Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ASAS LEGALITAS
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Terstruktur pada Mata Kuliah Materi
Fiqih Jinayah

Dosen Pengampu

DR. H. Ismardi, M.Ag.

Disusun Oleh:

Atta Lariq Bayhaqi 12220515648


Dinul Alzan 12220514916
Dwi Haniva 12220524834

PRODI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
TA: 2024 M/1445 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat

taufiq dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah

“Fiqh Jinayah”. Penyusunan tugas ini bertujuan untuk memenuhi tugas dan

kewajiban kami sebagai mahasiswa. Sebagai hormat atas bantuan dan bimbingan

serta dorongan dari semua pihak, kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada Bapak DR. H. Ismardi, M.Ag. selaku Pengampu mata kuliah

“Fiqh Jinayah”. Kami sadari penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna,

tiada gading yang tak retak, oleh karena itu, kami mengharap kritik dan saran

yang bersifat membangun sehingga kami dapat memperbaiki kesalahan kami.

Akhir kata kami ucapkan terimakasih, semoga semua tugas ini bermanfaat dan

berguna bagi kita semua.

Pekanbaru, 10 Maret 2024

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1

A. Latar Belakang ......................................................................................1

B. Rumusan Masalah .................................................................................1

C. Manfaat dan Tujuan ..............................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................2

A. Asas Legalitas ...................................................................................................... 2

B. Sumber Hukum Asas Legalitas .............................................................3

C. Penerapan Asas Legalitas ......................................................................4

D. Macam-macam Asas .............................................................................5

BAB III PENUTUP .........................................................................................10

A. Kesimplan............................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puji syukur atas Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga makalah yang berjudul Asas legalitas Hukum Pidana Islam ini
dapatterselesaikan dengan baik.
Makalah ini membahas mengenai asas-asas yang terdapat dalam hukum pidana
Islam, yang mana pada pembahasannya membahas dan menjelaskan macam-
macam asas yang ada pada hukum pidana Islam. Beserta dalil-dalil yang dijadikan
sumber hukum dari asas-asas yang telah disebutkan. Semoga bermanfaat.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini ialah
1. Apa yang dimaksud asas legalitas?
2. Apakah sumber hukum asas legalitas?
3. Bagaimanakah Penerapan Asas Legalitas?
4. Berapakah macam-macam asas legalitas?
Itulah rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini sederhana
namun penting untuk di bahas

C. Maksud dn Tujuan
Adapun maksud dan tujuan makalah ini disusun agar mahasiswa lebih
mengetahui asas legalitas dalam pidana islam dan sebagai prasyarat mengikuti

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip,
sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang
berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan
1
sesuatu menurut undang undang".
Dengan demukian arti legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut
undang- undang.” Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm
van Voirbachtdan penerapannya di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan
tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana.”
Adapun istilah legalias dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas
sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati
demikian,bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak
yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah
mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansional
menunjukkan adanya asas legalitas2
Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin:
Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada
hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu
jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang
dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalah gunaan
kekuasaan atau keseweenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu
dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi
peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumanya. Jadi,
berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum
oleh hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan

1
Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, ( Jakarta: pradnya Paramita,1969), hlm,63.
2
Abd al-Qodir Awdah, At-tasyri al-Jinal al-Islam,(Beirut: Dar al-Fikr,t.t.)1:118.

2
selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya
terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya
sebagai tindak pidana.

B. Sumber Hukum Asas Legalitas


Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi
dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum
Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut.
Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta
pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari
Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia
adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang
sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:
Al-Qur'an surat Al-Isra‟: 15, Yang terjemahnya kurang lebih demikian:
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya
Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat
Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang
yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan
meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59, Yang terjemahnya kurang lebih
demikian: “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia
mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada
mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali
penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman."

Kaidah Fiqh
‫دل ال رعقل دء قلوب لل رو رر وو دد الن صص‬
‫ل رحرد وو لد للفا لعا‬
Artinya : Tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan manusia sebelum ada
aturan hukumnya

3
C. Penerapan Asas Legalitas
Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan
hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip
tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakanya
prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa prinsip ini
berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas.
Menurut Nagaty Sanad, professor hukum pidana dari mesir, asas legalitas
dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan ta‟zir adalah yang paling fleksibel,
dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya.
Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat
keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi
kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan
masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan sanksinya.
Kemudian jika berpegang pada asas legalitas seperti yang dikemukakan
pada bab di atas serta kaidah "tidak ada hukuman bagi perbuatan mukallaf
sebelum adanya ketentuan nas"3, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai
tuntutan atau pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nas-nas dalam
syari'at Islam belum berlaku sebelum di undangkan dan diketahui oleh orang
banyak. Ketentuan ini memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku
setelah adanya nas yang mengundangkan. Hukum pidana Islam tidak mengenal
sistem berlaku surut yang dalam perkembangannya melahirkan kaidah[4]:
‫لرجعية فاي التشريع الجنائي‬
Tidak berlaku surut pada pidana Islam
Penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku semisal: -
Berlakunya bekas ibu tiri dalam surat An-Nisa': 22, Yang terjemahnya kurang
lebih demikian:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji
dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
- Hukum riba dalam QS. Al-Baqarah: 275 Yang terjemahnya kurang lebih

3
Abd al Qodir Awdah , At-tasyri….., 1:316.

4
demikian:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Asas legalitas ini mengenal juga asas teritorial dan non teritorial;
a. Asas teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam hanya berlaku di
wilayah di mana hukum Islam diberlakukan, yakni :
Negara-negara Islam;
Negara yang berperang dengan negara Islam;
Negara yang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam.
b. Asas non teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam berlaku bagi
seorang muslim tanpa terikat di mana ia berada, apakah ada di wilayah di
mana hukum pidana Islam diberlakukan (tiga negara tersebut di atas),
maupun di negara yang secara formal tidak diberlakukan hukum pidana
Islam.

D. Macam-macam Asas
Adapun macam-macam asas dapat dikelompokkan menjadi empat bagian:
1. Asas tidak Berlaku Surut
Hukum pidana Islam pada prinsip tidak berlaku surut, hal ini sesuai
dengan kaidah ‫ لرجعية ئيالجنا التشريع ايف‬tidak berlaku surut pada pidana Islam,
artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan maka tindakan mukallaf
tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah. Namun dalam praktiknya ada beberapa
jarimah yang diterapkan berlaku surut artinya perbuatan itu dianggap jarimah
walaupun belum ada nas yang melarangnya.

5
Alasan diterapakan pengecualiaan berlaku surut, karena pada jarimah-
jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan
menimbulkan kekacauan dan kehebohan dikalangan umat muslim.
Jarimah-jarimah yang diberlakukan surut yaitu :
a. Jarimah Qadzaf (menuduh Zina) dalam surat An-Nur: 4, Yang terjemahnya
kurang lebih demikian:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
b. Jarimah Hirabah dalm surat Al-Maidah: 33, Yang terjemahnya kurang lebih
demikian: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul- Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat merekamendapat siksaan yang besar.”
Selain itu asas ini melarang berlakunya hukum ke belakang, kepada
perbuatan yang belum ada aturan atau nasnya. Hukumpidana harus berjalan
kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia. Contoh dari pelaksanaan asas ini adalah pelanggaran praktik yang
berlaku di antara bangsa Arab PraIslam

Sebagai contoh, di zaman pra-Islam, seorang anak diizinkan menikahi istri


dari ayahnya. Islam melarang praktek ini, tetapi ayat Al-Qur‟an secara khusus
mengecualikan setiap perkawinan seperti itu yang dilakukan sebelum pernyataan
dilarang: “ Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.” (an-Nisa: 22).Sebagai
akibatnya, ikatan perkawinan seperti itu menjadi putus, namun dari sisi hukum
pidana pelakunya tidak dipidana.

6
2. Asas Praduga tak Bersalah"

Suatu konsekuen yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah
asas praduga tak bersalah (principle of lawfulness/presumption of innocence).
Menurut asas ini semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya
oleh suatu nash huku m[5]. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah
untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu
kejahatan tanpa ada keraguan. Jika di suatu keraguan yang beralasan muncul,
seorang tertuduh harus dibebaskan. Konsep tersebut telah dilembagakan dalam
hukum Islam jauh mengenalnya sebelum hukum-hukum
pidana positif.
Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman
karena adanya keraguan (doubt). Hadits nabi menyatakan secara jelas
menyatakan: “Hindarkan hudud dalam keadaan ragu lebih baik salah dalam
membebaskan daripada salah menghukum.” Menurut ketentuan ini, putusan
untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya
keraguan[6].
Dalam kejahatan kejahatan hudud, keraguan[7] membawa pembebasan
terdakwa dan pembatalan hukuman hadd. Akan tetapi, ketika pembatalan
hukuman had ini, hakim (jika diperlukan) masih memiliki otoritas untuk
menjatuhkan hukuman ta'zir kepada terdakwa[8].
Para sarjana muslim sepakat pada prinsip diatas untuk kejahatan kejahatan
hudud dan qisas, namun mereka berbeda pada penerapannya untuk kejahatan
kejahatan ta'zir. Pandangan mayoritas adalah bahwa aplikasi prinsip ini tidak
meliputi kejahatan kejahatan ta'zir. Akan tetapi, sebagian sarjana memegang
pendapat jenis kejahatan yang terakhir mesti tidak dikecualikan, atas dasar
bahwa, tidak ada sesuatupun dalam jiwa syari'at menghalagi keberlakuannya[9].
Menurut mereka, ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin keadilan
dan melindungi kepentingan terdakwa, baik dakwaan itu untuk kejahatan had,
qisas dan ta'zir[10].

7
3. Asas Material
Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah
segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang
maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum
(had atau ta‟zir).
Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal
dua macam: hudud dan ta’zir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah
ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nash, baik al-Qur‟an maupun hadits.
Sementara ta‟zir
adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau tidak jelas
ketentuannya, baik dalam al-Qur‟an maupun hadits. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi
Artinya : Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau
syubhat.
Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas
pemaafan dan taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana,
baik atas jiwa, anggota badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang
dirugikan apabila yang bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat mengambil
bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni
langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah kaidah yang
menyatakan bahwa: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak
berdosa. “
4. Asas Moralitas
 Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :
 Asas Adamul Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima
pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum.
 Asas Raful Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tindak pidana
dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena pelakunya di
bawah umur, orang yang tertidur dan orang gila.
 Asas al-Khath wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan dan
kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut

8
pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam melakukan
tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan. Asas ini
didasarkan atas surat al-Baqarah: 286.
 Asas Suquth al-„Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman.
Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal :
pertama, karena si pelaku dalam melaksanakan tindakannya
melaksanakan tuga; kedua, karena terpaksa. Pelaksanaan tugas dimaksud
adalah seperti : petugas eksekusi qishash (algojo), dokter yang melakukan
operasi atau pembedahan, dsb. Keadaan terpaksa yang dapat
menghapuskan sanksi hukum seperti : membunuh orang dengan alasan
membela diri,

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam hukum
pidana islam memiliki beberapa asas diantaranya:
1) Asas Legalitas, asas legalitas adalah cerminan dari ungkapan dalam bahasa
latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada
hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Bahwa asas ini menjelaskan
bahwa tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan
meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan
pemberitahuan dari Rasul-Nya.
2) Asas tidak berlaku surut, artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan
maka tindakan mukallaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah.
3) Asas praduga tak bersalah ( principle of lawfulness/presumption of innocence),
Menurut asas ini bahwa semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan
sebaliknya oleh suatu nash hukum. Jadi, setiap orang dianggap tidak bersalah
untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu
kejahatan tanpa ada keraguan.
4) Asas material, asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak
pidana ialah segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan
yang dilarang maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang
diancam hukum (had atau ta‟zir).
5) Asas moralitas, Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam :
(1) Asas Adamul Uzri
(2) Asas Raful Qalam
(3) Asas al-Khath wa Nis-yan Asas
(4) Suquth al-„Uqubah"

10
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, H. A. FIQH JINAYAH. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Hanafi,Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Munajat, Makhrus. FIKIH JINAYAH(Hukum Pidana Islam). Pesantren Nawesea

Pres.Jakarta.2009.

Santoso, Topo, S,H., M.H, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema
Insani Pres, 2003.

Subekti dan Tjitrosudibyo, kamus Hukum, (Jakarta: pradnya Paramita, 1969),


hlm, 63.

Abd al-Qodir Awdah, At-Tasyri al-Jinai al-Islami,(Beirut: Dar al-Fikr,t.t.),1:118.

Abd al-Qodir Awdah, At-Tasyri…, 1: 316.

11

Anda mungkin juga menyukai