Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ASAS – ASAS HUKUM ISLAM


Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2

1. Dina Riski Amalia_D10121430

2. Devi Permatasari_D10121537

3. Indah puspita loulembah_D10121064

4. Billy Petra Barambula_D10121339

5. Nabilah Joelyani Putri Solaiman_ D10121237

6. Miftahul Rizqa_D10121018

7. Ferdi Wibowo_D10121052

8. NuhraLala Aulia_D10121372

9. Lastiani Pakidi_D10121431

10. Delfika Agustin Ayub_D10121709


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji dan syukur seraya kami


panjatkan kehadirat Illahi Robbi yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asas – Asas
Hukum Islam” ini tepat waktu. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas
mata kuliah Hukum Islam. Sehubungan dengan tersusunnya makalah ini kami
menyampaikan terima kasih kepada Bapak H. Ashar Ridwan, Lc.,MA selaku
dosen pengampu mata kuliah Hukum Islam. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kami dan pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat
kekurangan dan kelebihan. Namun kami tetap mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif sehingga bisa menjadi acuan dalam penyusunan makalah
selanjutnya.

Palu, 28 April 2022

Kelompok 2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................................................

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................

BAB I..................................................................................................................................................

PENDAHULUAN.............................................................................................................................

1.1 LatarBelakang................................................................................................................
1.2 RumusanMasalah..........................................................................................................
1.3 TujuanPenelitian............................................................................................................

BAB II................................................................................................................................................

PEMBAHASAN................................................................................................................................

2.1 PengertianAsasHukum Islam.........................................................................................


2.2 Asas-Asas Yang TerdapatDalamHukum Islam..............................................................
2. 3Asas-Asas Yang BerlakuDalamHukumPidana...............................................................
2.4PengertianMengenaiAsasHukumPerdata, Perkawinan Dan Kewarisan..........................
2.5 PenerapanAsas-AsasHukum Islam...............................................................................

BAB III...............................................................................................................................................

PENUTUP..........................................................................................................................................

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................
3.2 Saran..............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

1.1 Latar Belakang

Asas atau prinsip hukum merupakan sesuatu yang sangat penting sebab
adanya asas dipergunakan untuk tumpuan berfikir dalam pelaksanaan dan
penegakan hukum. Dalam pandangan Islam, Al-Qur‟an adalah sumber utama
dan sempurna yang mencakup seluruh aspek kehidupan (universal). Secara
substantif, Islam memiliki nilai-nilai yang sama dengan asas-asas dalam
bernegara dan berhukum. Adanya “kalimatun sawa” atau kesamaan pandangan
menjadikan nilai-nilai dalam Islam dapat berlaku dan diterima pada hukum
modern.

Asas hukum Islam berasal dari sumber hukum Islam terutama Al-Qur‟an
dan Al-Hadis yang dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat
untuk berijtihad. Dalam Islam, pada dasarnya Al-Qur‟an memang bukanlah
suatu sistem perundang-undangan, melainkan hanya memberikan norma-norma
belaka untuk suatu sistem peraturan perundang-undangan. Islam telah
mengatur dan mengajarkan secara tegas berkaitan dengan asas-asas atau nilai-
nilai dasar dalam bernegara dan berhukum yang dapat bahkan telah ditetapkan
sebagai asas di dalam negara-negara modern karena sifatnya yang universal dan
sesuai dengan fitrah manusia. Oleh karena demikian, asas-asas tersebut dapat
sejalan dengan asas-asas yang berlaku dan diterima oleh berbagai golongan.

1.2 Rumusan masalah

1. apa Pengertian asas hukum islam?

2. apa saja Asas yang terdapat dalam hukum Islam?

3.apa saja asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana?


4. apa itu asas hukum pidana, perdata, perkawinan dan kewarisan?

5. Fungsi asas-asas hukum islam?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apa itu asas hukum islam

2. Untuk mengetahui asas yang terdapat dalam hukum islam

3. Untuk mengetahui apa saja asas-asaa yang berlaku dalam hukum pidana

4. Untuk mengetahui apa itu asaa hukum perdata, hukum perkawinan dan
kewarisan

5. Untuk mengetahui Bagaimana penerapan asas-asas hukum islam


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian asas menurut para ahli

asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa
menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya, yang diterapkan
pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan
itu.

Penjelasan konsep asas di atas, menekankan bahwa konsep asas dapat


diartikan sebagai sebuah kerangka pemikiran dasar yang abstrak, karena belum
memberikan metode yang khusus atau konkrit dalam pelaksanaanya. Asas
secara eksplisit berkaitan erat dengan hukum, kata asas dan hukum dapat
dimaknai sebagai gejala normatif yang menghendaki adanya bentuk hukum yang
konkrit seperti Undang-Undang.

2.2 Pengertian Asas Hukum Islam

Asas hukum islam tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan


suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan
peraturan selanjutnya. Asas pula yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan
berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hukum itu bukan sekedar
kumpulan peraturan belaka, karena asas mengandung nilai-nilai dan tuntunan-
tuntunan etis. Asas merupakan prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau landasan
pembuatan suatu peraturan, kebijakan dan keputusan mengenai aktifitas hidup
manusia.

Asas hukum Islam merupakan dasar atau pondasi bagi kebenaran yang
dipergunakan sebagai tumpuan berpikir, terutama dalam penegakan dan
pelaksanaan hukum Islam dalam kehidupan sehari- hari. Asas hukum Islam
merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.
2.3 Asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana
A. Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau
prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex
(kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian
legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-
undang. Den- gan demikian legalitas adalah “keabsahan sesuatu
menurut undang undang”32.
Adapun istilah legalitas dalam syari’at Islam tidak ditentukan secara
jelas sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum
positif. Kendati demikian, bukan berarti syari’at Islam tidak mengenal
asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan hukum pidana Islam tidak
mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak me- neliti
secara detail berbagai ayat yang secara substansional menun- jukkan
adanya asas legalitas.
Asas legalitas dipoulerkan melalui ungkapan dalam ba- hasa latin:
Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik
tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini
merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan
memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas.
Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan atau ke-
seweenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan
informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi
peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hu-
kumanya.
Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal ma- nusia,
tetapi dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas
dianut dalam hukum Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang
menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan
hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawa-
ban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari
RasulNya.
Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejaha- tan-
kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum
yang pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash
dan diyat dengan diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang ses-
uai. Jadi, tidak diragukan bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi
kedua katagori diatas. Menurut Nagaty Sanad, asas legalitas dalam
Islam yang berlaku bagi kejahatan ta’zir adalah yang paling fleksibel,
dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya. Untuk menerap-
kan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimban-
gan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi
kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, kel-
uarga, dan masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan sankinya.

Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang berhubungan


dengan asas legalitas. Allah Swt. tidak menjatuhkan suatu
siksa atas umat manusia kecuali sudah ada penjelasan dan
pemberitahuan melalui Rasul-rasul-Nya, dan beban (kewajiban)
yang diberikan kepada mereka, yakni perkara yang disanggupi
sebagaimana tampak dalam fi rman-Nya pada :
1. surat al-Isra’ [17] ayat (15): “... dan kami tidak akan
mengazab, sebelum Kami mengutus seorang Rasul”;
2. surat al-Qashash [28] ayat (59): “... dan tidak adalah
Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia
mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan
ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula)
Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya
dalam keadaan melakukan kelaliman”;
3. surat al-An’am [6] ayat (19): “... dan al-Qur’an ini
diwahyukan kepadamu supaya dengannya aku memberi
peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai
al-Qur’an (kepadanya) ... ”; dansurat al-Baqarah [2] ayat (286): “
Allah Swt. tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”

B. Asas Amar Makruf Nahi Munkar


Menurut bahasa, amar makruf nahi munkar adalah menyuruh
kepada kebaikan, mencegah dari kejahatan. Amr: menyuruh, ma’rûf:
kebaikan, nahyi: mencegah, munkar: kejahatan. Abul A’la al-Maududi
menjelaskan bahwa tujuan utama dari syariat ialah membangun ke-
hidupan manusia di atas dasar ma’rifat (kebaikan-kebaikan) dan
membersihkannya dari hal-hal yang maksiat dan kejahatan- kejaha-
tan.36
Menurut Maududi pengertian ma’ruf dan munkar sebagai Istilah
ma’rûfât (jamak dari ma’rûf) menunjukkan semua kebaikan dan sifat-
sifat yang baik sepanjang masa diterima oleh hati nurani ma- nusia
sebagai suatu yang baik. Istilah munkarât (jamak dari munkar)
menunjukkan semua dosa dan kejahatan sepanjang masa telah diku-
tuk oleh watak manusia sebagai suatu hal yang jahat.37
Dalam filsafat hukum Islam dikenal istilah amar makruf se- bagai
fungsi social engineering, sedang nahi munkar sebagai social control
dalam kehidupan penegakan hukum. Berdasar prinsip inilah di dalam
hukum Islam dikenal adanya istilah perintah dan larangan. Islam
memberikan kebebasan bagi setiap penganutnya baik kebe- basan
individu maupun kolektif, kebebasan berpikir, kebebasan bers- erikat,
kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan beragama,
kebebasan berpolitik, dan lain sebagainya.38 Kebebasan individu- al
berupa penentuan sikap atas berbuat sesuatu atau tidak. Namun
demikian, Islam tetap memberikan batasan nilai. Artinya, kebebasan
yang diberikan oleh Islam tidaklah bebas value (nilai) atau liberal
apalagi sekuler. Setiap individu berhak menentukan sendiri sikapnya,
namun kebebasan atau kemerdekaan seseorang tersebut tetaplah di
batasi oleh kebebasan dan kemerdekaan orang lain.

C. Asas teritorial
Pada dasarnya syariat Islam bukan syariat regional atau kedaerahan
melainkan syariat yang bersifat universal dan internasional. Dalam
hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana Islam,
secara toritis para fuqaha membagi dunia ini kepada dua ba- gian:39
1. Negeri Islam
2. Negeri bukan Islam
Kelompok negeri Islam adalah negeri negeri dimana hukum
Islam nampak di dalamnya, karena penguasanya adalah penguasa
Islam. Juga termasuk dalam kelompok ini, negeri dimana
penduduknya yang beragama dapat menjalankan hukum-hukum
Islam. Penduduk negeri Islam dibagi menjadi dua bagian yaitu sbb:
1. Penduduk muslim, yaitu penduduk yang memeluk dan percaya
kepada agama Islam.
2. Penduduk bukan muslim, yaitu mereka yang tinggal di negeri Islam
tetapi masih tetap dalam agama asal mereka. mereka ini terdiri dari
dua bagian:
a. kafir zimmi, yaitu mereka yang tidak memeluk agama Islam dan
tinggal di negara Islam, tetapi mereka tunduk kepada hukum dan
peraturan Islam berdasarkan perjanjian yang berlaku;
b. kafir mu’ahad atau musta’man, yaitu mereka yang bukan
penduduk negeri Islam, tetapi tinggal di negeri Islam untuk
sementara karena suatu keperluan dan mereka tetap dalam agama
asal asal mereka. Mereka tunduk kepada hukum dan peraturan Islam
berdaasarkan perjanjian keamanan yang bersifat sementara.

Menurut konsepsi hukum Islam Asas teritorial yaitu hukum


pidana Islam hanya berlaku di wilayah di mana hukum Islam diber-
lakukan.Abu Hanifah berpendapat bahwa Hukum Islam diterap- kan
atas jarimah (tindak pidana) yang dilakukan di dar as-salam, yaitu
tempat-tempat yang masuk dalam kekuasaan pemerintahan Is- lam
tanpa melihat jenis jarimah maupun pelaku, muslim maupun non-
muslim.40 Aturan-aturan pidana Islam hanya berlaku secara penuh
untuk wilayah-wilayah negeri muslim.

Menurut Imam Abu Yusuf, hukum pidana Islam diterapakan atas


jarimah-jariamah yang terjadi di negeri Islam, baik dilakukan oleh
penduduk muslim, zimmi maupun musta’man. Alasan yang
dikemukakannya adalah bahwa terhadap penduduk muslim diber-
lakukan hukum pidana Islam kerena ke-Islamannya, dan terhadap
penduduk kafir zimmi karena telah ada perjanjian untuk tunduk dan
taat kepada peraturan Islam. Sedangkan alasan berlakunya hukum Is-
lam untuk musta’man adalah bahwa janji keamanan yang memberi
hak kepadanya untuk tinggal sementara di negeri Islam, diperoleh
berdasarkan kesanggupannya untuk tunduk kepada hukum Islam se-
lama ia tinggal di negeri Islam. Berdasarkan kesanggupan tersebut
maka kedudukan musta’man sama dengan kafir zimmi. walaupun
orang musta’man itu hanya tinggal sementara, ia tetap dituntut dan
dijatuhi hukuman apabila melakukan tindak pidana, baik yang meny-
inggung hak perseorangan maupun hak masyarakat.42
Bagi orang musta’min yaitu yang bertempat untuk sementara waktu
di negeri Islam, maka adakalanya jarimah yang diperbuatnya
menyinggung hak Tuhan, yakni hak masyarakat, seperti zina, mencuri
dan sebagainya atau menyinggung hak perseorangan seperti jarimah
qishas, qadzaf, penggelapan, perampasan barang dan sebagainya.

2.4 Asas-asas hukum pidana, perdata, perkawinan, kewarisan


A. asas-asas hukum Islam yang mendasari pelaksanaan hukum Islam
dalam konteks jinayah atau pidana. Asas-asas hukum pidana
Islam tersebut di antaranya asas legalitas, asas larangan
memindahkan kesalahan kepada orang lain, dan asas praduga tak
bersalah.
* Asas legalitas
* Asas larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain.
* Asas praduga tak bersalah

a. Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-
undang yang
mengaturnya. Asas ini berdasarkan surat al-Qashsash ayat 59
ayat ini
mengatakan bahwa Allah tidak akan mengadzab siapapun juga
kecuali
jika ia telah mengutus Rosul-Nya. Asas ini melahirkan kaidah yang
berbunyi ‚Tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan manusia
sebelum
ada aturan hukumnya‛.

b. Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain


Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan
manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat
akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Asas ini terdapat di
dalam berbagai surat dan ayat di dalam al-Qur’an: surat al-
An’aam ayat 165, al-Faathir ayat 18, az-Zumar ayat 7, an-Najam
ayat 38, al-Muddatsir ayat 38.
Sebagai contoh pada ayat 38 surat al-Muddatstir Allah
menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia
kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau
kesalahan yang dibuat oleh orang lain.

c. Asas praduga tak bersalah


Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa
seseorang yang dituduh melakukan sesuatu kejahatan harus
dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang
meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini
diambil dari ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi sumber asas
legalitas dan asas larangan memindahkan kesalahan pada orang
lain yang telah disebutkan diatas
tadi.

B. Pengertian Hukum Perdata

Hukum perdata yaitu ketetapan yang mengatur hak dan kewajiban antar
individu dalam masyarakat. Istilah hukum perdata di negara Indonesia mulanya
dari bahasa Belanda “Burgerlik Recht” yang sumbernya pada Burgerlik Wetboek
atau dalam bahasa Indonesia nya disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata).

Hukum dapat dimaknai dengan seperangkat kaidah dan perdata


diartikan dengan yang mengatur hak, harta benda dan kaitannya antara orang
atas dasar logika atau kebendaan.
Secara umum, pengertian hukum perdata yaitu semua peraturan yang
mengatur hak dan kewajiban perorangan dalam hubungan masyarakat. Hukum
perdata disebut pula dengan hukum private karena mengatur kepentingan
perseorangan.

C. Asas perkawinan

 Asas Kesukarelaan
Perkawinan harus dilandasi dengan asas kesukarelaan antara kedua
belah pihak. Kedua belah pihak tersebut bukan hanya antara suami istri,
melainkan orangtua dan keluarga masing-masing mempelai. Yang tak
kalah penting adalah kesukarelaan orangtua mempelai wanita yang
menurut ketentuan perkawinan Islam harus menjadi wali. Rasulullah
bersabda: “Siapa pun perempuan yang menikah dengan tidak seizin
walinya, maka batallah pernikahannya; dan jika ia telah bercampur,
maka mas kawinnya itu bagi perempuan itu, lantaran ia telah
menghalalkan kemaluannya; dan jika terdapat pertengkaran antar wali-
wali, maka sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai
wali.” (H.R. Imam yang empat kecuali Nasa’i dan disahkan oleh Abu
‘Awanah dan Ibnu Hibban serta Hakim). Artinya: Dan dalam riwayat
Muslim dari Abu Hurairah ra., ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah saw.
telah bersabda kepada seorang laki-laki yang mau mengawini seorang
perempuan: ‘Sudahkah pernah engkau melihat calon istrimu itu?’ Ia
menjawab: ‘Belum.’ Beliau bersabda, ‘Pergilah dan lihatlah ia lebih
dahulu!”
Beberapa keterangan di atas juga berlaku sama bagi seorang
perempuan. Ia juga diperkenankan terlebih dahulu mengetahui
pasangan calonnya sebagaimana ia juga dibolehkan memilih pasangan
yang sesuai dengan kriteria yang diinginkannya. Dalam hal melihat
pasangan calon, tidak harus selalu bertemu secara langsung, melainkan
bisa menyuruh orang lain untuk menjadi perantara.
 Asas Kemitraan Suami Istri
Kemitraan pasangan suami istri menjadi salah satu asas penting dalam
menjalani kehidupan rumah tangga. Asas ini membantu menjaga
keharmonisan dan terhindar dari percekcokan. Dengan asas kemitraan
ini, posisi suami-istri menjadi setara, meski dalam hal lain posisi suami
tetaplah pemimpin keluarga. Al-Quran surat an-Nisâ’: 34, Artinya: “Laki-
laki mempunyai kelayakan memimpin kaum wanita karena Allah telah
memberikan kelebihan atas yang lain dan karena mereka memberi
nafkah. Wanita-wanita yang salehah ialah yang taat beribadah, yang
menjaga amanat sewaktu suami bepergian, karena Allah telah
memelihara mereka. Mereka yang dikhawatirkan berbuat nusyus berilah
mereka peringatan, jauhilah mereka dari tempat tidur, berilah sanksi
yang mendidik. Tetapi apabila mereka taat kepadamu, jangan mencari
jalan untuk menyudutkan. Allah Maha Tinggi lagi Maha Agung.”

D. Asas-Asas Hukum Kewarisan

1. Ijbâriy
Asas ijbâriy dalam hukum Islam mengandung arti bahwa dengan
meninggalnya si pewaris, maka secara otomatis harta warisan beralih
dengan sendirinya kepada ahli waris. Pengalihan tersebut tidak melalui
rekayasa atau rencana sebelumnya.
2. Bilateral
Asas bilateral mengatur bahwa seseorang dapat menerima warisan dari
dua garis keturunan. Kedua belah pihak tersebut adalah pihak kerabat
keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan. Semua terdapat
penjelasannya dalam al-Quran surat an-Nisâ’ ayat 7, 11, 12, dan 176.
 Surat an-Nisâ’: 7
Artinya: “Laki-laki punya bagian dari harta yang ditinggalkan
oleh kedua orangtua atau kerabat. Sedikit atau banyak bagian
itu merupakan suatu ketentuan.”
 Surat an-Nisâ’: 11
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar
utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-
benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun”.
 Surat an-Nisâ’: 176
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalâlah).
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalâlah
(yaitu): Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya
yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara
laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat.
Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

3. Individual
Asas ini mengandung konsekuensi bahwa meskipun harta warisan yang
ditinggal berjumlah banyak secara komulatif, namun pembagiannya
kepada setiap ahli waris dapat dimiliki secara perorangan atau bersifat
hak milik secara individual.
4. Keadilan berimbang
Asas keadilan berimbang adalah sebuah asas yang mengharuskan adanya
keseimbangan antara hak yang diperoleh dan kewajiban yang harus
ditunaikan. Artinya, seorang ahli waris laki-laki atau ahli waris
perempuan mendapatkan hak yang sebanding dengan kewajiban yang
dipikulnya kelak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

5. Akibat kematian
Asas ini menunjukkan bahwa adanya proses peralihan harta warisan
adalah sebagai suatu akibat dari kematian. Artinya selama si pemilik
harta masih hidup, maka pengalihan harta yang dilakukan tidak dinamai
sebagai warisan. Dengan demikian, pengalihan harta warisan tersebut
harus dilakukan setelah si pewaris meninggal.
2.2 Fungsi asas-asas hukum islam
Fungsi asas hukum dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Fungsi Taat Asas (Konsiten)
Fungsi taat asas dari hukum itu adalah bagaimana konsistensi
dapat terjamin dalam sistem hukum. Contohnya dalam hokum
perdata dianut asas pasif bagi hakim. Artinya hakim hanya
memeriksa dan mengadili pokok persengketaan yang ditentukan oleh
para pihak yang berperkara.
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent
and impartial judiciary) merupakan bagian dari konsep taat
asas. Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada
dalam setiap negara hukum. Hakim dalam menjalankan tugas
judisialnya, tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik
karena kepentingan jabatan ( politik) maupun kepentingan uang
( ekonomi).
Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak
diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan
putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan
kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan
masyarakat dan media massa.
Hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali
hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam
menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim
juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian
dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai- nilai
keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak
hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan
perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang
menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah
masyarakat.
Agar nilai kepastian hukum juga tercakup dalam putusan
hakim, maka asas preseden yang mengikat (the binding force
of precedent) diterapkan. Ketika hakim menjatuhkan putusan,
dipastikan sudah memperhatikan dengan saksama putusan-
putusan sebelumnya yang mengadili kasus serupa. Jika tidak ada
alasan yang sangat prinsipil, hakim tersebut tidak dapat mengelak
kecuali juga menjatuhkan putusan yang secara substantif sama
dengan putusan sebelumnya.
Putusan hakim merupakan sesuatu yang exceptional, luar
biasa (hal itu dikarenakan sulitnya memenuhi nilai- nilai keadilan
tersebut), namun rasa keadilan itu dapat dilihat dari beberapa
sisi, yaitu:
a. general opinion pandangan umum yang berlaku di masyarakat;
b. kepentingan umum lebih dikedepankan; dan
c. kebijaksanaan, pengetahuan dan loyalitas hakim itu sendiri
terhadap penegakan hukum
2. Fungsi Sarana Penyelesaian Sengketa (Dispute Sett lement)
Persengketaan atau perselisihan dapat terjadi di dalam
masyarakat, baik dalam keluarga, maupun masyarakat, dari
kasus perceraian sampai batas tanah, dan lain sebagainya.
Adapun penyelesai sengketa dalam suatu masyarakat, ada yang
diselesaikan melalui lembaga formal yang disebut pengadilan
dan ada juga diselesaikan dengan sendiri oleh orang-orang yang
bersangkutan dengan mendapat bantuan orang-orang yang ada
di sekitarnya.
Fungsi sarana penyelesaian sengketa merupakan fungsi
penting dari asas hukum. Asas lex superior derogat legi inferiori
adalah asas yang mengatur bahwa peraturan hukum yang lebih
tinggi hierarkinya harus didahulukan dari pada peraturan hukum
yang lebih rendah. Asas ini sejalan pula dengan logika hukum
yang menyatakan; “by derogation is ment that principlein accordance
with legal science reject a rule, or a part of rule, because of its confl
ict with another rule originating in asuperior source ( asas deregorasi
diartikan, bahwa ilmu hukum menolak bila ada suatu norma
hukum yang seluruhnya atau sebagian bertentangan dengan norma
hukum yang lebih tinggi). Hans Kelsen dalam “teori aquo” atau “stuff
en bow” mambahas tentang jenjang norma hukum yang
menyebutkan bahwa bahwa norma- norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan. Hierarki
digunakan apabila terjadi pertentangan, dalam hal ini yang
diperhatikan adalah hierarkhi peraturan perundang-undangan.
Misalnya, ketika terjadi pertentangan antara Peraturan Pemerintah
dengan Undang-undang, maka yang digunakan adalah Undang-
undang karena undang-undang lebih tinggi derajatnya. Teori aquo
semakin diperjelas dalam hukum positif di Indonesia dalam bentuk 2
undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan.
zz
3. 3. Fungsi Rekayasa Sosial (Social Enineering)
Fungsi hukum sebagai rekayasa sosial dikonsepsikan
bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah atau melakukan
pembaharuan masyarakat. Hukum ditempatkan di depan
perilaku manusia, yakni mengarahkan perilaku masyarakat ke
arah kemajuan. Orientasi hukum untuk pembangunan sebagai
agent of development. Selanjutnya agent of development yang dapat
membentuk hukum sebagai sarana pembangunan dalam rangka,
“ law as a tool of social engineering.
Langkah yang diambil dalam social engineering bersifat
sistematis, dimulai dari identifi kasi problem sampai kepada
jalan pemecahannya, yaitu:
a. mengenal problem yang dihadapi dengan sebaik-baiknya.
Termasuk di dalamnya mengenal dengan seksama masyarakat
yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut;
b. memahami nilai- nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini
penting dalam hal social engineering itu hendak diterapkan
pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk,
seperti; tradisional dan modern.
c. perencanaan membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana
yang paling layak untuk bisa dilaksanakan; dan
d. mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-
efeknya
4. Fungsi Sarana Kontrol Sosial (Social Control)
Fungsi sarana kontrol sosial (control social) berarti bahwa
setiap kelompok masyarakat selalu memiliki problem sebagai
akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara
yang standar dan yang praktis, antara yang seharusnya atau yang
diharapkan untuk dilakukan dan apa yang dalam kenyataan
dilakukan. Standar dan nilai- nilai kelompok dalam masyarakat
mempunyai variasi sebagai faktor yang menentukan tingkah laku
individu. Penyimpangan nilai- nilai ideal dalam masyarakat dapat
disebut sebagai contoh; pencurian, perzinahan, ketidakmampuan
membayar utang, melukai orang lain, pembunuhan, pencemaran
nama baik dan semacamnya. Semua contoh itu merupakan
bentuk-bentuk tingkah laku menyimpang yang menimbulkan
persoalan di dalam masyarakat.
Hukum menuntun perilaku manusia supaya dalam melakukan
perbuatan terikat pada norma- norma hukum yang berlaku dalam
masyarakat negara. Fungsi hukum dalam kelompok
masyarakat adalah menerapkan mekanisme control social yang akan
membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang
tidak dikehendaki. Dengan demikian, hukum mempunyai suatu
fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu. Anggota
kelompok akan berhasil mengatasi tuntutan-tuntutan yang menuju
ke arah penyimpangan guna menjamin agar kelompok yang
dimaksud tetap utuh, atau kemungkinan lain hukum gagal dalam
melaksanakan tugasnya sehingga kelompok itu hancur.

Anda mungkin juga menyukai