Oleh Kelompok 5 :
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat, hidayah
dan inayahNya pada kita semua sehingga sampai saat ini kita semua masih dalam keadaan sehat
wal-afiyat. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, serta kepada keluarga, para sahabat, tabiin dan semua kaum muslimin muslimat.
Alhamdulillahirobbil ‘alamin,penulis bisa menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Agama
Islam dengan tugas membuat Makalah Presentasi yang berjudul Hukum Dan Islam.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan tugas ini. Baik dari
segi bahasa, terjemah atau kutipan-kutipan yang ada. Maka dari itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan, serta bimbingan dari Ibu Nikmah Dalimunthe,S.Ag.,M.Hum.
Dan para teman-teman untuk menyumbangkan idenya, partisipasinya dan pikiran-pikirannya.
kami hanya mohon pada Allah SWT semoga tugas critical book report ini memberi manfaat bagi
kita semua.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-
peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat,
yang dibuat dan ditegakkan oleh penguasa atau manusia itu sendiri seperti hukum adat, hukum
pidana dan sebagainya.
Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak hanya merupakan hasil
pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat pada suatu massa tetapi
dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyunya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan
oleh Nabi Muhammad sebagai rasulnya melalui sunnah beliau yang terhimpun dalam kitab
hadits. Dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang
lain.
Adapun konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah.
Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya
sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam bermasyarakat, dan hubungan manusia
dengan benda serta alam sekitarnya.
Hukum Islam merupakan suatu hukum yang memiliki sifat statis dan sekaligus dinamis.
Statis berarti suatu hal yang tetap bersumberkan pada Al-Qur'an dan hadits dalam setiap
aspek kehidupan. Dinamis berarti mampu menjawab segala permasalahan dan sesuai dengan
perkembangan zaman, tempat dan keadaan, serta cocok ditempatkan dalam segala macam
bentuk struktur sosial kehidupan, baik secara individu maupun secara kolektif
bermasyarakat. Sekilas bila pemikiran mengenai Hukum Islam ditelaah dari zaman ke
zaman, tentulah akan terlihat berbagai macam corak pemikiran yang tak jarang saling
bersinggungan dan saling bertentangan antara seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya.
Berdasarkan hal tersebut, sepatutnya umat Islam tidak perlu heran akan segala
macam perbedaan itu. Penuliskira, umat Islam juga tidak perlu saling fanatik dan
mengklaim suatu golongan dengan pemikiran tertentu adalah paling benar diantara golongan
yang lain. Karena hal tersebut hanya dapat menimbulkan pengerusakan, penghujatan dan
permusuhan yang berkepanjangan yang nantinya bisa jadi akan berdampak pada penodaan
terhadap agama Islam itu sendiri. Berbicara mengenai corak pemikiran Hukum Islam dari masa
ke masa, sudah tentu hal tersebut tidak dapat lepas dari tokoh atau pemikir yang hidup pada
zaman dan lingkungannya yang turut berperan dalam mewarnai keberagaman akan corak
pemikiran Hukum Islam, diantara banyaknya para cendikiawan, khususnya yang hidup di
Indonesia, salah satunya adalah Munawir Sjadzali.
Beliau merupakan seorang cendikiawan Islam yang memiliki gagasan dan pemikiran
yang terkait dengan Hukum Islam, yang salah satu dari pemikirannya tersebut dapat
menimbulkan polemik yang berkepanjangan antara pro dan kontra dari berbagai macam pihak. 2
Pemikiran itu ia sebut sebagai Reaktualisasi Ajaran Islam, buah pemikirannya yang merupakan
bunga rampai dari pemikiran-pemikirannya yang terdiri atas riba bunga bank dan pembagian
harta warisan antara anak laki-laki dan perempuan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hukum dan islam
2. Ada berapakah macam hukum dalam islam
3. Maslah apa saja yang dibahas dalam hukum islam
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan maksud dari hukum dan islam
2. Untuk mengetahui ada berapakah banyak hukum islam
3. Untuk mengetahui tentang masalah apa saja yang dibahas dalam hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
Disebabkan hukum islam disyariatkan untuk kepentingan dunia dan akhirat maka
keadaan ini menjadi faktor terpenting yang mendorong pemeluknya untuk mentaati hukum
tersebut secara publik dan pribadi pada waktu suka atau duka. Setiap mukmin percaya bahwa
ketaatan mengamalkan hukum-hukum tersebut merupakan ibadah dan akan mendapatkan pahala
karenanya. Oleh sebab itu,meskipun seseorang bisa melakukan jarimah (tindakan kriminal) dan
dapat terhindar dari hukum dunia,namun ia tidak akan lepas dari siksaan akhirat dan laknat allah.
Pembagian hadis diatas memiliki pengaruh terhadap kepastian atau dugaan datangnya
hadis dari Rasul. Hadis mutawatir sudah pasti datang dari Rasul SAW. Karena banyak orang
yang meriwayatkannya maka ia menimbulkan keyakinan (qath’i). oleh sebab itu,maka secara
otomatis ia menjadi hujan dan dalil yang kuat. Hadis mansyur juka sanadnya sahih maka sudah
pasti datang dari sahabt yang meriwayatkannya dari Rasul. Sementara hadis ahad,jika ia
sahih,maka ia diduga kuat datang dan berasal dari Rasul SAW. Oleh sebab itu,baik hadis
mansyur maupun hadis ahad jika ia sahih maka ia menjadi hujan dan dalil hukum,baik dalam
masalah akidah,ibadah,maupun mu’amalah,dan jinayah.
Jadi sunnah merupakan sumber hukum yang wajib dilaksanakan berdasarkan dalil dan
ketenuan Alquran. Pelaksanaan hukum-hukum tersebut ditaati oleh sahabat-sahabat Nabi saw.,
baik sewaktu beliau masih hidup atau sesudah meninggal. Ini merupakan prinsip dasar yang
harus diterima kaum yang telah menjadi ijma’.
Dalam pada itu,ditemukan pula peristiwa-peristiwa yang datang dari rasul SAW. Sebagai
kekhususan baginya dan tidak boleh ditiru atau diikuti oleh orang lain,seperti masuk kota
mekkah tanpa ihram,menikah lebih dari empat,dan tidak boleh memakan sedekah,wajib
melaksanakan salat qiyam al-lail,dan lain sebagainnya. Peristiwa-peristiwa khusus ini tidak
menjadi sumber hukum sebab ia adalah khushushiyat.
Ada lahi peristiwa-peristiwa yang datang dari Rasul SAW,yang didasarkan atas
pengalamannya dalam soal-soal penghidupan dunia,seperti perdagangan,cocok
tanam,kemiliteran,dan sebagainnya. Peristiwa-peristiwa ini juga tidak menjadi sumber
hukum,karena dasarnya adalah pengalaman perseorangan yang tidak datang dari wahyu.
Namun,ketidakwahyuan itu harus diriwayatkan pula dari para sahabat Nabi bukan atas daras
presepsi semata. Sebagaimana ketika Nabi SAW. Menempatkan pasukan pada perang uhud.
Akan tetapi kata-katandan perbuatan-perbuatan yang keluar dari Rasul SAW. Dengan maksud
untk memberi petunjuk dan tuntutan,maka peristiwa-peristiwa itu merupakan sumber hukum
yang harus diikuti,seperti kata-kata nabi “shalatlah kamu,sebagaiman kamu melihat aku shalat.”
Demikian juga terhadap kasus potong tangan yang dilakukan Rasul SAW. Terhadap pencuri,yaitu
sampai pergelangan tangan saja.
c. Ijma’
Yang dimaksud dengan ijma’ adalah kebulatan semua pendapat ulama mijtahid dari umat
islam atas suatu pendapat (hukum) yang disepakati oleh merek, baik dalam suatu pertemuan atau
terpisah, maka hukum tersebut mengikat, wajib ditaati. Dalam hal ini ijma’ merupakan dalil
qath’I (pasti). Namun, ketika hukum tersebut hanya pendapat kebanyakan mujtahid, maka
dianggap sebagaai dalil zhanni (dugaan kuat).
Ijma’ harus mempunyai dasar, yaitu alquran dan Sunnah Rasul saw. Sebab, ijma’ tidak
boleh didasarkan atas kemauan atau hawa nafsu melainkan harus ditegakan berdasarkan aturan-
aturan syara’ dan ruhnya. Ia diterapkan ketika tidak terdapat nas dari al-qur’an dan sunnah secara
tegas yang menjelaskannya. Kebulatan pendapat para mujthahid atas suatu hukum tertentu
menunjukkan dengan pasti bahwa hukum itu sesuai dengan prinsip dan jiwa syara’.
Kekuatan ijma’ sebagai sumber (dalil) hukum yang mengikat ditentukan oleh al-qur’an
dan sunnah. Misalnya surah an-Nisa’ ayat 59
َاخ خوأخصطيِكعوُاَ اَلاركسوُخل خوكأوصلي اَللخلمصر صملنككلم َهَّلل فخإ صلن تخخناَخزلعتكلم صفي خشليءْخ
اَ أخيَيخهاَ اَلاصذيخن آخمكنوُاَ أخصطيِكعوُاَ ا
اص خواَلاركسوُصل إصلن ككلنتكلم تكلؤصمكنوُخن صباَالص خواَلليِخلوُصم اَللصخصر ُهَّلل ذخذلص خ
َك خخليِرْر خوأخلحخسكن تخألصويملك يَدوهك إصخلىَ ا
Hai orang-orang yang beriman,taatilah allah dan taatilah Rasul (Nya),dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,maka
kembalikanlah ia kepada allah (Al-qur’an) dan Rasul (sunnahnya),jika kamu benar-
benar beriman kepada allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan kebih baik akibatnya.
Kata ulil amri didalam ayat ini adalah para ulama dan pemimpin kaum muslim. Disini
allah menegaskan tentang kewajiban mengikut ulil amri dalam hal tidak ditemukan dalil di
dalam al-qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
d. Qiyas
Dimaksud dengan qiyas ialah mempersamakan hukum dari peristiwa yang belum ada
ketentuannya dengan dengan hukum pada peristiwa yang sudah ada ketentuannya. Sebab antara
kedua peristiwa tersebut terdapat segi-segi persamaan (‘illat).
Rukun qiyas ada empat, yaitu adanya ashl,furu’, ‘illah, dan hukum. Ashl adalah sesuatu
yang telah ditetapkan hukumnya oleh nash. Furu’ adalah sesuatu yang hukumnya tidak
dijelaskan nash, namun mujtahid ingin menyamankan hukumnya dengan hukum ashl. Hukum,
yaitu ketetapan atau hukum syara’ yang ditetapkan nash pada ashl. ‘illat, yaitu suatu sifat yang
ditentukan pada ashl (hukum yang memiliki nash) yang dibangun diatas sifat itu hukum syara’
ditegakan. Lalu dipahamilah dengan sifat itu adanya hukum pada furu’ (sesuatu yang tidak
memiliki nash) karena furu’ ternyata juga memiliki sifat tersebut.1
Ketentuan syari’ yang dikemukakan dalam tuntutan terbagi dua, yaitu tuntutan untuk
dikerjakan, ditinggalkan. Masing-masing dari tuntutan ini ada yang mengikat dan ada pula yang
tidak mengikat. Tuntutan yang tidak mengikat menimbulkan hukum mandub. Adapun tuntutan
untuk ditinggalkan dan ia mengikat menimbulkan hukum haram dan tidak mengikat
menimbulkan hukum makruh. Sementara ketentuan syari’ yang dinyatakan dalam bentuk pilihan
(takhyiri) menimbulkan hukum mubah.
Walaupun para ulama ushul menggolongkan mubah pada kelompok hukum takhlifi,akan
tetapi karena pada mubah tidak ada unsur tuntutan,maka dalam pembahasan ini akan dipakai
istilah hukum takhyiri. Sedang hukum wadh’I adalah ketentuan-ketentuan tentang perbuatan-
perbuatan taklif yang lain,dan secara keseluruhan hukum wadh’I ini ada tiga yaitu sabab,mani
dan syarath.
1
1
Husnel Anwar Matondang, Menelusuri khalifah dalam Tradisi Salaf dan Khalaf, (Jakarta: Hijri
Pustaka Utama, 2008), h. 44. Lihat juga Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (kairo: tp,
tt,), h
Keempat macam hukum wajib,mandub,haram dan makruh disebut sebagai hukum
takhlifi karena syari’ menuntut para mukallaf untuk mentaatinya sedangkan mubah disebut
hukum takhyiri karena syari’ memberi peluang para mukallaf untuk melakukannya atau tidak
melakukannya. Sementara sabab,syarath dan mani’disebut sebagai hukum wadhi’ karena
ketigannya menjadi penentu ada atau tidaknya suatu perbuatan,serta sah atau tidaknya perbuatan
taklif tersebut.
2. Hukum Taklifi
Dimaksud dengan hukum taklifi adalah ketentuan-ketentuan hukum yang menuntut para
mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Hukum taklifi sebagaimana telah
diuraikan diatas terbagi empat, yaitu wajib, mandub, haram, dan makruh.
a. Wajib
Dimaksud dengan wajib dengan wajib dalam pengertian hukum Islam adalah ketentuan
yang menuntut para mukallaf untuk melakukannya dengan tuntutan yang mengikat, serta diberi
pahala bagi yang melaksanakannya dan ancaman dose bagi yang meninggalkannya.
b. Mandub
Yang dimaksud dengan mandub adalah ketentuan-ketentuan syari’ tentang berbagai
amaliah yang harus dikerjakan mukallaf dengan tuntutan yang tidak mengikat. Pelakunya diberi
imbalan pahala tanpa ancaman dosa bagi yang meninggalkannya. Ketentuan-ketentuan tersebut
biasanya dinyatakan dengan shighat thalab, namun disertai karinah yang menunjukan bahwa
tuntutan tersebut tidak mengikat.
Mandub terbagi tiga,yaitu sunnah mu’akkadah,za’idah,dan fadhilah. Sunnah mu’akkadah
adalah ketentuan syara’ yang tidak mengikat tetapi sangat penting,karena Rasulallah SAW.
Senantiasa melakukannya,dan hampir tidak pernah meninggalkannya. Seperti azan sebelum
shalat,dua shalat ied,dan lainnya.
Sunnah za’idah adalah ketentuan syara’ yang tidak mengikat dan tidak sepenting sunnah
mu’akkadah,karena Rasulallah SAW. Biasannya melakukannya dan sering juga
meninggalkannya. Seperti puasa dihari senin dan kamis,serta bersedekah kepada fakir miskin.
Sedang sunnah fadhillah adalah mengikuti tradisi Rasulallah SAW. Dari segi kebiasaan-
kebiasaan kulturalnya,seperti cara beliau makan,minum,tidur,dan sebagainnya.
c. Haram
Dimaksudkan dengan haram adalah tuntutan syari’ kepada mukallaf untuk
meninggalkannyadengan tuntutan yang mengikat, beserta imbalan pahala bagi yang mentaatinya,
dan balasan bagi orang yang melanggarnya.
Haram ada dua, yaitu haram zati dan haram ‘aradhi. Haram zati perbuatan-perbuatan
yang diharamkan oleh syari’ semenjak pernuatan itu lahir. Seperti zina, pencurian, perhikahan
antara mahram shalat tanpa bersuci, jual beli bangkai, dan sebagainya. Sedang yang dimaksud
dengan haram ‘aradhi adalah perbuatan-perbuatan yang pada awalnya tidak haram, manum
menjadi haram. Misalnya, jual beli dengan cara menipu, melakukan perhikahan dengan maksud
menyakiti, cerai bid’ha dan sebagainya.
d. Makruh
Makruh menurut jumhur fuqaha’ adalah ketentuan-ketentuan syara’ yang menuntut
mukallaf untuk meninggalkannya, dengan tuntutan yang tidak mengikat. Meninggalkan
perbuatan makruh memperoleh imbalan pahala, sementara pelanggaran terhadap ketentuan-
ketentuan tersebut tidak menimbulkan konsekuensi ancaman apa-apa.
Ketentuan makruh ini biasannya dinyatakan dengan shighat (nahyi) namn disertai dengan
karimah yang menyebabkan tuntutan tersebut tidak mengikat.
Penggalan kalimat merupakan shighat (nahyi) yang menimbulkan pengertian hukum
haram,yakni haram bertanya tentang berbagai hal. Namun kata-kata berikutnya merupakan
karimah yang menurunkan konotasi hukumnya menjadi makruh.
Jumhur ulama berpendapat bahwa makruh itu hanya satu,yaitu sebatas perbuatan yang
dilarang dengan larangan yang tidak mengikat. Akan tetapi,Abu Hanifah membaginnya dengan
dua bagian,yaitu makruh tahrim,dan makruh tanzih. Makruh tahrim menurutnya adalah
ketentuan syara’ yang dituntut untuk meninggalkan secara mengikat,namun dengan dalil yang
zhanni (dugaan kuat). Seperti memakai pakaian sutera dan cincin emas atau perak bagi laki-laki.
Sedang makruh tanzih sama seperti makna makruh yang dikemukakan para ulama lainnya.
3. Hukum Takhyiri
Hukum takhyiri sebagaimana yang telah dikemukakn sebelumnya adalah ketentuan-
ketentuan Tuhan yang memberi peluang bagi mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan. Dalam pembahasan ilmu ushul,hukum takhyiri biasa disebut dengan mubah. Asy-
Syaukani mengatakan bahwa dalam hal ini melakukan perbuatan tersebut tidak memperoleh
jaminan pahala dan tidak diancam dosa.
Ketentuan mubah biasanya ada tiga bentuk,dengan menafikan dosa pada perbuatan yang
dimaksud. Seperti terlihat pada ayat 173 surah al baqarah :
غ خوخل خعاَضد ضطكار خغليِخر خباَ ض إصناخماَ خحارخم خعلخليِكككم اَللخمليِتخةخ خواَلادخم خولخلحخم اَللصخلنصزيصر خوخماَ أكصهال بصصه لصخغليِصر ا
اص َهَّلل فخخمصن اَ ل
اخ خغكفوُرْر خرصحيِرْمفخخل إصلثخم خعلخليِصه ُهَّلل إصان ا
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan
terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Selanjutnya,adannya ungkapan penghalalan,seperti yang dijelaskan pada ayat 5 surat al-Ma’idah:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang
diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu.
Bila juga dengan tidak ada pernyataan apa-apa tentang perbuatan yang dimaksud. Oleh
sebab itu,sejauh tidak ada pernyataan apa-apa dari Syari’ tentang perbuatan-perbuatan
mukallaf,maka perbuatan tersebut boleh dilakukan atau ditinggalkan. Seperti mendengarkan
siaran radio,menonton acara tv,dan yang sebangsannya yang tidak menimbulkan dampak dosa
atau pahala.
a. Hukum Wadhi’
Hukum wadhi’,sebagaimana yang dijelaskan asy-syaukani,adalah ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan syari’untuk menentukan ada atau tidak adannya hukum taklifi. Yakni,ketentuan-
ketentuan yang dituntut syari’ untuk ditaati karena,ia mempengaruhi terwujudnya perbuatan-
perbuatan taklifi lain yang terikat langsung dengan ketentuan-ketentuan wadhi’ tersebut.
Berdasarkan hasil penelaahnya,Abu Zahrah sebagaimana asy-syaukani berpendirian bahwa
hukum wadhi’ itu hanya ada tiga,yaitu sebab,syarath dan mani.
1. Sebab
Sebab,sebagaiman diungkapkan para ulama fikih,adalah sesuatu yang tampak dan jelas
yang dijadikan oleh syari’sebagai penentu adanya hukum. Seperti masuknya waktu shalat yang
menjadi sebab adannya kewajiban shalat tersebut. Secara umum,sebab terbagi dua,yaitu sebab
yang timbul bukan dari perbuatan mukallaf,seperti takut terperosok pada perbuatan zina serta
mampu untuk menikah yang menjadi sebab wajibnya nikah. Kemudian,keadaan dharurah yang
menjadi sebab bolehnya memakan bangkai binatang. Kedua,sebab yang timbul dari perbuatan
mukallaf sendiri,seperti melakukan perjalanan jauh yang melelahkan yang menjadi sebab
bolehnya tidak berpuasa pada bulan ramadhan,atau melakukan akad nikah yang menjadi sebab
bolehnya melakukan hubungan seksual.
2. syarath
dimaksud dengan syarath adalah sesuatu itu terwujud atau tidak tergantung kepadannya.
Kalau syarath tidak terpenuhi,maka perbuatan taklifi-nya tidak diterima secara hukum. Berbeda
dengan sebab,disini setiap ada syarath pasti ada hukum,sah atau tidak.
Syarath ada dua macam,yaitu syarath yang menyempurnakan sebab,seperti haul (genap setahun)
yang merupakan persyaratan wajibnya zakat,sekaligus juga menjadi penyempurna terhadap
nishab (ukuran jumlah harta untuk dizakati);atau pencurian yang merupakan sebab wajibnya
pelaksanaan had potong tangan,namun pencurian dihitung pelanggaran kalau harta yang
dicurinnya itu diambil dari tempat penyimpanan yang rapi serta terjaga secara ketat.
Kedua,syarath yang menyempurnakan musabbah,seperti wuduk,menutup aurat,dan menghadap
qiblat dalam shalat,merupakan syarat sahnya shalat.
3. Mani’
Mani’ merupakan suatu keadaan atau perbuatan hukum yang dapat menghalangi
perbuatan hukum lain. Adanya mani’ membuat ketentuan lain menjadi tidak dapat dijalankan.
Dengan demikian,mani’itu tidak lebih dari sebab yang dapat menghalangi pelaksanaan
ketentuan-ketentuan hukum; atau sebab yang bertentangan dengan sebab lain yang mendukung
terlaksanannya suatu perbuatan hukum.;atau sebab yang bertentangan denagn sebab lain yang
mendukung lerlaksananya suatu perbuatan hukum. Misalnya,kirangnya jumlah nishab menjadi
penghalang wajibnya zakat. Hutang merupakan mani’sekaligus menjadi sebab yang merintangi
pelaksanaan pembayaran zakat.
Sebagaimana syarath,mani’terbagi dua,yaitu mani’ yang mempengaruhi sebab dan
mani’yang mempengaruhi musabbah. Mani’ yang mempengaruhi sebab adalah seperti
pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap orang yang akan menurunkan harta warisannya
itu. Karena pembunuhan tersebut,ia tidak berhak atas harta waris yang ditinggalkan orang yang
mati tersebut. Sebab mani’ yang mempengaruhi musabbah adalah seperti seorang ayah yang
membunuh anaknya. Secara hukum,setiap pembunuhan harus diselesaikan dengan qishash. Akan
tetapi,karena pembunuhannya itu ayahnya sendiri,maka hukum qishash menjadi gugur dan
diganti dengan hukuman ta’zir. Dengan demikian,posisi sebagai ayah menjadi mani,terhadap
pelaksanaan qishash.
DAFTAR PUSTAKA
https://tafsirweb.com/1889-surat-al-maidah-ayat-5.html
: https://tafsirweb.com/1637-surat-an-nisa-ayat-105.html
: https://tafsirweb.com/1682-surat-an-nisa-ayat-150.html
: https://tafsirweb.com/10805-surat-al-hasyr-ayat-7.html
https://tafsirweb.com/1922-surat-al-maidah-ayat-38.html
: https://tafsirweb.com/1591-surat-an-nisa-ayat-59.html
: https://tafsirweb.com/660-surat-al-baqarah-ayat-173.html
: https://tafsirweb.com/1889-surat-al-maidah-ayat-5.html
i: https://tafsirweb.com/1889-surat-al-maidah-ayat-5.html
: https://tafsirweb.com/660-surat-al-baqarah-ayat-173.html
https://tafsirweb.com/1591-surat-an-nisa-ayat-59.html