Disusun Oleh:
1. ISTIQOMAH
2. SRI WAHYUNI
Segala puji dan syukur kami haturkan kepada Allah SWT,atas rahmat dan
hidayahnya dan atas nikmat kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
guna untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengampu,dengan ini kami
menerjakan dengan sebaik-baiknya meskipun masih jauh dari kata sempurna.
Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita yakni nabi besar
Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah sampai dengan
zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan,dalam menyelesaikan makalah ini kami
berusaha melakukan yang terbaik,namun apabila masih ada kekurangan kami
mengharapkan kritik dan saran dengan menyempurnakan makalah kami dan apabila
dalam penyampaian materi masih banyak kesalahan, kami mohon maaf dan kami
ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu yang telah memberikan dorongan dan
masukan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan yang menulis.
Amiin..
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………..……………………..…i
Daftar Isi………………………………………………….……………………….ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN
A. Hukum Islam Bersifat Sempurna dan Universal…………………………2
B. Dinamis dan Elastis …………………………………….……………..….3
C. Sistematis………………………….…….………………………………..4
D. Memperhatikan Aspek Kemanusiaan dan Moral…………………...……5
A. Kesimpulan…………………………………………………………………..6
B. Saran ………………………………………………………………………...6
Daftar pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pada intinya merupakan suatu aturan yang mengikat pada tiap diri seseorang
sebagai kontrol, dan dengan kontrol itu diharapkan seseorang tidak akan melakukan
perbuatan yang melanggar batas dan nantinya akan merugikan orang lain. Hukum itu
sendiri muncul karena pada dasarnya setiap diri manusia memiliki dua sifat yang
cenderung bertentangan. Yang satu selalu ingin melakukan kebaikan karena memang
manusia pada dasarnya memiliki nurani yang bersih namun pada sisi yang lain manusia
juga tak terlepas dari “nafsu ” memiliki keinginan untuk berbuat sesuatu (makan,
minum, berbuat kemaksiatan, dll) . Untuk itu, perlu adanya sebuah pembatas sebagai
kontrol agar terciptanya sebuah ketenteraman dan kemaslahatan dalam sebuah
masyarakat.
Dalam hal ini yang menjadi persoalan dasar adalah hukum yang pernah diterapkan
dalam sebuah masyarakat itu beragam. Kita ambil contoh saja hukum Islam dan hukum
positif yang mana keduanya sama-sama mengikat. Dan tentu prinsip dari masing-
masing hukum itu berbeda pula. Hukum positif tidak diperbolehkan menembus pada
aspek privat, yakni hal-hal yang tidak berimplikasi pada publik. Sedangkan hukum
Islam sebaliknya, yakni mengatur hal-hal yang demikian. Misalkan, setiap orang Islam
harus melaksanakan sholat fardhu. Tentu apabila ada orang yang tidak
melaksanakannya tidak akan dihukum melalui pengadilan sebagai lembaga eksekusi
hukum positif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Islam Bersifat Sempurna dan Universal
Allah adalah Tuhan yang Maha sempurna, maka hukum yang Dia buat harus
sempurna pula. Karena apabila tidak, tentu berdampak pada persepsi manusia. Mereka
akan meragukan kepercayaannya mengenai adanya Tuhan di alam ini. Dalam asma’ul
husna disebutkan bahwa Ia memiliki sifat ب??اطن, ظ??اهر, أخ??ر,اول, yang pertama, dan
terakhir, yang dhohir dan batin. Jadi Ia juga memiliki hukum yang berlaku sepanjang
zaman. Bukan hanya mengatur pada aspek legal kemasyarakatan tetapi juga mengatur
kepentingan-kepentingan ukhrawi.
Hal ini bisa dipahami melalui kata ظاهر, kita bisa memaknai bahwasanya hukum
yang bersifat dhohir adalah hukum yang mengikat/mengatur tentang keduniaan. Dan
bisa dikatakan cakupan hukum yang dhohir sama dengan hukum positif yang biasa
diberlakukan bagi warga negara. Yang kedua kata باطن, kita bisa memaknai bahwasanya
hukum yang bersifat batin adalah hukum yang mengatur pada aspek ukhrawi. Dan
inilah yang tidak dimiliki oleh hukum positif lainnya.
Dunia ini dipandang hanya sebagai ruang depan bagi orang lain dan sesuatu yang
lebih baik bagi orang yang beriman. Al-Qur’an juga menentukan aturan-aturan bagi
tingkah laku menghadapi orang-orang lain maupun masyarakat untuk menjamin sebuah
transisi yang aman. Tidak mungkin memisahkan teori-teori politik atau keadilan dari
ajaran-ajaran Nabi, yang menegakkan aturan-aturan tingkah laku, mengenai kehidupan
beragama, keluarga, sosial, dan politik. Ini menimbulkan hukum tentang kewajiban-
kewajiban daripada hak-hak, kewajiban moral yang mengikat individu, dari mana tidak
(ada otoritas bumi yang) bisa membebastugaskannya, dan orang-orang yang tidak
mentaatinya akan merugikan kehidupan masa mendatangnya.
Dari ungkapan Jackson di atas, telah jelas bahwa Islam menentukan aturan-aturan
tingkah laku mengenai hal-hal yang bersifat legal kemasyarakatan/publik, yang
diungkapkan pada kalimat : “ajaran-ajaran Nabi, yang menegakkan aturan-aturan
tingkah laku, mengenai kehidupan beragama, keluarga, sosial, dan politik”. Dan yang
kedua, mengenai aspek moral/individu, yang diungkapkan pada kalimat terakhir. Inilah
ciri utama yang dimiliki hukum Islam yang tidak ada bandingannya.
Yang kedua hukum Islam itu bersifat universal. Mencakup seluruh manusia ini tanpa
ada batasnya. Tidak dibatasi pada negara tertentu, benua, daratan, atau lautan. Seperti
halnya pada ajaran-ajaran nabi sebelumnya. Misalkan, Nabi Musa hanya mencakup
pada kawasan Mesir dan sekitarnya, Nabi Isa mencakup pada kawasan Israel, dan lain
sebagainya. Ini didasarkan pada Al-Qur’an yang memberikan bukti bahwa hukum Islam
tersebut ditujukan kepada seluruh manusia di muka bumi. Allah berfirman :
Artinya: dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (as-saba’:28)
Ijtihad ini memungkinkan bagi orang Islam untuk menyesuaikan hukum yang ada
pada masa Rasul (saat hukum Islam diciptakan) dengan keadaan sekarang yang terjadi
di lingkungannya. Inilah yang disebut dengan keelastisan hukum Islam. Sifat dinamis
dan elastis ini dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Sebagai contohnya adalah
jual beli yang sesuai dengan syariat Islam. Pada masa Rasulullah, jual beli dilakukan
dengan saling tatap muka, artinya antara si penjual dan si pembeli saling bertemu untuk
melakukan akad. Tetapi pada zaman sekarang ini, jual beli bahkan tanpa hadirnya salah
satu orang tersebut bisa dilakukan seperti di Swalayan, Plaza, Mall, dan sebagainya.
Nah, dari persoalan ini bagaimana kedudukan hukum Islam menanggapi sistem seperti
ini agar jual beli itu sesuai dengan syari’at Islam. Untuk itu, perlu adanya hukum
asal/nash yang menerangkan jual beli. Diantaranya Q.S. Al-Baqarah : 275 dan 282, An-
Nisa’ : 29, Al-Jum’ah : 9.
Artinya: orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.(Al-baqoroh: 275)
Prinsip dihalalkannya jual beli dari ayat-ayat tersebut adalah adanya kerelaan antara
kedua belah pihak, bukan termasuk riba, tidak dilakukan pada waktu Jum’at, dan
sebagainya. Fathurrahman Djamil mengatakan bahwa “Ijab dan Qabul dalam jual beli
adalah untuk menunjukkan prinsip an taradhin. Ketika prinsip tersebut terpenuhi, meski
tanpa lafal ijab dan qabul seperti ketika masuk plaza, maka hukumnya sah.”
C. Sistematis
Hukum Islam memiliki sifat yang sistematis, artinya bahwa hukum Islam itu
mencerminkan sejumlah ajaran yang sangat bertalian. Beberapa diantaranya saling
berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Contohnya saja wajibnya hukum shalat
tidak terpisahkan dengan wajibnya hukum zakat. Itu menunjukkan bahwa Islam tidak
hanya mengajarkan aspek kebatinan saja yang mengutamakan hal-hal ukhrawi tetapi
juga diperintahkan untuk mencapai aspek keduniaan. Al-Qur’an menyebutkan :
اعمل لدنياك كانك تعيش ابدا واعمل الخرتك كأنك تموت غدا
Artinya : Bekerjalah kamu untuk kepentingan duniawimu seakan-akan kamu akan hidup
selamanya dan bekerjalah kamu untuk kepentingan ukhrawimu seakan-akan
kamu akan mati besok.
Artinya : “Bertolonglah-tolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu
tolong-menolong atas (perbuatan) dosa dan permusuhan.
Yang kedua adalah aspek moral, untuk membentuk suatu interaksi sosial kemanusiaan
tentu manusia harus memiliki aspek moral (akhlaq) yang baik. Karena untuk
mewujudkan pergaulan yang sehat, akhlaqlah yang menjadi pondasi utama. Bila akhlaq
itu sudah terkontaminasi dengan keburukan dan kemaksiatan, maka tidak akan
mewujudkan suatu pergaulan sosial yang baik dan nantinya juga dapat berimbas pada
pelanggaran aturan-aturan hukum positif. Dalam Al-Qur’an disebutkan (Q.S. Al-
Ahzab : 21):
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah. (Q.S. Al-Ahzab : 21).
BAB III
PENUTUP
1. kesimpulan
Dilihat dari berbagai karakteristik hukum Islam yang telah dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa aspek moral (privat) pada hukum Islam yang mengikat pada setiap
diri insan itu bertujuan untuk kepentingan akhirat mereka. Berbeda dengan hukum
positif yang hanya mengedepankan aspek legal. Ini disebabkan, hukum positif hanya
bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang aman dan tenteram dalam berkehidupan.
Namun, hukum Islam mengatur kedua hal tersebut.
2. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan, semoga dapat bermanfaat bagi kita
semua. Kami yakin dalam pemaparan materi makalah ini masih ada banyak kekurangan.
Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah kami yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Muslehuddin, Muhammad. 1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya,
Djamil, Fathurrahman. 1997, Filsafat Hukum Islam, Ciputat : Logos Wacana Ilmu.
Filsafat Hukum Islam, Jakarta, Proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama/IAIN Jakarta Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama RI, 1987.