Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

METODOLOGI HUKUM ISLAM ;


WADH’I DAN TAKLIFI

( Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Hukum Islam)


Dosen Pengampu: Dr. Muslihun, M.Fil.I.

Oleh Kelompok 4 :
Hamdan Rofiqul Hidayat, &
Bahrul Wafi

HALAMAN SAMPUL
PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS K.H ABDUL CHALIM
2023

i
KATA PENGANTAR

Syukur dan Alhamdulillah kami ucapkan kepada Allah swt., Tuhan yang
maha memiliki 99 nama yang baik. Beserta shalawat dan pujian kami lantunkan
selalu, semoga tersampaikan kehadirat sayyidina Nabi Muhammad saw., keluarga
dan para sahabatnya.

Salam hormat dan ucapan terimakasih disampaikan kepada bapak Dr.


Muslihun, M.Fil.I., dosen pengampu mata kuliah Moetodologi Hukum Islam yang
telah memberikan tugas kepada kami dan memberikan pengarahan dalam
mengerjakan tugas makalah yang membahas pembagian hukum syar‟i tentang
Wadh‟i dan Taklifi ini. Juga terimakasih disampaikan kepada teman-teman yang
telah mendukung serta mengingatkan tugas makalah kami, sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.

Menyadari keterampilan menulis beserta kapasitas literasi yang dirasa


kurang, sehingga mungkin dapat terjadi dalam penulisan makalah ini berupa
kesalahan yang kami lewatkan. Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat
ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami memohon kepada
pembaca sekalian untuk mengkoreksi kembali makalh ini. Barangkali dari segi
bahasa, struktur, atau hal apapun dari makalah yang kami buat ini ada
kesalahannya, kami memohon saran-sarannya untuk perbaikan penulisan makalah
di kemudian hari.

Akhirnya, kami sampaikan selamat membaca dan menikmati wacana


yang kami sajikan. Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat untuk para
pembaca semua. Sekian dan terimakasih.

Mojokerto, 17 Oktober 2023

Pemakalah.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .............................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan........................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3

A. Hukum Wadh‟i ............................................................................................. 4

1. Pengertian Hukum Wadh‟i ....................................................................... 4

2. Macam-Macam dan Contoh Hukum Wadh‟i ........................................... 5

B. Hukum Taklifi .............................................................................................. 7

1. Pengertian Hukum Taklifi ........................................................................ 7

2. Macam-Macam dan Contoh Hukum Taklifi ............................................ 8

BAB III PENUTUP............................................................................................... 11

A. Kesimpulan................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketentuan-ketentuan hukum Islam, pada dasarnya disyari‟atkan Allah
swt. sebagai petunjuk dan mengatur tata kehidupan manusia dalam
kehidupannya di dunia ini, dalam hubungannya kepada Allah swt. secara
pribadi dan hubungan sosial dengan sesama manusia. Dengan taat kepada
ketentuan-ketentuan hukum, manusia akan memperoleh ketentraman dan
kenyamanan, serta kebahagian dalam hidupnya. Sebagaimana Allah SWT
dalam QS. surat An-Nisa ayat 105, menerangkan:
ُ َّ َ‫اس ِب َما ٓ أَ َر َٰىك‬
ِ ‫ٱَّلل ۚ َو ََل تَ ُكن ِّل ْل َخا ٓ ِئ ِنينَ َخ‬
‫صي ًما‬ َ َ‫نزلْنَا ٓ ِإلَيْكَ ٱلْ ِك َٰت‬
ِّ ‫ب ِبٱلْ َح‬
ِ َّ‫ق ِلتَحْ ُك َم بَيْنَ ٱلن‬ َ َ‫ِإنَّا ٓ أ‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur‟an)
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu dapat
menetapkan hukum kepada manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu”1
Dari ayat tersebut, secara implisit menerangkan bahwa Al-Qur‟an
menjadi sumber utama penarikan ketentuan-ketentuan hukum Islam. 2
Yang artinya, produk hukum Islam atau fiqh merupakan hasil istinbat
hukum yang disandarkan kepada Al-Qur‟an. Dengan berdasarkan kepada
prinsip dan metode penggalian hukum yang secara kolektif dikenal sebagai
ushul al-fiqh. Kedua ilmu ini berhubungan dengan perbuatan orang
mukallaf meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul Fiqh meninjau
hukum syara‟ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sedangkan
ilmu Fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara‟, yakni
ketetapan Allah swt. yang berupa hukum taklifi, yakni yang berhubungan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtidha‟/tuntutan
perintah atau larangan, takhyir/pilihan, maupun hukum wadh’i yang

1
“Surat An-Nisa Ayat 105 Arab, Latin, Terjemah Dan Tafsir | Baca Di TafsirWeb,” diakses
21 Oktober 2023, https://tafsirweb.com/1637-surat-an-nisa-ayat-105.html.
2
“Surat An-Nisa Ayat 105 Arab, Latin, Terjemah Dan Tafsir | Baca Di TafsirWeb.”

1
2

menjadi sebab adanya ketentuan yang lain, yang menjadi syarat bagi
sesuatu yang lain atau sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain.3
Maka, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengkategorian
hukum Islam, yang dalam hal ini akan dibahas mengenai wadh’i dan taklifi
dengan lebih luas dan mendalam. Sehingga tercapainya tujuan dalam
perkuliahan, berikut pemahaman terhadap metodologi atau struktur
berpikir ilmiah dalam penentuan hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
Makalah ini disusun dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian, macam- macam, relevansi dan contoh dari
Taklifi?
2. Bagaimana pengertian, macam- macam, relevansi dan contoh dari
Wadh‟i?

C. Tujuan
Sehingga tujuan pembahasan di dalam makalah ini mendasarkan kepada
rumusan masalah di atas, berikut.
1. Untuk memahami pengertian, macam- macam, relevansi dan contoh
dari Taklifi
2. Untuk memahami pengertian, macam- macam, relevansi dan contoh
dari Wadh‟i

3
Dhaifina Fitriani, “Al-Ahkam: Kategori dan Implementasi Hukum,” Tawa zun, (2021), Vol.
4, no. 2, h. 185.
BAB II
PEMBAHASAN

Allah Swt. telah menyerukan syari‟at Islam seluruhnya kepada manusia, baik
yang mengatur tata cara ber-aqidah maupun hukum- hukum syara‟ yang
menentukan perbuatan manusia. Hukum- hukum syara‟ yang akan dibahas dalam
makalah ini yaitu yang menjadi aspek dasar, atau landasan dalam perbuatan
mukallaf. Dalam pengkajian hukum- hukum syara‟ yang dimaksud, dibahas secara
khusus dalam kajian disiplin ilmu ushul fiqh tersendiri.4
Menurut Sanusi dan Sohari yang dikutip oleh Dhafina Fitriani, hukum syara‟
didefiniskan dalam pengertian tuntutan Allah Swt yang mengatur amal perbuatan
orang mukallaf baik berupa iqtidha (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan
atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk
memilih antara melakukan dan tidak melakukan) atau wadh’i (ketentuan yang
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat dan mani’/penghalang.5
Begitupun definisi hukum syara‟ menurut ahli ilmu ushul dalam kutipan
langsung oleh Eva dan Mujio dari Cut Ali: “seruan syari‟ yang berhubungan
dengan segala perbuatan para hamba, menyangkut tuntutan dan pilihan.” Definisi
hukum ini kemudian disebut “Hukum Taklifi”, yang dijabarkan kedalam lima
macam status hukum, yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
Sedangkan sebagian sisanya didefinisikan “seruan syari‟ yang berhubungan
dengan segala perbuatan para hamba, menyangkut kondisi.” Meliputi apa-apa
yang menjadi sabab, syarat, mani‟, shihhah dan batal, lalu rukhshah dan „azimah. 6
Berdasarkan dua definisi di atas, disimpulkan bahwa terbagi dua jenis hukum
syara‟, yakni Hukum Taklifi dan Hukum Wadh‟i. Tetapi berdasarkan pada kondisi
khitabnya hukum itu sendiri, terbagi lagi menjadi banyak status hukum yang
berbeda-beda.

4
Eva Nur Hopipah dan Mujiyo Nurkholis, “TELAAH KLASIFIKASI HUKUM SYARA’ (HUKUM
TAKLIFI DAN HUKUM WADH`I),” Ngaji, (2023), Vol. 3, no. 1, h. 39.
5
Dhaifina Fitriani, “Al_Ahkam Kategori dan Implementasi Hukum,” Ta wazun, (2021), Vol. 4,
no. 2, h. 186.
6
Hopipah dan Nurkholis, “TELAAH KLASIFIKASI HUKUM SYARA’ (HUKUM TAKLIFI DAN
HUKUM WADH`I).”

3
4

A. Hukum Wadh’i
1. Pengertian Hukum Wadh’i
Kata Wadh`i atau al-wadh’ merupakan bentuk masdar dari
kalimat wadha`a, yang dapat diartikan penurunan, penjatuhan, dan
peletakan. Begitupun dalam definisi hukum syara‟, kata al-wadh`
yang dimaksud dengan hukum wadh`i berarti peletakan. 7 Di dalam
literatur bahasa seperti KBBI V, ditemukan makna lain yang paling
8
dekat dengan makna peletakan adalah makna ukuran. Dengan
pemaknaan ini, hukum wadh`i dapat dipahami sebagai tatakan dan
ukuran bagi hukum taklifi. Sederhanya, hukum wadh‟i adalah hukum
kondisional yang menyertai hukum taklifi.9
Dalam jurnal Ngaji, Dr. Abdul Karim Ibnu Ali An- nam
berpendapat dalam karyanya yang berjudul Al Jaamiu Limasili Usulil
Fiqh yang dikutip Eva Nur Hopipah dan Mujio Nurkholis,
bahwasanya hukum wadh‟i sebagaimana Allah berfirman yang
berhubungan dengan menjadikan sesuatu sebab kepada sesuatu yang
lainnya, syaratnya, larangannya, kemudahannya, hukum asal yang
10
telah ditetapkan oleh syari‟ (Allah). Pada pendapat lain, yang
dikatakan dari Imam Amidi, Imam Ghazali, dan Syathibi bahwa
definisi hukum wadh‟i adalah hukum yang menghendaki dan
menjadikan sesuatu sebagai sebab (alsabab), syarat (al-syarthu),
pencegah (almani‟), atau menganggapsebagai sesuatu yang sah
(shahih)rusak ataubatal (fasid), „azimah atau rukhshah.11

7
Nurul Mahmudah, Dkk, “Sinkronisasi_hukum_wadh’i_dengan_taklif,” El Ahli, (2020), h. 3.
8
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan KEMENDIKBUD RI, “KBBI V Daring,”
diakses 24 Oktober 2023, https://github.com/yuku/kbbi4.
9
“Apa itu Hukum Wadh’i, Macam-macam, dan Contohnya,” tirto.id, diakses 22 Oktober
2023, https://tirto.id/apa-itu-hukum-wadhi-macam-macam-dan-contohnya-gmnt.
10
Hopipah dan Nurkholis, “TELAAH KLASIFIKASI HUKUM SYARA’ (HUKUM TAKLIFI DAN
HUKUM WADH`I).”
11
Nurul Mahmudah, Dkk, “Sinkronisasi_hukum_wadh’i_dengan_taklif,” El Ahli, (2020), h.
3.
5

Jadi kesimpulan dari definisi di atas, bahwa hukum wadh‟i adalah


hukum yang berkaitan dengan dua hal, yaitu sebab atas sesuatu,
sehingga menjadikan status hukum atas sesuatu yang disebabkan.
Sehingga hukum wadh‟i adalah perintah Allah yang berka itan dengan
penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi yang
lain. Sebagian ulama ushul fiqh yang lainnya, juga menambah macam
hukum wadh‟i dengan menambahkan tema sah, batal, dan rusak
(fasad).

2. Macam-Macam dan Contoh Hukum Wadh’i


Sebagaimana penjelasan definisi hukum wadh‟i di atas, hukum
wadh‟i terbagi kedalam beberapa macam ukuran hukum, berikut.
a) Sebab
Sebab adalah, sesuatu hal tertentu yang dijadikan sebagai
pangkal adanya hukum, artinya dengan adanya sebab maka
terwujudlah hukum. Sebab adalah sesuatu hal yang nyata lagi
pasti yang dijadikan sebagai pertanda hukum syara‟ yang
merupakan akibatnya.12
Sederhananya, hukum wadh'i adalah tanda hingga lahirnya
hukum Islam. Tanpa tanda (sebab) itu, seorang mukalaf tidak
dibebani hukum syariat. Contoh hukum wadh'i yang berkaitan
dengan sebab adalah ketika seseorang ahli ru‟yatul hilal
menyaksikan hilal 1 Ramadan, sehingga umat Islam diwajibkan
berpuasa. Berdasarkan hal itu, hilal adalah sebab bagi kewajiban
puasa.
b) Syarat
Yang dimaksud dengan Syarat adalah suatu komponen
hukum, yang apabila terpenuhi baru ada hukum, dan dengan

12
Nurul Mahmudah, Dkk, “Sinkronisasi_hukum_wadh’i_dengan_taklif,” El Ahli, (2020), h.
6.
6

ketiadaannya maka tidak ada hukum. 13 Sehingga, syarat adalah


hukum wadh'i yang menjadi pengiring suatu ibadah atau sahnya
hukum syariat Islam tersebut.
Sebagai misal, niat menjadi syarat sahnya puasa. Tanpa niat,
maka kedua perkara puasa itu batal dan dianggap tidak sah.
c) Mani‟ (Penghalang)
Mani‟ ialah sesuatu yang karena adanya tidak ada hukum
atau dapat membatalkan sebab hukum. Yakni, walaupun
seseorang dibebankan perkara syariat, namun karena adanya
penghalang, perkara itu menjadi batal.14
Misalnya orang gila, bahwa orang yang gila tidak termasuk
kategori orang mukalaf. Karena itu, ia tidak wajib mengqadha
puasa Ramadannya yang tidak ia kerjakan. Jadi, gila
adalah penghalang dari kewajiban dalam melaksanakan syari‟at
Islam.
d) Sah dan Batal
Sah dapat diartikan lepas tanggung jawab, atau gugurnya
kewajiban syari‟at. Misal shalat, dikatakan sah karena telah
dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara‟ dan telah
memenuhi syarat rukunnya. Sehingga dikatakan sah dan
mendatangkan pahala untuk akhirat seseorang. Sebaliknya, batal
diartikan dengan melepaskan tanggung jawab, tapi tidak
menggugurkan kewajiban seseorang atau kewajiban syari‟at.
Sehingga seseorang tetap harus mengganti/qadha kewajibannya
tersebut di waktu yang lain, sehingga memperoleh status sah. 15

13
Nurul Mahmudah, Dkk, “Sinkronisasi_hukum_wadh’i_dengan_taklif,” El Ahli, (2020), h.
9.
14
Nurul Mahmudah, Dkk, “Sinkronisasi_hukum_wadh’i_dengan_taklif,” El Ahli, (2020), h.
12.
15
Nurul Mahmudah, Dkk, “Sinkronisasi_hukum_wadh’i_dengan_taklif,” El Ahli, (2020), h.
14.
7

e) Azimah dan Rukhsah


Menurut Imam Al- Badhawi dalam Nurul Mahmudah,
Azimah adalah hukum- hukum yang disyari‟atkan oleh Allah
kepada seluruh Hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada
hukum sebelum hukum yang disyari‟atkan Allah, sehingga
seluruh mukallaf wajib mengikuti sejak hukum tersebut
disyarti‟atkan. Sedangkan Rukhsah adalah pengecualian dari
ketentuan hukum Azimah.16
Misal bagi hukum azimah adalah keadaan melaksanakan
shalat lima waktu. Pertama-tama, orang yang sehat maupun sakit
wajib melaksanakan shalat. Sehingga jika tak mampu salat dalam
keadaan berdiri, bisa salat dengan duduk, berbaring, hingga salat
dengan isyarat saja. Lalu terkait dengan jumlah rakaat shalat
Dluhur misalnya, yaitu empat rakaat. Ini adalah ketentuan pas
oleh Allah swt., namun berikutnya terdapat dalil
rukhsah/pengecualian. Yaitu terdapat dalil hukum yang mengatur
tentang dibolehkannya rakaat shalat Dluhur dua rakaat, bagi
orang musafir.

B. Hukum Taklifi
1. Pengertian Hukum Taklifi
Secara bahasa Taklifi berasal dari kalimat kallafa-yukallifu-
17
taklifan, yang artinya adalah beban. Dalam KBBI V, Taklif
dipersamakan makna dengan pekerjaan, tugas, dan perintah. 18 Secara
istilah, hukum taklifi berarti hukum yang berupa perintah, tuntutan,
dan pilihan kepada orang mukallaf (orang yang sudah baligh dan
memiliki kesadaran penuh bagi kehidupannya) untuk mengerjakan,

16
Nurul Mahmudah, Dkk, “Sinkronisasi_hukum_wadh’i_dengan_taklif,” El Ahli, (2020), h.
13.
17
Riza Pachrudin, “ANALISIS HUKUM TAKLIFI DAN PEMBAGIANNYA DALAM USHUL FIQH,”
Jurnal Staima, (2018), h. 2.
18
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan KEMENDIKBUD RI, “KBBI V Daring,”
diakses 24 Oktober 2023, https://github.com/yuku/kbbi4.
8

atau memilih antara mengerjakan syari‟at dan meninggalkannya.


Disebutkan tuntutan karena hukum taklifi menuntut seorang mukalaf
untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. 19
Ketaatan terhadap hukum tersebut merupakn wujud kesadaran
beragamanya.
2. Macam-Macam dan Contoh Hukum Taklifi
Jumhur Ulama‟ Ushul Fiqh sepakat membagi hukum taklifi
menjadi lima bagian, seperti yang telah dijelaskan di atas. Lima
macam hukum tersebut yang mempengaruhi perbuatan Muqallaf, dan
efek ini disebut al-ahkam al-khamsah oleh para ahli fikih: yaitu wajib,
haram, mandub, makruh, dan mubah.20
1. Wajib
Para ahli ushul dalam Muhtada Fikri yang dikutip oleh
Hopipah dan Mujiyo, memberikan definisi wajib sebagai apa yang
dituntutkan oleh syara‟ kepada mukallaf untuk mengerjakannya
secara pasti. 21 Sederhananya, hukum wajib merupakan ketentuan
perintah yang harus dilakukan oleh orang mukalaf sesuai petunjuk
yang telah ditentukan dengan konsekuensi akan mendatangkan
pahala jika dilakukan dan akan mendatangkan dosa jika
ditinggalkan. Contoh-contoh perkara wajib dalam Islam adalah
perintah salat lima waktu, puasa, serta zakat dan haji bagi yang
mampu.
2. Haram
Para ahli ushul mengatakan tentang haram ialah apa yang
dituntut oleh syara‟ untuk tidak melakukannya. 22 Haram dalam
pemahaman penyusun adalah tuntutan yang tegas dari Allah swt.
kepada orang mukalaf, berupa larangan untuk tidak mengerjakan

19
M Ridha Ds, “PERBANDINGAN HUKUM SYARA’ (Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i),”
Jurnal Stain Kerinci, (2012), h. 1.
20
Hopipah dan Nurkholis, “TELAAH KLASIFIKASI HUKUM SYARA’ (HUKUM TAKLIFI DAN
HUKUM WADH`I).”
21
Hopipah dan Nurkholis.
22
Hopipah dan Nurkholis.
9

suatu perbuatan. 23 Konsekuensi dari hukum haram ini adalah


seseorang yang mengerjakannya (melanggar larangan) akan
mendapat dosa dan kehinaan, sedangkan bagi yang
meninggalkannya akan mendapat pahala dan hikmah. Contoh-
contoh perilaku yang diharamkan adalah main (judi), mendem
(mabuk- mabukan dengan mengkonsumsi miras), madon (berzina),
maling/mencuri, madat (mabuk dengan sengaja menghisap
narkotika).
3. Mandub
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan mand ub
ialah sesuatu yang dituntutkan oleh syara‟ kepada mukalaf untu
melakukannya, namun masih terdapat kelonggaran (pilihan) di
24
dalam tuntutannya tuntutannya. Dengan kata lain, adalah
perintah Allah swt. yang derajat penuntutannya tidak sampai
kepada wajib, sehingga tidak mesti dikerjakan. Yakni segala
perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila
tidak dilakukan tidak akan dikenakan dosa. Contoh-contoh
perbuatan mandub adalah mengerjakan shalat sunnah rawatib,
salat duha, puasa di hari Senin dan Kamis, atau mengerjakan
sunnah-sunnah lainnya yang pernah dicontohkan kepada Nabi saw.
4. Makruh
Makruh adalah perintah Allah swt. yang mengandung
larangan agar seseorang tidak mengerjakannya, tetapi dalam
perintah ini tidak terdapat penegasan atas larangannya. 25 Artinya,
seorang mukalaf dilarang melakukan perbuatan yang dimakruhkan,
namun tidak dikenakan sanksi dosa walaupun mengerjakannya.
Contohnya adalah merokok, memakan makanan yang

23
Abdul Hadi, “Apa itu Hukum Taklifi, Macam-Macam, serta Contohnya dalam Islam,”
tirto.id, diakses 24 Oktober 2023, https://tirto.id/apa -itu-hukum-taklifi-macam-macam-serta-
contohnya-dalam-islam-gmkM.
24
Hopipah dan Nurkholis, “TELAAH KLASIFIKASI HUKUM SYARA’ (HUKUM TAKLIFI DAN
HUKUM WADH`I).”
25
Hopipah dan Nurkholis.
10

menimbulkan bau yang tidak sedap, dan berwudhu dengan lebih


dari tiga kali basuhan.
5. Mubah
Menurut Amir Syarifuddin dalam Hopipah dan Mujiyo,
bahwa hukum taklifi tentang mubah yaitu status hukum yang
memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan suatu amalan. Jadi, didalam hukum mubah ini
mengandung makna ibahah, yakni kebolehan. Sehingga tidak
terdapat tuntutan agar mengerjakan atau meninggalkan. 26 Di antara
contoh perbuatan mubah adalah tertawa, berdagang, dan lain
sebagainya yang dibolehkan.

26
Hopipah dan Nurkholis.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah ini bahwa hukum syara‟ adalah sebuah
ketetapan hukum oleh Allah swt. yang kemudian ketentuan-ketentuannya
diperoleh melalui ijtihad ulama‟ ahli fiqih. Meski dalam syariatnya, adalah
hakim (ulama‟ ahli fiqih) yang mengimplementasikan hukum untuk
menyelesaikan permasalahan di masyarakat.
Hukum syara‟ terbagi ke dalam dua bagian, yaitu hukum taklifi dan
hukum wadh‟i. Hukum taklifi lebih ke perintah untuk berbuat,
meinggalkan atau pilihan. Jumhur ulama sepakat ada lima pembagian
hukum taklifi, yaitu ijab, nadb, tahrim, karahah dan ibahah. Sedangkan
hukum wadh‟i adalah sesuatu perbuatan yang bisa menjadi sebab, syarat
dan penghalang terjadinya perbuatan hukum. Keduanya saling
berkesinambungan atau berkaitan satu sama lainnya meskipun memiliki
beberapa perbedaan yang prinsipal.
Penghargaan untuk penelitian kepustakaan ini penulis haturkan terima
kasih khususnya pada dosen pengampu mata kuliah Kaidah Penafsiran
Hadits Ahkam yaitu Pak Dr. Mujiyo Nurkholis yang telah membimbing
hingga penulis bisa menulis artikel terkait klasifikasi hukum syara‟ yaitu
hukum taklifi dan hukum wadh‟i.

11
DAFTAR PUSTAKA

“Surat An-Nisa Ayat 105 Arab. Latin. Terjemah Dan Tafsir | Baca Di TafsirWeb.”
diakses 21 Oktober 2023, https://tafsirweb.com/1637-surat-an-nisa-ayat-
105.html.
Dhaifina Fitriani. “Al-Ahkam: Kategori dan Implementasi Hukum.” Tawazu.
(2021). Vol. 4, no. 2.
Eva Nur Hopipah dan Mujiyo Nurkholis. “TELAAH KLASIFIKASI HUKUM
SYARA‟ (HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADH`I).” Ngaji. (2023).
Vol. 3, no. 1.
Nurul Mahmudah, Dkk. “Sinkronisasi_hukum_wadh‟i_dengan_taklif.” El Ahli.
(2020).
Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan KEMENDIKBUD RI. “KBBI V
Daring.” diakses 24 Oktober 2023. https://github.com/yuku/kbbi4.
“Apa itu Hukum Wadh‟i, Macam- macam, dan Contohnya,” tirto.id. diakses 22
Oktober 2023. https://tirto.id/apa- itu- hukum-wadhi- macam- macam-dan-
contohnya-gmnt.
Riza Pachrudin. “ANALISIS HUKUM TAKLIFI DAN PEMBAGIANNYA
DALAM USHUL FIQH.” Jurnal Staima. (2018).
M Ridha Ds. “PERBANDINGAN HUKUM SYARA‟ (Hukum Taklifi dan
Hukum Wadh‟i).” Jurnal Stain Kerinci. (2012).
Abdul Hadi. “Apa itu Hukum Taklifi, Macam-Macam, serta Contohnya dalam
Islam.” tirto.id. diakses 24 Oktober 2023. https://tirto.id/apa- itu- hukum-
taklifi- macam- macam-serta-contohnya-dalam- islam- gmkM.

12

Anda mungkin juga menyukai