OLEH:
Jadi makalah ini kami sususn dengan sebaik baik mungkin dan mengambil berbagai
refrensi yang ada di buku agar bisa mempercepat dalam pembuatan makalah ini sekaligus dapat
meyakinkan sipembaca dalam membaca makalah ini.
Akan tetapi setelah makalah ini selesai pastinya didalam makalah tersebut terdapat
berbagai kekurangan seperti dalam hal penyusunan kalimat maupun tata bahasanya, jadi kami
dengan senang hati memberikan kesempatan buat sipembaca agar memberikan saran dan kritik
dalam makalah ini yang berjudul berjudul PERADILAN dalam KONTEKS MODERN. Agar
kami yang menulis makalah ini dapat memperbaiki segala kekurangan yang ada dalam makalah
kami.
Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan
BAB II Pembahasan
A. Kesimpulan .......................................................................................................
B. Saran .................................................................................................................
Sejak saat itu dalam domain ilmu pengetahuan termasuk juga ilmu hukum, penghambaan
terhadap logika (rasionaltas) menjadi sesuatu yang kramat. Di luar pikiran-pikiran rasional tidak
di anggap sebagai sebuah kebenaran ilmiah, padahal kebenaran dan ralitas hakiki tidak bisa di
tangkap dengan panca inderan atau pikiran rasional semata, di situlah di butuhkan hadirnya
nurani atau kalbu. Seikh Husen Nasr, menyatakan hukum modern telah tercabut dari akar
hakekat eksistensi manusia, hukum modern sebagai bentuk matang dari positifsme menjadi
kehilangan ciri kemanusiaannya yang utuh, ketika akal (rasio) di perankan melampaui batas-
batas yang di proporsionalkan dengan mengabaikan wilayah-wilayah yang paling substansial,
yaitu kalbu1.
Dalam logika hukum modern yang di anggap hukum adalah keputusan badan-badan
yang berwenang, di luar itu tidak di anggap hukum, kecuali memperoleh izin dari hukum negara
tersebut, rezim yang telah ada sebelumnya seperti tatanan kearifan lokal atau hukum adat
(hukum Islam) hanya akan berlaku apabila hukum negara tegas-tegas memberi izin untuk itu2.
B. Rumusan Masalah
1. Peradilan Islam dalam konteks kemoderenan
2. Korelasi Peradilan islam modern dengan perkembangan IPTEK, dan hukum modern
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Peradilan Islam dalam dalam konteks kemoderenan
2. Untuk Mengetahui Korelasi Peradilan islam modern dengan perkembangan IPTEK, dan
hukum modern
BAB II
1
Sudjito, Paradigma Holisitk Dalam Ilmu Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Sebagai Genuine Science,
Yogyakrata: Mimbar Hukum FH UGM, 50/VII/2005. hlm. 163.
2
Satjipto Rahadjo (2004), op. cit, hlm. 24.
PEMBAHASAN
A. Peradilan islam dalam konteks kemoderenan
Pada kali ini kita akan melihat substansi sistem peradilan berbasis agama. Utamanya
dalam konteks sistem hukum dunia modern.
Baiklah. Hukum Islam bukalah istilah yang populer dalam tradisi Islam awal. Ini adalah
konsep yang sama sekali baru. Sehingga, ketika disebut kata hukum Islam, maka harus ditelisik
lebih lanjut apa yang dimaksudkan istilah tersebut. Lantas, bagaimana cara kerja sistem hukum
di peradilan berbasis agama Modern ini?
Istilah hukum modern ini merujuk pada berbagai peraturan atau norma yang telah ada
maupun yang sengaja dibuat untuk mengatur tingkah laku individu dalam suatu masyarakat. Dan
itu ditegakkan oleh kekuasaan. Sedangkan istilah Islam merujuk pada agama Islam itu sendiri.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Istilah hukum Islam merupakan peraturan legal-positif
yang digali dari prinsip-prinsip Islam yang diberlakukan pada suatu masyarakat oleh kekuasaan.
Satu hal yang menjadi ciri hukum Islam adalah bahwa hukum Islam bersumber pada
Islam itu sendiri, baik syariah maupun fikih. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum
Islam merujuk pada syariah dan atau fikih yang dipositifkan, sehingga bersifat mengikat bagi
masyarakat.
Mengikat dalam konteks ini adalah bahwa, ada konsekuensi tertentu bagi yang tidak
menjalankan. Dengan demikian, pengertian hukum Islam disini kiranya lebih dekat
kepada qanun dalam pengertian Islam klasik. Meskipun kadang, juga merujuk pada syariah atau
fikih.
Banyak kalangan yang mempersoalkan qanun di Aceh. Para aktifis HAM banyak yang
mengecam dalam kaitannya dengan hudud dan sejenisnya. Bahkan qanun Aceh ini biasanya
disebut perda bernuansa agama atau bahkan perda diskriminatif.
Terlepas dari persoalan tersebut, ulasan ini hendak memberi ilustrasi tentang hukum
Islam. Contoh selain qanun Aceh adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI merupakan
akumulasi fikih yang telah mengalami positivisasi sebagaimana qanun.
Ketiga ayat di atas saya kutip secara keseluruhan untuk memberikan gambaran yang
jelas. Ketiga ayat itulah, dan juga masih banyak ayat sejenis ini, yang biasanya digunakan oleh
beberapa kalangan untuk bersikeras bahwa manusia harus memakai hukum Allah. Namun,
bisakah dipastikan apa yang dimaksud hukum Allah tersebut?
Apa yang dianggap sebagai hukum Allah pengertiannya sangat bias. Bahkan jika yang
dimaksud adalah Al-Quran dan Sunnah (hadits), itu tentu telah bersentuhan dengan berbagai
subyektifitas, metodologi, pemahaman, ideologi, bias kepentingan, latar sosiokultural, dan lain
sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Inilah yang disebut oleh Jaseer Auda dengan interest and competent worldview. Jika iya,
maka di era Modern ini, tentu membutuhkan kajian yang lebih mendalam dan berbagai
pendekatan baru terhadap ketentuan-ketentuan dalam kedua sumber tersebut sebelum
diberlakukan.
Persoalan lain yang cukup signifikan untuk didiskusikan di sini adalah bahwa dalam
konsep hukum Islam, terdapat dua tradisi yang saling bertentangan. Yakni tradisi teologis-
metafisis dan tradisi positivisme.
Persoalan teologi adalah persoalan kebebasan pikiran. Persoalan teologi adalah persoalan
kekuatan argumentasi. Artinya, secara teologis, orang boleh mengajukan diskursus apapun
dengan berbagai argumen mereka masing-masing. Inilah tradisi Islam awal. Sehingga pada Islam
awal, apa yang disebut hukum adalah apa yang diucapkan Nabi. Al hukmu fii lisaani An-Nabi.
Pada masa berikutnya. Hukum berada di lisan para ulama. Itulah mengapa kita akan menemui
berbagai pendapat yang sangat variatif tentang satu persoalan. Inilah yang kemudian disebut
dengan istilah khilafiyah. Dalam tradisi yang demikian, setiap orang boleh mengajukan diskursus
teologis dengan berbagai argumentasi mereka. Karena teologi adalah persoalan argumen.
Argumentasi berada dalam pikiran. Pikiran adalah tempatnya kebebasan. Kita tidak dapat
melarang orang untuk memikirkan atau tidak memikirkan suatu hal. Itulah faktanya.
Kedua, tentang filsafat positivisme. Apa yang disebut hokum Modern ini tidak lepas dari
pengaruh filsafat positivisme ala Auguste Comte. Seorang filsuf berkebangsaan Prancis. Apa itu
positivisme? Dalam perspektif Comte, positivisme artinya memotong aspek teologis-metafisis
dari sebuah diskursus. Sehingga yang tersisa adalah aspek positif dari diskursus tersebut. Itulah
yang kemudian berpengaruh pada paradigma hukum Modern ini.
Hal ini mungkin memberi konsekuensi yang cukup serius terhadap hukum Islam yang
telah mengalami positivisasi. Sebut saja qanun atau juga KHI dan sejenisnya. Kita tidak bisa
membawa diskursus teologis-metafisis untuk membicarakan satu pasalpun dalam qanun atau
KHI. Karena aspek metafisi-teologisnya telah dipotong.
Dalam konteks positivisme hukum, seseorang tidak bisa menafsirkan suatu pasalpun
secara teologis ataupun metafisis. Jika itu dilakukan, yang terjadi justru kemunduran jika bukan
kekacauan. Artinya, jika kita membicarakan qisas atau hudud dalam qanun misalnya, itu sama
sekali tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Begitu juga syarat-syarat perkawinan dalam KHI
misalnya, juga tidak ada kaitanya dengan Tuhan. Dan seterusnya. Itulah konsekuensiya.
Positivisasi hukum Islam juga berdampak pada cara kerja para praktisi hukum Islam.
Dalam dunia peradilan berbasis agama misalnya, para hakim mesti dituntut untuk bekerja dengan
paradigma positifistik. Artinya, untuk mengajukan suatu diskursus, seorang hakim mesti ditagih
argumen positifnya. Mereka akan ditanya pasal berapa dan dalam regulasi mana pasal yang
digunakan. Bukan bagaimana pandangan Tuhan tentang hal itu. Meskipun, pikiran-pikiraan
teologis-metafisis dalam pikiran mereka itu ada.3
B. Korelasi Peradilan islam modern dengan perkembangan IPTEK, dan hukum modern
Kita sudah mendiskusikan bagaimana konteks dunia modern. Kemudian juga peradilan
berbasis agama dalam konteks dunia modern. Pada bagian ini, kita akan melihat bagaimana
kemungkinan badan peradilan di tengah badai modernitas.
Kemudian, senada dengan itu, kebijakan-kebijakan Badan Peradilan Agama yang yang
sangat getol untuk mengadaptasi teknologi juga merepresentasikan upaya untuk beradaptasi
dengan iklim dunia modern. Kita bisa sebut satu demi satu, misalnya Aplikasi Notifikasi Perkara,
Aplikasi Informasi Produk Peradilan, Aplikasi Antrian Sidang, Aplikasi Basis Data Terpadu
Kemiskinan, Command Center, Aplikasi PNBP Fungsional, Aplikasi E-eksaminasi, Aplikasi E-
Register, Aplikasi E-Keuangan, Aplikasi Validasi Akta Cerai, dan Aplikasi Gugatan Mandiri.
Sangat terlihat, itu adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk beradaptasi dengan iklim dunia
modern.
3
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peradilan-modern-berbasis-e-court-upaya-mengais-
probabilitas-di-tengah-modernitas
Kebijakan-kebijakan semacam itu adalah upaya untuk mengadaptasi kemajuan teknologi.
Dengan itu rangkaian proses yang memerlukan waktu, biaya, dan energi bisa dipangkas. Tanpa
mengurangi substansi yang ingin dihadirkan.
Bisa dikatakan bahwa aksi-aksi itu adalah upaya untuk memastikan kemungkinan badan
peradilan tetap eksis dalam iklim dunia modern. Saya sebut itu dengan probabilitas.
Kemungkinan yang terukur. Karena itu adalah upaya-upaya adaptasi yang dilakukan dengan ide
yang disertai analisis dan perbaikan terus-menerus.
BAB III
PENUTUP
4
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peradilan-modern-berbasis-e-court-upaya-mengais-
probabilitas-di-tengah-modernitas
A. Kesimpulan
Istilah hukum modern ini merujuk pada berbagai peraturan atau norma yang telah ada
maupun yang sengaja dibuat untuk mengatur tingkah laku individu dalam suatu masyarakat. Dan
itu ditegakkan oleh kekuasaan. Sedangkan istilah Islam merujuk pada agama Islam itu sendiri.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Istilah hukum Islam merupakan peraturan legal-positif
yang digali dari prinsip-prinsip Islam yang diberlakukan pada suatu masyarakat oleh kekuasaan.
Satu hal yang menjadi ciri hukum Islam adalah bahwa hukum Islam bersumber pada
Islam itu sendiri, baik syariah maupun fikih. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum
Islam merujuk pada syariah dan atau fikih yang dipositifkan, sehingga bersifat mengikat bagi
masyarakat.
B. Saran
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peradilan-modern-
berbasis-e-court-upaya-mengais-probabilitas-di-tengah-modernitas