََأ ۡو تَ ۡح ِری ُر َرقَبَ ࣲۖة فَ َمن لَّمۡ یَ ِج ۡد ف
َ ك یُبَی ُِّن ٱهَّلل ُ لَ ُكمۡ َءایَ ٰـتِِۦه لَ َعلَّ ُكمۡ تَ ۡش ُكر
ُون َ ِٱحفَظُ ۤو ۟ا َأ ۡی َم ٰـنَ ُكمۡۚ َك َذ ٰل
ۡ َو
Terjemahnya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah
itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang
demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya).0
c) Muqayyad
0
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid I (Jakarta: Kencana, 2008), h. 83
0
Muhammad Khudhari Beyk, Ushul Fiqhi, h.30 Lihat juga dalam Amir Syarifuddin,
Ushul Fiqhi, h. 83
0
Ali Hasballah, Ushul al-tasyri’ al-Islami (Kairo: Dar al-Ma’rifah, 1971), h.225
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 162
Muqayyad secara etimologi berarti terbatas, tertentu. Secara terminologi
adalah lafaz yang menunjuk pada satuan yang tidak tertentu tetapi lafaz itu
dibarengi dengan sifat yang membatasi maksudya.0 . Lafaz yang muqayyad adalah
kata khusus yang dikaitkan dengan kata lain yang dapat mempersempit
kandungannya.0 Wajib mengerjakan yang muqayyad kecuali jika ada dalil yang
al-Mujadalah/58: 4
Al-Amr secara etimologi berarti perintah, lawan kata larangan. Imam al-
Nisa/4: 4
۟ َُو َءات
َ وا ٱلنِّ َس ۤا َء
ص ُدقَ ٰـتِ ِه َّن نِ ۡحلَ ࣰۚة فَِإن ِط ۡب َن لَ ُكمۡ َعن َش ۡی ࣲء ِّم ۡنهُ نَ ۡف ࣰسا فَ ُكلُوهُ هَنِ ۤی ࣰٔـا
َّم ِر ۤی ࣰٔـا
Terjemahnya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan”.0
e) Al-Nahy
0
Muhammad Khudhari Beyk,Al-tarikh al-tasyrik al-Islami, h.298
0
Muhammad Khudhari Beyk,Al-tarikh al-tasyrik al-Islami, h. 298
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.791
0
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 175
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 100.
Al-Nahy secara etimologi adalah lawan dari al-amr0 berarti larangan atau
Abu Zahrah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-nahy adalah tuntutan
yang berisi larangan atau cegahan untuk melakukan perbuatan:0 Contohnya ada di
surah Al-Isra’/17:32
Musytarak adalah lafaz yang mempunyai dua makna atau lebih. Lafaz
musytarak adalah lafaz yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan
yang banyak yang dapat menunjukkan artinya secara bergantian.0 Misalnya firman
0
Mustafa said al-Khin, Asr al-Ikhtilaf Fi al-Qawaid al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf al-fuqaha’
(Kairo: Muassasahal-Risalah, 1969), h. 328.
0
Muhammad Abu Zahrah, Us{ul al-Fiqh, h.278. lihat juga dalam Romli SA, Muqaranah
Mazahib fil Ushul, h. 187
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.388
0
Hanafi, Ushul Fiqhi (Bandung: al-Ma’arif, 1989), h. 87. Juga baca Beni Ahmad Saebani,
Fiqhi Ushul fiqhi, (Bandung, Pustaka Setia, 2008), h.285
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 465
a) Haqiqi dan Majazi
yang digunakan bukan menurut arti yang sebenarnya karena qarinah yang
memalingkannya atau karena kesesuaian antara makna baru dengan makna yang
sebenarnya.0 Contoh haqiqi dapat dilihat dalam QS. al- Hajj /22: 77 sebagai
berikut;
۟ ُوا َربَّ ُكمۡ َو ۡٱف َعل
۟ ٱعبُ¼ ُد ۟ ٱس¼ ُج ُد ۟ وا ۡٱر َكع
۟ ُین َءامن
ۡ¼وا ۡٱل َخ ۡی¼ َر لَ َعلَّ ُكم ۡ وا َو ۡ ُوا َو َ َ ي ٰۤـَأیُّهَا ٱلَّ ِذ
َ تُ ۡفلِح
ُون
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah
Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan”.0
Sedangkan contoh majazi dapat kita lihat dalam Surah Yusuf /12 : 36
Yang dimaksud dengan lafaz sharih adalah lafaz yang maknanya tidak
tersembunyi karena sering digunakan baik dengan arti haqiqi atau arti majazi.
maksudnya baik secara haqiqi atau majazi. Lafaz yang sarih berakibat hukum
secara langsung tanpa bergantung kepada yang lain. Misalnya ada seorang suami
berkata kepada istrinya, “Engkau aku cerai”. Dengan perkataan tersebut cerai dari
suami terhadap istri telah terjadi talak satu meskipun tidak disertai niat. Berbeda
0
Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-
Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), h. 24 dan Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-
Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986),h. 296
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.474
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.
dengan lafaz sarih, keberlakuan lafaz kinayah sangat bergantung pada niat.
tuamu”. Ucapan ini bergantung pada niat suami ketika mengatakannya. Jika ia
bermaksud mencerai istrinya dengan perkataan itu berarti telah jatuh talak. Jika
yaitu lafadz yang jelas penunjukannya (waḍih al-dalālah) dan lafadz yang tidak
a) Waḍih al-dilalah
membutuhkan hal-hal lain yang bersifat eksternal.0 Lafaz dalam jenis ini terbagi
1) Zahir
Yang dimaksud dengan lafaz zahir adalah lafaz yang menunjukan terhadap
sesuatu makna dengan shigatnya sendiri tanpa membutuhkan qarinah hal yang
bersifat khariji (external), akan tetapi makna itu bukanlah makna yang sebenarnya
0
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, h. 308-309
0
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, h.312
0
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dār al-Kalām, 1983), h. 162
0
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 162
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 58
2) Nas
tentang pembagian harta rampasan, baik yang dibolehkan maupun yang tidak
dibolehkan. Namun ayat ini difahami secara umum bahwa segala yang bersumber
dari Rasul berupa perkataan, perbuatan dan taqrir, maka harus diterima dan
diikuti. Yang dijadikan sebagai dasar pemahaman adalah keumuman lafaz, bukan
3) Mufassar
kepada maknanya yang terperinci dengan suatu perincian yang tidak lagi tersisa
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.797
0
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilm al-Ushul Fiqh, h. 166
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.488
Dalam istilah, Amir Syarifuddin berpendapat: suatu lafaz yang dari
Al-Ahzab/33: 53
ًد ۚا ِإ َّنIIIَُول ٱهَّلل ِ َواَل ۤ َأن تَن ِكح ُۤو ۟ا َأ ۡز َو ٰ َجهۥُ ِم ۢن بَ ۡع ِدِۦه َأب
َ وا َرس ۟ ان لَ ُكمۡ َأن تُ ۡؤ ُذ
َ َو َما َك
ان ِعن َد ٱهَّلل ِ َع ِظی ًماَ َذ ٰلِ ُكمۡ َك
Terjemahnya:
“... dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula)
mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.0
Kata ( اب¼¼داselama-lamanya) yang tersebut dalam ayat itu menunjukan
bahwa tidak diterima atau haram mengawini janda Rasulullah untuk selamanya.
1) Khafi
disebabkan oleh bentuk lafadz, tetapi disebabkan oleh penerapan makna lafaz
tersebut pada kasus yang serupa.0 Misalnya ayat dalam QS. Al-Maidah/5: 38
ُ َّارقَةُ فَ ۡٱقطَ ُع ۤو ۟ا َأ ۡی ِدیَ ُه َما َج َز ۤا ۢ َء بِ َما َك َسبَا نَ َك ٰـ ࣰلا ِّم َن ٱهَّلل ۗ ِ َوٱهَّلل
ِ ق َوٱلس ُ َّار
ِ َوٱلس
َع ِزی ٌز َح ِكی ࣱم
Terjemahnya:
“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
0
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqhi, Jilid II, h.11
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 601
0
Abu Zahrah, Usūl al-Fiqh, h. 124.
dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.0
2) Musykil
makna yang dikehendaki, dan untuk mendapatkan makna yang dikehendaki harus
ada qarinah lain yang menerangkannya. Contohnya terdapat dalam QS. al-
ٌ ࣲَّۚص َن بَِأنفُ ِس ِه َّن ثَلَ ٰـثَةَ قُ ُر ۤوء ُ َو ۡٱل ُمطَلَّقَ ٰـ
ۡ ت یَتَ َرب
Terjemahnya:
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu)
tiga kali quru'”.0
3) Mujmal
Mujmal dari segi bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut
istilah adalah lafaz yang tidak bisa difahami, kecuali bila ada penafsiran dari
pembuat syariat.0 Misalnya firman Allah QS. Al-Qari’ah /101 :1-5 sebagai
berikut:
1.Hari kiamat, 2. Apakah hari kiamat itu? 3. Tahukah kamu apakah hari kiamat
itu? 4. Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran, 5. Dan
4) Mutasyābih
kepada makna yang dimaksud, tidak ada indikasi yang menerangkannya, dan
syāri’ sendiri tidak menjelaskan maknanya.0 Seperti pada ayat QS. Al-Fath /48:10
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.151
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.4
0
Abu Bakar as-Sarakhsi, Ushul al-Saraksi, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah), h. 168
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.911
0
Abu Zahrah, Usūl al-Fiqh, h. 135.
ۚۡق َأ ۡی ِدی ِهم
َ ق َأ ۡی ِدی ِهمۡۚ یَ ُد ٱهَّلل ِ فَ ۡو
َ یَ ُد ٱهَّلل ِ فَ ۡو
Terjemahnya:
“….. tangan Allah di atas tangan mereka….”
4) Lafaz dari segi cara menemukan arti yang dimaksudkan oleh teks.
yaitu ibarat al-nas, isyarat al-nas, dalalah an-nas, dan iqtida’ al-nas.
a) ‘Ibarat al-Nas
Ibarat al-nash sering juga disebut dilalat al-‘ibarat atau al-mantuq al-
sharih ialah penunjukan lafaz kepada makna yang segera dipahami dan makna itu
memang dikehendaki oleh siyagul kalam, baik maksud itu asli maupun tidak.
membatasi jumlah istri sampai empat orang saja dan wajib hanya mengawini
banyak wanita.
b) Isyarat al-Nas
dari teks nas karena ia mengandung makna yang tersirat, namun makna itu tidak
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.115.
bisa dipisahkan dari makna yang dimaksud oleh teks. Contoh ayat QS. al-Baqarah
menentukan jenis dan jumlah mahar itu. Sedangkan makna yang diperoleh
melalui isyarat nash adalah sahnya akad nikah walaupun maharnya tidak
ditentukan. Kesahan nikah tanpa menentukan mahar adalah makna yang tidak
terpisahkan dari izin menjatuhkan talak sebelum menentukan mahar. Sebab talak
c) Dalalah al-Nas
Dalalah al-nas adalah apabila ada nas yang secara tekstual menunjukkan
hukum suatu kasus dan kemudian hukum tersebut dapat diterapkan pada kasus
lain karena adanya faktor penyebab hukum yang sama.0 Misalnya ayat 10 dalam
QS. al-Nisa’/4:
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.48
0
Wahbah al-Zuhaili,Ushul al-Fiqh al-Islami., h. 353
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.0
Pengertian dalalah al-nas bahwa segala perbuatan menghabiskan dan
d) Iqtida’ al-Nas
Iqtida’ al-nas adalah dilalah lafadz terhadap suatu makna yang tidak dapat
darah dan daging babi. Pengertian ini baru jelas bila ditambahkan kata misalnya
Dalam proses istinbat atau mengeluarkan hukum dari nas, maka ulama
menurut Imam al-Syafi’i dalam proses bayan dibagi kepada 4 (empat) kategori
yaitu :
perintah shalat.
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.101
0
Abu Zahrah, Usūl al-Fiqh, h. 143.
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.142
3. Pengungkapan melalui Rasul, tanpa menyebutkan status hukumnya dalam
al-Qur’an.
sejenisnya.
zahir kepada yang lain seperti adanya syarat atau istitsna (pengecualian).
4. Bayan tabdil, yaitu; menasakh hukum yang telah ada, yang datang lebih
dilihat dari segi kebahasaan, juga melalui pemahaman terhadap ruh tasyri’
0
Imam al-Syafi’i, al-Risalah, h. 21,22.
0
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, h. 199.
dengan memperhatikan mashadir al-hukm, adillah al-syari’ah dan aspek maqasid
al- syari’ah. Melalui metode inilah ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang secara
ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis
manusia.0
melalui metode istinbath ta’lili (rasionil) dan metode istinbath istislahi (pilisofis)
Metode istinbath ta’lili adalah metode istinbath yang bertumpu pada ‘illah
0
Abd al-wahhab Khallaf, Ilmu us{ul al-Fiqh, cet ke-15, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1984),
h.205
0
Fathurrahman Djamil, filsafat hukum Islam, cet. Ke-4 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 123
0
Muhammad Ma’ruf al-Dawalibi, al-Madkhal ila ‘ilm Ushul al-Fiqh, (Damaskus,:
Jami’ah Damaskus, t.th.), h.1959
b) Metode Istinbath Istishlahi
aturan dan ketentuannya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
yaitu :
1) terpeliharanya agama,
2) terpeliharanya jiwa,
3) terpeliharanya akal,
Istilah sumber hukum biasa dipakai dalam hukum umum dalam pengertian
sanksi yang tegas. Sumber, dalam bahasa arab disebut masdar kata jamaknya
pengertian antara lain: asal atau permulaan sesuatu, sumber, tempat munculnya
dapat bermakna ‘tempat dimana air muncul, atau sumber air yang biasa disebut
mata air. Mata air disebut sebagai masdar, karena sebagai sumber munculnya
air. Wacana tersebut kemudian dipakai sebagai istilah ushul fiqih, sehingga
0
Abd al-wahhab Khallaf, Ilmu ushul al-Fiqh., h.159
0
Ibn Manzur al-Ifriqi, Lisān al-Arāb Jilid III (Beirut: Dār Sadir, t.th.), h. 448-449.
menjadi masdar al-hukm (sumber hukum) atau dalam bentuk jamak masadir al-
dalam pengertian ini, hanya Alqur`an dan Sunnah yang menjadi masādir al-
dikalangan para ulama bahwa Allah adalah sebagai Syari’ (pencipta atau penentu
syariat) atau Hakim (pencipta atau penentu hukum) satu- satunya. Untuk itu,
yang menjadi rujukan segenap dalil hukum adalah Alqur`an. Sunnah Rasulullah
hanya berfungsi sebagai penjelas dan pemberi keterangan atas Alqur`an. Dengan
demikian, yang menjadi sumber hukum dalam Islam ialah Al-Quran dan Sunnah.
Istilah dalil berasal dari kata dasar dalil, dan jamaknya adillah. Menurut
petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi. Ringkasnya ialah
dalil merupakan petunjuk kepada sesuatu, baik yang material maupun yang non
material.0
Menurut kebiasaan para fuqaha istilah dalil diartikan dengan ‘sesuatu yang
secara lebih jelas terlihat pada kandungan kitab-kitab fikih dimana dalam
0
Abdu al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, h. 15.
0
Saif al-Din al-Amidi, Al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām, (Beirut: Dār al-Fikr, t.th.) h. 13.
membicarakan sesuatu, para penulis kitab- kitab itu merujuk kepada ayat-ayat
ataupun hadis-hadis, karena didalam ayat ataupun hadis itu terkandung suatu
masalah tersebut.
Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada landasan hukum ialah
yang dikemukakan oleh Abd al- Wahhab Khallaf bahwa yang dikatakan dalil
adalah “sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh
hukum syara’ yang bersifat praktis“. Jadi, dalil merupakan landasan bagi para
pakar hukum Islam dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan
secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan itu bisa saja bersifat
sembilan belas dalil syara’, yaitu: Alqur`an, sunnah, ijma` umat, ijma’
paling ringan, `ishmah, ijma` penduduk Kufah, ijma` ahl al-bait, dan ijma`
khalifah yang keempat.0 Akan tetapi, umumnya para ulama bisa menempatkan
sebelas dalil, yang menjadi landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Alqur`an,
sunnah, ijma`, qiyās, istihsan, istislah, istishab, sadd al-zarī`ah, ‘urf, syar`un
man qablana, dan mazhab al-sahabi. Dalam hal ini seperti akan dilihat para
ulama sepakat menempatkan Alqur`an dan sunnah sebagai dalil dan berbeda
pendapat tentang dalil-dalil selebihnya ada yang menerimanya sebagai dalil dan
0
Abdul Wahab al-Khalaf, Ushūl Fiqh, h. 20.
0
Abd al-Wahab Khallaf, Masādir al-Tasyrī’ al-Islāmi fī mā lā Nassa fīh (Kuwait: Dar al-
Qalam, 1982), h. 109.
ada yang menolaknya atau ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang
selebihnya.
macam-macam sumber dalil tersebut ada yang disepakati dan tidak disepakati.
misalnya, mengatakan bahwa pengertian dalil al-hukm atau adillah al-ahkām ini
Akan tetapi, dari segi pengertian bahasa, kedua pengertian itu sebenarnya
sumber biasa diartikan sebagai “asal sesuatu”, seperti sumber air adalah tempat
memancarnya air yang sering disebut dengan mata air. Dalam pengertian ini,
maka masādir al-ahkām dalam Islam itu hanya Alquran dan Sunnah. Pengertian
ini didukung oleh pengertian Allah sebagai al-Syari’ (Penentu atau Pencipta
hukum Islam). Para ulama ushul fiqh pun sebenarnya menyatakan bahwa hukum
Islam itu seluruhnya berasal dari Allah. Rasul hanya berfungsi sebagai penegas
hukum tertentu melalui Sunnahnya, ketika wahyu turun dari Allah. Akan tetapi,
ketetapan Rasulullah saw. ini juga tidak terlepas dari bimbingan wahyu.
Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh kontemporer lebih cenderung
memilih bahwa yang menjadi sumber utama hukum Islam (masādir al-Ahkām al-
Syar’iyyah) tersebut adalah Alquran dan Sunnah. Karena Alquran dan Sunnah
disepakati seluruh ulama ushul fiqh klasik dan kontemporer sebagai sumber
Karena itu, dari sisi ini, apa yang dikemukakan ‘Abdul Wahhab Khalaf di
atas, bahwa adillah al-ahkām identik dengan masadir al-ahkam adalah benar.
Tetapi, dalil lain, seperti ijma’, qiyās, istihsan, mashlahah al-mursalah, dan
sebagainya, tidak dapat dikatakan sebagai sumber hukum Islam, karena dalil-dalil
Suatu dalil yang membutuhkan dalil lain untuk dijadikan hujjah tidaklah
dapat dikatakan sumber, karena yang dinamakan sumber adalah bersifat berdiri
sendiri. Di samping itu, keberadaan suatu dalil, seperti ijma’, qiyās, istihsān dan
dalam Alquran dan Sunnah. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh juga sering
menyebut adillah al-ahkām, seperti ijma’, qiyas, istihsan, istishab dan lain
hukum).
Akan tetapi, dalam perkembangan pemikiran ushul fiqh kontemporer,
istilah sumber hukum dan dalil hukum dalam kegiatan istinbāth hukum keduanya
tidak dibedakan. Sebab, baik istilah sumber hukum maupun dalil hukum
merupakan istilah-istilah teknis yang diapakai oleh para ulama ushul untuk
menyatakan segala sesuatu yang dijadikan alasan atau dasar dalam istinbāth
hukum dan dalam prakteknya mencakup Alquran, Sunnah dan dalil-dalil atau
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Istinbāth adalah upaya seseorang ahli fikih dalam menggali hukum Islam
Ijma’, qiyās, istihsān, istislāh, istishāb, ‘urf, sadd az-Zarī’ah, syar’un man
Sunnah merupakan dua sumber hukum yang menjadi kajian utama ulama.
oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan itu bisa saja bersifat qat’i
(pasti) atau zhanni (tidak pasti). Seluruh dalil hukum yang sebelas
diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil atau pijakan yang
B. Saran
guna peningkatan kualitas dalam penulisan makalah ini. Kami minta maaf apabila
ada kesalahaan dalam penulisan dan isi makalah ini. Semoga bermanfat bagi kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
al-Amidi, Saif al-Din. Al-Ihkām fī Ushūl al-Ahkām. Beirut: Dār al-Fikr, t.th.
Djamil, Fathurrahman. filsafat hukum Islam, cet. Ke-4. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997.
Romli SA. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Saebani, Beni Ahmad. Fiqhi Ushul fiqhi. Bandung, Pustaka Setia, 2008.
as-Sarakhsi, Abu Bakar. Ushul al-Saraksi. Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Cet.I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
al-Syaukani, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa. Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min
‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994.
al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al- Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
58
MAKALAH
Dipresentasikan pada Seminar Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Hukum Islam
Program Studi Dirasah Islamiyah Konsentrasi Syariah Hukum Islam
Oleh:
Muhammad Najib
NIM: 80100221152
Dosen Pengampu:
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2022
59
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah awal kemunculan mazhab fikih itu sendiri.
mana Islam hadir. Nas al-Qur’an dan sunah semuanya diturunkan pada kehidupan
sosial dua kawasan tersebut. Proses penyebaran fikih Islam pasca generasi sahabat
nabi saw. terus berkembang hingga muncul berbagai mazhab fikih. Mazhab-
mazhab itu tentu tidak bernasib sama, beberapa dari mazhab itu kemudian tidak
atau mazhab fikih suni yang empat ternyata masih bertahan dan eksis hingga
mazhab tertentu sebagai mazhab resmi negara. Penyebaran mazhab itu seiring
tentang mazhab fikih suni menjadi penting untuk dibahas agar mengetahui
bagaimana peranan dan sumbangsih mazhab-mazhab fikih suni bagi hukum Islam.
60
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dari makalah yang
BAB II
PEMBAHASAN
Mazhab fikih suni adalah metode yang dilalui oleh ahli fikih suni mujtahid
yang menjadi kekhususan mereka dibanding ahli fikih mujtahid yang lain yang
mengantarkan pada pemilihan hukum ijtihadi yang bersifat amalan pada perkara-
perkara cabang yang diperoleh dari dalil-dalil yang mu’tabar.0 Mazhab fikih yang
paling masyhur secara umum terbagi dua, yaitu mazhab fikih yang masih eksis
hingga saat ini dan mazhab fikih yang telah punah. Mazhab fikih yang masih eksis
hingga hari ini adalah mazhab Abū Ḥanῑfah (150 H), mazhab Mālik bin Anas (179
H), mazhab al-Syāfi’ῑ (204), dan mazhab Aḥmad bin Ḥanbal (254 H). Adapun
mazhab fikih yang telah punah di antaranya adalah mazhab al-Ḥasan al-Baṣrῑ (110
mazhab al-Auzā’i (157 H) di Syam dan Andalus, mazhab Sufyān al-Ṣaurῑ (161
salah satu murid senior Abū Ḥanῑfah yaitu al-Ḥasan bin Ziyād al-Lu’lu’i. Setelah
0
Muḥammad bin Muḥammad al-Ṭarablisῑ, Mawāhib al-Jalῑl, Juz 1 (Dimasyq: Dār al-Fikr,
1992), h. 24.
0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, (Riyad: Jāmi’ah al-Imām Muḥammad
bin Su’ud, 1437 H), h. 43-44.
62
itu mazhab ḥanafῑ dikembangkan oleh dua sahabat Abū Ḥanῑfah yaitu Abū Yūsuf
dan Muḥammad bin al-Ḥasan.0 Mazhab ḥanafῑ menjadi mazhab fikih yang paling
penyebaran mazhab ḥanafῑ adalah mahzab tersebut adalah mazhab fikih yang
sebagai rujukan, seperti ketika mereka menjadikan Abū Yūsuf sebagai qāḍῑ di
Bagdad dan pada saat itu ia diberi gelar qāḍῑ al-quḍāt, juga ketika Daulah
Berdirinya mazhab mālikῑ dimulai dari Mālik bin Anas yang duduk
memberi fatwa hingga orang-orang memberikannya gelar “imam” pada tahun 110
H, periode pembentukan mazhab ini berakhir pada abad ke-3 Hijriah. Pada abad
ke-4 hingga abad ke- 6 Hijriah adalah periode perkembangan mazhab mālikῑ, pada
periode ini ulama mazhab mālikῑ mulai melakukan proses tafrῑ’, taṭbῑq, dan tarjῑḥ.
Kitab ringkas yang masyhur yang muncul di periode ini di antaranya adalah kitab
al-tafrῑ’ karya Ibnul Jallāb.0 Mazhab mālikῑ tersebar pertama kali di daerah Hijaz
yang merupakan tempat menetapnya Mālik bin Anas, kemudian tersebar di Mesir
dan bagian utara dari Afrika, umumnya di ujung daerah Magrib dan Andalus,
0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 70-71.
0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 82.
0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 86.
63
bahkan dahulu mazhab mālikῑ menjadi mazhab yang paling menonjol di Andalus
Bagdad pada tahun 195 H hingga beliau wafat tahun 204 H. Pada tahun 195-199
H ketika al-Syāfi’i bermukim di Irak terbentuk mazhab qadῑm, dan pada tahun
pendapatnya lalu dituangkan dalam kitab fikihnya yang bernama al-umm. Al-
Syāfi’ῑ beberapa kali melakukan rihlah antara Mekah, Madinah, Irak, dan Yaman
tersebut. Kebanyakan murid dan pengikutnya pun berada di Mesir. Mazhab syāfi’ῑ
tersebar di Mesir, selatan dan timur Afrika, Yaman, Syam, Asia Tenggara.0
dan memberi fatwa pada tahun 204 H. Aḥmad bin Ḥanbal memulainya ketika
berusia 40 tahun karena sebelum itu ia fokus untuk memperdalam ilmu sebelum
disibukkan untuk berfatwa dan mengajar. Keluasan ilmu dan riwayat yang
masalah ilmu dan fatwa Aḥmad bin Ḥanbal oleh murid-muridnya. Mazhab
0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 116.
64
ḥanbalῑ pada awalnya tersebar di Irak, kemudian setelah abad ke-4 H tersebar di
Syam, Palestina, dan Mesir. Pada masa kontemporer saat ini mazhab ḥanbalῑ
tersebar di Jazirah Arab disebabkan para ulama bahkan Arab Saudi yang
menjadikannya rujukan utama. Sebagian kecil pengikut mazhab ḥanbali juga ada
Fikih mazhab ḥanafῑ berpegang pada enam dalil dasar, yaitu kitab, sunah, ijmak,
a) Kitab
Kitab yaitu al-Qur’an adalah pegangan utama dari fikih ḥanafῑ yang merupakan
sumber utama dari segala sumber yang ada, tak ada satu sumber pun dalam mazhab ini
b) Sunah
penjelas dan berfungsi menafsirkan al-Qur’an. Abū Ḥanῑfah mengambil hadis yang sahih
dari nabi saw. Para ulama mazhab ḥanafῑ merinci penerimaan hadis jika ia merupakan
c) Ijmak
0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 145.
0
Muḥammad Abū Zuhrah, Abū Ḥanῑfah: Ᾱrā’uhu wa Fiqhuhu (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabῑ,
2008), h. 337
65
d) Qaul al-Ṣaḥābῑ
Jika terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat maka akan dipilih
pendapat yang dianggap rajih dan mazhab ḥanafῑ tidak akan mengambil pendapat selain
e) Kias
Jika tidak ditemukan dalil dari al-Qur’an, sunah, ijmak, dan qaul al-ṣaḥābῑ, maka
f) Istihsan
Dalil istihsan digunakan jika kias tidak memungkinkan dilakukan. Istihsan bagi
mazhab ḥanafῑ bukanlah sebuah pendapat yang didasari hawa nafsu, juga bukan beramal
dengan istihsan tanpa ada dalil yang menjadi dasar dalam syariat, mazhab ḥanafῑ hanafi
sangat berhati-hati dalam melakukan hal tersebut. Istihsan yang dimaksud adalah
sebagaimana yang diungkapkan oleh Abū al-Ḥasan al-Kurkhῑ bahwa istihsan adalah
dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam
pandangan mujtahid.0
0
‘Abdul ‘Azῑz Aḥmad bin Muḥammad ‘Alauddῑn, Kasyf al-Asrār, Juz 4 (Istanbul: Maṭba’ah
al-Syarikah al-‘Uṡmāniyyah, 2008), h. 4.
66
Fikih mazhab mālikῑ berpegang pada sebelas dalil dasar, yaitu kitab, sunah,
ijmak, kias, amalan penduduk Madinah, qaul al-ṣaḥābῑ, syar’u man qablanā, al-maṣāliḥ
a) Kitab (al-Qur’an)
b) Sunah
Baik itu sunah yang mutawatir, masyhur, dan āḥād. Mazhab mālikῑ terkenal
dengan penerimaannya terhadap hadis mursal dan bolehnya berhujah dengannya jika
hadis tersebut diriwayatkan dari seorang yang ṡiqah dan mengetahui hadis mursal yang
diriwayatkannya.
c) Ijmak
d) Kias
Imam Malik dan para sahabatnya termasuk yang menggunakan dalil kias dengan
cukup luas di mana mereka tidak membatasi kias hanya pada hukum-hukum yang ada
nasnya, akan tetapi mereka juga mengkiaskan sesuatu dengan sesuatu yang telah
Dalil ini menjadi kekhususan dari mazhab mālikῑ yang tidak digunakan oleh
mazhab-mazhab fikih yang lain, yang dimaksud dari amalan penduduk Madinah adalah
0
‘Umar bin ‘Abdul Azῑz al-Gudayyān, Tārῑkh al-Fiqh, h. 88.
67
kesepakatan ahli ilmu di Madinah atau kebanyakan dari mereka dari kalangan sahabat
f) Qaul al-Ṣaḥābῑ
Qaul al-ṣaḥābῑ adalah pendapat dari sahabat nabi saw. yang berasal dari
ijtihadnya dan tidak ada seorang pun dari sahabat lain yang menyelisihinya dan pendapat
Syar’u man qablanā adalah hukum yang ditetapkan dalam syariat salah seorang
rasul terdahulu dengan nas al-Qur’an, atau sunah yang sahih, dan tidak ada dalil dalam
h) Al-Maṡāliḥ Al-Mursalah
dan tidak pula dinafikan oleh syariat. Penggunaan dalil ini memiliki syarat-syarat yang
harus terpenuhi.
i) Istihsan
Istihsan yang menjadi sandaran Imam Malik dalam fikih dan fatwanya adalah
j) Sadd al-Żarā’i
0
‘Abdurraḥmān bin ‘Abdillāh Al-Sya’lān, Uṣūl Fiqh al-Imām Mālik, Juz 2 (Riyad: Jāmi’ah al-
Imām Muḥammad bin Su’ud, 1437 H), h. 1037.
0
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, I’lām al-Muwaqqi’ῑn, Juz 4 (Beiru: Dāl al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1991), h. 120.
0
Ibrāhῑm bin ‘Alῑ bin Farḥūn al-Ya’marῑ, Kasyf al-Niqāb al-Ḥājib (Cet. I; Beirut: Dār al-Garb
al-Islāmῑ, 1999), h. 125.
68
Sadd al-żarā’i adalah mencegah sesuatu yang diperbolehkan agar tidak menjadi
k) Istiṣḥāb
Istiṣḥāb terbagi dua, yaitu istiṣḥāb al-‘adam al-aṣlῑ dan istiṣḥāb al-ḥukm al-
syar’ῑ. Istiṣḥāb al-‘adam al-aṣlῑ adalah ketetapan pada tidak adanya hukum sampai ada
dalil yang menunjukkan adanya hukum tersebut. Istiṣḥāb al-ḥukm al-syar’ῑ adalah
Fikih mazhab syāfi’ῑ berpegang pada lima dalil dasar, yaitu kitab, sunah, ijmak,
a) Kitab (al-Qur’an)
b) Sunah
c) Ijmak
Ijmak (konsensus) dari para ulama pada permasalahan yang tidak terdapat dalam
al-Qur’an dan sunah. Al-Syafi’i menetapkan bolehnya berhujah dengan dalil ijmak dan
0
Syihāb al-Dῑn Al-Qarrāfῑ, Al-Furūq, Juz 2 (Mekah: Wizārah al-Awqāf al-Su’ūdiyyah, 2010),
h. 60.
0
Muḥammad bin Idrῑs Al-Syāfi’ῑ, Al-Umm, Juz 7 (Kairo: Dār al-Wafā’, 2001), h. 250.
69
d) Qaul al-Ṣaḥābῑ
Pendapat sahabat akan dipilih jika tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya,
perkataan sahabat adalah hujah jika suatu masalah tidak ditemukan dalam al-Qur’an,
e) Kias
Syāfi’ῑ telah menetapkan bahwa seorang ahli fikih ketika tidak menemukan
jawaban dari keempat dalil yang ada sebelumnya maka baginya untuk berijtihad untuk
mengetahui hukum masalah tersebut. Ijtihad dan kias adalah dua nama yang memiliki
Fikih mazhab ḥanbalῑ berpegang pada delapan dalil dasar, yaitu nas, ijmak, qaul
al-ṣaḥābῑ, hadis mursal dan daif, kias, istihsan, istiṣḥāb, serta sadd al-żarā’i.
a) Nas
Nas yang dimaksud adalah adalah nas al-Qur’an dan sunah yang sahih, keduanya
berada di satu tingkatan yang sama bagi Aḥmad dalam hal penjelasan hukum syariat.
Walaupun nas al-Qur’an lebih diutamakan dari nas sunah dalam hal i’tibār. Mazhab
ḥanbalῑ dianggap sebagai mazhab yang paling sering mengkompromikan di antara nas-
0
Ibnu Badrān, Al-Madkhal ilā Mażhab al-Imām Aḥmad (Beirut: Mu’assasah al-Risālah,
1981), h. 31.
70
b) Ijmak
Ijmak merupakan di antara dalil rujukan dalam mazhab ḥanbalῑ walau dalam
c) Qaul al-Ṣaḥābῑ
Fatwa sahabat nabi saw. menjadi dalil selanjutnya dalam mazhab ḥanbalῑ.
Pendapat sahabat yang diambil oleh Aḥmad bin Ḥanbal adalah pendapat yang tidak ada
yang menyelisihinya dari kalangan sahabat. Jika didapati beberapa fatwa dari para
sahabat dalam satu masalah maka akan dipilih pendapat yang dianggap paling dekat pada
Syarat berhujah dengan hadis mursal dan daif di antaranya adalah hadis tersebut
bukanlah hadis yang sangat lemah, tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat
darinya seperti ijmak, serta hadis tersebut didukung oleh beberapa indikator seperti
d) Kias
Mazhab hanbalῑ tidak beralih pada kias dalam istinbat hukum kecuali dalam
keadaan darurat, yaitu ketika tidak adanya nas dalam suatu permasalahan, baik itu dalam
al-Qur’an, sunah, atau perkataan sahabat, maupun hadis mursal dan daif.
e) Istihsan
0
Ibnu Badrān, Al-Madkhal ilā Mażhab al-Imām Aḥmad, h. 31.
71
Istihsan menurut Aḥmad bin Ḥanbal adalah meninggalkan kias menuju dalil yang
f) Istiṣḥāb
Istiṣḥāb menjadi hujah bagi Aḥmad bin Ḥanbal ketika tidak adanya dalil dari nas,
g) Sadd al-Żarā’i
Sadd al-żarā’i mencegah sesuatu yang secara zahir hukumnya boleh jika sesuatu
menjadi dasar bagi perbedaan pendapat yang ada. Munculnya ilmu uṡūl al-fiqh dan ilmu-
ilmu lainnya seperti ilmu al-munāẓarāt, penelitian tentang maqāṣid al-syarῑ’ah, metode
istidlal serta adab-adab silang pendapat, semuanya merupakan buah dari perbedaan yang
terjadi di antara fikih suni. Tanpa adanya silang pendapat dari fikih suni akan
menyebabkan seseorang bisa saja menolak suatu kebenaran yang belum diketahuinya,
atau fanatik hanya pada satu pendapat yang ada, oleh sebab itu Qatādah pernah
mengatakan, “Barang siapa yang belum mengetahui silang pendapat yang ada maka ia
belum mencium fikih dengan hidungnya”. ‘Umar bin ‘Abdul Azῑz pernah mengatakan,
“Aku tidak suka jika sahabat rasulullah saw. tidak berbeda pendapat karena jika hanya
ada satu pendapat maka manusia akan berada dalam kesulitan”. 0 Munculnya berbagai
0
Ibnu Badrān, Al-Madkhal ilā Mażhab al-Imām Aḥmad, h. 39.
0
Ibnu ‘Abdil Barr al-Mālikῑ, Jāmi’ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlihi, Juz 2 (Dammam: Dār Ibnul Jauzῑ,
1994), h, 902.
72
mazhab fikih suni yang ada menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang dapat terus
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdirinya mazhab ḥanafi dimulai di masa Abū Ḥanῑfah, setelah itu mazhab
ḥanafῑ dikembangkan oleh dua sahabat Abū Ḥanῑfah yaitu Abū Yūsuf dan
Muḥammad bin al-Ḥasan. Mazhab ḥanafῑ menjadi mazhab fikih yang paling
Pakistan, dan India. Berdirinya mazhab mālikῑ dimulai dari Mālik bin Anas
yang duduk memberi fatwa. Mazhab mālikῑ tersebar pertama kali di daerah
Hijaz yang merupakan tempat menetapnya Mālik bin Anas, kemudian tersebar
di Mesir dan bagian utara dari Afrika, umumnya di ujung daerah Magrib dan
Bagdad pada tahun 195 H hingga beliau wafat tahun 204 H. Pada tahun 195-
199 H ketika al-Syāfi’i bermukim di Irak terbentuk mazhab qadῑm, dan pada
Aḥmad bin Ḥanbal mengajar dan memberi fatwa pada tahun 204 H. Mazhab
ḥanbalῑ pada awalnya tersebar di Irak, kemudian setelah abad ke-4 H tersebar
74
di Syam, Palestina, dan Mesir. Pada masa kontemporer saat ini mazhab ḥanbalῑ
2. Mazhab ḥanafῑ berpegang pada enam dalil dasar, yaitu kitab, sunah, ijmak, qaul
al-ṣaḥābῑ, kias, dan istihsan. Fikih mazhab mālikῑ berpegang pada sebelas dalil
dasar, yaitu kitab, sunah, ijmak, kias, amalan penduduk Madinah, qaul al-
ṣaḥābῑ, syar’u man qablanā, dan al-maṣāliḥ al-mursalah, istihsan, sadd al-
żarā’i, dan istiṣḥāb. Fikih mazhab syāfi’ῑ berpegang pada lima dalil dasar, yaitu
kitab, sunah, ijmak, qaul al-ṣaḥābῑ, serta kias. Fikih mazhab ḥanbalῑ berpegang
pada delapan dalil dasar, yaitu nas, ijmak, qaul al-ṣaḥābῑ, hadis mursal dan
menjadi dasar bagi perbedaan pendapat yang ada. Munculnya ilmu uṡūl al-fiqh
merupakan buah dari perbedaan yang terjadi di antara fikih suni. Tanpa adanya
silang pendapat dari fikih suni akan menyebabkan seseorang bisa saja menolak
suatu kebenaran yang belum diketahuinya, atau fanatik hanya pada satu
B. Implikasi
DAFTAR PUSTAKA
‘Alauddῑn. ‘Abdul ‘Azῑz Aḥmad bin Muḥammad. Kasyf al-Asrār, Juz 4. Istanbul:
Maṭba’ah al-Syarikah al-‘Uṡmāniyyah, 2008.
al-Gudayyān. ‘Umar bin ‘Abdul Azῑz. Tārῑkh al-Fiqh. Riyad: Jāmi’ah al-Imām
Muḥammad bin Su’ud, 1437 H.
Ibnu Badrān. Al-Madkhal ilā Mażhab al-Imām Aḥmad. Beirut: Mu’assasah al-
Risālah, 1981.
al-Mālikῑ, Ibnu ‘Abdil Barr. Jāmi’ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlihi, Juz 2. Dammam:
Dār Ibnul Jauzῑ, 1994.
Al-Syāfi’ῑ, Muḥammad bin Idrῑs. Al-Umm, Juz 7. Kairo: Dār al-Wafā’, 2001.
Al-Sya’lān, ‘Abdurraḥmān bin ‘Abdillāh. Uṣūl Fiqh al-Imām Mālik, Juz 2. Riyad:
Jāmi’ah al-Imām Muḥammad bin Su’ud, 1437 H.
al-Ya’marῑ, Ibrāhῑm bin ‘Alῑ bin Farḥūn. Kasyf al-Niqāb al-Ḥājib. Cet. I; Beirut:
Dār al-Garb al-Islāmῑ, 1999.
Zuhrah, Muḥammad Abū. Abū Ḥanῑfah: Ᾱrā’uhu wa Fiqhuhu. Kairo: Dār al-Fikr
al-‘Arabῑ, 2008.
MENGKAJI KONSEP QAṬ’Ī DAN ẒANNĪ
DALAM NAS
MAKALAH
Dipresentasikan dalam Seminar Mata Kuliah Sejarah Peradilan Islam
Jurusan Dirasat Islamiyah Program Studi Syariah Hukum Islam
Oleh:
Muh. Ihsan Dahri
NIM: 80100221156
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Kasjim Salenda, M.Th.I.
Prof. Dr. H. Darussalam Syamsuddin, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan sebuah agama sekaligus pedoman dalam menjalani
hal terbesar hingga hal yang paling sederhana. Aturan tersebut termuat dalam
Al-Qur’an adalah kitab samawi yang terakhir diturunkan oleh Allah swt.
kepada Nabi Muḥammad saw. untuk menuntun jalan manusia dari kegelapan
zaman menuju cahaya kebaikan yang paripurna. Sebagai kitab samawi yang
dengan hadis-hadis nabi saw. Jika Al-Qur’an sendiri tidak terdapat lagi keraguan
akan kesahihannya, maka berbeda dengan hadis nabi. Hadis nabi dalam hal ini ada
tabaqat sehingga disepakati akan kesahihannya, dan ada pula yang bersifat ahad
periwayatannya.
Dalam kaitannya tentang validitas sebuah dalil atau nas, maka para ulama
menggunakan istilah qaṭ’ī dan ẓannī. Dua peristilahan tersebut sangat penting
kaitannya dalam istinbat hukum oleh para ulama. Olehnya pembahasan terkait dua
diperlukan. Apalagi dalam realita kekinian, umat Islam dibuat bimbang dalam
perbedaan yang ada tanpa harus saling menyalahkan dan menyesatkan jika
Dari segi etimologi/bahasa kata qaṭ’ī berasal dari bahasa Arab, yaitu al-
qaṭ’u, yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja قطعyang berarti memotong,
tajam, menjadikan sesuatu dengan yang lainnya jelas. 0 Dalam bahasa lain, qaṭ’ī
bermakna sesuatu yang tidak ada keraguan tentangnya, apa yang pasti dan tidak
Adapun istilah ẓannī secara etimologi berasal dari kata kerja يظن- ظنyang
bermakna ragu, sangkaan, atau sesuatu yang bersifat spekulatif. Secara istilah,
ẓannī merupakan nas yang menunjukkan atas makna, dimana makna tersebut
ini, dan lebih jauh bagaimana perkembangannya dari masa ke masa serta
B. Rumusan Masalah
0
Ibn Fāris, Mu’jam Maqāyῑs al-Lugah, Juz 2 (Dimasyq; Maktabah Dār al-Fikr, 1979 M),
h. 101.
0
Firdaus. “Konsep Qath’i dan Zhanni al-Dalalah dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran
Al-Qur’an”. Jurnal Hukum Diktum 11, 1 (2013), h. 25.
0
Ahmad Muktar Abdul Hamid, Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyyah al-Mu’āṣirah, Juz 3 (Cet
I; Riyad: ‘Ālam al-Kutub, 1429 H/2008 M), h. 1837.
0
Abdul Wahhab Khallaf. ‘Ilmu Usūl al-Fiqhi. (Kuwait: Dar al-Kuwaitiyah, 1968), h. 46.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka pemakalah akan mengemukakan
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep qaṭ’ī dan ẓannī merupakan teori pokok yang dikembangkan ulama
untuk memahami teks Al-Qur'an dan hadis dalam rangka penalaran fikih. Qaṭ’ī
dan ẓannī sendiri merupakan istilah yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an maupun
hadis. Dengan demikian, kategorisasi ini adalah konsep yang dicetuskan oleh para
ulama fikih. Teori ini tidak pernah digugat karena kemiripannya yang kuat dengan
Sebagai suatu konsep, para ulama dalam mendefinisikan qaṭ’ī dan ẓannī
memakai dua sudut pandang, yaitu segi dalālah (penunjukan/maksud) dan segi
wurūd (kedatangan/sumber) suatu dalil. Dari dua sudut pandang ini, maka dikenal
adanya qaṭ’ī al-wurūd dan ẓannī al-wurūd, juga qaṭ’ī al-dalālah dan ẓannī al-
dalālah. Semua kategori ini dipergunakan untuk konsep analisis dalam memahami
0
Iqbal Abdul Rauf Saimima, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1998), h. 182.
0
Taufiq Adnan Amal, Tafsir kontekstual al-Qur'an (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1994), h.
30-31.
82
yang dilihat terlebih dahulu adalah apakah dalil itu qaṭ’ī atau ẓannī. Bila qaṭ’ī
berarti dijalankan sebagaimana mestinya, dan bila ẓannī berarti dilakukan analisis
Tidak ada catatan sejarah yang pasti terkait sejak kapan konsep ini
kedua istilah ini. Ia menggunakan istilah al-bayān, zāhir, mafhūm, dll. Jika ditarik
mundur, maka di zaman sahabat pun belum ada petunjuk bahwa mereka telah
menggunakan konsep ini dalam penalaran fikih mereka. Karenanya Al Yasa Abu
Bakar menganggap konsep ini berkembang sesudah masa empat imam mazhab.0
pembagian ini telah ada sejak masa khulafaurasyidun dan sahabat besar, yaitu
menghasilkan kepastian atau tidak. Terbukti Ali pernah berkata, "Perkataan satu
orang pasti aku tolak, kecuali orang itu Abu Bakar al-Siddiq". Dalam hal ini, Ali
telah mengakui dan memastikan kebenaran khabar ahad dari Abu Bakar, yang
hanya seorang.0
0
Muhyar Fannani. "Sejarah Perkembangan Konsep Qath'iy-Zhanniy: Perdebatan Ulama
tentang Kepastian dan Ketidakpastian dalil Syari'at". Jurnal Al-Jami’ah 39, 2 (2001), h. 440-441
Firdaus. “Konsep Qath’i dan Zhanni al-Dalalah dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran
Al-Qur’an”, h. 25.
0
ʿAlī Muḥammad Muḥammad aṣ-Ṣallābī, seorang sejarawan, fakih, dan politikus asal
Libya kelahiran 1963.
0
Muhyar Fannani. "Sejarah Perkembangan Konsep Qath'iy-Zhanniy: Perdebatan Ulama
tentang Kepastian dan Ketidakpastian dalil Syari'at", h. 441
83
Pendapat Shalabiy ini, lebih banyak didukung oleh fakta historis dari pada
pendapat pertama. Walaupun demikian, pemikiran qaṭ’ī dan ẓannī pada masa
sahabat belum berbentuk suatu konsepsi yang formal dan tegas sebagaimana pada
periode sebelumnya. Dalam periode Imam Syāfi’ī (767-820 M), benih pemikiran
qaṭ’ī dan ẓannī juga telah ada. Bahkan ada yang berpendapat Imam Syāfi’ī orang
pertama yang menggagas konsep qaṭ’ī dan ẓannī itu, walaupun ia belum
Imam Syāfi’ī menggambarkan ide tentang qaṭ’ī dan ẓannī pada dua tempat;
khabar ahad; dan kedua, ketika menjelaskan otoritas qiyas. Khabar ahad
dihasilkan oleh nas Al-Qur'an dan khabar mutawatir. Dalil yang berupa al-Qur'an
batin, sedangkan dalil yang berupa khabar ahad menghasilkan kebenaran pada
lahirnya saja, seperti kebenaran yang disimpulkan oleh hakim berdasarkan adanya
keterangan saksi yang mungkin saja berbohong dan juga kebenaran qiyas.0
Lebih jauh menurut Syafi'i, dalālah Al-Qur'an dan hadis itu bertingkat-
tingkat. Dalālah itu memiliki kedudukan berbeda-beda dalam istidlāl. Ayat yang
ṣarīh (jelas) dalam al-Qur'an tidak menerima takwil. Ketika para ulama periode
Syāfi’ī banyak berdebat tentang khabar ahad, apakah qaṭ’ī dan ẓannī, Syafi'i
mengambil sikap bahwa khabar ahad itu ẓannī tapi bisa sebagai hujjah. Benih
0
Muhyar Fannani. "Sejarah Perkembangan Konsep Qath'iy-Zhanniy: Perdebatan Ulama
tentang Kepastian dan Ketidakpastian dalil Syari'at", h. 441-442
84
periode selanjutnya.0
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pencetus utama konsep ini
adalah Imam Syafi'i (w. 204 H/820 M). Walaupun demikian, benih dari konsep ini
telah ada sejak masa khulafaurasyidun. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh
para ulama sesudah Syafi'i dan mencapai wujudnya yang lebih tegas di tangan
qaṭ’ī dan ẓannī. Istilah qaṭ’ī dan ẓannī baru dipopulerkan oleh ulama usul fikih
qaṭ’ī dan ẓannī terdiri atas dua bagian, yaitu qaṭ’ī al-wurūd atau qaṭ’ī al- ṡubūt
ẓannī al-wurūd atau ẓannī al- ṡubūt (ketidakpastian sumber) dan ẓannī al-dalālah
hadis mutawatir baik lafzī maupun maknawi. Ini karena derajat periwayatannya
ẓannī al- ṡubūt yaitu hadis-hadis ahad, dimana periwayatannya tidak sampai
muḥaddiṡīn.
ك َأ ۡز ٰ َو ُج ُكمۡ ِإن لَّمۡ يَ ُكن لَّه َُّن َولَ ۚد فَِإن َكانَ لَه َُّن َولَد فَلَ ُك ُم ٱلرُّ بُ¼¼ ُع ِم َّما َ ف َما ت ََر ُ ص ۡ َِولَ ُكمۡ ن
صينَ بِهَٓا َأ ۡو د َۡي ۚن َولَه َُّن ٱلرُّ بُ ُع ِم َّما ت ََر ۡكتُمۡ ِإن لَّمۡ يَ ُكن لَّ ُكمۡ َولَ ۚد
ِ صيَّة يُو ِ ت ََر ۡك ۚنَ ِم ۢن بَ ۡع ِد َو
صيَّة تُوصُونَ بِهَٓا َأ ۡو د َۡين
0 ۗ
ِ فَِإن َكانَ لَ ُكمۡ َولَد فَلَه َُّن ٱلثُّ ُم ُن ِم َّما ت ََر ۡكتُمۚ ِّم ۢن بَ ۡع ِد َو
Terjemahnya:
Dan bagian kamu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
mereka (istri-istrimu) mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka
buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak.
Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat
atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu.
Dalam ayat tersebut amat jelas bagian warisan yang didapatkan oleh suami
jika istrinya wafat ialah seperdua jika mereka tidak memiliki anak, dan
bagian jika suaminya wafat dalam kondisi mereka tidak memiliki anak, dan
0
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an & Terjemah, Cet. I (Jakarta Timur: Penerbit Ummul
Qura, 2019), h. 79.
86
seperdelapan jika memiliki anak. Maka ayat tersebut termasuk qaṭ’ī al-dalālah
karena tidak ada ruang untuk ditafsirkan dan dibelokkan ke arah lain.
memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka (dengan
jumlah yang semisal) atau memerdekakan seorang budak, atau berpuasa selama
tiga hari. Dalam ayat ini, bilangan-bilangan yang disebutkan (10 orang miskin,
berpuasa 3 hari) merupakan dalil yang bersifat qaṭ’ī al-dalālah karena tidak ada
celah untuk ditambahkan atau dikurangi kadar yang telah disebutkan dalam nas
tersebut.
Yaitu nas-nas yang dari sisi kevalidannya tidak terdapat keraguan akan
validitasnya, namun dari segi maknanya masih terbuka ruang untuk ditafsirkan
0
Kementerian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 122.
87
dengan beragam penafsiran. Contohnya ialah ayat tentang masa idah wanita yang
0
ۚ ات يَت ََربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء
ُ ََو ْال ُمطَلَّق
Terjemahnya:
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
qurū'.
Dalam ayat ini terjadi silang pendapat di antara ulama mengenai makna
dari kata quru’. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa makna quru’
dalam ayat ini ialah suci. Artinya wanita yang ditalak oleh suaminya, masa
iddahnya ialah tiga kali suci. Pendapat ini juga diutarakan oleh sebagian sahabat
nabi saw. Dintaranya Aisyah ra., Abdullah bin Umar ra. dan Zaid bin Sabit ra.
sebagian sahabat diantaranya ‘Umar bin Khattāb ra., ‘Abdullāh bin Mas’ūd ra.
Abū Mūsā al-Asy’arī ra. dan Abū al-Dardā’ ra., dan pendapat ini juga yang
dikemukakan oleh Imam Abū Hanīfah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut
mereka, kata quru’ berarti haid, yang bermakna bahwa wanita yang ditalak oleh
Oleh karenanya, lafaz quru’ dalam ayat merupakan lafaz musytarak dalam
artian mengandung dua makna, sehingga ayat tersebut digolongkan ayat yang
ٰ ۟
ِ َّارقَةُ فَٱ ْقطَع ُٓوا َأ ْي ِديَهُ َما َجزَٓا ۢ ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكاًل ِّمنَ ٱهَّلل ِ ۗ َوٱهَّلل ُ ع
َزي ٌز َح ِكي ٌم ُ َّار
ِ ق َوٱلس ِ َوٱلس
Terjemahnya:
0
Kementerian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 36.
0
Muḥammad ‘Ali al-Sābūnī, Rawā’i’ al-Bayān Tafsir āyāt al-Ahkām, Juz 2 (Cet. III;
Beirut: Mu’assasah Manāhil al-‘Irfān, 1400 H/1980 M), h. 328.
88
Dalam ayat ini, kata tangan bisa dimaknai tangan kanan ataupun tangan
kiri, selain juga mengandung kemungkinan tangan sampai siku atau sampai
pergelangan tangan saja. Jadi kekuatan hukum kata tangan pada ayat ini para
ulama fikih sepakat bahwa itu bersifat zanni. oleh sebab itu para mujtahid boleh
memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh
dalil lain.0
Yaitu nas-nas nas yang jelas dan tertentu yang hanya memiliki satu makna
dan tidak terbuka untuk makna lain, atau hanya memiliki satu penafsiran dan tidak
terbuka untuk penafsiran lain. Namun dari sisi sumbernya belum pasti akan
kevalidannya. Contohnya ialah hadis tentang warisan, dimana Nabi saw bersabda.
Dalam hadis ini jelas bahwasanya orang beriman tidak memiliki hak waris
dari orang kafir, sekalipun itu ayah atau ibunya dan berlaku sebaliknya. Namun
hadis ini merupakan hadis ahad sehingga para ulama kembali menelaah dan
0
Khoirizi H Dasir. Qath’i dan Zhanni Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam Proses
Pengembangan Dakwah. Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam 3, 3 (2018), h. 9.
0
Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 5 (Cet. I; Kairo. Dār Ṭauq al-
Najāh, 1422 H), h. 147
89
Yaitu nas-nas nas makna dan sumbernya belum pasti akan kevalidannya.
0
َ فَاَل يَ ْق َربَ َّن ُم، ُِّضح
صاَّل نَا َ َولَ ْم ي،ٌ َم ْن َكانَ لَهُ َس َعة
Artinya:
Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rizki) dan tidak berqurban, maka
janganlah ia mendekati tempat salat kami.
Hadis ini juga merupakan hadis ahad bahkan para ulama berbeda pendapat akan
Syaikh al-Albani, dan tidak sedikit ulama yang menganggapnya sebagai hadis
daif.
1. Dalil ẓannī yang dinaungi oleh suatu prinsip universal yang qaṭ’ī (aṣl
qaṭ’ī).
ار ِ واَل
َ ض َر َ اَل
َ ض َر َر
Artinya:
Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun
orang lain
Hadits ini adalah ẓannī karena keshahihan asal-usul historisnya (al-
wūrud) tidak mencapai derajat mutawatir, akan tetapi hadits ini dinaungi oleh
Prinsip ini disimpulkan dalil sejumlah dalil juz'ī atau kasus-kasus detail, seperti
larangan bertindak merugikan dan berbuat mudarat terhadap istri (QS. al-Talāq/
65:6), terhadap mantan istri yang dirujuk (QS. al-Baqarah/ 2:233), larangan
bertindak merugikan dalam penulisan dan pemberian saksi hutang piutang (QS.
al-Baqarah/ 2:282), dan larangan agar ibu dan ayah jangan sampai menderita
karena anaknya (QS. al-Baqarah/ 2:233). Dari sinilah disimpulkan prinsip di atas
2. Dalil ẓannī yang bertentangan dengan suatu prinsip yang qaṭ’ī (aṣl qaṭ’ī).
Dalil ini secara umum ditolak, karena segala yang bertentangan dengan
dasar-dasar syariah adalah tidak sah dan tidak dapat dipegangi. Contoh yang
maslahat oleh beberapa ulama untuk memberi fatwa seorang raja yang menggauli
istrinya di siang hari bulan Ramadlan, bahwa hukumnya adalah membayar kifarat
saw., hukuman tersebut bersifat fakultatif , yaitu orang yang menggauli istrinya di
siang hari bulan Ramadlan harus membayar kifarat berupa; membebaskan budak,
jika tidak ada budak, maka berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut, dan jika tidak
dihukum dengan kifarat' membebaskan budak, hal itu tidak memenuhi tujuan
hukuman, yaitu mencegah pengulangan perbuatan, sebab raja itu kaya dan
91
karena itu, demi kemashlahatan raja tersebut diberi hukuman kifarat puasa 2 (dua)
bulan berturut-turut agar dia merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya
membebaskan budak, baru kalau tidak ada, kifarat puasa 2 (dua) bulan berturut-
turut diterapkan.
untuk pribadi raja itu sendiri, karena kalau hukumannya membebaskan budak itu
membatalkan seandainya hukuman bagi raja itu puasa selama 2 bulan berturut-
turut menurutnya karena tidak mengikuti urutan hukuman dalam nash tersebut di
atas.
3. Ketiga, dalil ẓannī yang tidak bertentangan dengan suatu prinsip yang
qaṭ’ī, tetapi tidak pula dinaungi oleh suatu prinsip yang qaṭ’ī. Menurut al-Syātibī,
dalil ini dapat diterima atas dasar bahwa pada dasarnya segala yang berada pada
Pada masa lalu konsepsi terhadap teori qaṭ’ī dan ẓannī tidak pernah
modern sekarang, konsep dari teori ini telah mulai digugat. Masdar F.Mas'udi
menganggap bahwa konsep yang ada dari konsep ini hanya berpijak pada teks
(simbol) bukan pada substansi dari suatu ayat. Konsekuensi dari konsepsi yang
hanya berpijak pada teks (simbol) ini adalah kekakuan dan tidak bisa operasional
dalam era modern. Seharusnya, konsepsi itu harus berpijak pada subtansi yang
dalam melarang ijtihad pada nash qaṭ’ī sifatnya sangat subjektif dan tanpa dasar
sekehendak mereka.
mengklasifikasikan bahwa dalil yang qaṭ’ī adalah ayat yang berisi prinsip-prinsip
0
Muḥammad Mustafa Zuhaili, Al-Wajiz fi Usul al-Fiqhi al-Islami, Juz 2 (Cet. II;
Damaskus. Dār al-Khaīr, 1427 H), h. 312.
0
Khoirizi H Dasir. Qath’i dan Zhanni Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam Proses
Pengembangan Dakwah, h. 13.
93
dasar yang kebenarannya bersifat universal. Seperti ayat yang menunjukkan pada
Sedangkah yang ẓannī adalah yang membicarakan soal ontologi dan aksiologi dari
nilai dasar yang universal. Seperti ayat tentang potong tangan atas pencuri.0
Jika yang dimaksudkan oleh Mas’udi bahwa ayat potong tangan bagi
pencuri bersifat ẓannī dari sisi cara atau kaifiatnya, maka ini memang tepat. Hal
ini dikarenakan terjadi perebatan dikalangan ulama terkait batasan tangan yang
dimaksud dalam ayat tersebut. Namun, jika yang dimaksud bahwa ayat tersebut
masih bisa diijtihadkan sehingga hukuman yang diberikan kepada pencuri juga
akan berbeda, maka ini merupakan bentuk kekeliruan yang fatal. Sebab, hukuman
ini sudah merupakan ijmak para ulama terdahulu pasca wafatnya Rasulullah saw.,
warisan umat Islam Indonesia memberikan bagian yang sama terhadap anak laki-
laki dan perempuan (1:1). Alasan Munawir Sjadzali memberikan bagian yang
sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan adalah “dahulu pada masa
sebelum Islam wanita sama sekali tidak mendapat bagian warisan”. Setelah Islam
datang, wanita diberi bagian warisan meskipun hanya setengah dari bagian laki-
laki. Ini berarti secara sadar Islam hendak meningkatkan hak dan derajat wanita.
Kenapa tidak sekaligus saja wanita diberi bagian yang sama dengan laki-laki.
0
Muhyar Fannani. "Sejarah Perkembangan Konsep Qath'iy-Zhanniy: Perdebatan Ulama
tentang Kepastian dan Ketidakpastian dalil Syari'at", h. 452-453.
0
Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (7 November 1925 – 23 Juli 2004) adalah Menteri
Agama Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan III dan IV. Diantara bukunya ialah Ijtihad
Kemanusiaan, Kontekstualisasi Ajaran Islam, dan Islam dan Tata Negara
94
Memang tidak jelas, tetapi ajaran Islam itu memang sering diberlakukan secara
bertahap (ingat penetapan minuman keras). Karena itu dapat dipahami bahwa jiwa
dari ayat waris tersebut ialah bahwa pada dasarnya usaha meningkatkan hak dan
derajat wanita itu harus terus dilakukan dan tidak boleh terhenti. Kemudian
kehidupan modern sekarang ini telah memberikan kewajiban yang lebih besar
kepada wanita dibanding pada masa lalu sehingga wanita kini juga dapat
memberikan peran yang sama dengan laki-laki dalam masyarakat, maka logis saja
Pertama, bahwasanya agama ini telah sempurna saat wafatnya Rasulullah saw.
Maka kias antara dalil warisan dan dalil pengharaman minuman keras secara
bertahap itu kias batil. Karena pengharaman minuman keras secara bertahap itu di
masa masih turunnya wahyu, sedangakan di masa sekarang wahyu sudah terputus.
Kedua, bahwasanya konsep warisan itu sesuai dengan konsep peran laki-laki dan
sebagai qawwām dalam biduk rumah tangga, sehingga wajarlah jika laki-laki
0
M. Atho Muzhar, “Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di
Dunia Islam dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam”, (Cet. I; Jakarta: IPHI, t.th.), h. 311-313.
95
BAB III
A. Kesimpulan
1. Konsep qaṭ’ī dan ẓannī merupakan teori pokok yang dikembangkan ulama
untuk memahami teks Al-Qur'an dan hadis dalam rangka penalaran fikih.
penggagas ilmu usul fikih belum menyebutkan konsep ini dalam kita-
kitabnya. Istilah qaṭ’ī dan ẓannī baru dipopulerkan oleh ulama usul fikih
masing qaṭ’ī dan ẓannī terdiri atas dua bagian, yaitu qaṭ’ī al-wurūd atau
3. Pada masa lalu konsepsi terhadap teori qaṭ’ī dan ẓannī tidak pernah
digugat. Barulah di era modern sekarang, konsep dari teori ini telah mulai
digugat. Ini karena para pemikir Islam mulai memperluas ranah ijtihad
sehingga terjatuh pada takwil yang tidak sejalan dengan prinsip syariah.
96
B. Saran
kaidah syariah sesuai dengan kondisi saat ini. Namun semestinya ini tidak
melegalkan para pemikir untuk menggugat nas yang sudah qaṭ’ī al-dalālah
sehingga terjatuh pada perkara yang diharamkan oleh Allah, yakni mengubah-
DAFTAR PUSTAKA
al-Alūsῑ, Syihāb al-Dῑn. Rūḥ al-Ma’ānῑ fῑ Tafsῑr al-Qur’ān al-‘Aẓῑm, Juz 2. Cet. I;
Amal, Taufiq Adnan. Tafsir kontekstual al-Qur'an . Cet. IV; Bandung: Mizan,
1994.
Bakar, Ali Yasa Abu. Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya dalam
Bin Majah, Abu Abdillah Muḥammad bin Yazid. Sunan Ibnu Majah, Juz 2. Cet. I;
al-Bukhārī, Muḥammad bin Ismā’īl. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Juz 5. Cet. I; Kairo. Dār
Dasir, Khoirizi H. Qath’i dan Zhanni Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam Proses
3, 3. (2018)
Fāris, Ibn. Mu’jam Maqāyῑs al-Lugah, Juz 2. Dimasyq; Maktabah Dār al-Fikr.
1979.
98
Khallaf, Abdul Wahhab. ‘Ilmu Usūl al-Fiqhi. Kuwait: Dar al-Kuwaitiyah. 1968.
t.th.
Ṣābūnī, Muḥammad ‘Ali. Rawā’i’ al-Bayān Tafsīr āyāt al-Ahkām, Juz 2. Cet. III;
Saimima, Iqbal Abdul Rauf. Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam. Cet. I; Jakarta:
Zuhaili, Muḥammad Mustafa. Al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqhi al-Islāmī, Juz 2 (Cet. II;