Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Peradilan dalam Konteks Hukum Modern

OLEH:

Muhammad Akmal Yasir 11000119040


Andi Iwan Wahyudi 11000119047

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM ALAUDDIN MAKASSAR
2021
Kata Pengantar
Pertama Tama mari kita panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan kita nikmat baik itu nikmat umur maupun nikmat kesehatan dan paling utama
nikmat iman sehingga pada saat ini kita masih dapat diberikan kesempatan sehingga kita dapat
menyusun dan menyelesaikan sebuah makalah ini yang berjudul PERADILAN dalam
KONTEKS MODERN.

Jadi makalah ini kami sususn dengan sebaik baik mungkin dan mengambil berbagai
refrensi yang ada di buku agar bisa mempercepat dalam pembuatan makalah ini sekaligus dapat
meyakinkan sipembaca dalam membaca makalah ini.

Akan tetapi setelah makalah ini selesai pastinya didalam makalah tersebut terdapat
berbagai kekurangan seperti dalam hal penyusunan kalimat maupun tata bahasanya, jadi kami
dengan senang hati memberikan kesempatan buat sipembaca agar memberikan saran dan kritik
dalam makalah ini yang berjudul berjudul PERADILAN dalam KONTEKS MODERN. Agar
kami yang menulis makalah ini dapat memperbaiki segala kekurangan yang ada dalam makalah
kami.

Semoga dalam penulisan makalah yang berjudul berjudul PERADILAN dalam


KONTEKS MODERN. Dapat memberikan manfaat bagi sipembaca dan mengamalkan dengan
sebaik baik mungkin.

Samata,5 Oktober 2021

Kelompok 1
DAFTAR ISI

Halaman Sampul .........................................................................................................

Kata Pengantar ............................................................................................................

Daftar Isi .....................................................................................................................

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang .................................................................................................


B. Rumusan Masalah ............................................................................................
C. Tujuan ...............................................................................................................

BAB II Pembahasan

A. Peradilan Islam dalam Konteks Modern ..........................................................


B. Korelasi Peradilan Islam modern dengan perkembangan IPTEK dan Hukum
Modern .............................................................................................................

BAB III Penutup

A. Kesimpulan .......................................................................................................
B. Saran .................................................................................................................

Daftar Pustaka .............................................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sejak saat itu dalam domain ilmu pengetahuan termasuk juga ilmu hukum, penghambaan
terhadap logika (rasionaltas) menjadi sesuatu yang kramat. Di luar pikiran-pikiran rasional tidak
di anggap sebagai sebuah kebenaran ilmiah, padahal kebenaran dan ralitas hakiki tidak bisa di
tangkap dengan panca inderan atau pikiran rasional semata, di situlah di butuhkan hadirnya
nurani atau kalbu. Seikh Husen Nasr, menyatakan hukum modern telah tercabut dari akar
hakekat eksistensi manusia, hukum modern sebagai bentuk matang dari positifsme menjadi
kehilangan ciri kemanusiaannya yang utuh, ketika akal (rasio) di perankan melampaui batas-
batas yang di proporsionalkan dengan mengabaikan wilayah-wilayah yang paling substansial,
yaitu kalbu1.
Dalam logika hukum modern yang di anggap hukum adalah keputusan badan-badan
yang berwenang, di luar itu tidak di anggap hukum, kecuali memperoleh izin dari hukum negara
tersebut, rezim yang telah ada sebelumnya seperti tatanan kearifan lokal atau hukum adat
(hukum Islam) hanya akan berlaku apabila hukum negara tegas-tegas memberi izin untuk itu2.

B. Rumusan Masalah
1. Peradilan Islam dalam konteks kemoderenan
2. Korelasi Peradilan islam modern dengan perkembangan IPTEK, dan hukum modern
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Peradilan Islam dalam dalam konteks kemoderenan
2. Untuk Mengetahui Korelasi Peradilan islam modern dengan perkembangan IPTEK, dan
hukum modern

BAB II
1
Sudjito, Paradigma Holisitk Dalam Ilmu Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum Sebagai Genuine Science,
Yogyakrata: Mimbar Hukum FH UGM, 50/VII/2005. hlm. 163.
2
Satjipto Rahadjo (2004), op. cit, hlm. 24.
PEMBAHASAN
A. Peradilan islam dalam konteks kemoderenan
Pada kali ini kita akan melihat substansi sistem peradilan berbasis agama. Utamanya
dalam konteks sistem hukum dunia modern.

Baiklah. Hukum Islam bukalah istilah yang populer dalam tradisi Islam awal. Ini adalah
konsep yang sama sekali baru. Sehingga, ketika disebut kata hukum Islam, maka harus ditelisik
lebih lanjut apa yang dimaksudkan istilah tersebut. Lantas, bagaimana cara kerja sistem hukum
di peradilan berbasis agama Modern ini?

Istilah hukum modern ini merujuk pada berbagai peraturan atau norma yang telah ada
maupun yang sengaja dibuat untuk mengatur tingkah laku individu dalam suatu masyarakat. Dan
itu ditegakkan oleh kekuasaan. Sedangkan istilah Islam merujuk pada agama Islam itu sendiri.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Istilah hukum Islam merupakan peraturan legal-positif
yang digali dari prinsip-prinsip Islam yang diberlakukan pada suatu masyarakat oleh kekuasaan.

Satu hal yang menjadi ciri hukum Islam adalah bahwa hukum Islam bersumber pada
Islam itu sendiri, baik syariah maupun fikih. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum
Islam merujuk pada syariah dan atau fikih yang dipositifkan, sehingga bersifat mengikat bagi
masyarakat.

Mengikat dalam konteks ini adalah bahwa, ada konsekuensi tertentu bagi yang tidak
menjalankan. Dengan demikian, pengertian hukum Islam disini kiranya lebih dekat
kepada qanun dalam pengertian Islam klasik. Meskipun kadang, juga merujuk pada syariah atau
fikih.

Karakter dari pada qanun sarat akan muatan legal-positif. Sementara fiqih maupun


syariah selalu berkutat pada wilayah etik sekaligus teologis metafisis. Karena
pada qanun terdapat perangkat yang mengawalnya. Adapun syariah ataupun fiqih lebih syarat
akan muatan etik.

Sebuah wilayah di Indonesia yang menerapkan qanun adalah Aceh. Dalam sistem hukum


kontemporer dalam konteks nation state, qanun tersebut setara dengan peraturan daerah (Perda).
Dalam kasus ini, telah jelas bahwa itu adalah fiqih dan atau syariah yang telah mengalami
positivisasi. Mereka yang berada dalam wilayah tersebut terikat dengan qanun tersebut.
Meskipun dalam beberapa kasus, qanun tersebut terus dipersoalkan karena dianggap
diskriminatif.

Banyak kalangan yang mempersoalkan qanun di Aceh. Para aktifis HAM banyak yang
mengecam dalam kaitannya dengan hudud dan sejenisnya. Bahkan qanun Aceh ini biasanya
disebut perda bernuansa agama atau bahkan perda diskriminatif.

Terlepas dari persoalan tersebut, ulasan ini hendak memberi ilustrasi tentang hukum
Islam. Contoh selain qanun Aceh adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI merupakan
akumulasi fikih yang telah mengalami positivisasi sebagaimana qanun. 

Hukum Islam dalam pengertian qanun maupun KHI diterapkan dengan basis


kepercayaan. Umat Islam percaya bahwa hukum Allah adalah hukum yang benar. Karena itu
hukum tersebut harus diterapkan. Ada beberapa ayat yang biasanya dipakai sebagai argumen
dalam hal ini. Misalnya, dalam Al-Quran surat  Al Maidah ayat 44 yang artinya: “Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),
yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah
diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya.
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah
kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Q.S. Al
Maidah: 44)

Begitu juga Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 45 yang Artinya: “Dan Kami telah tetapkan


terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim” (Q.S Al-Maidah: 45)
Juga Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 47 yang artinya: “Dan hendaklah orang-orang pengikut
Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang fasik” (Q.S. Al Maidah: 47)

Ketiga ayat di atas saya kutip secara keseluruhan untuk memberikan gambaran yang
jelas. Ketiga ayat itulah, dan juga masih banyak ayat sejenis ini, yang biasanya digunakan oleh
beberapa kalangan untuk bersikeras bahwa manusia harus memakai hukum Allah. Namun,
bisakah dipastikan apa yang dimaksud hukum Allah tersebut?

Apa yang dianggap sebagai hukum Allah pengertiannya sangat bias. Bahkan jika yang
dimaksud adalah Al-Quran dan Sunnah (hadits), itu tentu telah bersentuhan dengan berbagai
subyektifitas, metodologi, pemahaman, ideologi, bias kepentingan, latar sosiokultural, dan lain
sebagainya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Inilah yang disebut oleh Jaseer Auda dengan interest and competent worldview. Jika iya,
maka di era Modern ini, tentu membutuhkan kajian yang lebih mendalam dan berbagai
pendekatan baru terhadap ketentuan-ketentuan dalam kedua sumber tersebut sebelum
diberlakukan.

Persoalan lain yang cukup signifikan untuk didiskusikan di sini adalah bahwa dalam
konsep hukum Islam, terdapat dua tradisi yang saling bertentangan. Yakni tradisi teologis-
metafisis dan tradisi positivisme.

Pertama, tradisi teologis-metafisis. Paradigma atau tabiat dari Islam bersifat teologis


sekaligus metafisis. Artinya kita diajak untuk membayangkan dalam pikiran kita
bagaimana Tuhan sedang berbicara. Kemudian kita mencerna sabda tersebut untuk kemudian
diucapkan ulang. Ini adalah persoalan teologi.

Persoalan teologi adalah persoalan kebebasan pikiran. Persoalan teologi adalah persoalan
kekuatan argumentasi. Artinya, secara teologis, orang boleh mengajukan diskursus apapun
dengan berbagai argumen mereka masing-masing. Inilah tradisi Islam awal. Sehingga pada Islam
awal, apa yang disebut hukum adalah apa yang diucapkan Nabi. Al hukmu fii lisaani An-Nabi.
Pada masa berikutnya. Hukum berada di lisan para ulama. Itulah mengapa kita akan menemui
berbagai pendapat yang sangat variatif tentang satu persoalan. Inilah yang kemudian disebut
dengan istilah khilafiyah. Dalam tradisi yang demikian, setiap orang boleh mengajukan diskursus
teologis dengan berbagai argumentasi mereka. Karena teologi adalah persoalan argumen.
Argumentasi berada dalam pikiran. Pikiran adalah tempatnya kebebasan. Kita tidak dapat
melarang orang untuk memikirkan atau tidak memikirkan suatu hal. Itulah faktanya.

Mungkin, akan ada yang menyangkal bahwa teologi dalam Islam harus


memenuhi standar tertentu. Namun, diakui atau tidak, disengaja atau tidak, tabiat pikiran adalah
kebebasan. Itulah mengapa sah-sah saja para ulama berbeda pendapat bahkan hanya karena
perbedaan penafsiran satu bentuk kata saja dalam Al-Quran, akan dapat menuai banyak
perbedaan pendapat. Ini biasa saja.

Kedua, tentang filsafat positivisme. Apa yang disebut hokum Modern ini tidak lepas dari
pengaruh filsafat positivisme ala Auguste Comte. Seorang filsuf berkebangsaan Prancis. Apa itu
positivisme? Dalam perspektif Comte, positivisme artinya memotong aspek teologis-metafisis
dari sebuah diskursus. Sehingga yang tersisa adalah aspek positif dari diskursus tersebut. Itulah
yang kemudian berpengaruh pada paradigma hukum Modern ini.

Tradisi ini berbanding terbalik dengan tradisi pertama. Yakni tradisi teologi-metafisis


dalam Islam. Yang dikehendaki dari tradisi positivisme adalah kepastian. Sementara itu, teologi
dan metafisis adalah ketidakpastian. Di sini kontradiksinya.

Bagaimana dengan hukum Islam yang telah mengalami positivisasi? Kembali pada


Comte. Positivisasi artinya memotong aspek teologis-metafisis dari sebuah diskursus. Sehingga
yang tersisa adalah aspek positifnya.

Hal ini mungkin memberi konsekuensi yang cukup serius terhadap hukum Islam yang
telah mengalami positivisasi. Sebut saja qanun atau juga KHI dan sejenisnya. Kita tidak bisa
membawa diskursus teologis-metafisis untuk membicarakan satu pasalpun dalam qanun atau
KHI. Karena aspek metafisi-teologisnya telah dipotong.

Dalam konteks positivisme hukum, seseorang tidak bisa menafsirkan suatu pasalpun
secara teologis ataupun metafisis. Jika itu dilakukan, yang terjadi justru kemunduran jika bukan
kekacauan. Artinya, jika kita membicarakan qisas atau hudud dalam qanun misalnya, itu sama
sekali tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Begitu juga syarat-syarat perkawinan dalam KHI
misalnya, juga tidak ada kaitanya dengan Tuhan. Dan seterusnya. Itulah konsekuensiya.

Positivisasi hukum Islam juga berdampak pada cara kerja para praktisi hukum Islam.
Dalam dunia peradilan berbasis agama misalnya, para hakim mesti dituntut untuk bekerja dengan
paradigma positifistik. Artinya, untuk mengajukan suatu diskursus, seorang hakim mesti ditagih
argumen positifnya. Mereka akan ditanya pasal berapa dan dalam regulasi mana pasal yang
digunakan. Bukan bagaimana pandangan Tuhan tentang hal itu. Meskipun, pikiran-pikiraan
teologis-metafisis dalam pikiran mereka itu ada.3

B. Korelasi Peradilan islam modern dengan perkembangan IPTEK, dan hukum modern
Kita sudah mendiskusikan bagaimana konteks dunia modern. Kemudian juga peradilan
berbasis agama dalam konteks dunia modern. Pada bagian ini, kita akan melihat bagaimana
kemungkinan badan peradilan di tengah badai modernitas.

Secara teknis, pengembangan peradilan berbasis elektronik (E-Court) terlihat dalam


kebijakan badan peradilan. Sebut saja misalnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1
Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara di Persidangan Secara Elektronik. Peraturan ini
adalah upaya penyesuaian badan peradilan dengan gelombang pasang modernitas. Kita tidak
masuk ke persoalan teknis aplikatifnya. Tapi, bisa dilihat bahwa secara umum peraturan itu
mengadaptasi serangkaian proses, baik administrasi maupun persidangan dengan kemajuan
teknologi. Ini menunjukkan upaya untuk mengadaptasi dunia peradilan iklim dunia modern.

Kemudian, senada dengan itu, kebijakan-kebijakan Badan Peradilan Agama yang yang
sangat getol untuk mengadaptasi teknologi juga merepresentasikan upaya untuk beradaptasi
dengan iklim dunia modern. Kita bisa sebut satu demi satu, misalnya Aplikasi Notifikasi Perkara,
Aplikasi Informasi Produk Peradilan, Aplikasi Antrian Sidang, Aplikasi Basis Data Terpadu
Kemiskinan, Command Center, Aplikasi PNBP Fungsional, Aplikasi E-eksaminasi, Aplikasi E-
Register, Aplikasi E-Keuangan, Aplikasi Validasi Akta Cerai, dan Aplikasi Gugatan Mandiri.
Sangat terlihat, itu adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk beradaptasi dengan iklim dunia
modern.
3
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peradilan-modern-berbasis-e-court-upaya-mengais-
probabilitas-di-tengah-modernitas
Kebijakan-kebijakan semacam itu adalah upaya untuk mengadaptasi kemajuan teknologi.
Dengan itu rangkaian proses yang memerlukan waktu, biaya, dan energi bisa dipangkas. Tanpa
mengurangi substansi yang ingin dihadirkan.   

Dalam pengelolaan perkara, Mahkamah Agung sebagai badan peradilan juga


mengadaptasi teknologi terintegrasi. Yaitu Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara
(SIPP). Semua badan peradilan di bawahnya menggunakan sistem ini dalam pengelolaan
perkara. Sistem ini adalah sistem terintegrasi. Baik secara vertikal maupun horizontal. Yang
artinya, seluruh elemen yang bersentuhan dengan perkara menggunakan sistem ini dalam
pengelolaan perkara. Selain itu, baik pengadilan tingkat banding maupun tingkat direktorat juga
bisa melakukan pemantauan kinerja penanganan perkara melalui sistem ini. Ini langkah adaptasi
teknologi yang luar biasa.     

Kemudian, pasca merangseknya Covid-19, prosesi tes calon pimpinan di lingkup


Peradilan Agama juga dilakukan dengan mengadaptasi teknologi. Berdasarkan keterangan Bapak
Direktur Jendral Badan Peradilan Agama dalam salah satu sambutan, ini adalah yang pertama
dilakukan. Sehingga, menjadi rujukan badan peradilan lain.

Bisa dikatakan bahwa aksi-aksi itu adalah upaya untuk memastikan kemungkinan badan
peradilan tetap eksis dalam iklim dunia modern. Saya sebut itu dengan probabilitas.
Kemungkinan yang terukur. Karena itu adalah upaya-upaya adaptasi yang dilakukan dengan ide
yang disertai analisis dan perbaikan terus-menerus.

Jadi, E-Court harus dipahami secara luas. Yaitu penyelenggaraan peradilan dengan


mengadaptasi kemajuan teknologi, dalam upaya untuk tetap eksis dalam iklim dunia modern.
Dan upaya untuk itu tampaknya sudah dilakukan.4

BAB III
PENUTUP

4
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peradilan-modern-berbasis-e-court-upaya-mengais-
probabilitas-di-tengah-modernitas
A. Kesimpulan
Istilah hukum modern ini merujuk pada berbagai peraturan atau norma yang telah ada
maupun yang sengaja dibuat untuk mengatur tingkah laku individu dalam suatu masyarakat. Dan
itu ditegakkan oleh kekuasaan. Sedangkan istilah Islam merujuk pada agama Islam itu sendiri.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Istilah hukum Islam merupakan peraturan legal-positif
yang digali dari prinsip-prinsip Islam yang diberlakukan pada suatu masyarakat oleh kekuasaan.

Satu hal yang menjadi ciri hukum Islam adalah bahwa hukum Islam bersumber pada
Islam itu sendiri, baik syariah maupun fikih. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hukum
Islam merujuk pada syariah dan atau fikih yang dipositifkan, sehingga bersifat mengikat bagi
masyarakat.

Secara teknis, pengembangan peradilan berbasis elektronik (E-Court) terlihat dalam


kebijakan badan peradilan. Sebut saja misalnya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1
Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara di Persidangan Secara Elektronik. Peraturan ini
adalah upaya penyesuaian badan peradilan dengan gelombang pasang modernitas. Kita tidak
masuk ke persoalan teknis aplikatifnya. Tapi, bisa dilihat bahwa secara umum peraturan itu
mengadaptasi serangkaian proses, baik administrasi maupun persidangan dengan kemajuan
teknologi. Ini menunjukkan upaya untuk mengadaptasi dunia peradilan iklim dunia modern.

B. Saran

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas serta mengingat besarnya peran Peradilan di


era modern ini dalam Menyelesaikan suatu masalah maka harapannya setiap Peradilan
senangtiasa mengoptimalkan Tugas tersebut demi tercapainya keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Sudjito, Paradigma Holisitk Dalam Ilmu Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum
Sebagai Genuine Science, Yogyakrata: Mimbar Hukum FH UGM, 50/VII/2005.
hlm. 163.

Satjipto Rahadjo (2004), op. cit, hlm. 24.

https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peradilan-modern-
berbasis-e-court-upaya-mengais-probabilitas-di-tengah-modernitas

Anda mungkin juga menyukai