Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TRANSFORMASI HUKUM ISLAM KE DALAM

UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA

Diajukann untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Isu Isu Hukum Islam Kontenporer

Pada Program Studi Hukum Keluarga Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo

IAIN PALOPO

Oleh :

Zulayka Muchtar 2205030025

Dosen Pengampuh

Dr. Hj. A. Sukmawati Assad, S.Ag., M.Pd

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

PASCASARJANA IAIN PALOPO

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis

masih diberikan nikmat yang tak terhingga sehinggah masi bisa Menyusun makalah dengan judul

“Transformasi Hukum Islam ke Dalam Undang-Undang Peradilan Agama”.

Shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dalam

alam jahilia menuju alam yang terus berkembang seperti sekarang ini. Makalah ini disusun

sebagai tugas pada Politik Hukum Islam. Penulis berharap agar Makala ini dapat menambah

pengetahuan bagi pembacanya.

Penulis menyadari betul bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini begitu pula dengan

makalah ini sehingga penulis menerima semua masukan juga kritik dan saran yang membangun

guna menyempurnakan makalah ini.

Palopo,

Penyusun,

Zulayka Muchtar
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai pengkajian tentang hukum Islam dalam konteks apapun dan dalam bentuk

apapun, pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memahami kemudian mendeskripsikan

serta menjelaskan berbagai dimensi dan substansi hukum Islam sebagai bagian dari kehidupan

manusia yang dapat digali dari berbagai sumber yang mudah ditemukan.

Peradilan Agama berkaitan erat dengan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Dalam

UU no. 50 tahun 2009 pasal 1 dijelaskan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi

orang-orang yang beragama Islam. Peradilan Agama merupakan salah satu pranata hukum

Islam yang menjadi satu kesatuan dengan politik Hukum Islam di Indonesia sejak masa
kerajaan Islam1 seperti Mataram, Banten, Cirebon, Aceh, dan daerah lainnya. Undang-undang

Peradilan Agama baru menjadi bagian integral dan kelengkapan pelaksanaan Hukum Islam di

Indonesia pada 1989.2

Transformasi merupakan suatu usaha untuk mengadakan perubahan terhadap sesuatu

yang telah ada menjadi sesuatu yang baru, antara lain dengan penyesuaian dan perubahan.

Dalam bidang hukum, transformasi sering dipakai dalam arti penyesuaian hukum dengan

kebutuhan masyarakat. Proses atau upaya transformasi hukum Islam ke dalam tata hukum

nasional dimaksudkan sebagai usaha menerapkan hukum Islam yang normatif menjadi hukum

Islam yang positif atau yang sering disebut usaha positifisme hukum Islam ke dalam tata

hukum Indonesia. Dengan demikian mewarnai pikiran para pelaku pemerintah sehingga

peradilan diperankan melintas pada masa system ketatanegaraan. Peradilan agama diletakan

sebagai sebuah lembaga yudikatif. Sebagai salah satu alat kelengkapan pemerintah, peradilan

agama juga harus bertanggungjawab terhadap seluruh aspek penegakan hukum Islam.3

1 Abdul Ghani Abdulla, Peradilan Agama dalam pemerintahan Islam kesultanan Bima (1947-1957), Cet. I,
Bandung: Ulul Albab Press, 1998
2 Anwar Harjono, Indonesia kita; pemikiran berwawasan iman-islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1995,
hlm. 121.
3 Abd.Gani Abdullah, PengantarKompilasiHukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema
Insani Press, 1994, hlm. 35
Dari penjelasan diatas, kelompok kami akan membahas makalah tentang “Transformasi

Hukum Islam kedalam UU Peradilan Agama” untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah

Politik Hukum Islam di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep peradilan agama dalam hukum islam?

2. Bagaimana sejarah lahirnya UU Peradilan Agama di Indonesia?

3. Bagaimana transformasi hukum Islam kedalam UU Peradilan Agama?

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan konsep peradilan agama dalam hukum islam.

2. Menjelaskan sejarah lahirnya UU Peradilan Agama di Indonesia.

3. Menjelaskan transformasi hukum Islam kedalam UU Peradilan Agama.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Peradilan Agama dalam Hukum Islam


Secara etimologis, peradilan dalam Islam disebut dengan qadla (qadla, yaqdli, qadllaun)

yang memiliki banyak makna antara lain al-faragu (menyelesaikan) al-adau (melaksanakan),

dan al-hukmu dengan pengertian al-man’u, yaitu mencegah atau memutus. Istilah peradilan

diambil dari kata al-hukmu yang berarti al-man’u. Oleh karena itu, al-qadla disebut juga al-

hukm (pencegahan atau pemutusan) dan al-qadli 4 disebut juga al-hakim karena mencegah atau

memutus orang berbuat tidak adil. Dalam konteks penafsiran Al-Qur’an pekerjaan mencegah

atau memutus tersebut menyangkut perbuatan Alloh dan perbuatan manusia. Al-Asfahani

menyimpulkan,5 qadla adalah pemutusan perkara baik melalui ucapan maupun perbuatan,
masing-masing terdiri atas dua pengertian : putusan bersifat ilahi (ketuhanan) dan bersifat

basiyari (kemanusiaan).

Berdasarkan hal di atas, putusan tersebut sebenarnya telah ada dalam teks-teks hukum

yang digariskan Allah dan rasa keadilan yang ditanam dalam sanubari manusia. Hakim

sebagai pemutus perkara di pengadilan berusaha secara maksimal untuk memutuskan putusan

tersebut. Sementara itu, peradilan dalam pengertian yang lain juga diartikan sebagai badan

pemerintah yang berfungsi menerapkan hukum terhadap sengketa-sengketa yang diajukan

kepadanya dan administrasi publik mengenai masalah keadilan. Dalam konteks sejarah

peradilan masa lalu menyangkut beberapa hal antara lain : 6

1. Hukum yang diterapkan adalah syariat Islam. Oleh karena itu peradilan Islam sering

disebut sebagai Peradilan Syari’ah atau Mahkamah Syari’ah atau Mahkamah Syar’iyyah;

2. Qadhi atau hakim diberikan otoritas untuk membuat keputusan dan menjatuhkan

hukuman;

3. Yurisdiksi peradilan menyangkut semua sengketa dan dakwaan;

4. Putusan dan hukuman yang dijatuhkan bersifat executable;

4 Muhamad Salam Madkur, Al-Qadla Fi Al-Islam, Qairo : Dar Al-Fikr, t,t, hlm. 421
5 Al-Raghib Al-Asfahani, Mu’jam mufradat Al-Fazh, Al-Qur’an, Beirut: Dar Al-Fikr, tth, hlm. 421
6 Aden Rosadi, Peradilan Agama di Indosesia Dinamika Pembentukan Hukum, Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, hlm. 32
5. Adanya penggugat dan penuntut;

6. Adanya tergugat dan terdakwa;

7. Adanya perkara yang membutuhkan putusan dan hukuman.

Secara konseptual dan simbolis, peradilan islam di indonesia dilambangkan dengan

timbangan (mizan). Langit, bumi, seluruh alam, dan kehidupan ini ditegakan dengan

timbangan yang benar. Tanpa itu semua, sistem kehidupan secara makro tidak dapat berjalan

dengan baik. Peradilan Agama juga disebut sebagai sunatullah atau hukum Allah yang tidak

berubah. Para filsuf menyebutkan sebagai hukum alam (laws of nature).

Konsep Hukum Peradilan Agama dalam Hukum Islam tercantum sebagaimana dalam

Surat Al-Hadid ayat 25 yang berbunyi:

‫ْأ‬
‫ِه َب ٌس َش ِد يٌد َو َم َن اِفُع ِللَّن اِس‬I‫َلَقْد َأْر َس ْلَنا ُرُس َلَنا ِباْلَبِّيَناِت َو َأْنَز ْلَنا َم َع ُهُم اْلِكَتاَب َو اْلِم يَز اَن ِلَيُقوَم الَّناُس ِباْلِقْس ِط ۖ َو َأْنَز ْلَنا اْلَحِد يَد ِفي‬
‫َو ِلَيْع َلَم ُهَّللا َم ْن َيْنُصُر ُه َو ُرُس َلُه ِباْلَغْيِبۚ ِإَّن َهَّللا َقِو ٌّي َع ِزيٌز‬

Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-
bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya
dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi
Maha Perkasa.”

Surat Al-Hadid ayat 25 berbicara tentang 3 hal yang diturunkan Allah untuk kepentingan

manusia. Pertama kitab sebagai hukum yang menjadi pedoman utama. Kedua, timbangan

keadilan untuk menilai pelaksanaan hukum. Ketiga, besi sebagai kekuatan memaksa untuk

menegakkan hukum (law and forcement) yang memberikan manfaat bagi kehidupan. Ayat

tersebut relatif mirip dengan teori Trias Politica Montesquie.

B. SejarahPeradilan Agama di Indonesia


Keberadaan Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia dipengaruhi juga oleh

dinamika dan perkembangan yang melandasi proses legistasi berlakunya hukum Islam di

Indonesia.7 Pada masa kolonial Belanda, muncul Teori Receptie In Complexu yang pada

hakikatnya telah mentransformasikan hukum yang hidup dimasyarakat (living law). Untuk

memenuhi politik hukum penjajahan, Snouck Hurgronje menggagas Teori Receptie yang

selanjutnya dikembangkan oleh Van Vollen Hoven, yaitu hukum Islam berlaku bagi

masyarakat pribumi jika norma hukum Islam telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum

adat.

Pada perkembangan berikutnya, lahirlah Teori Exit dalam sistem hukum nasional.

Perkembangan dan pemikiran teori receptie exit yang dikembangkan oleh Sayuti

Thalib selanjutnya disebut teori receptie a contario yang secara harfiah berlawanan dari

teori receptie. Teori receptie mendahulukan berlakunya hukum adat dari pada hukum Islam,

dan hukum Islam tidak dapat diberlakukan bila bertentangan dengan hukum adat. Sedangkan

teori receptie contrario mendahulukan hukum islam daripada hukum adat, dan hukum adat

tidak dapat berlaku juga bertentangan dengan hukum Islam.8

1. Pra Kemerdekaan

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 agustus 1945, status

dan kependudukan Peradilan Agama dibawah Departemen Kehakiman. Pada 3 januari

1946, lahirlah Departement Agama merupakan konsensi dan “konpensasi politik” dari

Piagam Jakarta. Kelahiran Departemen Agama diharapkan dapat melakukan konsolidasi

dan koordianasi dengan administrasi lembaga-lembaga Islam pada sebuah badan yang

bersekala nasional. Sejak saat itu Perdilan Agama menjadi bagian penting dari

Departemen Agama.

7 Aden Rosadi, Peradilan Agama di Indosesia Dinamika Pembentukan Hukum, Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, hlm. 59
8 Aden Rosadi, Peradilan Agama di Indosesia Dinamika Pembentukan Hukum, Bandung Simbiosa
Rekatama Media, hlm. 60
2. Masa Pemerintahan Orde Baru ( 1966-1668 )

Eksistensi Peradilan Agama pada masa orde baru menjadi badan peradilan yang

mandiri dan tidak memiliki ketergantungan, baik langsung maupun tidak langsung,

kepada peradilan umum. Ia menjadi peradilan yang merdeka. Secara administratif,

finansial, dan organisasi, Peradilan di bawah naungan Departemen Agama, sedangkan

secara teknik yustisial berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Sebagaimana

maktub dalam pasal 49 ayat 1 Undang-undang No 7 Tahun 1989 bahwa Peradilan Agama

dan kompetensi absolutnya berwenang menyelesaikan perkara perdata bagi orang Islam.
Hukum materil dan formal yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama bersumber

pada peraturan perundang-undangan yang bernuansa hukum Islam.

Secara keberadaan Peradilan Agama melalui Undang-Undang No 7 Tahun 1989

merupakan salah satu produk politik karena senantiaa bersentuhan dengan kekuasaan

(negara) dan berhubungan langsung dengan kepentingan umat Islam di Indonesia dalam

konteks pembangunan stabilitas hukum nasional.

3. Masa Reformasi dan Pasca Reformasi

Perkembangan dan perubahan yang cukup signifikan pasca reformasi tentang

Peradilan Agama terjadi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono. Hal tersebut

ditandai dengan dua kali perubahan peraturan perundang-undangan tentang Peradilan

Agama. Perubahan pertama melalui Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang

perubahann atas Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dalam

salah satu pasalnya (pasal 49) menjelaskan bahwa kompetensi absolut Peradilan Agama

tidak hanya seputar perkawinan warisan, wakaf, hibah, shodaqoh, wasiat, zakat, dan

infaq melainkan ditambah dengan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.9

9 Aden Rosadi, Peradilan Agama di Indosesia Dinamika Pembentukan Hukum, Bandung Simbiosa
Rekatama Media, hlm. 71
Perubahan kedua melalui Undang-Undang No 50 Tahun 2009 tentang perubahan

kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan

kedua tersebut mengatur tentang keterlibatan komisi yudisial dalam mengawasi kinerja

para hakim dan ligkungan badan Peradilan Agama.

C. Tranformasi Hukum Islam kedalam UU Peradilan Agama

1. Asas Keesaan Allah (At-Tauhid)

Prinsip ini memiliki pandangan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk tunduk,

taat, dan patuh kepada Allah dan Rasul Nya, serta dilarang keras menyekutukan Allah
dengan yang lain. Hal ini tercantum dalam al-qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 36:

‫َو اْع ُبُدوا َهَّللا َو اَل ُتْش ِرُك وا ِب ِه َش ْيًئاۖ َو ِباْلَو اِل َد ْيِن ِإْح َس اًنا َو ِب ِذ ي اْلُق ْر َبٰى َو اْلَيَت اَم ٰى َو اْلَم َس اِكيِن َو اْلَج اِر ِذ ي اْلُق ْر َبٰى‬
‫َو اْلَج اِر اْلُج ُنِب َو الَّصاِحِب ِباْلَج ْنِب َو اْبِن الَّس ِبيِل َو َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم ۗ ِإَّن َهَّللا اَل ُيِح ُّب َم ْن َك اَن ُم ْخ َتااًل َفُخ وًرا‬

Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan


sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan
teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S An-
Nisaa’:36).

Peradilan Agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber

hukum agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai

dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Yaitu dalam UU no 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.

Pasal 57

1) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat

BISSMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

2. Asas Keadilan
Asas ini memposisikan manusia pada kewajiban untuk menegakkan hukum-

hukum Allah dan dilarang menetapkan hukum-hukum yang bertentangan dengan Allah,

seperti tercantum dalam surat An-Nisaa’ ayat 58:

ۗ‫ِإَّن َهَّللا َيْأُم ُر ُك ْم َأْن ُتَؤ ُّد وا اَأْلَم اَناِت ِإَلٰى َأْهِلَها َوِإَذ ا َح َك ْم ُتْم َبْيَن الَّناِس َأْن َتْح ُك ُم وا ِباْلَع ْد ِل ۚ ِإَّن َهَّللا ِنِعَّم ا َيِع ُظُك ْم ِبِه‬

‫ِإَّن َهَّللا َك اَن َسِم يًعا َبِص يًرا‬

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada


yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat” (Q.S.An-Nisaa’: 58)

Dalam asas ini seorang hakim dituntut untuk berlaku adil, sebagaimana

disebutkan pada pasal 16 ayat (1) dan pasal 57 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama.

Pasal16

1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib

mengucapkan sumpah menurut agama Islam yang berbunyi sebagai berikut: “Saya

bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur,

seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam

melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya

bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi baik dan jujur

dalam menegakkan hukum dan keadilan”

Pasal 57

1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG

MAHA ESA.

3. Asas Perdamaian
Asas ini terdapat pada pasal 65 dan pasal 82 UU No. 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yang menyatakan bahwa selama perkara belum diputus, usaha

mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat

peradilan. Asas ini juga tercantum dalam pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 tentang

perkawinan. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 10:

‫ِإَّنَم ا اْلُم ْؤ ِم ُنوَن ِإْخ َو ٌة َفَأْص ِلُحوا َبْيَن َأَخ َو ْيُك ْم ۚ َو اَّتُقوا َهَّللا َلَع َّلُك ْم ُتْر َحُم وَن‬

Artinya: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu


damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S Al-Hujurat: 10)

4. Asas Persamaan

Asas ini menjelaskan bahwa fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah

memiliki kedudukan yang sama dihadapan-Nya yang membedakan hanyalah

ketakwaannya. Dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13:

‫َيا َأُّيَها الَّناُس ِإَّنا َخ َلْقَناُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َو ُأْنَثٰى َو َجَع ْلَناُك ْم ُش ُعوًبا َو َقَباِئَل ِلَتَع اَر ُفواۚ ِإَّن َأْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد ِهَّللا َأْتَق اُك ْم ۚ ِإَّن َهَّللا‬
‫َع ِليٌم َخ ِبيٌر‬

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-
hujurat:13).

Dalam pasal 58 ayat (1) UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama

menyebutkan: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

orang”.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsep Peradilan Agama dalam Hukum Islam terkandung dalam QS. Al-Hadid ayat 25

yang di dalamnya dijelaskan untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dengan cara

menilai keadilan pelaksanaan hukum dan sebagai kekuatan memaksa untuk menegakkan

hukum.

Sejarah Hukum Peradilan Agama di Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yaitu Masa
Prakemerdekaan, Masa Orde Baru dan Masa Reformasi. Peradilan Agama mendapat masa

kejayaannya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang telah melakukan dua

kali perubahan peraturan perundang-undangan tentang Peradilan Agama.

Tranformasi Hukum Islam kedalam UU Peradilan Agama, diantaranya:

1. Asas Keesaan Allah (At-Tauhid)

Prinsip ini memiliki pandangan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk

tunduk, taat, dan patuh kepada Allah dan Rasul Nya, serta dilarang keras

menyekutukan Allah dengan yang lain. Hal ini tercantum dalam al-qur’an Surat An-

Nisaa’ ayat 36:

‫َو اْع ُبُدوا َهَّللا َو اَل ُتْش ِرُك وا ِب ِه َش ْيًئاۖ َو ِباْلَو اِل َد ْيِن ِإْح َس اًنا َو ِب ِذ ي اْلُق ْر َبٰى َو اْلَيَت اَم ٰى َو اْلَم َس اِكيِن َو اْلَج اِر ِذ ي اْلُق ْر َبٰى‬
‫َو اْلَج اِر اْلُج ُنِب َو الَّصاِحِب ِباْلَج ْنِب َو اْبِن الَّس ِبيِل َو َم ا َم َلَك ْت َأْيَم اُنُك ْم ۗ ِإَّن َهَّللا اَل ُيِح ُّب َم ْن َك اَن ُم ْخ َتااًل َفُخ وًرا‬

Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan


sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan
teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S An-
Nisaa’:36).
Peradilan Agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada

sumber hukum agama Islam, sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus

dimulai dengan kalimat Basmalah yang diikuti dengan kalimat “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Yaitu dalam UU no 7 tahun 1989 tentang

peradilan agama.

Pasal 57

1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN


YANG MAHA ESA.

2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat

BISSMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

2. Asas Keadilan

Asas ini memposisikan manusia pada kewajiban untuk menegakkan hukum-

hukum Allah dan dilarang menetapkan hukum-hukum yang bertentangan dengan

Allah, seperti tercantum dalam surat An-Nisaa’ ayat 58:

ۗ‫ِإَّن َهَّللا َيْأُم ُر ُك ْم َأْن ُتَؤ ُّد وا اَأْلَم اَناِت ِإَلٰى َأْهِلَها َوِإَذ ا َح َك ْم ُتْم َبْيَن الَّناِس َأْن َتْح ُك ُم وا ِباْلَع ْد ِل ۚ ِإَّن َهَّللا ِنِعَّم ا َيِع ُظُك ْم ِبِه‬

‫ِإَّن َهَّللا َك اَن َسِم يًعا َبِص يًرا‬

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada


yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S.An-Nisaa’: 58)

Dalam asas ini seorang hakim dituntut untuk berlaku adil, sebagaimana

disebutkan pada pasal 16 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.

Pasal16
1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib

mengucapkan sumpah menurut agama Islam yang berbunyi sebagai

berikut : “Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan

saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan

akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-

adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan

yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.

3. Asas Perdamaian

Asas ini terdapat pada pasal 65 dan pasal 82 UU No. 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yang menyatakan bahwa selama perkara belum diputus, usaha

mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat

peradilan. Asas ini juga tercantum dalam pasal 39 UU No.1 Tahun 1974 tentang

perkawinan. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 10:

‫ِإَّنَم ا اْلُم ْؤ ِم ُنوَن ِإْخ َو ٌة َفَأْص ِلُحوا َبْيَن َأَخ َو ْيُك ْم ۚ َو اَّتُقوا َهَّللا َلَع َّلُك ْم ُتْر َحُم وَن‬

Artinya: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu


damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah
terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S Al-Hujurat: 10)

4. Asas Persamaan

Asas ini menjelaskan bahwa fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah

memiliki kedudukan yang sama dihadapan-Nya yang membedakan hanyalah

ketakwaannya. Dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13:

‫َيا َأُّيَها الَّناُس ِإَّنا َخ َلْقَناُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َو ُأْنَثٰى َو َجَع ْلَناُك ْم ُش ُعوًبا َو َقَباِئَل ِلَتَع اَر ُفواۚ ِإَّن َأْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد ِهَّللا َأْتَق اُك ْم ۚ ِإَّن َهَّللا‬
‫َع ِليٌم َخ ِبيٌر‬

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-
hujurat: 13).

Dalam pasal 58 ayat (1) UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama

menyebutkan: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-

bedakan orang”.
DAFTAR PUSTAKA

Abd.Gani Abdullah. 1994 PengantarKompilasiHukum Islam dalam Tata Hukum

Indonesia, : Jakarta, Gema Insani Press.

Aden Rosidi. 2015, Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukan Hukum, Bandung,

Simbiosa Rekatama Media.

Anwar Harjono. 1995 Indonesia kita; pemikiran berwawasan iman-islam, Jakarta: Gema Insani

Press.

Muhamad Salam Madkur, Al-Qadla Fi Al-Islam, Qairo : Dar Al-Fikr.

UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Anda mungkin juga menyukai