Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SISTEMATIKA HUKUM ISLAM


DAN ADAT BUDAYA MANDAILING
Disusun Untuk Memenuhi Tugas makalah Mata Kuliah
Islam dan Budaya Mandailing

Dosen Pengampu :
Lailan Nahari, S.H., M.H

Disusun oleh :
Kelompok 1
1. Siti Amelia (22070001)
2. Suci Ramadani (22070010)
3. Nur Madinah (22070018)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
T.A (2024/2025)
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbil‟alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Sistematika Hukum Islam dan Adat Budaya Mandailing.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW yang kita nanti-
nantikan syafaatnya kelak.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Islam dan Budaya Mandailing.
Dalam penyelesaian makalah ini, kami mendapatkan bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Lailan Nahari, S.H., M.H., selaku dosen
mata kuliah Islam dan Budaya Mandailing, serta teman-teman yang sudah
memberikan konstribusinya dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan malakah ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan tentang Sistematika Hukum Islam dan
Adat Budaya Mandailing.
Wassalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Panyabungan, 26 Februari 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................2
A. Konsep Sistematika Hukum Islam...............................................................2
B. Konsep Sistematika Hukum Adat dan Budaya Mandailing........................9
BAB III PENUTUP...............................................................................................18
A. Kesimpulan..................................................................................................18
B. Saran............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistematika Hukum Islam dan Adat Kebudayaan merupakan suatu hal yang
tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Keduanya saling berkaitan erat.
Masyarakat menjadi bagian dari kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu sendiri
merupakan hasil dari adanya masyarakat. Seperti halnya kebudayaandan suku
batak, suku batak sudah tidak asing lagi kita dengar dalam pembelajaran kita
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Suku batak sendiri memiliki beraneka
ragam jenis subsub suku/etnis yang memang berbeda-beda dan unik. Bahkan
diluar sana menurut pengamatan penulis masih banyak orang yang belum
mengetahui mengenai suku batak lebih spesifik.
Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami perbedaan Sistematika
Hukum Islam dan Adat Budaya yang satu ini serta agar dapat menambah
wawasan pembaca mengenai Sistematika Hukum Islam dan Adat Budaya
Mandailing.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep sistematika hukum islam ?
2. Bagaimanakah konsep sistematika adat dan budaya mandailing ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Sistematika Hukum Islam


1. Pengertian Hukum Islam
Hukum adalah aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh mereka yang
memiliki kewenangan dalam menentukan hukum. Dan hukum atau aturan-
aturan yang telah ditetapkan tersebut memiliki peran sebagai pedoman atau
landasan bertindak para pelaku di mana hukum tersebut diterapkan.secara
dasar pengertian hukum dalam Islam adalah Pengertian hukum islam adalah
jalan yang ditempuh manusia untuk menuju jalan Allah, Tuhan semesta alam.
Hukum islam atau syariat islam adalah segala macam hukum atau peraturan
yang tujuannya mengatur segala urusan umat islam dalam menangani perkara
dunia dan akhirat.
Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam Kisyaaf Ishthilaahaat al-
Funun pengertian hukum islam atau syariat islam adalah mencakup seluruh
ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan bidang
kemasyarakatan (muamallah). Syariat islam atau yang lebih sering disebut
sebagai syariah merupakan berbagai macam aturan yang ditetapkan oleh
Allah dalam mengatur hubungan mahluk dengan Tuhannya dan saudara
sesama muslim, sesama manusia, mahluk hidup, dan alam. Peraturan dalam
hukum islam diambil dari berbagai sumber yang jika ditelusuri lebih lanjut
akan berakhir pada Allah.
2. Sifat dan Karakter Hukum Islam
Hakikat hukum Islam itu tiada lain adalah syari'ah itu sendiri, yang
bersumber dari al-Qur'an, Sunnah Rasul dari al-Ra'yu Doktrin pokok dalam
Islam itu sendiri yaitu konsep tauhid merupakan fondasi dalam struktur
hukum Islam, yaitu hubungan hablun win Allah (hubungan vertikal), dari
hablun Min al-nas (hubungan horizontal), al-anirit bil nia'ruf wa alnahyu al-
munkar, taqwa, adil, dan bijaksana serta mendahulukan kewajiban daripada
hak dan kewenangan.

2
Sehubungan dengan doktrin di atas, maka terdapat lima sifat dan
karakteristik hukum Islam yaitu:
a) Sempurna
Syari'at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dari garis besar
permasalahan. Oleh karena itu hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak
berubah-ubah lantaran berubahnya masa dari berlainannya tempat. Untuk
hukum-hukum yang lebih rinci, syari'at isi am hanya menetapkan kaedah
dan memberikan patokan umum. penjelasan dan rinciannya diserahkan
pada ijtihad pemuka masyarakat.1
Menurut M. Hasbi AshShiddieciy, salah satu ciri hukum Islam
adalah takamul yaitu, lengkap, sempurna dan bulat, berkumpul padanya
aneka pandangan hidup. Menurutnya hukum Islam menghimpun segala
sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan karenanya
hukum Islam tidak menghendaki adanya pertentangan antara Ushul
dengan Furu', tetapi satu sama lain saling lengkap-melengkapi kuat-
menguatkan.2
b) Elastis
Hukum Islam juga bersifat elastis (lentur, Luwes), Ia meliputi Segala
bidang dan lapangan kehidupan manusia,. Hukum Islam memperhatikan
berbagai segi kehidupan baik bidang muamalah, ibadah, jinayah dan lain-
lain. Meski demiklan ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan
memaksa. Hukum Islam hanya memberikan kaidahkaidah urn urn yang
mesti dijalankan oleh umat manusia.3
Sebagai bukti bahwa hukum Islam bersifat elastis. Dapat dilihat
dalam salah satu contoh dalam kasus jual beli; bahwa ayat hukum yang
berhubungan dengan jual bell (Q.S. al-Bagarah (2): 275, 282, Q.S. an-
Nisa' (4): 29, dan Q.S. (62): 9). Dalam ayat-ayat tersebut diterangkan
hukum bolehnya jual beli, persyaratan keridhaan antara kedua belah
pihak, larangan riba, dan larangan jual beli waktu azan Jum'at. Kemudian

1
Lihat, H. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, bagian pertama (Cet. I: Jakarta:
Logos, 1997), h. 46.
2
Lihat, M. Hasbi Ash-Shiddieu, Falsafah Hukum Islam (Cet. V, Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 105.
3
Lihat, H. Faturrahman Djamil, op.cit. h. 47

3
Rasul menjelaskan beberapa aspek jual beli yang lazim berlaku pada
masa beliau. Selebihnya, tradisi atau adat masyarakat tertentu dapat,
dijadikan sebagai bahan penetapan hukum jual beli.
c) Universal dan Dinamis
Ajaran Islam bersifat universal. Ia meliputi seluruh alam tanpa tapal
batas, tidak dibatasi pada daerah tertentu seperti ruang lingkup
ajaranajaran Nabi sebelumnya. Berlaku bagi orang Arab dan orang
`Ajam (non Arab). Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik
hukum itu sendiri yang kekuasaan tidak terbatas. Di samping itu, hukum
Islam mempunyai sifat yang dinamis (cocok untuk setiap zaman).4
Hukum Islam memberikan kepada kemanusiaan sejumlah hukum
yang positif yang dapat dipergunakan untuk segenap masa dan tempat.
Dalam gerakannya hukum Islam menvertai perkembangan manusia,
mempunyai kaidah asasiyah, yaitu ijtihad. Ijtihadlah yang akan
menjawab segala tantangan masa, dapat memenuhi harapan zaman
dengan tetap memelihara kepribadian. dari nilai-nilai asasinya.5
d) Sistematis
Arti dari pc.myataan bahwa hukum Islam itu bersifat sistematis
adalah bahwa hukum Islam nu mencerminkan sejumlah doktrin yang
bertalian secara logis, sating berhubungan satu dengan lainnya.6
Perintah shalat dalam al-Qur'an senantiasa diiringi dengan perintah
zakat. Dan berulang-ulang Allah berfirman "makan dan minumlah kamu
tetapi jangan benlebihan". Dalam hal ini dipahami bahwa hukum Islam
melarang seseorang hanya mermuamalah dengan Allah dan melupakan
dunia. Manusia diperintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam
melarang sifat imperial dan kolonial kctika mencari rezeki tersebut.
e) Hukum Islam bersifat Ta'aquli dan Ta'abbudi
Sebagaimana dipahami bahwa syari'at Islam mencakup bidang
mu'amalah dan bidang ibadah. Dalam bidang ibadah terkandung nilai-
nilai ta'abbudil ghairu ma' qulah al ma'na (Irasional), artinya manusia

4
Ibid, h. 49.
5
Lihat, M. Hasbi As-Shiddiegy, Op-cit.; h. 108
6
Lihat, H. Fathurrahman Djamil, Op.cit., h. 5 1

4
tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah disyari'atkan dalam
bidang ini, tidak ada pintu ijtihad bagi umat manusia. Sedangkan bidang
muamalah, di dalamnya terkadang nilai-nilai ta'aquli/ma’aqulah al-ma’na
(rasional). Artinya, umat Islam dituntut untuk berijtihad guna
membumikan ketentuan-ketentuan syari'at tersebut.7

Selanjutnya ciri-ciri kekhusushukum Islam yang membedakannya


dengan hukum lain, adalah:
1. Hukum Islam berdasar atas wahyu Allah AWT, yang terdapat dalam al-
Qur'an dan dijelaskan oleh Sunnah Rasul-Nya.
2. Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan
akhlak (moral).
3. Hukum Islam bersifat universal (alami), dan diciptakan untuk
kepentingan seluruh umat manusia (rahmatan lil 'alamin).
4. Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan sanksi di akhirat (kelak).
5. Hukum Islam mengarah kepada jama'iyah (kebersamaan) yang seimbang
antara kepentingan individu dan masyarakat.
6. Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan
tuntutan waktu dan tempat.
7. Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan
kesejahteraan di akhirat.8

3. Prinsip – prinsip Hukum Islam


Prinsip-prinsip hukum Islam merupakan pengertian-pengertian atau nilai-
nilai yang lebih tinggi dari hukum itu sendiri dan menjadi pijakan dalam
rumusan-rumusan hukum. Maka, prinsip tidak memberatkan, menyedikitkan
beban, ditetapkan secara bertahap, memperhatikan kemaslahatan manusia,
dan mewujudkan keadilan yang merata yang akan dikupas nantinya
merupakan nilai-nilai yang menjadi titik tolak totalitas hukum Islam tersebut. 9

7
Ibid, h. 52.
8
Lihat, H. Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dart Pengantar Studi Hukum Islam
Dalam Tata Hukum Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 64- 65.
9
Lihat T.M. Hasbi ash-Shiddeqy, Op.Cit. h. 73-83

5
Ada lima prinsip hukum Islam yang menjadi dasar atau fundamen
bangunan hukum Islam baik yang akan muncul dalam kehidupan manusia :
a) Tidak Menyulitkan/Memberatkan (‘adam al-haraj)
Al-Haraj berarti al-dhaiq/ al-dhīq yang berarti kesempitan,
kesusahan, kesedihan, kesukaran, atau kesulitan.Prinsip ‘adam al-haraj
dalam hukum Islam bermakna bahwa di dalam hukum Islam tidak ada
dan tidak boleh ada tugas/tanggung jawab yang melebihi kemampuan
atau terlalu berat untuk dipikul oleh manusia. 10 Cukup banyak teks
Alqur’an dan Hadis yang menjelaskan tentang prinsip ini, di antaranya :
 Q.S. Al-Baqarah/02:286

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya...”
 Hadis Rasul yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Dailamiy

“Sesungguhnya aku diutus dengan (agama) yang mudah lagi gampang “


b) Menyedikitkan Beban (taqlīl al-takālīf)
Sebagai konsekuensi logis prinsip yang pertama, tidak menyulitkan
atau tidak memberatkan, tentunya beban-beban hukum yang mesti
dipikul oleh manusia juga tidak banyak. Sebab, beban hukum yang
banyak menjadikan manusia berada dalam kesulitan. Hal ini didukung
oleh kenyataan kuantitas ayat-ayat dengan tema hukum di dalam
Alqur’an. Ibnu Qayyim, misalnya, mencatat bahwa jumlah ayat-ayat
hukum di dalam Alqur’an hanyalah 150 ayat. Ada lagi yang mengatakan
jumlahnya 500 ayat dan yang paling banyak, seperti yang dihitung oleh
Ibn ‘Arabi, berjumlah 864 ayat. Jumlah ini pun relatif sedikit
dibandingkan dengan totalitas ayat-ayat Alqur’an yang 6000-an lebih. 11
Singkatnya, fakta ini cukup untuk mengantarkan kita pada kesimpulan
bahwa beban hukum yang dibebankan Allah kepada manusia adalah
sedikit.
10
Op.Cit. h. 73
11
Sya‘ban Muhammad Ismail, Op.Cit. h. 46.

6
c) Bertahap dalam Menetapkan Hukum (al-tadarruj fi al-tasyrī‘)
Orang mengamati dengan cermat proses pembinaan hukum Islam
akan menemukan bahwa pada galibnya, penetapan hukum Islam pada
masa awalnya melalui tahapan-tahapan (berangsur-angsur), seperti
kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, pengharaman riba, dan khamar. Pola
berangsur-angsur dalam menetapkan hukum ini tentunya sangat sejalan
dengan tabiat manusia secara pribadi maupun masyarakat, terutama
menyangkut perkara-perkara yang telah “berurat dan berakar” atau
mentradisi dalam masyarakat.
d) Memperhatikan Kemaslahatan
Manusia Prinsip memperhatikan kemaslahatan manusia juga
merupakan pijakan nilai yang menjiwai penetapan hukum Islam. Ayat-
ayat Alqur’an yang menyangkut penetapan hukum, demikian Anwar
Harjono seperti dikutip oleh Fathurrahman Djamil, tidak pernah
meninggalkan masyarakat sebagai bahan pertimbangan.12
e) Mewujudkan Keadilan yang Merata
Keadilan di dalam Islam adalah keadilan yang tidak membedakan
manusia satu sama lain di depan hukum. Tidak boleh ada unsur subyektif
dalam definisi keadilan. Apa yang dianjurkan oleh Islam adalah sikap
berfikir yang reflektif dan pendekatan yang obyektif terhadap masalah
yang dihadapi.13 Penguasa sekalipun tidak dapat mengelak dari tanggung
jawab hukum apabila melakukan kejahatan. Demikian juga halnya
dengan orang berharta, berpangkat, dan status-status lainnya.

4. Sumber Hukum Islam


 Al Quran
Selain berisi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al Quran juga
berisi peraturan atau hukum dari Allah sang pencipta kehidupan. Nabi
Muhammad diutus untuk menyampaikan Al Quran kepada seluruh umat
manusia hingga kiamat tiba. Al Quran dijadikan sumber hukum pertama
atau awal. Setiap hukum atau peraturan yang dibuat harus berdasarkan Al
12
Fathurrahman Djamil, Op.Cit., h. 71
13
Muhammad Muslehuddin, Op.Cit. h. 80

7
Quran dan tidak boleh saling bertentangan. Seiring berkembangnya
jaman, tafsiran Al Quran sudah banyak beredar sehingga memudahkan
orang awam untuk mendalami dan menerapkan hukum islam.
 Hadits Shahih
Acuan kedua dalam hukum islam adalah hadits. Berbeda dengan Al
Quran, hadits berisi tentang penjelasan rinci mengenai hukum islam yang
ada di Al Quran, tata cara beribadah, aturan dalam melaksanakan ibadah,
dan ucapan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang
dijadikan sumber hokum
 Ijtihad
Ijtihad adalah usaha para ulama untuk menentukan hukum suatu
perkara baru dengan mengacu pada Al Quran dan hadits. Ijtihad adalah
usaha ulama untuk menentukan hukum setelah Nabi Muhammad wafat
sehingga tidak ada lagi yang bisa ditanyakan pendapatnya. Karena
bersumber dari Al Quran dan Hadits maka dari itu Ijtihad ulama harus
melampirkan ayat dalam Al Quran dan hadits ketika ingin memutuskan
suatu peraturan. Ada 4 jenis Ijtihad, yaitu:
 Ijma, hukum sesuai kesepatakan para ulama
 Qiyas, hukum yang mirip dengan hukum lain yang jelas hukumnya
 Maslahah, hukum untuk mencapai kemaslahatan umat
 Urf, hukum yang sesuai kebiasaan

5. Metode Penetapan Hukum Islam


Metode penetapan hukum Islam, secara sederhana, dapat diartikan
sebagai caracara menetapkan, meneliti dan memahami aturan-aturan yang
bersumber dari nash-nash hukum untuk diaplikasikan dalam kehidupan
manusia, baik menyangkut individu maupun masyarakat. Metode ini
terkandung dalam suatu disiplin ilmu yang dikenal dengan ilmu ushûl al-fiqh,
yaitu pengetahuan yang membahas tentang dalil-dalil hukum secara garis
besar (ijmâl), cara pemanfaatannya dan keadaan orang vang
memanfaatkannya, yakni mujtahid.

8
Dalam kitab-kitab ilmu ushûl alfiqh, wacana tentang metode penetapan
hukum Islam atau metode ijtihad selalu dikaitkan dengan dalil-dalil hukum.
Oleh karena itu, saya memandang perlu untuk mendeskripsikan konsep dalil,
sebelum melangkah kepada persoalan lebih lanjut. Dalil, yang secara
sederhana berarti sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada yang dicari, 14
dalam literatur ilmu ushûl al-fiqh, didefinisikan sebagai “sesuatu yang dapat
menyampaikan kepada informasi yang dicari dengan menggunakan penalaran
yang benar,”15 atau “sesuatu yang dapat menyampaikan kepada pengetahuan
yang pasti tentang informasi yang dicari.”16 Dua rumusan ini mengandung
makna yang sama, tetapi yang pertama penekanan berlanjut kepada proses,
sedangkan yang kedua kepada status. Sebagian ahli memandang, petunjuk
hukum yang mengandung kepastian disebut dalil, sedangkan yang hanya
dugaan kuat disebut amârah.17 Sementara itu mayoritas ahli hukum lslam
berpendapat bahwa istilah dalil itu sendiri telah mencakup dua kemungkinan
tersebut, sehingga eksistensi dan kualitas dalil terbagi kepada qath’î dan
zhannî,18 bukan kepada dalil dan amârah.

B. Konsep Sistematika Hukum Adat dan Budaya Mandailing


1. Landasan Ideal
Suku Batak Mandailing adalah salah satu suku dari sekian banyak
Rumpun Batak yang telah lama hidup dalam suatu komunitas di kabupaten
Mandailing-Natal, penyebaran juga terdapat di kabupaten Padang Lawas,
kabupaten Padang Lawas Utara, dan sebagian kabupaten Tapanuli Utara yang
berada di provinsi Sumatera Utara. Orang Mandailing juga menyebar hingga
ke wilayah provinsi Sumatra Barat, seperti di kabupaten Pasaman dan
kabupaten Pasaman Barat.

14
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jilid I, (Bayrut: Dâr al-Fikr, 1998), h. 417
15
Tâj al-Dîn al-Subkî, Matn Jam al-Jawâmi’ dalam Hâsyiyah al-‘Allâmah al-Bannânî, Jilid I,
(Bayrût : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983), h. 124-124.
16
Saefuddîn al-Âmidî, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1983), h.13
17
Abû Ishâq Ibrâhîm ibn ‘Alî al-Syîrâzî, al-Luma’ fi Ushûl al-Fiqh, (Semarang: Toha Putra,
t.t.), h. 3
18
AbdulWahhâb Khallâf, Ilm Ushûl al-Fiqh, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1998), h. 20.

9
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing (Serat
Tembaga Kalinga), yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang
Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang
merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf
Pallawa, bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara
Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Suku
Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan
dipergunakan untuk menulis kitabkitab kuno yang disebut pustaha (pustaka).
Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-
ilmu gaib, ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan buruk, serta ramalan
mimpi.

2. Landasan Operasional
a) Adat Pertunangan
Mangarisika Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke
tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk
mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda
mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-
barang pemberian itu dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain.
b) Horja Siriaon (Upacara Adat Perkawinan)
Sebelum acara adat dimulai, biasanya diperlukan perlengkapan
upacara adat, seperti sirih (napuran/burangir) terdiri dari sirih, sentang
(gambir), tembakau, soda, pinang, yang semuanya dimasukkan ke dalam
sebuah tepak. Lalu, sebagai simbol kebesaran (paragat) disiapkan payung
rarangan, pedang dan tombak, bendera adat (tonggol) dan langit-langit
dengan tabir.
Adat pada suku Mandailing melibatkan banyak orang dari dalian na
tolu, seperti mora, kahanggi dan anak boru. Prosesi upacara pernikahan
dimulai dari musyawarah adat yang disebut makkobar/makkatai, yaitu
berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik. Setiap anggota
berbalas tutur, seperti berbalas pantun secara bergiliran. Orang pertama
yang membuka pembicaraan adalah juru bicara yang punya hajat (suhut),

10
dilanjutkan dengan menantu yang punya hajat (anak boru suhut), ipar
dari anak boru (pisang raut), peserta musyawarah yang turut hadir
(paralok-alok), raja adat di kampung tersebut (hatobangan), raja adat dari
kambpung sebelah (raja torbing balok) dan raja diraja adat/pimpinan
sidang (raja panusunan bulang).
Setelah itu, dilaksanakan acara tradisi yang dikenal dengan nama
mangupa atau mangupa tondi dohot badan. Acara ini dilaksanakan sejak
agama Islam masuk dan dianut oleh etnis Mandailing dengan mengacu
kepada ajaran Islam dan adat. Biasanya ada kata-kata nasihat yang
disampaikan saat acara ini. Tujuannya untuk memulihkan dan atau
menguatkan semangat serta badan. Pangupa atau bahan untuk mangupa,
berupa hidangan yang diletakkan ke dalam tampah besar dan diisi dengan
nasi, telur dan ayam kampung dan garam Masing-masing hidangan
memiliki makna secara simbolik. Contohnya, telur bulat yang terdiri dari
kuning dan putih telur mencerminkan kebulatan (keutuhan) badan
(tondi). Pangupa tersebut harus dimakan oleh pengantin sebagai tanda
bahwa dalam menjalin rumah tangga nantinya akan ada tantangan berupa
manis, pahit, asam dan asin kehidupan. Untuk itu, pengantin harus siap
dan dapat menjalani dengan baik hubungan tersebut.
c) Mengharoani
Sesudah lahir anak-anak yang dinanti-nantikan itu, ada kalanya
diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang
berbahagia itu yang dikenal dengan istilah mengharoani (menyambut
tibanya sang anak). Ada juga yang menyebutnya dengan istilah mamboan
aek si unte karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan
memperlancar air susu sang ibu. Makna spiritualitas yang terkandung
adalah yaitu menunjukkan kedekatan dari hula-hula terhadap si anak
yang baru lahir dan juga terhadap si ibu maupun ayah dari si anak itu.
d) Pelestarian Horja Mambulungi/ Horja Siluluton (Upacara Adat
Kematian)
Didalam adat istiadat Mandailing, seorang yang pada waktu
perkawinannya dilaksanakan dengan upacara adat perkawinan, maka

11
pada saat meninggalnya juga harus dilakukan dengan upacara adat
kematian terutama dari garis keturunan Raja-Raja Mandailing. Seorang
anak keturunan Raja, apabila ayahnya meninggal dunia wajib mengadati
(Horja Mambulungi). Jika belum mengadati seorang anak atau
keluarganya tetap menjadi kewajiban /utang adat bagi keluarga yang
disebut mandali di paradaton dan jika ada yang akan menikah, tidak
dibenarkan mengadakan pesta adat perkawinanan (horja siriaon).
Pelaksanaan Upacara Adat Kematian dilaksanakan:
1. Pada saat penguburan.
2. Pada hari lain yang akan ditentukan kemudian sesuai dengan
kesempatan dan kemampuan keluarganya.

3. Landasan Strukural
a) Dalihan Na Tolu merupakan fondasi budaya Angkola-Sipirok, Padang
Lawas dan Mandailing, yang saat ini lambat laun mengalami ancaman
kepunahan. Pada Dalihan Na Tolu terdapat 3 unsur, yaitu:
1) Kahanggi, adalah kelompok yang mengayomi.
2) Anak boru, adalah kelompok yang melaksanakan tugas.
3) Mora, adalah kelompok yang dalam posisi penasehat.
Pada Dalihan Na Tolu terdapat 109 nilai, yang diperas menjadi 9 nilai
budaya utama, yaitu:
1) Kekerabatan, mencakup hubungan primordial, suku, kasih sayang atas
dasar hubungan darah dan perkawinan.
2) Religi, mencakup kehidupan beragama.
3) Hagabeon, mencakup banyak anak-cucu serta panjang umur.
4) Hasangapon, kemuliaan, kewibawaan dan kharisma.
5) Hamaraon, mencakup kekayaan yang banyak tapi halal.
6) Hamajuon, mencakup kemajuan dalam menuntut ilmu pengetahuan.
7) Hukum, mencakup “ptik dan uhum’’ dalam rangka menegakkan
kebenaran.
8) Pengayoman, nilainya lebih kecil dari 7 unsur lainnya, karena orang
AngkolaMandailing harus mandiri.

12
9) Konflik, mencakup terjadi pertarungan kekuatan tentang masalah
tanah dan warisan.
b) Mamodomi Boru
Mungkin semua orang sering mendengar istilah kawin lari, di
Mandailing. Biasa disebut dengan Mangalojongkon Boru. Bila seorang
pemuda membawa kawin lari seorang gadis, biasanya si gadis ditemani
satu orang gadis juga yang disebut dengan Pandongani. Dalam tradisi
Mandailing ini masih sering terjadi. Untuk menghindari sesuatu yang
dianggap melanggar norma-norma, lahirlah tradisi yaitu “Mamodomi
Boru”. Mamodomi Boru artinya, meramaikan/menemani seorang gadis
yang mau menikah pada malam hari dirumah kediaman calon suaminya
sebelum dijatuhi akad nikah. Mamodomi boru biasanya diramaikan oleh
gadis-gadis setempat selama tiga malam. Dan rumah kediaman calon
suami akan selalu ramai karena, pemuda-pemuda juga ikut berkunjung ke
rumah itu.
Pada momen ini juga biasanya disediakan daun sirih (Burangir)
beserta dengan kombinasinya seperti sontang sejenis daun kering yang
biasa dimakan bersamaan dengan daun sirih. Dan perlu diketahui sontang
bisa jadi obat saat suara kita serak. Bila para gadis mau tidur,
diperkenankan kepada para pemuda untuk bubar. Begitulah seterusnya
pada setiap malamnya sampai akad nikah telah dilaksanakan. Mamodomi
boru sering juga disebut dengan istilah paboru-boru. Seperti yang
diuraikan tadi, bila akad nikah sudah dilakukan sipandongani juga boleh
pulang kerumahnya. Tapi perlu diketahui sebelumnya, kalau selama akad
nikah belum terlaksana. Dari pihak laki-laki atau calon suami harus pergi
ke rumah orangtua calon istri, untuk menyatakan kalau anak gadisnya
telah dibawa kawin lari, ini biasa disebut mandokon ulang agoan. Nah
begitulah salah satu adat di Mandailing yang mempunyai nilai dan norma
yang baik.
c) Kekerabatan
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik
patrilineal maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing

13
mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja, antara
lain Lubis, Nasution, Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang,
Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay,
Matondang, dan Hutasuhut. Bila orang Batak mengenal pelarangan kawin
semarga, maka orang Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin
semarga. Hal ini lah yang menyebabkan marga orang Batak bertambah
banyak, karena setiap ada kawin semarga, maka mereka membuat marga
yang baru. Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing apabila terjadi
perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban melakukan
upacara korban, berupa ayam, kambing atau kerbau, tergantung status
sosial mereka di masyarakat, namun aturan adat itu sekarang tidak lagi
dipenuhi, karena nilai-nilai status sosial masyarakat Mandailing sudah
berubah, terutama di perantauan. Kata marga di Mandailing atau
Mandahiling bisa berarti clan yang berasal dari bahasa Sanskrit, varga
yaitu warga atau warna, ditambah imbuhan ma atau mar, menjadi mavarga
atau marvarga, artinya berwarga, dan disingkat menjadi marga. Marga itu
sendiri bermakna kelompok atau puak orang yang berasal dari satu
keturunan atau satu dusun. Marga juga bisa berasal dari singkatan 'naMA
keluaRGA'. Namun, tidak semua orang Mandailing mencantumkan marga
dalam namanya, karena dianggap cukup sebagai identitas antara orang
Mandailing/Mandahiling sendiri. Selain itu, di antara orang Mandailing
ada juga yang tak memakai sistem patrilineal atau sistem marga,
melainkan memakai sistem matrilineal atau yang diistilahkan sebagai
sistem suku dalam bahasa Minang, seperti contohnya etnis Lubu yang
merupakan penduduk asli Mandahiling. Selain itu, marga juga bisa
diartikan sebagai dusun, seperti halnya arti marga di wilayah Sumatera
Utara.
d) Agama dan Bahasa
Penduduk suku Batak Mandailing mayoritas adalah beragama Islam.
Berbeda dengan orang Batak Toba yang beragama Kristen. Tapi kedua
suku bangsa ini berawal dari sejarah asal usul yang sama. Bahasa
Mandailing merupakan bahasa yang terdapat di provinsi Sumatera Utara

14
bagian Utara, Sumatera Barat dan Riau bagian utara, yang merupakan
varian dari bahasa Sanskerta yang banyak dipengaruhi bahasa Arab.
Bahasa Mandailing Julu dan Mandailing Godang dengan pengucapan yang
lebih lembut lagi dari bahasa Angkola, bahkan dari bahasa Batak Toba.
Mayoritas penggunaannya di daerah Kabupaten Mandailing Natal, tapi
tidak termasuk bahasa Natal (bahasa Minang), walaupun pengguna bahasa
Natal berkerabat (seketurunan) dengan orang-orang Kabupaten Mandailing
Natal pada umumnya.
e) Pakaian Adat

Pengantin Mandailing menggunakan pakaian adat yang didominasi


warna merah, keemasan dan hitam. Pengantin pria menggunakan penutup
kepala yang disebut ampu-mahkota yang dipakai raja-raja Mandailing di
masa lalu, baju godang yang berbentuk jas, ikat pinggang warna keemasan
dengan selipan dua pisau kecil disebut bobat, gelang polos di lengan atas
warna keemasan, serta kain sesamping dari songket Tapanuli. Sedangkan,
pengantin wanita memakai penutup kepala disebut bulang berwarna
keemaasan dengan beberapa tingkat, penutup daerah dada yaitu kalung
warna hitam dengan ornamen keemasan dan dua lembar selendang dari
kain songket, gelang polos di lengan atas berwarna keemasan, ikat
pinggang warna keemasan dengan selipan dua pisau kecil, dan baju kurung
dengan bawahannya songket.
f) Kesenian Tradisional

15
1. Tari tor-tor adalah tarian khas suku Batak, Sumatera Utara. Tepatnya
Mandailing. Gerakan tarian ini seirama dengan iringan musik
(magondangi) yang dimainkan menggunakan alat-alat musik
tradisional seperti gondang, suling, terompet batak, dan lain-lain. Tari
tor-tor dulunya digunakan dalam acara ritual yang berhubungan
dengan roh. Roh tersebut dipanggil dan "masuk" ke patung-patung
batu (merupakan simbol leluhur). Patung-patung tersebut tersebut
kemudian bergerak seperti menari, tetapi dengan gerakan yang kaku.
Gerakan tersebut berupa gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan
tangan.
2. Alat Musik Gordang Sembilan adalah alat kesenian terdiri atas
sembilan gendang besar (beduk) yang ditabuh bersamaan, dalam
rangka tertentu, misalnya pada hari raya. Salah satu beduk ditabuh
oleh seorang raja/pemimpin wilayah, yang biasanya memulai irama
penabuhan.
g) Asal-usul silsilah keluarga
Seperti halnya orang Arab dan Tionghoa, orang Mandailing atau
Mandahiling mempunyai pengetahuan mengenai silsilah, yang dalam
bahasa Mandailing disebut sebagai (Tarombo atau Tambo). Silsilah orang
Mandailing bisa mencapai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek
moyang mereka. Pada mulanya silsilah sesuatu marga, diriwayatkan turun-
temurun secara lisan (tambo atau terombo), kemudian diturunkan secara
tertulis. Menurut Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal usul
orang Mandailing dalam majalah Mandailing yang diterbitkan di Medan
pada awal kurun ke-20: "Yang masih ada memegang tambo turun
turunannya, yaitu marga Lubis dan Nasution, sebagaimana yang sudah
dikarang oleh Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek
(Sungai) Nangali..." Ini tidak bermakna marga-marga Mandailing yang
lain tidak memelihara silsilah mereka. Penelitian silsilah marga Lubis
Singengu (keturunan Silangkitang) di Kotanopan dan Lubis Singasoro
(keturunan Sibaitang) di Pakantan , beserta Harahap (keturunan Sutan
Bugis) dan Hutasuhut (keturunan Sutan Borayun) di Angkola, yang

16
merupakan keturunan Namora Pande Bosi, menunjukkan bahwa marga itu
mula menetap di Mandailing Julu dan Mandailing Jae (Angkola) pada
kurun abad ke-16 M, keturunan dari Raden Patah gelar Angin Bugis dari
Majapahit, seperti Parinduri, Batubara, Daulae, Raorao, Tanjung, dan
lainnya, yang bukan keturunan Namora Pande Bosi, umumnya sampai
sekarang belum banyak dipublikasikan.
Sementara pada umumnya marga Nasution Sibaroar yang berada di
Mandailing Godang merupakan keturunan Si Baroar gelar Sutan (Sultan)
Di Aru, dan marga-marga Nasution lainnya, antara lain Nasution
Panyabungan, Tambangan, Borotan, Lantat, Jior, Tonga, Dolok, Maga,
Pidoli, dan lain-lain, berdasarkan nama dusun masing-masing, yang
awalnya memakai sistem matrilineal.
h) Rumah Adat
Rumah Adat Mandailing disebut sebagai Bagas Godang sebagai
kediaman para raja, terletak disebuah kompleks yang sangat luas dan
selalu didampingi dengan Sopo Godang sebagai balai sidang adat.
Bangunannya mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil
sebagaimana juga jumlah anak tangganya. Bangunan arsitektur tradisional
Mandailing adalah bukti budaya fisik yang memiliki peradaban yang
tinggi. Sisa-sisa peninggalan arsitektur tradisional Mandailing masih dapat
kita lihat sampai sekarang ini dan merupakan salah satu dari beberapa
peninggalan hasil karya arsitektur tradisional bangsa Indonesia yang patut
mendapat perhatian dan dipertahankan oleh Pemerintah dan masyarakat
baik secara langsung baik tidak langsung. Bagas Godang biasanya juga
dibangun berpasangan dengan sebuah balai sidang adat yang terletak
dihadapan atau persisnya bersebelahan dengan rumah Raja. Balai sidang
adat tersebut dinamakan Sopo Godang. Bangunan pada Bagas Godang
mempergunakan tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil dan anak
tangganya juga berjumlah ganjil

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
secara umum hukum Islam berorientasi pada perlindungan terhadap agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Artinya hukum Islam bertujuan pada pemeliharaan
agama, menjamin, menjaga dan memelihara kehidupan dan jiwa, memelihara
kemurnian akal sehat dan menjaga ketertiban keturunan manusia serta menjaga
hak milik harta kekayaan untuk kemaslahatan hidup umat manusia.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran
sebagai berikut :
1. Sebagai umat Islam hendaknya memahami hukum Islam dengan baik, karena
hukum ini mengatur berbagai kehidupan umat manusia untuk mencapai
kemaslahatan.
2. Setiap manusia hendaknya menjungjung tinggi Hak Asasi Manusia, karena
hak ini sebagai dasar yang melekat pada diri tiap manusia.
3. Dalam mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh, baik dibidang hukum,
hak dan kewajiban asasi manusia, serta kehidupan berdemokrasi hendaknya
berdasarkan prinsip-prinsip yang diajarkan Islam.

18
DAFTAR PUSTAKA

Lihat, H. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, bagian pertama (Cet. I:


Jakarta: Logos, 1997)
Lihat, M. Hasbi Ash-Shiddieu, Falsafah Hukum Islam (Cet. V, Jakarta: Bulan
Bintang, 1993)
Lihat, H. Faturrahman Djamil, op.cit.
Lihat, M. Hasbi As-Shiddiegy, Op-cit.;
Lihat, H. Fathurrahman Djamil, Op.cit.
Lihat, H. Suparman Usman, Hukum Islam Asas-Asas dart Pengantar Studi
Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Cet. I, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001)
Wahbah al-Zuhaylî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, jilid I, (Bayrut: Dâr al-Fikr, 1998)
Tâj al-Dîn al-Subkî, Matn Jam al-Jawâmi’ dalam Hâsyiyah al-‘Allâmah al-
Bannânî, Jilid I, (Bayrût : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983)Saefuddîn al-
Âmidî, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1983)Abû Ishâq Ibrâhîm ibn ‘Alî al-Syîrâzî, al-Luma’ fi Ushûl al-Fiqh,
(Semarang: Toha Putra, t.t.)
AbdulWahhâb Khallâf, Ilm Ushûl al-Fiqh, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1998), h. 20.
https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Mandailing
https://daerah.sindonews.com/read/1260799/29/asal-asul-mandailing-sejarah-dan-
kebesaran-marga-marga-1511712612

19

Anda mungkin juga menyukai