Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang

Agama Islam yang mulia telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia menuju kebahagian
dunia dan akherat. Namun banyak orang yang tidak mengetahuinya dan banyak pula yang
enggan menerimanya dengan dalih-dalih yang beraneka ragam banyaknya.

Tidak dipungkiri lagi mengajak manusia untuk taat kepada Allah dan beribadah hanya
kepadaNya dizaman ini secara umum mengalami kesulitan dan kendala. Terlalu banyak
pemikiran dan isu yang menghalangi manusia mencapai kebenaran yang dibawa agama Islam
ini. Sebenarnya Allah telah menjanjikan kemenangan dan kejayaan untuk islam dalam firman-
Nya (Q.S at-Taubah : 33) yang artinya : “Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan
petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun
orang-orang musyrik tidak menyukai”.

Demikian juga membutuhkan persiapan dan pembekalan para da’i agar siap mengemban tugas
menyebarkan kalimatullah diantara manusia dan untuk perbaikan hati dan jiwa mereka. Semua
ini ada dalam al-Qur`an dan sunnah Nabi yang menjelaskan uslub dakwah yang baik dan pas.
Juga ada contoh yang baik dalam menjalankan dakwah dan mengajak bicara manusia serta
perbaikan jiwa dan hati mereka. Demikian juga di zaman kenabian telah ditetapkan ushul
dakwah dan adab-adabnya.

Mengenal hal ini merupakan bekal yang bisa menjadikan da’i memiliki senjata dalam
dakwahnya. Tidaklah bagus amalan da’i di zaman apapun dan dimanapun kecuali dengan
memiliki ilmu kitabullah dan sunnah, mempelajari ilmu-ilmu islam baik aqidah maupun syariat
dan berhias dengan akhlak yang mulia serta ittiba’ dalam menyampaikan dan menasehati umat
ini sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat.

Dalam kajian singkat ini kita mencoba menjelaskan permasalahan Konsep Hukum, Hak Asasi
Manusia dan Demokrasi dalam Pandangan Islam dengan harapan bisa mengetahui sebatas mana
kebenaran isu ini dan syubhat yang dilontarkan kepada kaum muslimin seputarnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hukum dalam islam?


2.  Apa pengertian HAM?
3.  Apa perbedaan prinsip HAM barat dan dalam Islam?
4.  Bagaimana demokrasi dalam Islam?
 

1.3 Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk bertambahnya pemahaman konsepsi hukum dalam Islam,
HAM dan Demokrasi dalam Islam serta keterkaitan antara ketiganya. Dan agar dapat
membedakan antara pengertian HAM Barat dan HAM dalam pandangan Islam.

BAB 2 

PEMBAHASAN

2.1 Hukum dalam Islam

Hukum merupakan seperangkat norma atau aturan yang dibuat dengan cara-cara tertentu dan
ditegakkan oleh pemimpin sehingga tercapainya hak-hak manusia. Bentuk hukum bisa berupa
hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tertulis berupa perundang-undangan yang telah disusun
sistematis oleh negara demi kesejahteraan rakyat.
Demikian hukum tidak tertulis yaitu seperti hukum adat, hukum yang muncul karena kebiasaan
atau adanya pengaruh-pengaruh eksternal maupun internal. Hukum adat terjadi sebagian karena
pengaruh kepercayaan masing-masing. Seperti Bali mayoritas penganut agama hindu, sehingga
seseorangpun jika tinggal disana sedikit banyak akan terpengaruh dan mengikuti adat dari Hindu,
pengaruh-pengaruh piritual seperti kepercayaan terhadap mistis menjadikan seseorang
melakukan adat yang mungkin orang modern sekarang sangat tidak masuk akal seperti memberi
sesajen diperempatan jalan dan lain sebagainya.
hukum dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia satu sama lain dan harta
bendanya. Tidak dengan hukum Islam yang langsung  bersumber dari Firman Allah dan sebarkan
melalui Rasul-Nya. Hukum Allah lebih luas cakupannya, karena tidak hanya membahas seputar
mengatur hubungan manusia dengan manusia melainkan juga hubungan dengan Tuhan,
hubungan dengan dirinya sendiri masyarakat dan alam sekitarnya.

Hukum Islam dalam pengertian secara syar’i digariskan dalam 2 garis besar yakni ;
Ibadah dan Mu’amalah.

1. Ibadah adalah amalan yang wajib dilakukan oleh seorang muslim dalam menjalankan
hubungan dengan Allah, seperti shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji bagi
yang telah mampu. Ini adalah tata cara hukum dalam islam yang mutlaq, tidak pernah
berubah hukumnya, tidak pernah berkurang bahkan bertambah. Dengan demikian tidak
mungkin terjadi proses yang menyebabkan perubahan secara asasi menurut hukum,
susunan dan tata cara ibadah tersebut. Yang mungkin berubah hanyalaah alat-alat yang
semakin modern dan pelaksanaannya.
2. Mu’amalah mencakup hungan antara manusia dengan sesamanya dalam berusaha
mensejahterakan kehidupan sosial mereka dengan usaha, berupa jual-beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, persekutuan dan lain-lain.
Sumber sumber hukum islam bisa kita fahami dari ayat Allah dalam surat Q.S An-Nisa’; 59

ُ
ِ G‫و َل َوأولِي اأْل َ ْم‬G‫َّس‬
ُ ‫ ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوالر‬Gَ‫ ْي ٍء ف‬G‫ا َز ْعتُ ْم فِي َش‬GGَ‫إ ِ ْن تَن‬Gَ‫ر ِم ْن ُك ْم ۖ ف‬G
  ‫و ِل إِ ْن ُك ْنتُ ْم‬G‫َّس‬ ُ ‫وا الر‬Gُ‫وا هَّللا َ َوأَ ِطيع‬GG‫وا أَ ِطي ُع‬GGُ‫ا الَّ ِذينَ آ َمن‬Gَ‫يَا أَيُّه‬
‫تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذلِكَ خَ ْي ٌر َوأَحْ َسنُ تَأْ ِوياًل‬

Artinya : “wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil
amri diantara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
pada Allah (Al-qur’an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepadaa Allah
dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik(akibatnya)”.

   Dari ayat tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan
agamanya harus didasarkan urutan :

1. Selalu mentaati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam Al-
qur’an
2. Mentaati Rasulullah dan memahami seluruh sunnah-sunnahnya
3. Mentaati ulil amri
4. Mengembalikan kepada Al-qur’an dan alhadis jika terjadi perbedaan dalam menetapkan
hukum

Untuk memahami alqur’an dan alhadis tidaklah cukup dengan memaknainya secara literlijk, ada
suatu hal yang harus dipertimbangkan ketika membaca sebuah teks-teks alqur’an dan alhadist,
yaitu seperti kondisi masyarakat pada saat turunnya ayat, juga harus melihat dari segi bahasa.
Contohnya Nahwu, balaghah, ilmu mantek.
berkaitan dengan hadist nabawi yang mengatakan bahwa semua Bid’ah adalah sesat, kita tidak
bisa memukul kata. Nabi Muhammad SAW dalam hadist tersebut menggunakan lafadz “kullu”
yang secara harfiyah berarti seluruh. Namun, pada dasarnya “kullu” tidak selamanya berarti
seluruh tetapi berarti juga sebagian. ini bisa kita lihatdalam ayat al-qur’an Surat Anbiya’ ; 30,
pada ayat ini, kita bisa melihat bahwa lafadz “kullu” yang ada dihadist nabawi tersebut tidaklah
bermakna seluruhnya, tetapi sebagian. Begitu juga dengan Bid’ah, tidak seluruhnya dihukumi
haram.

Imam Izzudin bin Abdus salam berpendapat bahwa bid’ah itu dibagi menjadi 5 ; Bid’ah wajibah,
muharromat, mandubah, makruhah dan mubahah. Sedangkan Imam Syafi’i membedakan bid’ah
menjadi 2 bagian, yakni Bid’ah Sayyiah (bid’ah yang buruk) dan Bid’ah Hasanah (bid’ah
kebaikan).

2.2   HAM dalam pandangan Islam

        Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin
derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia,
yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang
Pencipta[1] tanpa mengganggu hak- hak orang lain. Dan hak ini harus dijaga yang tidak boleh
diabaikan. Rasulullah pernah bersabda, “ Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu
haram atas kamu”.  Dan negara bukan hanya harus menahan diri untuk tidak menyentuh hak-
hak asasi ini melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini. Sebagai
contoh negara wajib menjamin perlindungan sosial terhadap rakyatnya tanpa melihat perbedaan
Ras, jenis kelamin dan sebagainya. Dan Islam sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi ini, seperti
yang terjadi pada zaman kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq, beliau memerangi orang –orang
yang tidak mau membayar zakat.
begitupun pembelaan Rasullah yang gigih dalam menegakkan HAM ini lewat pertemuan
besarnya pada Haji wada’.
Dari Umamah bin Tsa’balah, nabi SAW bersabda, “ Barangsiapa merampak hak seorang
muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga.” Seorang pria berkata,
“meskipun itu sesuatu yang kecil?” beliau menjawab, “ meskipun hanya sebatang kayu arak.”
HR. Muslim

Islam berbeda dengan sistem lain dalam menyikapi bahwa hak-hak manusia sebagai hamba
Allah tidak bisa tergantung pada pemimpin dan Undang-undangnya, melainkan semuanya harus
mengacu pada yang telah disyariatkan dalam islam. Sampai shadaqohpun tetap dipandang ebagai
hal-hal yang besar lainnya. Misalnya Allah melarang beshadaqoh(berbuat baik) melalui cara
yang buruk. “ dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan
daripadanya..” (Q.S Ali Imron ; 267)

Hak dibagi dalam beberapa pengelompokan, yakni :

1. Hak-hak Alamiyah yang telah diberikan Allah kepada seluruh umat yang diciptakan dari
unsur yang sama dan dari sumber yang sama pula. Hak Alamiyah mencakup, hak
kebebasan pribadi, beragama dan  hak bekerja.
2. Hak hidup mecakup hak kepemilikan, hak berkeluarga, hak keamanan, hak keadilan, hak
saling membela dan hak keadilan dan persamaan.

2.3   HAM dalam pandangan Barat

Hak asasi manusia ini  muncul setelah Revolusi Perancis, Pada waktu  para tokoh borjuis
berkoalisi dengan tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah mereka miliki
sejak lahir. Akibat dari penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua kaum ini,
muncullah perlawanan rakyat dan yang akhirnya berhasil memaksa para raja mengakui aturan
tentang hak asasi manusia. Dalam HAM barat, manusia lah yang menjadi tolak ukur segala
sesuatu. Hal ini dikarenakan manusia menjadi pusat segala sesuatu, dan bangsa Barat
beranggapan bahwa kebebasan manusia itu merupakan suatu hak asasi.

Secara umum HAM dibagi menjadi dua yaitu:

1. Hak asasi alamiah manusia sebagai manusia, yaitu menurut kelahirannya, seperti: hak
hidup, hak kebebasan pribadi dan hak bekerja.
2. Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagai anggota
keluarga dan sebagai individu masyarakat, seperti: hak memiliki, hak berumah-tangga,
hak mendapat keamanan, hak mendapat keadilan dan hak persamaan dalam hak.

Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran
barat, diantaranya :
1. Pembagian hak menurut hak materiil yaitu: hak keamanan, kehormatan dan pemilihan
serta tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di dalamnya: hak beragama, hak
sosial dan berserikat.
2. Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan
kehidupan rohani, dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.

Pembagian hak asasi ini semata mata hanya untuk membendung pengaruh Sosialisme dan
Komunisme, partai-partai politik di Barat mendesak agar negara ikut campur-tangan dalam
memberi jaminan hak-hak asasi seperti untuk bekerja dan jaminan sosial.

Perbandingan antara HAM versi Islam dengan Konsep HAM barat

1. Sisi Sumber Pengambilan Hukumnya

HAM barat dibuat oleh manusia sehingga kebenarannya masih tidak dapat di pertanggung
jawabkan atau tidak luput dari kesalahan. Sedangkan HAM dalam islam di ambil dari kitap suci
al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah yang tidak berbicara dengan hawa nafsu. Sehingga Ham versi
syariat adalah Rabbaniyatul mashdar.

1. Konsekuensi hukuman

Konsekuensi HAM barat hanyalah sekedar konsep dan harapan yang berasal dari PBB tidak ada
paksaan dan konsekuensi hukum dan tidak juga ada konsekuensi bila tidak dapat dijalankan
dengan satu hukum undang-undang. Sedangkan HAM dalam islam bersifat abadi, pati, memiliki
konsekuensi hukum dan tidak menerima pelaksanaan parsial, penghapusan dan perubahan.
Setiap individu harus melaksanakannya dengan berharap pahala dari Allah dan takut dari adzab-
Nya. Siapa yang sengaja mentelantarkannya maka pemerintah dalam islam berhak memaksanya
untuk melaksanakan dan menerapkan hukuman syar’i atasnya pada keadaan tidak
dilaksanakannya hal tersebut.

1. Lahirnya istilah HAM

HAM dunia pertama kali ada pada tahun 1215 M atau diabad ke 13 Masehi. Sedangkan islam
mengenal konsep dan HAM sejak awal munculnya Islam.

1. Perlindungan HAM dan Jaminannya

Dalam HAM barat perlindungan internasional tidak ada kecuali hanya himbauan etika dan
usaha-usaha yang belum sampai pada batas pelaksanaannya. Hal ini dibagi menjadi dua
diantaranya yaitu:

a)      Usaha kesepakatan berdasar umum dan pengakuan antara seluruh negara

b)       Usaha meletakkan hukuman yang dipakai untuk menghukum negara yang melanggar
HAM.
Hal ini pada dasarnya hanya tersurat saja dan cenderung pada hasrat manusia itu sendiri.
Sedangkan HAM dalam islam, HAM tersebut adalah anugerah Allah kepada manusai sebagai
pelindung dan penjamin. Hal itu karena:

1. Suci yang terselubungi kewibawaan dan pemuliaan, dikarenakan  turun dari sisi Allah
sehingga menjadi penghalang bagi pribadi dan pemerintah secara sama dari melanggar
dan melampai batasannya.
2. Pemuliaanya bersumber dari dalam diri yang beriman kepada Allah.
3.   Tidak bisa di hilangkan, dihapus dan dirubah.
4. Tidak ada sikap ektrim baik terlalu melampaui batas atau tidak dihiraukan.

Ditambah lagi untuk menjaga HAM dan syariat, diadakan Hudud syari’at dan aturan peradilan
untuk melindungi HAM.

1. Bersifat universal

Dalam HAM islam memiliki keistimewaan atas selainnya dalam keuniversalan konsep HAM
nya. Sebagian HAM dalam islam yang belum tercantum dalam HAM dunia ialah:

a)        Hak anak yatim, dalam HAM internasional hanya ada isyarat pemeliharaan anak yatim
saja. Sedangkan dalam islam ada perhatian khusus terhadap anak yatim, penjagaan hak-haknya
dan anjuran berbuat baik kepada mereka dengan seluruh jenis kebaikan. Bahkan memberikan
pahala atas hal tersebut. Allah berfirman: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah
balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu, adalah dosa yang besar.” (an-Nisaa’: 2 ).Bahkan memberikan balasan terhadap
orang yang memakan harta yatim dengan zhalim seperti dalam firman Nya: “Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (an-
Nisa`: 10)

b)        Hak orang yang lemah akalnya. Islam memberikan perhatian dan menjaga hak-hak
mereka, seperti dijelaskan dalam firman Allah : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-
orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta
itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (an-Nisaa’: 5)

c)        Hak Waris. Hak ini banyak diabaikan dan tidak diperhatikan dalam HAM internasional,
namun islam memberikan perhatian yang besar atas hak waris ini hingga menjelaskan semua tata
cara pembagiannya dengan lengkap dalam al-Qur`an. Seperti dijelaskan dalam firman Allah:
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi
orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(an-Nisaa`: 7).

d)        Hak membela diri. Hak ini tidak disampaikan juga dalam HAM dunia, Di dalam islam
disampaikan Allah dalam beberapa ayat dan juga dalam beberapa hadits, seperti firman Allah:
“Bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati Berlaku hukum
qishaash. oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang
dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta
orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 194)

e)         Hak memaafkan. Pernah ada muktamar HAM yang diadakan kementrian hukum
(Wizarah al-‘Adl) Saudi Arabia pada bulan shofar 1392 H bertepatan dengan bulan maret 1972
M dengan dihadiri sebagian tokoh HAM dunia. Setelah adanya penjelasan tentang HAM versi
Syariat islam, maka Pimpinan delegasi Komisi HAM dunia dalam pertemuan tersebut bernama
Mr. Max Braid menyatakan: “Dari sini dan dari negeri islam ini, wajib untuk menampakkan
HAM bukan dari negara lain dan wajib bagi ulama muslimin untuk menyebarkan hak-hak yang
tidak diketahui oleh internasional dan ketidak tahuan hal ini yang menjadi sebab rusaknya wajah
islam dan muslimin serta hukum islam.”

Bahkan salah seorang anggota delegasi sempat berkomentar: “Saya sebagai seorang nashrani
mengumumkan bahwa dinegeri ini Allah disembah secara hakekatnya (benar) dan para ilmuwan
sepakat menyatakan hukum-hukum al-Qur`an telah menjelaskan masalah HAM setelah
mendengarnya dan melihat langsung realita penerapannya.

2.4   Demokrasi Islam

Secara etimologi (lughawi), kata Demokrasi yaitu Democratie berasal dari bahasa Yunani, yang
terdiri dari kata : demos yang berarti rakyat dan cratos yang berarti kekuasaan. Lebih dikenal
dengan istilah Kedaulatan Rakyat, rakyatlah yang berkuasa dan berhak mengatur dirinya sendiri.
Makna kata ‘Kedaulatan’ itu sendiri ialah “sesuatu yang mengendalikan dan melaksanakan
aspirasi”. 

Secara terminologi (ishtilaahi), Demokrasi secara lugas ialah Sistem Pemerintahan yang secara
konseptual memiliki prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka, dikenal istilah vox
populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan).

Demokrasi menurut Islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan pendapat orang
banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai – nilai keagamaan.

Konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam

1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.

2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.

3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.

4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam
musyawarah.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang
sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

 Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil
Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di Jurnal Foreign Affairs: “Kebanyakan
peneliti Barat cenderung untuk melihat fenomena politik Islam seakan-akan ia sebuah kupu-kupu
dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang
mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji literatur utama
Islam mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Seakan-akan ada agama lain
yang secara literal membahas demokrasi”. Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali
mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan
demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena
sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura (musyawarah). sejumlah intelektual dan
sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat
menuju saling pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan
demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang
pada label yang dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan. Realitasnya adalah bahwa Islam
tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi
yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat
melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan
Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok,
yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat
Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.

 Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan


yang `’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed)
untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati.
Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap
relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah.
 Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan
struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat
partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan
basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer. Aspek
partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam
 Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem
konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab
pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat
Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya.

2.5    KESIMPULAN
 Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa hukum itu dibagi menjadi dua yakni
hukum tertulis dan tidak tertulis(hukum adat).  hukum dalaam pandangan islam
bersumber dari al-qur’an dan al-hadist dan didukung dengan amalan-amalan ibadah yang
tidak melenceng dari hukum-hukum yang telah ada sejak zaman dahulu.
 Setiap manusia mempunyai HAM yang murni sejak mereka lahir tanpa mengganggu hak-
hak milik orang lain. Perbandingan HAM versi Barat dan Islam terlihat dalam beberapa
aspek yakni, sisi sumber pengambilan hukumnya, konsekuensi hukuman, lahirnya istilah
HAM, perlindungan HAM dan jaminannya serta sifatnya. HAM islam sudah ada sejak
lahirnya islam, sedangkan HAM barat baru lahir pada tahun 1215 M atau diabad ke 13
Masehi. Lahirnya HAM dalam islam sudah ditentukan dalam al-qur’an dan al-hadist,
berbeda dengan HAM barat yang muncul karena paksaan dari rakyat yang merasa
tertindas dan permintaan dari PBB.
 Demokrasi menurut Islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan pendapat
orang banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai – nilai
keagamaan. Konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya
sejalan dengan Islam.

[1] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Lembaran
Negara RI Tahun 1999 No. 165.

Anda mungkin juga menyukai